22
1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Manusia merupakan makhluk yang unik. Di satu sisi, ia merupakan makhluk yang mampu menjawab berbagai permasalahan hidupnya, dan di sisi lain ia pun merupakan makhluk yang tidak pernah lepas dari masalah. Persoalan memang merupakan konsekuensi dari hidup dan kehidupan manusia. Untuk itu, manusia selalu berusaha untuk mencari jalan keluarnya demi mencapai kebahagiaannya. Sisi lain dari keunikan manusia adalah dilihat dari sisi kebutuhannya yakni kebutuhan akan materi dan kebutuhan spiritual. Untuk mencapai kebutuhan berupa materi maka, manusia berusaha sekeras mungkin demi memenuhi kebutuhan yang sifatnya materi dengan jalan bekerja. Dengan jalan itu maka kebutuhan akan materi dapat terpenuhi. Namun untuk memenuhi kebutuhan yang ke dua yakni kebutuhan spiritual, banyak cara yang digunakan orang agar kebutuhan spiritual ini bisa terpenuhi seperti mendatangi atau menajdi salah satu pengikut majlis-majlis pengajian atau menjadi pengikut salah satu tarekat. Jika salah satu dari dua kebutuhan manusia ini tidak terpenuhi maka, kehidupannya menjadi tidak seimbang. Islam mengajarkan kepada semua umatnya agar hidup seimbang, yakni terpenuhinya kebutuhan jasmani dan ruhani, kebutuhan material dan spiritual. Dengan kata lain hidup akan seimbang ketika dua kebutuhan ini sama-sama terpenuhi. Musa Asy’ari dalam jurnalnya tentang agama dan etos kerja mengatakan bahwa bekerja pada hakekatnya adalah merupakan proses pembangunan suatu kepribadian. Melalui bekerja, seseorang membangun pribadinya, untuk memperkokoh peran kemanusiaan dalam realitas sosial. Dalam tahap ini bekerja menjadi proses pembebasan humanistis, untuk mengembangkan pribadinya secara optimal, menjelajahi medan pengembaraan kreatif yang tak pernah kering, sehingga memperkaya spiritualitas dalam kedalaman dirinya yang ilahi. 1 Kerja dimaknai sebagai degup nadi dunia yang hidup dan dinamis. Orang yang tidak bekerja dinilai sebagai beban atau benalu dunia. Ada beberapa hal yang bisa dilihat dari aktivitas kerja seseorang: 1. Faktor ekonomi pribadi yang masih muda, bekerja demi memperoleh uang dan materi. Tidak ada yang salah dengan pemahaman demikian, namun kalau tidak hati- hati akan menjadi pribadi yang bekerja hanya demi uang. Dengan demikian melupakan aspek hidup pribadi manusia dan sosial. Mengambil jatah orang lain miisalnya korupsi, menjegal dan menyikut rekan demi uang dan promosi sebagai 1 Musa Asy’ari, Agama dan Etos Kerja,jurnal Al-Jami’ah no 57,th 1994, Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga,hlm. 97

BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalahdigilib.uinsgd.ac.id/20225/4/4_bab1.pdf1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Manusia merupakan makhluk yang unik. Di satu sisi, ia

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latarbelakang Masalah

Manusia merupakan makhluk yang unik. Di satu sisi, ia merupakan makhluk yang

mampu menjawab berbagai permasalahan hidupnya, dan di sisi lain ia pun merupakan makhluk

yang tidak pernah lepas dari masalah. Persoalan memang merupakan konsekuensi dari hidup

dan kehidupan manusia. Untuk itu, manusia selalu berusaha untuk mencari jalan keluarnya

demi mencapai kebahagiaannya. Sisi lain dari keunikan manusia adalah dilihat dari sisi

kebutuhannya yakni kebutuhan akan materi dan kebutuhan spiritual.

Untuk mencapai kebutuhan berupa materi maka, manusia berusaha sekeras mungkin

demi memenuhi kebutuhan yang sifatnya materi dengan jalan bekerja. Dengan jalan itu maka

kebutuhan akan materi dapat terpenuhi. Namun untuk memenuhi kebutuhan yang ke dua yakni

kebutuhan spiritual, banyak cara yang digunakan orang agar kebutuhan spiritual ini bisa

terpenuhi seperti mendatangi atau menajdi salah satu pengikut majlis-majlis pengajian atau

menjadi pengikut salah satu tarekat.

Jika salah satu dari dua kebutuhan manusia ini tidak terpenuhi maka, kehidupannya

menjadi tidak seimbang. Islam mengajarkan kepada semua umatnya agar hidup seimbang,

yakni terpenuhinya kebutuhan jasmani dan ruhani, kebutuhan material dan spiritual. Dengan

kata lain hidup akan seimbang ketika dua kebutuhan ini sama-sama terpenuhi.

Musa Asy’ari dalam jurnalnya tentang agama dan etos kerja mengatakan bahwa bekerja

pada hakekatnya adalah merupakan proses pembangunan suatu kepribadian. Melalui bekerja,

seseorang membangun pribadinya, untuk memperkokoh peran kemanusiaan dalam realitas

sosial. Dalam tahap ini bekerja menjadi proses pembebasan humanistis, untuk

mengembangkan pribadinya secara optimal, menjelajahi medan pengembaraan kreatif yang tak

pernah kering, sehingga memperkaya spiritualitas dalam kedalaman dirinya yang ilahi.1

Kerja dimaknai sebagai degup nadi dunia yang hidup dan dinamis. Orang yang tidak

bekerja dinilai sebagai beban atau benalu dunia. Ada beberapa hal yang bisa dilihat dari

aktivitas kerja seseorang:

1. Faktor ekonomi pribadi yang masih muda, bekerja demi memperoleh uang dan

materi. Tidak ada yang salah dengan pemahaman demikian, namun kalau tidak hati-

hati akan menjadi pribadi yang bekerja hanya demi uang. Dengan demikian

melupakan aspek hidup pribadi manusia dan sosial. Mengambil jatah orang lain

miisalnya korupsi, menjegal dan menyikut rekan demi uang dan promosi sebagai

1Musa Asy’ari, Agama dan Etos Kerja,jurnal Al-Jami’ah no 57,th 1994, Perpustakaan Digital UIN Sunan

Kalijaga,hlm. 97

2

2

hal yang biasa. Bayaha bagi pekerja demikian ialah kalau tidak ada hadiah berupa

materi tidak bersemangat. Semangat tinggi dan menyala hanya demi upah. Hal

demikian bisa hingga manula bisa terjadi kalau tidak disadari.

2. Faktor sosial Bekerja karena orang lain juga bekerja, malu kalau mengganggur.

Pekerja yang bekerja demikian tidak akan memiliki semangat karena yang penting

tidak menganggur dan tidak mendapat cap buruk dari lingkungan. Bisa pula demi

mencukupi kebutuhan keluarga. Hati-hati, karena hampir sama dengan faktor

pertama, orientasi demi keluarga. Memang semua orang akan demikian

pemikirannya, demi uang dan keluarga, atau dirinya. Bukan segalanya ekonomi itu.

3. Faktor pengembangan diri. Pekerja yang berorientasi pada pengembangan diri.

Orang yang hidup harus mencukupi dirinya bukan semata secara ekonomi dan

materi. Jiwanya ikut bekerja dan meningkatkan kualitas pribadi baik pemikiran

ataupun keterampilan. Kemanuisaannya menjadi lebih bernilai karena dia bisa

mengembangkan dirinya. Biasanya berangkat dari hobi dan menjalan pekerjaan

dengan menyenangkan. Hambatan sebagai peluang lebih berkembang dan kalau

mendapatkan kemudahan dianggap sebagai berkat. Bantuan kepada sesama sebagai

kesempatan mengembangkan diri. Rekan kerja sebagai partner untuk maju dan

berkembang bersama.

