52
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan politik bangsa Indonesia memang tidak dapat dipungkiri. Sejak kebangkitan nasional 20 Mei 1908 para elite-elite politik dan warga Yogyakarta memainkan peran penting bagi bangsa dan negara Indonesia. Menyadari akan pentingnya sebuah persatuan dan kesatuan dalam sebuah entitas dan identitas yang lebih luas lagi, pada proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pemimpin keraton Ngayogyakarto Hadiningrat dan Adipati Paku Alam VIII mengirimkan surat kawat kepada Ir. Soekarno yang menyatakan dengan tegas untuk berdiri mendukung sepenuhnya kemerdekaan Republik Indonesia. Dimana kemudian pada tanggal 19 Agustus 1945 Presiden Soekarno menerbitkan Piagam Kedudukan Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII yang intinya merupakan penegasan tentang status daan kedudukan keduanya sekaligus memberikan penegasan kepercayaan dari pemerintah pusat atas kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII di wilayah masing-masing. Menindak lanjuti piagam tersebut, pada tanggal 5 September 1945 secara sendiri-sendiri Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengeluarkan Maklumat yang dikenal dengan Maklumat 5 September 1945. Makna sangat mendalam dari pernyataan Maklumat ini menjadi sejarah besar berikutnya bagi eksistensi Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat dan Praja Pakualaman dalam konsentlasi politik dan ketatanegaraan nasional. Yogyakarta dengan nilai keistimewaannya terus berjalan seiring perjalanan bangsa ini. Perubahan iklim politik Indonesia sejak masa revolusi hingga reformasi tahun 1998 tetap menjadikan Yogyakarta sebagai sebuah daerah istimewa dengan kraton sebagai pusat kebudayaan. Demikian pula dengan peraturan perundang-

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

  • Upload
    letruc

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Peran Yogyakarta dalam pergulatan politik bangsa Indonesia memang tidak

dapat dipungkiri. Sejak kebangkitan nasional 20 Mei 1908 para elite-elite politik dan

warga Yogyakarta memainkan peran penting bagi bangsa dan negara Indonesia.

Menyadari akan pentingnya sebuah persatuan dan kesatuan dalam sebuah entitas

dan identitas yang lebih luas lagi, pada proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

tanggal 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pemimpin

keraton Ngayogyakarto Hadiningrat dan Adipati Paku Alam VIII mengirimkan surat

kawat kepada Ir. Soekarno yang menyatakan dengan tegas untuk berdiri

mendukung sepenuhnya kemerdekaan Republik Indonesia. Dimana kemudian pada

tanggal 19 Agustus 1945 Presiden Soekarno menerbitkan Piagam Kedudukan Sultan

Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII yang intinya merupakan

penegasan tentang status daan kedudukan keduanya sekaligus memberikan

penegasan kepercayaan dari pemerintah pusat atas kepemimpinan Sultan

Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII di wilayah masing-masing.

Menindak lanjuti piagam tersebut, pada tanggal 5 September 1945 secara

sendiri-sendiri Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII

mengeluarkan Maklumat yang dikenal dengan Maklumat 5 September 1945. Makna

sangat mendalam dari pernyataan Maklumat ini menjadi sejarah besar berikutnya

bagi eksistensi Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat dan Praja Pakualaman dalam

konsentlasi politik dan ketatanegaraan nasional.

Yogyakarta dengan nilai keistimewaannya terus berjalan seiring perjalanan

bangsa ini. Perubahan iklim politik Indonesia sejak masa revolusi hingga reformasi

tahun 1998 tetap menjadikan Yogyakarta sebagai sebuah daerah istimewa dengan

kraton sebagai pusat kebudayaan. Demikian pula dengan peraturan perundang-

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

2

undangan yang mendasarinya telah mengalami setidaknya 3 (tiga) kali perubahan

sejak pertama kali diundangankan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950

tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Persoalan mendesak yang dihadapi masyarakat Yogyakarta saat ini adalah

instrumen hukum yang legitimit untuk memaknai Keistimewaan Yogyakarta

khususnya terkait persoalan pengisian Gubernur dan Wakil Gubernur. Undang-

Undang Nomor 3 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta

menimbulkan masalah setelah adanya perubahan (amandemen) UUD 1945 dan

berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(terkait pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur).

Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan pasca reformasi telah

kehilangan daya responsifnya terhadap realitas sosial politik baik di tingkat lokal

maupun nasional. Tuntutan reformasi dan demokratisasi menginginkan adanya

pemilihan secara langsung untuk jabatan Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota

berimbas pada proses pengsisian Gubernur dan Wakil Gubernur di Yogyakarta.

Dalam orasi budaya yang berjudul ‟Mengabdi Untuk Pertiwi”, 7 April 2007, Sri

Sultan Hamengku Buwono X, menegaskan bahwa dirinya tidak bersedia dicalonkan

kembali menjadi Gubernur Yogyakarta. Beliau juga menitipkan masyarakat

Yogyakarta kepada Gubernur terpilih pasca 2008. Pernyataan Sri Sultan ini

menimbulkan tantangan sekaligus peluang yang tidak mudah bagi masyarakat

Yogyakarta.

Pro-kontra di sekitar pernyataan dan sikap Sri Sultan tersebut mengundang

reaksi dan interpretasi, baik dalam masyarakat Yogyakarta maupun di tingkat

nasional.

Kelompok pertama, sebagian besar masyarakat kampus dan terpelajar

lainnya memaknai sikap Sri Sultan sebagai bukti keberpihakan terhadap nilai-nilai

modernitas dan demokrasi. Pernyataan tersebut secara sosiologis dan politis

mendapatkan dukungan kuat masyarakat. Terbukanya pintu gerbang penerapan

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

3

nilai-nilai demokrasi dalam pengisian posisi kepala daerah sesuai dengan UUD 1945

hasil amandemen akan lebih luas tumbuh dan berkembang. 1

Sebaliknya, nilai-nilai tradisional yang tidak sesuai dengan sistem hukum dan

politik era reformasi juga akan semakin termarjinalkan. Pernyataan Sri Sultan HB X

tersebut tidak dapat di tarik kembali, atau final mengingat Sabdo Pandhito Ratu ora

keno wola wali. Sehingga sekali diucapkan akan menjadi titah atau hukum yang

mengikat kawulo masyarakat Yogyakarta.2 Tidak menapikan jika pernyataan Sri

Sultan ini dapat dipandang oleh sebagian masyarakat sebagai rekasi atas sikap

pembiaran pemerintah pusat.

Kelompok kedua, sebagian pakar hukum, aparat pemerintah dan juga

sebagian masyarakat dengan pendekatan normatif atau legal formal, menanggapi

pernyataan Sri Sultan dalam posisi yang berbeda. Esensi UU No 3 Tahun 1950 yang

menegaskan bahwa Sri Sultan sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai Wakil

Gubernur sebagai ciri keistimewaan bersifat given dimaknai ”mutlak”. Karena itu,

secara legal formal pernyataan Sri Sultan atau Sabdo Pandhito Ratu dapat diubah.

Jika pernyataan Sri Sultan tersebut mutlak dan tidak dapat berubah, adalah

bertentangan dengan prinsip kedaulatan di tangan rakyat (Solus Populi Suprima

Lex). Sikap kolektif masyarakat Yogyakarta, yang digelar melalui acara Pisowanan

Agung beberapa waktu lalu tampaknya dipandang berkesesuaian dengan asas

kedaulatan rakyat. Karena itu, agar keistimewaan DIY tetap lestari maka Sri Sultan

HB X dan Paku Alam IX semestinya otomatis menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur

DIY sebagaimana dijamin oleh Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.

