Upload
vanliem
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta
karena pemilihan sistem proyeksi peta berpengaruh pada ketelitian koordinat setiap
titik di peta. Koordinat setiap titik-titik di permukaan bumi yang ditampilkan di
dalam peta diperoleh ketika proses georeferensi. Proses georeferensi harus
memperhatikan elipsoid yang akan digunakan dan proyeksi petanya. Pemilihan
elipsoid harus didefinisikan saat melakukan georeferensi karena ada beberapa jenis
elipsoid dan setiap elipsoid mempunyai nilai parameter yang berbeda sehingga
dalam suatu produk peta pendefinisian elipsoid yang digunakan harus seragam.
Sebuah peta merupakan gambaran permukaan di bidang datar sedangkan data yang
sebenarnya disajikan merupakan informasi permukaan bumi berupa bidang tidak
beraturan yang dimodelkan dengan bidang elipsoid.
Ada beberapa jenis sistem proyeksi peta. Setiap sistem proyeksi peta
memiliki karakteristik yang berbeda. Setiap karakteristik tersebut
mempertimbangkan jarak, luas, bentuk atau sudut untuk dipertahankan akurasi
datanya. Oleh karena itu, perlu memilih sistem proyeksi peta yang sesuai dengan
tujuan dan jenis peta.
Pada penelitian ini akan membahas tentang perbandingan dari sistem
proyeksi peta Polieder dan UTM pada pembuatan peta skala besar ( > 1:5000).
Alasan memilih sistem proyeksi Polieder karena sistem proyeksi ini pernah
digunakan di Indonesia dan perubahan jarak dan sudut hampir tidak ada pada daerah
yang terletak dalam satu lembar bagian derajat. Selanjutnya, sistem proyeksi UTM
merupakan sistem proyeksi yang sering digunakan pada pembuatan berbagai jenis
peta di Indonesia.
Studi kasus pada penelitian ini yaitu area Selat Sunda pada letak geografis 50
50‟ 55.81” LS – 60
2‟ 38.96” LS dan 1050 45‟ 48. 97” BT – 105
0 55‟ 54.42” BT.
Pada proyeksi peta Polieder, area penelitian terletak pada tiga LBD yaitu LBD nomor
33/XXXVI, 34/XXXVI, dan 34/XXXVII. Oleh karena itu, pada proses perhitungan
titik-titik poligon perlu dilakukan transformasi koordinat dari ketiga LBD tersebut
2
menjadi satu LBD supaya semua titik berada dalam satu sistem koordinat. Area
Penelitian terletak di zone 48 M pada proyeksi UTM dengan koordinat bujur
meridian tengah sebesar 1050. Penelitian ini akan membahas tentang perbandingan
dari nilai distorsi sudut dan jarak pada peta dengan sistem proyeksi Polieder dan
UTM. Parameter yang digunakan untuk membandingkan sistem proyeksi Polieder
dan UTM yaitu nilai distorsi sudut berupa konvergensi meridian (γ), koreksi (t-T),
dan nilai distorsi jarak berupa faktor skala (k). Perbandingan tersebut dilakukan
dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, posisi area penelitian yang
melalui 3 LBD pada proyeksi Polieder sehingga bisa menimbulkan perambatan
kesalahan saat perhitungan transformasi koordinat antar LBD. Akan tetapi, pada
proyeksi UTM area penelitian terletak dalam satu zone sehingga tidak perlu
melakukan transformasi koordinat. Kedua, jarak area penelitian dengan meridian
tengah dan paralel standar pada proyeksi Polieder lebih dekat daripada jarak area
penelitian dengan meridian tengah dan meridian standar proyeksi UTM.
I.2. Rumusan Masalah
Area penelitian tidak berada dalam satu LBD atau melalui tiga LBD pada
proyeksi Polieder sedangkan pada proyeksi UTM terletak dalam satu sistem zone.
Oleh karena itu, pada proyeksi Polieder perlu melakukan transformasi koordinat
sedangkan pada proyeksi UTM tidak perlu melakukan transformasi koordinat.
Selanjutnya, posisi area penelitian terhadap meridian tengah dan meridian standar
pada proyeksi UTM lebih jauh daripada posisi area penelitian terhadap meridian
tengah dan paralel standar proyeksi Polieder sehingga kemungkinan distorsi sudut
dan jarak lebih besar pada proyeksi UTM. Berdasarkan permasalahan tersebut maka
disusun pertanyaan penelitian:
1. Bagaimana perbandingan besar nilai koreksi konvergensi meridian(γ”),
koreksi (t-T), dan faktor skala(k) pada peta yang menggunakan sistem
proyeksi Polieder dan sistem proyeksi UTM?
2. Sistem proyeksi mana yang lebih baik digunakan antara proyeksi Polieder
dengan proyeksi UTM untuk pembuatan peta skala besar (> 1:5000) pada
studi kasus penelitian ini?
3
I.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah mengetahui besaran
nilai konvergensi merididan(γ”), koreksi (t-T) dan faktor skala (k) pada peta yang
bersistem Proyeksi Polieder dan yang bersistem Proyeksi UTM pada titik-titik
poligon simulasi di area Selat Sunda. Hasil perhitungan distorsi sudut dan jarak
tersebut digunakan sebagai dasar pemilihan sistem proyeksi yang tepat untuk
pembuatan peta skala besar (> 1:5000) atau peta teknik di area studi kasus penelitian.
I.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu bisa dijadikan sebagai
referensi untuk pemilihan sistem proyeksi peta yang tepat untuk pembuatan peta
teknik skala besar ( > 1:5000) di area penelitian Selat Sunda. Selain itu, bisa
digunakan sebagai referensi ilmu pengetahuan dalam bidang survei rekayasa.
I.5. Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian sudah ada yang membahas tentang proyeksi peta,
Penelitian yang berkaitan dengan tema tersebut misalnya yang sudah dilakukan oleh
Akbari (2001), Bayuaaji (2001), dan Koswara (1997).
Akbari (2001) mengkaji tentang perubahan luas akibat dari perubahan datum
geodetik dari datum Genuk ke datum ID-74 dan perubahan sistem proyeksinya yaitu
dari sistem proyeksi peta Polieder ke UTM. Sampel diambil pada zone 49 UTM
dengan batas garis lintang 60 40‟ LS dan 8
0 20‟ LS. Luasan pada peta Polieder
didapat setelah melakukan transformasi koordinat dari datum Genuk ke koordinat
Polieder. Luasan pada peta UTM didapat setelah melakukan transformasi datum
geodetik dari datum Genuk ke ID-74 dan transformasi koordinat dari ID-74 ke
koordinat UTM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selisih luas untuk areal yang
mendekati meridian tepi zone UTM akan semakin besar dan bertanda positif yang
berarti luasan pada sistem proyeksi UTM lebih besar dibandingkan luasan pada
sistem proyeksi Polieder. Sementara itu selisih luasan untuk areal yang berada di
tengah zone UTM mempunyai nilai negatif yang berarti luasan pada sistem proyeksi
UTM lebih kecil dibandingkan dengan luasan pada sistem proyeksi Polieder.