4. Faktor rohani Spiritualitas atau memaknai kerja sebagai pemberian diri kepada

Tuhan. Apapun agamanya tentu sepakat kalau bekerja demi Tuhan tentu akan

memberikan yang terbaik. Bekerja adalah ibadah, masalah upah atau yang lainnya

adalah konsekuensi logis yang akan dengan sendirinya diberikan oleh Sang

Pemberi. Tentu saja sebagai manusia hidup akan naik turun, dan bukan masalah

nomor empat sebagai terbaik hanya bisa dicapai orang tertentu dan nomor satu

sebagai ecek-ecek. Naik turun dan dinamis biasa dan alamiah, namun bagaimana

bisa mencapai level keempat tersebut dalam jumlah atau porsi yang dominan.2

Di satu sisi Bustanudin Agus dalam bukunya yang berjudul “Agama Dalam Kehidupan

Manusia“ mengatakan; Agama mengajarkan bahwa mencari rezeki adalah mencari karunia

Tuhan atau melaksanakan perintah-Nya. Umat beragama diperintahkan untuk melakukan

usaha produktif, seperti menanam pohon, membuka tanah mati, melakukan berbagai kegiatan

yang menghasilkan jasa bagi orang lain, seperti mengajar, bertukang, berdagang, dan lainnya.

Dalam menjalankan usaha tersebut harus diperhatikan norma halal haram. Mengaitkan usaha

mencari rezeki dengan Tuhan diharapkan memberi tambahan harapan dan optimisme karena

Dialah Yang Maha Kaya dan Maha Pengasih kepada hamba-Nya. Di samping itu mengaitkan

kerja mencari rezeki dengan Tuhan juga supaya tidak melakukan penipuan, pemerasan, dan

perampasan terhadap hak orang lain, supaya menjaga diri untuk hanya mengambil rezeki yang

halal.3

Di sisi lain Ia mengatakan bahwa transaksi modern tidak mengaitkan dengan agama

dan Tuhan. Manusia modern terlalu percaya kepada kemampuan diri. Soal kehalalan hanya

2Susi Heyawan, Motivasi Kerja; http://www.kompasiana.com/paulodenoven/spiritualitas-kerja 3Bustanudin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antroplogi Agama, Raja Grapindo

Persada, Jakarta, 2006; hal, 236

3

3

dijaga dengan kekuatan sanksi hukum. Dengan mengandalkan kekuatan manusia, pengurasan

terhadap sumber daya alam tidak dapat dihindari. Selain itu dalam fenomena sosial umat

beragama juga masih banyak ditemukan penipuan, pencurian, dan pemerasan. Hal ini tentu

karena mereka hanya beragama dengan simbol tanpa makna. Beragama sebagai simbol

adakalanya untuk kepentingan politik dan kekuasaan, sebagaimana adapula untuk kepentingan

materi dan ekonomi. Selain iman yang lemah untuk memegang prinsip, berbagai pelanggaran

memperebutkan harta juga disebabkan faktor sosial, seperti besarnya jurang pemisah antara

yang kaya dan yang miskin (the have and the have not), kecemburuan sosial dan lain

sebagainya.4

Dari dua pandangan tersebut kita bisa melihat bahwa sesungguhnya seluruh aktivitas

manusia tentu harus selalu dilandasi dengan keimanan, semangat beribadah, niat karena Allah,

agar tercipta kedamaian baik secara individu maupun komunal, sehingga tidak ada lagi

berbagai permasalahan seperti; perampasan, pemerasan, penipuan, korupsi, dan jurang

pemisah.

Materialisme yang berkembang pada zaman modern, pada awalnya merupakan

alternatif jawaban atas persoalan manusia. Berlainan dengan cita-cita semula, kenyataan yang

ada justru sebaliknya. Secara material, manusia modern memang hidup dengan layak, tetapi di

balik kelayakan hidupnya, manusia modern ternyata mengalami kesengsaraan batiniah.

Masalah utama dari kesengsaraan batiniah ini ialah masalah makna hidup. Pertanyaan

mendasar tentang hidup, tidak bisa dijawab oleh manusia-manusia modern. Karena itu, mereka

tidak tahu siapa diri mereka, dari mana asalnya, akan kemana, dan sedang apa mereka di sini

(di dunia ini).

Senada dengan itu Prof. Dr. Bahtiar Efendi,MA dalam bukunya mengatakan bahwa

hilangnya sisi kemanusiaan akibat merambahnya peradaban modern, kini dirasakan sebagai

sebuah ancaman tersendiri. Sisi kemanusiaan dimaksud adalah nilai-nilai spiritual.

Modernisme menganjurkan rasionalisme, saat segala sesuatu akan diterima sepanjang rasio

menerimanya. Sementara spiritualitas sifatnya abstrak dan terkadang tidak sesuai dengan

logika rasionalitas. Karenanya, sisi hakiki manusia itu kian terbaikan.5

Modernisasi dan industrialisasi adalah proses yang tidak dapat dielakkan. Dampak dari

keduanya adalah sesuatu yang nyata terasa dalam kehidupan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan

tekhnologi yang merupakan tulang punggung modernisasi dan industrialisasi tidak dapat

4Bustanudin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia... hlm. 236 5Prof. Dr. Bahtiar Effendy,MA, Solusi Islam Mencari Alternatif Jawaban terhadap Problem Kontemporer,

Dian Rakyat, Jakarta, 2010, hlm. 12-13

4

4

dipungkiri telah memberikan begitu banyak kenikmatan dan kemudahan pada manusia dalam

berbagai bidang kehidupan. Tapi kemajuan tersebut juga telah menimbulkan permasalahan

yang kompleks.

Kehidupan yang semakin modern menuntut banyak tenaga dan pikiran bagi masyarakat

dunia agar dapat bertahan hidup. Tak pelak lagi, masyarakat dunia kemudian banyak tergiring

pada kenyataan yang menyedihkan. Krisis ekologi, timbulnya berbagai masalah kejiwaan

bahkan spiritual, adalah kenyataan yang dialami manusia modern saat ini. Manusia modern

digambarkan sebagai menderita kesepian yang amat sangat, kesendirian, kebosanan, dan kesia-

siaan.6

Gerakan modern atau modernitas tampil dalam sejarah sebagai suatu kekuatan progresif

yang menjanjikan pembebasan manusia dari belenggu keterbelakangan dan irasionalitas.

Dengan penekanannya terhadap keunggulan rasio atas emosi, akal atas hati, modernitas telah

menghasilkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Ilmu “modern” telah berhasil meruntuhkan

otoritas agama dan mengklaim monopoli kebenaran.7

Ajaran agama yang di dalamnya terkandung kebenaran abadi disisihkan oleh manusia

modern karena dianggap kuno, sehingga mereka hanya berpegang pada kebutuhan materi dan

tujuan duniawi belaka. Di satu sisi manusia modern memiliki banyak hal yang dapat

dibanggakan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, tetapi di sisi lain mereka

mengalami kebutaan akan makna dan arti dari pekerjaan atau profesi yang mereka lakukan dan

dari segala yang dimilikinya. Mereka mengalami krisis spiritual. Mereka kehilangan makna

hidup. Dan sepanjang menyangkut makna, modernitas mengantarkan manusia ke jalan buntu.

Hal ini sesuai dengan kesimpulan Naisbitt dan Aburdene dalam Megatrends 2000,

bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi ternyata tidak memberikan makna bagi

kehidupan. Modernisasi ditandai dengan kian banyaknya manusia yang begitu keras di

lingkungannya, serba sulit dan penuh dengan perbuatan kriminalitas. Urbanisasi besar-besaran

membuat kehidupan masyarakat ditaklukan oleh media massa, dan dunia menjadi kampung

global. Informasi dan gaya hidup yang diemban media massa justru sering mengakibatkan

semakin akutnya anomali nilai-nilai.8

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa manusia modern telah menyisihkan

kedudukan agama dalam kehidupan mereka, dan ditinggalkannya tradisi-tradisi religius dalam

kehidupan manusia modern, ini dikatakan oleh Danah Zohar dan Ian Marshal dalam bukunya

6Dr. Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1991, hlm. 162 7Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizan, Bandung, 1997. hlm. 51 8John Naisbitt dan Patricia Aburdene, Megatrends 2000, Binarupa Aksara, Jakarta, 1990. hlm. 45

5

5

sebagai penyebab dasar dari segala permasalahan manusia pada saat ini. Oleh karena itu agar

manusia dapat segera keluar dari permasalahan ini, tak ada jalan lain, kecuali manusia harus

kembali pada agama. Manusia harus berusaha keras menemukan makna dari semua aktivitas

dan pekerjaannya, serta menemukan makna dan arti dari segala yang dimilikinya.