Kelompok ketiga, sebagian politisi di daerah dan pusat memaknai

pernyataan dan sikap Sri Sultan HB X sebagai manuver politik. Suatu pernyataan

yang dapat ditafsirkan beraneka ragam. Pernyataan Sri Sultan HB X tidak bersedia

lagi menjadi Gubernur DIY ditafsirkan sebagai upaya terselubung untuk mencari

1. Beberapa penulis, seperti AAG Dwipayana, Jawahir Thontowi dan juga Lembang Triyono. 2. Pengakuan titah raja sebagai hukum berlaku dalam sistem hukum adat di Indonesia.

Pemberlakuan hak-hak masyarakat pribumi, ratifikasi UU tentang Indigineous People Rights. Dilihat pandangan Romo Tirun (KR).

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

4

legitimasi politik. Apakah Sri Sultan masih mendapatkan dukungan masyarakat

Yogyakarta apa tidak. Selain itu, ada pula yang menafsirkan bahwa pernyataan Sri

Sultan untuk tidak bersedia lagi menjadi Gubernur DIY karena adanya peluang

kepemimpinan nasional di Jakarta yang ditawarkan elit-elit partai politik. Tudingan

tersebut di atas, selain lebih bernuansa rumor politik dan bukan fakta, juga ditolak

berulang kali oleh Sri Sultan HB X.3 Apalagi dalam konteks orasi politik tersebut, Sri

Sultan - Paduka Paku Alam tidak dilibatkan. Namun, tudingan tersebut telah ditepis

Paku Alam dengan mengatakan dirinya turut Ngarso dalem Sri Sultan HB X.

Terlepas dari pro-kotra mekanisme suksesi kepemimpinan di Yogyakarta,

pelestarian Keistimewaan tidak saja menjadi keniscayaan sejarah dan konstitusi,

melainkan merupakan fakta politis yang tak mudah dihapuskan oleh kondisi zaman

yang berubah. Adapun beberapa alasannya sebagai berikut. Pertama, fakta sejarah

menunjukan bahwa Yogyakarta dalam perjanjian Gianti 1755 sebagai ”negara

berdaulat” dengan wilayah territorial dan penduduk yang jelas. Status negara atau

negeri tersebut diperkuat oleh dokumen sejarah seperti dalam Kontrak Politik antara

Sri Sultan HB IX dengan Adam Lucean 1940, dan Perjanjian dengan pemerintahan

Dai Nippon Jepang tahun 1942. Asal usul Keistimewaan Yogyakarta sebagaimana

tercatat dalam tiga dokumen tersebut antara lain dapat dirunut dari pengakuan atas

gelar keagamaan bagi Sri Sultan Hamengku Buwono Ingalogo Khalifatullah

Sayyidin Panotogomo. Adanya hak prioritas pemerintah Belanda terhadap

Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualam. Adanya hak prioritas didasarkan pada hak

asal-usul keturunan anak laki-laki dari isteri raja untuk dapat mengganti dan

menduduki jabatan kepala daerah. Terakhir, hubungan kekuasaan antara Sri

Sultan dengan kekuasaan pemerintahan adalah langsung kepada Gubernur

General di Jakarta.

Kedua, keberadaan keistimewaan Yogyakarta terus terpatri kuat setelah

Indonesia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Secara sosio-

politis, Maklumat Sri Sultan HB IX tertanggal 5 September 1945 yang menujukan

3. Lihat Beberapa Pernyataan Sri Sultan di harian Kompas, Kedaulatan Rakyat, dan Bernas.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

5

adanya sikap tulus, jiwa pengorbanan, dan tanpa pamrih untuk bergabung menjadi

bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap tersebut dikukuhkan oleh

Surat Presiden RI pertama, yang meneguhkan kedudukan Sri Sultan HB IX, sebagai

Gubernur dan Sri Paduka Paku Alam, sebagai Wakil Gubernur Yogyakarta.

Bukti sejarah dan nilai filosofis Keistimewaan juga dibuktikan melalui fungsi

Kesultanan sebagai pemelihara (Hamangku), pemersatu (Hamengku) pelindung

atau pengayom (Hamengkoni) dalam menyelamatkan NKRI dari ancaman agresi

Belanda 1946 hingga 1949. Perpindahan ibu kota Negara RI dari Jakarta ke

Yogyakarta menujukan bukti bahwa Sri Sultan HB IX tidak saja telah menjadi

penyelamat dan pelindung NKRI. Tetapi, juga DIY merupakan satu-satunya tempat

autentik NKRI karena pemberlakuan UUD 1945 di DIY tidak menerima kehadiran

negara federalis, bentukan pemerintahan Belanda.

