Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat mengenal agama Islam sejak kedatangan agama tersebut ke
Nusantara sekitar awal abad ke-16. Pada masa itu, masyarakat menyukai pola
agama Islam yang egaliter1atau memperbolehkan siapa saja untuk mendalami
agama Islam. Pola inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa masyarakat
sangat menerima Islam sebagai sesuatu yang baru dan juga agama yang baru.
Salah satu yang diterima oleh masyarakat adalah kebudayaan Islam.
Kebudayaan Islam merupakan kebudayaan yang berkembang atas dasar-dasar
agama yang mengacu kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Bentuk-bentuk
kebudayaan Islam pun juga memiliki sifat yang sama dengan agamanya yaitu
egaliter. Otomatis, kedatangan budaya Islam di Nusantara mendapatkan perhatian
oleh masyarakat dan juga mengalami proses akulturasi dengan kebudayaan Hindu-
Budha yang telah hidup di sebagian lingkungan masyarakat di Nusantara.
Proses Islamisasi di Nusantara datang dengan bertahap dan menyebar
dengan baik. Beberapa diantaranya menyebar serempak di kota-kota pelabuhan
atau pesisir, termasuk pesisir pantai yang ditinggali oleh masyarakat . Pada proses
awal kedatangan Islam berikut dengan kebudayaannya, beberapa masyarakat di
Nusantara mengalami tahap akulturasi budaya karena sebelum Islam datang telah
1Marwati Djoened, dkk., Sejarah Nasional Indonesia II. (Jakarta : Balai Pustaka, 1994),
hlm. 26.
2
ada kebudayaan Hindu-Budha yang hidup di kehidupan bermasyarakat. Namun
karena berbedanya sifat agama Hindu-Budha dan Islam, masyarakat
menghilangkan sisa-sisa kebudayaan Hindu-Budha dan menerima kebudayaan
Islam secara penuh2. Tetapi, beberapa yang lain adapula yang menerima Islam
secara langsung tanpa harus mengalami proses akulturasi dengan kebudayaan
Hindu-Budha sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya kelompok masyarakat di
Nusantara yang tidak terkena pengaruh Hindu-Budha sebelumnya. Kalimantan dan
Sumatera misalnya, ada beberapa kelompok masyarakat di Kalimantan dan
Sumatera yang struktur pemerintahannya tidak terkena pengaruh India atau
Indonesia-Hindu3.
Orang mengaku identitas kepribadiannya yang utama adalah adat-istiadat ,
bahasa dan agama Islam. Dengan demikian seseorang yang mengaku dirinya orang
harus beradat-istiadat, berbahasa , dan beragama Islam. Dari tiga ciri utama
kepribadian orang tersebut yang menjadi pondasi pokok adalah agama Islam.
Agama Islam menjadi sumber adat-istiadat orang . Dalam bahasa berbagai
ungkapan, pepatah, perumpamaan, pantun, syair dan sebagainya menyiratkan
norma sopan-santun dan tata pergaulan orang 4. Dari adat-istiadat melahirkan
kesusasteraan . Kesusasteraan merupakan identitas budaya dan peradaban suku .
Warisan ini telah hidup sejak orang-orang menjadi bagian dari sejarah peradaban
Nusantara dan lestari hingga sekarang. Kesusasteraan merupakan cakrawala karya
2 V.I. Braginsky,Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu dalam Abad
7-19, hlm. 63. 3_______,Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), hlm. 174. 4M. Dardi D Has,Kebudayaan, Adat Istiadat dan Hukum Adat Melayu Ketapang,
(Ketapang : Kantor Informasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ketapang, 2008), hlm. iii.
3
orang-orang yang tidak ternilai harganya. Bentuk semacam tata bahasa, cara
berbicara, adat-istiadat, bentuk tulisan hingga kesenian semuanya merupakan
contoh betapa luasnya bentuk kesusasteraan yang lahir seiring berkembangnya
peradaban Nusantara.
Salah satu bentuk kesusasteraan adalah syair. Syair merupakan kumpulan
tulisan yang tersusun dari bait dan baris yang berisi tentang penceritaan kehidupan
manusia . Syair adalah kesenian yang selalu hidup dalam sejarah Kesusasteraan
karena syair-lah adalah bentuk karya tulis masyarakat yang sekaligus menyumbang
kebudayaan menulis dalam sejarah peradaban Nusantara.
