Upload
doanquynh
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menciptakan alam semesta dan seisinya untuk
kemakmuran umat manusia.1Peran manusia di muka bumi adalah sebagai
khalifah yang mana menjadi harapan ideal untuk menciptakan tatanan
masyarakat yang berkeadilan dalam membangun relasi ketuhanan,
kemanusiaan dan kealaman. Hal itu bertujuan untuk mewujudkan tatanan
kehidupan yang menjadikan rahmat bagi seluruh alam. Dimana aturan tersebut
akan berjalan jika fungsi dan peran kemanusiaan dapat terwujud dalam
kehidupan sehari-hari. Terbukti, bahwa manusia adalah makhluk yang dapat
memberikan manfaat untuk sekitarnya, karena manusia merupakan
perwujudan mikrokosmos (alam kecil) dalam wujud makrokosmos (alam
semesta) yang diciptakan oleh Tuhan, yang peran dan fungsinya untuk
memakmurkan bumi dan seisinya.2 Islam mengajarkan keseimbangan dalam
kehidupan di muka bumi ini dengan pengelolaan harta melalui konsepsi
wakaf.
Islam memberikan wadah aktualisasi untuk mengembangkan
pengelolaan harta agar kebutuhan manusia dapat terdistribusi dengan adil,
maka islam mengenal wakaf dalam rangka membebaskan nasib
1 Depatemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara
Penterjemah AL-Qur’an, 1995, h. 13. 2 Sachiko Murata, The Tao of Islam Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender dalam
Kosmologi dan Teologi Islam, Bandung : Mizan, 1996, h. 47.
1
2
Mustadh’afin.3 Hal itu ada demi terwujudnya kesejahteraan sosial dalam
masyarakat. Indikasinya bahwa kaum fakir tidak mampu mencari
penghidupan, baik karena usia masih kecil, atau masih lemah karena sakit.
Seperti halnya wanita tidak mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
dilakukan oleh kaum pria. Atau wanita-wanita stress dan mabuk karena
tertimpa kesedihan. Atau seperti orang-orang yang menderita kemiskinan yang
menurut hukum termasuk orang-orang yang berhak mendapatkan zakat. Atau
seperti orang-orang yang mulia karena menderita miskin dan papa.
Apabila orang-orang mustadh’afin melakukan pekerjaan-pekerjaan
yang hina maka jiwa mereka akan merasa sakit dan tertekan. Sebab
perpindahan dari kemuliaan dan kehormatan menuju kepada kemiskinan dan
kefakiran akan menekan rasa sakit dalam jiwa yang sangat berat. Jika
demikian maka mereka adalah manusia yang paling utama mendapatkan
rahmat dan kasih sayang. Apabila anda menahan orang-orang besar yang
kaya dan memberikan zakat kepada mereka niscaya mereka akan merasa lega
dan terbebas dari menderita kemiskinan lepas dari ikatan kesukaran hidup,
serta kesedihanpun menjadi reda.
3 Mustadh’afin adalah mereka orang-orang yang tertindas, teraniaya dan terlemahkan
oleh sistem dan mereka sebenarnya adalah pemimpin umat manusia di muka bumi. Sebagaimana yang disebutkan dalam Qur’an. Tentang posisi-posisi mereka terdapat dalam Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam surat Al Qashsas : 4, Al ’Araf : 150, Al ’Araf: 75, Al Qhasas : 5, Saba’ :31-33, Al Araf :137, Al Anfal : 26, Annisa’ : 75, Annisa’ : 97-98, Annisa : 127. Dalam konteks keIndonesiaan mereka adalah kaum mayoritas termiskinkan oleh sistem secara politik, ekonomi, sosial dan budaya seperti petani, buruh, nelayan, korban lingkungan, kaum urban yang termiskinkan dan umat Islam mayoritas yang benar-benar tak berdaya atas telikungan sistem kapitalisme global saat ini mencengkeram mereka. Secara etimologi mustadh’afin berasal dari kata dza, ‘a, fa berarti lemah, kemudian ditambah dengan hamzah washol, fa, sin, ta’ bermakna tahawul berarti terlemahkan. Karena kedudukannya sebagai isim fail maka berarti orang yang terlemahkan oleh kondisi lingkungan yang dilingkupi oleh sistem yang berlaku. Lihat Muhammad Ma’shum, Amtsilah Tashrifiyyah, Jombang : Darul Hifdzi Salafiyyah, 1994, h. 31.
3
Orang yang memberikan Waqaf mendapatkan pahala yang agung dari
Allah Yang Maha Tinggi lagi mulia pada hari yang tiada perlindungan pada
suatu hari dimana amal perbuatan ditimbang kemudian masing-masing
memperoleh pahala yang besar dan nikmat yang agung dari Allah, demikian
pula orang yang mewakafkan sesuatu untuk masjid, para cendekiawan, dan
lembaga–lembaga keagamaan maka pahalanya terserah tak ada dosa bagi anda
bagaimana hendak mengatakan. 4
Menjadi hal yang umum, bahwa orang-orang kaya yang dikaruniai
harta dan kekayaan melimpah, sementara khawatir anak keturunan mereka
akan merusak kekayaan mereka dengan tindakan yang jelek, dan juga tamak
akan kepentingan keluarga mereka sendiri seperti yang mereka tinggalkan jika
mereka mewakafkannya niscaya mendapatkan kebahagian lantaran mereka
memelihara sumber kekayaan dan mencegah tangan yang mempermainkan
harta kekayaan dengan cara menjualbelikan, memberikan cuma-cuma atau
dengan cara lainnya. Dengan demikian akan mendatangkan manfaat yang
tiada putus-putusnya. Orang yang mewakafkan hartanya, akan mendapatkan
dua pahala, yakni pahala karena mencegah kemiskinan yang akan menimpa
anak cucunya. Dan kedua pahala memelihara sumber kekayaan dari
kemusnahan. Kedua pahala ini tidak akan terputus selama masih ada siang
dan malam. Telah disebutkan di dalam hadits bahwa nabi SAW bersabda
4 Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatu Attasyri’ wa Falsafatuhu, Mesir: Darul- Fikr, 1983, h.
131.
4
kepada Umar bin Khattab r.a: “Jika engkau menghendaki, maka simpanlah
dan sedekahkanlah baghlnya5.
Hikmah yang lain, bahwa orang yang berjiwa dermawan, berperasaan
lembut, berkasih sayang kepada kaum lemah, dan hati mereka dengan disertai
iman selama menginginkan agar kemakmuran sampai ke tangan orang-orang
yang hendak memanfaatkan dengan memperjualbelikan atau dengan cara lain
dan berpindah dari hak milik ahli waris kepada orang lain. Dengan
memelihara kekayaan demikian ia mempunyai dua maksud. Pertama,
menetapkan kekayaan agar tidak dimanfaatkan. Dan kedua, bantuan itu
sampai kepada orang yang dikehendakinya tanpa terputus di tengah jalan.