Saat ini kita berada ditengah-tengah kehidupan masyarakat modern, atau sering pula

disebut sebagai masyarakat yang sekuler. Pada umumnya, hubungan antara anggota

masyarakatnya atas dasar prinsip-prinsip materialistik. Mereka merasa bebas dan lepas dari

control agama dan pandangan dunia metafisis. Dalam masyarakat modern yang cenderung

rasionalis, sekuler dan materialis, ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman

hidupnya. Berkaitan dengan itu, Sayyid Hosein Nasr menilai bahwa akibat masyarakat modern

yang mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, berada dalam wilayah pinggiran

eksistensinya sendiri. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat barat yang telah

kehilangan visi keilahian. Hal ini menimbulkan kehampaan spiritual, yang berakibat banyak

dijumpai orang yang stress dan gelisah, akibat tidak mempunyai pegangan hidup.9

Dalam konteks pekerjaan, Bustanudin Agus mengatakan bahwa ajaran agama sangat

diperlukan untuk memacu semangat kewirausahaan dan kemandirian. Dengan agama, etos

kerja meningkat. Hemat dan keikhlasan meningkatkan produktivitas. Dengan mengaitkan

dengan Tuhan, keberkahan akan dirasakan sehingga menambah gairah dan disiplin kerja. Hal

ini memang sangat tergantung kepada interpretasi ajaran agama seperti interpretasi Protestan

Calvin yang diungkap oleh penelitian Max Weber dalam The Protestant Ethic-nya (1958). 10

Dengan demikian, sebenarnya agama dapat dijadikan jawaban yang ideal dalam rangka

mengatasi berbagai kesulitan hidup setiap manusia di sepanjang zaman. Banyak penelitian

mengungkapkan bahwa segala dimensi agama sesungguhnya memiliki urgensi bagi

keselamatan manusia atas segala kesulitan hidup yang dihadapinya. Ini sesuai dengan apa yang

dikatakan bahwa agama memang ada untuk menciptakan kesejahteraan manusia secara

invidual dan komunal.11

Agama Islam dalam hal ini, dikatakan oleh Sa’id Hawwa merupakan sebuah sistem

universal yang sempurna, meliputi seluruh persoalan hidup manusia. Di dalamnya terdapat

akidah (keyakinan), ibadah, dan syari’ah. Ketiganya merupakan tonggak penguat Islam. Ia

9Ahmad Akbari,Tasawuf dalam Ekonomi,http://www.sebi/ac.id. 1 November 2009 jam 13.00 Wib 10Bustanudin Agus, op.cithal. 237 11lihat Jalaluddin, Psikologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997

6

6

adalah jawaban universal yang sempurna bagi perkara duniawi yang meliputi segala masa dan

tempat. 12

Sebenarnya, para sufi, kaum yang mendalami agama lebih dari sekedar pada tataran

syari’at, kaum yang menyelami setiap hakikat Islam, mengatakan bahwa sesungguhnya

manusia sangat berpotensi untuk mencapai kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang

sesungguhnya dengan beragama. Ini mengisyaratkan bahwa memang agama tak hanya

memiliki fungsi untuk “mengobati”, tetapi yang lebih dalam lagi, agama memiliki fungsi untuk

membawa manusia ke tingkat “menjadi”.

Permasalahan ini menjadi menarik manakala terdapat bayangan bahwa sesungguhnya

memang manusia tak hanya butuh untuk keluar dari berbagai permasalahan yang ada.

Sesungguhnya manusia juga butuh untuk hidup dengan lebih bahagia secara utuh, baik bahagia

secara mental maupun spiritual. Sejalan dengan tujuan para sufi, mereka berkeyakinan bahwa

kebahagiaan yang paripurna dan abadi adalah bersifat spiritual.

Selain itu, sesungguhnya bagi kaum sufi, kecanggihan seseorang itu bukanlah diukur

dari tumpukkan harta yang ia miliki, bukan dilihat dari tingginya pangkat yang ia jabat dan

bukan pula dari otoritas yang ia miliki. Nilai seseorang itu tidak dilihat dari resam tubuh yang

ia miliki, tetapi terletak pada moral yang ia hayati.13

Tasawuf selain berfungsi sebagai obat penyembuh krisis moral-spiritual manusia

modern, tetapi ia juga berfungsi memanusiakan manusia.14 Artinya nilai-nilai tasawuf selalu

mengajak pada manusia untuk membangun dirinya sesuai dengan fitrahnya.15 Membangun

manusia sesuai dengan fitrahnya, tidak semudah membalikan telapak tangan. Proses ini

memerlukan kerja keras dan usaha maksimal, karena proses ini merupakan proses membentuk

dan meningkatkan kualitas diri yang sebenarnya.

Tasawuf mengupas tatacara menyucikan hati, mendekatkan diri kepada Allah dengan

sedekat-sedekatnya, dan merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari guna

mewujudkan integritas moral yang tinggi pada pribadi seorang muslim. Kini tasawuf menjadi

kebutuhan orang-orang modern untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya yang hilang, yakni

nilai-nilai spiritualitas.

12Sa’id Hawwa, Jalan ruhani, Mizan, Bandung, 1999, hlm. 32 13Prof. H. A. Rivay siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Raja Grafindo Persada,

Jakarta,1999, hlm. 101 14M. Hamdani B. Adz-Dzaky, dalam makalah Fuad Nashori, Psikoterapi Sufi dan Masalah Kebermaknaan

Hidup 15Ibid, M. Hamdani

7

7

Sayyed Hossen Nasr memandang manusia modern mengalami dekadensi humanistik,

karena mereka telah kehilangan pengetahuan langsung mengenai dirinya. Pengetahuan ini

bersifat dangkal, karena diperoleh dari pinggir lingkaran eksistensi manusia; yakni kesadaran

tentang ke-Tuhanan dan merasakan kehadiran-Nya dalam kehidupan. Manusia bagaikan

berkas-berkas cahaya yang tenggelam dalam gelap, tidak sanggup menghubungkan dirinya

dengan sumber cahaya Allah SWT.16

Untuk mengantisipasi hal-hal semacam di atas, maka diperlukan keterlibatan langsung

tasawuf dalam ekonomi, hal ini dapat kita lihat dalam sejarah Tarekat Sanusiyah di berbagai

daerah di Afrika Utara, Dalam kiprahnya, tarekat ini tidak henti-hentinya bekerja dengan

pendidikan keruhanian, disiplin tinggi, dan memajukan perniagaan yang menarik orang-orang

ke dalam pahamnya. Maka Fazlur Rahman menceritakan bahwa tarekat ini menanamkan

disiplin tinggi dan aktif dalam medan pejuangan hidup, baik sosial, politik, dan ekonomi.

Pengikutnya dilatih menggunakan senjata dan berekonomi (berdagang dan bertani).

Gerakannya pada perjuangan dan pembaharuan, dan programnya lebih berada dalam batasan

positivisme moral dan kesejahteraan sosial, tidak “terkungkung” dalam batasan-batasan

spiritual keakhiratan.

Doktrin-doktrin atau ajaran-ajaran dalam tasawuf merupakan sebuah jalan atau

thoriqoh untuk menghubungkan diri secara langsung dengan Allah. Latihan-latihan atau

riyadoh yang khas ala sufi dalam tarekat tertentu juga bisa dijadikan sebagai upaya untuk

membangun dan meningkatkan kesadaran terhadap spiritualitas kerja. Sehingga bekerja bagi

para sufi dipahami sebagai salah satu bentuk penghambaan diri kepada Allah. Implementasi

dari kesadaran itu tercermin dalam praktek dan aktivitas kerja sehari-hari. Wujud dari itu

adalah disiplin, amanah, integritas, jujur, dan semangat kerja yang jauh lebih baik. Dengan

demikian maka, produktivitas kerja meningkat, kepuasan kerja terpenuhi, dan yang lebih

penting adalah kebahagiaan baik secara pribadi maupun komunal terpenuhi.

Tarekat Idrisiyah adalah salah satu aliran di dalam tasawuf yang selain mengamalkan

ritual ibadah sesuai dengan amalan-amalan yang biasa dilakukan di dalam tarekat, namun juga

mempunyai konsentarsi untuk membangun dan membentuk manusia menjadi insan yang

handal dalam berbagai bidang baik dalam bidang agama, pendidikan, sosial kemasyarakatan,

maupun dalam bidang ekonomi yang tetap berprinsip dan berpegang teguh pada nilai−nilai

iman, Islam, dan ihsan. Semua bidang tersebut tercakup atau sudah menjadi program kegiatan

tarekat ini.

