27
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta karena pemilihan sistem proyeksi peta berpengaruh pada ketelitian koordinat setiap titik di peta. Koordinat setiap titik-titik di permukaan bumi yang ditampilkan di dalam peta diperoleh ketika proses georeferensi. Proses georeferensi harus memperhatikan elipsoid yang akan digunakan dan proyeksi petanya. Pemilihan elipsoid harus didefinisikan saat melakukan georeferensi karena ada beberapa jenis elipsoid dan setiap elipsoid mempunyai nilai parameter yang berbeda sehingga dalam suatu produk peta pendefinisian elipsoid yang digunakan harus seragam. Sebuah peta merupakan gambaran permukaan di bidang datar sedangkan data yang sebenarnya disajikan merupakan informasi permukaan bumi berupa bidang tidak beraturan yang dimodelkan dengan bidang elipsoid. Ada beberapa jenis sistem proyeksi peta. Setiap sistem proyeksi peta memiliki karakteristik yang berbeda. Setiap karakteristik tersebut mempertimbangkan jarak, luas, bentuk atau sudut untuk dipertahankan akurasi datanya. Oleh karena itu, perlu memilih sistem proyeksi peta yang sesuai dengan tujuan dan jenis peta. Pada penelitian ini akan membahas tentang perbandingan dari sistem proyeksi peta Polieder dan UTM pada pembuatan peta skala besar ( > 1:5000). Alasan memilih sistem proyeksi Polieder karena sistem proyeksi ini pernah digunakan di Indonesia dan perubahan jarak dan sudut hampir tidak ada pada daerah yang terletak dalam satu lembar bagian derajat. Selanjutnya, sistem proyeksi UTM merupakan sistem proyeksi yang sering digunakan pada pembuatan berbagai jenis peta di Indonesia. Studi kasus pada penelitian ini yaitu area Selat Sunda pada letak geografis 5 0 50‟ 55.81” LS – 6 0 2‟ 38.96” LS dan 105 0 45‟ 48. 97” BT – 105 0 55‟ 54.42” BT. Pada proyeksi peta Polieder, area penelitian terletak pada tiga LBD yaitu LBD nomor 33/XXXVI, 34/XXXVI, dan 34/XXXVII. Oleh karena itu, pada proses perhitungan titik-titik poligon perlu dilakukan transformasi koordinat dari ketiga LBD tersebut

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

  • Upload
    vanliem

  • View
    229

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

karena pemilihan sistem proyeksi peta berpengaruh pada ketelitian koordinat setiap

titik di peta. Koordinat setiap titik-titik di permukaan bumi yang ditampilkan di

dalam peta diperoleh ketika proses georeferensi. Proses georeferensi harus

memperhatikan elipsoid yang akan digunakan dan proyeksi petanya. Pemilihan

elipsoid harus didefinisikan saat melakukan georeferensi karena ada beberapa jenis

elipsoid dan setiap elipsoid mempunyai nilai parameter yang berbeda sehingga

dalam suatu produk peta pendefinisian elipsoid yang digunakan harus seragam.

Sebuah peta merupakan gambaran permukaan di bidang datar sedangkan data yang

sebenarnya disajikan merupakan informasi permukaan bumi berupa bidang tidak

beraturan yang dimodelkan dengan bidang elipsoid.

Ada beberapa jenis sistem proyeksi peta. Setiap sistem proyeksi peta

memiliki karakteristik yang berbeda. Setiap karakteristik tersebut

mempertimbangkan jarak, luas, bentuk atau sudut untuk dipertahankan akurasi

datanya. Oleh karena itu, perlu memilih sistem proyeksi peta yang sesuai dengan

tujuan dan jenis peta.

Pada penelitian ini akan membahas tentang perbandingan dari sistem

proyeksi peta Polieder dan UTM pada pembuatan peta skala besar ( > 1:5000).

Alasan memilih sistem proyeksi Polieder karena sistem proyeksi ini pernah

digunakan di Indonesia dan perubahan jarak dan sudut hampir tidak ada pada daerah

yang terletak dalam satu lembar bagian derajat. Selanjutnya, sistem proyeksi UTM

merupakan sistem proyeksi yang sering digunakan pada pembuatan berbagai jenis

peta di Indonesia.

Studi kasus pada penelitian ini yaitu area Selat Sunda pada letak geografis 50

50‟ 55.81” LS – 60

2‟ 38.96” LS dan 1050 45‟ 48. 97” BT – 105

0 55‟ 54.42” BT.

Pada proyeksi peta Polieder, area penelitian terletak pada tiga LBD yaitu LBD nomor

33/XXXVI, 34/XXXVI, dan 34/XXXVII. Oleh karena itu, pada proses perhitungan

titik-titik poligon perlu dilakukan transformasi koordinat dari ketiga LBD tersebut

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

2

menjadi satu LBD supaya semua titik berada dalam satu sistem koordinat. Area

Penelitian terletak di zone 48 M pada proyeksi UTM dengan koordinat bujur

meridian tengah sebesar 1050. Penelitian ini akan membahas tentang perbandingan

dari nilai distorsi sudut dan jarak pada peta dengan sistem proyeksi Polieder dan

UTM. Parameter yang digunakan untuk membandingkan sistem proyeksi Polieder

dan UTM yaitu nilai distorsi sudut berupa konvergensi meridian (γ), koreksi (t-T),

dan nilai distorsi jarak berupa faktor skala (k). Perbandingan tersebut dilakukan

dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, posisi area penelitian yang

melalui 3 LBD pada proyeksi Polieder sehingga bisa menimbulkan perambatan

kesalahan saat perhitungan transformasi koordinat antar LBD. Akan tetapi, pada

proyeksi UTM area penelitian terletak dalam satu zone sehingga tidak perlu

melakukan transformasi koordinat. Kedua, jarak area penelitian dengan meridian

tengah dan paralel standar pada proyeksi Polieder lebih dekat daripada jarak area

penelitian dengan meridian tengah dan meridian standar proyeksi UTM.

I.2. Rumusan Masalah

Area penelitian tidak berada dalam satu LBD atau melalui tiga LBD pada

proyeksi Polieder sedangkan pada proyeksi UTM terletak dalam satu sistem zone.

Oleh karena itu, pada proyeksi Polieder perlu melakukan transformasi koordinat

sedangkan pada proyeksi UTM tidak perlu melakukan transformasi koordinat.

Selanjutnya, posisi area penelitian terhadap meridian tengah dan meridian standar

pada proyeksi UTM lebih jauh daripada posisi area penelitian terhadap meridian

tengah dan paralel standar proyeksi Polieder sehingga kemungkinan distorsi sudut

dan jarak lebih besar pada proyeksi UTM. Berdasarkan permasalahan tersebut maka

disusun pertanyaan penelitian:

1. Bagaimana perbandingan besar nilai koreksi konvergensi meridian(γ”),

koreksi (t-T), dan faktor skala(k) pada peta yang menggunakan sistem

proyeksi Polieder dan sistem proyeksi UTM?