Berarti ia telah berhati-hati dalam urusan dan mendapatkan urusan dan
mendapatkan pahala yang besar dalam hal pemberiaan.6
Wakaf adalah konsep sekaligus institusi yang sudah lama dikenal
masyarakat, bahkan sejak generasi pertama dikenalnya peradaban manusia. al-
Qur’an menyebutkan bahwa Ka’bah adalah harta wakaf pertama di dunia yang
dibangun oleh Nabi Adam AS, direnovasi oleh Nabi Ibrahim AS dan anaknya
Nabi Ismail AS, dan akhirnya pada Zaman Nabi Muhammad SAW dan
umatnya saat ini. Allah SWT berfirman dalam surah Ali-Imran (3:96),
”Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat)
5 Abdullah bin Syeikh Hasan Al-Hasan Al-Kuhji, Zadul Muhtaj Bi Syarhil Minhaj ,
Beirut: Al-Maktabah Al-Ashriyyah, tt, h. 416. 6 Ibid, h:132.
5
manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan
menjadi petunjuk bagi manusia”.7
Istilah wakaf tidak ditemukan dalam ayat Al-Qur’an, yang
menerangkan konsep wakaf secara rinci. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi
sabilillahi, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan
konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Qur’an yang
menjelaskan tentang infaq fi sabilillahi. Diantaranya ayat: “Hai orang-orang
yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu
yang baik, dan sebagian dari apa yang kamu cintai (Q.S. al-Baqarah (2):267).8
Diantara hadis nabi yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis
yang menceritakan tentang kisah Umar bin Khathab ketika memperoleh tanah
di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk nabi tentang tanah tersebut, nabi
menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya. Secara
lengkap hadis tersebut menyebutkan: Umar memperoleh tanah di Khaibar
yang nilainya tinggi dan tidak pernah ia peroleh yang lebih tinggi nilainya
daripadanya. Sebagaimana sabda Rasulallah: “Kalau kamu mau, tahan
sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya. Lalu Umar
menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan warisan.
Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk
memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang
musafir dan para tamu. Bagaimanapun barang tersebut boleh digunakan
7 Sirodjul Munir, Kemitraan Usaha dalam Wakaf Produktif, dalam www.bwi.or.id ,
Jakarta , 18 Februari 2008. 8 Depatemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah AL-Qur’an,1995, h.91
6
dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau
memberikan makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.9
Selain dasar dari Al-Qur’an dan Hadis di atas, para ulama sepakat
(Ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariyah yang disyariatkan dalam
Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf
dalam Islam, karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan
dan diamalkan oleh para sahabat nabi dan kaum muslimin sejak masa awal
Islam hingga sekarang.10 Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf
sudah dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia sejak sebelum
merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah menetapkan Undang-Undang
khusus yang mengatur tentang Perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yang mana wakaf sebelumnya
diatur dalam Undang-Undang Perwakafan tanah milik yang termuat dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (Yakni Undang-Undang Agraria).
Dalam Pasal 49 tersebut menjelaskan bahwa wakaf berfungsi untuk
kepentingan sosial dan keagamaan.11 Untuk melengkapi Undang-Undang
tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 28
/1977 tentang perwakafan tanah milik dan PP No. 42/2006 tentang
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 tahun 200412.
9 Muhammad Isma’il, Subulusalam Syarhu Bulughul Maram Min Jam’il Adilatil
Ahkam, Libanon : Darul Kutub Al’ilmiah, 1977, h. 168-169. 10 Administrator BWI, Dasar Hukum Wakaf, dalam www.bwi.or.id , Jakarta: 27
Desember 2007 11 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, Jakarta : Djambatan , 2000, h. 119. 12. Departemen Agama, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan, Jakarta : Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan, 2006, h.14.
7
Wakaf bukan hanya dipahami secara konvensional yaitu memberikan
tanah untuk dimanfaatkan sekedar untuk memenuhi hajat ritual, akan tetapi
bagaimana hasil pengumpulan harta wakif (orang yang mewakafkan) menjadi
produktif. Sehingga umat Islam perlu menggali wacana dan manajemen
pengelolaan wakaf produktif untuk pemberdayaan umat. Dengan kondisi
tersebut, maka menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi umat Islam untuk
melakukan inovasi kreatif, agar harta-harta yang disumbangkan oleh umat
Islam tidak mubadzir atau tidak terkelola dengan baik. Usaha
memproduktifkan harta itu dengan memahami integralitas fungsi wakaf bahwa
harta benda wakaf harus bersifat tetap ketika diwakafkan, untuk
diperpergunakan dalam kegiatan produksi sehingga hasilnya dapat disalurkan
sesuai dengan tujuan wakaf. Seperti wakaf tanah dapat dipergunakan untuk
bercocok tanam, mata air dijual airnya, jalan dan jembatan dipergunkanakan
sebagai jasa penyeberangan dan ongkosnya diambil bagi orang yang
menggunakannya, dan hasilnya disalurkan kepada orang-orang yang berhak
dan diutamakan untuk kaum mustadh’afin.13
Di masa pertumbuhan ekonomi yang cukup memprihatinkan saat ini,
bahwa peranan wakaf untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya
di bidang ekonomi sangat strategis, apabila wakaf dikelola sebagaimana
mestinya. Peruntukan wakaf di Indonesia yang kurang mengarah pada
pemberdayaan umat dan cenderung hanya untuk kepentingan ibadah saja,
karena dipengaruhi oleh keterbatasan umat Islam dalam memahami wakaf,
13 Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Jakarta: Khalifa, 2005, h.7.
8
baik mengenai harta yang diwakafkan, peruntukan wakaf maupun Nadzir
(Pengelola) harta wakaf. Mayoritas umat Islam di Indonesia memahami
bahwa, peruntukan wakaf hanya terbatas untuk kepentingan peribadatan dan
hal-hal yang lazim dilaksanakan di Indonesia seperti untuk masjid, mushalla,
sekolah, madrasah, pondok pesantren, makam dan lain-lain.14
Sehingga dapat dikatakan, bahwa di Indonesia sampai saat ini potensi
wakaf sebagai sarana berbuat kebajikan bagi kepentingan masyarakat belum
dikelola dan didayagunakan secara maksimal dalam ruang lingkup nasional.
