Upload
nguyendung
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini masalah keamanan pangan sudah merupakan masalah global,
sehingga mendapat perhatian utama dalam penetapan kebijakan kesehatan
masyarakat. Letusan penyakit akibat pangan (foodborne disease) dan kejadian-
kejadian pencemaran pangan tidak hanya terjadi di berbagai negara berkembang
dimana kondisi sanitasi dan higiene umumnya buruk, tetapi juga di negara-negara
maju. Diperkirakan satu dari tiga orang penduduk di negara maju mengalami
keracunan pangan setiap tahunnya. Bahkan di Eropa keracunan pangan
merupakan penyebab kematian kedua terbesar setelah ISPA (BPOM RI, 2004).
World Health Organization (WHO) menyebutkan terdapat 351 orang di
dunia meninggal akibat keracuanan makanan di setiap tahunnya. 37.000 di
antaranya meninggal akibat makanan yang terkontaminasi bakteri E. coli. Data
tersebut didapatkan pada tahun 2010 (WHO, 2015). Center for Disease Control
and Prevention (CDC) melaporkan terjadi 350 KLB E. coli di 49 bagian negara
US pada rentang waktu tahun 1982 sampai tahun 2002 dengan 8.598 kejadian
(Josefa, 2005).
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1096/Menkes/SK/VI/2011
menyebutkan bahwa jumlah cemaran E. coli pada makanan tidak boleh melebihi
angka nol, begitu pula bagi angka kuman pada alat makan dan minum tidak
mengandung angka kuman yang melebihi 100/cm2. Sebuah penelitian yang
dilakukan pada Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Margonda, Depok (Susanna,
Indrawani M, & Zakianis, 2010), menunjukkan bahwa sebanyak 41% sampel
makanan terkontaminasi oleh E. coli. (Djaja, 2008) membandingkan kontaminasi
E. coli pada bahan makanan dan makanan yang disajikan pada tiga jenis Tempat
Pengelolaan Makanan (TPM). Hasil kontaminasi tertinggi terjadi pada PKL
(29,4%). Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah cemaran E. coli pada makanan
dan minuman di tiga jenis TPM masih melibihi batas maksimal.
2
Sebagai salah satu jenis tempat-tempat umum yang menyediakan makanan
untuk masyarakat, TPM memiliki potensi yang cukup besar untuk menimbulkan
gangguan kesehatan akibat makanan yang diproduksi. Gangguan kesehatan yang
diakibatkan oleh makanan yang terkontaminasi dapat berupa penyakit bawaan
makanan yang ditandai dengan sakit perut, diare (buang air besar lebih dari 3 kali
sehari dan berair/encer), dan kadang muntah (Depkes RI, 2012).
Salah satu sumber penularan penyakit dan penyebab terjadinya keracunan
makanan adalah makanan dan minuman yang tidak memenuhi syarat higiene.
Keadaan higiene makanan dan minuman antara lain dipengaruhi oleh higiene alat
masak dan alat makan yang dipergunakan dalam proses penyediaan makanan dan
minuman. Alat makan merupakan salah satu faktor yang memegang peranan di
dalam menularkan penyakit, sebab alat makan yang tidak bersih dan mengandung
mikroorganisme dapat menularkan penyakit lewat makanan, sehingga proses
pencucian alat makan sangat berarti dalam membuang sisa makanan dari peralatan
yang menyokong pertumbuhan mikroorganisme dan melepaskan mikroorganisme
yang hidup. Di samping itu, perilaku penjamah makanan ikut berperan dalam
menentukan suatu makanan sehat atau tidak, perilaku penjamah makanan juga
dapat menimbulkan risiko kesehatan, dalam arti perilaku penjamah makanan yang
tidak sehat akan berdampak pada higienitas makanan yang disajikan. Sebaliknya,
perilaku penjamah makanan yang sehat dapat menghindarkan makanan dari
kontaminasi atau pencemaran dan keracunan.
Dari hasil monitor Badan POM RI terhadap kejadian luar biasa (KLB)
keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2004 menunjukkan bahwa telah terjadi
KLB keracunan pangan sebanyak 153 kejadian di 25 propinsi dengan jumlah
kasus yang dilaporkan sebanyak 7347 orang termasuk 45 orang meninggal.