2. Sistem proyeksi mana yang lebih baik digunakan antara proyeksi Polieder

dengan proyeksi UTM untuk pembuatan peta skala besar (> 1:5000) pada

studi kasus penelitian ini?

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

3

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah mengetahui besaran

nilai konvergensi merididan(γ”), koreksi (t-T) dan faktor skala (k) pada peta yang

bersistem Proyeksi Polieder dan yang bersistem Proyeksi UTM pada titik-titik

poligon simulasi di area Selat Sunda. Hasil perhitungan distorsi sudut dan jarak

tersebut digunakan sebagai dasar pemilihan sistem proyeksi yang tepat untuk

pembuatan peta skala besar (> 1:5000) atau peta teknik di area studi kasus penelitian.

I.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu bisa dijadikan sebagai

referensi untuk pemilihan sistem proyeksi peta yang tepat untuk pembuatan peta

teknik skala besar ( > 1:5000) di area penelitian Selat Sunda. Selain itu, bisa

digunakan sebagai referensi ilmu pengetahuan dalam bidang survei rekayasa.

I.5. Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian sudah ada yang membahas tentang proyeksi peta,

Penelitian yang berkaitan dengan tema tersebut misalnya yang sudah dilakukan oleh

Akbari (2001), Bayuaaji (2001), dan Koswara (1997).

Akbari (2001) mengkaji tentang perubahan luas akibat dari perubahan datum

geodetik dari datum Genuk ke datum ID-74 dan perubahan sistem proyeksinya yaitu

dari sistem proyeksi peta Polieder ke UTM. Sampel diambil pada zone 49 UTM

dengan batas garis lintang 60 40‟ LS dan 8

0 20‟ LS. Luasan pada peta Polieder

didapat setelah melakukan transformasi koordinat dari datum Genuk ke koordinat

Polieder. Luasan pada peta UTM didapat setelah melakukan transformasi datum

geodetik dari datum Genuk ke ID-74 dan transformasi koordinat dari ID-74 ke

koordinat UTM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selisih luas untuk areal yang

mendekati meridian tepi zone UTM akan semakin besar dan bertanda positif yang

berarti luasan pada sistem proyeksi UTM lebih besar dibandingkan luasan pada

sistem proyeksi Polieder. Sementara itu selisih luasan untuk areal yang berada di

tengah zone UTM mempunyai nilai negatif yang berarti luasan pada sistem proyeksi

UTM lebih kecil dibandingkan dengan luasan pada sistem proyeksi Polieder.

Penelitian Bayuaji (2001) mengkaji tentang perbedaan antara luasan yang

dihitung pada sistem proyeksi TM-30 hasil transformasi langsung dari koordinat

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

4

geodetik dengan luasan yang sama pada sistem proyeksi TM-30 hasil transformasi

tidak langsung dari koordinat UTM. Penelitian ini dilakukan dengan

mentransformasikan data persil yang bersistem proyeksi UTM ke dalam sistem

koordinat geodetik dan selanjutnya ditransformasikan ke sistem proyeksi TM-30.

Permasalahannya adalah luas persil hasil transformasi ini akan sama dengan luas

persil dalam sistem proyeksi TM-30

(hasil transformasi langsung dari koordinat

geodetik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara luas yang

dihitung pada sistem proyeksi TM-30 hasil transformasi langsung dari koordinat

geodetik dengan luas yang dihitung pada sistem proyeksi TM-30 hasil transformasi

tidak langsung dari koordinat UTM. Hal ini ditunjukkan dengan perbedaan luas yang

bernilai 0.0000 m2 untuk setiap sampel.

Koswara (1997) meneliti tentang pengaruh reduksi jarak pada pengadaan

titik dasar teknik kadastral orde empat dalam sistem proyeksi TM-30. Penelitian ini

dilakukan dengan melakukan pengukuran poligon yang berlokasi di desa Sidoarum,

Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman Yogyakarta. Koordinat titik-titik poligon

dihitung dengan memperhitungkan reduksi dan tanpa memperhitungkan reduksi

proyeksi TM-30. Hasil penelitian menunjukkan harga koordinat yang dihasilkan

dengan memperhitungkan reduksi dan tanpa memperhitungkan reduksi proyeksi TM-

30 mempunyai kesalahan linier koordinat lebih kecil dari 1:6000 (memenuhi

spesifikasi teknis BPN). Data hasil penelitian yang dilakukan memberikan indikasi

bahwa pengabaian reduksi sudut dan jarak tidak berpengaruh terhadap harga

koordinat titik-titik dasar teknik orde 4.

I.6. Landasan Teori

Dalam bab ini diuraikan teori-teori yang digunakan dalam menyelesaikan

permasalahan dalam penelitian ini.

I.6.1. Elipsoid WGS84

Sistem koordinat WGS84 merupakan sistem referensi terestris

(CTRS)(Anam, 2005). EUROCONTROL dan IfEN (1998) menyatakan bahwa origin

dan salib sumbu Sistem Koordinat WGS 84 didefinisikan sebagai berikut:

1. pusat massa bumi sebagai origin,

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

5

2. sumbu Z yaitu arah Conventional Terrestrial Pole (CTP) sebagai

pergerakan kutub yang didefinisikan oleh BIH,

3. sumbu X yaitu perpotongan bidang meridian referensi WGS84 dengan

bidang ekuator CTP (meridian referensi merupakan meridian nol yang

didefinisikan oleh BIH),

4. sumbu Y melengkapi sistem koordinat tangan kanan, Earth Centred

Earth Fixed (ECEF) orthogonal, diukur pada bidang ekuator CTP dan 900

ke timur dari sumbu X.

Ilustrasi origin dan salib sumbu sistem koordinat WGS84 bisa dilihat pada

gambar I.1. Parameter-parameter utama WGS84 yang menggambarkan

bentuk elipsoid bumi dijelaskan pada tabel I.1.

Gambar I.1. Definisi sistem koordinat WGS 1984 (EUROCONTROL-ifEN

1998)

Tabel I.1. Parameter-parameter utama WGS84

Parameter Nama WGS84

Setengah sumbu panjang A 6378137

Penggepengan F 1/298.257223563

Kecepatan sudut rotasi bumi 7.292115 x 10-5

rad s-1

Konstanta gravitasi bumi GM 398600.5 km3 s

-2

Koefisien harnonik potensial

gravitasi orde 2

20

- 484.16685 x 10-6

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

6

I.6.2. Metode Gauss Mid Latitude

Rapp (1991) menyatakan bahwa Nilai koordinat geodetis suatu titik pada

bidang elipsoid dinyatakan dalam bentuk lintang dan bujur. Misalnya, diberikan data

koordinat geodetis suatu titik sebagai titik awal, data jarak dan azimut ke titik kedua.