Penelitian Bayuaji (2001) mengkaji tentang perbedaan antara luasan yang
dihitung pada sistem proyeksi TM-30 hasil transformasi langsung dari koordinat
4
geodetik dengan luasan yang sama pada sistem proyeksi TM-30 hasil transformasi
tidak langsung dari koordinat UTM. Penelitian ini dilakukan dengan
mentransformasikan data persil yang bersistem proyeksi UTM ke dalam sistem
koordinat geodetik dan selanjutnya ditransformasikan ke sistem proyeksi TM-30.
Permasalahannya adalah luas persil hasil transformasi ini akan sama dengan luas
persil dalam sistem proyeksi TM-30
(hasil transformasi langsung dari koordinat
geodetik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara luas yang
dihitung pada sistem proyeksi TM-30 hasil transformasi langsung dari koordinat
geodetik dengan luas yang dihitung pada sistem proyeksi TM-30 hasil transformasi
tidak langsung dari koordinat UTM. Hal ini ditunjukkan dengan perbedaan luas yang
bernilai 0.0000 m2 untuk setiap sampel.
Koswara (1997) meneliti tentang pengaruh reduksi jarak pada pengadaan
titik dasar teknik kadastral orde empat dalam sistem proyeksi TM-30. Penelitian ini
dilakukan dengan melakukan pengukuran poligon yang berlokasi di desa Sidoarum,
Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman Yogyakarta. Koordinat titik-titik poligon
dihitung dengan memperhitungkan reduksi dan tanpa memperhitungkan reduksi
proyeksi TM-30. Hasil penelitian menunjukkan harga koordinat yang dihasilkan
dengan memperhitungkan reduksi dan tanpa memperhitungkan reduksi proyeksi TM-
30 mempunyai kesalahan linier koordinat lebih kecil dari 1:6000 (memenuhi
spesifikasi teknis BPN). Data hasil penelitian yang dilakukan memberikan indikasi
bahwa pengabaian reduksi sudut dan jarak tidak berpengaruh terhadap harga
koordinat titik-titik dasar teknik orde 4.
I.6. Landasan Teori
Dalam bab ini diuraikan teori-teori yang digunakan dalam menyelesaikan
permasalahan dalam penelitian ini.
I.6.1. Elipsoid WGS84
Sistem koordinat WGS84 merupakan sistem referensi terestris
(CTRS)(Anam, 2005). EUROCONTROL dan IfEN (1998) menyatakan bahwa origin
dan salib sumbu Sistem Koordinat WGS 84 didefinisikan sebagai berikut:
1. pusat massa bumi sebagai origin,
5
2. sumbu Z yaitu arah Conventional Terrestrial Pole (CTP) sebagai
pergerakan kutub yang didefinisikan oleh BIH,
3. sumbu X yaitu perpotongan bidang meridian referensi WGS84 dengan
bidang ekuator CTP (meridian referensi merupakan meridian nol yang
didefinisikan oleh BIH),
4. sumbu Y melengkapi sistem koordinat tangan kanan, Earth Centred
Earth Fixed (ECEF) orthogonal, diukur pada bidang ekuator CTP dan 900
ke timur dari sumbu X.
Ilustrasi origin dan salib sumbu sistem koordinat WGS84 bisa dilihat pada
gambar I.1. Parameter-parameter utama WGS84 yang menggambarkan
bentuk elipsoid bumi dijelaskan pada tabel I.1.
Gambar I.1. Definisi sistem koordinat WGS 1984 (EUROCONTROL-ifEN
1998)
Tabel I.1. Parameter-parameter utama WGS84
Parameter Nama WGS84
Setengah sumbu panjang A 6378137
Penggepengan F 1/298.257223563
Kecepatan sudut rotasi bumi 7.292115 x 10-5
rad s-1
Konstanta gravitasi bumi GM 398600.5 km3 s
-2
Koefisien harnonik potensial
gravitasi orde 2
20
- 484.16685 x 10-6
6
I.6.2. Metode Gauss Mid Latitude
Rapp (1991) menyatakan bahwa Nilai koordinat geodetis suatu titik pada
bidang elipsoid dinyatakan dalam bentuk lintang dan bujur. Misalnya, diberikan data
koordinat geodetis suatu titik sebagai titik awal, data jarak dan azimut ke titik kedua.
Kemudian, perlu menghitung koordinat geodetis titik kedua. Permasalahan ini
didefinisikan sebagai direct geodetic problem. Selanjutnya, Inverse geodetic problem
didefinisikan sebagai metode untuk menghitung azimut dari titik pertama ke titik
kedua, azimut dari titik kedua ke titik petama, dan jarak kedua titik dengan data
koordinat titik pertama dan kedua yang sudah diketahui. Pada penelitian ini
menggunakan metode Gauss Mid Latitude untuk menghitung azimut awal dan akhir
karena jarak kedua titik kurang dari 60 km. Prinsip metode Gauss Mid-Latitude yaitu
mengganti segitiga polar di bidang elipsoid dengan sebuah segitiga bola dengan jari-
jari kelengkungan vertikal utama rata-rata di antara titik-titiknya. Gambar segitiga
elipsoid dan segitiga bola bisa dilihat pada gambar I.2. Pada gambar I.2., segitiga
sebelah kiri merupakan gambar segitiga di bidang elipsoid dan segitiga sebelah
kanan merupakan segitiga di bidang bola.
Gambar I.2. Penyelesaian segitiga polar dengan metode Gauss Mid-Lattitude (Rapp
1991)
Perhitungan azimut dari titik pertama ke titik kedua (α12) di bidang elipsoid dengan
metode Gauss Mid-Lattitude melalui beberapa langkah. Pertama, menghitung lintang
rata-rata titik satu dan titik dua (φm) dengan asumsi bahwa lintang di bidang elipsoid
sama dengan di bidang bola. Kedua, menghitung jari-jari kelengkungan vertikal
utama pada lintang rata-rata (Nm), jari-jari kelengkungan meridian (Mm), beda lintang
titik satu dan dua pada bidang bola (Δφ‟), beda bujur titik satu dan dua pada bidang
bola (Δλ‟), dan besaran-besaran lain dengan persamaan-persamaan sebagai berikut:
7
................................................................................................... (I.1)
............................................................................................... (I.2)
............................................................................................ (I.3)
..................................................................................................... (I.4)
.......................................................................................................... (I.5)
⁄ ⁄ ............................................................................ (I.6)
⁄ ............................................................................... (I.7)
.................................................................................................. (I.8)
⁄ .......................................................................................... (I.9)
⁄ .................................................................... (I.10)
........................................................................................... (I.11)
⁄ ⁄ .............................................................................. (I.12)
I.6.3. Distorsi Sudut dan Jarak
Distorsi sudut pada penelitian ini berupa konvergensi meridian (γ), koreksi (t-
T) dan distorsi jarak berupa faktor skala (k). Penjelasan tentang konvergensi
meridian, koreksi (t-T), dan faktor skala bisa dilihat pada gambar I.3. dan gambar I.4.
