Upload
letruc
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Peran Yogyakarta dalam pergulatan politik bangsa Indonesia memang tidak
dapat dipungkiri. Sejak kebangkitan nasional 20 Mei 1908 para elite-elite politik dan
warga Yogyakarta memainkan peran penting bagi bangsa dan negara Indonesia.
Menyadari akan pentingnya sebuah persatuan dan kesatuan dalam sebuah entitas
dan identitas yang lebih luas lagi, pada proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
tanggal 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pemimpin
keraton Ngayogyakarto Hadiningrat dan Adipati Paku Alam VIII mengirimkan surat
kawat kepada Ir. Soekarno yang menyatakan dengan tegas untuk berdiri
mendukung sepenuhnya kemerdekaan Republik Indonesia. Dimana kemudian pada
tanggal 19 Agustus 1945 Presiden Soekarno menerbitkan Piagam Kedudukan Sultan
Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII yang intinya merupakan
penegasan tentang status daan kedudukan keduanya sekaligus memberikan
penegasan kepercayaan dari pemerintah pusat atas kepemimpinan Sultan
Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII di wilayah masing-masing.
Menindak lanjuti piagam tersebut, pada tanggal 5 September 1945 secara
sendiri-sendiri Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII
mengeluarkan Maklumat yang dikenal dengan Maklumat 5 September 1945. Makna
sangat mendalam dari pernyataan Maklumat ini menjadi sejarah besar berikutnya
bagi eksistensi Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat dan Praja Pakualaman dalam
konsentlasi politik dan ketatanegaraan nasional.
Yogyakarta dengan nilai keistimewaannya terus berjalan seiring perjalanan
bangsa ini. Perubahan iklim politik Indonesia sejak masa revolusi hingga reformasi
tahun 1998 tetap menjadikan Yogyakarta sebagai sebuah daerah istimewa dengan
kraton sebagai pusat kebudayaan. Demikian pula dengan peraturan perundang-
2
undangan yang mendasarinya telah mengalami setidaknya 3 (tiga) kali perubahan
sejak pertama kali diundangankan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950
tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Persoalan mendesak yang dihadapi masyarakat Yogyakarta saat ini adalah
instrumen hukum yang legitimit untuk memaknai Keistimewaan Yogyakarta
khususnya terkait persoalan pengisian Gubernur dan Wakil Gubernur. Undang-
Undang Nomor 3 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta
menimbulkan masalah setelah adanya perubahan (amandemen) UUD 1945 dan
berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(terkait pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur).
Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan pasca reformasi telah
kehilangan daya responsifnya terhadap realitas sosial politik baik di tingkat lokal
maupun nasional. Tuntutan reformasi dan demokratisasi menginginkan adanya
pemilihan secara langsung untuk jabatan Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota
berimbas pada proses pengsisian Gubernur dan Wakil Gubernur di Yogyakarta.
Dalam orasi budaya yang berjudul ‟Mengabdi Untuk Pertiwi”, 7 April 2007, Sri
Sultan Hamengku Buwono X, menegaskan bahwa dirinya tidak bersedia dicalonkan
kembali menjadi Gubernur Yogyakarta. Beliau juga menitipkan masyarakat
Yogyakarta kepada Gubernur terpilih pasca 2008. Pernyataan Sri Sultan ini
menimbulkan tantangan sekaligus peluang yang tidak mudah bagi masyarakat
Yogyakarta.
Pro-kontra di sekitar pernyataan dan sikap Sri Sultan tersebut mengundang
reaksi dan interpretasi, baik dalam masyarakat Yogyakarta maupun di tingkat
nasional.
Kelompok pertama, sebagian besar masyarakat kampus dan terpelajar
lainnya memaknai sikap Sri Sultan sebagai bukti keberpihakan terhadap nilai-nilai
modernitas dan demokrasi. Pernyataan tersebut secara sosiologis dan politis
mendapatkan dukungan kuat masyarakat. Terbukanya pintu gerbang penerapan
3
nilai-nilai demokrasi dalam pengisian posisi kepala daerah sesuai dengan UUD 1945
hasil amandemen akan lebih luas tumbuh dan berkembang. 1
Sebaliknya, nilai-nilai tradisional yang tidak sesuai dengan sistem hukum dan
politik era reformasi juga akan semakin termarjinalkan. Pernyataan Sri Sultan HB X
tersebut tidak dapat di tarik kembali, atau final mengingat Sabdo Pandhito Ratu ora
keno wola wali. Sehingga sekali diucapkan akan menjadi titah atau hukum yang
mengikat kawulo masyarakat Yogyakarta.2 Tidak menapikan jika pernyataan Sri
Sultan ini dapat dipandang oleh sebagian masyarakat sebagai rekasi atas sikap
pembiaran pemerintah pusat.
Kelompok kedua, sebagian pakar hukum, aparat pemerintah dan juga
sebagian masyarakat dengan pendekatan normatif atau legal formal, menanggapi
pernyataan Sri Sultan dalam posisi yang berbeda. Esensi UU No 3 Tahun 1950 yang
menegaskan bahwa Sri Sultan sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai Wakil
Gubernur sebagai ciri keistimewaan bersifat given dimaknai ”mutlak”. Karena itu,
secara legal formal pernyataan Sri Sultan atau Sabdo Pandhito Ratu dapat diubah.
Jika pernyataan Sri Sultan tersebut mutlak dan tidak dapat berubah, adalah
bertentangan dengan prinsip kedaulatan di tangan rakyat (Solus Populi Suprima
Lex). Sikap kolektif masyarakat Yogyakarta, yang digelar melalui acara Pisowanan
Agung beberapa waktu lalu tampaknya dipandang berkesesuaian dengan asas
kedaulatan rakyat. Karena itu, agar keistimewaan DIY tetap lestari maka Sri Sultan
HB X dan Paku Alam IX semestinya otomatis menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur
DIY sebagaimana dijamin oleh Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.
Kelompok ketiga, sebagian politisi di daerah dan pusat memaknai
pernyataan dan sikap Sri Sultan HB X sebagai manuver politik. Suatu pernyataan
yang dapat ditafsirkan beraneka ragam. Pernyataan Sri Sultan HB X tidak bersedia
lagi menjadi Gubernur DIY ditafsirkan sebagai upaya terselubung untuk mencari
1. Beberapa penulis, seperti AAG Dwipayana, Jawahir Thontowi dan juga Lembang Triyono. 2. Pengakuan titah raja sebagai hukum berlaku dalam sistem hukum adat di Indonesia.
Pemberlakuan hak-hak masyarakat pribumi, ratifikasi UU tentang Indigineous People Rights. Dilihat pandangan Romo Tirun (KR).
4
legitimasi politik. Apakah Sri Sultan masih mendapatkan dukungan masyarakat
Yogyakarta apa tidak. Selain itu, ada pula yang menafsirkan bahwa pernyataan Sri
Sultan untuk tidak bersedia lagi menjadi Gubernur DIY karena adanya peluang
kepemimpinan nasional di Jakarta yang ditawarkan elit-elit partai politik. Tudingan
tersebut di atas, selain lebih bernuansa rumor politik dan bukan fakta, juga ditolak
berulang kali oleh Sri Sultan HB X.3 Apalagi dalam konteks orasi politik tersebut, Sri
Sultan - Paduka Paku Alam tidak dilibatkan. Namun, tudingan tersebut telah ditepis
Paku Alam dengan mengatakan dirinya turut Ngarso dalem Sri Sultan HB X.
Terlepas dari pro-kotra mekanisme suksesi kepemimpinan di Yogyakarta,
pelestarian Keistimewaan tidak saja menjadi keniscayaan sejarah dan konstitusi,
melainkan merupakan fakta politis yang tak mudah dihapuskan oleh kondisi zaman
yang berubah. Adapun beberapa alasannya sebagai berikut. Pertama, fakta sejarah
menunjukan bahwa Yogyakarta dalam perjanjian Gianti 1755 sebagai ”negara
berdaulat” dengan wilayah territorial dan penduduk yang jelas. Status negara atau
negeri tersebut diperkuat oleh dokumen sejarah seperti dalam Kontrak Politik antara
Sri Sultan HB IX dengan Adam Lucean 1940, dan Perjanjian dengan pemerintahan
Dai Nippon Jepang tahun 1942. Asal usul Keistimewaan Yogyakarta sebagaimana
tercatat dalam tiga dokumen tersebut antara lain dapat dirunut dari pengakuan atas
gelar keagamaan bagi Sri Sultan Hamengku Buwono Ingalogo Khalifatullah
Sayyidin Panotogomo. Adanya hak prioritas pemerintah Belanda terhadap
Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualam. Adanya hak prioritas didasarkan pada hak
asal-usul keturunan anak laki-laki dari isteri raja untuk dapat mengganti dan
menduduki jabatan kepala daerah. Terakhir, hubungan kekuasaan antara Sri
Sultan dengan kekuasaan pemerintahan adalah langsung kepada Gubernur
General di Jakarta.
Kedua, keberadaan keistimewaan Yogyakarta terus terpatri kuat setelah
Indonesia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Secara sosio-
politis, Maklumat Sri Sultan HB IX tertanggal 5 September 1945 yang menujukan
3. Lihat Beberapa Pernyataan Sri Sultan di harian Kompas, Kedaulatan Rakyat, dan Bernas.
5
adanya sikap tulus, jiwa pengorbanan, dan tanpa pamrih untuk bergabung menjadi
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap tersebut dikukuhkan oleh
Surat Presiden RI pertama, yang meneguhkan kedudukan Sri Sultan HB IX, sebagai
Gubernur dan Sri Paduka Paku Alam, sebagai Wakil Gubernur Yogyakarta.
Bukti sejarah dan nilai filosofis Keistimewaan juga dibuktikan melalui fungsi
Kesultanan sebagai pemelihara (Hamangku), pemersatu (Hamengku) pelindung
atau pengayom (Hamengkoni) dalam menyelamatkan NKRI dari ancaman agresi
Belanda 1946 hingga 1949. Perpindahan ibu kota Negara RI dari Jakarta ke
Yogyakarta menujukan bukti bahwa Sri Sultan HB IX tidak saja telah menjadi
penyelamat dan pelindung NKRI. Tetapi, juga DIY merupakan satu-satunya tempat
autentik NKRI karena pemberlakuan UUD 1945 di DIY tidak menerima kehadiran
negara federalis, bentukan pemerintahan Belanda.
Secara sosio-politik, dokumen yang mengakui keberadaan Yogyakarta sebagai
daerah Istimewa tersebut ditandai oleh adanya dualisme kepemimpinan di
Yogyakarta. Di satu pihak, keberadaan Sri Sultan HB dan Sri Paduka Paku Alam
sebagai sistem kepemimpinan kerajaan atau pemimpin komunitas adat dengan
Kraton dan Puro Paku Alaman adalah tempat dimana kekuasaannya berada di
tanah Jawi, didukung masyarakatnya (Kawulo Ngayogyakarto Hadiningrat),
dengan pemberlakuan sistem hukum adat (Pepakem Ndalem), yang sejak dulu
sampai sekarang masih berlaku effektif. Di pihak lain, dalam waktu yang sama, Sri
Sultan HB IX sebagai Gubernur dan Sri Paduka Paku Alam sebagai Wakil Gubernur
untuk menjalankan roda pemerintahan dan birokrasi modern.
Ketiga, keberadaan Keistimewaan Yogyakarta menjadi sangat kuat untuk
dilestarikan oleh karena alasan juridis konstitusional adalah kesadaran the
Founding Fathers untuk memberikan dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-
undangan lainnya. Sebagai sumber hukum tertinggi, Pasal 18 UUD 1945, dan juga
Pasal 18B (UUD 1945 hasil amandemen), ... dengan menghormati hak-hak
asal-usul daerah yang bersifat istimewa. Secara semangat zaman, jaminan
Keistimewaan dalam UUD 1945 diberikan bukan merupakan bentuk hutang budi
6
politik atau kompensasi atas penggabungan dirinya pada NKRI, melainkan murni
pengakuan dan penghormatan yang obyektif dan autentik.
Pernyataan Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII terjadi setelah pengesyahan
UUD 1945 oleh PPKI, tanggal 18 Agustus 1945. Jaminan Keistimewaan secara
berkesinambungan diatur dalam berbagai peraturan perundangan secara konsisten,
baik pada masa Orde Lama, pemerintahan Orde Baru, dan juga Orde Reformasi.
Pengaturan Keistimewaan berada pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang
Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 tentang Pemerintahan
Daerah, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tetang Pemerintahan di Daerah,
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dari ketiga argumentasi di atas, tidaklah berlebihan bila pengakuan
Keistimewaan hanyalah diberlakukan di Provinsi DIY. Kedudukan akan status
Keistimewaan DIY hanya satu-satunya dalam NKRI tidak saja merupakan
keniscayaan sejarah, dan konstitutusi, melainkan juga fakta sosiologis yang sampai
sekarang masih didukung oleh masyarakat Yogyakarta khususnya, dan pada
umumnya masyarakat Indonesia.
Adanya kehendak untuk mereorientasi dan menguatkan keistimewaan di
Yogyakarta didukung pula oleh beberapa alasan yang cukup signifikan.4 Setelah
melakukan kajian kritis terhadap keberadaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950
ditemukan beberapa persoalan utama yang dikaji dari parameter Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY tersebut tidak lagi
memenuhi persyaratan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang semula
dipandang sebagai instrumen hukum yang legimit, justru pada masa pemerintahan
era reformasi mulai menimbulkan persoalan yang tidak mudah diperoleh solusinya.