Ditinjau dari sumber pangannya terlihat bahwa penyebab keracunan pangan
adalah yang berasal dari rumah tangga 47,1%, jasa boga 22,2%, makanan olahan
15%, makanan jajanan 14,4% dan 1,3% tidak dilaporkan. Distribusi keracunan
berdasarkan berdasarkan tempat menunjukkan bahwa sebanyak 23,5% kejadian
(BPOM RI, 2004).
3
Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan di Indonesia tahun 2011
sebanyak 128 kejadian dari 25 propinsi. Jumlah orang yang terpapar dalam KLB
keracunan pangan sebesar 18.144 orang dengan AR 38,03% (6.901 kasus) dan
CFR 0,16% (11 kasus)(BPOM RI, 2012). Tahun 2012 mengalami penurunan 44%
dengan 84 kejadian yang berasal dari 23 propinsi. Jumlah orang terpapar dalam
KLB keracunan pangan sebesar 8.590 orang dengan AR 37,66% (3.235 kasus)
dan CFR 0,58% (19 kasus)(BPOM RI, 2013). Sedangkan tahun 2013 KLB
keracunan pangan di Indonesia mengalami penurunan 36% dengan 48
kejadianyang berasal dari 34 propinsi. Jumlah orang terpapar sebesar 6.926 orang
dengan AR 24,40% (1.690 kasus) dan CFR 0,71% (12 kasus) (BPOM RI, 2014).
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melalui Direktorat Surveilan
dan Penyuluhan Keamanan Pangan, secara rutin memonitor Kejadian Luar Biasa
(KLB) keracunan pangan di Indonesia. Dari hasil Surveilan dan keracunan pangan
pada bulan Januari- Maret 2015 tercatat sebanyak 25 kasus, April-Juni 2015
sebanyak 50 kasus, Juli-September 2015 sebanyak 25 kasus dan Oktober-
Desember 2015 tercatat sebanyak 38 kasus (BPOM RI, 2016).
Kualitas makanan jajanan sangat dipengaruhi oleh higiene sanitasi makanan.
Badan POM menyatakan bahwa praktek higiene dan sanitasi yang rendah akibat
tidak memadainya suplai air, fasilitas cuci tangan dan tempat sampah di
lingkungan kantin sekolah dan sekeliling sekolah, merupakan faktor utama
penyebab masalah keamanan pangan jajanan. Menurut (DU, et al.,2005), faktor
yang berkontribusi terhadap kejadian luar biasa dikarenakan oleh penyakit akibat
makanan yang tercemar oleh bakteri dapat dipengaruhi oleh bahan makanan yang
tidak baik, penyimpanan makanan, hygiene perorangan yang kurang, sanitasi
dapur dan peralatan yang tidak baik, pengolahan yang tidak memenuhi syarat,
penyimpanan yang tidak memenuhi syarat dan lamanya makanan sejak disajikan
sampai dengan dikonsumsi. Berdasarkan penelitian menurut jenis tempat
pengolahan makanan yang dilakukan oleh Djaja (2008) diperoleh bahwa jenis
tempat pengelolaan makanan terbukti berpengaruh terhadap kontaminasi makanan
matang, pedagang kaki lima berisiko 4,92 kali untuk terkontaminasi jika
dibandingkan dengan jasa boga. Sedangkan berdasarkan jenis makanan yang
4
disajikan, pedagang kaki lima memiliki risiko 3,50 kali, restoran dan rumah
makan 3,25 kali jika dibandingkan dengan Jasa boga.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tumelap (2011) menunjukkan bahwa
hasil pemeriksaan laboratorium dari sampel peralatan makan yang digunakan oleh
Rumah Makan Jombang Tikala Manado tidak memenuhi syarat kesehatan sesuai
Permenkes RI No.1098/Menkes/SK/VII/2003 tentang Hygiene Persyaratan
Sanitasi Rumah Makan. Dari 16 sampel alat makan yang diperiksa semuanya
tidak memenuhi syarat. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium tersebut
diharapkan penjual lebih meningkatkan kebersihan makanan, higiene sanitasi
makanan terutama dalam proses pencucian peralatan makan dan penyimpanan alat
makan agar dapat memperkecil kemungkinan terjadinya kontaminasi dalam
makanan (Tumelap, 2011).