16Qomarudin SF, Zikir Sufi, Menghampiri Ilahi Lewat Tasawuf, Jakarta. 2001. hlm. 26

8

8

Dunia usaha dan ekonomi adalah dunia yang penuh dengan kompetisi dan persaingan

mengejar keuntungan yang tidak bisa dihadapi hanya dengan sikap pasrah. Sedangkan sufisme

adalah cara hidup yang menekankan pada upaya pendekatan diri kepada Allah secara intens,

dengan menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi. Keduanya berbanding terbalik dan

tidak bisa disatukan. Namun disinilah letak kekhasan dari tarekat Idrisiyah dengan program

pemberdayaan ekonomi umatnya itu. Dalam kiprahnya, tarekat ini mencoba untuk

mengharmoniskan kedua perbedaan itu ke dalam sebuah simponi yang apik di pentas

kehidupan dunia.

Hal ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari penganut tarekat Idrisiyah di Pagendingan,

Tasikmalaya ini. Gejala sosial yang ditunjukkan oleh komunitas penganut tarekat ini

menunjukkan kepedulian atas kepentingan duniawi. Sepanjang kasus ini, sistem pelembagaan

keagamaan dalam tarekat dapat berfungsi dengan baik bagi usaha-usaha pemberdayaan

ekonomi. Karena itu penting dipertimbangkan suatu analisis kritis atas penomena ini. Analisis

semacam ini cukup penting bagi upaya pengembangan suatu model keberagamaan yang ketat,

namun memiliki perhatian yang tak kalah seriusnya terhadap masalah keduniaan, khususnya

ekonomi.

Zuhud bukan berarti lari meninggalkan dunia, karena dunia tidak bisa ditinggalkan.

Seorang muslim harus dapat menundukkan dunia, bukan ditundukkan oleh dunia. Orang baru

bisa bersikap zuhud ketika setelah ia membelenggu dunia. Umat Islam tidak boleh miskin,

karena di dalam kemiskinan itu terdapat bahaya kekufuran. Dengan ekonomi yang mapan

mereka akan menjadi kuat, berwibawa dan disegani.17

Suatu kenyataan yang, secara kolektif, dihadapi umat Islam pada saat ini adalah

keterbelakangan, baik di lapangan pendidikan, maupun ekonomi. Keterbelakangan ekonomi

adalah kemiskinan. Jadi, masalah yang dihadapi umat Islam secara kolektif adalah kemiskinan,

sehingga ia menjadi sesuatu yang harus disingkirkan. Upaya yang harus dilakukan untuk

mengatasi problem umat terbesar itu adalah dengan memberdayakan perekonomian mereka,

baik dengan cara meningkatkan semangat dan etos kerja, maupun dengan memberikan mereka

peluang berusaha.

Kebutuhan akan kekuatan ekonomi dan teknologi saat ini sangat diperlukan bagi

penunjang keberhasilan umat Islam demi menjaga dan mengangkat martabat umat Islam

17Bagi penganut tarekat ini, mitos tentang mursyid tarekat yang kaya raya dan memiliki kemampuan spiritual

terus dihidupkan dalam setiap gerak kehidupan mereka. Karena itu, posisi guru-mursyid bagi pengikut tarekat

Idrisiyah tidak hanya sebagai pusat kekuatan spiritual, tetapi juga sebagai pusat kekuatan kehidupan sosial, politik

dan bahkan ekonomi.

9

9

sendiri, kerena sudah banyak terbukti bahwa umat Islam sering dijadikan bulan-bulanan oleh

orang-orang kafir karena kelemahan mereka dibidang ekonomi yang akhimya menjadikan

mereka lemah dalam bidang teknologi dan politik, hal ini adalah suatu bahaya yang wajib

dihilangkan dan dijauhi oleh orang-orang yang percaya terhadap Allah dan rasulnya.

Menurut penganut tarekat ini, lembaga-lembaga agama seharusnya berada di tengah-

tengah masyarakat sebagai pusat pembelaan kaum yang tertindas dan menderita. Membela

orang-orang miskin itu bukan hanya sekadar menyantuninya, memberikan sedekah dan

menghiburnya dengan janji dan harapan surgawi kelak, akan tetapi harus dengan amal yang

kongkret.18

Untuk dapat memainkan perannya sebagai pusat pemberdayaan ekonomi umat itu,

tarekat Idrisyah telah melakukan perubahan fungsional dari sekedar fungsi spiritual keagamaan

pada fungsi sosial ekonomi. Hal itu dilakukan dengan terus menerus berusaha melakukan

reinterpretasi dan konstekstualisasi ajaran, bersikap eksklusif terhadap modernisasi serta

memperluas bidang dakwahnya pada upaya-upaya yang dapat memenuhi realitas kebutuhan

sosial ekonomi penganutnya, sehingga mereka mampu merespon perubahan sosial yang begitu

cepat dengan baik, terukur dan terencana. Selain itu, tarekat ini telah merekontruksi sistem

kelembagaannya sehingga tetap relevan meski zaman terus berkembang.

Doktrin-doktrin dalam tasawuf merupakan amalan yang dilakukan dalam tarekat ini

yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia ideal, bukan hanya secara lahir saja

namun juga secara bathin. Sehingga kehidupan duniawi tercapai tetapi tidak melupakan

kehidupan ukhrawi. Kegiatan-kegiatan yang sifatnya duniawi seperti misalnya bekerja mencari

nafkah, itu dilakukan semata-mata merupakan ibadah dalam rangka menjalankan kewajiban

selaku hamba. Dengan begitu walaupun amalan itu sifatnya duniawi tetapi karena itu dilakukan

semata ibadah maka pahalanya akan terbawa ke akhirat.

Pada saat ini, tasawuf dan tarekat mempunyai peluang yang sangat besar dalam

memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat modern. Harun Nasution mengatakan bahwa di

zaman modern ini, ketika manusia mulai merasakan kekosongan jiwa akibat pengaruh sains

dan tehnologi yang memunculkan pandangan hidup sekuler dan materialistik, tasawuf dan

tarekatnya diharapkan dapat menjalankan perannya kembali. Manusia yang banyak

18Wawancara dan diskusi dengan para Asatidz tarekat Idrisiyyah, tanggal 28 April 2017, dan ditulis dengan

redaksi penulis.

10

10

dipengaruhi oleh intelektualisme kini memerlukan spiritualitas, untuk memperoleh

keseimbangan dan kebahagiaan hidup yang banyak dicari.19

Mencermati fenomena manusia yang tidak terlepas dari baik kebutuhan materi ataupun

kebutuhan spiritual maka, penulis ingin melihat bagaimana kemudian makna, pandangan, dan

prinsip para penganut tarekat Idrisiyah terhadap pekerjaan atau profesi yang mereka lakukan

setiap hari dalam hubungannya dengan amalan-amalan yang dilakukan pada tarekat. Apakah

kemudian yang menjadi motivasi mereka dalam pekerjaannya. Adakah kemudian amalan-

amalan yang mereka lakukan berimplikasi terhadap makna, pandangan, dan prinsip serta

perilaku kerja mereka dalam memenuhi kebutuhan baik materil maupun spiritual.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas maka dipandang perlu mengkaji dengan lebih dalam

lagi tentang bagaimana para penganut tarekat Idrisiyah dalam memaknai pekerjaan atau profesi

mereka dalam rangka memenuhi kebutuhan material maupun kebutuhan spiritual, dan

bagaimana metode serta fungsi amalan-amalan dalam proses pembentukan dan peningkatan

kesadaran spiritualitas kerja sehingga mempunyai implikasi terhadap kualitas kerja baik dilihat

dari perspektif tasawuf maupun perspektif psikologi. Jawaban dari pertanyaan inilah yang

kemudian akan menjadi fokus penelitian dalam disertasi ini.

Melihat dari identifikasi dan rumusan masalah di atas maka, dalam disertasi ini akan

dibubuhkan sebuah analisis berdasarkan tinjauan psikologi. Di sini, psikologi memiliki peran

penting dalam menjelaskan hubungan, proses, dan gejala-gejala psikologis dari ajaran-ajaran

yang diamalkan oleh tarekat Idrisiyah dalam pengaruhnya terhadap makna, pandangan, dan

prinsip kerja seseorang dalam memenuhi kebutuhan materi dan spiritual.