4 Sarasehan tentang Budaya Adiluhung Yogyakarta Hadiningrat yang diselenggarakan oleh
DPD RI, Minggu 24 April 2007 di Hotel Mercure Yogyakarta.
7
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembetukan DIY secara
muatan materi menyerupai konstitusi karena terlalu pendek dan sederhana. Muatan
materinya hanya terdiri dari 3 Bab dan 7 Pasal dan beberapa (ayat) yang mengatur
urusan-urusan pangkal. Sehingga banyak masalah terkait dengan keistimewaan
tidak dapat terjawab. Disatu sisi lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
telah menjadi pedoman yang seharusnya dipatuhi oleh semuai UU yang akan
dilakukan penyempurnaan. Semestinya, UU mengatur satu obyek utama, terkait
dengan hukum publik atau privat dengan cakupan yang luas, rinci dan juga
peraturan tersebut dapat diterapkan. Dahlan Thaib menegaskan bahwa
keistimewaan tersebut saat ini memiliki bentuk akan tapi tidak mempunyai isi alias
kosong.5
Reaksi keistimewaan yang berlebihan semestinya perlu dicegah sebagaimana
pula tuntutan keistimewaan tidak perlu diperjuangkan ke pusat dengan pola
mengemis.6 Upaya yang belum kunjung datang tersebut menimbulkan kecemasan
bagi masyarakat Yogyakarta. Kecemasan tersebut bukan tanpa alasan, sebab
Pemerintah Pusat, DPR RI, dan DPD RI telah dengan antusias mengesahkan UU
pemerintahan khusus untuk Provinsi Aceh dengan Papua. Sementara RUUK
Yogyakarta baik secara konseptual maupun strategis operasional belum terlihat
ujung pangkalnya. Akankah keistimewaan Yogyakarta sirna seiring selesainya masa
bakti Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY
tahun 2011..?
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Untuk sampai kepada pemahaman yang komprehensif tentang keistimewaan
Yogyakarta, perlu diajukan suatu rumusan masalah yang fundamental, sehingga
semua wacana yang timbul dapat menjadi bahan pertimbangan yang logis, obyektif
5 Dahlan Thaib, Keistimewaan DIY Perspektif Hukum Tata Negara. Disampaikan dalam
Sarasehan Format keistimewaan Yogyakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan RI dan diselenggarakan di UGM Kagama, April 2007.
6 Lihat “Perjuangan Keistimewaan DIY Jangan Dengan Meminta-Minta, KR tgl 13 Mei 2007. Hlm. 1.
8
dan berkesesuaian dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM sebagaimana diatur dalam
UUD 1945. Penyusunan Naskah Akademik ini mencoba untuk menjawab 3 (tiga)
pertanyaan besar yaitu:
1. Apa Saja Pilar-Pilar Keistimewaan Yogyakarta.
2. Bagaimana Status Keistimewaan Yogyakarta Dalam Konteks Kekinian.
3. Sejauhmana urgensi pengaturan RUU Keistimewaan Yogyakarta dalam sistem
hukum nasional.
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN
1. Tujuan penyusunan Naskah Akademik ini adalah untuk menjadi landasan
ilmiah bagi penyusunan RUU Keistimewaan Yogyakarta.
2. Penyusunan Naskah Akademik ini diharapkan dapat berguna sebagi masukan
bagi para pembentuk undang-undang serta dapat menjadi dokumen resmi
landasan pembentukan RUU Keistimewaan Yogyakarta.
D. METODE PENELITIAN
Metode yuridis – empiris digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik ini
mengingat selain kajian melalui hukum positif (perundang-undangan yang berlaku)
dan teori-teori dari sarjana hukum, penyusunan Naskah Akademik ini
mengikutsertakan pula publik Yogyakarta sebagai bentuk partisipasi publik dalam
merumuskan kebijakan sebagaimana dikenal dalam negara demokrasi modern.
Beberapa rangkaian kegiatan tersebut antara lain: Rapat Kerja dengan
perwakilan Pemerintah/Menteri-Menteri terkait, Rapat Dengar Pendapa/Rapat
Dengar Pendapat Umum dengan pakar dan akademisi, serta kunjungan kerja dalam
rangka penyerapan aspirasi masyarakat khususnya masyarakat Yogyakarta.
9
BAB II
ASAS-ASAS DALAM
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Asas hukum merupakan tiang utama bagi pembentukan peraturan
perundang-undangan. Asas adalah suatu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum
sebagai basic truth, sebab melalui asas hukum pertimbangan etis dan sosial
msyarakat masuk ke dalam hukum dan menjadi sumber menghidupi nilai-nilai etis,
moral, dan sosial masyarakatnya.7
Dengan demikian, penggunaan asas hukum dalam penyusunan RUU ini
dimaksudkan untuk menjadi dasar dan arah penyusunan RUU agar sesuai dengan
asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik. Sesuai dengan ketentuan
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan maka asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik meliputi:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehsilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.
Hal utama yang harus dibedakan terlebih dahulu adalah perbedaan antara
asas hukum (rechtbeginsel) dan norma hukum (rechtnorm). Hal ini ditujukan agar
7 Soimin, SH,M.Hum, “ Pembentukan Perundang-undangan Negara di Indonesia”, UII Press,
Yogyakarta, 2009, hlm. 29.
10
kita mendapatkan gambaran secara jelas dalam merumuskan istilah norma sebagai
“norma” dengan asas sebagai “dasar”. Paul Scholten menyatakan bahwa sebuah
asas hukum bukanlah sebuah aturan hukum.8 Penerapan asas hukum secara
langsung melalui jalan pengelompokkan sebagai aturan tidaklah mungkin, karena
untuk itu terlebih dahulu perlu dibentuk isi yang lebih konkret. Selanjutnya Scholten
menjelaskan bahwa tugas ilmu hukumlah yang akan mencari dan menelusuri asas
hukum itu dalam hukum positif.
Norma hukum berbeda dengan asas hukum pada sifatnya yang mengatur.
Norma adalah aturan, pola, atau standar yang perlu diikuti. Fungsi norma menurut
Hans Kelsen adalah memerintah, melarang, menguasakan, memperbolehkan, dan
menyimpang dari ketentuan.9 Sehubungan dengan sifat dan fungsinya yang berbeda
tersebut, asas hukum dan norma hukum memberikan pengaruh yang berlainan
terhadpa perundang-undangan. Dalam suatu sistem norma hukum dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan misalnya harus sejalan dan searah
dengan norma fundamental.10
Dengan demikian, pembentukan norma hukum yang berada dalam suatu
sistem hukum yang utuh maka akan medesak fungsi asas hukum untuk lebih ke
belakang meskipun tidak hilang sama sekali. Lain halnya pada pembentukan norma
hukum yang berada dalam lingkup kebijakan yang tidak terikat. Di sana asas hukum
menjadi penting dalam memberikan bimbingan dan pedoman pada pembentukan
norma hukum tersebut.
Menurut Amiroedin Syarif asas hukum adalah dasar-dasar yang menjadi
sumber pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum dari masyarakat.11 Sementara
Sudikno Mertokusumo menyadur pendapat Bellfroid menyatakan bahwa asas hukum
(umum) adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan oleh llmu
8. Ibid, hlm. 30. 9. Adam Dambi, “Ajaran Hukum Hans Kelsen Ditinjau Dalam Perspektif Hukum Tata
Negara Indonesia”, dalam Jurnal Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm. 6-9. 10. Ibid. 11. Amiroeddin Sjarif, “Perundang-undangan: Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatnya,” Rineka
Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 8.
11
hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum, dimana asas
hukum (umum) ini merupakan pengendapan hukum posistif dalam suatu
masyarakat. Sedangkan Van Eikema Hommes mengatakan, bahwa asas hukum itu
tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkret, akan tetapi perlu
dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang
berlaku.12
Dalam pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum
tersebut. Dengan kata lain, asas hukum adalah dasar-dasar atau petunjuk arah
dalam pembentukan hukum positif. Dari beberapa pendapat itu Sudikno
Mertokusumo berkesimpulan, bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkret
melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar
belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan
yang merupakan hukum positif.13
Berdasarkan hal tersebut, Hamid S. Attamini yang pandangannya berdasarkan
asas-asas hukum yang dikembangkan Van der Vlies membagi asas-asas hukum
tersebut menjadi dua, yaitu asas hukum formal dan asas hukum material.14 Asas
formal berhubungan dengan ”bagaimananya” suatu peraturan, sedangkan yang
menyangkut tentang asas hukum material, disebutkan bahwa adanya asas materiil
yang berhubungan dengan “apanya” suatu peraturan.15
Pemikiran tersebut didasarkan kepada pandangan Van der Vlies yang
mengikuti pendapat dari Konijnenbelt dimana dalam membicarakan penetapan
(beschikking) pada hukum administrasi negara maka Konijnenbelt membagi asas-
asas yang bersangkutan ke dalam yang formal dan material. Termasuk dalam yang
formal adalah asas yang berhubungan dengan motivasi dan susunan keputusan.
Termasuk ke dalam yang material adalah asas yang berhubungan dengan isi
keputusan.16
12. Sudikno Mertokusumo, “Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar”, Leberty, Yogyakarta,
1991, hlm. 5. 13. Ibid. Hlm. 5. 14. A. Hamid S. Attamini, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisa Mengenai Keputusan Presdien Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Disertasi UI, Jakarta, 1990, hlm. 302. 15 Ibid. Hlm. 335-336. 16
Ibid.
12
Berdasarkan hal tersebut, Van der Vlies mengemukakan saran terhadap asas-
asas formal dan material bagi pembentukan perundang-undangan. Asas-asas formal
yang diajukan oleh Van der Vlies adalah sebagai berikut:
1. asas tujuan yang jelas; asas ini mencakup tiga hal yaitu mengenai ketepatan
letak peraturan perundnag-undangan yang akan dibentuk, kerangka
kebijakan umum pemerintahan, tujuan khusus peraturan perundang-
undangan yang akan dibentuk dan tujuan bagian-bagian peraturan
perundang-undangan yang akan dibentuk tersebut.
2. asas Organ/Lembaga Yang Tepat; asas ini memberikan penegasan tentang
perlunya kejelasan kewenangan organ-organ/lembaga-lembaga yang
menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
3. asas Perlunya pengaturan; asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternatif
atau alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan suatu masalah
pemerintahan selain dengan membentuk peraturan perundang-undangan.
4. asas dapat dilaksanakan; asas ini dinilai orang sebagai usaha untuk dapat
ditegakkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Sebab
tidak ada gunanya suatu peraturan perundang-undangan yang tidak dapat
ditegakkan.
5. asas konsensus; asas ini menunjukkan adanya kesepakatan rakyat dengan
pemerintah untuk melaksanakan kewajiban dan menanggung akibat yang
ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Sedangkan asas-asas material dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
adalah sebagai berikut:
1. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar; asas ini adalah agar
peraturan perundang-undangan dapat dimengerti oleh masyarakat dan
rakyat, baik mengenai kata-katanya maupun mengenai struktur atau
susunannya.
13
2. asas tentang dapat dikenali; asas ini menekankan apabila sebuah peraturan
perundang-undangan tidak dikenali dan diketahui oleh setiap orang lebih-
lebih yang berkepentingan maka ia akan kehilangan tujuannya sebagai
peraturan.
3. asas perlakuan yang sama dalam hukum; asas ini menunjukkan tidak boleh
ada peraturan perundang-undangan yang hanya ditujukan kepada
sekelompok orang tertentu, karena hal ini akan mengakibatkan adanya
ketidaksamaan dan kesewenangan-wenangan di depan hukum terhadap
anggota-anggota masyarakat.
4. asas kepastian hukum; asas ini merupakan salah satu sendi asas umum
negara berdasarkan atas hukum.
5. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual;asas ini bermaksud
memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-hal atau keadaan-keadaan
tertentu sehingga dengan demikian peratruan perundang-undangan dapat
memberikan jalan keluar selain bagi masalah-masalah umum juga masalah-
masalah khusus.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peratuan Perundang-Undangan telah menetapkan asas-asas pembuatan peraturan
perundang-undangan menyebutkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik sebagaimana disampaikan di atas. Selain asas-asas tersebut
yang memang harus dimuat di dalam pembuatan peraturan perundang-undanan
yang bersifat inheren secara teknis pembuatan. Namun demikian, suatu peraturan
perundang-undangan harus eksplisit memuat asas-asas yang lain, selain yang sudah
disebutkan di dalam asas-asas formal dan material yang harus implisit di dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan.
Asas-asas yang dimaksud dalam pembuatan peraturan perundang-undangan
yang bersifat eksplisit karena memang asas-asas itu merupakan “asas hukum” yang
biasa memberikan pedoman dan pengertian di dalam peraturan perundang-
undangan. Untuk menyebutkan asas tersebut terdapat beberapa pendapat
14
diantaranya disampaikan oleh Amiroeddin Sjarif17 dengan menyebutkan asas
perundang-undangan sebagai berikut:
1. asas berdasarkan tingkat hirarki;
2. undang-undang yang tidak dapat diganggu gugat;
3. undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang
bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis);
4. undang-undang tidak berlaku surut (retroaktif);
5. undang-undang yang baru menyampingkan undang-undang yang lama (lex
posterior derigate lex priori).