Kemudian, perlu menghitung koordinat geodetis titik kedua. Permasalahan ini

didefinisikan sebagai direct geodetic problem. Selanjutnya, Inverse geodetic problem

didefinisikan sebagai metode untuk menghitung azimut dari titik pertama ke titik

kedua, azimut dari titik kedua ke titik petama, dan jarak kedua titik dengan data

koordinat titik pertama dan kedua yang sudah diketahui. Pada penelitian ini

menggunakan metode Gauss Mid Latitude untuk menghitung azimut awal dan akhir

karena jarak kedua titik kurang dari 60 km. Prinsip metode Gauss Mid-Latitude yaitu

mengganti segitiga polar di bidang elipsoid dengan sebuah segitiga bola dengan jari-

jari kelengkungan vertikal utama rata-rata di antara titik-titiknya. Gambar segitiga

elipsoid dan segitiga bola bisa dilihat pada gambar I.2. Pada gambar I.2., segitiga

sebelah kiri merupakan gambar segitiga di bidang elipsoid dan segitiga sebelah

kanan merupakan segitiga di bidang bola.

Gambar I.2. Penyelesaian segitiga polar dengan metode Gauss Mid-Lattitude (Rapp

1991)

Perhitungan azimut dari titik pertama ke titik kedua (α12) di bidang elipsoid dengan

metode Gauss Mid-Lattitude melalui beberapa langkah. Pertama, menghitung lintang

rata-rata titik satu dan titik dua (φm) dengan asumsi bahwa lintang di bidang elipsoid

sama dengan di bidang bola. Kedua, menghitung jari-jari kelengkungan vertikal

utama pada lintang rata-rata (Nm), jari-jari kelengkungan meridian (Mm), beda lintang

titik satu dan dua pada bidang bola (Δφ‟), beda bujur titik satu dan dua pada bidang

bola (Δλ‟), dan besaran-besaran lain dengan persamaan-persamaan sebagai berikut:

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

7

................................................................................................... (I.1)

............................................................................................... (I.2)

............................................................................................ (I.3)

..................................................................................................... (I.4)

.......................................................................................................... (I.5)

⁄ ⁄ ............................................................................ (I.6)

⁄ ............................................................................... (I.7)

.................................................................................................. (I.8)

⁄ .......................................................................................... (I.9)

⁄ .................................................................... (I.10)

........................................................................................... (I.11)

⁄ ⁄ .............................................................................. (I.12)

I.6.3. Distorsi Sudut dan Jarak

Distorsi sudut pada penelitian ini berupa konvergensi meridian (γ), koreksi (t-

T) dan distorsi jarak berupa faktor skala (k). Penjelasan tentang konvergensi

meridian, koreksi (t-T), dan faktor skala bisa dilihat pada gambar I.3. dan gambar I.4.

Gambar I.3. Konvergensi meridian dan koreksi (t-T) (Vanicek-Krakiwsky 1982)

-

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

8

Vanicek dan Krakiwsky (1982) menyatakan bahwa konvergensi meridian (γ)

merupakan sudut antara garis singgung dari proyeksi garis meridian dengan y-axis

pada bidang proyeksi. Penelitian ini menggunakan sistem proyeksi konform sehingga

azimut di bidang elipsoid (αE) sama dengan azimut di bidang proyeksi (α

M). Azimut

di bidang proyeksi yaitu sudut di antara garis singgung dari proyeksi garis meridian

dengan garis singgung dari proyeksi garis geodesik. Azimut grid dari proyeksi garis

geodesik (T) adalah sudut di antara utara grid (yM

-axis) dengan garis singgung

proyeksi garis geodesik. Azimut grid tali busur (t) yaitu sudut di antara utara grid

dengan tali busur PiPj.

Ada beberapa hitungan untuk mengkoreksi distorsi sudut dan jarak sebagai

berikut :

1. Azimut grid proyeksi garis geodesik (T) diperoleh dari mengurangi azimut di

bidang elipsoid dengan nilai konvergensi meridian. Hal ini bisa dilihat pada

gambar I.3.

.......................................................................................... (I.13)

Gambar I.4. Reduksi sudut ukuran dan sudut jurusan horisontal (Vanicek-

Krakiwsky 1982)

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

9

2. Sesuai dengan gambar I.4. terlihat bahwa untuk memperoleh nilai azimut grid

tali busur ij (tij) perlu dilakukan pengurangan Tij dengan koreksi (t-T).

.................................................................................. (I.14)

Sudut jurusan di bidang datar (dP) diperoleh dari pengurangan sudut jurusan

di bidang elipsoid (dE) dengan koreksi (t-T).

............................................................................ (I.15)

3. Sesuai pada gambar I.4., sudut pada bidang elipsoid perlu dikoreksi supaya

memeproleh nilai sudut pada bidang proyeksi dengan persamaan berikut ini

.................................................... (I.16)

4. Panjang proyeksi garis geodesik diperoleh dengan mengalikan panjang garis

geodesik pada bidang elipsoid dengan faktor skala (k).

................................................................................... (I.17)

I.6.4. Poligon

Basuki (2006) menyatakan bahwa poligon berasal dari kata poli yang berarti

banyak dan gonos yang berarti sudut. Namun arti yang sebenarnya adalah rangkaian

titik-titik secara berurutan sebagai kerangka dasar pemetaan.

Poligon ada bermacam-macam dan dibedakan berdasarkan pada kriteria

tertentu. Pada skripsi ini menggunakan jenis poligon terbuka terikat sempurna.

Persamaan umum penentuan koordinat suatu titik jika titik tersebut diikatkan

ke titik lain yang sudah diketahui koordinatnya sebagai berikut :

..................................................................................... (I.18)

...................................................................................... (I.19)

Basuki (2006) menyatakan sesuai teori kesalahan dalam pengukuran jarak

dan sudut, semakin jauh dari titik ikat, kesalahan akan semakin besar. Oleh karena

itu agar kesalahan tersebut tidak merambat, akhir dari poligon perlu dikontrol, baik

berupa kontrol koordinat maupun kontrol jurusannya (azimutnya). Poligon yang

demikian dinamakan poligon terbuka terikat sempurna.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

10

Gambar I.5. Poligon terbuka terikat sempurna

Gambar I.5. merupakan gambar poligon terbuka terikat sempurna. Sudut-

sudut ukuran dipakai untuk mencari sudut jurusan atau azimut sisi poligon, yang

selanjutnya dengan data jarak digunakan untuk mencari koordinat. Maka akan dicari

sudut jurusan atau azimut semua sisi poligon terlebih dahulu. Persamaan-persamaan

berikut merupakan contoh untuk menghitung azimut sisi-sisi poligon:

– ................................................................................. (I.20)

Atau

( ) ( ) ......................... (I.21)

Atau secara umum dapat ditulis :

....................................................................... (I.22)

Azimut akhir dan azimut awal dihitung dari koordinat titik-titik akhir dan

titik-titik awal, pada gambar I.5. titik B,Q dan titik A,P. Azimut awal dan azimut

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

11

akhir suatu poligon terbuka terikat sempurna pada bidang elipsoid dihitung

menggunakan metode Gauss’s mid latitude yang sudah dijelaskan pada subbab I.6.2.