Makanan merupakan kebutuhan setiap manusia, dengan mobilitas yang
tinggi setiap manusia berkembang dengan gaya hidup yang beragam. Gaya hidup
yang beragam salah satunya adalah hidup instan, termasuk untuk penyediaan
makanan yang instan. Membeli makanan tidak lagi susah karena banyak penjual
makanan yang menyediakan dari penjual makanan kelas atas sampai kelas bawah
seperti restoran dan PKL (Pedagang Kaki Lima). PKL makmin di kota – kota
besar sekarang lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan penjual makanan
dan minuman yang bersifat prestise. Masyarakat lebih menyukai membeli
makanan dan minuman dari PKL makmin ini, karena harganya yang relatif murah
dan tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkannya (Wilis & Handayani,
2013).
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu daerah yang
mempunyai jumlah PKL relatif banyak, khususnya di Kota Yogyakarata dan
Kabupaten Sleman. Hal ini disebabkan posisi DIY sebagai salah satu daerah
tujuan wisata dan pendidikan. Sebagian besar PKL menawarkan berbagai barang
dagangan di trotoar sebagai kawasan ruang publik yang seharusnya menjadi
tempat para pejalan kaki. Lokasi jalan kaliurang yang melintasi kampus
Universitas Gadjah Mada menjadikan jalan ini sebagai jalan yang ramai setiap
harinya. Setiap malam di sepanjang Jalan Kaliurang akan dipenuhi oleh
5
mahasiswa yang membeli makan malam di warung-warung tenda yang ada dijalan
tersebut. Sebutan warung tenda mengacu pada warung makan yang tidak tetap
lokasinya, sifat bangunannya tidak permanen dan hanya berdiri pada malam hari
di sepanjang trotoar jalanan. Setiap malam banyak mahasiswa yang membeli
makanan di warung-warung tersebut, selain karena harganya terjangkau juga
karena menu yang disajikan beraneka ragam.
Saat ini kesadaran masyarakat akan perlunya mengkonsumsi makanan dan
minuman yang higienis, terjaga dari segi kebersihan dan bebas kuman sangat
kurang. Sebagian besar masyarakat lebih memilih mengkonsumsi makanan yang
murah tanpa memperhatikan aspek keamanan makanannya padahal makanan yang
tidak higienis dapat menjadi sarana penularan penyakit yang akan menurunkann
derajat kesehatan masyarakat. Peran peralatan makan dalam higiene sanitasi
makanan sangat penting karena peralatan makan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari prinsip-prinsip higiene sanitasi makanan. Peralatan makan perlu
dijaga kebersihannya. Untuk itu peran pembersihan atau pencucian peralatan perlu
diketahui secara mendasar, karena dengan membersihkan peralatan secara baik,
akan menghasilkan alat pengolahan makanan yang bersih dan sehat (Depkes,
2004).
Dalam laporan tahunan Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta 2015 baru sebagian tempat pengelolaan makanan yang dinilai
memenuhi syarat kesehatan. Dari total 4.368 restoran, rumah makan, pasar, dan
tempat makan lain yang disurvei, hanya 67,1% saja (2.932 lokasi) yang
dikategorikan sehat. Sebagian tempat makan yang tidak memenuhi syarat
kesehatan itu berada di Kota Yogyakarta dan Sleman. Kondisi demikian
berpotensi memunculkan sejumlah penyakit (Dinkes Yogyakarta, 2015).
Berdasarkan laporan Tahunan Dinkes Kabupaten Sleman 2015 Tempat
Pengelolaan Makanan (TPM) yang ada di Kabupaten Sleman terdapat 2.536 TPM
dan yang memenuhi syarat hanya 951 TPM. Dari survei pendahuluan yang
peneliti lakukan dapat dilihat bahwa penjual makanan di warung tenda kurang
memperhatikan higiene dan sanitasi dari warung makan yang mereka kelola.