Sementara itu, Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menyebutkan
asas perundang-undangan meliputi:
1. undang-undang tidak berlaku surut (retroaktif);
2. undang-undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggu, memperoleh
kedudukan yang lebih tinggi pula;
3. undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang
bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis);
a. undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-
undang yang berlaku terdahuku (lex posterior derigate lex priori);
b. undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat
mencapai kesejahteraan spriritual dan material bagi masyarakat
maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian
(welvaarstaat).
Berdasarkan asas-asas di atas maka penyusunan RUU DIY yang akan disusun dan
diundangkan berkesesuaian dengan asas-asas tersebut.
17 Amiroeddin Sjarif, “Perundang-undangan: Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatanya”,
Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 78-84.
15
BAB III
MATERI MUATAN RUU KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
DAN KETERKAITANNYA DENGAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA
Di dalam Bab III ini berisi materi muatan yang akan diatur dalam Rancangan
Undang-Undang tentang Daerah Istimewa Yogyakarta dan kajian/analisis keterkaitan
materi dimaksud dengan hukum positif, sehingga RUU diharapkan tidak tumpang
tindih dengan hukum positif.
A. KAJIAN/ANALISIS KETERKAITAN DENGAN SISTEM HUKUM DI
INDONESIA
Pembentukan RUU tentang DIY ini terkait dan tidak bertentangan dengan
hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:
A.1. Keterkaitan dengan UUD NRI 1945
Atribut pemerintahan daerah secara khusus dan istimewa bukan sesuatu
yang baru, melainkan telah dirmuskan eksistensinya dalam UUD 1945. Suasana
kebatinan dibalik makna dan fungsi keistimewaan dapat mendorong perlunya
kajian komprehensif. Dalam Pasal 18B, baik ayat (1) dan ayat (2) dengan
tegas diakui adanya daerah yang memiliki otonomi khusus dan otonomi yang
istimewa tersebut. Misalnya dalam Pasal 18 B, UUD 1945 dinyatakan sebagai
berikut:
(1) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan pemerintah
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang undang.
(2). Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang undang.
16
Kedua ayat dari Pasal 18 B UUD 1945 tersebut mengandung norma-
norma imperatif yaitu norma perintah sebagai kewajiban bagi negara untuk
melindunginya. Di Pihak lain, bagi daerah menimbulkan hak-hak yang wajib
dilindungi. Terhadap Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945 negara wajib melindungi
dan menjamin hak-hak konstitusional daerah untuk menegaskan kekhususan
atau keistimewaan. Selain itu, negara mengatur melalu instrumen hukum baik
dalam arti adanya peraturan UU untuk mengatur tentang syarat-syarat,
mekanisme, prosedur dan pembentukan daerah khusus dan istimewa.
Sedangkan dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 kewajiban negara
untuk melindungi hak-hak tradisional masyarkat hukum adat yang didalamnya
terkait dengan material hak ulayat, hutan adat, termasuk hak kolektif atas
sungai dan laut, juga hak-hak immaterial seperti bahasa daerah, seni tari,
menyanyi dan hak cipta. Secara faktual pengabaian negara atas kewajiban
tersebut berakibat status dan keberadaan masyarakat hukum adat
tersudutkan. Karena tiadanya penjelasan atas istilah keistimewaan tersebut,
maka perlu dicari makna dan fungsinya dari pendekatan kebahasaan dan
pandangan para pakar HTN. Model pemahaman ini diharapkan bahwa, istilah
keistimewaan dalam arti dan makna kebahasaan dapat digunakan sebagai cara
memahami apa yang tersirat dan tersurat dalam Pasal 18B UUD 1945.
Pertama, dalam pendekatan bahasa (Linguistic Approach) keistimewaan
mengandung unsur-unsur yang memberikan kepastian hukum. Dalam kamus
berbahasa Inggris, istilah istimewa sama artinya dengan privilege, something
special one is allowed to have, sesuatu yang paling khusus yang diperbolehkan,
atau privileged (adjecive),18 having or enjoying one or more privilieges
(keistimewaan). Dengan kata lain, keistimewaan merupakan sesuatu yang
sangat khusus, dan keadannya berbeda dari yang lain, dan wujud perbedaan
tersebut diakui keberadaaannya. Dalam Law‟s Dictionary, Privilege That which
is granted or allowed to any person, or any class persons, either against or
18 Lihat secara cermat rumusan istilah privileges, dalam Webster’s New Enciclopedic Dictionary.
BD&L New York, 1993: hlm. 803. Dalam Mozley and Whiteleys‟s Law Dictionary by John B Saunders, menjadi sangat tegas istilah privilege sebagai keistimewaan. London. Nutterworth. 1977. Hal 255. Baca pula W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta. PT Balai Pustaka. hlm. 455.
17
beyond the course of ordinary law. Keistimewaan adalah sesuatu jaminan yang
diberikan pada seseorang atau sekelompok masyarakat, apakah ia
bertentangan atau berkesesuaian dengan peraturan hukum yang menjadi
kelaziman. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, istimewa adalah yang khas, atau
untuk suatu maksud tertentu, atau sesuatu yang lain dan luar biasa.19
Sebagai perbandingan, dalam bahasa Arab, istilah keistimewaan
diterjemahkan sebagai khoriqul „adat, di luar kebiasaan suatu peristiwa yang
sangat luar biasa dan menakjubkan, seperti halnya peristiwa mukjizat.
Misalnya, Allah SWT. mengizinkan Nabi Muhammad untuk melakukan
perjalanan dari Mekkah ke Palestina, melakukan Isra mi‟raj menuju langit
ketujuh di Sidratul Muthaha. Peristiwa yang terjadi pada diri Nabi Muhammad
tersebut bukan saja tidak dipercayai, melainkan juga karena tidak dijumpai
dalam kaidah-kaidah akal sehat biasa, common sense. Bagi mereka yang tidak
percaya atas kejadian tersebut tidaklah menafikan bahwa peristiwa luar biasa
itu tidak ada. Sedangkan mereka yang percaya akan peristiwa tersebut
didasarkan pada aspek keimanan yang tidak menuntut adanya pembuktian.
Karena itu, bilamana keistimewaan dipahami sebagai sesuatu yang luar
biasa, keadaan yang terjadi hanya satu kali dan tidak ada perbandingannya
tergantung pada argumentasi yang diperlukan. Bilamana istilah keistimewaan
dalam pendekatan kebahasaan dapat ditegaskan sebagai sesuatu keadaan
yang luar biasa, unik dan tiada bandingannya, maka pemaknaan secara bahasa
ini juga harus sesuai dengan pandangan para ahli HTN. Keistimewaan
merupakan suatu pernyataan yang menegaskan sesuatu keadaan yang sangat
khusus, unik, atau satu-satunya atau tiada bandingan merupakan sesuatu
kondisi yang luar biasa, sehingga tidak dijumpai pada tingkat penalaran yang
umum.
Kedua, pandangan para ahli Hukum Tata Negara terhadap Pasal 18B
UUD 1945 yang kemudian dikaitkan dengan makna dan fungsi bahasa yang
konsisten. Bagaimana para ahli HTN memandang persoalan kekhususan dan
19 Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta. PT Balai Pustaka.
18
keistimwaan sebagaimana tertera dalam Pasal 18 dan 18B ayat (1) dan ayat
(2), UUD 1945. Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD sepakat bahwa ketentuan
pasal Pasal 18 ayat (1) tidak mengurangi makna otonomi daerah yang dijamin
dalam Pasal 18 ayat (2) sampai dengan ayat (7) dan Pasal 18 A serta Pasal
18B UUD 1945.
Prinsip otonomi daerah yang diadopsikan tetap menjamin pluralisme
antara daerah dan tuntutan keprakarsaan dari bawah atau dari tiap-tiap daerah
untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan. Pengaturan yang
memberikan status otonomi khusus kepada Irian Jaya yang kemudian berubah
menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam mencerminkan bahwa di bawah konsep Negara
Kesatuan Republik Indonesia tetap dimungkinkan dengan adanya pola-pola
pengaturan yang bersifat pluralis seperti terhadap Aceh dan Papua.20
Seiring dengan itu, Mahfudz MD menyatakan bahwa pasal 18 B ayat (1)
dan ayat (2) UUD 1945 terkait dengan hukum pemerintahan daerah yang
memungkinkan adanya daerah istimewa dengan prinsip demokrasi di Indoensia
yang dituangkan di dalam Naskah Akademik agar orang-orang di legislatif yang
tidak semuanya mengerti, dipaksa menghayati tentnag DIY agar bisa
memahami dan menerima. Hanya saja yang harus diantisipasi adalah
kemungkinan dimintakan uji materi (judicial reviwe) ke Mahkamah Konstitusti
oleh mereka yang mempunyai legal standing.21
Senada dengan itu, Jimly Asshiddiqie menguatkan bahwa Pasal 18B UUD
1945, dimungkinkan dilakukannya pengaturan-pengaturan yang bersifat
federalistik dalam hubungan antara pemerntah pusat dengan pemerintah
daerah. Dalam dinamika hubungan antara pusat dan daerah itu, dimungkinkan
pula dikembangkan kebijakan otonomi yang bersifat pluralis. Dalam arti bahwa
setiap daerah dapat diterapkan pola otonomi yang berbeda-beda.
Keberagaman pola hubungan itu telah dibuktikan dengan diterimanya prinsip
20 Lihat lebih jauh penjelaasan Jimly Asshiddiqie, dalam Konstitusi dan konstitualisme di
Indonesia. Jakarta Penerbit Konsititusi Press. 2005, hlm. 284. 21 Moch. Mahfud MD, Menyongsong RUUK DIY Mencermati Aspek Substansi”/ Kedaulatan
Rakyat, 12 Februari 2007
19
otonomi khusus Provinsi NAD dan Provinsi Papua yang keduanya memiliki
format kelembagaan pemerintahan yang berbeda dari pemerintahan daerah
lain pada umumnya.22 Disamping itu, Pasal 18B ayat (1) disebutkan pula
adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
istimewa. Beberapa contoh pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
istimewa itu adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Otonomi Khusus
Nanggroe Aceh Darussalam dan Daerah Otonomi Khusus Papua.23
Secara tegas Dahlan Thaib menyatakan bahwa kalau dirunut secara
konstitusi seperti Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 berbunyi negara meyakini dan
menghormati sebuah satuan pemerintahan darerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Disini konstitusi
mengakui adanya daerah khusus dan daerah istimewa, disamping daerah
otonom lainnya setelah memberikan amanat kepada DPR RI dan pemerintah
untuk membentuk UU yang mengatur daerah khusus dan daerah istimewa.
Selanjutnya Dahlan Thaib menyebutkan bahwa daerah khusus dan daerah
istimewa adalah anak kembar negara yang telah ditegasakan dalam konstitusi,
karenanya harus diperlakukan secara adil.
Aceh yang namanya saat ini Daerah Khusus Aceh telah mendapatkan
kepastian hukum berupa ditetapkannya UU No. 11 tahun 2006 yang
didalamnya mengatur hak-hak pemerintah Daerah Aceh. Lebih dari itu, mereka
mendapatkan dana tambahan. Demikian pula halnya Provinsi Papua juga telah
mendapatkan status daerah khusus sebagaimana ditegaskan dengan UU No.
21 tahun 2000. Demikian pula halnya UU No. 29 tahun 2007 tentang DKI
Jakarta yang telah ditetapkan.24
Pandangan tersebut juga ditegaskan dalam suatu diskusi informal
dengan penulis bahwa Keistimewaan di Yogyakarta bukan saja mendapatkan
pengakuan dan perlindungan dalam UUD 1945, melainkan kita wajib
22 Lihat Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. Jakarta . Sekretariat Jendral dan Kepanitriaan Mahkamah Konstitusi RI. 2008, hlm. 793.
23 Lihat lebih jauh Jimly Asshiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2006, hlm. 276.
24 Lihat Dahlan Thaib, “RUU Keistimewaan DIY , Sampai dimana Perjalananmu?”. Kantor Berita Indonesia. GEMARI, Seri 26 April 2010. hlm. 2
20
melestarikan keaneka ragaman ciri-ciri lokal dari suatu pemerintahan. Sehingga
menjadi tidak beralasan jika bentuk negara NKRI tidak memberikan ruang atas
tegaknya keanekaragaman. Kedudukan Sultan HB dan Paku Alam sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur dipandang sebagai nilai-nilai lokal yang perlu
dilestarikan.25
Berdasarkan pembahasan di atas, maka makna keistimewaan
sebagaimana diamanahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 baik dari pendekatan
bahasa dan pandangan ahli-ahli HTN menunjukkan adanya konsistensi dan
konsekuensi bahwa keistimewaan merupakan hak konstitusional bagi
pemerintahan daerah yang penyelenggaraannya dikecualikan dari ketentuan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Konsekuensinya pemerintah daerah
bersifat otonom, sifat khusus dan bersifat istimewa merupakan hak
konstitusional yang menyebutkan negara untuk melindungi dan
melestarikannya. Dengan demikian, hak-hak keistimewaan DIY untuk
dilestarikan melalui instrumen hukum ini mendapatkan dasar-dasar
argumentatif, baik secara filosofis, historis, sosiologis, dan juga juridis.
A.2. Keterkaitan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
Sejalan dengan ketentuan Pasal 18B UUD 1945, Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dalam Ketentuan
Lain-Lain Pasal 225 menyebutkan bahwa Daerah-daerah yang memiliki status
istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang
ini diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain.