Tetapi, dalam kenyataannya pada perhitungan, ukuran sudut-sudut dihinggapi

kesalahan sehingga menjadi :

............................................................ (I.23)

merupakan kesalahan penutup sudut dan dikoreksikan kepada setiap sudut ukuran

dengan prinsip sama rata. Untuk mendapatkan syarat sisi poligon yang harus

dipenuhi, proyeksikan sisi-sisi poligon tersebut pada sumbu X(menjadi d‟) dan pada

sumbu Y (menjadi d”)

dan ............................................................................................. (I.24)

dan .............................................. (I.25)

Jumlah d sin α harus sama dengan selisih absis titik akhir dan awal poligon.

Demikian pula, jumlah d cos α harus sama dengan selisih ordinat titik akhir dan awal

poligon. Dalam kenyataannya :

.................................................................... (I.26)

..................................................................... (I.27)

merupakan kesalahan penutup absis dan merupakan kesalahan penutup

ordinat. Kesalahan penutup jarak(linier) dinamakan :

√ ................................................................................................ (I.28)

Kesalahan dan dikoreksikan pada setiap penambahan absis (d sin α) dan

penambahan ordinat (d cos α) dengan perbandingan lurus dengan jarak-jarak sisi

poligon atau jika ditulis dengan persamaan matematis sebagai berikut :

.................................................................................................... (I.29)

dan

................................................................................................. (I.30)

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

12

Langkah penghitungan koordinat titik-titik poligon secara sistematis adalah sebagai

berikut :

1. Jumlahkan sudut-sudut hasil ukuran. Hitung dan dari koordinat

2 titik ikat akhir dan 2 titik ikat awal. Dari perhitungan azimut tersebut

digunakan untuk menghitung kesalahan penutup sudut ( . Kemudian

melakukan koreksi kesalahan penutup sudut ( pada masing-masing sudut

hasil ukuran.

2. Menghitung azimut dari setiap sisi poligon dan dimulai dari azimut awal

dengan aturan:

............................................................... (I.31)

Apabila peritungannya benar maka azimut akhir akan sama dengan azimut

akhir yang dihitung dari nilai koordinat 2 titik ikat di akhir.

3. Sudut azimut yang diperoleh dari langkah 2 di atas digunakan untuk

menghitung d sin α dan d cos α. Kemudian melakukan perhitungan selisih

antara dan serta dan . Selanjutnya, menghitung fx

dan fy serta mengkoreksikan pada masing-masing d sin α dan d cos α

sebanding dengan jarak-jaraknya.

I.6.5. Proyeksi Peta

Proyeksi peta adalah metode penyajian permukaan bumi pada suatu bidang

datar dari koordinat geografis pada bola atau koordinat geodetis pada elipsoid.

Permukaan bumi fisis tidak teratur sehingga dipilih suatu bidang yang teratur yang

mendekati bidang fisis bumi yaitu bidang elipsoid. Bidang tersebut merupakan suatu

bidang lengkung yang dapat digunakan sebagai bidang referensi hitungan untuk

menyatakan posisi titik-titik di atas permukaan bumi dalam suatu sistem koordinat

geodetis, yaitu lintang (φ) dan bujur (λ) (Prihandito, 2010).

I.6.5.1. Proyeksi Polieder. Prihandito (2010) menyatakan bahwa sistem proyeksi

polieder merupakan sistem proyeksi peta yang menggunakan bidang proyeksi berupa

kerucut, normal, tangent, dan konform. Bidang kerucut proyeksi ini menyinggung

bola bumi (tangent) pada salah satu paralel yang disebut sebagai paralel tengah atau

paralel standar. Paralel tengah atau paralel standar diproyeksikan secara ekuidistan

sehingga faktor skalanya (k) = 1. Luas area satu lembar bagian derajat proyeksi ini

yaitu 20‟ x 20‟(sekitar 37 km x 37 km). Jadi pada proyeksi polieder, bumi dibagi

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

13

dalam jalur-jalur yang dibatasi oleh dua garis paralel dengan beda lintang sebesar 20‟

atau dengan kata lain tiap jalur selebar 20‟ diproyeksikan pada kerucut tersendiri.

Kerucut-kerucut tersebut menyinggung bola bumi setiap lintang φ = ± 10‟, ± 30‟ dan

± 50‟. Penjelasan tentang proyeksi Polieder dijelaskan pada gambar I.6.

Gambar I.6. Proyeksi Polieder (Muryamto,1994)

Setiap lembar bagian derajat proyeksi polieder mempunyai sistem koordinat sendiri,

dengan ketentuan sebagai berikut :

1. sumbu X : paralel tengah,

2. sumbu Y : meridian tengah,

3. titik nol : perpotongan meridian dan paralel tengah yang disebut pusat lembar

bagian derajat (φ0 , λ0),

4. absis X : positif, di sebelah Timur meridian tengah,

5. absis Y : positif, di sebelah Utara paralel tengah.

I.6.5.2. Transformasi Koordinat Geodetis (φ,λ) ke Koordinat Polieder(X,Y).

Muryamto (1994) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu dilakukan

sebelum melakukan proses transformasi dari koordinat geodetis ke koordinat

Polieder. Pertama, memperhatikan nomor LBD dan koordinat pusat lembar bagian

derajat (φ0,λ0) dari titik yang akan ditransformasi. Kedua, melakukan konversi nilai λ

suatu titik dari meridian Greenwich (00) ke meridian Jakarta (106

0 48‟ 27.79”).

Ketiga, memperhatikan letak φ dan λ titik yang akan ditransformasi (φ terletak di

sebelah utara atau selatan ekuator dan λ di sebelah barat atau timur meridian Jakarta).

Selanjutnya, memilih elipsoid yang dipakai karena setiap elipsoid mempunyai nilai

parameter yang berbeda. Penelitian ini menggunakan elipsoid WGS84.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

14

Anam (2005) menyatakan bahwa cara menentukan L0,B0 dari nomor LBD

proyeksi Polieder dan sebaliknya menggunakan Tabel Polieder pada Lampiran A.

Angka biasa (1, 2, dst) menunjukkan argumen atau nomor untuk menentukan

koordinat bujur dari Jakarta (Bjkt = 1060 48‟ 27”.79 BT). Angka Romawi (I, III, dst)

menunjukkan argumen atau nomor menentukan koordinat lintang dari ekuator.

Pembagian nomor LBD peta Indonesia skala 1:100000 bisa dilihat pada gambar I.7.