Gambar I.3. Konvergensi meridian dan koreksi (t-T) (Vanicek-Krakiwsky 1982)
-
8
Vanicek dan Krakiwsky (1982) menyatakan bahwa konvergensi meridian (γ)
merupakan sudut antara garis singgung dari proyeksi garis meridian dengan y-axis
pada bidang proyeksi. Penelitian ini menggunakan sistem proyeksi konform sehingga
azimut di bidang elipsoid (αE) sama dengan azimut di bidang proyeksi (α
M). Azimut
di bidang proyeksi yaitu sudut di antara garis singgung dari proyeksi garis meridian
dengan garis singgung dari proyeksi garis geodesik. Azimut grid dari proyeksi garis
geodesik (T) adalah sudut di antara utara grid (yM
-axis) dengan garis singgung
proyeksi garis geodesik. Azimut grid tali busur (t) yaitu sudut di antara utara grid
dengan tali busur PiPj.
Ada beberapa hitungan untuk mengkoreksi distorsi sudut dan jarak sebagai
berikut :
1. Azimut grid proyeksi garis geodesik (T) diperoleh dari mengurangi azimut di
bidang elipsoid dengan nilai konvergensi meridian. Hal ini bisa dilihat pada
gambar I.3.
.......................................................................................... (I.13)
Gambar I.4. Reduksi sudut ukuran dan sudut jurusan horisontal (Vanicek-
Krakiwsky 1982)
9
2. Sesuai dengan gambar I.4. terlihat bahwa untuk memperoleh nilai azimut grid
tali busur ij (tij) perlu dilakukan pengurangan Tij dengan koreksi (t-T).
.................................................................................. (I.14)
Sudut jurusan di bidang datar (dP) diperoleh dari pengurangan sudut jurusan
di bidang elipsoid (dE) dengan koreksi (t-T).
............................................................................ (I.15)
3. Sesuai pada gambar I.4., sudut pada bidang elipsoid perlu dikoreksi supaya
memeproleh nilai sudut pada bidang proyeksi dengan persamaan berikut ini
.................................................... (I.16)
4. Panjang proyeksi garis geodesik diperoleh dengan mengalikan panjang garis
geodesik pada bidang elipsoid dengan faktor skala (k).
................................................................................... (I.17)
I.6.4. Poligon
Basuki (2006) menyatakan bahwa poligon berasal dari kata poli yang berarti
banyak dan gonos yang berarti sudut. Namun arti yang sebenarnya adalah rangkaian
titik-titik secara berurutan sebagai kerangka dasar pemetaan.
Poligon ada bermacam-macam dan dibedakan berdasarkan pada kriteria
tertentu. Pada skripsi ini menggunakan jenis poligon terbuka terikat sempurna.
Persamaan umum penentuan koordinat suatu titik jika titik tersebut diikatkan
ke titik lain yang sudah diketahui koordinatnya sebagai berikut :
..................................................................................... (I.18)
...................................................................................... (I.19)
Basuki (2006) menyatakan sesuai teori kesalahan dalam pengukuran jarak
dan sudut, semakin jauh dari titik ikat, kesalahan akan semakin besar. Oleh karena
itu agar kesalahan tersebut tidak merambat, akhir dari poligon perlu dikontrol, baik
berupa kontrol koordinat maupun kontrol jurusannya (azimutnya). Poligon yang
demikian dinamakan poligon terbuka terikat sempurna.
10
Gambar I.5. Poligon terbuka terikat sempurna
Gambar I.5. merupakan gambar poligon terbuka terikat sempurna. Sudut-
sudut ukuran dipakai untuk mencari sudut jurusan atau azimut sisi poligon, yang
selanjutnya dengan data jarak digunakan untuk mencari koordinat. Maka akan dicari
sudut jurusan atau azimut semua sisi poligon terlebih dahulu. Persamaan-persamaan
berikut merupakan contoh untuk menghitung azimut sisi-sisi poligon:
– ................................................................................. (I.20)
Atau
( ) ( ) ......................... (I.21)
Atau secara umum dapat ditulis :
....................................................................... (I.22)
Azimut akhir dan azimut awal dihitung dari koordinat titik-titik akhir dan
titik-titik awal, pada gambar I.5. titik B,Q dan titik A,P. Azimut awal dan azimut
11
akhir suatu poligon terbuka terikat sempurna pada bidang elipsoid dihitung
menggunakan metode Gauss’s mid latitude yang sudah dijelaskan pada subbab I.6.2.
Tetapi, dalam kenyataannya pada perhitungan, ukuran sudut-sudut dihinggapi
kesalahan sehingga menjadi :
............................................................ (I.23)
merupakan kesalahan penutup sudut dan dikoreksikan kepada setiap sudut ukuran
dengan prinsip sama rata. Untuk mendapatkan syarat sisi poligon yang harus
dipenuhi, proyeksikan sisi-sisi poligon tersebut pada sumbu X(menjadi d‟) dan pada
sumbu Y (menjadi d”)
dan ............................................................................................. (I.24)
dan .............................................. (I.25)
Jumlah d sin α harus sama dengan selisih absis titik akhir dan awal poligon.
Demikian pula, jumlah d cos α harus sama dengan selisih ordinat titik akhir dan awal
poligon. Dalam kenyataannya :
.................................................................... (I.26)
..................................................................... (I.27)
merupakan kesalahan penutup absis dan merupakan kesalahan penutup
ordinat. Kesalahan penutup jarak(linier) dinamakan :
√ ................................................................................................ (I.28)
Kesalahan dan dikoreksikan pada setiap penambahan absis (d sin α) dan
penambahan ordinat (d cos α) dengan perbandingan lurus dengan jarak-jarak sisi
poligon atau jika ditulis dengan persamaan matematis sebagai berikut :
.................................................................................................... (I.29)
dan
................................................................................................. (I.30)
12
Langkah penghitungan koordinat titik-titik poligon secara sistematis adalah sebagai
berikut :
1. Jumlahkan sudut-sudut hasil ukuran. Hitung dan dari koordinat
2 titik ikat akhir dan 2 titik ikat awal. Dari perhitungan azimut tersebut
digunakan untuk menghitung kesalahan penutup sudut ( . Kemudian
melakukan koreksi kesalahan penutup sudut ( pada masing-masing sudut
hasil ukuran.