Lebih lanjut Pasal 226 UU Pemda menyebutkan bahwa Keistimewaan
untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
didasarkan pada Undang-Undang ini.
25 Diskusi tersebut berlangsung di Kampus Paska Sarjana fakultas Hukum, Universitas Islam
Indoneia sekitar tahun 2007, pada saat ramainya DPD RI mengajukan hak inisiatif Perubahan atas UU Nomor 3/1950 tentang Pembenekan Daerah Istimewa Jogjakarta.
21
Ketentuan Pasal 225 dan Pasal 226 UU Pemda tersebut mengamanatkan
kepada organ pembentuk undang-undang untuk membentuk peraturan
perundang-undangan tentang keistimewaan Yogyakarta dengan tetap
melandaskan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan UU Pemda.
A.3. Keterkaitan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Perundang-
Undangan Pertanahan Lainnya
Selain terkait dengan suksesi kepemimpinan, salah satu elemen penting
keistimewaan Yogyakarta adalah terkait bidang pertanahan. Persoalan ini
penting oleh karena tanah sesungguhnya bukan sekedar komoditas untuk
kepentingan ekonomi belaka yang seringkali menjadi sumber konflik,
melainkan juga secara kosmologis merupakan asal usul manusia tumbuh dan
berkembang biak di muka bumi dan juga tempat kembali.
Keyakinan bahwa tanah merupakan tempat bagaimana manusia
mengawali permukiman, tetapi juga awal mula dinamika kekuasaan
ditancapkan. Sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria di tanah air ini diimplementasikan, hukum tanah di
Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta sudah terlebih dahulu diatur sejak
pemerintahan Hindia Belanda. Asal mulanya hak milik atas seluruh luas tanah
di wilayah kerajaan Yogyakarta, adalah mutlak di tangan raja.26 Rakyat hanya
diberi hak atau wewenang anggadhuh atau meminjam tanah dari raja secara
turun temurun.
Dalam perkembangan selanjutnya, hukum pertanahan di Yogyakarta
mengalami perubahan-perubahan yang mendasar, misalnya adanya peraturan
reorganisasi agraria tahun 1914. Melalui Rijksblad Kesultanan 1918 Nomor 16
dan Rijksblad Paku Alaman 1918 Nomor 18 kedua kerajaan itu menyatakan
kekuasaannya sebagai berikut: “semua bumi yang tidak terbukti dimiliki oleh
orang lain dengan hak eigendom, adalah kepunyaan kerajaan Ngayogyakarta”.
26. Tentang hal ini lihat, Soedarisman P., op.cit., hlm. 280; Suhartono, Apanage dan Bekel
Perubahan Sosial di Surakarta 1830-1920, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991, hlm. 27; Selo Sumardjan, Perubahan Sosial…, Op.Cit., hlm. 177.
22
Atas dasar pernyataan domein itu Pemerintah Kesultanan dan paku Alaman
memberikan “hak pakai/wewenang anggadhuh cara jawa” kepada desa-desa
(Pasal 3 ayat 1) yang harus dibentuknya. Dikemudian hari berdasarkan
Rijksblad Kesultanan Nomor 6 Tahun 1926 dan Rijsblad Paku Alaman Nomor 26
Tahun 1925 “hak anggadhuh” dari desa itu diubah menjadi “hak
andharbeni/wewenang andharbeni”. Suatu hak tradisional lokal yang
pemanfaatannya telah dengan jelas untuk kepentingan rakyat.
Begitu banyak instrumen hukum terkait dengan pengaturan dan
pemanfaatan tanah di Yogyakarta, demi terciptanya kesejahteraan bagi
masyarakat.27 Tanah-tanah yang berada di bawah kekuasaan Desa diberi
wewenang untuk dimanfaat sebagai berikut:
1. Menentukan peruntukannya (Pasal 4 jo Pasal 7 RK No. 16 tahun 1918 dan
RPA No. 18 tahun 1918) sebagai berikut:
a. tanah bengkok (gaji) bagi pejabat-pejabat desa yang masih aktif;
b. tanah pengarem-arem (pensiun) bagi pejabat-pejabat desa yang
telah berhenti dengan hak mendapat pensiun.
2. Mengatur sendiri mengenai:
a. Memindahkan sementara, misalnya menjual sewa (adol sewa).
b. Memindahkan untuk dipakai Turín-temurun dengan memperhatikan
ketentuan Pasal 4 RK No. 16 tahun 1918 dan RPA No. 18 tahun
1918.
3. Mengatur dan mengawasi agar tidak timbul penumpukan atau akumulasi
tanah pada seseorang (RK No. 16 tahun 1930 dan RPA No. 39 tahun
27. Melalui UU No. 3 tahun 1950 jo Undang-undang Nomor 19 Tahun 1950 ditetapkan urusan
rumah tangga bagi DIY, antara lain urusan agraria (Pasal 4). Kemudian urusan agraria di DIY diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas tanah di DIY; Peraturan Daerah No. 10 Tahun 1954 tentang Pelaksanaan Putusan Desa Mengenai Peralihan Hak Andarbe dari Kelurahan dan Hak Anganggo Turun Temurun atas Tanah dan Perubahan Jenis Tanah di DIY; Peraturan daerah No. 11 Tahun 1954 tentang Peralihan Hak Milik Perseorangan Turun Temurun atas Tanah dan Peraturan Daerah No. 12 Tahun 1954 tentang Tanda yang Sah Bagi Hak Milik Perseorangan Turun Temurun Atas Tanah.
23
1928). Mengenai berapa luas tanah yang dapat dikuasai seseorang hingga
dapat dinilai sebagai tuan tanah diserahkan kepada masing-masing desa
mengingat keadaan setempat saja. Dalam praktek tergantung kepada
aktivitas desa diadakan atau tidak.
4. Memutus masalah-masalah pemindahan hak atas tanah yang dilakukan
dengan cara lintiran (warisan).
Dalam konteks tersebut, tanah sebagai pilar pertama keistimewaan
tidak saja merupakan wilayah kekuasaan territorial jurisdcition bagi Sri Sultan
HB dan Paku Alam, melainkan juga sebagai media yang dapat dimanfaatkan
untuk kemakmuran masyarakat secara lebih berdaya guna.
Pengaturan tanah-tanah yang masih merupakan tanah keraton tampak
jelas dan pasti Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo cq. Kantor
Paniti Kismo Keraton Ngayogyakarta merupakan institusi keraton yang
menerapkan pengaturan tanah. Pembenahan dimulai dengan inventarisasi,
registrasi, pengawasan, penelitian dan penerbitan penggunaan tanah-tanah
tersebut. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang kemudian
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950 kecuali mengukuhkan
nama dan wilayah DIY, juga menetapkan organ-organ daerah dan urusan-
urusan yang diserahkan kepada Pemerintah Provinsi DIY. Urusan-urusan yang
diserahkan antara lain urusan agraria, meliputi:
1. Penerimaan penyerahan hak eigendom atas tanah kepada Negeri
(medebewind).
2. Penyerahan tanah Negara (beheersoverdracht) kepada jawatan-jawatan
atau kementrian lain, atau kepala daerah otonom (medebewind).
3. Pemberian ijin membalik nama hak eigendom dan opstal atas tanah jika
salah satu pihak atau keduanya masuk golongan bangsa asing.
4. Pengawasan pekerjaan daerah otonom di bawahnya tentang agraria
(sebagian ada yang medebewind).
24
Selanjutnya secara nasional pengaturan tentang pertanahan
dimodifikasikan ke dalam suatu peraturan tertulis yaitu Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang telah
di sahkan pada tanggal 23 September 1960. Hal itu dimaksudkan untuk
menghilangkan dualisme dalam peraturan perundang-undangan keagrariaan
(hukum agraria yang didasarkan pada hukum adat pada satu pihak dan
didasarkan pada hukum Barat pada pihak lain). Namun, bagi DIY dualisme
tersebut tetap timbul, karena jauh sebelum dikeluarkannya UUPA, DIY telah
memiliki peraturan perundang-undangan daerah di bidang pertanahan yang
didasarkan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 jo Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta,
berupa peraturan Daerah.
Konsekuensinya, UUPA baru diberlakukan di DIY pada tahun 1984, yaitu
sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1984 tentang
Pemberlakuan sepenuhnya UUPA di DIY. Keppres tersebut menegaskan bahwa
pemberlakuan UUPA secara penuh di Propinsi DIY diatur oleh Menteri Dalam
Negeri. Untuk menindaklanjuti perintah tersebut dikeluarkanlah Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan
Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 di Provinsi
DIY.
Dengan rentang waktu yang sangat panjang yakni sejak tahun 1960
sampai dengan 2004 political will pemerintah tidak juga muncul untuk
menyelesaikan persoalan ini. Untuk sementara dapat disimpulkan,
dikeluarkannya Keppres No. 33 Tahun 1984 maupun Kepmendagri No. 66
Tahun 1984 sesungguhnya tidak memiliki makna yang signifikan bagi
penyelesaian persoalan pertanahan di DIY, karena proses peralihan itu belum
juga dapat dilakukan sehingga dualisme masih berlangsung hingga hari ini.
Toleransi pemerintah pusat untuk tidak memaksakan pemberlakukan UUPA
sampai dengan tahun 1984, merupakan keistimewaan yang tidak dijumpai
dalam pemerintah daerah lainnya.
25
B. KAJIAN/ANALISIS KEDUDUKAN KASULTANAN NYAYOGYAKARTO
HADININGRAT DAN PURO PAKUALAMAN SEBAGAI ENTITAS BUDAYA
MASYRAKAT YOGYAKARTA
Kedudukan Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat atau Kraton Yogyakarta
dan Puro Paku Alaman bagi rakyat Jawa bukan hanya suatu pusat politik dan
budaya, tetapi juga menjadi pusat keramat kerajaan. Keraton adalah tempat
raja bersemayam dan raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang
mengalir ke daerah dan membawa ketentraman, keadilan, dan kesuburan.
Paham itu terungkap dengan sangat jelas dalam gelar para penguasa keempat
kerajaan di Jawa Tengah hasil perpecahan Kerajaan Mataram II, dua ratus
tahun yang lalu. Kedua penguasa Yogyakarta menyebut diri Hamengku Buwana
(yang memangku jagad raya) dan Paku Alam, para penguasa Surakarta
bernama Paku Buwana (paku jagad raya) dan Mangkunagara (yang memangku
negara).28
Ditinjau dari sisi arkeologis, keraton hanyalah sebuah artefact
(monumen bisu), namun jika ditinjau dari sisi historigrafi merupakan monumen
hidup (living museum) yang dapat menjadi sumber sejarah kemanusiaan,
maupun saksi peradaban kekuasaan, pemerintahan, budaya, dan agama secara
sekaligus.29
Keraton ialah tempat bersemayam ratu-ratu, berasal dari kata ke – ratu
- an = kraton. Disebut juga kedaton, yaitu ke - datu - an = kedaton, tempat
datu-datu atau ratu-ratu. Dalam bahasa Indonesia disebut istana. Jadi keraton
ialah sebuah istana, tetapi istana bukanlah keraton. Keraton ialah istana yang
mengandung arti keagamaan, arti filsafat dan arti kultural (kebudayaan).30
28. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup
Jawa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hlm. 107. 29. H. Heru Wahyukismoyo, “Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX”
sebuah Kumpulan Pemikiran dan Polemik Status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Dharmakaryadhika Publisher, Yogyakarta, tanpa tahun, hlm. 69.
30. Brongtodiningrat, Arti Kraton Yogyakarta, Murdani Hadiatmaja (penerjemah), Museum Kraton Yogyakarta, Yogyakarta, 1978, hlm. 107.
26
Dari perkembangan sejarah sebelum kemerdekaan RI Kasultanan
Yogyakarta dan Paku Alam selalu terlibat dalam mekanisme politik pertahanan
dan pelestarian budaya. Setidaknya sebagai pusat kebudayaan Yogyakarta
ditandai beberapa unsur penting. Pertama, Kraton Yogyakarta merupakan
harta warisan budaya yang masih tersimpan dan terpelihara utuh. Bukti-bukti
fisik dan artefak peninggalan Kesultanan DIY dan Puro Pakualaman masih
terpelihara baik terkait dengan bangunan fisik maupun barang-barang
peninggalan zaman kuno lainnya.
Kedua, kepemimpinan informal seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X
dan Sri Paduka Paku Alam IX masih tetap memerankan peran penting dalam
memelihara tradisi yang didukung oleh sistem pemerintahan tradisionalnya.
Perangkat birokrasi lokal masih berfungsi tidak saja dalam mempresentasikan
produk budaya kepada wisatawan domestik dan asing, tapi juga dalam
melestarikan tradisi upacara sekaten, upacara labuhan dan lainnya.
Ketiga, tata aturan kehidupan kraton atau hukum adat Kasultanan
Ngyogyokarto dan Puro Pakualaman masih dipatuhi oleh masyarakat. Sehingga
aksi-aksi suksesi Kasultanan Ngyogyokarto dan Puro Pakualaman masih
didasarkan pada norma-norma adat yang berlaku. Efektivitas norma-noram
adat ini tentu saja menjadi efektif karena adanya dukungan masyarakat.