Dari praktek wakaf di lapangan, saat ini tercipta suatu image atau persepsi
tertentu mengenai wakaf : Pertama, wakaf secara umum berwujud benda tidak
bergerak, khususnya tanah. Kedua, dalam kenyataan, di atas tanah itu
didirikan masjid atau madrasah. Ketiga, penggunaannya didasarkan pada
wasiat pemberi wakaf (wakif). Selain itu timbul penafsiran bahwa untuk
menjaga kekalnya, tanah wakaf itu tidak boleh diperjualbelikan. Akibatnya di
Indonesia, bank-bank tidak menerima tanah wakaf sebagai agunan (jaminan).
Padahal jika tanah wakaf itu dijadikan jaminan, maka suatu organisasi,
yayasan atau universitas bisa mendapatkan dana pinjaman yang diputarkan,
dan menghasilkan sesuatu.15
Demikian pula penggunaan tanah wakaf dari wakif yang berbeda tidak
bisa digabungkan, karena seolah-olah asset wakaf telah kehilangan identitas
individual wakifnya. Padahal kalau beberapa harta wakaf bisa dikelola
bersama, maka dapat dikembangkan berbagai faktor produksi untuk suatu
14 Departemen Agama, Perkembangan Pengelolaan Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2006, h.9.
15 Ibid,. h.13.
9
investasi, kalau perlu dengan menjual suatu aset wakaf untuk dijadikan modal
finansial. Penjualan harta wakaf seperti ini konon telah diperbolehkan di
Libya, asal dana-dana penjualan aset itu digabungkan dengan harta lain yang
statusnya masih merupakan harta tetap. Sebab dengan penjualan itu, harta
wakaf secara bersama-sama dapat menjadi aset produktif yang menghasilkan
sesuatu (keuntungan, uang) yang dapat dimanfaatkan untuk umat.16
Semuanya hanya sebatas idealitas. Terbukti, harta-harta wakaf belum
sepenuhnya dapat dikelola oleh nadzir- nadzir di Indonesia dengan baik.
Karena kurang profesionalnya nadzir ataupun terbenturnya peran dan fungsi
nadzir yang tidak ada kontrol secara jelas dari Departemen/ Lembaga khusus
manapun yang konsen atas nasib dan pengembangan benda-benda wakaf
selama ini. Sehingga potensi wakaf yang besar seperti potensi tanah wakaf
yang dipantau oleh lembaga independen baru bernama BWI (Badan Wakaf
Indonesia) pada tahun 2007 sebanyak 366.595 lokasi dengan luas
2.686.536.565,68 meter persegi. Potensi itu belum dimanfaatkan secara
optimal. Bahkan selama ini pengembangan wakaf di Indonesia mengalami
kekeringan dan tidak terkontrol dengan baik.
Disamping potensi wakaf tidak bergerak seperti diatas, juga berlaku
wakaf benda bergerak seperti wakaf uang sudah mulai diwacanakan sejak
tanggal 8 Januari 2010, pemerintah mencanangkan gerakan nasional wakaf
uang yang akan dikelola oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI), yang akan
mengelola adalah lembaga ORMAS (Organisasi Massa) Islam, bahkan BWI
16 Departemen Agama, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2006, h. 13.
10
sebagai badan pengelola independen yang bertanggungjawab langsung kepada
presiden, selama ini belum menunjukkan gerakannya di masyarakat. Terbukti
masih dalam wujud publikasi, belum ada informasi untuk digerakkan
pemanfatannya kepada kaum mustadh’afin yang membutuhkan.17
Wakaf merupakan sumber aset yang memberi kemanfaatan sepanjang
masa, namun pengumpulan, pengelolaan dan pendayagunaan harta wakaf
produktif sekarang ini masih sedikit dan ketinggalan dibanding negara lain.
Studi perwakafan sekarang ini masih terfokus pada segi hukum fiqih, dan
belum menyentuh manajemen perwakafan. Padahal wakaf dapat dijadikan
sebagai sumber dana dan aset ekonomi yang senantiasa dapat dikelola secara
produktif dan memberi hasil kepada masyarakat. Dengan demikian harta
wakaf benar-benar menjadi sumber dana dari masyarakat, baik pemberian itu
diberikan secara sukarela /dana volunteer yang di dasarkan pada kesadaran
setiap orang (yang memiliki kekayaan) untuk mewakafkan hartanya melalui
lembaga wakaf yang profesional18.
Maka Islam memberikan alternatif dalam bentuk muamalat berupa
pemberdayaan wakaf yang perlu diperjuangkan untuk mengantisipasi dampak-
dampak kemiskinan dan keterbelakangan. Sebagaimana telah diatur dalam
undang-undang perwakafan yang baru tentang manajemen pengelolaan wakaf
di Indonesia. Meskipun Undang-Undang tersebut belum terealisasi di
masyarakat. Sejak disahkannya UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf,
17 Harian Koran Suara Merdeka, Terobosan Wakaf Uang Disambut Baik, 9 Januari 2010,
h.6. 18 Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Jakarta : Pustaka AL-Kautsar Group,
2005, h. 295.
11
sebagaimana yang terdapat dalam pasal 22 mengenai peruntukan harta benda
wakaf. Di dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa dalam rangka mencapai
tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi: a)
Sarana dan kegiatan ibadah, b) Sarana dan kegiatan pendidikan serta
kesehatan. c) Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea
siswa d) kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan /atau kemajuan dan
kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan
peraturan perundang-undangan.19 Peraturan ini akan menjadi undang-undang
yang hidup, jika ada aturan pelaksanaan yang berlangsung di masyarakat
sehingga dapat memberikan solusi untuk menciptaan kesejahteraan sosial.20
Mengingat arti penting pengelolaan dan pendayagunaan wakaf, pada
tanggal 27 Oktober 2004 telah disahkannya UU No.41/2004 tentang wakaf.
Selanjutnya pada tanggal 15 Desember 2006 pemerintah menerbitkan PP No.
42 /2006 tentang pelaksanaan UU No. 41 / 2004. Tahun 2007 melalui Keppres
No.75 pemerintah mendirikan BWI yang bertujuan mengelola aset wakaf yang
ada di tanah air Indonesia, baik wakaf produktif, wakaf tunai, wakaf tanah,
wakaf buku dan wakaf yang lainnya. Sehingga dengan adanya wakaf tersebut
bertujuan untuk memakmurkan masyarakat Indonesia dari tekanan krisis
global. Sehingga adanya wakaf itu dapat memberikan alternatif bagi sehatnya
lembaga keuangan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan
19 TR3NITY, Kumpulan Undang-Undang Tentang U.UR.I Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf & U.U R.I Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Zakat Edisi Lengkap 2009, Jakarta: Citra Media Wacana, 2008, h. 103.