2. Menghitung azimut dari setiap sisi poligon dan dimulai dari azimut awal
dengan aturan:
............................................................... (I.31)
Apabila peritungannya benar maka azimut akhir akan sama dengan azimut
akhir yang dihitung dari nilai koordinat 2 titik ikat di akhir.
3. Sudut azimut yang diperoleh dari langkah 2 di atas digunakan untuk
menghitung d sin α dan d cos α. Kemudian melakukan perhitungan selisih
antara dan serta dan . Selanjutnya, menghitung fx
dan fy serta mengkoreksikan pada masing-masing d sin α dan d cos α
sebanding dengan jarak-jaraknya.
I.6.5. Proyeksi Peta
Proyeksi peta adalah metode penyajian permukaan bumi pada suatu bidang
datar dari koordinat geografis pada bola atau koordinat geodetis pada elipsoid.
Permukaan bumi fisis tidak teratur sehingga dipilih suatu bidang yang teratur yang
mendekati bidang fisis bumi yaitu bidang elipsoid. Bidang tersebut merupakan suatu
bidang lengkung yang dapat digunakan sebagai bidang referensi hitungan untuk
menyatakan posisi titik-titik di atas permukaan bumi dalam suatu sistem koordinat
geodetis, yaitu lintang (φ) dan bujur (λ) (Prihandito, 2010).
I.6.5.1. Proyeksi Polieder. Prihandito (2010) menyatakan bahwa sistem proyeksi
polieder merupakan sistem proyeksi peta yang menggunakan bidang proyeksi berupa
kerucut, normal, tangent, dan konform. Bidang kerucut proyeksi ini menyinggung
bola bumi (tangent) pada salah satu paralel yang disebut sebagai paralel tengah atau
paralel standar. Paralel tengah atau paralel standar diproyeksikan secara ekuidistan
sehingga faktor skalanya (k) = 1. Luas area satu lembar bagian derajat proyeksi ini
yaitu 20‟ x 20‟(sekitar 37 km x 37 km). Jadi pada proyeksi polieder, bumi dibagi
13
dalam jalur-jalur yang dibatasi oleh dua garis paralel dengan beda lintang sebesar 20‟
atau dengan kata lain tiap jalur selebar 20‟ diproyeksikan pada kerucut tersendiri.
Kerucut-kerucut tersebut menyinggung bola bumi setiap lintang φ = ± 10‟, ± 30‟ dan
± 50‟. Penjelasan tentang proyeksi Polieder dijelaskan pada gambar I.6.
Gambar I.6. Proyeksi Polieder (Muryamto,1994)
Setiap lembar bagian derajat proyeksi polieder mempunyai sistem koordinat sendiri,
dengan ketentuan sebagai berikut :
1. sumbu X : paralel tengah,
2. sumbu Y : meridian tengah,
3. titik nol : perpotongan meridian dan paralel tengah yang disebut pusat lembar
bagian derajat (φ0 , λ0),
4. absis X : positif, di sebelah Timur meridian tengah,
5. absis Y : positif, di sebelah Utara paralel tengah.
I.6.5.2. Transformasi Koordinat Geodetis (φ,λ) ke Koordinat Polieder(X,Y).
Muryamto (1994) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu dilakukan
sebelum melakukan proses transformasi dari koordinat geodetis ke koordinat
Polieder. Pertama, memperhatikan nomor LBD dan koordinat pusat lembar bagian
derajat (φ0,λ0) dari titik yang akan ditransformasi. Kedua, melakukan konversi nilai λ
suatu titik dari meridian Greenwich (00) ke meridian Jakarta (106
0 48‟ 27.79”).
Ketiga, memperhatikan letak φ dan λ titik yang akan ditransformasi (φ terletak di
sebelah utara atau selatan ekuator dan λ di sebelah barat atau timur meridian Jakarta).
Selanjutnya, memilih elipsoid yang dipakai karena setiap elipsoid mempunyai nilai
parameter yang berbeda. Penelitian ini menggunakan elipsoid WGS84.
14
Anam (2005) menyatakan bahwa cara menentukan L0,B0 dari nomor LBD
proyeksi Polieder dan sebaliknya menggunakan Tabel Polieder pada Lampiran A.
Angka biasa (1, 2, dst) menunjukkan argumen atau nomor untuk menentukan
koordinat bujur dari Jakarta (Bjkt = 1060 48‟ 27”.79 BT). Angka Romawi (I, III, dst)
menunjukkan argumen atau nomor menentukan koordinat lintang dari ekuator.
Pembagian nomor LBD peta Indonesia skala 1:100000 bisa dilihat pada gambar I.7.
Gambar I.7. Penomoran LBD peta Indonesia skala 1:100000 (Muryamto, 1994)
Daerah penelitian ini terletak pada 50 50‟ 55.81” LS – 6
0 2‟ 38.96” LS
sehingga posisi koordinat pusat lembar bagian derajat (φ0,λ0) daerah yang diteliti
berada di sebelah selatan ekuator. Oleh karena itu, persamaan yang digunakan untuk
mencari koordinat (X,Y) pada sistem koordinat Polieder yaitu
X = [A] Δλ – [C] Δλ Δφ ........................................................................... (I.32)
Y = - [B] Δφ - [D] Δλ2
- [1] [D] Δφ2 - [2] Δφ
3 ........................................ (I.33)
Pada persamaan (I.32) dan (I.33) terdapat besaran-besaran yang harus
dihitung nilainya, penjelasan besaran-besaran tersebut sebagai berikut:
[A] = N0 cos φ0 sin 1” ............................................................................... (I.34)
[B] = M0 sin 1” ........................................................................................ (I.35)
[C] = M0 sin φ0 sin2 1” .......................................................................... (I.36)
[D] =
....................................................................... (I.37)
[1] = 3 e2 (1 – e
2) ..................................................................................... (I.38)
[2] = ( )
......................................................................... (I.39)
15
Δφ = (φ – φ0)” .......................................................................................... (I.40)
Δλ = (λ – λ0)” .......................................................................................... (I.41)
Pada besaran [A], [B], [C], [D], [1],[2] terdapat besaran , , yang
harus dihitung nilainya, sebagai berikut
= ........................................................................................... (I.42)
=
................................................................................ (I.43)
=
................................................................................ (I.44)
I.6.5.3. Transformasi Koordinat dari Satu LBD ke LBD Lain Proyeksi Polieder.
