Upload
buingoc
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
“Madondong duambongi anna matea‟ mau ana‟u mau appou,
da muannai menjari Mara‟dia mua‟ tania to namaasayangngi litaq,
da muannai dzai‟ dipe‟uluang mua‟ masu‟angi pulu-pulunna, mato‟dori kedzona,
apa iyamo tu‟u namarrupu-ruppu‟ banua”1
I Mayangbungi – Mara’dia Mandar2
A. Latar Belakang
Berbeda dengan beberapa daerah di Indonesia, ketika Liberalisasi Politik dan
Desentralisasi membuka kesempatan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk turut
berkontestasi dalam Pilkada dan Pemilu. Raja-raja lokal yang telah lama
termarjinalkan pada masa orde baru, kembali muncul sebagai aktor dalam arena
politik lokal. Fenomena kembalinya para elit bangsawan lokal kedalam tampuk
kekuasaan seperti yang terjadi di Bima, Ternate, Bone, Wajo, Jeneponto, Soppeng
dan beberapa daerah lainnya, berbeda dengan yang terjadi di Polewali Mandar,
dimana politik lokal hanya dikuasai oleh tiga klan keluarga yang bukan dari trah
Raja atau Bangsawan lokal. Ketiga klan keluarga yang mendominasi sirkulasi elit di
Polewali Mandar tersebut merupakan keturunan dari Bupati-Bupati Polewali
Mamasa atau yang sejak tahun 2005 bernama Kabupaten Polewali Mandar.3
1 Pesan terakhir Raja Pertama Balanipa yang berarti Besok atau lusa manakala saya mangkat, walau
dia itu anakku ataupun cucuku, janganlah hendaknya diangkat menjadi raja, kalau bukan orang cinta
pada tanah air dan rakyatnya, dan jangan pula diangkat seseorang menjadi raja apabila ia mempunyai
tutur kata yang kasar, perbuatan dan tindakan yang kasar pula, karena orang yang demikian yang akan
menghancurkan negeri”. 2 I Mayangbungi atau yang bergelar To dilaling merupakan raja pertama kerajaan Balanipa.
3 Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2004, tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat,
wiyah Mandar menjadi Provinsi tersendiri yakni Sulawesi Barat. Dan berdasarkan Undang-undang
Nomor 11 tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Mamasa. sehingga Nama Kabupaten Polewali
Mamasa berubah Menjadi Kabupaten Polewali Mandar. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74
Tahun 2005 tentang Perubahan Nama Kabupaten Polewali Mamasa menjadi Kabupaten Polewali
Mandar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 160)
2
Klan Keluarga yang pertama adalah Masdar yang merupakan keturunan dari
Bupati Polewali Mandar yang kelima yakni Kol. H. Andi Saad Pasilong (1995-
1998)4 yang juga selama dua periode terakhir (2004-2008 dan 2008-2014) telah
menjabat sebagai Bupati Polewali Mandar. Klan keluarga yang kedua adalah Klan
Keluarga Mengga,5 yang merupakan keturunan dari Bupati Polewali Mandar yang
ketiga yakni Kol. S. Mengga (1980-1990). Dan Klan Keluarga yang terakhir adalah
Manggabarani6 yang merupakan keturunan dari Bupati Polewali Mandar yang
pertama yakni H. Andi Hasan Mangga (1960-1966) dan Bupati Polewali Mandar
yang keenam yakni Kol. H. Hasyim Manggabarani, SH. MM (1998-2003).
Tabel 1
DAFTAR BUPATI DEFINITIF DAN PEJABAT SEMENTARA BUPATI
POLEWALI MAMASA / POLEWALI MANDAR 7
NO BUPATI POLEWALI MAMASA/
POLEWALI MANDAR
MASA JABATA
(TAHUN) KETERANGAN
1
2
3
H. Andi Hasan Mangga
Letkol H.Abdullah Madjid
Drs. A.Samad Syuaib
1960 – 1966
1966 – 1979
1979 – 1980
PJS*
4 Kol. H. Andi Saad Pasillong merupakan Saudara Kandung dari Hj. Andi Suriayani Pasilong, yang
menikah dengan salah satu bangsawan yang ada di Mandar dan juga meruakan ketu DPRD Kab
Polewali Mamasa 1995-2000, sekaligus ketua umum Golkar pada masa itu. yakni H Masdar Pasmar,
kemudian anak Sulung dari mereka yakni Ali Baal Masda, menjadi Bupati Polewali Mandar selama
dua periode yakni periode 2004-2008 dan periode 2008-2014. 5 Anggota klan keluarga Mengga yang saat ini menduduki jabatan startegis antara lain Wakil
Gubernur Sulawesi Barat yakni Aladin S. Mengga yang juga merupakan Ketua Dewan Pembina
Partai PDI-Perjuangan Sulaweis Barat dan Mayje (Purn) Salim S. Mengga anggota DPR-RI dari
Partai Demokrat dan Ervan Kamil Mengga Ketua DPC Partai Demokrat Polewali Mandar dan
Anggota DPRD Sulawesi Barat. 6 Walapun saat ini tak ada Klan dari keluarga Manggabarani yang menduduki jabatan strategis dalam
pemerintahan di tingkat lokal Polewali Mandar namun, dalam Pemilihan Bupati tahun 2008 salah satu
klan dari keluarga Manggabarani berhasil memperoleh suara terbanya kedua dan dalam pemilihan
Gubernur Sulbar keluarga Masdar menggunakan salah satu dari klan mereka yakni Zulkifli
Manggabarani sebagai Ketua Tim Pemenangan. Selain itu kebanyakan dari klan ini malah mendudki
jabatan yang tinggi ditingkat Nasional seperti WAKAPOLRI dan DIRJEN Kehutanan. 7 http://www.polewalimandarkab.go.id/. Diakses pada tanggal 11 juni 2012 pukul 10.00 wib.
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Kol.(Purn) S. Mengga
Drs.H.Andi Kube Dauda
Drs.H.Tajuddin Noer
Kol.H.A.Saad Pasilong
Kol.H.Hasyim Manggabarani,SH,MM
Drs. H. Syahrul Syahruddin, MS
Drs.Ali Baal Masdar,M.Si
H.Mujirin M.Yamin, SE,MS
Drs.H.Ali Baal Masdar,M.Si
1980 - 1990
1990 – 1995
1995 - 1996
1995 - 1998
1998 - 2003
2003 - 2004
2004 - 2008
2004
2008 – 2014
PJS*
PJS*
PJS*
* PJS : Pejabat Sementara
Dalam kasus di Polewali Mandar kemunculan Elit Politik Lokal diawali
dengan terbentuknya Daerah Tingkat II Polewali Mamasa berdasarkan Undang-
undang Nomor 29 Tahun 1969 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II
Polewali Mamasa dengan ibukota Polewali. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1969, maka pemerintah menunjuk dan Melantik
Andi Hasan Mangga sebagai Bupati pertama Kabupaten Polewali Mamasa pada
tanggal 20 Februari 1960 sekaligus serah terima jabatan dari Mattotorang Dg.
Massiki selaku eks Residen Afdeling Mandar.
Dilantiknya Andi Hasan Mangga sebagai Bupati Polewali Mandar yang
pertama (1960-1966), menandai lahirnya sebuah kelompok Elit dengan kedudukan
tersebut sebagai sumber kekuasaannya, yang kemudian secara perlahan
menancapkan kekuasaanya. Namun perubahan arah politik di tingkat Nasional pada
kurun waktu 1966 mengakibatkan klan dari keluarga ini gagal dalam
4
mempertahankan kekuasaanya, fenomena politik segi tiga antara Soeharto ABRI dan
Golkar, membuat klan Bupati pertama yang tidak berasal dari kalangan ABRI
membuatnya harus digantikan oleh kelompok dari klan yang memiliki latar Belakang
ABRI yakni Letkol. H. Abdullah Madjid (1966-1979), namun lambatnya proses
regenerasi mengakibatkan elit ini gagal untuk mempertahankan kekuasaanya.
Sehubungan dengan hal ini, Pareto menyatakan pendapatnya bahwa dalam tubuh elit
terdapat kecenderungan untuk mengalami apa yang disebut „decay‟ atau
pembusukan,8 sehingga kelompok dari klan ini harus rela untuk mengalami
pertukaran posisi dengan kelompok elit dari klan yang lain. Kol. S Mengga sebagai
Bupati Polewali Mandar yang ketiga (1980-1990) yang juga merupakan elit dengan
latar belakang ABRI memperoleh kedudukan dan peluang yang besar untuk memulai
menancapkan kekuasaannya dalam ranah politik di tingkat lokal Polewali Mandar.
Bergesernya kembali peta perpolitikan ditingkat Nasional pada kurun waktu
tahun 1990-1998, dimana pada masa ini pemerintah pusat lebih memberikan
kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri daerahnya,
sehingga kewenangan yang besar untuk mengangkat dan melantik seorang Bupati
dimiliki oleh Gubernur, sistem inilah yang kemudian memberikan peluang bagi
kelompok klan yang lain untuk mendapatkan dan menancapkan kekuasaannya. Pada
kurun waktu 1990-1995 Bupati Mandar kembali dijabat oleh orang dari luar ABRI
yakni Dra. H. Andi Kube Daud, namun isu “putra daerah” dan perbedaan suku
membuat klan dari keluarga Bupati definitif keempat ini sulit berkembang.