Mengingat buruknya higiene dan sanitasi lingkungan di sekitar warung tenda,
6
ancaman penularan penyakit sulit dielakkan. Ketidakpedulian serta keterbatasan
dan minimnya fasilitas sanitasi di tempat merekat berjualan membuat praktik
higiene dan sanitasi makanan warung tenda menjadi tidak memadai. Seharusnya
kesehatan, kebersihan dan penerapan higiene sanitasi makanan merupakan salah
satu hal yang sangat penting dan harus diperhatikan oleh para pedagang warung
tenda agar produknya bermutu dan aman dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini
bertujuan untuk menjamin keamanan makanan dan mencegah terjadinya
penyebaran penyakit melalui makanan. Masyarakat perlu dilindungi dari makanan
dan minuman yang tidak memenuhi persyaratan higiene sanitasi yang dikelola
rumah makan, restoran maupun makanan jajanan yang dijual diwarung tenda atau
pedagang kaki lima agar tidak membahayakan kesehatan.
Dari hasil wawancara peneliti dengan penanggung jawab Inspeksi Sanitasi
Puskesmas Depok 2 mereka mengaku kesulitan dalam melaksanakan program
inspeksi sanitasi terhadap TPM yang ada di wilyah kerja mereka karena tingginya
mobilitas mereka, dengan wilayah kerja yang luas dan jumlah tenaga serta biaya
yang terbatas sehingga menyulitkan mereka dalam melakukan pengawasan dan
biasanya mereka lebih berfokus kepada TPM yang sudah terdaftar. Sementara
peran serta yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan sendiri hanya bersifat
pembinaan. Tidak terdapat kebijakan yang menetapkan sanksi apabila praktik
higiene penjual setempat tidak memenuhi standar kelaikan sanitasi. Tindak lanjut
tersebut meliputi penyuluhan langsung kepada pengelola TPM.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian
ini adalah bagaimanakah hubungan higiene sanitasi dan perilaku penjamah
makanan terhadap kualitas bakteriologis peralatan makan di warung tenda di Jl.
Kaliurang.
7
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk menjelaskan hubungan higiene sanitasi dan perilaku penjamah
makanan dengan kualitas bakteriologis peralatan makan di warung tenda di
Jalan Kaliurang Km.0 sampai Km.4 (perempatan mirota kampus sampai
perempatan pos polisi Jalan Kaliurang)
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan kualitas bakteriologis peralatan makan (piring, sendok
dan gelas) pada warung tenda di Jalan Kaliurang
b. Mendeskripsikan hubungan antara tingkat pengetahuan penjamah
makanan dengan kualitas bakteriologis peralatan makan pada warung
tenda.
c. Mendeskripsikan hubungan antara personal higiene penjamah makanan
dengan kualitas bakteriologis peralatan makan pada warung tenda.
d. Mendeskripsikan hubungan antara perilaku penjamah dalam pencucian
peralatan makan dengan kualitas bakteriologis peralatan makan pada
warung tenda.
e. Mendeskripsikan hubungan antara fasilitas sanitasi dengan kualitas
bakteriologis peralatan makan pada warung tenda.
f. Mendeskripsikan hubungan antara pemeriksaan kesehatan dengan
kualitas bakteriologis peralatan makan pada warung tenda.
g. Mendeskripsikan hubungan antara kepemilikan izin usaha dengan
kualitas bakteriologis peralatan makan pada warung tenda.
h. Mendeskripsikan hubungan antara pernah mendapatkan pelatihan dengan
kualitas bakteriologis peralatan makan pada warung tenda.
8
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
Dapat menjadi bahan masukan untuk pengembangan program pemantauan
dan pengawasan terhadap perkembangan usaha-usaha penjualan makanan
yang perlu mendapat pembinaan.
2. Bagi pemilik usaha warung tenda
Sebagai sumber informasi bagi pedagang mengenai gambaran atau keadaan
higiene sanitasi dari warung makan yang dikelola.
3. Bagi Masyarakat
Sebagai gambaran bagi masyarakat tentang bagaimana higiene sanitasi dari
warung tenda yang ada di Jalan Kaliurang
E. Keaslian Penelitian
1. (Akhmadi, 2004), yang meneliti tentang “pengetahuan penjamah makanan,
cara pencucian alat makan dan angka kuman alat makan di Rumah Makan
Kota Pontianak”. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah
pada variabel fasilitas sanitasi dan personal higiene dari responden. Penelitian
ini tidak hanya memeriksa angka kuman pada peralatan makan tetapi juga
memeriksa kandungan E. coli pada peralatan makan. Perbedaan lainnya
adalah yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah warung tenda yang
tidak mempunyai lokasi tetap atau tidak permanen dan sampel peralatan
makan yang diperiksa tidak hanya piring dan gelas saja tetapi juga sendok.