Secara sosio-politik, dokumen yang mengakui keberadaan Yogyakarta sebagai

daerah Istimewa tersebut ditandai oleh adanya dualisme kepemimpinan di

Yogyakarta. Di satu pihak, keberadaan Sri Sultan HB dan Sri Paduka Paku Alam

sebagai sistem kepemimpinan kerajaan atau pemimpin komunitas adat dengan

Kraton dan Puro Paku Alaman adalah tempat dimana kekuasaannya berada di

tanah Jawi, didukung masyarakatnya (Kawulo Ngayogyakarto Hadiningrat),

dengan pemberlakuan sistem hukum adat (Pepakem Ndalem), yang sejak dulu

sampai sekarang masih berlaku effektif. Di pihak lain, dalam waktu yang sama, Sri

Sultan HB IX sebagai Gubernur dan Sri Paduka Paku Alam sebagai Wakil Gubernur

untuk menjalankan roda pemerintahan dan birokrasi modern.

Ketiga, keberadaan Keistimewaan Yogyakarta menjadi sangat kuat untuk

dilestarikan oleh karena alasan juridis konstitusional adalah kesadaran the

Founding Fathers untuk memberikan dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-

undangan lainnya. Sebagai sumber hukum tertinggi, Pasal 18 UUD 1945, dan juga

Pasal 18B (UUD 1945 hasil amandemen), ... dengan menghormati hak-hak

asal-usul daerah yang bersifat istimewa. Secara semangat zaman, jaminan

Keistimewaan dalam UUD 1945 diberikan bukan merupakan bentuk hutang budi

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

6

politik atau kompensasi atas penggabungan dirinya pada NKRI, melainkan murni

pengakuan dan penghormatan yang obyektif dan autentik.

Pernyataan Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII terjadi setelah pengesyahan

UUD 1945 oleh PPKI, tanggal 18 Agustus 1945. Jaminan Keistimewaan secara

berkesinambungan diatur dalam berbagai peraturan perundangan secara konsisten,

baik pada masa Orde Lama, pemerintahan Orde Baru, dan juga Orde Reformasi.

Pengaturan Keistimewaan berada pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948

tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang

Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 tentang Pemerintahan

Daerah, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tetang Pemerintahan di Daerah,

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dari ketiga argumentasi di atas, tidaklah berlebihan bila pengakuan

Keistimewaan hanyalah diberlakukan di Provinsi DIY. Kedudukan akan status

Keistimewaan DIY hanya satu-satunya dalam NKRI tidak saja merupakan

keniscayaan sejarah, dan konstitutusi, melainkan juga fakta sosiologis yang sampai

sekarang masih didukung oleh masyarakat Yogyakarta khususnya, dan pada

umumnya masyarakat Indonesia.

Adanya kehendak untuk mereorientasi dan menguatkan keistimewaan di

Yogyakarta didukung pula oleh beberapa alasan yang cukup signifikan.4 Setelah

melakukan kajian kritis terhadap keberadaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950

ditemukan beberapa persoalan utama yang dikaji dari parameter Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY tersebut tidak lagi

memenuhi persyaratan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang semula

dipandang sebagai instrumen hukum yang legimit, justru pada masa pemerintahan

era reformasi mulai menimbulkan persoalan yang tidak mudah diperoleh solusinya.