Untuk mencapai hal itu maka perlu adanya pertanyaan-pertanyaan yang menjadi

rumusan masalah dalam penelitian ini.

1. Bagaimana amalan dan karakteristik ajaran Tarekat Idrisiyah?

2. Sumber-sumber dan doktrin atau ajaran apa saja yang diamalkan oleh tarekat Idrisiyah

untuk membangun spiritualitas kerja?

3. Bagaimana peran dan metode amalan dalam membangun kesadaran terhadap

spiritualitas kerja?

4. Bagaimana perilaku kerja Tarekat Idrisiyah terhadap peningkatan produktifitas kerja

19Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,

1975).

11

11

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berupaya menggali bagaimana ajaran tasawuf (dzikir) dapat

meningkatkan kualitas diri para pengamalnya. Jelasnya penelitian ini mempunyai tujuan:

1. Menelaah tentang pandangan, makna, dan prinsip para penganut tarekat Idrisiyah di

Tasikmalaya terhadap pekerjaan mereka.

2. Mengkaji doktrin-doktrin atau ajaran-ajaran tasawuf yang diamalkan dalam

membangun spiritualitas kerja

3. Memberikan gambaran tentang peran dan metode amalan tasawuf dalam upaya

memberikan kesadaran terhadap spiritualitas kerja.

4. Untuk mengetahui perilaku kerja Tarekat Idrisiyah terhadap peningkatan produktifitas

kerja.

Dengan tercapainya tujuan penelitian di atas, maka kegunaan penelitian ini diharapkan

dapat menjelaskan suatu penilaian yang lebih objektif tentang peran dan fungsi ajaran-ajaran

tasawuf yang diamalkan oleh tarekat Idrisiyah dalam memberikan kesadaran tentang nilai-nilai

spiritual dalam pekerjaan atau profesi yang dilakukannya, sehingga ketika kesadaran itu

terbentuk maka akan memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan produktivitas kerja.

Selain itu juga dapat bermanfaat untuk kepentingan akademis, dalam arti bahwa hasil

penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah intelektual Islam tentang pemikiran Islam.

Karena boleh jadi hasil dari penelitian ini berbeda dengan pendapat orang secara umum. Hasil

penelitian ini juga diharapkan menjadi bahan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan

tentang nilai-nilai tradisi keislaman terutama dalam kaitannya dengan konsep-konsep atau

ajaran-ajaran dalam tasawuf yang diamalkan hubungannya dengan pembangunan spiritualitas

kerja.

D. Telaah Pustaka

1. Penelitian Uwes Fatoni berjudul Pengaruh Perilaku Keagamaan Penganut Tarekat

Terhadap Interaksi Sosialnya Dengan Masyarakat (Studi di Tarekat Idrisiyah

Pagendingan Tasikmalaya), (Tesis Magister, UNPAD, 2005).

Fokus penelitian tesis ini adalah perilaku keagamaan dan interaksi sosial penganut

tarekat Idrisiyah dengan masyarakat sekitarnya, dan pengaruh perilaku mereka terhadap

interaksi sosial.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa, pertama, perilaku dan interaksi sosial penganut

tarekat Idrisiyah tergolong sangat baik. Kedua, perilaku keagamaan penganut tarekat memiliki

12

12

pengaruh terhadap interaksi sosialnya dengan masyarakat pada kisaran yang tinggi, dan ketiga,

pola interaksi sosial mereka selain dipengaruhi oleh perilaku keagamaan juga dipengaruhi oleh

faktor-faktor lain.

Dari pengaruh diatas kemudian diketahui peran penganut tarekat Idrisiyah dalam

kehidupan sosial kemasyarakatan, yang terdiri dari peran sosial keagamaan dan peran politik.

Peran sosial keagamaan mereka adalah sebagai pelopor dalam pengamalan nilai-nilai

keislaman. Sedangkan peran politik mereka adalah sumbangan dan kontribusi dalam

mempertahankan kemerdekaan di masa Orde Lama, mendukung pemerintah dan program

pembangunan di masa Orde Baru dan berperan aktif menjadi pengurus partai politik di masa

reformasi.

Menurut penulis, penelitian ini hanya menonjolkan sisi eksternal dari interaksi sosial

tarekat ini, sedangkan sisi internalnya tidak disinggung sama sekali. Padahal, sisi internal

interaksi sosial tarekat ini sebenarnya cukup menarik untuk dikaji. Dari hasil informasi yang

didapat dari key informan, dan dari pengamatan pre-research penulis, seringkali terjadi konflik

internal dalam tubuh tarekat ini. Konflik tersebut telah terjadi sejak lama dan muncul dari

kalangan keluarga mursyid sendiri.

2. Penelitian Salim B. Pili berjudul Tarekat Idrisiyah di Indonesia, Sejarah dan

Ajaran, (Tesis Magister, IAIN Jogjakarta, 1998).20

Penelitian ini berusaha mengungkapkan sejarah perkembangan tarekat Idrisiyah,

kegiatan dan pola ritualnya serta kedudukannya di tengah gerakan tarekat di dunia Islam.

Sesuai dengan latar belakang Salim yang pernah (atau masih) menjadi murid tarekat tersebut,

ia dengan sangat baik menuliskan sejarah dan ajaran tarekat Idrisiyah dengan pendekatan

pemikiran dalam Islam.

Pili dalam kesimpulannya mengatakan bahwa berdasarkan pendekatan historis terhadap

tasawuf dan tarekat, jalan keruhanian lahir dan berkembang dari dan untuk kaum muslimin

sendiri dalam rangka menjembatani antara kecenderungan-kecenderungan immanenalistik

(tanazzuliyât) dan transendentalistik (tanazzuhiyât) yang universal dalam keberagamaan.

Menurut Salim, tarekat yang merupakan penjelmaan dari tarekat Sanusiyah di Libiya

ini sampai sekarang belum berkembang secara optimal karena belum munculnya lapisan

menengah yang dapat menunjang aktivitas pendidikan, sosial dan ekonomi jama'ahnya. Namun

20 Salim B. Pili adalah jamaah dan salah seorang tokoh di tarekat Idrisiyah, beliau pernah menjadi kepala

sekolah Madrasah Aliyah Fadris Tasikmalaya.

13

13

pola kehidupan modern yang materialistik, pragmatis dan rasionalistis telah menumbuhkan

kesadaran, kebutuhan dan motivasi baru terhadap tarekat sehingga orang-orang modern banyak

menjadi murid tarekat.

Dari penelitian ini, terlihat dengan jelas, bahwa kehadiran tarekat Idrisiyah sebagai

khazanah keislaman tidak bisa dilepaskan dari sejarah umat Islam di Indonesia dan di seluruh

dunia.

3. Penelitian Syamsul Yakin berjudul Gerakan Tarekat Idrisiyah Pagendingan di

Tasikmalaya (1932-2001), (Tesis Magister UIN Jakarta 2001)

Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada berbagai aspek gerakan tarekat Idrisiyah

mulai dari tahun 1932 sampai tahun 2001.

Syamsul menelusuri asal-usul tarekat Idrisiyah, kapan dan bagaimana penyebarannya

di pulau Jawa, siapa saja yang berperan dan di daerah mana saja penyebarannya sehinga akan

terlihat proses perjalanan tarekat tersebut secara utuh. Disamping itu dilihat juga peran tarekat

ini dalam kehidupan masyarakat sekitarnya.

Ia menemukan bahwa ada tiga faktor yang mendorong pertumbuhan gerakan tarekat

Idrisiyah, yaitu, faktor teologis, faktor sosiologis dan faktor psikologis.

Keberadaan tarekat Idrisiyah di Pagendingan, memberikan pengaruh yang besar bagi

kehidupan keberagamaan masyarakat. Pengaruh tersebut bukan hanya menyentuh aspek

keilmuan bidang keagamaan, tapi juga memberikan kontribusi yang begitu besar dalam

membangun aspek sosial kemasyarakatan sehingga memungkinkan terciptanya prinsip

keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

Di dalam tesis tersebut, aspek ekonomi dari tarekat Idrisiyah, hanya disinggung secara

sekilas saja. Sementara aspek pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh tarekat Idrisiyah

tersebut sama sekali tidak disinggung.