Jenis syair di dalam kesusasteraan terbilang banyak. Dari sekian banyak
kesusasteraan tersebut, ada sebuah jenis syair yang menonjol yang berbentuk
gulungan dan bukan hanya ditulis dan dibacakan dengan puitikal saja melainkan
juga dinyanyikan. Syair ini disebut Syair Gulong.
Pada zaman keemasan Kerajaan Tanjungpura, seni dan sastra berkembang
dengan pesat. Para raja dan para pangeran selalu memiliki penyair. Pada setiap
upacara kerajaan yang dilaksanakan oleh raja atau pangeran selalu ada penyair yang
melantunkan Syair Gulong untuk mengagung-agungkan raja di hadapan para tamu
atau sebagai bentuk penghormatan.
Kerajaan Tanjungpura merupakan Kerajaan terbesar di Kalimantan Barat.
Kerajaan Tanjungpura memiliki turunan kerajaan yang cukup panjang sejak
berdirinya kerajaan tersebut pada abad ke-14, atau sekitar tahun 1506. Tercatat di
dalam buku Sejarah Singkat Kerajaan-Kerajaan Kalimantan Barat, Tanjungpura
4
eksis hingga tahun 1900-an. Artinya, kerajaan Tanjungpura memiliki periode yang
sangat panjang dalam sejarah kerajaan di Kalimantan Barat.
Meskipun memiliki umur yang cukup panjang, kerajaan Tanjungpura
memiliki peninggalan-peninggalan yang anehnya sedikit. Sebagai ukuran kerajaan-
kerajaan Islam di nusantara lainnya semacam di Jawa misalnya, Mangkunegaran
dan Kasunanan Surakarta setidaknya memiliki peninggalan kebudayaan yang eksis
dan terlestarikan hingga dewasa ini. Kembali ke Tanjungpura, hal tersebut justru
sebaliknya. Banyak peninggalan-peninggalan kerajaan yang terkubur bersama
waktu dan masa lalu karena tidak terlestarikannya peninggalan-peninggalan
tersebut sehingga dibutuhkan pengamatan lanjut untuk mempelajari peninggalan
bersejarah-nya.
Termasuk Syair Gulong. Syair Gulong ini merupakan peninggalan kerajaan
Tanjungpura yang berbentuk karya sastra. Uniknya, Syair Gulong bukanlah sebuah
karya sastra pada umumnya. Mengapa Syair ini kemudian berubah yang semula
dari karya sastra kemudian menjadi kesenian adat adalah terletak pada adanya
pembacaan syair tersebut dalam lantunan nyanyian, lagu-lagu, bernuansa Islam dan
. Inilah sebabnya mengapa Syair Gulong merupakan kesusasteraan sekaligus
kesenian yang sangat unik dan berharga sekali yang dimiliki oleh khususnya
kebudayaan Ketapang dan masyarakat di Kalimantan Barat secara umum.
Awalnya sastra Syair Gulong ini hanyalah sebuah bentuk karangan atau
disebut kengkarangan atau ada juga yang menyebutnya sebagai syair layang karena
bentuknya yang hanya berisikan selayang pandang. Lambat laun berubah menjadi
Syair Gulong dikarenakan syair tersebut ditulis di atas kertas kemudian digulung
5
dan disimpan di dalam paruh burung, digantung di puncak dahan kayu. Beberapa
pendapat lainnya ada yang mengatakan gulungan teks syair tersebut digantung di
tanduk rusa, atau dipaku di salah satu tiang rumah. Masalah wadah atau tempat
menyimpan teks Syair Gulong kemudian akan dibahas dalam penelitian ini.
Kesusasteraan Syair Gulong dikembangkan di kalangan bangsawan dan
kerajaan saja. Namun seiring pesatnya perkembangan kesenian ini, masyarakat
Ketapang mencoba mengembangkan kesenian yang serupa pula untuk kalangan
rakyat sehingga terciptalah kesenian Syair Gulong untuk kalangan masyarakat
diluar lingkungan kerajaan.