8 Haryanto. Kekuasaan Elit Suatu Bahasa Pengatar. JPP Press. Yogyakarta. 2005.
5
Dilantiknya Kol. H. Andi Saad Pasilong yang merupakan “putra daerah” dan
memiliki latar belakang ABRI menjadi Bupati Polewali Mandar yang kelima (1995-
1998), menandai lahirnya kelompok elit dari klan yang baru dalam masyarakat
Mandar. Namun meninggalnya elit ini pada tahun 1998 kembali mengakibatkan
munculnya pola sirkulasi elit dari klan yang lain di Polewali Mandar.
Keberhasilah sistem reproduksi elit dalam satu klan keluarga mulai terlihat
dari Bupati Polewali Mandar yang keenam. Dimana tongkat estafet kepemimpinan
Bupati Polewali Mandar selanjutnya dipegang dari klan Manggabarani yakni Kol. H.
Hasyim Manggabarani. SH, MM menjabat sebagai bupati Polewali Mandar keenam
(1998-2003).
Bergulirnya era reformasi pada tahun 1998 yang membuka ruang bagi
seluruh lapisan masyarakat, untuk terlibat langsung dalam perebutan kekuasaan
melalui jalur Partai Politik dengan pemilihan di tingkat Parlemen lokal atau DPRD
Kabupaten, ternyata tak mampu menggeser Dominasi dari ketiga klan keluarga
tersebut, sejak tahun 1998 berubahnya format politik Nasional yang juga
mengakibatkan perubahan sistem pemilihan Bupati. Namun perubahan format
pemilihan bupati ternyata belum bisa dimanfaatkan sepenuhnya oleh aktor elit diluar
ketiga klan tersebut untuk turut menancapkan eksistensinya.
Desentralisasi yang luas yang ditandai dengan lahirnya Undang-undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk memilih kepala dan wakil kepala daerah masing-masing. Ternyata
belum bisa memunculkan kelompok elit diluar ketiga klan keluarga tersebut. Pada
6
periode tahun 2004-2008 dan periode 2008-2014 selama dua periode tersebut, pola
sirkulasi elit dari ketiga klan tersebut kembali terjadi, selama kurun waktu tersebut
Andi Ali Baal Masdar, yang merupakan keturunan dari bupati Polewali Mandar yang
kelima, kembali menjabat sebagai Bupati Polewali Mandar sampai sekarang.
Fenomena sirkulasi elit yang berputar diantara ketiga klan elit yang saat ini
ada, seolah menutup ruang bagi individu-individu yang berada diluar ketiga klan
tersebut untuk ikut berkontestasi dalam setiap proses Pemilukada di kabupaten
Polewali Mandar, bahkan dalam susunan nomor urut internal partai besar dalam
pemilihan legislatif elit dari luar ketiga klan tersebut hanya ditempatkan di orbit
terluar pencalonan. Sementara itu, mereka yang yang merupakan klan dari ketiga
keluarga tersebut dan jejaringnya berada pada pusat orbit pencalonan. Dengan
demikian, secara substantif penyegaran wajah elit politik tidak terjadi karena elit
yang saat ini berkuasa sedang bermetamorfosis dan mewariskan kekuasaannya
kepada mereka yang memiliki hubungan darah dengannya9.
Perubahan rezim kekuasaan dalam sistem politik dari rezim otoriter ke
demokrasi membawa pergeseran penting bagi bangunan politik Indonesia, dari pusat
hingga daerah. Desentralisasi memberikan ruang bagi seluruh lapisan masyarakat,
lokal maupun nasional untuk memperoleh ruang politik. Namun dalam konteks
Polewali Mandar hanya ada tiga klan yang sangat mendominasi dalam setiap proses
pilkada maupun pemilihan legislatif, yang merupakan turunan dari klan keluarga
yang jauh sebelum proses Desentralisasi dilaksanakan, ketiga klan ini telah memiliki
9 Sigit pamungkas. Pemilu, Perilaku pemilih dan Kepartaian. Institut for Demokracy and Welfarism.
Yogyakarta. 2008.
7
berbagai sumberdaya yang digunakan untuk terus menancapkan kekuasaanya dan
menjaga pengaruh mereka, hal ini tentu saja berbeda dengan apa yang kemudia
dikatakan Jhon T Sidel tentang local bossism di Indonesia,10
bawah jatuhnya
Soeharto membuka ruang bagi para elit lokal untuk kemudian memperoleh
kekuasaanya. Dalam fenomena Politik Lokal di Mandar, rezim Soeharto atau yang
dikenal dengan Orde Baru telah memberikan kesempatan kepada ketiga klan ini
untuk memperoleh kekuasaan dan mempertahankan kekuasaanya, bahkan ketika
proses pemilhan langsung telah dilaksanakan. hal ini disebakan karena ketiga klan
tersebut telah memiliki berbagai kekuasaan yang oleh Charles F Andrain dikenal
dengan istilah sumberdaya politik.
Lebih lanjut fenomena politik lokal yang ada di Polewali Mandar merupakan
gambaran dari kuatnya peran negara dalam menentukan dan mengatur segala aspek
pemerintahan yang ada di Indonesia baik itu pemerintahan pusat maupun
pemerintahan daerah, sehingga ketiga klan keluarga tersebut memiliki segala
sumberdaya politik yang dibutuhkan untuk terus menancapkan kekuasannya, hal ini
tentu saja berbeda dengan pendapat Joel S Migdal tentang “orang kuat di tingkat
lokal” Local Strongmen dimana Migdal berpendapat bahwa fenomena orang kuat
lokal di Indonesia lahir dari lemahnya peran negara dalam mengatur kehidupan
10
Sidel mengatakan kekuatan politik terutama di tingkat local, kurang atau belum didominasi oleh
orang kuat atau dinasti-dinasti politik. Kemunculan orang kuat dihalangi oleh struktur kelembagaan
dari Negara itu sendiri. Lebih lanjut Sidel mengatakan bahwa kemunculan orang kuat dan dinasti
politik akan muncul bersamaan dengan pemilhan langsung. John T Sidel. Bosism dan demokrasi di
Filipina, Thailand dan Indonesia. Menuju Kerangka Analisis Baru Tentang Orang Kuat Lokal. Dalam
John Harriss, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Politisasi Demokrasi : Politik Lokal Baru. Demos :
2005
8
masyarakat.11
Fenomena ini tentu saja tidak sesuai dengan kasus yang ada di
Polewali Mandar dimana Orang-orang Kuat Lokal berasal dari bentukan suatu rezim
pemerintah yang dalam hal ini negara dan tentu saja kemampuan para Orang–orang
kuat lokal ini dalam memanfaatkan negara, hal ini tentu saja mengindikasikan bahwa
orang-orang kuat lokal atau elit yang ada di Polewali Mandar sangat tidak otonom
dari negara, sehinggga mengakibatkan pola sirkulasi antara elit lokal hanya terjadi
diantara ketiga klan keluarga tersebut.
Ada tiga alasan yang mendorong mengapa persoalan Sirkulasi Elit antara
ketiga klan Keluarga ini dijadikan fokus kajian. Yang pertama dalam setiap proses
pesta demokrasi baik itu Pemilu maupun Pilkada tidak akan pernah lepas dari
eksistensi ketiga klan tersebut. Yang kedua, Dominasi ketiga klan ini masih menjadi
isu yang belum banyak dijadikan objek kajian. Dan yang ketiga, klan keluarga ini
dalam sistem strata sosial memiliki kedudukan yang tinggi dalam pelapisan
masyarakat Mandar Sulawesi Barat dan memiliki peran yang sangat menentukan
dalam dalam struktur politik ekonomi sosial dan budaya.
Dari ketiga alasan diatas sudah cukup untuk mengatakan kuatnya Dominasi
dari ketiga klan keluarga tersebut dalam ranah politik lokal di Polewali Mandar
Sulawesi Barat pasca pemberlakuan politik Desentralisasi dan Liberalisasi Politik.
11
Migdal mengatakan bahwa, setiap kelompok dalam masyarakat mempunyai pemimpin, dimana
pemimpin itu relatif otonom dari negara. Dan setiap masyarakat memiliki social capacity yang
memungkinkan mereka untuk menerapkan aturan main mereka tanpa diintervensi oleh negara. Ketika
kapasitas negara untuk mengontrol melemah (weak state) maka para strongmen menampakan
kekuasaannnya dalam level lokal. Lebih lanjut Migdal menyebutkan strategi triangle of
accommodation sebagai strategi strongmen untuk bertahan. Dengan demikian, Kehadiran strongmen
merupakan refleksi dalam kuatnya masyarakat dan lemahnya Negara : lihat, Joel S Migdal, Strong
Societies and Weak States: State-Society Relasion and State Capabilities in the Trird World
(Princeton, NJ : Princeton University Press, 1998)
9
Ditengah arus politik Disentralisasi dan Liberalisasi Politik, gerakan dan kiprah
politik dari ketiga klan keluarga tersebut semakin nyata bentuknya. Bahkan posisinya
semakin kuat dalam peta politik di Polewali Mandar Sulawesi Barat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penelitian ini ditujukan untuk
menjawab pertanyaan:
1. Mengapa Dominasi Politik dari ketiga klan keluarga tersebut sangat kuat di
Polewali Mandar?