4 Sarasehan tentang Budaya Adiluhung Yogyakarta Hadiningrat yang diselenggarakan oleh

DPD RI, Minggu 24 April 2007 di Hotel Mercure Yogyakarta.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

7

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembetukan DIY secara

muatan materi menyerupai konstitusi karena terlalu pendek dan sederhana. Muatan

materinya hanya terdiri dari 3 Bab dan 7 Pasal dan beberapa (ayat) yang mengatur

urusan-urusan pangkal. Sehingga banyak masalah terkait dengan keistimewaan

tidak dapat terjawab. Disatu sisi lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

telah menjadi pedoman yang seharusnya dipatuhi oleh semuai UU yang akan

dilakukan penyempurnaan. Semestinya, UU mengatur satu obyek utama, terkait

dengan hukum publik atau privat dengan cakupan yang luas, rinci dan juga

peraturan tersebut dapat diterapkan. Dahlan Thaib menegaskan bahwa

keistimewaan tersebut saat ini memiliki bentuk akan tapi tidak mempunyai isi alias

kosong.5

Reaksi keistimewaan yang berlebihan semestinya perlu dicegah sebagaimana

pula tuntutan keistimewaan tidak perlu diperjuangkan ke pusat dengan pola

mengemis.6 Upaya yang belum kunjung datang tersebut menimbulkan kecemasan

bagi masyarakat Yogyakarta. Kecemasan tersebut bukan tanpa alasan, sebab

Pemerintah Pusat, DPR RI, dan DPD RI telah dengan antusias mengesahkan UU

pemerintahan khusus untuk Provinsi Aceh dengan Papua. Sementara RUUK

Yogyakarta baik secara konseptual maupun strategis operasional belum terlihat

ujung pangkalnya. Akankah keistimewaan Yogyakarta sirna seiring selesainya masa

bakti Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY

tahun 2011..?

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Untuk sampai kepada pemahaman yang komprehensif tentang keistimewaan

Yogyakarta, perlu diajukan suatu rumusan masalah yang fundamental, sehingga

semua wacana yang timbul dapat menjadi bahan pertimbangan yang logis, obyektif

5 Dahlan Thaib, Keistimewaan DIY Perspektif Hukum Tata Negara. Disampaikan dalam

Sarasehan Format keistimewaan Yogyakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan RI dan diselenggarakan di UGM Kagama, April 2007.

6 Lihat “Perjuangan Keistimewaan DIY Jangan Dengan Meminta-Minta, KR tgl 13 Mei 2007. Hlm. 1.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

8

dan berkesesuaian dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM sebagaimana diatur dalam

UUD 1945. Penyusunan Naskah Akademik ini mencoba untuk menjawab 3 (tiga)

pertanyaan besar yaitu:

1. Apa Saja Pilar-Pilar Keistimewaan Yogyakarta.

2. Bagaimana Status Keistimewaan Yogyakarta Dalam Konteks Kekinian.

3. Sejauhmana urgensi pengaturan RUU Keistimewaan Yogyakarta dalam sistem

hukum nasional.

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN

1. Tujuan penyusunan Naskah Akademik ini adalah untuk menjadi landasan

ilmiah bagi penyusunan RUU Keistimewaan Yogyakarta.

2. Penyusunan Naskah Akademik ini diharapkan dapat berguna sebagi masukan

bagi para pembentuk undang-undang serta dapat menjadi dokumen resmi

landasan pembentukan RUU Keistimewaan Yogyakarta.

D. METODE PENELITIAN

Metode yuridis – empiris digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik ini

mengingat selain kajian melalui hukum positif (perundang-undangan yang berlaku)

dan teori-teori dari sarjana hukum, penyusunan Naskah Akademik ini

mengikutsertakan pula publik Yogyakarta sebagai bentuk partisipasi publik dalam

merumuskan kebijakan sebagaimana dikenal dalam negara demokrasi modern.