Terdapat perbedaan diantara Syair Gulong yang dikembangkan pada kedua
lingkungan yang berbeda ini. perbedaan ini sangat mencolok. Syair Gulong
kalangan rakyat kecil adalah mereka menyisipkan hiburan sehingga bentuk
kesenian Syair Gulong ini lebih atraktif sedangkan Syair Gulong di lingkungan
kerajaan tidak sama sekali. Disini mereka sebenarnya hanya mengutamakan
hiburan mengingat Syair Gulong yang dikembangkan oleh masyarakat berbeda
dengan Syair Gulong milik kerajaan, namun konteks utama Syair Gulong mereka
juga tetap berisi permohonan kepada pembesar akan suatu hal atau juga kritik atas
tindakan pembesar yang tidak disetujui oleh rakyat.
Mengakhiri akhir abad ke-19 dan masuk ke tahun 1900, merupakan periode
dimana Kerajaan Tanjungpura didatangi oleh tamu kolonialisme Belanda.
Meskipun Belanda telah masuk ke Kalimantan Barat pada 1870-an, pengalihan
pemerintahan termasuk pembentukkan kolonialisasi Belanda di Kalimantan Barat
adalah bermula diawal abad ke-19 tersebut.
6
Mundurnya Kerajaan Tanjungpura menyebabkan lingkungan sosial
kerajaan pun mundur beserta penduduk Istana meninggalkan Kerajaan. Tahun 1920
merupakan periode dimana Kolonialisme Hindia-Belanda telah mengambilalih
pemerintahan di Kalimantan Barat sekaligus menandai berakhirnya zaman
kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat serta berawalnya kolonisasi Pemerintah
Hindia-Belanda. Kemunduran kesusasteraan Ketapang ditandai dengan
menghilangnya semangat berkarya di dalam kesenian-kesenian kecil yang hidup di
masyarakat Ketapang termasuklah didalamnya kesenian Syair Gulong. Kerajaan
sudah mundur, tetapi mundurnya kerajaan justru membuka pergaulan masyarakat
Kalimantan untuk bergabung dengan orang-orang Jawa, Sumatera, Ambon dalam
mengembangkan nasionalisme itu.
Masyarakat Kalimantan Barat pada masa pergerakan nasional terjadi mulai
mencari kebenaran akan pengetahuan berkebangsaan Indonesia. Buku-buku
ataupun bahan bacaan seperti surat kabar, majalah secara bernagsur-angsur mulai
banyak membicarakan persoalan kemerdekaan, memaknai pentingnya arti
persatuan berbangsa bernegara. Diantara 1920-1921 di Pontianak terbit berkala
“Borneo Barat Bergerak”. Isi berkala yang menjadi organ partai atau organisasi itu
memang tidak sebagaimana isi koran biasa, karena lebih banyak memuat berita
aktivitas organisasi dan tulisan yang bersangkutan dengan ideologi5. Dalam hal ini,
memasyarakatkan ideologi nasionalisme dan Indonesia. Dengan kata lain,
semangat masyarakat yang timbul mengalami pergeseran ke arah yang lebih politik
5 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak,Sejarah Kebangkitan
Nasional Daerah Kalimantan Barat,(Pontianak, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah 1978/1979), hlm. 25.
7
dan nasionalis. Kebudayaan bergeser, dan hal tersebut terjadi selama kemerdekaan
Indonesia. Pergeseran tersebut sedikit tidaknya mempengaruhi jalannya kesenian
dan kebudayaan Melayu di Kalimantan Barat. Kepenulisan sastra mandek akibat
ketegangan politik antara pemerintah dan elemen-elemen pergerakan. Hilangnya
dokumentasi tentang spirit kebudayaan membuat masa kolonial lebih diwarnai oleh
politik dan pergerakan sosial di Kalimantan Barat.
Pasca-kemerdekaan, Jepang datang ke Kalimantan Barat dan dimulailah
masa pendudukan Jepang. Meski secara periode penjajahan mereka terbilang
pendek, Jepang cukup meninggalkan trauma pada masyarakat dengan banyaknya
orang yang hilang, entah diculik atau dibunuh secara diiam-diam. Dampaknya,
adalah berhentinya kegiatan seni dan budaya hampir di seluruh wilayah Kalimantan
Barat. Jepang yang cukup memberikan trauma serius dengan banyaknya orang-
orang yang hilang diculik ataupun tewas terbunuh tentara Nippon, menimbulkan
efek tidak hanya secara psikologis tetapi juga melemahnya semangat
berkebudayaan . Kegiatan-kegiatan adat serta elemen-elemen budaya dan sastra
termasuk di dalamnya kesenian Syair Gulong akhirnya berhenti total, tetapi
sebagian bertahan di pelosok-pelosok perkampungan di Kabupaten Ketapang.