2. Bagaimana pola relasi dari ketiga klan keluarga tersebut? Selain berkontestasi
dalam proses Pilkada dan Pemilihan Legislatif, apakah diantara ketiga klan
keluarga tersebut juga berkolaborasi?
C. Tujuan Penelitian
Studi ini bertujuan untuk melacak relasi kuasa ketiga klan dalam masyarakat
Mandar dan melacak sumber daya yang dimiliki ketiga klan dalam mempertahankan
pengaruhnya terhadap masyarakat di Polewali Mandar. Selain itu, penelitian ini juga
bertujuan untuk mengisi kekosongan studi mengenai elit politik lokal di Polewali
Mandar dan Sulawesi Barat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:
1. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pengetahuan tentang elit
politik lokal secara empiris, sehingga berguna bagi perkembangan atau
10
penelitian-penelitian tentang politik dinasti dan politik lokal dalam ilmu
politik;
2. Penelitian ini diharapkan menambah inventaris kajian tentang demokrasi
lokal, terutama kajian ilmiah tentang politik lokal dan otonomi daerah;
3. Penelitian ini diharapkan menjadi sebuah studi pembanding terhadap
berbagai fenomena politik lokal yang terjadi di berbagai daerah pasca Orde
Baru, dan menjadi rujukan terhadap para mahasiswa yang ingin melakukan
penelitian yang memiliki kajian penelitian yang sama.
E. Literatur Review
Studi tentang elit politik lokal dan fenomena ketiga klan di Polewali Mandar
ini belum banyak diminati oleh para ilmuan politik, padahal ketika berbicara
mengenai politik lokal di Sulawesi barat ketiga klan ini merupakan aktor penting
dalam menentukan perjalanan masyarakat Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan.
Secara umum karya-karya yang dihasilkan itu antara lain : Lontarak I
Pattidolonag di Mandar (1991) yang merupakan terjemahan dari buku berbahasa
Mandar yang ditemukan pada tahun 1982 yang berisi tentang beberapa peristiwa
penting dan perjuangan kerajaan di Mandar dalam melawan penjajah, Perjuangan
Rakyat Mandar Melawan Belanda 1967-1949 (2001), Sandeq Perahu Tercepat
Nusantara (2009), Latar Belakang Arajang Balanipa ke-52 (2003), Canoes of
Oceanian (1996), Orang Mandar Orang Laut (2005), Polewali MAndar : Alam,
Budaya dan Manusia (2011), Bua‟lipas Nasanga To Mandar (2011), Seni Budaya
11
Tradisional Masyarakat Polewali Mandar (2006) dan Mengenal Kesenian Mandar
(2006).
Uraian diatas memperlihatkan bahwa study mengenai kehidupan masyarakat
Mandar telah banyak dihasilkan, sekalipun itu masih sebatas kehidupan sosial-
historis masyarakat Mandar. Tetapi karya-karya tersebut tetap menjadi bagian
warisan yang sangat berharga dalam penulisan sejarah Masyarakat Mandar.
Studi mengenai kebangsawanan dan elit politik lokal yang ada hanya
mengenai biografi salah satu tokoh yang merupakan bagian dari ketiga klan tersebut.
Antara lain : Biografi Kolonel Purnawirawan S Mengga Dari Gurilla sampai Bupati
(2012), Ali Baal Masdar The Leader of Change (2008), Ali Baal Masdar Sosok,
Gagasan dan Tindakan (2012) dan Ali Baal Masdar Pemimpin Visioner dan
Merakyat (2007). Selain sebuah study tentang orang kuat lokal di Mandar juga
pernah ditulis oleh Sarman Sahuding yakni Dalam Sejarah akan Dikenang (2005),
namun dalam buku ini hanya dituliskan mengenai jejak langkah dan pemikiran
bupati-bupati di Sulawesi Barat saja, tanpa menyinggung mengenai bagaimana elit-
elit lokal tersebut memperoleh kekuasaan dan mempertahankan kekuasaannya,
sehinnga tulisan-tulisan tersebut memiliki konteks yang berbeda dengan penelitian
ini.
Salah satu hasil penelitian yang membahas tentang kehidupan sosial dan
budaya masyarakat Mandar adalah Annagguru di Mandar (2009) penelitian yang
dilakukan oleh Aco Musaddad HM, yang menulis tentang fenomena Annagguru
yang merupakan para tokoh agama dan pemimpin pondok pesantren dalam
12
kehidupan masyarakat di Mandar. Fenomena Anangguru dalam masyarakat Mandar,
memberikan banyak sumbangan pemikiran terhadap penelitian ini. Terlebih
kehidupan sosial agama masyarakat Mandar. Namun jika Aco Musaddad HM
berkutat pada para Annangguru sebagai elit agama dalam kehidupan sosial
masyarakat. Penelitian ini lebih cenderung melihat pada bagaimana para elit-elit
lokal berkontestasi dalam arena politik lokal. Selain itu aktor-aktor elit agama yang
ditulis oleh Aco Musaddad HM, merupakan elit lokal yang berbeda dengan elit yang
memperebutkan kekuasaan politik di Mandar.
Selain itu ilmuwan yang pernah menulis mengenai fenomena politik lokal di
Polewali Mandar adalah Heddy Shri Ahimsa Putra seorang antropolog dari UGM
mengaitkan pergulatan masyarakat Mandar dalam konteks hubungan patron-klien12
.
Heddy menggunakan kerangka piker James Scott dalam menganalisis pola relasi
masyarakat Mandar, dalam bukunya Heddy mengatakan bahwa di daerah Mandar
hubungan pengikut dengan bangsawan nampak jelas. Seperti kita ketahui, di daerah
ini tanah dibagi-bagikan kepada kelompok-kelompok kekerabatan dari para pejabat
dan dari para pemuka adat. Diluar kelompok-kelompok ini terdapat individu-
individu yang dikategorikan orang biasa. Mereka inilah yang menjadi pengikut
orang-orang dari kalangan bangsawan atau anggota kelompok kekerabatan para
pejabat tadi. Oleh Mallinckrodt (ARB, 1933), mereka ini dikatakan sebagai
onvrinjen (orang-orang yang tidak merdeka), tetapi tidak berarti bahwa mereka
adalah budak sebab meskipun memang juga onvrinjen karena terpaksa menuruti
perintah orang yang diikutinya, namun mereka memiliki hak serta kewajiban yang
12
Putra, Heddy Shri Ahimsa. 1998. Minawang, Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan.
Yogyakarta : UGM
13
sangat berbeda dengan budak. Dengan menjadi pengikut seorang bangsawan ini
apabila mereka ingin menggarap tanah.13
namun dalam studi ini peneliti tidak
membedakan secara jelas tentang suku Mandar, Makassar dan Bugis.
Karena dalam hal ini studi mengenai fenomena orang kuat lokal yang ada di
Polewali Mandar belum banyak maka pada bagian ini penulis akan mereview
beberapa studi tentang orang kuat yang di Sulawesi Selatan dengan pertimbangan
bahwa Sulawesi Barat merupakan daerah pemekaran dari Sulawesi selatan dan
memiliki beberapa kesamaan dalam aspek kebudayaan dan politik.
Muhtar Haboddin (2009) yang menganalisis politik bangsawan Jeneponto
dan Andi Faisal Bakti yang menulis tentang Kekuasaan Keluarga di Wajo, Sulawesi
Selatan (2007). Penelitian ini banyak menggambarkan tentang fenomena orang kuat
lokal yang kembali memainkan peran dalam pemerintahan di daerah mereka. Dan
kemudian menancapkan dominasi mereka dalam masyarakat. Sama halnya dengan
penelitian yang akan saya lakukan, penelitian ini juga mengulas mengenai
bagaimana para elit lokal kembali muncul dalam arena politik, yang termarjinalkan
pada masa Orde Baru.
Namun berbeda dengan elit lokal di Jeneponto dan Wajo. Elit-elit lokal di
Mandar bukan berasal dari kelompok yang memiliki simbol kultural atau yang
bergelar Raja. Melainkan elit yang merupakan bentukan dari Negara yang memiliki
latar belakang ABRI, GOLKAR dan Birokrat. Perbedaan elit lokal di beberapa
daerah lain di Indonesia dengan orang kuat lokal di Mandar serta minimnya tulisan
13
Ibid
14
mengenai orang kuat lokal di Mandar, merupakan alasan utama penelitian ini
dilakukan.
F. Kerangka Teori
Untuk mengungkap relasi kuasa ketiga klan dalam masyarakat Mandar dan
melacak sumber daya yang dimiliki ketiga klan untuk mempertahankan eksistensinya
di Polewali Mandar, penulis akan menggunakan teori Sumber Daya Politik serta
Teori Elit dan Kekuasaan sebagai kerangka teori utama dalam menganalisa
fenomena politik klan keluarga yang terdapat di Mandar Sulawesi Barat. Selain itu
Teori Patronase digunakan untuk menjelaskan bagaimana ketiga klan ini
memperoleh kekuasaan mereka, serta bagaimana ketiga klan ini mempertahankan
kekuasaan mereka, baik dari klan keluarga lainnya dan elit-elit baru yang semakin
banyak bermunculan di Mandar.