Gambar I.7. Penomoran LBD peta Indonesia skala 1:100000 (Muryamto, 1994)

Daerah penelitian ini terletak pada 50 50‟ 55.81” LS – 6

0 2‟ 38.96” LS

sehingga posisi koordinat pusat lembar bagian derajat (φ0,λ0) daerah yang diteliti

berada di sebelah selatan ekuator. Oleh karena itu, persamaan yang digunakan untuk

mencari koordinat (X,Y) pada sistem koordinat Polieder yaitu

X = [A] Δλ – [C] Δλ Δφ ........................................................................... (I.32)

Y = - [B] Δφ - [D] Δλ2

- [1] [D] Δφ2 - [2] Δφ

3 ........................................ (I.33)

Pada persamaan (I.32) dan (I.33) terdapat besaran-besaran yang harus

dihitung nilainya, penjelasan besaran-besaran tersebut sebagai berikut:

[A] = N0 cos φ0 sin 1” ............................................................................... (I.34)

[B] = M0 sin 1” ........................................................................................ (I.35)

[C] = M0 sin φ0 sin2 1” .......................................................................... (I.36)

[D] =

....................................................................... (I.37)

[1] = 3 e2 (1 – e

2) ..................................................................................... (I.38)

[2] = ( )

......................................................................... (I.39)

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

15

Δφ = (φ – φ0)” .......................................................................................... (I.40)

Δλ = (λ – λ0)” .......................................................................................... (I.41)

Pada besaran [A], [B], [C], [D], [1],[2] terdapat besaran , , yang

harus dihitung nilainya, sebagai berikut

= ........................................................................................... (I.42)

=

................................................................................ (I.43)

=

................................................................................ (I.44)

I.6.5.3. Transformasi Koordinat dari Satu LBD ke LBD Lain Proyeksi Polieder.

Penelitian ini perlu melakukan proses transformasi koordinat dari satu LBD (φ0,λ0)

ke LBD yang berdekatan (φ0‟,λ0‟) karena titik-titik poligon penelitian terletak pada

tiga LBD yang berbeda. Muryamto (1994) menyatakan bahwa untuk melakukan

transformasi dari satu LBD ke LBD lain dengan pusat LBD yang kedua (φ0‟,λ0‟)

terletak di sebelah selatan ekuator maka menggunakan persamaan (I.45) dan (I.46)

untuk menghitung transformasinya.

– .............................................. (I.45)

Y‟ = Y + Q – [α] X + [β] Y + [δ] X2

– [δ] Y2

........................................... (I.46)

P dan Q merupakan koordinat Polieder dari pusat lembar bagian derajat pertama

terhadap pusat lembar bagian derajat kedua yang dihitung dengan persamaan (I.32)

dan (I.33). Pada persamaan X‟ dan Y‟ terdapat besaran-besaran yang harus dihitung

sebagai berikut

[α] = Δλ sin sin 1” .............................................................................. (I.47)

[β] = ½ (1 - )Δ sin 1” ........................................................................ (I.48)

[đ] =

.............................................................................................. (I.49)

[δ] = ½ [đ] ................................................................................................. (I.50)

Δφ = .......................................................................................... (I.51)

Δλ = ............................................................................................ (I.52)

I.6.5.4. Transformasi Koordinat Polieder(X,Y) ke Koordinat Geodetis (φ,λ).

Muryamto(1994) menyatakan bahwa langkah-langkah melakukan transformasi

koordinat Polieder ke koordinat Geodetis sebagai berikut:

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

16

1. menentukan nomor lembar bagian derajat titik yang akan ditransormasi

sehingga bisa diketahui lintang dan bujur pusat lembar bagian derajat (φ0,λ0),

2. menentukan letak titik nol bagian derajat di sebelah Utara atau Selatan

ekuator,

3. menentukan elipsoid referensi yang dipakai,

4. melakukan perhitungan dengan menggunakan persamaan:

a. Jika letak titik nol bagian derajat di sebelah Utara ekuator:

Δλ = [A‟] X + [C‟] X Y ................................................................. (I.53)

Δφ = [B‟] Y – [D‟] X2 .................................................................... (I.54)

b. Jika letak titik nol bagian derajat di sebelah Selatan ekuator:

Δλ = [A‟] X – [C‟] X Y ................................................................. (I.55)

Δφ = - [B‟] Y – [D‟] X2 ................................................................. (I.56)

dalam hal ini:

............................................................. (I.57)

..................................................................... (I.58)

............................................. (I.59)

................................................. (I.60)

Nilai Δφ dan Δλ yang diperoleh dalam satuan detik dan bisa bernilai

positif atau negatif sehingga untuk mencari koordinat geodetisnya:

............................................................................... (I.61)

................................................................................. (I.62)

I.6.5.4. Hitungan Konvergensi Meridian (γ), Koreksi (t – T), dan Faktor Skala (k)

pada Proyeksi Polieder. Setiap titik yang berada di bidang elipsoid dan diproyeksikan

pada bidang datar akan mengalami reduksi atau perbedaan sudut dan jarak antar

titik-titik di bidang lengkung dengan di bidang datar. Distorsi sudut dan jarak

tersebut berupa konvergensi meridian (γ), koreksi (t – T), dan faktor skala (k).

Persamaan-persamaan untuk mencari nilai konvergensi meridian (γ), koreksi (t-T),

faktor skala (k) sebagai berikut:

γ" = Δλ” sinφ0 ........................................................................................... (I.63)

dengan Δλ = λi – λ0 ............................................................................................ (I.64)

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

17

(t – T)12 =

(X2 – X1) (2Y1 + Y2) ........................................................ (I.65)

(t – T)21 = -

(X2 – X1) (Y1 + 2Y2) ....................................................... (I.66)

R0 = √ .............................................................................................. (I.67)

dihitung dengan argumen φ0

k = 1 +

................................................................................ (I.68)

Penggunaan persamaan (I.63) untuk menghitung konvergensi meridian (γ)

karena titik yang akan dihitung nilai konvergensi meridiannya diketahui koordinat

geodetisnya. Selanjutnya, perhitungan faktor skala (k) menggunakan persamaan

(I.68) dikarenakan koordinat titik-titik yang akan dihitung faktor skalanya dalam

sistem koordinat proyeksi peta Polieder.

I.6.5.5. Proyeksi UTM. Proyeksi UTM merupakan proyeksi peta yang menggunakan

bidang proyeksi berupa silinder, transversal dan konform. Gambar proyeksi UTM

bisa dilihat pada gambar I.8. Bidang silinder proyeksi ini memotong bola bumi

(secant) pada dua buah garis meridian yang dinamakan meridian standar. Pada garis

meridian standar besar faktor skalanya (k) = 1. Proyeksi UTM membagi bumi

menjadi beberapa zone. Setiap zone mempunyai ukuran 60 bujur x 8

0 lintang dan

mempunyai meridian tengah sendiri dengan besar faktor skala (k0) = 0,9996. Besar

faktor skala (k) bervariasi, yaitu antara meridian tengah (500.000 mT) sampai

180.000 m sebelah barat (garis grid 320.000 mT) dan timur (garis grid 680.000 mT)

mempunyai harga dari 0,9996 sampai 1. Di luar batas grid 320.000 mT dan 680.000

mT mempunyai faktor skala lebih dari 1. Faktor skala pada meridian tengah adalah

yang terkecil kemudian semakin membesar pada arah yang menuju ke meridian

standar atau semakin menjauhi meridian tengah (Prihandito, 1989).