Hidup bersama kelompok lingkungan yang kecil dan jauh dari pusat kota. Kondisi
ini menimbulkan kecilnya harapan atas eksistensi kesenian Syair Gulong tersebut.
20 tahun berselang, sekitar tahun 1970 kebudayaan dan kesenian di
Kalimantan Barat kembali hidup. Pada saat itu seni bertutur syair dan penulisannya
8
merupakan satu aktivitas yang relatif banyak pendukung aktifnya ; dalam arti,
pembaca dan penikmatnya6.
Datuk Abdul Latif selaku Sekretaris Dunia Islam menyatakan bahwa Syair
Gulong ini merupakan sebuah sastra yang masih tersisa di Kabupaten Ketapang
ditengah kondisi di dunia lainnya sudah tergerus oleh masa dan zaman. Sejalan
dengan perkataanya, kenyataan tersebut terdapat pada kemunduran yang cukup
masif di dalam eksistensi kebudayaan dan kegiatan adat istiadat masyarakat
Ketapang, Kalimantan Barat.
Penelitian mengenai kesenian Syair Gulong ini penting dengan alasan
melestarikan kesenian kecil daerah, aktualisasi budaya daerah bangsa, dan kearifan-
kearifan lokal masyarakat Melayu Kalimantan Barat. Syair Gulong adalah bagian
kecil dari kesenian dan sastra Kalimantan Barat yang perlu dilestarikan sebagai
dedikasi kepada budaya bangsa Indonesia. Selain itu, jenis kesenian ini selayaknya
diperkenalkan secara luas sebagai wujud pelestarian budaya dan aktualisasi
kesenian tersebut dikancah nasional.
B. Rumusan Masalah
Syair Gulong merupakan kesenian yang berasal dari rumpun sastra yaitu
syair. Kesenian syair pada zaman itu secara umum dibacakan dalam bentuk puisi
dan teatrikal. Kesenian bertutur Syair Gulong memiliki keunikan sendiri jika
dibandingkan dengan jenis kesenian bertutur syair lainnya. Syair Gulong dibacakan
dalam bentuk lagu-lagu, menyisipkan nyanyian bernuansa Islam di dalamnya. Hal
6 Chairil Effendy, Bercerite dan Bedande Tradisi Kesastraan Melayu Sambas, (Pontianak
: STAIN Pontianak Press, 2006), hlm. 19.
9
ini didukung oleh latar belakang agama Islam di dalam masyarakat yang kemudian
mengangkat tema-tema Islam di dalam setiap Syair Gulong. Keunikan inilah yang
kemudian menjadikan Syair Gulong bertransformasi, bergeser dari rumpun sastra
menjadi kesenian bertutur syair yang dinamis. Perubahan inilah kemudian
menciptakan pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah artikulasi Syair Gulong sebagai karya sastra , kebudayaan,
dan kehidupan yang berkembang di masyarakat Kalimantan Barat tahun 1950-
1990?
2. Bagaimana perubahan-perubahan fungsi Syair Gulong sebagai sebuah
khazanah baik dalam konteks sosial maupun seni serta representasinya terhadap
kesusasteraan dan kebudayaan di Kalimantan Barat tahun 1950-1990?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian berjudul Dinamika Fungsi Syair Gulong sebagai
Khasanah Sosial dan Seni Bagi Masyarakat Kalimantan Barat pada 1950-1990 ini
adalah sebagai berikut :
1. Memahami definisi artikulasi kesenian Syair Gulong sebagai salah satu
nilai kesusasteraan yang berkembang baik di masyarakat Kalimantan Barat tahun
1950-1990.
2. Mengetahui fungsi Syair Gulong sebagai khasanah sosial dan seni yang
merepresentasikan kesusasteraan yang hidup di masyarakat Kalimantan Barat
tahun 1950-1990.