Keempat, dualisme kepemimpinan antara Kasultanan Ngyogyokarto dan
Puro Pakualaman sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur masih tetap berlaku
dengan ditandai oleh melekatnya kekuasaan dan kewenangan mereka di
wilayah masing-masing. Dualisme tersebut dalam tradisi keraton disebut
dengan DWI TUNGGAL HAMENGKONI AGUNG (lembaga kepemimpinan
tertinggi) sebagai pemersatu dan pelindung masyarakat. Pada awalnya konsep
ini mencerminkan sistem monarki absolut. Namun, selama ini diakui oleh Sri
Sultan Hamengku Buwono X telah bergeser kedalam struktur aristokrasi
demokrasi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan yang terbukti
berjalan efektif.
27
Oleh sebab itu, keberadaan dua unsur yang kemudian dikenal sebagai
Dwi Tunggal Hamengkoni Agung, maka seorang Sultan dan Adipati dituntut
untuk senantiasa mengedepankan kepentingan rakyat dengan prinsip berbudi
bawa laksana, Hamengku, yaitu merengkuh atau melindungi semua pihak
tanpa memandang suku, ras, agama maupun golongan, dalam
memperjuangkan, mamajukan dan mensejahterakan rakyat. Sedangkan
Hamengkoni artinya memberikan bingkai kekuatan pemersatu dan berdiri
paling depan dalam perjuangan. Dalam konteks ini terlihat, bahwa
kepemimpinan Dwi Tunggal Hamengkoni Agung diorientasikan untuk
kepentingan rakyat atau tahta untuk rakyat.
Berdasarkan argumentasi di atas, kedudukan Kraton dan Puro
Palualaman sebagi bagian dari identitas keistimewaan Yogyakarta yang harus
mendapat perlindungan dan kepastian hukum merupakan suatu keniscayaan.
C. RASIONALISASI PENETAPAN SRI SULTAN HEMANGKUBUWONO DAN
PAKU ALAM SEBAGAI GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa, hak asal-usul yang
dijadikan argumen keistimewaan DIY terdiri dari empat pilar utama. Tanah
sebagai modal kosmologis dan wilayah kekuasaan, kraton tempat dan pusat
kebudayaan dan parwisata, pendidikan dan kepemimpinan DIY melalui
penetapan. Timbulnya pro-kontra terkait dengan proses suksesi kepemimpinan
di DIY, isu penetapan tidak sajak telah menjadi pemicu masyarakat DIY, juga
dapat mendorong kecemburuan di kalangan elit-elit lokal wakil-wakil rakyat di
tingkat nasional. Adanya dugaan kesamaan kondisi pemerintahan daerah,
dengan sejarah masa lalu boleh jadi klaim tersebut timbul ke permukaan.
Karena itu, menjadi sangat penting untuk dikemukakan argumentasi
logis dan obyektif terhadap kebenaran faktual penetapan Sri Sultan dan Sri
Paku Alam, menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur di DIY. Sebagaimana
dipaparkan di atas sesungguhnya keistimewaan DIY, bukan saja suatu
keniscayaan sejarah, melainkan merupakan kewajiban negara untuk
melestarikan keberadaannya daerah khusus dan istimewa dalam wadah NKRI.
28
Atribut kekhususan atau keistimewaan suatu daerah yang otonom diperoleh
berdasarkan landasan juridis konstitusional UUD 1945, khususnya Pasal 18 dan
18B ayat (1) dan ayat (2). Selain itu, landasan filosofis dan idiologis Pancasila
dan Bhineka Tunggal Ika, landasan historis, dan landasan sosio-politis. Adapun
rasionalisasi mengapa penetapan Sri Sultan dan Sri PA sebagai Gubernur dan
Wakil Gubernur DIY diformulasikan ke dalam Naskah Akademik RUUK DIY saat
ini adalah sebagai berikut.
C.1. Maklumat 5 September 1945 Sebagai Ijab Qobul yang Mengikat
Ijab dan Qobul adalah norma dalam hukum perjanjian Islam yang
memberikan ikatan kepada pihak pertama dan kedua atau lebih untuk
bersama-sama mematuhi dan menghormati suatu kesepakatan atas suatu
obyek tertentu yang halal dan tidak bertentangan dengan moralitas dan
kesusilaan. Penetapan sebagai ijab qobul acapkali dikemukakan oleh Sri Sultan
HB X ketika merespon adanya pro-kontra model suksesi di masyarakat DIY,
apakah dengan model pemilihan atau penetapan.
Maklumat 5 September 1945 dibuat oleh Presiden RI pertama,
Soekarno, oleh sebab itu, Maklumat ini dipandang sebagai suatu kesepakatan
resmi “formal agreement”, yang terus akan berlangsung efektifitasnya, kecuali
ada suatu tindakan pencabutan atau pembatalan demia hukum karena ada
beberapa persyaratan yang dilanggar oleh salah satu pihak. Kelangsungan
Maklumat Presiden, yang dipandang sebagai Ijab Qobul, atau juga Political
Contract, yang mengandung I‟tikak dan maksud yang baik (good faith or good
intention), setelah semua syarat telah terpenuhi. Kedua belah pihak (Negeri
Yogyakarta dengan NKRI) sejak dulu sepakat untuk mengikatkan janji. Tidak
pernah ada suatu tindakan sepihak atau atas dasar kesepakatan yang dapat
menimbulkan berakhirnya kesepakatan tersebut, sehingga kebiasaan yang
telah menjadi praktek ketatanegaraan DIY akan terus berlangsung.
Konsekuensinya, kedua belah pihak secara hukum dan moral terikat
untuk menghormati dan mematuhi kesepakatan tersebut. Asas hukum yang
29
diberlakukan antara lain disebut sebagai Pacta Sunt Servanda.31 Suatu asas
universal tentang perjanjian, yang memberikan pedoman kepada dua belah
pihak bahwa mereka terikat dengan kesepakatan-kesepakatan umum sehingga
selain timbul kewaiban juga hak-hak dan kewenangan.
Tidak pernah ditemukan dokumen yang berupaya, baik secara implisit
maupun eksplisit membatalkan atau batal demi hukum (karena salah satu
pihak mengingkari) dari praktek penetapan atas kedudukan Sri Sultan HB
dengan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur di DIY. Bahkan
dalam perjalanan sejarah perkembangan hukum pengakuan atas keistimewaan
DIY, dari sejak pemerintahan Orde Lama hingga Orde Baru cenderung saling
mengukuhkan. Bahkan pada tahun 2002, telah terjadi suatu keadaan yang
dipandang menyimpang dari adat-istiadat, karena telah dicoba melalukan
pengusulan calon gubernur dari luar kalangan kraton32.
Namun, terbukti hal itu menimbulkan goncangan sosial dan menusi
konflik yang cukup signifikan sehingga mengganggu harmoni sosial. Penolakan
dari berbagai lapisan masyarakat muncul, melalui forum Pisowanan Agung.
Suatu forum yang sarat dengan muatan nilai-nilai politik lokal, sebagai bentuk
perlawanan terhadap nilai-nilai baru yang belum dapat diterima. Dengan
demikian, bahwa Maklumat 5 September 1950 sama kuatnya dengan,
Perjanjian Gianti antara pemerintahan Belanda dengan Kesultanan DIY, antara
pemerintahan Jepang dengan Kesultanan DIY, termasuk instrumen hukum
berbentuk UU lainnya yang merupakan bentuk kesepakatan sosial yang secara
politik, sosial dan kultural menjadi bagian yang harus dilestarikan, sebagai jati
diri dari keistimewaan Yogyakarta.
31Suatu asas yang dikemukakan oleh Anzilotti, utamanya dalam kaitan dengan daya ikat
hukum internasional bagi negara-negara yang ikut menandatangani atau turut serta menjadi pihak dalam kesepakatan internasional. Asas ini diberlakukakan saat ini, tidak saja dalam kaitananya dengan pemberalakukan perjanjian hukum internasional yang mengikat negara-negara, melainkan juga mengikat subyek hukum non-negara. Sebagaimana halnya, serah terima kedudukan DIY dengan NKRI Enam Puluh Lima (65) Tahun lalu. Khususnya dalam lihat J.G. Starke, Hukum Internasional sub bab nol (edisi terjemahan), Jakarta, 2002 , Asas Hukum Universal tentang Perjanjian Internasional.
32 Suatu peristiwa yang terjadi di sekitar tahun 2002, dimana salah satu anggota DPRD DIY dari salah satu fraksi mencoba mengajukan diri sebagai calon gubernur. Namun, usulan tersebut menimbulkan kegaduhan politik lokal tersendiri.
30
C.2. Penetapan Sebagai Pengecualian hukum (Lex Specialis)
Era reformasi yang diusung tahun 1998, tidak lepas dari kontribusi
masyarakat Yogyakarta. Sultan HB X bersama Sri Paku Alam menyuarakan
suatu perubahan dengan era reformasi yang dilakukan secara damai dan
menolak cara-cara kekerasan. Hasil dari reformasi adalah terbukanya pintu
politik dan pemerintahan yang lebih demokratis. Tuntutan reformasi antara lain
pemerintahan yang bersih bebas KKN, amandemen UUD 1945, dan pemisahan
kekuasaan TNI dan Kepolisian.
Secara langsung dampak demokratisasi telah dirasakan ketika sistem
pemerintahan demokrasi dari tingkat pusat dan daerah harus menggunakan
sistem pemilihan secara langsung. Keharusan untuk melakukan unifikasi dalam
aspek kepemimpinan tergolong dalam aspek hukum ketatanegaraan yang
meniscayakan pemerintah DIY tidak terbebas dari amanah UUD 1945 tersebut.
Agar kesadaran konstitusi khususnya Pasal 27 UUD 1945, yaitu prinsip-prinsip
pemberlakuan kesamaan di depan hukum (equality before the law) benar-
benar dapat ditegakkan secara menyeluruh.
Bilamana membaca ketentuan hukum yang bersifat umum (lex
generalis) maka ketentuan penyeragaman praktek pemilihan pimpinan nasional
dan lokal tidak lepas dari perintah UUD 1945. Pertama, Pasal 6 A ditegaskan
bahwa ayat (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat. Ayat (2) Pasangan Calon Presiden dan Wakil
Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Ketentuan tersebut di
atas, jelas dan tegas dan tidak dapat ditafsirkan lain kecuali bahwa model
suksesi kepemimpinan di tingkat nasional Preiden dan Wakilnya, harus
dilakukan secara berpasangan melalui partai politik peserta pemilu.
Kedua, ketentuan umum yang diberlakukan bagi daerah-daerah (tingkat
provinsi dan kabupaten/kota). Kepala Daerah didasarkan pada Pasal 18 ayat
(4). Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Sama halnya
dengan Pasal 56, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Kepala
31
daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil. Pasangan calon sebagaimana dimaksud ayat (1)
diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, sesungguhnya
merupakan ketentuan hukum umum yang harus dipatuhi (general rule of law).
Namun, dalam prakteknya ketentuan hukum yang bersifat umum
tersebut tidak saja membebankan kewajiban yang harus dilakukan, melainkan
juga harus ada rasa penghormatan terhadap entitas politik yang dikecualikan
dari ketentuan umum tersebut. Apa yang dikatakan oleh pakar HTN, Dahlan
Thaib bahwa NKRI selain membentuk daerah-daerah otonom, juga memiliki
dua anak kembar lain yitu daerah khusus dan daerah istimewa. Kedua anak
kembar NKRI tersebut merupakan suatu ketentuan hukum yang khusus yang
wajib dikecualikan pemberlakuannya dari ketentuan hukum umum.
Karena itu, sekiranya penerapan sistem pemilihan langsung untuk
Presiden dan Wakilnya dapat juga diterapkan, justru telah menuai kritik ketika
harus diterapkan pada Pemilihan Kepala Daerah mengingat keanekaragaman
nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat lokal tidak dapat dipaksakan
melalui penyeragaman. Ruang kebhinnekaan yang selama ini telah menjadi
darah daging masyarakat secara jelas diberikan jaminan dalam Pasal 18 dan
18B ayat (1) dan (2). Dalam hal ini menarik untuk diperhatikan pandangan
Pratikno.
“Centralized party system are good for Presidential elections, but when local
politics is at stake, it is questionable whether elites and the centre have a
proper understanding of local political dynamics. Additionally, the continuing
centralized party system has allowed party elites at the provincial and national
levels to take advantage of their positions, demanding money, and maintaining
control over local activites. Although the change to the electoral system was
supposed to eridicate the money politics which had prolifirated in the previous
system when the legislature chose the regional heads, it has not done so,” 33.
Dari pandangan tersebut perlu menjadi catatan dalam dua hal. Pertama,
pemilihan presiden memang cukup baik dalam sistem politik yang
disentralisasikan, namun belum tentu akan ada pengertian yang sama antara
33 Lihat Pratikono, ibid 2009, hlm. 70
32
elit pusat dan lokal. Kedua, sistem pemilihan langsung telah memberi banyak
keuntungan bagi posisi partai politik. Penyebaran politik uang ditingkat pusat
dapat dikurangi bila dibandingkan dengan situasi sebelumnya. Namun bagi
situasi di daerah, situasi ini tidak demikian. Dengan kata lain, apakah memang
jika pemilihan kepala daerah di DIY juga tidak terlepas dari keadaan politik isu
nasional yang imbasnya pada martabat dan posisi Sultan dan Sri Paku Alam
akan berpengaruh.