Beberapa rangkaian kegiatan tersebut antara lain: Rapat Kerja dengan

perwakilan Pemerintah/Menteri-Menteri terkait, Rapat Dengar Pendapa/Rapat

Dengar Pendapat Umum dengan pakar dan akademisi, serta kunjungan kerja dalam

rangka penyerapan aspirasi masyarakat khususnya masyarakat Yogyakarta.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

9

BAB II

ASAS-ASAS DALAM

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Asas hukum merupakan tiang utama bagi pembentukan peraturan

perundang-undangan. Asas adalah suatu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum

sebagai basic truth, sebab melalui asas hukum pertimbangan etis dan sosial

msyarakat masuk ke dalam hukum dan menjadi sumber menghidupi nilai-nilai etis,

moral, dan sosial masyarakatnya.7

Dengan demikian, penggunaan asas hukum dalam penyusunan RUU ini

dimaksudkan untuk menjadi dasar dan arah penyusunan RUU agar sesuai dengan

asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik. Sesuai dengan ketentuan

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan maka asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan

yang baik meliputi:

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedayagunaan dan kehsilgunaan;

f. Kejelasan rumusan; dan

g. Keterbukaan.

Hal utama yang harus dibedakan terlebih dahulu adalah perbedaan antara

asas hukum (rechtbeginsel) dan norma hukum (rechtnorm). Hal ini ditujukan agar

7 Soimin, SH,M.Hum, “ Pembentukan Perundang-undangan Negara di Indonesia”, UII Press,

Yogyakarta, 2009, hlm. 29.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

10

kita mendapatkan gambaran secara jelas dalam merumuskan istilah norma sebagai

“norma” dengan asas sebagai “dasar”. Paul Scholten menyatakan bahwa sebuah

asas hukum bukanlah sebuah aturan hukum.8 Penerapan asas hukum secara

langsung melalui jalan pengelompokkan sebagai aturan tidaklah mungkin, karena

untuk itu terlebih dahulu perlu dibentuk isi yang lebih konkret. Selanjutnya Scholten

menjelaskan bahwa tugas ilmu hukumlah yang akan mencari dan menelusuri asas

hukum itu dalam hukum positif.

Norma hukum berbeda dengan asas hukum pada sifatnya yang mengatur.

Norma adalah aturan, pola, atau standar yang perlu diikuti. Fungsi norma menurut

Hans Kelsen adalah memerintah, melarang, menguasakan, memperbolehkan, dan

menyimpang dari ketentuan.9 Sehubungan dengan sifat dan fungsinya yang berbeda

tersebut, asas hukum dan norma hukum memberikan pengaruh yang berlainan

terhadpa perundang-undangan. Dalam suatu sistem norma hukum dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan misalnya harus sejalan dan searah

dengan norma fundamental.10

Dengan demikian, pembentukan norma hukum yang berada dalam suatu

sistem hukum yang utuh maka akan medesak fungsi asas hukum untuk lebih ke

belakang meskipun tidak hilang sama sekali. Lain halnya pada pembentukan norma

hukum yang berada dalam lingkup kebijakan yang tidak terikat. Di sana asas hukum

menjadi penting dalam memberikan bimbingan dan pedoman pada pembentukan

norma hukum tersebut.

Menurut Amiroedin Syarif asas hukum adalah dasar-dasar yang menjadi

sumber pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum dari masyarakat.11 Sementara

Sudikno Mertokusumo menyadur pendapat Bellfroid menyatakan bahwa asas hukum

(umum) adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan oleh llmu

8. Ibid, hlm. 30. 9. Adam Dambi, “Ajaran Hukum Hans Kelsen Ditinjau Dalam Perspektif Hukum Tata

Negara Indonesia”, dalam Jurnal Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm. 6-9. 10. Ibid. 11. Amiroeddin Sjarif, “Perundang-undangan: Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatnya,” Rineka

Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 8.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