10
D. Manfaat Penelitian
Secara akademis penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana
Syair Gulong mengalami perkembangan di bidang kesenian dan kebudayaan, dan
juga sebagai khasanah sosial masyarakat Kalimantan Barat, yang terjadi pada tahun
19501-1990. Tujuan ini diharapkan akan menjadi sebuah tulisan sejarah yang
mengalami pengkajian, penelitian, dan penceritaan secara historis, dan
didedikasikan untuk melestarikan kebudayaan lokal. Secara praktis penelitian ini
menjadi acuan dalam pengembangan wawasan mengenai kebudayaan lokal dan
dinamika sosial yang hidup dalam masyarakat Kalimantan Barat. Selain itu, juga
mendeskripsikan serta mengetahui fungsi sosial Syair Gulong yang dikembangkan
oleh masyarakat , baik sebagai khazanah dalam konteks sosial dan seni.
E. Tinjauan Pustaka
Secara tema dan konteks yang diangkat dalam penelitian ini, maka perhatian
ini akan memfokuskan terhadap kajian-kajian yang berkaitan dengan kesusasteraan
dan kebudayaan daerah, dengan latar belakang periode masa Kerajaan-Kerajaan
Islam di Kalimantan Barat hingga zaman pemerintahan kolonial Belanda awal abad
ke-20.
Terkait dengan kesenian Syair Gulong sebagai pembahasan utama dalam
penelitian ini, maka literatur yang dikaji harus berhubungan dengan kesenian lokal
tersebut. Dengan tujuan didapatkan penjelasan, pemahaman, serta pengetahuan
tentang Syair Gulong sebagai salah satu kesenian lokal daerah di Kalimantan Barat
yang memiliki nilai sosial dan seni dalam kehidupan masyarakat.
11
Sebagai salah satu warisan budaya tak benda, karya-karya sastra Syair
Gulong tidak pernah dibukukkan. Mereka hanya berupa tulisan dalam gulung-
gulungan kertas yang lalu disimpan di dalam paruh burung. Meskipun begitu, tetapi
ada syair-syair dengan tahun-tahun yang lama yang kemudian selamat dan ditulis
kembali. Tulisan-tulisan tersebut kemudian tersimpan dalam dokumen dan arsip
milik lembaga kajian sejarah daerah. Oleh karena itu, salah satu kajian pustaka yang
diambil adalah mengkaji tulisan-tulisan ulang mengenai Syair Gulong tersebut
sebagai salah satu nilai utama yang dibahas dalam penelitian ini.
Yudo Sudarto, “Upaya Menggali dan Melestarikan Warisan Budaya dan
Sejarah Kerajaan Tanjungpura di Kabupaten Ketapang”. Makalah pada Kongres
Budaya Kalimantan Barat I Tahun 2008. Kongres tersebut merupakan pertemuan
yang di adakan di Pontianak pada tahun 2008 yang mengkaji kembali peradaban
dan kebudayaan yang perlu dilestarikan di Negeri Khatulistiwa itu. Salah satu
seminar yang disampaikan adalah mengenai warisan budaya tak benda oleh Yudo
Sudarto ini yang coba diangkat kembali dalam bentuk kesenian Syair
Gulong.Makalah ini secara umum membahas bentuk pelestarian akan warisan
budaya dan sejarah peninggalan Kerajaan Tanjungpura yang masih banyak belum
dikaji dan perlu dikaji sepenuhnya demi melestarikan peninggalan Kerajaan Islam
terbesar yang pernah ada di Ketapang, Kalimantan Barat.
Koleksi Makalah oleh Baswedan Badjuri dan kawan-kawan dari Majelis
Adat Budaya Ketapang yang berpartisipasi di dalam pembuatan Makalah yang
kemudian disampaikan di Festival Seni Budaya Kalimantan Barat pada tahun 2007.
Baswedan Badjuri adalah sekretaris Budaya dan Ilmu Olahraga Majelis Adat
12
Budaya Ketapang yang menaruh perhatian baik terhadap kebudayaan dan adat-
istiadat masyarakat Kalimantan Barat khususnya di Kabupaten Ketapang.
M. Dardi D. Has, “Kebudayaan, Adat-Istiadat dan Hukum Adat Ketapang”
terbitan Kantor Informasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ketapang tahun
2008. Buku ini berisi tentang Peradaban yang ditinggalkan oleh masa lalu yang
kemudian dikaji ulang sebagai peninggalan budaya yang ada pada masyarakat
Ketapang. M. Darbi merupakan salah seorang penggiat kebudayaan yang menaruh
perhatian baik terhadap pelestarian kebudayaan di Kalimantan Barat secara umum
dan kebudayaan secara khusus. Praktisi Budaya ini mencoba memetakan
peninggalan-peninggalan kebudayaan atau warisan tak benda yang dimiliki oleh
masyarakat Kalimantan Barat dewasa ini.