4. Kajian Dewi Nurjulianti (Staf redaksi jurnal `Ulumul Qur’an) berjudul

Menelusuri Tarekat Idrisiyah di Pagendingan Tasikmalaya. Kajian ini

dipublikasikan dalam jurnal ̀ Ulumul Qur’an Nomor 1, vol V tahun 1994, halaman

96-104

Sesuai dengan judulnya, kajian ini mencoba menelusuri dan menggambarkan sejarah

dan perkembangan tarekat ini. Secara genealogis, Dewi menguraikan akar dan sumber ajaran

14

14

tarekat ini yang bersumber dari ajaran tarekat Idrisiyah yang ada di Maroko, sebelum akhirnya

dibawa oleh syaikh Akbar Abdul Fatah ke Indonesia pada tahun 1932.

Selain itu, Dewi juga menyoroti ajaran tarekat ini dan kemudian menyimpulkan bahwa

ajaran tarekat Idrisiyah banyak merujuk kepada kitab-kitab Imam al-Ghazali, terutama kitab

Ihyâ’ `Ulûm al-Dîn yang sangat terkenal itu, kitab-kitab ibn Taimiyah dan lain sebagainya.

Dewi sama sekali tidak menyinggung aspek ekonomi dalam tarekat ini, apalagi yang berkenaan

dengan program pemberdayaan ekonomi umat yang mereka lakukan. Hal ini menurut penulis

adalah wajar, karena pada saat kajian ini dilakukan, tarekat Idrisiyah masih dipimpin oleh

syaikh Muhammad Dahlan, dan pada masa itu, program pemberdayaan ekonomi umat di

tarekat ini masih dalam tahap embrio, sebelum berkembang seperti sekarang ini.

5. Penelitian Nila Ayunda berjudul Tarekat Idrisiyah di Pesantren Fathiyyah

Idrisiyah Pagendingan Tasikmalaya,. (Skripsi, UI Jakarta, 1990)

Dari hasil penelitiannya ini, Nila Ayunda menyimpulkan bahwa tarekat Idrisiyah

merupakan salah satu tarekat yang diakui sebagai tarekat yang mu'tabarah, tidak menyimpang

dari ajaran Islam. Tarekat tersebut menggunakan lembaga pendidikan pondok pesantren

sebagai pusat penyebarannya, yaitu pondok pesantren Fathiyyah Idrisiyah (Fadris) di

Pagendingan, Tasikmalaya.

Ajaran tarekat Sanusiyah sangat berpengaruh pada tarekat Idrisiyah di Tasikmalaya.

Hal ini tampak pada soal-soal fiqh Islam, seperti tata cara berpakaian dan larangan merokok,

yang hukumnya sangat tegas, haram. Selain itu tampak pada sikap tarekat Idrisiyah yang tidak

kaku memegang satu mazhab, tetapi menggabungkan berbagai mazhab. Dalam rumusan dzikir

yang diamalkan tarekat Idrisiyah juga banyak dipengaruhi oleh tarekat Sanusiyah.

Nila Ayunda, tidak banyak menyinggung tentang aspek ekonomi dari tarekat Idrisiyah,

apalagi tentang pemberdayaan ekonomi umatnya.

6. Penelitian Mustafsirah berjudul Perkembangan Tarekat Idrisiyah di Pesantren

Fathhiyah Pagendingan Tasikmalaya, (Skripsi, UIN Jakarta, 1984)

Mustafsirah melakukan studi lapangan ihwal tarekat Idrisiyah sejak tahun 1983 sampai

1984 dengan fokus utama sejarah dan perkembangan tarekat ini di Tasikmalaya. Skripsi yang

ditulis dalam lima bab pembahasan ini menyajikan satu pembahasan khusus mengenai tarekat

Idrisiyah, yaitu pada bab ketiga. Di dalamnya Mustafsirah menyebutkan bahwa terdapat

persamaan antara gerakan Idrisiyah dan Sanusiyah ditinjau dari segi sumber ajaran tarekat,

keduanya samasama berasal dari satu guru yakni Abd. Al-`Aziz al-Dabbagh al-Fâsi.

15

15

Sama dengan penelitian Nila Ayunda, Mustafsirah tidak banyak menyinggung tentang

pembangunan spiritualitas kerja tarekat Idrisiyah dalam penelitiannya ini.

7. Tulisan Wasisto Raharjo Jati yang berjudul; Agama & Spirit Ekonomi: Studi Etos

Kerja Dalam Komparasi Perbandingan Agama

Temuan penting yang dapat menjadi kunci dalam membuka pemahaman etos kerja

adalah adanya similiaritas maupun juga diferensiasi konsep Weberian.

Dalam konsep Weberian, disebutkan bahwa agama terutama sekte Calvinis mempunyai

pengaruh besar dalam pembentukan etos kerja seperti bekerja merupakan bentuk manifestasi

keimanan (calling), asketisisme kehidupan, dan bersikap rasional dan sistmatis. Tujuannya

adalah membentuk masyarakat kapitalis sekaligus mengusir rasa cemas terhadap predestinasi

akan takdir mereka di dunia. Secara garis besar, dalam mengkomparasikan Calvinisme dengan

agama lainnya terdapat pola nilai yang sama dan juga berbeda.

Kesamaan dapat disimak melalui konsep calling serta bertindak rasionalisme dalam

Islam maupun Konfusianisme dan asketisisme dalam tradisi Hindu-Buddha. Meskipun pada

awalnya, dalam tesis Weber menyebutkan bahwa agama besar lain non Calvinis kurang

mendukung adanya kondisi prakapitalisme yang digunakan sebagai basis dasar masyarakat

Industrialisasi. Paper ini telah membuktikan bahwa agama lainnya pun juga mendukung

adanya prakondisi kapitalisme, namun dengan konteks yang berbeda pula. Konfusianisme

mengedepankan etos kerja harmonis dan pengabdian, Hindu-Buddha mengedepankan etos

kerja berbasis mencari kebajikan, dan Islam mendasari etos kerja sebagai moral dan etika.

Dalam pandangan penulis, berbagai karya yang berkenaan dengan tarekat Idrisiyah

lebih banyak yang membahas tentang aspek tertentu dari seluruh rangkaian gerakan tarekat

tersebut. Bahkan penulisnya juga diketahui sebagai penganut (atau pernah menganut) tarekat

tersebut. Dengan kata lain, ditulis oleh kalangan intern tarekat itu sendiri.

Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, penelitian yang akan dilakukan ini akan

difokuskan pada metode pembangunan spiritualitas kerja yang dilakukan oleh tarekat

Idrisiyah. Penelitian ini akan melihat bagaimana metode pembangunan spiritualitas kerja itu

dilakukan, apa konsep-konsep doktrinal yang melatarinya, apa faktor pendukung dan

penghambatnya, dan sejauh mana usaha ini memberikan dampak yang signifikan bagi

peningkatan kesadaran terhadap pentingnya spiritualitas kerja.

Perbedaan lain antara penelitian yang telah dilakukan orang lain dengan penelitian yang

dilakukan oleh penulis adalah, adanya teori-teori psikologi yang lebih detail yang berhubungan

dengan ajaran atau doktrin tasawuf tersebut.

16

16

Penelitian yang mengkaji tentang Tasawuf dan Spiritualitas Kerja ini, walaupun ada

beberapa hal yang mungkin sama dengan peneltian-penelitian sebelumnya baik hasil, metode

ataupun yang lainnya, namun penelitian ini bukan merupakan pengulangan terhadap

pembahasan yang pernah ada, namun lebih bersifat menguatkan terhadap penelitan yang sudah

ada.

E. Kerangka Pemikiran

Manusia diciptakan Tuhan untuk beribadah kepada-Nya. Esenssi ibadah adalah

penghambaan dan pengabdian diri untuk hidup dalam aturan-Nya. Namun semua ibadah kita

harus memiliki implikasi kerja, implikasi sosial. Bahkan tata urutan ibadah selalu terkait

dengan kerja. Shalat, misalnya, didasari dengan wudlu (penyucian diri), diawali dengan takbir

(pengagungan kepada Allah), dan diakhiri dengan salam ke kanan dan ke kiri. Salam adalah

menyebarkan kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan. Pesannya sangat jelas! Kegiatan

ibadah shalat berupa ibadah penyucian diri, dan mengagungkan Allah, harus dibuktikan dengan

menyebarkan kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan kepada lingkungan. Dan itu –tidak

bisa tidak- dilakukan dengan kerja.