20 Ibid, h: 103
12
masyarakat. Maka peran BWI menjadi sangatlah sentral untuk pengembangan
wakaf di masa-masa yang akan datang.21
BWI secara riil adalah bentuk badan atau lembaga independen yang
berperan mengembangkan perwakafan di Indonesia. BWI tersebut bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugasnya, serta
bertanggung jawab kepada masyarakat secara langsung. Jika badan wakaf
dapat berjalan secara top-down (struktural dari atas ke bawah) ataupun
sebaliknya bottom-up (bawah ke atas) dalam pengeloaan harta wakaf, maka
keadilan sosial dalam bidang ekonomi akan tercipta kemakmuran secara utuh.
Sedangkan kolonialisasi sistem kapitalis22, perbankan yang berbau riba akan
hilang dengan sendirinya jika gerakan wakaf melalui BWI dapat berjalan
secara optimal.
Menurut penulis BWI adalah alternative, dengan berjalannya sistem
tersebut maka kaum mustadh’afin di bidang ekonomi dapat bangkit dari
keterpurukan, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial di tengah
masyarakat modern kapitalis saat ini. Kondisi tersebut selaras dengan
diundangkannya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004. yaitu lembaga wakaf
sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi yang
21 Depatemen Agama, Proses Lahirnya Undang-Undang No.41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf, Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam ,2006, h. 18.
22 Menurut Meghned Desai memberikan urutan ciri-ciri kapitalis secara historis. Adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut: (1) Produksi untuk dijual dan tidak untuk dikonsumsi sendiri. (2) Adanya pasar; di mana tenaga kerja dibeli dan dijual dengan alat tukar upah melalui hubungan kontrak. (3) Penggunaan uang dalam tukar menukar memberikan peranan yang sistematis kepada bank dan lembaga keuangan non bank. (4) Proses produksi atau proses kerja berada dalam kontrol para pemilik modal dan agen-agen manajerialnya. (5) Kontrol dalam keputusan keuangan berada dalam pemilik modal, dimana para pekerja tidak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. (6) Berlakunya persaingan bebas diantara pemilik kapital.
13
dikelola secara efektif dan efesien, untuk kepentingan ibadah serta peningkaan
kesejahteraan umum yang dalam dataran praktisnya akan difasilitasi oleh
BWI23.
Keberadaan BWI telah diatur dalam undang-undang wakaf secara
jelas dan terperinci, dari pasal 47 sampai dengan pasal 61 Undang-Undang
No. 41 Tahun 2004. Pada pasal 57 disebutkan bahwa untuk pertama kali,
pengangkataan keanggotaan BWI diusulkan kepada Presiden oleh menteri.
Sedangkan BWI dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di provinsi dan/atau
kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan.24
Adapun tugas Badan Wakaf Indonesia yaitu :
1. Melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf;
2. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
berskala nasional dan internasional;
3. Memberikan persetujuan dan /atau izin atas perubahan peruntukan
dan status harta benda wakaf;
4. Memberhentikan dan mengganti Nadzhir ;
5. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
6. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam
penyusunan kebijakan di bidang perwakafan;
23 Diambil dari Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor : 08/BWI/XII/2007 tentang
Tata Kerja Badan Wakaf Indonesia. 24 Lihat Peraturan BWI Nomor:08/BWI/XII/2007 tentang Tata Keja Badan Wakaf
Indonesia.
14
7. Menerima, melakukan penilian, menerbitkan tanda bukti
pendataaan nadzir yang telah habis masa baktinya;
8. Memberhentikan dan mengganti Nazhir bila dipandang perlu;
9. Memberikan saran dan pertimbangan kepada menteri dan
menunjuk Lembaga Keuangan Syari’ah sebagai Penerima Wakaf
Uang (LKS-PWU)
10. Menerima pendaftaran Akta Ikrar Wakaf (AIW) benda bergerak
selain uang dari pejabat pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW).
Dilihat dari tugas kelembagaan, keberadaan Badan Wakaf Indonesia
mempunyai posisi yang sangat strategis dalam pemberdayaan wakaf secara
produktif. Pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) bertujuan untuk
menyelenggarakan manajemen wakaf secara optimal, yang terkait dengan
pengelolaan. Seperti harta wakaf yang bersifat nasional dan internasional yang
keberadaannya masih terlantar maupun pembinaan terhadap Nazhir yang
kurang memadai. Badan Wakaf Indonesia (BWI) bersifat Independen dan
profesional yang bersinergi dengan peran pemerintah sebagai regulator
(pengatur), fasilitator (memberi fasilitas), motivator (memberi semangat) dan
public service (pelayanan umum).25
Oleh karena itu BWI sebagai pioneer pengembangan wakaf secara
nasional akan diisi oleh sumber daya manusia yang benar-benar mempunyai
kemampuan dan kemauan dalam mengelola wakaf, berdedikasi tinggi serta
memiliki komitmen untuk mengembangkan wakaf. Bentuk organisasi BWI
25Depatemen Agama, op.cit, h.46.
15
tersebut paling sedikit terdiri dari 20 (dua puluh) orang dan paling banyak
terdiri dari 30 (tiga puluh) orang. Sedangkan anggota tersebut memiliki latar
belakang berbagai disiplin ilmu, seperti ekonom yang memiliki basis syariah,
ulama, praktisi bisnis, arsitektur, ahli perbankan syari’ah, dan cendikiawan
lain yang memiliki perhatian terhadap perwakafan secara umum.26
Sedangkan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas BWI dilakukan
melalui laporan tahunan yang diaudit oleh lembaga audit independen dan
disampaikan kepada menteri, serta akan diumumkan kepada masyarakat
secara umum. Hal ini dilakukan untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas
lembaga demi terwujudnya lembaga wakaf yang kokoh dan profesional.
Pembentukan BWI menurut sebagian orang masih dipertanyakan survivalnya
yang dinilai kurang memiliki semangat karena tidak adanya sumber dana yang
dapat diandalkan. Karena itu pasal 59 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004
mengamanatkan bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas BWI pemerintah
wajib membantu biaya operasional tersebut.27
Pemahaman pasal tersebut memang terkesan masih relatif, yaitu
pemerintah hanya membantu. Namun dalam rancangan peraturan pemerintah
tentang pelaksanaan UU No. 41 tahun 2004 ditegaskan bahwa bantuan
pembiayaan dari pemerintah kepada BWI bersifat tegas dan simultan minimal
selama sepuluh tahun dari berdirinya BWI melalui anggaran APBN
Departemen Agama dan masa tersebut dapat diperpanjang. Pembiayaan awal
26.Departemen Agama, loc.cit,47. 27 Departemen Agama, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di
Indonesia , Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2006, h. 16.