Penetapan Sri Sultan dan Paku Alam sebagi gubernur dan wakil
gubernur merupakan contoh pengecualian hukum khusus (lex specialis),
sehingga penetapan Sri Sultan dan Paku Alam sebagai gubernur dan wakil
gubernur di posisikan sebagai hak konstitusional bersyarat (fundamental rights
of constitusional condition), maka penetapan sebagai ciri keistimewaan DIY
tidak menyalahi konstitusi sepanjang hal tersebut masih berlaku dan juga
mendapatkan dukungan dari partisipasi masyarakat.
Sekiranya keraguan akan adanya “penetapan” di DIY dalam konteks
suksesi sebagai sesuatu komponen pelaksanaan demokratis yang tidak penuh
tidak berarti bahwa model suksesinya tidak demokratis, melainkan lebih
dipahami sebagai suatu proses perjalanan demokrasi yang harus mampu
mengakomodir kondisi lokal. Hal ini dapat dimaklumi karena pasal tentang
pemilihan untuk kepemimpinan nasional tidak serta merta dapat dijadikan
rujukan bagi DIY mengingat keistimewaan bagi DIY dapat mengesampingkan
peraturan hukum yang bersifat umum.
Argumentasi kedua, bahwa penetapan Sri Sultan HB dan Paku Alam
berkesesuaian dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM dalam koridor demokrasi
adalah bermula dari keterikatan asal usul sejarah peraturan hukum bersifat
kasuistik (sui generis). Situasi demikian, tidak berarti bahwa peraturan hukum
tidak dapat digeneralisasi, melainkan karena hukum yang sempurna oleh
manusia hadir dengan berbagai kelemahan. Dalam situasi kelemahan atas
lubang-lubang kosong (loop whole) diperlukan suatu aksioma hukum exit of
legal emergency. Dalam Perjanjian Internasional diberlakukan adanya konsep
reservasi (reservation) yang dianut oleh negara beradab, yang digunakan
33
untuk mencegah adanya suatu kondisi yang mengakibatkan umat manusia
harus menentukan plihan dalam keadaan sulit, yang tetap saja dilakukan demi
suatu hak yang wajib dipertahankan, tetapi secara hukum tidak dapat dikenai
pertanggungjawaban hukumnya.
Asas reservasi, merupakan pengecualian dalam hukum perjanjian
internasional bagi negara-negara sebagai subyek hukum internasional untuk
tidak melakukan ratifikasi terhadap isi atau substansi dari konvensi atau
perjanjian internasional tertentu. Efek resevasi adalah membatasi tanggung
jawab suatu Negara. Reservasi yang sah berarti bahwa suatu negara tidak
terikat dengan pasal ataupun ayat tertentu dari perjanjian internasional.34
Reservasi ini diakui dan dibenarkan sebagai suatu ketentuan khusus
dalam hukum internasional, sehingga manakala suatu negara yang berdaulat,
karena alasan-alasan internal politik dan hukum tidak memungkinkan, maka
suatu negara dapat meninggalkan beberapa pasal dari suatu perjanjian
internasional. Misalnya, jika suatu pemerintah mengambil sikap bahwa
pengeculaian terhadap beberapa pasal dalam suatu perjanjian internasional
dengan maksud mencegah timbulnya kekacauan pada sistem hukum
nasionalnya, maka masyarakat internasional tidak dapat membebankan
tangung jawab hukum internaasional karena melakukan reservasi.
Meskipun praktek reservasi ini tampaknya memiliki cakupan dalam
hukum internasional, namun sangat relevan untuk dijadikan argumen pada
persoalan penetapan Sri Sultan HB dan Sri Paku Alam di DIY. Pertama, bahwa
setiap kewajiban hukum yang dibebankan oleh hukum perjanjian internasional
kepada pihak-pihak, tidak serta merta menimbulkan beban dan tanggung
jawab yang sama kepada subyek hukum negara-negara. Meskipun setiap
subyek hukum memiliki kedaulatan yang sama secara normatif teoritik,
pembebanan kewajiban dan tanggung jawab umumnya sangat berbeda-beda
berdasarkan pada kapasitas dan kemampuan negara masing-masing.
34 Lihat. John O‟Brien, International Law, London , Covendish, Publishing Limited, 2001, hlm.
336
34
Dengan demikian jelaslah bahwa bentuk penetapan Sri Sultan dan Paku
Alam sebagai Gubernur dan wakila Gubernur (tanpa pemilihan langsung)
sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (1) merupakan ketentuan hukum
pengecualian yang tidak bertentangan dari ketentuan Pasal 6 dan Pasal 18 ayat
(5). Sebagaimana dasar penggunaan hak reservasi, bagi negara-negara
berdaulat untuk melakukan penyimpangan terhadap ketentuan umum hukum
perjanjian internasional yang diperbolehkan. Sehingga negara sebagai subyek
tidak terikat, juga tidak dapat dibebankan tanggung jawab.
C.3. Konvensi Penetapan Dalam Ketatanegaraan RI
Pengakuan atas keistimewaan DIY yang berkaitan dengan
kepemimpinan di Yogyakarta sesungguhnya telah diatur di dalam UU No.22
Tahun 1948 hingga pasca reformasi melalui UU No. 32 Tahun 2004. Sejatinya
substansi pergantian tersebut telah mengakomodir model kepemimpinan
kharismatik (Sultan dan Paku Alam) yang di akomodir ke dalam pimpinan
modern. Suatu model kepemimpinan eksekutif sebagai aparat pemerintah
pusat yang terlibat dalam penciptaan pelayanan publik.
Upaya sistemis antara nilai-nilai kearifan lokal dengan nilai-nilai
modernitas tersebut telah diperkuat oleh praktek ketatanegaraan selama
ini.Undang-undang pemerintah daerah selalu ditegaskan mengenai
kepemimpinan di DIY yang dipegang oleh Sri Sultan sebagai Gubernur dan
Paku Alam sebagai Wakil Gubernur. Di dalam UU No. 22 Tahun 1948 meskipun
belum disebut secara tegas nama Daerah istimewa Yogyakarta, karena ketika
itu belum lahir UU Pembentukan DIY.
Namun isyarat pengakuan nampak ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (5)
yang berbunyi, “Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan
keluarga yang berkuasa di daerah itu di jaman sebelum Republik Indonesia dan
yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran,
dan kesetiaan dan dengan mengingat adat-istiadat di daerah itu.”
Kedua, pada tanggal 17 Januari 1957 Presiden mengundangkan UU No.1
Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Penjelasan Umum UU
35
No. 1 Tahun 1957 menegaskan, “Kepala Daerah Istimewa tidak dipilih oleh dan
dari anggota-anggota DPRD, tetapi diangkat oleh Pemerintah Pusat dari
keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik
Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya dengan memperhatikan
syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah
itu.” Jadi keistimewaan masih terletak pada kedudukan kepala daerahnya yang
prosesnya dilakukan dengan pengangkatan.
Ketiga, yaitu UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah secara konsisten tidak berubah. Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (5)
menegaskan,”Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta
yang sekarang, pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, adalah kepala
daerah dan wakil kepala daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang
tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan.” Selain itu, Daerah Istimewa
Yogyakarta diatur dalam Pasal 19 b, yang dirumuskan sebagai berikut, “Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-undang ini dengan sebutan
Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat pada ketentuan masa
jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah lainnya.”
Keempat, UU No. 5 Tahun 1974 diganti dengan UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, masalah Daerah Istimewa diatur dalam Pasal
122 yang menegaskan bahwa:
“Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Provinsi Daerah Istimewa
Yogykarta, sebagaimana dimaksud dalam UU No.5 Tahun 1974, adalah tetap
dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Istimewa Aceh
dan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada undang-undang ini.” Kemudian
di keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal usul
keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan
calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan
mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai
dengan undang-undang”.
Kelima, UU No. 22 Tahun 1999 diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004,
didalam Pasal 225 ditegaskan, “Daerah-daerah yang memiliki status
keistimewaan dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-
36
undang lain, diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam Undang-
undang lain. Ketentuan dalam UU ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak diatur secara khusus
dalam undang-undang tersendiri
Pengaturan tentang Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Pasal 226 ayat
(2) menegaskan; “Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
sebagaimana dimaksud dalam UU No.22 tahun 1999, adalah tetap dengan
ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi daerah Istimewa
Yogyakarta didasarkan pada Undang-undang ini.” Dari penegasan tersebut
nampak bahwa pengatuan tentang Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
adalah tetap seperti yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999.
Namun dalam perjalanan sejarah berikutnya, sedikit mengalami
goncangan mengingat UUD 1945 pasca amandemen sangat berbeda. Hasil
amandemen UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 18B ayat (1) telah
menegaskan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-maisng, sebagai
kepala pemerintahan dipilih secara otomatis. Perubahan ini membawa dampak
implikasi yuridis maupun politis terhadap proses demokrasi di Indonesia
dimana jabatan publik seperti Gubernur, Bupati, dan Walikota harus dilakukan
pemilihan secara demokratis. Penegasan tersebut telah membuka jalan bagi
masyarakat untuk melakukan tuntutan perubahan ke arah yang lebih
demokratis dalam pengisian jabatan.kepala daerahnya.
Dapatkah UU DIY nantinya mengatur masalah pengisian gubernur dan
wakil gubernur seperti yang selama ini berlangsung yakni melalui penetapan
dan tidak melalui pemilihan ataukah mengikuti model pemilihan?. Dari sudut
pandang hukum tata negara aspirasi masyarakat tentu dapat disalurkan melalui
DPR atau pemerintah, karena lembaga inilah yang memiliki wewenang untuk
membuat UU, termasuk UU DIY. Akan tetapi, hadirnya Pasal 18 (4) UUD 1945
juga harus dipertimbangkan secara serius, karena amanat UUD 1945 hasil
perubahan sudah sangat tegas bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-
masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi masing-masing, dan kota
37
dipilih secara demokratis. Akankah hasil amandemen UUD 1945 Pasal 18 ayat
(4) dan Pasal 18B ayat (1) memberi peluang adanya model kepemimpinan
yang selam ini telah berlangsung di DIY.
Dengan adanya berbagai perubahan sistem ketatanegaraan pasca
amandemen UUD 1945 dan perubahan paradigma penyelenggaraan
pemerintah daerah di atas, maka menjadi penting makna „Orasi Budaya‟ 7 April
2007 dimana Sri Sultan menyatakan tidak bersedia dicalonkan untuk menjadi
Gubernur DIY pada tahun 2008 dengan kata lain, Sri Sultan HB X telah
memberikan jalan kepada masyarakat untuk mengatur kepemimpinan DIY dan
mengakhiri dualisme kepemimpinan secara demokratis dan elegan.
Namun peringatan tersebut tidak dapat dipahami secara hitam putih,
melainkan harus pula diperhatikan tentang kondisi politik nasional yang
cenderung menegasikan penetapan sebagai kearifan lokal. Jaminan yuridis
konstitusional sebagaimana dikemukakan sejak proklamasi sampai reformasi
UU No. 22 Tahun 1999, tampaknya kedudukan Ijab Qabul, hak asal usul tidak
pernah ada pencabutan baik secara sepihak atau kedua belah pihak. Karena
itu, penetapan dalam konteks ketatanegaraan tetap relevan untuk
dipertahankan.
Dari paparan yang dikemukakan di dalam Bab ini, dapat disimpulkan
bahwa kebutuhan akan adanya pemahaman tentang makna dan substansi
Daerah Istimewa Yogyakarta mutlak dibutuhkan. Undang-undang No. 3 Tahun
1950 jo Undang-undang No 19 Tahun 1950 yang masih berlaku jelas tidak
mungkin memberikan jawaban yang memadai menyangkut makna Daerah
Istimewa Yogyakarta dan substansi yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab
itulah perubahan dan/atau penyempurnaan undang-undang yang dimaksud
mutlak dilakukan. Kehadiran undang-undang keistimewaan bagi Yogyakarta ini,
selain untuk menegaskan cakupan keistimewaan apa saja yang dimiliki oleh
Yogyakarta, yang berbeda dengan daerah lainnya, baik dari aspek historis,
budaya dan lain sebagainya, juga dimaksudkan untuk memberikan kepastian
hukum bagi DIY.
38
C.4. Keadilan dalam Doktrin Preseden
Sebagaimana kelaziman dalam pembuatan suatu peraturan hukum,
selain kepastian hukum, kemanfaatan juga keadilan hukum. Dalam salah satu
doktrin preseden yang umumnya berlaku dalam sistem hukum common law
sistem. Doktrin hukum adalah keputusan-keputusan hukum telah mengikat dan
wajib dijadikan dasar rujukan bagi hakim-hakim lain. Preseden hukum tersebut
tentu wajib dipatuhi karena mengandung unsur keadilan. Karena itu, tidak ada
alasan bagi pemerintah pusat untuk menghindar dengan kebijakan atau
keputusan sebelumnya35.
Bahwa makna dan fungsi keistimewaan bagi DIY merupakan atrribut
yang menempel dengan sejarah asal-usul lahirnya Yogyakarta sebagai wilayah
nageri (konsep Perjanjian Gianti), Maklumat September 1950, dan peraturan
perudang-undangan lainnya yang menetapkan Keistimewaan DIY. Makna
fungsional Keistimewaan tersebut dapat dibuktikan melalui suatu penetapan
yang secara hierarkis memiliki hubungan langsung dengan Gubernur Jendral
masa pemerintahan Belanda atau Presiden pada saat setelah kemerdekaan RI.