Penelitian ini perlu melakukan proses transformasi koordinat dari satu LBD (φ0,λ0)
ke LBD yang berdekatan (φ0‟,λ0‟) karena titik-titik poligon penelitian terletak pada
tiga LBD yang berbeda. Muryamto (1994) menyatakan bahwa untuk melakukan
transformasi dari satu LBD ke LBD lain dengan pusat LBD yang kedua (φ0‟,λ0‟)
terletak di sebelah selatan ekuator maka menggunakan persamaan (I.45) dan (I.46)
untuk menghitung transformasinya.
– .............................................. (I.45)
Y‟ = Y + Q – [α] X + [β] Y + [δ] X2
– [δ] Y2
........................................... (I.46)
P dan Q merupakan koordinat Polieder dari pusat lembar bagian derajat pertama
terhadap pusat lembar bagian derajat kedua yang dihitung dengan persamaan (I.32)
dan (I.33). Pada persamaan X‟ dan Y‟ terdapat besaran-besaran yang harus dihitung
sebagai berikut
[α] = Δλ sin sin 1” .............................................................................. (I.47)
[β] = ½ (1 - )Δ sin 1” ........................................................................ (I.48)
[đ] =
.............................................................................................. (I.49)
[δ] = ½ [đ] ................................................................................................. (I.50)
Δφ = .......................................................................................... (I.51)
Δλ = ............................................................................................ (I.52)
I.6.5.4. Transformasi Koordinat Polieder(X,Y) ke Koordinat Geodetis (φ,λ).
Muryamto(1994) menyatakan bahwa langkah-langkah melakukan transformasi
koordinat Polieder ke koordinat Geodetis sebagai berikut:
16
1. menentukan nomor lembar bagian derajat titik yang akan ditransormasi
sehingga bisa diketahui lintang dan bujur pusat lembar bagian derajat (φ0,λ0),
2. menentukan letak titik nol bagian derajat di sebelah Utara atau Selatan
ekuator,
3. menentukan elipsoid referensi yang dipakai,
4. melakukan perhitungan dengan menggunakan persamaan:
a. Jika letak titik nol bagian derajat di sebelah Utara ekuator:
Δλ = [A‟] X + [C‟] X Y ................................................................. (I.53)
Δφ = [B‟] Y – [D‟] X2 .................................................................... (I.54)
b. Jika letak titik nol bagian derajat di sebelah Selatan ekuator:
Δλ = [A‟] X – [C‟] X Y ................................................................. (I.55)
Δφ = - [B‟] Y – [D‟] X2 ................................................................. (I.56)
dalam hal ini:
............................................................. (I.57)
..................................................................... (I.58)
............................................. (I.59)
................................................. (I.60)
Nilai Δφ dan Δλ yang diperoleh dalam satuan detik dan bisa bernilai
positif atau negatif sehingga untuk mencari koordinat geodetisnya:
............................................................................... (I.61)
................................................................................. (I.62)
I.6.5.4. Hitungan Konvergensi Meridian (γ), Koreksi (t – T), dan Faktor Skala (k)
pada Proyeksi Polieder. Setiap titik yang berada di bidang elipsoid dan diproyeksikan
pada bidang datar akan mengalami reduksi atau perbedaan sudut dan jarak antar
titik-titik di bidang lengkung dengan di bidang datar. Distorsi sudut dan jarak
tersebut berupa konvergensi meridian (γ), koreksi (t – T), dan faktor skala (k).
Persamaan-persamaan untuk mencari nilai konvergensi meridian (γ), koreksi (t-T),
faktor skala (k) sebagai berikut:
γ" = Δλ” sinφ0 ........................................................................................... (I.63)
dengan Δλ = λi – λ0 ............................................................................................ (I.64)
17
(t – T)12 =
(X2 – X1) (2Y1 + Y2) ........................................................ (I.65)
(t – T)21 = -
(X2 – X1) (Y1 + 2Y2) ....................................................... (I.66)
R0 = √ .............................................................................................. (I.67)
dihitung dengan argumen φ0
k = 1 +
................................................................................ (I.68)
Penggunaan persamaan (I.63) untuk menghitung konvergensi meridian (γ)
karena titik yang akan dihitung nilai konvergensi meridiannya diketahui koordinat
geodetisnya. Selanjutnya, perhitungan faktor skala (k) menggunakan persamaan
(I.68) dikarenakan koordinat titik-titik yang akan dihitung faktor skalanya dalam
sistem koordinat proyeksi peta Polieder.
I.6.5.5. Proyeksi UTM. Proyeksi UTM merupakan proyeksi peta yang menggunakan
bidang proyeksi berupa silinder, transversal dan konform. Gambar proyeksi UTM
bisa dilihat pada gambar I.8. Bidang silinder proyeksi ini memotong bola bumi
(secant) pada dua buah garis meridian yang dinamakan meridian standar. Pada garis
meridian standar besar faktor skalanya (k) = 1. Proyeksi UTM membagi bumi
menjadi beberapa zone. Setiap zone mempunyai ukuran 60 bujur x 8
0 lintang dan
mempunyai meridian tengah sendiri dengan besar faktor skala (k0) = 0,9996. Besar
faktor skala (k) bervariasi, yaitu antara meridian tengah (500.000 mT) sampai
180.000 m sebelah barat (garis grid 320.000 mT) dan timur (garis grid 680.000 mT)
mempunyai harga dari 0,9996 sampai 1. Di luar batas grid 320.000 mT dan 680.000
mT mempunyai faktor skala lebih dari 1. Faktor skala pada meridian tengah adalah
yang terkecil kemudian semakin membesar pada arah yang menuju ke meridian
standar atau semakin menjauhi meridian tengah (Prihandito, 1989).