16
BWI ini diharapkan dapat mengantarkan lembaga tersebut mandiri dan
independen. Sehingga kekhawatiran kelangsungan BWI dapat dihindarkan.28
Dengan pembentukan, support pembiayaan dan tugas BWI tersebut
diharapkan BWI dapat menjadi lembaga wakaf yang profesional, sehingga
dapat mengembangkan wakaf secara produktif. Harus kita akui, pengelolaan
wakaf secara modern dan profesional tidaklah mudah, Mengingat realita yang
ada dalam kondisi masyarakat kita bahwa wakaf sangat terabaikan
kedudukannya dalam peta sistim keuangan dan perekonomian Islam. Jika
masyarakat memiliki inisiatif untuk pengelolaan wakaf maka akan tercipta
kemakmuran masyarakat itu sendiri.
Diantara aspek dan fungsi wakaf dengan relasi BWI sampai saat ini
belum terlihat hasilnya dalam mengatasi problem kemiskinan. Maka
pengkajian dan implementasi secara detail tentang lembaga ini dapat
dikatakan berhasil jika telah memberikan dampak terhadap pengentasan atau
pembebasan atas nasib kaum mustadh’afin yang ada di sekitar kita, serta
mensejahteraan kaum mustadh’afin yang keberadaannya masih dibawah garis
kemiskinan saat ini, sebagaimana tujuan awal pembentukan perundang-
undangan wakaf, BWI mempunyai peran yang strategis yaitu untuk
meningkatkan kesejahteraan umum, serta menyediakan berbagai sarana ibadah
28 Depatemen Agama, Proses Lahirnya Undang-Undang No.41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam , 2006,h. 18.
17
dan sosial. Selain itu BWI juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi
untuk mengembangkan harta wakaf sesuai dengan prinsip syari’ah29
Adapun pemberdayaan BWI perlu ada ukuran yang jelas, terutama
memberdayakan dari divisi-divisi yang ada dalam BWI untuk
mengkongkretkan wakaf dalam pembebasan kemanusiaan yang miskin dari
harta dan jiwa terkhusus untuk menjawab krisis ekonomi, politik, sosial
ataupun moralitas. Dengan berbekal dari teorisasi di atas, maka saya akan
melakukan pengkajian dalam skripsi ini dengan judul: “ Wakaf Uang
Untuk Pemberdayaan Mustadh’afin (Studi Kasus Pengelolaan
Wakaf Uang Di Badan Wakaf Indonesia (BWI) Pusat Jakarta”.
Cita-cita dari judul di atas telah mengantarkan kepada masyarakat
Indonesia untuk saling mendukung atas hadirnya BWI, agar sistem keuangan,
pemerataan kekayaan dan kesejahteraan sosial dalam Islam dapat berjalan.
Dengan mengoptimalkan harta wakaf. BWI dapat diukur melalui kinerja 5
(Lima) divisi di dalam BWI. Jika BWI ini dapat berjalan dan berkembang atas
divisi yang ada, maka pemantauan dan pembebasan atas nasib kaum
Mustadh’afin, dapat terukur dan terapantau melalui kinerja divisi yang ada.
Diantara kinerja dari divisi-divisi tersebut adalah pertama, Divisi
pengelolaan dan pemberdayaan wakaf. Divisi ini berperan untuk mengelola
dan mengembangkan harta benda wakaf ke arah produktif dengan cara (a)
Memetakan tanah wakaf untuk tujuan produktif (b) Mengatur dan
mengembangkan wakaf uang (c) Membangun gedung wakaf center, dan (d)
29 Lihat penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004
Undang-Undang tentang Wakaf.
18
Mengembangkan program investasi harta benda wakaf. Kedua, Divisi
penelitian dan pengembangan. Divisi ini bertugas: (a) Inventarisasi dan
pemetaan aset-aset wakaf di seluruh Indonesia, (b) Pemetaan dan analisis
potensi ekonomi terhadap asset wakaf, (c) Publikasi ilmiah tentang
perwakafan, dan (d) Studi Banding. Ketiga, Divisi Kelembagaan, Divisi
kelembagaan ini bertugas : (a) Menyiapkan berbagai peraturan perwakafan (b)
Menyiapkan dan menyusun pedoman penyelesaian sengketa mengenai
perwakafan (c) Menyiapkan dan menyusun pedoman perubahan status dan
penukaran harta benda wakaf, dan (d) Capacity Building (pengembangan
lembaga). Divisi yang terakhir Kelima, Divisi Humas. Divisi ini bertugas
mensosialisasikan program-program BWI melalui : (a) Sosialisasi BWI (b)
Sosialisasi wakaf uang (c) Publikasi dan edukasi publik tentang perwakafan,
dengan cara melalui berbagai media antara lain: konferensi pers, seminar,
talkshow, penerbitan, website, dll.30
Dengan terealisasi program kerja setiap divisi yang ada di dalam BWI,
maka upaya untuk menciptakan kesejahteraan sosial tidak hanya diukur dari
kinerja dan terfasilitasinya anggota BWI, khususnya akses kesejahteraan 10%
untuk Nazhir (Pengurus Wakaf). Namun perhatian yang lebih utama adalah
bagi kaum mustadh’afin yang membutuhkan serta dapat diberdayakan dengan
konsep wakaf sesuai dalam Islam. Tidak hanya itu saja, juga memberikan
perubahan sosial, dengan ukuran berkurangnya jumlah pengangguran dan
berkurangnya jumlah kemiskinan. Itulah ukuran pasti yang harus dipantau
30 Lihat dalam Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor:08/BWI/XII/2007 Tentang Tata
Kerja BWI. Bab II tentang Susunan Kepengurusan Pasal 6.
19
oleh BWI agar memberikan kontribusi yang signifikan atas kinerja yang
dijalankannya, sehingga dapat memberikan kontribusi secara riil terhadap
perubahan masyarakat kecil (mustadh’afin). Oleh karena itu, penelitian ini
bermaksud untuk mengetahui bagaimana korelasi BWI terhadap kaum
Mustadh’afin di Indonesia dalam rangka menyelamatkan nasib mereka (dari
ketertindasan sistem kapitalis yang dianut oleh Indonesia dari zaman Belanda,
Jepang, sampai sistem politik orde baru dan ekonomi global yang tidak
menguntungkan nasib mereka hingga hari ini).
B. Rumusan Masalah
Berpijak dari latar belakang tersebut, peneliti merumuskan dua
permasalahan yang perlu dikaji dan diselesaikan secara terstruktur, sebagai
berikut :
1. Bagaimana konsepsi dan praktek pengelolaan wakaf uang dapat
memberikan andil dalam menciptakan kesejahteraan sosial ?
2. Bagaimana wujud implementasi gerakan BWI (Badan Wakaf Indonesia)
dalam membebaskan nasib kaum Mustadh’afin ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, maka penulis mempunyai tujuan
penelitian sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana konsepsi dan pengelolaan wakaf uang
dapat memberikan andil dalam menciptakan kesejahteraan sosial?
2. Untuk mengetahui bagaimana wujud gerakan BWI dalam upaya
pembebasan nasib kaum Mustadh’afin di masyarakat ?