1. Sumber Daya Politik
Untuk memahami strategi menuju dominasi ketiga klan di Polewali Mandar,
digunakan konsep Sumber Daya Politik milik Charles F Andrain. Dominasi politik
dapat diperoleh dengan adanya sumberdaya politik yang mereka miliki. Andrain
mendefinisikan kekuasaan sebagai penggunaan sejumlah sumber daya (aset,
kemampuan) untuk memperoleh kepatuhan (tingkah laku menyesuaikan) dari orang
lain.14
Untuk memperoleh kepatuhan, para pemimpin politik perlu memperluas
persediaan sumber daya mereka dan menggunakan secara lebih efisien sejumlah
1414
Andrain, Charles F. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta : PT. Tiara
Wacana Yogya
15
sumber daya yang mereka miliki.15
Dalam hal ini Andrain membagi lima sumber
daya politik, yakni seperti dalam tabel berikut :
Tabel 2
Kekuasaan Pakasaan dan Konsensual
Tipe Sumber Contoh Sumber Daya Motivasi untuk mematuhi
Daya
Fisik senjata : senapan, bom, rudal "B" berusaha menghindari cedera fisik
yang dapat disebabkan oleh 'A'
Ekonomi kekayaan, pendapatan, kontrol "B" berusaha memperoleh kekayaan
atas barang dan jasa dari "A"
Normatif moralitas, kebenaran, tradisi religius "B" mengakui bahwa "A" mempunyai
legitmasi, wewenang hak moral untuk mengatur perilaku "B"
Personal karisma pribadi, daya tarik, persahabatan "B" mengidentifikasi diri-merasa tertarik-
kasih sayang, popularitas dengan "A"
Ahli informasi, pengetahuan, intelijensi "B" merasa bahwa A mempunyai
keahlian teknis pengetahuan dan keahlian yang lebih
* A adalah pemegang kekuasaan; B merupakan objek kekuasaan
Tipe Kekuasaan fisik menunjukkan bahwa kekuasaan dikaitkan dengan
kekuatan fisik. Semakin besar kekuatan fisik yang dimiliki seseorang ataupun
sekelompok orang, berarti yang bersangkutan memiliki sumber daya yang semakin
besar. Dan hal tersebut pada gilirannya, secara potensial, akan lebih mudah
memperoleh kepatuhan dari pihak-pihak lain. Demikian pula sebaliknya, semakin
kecil kekuatan fisik yang dimiliki seseorang ataupun sekelompok orang, berarti yang
bersangkutan memiliki sumber daya yang relatif kecil dan hal tersebut mengandung
makna pemilik kekuasaan relatif sulit untuk memperoleh kepatuhan dari pihak lain.16
Sumber daya fisik oleh Andrain, dapat dikategorikan sebagai senjata, yang terdiri
dari senapan, bom dan rudal. Sebagai alat yang digunakan untuk memperoleh atau
15
Ibid, Hal. 132 16
Haryanto. 2005. Kekuasaan Elit Suatu Bahasa Pengatar. Yogyakarta : JPP Press.
16
merebut kekuasaan dari para saingan mereka. Misalnya selama perang saudara di
Cina, ketua partai komunis Mao Ze Dong suatu ketika menjelaskan kepada pengikut-
pengikutnya “setiap orang komunis harus memegang kebenaran ini : kekuasaan
politik timbul dari laras senapan”.17
Tipe-tipe persenjataan fisik beraneka ragam sesuai dengan tingkat
industrialisasi masyarakat. Masyarakat-masyarakat pertanian berskala kecil
menggunakan tombak, busur dan panah. Sementara masyarakat-masyarakat modern
telah mengembangkan bentuk senjata api yang kompleks.18
Namun apapun tipe
senjata yang dimiliki, mereka yang patuh terhadap penguasa dengan sumber daya
fisik lebih dikawatirkan akan menderita cedera fisik apabila menunjukkan ketidak
patuhan.19
Namun dimasa modern seperti sekarang ini dimana perang atau merebut
kekuasaan dengan menggunakan senjata merupakan tindakan yang ilegal dan sangat
dilarang kekuasaan fisik dalam hal ini bisa manifestasikan dalam besarnya jumlah
anggota keluarga, seberapa banyak basis massa dari garis keturunan atau latar
belakang keluarga yang dimiliki oleh masing-masing anggota klan keluarga tersebut,
sehingga memudahkan mereka dalam merebut kekuasaan atau mempertahankan
kekuasaan yang dimilikinya.
Sumber daya politik yang kedua adalah Kekuasaan ekonomi, sumber daya
ekonomi ketiga klan ini demanifestasikan dalam banyaknya harta yang dimiliki oleh
17
Andrain Charles F Kehidupan Politik .... Op.cit 18
Ibid hal 133 19
Haryanto Kekuasaan Elit... Op.cit.
17
ketiga klan serta kepemilikan lahan atau kekuasaan ekonomi lainnya, yang kemudia
sumber daya tersebut digunakan untuk mendukung segala aktifitasnya dalam politik
lokal di Mandar. Atau dengan kata lain semakin banyak sumber daya ekonomi yang
dimiliki oleh ketiga klan tersebut maka mereka akan lebih mudah mendapatkan
kepatuhan dari pihak-pihak lain dengan sumber daya ekonomi yang mereka miliki
mereka dapat memberi bantuan kepada masyarakat dan tentu saja dengan pemberian
itu, mereka akan mendapatkan kepatuhan dari masyarakat yang telah diberikan
bantuan.
Dengan memberi imbalan materi kepada pihak-pihak lain, kepatuhan dapat
hadir mengikutinya. Apabila imbalan tersebut sangat dibutuhkan pihak-pihak yang
menerima, maka kepatuhan yang akan diberikan juga menjadi semakin besar.20
Sumber daya politik yang ketiga yang harus dimiliki agar seseorang atau
kelompok dapat mendominasi dalam politik adalah Kekuasaan Normatif. Menurut
Andrain orang-orang yang menggunakan kekuasaan normatif memiliki kualitas-
kualitas seperti kebijakan religius, kebenaran moral, dan wewenang sah; sumber-
sumber daya ini memberi mereka hak moral untuk menjalankan kekuasaan.21
Kekuasaan normatif menunjukkan bahwa mereka yang memiliki kekuasaan
dapat memperoleh kepatuhan dari pihak-pihak lain karena yang bersangkutan
memiliki kualitas tertentu, seperti mempunyai sifat bijak menurut ukuran moral,
bijak menurut pemahaman agama ataupun memiliki wewenang yang sah menurut
20
Ibid 21
Andrain Charles F Kehidupan Politik ... Op.cit
18
norma yang berlaku.22
Sumber daya politik yang kemudian ditunjukkan dengan
kekuasaan Normatif oleh ketiga klan ini dalam masyarakat mandar sudah terlihat
dari bagaimana ketiga klan ini memiliki tradisi kepemimpinan yang telah terbangun
sejak lama, sehingga mengakibatkan mereka mendapatkan legitimasi dan wewenang
untuk terus menancapkan dominasi mereka dalam masyarakat mandar.
Kekuasaan personal yang merujuk pada pengidentifikasian seorang tokoh
terhadap Kharisma Pribadi, daya tarik, persahabatan, kasih sayang dan popularitas.
Dapat menurut Andrain dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap hasil-hasil
dari peristiwa politik. Pengindetifikasian dengan tokoh yang secara personal menarik
dapat menimbulkan kepatuhan. Disini pemegang kekuasaan memiliki kualitas-
kualitas personal tertentu, menawan, menarik berkarisma dan disayangi
menyebabkan orang-orang lain merasa tertarik kepadanya.23
Kekuasaan personal oleh ketiga klan ini selain merupakan warisan dari orang
tua mereka yang merupakan kelompok elit di masyarakat mandar terdahulu seperti
popularitas juga merupakan hasil dari konstruksi yang dibangun secara pribadi, namu
hal ini tentu saja tidak lepas dari peran atau status klan mereka yang memang
merupakan elit yang selama ini telah berkuasa di Mandar.
Berbeda dengan sumber daya politik lainnya, yang sebagian besar merupakan
warisan dari klan pendahulu mereka. Kekuasaan keahlian oleh Andrain merupakan
kekuasaan yang diperoleh dari kapasitas pribadi masing-masing elit seperti
Informasi, pengetahuan, intelegensi dan keahlian teknis. Kekuasaan ini
22
Haryanto Kekuasaan Elit... Op.cit. 23
Andrain Charles F Kehidupan Politik ... Op.cit
19
memungkinkan seorang elit dapat memperoleh kepatuhan dari pihak lain. Kekuasaan
keahlian juga mengisyaratkan bahwa kekuasaan dapat dikaitkan dengan kepemilikan
keahlian tertentu.
2. Teori Elit
a. Elit
Pareto membagi masyarakat menjadi dua kelas, yakni Lapisan atas, yaitu
elit yang terbagi kedalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang
tidak memerintah (non-governing elite), dan Lapisan yang lebih rendah, yaitu
non-elit.24
Sedangkan menurut Mosca, selalu muncul dua kelas dalam masyarakat
yakni; kelas pertama yang biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua
fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang
didapatnya dari kekuasaan.25
Sementara kelas kedua jumlahnya lebih besar,
diatur dan dikontrol oleh yang pertama.26
Elit yang berkuasa, demikian dinyatakan oleh Harold Laswell, merupakan
“suatu kelas yang terdiri dari mereka yang berhasil menempati kedudukan
dominasi dalam masyarakat, dalam arti bahwa nilai-nilai (values) yang mereka
bentuk (ciptakan, hasilkan) mendapat penilaian tinggi dalam masyarakat yang
bersangkutan”.27
24
Varma, SP. 2010. Teori Politik Modern. Jakarta : Rajawali Press 25
Ibid 26
Ibid 27
Haryanto. 2005. Kekuasaan Elit Suatu Bahasa Pengatar. Yogyakarta : JPP Press.