Bekerja pada hakikatnya merupakan proses membangun suatu kepribadian. Melalui

kerja, seseorang membangun pribadinya untuk memperkokoh peran kemanusiaannya dalam

realitas kehidupan sosial. Dalam tahap ini bekerja menjadi proses pembebasan dan peneguhan

suatu humanitas, yaitu untuk mengembangkan pribadinya secara optimal, menjelajahi medan

pengembaraan kreatif yang tak pernah kering dengan membuka usaha terus menerus untuk

menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan, sebagai pancaran kekayaan spiritualitas dari

etos kerjanya.

Syaikh Akbar menganggap mulia seseorang yang telah menjalankan secara maksimal

status dan fungsi dirinya sebagai ‘abd dan khalifah di muka bumi. Ia sangat menghargai kerja,

sebagai wujud dari fungsi penghambaan dan kekhalifahan seorang hamba.

Bagi syaikh Akbar, beramal dan kerja keras itu sendiri merupakan sarana bagi seorang

hamba untuk mencapai derajat kemuliaan yang tertinggi, baik di dunia maupun di akhirat. Ada

tiga syarat yang harus dimiliki oleh seseorang agar mendapatkan keberhasilan dari suatu

pekerjaan yaitu iman, hijrah dan jihad. Ketiga persyaratan tersebut ia analogikan dari firmal

Allah yang menerangkan tentang keutamaan orang beriman, berhijrah dan berjihat di jalan

Allah (surah al-Bagarah ayat 218).

Ia mengatakan bahwa untuk dapat berhasil dalam suatu usaha, pertama, seseorang harus

meyakini bahwa ada prospek yang bagus dalam pekerjaannya dan harus meyakini bahwa

17

17

usahanya itu akan mendatangkan keuntungan yang baik. Kedua, seseorang harus mempelajari

dan merubah cara berusaha yang selama ini ia gunakan, jika ternyata cara tersebut tidak

mendatangkan hasil yang maksimal. Dan ketiga, seseorang harus berjuang dengan sepenuh

jiwa raganya dan memfokuskan segenap pemikirannya agar usahanya tersebut berhasil dengan

baik.

Salah satu bentuk kemuliaan seseorang di dunia adalah keberhasilan dan kelimpahan

harta yang halal sedangkan kemuliaan dan ketinggian derajat di akhirat adalah keridhaan Allah

dan balasan pahala yang setimpal baginya.

Banyak orang memberikan gambaran orang Islam yang baik dan taat, adalah semata-

mata dari berapa banyak dia melakukan shalat sunat, doa-doa,

dzikir-dzikir, dan lain-lain. Sangat jarang orang mengaitkan ketaatan beragama

misalnya dengan bagaimana dia giat bekerja, tegar berusaha, rajin di laboratorium atau

berperilaku hemat. Bahkan kadang orang yang "terlalu" giat bekerja dicap sebagai orang yang

jauh dari agama.

Tentu benar, ketaatan beribadah (dalam arti ritual) menjadi syarat mutlak ketaatan

seseorang, namun sesungguhnya jika dikaji lebih dalam Islam adalah agama yang sangat

menjunjung tinggi kerja, amal saleh (yang artinya perbuatan baik). Kerja adalah bagian penting

dari ibadah. Islam adalah agama kerja.

Al-Quran dalam banyak sekali ayat, menyebutkan bahwa iman saja tidak cukup, tetapi

harus disertai dengan amal shaleh, kerja. Tidak cukup iman saja tetapi harus dimanifestasikan

dengan amal. Cukuplah, dinukilkan surat Al-Ashr untuk mewakili ayat-ayat tentang iman dan

amal shaleh.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-

orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati

kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”

Dari ciri-ciri orang yang tidak rugi, selain keimanan semuanya berkaitan dengan kerja;

amal shaleh, menasehati, menaati kebenaran, menetapi kesabaran.

Al-Quran juga memerintahkan agar kita selalu mencari karunia Allah di bumi dengan

bekerja sebagai ungkapan rasa syukur, bahkan setelah shalat pun kita dianjurkan untuk segera

bertebaran di muka bumi untuk bekerja. Sebagaimana disebut dalam ayat-ayat berikut:

“.. Dan bekerjalah, Wahai Keluarga Daud, sebagai (ungkapan) syukur (kepada Allah)

(QS 34;14)

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala

penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya.” (QS 67: 15)

18

18

"Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan

carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."( QS 62:

10)

Dalam hadis juga banyak diungkapkan tentang orang-orang yang utama, kebanyakan

berkaitan dengan kerja, tindakan, action. Berikut di antaranya hadis-hadis yang terkenal:

“Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik perangainya/akhlaqnya”

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia”

“Muslim yang terbaik adalah muslim yang muslim lainnya selamat/ merasa aman dari

gangguan lisan dan tangannya."

“Sebaik-baik kamu adalah yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya”

“Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik (berperilaku) kepada keluarganya”

“Tangan diatas lebih baik daripada tangan di bawah”

“Sebaik-baik kamu ialah orang yang mempertahankan keluarganya selagi perbuatan

itu tidak membawa kepada dosa”

“Barangsiapa yang menjadi susah pada petang hari kerana kerjanya, maka

terampunlah dosanya.” (Hadis riwayat Tabrani)

Bekerja bukan hanya dianjurkan untuk memberi manfaat kepada manusia, tetapi juga

sangat dipuji jika bermanfaat bagi makhluk yang lain.

Rasulullah S.A.W. bersabda, "Seorang muslim yang menanam atau menabur benih, lalu ada

sebahagian yang dimakan oleh burung atau manusia, atapun oleh binatang, nescaya semua

itu akan menjadi sedekah baginya" (Riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Ketika menyebutkan ciri-ciri orang yang beriman, baik dalam Al-Quran selalu

menyebut dengan amal, kerja, kegiatan, atau action. Misalnya ciri-ciri orang beriman dalam

surat Al-Mukminun 1-11, yang menyebutkan ciri orang beriman sebagai orang yang khusyu

shalat, berzakat, meninggalkan perbuatan yang sia-sia, menjaga kehormatan (kemaluan), dan

menjaga amanat. Dalam Hadis terkenal misalnya ciri orang beriman adalah berkata baik atau

diam, menghormati tetangga. Kebanyakan ciri-ciri orang beriman berkaitan dengan amal nyata

atau kerja. Bekerja dalam ajaran Islam adalah manifestasi dari iman. Bekerja adalah sebagai

bagian dari ibadah.

Berikut secara ringkas ciri bekerja sebagai pengabdian kepada Allah SWT:

1. Motivasi kerja : pengabdian kepada atau mencari ridha Allah SWT

2. Cara kerja : sesuai/tidak bertentangan dengan syariat Islam

3. Bidang kerja : yang halal, baik/ma’ruf

4. Manfaat kerja : kebaikan, kesejahteraan, keselamatan bagi semua (rahmatan lil alamin)

Dengan bekerja sebagai motivasi ibadah, semestinya selalu memberikan yang terbaik.

Selalu bekerja semaksimal mungkin, bukan seadanya. Itulah yang disebut sebagai “ihsan”

19

19

(berbuat baik) atau (hasil terbaik). Allah bahkan

memerintahkan kita meniru karya Allah dalam bekerja, “… maka berbuat baiklah (fa ahsin)

sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”(QS 28:77)

Bekerja dengan motivasi di atas semestinya juga akan melahirkan kerja keras, tegar,

jujur, dan profesional dalam kondisi apa pun. Berbeda dengan motivasi jabatan misalnya,

hanya bekerja ketika ada iming-iming atau konsekuensi jabatan, jika tidak dia akan enggan.

Sedang bekerja dengan motivasi ibadah semestinya akan bekerja dengan semangat meski

imbalan langsung tidak nampak, meskipun uang sedikit, meski tidak ada yang melihat, meski

tidak dipuji atasan. Karena memang motivasinya adalah pengabdian kepada Allah SWT.