20
D. Telaah Pustaka
Lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 sebagai dasar inovasi
pengembangan wakaf yang ada di Indonesia, pada tanggal 27 Oktober 2004
telah disahkan UU No. 41/2004 tentang wakaf. Dan pada tanggal 15
Desember 2006 pemerintah menerbitkan PP No.42/2006 tentang pelaksanaan
Undang-Undang Wakaf tersebut. Akhirnya pada tahun 2007 melalui Keppres
No.75 Pemerintah mendirikan BWI dan peraturan BWI Nomor:
08/BWI/XII/2007 tentang tata kerja BWI. Hal ini dimaksudkan untuk
mengelola wakaf secara produktif. Untuk melengkapi hal tersebut dibutuhkan
mekanisme kerja dan manajemen wakaf secara profesional. Pengelolaan
wakaf dewasa ini menjadi perhatian umat islam. Hal ini terjadi karena wakaf
memiliki potensi untuk meminimalisir kemiskinan. Untuk menunjang
pengayaan penulis terhadap persoalan pengelolaan wakaf.
Berikut penulis sampaikan buku rujukan, Jurnal, dan skripsi yang ada
relevansinya dengan persoalan wakaf antara lain:
Beberapa buku tentang Kajian wakaf yang berisi tentang wakaf
kontemporer dan pengembangannya dari Direktorat Pemberdayaan Wakaf
dan Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI. Tahun
2006 dengan judul buku sebagai berikut: Panduan Pemberdayaan Tanah
Wakaf Produktif Strategis Di Indonesia, Proses Lahirnya Undang-Undang
No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di
Indonesia, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, Panduan
Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, Peraturan
21
Perundangan-undangan Perwakafan, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai,
Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, Peraturan Perundangan
Perwakafan.31
Beberapa peneliti lain yang mengkaji tentang wakaf dan
pengembangan wakaf antara lain: Buku karangan Dr. Mundzir Qahaf “Al-
Waqf Islamy Tathowury, Idaratihi, Tanmiyatihi” alih bahasa oleh Muhyiddin
Mas Ridho tahun 2000 dengan judul Manjemen Wakaf Produktif. Di dalam
buku tersebut berisi tentang Pengertian dan Sejarah Wakaf, Reformasi Fikih
Wakaf dan menerangkan Manajemen Wakaf Islam 32
Kemudian buku yang dikarang oleh Dr. Muhammad Abid Abdullah
Al-Kabisi menguraikan tentang hukum wakaf dalam bukunya yang berjudul :
Ahkam al Waqf Fi al-Syari’ah al-Islamiyah, yang di alih bahasa oleh Ahrul
Sani Fatturrohman tahun 2000 dengan judul: HUKUM WAKAF (Kajian
Kontemporer Pertama dan Terlengkap Tentang Fungsi dan Pengelolaan
Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf). Kemudian kitab rujukan
utama pembahasan teori dalam skripsi ini adalah Ahkam al-Waqf karya Abdul
Wahhab Khallaf, kitab Fiqhul Islamy wa Adillatuhu karya Wahbah Zuhaili
dll. Di dalam buku tersebut menjelaskan tentang rukun, syarat, perlakuan
31 Departemen Agama, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis Di
Indonesia, Proses Lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, Peraturan Perundangan-undangan Perwakafan, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, Peraturan Perundangan Perwakafan, Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2006.
32 Mundzir Qahaf, Alwaqf Al-Islamiy, Thathowurihi, Idaratihi, Tanmiyatihi, Darul Fikri, Syiria, 2000.
22
terhadap harta wakaf dan proses hukum untuk gugatan dan pembuktiannya
yang dijelaskan secara rinci.33
Jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, bekerjasama dengan Ford Foundation yang
mengupas tentang Revitalisasi Filantropi Islam Studi dicetak untuk pertama
kali pada tahun 2006 dan diedit oleh Chaidir S. Darmulin dan Irfan Abu
Bakar. Di dalamnya membahas membahas tentang kasus lembaga zakat dan
wakaf seperti lembaga BAZIS (Badan Amil Zakat, Infak, dan Sedekah),
LAZIS (Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah), PKPU ( Pos Keadilan
Peduli Umat ) dan lembaga wakaf lain yang ada di Indonesia semisal badan
wakaf Pondok Modern Gontor, UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta,
Pengembangan Pondok Pesantren Tebu Ireng. International Development
Bank (IDB) merupakan lembaga yang mengelola wakaf, yang diproduktifkan
melalui indikasi sumber-sumber keuangan, kegiatan pembiayaan, operasi dana
wakaf, penelitian dan pelatihan, kerjasama-kerjasama dengan lembaga lain
sehingga dapat memfungsikan pengelolaan dana-dana yang dapat
dikembalikan untuk kesejahteraan umat. 34
Ada beberapa skripsi mahasiswa IAIN Walisongo Semarang,
khususnya Fakultas Syari’ah yang mengkaji wakaf dari segi kelembagaan dan
ketimpangan dalam pengelolaan harta wakaf, diantaranya :
33 Muhammad ‘Abid Abdullah Al-Kabisi, Ahkamul Waqf fi Al-Syariah Al-Islamy,
Diterbitkan atas kerjasama Dompet Dhuafa Republika dan IIMan, Jakarta, 2000. 34 Irfan Abu Bakar (ed), Revitalisasi Filantropi Islam (Studi kasus lembaga zakat dan
wakif di Indonesia, PBB( Pusat Bahasa dan Budaya) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ,2006, h.7.