20
Elit Governing Elit
Non Governing Elit
Non Elit
Sedangkan menurut Mills, elit adalah individu-individu yang menduduki
posisi puncak pada institusi-institusi utama yang ada dalam masyarakat.28
Oleh
karena kedudukannya tersebut, elit mampu mengeluarkan keputusan-keputusan yang
berlaku dan mengikat seluruh anggota masyarakat. Dengan institusi-institusi tersebut
elit juga mampu memaksakan keputusannya untuk ditaati oleh seluruh
masyarakatnya.
Di Indonesia, studi tentang elit sudah banyak dilakukan. Salah satu yang
menarik adalah penelitian dari Vedi R. Hadiz dan Richard Robison dalam buku
Dinamika Kekuasaan, Ekonomi, Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Dalam buku
tersebut dipaparkan bahwa kekuatan oligarki yang terbangun pada masa
pemerintahan Soeharto masih tetap mampu memainkan peran sentralnya meskipun
dengan mengikuti perubahan politik tanah air. Demokratisasi yang berlangsung
pasca Orde Baru tidak serta merta menggeser kekuatan oligarki, kemampuan
28
Ibid, hal. 18
Sumber : Mark N. Hagopian (1978 : 224) 1
21
ekonomi-politik yang dimiliki oleh para elit oligarki ini memainkan peran-peran
demokrasi yang dibajak untuk memelihara kekuasaannya.
Lebih jauh Vedi R Hadiz dan Richard Robison menyebutkan bahwa dalam
demokratisasi saat ini, konfigurasi elit masih dihiasi oleh pemain-pemain lama. Hal
ini menunjukkan kekuatan elit-elit oligarki yang mampu melakukan transformasi
kekuasaan politik. Elit-elit tersebut memegang peran sentral dengan kekuasaan
ekonomi yang mampu dimanfaatkan untuk bermain dalam arena politik.
Jika dalam tulisan Vedi R Hadiz dan Richard Robison mengungkapkan
metamorfosis elit-elit oligarkis yang mampu memainkan peran-peran demokrasi
dengan memanfaatkan kekuatan ekonomi, maka dalam penulisan ini akan
dipaparkan secara lebih komprehensif tentang kekuatan-kekuatan lain selain
kekuatan ekonomi yang mampu melakukan hal yang sama untuk dimanfaatkan
dalam arena politik.
b. Sirkulasi Elit
Masyarakat dibagi kedalam 2 (dua) lapisan yakni kelompok Elit dan
kelompok non elit atau Massa dapat mengalami perubahan. Adapun maksudnya,
sekelompok individu yang berkedudukan sebagai elit tidak selamanya mereka akan
menduduki posisi tersebut. Posisi yang mereka sandang tidak bersifat langgeng
karena akan diganti atau digeser oleh kelompok lain. Hal tersebut tidak dapat
22
dielakkan, dimasyarakat manapun juga perubahan atau pergeseran elit pasti akan
berlangsung29
.
Pembagian masyarakat menjadi Elit dan non-Elit atau massa dapat
mengalami perubahan. Adapun maksudnya sekelompok anggota masyarakat yang
berkedudukan sebagai Elit, tidak selamanya mereka akan menduduki posisi tersebut.
Posisi mereka tidak bersifat langgeng karena akan diganti atau digeser oleh
kelompok lainnya30
.
29
Haryanto. 2005. Kekuasaan Elit Suatu Bahasa Pengatar. Yogyakarta : JPP Press. 30
Haryanto. 1991. Elit, Massa dan Konflik. Yogyakarta : PUA-Studi Sosial UGM.
23
Di masyarakat manapun juga, perubahan atau pergeseran Elit yang disebut
sirkulasi elit pasti akan berlangsung. Tidak ada suatu kekuatanpun yang mampu
menghalangi sirkulasi elit tadi. Lambat atau cepat keberadaan elit (sekelompok elit)
yang sedang berkuasa pasti tergeser oleh kelompok lainnya. Kepastian ini didasarkan
paling tidak secara alamiah, bawa elit yang sedang berkuasa tadi tidak mungkin
memerintah secara terus menerus. Kemampuan mereka sebagai elit dibatasi oleh
usia31
. Sehubungan dengan hal tersebut, Pareto menyatakan pendapatnya bahwa
tubuh elit terdapat kecenderungan untuk mengalami decay atau pembusukan. Dan
non elit atau massa berkecenderungan untuk membuat dirinya, secara potensial,
dapat memasuki lingkungan elit dalam kaitannya dengan hal tersebut Pareto
mengungkapkan pernyataan yang populer yakni bahwa sejarah merupakan kuburan
bagi kaum Aristokrasi. Dengan demikian dalam suatu masyarakat dapat terjadi suatu
proses yang lebih sering dikenal “Sirkulasi Elit”. Dengan rumusan perkataan yang
lebih sederhana, sirkulasi elit ini melibatkan suatu proses promotion kelompok non
31
Ibid
24
elit kedalam lapisan elit dan proses demotion kelompok elit kedalam lapisan non
elit32
Sirkulasi elit tidak hanya merupakan proses pergantian atau pertukaran antara
elit dengan non elit atau massa, tetapi juga mencakup pergantian atau pertukaran
posisi di antara sesama elit sendiri. Konsep Pergantian menurut Pareto merupakan
suatu pekuburan aristokrasi. Dalam setiap masyarakat ada gerakan yang tak dapat
ditahan dari individu-individu dan elit-elit kelas atas hingga kelas bawah, dan dari
tingkat bawah ke tingkat atas yang melahirkan suatu peningkatan yang luar biasa
pada unsur yang melorotkan kelas-kelas yang memegang kekuasaan, yang pihak lain
justru malah meningkatkan unsur-unsur kualitas superior; pada kelompok-
kelompok(yang lain). Ini menyebabkan semakin tersisihnya kelompok-kelompok elit
yang ada dalam masyarakat33
.
32
Haryanto. Kekuasaan Elit…Op.Cit 33
Varma, SP. 2010. Teori Politik Modern. Jakarta : Rajawali Press
Non elit
Elit
Sumber : Mark N. Hagopian (1978 : 225)
Demotion Promotion
25
Jenis pergantian antar elit yaitu : 1. Diantara kelompok-kelompok elit yang
memerintah itu sendiri dan 2. Diantara elit dan penduduk lainnya, hal ini kemudian
dapat diketegorikan menjadi dua bagian yakni : Pertama, Individu-individu dari
lapisan yang berbeda kedalam kelompok elit yang sudah ada. Kedua, Individu dari
lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan masuk kedalam suatu
kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada34
.
C. Wright Mills (1974), berdasarkan hasil penelitiannya di sebuah
masyarakat kecil di Amerika Serikat menunjukkan bahwa meskipun dilakukan
pemilihan umum yang demokratis, ternyata kelompok elite penguasa disana selalu
datang dari kelompok yang sama. Kelompok ini, yang merupakan kelompok elite di
daerah tersebut, menguasai jabatan negara, jabatan militer dan posisi-posisi kunci
perekonomian.35
Dari penemuannya ini, Mills kemudian mengembangkannya dalam Teori Elit
Kekuasaan. Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa meskipun masyarakat terdiri
dari bermacam kelompok yang pluralisis, tetapi dalam kenyataannya kelompok elite
penguasa datang hanya dari satu kelompok masyarakat tertentu.36
Sehingga hal ini
kemudian menunjukkan bahwa, sirkulasi elit tidak hanya merupakan proses
pergantian atau pertukaran antara elit dengan non elit atau massa, tetapi juga
mencakup pergantian atau pertukaran posisi di antara sesama elit sendiri.37
Sirkulasi
elit sebenarnya menunjukkan pada pada dua hal yaitu suatu proses dimana terjadi
34
Ibid 35
Budiman, Arief. 1996. Teori Negara : Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama 36
Ibid 37
Haryanto. Kekuasaan Elit…OP.Cit.
26
pergantian atau pertukaran antara elit dan non elit atau massa, dengan pergantian
atau pertukaran antara elit dan non elit atau massa, dan pergantian atau pertukaran
diantara sesama elit itu sendiri. Sehubungan dengan sirkulasi elit, menurut Pareto.
Sebenarnya yang penting adalah adanya pergantian elit yang ada dengan kelompok
baru yang mempunyai kualitas yang lebih baik38
.
Dalam pernyataan yang lebih sederhana. Sirkulasi Elit dapat dikatakan
merupakan suatu mobilitas atau pergeseran elit dari suatu kelas dalam masyarakat ke
kelas yang lainnya. Pareto dalam hal ini mengungkapkan bahwa disetiap masyarakat
dimanapun berada elit secara kontinyu berupaya mengadakan perubahan didalam
kelas-kelas atau posisi-posisi di mana dia berada, dan juga selalu ada gerakan
diantara elit dan non elit. Elit tidak hanya melakukan perubahan didalam dirinya atau
kelompoknya saja. Tetapi mereka juga melakukan pada kelompok-kelompok kelas
lainnya. Dalam perubahan tersebut, sekelompok kecil individu yang berasal dari
golongan non elit dapat masuk kedalam jaringan elit dan sebaliknya individu-
individu yang berasal dari golongan elit dapat terperosok menjadi massa39
.