Gambar I.8. Proyeksi UTM (Prihandito, 2010)

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

18

I.6.5.6. Transformasi Koordinat Geodetis (φ,λ) ke Koordinat UTM(X,Y). Area

penelitian ini terletak pada zone 48 M yang berada pada bujur 1020-108

0 BT dan

berada pada lintang 00 – 8

0 LS. Muryamto(1994) menyatakan ada beberapa hal yang

perlu diperhatikan sebelum melakukan transformasi koordinat geodetis ke koordinat

UTM. Pertama, memperhatikan nilai bujur titik yang akan ditransformasikan dari

meridian greenwich atau Jakarta. Untuk proyeksi UTM, nilai bujur dihitung dari

Meridian Greenwich sehingga untuk Meridian Jakarta harus ditambah dengan 1060

48‟ 27”.79. Kedua, menentukan zone suatu titik berdasarkan Meridian

Tengahnya(B0). Ketiga, memperhatikan letak lintang(φ) titik tersebut di sebelah

utara atau selatan ekuator dan bujurnya terletak di sebelah barat atau timur Meridian

Tengahnya. Selanjutnya, memperhatikan elipsoid referensi yang dipakai dan

ketelitian yang yang diminta untuk menentukan banyaknya desimal dari p. Untuk

melakukan transformasi koordinat suatu titik dari sistem koordinat geodetis ke sistem

koordinat UTM menggunakan persamaan-persamaan sebagai berikut

X‟ = T‟ = [IV] p + [V] p3 + [B5] p

5 ......................................................... (I.69)

Y‟ = U‟ = [I] + [II] p2 + [III] p

4 + [A6] p

6 ............................................... (I.70)

Penelitian ini terletak di sebelah selatan ekuator dan sebelah timur meridian tengah

sehingga untuk menghitung koordinat X dan Y menggunakan persamaan (I.71) dan

(I.72)

Y = U = 10.000.000 m – U‟ .................................................................... (I.71)

Selanjutnya, jika titik terletak di sebelah timur Meridian Tengah maka

X = T = 500.000 m + T‟ ....................................................................... (I.72)

Persamaan untuk mencari nilai X‟ dan Y‟ tersebut terdapat besaran-besaran

yang harus dihitung nilainya terlebih dahulu. Persamaan-persamaan untuk

menghitung nilai persamaan-persamaan tersebut sebagai berikut:

p = 0,0001 x (λi – B0) ................................................................................ (I.73)

[I] = k0 . m ................................................................................................. (I.74)

[II] = k0. N. sin(φ) . cos(φ) . sin21” . 10

8 / 2 .............................................. (I.75)

[III] = k0. N. sin(φ). Cos3(φ). sin

4 1”. 10

16(5 – tg

2(φ) + 9. e‟

2. Cos

2(φ) + 4. e‟

4.

Cos4(φ) ...................................................................................................... (I.76)

[IV] = k0. N. cos(φ). sin 1”. 104 ............................................................... (I.77)

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

19

[V] = k0. N. cos3(φ). sin

31”. 10

12. (1 – tg

2(φ) + e‟2. Cos

2(φ)) / 6 ...........(I.78)

[A6] = k0. N. sin6 1”. sin(φ). cos

5(φ). (61 – 58. Tg

2(φ) + tg

4(φ) + 270. e‟

2.

cos2(φ) – 330. e‟

2. sin

2(φ)). 10

24 / 720 ...................................................... (I.79)

[B5] = k0. N. cos5(φ). sin

5 1”. (5 – 18 tg

2(φ) + tg

4(φ) + 14.e‟

2. cos

2(φ) – 58.

e‟2. sin

2(φ)). 10

20 / 120 .............................................................................. (I.80)

dalam hal ini

m = a(1 – e2) [

-

(sin(2φi) – sin(2Φ0)) +

(sin(4φi – sin(4Φ0)) -

(sin(6φi) - sin(6Φ0)) +

(sin(8φi) – sin(8Φ0)) -

(sin(10φi) – sin(10Φ0))]

.......................................................................................................... (I.81)

dengan

A =

.............. (I.82)

B =

....................... (I.83)

C =

.................................... (I.84)

D =

................................................ (I.85)

E =

................................................................. (I.86)

F =

................................................................................... (I.87)

I.6.5.7. Transformasi Koordinat UTM(X,Y) ke Koordinat Geodetis (φ,λ) . Persamaan

untuk menghitung nilai lintang(φ) suatu titik dari koordinat UTM(X,Y) sebagai

berikut:

.... (I.88)

(

) (

)

(

) .................................................................................... (I.89)

................................................................. (I.90)

............................ (I.91)

.......................................................................................................... (I.92)

.......................................................................................................... (I.93)

..................................................................................................... (I.94)

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

20

....................................................................................................... (I.95)

................................................................................... (I.96)

.................................................................... (I.97)

...................................................................................................... (I.98)

I.6.5.8. Rumus Koreksi Konvergensi Meridian(γ) , Koreksi Horisontal(t – T), Faktor

Skala(k). Setiap bidang lengkung yang diproyeksikan ke bidang datar akan

mengalami distorsi baik sudut maupun jaraknya. Contohnya bidang permukaan bumi

berupa elipsoid yang diproyeksikan ke bidang datar berupa silinder akan mengalami

distorsi berupa konvergensi meridian (γ), koreksi (t-T) dan faktor skala(k).

Persamaan yang digunakan untuk menghitung konvergensi meridian (γ), koreksi (t-

T) untuk titik di belahan bumi selatan dan faktor skala(k) sebagai berikut:

γ” = [XII] p – [XIII] p3 + [C5] p

5 .............................................................. (I.99)

(t – T)12 = - (U2‟ – U1‟) (2T1‟ + T2‟) [XVIII] x 6,8755 . 10-8

.......... (I.100)

(t – T)21 = - (U1‟ – U2‟) (T1‟ + 2T2‟) [XVIII] x 6,8755 . 10-8

................. (I.101)

k = k0 { 1 + [XVIII] q2 + [XIX] q

4 } ........................................................ (I.102)

dalam hal ini

.................................................................................. (I.103)

....................................................................................... (I.104)

[XII] = sin(φ) . 104 ................................................................................... (I.105)

[XIII] = sin(φ). cos2(φ). sin

2 1”. (1+ 3e

‟2 cos

2(φ) + 2e‟

4 cos

4(φ)). 10

12/3 (I.106)

[XVIII] = (1 + e‟2.cos

2(φ)). 10

12 / (2. k0

2.N

2) .......................................... (I.107)

[XIX] = 1024

/ (24. k04. N

4) ..................................................................... (I.108)

[C5] = sin(φ). cos4(φ). sin

4 1” (2-tg2

(φ))1020

/15 .................................... (I.109)

I.6.6. Bahasa Pemrograman C++

C++ diciptakan oleh Bjarne Stroustrup, Laboratorium Bell, AT&T, pada

tahun 1983. Bahasa ini bersifat kompatibel dengan bahasa pendahulunya yaitu

bahasa C. Pada mulanya C++ disebut “a better C”. Nama C++ sendiri diberikan oleh

Rick Mascitti pada musim paas 1983. Adapun tanda ++ berasal dari nama operator

penaikan pada bahasa C(Kadir, 1995).