23
Skripsi yang disusun oleh Fadillah Nur’aini ( 2101092) jurusan AS
Tahun 2006 dengan mengambil judul Studi Analisis tentang Harta Wakaf
berupa hak cipta (Kajian atas UU No.41 Tahun 2004 Pasal16 ayat (3) huruf
e) yang didalam skripsinya membahas tentang perwakafan menurut Hukum
Islam, bentuk harta wakaf yang berupa Hak Cipta, dan Analisis terhadap harta
wakaf berupa hak cipta dalam UU No.41 Tahun 2004 Pasal 16.35 Kemudian
skripsi tentang Analisa Hukum Islam terhadap pendayagunaan harta wakaf
(Studi Lapangan di BKM Kabupaten Demak) yang disusun oleh Durotun
Nihayah (2101304) pada tahun 2006. Skripsi tersebut berisi tentang
Ketentuan Umum Tentang Perwakafan, Pendayagunaan Harta wakaf BKM
Kab. Demak serta mengetahui tentang seluk-beluk BKM dalam pengelolaan
wakaf yang terkait dengan pengembangannya.36
Pada Tahun yang sama Mamik Sunarti (2101330) Mahasiswa Jurusan
Muamalat (MU), ia mengambil judul tentang Analisa Hukum Islam terhadap
Pemberdayaan Ekonomi Harta Wakaf (Studi Lapangan Harta Wakaf Masjid
Agung Semarang) yang isinya mengenai Tinjauan Hukum Islam mengenai
wakaf, Gambaran tentang Pemberdayaan harta wakaf di MAS. Dan
pemberdayaan ekonomi umat melalui MAS.37 Pada Tahun 2004 Muhaemin
(2101213) Mahasiswa Jurusan AS melakukan penelitian tentang Tinjauan
Hukum Islam tentang harta benda wakaf berupa Hak Sewa (Kajian Terhadap
35 Fadillah Nur’aini, Studi Analisis tentang Harta Wakaf berupa hak cipta (kajian atas
UUNo.41 Tahun 2004 Pasal16 ayat (3) huruf e), IAIN Walisongo Semarang, 2006. 36 Durrotun Nihayah(2101305), Analisa Hukum Islam terhadap pendayagunaan Harta
Wakaf (Studi Lapangan di BKM Kabupaten Demak), IAIN Walisongo, 2006. . 37 Mamik Sunarti, Analisa Hukum Islam Terhadap Pemberdayaan Ekonomi Harta Wakaf
(Studi Lapangan Harta Wakaf Masjid Agung Semarang), IAIN Walisongo Semarang, 2006.
24
UU.No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf) mengkaji tentang Wakaf ditinjau dari
hukum islam yang meliputi pengertian, dasar hukum, syarat dan rukun Wakaf
dan pengertian Harta Benda Wakaf berupa hak sewa menurut ketentuan
Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang wakaf, dan tinjauan hukum islam
tentang harta wakaf yang diwujudkan dalam hak sewa. Serta relevansi Harta
Benda wakaf berupa hak sewa terhadap perkembangan perwakafan di
Indonesia38
Sulistiyawati (2100182) mengkaji tentang Pertukaran Tanah Wakaf
di Masjid Baiturrahim Jerakah Kecamatan Tugu Kota Semarang (Analisis
Hukum Islam) pada tahun 2006 jurusan Muamalah yang isi dari skripsi
tersebut adalah Wakaf menurut Fiqh dan menurut Hukum Islam, pertukaran
tanah wakaf Baiturrahim Jerakah Kecamatan Tugu Kota Semarang dan
analisis hukum islam terhadap pertukaran dan status hukum tanah wakaf
Masjid Baiturrahim Jerakah Kecamatan Tugu Semarang.39 Dan yang terakhir
skripsi dari Sarif Hidayatullah (21201123) pada tahun 2006 ia mengkaji
tentang Efektifitas Pengurus KUA Terhadap Pengelolaan Wakaf ( Studi kasus
KUA Kec. Ngaliyan Semarang)40
Berdasar temuan dari beberapa referensi yang telah saya pelajari dari
berbagai literatur yang ada tentang wakaf di atas, pengembangan dan studi
kritis tentang kelembagaan wakaf. Maka, belum ada satupun dari peneliti yang
38 Muhaemin, Tinjauan Hukum Islam tentang Harta Benda Wakaf berupa hak
sewa(Kajian Terhadap UU No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf) , IAIN Walisongo Semarang, 2004 39 Sulistyiwati, Pertukaran Tanah Masjid Baiturrahman Jerakah Kecamatan Tugu Kota
Semarang ( Analisis Hukum Islam), IAIN Walisongo Semarang, 2006. 40 Sarif Hidayatullah, Efektifitas Pengurus KUA terhadap pengelolaan Wakaf (Studi
Kasus KUA Ngaliyan), IAIN Walisongo Semarang, 2006.
25
mengkaji secara spesifik tentang Peran Badan Wakaf Indonesia (BWI) dalam
upaya pembebasan atas nasib kaum Mustadh’afin di Indonesia. Oleh karena
itu pengkajian secara spesifik, detail dan mendalam tentang lembaga ini perlu
dikembangkan agar tetap signifikan, sehingga keberadaannya dapat dirasakan
masyarakat luas. Dan cita-cita Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dapat
terwujud bagi manusia Indonesia dari alamnya nan subur yang dapat
dirasakan untuk semua. Melalui usaha menalaah dan mencoba
mempraktekkan dari apa yang terkandung dalam sistem kerja Badan Wakaf
Indonesia (BWI).
E. Metode Penelitian
Metode adalah rumusan cara-cara tertentu secara sistematis yang
diperlukan dalam pembahasan ilmiah, untuk itu agar pembahasan menjadi
terarah, sistematis dan objektif, maka digunakan metode ilmiah41
Penelitian ini adalah penelitian diskriptif kualitatif, karena peneliti
akan menggunakan Metode Kualitatif. Metode yang dimaksud adalah
membaca realitas sosial sesuatu yang holistik/utuh, komplek, utuh dan penuh
makna. Dengan meneliti objek alamiah dan peneliti sebagai instrumen kunci
yang hasilnya lebih menekankan makna daripada generalisasi,
menggambarkan objek apa adanya dengan didukung kelengkapan sumber
data, metode pengumpulan data, analisa data dan lokasi penelitian yang
dilakukan oleh peneliti secara objektif42.
41 Sutrisno Hadi, Metode Research, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Psikologi UGM, cet. ke-4 1990.h. 4.
42 Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian. , Bandung: Pustaka Setia, 2005, h.121-122.
26
Sumber Data
Data yang diperoleh dari data Primer dan Sekunder: Data Primer
atau data tangan pertama yang diperoleh langsung dari subyek penelitian
dengan menggunakan alat pengukur atau pengambilan data langsung pada
subyek sebagai sumber informasi yang dicari43.
Adapun Data Primer dan Sekunder diperoleh dari :
1) Pengurus BWI Pusat dengan mewancarai beberapa beberapa tokoh
diantaranya Dewan Pertimbangan Bpk. Dr.H.M Anwar Ibrahim, Ketua
Badan Pelaksana Prof. Dr.K.H. Muhammad Tolhah Hasan, ketua
Divisi-Divisi BWI seperti: (1) Divisi Pembinaan Nadzir, Bapak Dr.
KH. Maghfur Usman (2) Divisi Pengelolaan Wakaf, Bapak Prof.
Dr.Fathurrahman Jamil, MA. (3) Divisi Hubungan Masyarakat, Bapak
Prof.Dr. Masykuri Abdillah, MA. (4) Divisi Kelembagaan, Bapak
Dr.Wahiduddin Adams, SH, MA. (5) Penelitian dan Pengembangan,
Ibu Prof.Dr.Uswatun Hasanah, MA. Kemudian LPS (Lembaga
Keuangan Syari’ah) yang mempunyai keterkaitan dengan Kinerja
Pengelolaan Harta Wakaf yang dikelola oleh BWI.