V.I.Braginsky, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Dalam
Abad 7-19. Buku ini akan dimanfaatkan untuk mengetahui sejarah pertumbuhan
kesusasteraan klasik di Nusantara, dari abad 7 hingga abad ke-19, yang mampu
mengantarkan penulis menyusun latar belakang polemik kesusasteraan hingga
sampai kepada sejarah perkembangan kesusasteraan tersebut di Kalimantan Barat.
Ibrahim Badjuri, “Sejarah Singkat Kerajaan Tanjungpura dan Kerajaan-
Kerajaan yang Asal-Usulnya dari Kerajaan Tanjungpura” yang diterbitkan oleh
lembaga yang sama yaitu Kantor Informasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Ketapang tahun 2006. Buku ini merupakan panduan umum mengenai sejarah
Kerajaan-Kerajaan yang pernah ada di Kalimantan Barat.
M.Salim bin H. Achmad Atik, “Serial Sejarah Sekuntum Mawar Tentang
Sejarah & Hari Jadi Ketapang”. Jurnal ini adalah penelitian Salim bin Achmad
13
Atik yang mencoba menuliskan kembali sejarah hari jadinya Kabupaten Ketapang,
salah satu kabupaten di Kalimantan Barat yang diketahui sebagai pusat
pemerintahan Kerajaan Tanjungpura yang pertama di Kalimantan Barat. Junral ini
disimpan oleh Balai Kajian Sejarah dan Kebudayaan, Pontianak. Peneliti telah
mendapatkan salinan aslinya dan akan menggunakan jurnal tersebut sebagai kajian
pustaka dalam penelitian ini.
Chairil Effendy, “Bercerite dan Bedande ; Tradisi Kesastraan Sambas”.
STAIN Pontianak Press, 2006. Buku ini memaparkan tentang kesenian bertutur
cerita masyarakat Sambas. Substansi bertutur cerita yang diuraikan dalam buku ini
akan membantu penelitian ini menemukan perubahan-perubahan kesenian bertutur
masyarakat di Kalimantan Barat yang tidak hanya berhenti pada Syair Gulong saja.
Syair Sultan Madi (1923). Syair ini adalah hikayat kuno yang terbit pada
tahun 1923 yang berisi syair yang menceritakan tentang seorang bernama Sultan
Madi. Buku kuno ini merupakan arsip konvensional yang di dapatkan dari Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Pontianak. Kitab sastra klasik ini akan
menjadi insight penelitian dalam menjelaskan perkembangan sejarah kesusasteraan
di Kalimantan Barat, sebelum selanjutnya membahas Syair Gulong.
Syair Peresmian Madrasah Benua Kayung 18 Februari 2005. Dokumen
tersebut merupakan naskah syair yang ditulis oleh Uti Saban, penyair gulong yang
berasal dari Benua Baru, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat yang telah
mengeluti kesenian ini sejak 19607. Teks ini merupakan representasi naskah syair
gulong era kontemporer dimana kesenian tersebut telah mengalami dinamika secara
7 Wawancara dengan Uti Saban, 1 Agustus 2014.
14
sosial maupun seni dan mengerucut kepada kearifan lokal masyarakat Melayu
Ketapang, Kalimantan Barat.
Syair Kayung Pernikahan Erlambang Ardiansyah dan Lisa Amalia,
Desember 2013. Merupakan naskah Syair Gulong yang ditulis oleh penyair gulong
dari Ketapang Mahmud Mursalin. Teks syair tersebut akan digunakan sebagai bukti
otentik tentang perubahan yang terjadi dalam kesenian Syair Gulong dengan sudut
pandang sosial maupun kesenian.
Pantoen Melajoe terbitan Balai Poestaka, 1920. Buku ini menceritakan
pantun-pantun lama yang pernah ada di dalam kehidupan masyarakat pada tahun
1920 dan menceritakan masa-masa sebelumnya. Pantun adalah salah satu bagian
dari keluarga besar kesusasteraan lama yang sangat mungkin merepresentasikan
hubungan antara kesusasteraan lainnya seperti halnya Syair Gulong. Teks-teks
pantun di dalam buku ini akan menunjukkan perbedaan mendasar syair dan pantun
yang akan menjadi salah satu pengantar latar belakang kesejarahan sastra dalam
penelitian ini.