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

21

I.6.6.1. Tipe Data. Ada beberapa tipe data pada C++ antara lain: char, int, short,

long, float, double, dan long double. Tipe data yang berhubungan dengan bilangan

bulat adalah char, int, short, dan long. Sedangkan lainnya berhubungan dengan

bilangan pecahan. Ukuran memori dari tipe data berbeda-beda. Hal ini bisa dilihat

pada tabel I.2.

Tabel I.2. Tipe data pada C++

Tipe data Ukuran

Memori Jangkauan Nilai

Jumlah Digit

Presisi

Char 1 byte -128 hingga +127 -

Int 2 byte -32768 hingga +32767 -

Long 4 byte -2.147.438.648 hingga 2.147.438.647 -

Float 4 byte 3.4 x 10-38

hingga 3.4 x 10+38

6-7

Double 8 byte 1.7 x 10-308

hingga 1.7 x 10+308

15-16

long double 10 byte 3.4 x 10-4932

hingga 1.1 x 10+4932

19

I.6.6.2. Operator dan Ungkapan. Kadir (1995) menyatakan bahwa operator

merupakan simbol yang biasa dilibatkan dalam program untuk melakukan sesuatu

operasi atau manipulasi. Ungkapan (ekspresi) dalam C++ dapat berupa pengenal,

konstanta, atau di antara kombinasi elemen di atas dengan operator. Proses hitungan

penelitian ini menggunakan bermacam-macam operator meliputi: operator

aritmatika, operator penurunan (decrement) dan penaikan (increment), operator

bitwise (manipulasi bit), operator majemuk, dan operator relasi. Selain itu, proses

perhitungan juga menggunakan fungsi pustaka.

Operator aritmatika ada dua jenis yaitu operator binary dan operator unary.

Operator binary terdiri dari operator perkalian(*), pembagian(/), modulus(%),

penjumlahan(+), dan pengurangan(-). Operator unary ada dua yaitu tanda minus(-)

dan tanda plus(+). Operator perkalian(*), pembagian(/), dan modulus(%) mempunyai

prioritas yang sama. Operator penjumlahan(+) dan pengurangan(-), keduanya juga

mempunyai prioritas yang sama. Jika dalam satu baris terdapat lebih dari satu

operator mempunyai prioritas yang sama, maka operator yang terletak di sebelah kiri

dalam satu ungkapan yang diutamakan dikerjakan terlebih dahulu. Selanjutnya,

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

22

Operator perkalian(*), pembagian(/), dan modulus(%) lebih dahulu dikerjakan dari

pada operator penjumlahan(+) dan pengurangan(-) karena mempunyai prioritas lebih

tinggi. Prioritas pengerjaan bisa dirubah dengan menggunakan tanda kurung ( ).

Operator penurunan (++) dan penaikan (--) digunakan pada operand bertipe

bilangan bulat. Operator penaikan digunakan untuk menaikkan nilai variabel sebesar

satu, sedangkan operator penurunan dipakai untuk menurunkan nilai variabel sebesar

satu. Penempatan operator terhadap variabel dapat dilakukan di muka atau di

belakangnya.

Operator bitwise digunakan untuk keperluan memanipulasi data dalam bentuk

bit. Ada enam buah operator bitwise dalam C++ yang bisa dilihat pada tabel I.3.

Tabel I.3. Operator bitwise

Operator Keterangan

<< Geser bit ke kiri

>> Geser bit ke kanan

& Bitwise AND (dan)

| Bitwise OR (atau)

^ Bitwise XOR

~ Bitwise NOT (komplemen)

Penggunaan Operator majemuk dimaksudkan untuk memendekkan penulisan

operasi penugasan. Daftar seluruh kemungkinan operator kombinasi dalam suatu

pernyataan dan pernyataan padanannya bisa dilihat pada tabel I.4.

Tabel I.4. Operator majemuk

Operator Contoh Keterangan

+= x += 2; x = x + 2;

-= x -= 2; x = x – 2;

*= x *= 2; x = x * 2;

/= x /= 2; x = x / 2;

%= x %= 2; x = x % 2;

<<= x <<= 2; x = x << 2;

>>= x >>= 2; x = x >> 2;

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

23

&= x &= 2; x = x & 2;

|= x |= 2; x = x | 2;

^= x ^= 2; x = x ^ 2;

Operator relasi digunakan untuk membandingkan dua buah nilai.

Keseluruhan operator relasi pada C++ bisa dilihat pada tabel I.5.

Tabel I.5. Operator relasi

Operator Keterangan

= = Sama dengan (bukan penugasan)

!= Tidak sama dengan

> Lebih dari

< Kurang dari

>= Lebih dari atau sama dengan

<= Kurang dari atau sama dengan

Fungsi-fungsi pustaka berfungsi untuk melaksanakan perhitugan aritmatika

(akar kuadrat, eksponensial, logaritma alamiah dan sebagainya), konversi data,

pemrograman grafis. Beberapa fungsi pustaka yang digunakan pada penelitian ini

bisa dilihat pada tabel I.6.

Tabel I.6. Fungsi pustaka

Fungsi pustaka Kaidah File header Kegunaan

atan() double atan

math.h Untuk memperoleh nilai arc

tangent dari argumen x.

cos() double cos

math.h

complex.h

Untuk memperoleh nilai cosinus

dari x.

pow() double pow math.h

complex.h

Untuk menghasilkan xy

sin() double sin math.h

complex.h

Untuk memperoleh sinus dari x

sqrt() double sqrt math.h

complex.h

Menghasilkan akar dari x

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

24

tan() double tan math.h

complex.h

Untuk menghasilkan tangent

dari x

I.6.6.3. Operasi Dasar Masukan dan Keluaran. Operasi dasar masukan cin digunakan

untuk membaca data dari standart input atau menggunakan keyboard yang

diletakkan ke sebuah variabel. Manfaat adanya fasilitas pemasukan data dari

keyboard adalah memungkinkan untuk membuat program yang bisa membaca data

yang berubah-ubah. Fasilitas cin ini memudahkan pengguna karena pengguna cukup

mengkompilasi program ini sekali saja dan menjalankannya berkali-kali untuk

melakukan konversi nilai yang berbeda-beda (Kadir,1995).

Pemakaian cout digunakan untuk menampilkan data atau meletakkan suatu

informasi ke standart output. Pengaturan tampilan data menggunakan manipulator.

Pada penelitian ini menggunakan beberapa manipulator yang bisa dilihat pada tabel

I.7.

Tabel I.7. Manipulator

Manipulator Keterangan

Endl Menyisipkan newline dan mengirimkan isi penyangga

keluaran ke piranti keluaran.

setw(int n) Mengatur lebar field untuk suatu nilai sebesar n karakter.

setprecision(int n) Menyetel presisi bilangan pecahan sebesar n digit.

setiosflags(long f) Menyetel format yang ditentukan oleh f.

Pemakaian setiosflags digunakan untuk mengontrol sejumlah tanda format seperti

pada tampilan di tabel I.8.