2. Vollaraad (2004), yang meneliti tentang “Risk Factors for Transmission of
Foodborne Illness in Restaurants and Street Vendors in Jakarta, Indonesia.
Penelitian ini mengkaji praktik higiene pedagang kaki lima dan sanitasi air cuci,
air minum, es batu, dan makanan yangdijual. Perbedaan penelitian ini terletak
pada desain penelitian, sampel yang diteliti dan jenis data yang dikumpulkan.
Perbedaan lainnya adalah penilitian ini melakukan pemeriksaan kualitas
bakteriologis pada peralatan makan
3. Cahyaningsih (2009), yang meneliti tentang “higiene sanitasi dan perilaku
penjamah makanan dengan kualitas bakteriologis peralatan makan diwarung
9
makan wilayah Desa Caturtunggal Kecamatan Depok Kabupaten Sleman”.
Perbedaan penelitian Cahyaningsih dengan penelitian ini adalah pada variabel
independen yaitu penelitian ini juga menghubungkan pengetahuan responden
dan faktor pendukung (izin usaha, pemeriksaan kesehatan dan pelatihan)
dengan kualitas bakteriologis peralatan makan. Perbedaan lainnya adalah
yang menjadi sampel dalam penelitian Cahyaningsih adalah warung makan
yang mempunyai lokasi tetap atau permanen sedangkan penelitian yang akan
dilakukan adalah warung tenda yang tidak mempunyai lokasi tetap atau tidak
permanen dan sampel peralatan makan yang diperiksa tidak hanya piring
tetapi juga gelas dan sendok.
4. Sinaga (2011), yang meneliti tentang “personal hygiene, sanitasi dan angka
kuman alat makan pada sentra pedagang makanan jajanan di Kamp. Solor
Kota Kupang. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada variabel
independen yaitu penelitian ini juga menghubungkan pengetahuan responden,
personal higiene dan faktor pendukung (izin usaha, pemeriksaan kesehatan
dan pelatihan) dengan kualitas bakteriologis peralatan makan. Perbedaan
lainnya adalah yang menjadi sampel dalam penelitian Sinaga adalah warung
makan yang mempunyai lokasi tetap atau permanen yang terdapat pada sentra
pedagang makanan jajanan sedangkan penelitian yang akan dilakukan adalah
warung tenda yang tidak mempunyai lokasi tetap atau tidak permanen dan
sampel peralatan makan yang diperiksa tidak hanya piring tetapi juga gelas
dan sendok. Penelitian ini tidak hanya memeriksa jumalah angka kuman
tetapi juga memeriksa kandungan E. coli pada peralatan makanan.
5. Hilario (2015), yang meneliti “An Evaluation of the Hygiene and Sanitation
Practices Among Street Food Vendors Along Far Eastern University (FEU)”.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada rancangan
penelitian. Penelitian Hilario menggunakan metode desain Survei Deskriptif,
sedangkan penelitian ini menggunakan rancangan Cross Sectional. Perbedaan
lainnya adalah pada lokasi dan waktu penelitian. Penelitian Hilario tidak
melakukan pemeriksaan kualitas bakteriologis (angka kuman dan E. coli)
pada peralatan makan pedagang sementara penelitian yang akan dilakukan
10
melakukan pemeriksaan kualitas bakteriologis pada peralatan makan
pedagang.
6. Lawal (2014), yang meneliti “A survey of hygiene and sanitary practices of
street food vendors in the Central State of Northern Nigeria. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian Lawal adalah pada rancangan penelitian.
Penelitian tersebut menggunakan metode desain survei deskriptif, sedangkan
penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional. Perbedaan lainnya
adalah pada lokasi dan waktu penelitian. Penelitian lawal tidak melakukan
pemeriksaan kualitas bakteriologis (angka kuman dan E. coli) pada peralatan
makan pedagang sementara penelitian yang akan dilakukan melakukan
pemeriksaan kualitas bakteriologis pada peralatan makan warung tenda.