2) Dokumen-Dokumen yang ada di BWI Pusat Jakarta yang terletak di
Gedung Laboratorium Halal Jl. Raya Pondok Gede Pinang Ranti
Jakarta Timur. Yang berupa buku laporan tiap tahun mulai tahun 2007-
2010. Yaitu data yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan, baik
berupa ensiklopedi, buku-buku, artikel-artikel ilmiah yang dimuat
43 Katini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung : CV. Mandar
Maju,1990, h:157.
27
dalam media massa seperti majalah dan surat kabar, serta jurnal ilmiah
maupun laporan-laporan hasil penelitian dan data-data yang
diterbitkan oleh lembaga BWI, lembaga pemerintah ataupun non
pemerintah yang berkaitan dengan informasi tentang BWI44.
Metode Pengumpulan Data
Metode Pengumpulan data yang akan dilakukan meliputi
Observasi, Wawancara dan Dokumentasi.
1) Observasi
Untuk memperoleh akses langsung terhadap obyek yang diteliti,
Penulis akan melakukan observasi langsung di kalangan pengurus dan
anggota BWI, Masyarakat yang dapat merasakan langsung atas peran
dan fungsi, sekretariat lembaga BWI dalam pengelolaan Wakaf.
Observasi dimaksudkan untuk mendapat informasi awal mengenai
kondisi masyarakat langsung di lapangan, sehingga ada kontak
kerjasama dalam forum lebih lanjut akan dapat dilaksanakan. Metode
Observasi adalah suatu bentuk penelitian dimana manusia menyelidiki,
mengamati terhadap objek yang diselidiki, baik secara langsung
maupun tak langsung45.
2) Wawancara
Dalam metode wawancara ini penulis akan mewancarai kepada
anggota BWI pusat yang berkaitan dengan sistem kinerja dan struktur
kepengurusan BWI. Dari situ penulis akan memfokuskan kajian pada
44 Ibid,. h: 14. 45 Winarno Surakhmad, Dasar Kumpulan Teori Research, Bandung: TV.Tarsito. h.155.
28
pengelolaan dan pemberdayaan wakaf yang ada di BWI, kemudian
penulis akan meneliti pada divisi pengelolaan harta wakaf yang ada di
instansi ini. Wawancara ini dilakukan secara terarah dan intensif.
Meskipun teknik wawancara dilaksanakan secara mengalir, namun
subtansi permasalahan tetap mengacu pada pedoman yang telah
dirancang sebelumnya. Interview adalah suatu metode Penelitian
untuk tujuan suatu tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan
atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-
cakap berhadapan muka dengan orang tersebut46.
3) Dokumentasi
Dalam mengumpulkan data-data penulis mencari data-data
mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku,
surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya.47
Penelitian ini juga diperkaya dengan berbagai macam literatur,
pendokumentasian Gambar, Program Kerja, kinerja Sumber dana dan
sumber daya manusia dan semua hal yang berkaitan dengan BWI
(Badan Wakaf Indonesia) dari penelusuran antara tahun 2004 – 2007
hingga tahun 2010 yang peneliti lebih memfokuskan pada
pemberdayaan wakaf khusus untuk orang miskin terpinggirkan
(Mustadh’afin). Hal itu untuk mengungkap berbagai informasi yang
tidak bisa ditangkap oleh media massa, wawancara secara mendalam
46 Kuntjara Ningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : PT.Gramedia,1997
h.189. 47 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian suatu pendekatan Praktek, Edisi Revisi III,
(Jakarta: PT Rineka Cipta,1996), Cet.10.234.
29
dan informasi Website, koran, buku dan lain-lain. Teknik
pengumpulan data dengan dokumentasi adalah pengambilan data yang
diperoleh melalui dokumen-dokumen.48
Analisa Data
Analisa data yang dilakukan oleh peneliti yaitu metode analisa
diskriptif, analisa deskriptif digunakan untuk menggambarkan pemecahan
masalah yang ada berdasarkan data-data yang terkumpul49. Dengan cara,
setelah peneliti mengumpulkan data kemudian melakukan analisa data
dikumpulkan, disusun, dijelaskan kemudian dianalisis. Hal ini
dimaksudkan untuk menemukan kekurangan dengan keadaan yang
sebenarnya dan apa yang terjadi di lapangan.50 Setelah data terkumpul,
langkah selanjutnya adalah menganalisis data yang digunakan sebagai
analisa kualitatif, dengan teknik analisa diskriptif, yaitu bertujuan untuk
menggambarkan keadaan status fenomena51. Metode Analisa yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu analisa kualitatif diskriptif
yaitu suatu prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tersusun , orang-orang dan perihal yang dapat dipahami.
Setelah penulis menentukan metode dan analisa yang
penulis gunakan, kemudian penulis paparkan mengenai pendekatan yang
48 Katini Katono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung : CV. Mandar Maju,
1990, h.157. 49 Saefudin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998, h.144. 50 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar,Metode dan Teknik,
Bandung: Pustaka ,1994, h.140.
30
penulis pakai untuk dapat memahami dan menganalisa, penulis
menggunakan penalaran induktif52
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab, yang terdiri atas satu bab
pendahuluan, tiga bab pembahasan materi, dan satu bab penutup. Dimana
penulisan tersebuit disusun secara sistematis mulai dari Bab I sampai bab V
dengan gambaran sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN yang dirinci atas Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Telaah Pustaka dan Metode
Penelitian.
BAB II : WAKAF UNTUK KESEJAHTERAAN UMAT. Yang mendalami
tentang konsepsi wakaf secara detail tentang pengertian wakaf
secara bahasa dan istilah, sejarah gerakan wakaf, dasar hukum
wakaf, rukun wakaf dan syarat wakaf , macam-macam wakaf,
perbedaan wakaf dengan amalan filantropi lain, tujuan wakaf dan
hikmah wakaf.
BAB III : PROFILE KINERJA BADAN WAKAF INDONESIA (BWI)
PUSAT JAKARTA. akan memaparkan tentang Sejarah
Pembentukan Badan Wakaf Indonesia, Sosialisasi Badan Wakaf
Indonesia dalam struktur Organisasi, Program Kerja dan lembaga
jaringan yang telah dibina oleh BWI untuk mensejahterakan umat.
52 Jujun.S. Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Warna,
1998, h.12.
31
BAB IV: PEMBERDAYAAN WAKAF UANG UNTUK MUSTADH’AFIN
yang membahas tentang optimalisasi pengelolaan Wakaf Uang
untuk pemberdayaan ekonomi umat, dan strategi Badan Wakaf
Indonesia dalam Pembebasan nasib kaum Mustadh’afin di
Indonesia.
BAB V : PENUTUP yang memuat tentang Kesimpulan, Saran-saran dan
Penutup.