Penetapan sebagai intisari keistimewaan tersebut diwujudkan dalam komitment
dan etika politik yang terbentuk Kontrak Politik jilid (1) Perjanjian Gianti 1755,
jilid (2) Maklumat Pemerintahan Jepang (1944) dan jilid (3), Maklumat 5
September 1950.
Kedaulatan negara yang semula sangat absolut saat ini telah berubah
pada pergulatan pemikiran antara kedaulatan negara yang penuh dengan
kedaulatan rakyat. Michael Riesman, selalu mengumandangkan, bahwa adanya
rakyat berdaulat benar-benar membatasi kedaulatan negara, seihingga negara
tidak dapat semena-mena menekankan peran dan fungsinya tanpa adanya
keterlibatan masyarakat.
Keunikan tersebut dibuktikan oleh sikap pemerintah Indonesia melalui
insturumen hukumnya, yang membolehkan penerapan hukum Islam (Syariat
Islam) tidak saja berlaku untuk persoalan atau urusan kekeluargaan atau
35 Lihat, Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Penerbit
Liberty, 1986, hlm. 91.
39
keperdataan, melainkan juga diberlakukan ketentuan hukum publik, khususnya
penerapan hukum pidana Islam dilengkapi dengan institusi-insitusi hukum
Islam. Bilamana diperhatikan prinsip sistem hukum ketatanegaraan yang ada di
Indonesia, maka unifikasi hukum publik mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar
lagi, dan karena itu pemerintah pusat dapat memaksakan pelaksanaannya atas
dasar penerapan kedaulatan negara secara publik. Namun, karena persoalan
kultural dan konflik yang akan selalu mengancaman hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah, maka jalan keluar untuk memelihara
terlestarikannya keinginan masyarakat Aceh, adalah dengan pemberlakuan
syariat Islam yang menjadi cita hukum mereka (rechtsidee)36.
Lahirnya kebijakan tersebut tentu saja harus ditinjau dari aspek
keadilan. Dari segi teori kedaulatan, jawaban tersebut di atas dapat
dikemukakan dengan mengajukan dua kelompok masyarakat yang memiliki
sikap toleran atau tidak toleran terhadap impelementasi demokrasi. Di satu
pihak, bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki hak untuk melakukan
pengaduan atau komplain terhadap keadaan yang tidak diberikan peluang
toleransi. Setiap orang memiliki hak komplain sebatas pada pelanggaran
prinsipil yang diketahuai oleh diri sendiri, misanya, jika suatu pihak
mengumumkan dirinya sebagai kelompok minoritas dan memiliki hak untuk
berkuasa.
“Rawls approves of represive measure against the intolerant not as a suspension
of principle but as an application of principle of justice agreed to even by the
intolerant in the original positition. “What is essential is that when a person wth
different conviction make conflicting demands on the the basic structure as a
matter of politifal principle, they are to judge these claims by the principle of
jutice. Thus, despite thi ideal of liberty to a group of citizen, the fundamental
organizing principles of justice according to Rawls ae in the end, well served”.37
36 Perbincangan syariat Islam yang cukup komprehensif tinjauan Konstitusi dapat dilihat
dalam dua karya besar: yaitu, M.B Hooker, Indonesiaan Syariah: defining National School of Islamic Law. Sinagpore Institute Southeast Asian Studies (ISEAS) 2008. , selain itu juga dapat diliha.
37 Perdebatan mengenai apakah sebagian besar warga dengan suara majoritas tetap memberikan ruang toleransi bagi sebagian minoritas masyarakat akan tetap dipandang sebagai kehidupan demokratis sepanjang ha-hak kebebasan minsoitar terlindungi, lebih lanjut dapat dibaca dalam Gregory H Fox, and Georg Nolle Intolerant Democracies., by Gregory H. Fox and Brad R Roth, (ed) Democratic Government and Intenational Law. Cambridge University Press. United Kingdom. 2000, hlm. 403.
40
Dengan demikian, dalam preseden hukum terkait dengan kebijakan
pemerintah pusat terhadap kedua provinsi khusus yaitu Aceh dan Papua,
sehingga manakala pemerintah pusat tidak mengabulkan lahirnya UU
Keistimewaan, maka justru kesan masyarakat DIY akan sikap dan perlakukan
pemerintah pusat berkeadilan.
Tidak jauh berbeda dengan ketentuan hukum terkait dengan UU Nomor
21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua, secara subtantif dan kelembagaan
otonomi daerah di Papua sangat berbeda. Pertama, menguatkan sistem
pemerintahan daerah yang terdesentralisasi antara pusat dengan daerah
melalui kedudukan gubernur dan wakil gubernur dan lembaga legislatif dari
tingkat provinsi dan kabupatennya.
Namun, lembaga-lembaga adat, yang terhimpun dalam Majelis Rakyat
Papua sebagai badan yang sah dan kelompok perempuan diakui dalam struktur
pemerintahan sebagai bagian yang sah dalam peroses legislasi, budgeting dan
pengawasan. Karena itu, tidak mentup kemungkinan bahwa aspirasi
masyarakat yang selama ini tumbuh dan berkembang, seperti lembaga
Pisowanan Agung, sebagai lembaga adat masyarakar Yogyakarta
diakomodasikan dalam penentuan calon yang akan diajukan kepada Presiden
melalui lembaga DPRD Daerah.
D. PAUGERAN DAN WALI PALIMBANGAN
Penetapan seumur hidup akan menimbulkan masalah ketika nanti Sultan
yang bertahta tidak bersedia menjadi gubernur, sehingga jabatan tersebut
kosong atau tidak ada yang menjabat, untuk mengisi kekosongan jabatan
gubernur tersebut tentunya pihak keraton yang akan menentuka dan
menetapkan calonnya. Hal itu yang membuat pemerintah pusat tidak setuju
dengan penetapan. Alasan pemerintah pusat memang ada benarnya. Namun,
pemeritah pusat tampaknya ingin mengakomodasi berbagai aspirasi sehingga
terkesan berhati-hati dalam membahas RUUK DIY.38
38Bahan diambil dari sumber NILA.Com dan lihat pula dalam
www.menkokesra.go.id/content/view/12795/39
41
Kekhawatiran pemerintah dan sebagian ahli, jika Sultan berhalangan
tetap baik karena faktor usia, kesehatan, alasan hukum maupun penggantinya
yang belum jumeneng, sebenarnya sudah dijawab oleh Sultan melalui Komisi
III DPR RI yang melakukan kunjungan ke Yogyakarta dalam masa persidangan
II tahun 2009-2010 mengenai RUUK DIY, tanggal 12 Februari 2010. Dalam
pertemuan yang dihadiri Sri Sultan dalam kapasitasnya sebagai Gubernur DIY
didampingi oleh Sekdan adan Asisten Pemerintahan dan kesra tersebut Sultan
secara gamblang memberikan penjelasan mengenai mekanisme
penyelenggaraan pemerintahan jika Dwi Tunggal Hamengkoni DIY tersebut
berhalangan hadir.
Menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebenarnya di dalam Sistem
Pemerintahan Keraton sudah ada mekanisme tersendiri yang sudah
melembaga, jika suatu saat Sultan berhalangan tetap, sehingga tidak bisa
menjalankan pemerintahan. Mekanisme tersebut dikenal dengan PAUGERAN
(tatanan) yang mengatur mekanisme suksesi internal. Demikian halnya jika
Sultan dan Pakualam sudah terlalu sepuh dan/masih terlalu muda, maka
diinternal Keraton ada yang disebut WALI PALIMBANGAN yang tugasnya
mendampingi Sultan yang tidak/masih belum memenuhi syarat secara
teknokratis. Wali Palimbangan tersebut terdiri dari unsur paman, ulama dan
kerabat.
Dalam hal Sultan/Pakualam merangkap jabatan, maka problem
akuntabilitas juga dapat diatasi. Misalnya, dalam hal Kepala Daerah memangku
jabatan lain sebagai pejabat negara, maka pelaksanaan tugas kepala daerah
dilaksanakan oleh wakil kepala daerah. Dalam hal wakil kepala daerah
memangku jabatan lain sebagai pejabat negara, maka pelaksanaan tugas wakil
kepala daerah dijalankan sepenuhnya oleh kepala daerah. Kerangka konsep
tersebut lebih untuk mempertahankan konsep Dwi Tunggal Hamengkoni Agung
DIY.
Di dalam sejarah, mekanisme tersebut pernah terjadi ketika Sri Sultan
HB IX wafat pada tanggal 3 Oktober 1988, maka tugas ehari-hari Gubernur
dilaksanakan oleh Wakil Gubernur (Sri Paduka Paku Alam VIII) berdasarkan
42
Keppres Nomor 340/M/1988 tanggal 5 Desember 1988 yang isinya (1).
pemberhentian Hamengku Buwono IX sebagai Gubernur; (2). mengangkat
Paku Alam VIII sebagai pejabat pejabat Gubernur DIY. Saat itu keturunan HB
IX belum bisa menjadi gubernur karena belum jumeneng. Hal ini menegaskan
bahwa yang menjadi Gubernur DIY adalah keturunan HB yang jumeneng.
Dengan demikian, penetapan Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku
Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur di DIY merupakan inti
keistimewaan DIY yang didukung secara obyektif oleh keterikatan hukum
sebagai wujud dari ijab qobul. Faktor pengecualian hukum, doktrin keadilan,
dalam preseden hukum dan praktek demokrasi yang menempatkan pemilihan
kepala daerah sebagai bagian dari sistem demokrasi. Akibat hukumnya adalah
bahwa penetapan sebagai praktek dari suksesi di DIY tidak bertentangan
dengan ketentuan umum yang terkandung dalam UUD 1945, khususnya Pasal
18 ayat (4) karena kedudukan pemerintahan khusus dan istimewa merupakan
ketentuan hukum yang sangat khusus.
E. SUBSTANSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA
PENAMAAN
Daerah Isitimewa Yogyakarta sebagai suatu pemerintahan telah berdiri
sejak adanya perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 yang memecah
kerajaan Mataram menjadi 2 (dua) bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan
Kesultanan Ngayogjokarto Hadiningrat. Kemudian pada tanggal 17 Maret 1813
wilayah Kesultanan Yogyakarta dikurangi lagi oleh Pemerintah Inggris dan
diserahkan kepada Pangeran Notokusumo, adik Sultan Hamengku Buwono II
yang kedudukannya tidak berada di bawah Sultan (pangeran Merdiko) dan
bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam I.
Dengan demikian di wilayah Ngayogjokarto Hadiningrat terdapat dua
pucuk kekuasaan yang terpisah antara satu dengan yang lain, Sultan
Hamengku Buwono II memerintah di Kesultanan Ngayogjokarto Hadiningrat
dan Paku Alam I yang memerintah di Puro Pakualaman dan sekitarnya yakni
43
Onderdistrik Pakualaman dan Kabupaten Adikarto (Karang Kemuning/sekarang
adalah Kabupaten Kulonprogo).39
Eksistensi dua kerajaan ini sangat diakui oleh Penjajah Belanda,
sehingga dikembangkan hubungan khusus atas dasar perjanjian politik.
Kesultanan dan Pakualaman yang merupakan sistem pemerintahan yang
memiliki “asal-usul susunan asli” tersendiri. Dalam konteks ini, maka
pengakuan terhadap keistimewaan Yogyakarta, secara hukum dan politik
sudah mendapatkan pengakuan dari pemerintah ketika itu.
Embrio Keistimewaan Yogyakarta kemudian muncul dan berkembang
pada tahun 1945, sejalan dengan lahirnya bangsa Indonesia. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII dalam
kapasitas mereka sebagai raja, mengirim telegram kepada Presiden Soekarno
yang berisi ucapan selamat dan pernyataan untuk bergabung dengan RI.
Telegram itu direspon positif oleh Pemerintah Pusat dengan memberi “Piagam
Kedudukan” bagi HB IX dan PA VIII40.
Isi amanah tersebut, antara lain dua orang raja secara langsung
ditetapkan sebagai kepala daerah DIY sejajar dengan pemerintahan setingkat
provinsi. Jadi keistimewaan tersebut, seyogyanya dikaitkan dengan
nomenklatur bahwa keitimewaan Yogyakarta tidak diberi attribut pemerintahan
Provinsi. Pasal 18 UUD 1945 dan isi penjelasannya menegaskan bahwa Negara
RI “memandang” dan “mengingat” hak-hak “asal-usul” dan “susunan asli”
setiap daerah istimewa di Indonesia.
Tindakan taktis HB IX dan PA VIII dengan mengeluarkan Amanat 5
September 1945 yang isinya menegaskan bahwa Negeri (Kesultanan)
Yogyakarta dan Negeri Pakualaman merupakan dua Daerah Istimewa dalam
Negara RI41. Selain itu ada amanat kedua yaitu Amanat 30 Oktober 1945,
39 B. Hestu Cipto Handoyo, Kilas balik Keistimewaan daerah Istimewa Yogyakarta (Sebah Tinjauan
Historis Yuridis), Penerbitan Univ Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1998, hlm. 8. 40 Ditandatangani pada 19 Agustus 1945 41 Pada butir 1 terdapat kalimat “...Komite Nasional Pusat Daerah Istimewa Yogyakarta....”