Sedang Dia selalu ada, selalu mengawasi, selalu mengetahui apa yang kita lakukan.

Jika dalam bekerja jauh dari semangat dan nilai-nilai Islam dan teladan para pendahulu

kita, kemudian memandang agama dengan cara yang salah. Kita menganggap kerja dan ibadah

adalah dua hal yang berbeda dan terpisah. Akibatnya adalah sikap mendua (split personality)

dalam bekerja. Maka akan kita dapati kenyataan aneh seperti orang yang rajin beribadah

(ritual) namun rajin juga menilap aset kantor, bahkan milik masyarakat, tidak jujur, atau suka

main terabas.

Shalat yang dilakukan lima kali dalam sehari harus mampu membangun karakter

sehingga mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Begitu pun bisa menjadikan puasa

sebagai perisai dalam melawan tarikan nafsu-nafsu yang rendah. Ibadah haji harus dijadikan

sebagai total pengabdian kepada Allah SWT.

Hal ini tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan upaya yang

sungguh-sungguh agar bisa sampai pada penelaahan sekaligus mengaplikasikan nilai-nilai

ibadah yang kita kerjakan. Sehingga nilai-nilai ibadah mempunyai implikasi positif dalam

perilaku kehidupan sehari-hari.

Pada dasarnya tasawuf merupakan upaya untuk mengantarkan manusia pada

kesempurnaan diri melalui latihan-latihan yang telah tersistemasi dalam aturan-aturan khas

tasawuf. Pelatihan jiwa ini didasarkan pada anggapan dalam dunia tasawuf bahwa manusia

memiliki potensi untuk berubah. Anggapan ini pada dasarnya sesuai dengan pandangan

psikologi tentang mampu berubahnya seseorang ketika dilatih. Hal ini terutama dapat dilihat

secara nyata dalam psikologi behavior, misalnya.

Dalam tasawuf ada istilah yang dinamakan toriqoh atau tarekat. Toriqoh atau tarekat

diartikan sebagai jalan untuk mencapai tujuan seorang sufi yakni mencapai kebahagiaan

spiritual, kebahagiaan selalu berada di hadirat-Nya, kebahagiaan selalu dapat merasakan kasih

sayang-Nya.

20

20

Dalam konteks pembangunan spiritualitas kerja tentu toriqoh atau tarekat ini juga bisa

digunakan sebagai media riyadoh atau latihan meningkatkan spiritualitas kerja. Ajaran yang

diamalkan dalam sebuah toriqoh atau tarekat ini merupakan kontrol atas sikap hidup yang

dilakukan seseorang agar tidak diperdaya dan tersesat dalam kehidupan yang akan membawa

seorang hamba itu ke jurang kecelakaan dan kerugian baik di dunia maupun di akhirat. Karena

ajaran yang diamalkan dalam tarekat ini dipahami sebagai media atau merupakan sarana untuk

melatih diri agar tetap dalam keadaan jaga dan sadar terhadap sesuatu yang dialami dan

dirasakan, dan terutama kesadaran kita terhadap Allah. Ketika hati kita dalam keadaan sadar

dan jaga maka, segala tindakan kita akan tetap terkontrol. Namun sebaliknya, jika seorang

hamba melupakan Tuhannya sama saja melupakan diri sendiri.

Dalam pengertian spiritual, orang yang melupakan diri sendiri sesungguhnya telah

tersesat. Al-Qur,an mengatakan;

Artinya; “Dan barang siapa berpaling dari mengingat Tuhan Yang Maha

Pemurah, kami suruh setan akan menjadi temannya yang akrab”

Ini berarti bahwa berpaling dari mengingat Allah menyebabkan diri dikuasai oleh

syetan (atau kekuatan-kekuatan bukan Tuhan) yang setiap saat mendorong seseorang serta

membisikan berbagai kejahatan ke dalam hati. Syetan baru meninggalakan seseorang kalau dia

sudah berhasil membuat manusia terpuruk dan terjerumus ke dalam neraka (atau menyimpang

dari jalan Allah dan kebaikan). Manakala berbagai kekuatan jahat yang memalingkan manusia

dari jalan Ilahi telah menghujam kuat dalam hati seseorang, maka jiwanya pun tersesat

sedemikian rupa, sehingga ia bahkan tidak tahu bahwa Allah itu ada. Tidak mengingat Allah

itu menyebabkan hatinya dikuasai kekuatan-kekuatan jahat.

Dalam ihwal pekerjaan misalnya, Islam telah mengatur bagaimana kemudian sikap

seorang muslim di dalam melaksanakan pekerjaannya. Bagaimana pula seorang muslim dalam

memandang, memaknai pekerjaan atau profesinya. Maka doktrin atau ajaran tasawuf yang

diamalkan dalam sebuah tarekat adalah salah satu metode agar seseorang tetap berada di dalam

keteraturan-Nya, sehingga berimplikasi pada perkembangan pribadi yang baik yang terlihat di

dalam sikap, pandangan, dan memaknai segala sesuatu dengan positif. Tentu amalan yang

dimaksud adalah amalan yang mempunyai arti yang luas. Amalan yang bukan hanya

melakukan ritual-ritual tertentu, tetapi bagaimana kemudian amalan-amalan tersebut

berimplikasi pada sikap dan akhlak yang baik.

Jujur, amanah, disiplin, intergritas tinggi di dalam melakukan pekerjaan, semuanya

merupakan akhlak dan perilaku yang baik dan merupakan buah dari amalan-amalan tersebut.

Ketika semua itu dilakukan secara simultan maka, hasil dari pekerjaan baik berupa materi

21

21

ataupun penghargaan dari seseorang akan tercapai, lebih dari itu semua pahala dari Allah sudah

menunggu.

Gambar 1.1 Kerangka Berfikir

F. Sistematika Penulisan

Ajaran Tasawuf

Al-Qur’an Hadits

Pengetahuan Wahyu

(tema-tema spirit

kerja) dari para

tookh sufi

Etos Kerja

Research

Pengetahuan

Empiris (Teori-teori

etos kerja)

Penggabungan

(Analisis)

Spiritualitas

Kerja

22

22

Untuk memudahkan pembaca, peneliti membagi karya ini dalam lima bab:

Bab I : Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, serta sistimatika

penulisan.

Bab II : berisi landasan teori tentang Spiritualitas, bab ini terbagi dalam empat sub. Sub

bab yang pertama dijelaskan tentang tasawuf; definisi tasawuf, tujuan tasawuf, tasawuf sebagai

energi dalam Islam, peran fungsi tasawuf, ruanglingkup tasawuf, doktrin amalan dalam

tasawuf, syari’at, tharekat, dan hakikat dalam tasawuf. Sub bab kedua, menjelaskan tentang

konsep kerja; arti kerja, etos kerja, motivasi kerja, motivasi dalam pandangan Islam, dan

kepuasan kerja. Sub bab ketiga, menjelaskan tentang Spiritualitas kerja. Sub bab keempat,

membahas tentang relasi tasawuf dan spiritualitas kerja dalam kerangka Weber.

Bab III : Berisi metodologi, terdiri dari pengalaman penelitian di lapangan yaitu :

pendekatan penelitian, tempat penelitian, instrument penelitian, metode penelitian, sampel

sumber data, teknik analisa data dan pengujian keabsahan data.

Bab IV : Terdiri dari hasil penelitian berupa data atau kondisi objektif Tarekat

Idrisiyyah

Bab V : Terdiri dari hasil penelitian berupa analisis teori dan analisa lapangan yang

menjawab empat pertanyaan yaitu : Pertama, bagaimana amalan dan karakteristik ajaran

tarekat idrisiyah; Kedua, membahas tentang ajaran dan doktrin amaliyah tarekat Idrisiyah

terhadap pembentukan spiritualitas kerja, ketiga, membahas tentang peran dan metode tarekat

Idrisiyah dalam membangu kesadaran terhadap spiritualitas kerja, dan keempat, membahas

perilaku kerja tarekat Idrisiyyah terhadap peningkatan produktivitas kerja

Bab VI : Merupakan kesimpulan dari berbagai diskusi yang sudah disampaikan dalam

beberapa bab sebelumnya. Dalam kesimpulan ini juga peneliti memberikan rekomendasi hasil

penelitian ini sebagai model baru dari pengamalan tasawuf terutama terhadap dunia kerja.