Gambar I.8. Proyeksi UTM (Prihandito, 2010)
18
I.6.5.6. Transformasi Koordinat Geodetis (φ,λ) ke Koordinat UTM(X,Y). Area
penelitian ini terletak pada zone 48 M yang berada pada bujur 1020-108
0 BT dan
berada pada lintang 00 – 8
0 LS. Muryamto(1994) menyatakan ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan sebelum melakukan transformasi koordinat geodetis ke koordinat
UTM. Pertama, memperhatikan nilai bujur titik yang akan ditransformasikan dari
meridian greenwich atau Jakarta. Untuk proyeksi UTM, nilai bujur dihitung dari
Meridian Greenwich sehingga untuk Meridian Jakarta harus ditambah dengan 1060
48‟ 27”.79. Kedua, menentukan zone suatu titik berdasarkan Meridian
Tengahnya(B0). Ketiga, memperhatikan letak lintang(φ) titik tersebut di sebelah
utara atau selatan ekuator dan bujurnya terletak di sebelah barat atau timur Meridian
Tengahnya. Selanjutnya, memperhatikan elipsoid referensi yang dipakai dan
ketelitian yang yang diminta untuk menentukan banyaknya desimal dari p. Untuk
melakukan transformasi koordinat suatu titik dari sistem koordinat geodetis ke sistem
koordinat UTM menggunakan persamaan-persamaan sebagai berikut
X‟ = T‟ = [IV] p + [V] p3 + [B5] p
5 ......................................................... (I.69)
Y‟ = U‟ = [I] + [II] p2 + [III] p
4 + [A6] p
6 ............................................... (I.70)
Penelitian ini terletak di sebelah selatan ekuator dan sebelah timur meridian tengah
sehingga untuk menghitung koordinat X dan Y menggunakan persamaan (I.71) dan
(I.72)
Y = U = 10.000.000 m – U‟ .................................................................... (I.71)
Selanjutnya, jika titik terletak di sebelah timur Meridian Tengah maka
X = T = 500.000 m + T‟ ....................................................................... (I.72)
Persamaan untuk mencari nilai X‟ dan Y‟ tersebut terdapat besaran-besaran
yang harus dihitung nilainya terlebih dahulu. Persamaan-persamaan untuk
menghitung nilai persamaan-persamaan tersebut sebagai berikut:
p = 0,0001 x (λi – B0) ................................................................................ (I.73)
[I] = k0 . m ................................................................................................. (I.74)
[II] = k0. N. sin(φ) . cos(φ) . sin21” . 10
8 / 2 .............................................. (I.75)
[III] = k0. N. sin(φ). Cos3(φ). sin
4 1”. 10
16(5 – tg
2(φ) + 9. e‟
2. Cos
2(φ) + 4. e‟
4.
Cos4(φ) ...................................................................................................... (I.76)
[IV] = k0. N. cos(φ). sin 1”. 104 ............................................................... (I.77)
19
[V] = k0. N. cos3(φ). sin
31”. 10
12. (1 – tg
2(φ) + e‟2. Cos
2(φ)) / 6 ...........(I.78)
[A6] = k0. N. sin6 1”. sin(φ). cos
5(φ). (61 – 58. Tg
2(φ) + tg
4(φ) + 270. e‟
2.
cos2(φ) – 330. e‟
2. sin
2(φ)). 10
24 / 720 ...................................................... (I.79)
[B5] = k0. N. cos5(φ). sin
5 1”. (5 – 18 tg
2(φ) + tg
4(φ) + 14.e‟
2. cos
2(φ) – 58.
e‟2. sin
2(φ)). 10
20 / 120 .............................................................................. (I.80)
dalam hal ini
m = a(1 – e2) [
-
(sin(2φi) – sin(2Φ0)) +
(sin(4φi – sin(4Φ0)) -
(sin(6φi) - sin(6Φ0)) +
(sin(8φi) – sin(8Φ0)) -
(sin(10φi) – sin(10Φ0))]
.......................................................................................................... (I.81)
dengan
A =
.............. (I.82)
B =
....................... (I.83)
C =
.................................... (I.84)
D =
................................................ (I.85)
E =
................................................................. (I.86)
F =
................................................................................... (I.87)
I.6.5.7. Transformasi Koordinat UTM(X,Y) ke Koordinat Geodetis (φ,λ) . Persamaan
untuk menghitung nilai lintang(φ) suatu titik dari koordinat UTM(X,Y) sebagai
berikut:
.... (I.88)
(
) (
)
(
) .................................................................................... (I.89)
................................................................. (I.90)
............................ (I.91)
.......................................................................................................... (I.92)
.......................................................................................................... (I.93)
..................................................................................................... (I.94)
20
....................................................................................................... (I.95)
................................................................................... (I.96)
.................................................................... (I.97)
...................................................................................................... (I.98)
I.6.5.8. Rumus Koreksi Konvergensi Meridian(γ) , Koreksi Horisontal(t – T), Faktor
Skala(k). Setiap bidang lengkung yang diproyeksikan ke bidang datar akan
mengalami distorsi baik sudut maupun jaraknya. Contohnya bidang permukaan bumi
berupa elipsoid yang diproyeksikan ke bidang datar berupa silinder akan mengalami
distorsi berupa konvergensi meridian (γ), koreksi (t-T) dan faktor skala(k).
Persamaan yang digunakan untuk menghitung konvergensi meridian (γ), koreksi (t-
T) untuk titik di belahan bumi selatan dan faktor skala(k) sebagai berikut:
γ” = [XII] p – [XIII] p3 + [C5] p
5 .............................................................. (I.99)
(t – T)12 = - (U2‟ – U1‟) (2T1‟ + T2‟) [XVIII] x 6,8755 . 10-8
.......... (I.100)
(t – T)21 = - (U1‟ – U2‟) (T1‟ + 2T2‟) [XVIII] x 6,8755 . 10-8
................. (I.101)
k = k0 { 1 + [XVIII] q2 + [XIX] q
4 } ........................................................ (I.102)
dalam hal ini
.................................................................................. (I.103)
....................................................................................... (I.104)
[XII] = sin(φ) . 104 ................................................................................... (I.105)
[XIII] = sin(φ). cos2(φ). sin
2 1”. (1+ 3e
‟2 cos
2(φ) + 2e‟
4 cos
4(φ)). 10
12/3 (I.106)
[XVIII] = (1 + e‟2.cos
2(φ)). 10
12 / (2. k0
2.N
2) .......................................... (I.107)
[XIX] = 1024
/ (24. k04. N
4) ..................................................................... (I.108)
[C5] = sin(φ). cos4(φ). sin
4 1” (2-tg2
(φ))1020
/15 .................................... (I.109)
I.6.6. Bahasa Pemrograman C++
C++ diciptakan oleh Bjarne Stroustrup, Laboratorium Bell, AT&T, pada
tahun 1983. Bahasa ini bersifat kompatibel dengan bahasa pendahulunya yaitu
bahasa C. Pada mulanya C++ disebut “a better C”. Nama C++ sendiri diberikan oleh
Rick Mascitti pada musim paas 1983. Adapun tanda ++ berasal dari nama operator
penaikan pada bahasa C(Kadir, 1995).
21
I.6.6.1. Tipe Data. Ada beberapa tipe data pada C++ antara lain: char, int, short,
long, float, double, dan long double. Tipe data yang berhubungan dengan bilangan
bulat adalah char, int, short, dan long. Sedangkan lainnya berhubungan dengan
bilangan pecahan. Ukuran memori dari tipe data berbeda-beda. Hal ini bisa dilihat
pada tabel I.2.