Proyek Desentralisasi telah mengundang banyak elit untuk bertarung dalam
ranah politik lokal. Kompetensi pertarungan antar elit lokal dapat terlihat dari
pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota legislatif di pemilu. Penjelasan ini
senada dengan pendapat Joseph Schumpether yang mengartikan demokrasi dengan
melibatkan suatu keadaan dimana setiap orang pada prinsipnya bebas bersaing untuk
38
Haryanto. Elit, Massa dan Konflik...Op.Cit. 39
Ibid
27
mendapatkan kedudukan politk.40
Konteks demokrasi ala Joseph Schumpether sudah
mulai dijalankan oleh para elit politik lokal baik itu dalam pemilihan kepala daerah
(Gubernur dan walikota/bupati), termasuk pemilihan anggota legislatif dalam
pemilihan umum.
Masuknya klan darah biru dalam daftar calon legislatif juga menunjukkan
betapa sirkulasi elit berputar diantara elit yang saat ini ada. Ruang bagi individu-
individu yang berada diluar kendali elit dibatasi dengan menempatkannya di orbit
terluar pencalonan. Sementara itu, mereka yang berada dalam hubungan darah biru
dan jejaringnya berada pada pusat orbit pencalonan. Dengan demikian, secara
substantif penyegaran wajah elit politik tidak terjadi karena elit yang saat ini
berkuasa sedang bermetamorfosis dan mewariskan kekuasaannya kepada mereka
yang memiliki hubungan darah dengannya.41
3. Teori Patronase
Pola hubungan patron-klien merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas
atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan maupun
penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah
(inferior), dan Patron dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior). Atau dapat pula
diartikan bahwa patron adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu
klien-kliennya42
.
40
Zainal A. Politik Lokal Ala Nigrat. Flamma. Edisi 20. Vol 10, Mei – Juni 2004. Hal 60-61. 41
Pamungkas, Sigit. Pemilu, Perilaku Pemilih dan Kepartaian…OP.Cit.
42
James C Scott. 1993. Moral Ekonomi Petani. Jakarta : LP3S.
28
Patronase (Patron – Klien) merupakan hubungan yang melibatkan antara dua
orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang
yang lebih tinggi kedudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh
sumberdaya yang dimilikinya, untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atau
kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien), yang pada
gilirannya membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan umum dan
bantuan, termasuk jasa-jasa pribadi kepada patron.43
Di daerah Mandar hubungan pengikut dengan bangsawan juga nampak jelas.
Seperti kita ketahui, didaerah ini tanah dibagi-bagikan kepada kelompok-kelompok
kekerabatan dari para pejabat dan dari para pemuka masyarakat yang ada. Diluar
kelompok-kelompok ini terdapat individu-individu yang terdapat dalam kategori
orang biasa. Mereka inilah yang menjadi pengikut orang-orang dari kalangan
bangsawan atau anggota kelompok kekerabatan para pejabat tadi. Oleh Mallinckrodt
(ARB, 1933), mereka ini dikatakan sebagai onvrijen (orang-orang yang tidak
merdeka), tetapi ini tidak berarti bahwa mereka adalah budak sebab meskipun
mereka memang juga onvrij karena terpaksa menuruti perintah orang yang
diikutinya, namun mereka memiliki hak serta kewajiban yang sangat berbeda dengan
budak. Dengan menjadi pengikut seorang bangsawan ini apabila mereka ingin
menggarap tanah.44
Seorang karaeng mempunyai kewajiban untuk memenuhi kewajiban ana‟-
ana‟nya atau para pengikutnya. Dia memberi bantuan dengan menyediakan sawah
43
James C Scott. Perlawanan Kaum Tani…Op.Cit 44
Putra, Heddy Shri Ahimsa. Minawang, Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan…Op.Cit
29
atau tanah untuk digarap, bibit untuk ditanam dan kerbau untuk membajak dan
begitupun dengan para pengikut yang berkewajiban untuk memberikan apa yang
diinginkan oleh karaengnya. Hubungan patron klien diatas dikenal sebagai
minawang, antara karaeng atau anakaraeng dengan taunna, atau ajjoareang dengan
joa-nya tampak relasi yang saling menguntungkan kedua belah pihak45
.
Patron klien dalam ilmu politik sering dikaitkan dengan konteks politik
kepartaian. Patronase dipahami sebagai sistem insentif atau sebuah “mata uang”
politik yang digunakan untuk membiayai aktifitas dan respon politik. Patronase
diyakini menjadi sebuah jalan yang digunakan oleh para politisi dipartai politik
untuk mendistribusikan sesuatu yang spesifik dalam barang publik (public goods)
yang akan dipertukarkan dengan dukungan politik dari yang diberi46
.
Hubungan patron klien dalam struktur sosial bagi Scott ditandai dengan
adanya perbedaan atas kepemilikan terhadap penguasaan atas kedudukan (status),
kekuasaan dan kekayaan dari sistem stratifikasi yang mendasari pertukaran vertikal
yang terjadi47
. Proses hubungan yang asimetris diantara keduanya kemudian tercipta
hubungan timbal balik yang bersifat resiflocal yang saling menguntungkan.
Hubungan timbal balik semacam itu bisa diwujudkan dalam kepemimpinan dengan
anggotanya dalam sebuah kelompok ataupun organisasi. Hubungan ini lebih jauh
kemudian dilembagakan dalam bentuk perjanjian atau kesepakatan. Tetapi bisa juga
secara informal yang disosialisasikan dalam masyarakat melalui nilai-nilai sosial.
45
Ibid 46
Usman, Suyonto. Paper Kuliah Sosiologi Politik. Program Pasca Sarjana Ilmu Politik UGM.
Yogyakarta: 2007 47
James C Scott. Perlawanan Kaum Tani…Op.Cit
30
James Scott memandang bahwa interaksi patron klien ini merupakan kasus
khusus dari ikatan dua orang yang bersifat dikotomis dan hierarkis, antara yang lebih
tinggi yaitu patron dan yang lebih rendah yang disebut klien48
. Pengertian tersebut
menjurus pada karakteristik hubungan patron klien yang khas sebagaimana
diutarakan Scott, yakni didasarkan pada ketidaksamaan (inequality) dan fleksiblitas
yang terbesar sebagai sistem pertukaran pribadi49
. Dua indikator relasi patron klien
scott tersebut diperkuat dengan argumentasi David Levinson dan Melvin Ember
bahwa dua karakteristik tersebut dibungkus halus sebagai fakta sosial-kultural yang
hanya didasarkan pada perjanjian informal50
. Namun dalam praktik tidak pernah ada
garansi akan muncul distorsi-distorsi yang bersumber dari percampuran dengan
kepentingan ekonomi dan politik.
Dalam masyarakat Mandar, mayoritas bermata pencaharian sebagai petani
dan nelayan. Sehingga struktur masyarakat Mandar yang dikenal tradisionalis
dengan pemilik tanah dan perahu, penguasaan informasi dan pengetahuan sangat
terkonsentrasi pada mereka yang menguasai kedudukan (status), kekuasaan dan
kekayaan. Peran patron dari tokoh agama atau yang dalam masyarakat mandar
dikenal dengan sebutan Annaguru dan tokoh politik di Mandar, dalam masyarakat
agamis memiliki tiga unsur sebagaimana dikemukakan Scott diatas. Karena mereka
menguasai sumberdaya ekonomi, pengetahuan dan akses kekuasaan. Menjadi mudah
dimengerti apabila mereka kemudian menjadi kelompok minoritas kaya, berkuasa,
48
Ibid 49
Ibid 50
Soeprapto, Y. Sarworo, Nasikum dan Purwanto. Hubungan Patron-Klien di Lingkungan
Perkebunan Tembakau Vorstenlanden Klaten Jawa Tengah : Perstektif Sosiologis tentang Ketahanan
Nasional. dalam jurnal sosiohumanika No. 116A. Januari 2003. Hal 11
31
determinan dalam proses pengambilan keputusan sekaligus menguasai saluran dan
akses komunikasi dengan dunia luar51
.
Hubungan patron klien dalam hidup keberagaman di daerah pertanian ini
bagi Boissavien merupakan lahan subur untuk berkembang dan bekerjanya relasi
patron klien. Sebuah argumentasi yang merupakan temuan patronase ala Scott,
kuatnya hubungan saling ketergantungan antara klien dengan patron atau sebaliknya.
Hanya saja Boissavien mengambil sampel kehidupan keberagaman masyarakat di
italia, sementara itu Scott membaca dari lokasi dikawasan Asia Tenggara dengan
penduduk yang mayoritas sebagai petani52
.