Chairil Effendy, Sastra sebagai Wadah Integrasi Budaya, STAIN
Pontianak Press, 2006. Secara umum buku ini memetakan serta menyajikan
informasi mengenai pusat-pusat perkembangan sastra Kalimantan Barat. Istilah
pusat-pusat perkembangan merujuk kepada wilayah-wilayah yang masyarakatnya
relatif masih baik memproduksi dan mengembangkan berbagai bentuk karya sastra,
baik tulis maupun lisan8.
8 Chairil Effendy, Sastra sebagai Wadah Integrasi Budaya, (Pontianak : STAIN
Pontianak Press, 2006), hlm. 83.
15
Poltak Johansen, dkk, Jurnal Sejarah dan Budaya Kalimantan No.7/2005.
Jurnal ini merupakan hasil penelitian oleh tim peneliti yang diketuai oleh Poltak
Johansen, Juniar Purba, dkk, yang diterbitkan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Pontianak. Dalam sala satu jurnal tersebut, ada penelitian yang berjudul
“Kesenian Tradisional Hadrah pada masyarakat di Kecamatan Pontianak Timur”.
Kesenian hadrah merupakan kesenian tradisional masyarakat Pontianak yang
memiliki kemiripan dengan kesenian bertutur syair gulong. Perbedaan konsep
bertutur hadrah ini mampu digunakan untuk mendeteksi sejauh mana dinamika
kesenian teks lisan masyarakat Mela yu di Kalimantan Barat.
Majalah dwimingguan Borneo Barat Bergerak tahun 1926. Sebuah majalah
yang pernah eksis pada tahun 1920-an di Kalimantan Barat. Di medio 1920-an,
Surat kabar dan majalah secara berangsur-angsur mulai banyak Buletin
dwimingguan ini merupakan wadah media organisasi atau partai yang banyak
memuat aktivitas organisasi atau partai. Media cetak yang hidup pada masa itu
banyak berbicara mengenai tujuan kehidupan yang lebih baik, dan sudah terdapat
ide-ide nasionalisasi yang hidup di masyarakat Kalimantan Barat. Arsip sezaman
ini akan digunakan sebagai insight aktivitas kesusasteraan yang hidup, serta
perubahan penulisan yang terjadi dalam sudut pandang sosial dan seni budaya.
F. Metode Penelitian
Dalam memahami peristiwa-peristiwa di masa lampau sebagai fakta sejarah
memerlukan adanya tahapan atau proses sehingga dibutuhkan metode serta
pendekatan agar terbentuk sebuah bangunan sejarah yang utuh. Penelitian sejarah
16
dalam studi ini memakai pandangan sejarah kritis yang didasarkan pada metode
historis yang didalamnya mencakup kegiatan pengumpulan sumber, menguji,
menganalisis secara kritis dari rekaman dan peningalan masa lampau, kemudian
diadakan rekontruksi dari data yang diperoleh sehingga menghasilkan penulisan
sejarah (historiografi).9
1. Heuristik
Heuristik adalah proses mencari untuk menemukan sumber-sumber.
Adapun penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data atau sumber dengan
studi dokumen dan studi pustaka, meliputi :
a. Studi Dokumen
Dalam melaksanakan pengumpulan data untuk penulisan penelitian ini
menggunakan studi dokumen. Baik itu berupa surat-surat resmi dan surat-surat
negara. Studi dokumen bertujuan untuk memperoleh dokumen yang benar-benar
berkaitan dengan penelitian. Studi dokumen ini untuk memperoleh data primer
berupa arsip, kitab-kitab syair, dan teks-teks syair sejaman mengenai kondisi umum
Kalimantan Barat awal abad-20 hingga tahun 1990, Aktifitas yang berkaitan dengan
kesenian Syair Gulong di Kalimantan Barat dan arsip-arsip yang berkaitan lainnya.
Dokumen otentik sezaman meliputi Syair Bulan Terbit 1922, Syair Tuan Madi,
Borneo Barat Bergerak 1920, dan naskah-naskah syair era kontemporer seperti
Syair Peresmian Madrasah Benua Kayung 18 Februari 2005, Syair Pernikahan
Erlambang Ardiansyah dan Lisa Amalia, Desember 2013.