Tabel I.2. Tipe data pada C++
Tipe data Ukuran
Memori Jangkauan Nilai
Jumlah Digit
Presisi
Char 1 byte -128 hingga +127 -
Int 2 byte -32768 hingga +32767 -
Long 4 byte -2.147.438.648 hingga 2.147.438.647 -
Float 4 byte 3.4 x 10-38
hingga 3.4 x 10+38
6-7
Double 8 byte 1.7 x 10-308
hingga 1.7 x 10+308
15-16
long double 10 byte 3.4 x 10-4932
hingga 1.1 x 10+4932
19
I.6.6.2. Operator dan Ungkapan. Kadir (1995) menyatakan bahwa operator
merupakan simbol yang biasa dilibatkan dalam program untuk melakukan sesuatu
operasi atau manipulasi. Ungkapan (ekspresi) dalam C++ dapat berupa pengenal,
konstanta, atau di antara kombinasi elemen di atas dengan operator. Proses hitungan
penelitian ini menggunakan bermacam-macam operator meliputi: operator
aritmatika, operator penurunan (decrement) dan penaikan (increment), operator
bitwise (manipulasi bit), operator majemuk, dan operator relasi. Selain itu, proses
perhitungan juga menggunakan fungsi pustaka.
Operator aritmatika ada dua jenis yaitu operator binary dan operator unary.
Operator binary terdiri dari operator perkalian(*), pembagian(/), modulus(%),
penjumlahan(+), dan pengurangan(-). Operator unary ada dua yaitu tanda minus(-)
dan tanda plus(+). Operator perkalian(*), pembagian(/), dan modulus(%) mempunyai
prioritas yang sama. Operator penjumlahan(+) dan pengurangan(-), keduanya juga
mempunyai prioritas yang sama. Jika dalam satu baris terdapat lebih dari satu
operator mempunyai prioritas yang sama, maka operator yang terletak di sebelah kiri
dalam satu ungkapan yang diutamakan dikerjakan terlebih dahulu. Selanjutnya,
22
Operator perkalian(*), pembagian(/), dan modulus(%) lebih dahulu dikerjakan dari
pada operator penjumlahan(+) dan pengurangan(-) karena mempunyai prioritas lebih
tinggi. Prioritas pengerjaan bisa dirubah dengan menggunakan tanda kurung ( ).
Operator penurunan (++) dan penaikan (--) digunakan pada operand bertipe
bilangan bulat. Operator penaikan digunakan untuk menaikkan nilai variabel sebesar
satu, sedangkan operator penurunan dipakai untuk menurunkan nilai variabel sebesar
satu. Penempatan operator terhadap variabel dapat dilakukan di muka atau di
belakangnya.
Operator bitwise digunakan untuk keperluan memanipulasi data dalam bentuk
bit. Ada enam buah operator bitwise dalam C++ yang bisa dilihat pada tabel I.3.
Tabel I.3. Operator bitwise
Operator Keterangan
<< Geser bit ke kiri
>> Geser bit ke kanan
& Bitwise AND (dan)
| Bitwise OR (atau)
^ Bitwise XOR
~ Bitwise NOT (komplemen)
Penggunaan Operator majemuk dimaksudkan untuk memendekkan penulisan
operasi penugasan. Daftar seluruh kemungkinan operator kombinasi dalam suatu
pernyataan dan pernyataan padanannya bisa dilihat pada tabel I.4.
Tabel I.4. Operator majemuk
Operator Contoh Keterangan
+= x += 2; x = x + 2;
-= x -= 2; x = x – 2;
*= x *= 2; x = x * 2;
/= x /= 2; x = x / 2;
%= x %= 2; x = x % 2;
<<= x <<= 2; x = x << 2;
>>= x >>= 2; x = x >> 2;
23
&= x &= 2; x = x & 2;
|= x |= 2; x = x | 2;
^= x ^= 2; x = x ^ 2;
Operator relasi digunakan untuk membandingkan dua buah nilai.
Keseluruhan operator relasi pada C++ bisa dilihat pada tabel I.5.
Tabel I.5. Operator relasi
Operator Keterangan
= = Sama dengan (bukan penugasan)
!= Tidak sama dengan
> Lebih dari
< Kurang dari
>= Lebih dari atau sama dengan
<= Kurang dari atau sama dengan
Fungsi-fungsi pustaka berfungsi untuk melaksanakan perhitugan aritmatika
(akar kuadrat, eksponensial, logaritma alamiah dan sebagainya), konversi data,
pemrograman grafis. Beberapa fungsi pustaka yang digunakan pada penelitian ini
bisa dilihat pada tabel I.6.
Tabel I.6. Fungsi pustaka
Fungsi pustaka Kaidah File header Kegunaan
atan() double atan
math.h Untuk memperoleh nilai arc
tangent dari argumen x.
cos() double cos
math.h
complex.h
Untuk memperoleh nilai cosinus
dari x.
pow() double pow math.h
complex.h
Untuk menghasilkan xy
sin() double sin math.h
complex.h
Untuk memperoleh sinus dari x
sqrt() double sqrt math.h
complex.h
Menghasilkan akar dari x
24
tan() double tan math.h
complex.h
Untuk menghasilkan tangent
dari x
I.6.6.3. Operasi Dasar Masukan dan Keluaran. Operasi dasar masukan cin digunakan
untuk membaca data dari standart input atau menggunakan keyboard yang
diletakkan ke sebuah variabel. Manfaat adanya fasilitas pemasukan data dari
keyboard adalah memungkinkan untuk membuat program yang bisa membaca data
yang berubah-ubah. Fasilitas cin ini memudahkan pengguna karena pengguna cukup
mengkompilasi program ini sekali saja dan menjalankannya berkali-kali untuk
melakukan konversi nilai yang berbeda-beda (Kadir,1995).
Pemakaian cout digunakan untuk menampilkan data atau meletakkan suatu
informasi ke standart output. Pengaturan tampilan data menggunakan manipulator.
Pada penelitian ini menggunakan beberapa manipulator yang bisa dilihat pada tabel
I.7.
Tabel I.7. Manipulator
Manipulator Keterangan
Endl Menyisipkan newline dan mengirimkan isi penyangga
keluaran ke piranti keluaran.
setw(int n) Mengatur lebar field untuk suatu nilai sebesar n karakter.
setprecision(int n) Menyetel presisi bilangan pecahan sebesar n digit.
setiosflags(long f) Menyetel format yang ditentukan oleh f.
Pemakaian setiosflags digunakan untuk mengontrol sejumlah tanda format seperti
pada tampilan di tabel I.8.
Tabel I.8. Tanda format untuk tampilan setiosflags yang digunakan pada penelitian
ini
Nama Tanda Format Keterangan
ios::left Menyetel rata kiri terhadap lebar field yang diatur
melalui setw().
ios::fixed Memformat keluaran dalam bentuk notasi desimal.