Relasi patron klien semakin berkembang menjadi kajian dalam ilmu politik
terutama dinegara-negara post kolonialist yang berhasil memerdekakan diri dari
segala bentuk kolonialisme dan penjajahan. Hanya saja bagi Sunyonto Usman,
sosiolog dari UGM, dalam prosesnya negara justru hadir dengan kekuatan maha
daya, omnipotent dan memiliki otonomi relatif meskipun pada saat yang bersamaan
tidak mudah dibedakan entitasnya dengan masyarakat itu sendiri. Karakter politik
yang berkembang menghasilkan pola politik yang kuat dengan nuansa patron klien
atau patronase. Entitas politik yang menguasai sumberdaya politik dan ekonomi yang
luas, berupaya menjadi patron yang budiman yang dikenal sebagai power house
state. Sedangkan warga yang belum selesai mengalami transformasi identitas dari
51
Ibid 52
James Scott. Perlawanan Kaum Tani...Op.Cit
32
basis askriptif atau primordialnya, lebih merupakan sekumpulan orang yang berharap
“kedermawanan” entitas politik formal dan informal tersebut dikenal sebagai klien53
.
Sosiolog UGM ini mengurai hubungan patron klien tersebut dalam dua
kategori yaitu : hubungan patron klien yang bersifat patrimonial dan patron klien
yang bersifat refresif. Hubungan patron klien yang bersifat patrimonial terutama
didasarkan pada penerimaan nilai-nilai tradisional tertentu yang melembagakan
posisi super-ordinasi dan sub-ordinasi. Kemudian hubungan patron klien yang
bersifat refresif didasarka pada bentuk tekanan dari kelompok yang berkuasa sebagai
akibat dari legitimasi yang dimiliki secara bertahap terus menurun54
. Tipe hubungan
patron klien yang bersifat patrimonial dalam sejarahnya berkembang didaerah
perkebunan di negara-negara jajahan, bersama dengan paham patrenalisme yang
membingkai sistem hubungan kerja para buruh perkebunan. Patrenalis sengaja
diintroduksi atau dibawah oleh kaum penjajah untuk membingkai sistem hubungan
kerja tersebut, terutama dalam kaitannya dengan fungsi keluarga besar (the extended
family).
Dalam komunitas semacam itu, terutama ketika kaum penjajah kurang
memperhatikan nasib mereka, tipe hubungan patron klien yang patrimonial tersebut
memungkinkan klien sebagai orang yang lemah memperoleh perlindungan,
meskipun harus dibayar dengan memberi dukungan ekonomi atau politik terhadap
patron. Akan tetapi hubungan patron klien yang bersifat patrimonial semacam itu
masih dapat dijumpai sekarang, terutama dikalangan masyarakat agraris di
53
Usman, Suyonto. Paper Kuliah Sosiologi Politik… Op.Cit 54
Ibid
33
kabupaten Polewali Mandar yang masih melembagakan sistem sosial ekonomi yang
memungkinkan patron memperoleh dukungan atau loyalitas dari klien.
Selanjutnya, tipe hubungan patron klien yang bersifat refresif muncul
kepermukaan menjadi bagian strategi yang amat penting bagi para pemilik modal
dan penguasa dalam usahanya mempertahankan diri dari erosi struktur dan sistem
nilai tradisional masyarakat pedesaan, sebagai akibat dari tekanan-tekanan ekonomi
dan politik yang datang dari luar55
. Adanya erosi semacam itu membuat patron
dengan segala kekuatan dan kemampuan yang ada terus berusaha mempertahankan
diri jangan sampai kehilangan peran fungsi kontrol. Sehingga segala cara ditempuh,
sepanjang diyakini efektif bagi usaha mempertahankan diri dari erosi tersebut.
G. Kerangka Pikir
55
Ibid
N E G A R A
KEKUASAAN
MENGGA MANGGABARANI MASDAR
SUMBERDAYA POLITIK
PATRONASE
DOMINASI
PEMILUKADA
34
Penjelasan :
Relasi kuasa antara Soeharto, ABRI dan GOLKAR pada masa orde baru,
mengakibatkan dalam setiap penentuan kepemimpinan ditingkat lokal baik itu
Provinsi maupun Kabupaten/Kota, pada umumnya selalu berasal dari kalangan
ABRI atau GOLKAR. Begitu juga hanya di Kabupaten Polewali Mandar, pada masa
awal Orde Baru Soeharto yang dalam hal ini bertindak sebagai Negara memberikan
kekuasaan kepada ketiga klan yakni klan Mengga dan klan Manggabarani berasal
dari latar belakang ABRI dan klan Masdar yang merupakan ketua umum GOLKAR
di Kabupaten Polewali Mandar, pada masa penunjukan sebagai Bupati Polewali
Mandar mereka kemudian mulai mengumpulkan apa yang oleh Charles F Andrain
sebagai sumberdaya politik, kemudian dari Sumberdaya politik yang dimiliki ketiga
klan ini membentuk sistem patronase dan memperoleh kepatuhan dari para klien
tersendiri dengan menempatkan mereka sebagai patron. Dengan sumberdaya politik
dan relasi Patron-klien inilah kemudian ketiga klan tersebut menancapkan Dominasi
mereka dalam setiap Pemilihan Kepala Daerah dan menempatkan mereka secara
eksklusif di orbit terdalam dalam Pemilihan Anggota Legislatif. Sehingga pola
sirkulasi elit yang terjadi di Polewali Mandar hanya berputar pada ketiga klan ini
saja.
H. Metodologi
1. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif, metode
kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu dibalik
fenomena yang sedikitpun belum diketahui. Metode ini dapat juga digunakan
35
untuk mendapat wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit diketahui.56
Penelitian ini mencoba menggambarkan tentang bagaimana ketiga klan tersebut
menancapkan dominasinya di Kabupaten Polewali Mandar, serta bagaimana pola
relasi yang terjadi antara ketiga klan keluarga tersebut. Dengan sumber daya
politik yang melekatnya pada dirinya dan Pola relasi Patron-klien sehingga klan
tersebut dapat terus mempertahankan kekuasaannya.
Menurut Lexi J. Moleong metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang diamati.57
Dalam metode penelitian tersebut seorang peneliti harus
terjun langsung dalam objek yang diteliti agar data dan informasi yang diperoleh
sesuai dengan objek yang diteliti.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal, penelitian ini tidak hanya
menggali dan menggambarkan fenomena-fenomena yang tampak, tetapi juga
memiliki tugas untuk menjelaskan atau menginterpretasikan dengan harapan
memperoleh pemahaman dari pembacaan terhadap peristiwa yang ada. Dalam
konteks ini, peneliti memilih untuk mengambil metode kualitatif yang bersifat
eksploratif-interpretatif sehingga tidak menggunakan dan melakukan perhitungan
angka-angka seperti yang ada dalam metode kuantitatif.58
Menurut Masyhuri dan Zainuddin menyatakan bahwa Penelitian eksploratif
adalah penelitian yang masalahnya belum pernah dijajaki, belum pernah diteliti
56
Staurus, Aslem & Corbin, Juliet, 2003, Dasar-Dasar Penelitian Kualitati, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta 57
Lexi J. Moleong, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosda Karya, Bandung. 58
Ibid
36
orang lain. Kesulitan yang dihadapi peneliti adalah masih mencari-cari akar,
meskipun peneliti dalam kondisi kegelapan masalah, tetapi ia tetap berusaha
menemukan permasalahan yang sedang atau akan diteliti tersebut.59
2. Jenis Penelitian
Fenomena politik di Polewali Mandar yang dominasi oleh ketiga klan ini,
merupakan sebuah kasus yang tidak banyak terjadi dan memiliki khasan
tersendiri, sehingga penelitian ini bukan menjadi sampel untuk sebuah kasus
yang terjadi. Selain itu penelitian ini berusaha untuk menjelaskan tentang
dominasi dari ketiga klan, tersebut terhadap para elit-elit lain yang merupakan
raja lokal dan golongan bangsawan yang berada di Polewali Mandar serta
bagaimana pola interaksi masyrakat terhapap ketiga klan keluarga tersebut.
Karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola relasi dan melacak
sumberdaya politik yang dimiliki oleh ketiga klan ini dalam mempertahankan
eksistensinya terhadap elit-elit lain di Polewali Mandar. Maka metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan eksploratif dianggap yang paling tepat untuk
menjelaskan dominasi mereka di Polewali Mandar, eksploratif secara umum
dikenal sebagai pendekatan yang memiliki cakupan yang cukup luas namun tidak
menggali lebih mendalam terhadap sesuatu dan biasanya digunakan untuk
meneliti masalah yang belum pernah diteliti sebelumnya. Menurut Arikunto
bahwa “seorang peneliti yang ingin menggali secara luas tentang sebab-sebab
59
Masyhuri dan M Zainuddin, 2008, Metodologi Penelitian, Reflika Aditama, Bandung. Hal 48.