9 Louis Gottshalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm.
32.
17
b. Studi Pustaka
Untuk menunjang penelitian ini juga menggunakan studi pustaka dalam
mengumpulkan data. Studi pustaka ini sangat berguna dalam mendukung,
melengkapi data-data penelitian dan juga sebagai referensi, artikel, laporan
penelitian dan karya ilmiah lainnya yang sesuai dengan tema dan permasalahan
yang akan dibahas. Studi pustaka ini sendiri diperoleh dari Perpustakaan Nasional,
Perpustakaan Arsip Nasional Republik Indonesia, Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional, Perpustakaan Jurusan Ilmu Sejarah UNS, dan Perpustakaan Pusat
UNS.
2. Kritik Sumber
Kritik sejarah adalah menilai atau mengkritik sumber, baik itu kritik ekstern
bertujuan untuk mencari keaslian sumber, sedangkan kritik intern bertujuan untuk
mencari keaslian isi sumber atau data. Setelah pengumpulan sumber tadi telah
terlaksana, kemudian saling, mencocokkan kesamaan serta keaslian arsip maupun
sumber sejarah yang telah didapatkan. Mulai dari surat kabar yang sejaman kita
mencocokkan, memilah data, dan melakukan pengurutan sesuai dengan tahun terbit
surat kabar tersebut sehingga mampu membentuk suatu rentetan kronologi kejadian
dari tahun-tahun yang ada. Seperti yang sudah penulis temukan Syair Bulan Terbit,
Syair Tuan Madhi yang merupakan naskah syair klasik yang lestari hingga tahun
1990-an. Selain itu ada naskah-naskah syair kontemporer seperti Syair Peresmian
Madrasah Benua Kayung 18 Februari 2005, dan Syair Peresmian Madrasah Benua
Kayung 18 Februari 2005. Teks-teks tersebut akan digunakan sebagai komparasi
terhadap kitab-kitab syair klasik sebelumnya untuk menemukan Dinamika Fungsi
18
Syair Gulong sebagai Khasanah Sosial dan Seni masyarakat Kalimantan Barat
1970-1990.
3. Interpretasi
Interpretasi yaitu penafsiran terhadap data-data yag dimunculkan dari data-
data yang sudah terseleksi. Tujuan dari interpretasi adalah menyatukan sejumlah
fakta yang diperoleh dari sumber atau data sejarah. Bersama teori disusunlah fakta
tersebut ke dalam interpretasi yang menyeluruh. Ini sama halnya dengan melakukan
analisis data yang diperoleh. Data yang telah diperoleh kemudian mencoba
mengaitkannya dengan fenomena sosial-ekonomi yang terjadi pada sesuai periode
tema dengan menggunakan beberapa teori yang serupa.
4. Historiografi
Historiografi yaitu menyajikan hasil penelitian berupa penyusunan fakta-
fakta dalam suatu sintesa kisah yang bulat sehingga harus disusun menurut teknik
penulisan sejarah.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran terperinci, skripsi ini disusun berdasarkan
kerangka sebagai berikut:
BAB I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB II Gambaran Umum Kerajaan Tanjungpura awal abad-20, berisi mengenai
Sejarah Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat awal abad-20, Dinamika, gaya
19
hidup, hingga pertumbuhan lingkungan sosial di Kalimantan Barat awal abad-20,
dan perkembangan kesusasteraan di Kalimantan Barat awal abad-20
BAB III berisi Sejarah Perkembangan Syair Gulong tahun 1970-1990, terdiri atas
dua sub bab mengenai sekilas sejarah awal mula kengkarangan dan Perkembangan
Syair Gulong 1970-1990 di Kalimantan Barat.
BAB IV tentang Perubahan Fungsi Syair Gulong dalam Bidang Sosial dan Seni
Tahun 1970-1990. Bab ini terdiri atas dua sub bab mengenai Transformasi dari
kesusasteraan syair-syair kitab yang tekstual menuju kesenian pertunjukkan yang
hidup di tengah-tengah masyarakat sekaligus menjadi trigger tumbuhnya kesenian-
kesenian serupa di beberapa wilayah lainnya di Kalimantan Barat.
BAB V adalah kesimpulan yang merupakan hasil temuan penelitian dan merupakan
jawaban dari permasalahan yang ada.