25
I.6.6.4. Pernyatan Dasar. Ada beberapa pernyataan dasar yang digunakan dalam
perhitungan pada penelitian ini antara lain: pernyataan ungkapan, pernyataan
deklarasi atau definisi, pernyataan majemuk, pernyataan berkondisi, pernyataan
pengulangan. Pernyataan ungkapan merupakan ungkapan untuk penugasan nilai
terhadap variabel atau pemanggilan fungsi dan diakhiri titik koma(;). Pernyataan
deklarasi atau definisi digunakan untuk memperkenalkan nama variabel beserta tipe
datanya. Pernyataan majemuk merupakan sejumalah pernyataan yang berada di
kurung kurawal. Pernyataan kondisi yang digunakan yaitu pernyataan if dan
pernyataan else. Pernyataan if terdiri dari kondisi dan pernyataan. Kondisi digunakan
untuk menentukan pengambilan keputusan. Pernyataan dapat berupa sebuah
pernyataan ataupun pernyataan majemuk. Bagian ini dijalankan hanya kalau kondisi
bernilai benar. Pernyataan else selalu bersama pernyataan if atau tidak pernah berdiri
sendiri. Pernyataan for merupakan salah satu pernyataan pengulangan yang
disediakan pada C++. Pernyataan for berguna untuk mengulang pengeksekusian
terhadap satu atau sejumlah pernyataan. Penjelasan dan contoh setiap pernyataan bisa
dilihat pada tabel I.9. (Kadir,1995).
Tabel I.9. Penjelasan dan contoh dari pernyataan dasar.
Macam Pernyataan Susunan Contoh
Pernyataan Ungkapan Ungkapan; bil = 3;
Pernyataan deklarasi
atau definisi
tipe_data nama_variabel; int bil;
Pernyataan Majemuk {
pernyataan1;
pernyataan2;
}
{
bil = 3;
bil++;
}
Pernyataan Berkondisi if(kondisi)
pernyataan1;
else
pernyataan2;
if(bil % 2)
cout << “bil ganjil” << endl;
else
cout << “bil genap”<< endl;
Pernyataan
Pengulangan (for)
for(ungkapan1;
ungkapan2; ungkapan3)
pernyataan;
for(abjad = „A‟; abjad <=
„Z‟; abjad++)
cout << abjad;
26
I.6.6.5. Pengenalan Array. Array adalah kumpulan data bertipe sama yang
menggunakan nama sama. Antara satu variabel dengan variabel lain di dalam array
dibedakan berdasarkan subscript. Sebuah subscript berupa bilangan di dalam kurung
siku. Array ada bermacam-macam, antara lain: array berdimensi satu, array
berdimensi dua, dan array berdimensi banyak. Pendefinisian array terdiri dari tipe
data elemen array, nama array, dan jumlah elemen array. Contoh mendefinisikan
array seperti berikut:
float suhu[5];
Setelah didefinisikan, elemen array dapat diakses dengan bentuk seperti berikut:
nama_array[subscript]
I.6.6.6. Fungsi. Kadir(1995) menyatakan fungsi merupakan sejumlah pernyataan
yang dikemas dalam sebuah nama. Nama ini selanjutnya dapat dipanggil beberapa
kali di beberapa tempat dalam program. Fungsi menerima masukan yang disebut
argumen atau parameter. Masukan ini selanjutnya diproses oleh fungsi. Hasil akhir
fungsi disebut nilai balik(return value).
Sebuah fungsi bisa dipanggil jika sudah dideklarasikan. Deklarasi fungsi
dikenal dengan sebutan prototipe fungsi. Prototipe fungsi terdiri dari: nama fungsi,
tipe nilai balik fungsi, jumlah, tipe argumen, dan diakhiri dengan titik koma(;).
Kegunaan dari prototipe fungsi yaitu untuk menjamin tipe argumen yang dilewatkan
pada pemanggialan fungsi benar-benar sesuai.
Sebuah fungsi juga harus didefinisikan supaya bisa dipanggil dalam program.
Khusus untuk fungsi yang disediakan sistem, definisinya sudah ada dalam dalam
pustaka yang akan digabungkan dengan program ketika proses linking.
Ada fungsi yang tidak perlu memiliki nilai balik. Fungsi ini digunakan untuk
menampilkan suatu keterangan saja. Pada fungsi ini, tipe nilai balik fungsi yang
diperlukan adalah void. Pada fungsi tanpa nilai bali, tidak ada pernyataan return.
Tetapi, penggunaan return secara eksplisit juga diperbolehkan.
27
I.7 Hipotesis
Posisi area penelitian terhadap meridian tengah dan meridian standar pada
proyeksi UTM lebih jauh daripada posisi area penelitian terhadap meridian tengah
dan paralel standar proyeksi Polieder. Hal ini menyebabkan kemungkinan distorsi
sudut dan jarak lebih besar pada proyeksi UTM. Akan tetapi, pada proyeksi UTM
seluruh area penelitian terletak dalam satu zone sehingga tidak perlu melakukan
transformasi koordinat dan tidak terjadi perambatan kesalahan. Pada proyeksi
Polieder, cakupan area penelitian terletak dalam tiga LBD sehingga perlu melakukan
transformasi koordinat antar LBD. Berdasarkan letak area penelitian pada sistem
koordinat peta Polieder dan UTM, hipotesis penelitian yang dapat dikemukakan
dalam penelitian ini adalah Proyeksi Polieder lebih tepat digunakan untuk pemetaan
skala besar ( > 1:5000) di area penelitian ini daripada menggunakan proyeksi UTM.
Selanjutnya, hipotesis operasional dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1. Hipotesis awal (H0) : Nilai konvergensi meridian (γ), koreksi (t-T), dan
faktor skala (k) setiap titik-titik poligon simulasi pada sistem proyeksi
Polieder lebih besar dari pada sistem proyeksi UTM. Oleh karena itu,
pergeseran titik-titik poligon simulasi sebelum dan setelah dikoreksi
dengan konvergensi meridian, koreksi (t-T), dan faktor skala (k) pada
sudut dan jaraknya lebih besar pada sistem proyeksi Polieder daripada
sistem proyeksi UTM.
2. Hipotesis alternatif (Ha) : Nilai konvergensi meridian (γ), koreksi (t-T),
dan faktor skala (k) setiap titik-titik poligon simulasi pada sistem proyeksi
Polieder lebih kecil dari pada sistem proyeksi UTM. Oleh karena itu,
pergeseran titik-titik poligon simulasi sebelum dan setelah dikoreksi
dengan konvergensi meridian, koreksi (t-T), dan faktor skala (k) pada
sudut dan jaraknya lebih kecil pada sistem proyeksi Polieder daripada
sistem proyeksi UTM.