Tabel I.8. Tanda format untuk tampilan setiosflags yang digunakan pada penelitian

ini

Nama Tanda Format Keterangan

ios::left Menyetel rata kiri terhadap lebar field yang diatur

melalui setw().

ios::fixed Memformat keluaran dalam bentuk notasi desimal.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

25

I.6.6.4. Pernyatan Dasar. Ada beberapa pernyataan dasar yang digunakan dalam

perhitungan pada penelitian ini antara lain: pernyataan ungkapan, pernyataan

deklarasi atau definisi, pernyataan majemuk, pernyataan berkondisi, pernyataan

pengulangan. Pernyataan ungkapan merupakan ungkapan untuk penugasan nilai

terhadap variabel atau pemanggilan fungsi dan diakhiri titik koma(;). Pernyataan

deklarasi atau definisi digunakan untuk memperkenalkan nama variabel beserta tipe

datanya. Pernyataan majemuk merupakan sejumalah pernyataan yang berada di

kurung kurawal. Pernyataan kondisi yang digunakan yaitu pernyataan if dan

pernyataan else. Pernyataan if terdiri dari kondisi dan pernyataan. Kondisi digunakan

untuk menentukan pengambilan keputusan. Pernyataan dapat berupa sebuah

pernyataan ataupun pernyataan majemuk. Bagian ini dijalankan hanya kalau kondisi

bernilai benar. Pernyataan else selalu bersama pernyataan if atau tidak pernah berdiri

sendiri. Pernyataan for merupakan salah satu pernyataan pengulangan yang

disediakan pada C++. Pernyataan for berguna untuk mengulang pengeksekusian

terhadap satu atau sejumlah pernyataan. Penjelasan dan contoh setiap pernyataan bisa

dilihat pada tabel I.9. (Kadir,1995).

Tabel I.9. Penjelasan dan contoh dari pernyataan dasar.

Macam Pernyataan Susunan Contoh

Pernyataan Ungkapan Ungkapan; bil = 3;

Pernyataan deklarasi

atau definisi

tipe_data nama_variabel; int bil;

Pernyataan Majemuk {

pernyataan1;

pernyataan2;

}

{

bil = 3;

bil++;

}

Pernyataan Berkondisi if(kondisi)

pernyataan1;

else

pernyataan2;

if(bil % 2)

cout << “bil ganjil” << endl;

else

cout << “bil genap”<< endl;

Pernyataan

Pengulangan (for)

for(ungkapan1;

ungkapan2; ungkapan3)

pernyataan;

for(abjad = „A‟; abjad <=

„Z‟; abjad++)

cout << abjad;

Page 26: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

26

I.6.6.5. Pengenalan Array. Array adalah kumpulan data bertipe sama yang

menggunakan nama sama. Antara satu variabel dengan variabel lain di dalam array

dibedakan berdasarkan subscript. Sebuah subscript berupa bilangan di dalam kurung

siku. Array ada bermacam-macam, antara lain: array berdimensi satu, array

berdimensi dua, dan array berdimensi banyak. Pendefinisian array terdiri dari tipe

data elemen array, nama array, dan jumlah elemen array. Contoh mendefinisikan

array seperti berikut:

float suhu[5];

Setelah didefinisikan, elemen array dapat diakses dengan bentuk seperti berikut:

nama_array[subscript]

I.6.6.6. Fungsi. Kadir(1995) menyatakan fungsi merupakan sejumlah pernyataan

yang dikemas dalam sebuah nama. Nama ini selanjutnya dapat dipanggil beberapa

kali di beberapa tempat dalam program. Fungsi menerima masukan yang disebut

argumen atau parameter. Masukan ini selanjutnya diproses oleh fungsi. Hasil akhir

fungsi disebut nilai balik(return value).

Sebuah fungsi bisa dipanggil jika sudah dideklarasikan. Deklarasi fungsi

dikenal dengan sebutan prototipe fungsi. Prototipe fungsi terdiri dari: nama fungsi,

tipe nilai balik fungsi, jumlah, tipe argumen, dan diakhiri dengan titik koma(;).

Kegunaan dari prototipe fungsi yaitu untuk menjamin tipe argumen yang dilewatkan

pada pemanggialan fungsi benar-benar sesuai.

Sebuah fungsi juga harus didefinisikan supaya bisa dipanggil dalam program.

Khusus untuk fungsi yang disediakan sistem, definisinya sudah ada dalam dalam

pustaka yang akan digabungkan dengan program ketika proses linking.

Ada fungsi yang tidak perlu memiliki nilai balik. Fungsi ini digunakan untuk

menampilkan suatu keterangan saja. Pada fungsi ini, tipe nilai balik fungsi yang

diperlukan adalah void. Pada fungsi tanpa nilai bali, tidak ada pernyataan return.

Tetapi, penggunaan return secara eksplisit juga diperbolehkan.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83481/potongan/S1-2015... · Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta

27

I.7 Hipotesis

Posisi area penelitian terhadap meridian tengah dan meridian standar pada

proyeksi UTM lebih jauh daripada posisi area penelitian terhadap meridian tengah

dan paralel standar proyeksi Polieder. Hal ini menyebabkan kemungkinan distorsi

sudut dan jarak lebih besar pada proyeksi UTM. Akan tetapi, pada proyeksi UTM

seluruh area penelitian terletak dalam satu zone sehingga tidak perlu melakukan

transformasi koordinat dan tidak terjadi perambatan kesalahan. Pada proyeksi

Polieder, cakupan area penelitian terletak dalam tiga LBD sehingga perlu melakukan

transformasi koordinat antar LBD. Berdasarkan letak area penelitian pada sistem

koordinat peta Polieder dan UTM, hipotesis penelitian yang dapat dikemukakan

dalam penelitian ini adalah Proyeksi Polieder lebih tepat digunakan untuk pemetaan

skala besar ( > 1:5000) di area penelitian ini daripada menggunakan proyeksi UTM.

Selanjutnya, hipotesis operasional dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut:

1. Hipotesis awal (H0) : Nilai konvergensi meridian (γ), koreksi (t-T), dan

faktor skala (k) setiap titik-titik poligon simulasi pada sistem proyeksi

Polieder lebih besar dari pada sistem proyeksi UTM. Oleh karena itu,

pergeseran titik-titik poligon simulasi sebelum dan setelah dikoreksi

dengan konvergensi meridian, koreksi (t-T), dan faktor skala (k) pada

sudut dan jaraknya lebih besar pada sistem proyeksi Polieder daripada

sistem proyeksi UTM.

2. Hipotesis alternatif (Ha) : Nilai konvergensi meridian (γ), koreksi (t-T),

dan faktor skala (k) setiap titik-titik poligon simulasi pada sistem proyeksi

Polieder lebih kecil dari pada sistem proyeksi UTM. Oleh karena itu,

pergeseran titik-titik poligon simulasi sebelum dan setelah dikoreksi

dengan konvergensi meridian, koreksi (t-T), dan faktor skala (k) pada

sudut dan jaraknya lebih kecil pada sistem proyeksi Polieder daripada

sistem proyeksi UTM.