37
atau hal-hal yang mempengaruhi terjadinya sesuatu dinamakan penelitian
eksploratif”.60
Metode penelitian kualitatif dengan menggunakan metode eksploratif
membantu peneliti memasuki sudut pandang orang lain, dan berupaya
memahami mengapa mereka demikian. Metode penelitian kulaitatif yang
berlandaskan eksploratif menuntut suatu pendekatan holistik, menundukkan
obyek penelitian dalam suatu kostruksi ganda, yakni melihat objek dalam suatu
konteks natural, bukan parsial. Atau dengan kata lain data dalam penelitian ini
diperoleh dengan mengadakan wawancara mendalam terhadap responden.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan teknik yang diharapkan dapat menghasilkan data yang memenuhi
syarat, lengkap dan relevan. Untuk itu dalam penelitian proses pengambilan data
dilakukan dengan dua cara yaitu: Data Primer adalah data yang diperoleh secara
langsung dari responden, dan Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari
pihak lain yang lebih dahulu memperoleh dan mengelolanya.61
Berikut adalah
instrumen yang akan digunakan dalam pengumpulan data, yakni :
a. Studi Dokumentasi dan Literatur
Untuk mendapatkan informasi mengenai objek penelitian yang lebih
banyak dan sebelum dielaborasikan, peneliti melakukan studi dokumentasi
dan literatur agar penelitian ini dapat disajikan lebih akurat.
60
Arikunto,Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta. 61
Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur ...Op.cit.
38
Arikunto menyatakan bahwa Metode Dokumentasi adalah mencari
data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku,
surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya.
Adapun dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini berupa sumber-sumber
tertulis yang ada baik berupa buku, profil, peraturan, literatur, laporan
maupun tabel yang erat hubungannya dengan objek penelitian.62
Penulis dalam penelitian ini memfokuskan studi pendokumentasian
dan literatur berupa data-data hasil penelitian atau riset terdahulu yang
relevan dengan kajian ini, literatur yang mendukung, jurnal-jurnal ilmiah,
data media massa yaitu koran, majalah, atau internet, data-data resmi
kelembagaan, maupun data pendukung lainnya.
b. Wawancara Mendalam (in-depth Interview)
Teknik pengumpulan data berikutnya adalah wawancara secara
mendalam (in-depth interviw) dengan apa yang menjadi objek penelitian.
Wawancara atau interview adalah suatu teknik pengumpulan data dengan
melakukan tanya jawab secara langsung terhadap responden yang dianggap
mempunyai hubungan dengan objek penelitian. Dalam penelitian ini,
pedoman wawancara yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur,
dimana peneliti mula-mula menanyakan sejumlah pertanyaan yang sudah
terstruktur, kemudian diperdalam untuk memperoleh keterangan secara lebih
mendalam. Seperti yang dikemukakan oleh Arikunto mengenai wawancara
semi terstruktur: Mula-mula interviewer menanyakan serentetan pertanyaan
62
Ibid
39
yang sudah terstruktur, kemudian satu per satu diperdalam dalam mengorek
keterangan lebih lanjut. Dengan demikian jawaban yang diperoleh bisa
meliputi semua variabel, dengan keterangan yang lengkap dan mendalam.63
Menurut Nazir Wawancara adalah proses memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara mengadakan tanya jawab sambil bertatap
muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau
responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide
(panduan wawancara).64
Wawancara mendalam merupakan suatu cara yang dilakukan untuk
mengungkap dan mengelaborasi sebanyak mungkin informasi melalui tanya
jawab langsung dengan responden sesuai dengan tujuan penelitian.65
Data
yang dikumpulkan berbentuk hasil wawancara yang dilakukan terhadap
narasumber yang berasal dari para pelaku terkait yang terdiri dari raja-raja
dan keturunan bangsawan mandar, tokoh masyarakat, cendekiawan lokal dan
pemuka agama, serta ketua partai politik besar yang ada di Kabupaten
Polewali Mandar.
4. Lingkup dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini merupakan studi yang membahas mengenai para elit lokal yang
kemudian bersaing untuk memperoleh kekuasaan di Mandar, namun dalam
praktinya hanya ada tiga klan saja yang secara bergantian medapatkan
63
Ibid hal 227 64
Nazir, Mohammad, 2003, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta hal 193 65
Koentjaningrat dalam Koentjaningrat, 1977, Metode-Metode Penelitian Masyarakat,
Jakarta: Gramedia, hal. 162
40
kedudukan sebagai Bupati Polewali Mandar, bahkan pasca liberalisasi politik
ketiga klan ini masih terus mendominasi politik di Polewali Mandar. Sehingga
lingkup dan cakupan penelitian ini adalah mencoba menyajikan elit dari ketiga
klan keluarga ini dan orang-orang penting yang berada disekitar mereka pada
saat proses demokrasi berlangsung dan menyajikan semua proses demokrasi
yang dengan segala keterlibatan mereka dalam mempertahankan dominasinya.
Walaupun penelitian ini berjudul Dominasi politik di Mandar, dimana atau
yang lebih dikenal dengan Sulawesi Barat, namun karena ketiga klan keluarga
tersebut bermukim di Kabupaten Polewali Mandar maka lokus penelitian
penelitian akan dibatasi di lingkup Kabupaten Polewali Mandar.
5. Teknik Analisis Data
Menurut Bogdan & Biklen Analisis data adalah proses mencari data dan
mengatur secara sistematis transkrip interview, catatan di lapangan, dan bahan-
bahan lain yang anda dapatkan, yang kesemuanya itu untuk meningkatkan
pemahaman terhadap suatu fenomena dan membantu anda untuk
mempresentasikan penemuan anda kepada orang lain.66
Menurut Nasution dalam buku Metode Research, tiga langkah dalam
menganalisis data pada penelitian kualitatif yaitu :67
1. Reduksi data
Data yang diperoleh di lapangan diperoleh dalam bentuk laporan terinci.
Laporan itu direduksi, dirangkum dan dipilih-pilih hal-hal penting
kemudian dicari tema dan polanya.
66
Irawan, Prasetya, 2000, Logika Dan Prosedur Penelitian, STIA-LAN Press, Jakarta. Hal 100 67
Nasution, 2002, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung. Hal 129
41
2. Display data
Untuk menghindari kesulitan dalam melihat gambaran dari data yang
bertumpuk maka bagian-bagian tertentu dari penelitian diusahakan dalam
bentuk matrik, grafik, network, atau charts.
3. Mengambil keputusan dan verifikasi Data dikumpulkan dan dicari
maknanya, pola hubungan, tema, persamaan, hal-hal yang sering timbul,
hipotesis dan lain sebagainya.
I. Sistematika Penulisan
Mengingat penelitian ini memakai metode penelitian Kualitatif, maka tesis
ini disusun atas dasar pengalaman penulis selama di lapangan. Penulisan ini
bersifat narasi yang disajikan dalam beberapa bentuk sistematika yang disarikan
sebagai berikut.
Bab I Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, studi
literatur, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bagian ini
berisi landasan pemikiran tesis dan operasional kerja tesis. Bab pertama ini
bertujuan untuk memberi pemahaman kepada pembaca tentang masalah
mendasar penelitian ini, termasuk didalamnya mengapa masalah penelitian ini
penting untuk dikaji dalam konteks sekarang.
Bab II Mandar Sejarah dan Budaya
Pada bab ini akan menjelaskan keadaan sejarah, demografi, struktur masyarakat,
pranata, dan karakter masyarakat sebagai gambaran umum masyarakat Polewali
Mandar dan kebudayaannya. Serta mendeskripsikan tentang profil dan sejarah
42
ketiga klan dalam memperoleh kekuasaan di Polewali Mandar. Tujuan dari
penulisan ini untuk melacak bagaimana awal mula generasi pertama dari masing-
masing keluarga ini memperoleh kekuasaan di Polewali Mandar.
Bab III Dari Sumberdaya Politik dan Patron-Klien, Menuju ke Dominasi
Politik
Pada bab ini penulis akan mendeskripsikan sumber daya yang dimiliki oleh
ketiga klan yang digunakan untuk memobilisasi massa dalam setiap proses
demokrasi yang terjadi di Polewali Mandar. Bagian ini juga merupakan hasil
penelitian yang dilakukan penulis selama dilapangan.
Bab IV Dominasi Politik dan Pertarungan Sumberdaya Antara Kontestasi
dan Kolaborasi
Pada bab ini membahas kontestasi diantara ketiga Klan dalam Pilkada dan
memetakan daerah yang menjadi basis massa dari ketiga klan tersebut. Tujuan
dari bab ini untuk melihat bagaimana sumber daya digunakan untuk dijadikan
strategi dalam setiap proses demokartisasi di Polewali Mandar. Selain itu pada
bagian ini juga membahas kerjasama diantara ketiga klan dalam setiap Pilkada.
Tujuan dari bab ini untuk melihat bagaimana hubungan diantara ketiga klan,
yang tidak selalu berkontestasi, tetapi juga berkolaborasi, dan melihat apa yang
menjadi dasar dari hubungan tersebut. Bab ini juga akan membahas mengenai
bagaimana ketiga klan keluarga ini mempertahankan kekuasaan mereka dari elit-
eli baru yang semakin marak bermunculan di Mandar, baik itu elit dibidang
Ekonomi, Pendidikan dan Kebudayaan.
43
Bab V Penutup
Bab ini merupakan penutup yang merupakan kesimpulan dari hasil penelitian
sekaligus jawaban dari pertanyaan penelitian. Tidak sampai disitu, dalam bagian
ini juga diisi dengan refleksi kritis atas kelemahan-kelemahan dari penelitian
sebelumnya berdasar kankonsep-konsep yang telah diterapkan berdasarkan hasil
temuan-temuan di lapangan serta refleksi teoritis terkait dengan fenomena yang
terjadi di masyarakat Kabupaten Polewali Mandar sekaligus kesimpulan sebagai
jawaban atas pertanyaan penelitian.