Masih di tahun 1945, muncul pula UU No 1/1945 yang penjelasannya menyatakan sebuah Daerah Istimewa bernama Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta (meliputi Kasultanan Yogyakarta,
44
sebuah Amanat yang menyatakan bahwa Yogyakarta merupakan satu Daerah
Istimewa Negara RI yang dipimpin oleh dua Kepala Daerah (HB IX dan PA
VIII).
Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta
meliputi:
1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
4. Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
5. Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi: (1).
Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat, dan (2).
Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang. Kabupaten-
kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah
administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya
disebut dengan Bupati Pamong Praja. Mereka juga mengepalai birokrasi
kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah
yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai
tahun 1950.
Eksistensi pengakuan keistimewaan Yogyakarta oleh Pemerintah RI
kemudian dituangkan ke dalam hukumpositif nasional melalui diundangkannya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah istimewa
Yogyakarta.
Seiring perjalanan bangsa Indonesia yang mempengaruhi perubahan
iklim politik, sosial, ekonomi dan berdampak bagi daerah-daerah di Indonesia
tak terkecuali Yogyakarta. Saat ini diskursus eksistensi keistimewaan
Kasultanan Surakarta, Kadipaten Pakualaman, Kadipaten Mangkunegaran). Rupanya pernah ada upaya untuk menjadikan wilayah-wilayah dari empat Praja Kejawen itu menjadi sebuah Daerah Istimewa „Mataram‟. Status Keistimewaan Yogyakarta semakin menguat selama tahun 1946, sementara upaya untuk menetapkan Daerah Istimewa „Mataram‟ tidak kesampaian.
45
Yogyakarta menjadi mengemuka mengingat banyaknya peraturan perundang-
undangan yang berganti terlabih adanya amandemen UUD 1945.
Materi yang termaktub pada UU No. 3 Tahun 1950 beberapa
diantaranya sudah tidak memiliki relevansi dengan perubahan zaman dan
sistem hukum nasional. Namun demikian UU tersebut memiliki arti historis
mengingat dengan diundangkannya UU No. 3 Tahun 1950 itulah keistimewaan
Yogyakarta memiliki ruang dalam sistem hukum nasional secara nyata.
Pilihan untuk tetap mempertahankan UU No. 3 Tahun 1950 merupakan
pilihan logis sehingga penyusunan norma-norma baru dan penegasan kembali
pilar-pilar keistimewaan Yogyakarta hendaknya disusun dalam suatu
perundang-undangan tersendiri. Dengan demikian mengingat materi yang
terkandung dalam RUU merupakan upaya formalisasi terhadap keistimewaan
Yogyakarta dan bukan dalam rangka pembentukan Yogyakarta, maka nama
RUU ini adalah RUU tentang Daerah Istimewa Yogyakarta.
KETENTUAN UMUM
1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya disebut DIY adalah
daerah setingkat provinsi yang meliputi Kasultanan Yogyakarta dan
Kadipaten Pakualaman.
3. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya disebut
pemerintah daerah adalah unsur penyelenggara pemerintahan yang terdiri
atas Gubernur dan Perangkat Daerah.
4. Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi DIY yang karena jabatannya
berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah di wilayah Provinsi DIY.
5. Wakil Gubernur adalah Wakil Kepala Daerah.
46
6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya
disebut DPR DIY, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
7. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
8. Daerah otonom selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
9. Keistimewaan adalah kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY
berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus
kewenangan istimewa.
10. Peraturan Daerah selanjutnya disebut Perda adalah Peraturan
perundang-undangan DIY yang dibentuk oleh DPR DIY dengan persetujuan
bersama Gubernur.
11. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang selanjutnya disebut
Kasultanan merupakan bagian Daerah Istimewa dari Negara Republik
Indonesia.
12. Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing
Ngalaga Abdurachman Sayidin Panatagama Kalifatullah, yang selanjutnya
disebut Sri Sultan Hamengku Buwono adalah Sultan dari Kasultanan.
13. Kadipaten Pakualaman yang selanjutnya disebut Kadipaten adalah
merupakan bagian Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia.
14. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam yang selanjutnya
disebut Sri Paduka Paku Alam adalah Adipati dari Kadipaten.
15. Kebudayaan adalah nilai-nilai, norma, adat istiadat, benda seni dan
tradisi luhur yang mengakar dalam Masyarakat Daerah Istimewa
Yogyakarta.
47
ASAS-ASAS DALAM PENYUSUNAN RUU
DIY disusun berdasarkan asas pengakuan atas hak asal-usul, demokrasi,
kerakyatan, ke-bhinneka tunggalikaan, efektivitas pemerintahan, kepentingan
nasional, dan pendayagunaan kearifan lokal.
TUJUAN PENGATURAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Pengaturan DIY bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan
ketentraman masyarakat; mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih, dan
demokratis; mewujudkan tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin
ke-bhinneka tunggalikaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia; memberdayakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan
Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang
merupakan warisan budaya bangsa. Dengan mendasarkan pada kebijakan-
kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan publik dan pengembangan
kemampuan masyarakat.
PILAR-PILAR KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
Keistimewaan kewenangan DIY mencangkup bidang kepemimpinan;
kepemerintahan; pelestarian dan pengembangan kebudayaan; dan tata kelola
pertanahan dimana kesemuanua dilandaskan pada nilai-nilai kearifan lokal dan
keberpihakan kepada rakyat.
Dalam hal kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono selain sebagai
pemimpin budaya tertinggi di Kasultanan, menjabat sebagai Gubernur Kepala
DIY. Sri Paduka Paku Alam selain sebagai pemimpin budaya tertinggi
Kadipaten, menjabat sebagai Wakil Gubernur Kepala DIY.
Penyelenggaraan kepemerintahan DIY sebagaimana dimaksud dalam
bertujuan untuk mencapai efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan publik dengan didasrkan pada prinsip-prinsip:
48
partisipatif; transparansi; akuntabilitas; efektivitas; kesetaraan; dan penegakan
hukum.
Pelestarian dan pengembangan kebudayaan bertujuan untuk
memelihara dan mengembangkan hasil cipta, karsa dan karya. Dengan hasil
berupa nilai-nilai, norma, pengetahuan, benda cagar budaya, seni, adat istiadat
dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY.
Kewenangan keistimewaan dalam rangka penyelenggaraan tatakelola
pertanahan diwujudkan dengan Kasultanan dan Kadipaten ditetapkan sebagai
subyek hak yang mempunyai hak milik atas Sultan Grond (SG) dan Pakualaman
Grond (PAG).
Sebagai subyek hak, Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola
dan memanfaatkan Sultan Grond dan Pakualaman Grond untuk sebesar-
besarnya ditujukan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kebudayaan
dan kepentingan sosial.
Tanah SG-PAG yang sedang/masih dibebani Hak Guna Bangunan
dan/atau Hak Pakai diatasnya dari lembaga atau perseorangan yang
berkepentingan yang diperoleh berdasarkan surat kekancingan dari Kasultanan
dan kekancingan dari Kadipaten masih tetap sesuai dengan peruntukannya dan
status kepemilikan tetap berada pada Kasultanan dan Kadipaten. Sedangkan
selebihnya dari tanah SG-PAG dan tanah SG-PAG yang telah dilekati Hak
Eigendom yang sudah dikonversi menjadi Hak Milik serta tanah yang sudah
diatur dalam Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 baik
sudah atau belum dikonversi menjadi Hak Milik sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), adalah tanah Pemerintah
Daerah Istimewa Yogyakarta.
BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN
Pemerintahan Daerah Provinsi DIY terdiri atas DPR DIY sebagai badan
legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. Pemerintah Provinsi
terdiri atas Gubernur beserta perangkat pemerintah Provinsi lainnya. Pada
49
Kabupaten/Kota dibentuk DPRD Kabupaten dan DPRD Kota sebagai badan
legislatif serta Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif.
Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri atas Bupati/Walikota beserta perangkat
pemerintah Kabupaten/Kota lainnya. Pada Desa dibentuk Badan Musyawarah
Desa dan Pemerintah Desa atau dapat disebut dengan nama lain.
PEMERINTAHAN DIY
Pemerintah DIY dipimpin oleh seorang Gubernur sebagai Kepala
Pemerintah DIY dan dibantu oleh seorang Wakil Gubernur. Gubernur dalam
menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat daerah DIY. Gubernur
bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan Pemerintah DIY pada semua
sektor pemerintahan termasuk keistimewaan DIY, pelayanan masyarakat dan
ketenteraman serta ketertiban masyarakat.
Gubernur karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil
Pemerintah dalam kedudukan sebagai wakil Pemerintah, Gubernur
bertanggung jawab kepada Presiden.
Pemerintah kabupaten/kota dipimpin oleh seorang bupati/walikota
sebagai kepala pemerintah kabupaten/kota dan dibantu oleh seorang wakil
bupati/wakil walikota. Bupati/walikota dalam menjalankan tugasnya dibantu
oleh perangkat kabupaten/kota.
Bupati/walikota bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan
pemerintah kabupaten/kota di semua sektor pelayanan publik termasuk
ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
Pemerintah menetapkan dan mengukuhkan Sri Sultan Hamengku
Buwono dan Sri Paduka Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.
Mekanisme penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam
sebagai pemimpin budaya tertinggi di Kasultanan dan Sri Paduka Paku Alam
sebagai pemimpin budaya tertinggi di Kadipaten ditentukan sesuai dengan
ketentuan dan tata cara yang berlaku di lingkungan Kasultanan dan Kadipaten.
Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono belum memenuhi syarat sebagaimana
50
syarat umum seorang Kepala Daerah, maka yang menjalankan tugas Gubernur
adalah Wakil Gubernur sampai dikukuhkannya Sultan Hamengku Buwono.
Dalam hal Sri Paku Alam belum memenuhi syarat umum seorang Wakil Kepala
Daerah, maka jabatan Wakil Kepala Daerah tidak diisi sampai dikukuhkannya
Sri Paku Alam.
Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam belum
memenuhi syarat, atau berhalangan tetap secara bersama-sama maka
Presiden selaku Kepala Negara dengan persetujuan Kesultanan Yogyakarta dan
Kadipaten Pakualaman menunjuk Pelaksana Tugas Kepala Daerah, sampai
dikukuhkannya Gubernur dan Waki Gubernur.
Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono memangku jabatan sebagai
Pejabat Negara, maka jabatan Gubernur tetap melekat, sedang yang
menjalankan tugas Kepala Daerah adalah Wakil Gubernur. Dalam hal Sri Paku
Alam memangku jabatan sebagai Pejabat Negara, maka jabatan Wakil
Gubernur tetap melekat, sedang tugas Wakil Gubernur dijalankan sepenuhnya
oleh Kepala Daerah.
KASULTANAN DAN KADIPATEN
Kasultanan dan Kadipaten sebagai Lembaga Kebudayaan Daerah
berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan Pemerintahan DIY dan pemerintahan kabupaten/kota di
bidang kebudayaan, pertanahan, keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan
ketertiban masyarakat.
Pembinaan kehidupan kebudayaan dan adat istiadat DIY dilakukan
sesuai dengan perkembangan keistimewaan dan dilaksanakan oleh Kasultanan
dan Kadipaten.
Kasultanan mempunyai tugas dan wewenang menobatkan Sultan
Hamengku Buwono sebagai langkah suksesi didalam Kasultanan, mengatur
rumah tangga internal Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan mengurus
kewenangan keistimewaan bersama-sama Pemerintah Daerah.
51
Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang tersebut Kasultanan
mempunyai hak : memperoleh protokoler dan anggaran; dan melaksanakan
kerjasama dengan Kadipaten dan pemerintah daerah untuk pelaksanaan
kewenangan keistimewaan.
Kasultanan mempunyai kewajiban menjaga paugeran Kasultanan,
menjaga adat istiadat dan budaya Yogyakarta, dan menyiapkan calon
pemimpin budaya tertinggi dengan memperhatikan syarat-syarat seorang
kepala daerah.
Kadipaten mempunyai tugas dan wewenang menobatkan Sri Paku Alam
sebagai langkah suksesi didalam Kadipaten; mengatur rumah tangga internal
Kadipaten Paku; dan mengurus kewenangan keistimewaan bersama-sama
Kasultanan dan Pemerintah Daerah.
Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang tersebut Kadipaten
mempunyai hak memperoleh protokoler dan anggaran dan melaksanakan
kerjasama dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kewenangan
keistimewaan.
Kadipaten mempunyai kewajiban menjaga paugeran Kadipaten;
menjaga adat istiadat dan budaya Yogyakarta; dan menyiapkan calon
pemimpin budaya tertinggi dengan memperhatikan syarat-syarat seorang wakil
kepala daerah.
HAK KEUANGAN
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
bidang keuangan negara seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara; Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Peribangan Keuangan Pusat
dan Daerah berlaku di DIY kecuali yang diatur lain dalam Undang-Undang ini
52
dan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Istimewa
Yogyakarta sedankgan penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang
dilimpahkan pada Gubernur selaku Wakil Pemerintah dalam rangka
pelaksanaan tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pengecualian dalam pengelolaan keuangan terkait dengan pelaksanaan
kewenangan keistimewaan DIY ditetapkan sebesar 50 % (lima puluh per
seratus) dari hasil pajak yang dipungut Pemerintah di DIY. Dengan ketentuan
bahwa anggaran sebagaimana dimaksud diperuntukkan dan dikelola oleh
pemerintah daerah yang dipergunakan untuk pembiayaan kewenangan
keistimewaan.