11

hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum, dimana asas

hukum (umum) ini merupakan pengendapan hukum posistif dalam suatu

masyarakat. Sedangkan Van Eikema Hommes mengatakan, bahwa asas hukum itu

tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkret, akan tetapi perlu

dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang

berlaku.12

Dalam pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum

tersebut. Dengan kata lain, asas hukum adalah dasar-dasar atau petunjuk arah

dalam pembentukan hukum positif. Dari beberapa pendapat itu Sudikno

Mertokusumo berkesimpulan, bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkret

melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar

belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan

yang merupakan hukum positif.13

Berdasarkan hal tersebut, Hamid S. Attamini yang pandangannya berdasarkan

asas-asas hukum yang dikembangkan Van der Vlies membagi asas-asas hukum

tersebut menjadi dua, yaitu asas hukum formal dan asas hukum material.14 Asas

formal berhubungan dengan ”bagaimananya” suatu peraturan, sedangkan yang

menyangkut tentang asas hukum material, disebutkan bahwa adanya asas materiil

yang berhubungan dengan “apanya” suatu peraturan.15

Pemikiran tersebut didasarkan kepada pandangan Van der Vlies yang

mengikuti pendapat dari Konijnenbelt dimana dalam membicarakan penetapan

(beschikking) pada hukum administrasi negara maka Konijnenbelt membagi asas-

asas yang bersangkutan ke dalam yang formal dan material. Termasuk dalam yang

formal adalah asas yang berhubungan dengan motivasi dan susunan keputusan.

Termasuk ke dalam yang material adalah asas yang berhubungan dengan isi

keputusan.16

12. Sudikno Mertokusumo, “Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar”, Leberty, Yogyakarta,

1991, hlm. 5. 13. Ibid. Hlm. 5. 14. A. Hamid S. Attamini, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisa Mengenai Keputusan Presdien Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Disertasi UI, Jakarta, 1990, hlm. 302. 15 Ibid. Hlm. 335-336. 16

Ibid.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

12

Berdasarkan hal tersebut, Van der Vlies mengemukakan saran terhadap asas-

asas formal dan material bagi pembentukan perundang-undangan. Asas-asas formal

yang diajukan oleh Van der Vlies adalah sebagai berikut:

1. asas tujuan yang jelas; asas ini mencakup tiga hal yaitu mengenai ketepatan

letak peraturan perundnag-undangan yang akan dibentuk, kerangka

kebijakan umum pemerintahan, tujuan khusus peraturan perundang-

undangan yang akan dibentuk dan tujuan bagian-bagian peraturan

perundang-undangan yang akan dibentuk tersebut.

2. asas Organ/Lembaga Yang Tepat; asas ini memberikan penegasan tentang

perlunya kejelasan kewenangan organ-organ/lembaga-lembaga yang

menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

3. asas Perlunya pengaturan; asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternatif

atau alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan suatu masalah

pemerintahan selain dengan membentuk peraturan perundang-undangan.

4. asas dapat dilaksanakan; asas ini dinilai orang sebagai usaha untuk dapat

ditegakkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Sebab

tidak ada gunanya suatu peraturan perundang-undangan yang tidak dapat

ditegakkan.

5. asas konsensus; asas ini menunjukkan adanya kesepakatan rakyat dengan

pemerintah untuk melaksanakan kewajiban dan menanggung akibat yang

ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Sedangkan asas-asas material dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

adalah sebagai berikut:

1. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar; asas ini adalah agar

peraturan perundang-undangan dapat dimengerti oleh masyarakat dan

rakyat, baik mengenai kata-katanya maupun mengenai struktur atau

susunannya.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

13

2. asas tentang dapat dikenali; asas ini menekankan apabila sebuah peraturan

perundang-undangan tidak dikenali dan diketahui oleh setiap orang lebih-

lebih yang berkepentingan maka ia akan kehilangan tujuannya sebagai

peraturan.

3. asas perlakuan yang sama dalam hukum; asas ini menunjukkan tidak boleh

ada peraturan perundang-undangan yang hanya ditujukan kepada

sekelompok orang tertentu, karena hal ini akan mengakibatkan adanya

ketidaksamaan dan kesewenangan-wenangan di depan hukum terhadap

anggota-anggota masyarakat.

4. asas kepastian hukum; asas ini merupakan salah satu sendi asas umum

negara berdasarkan atas hukum.

5. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual;asas ini bermaksud

memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-hal atau keadaan-keadaan

tertentu sehingga dengan demikian peratruan perundang-undangan dapat

memberikan jalan keluar selain bagi masalah-masalah umum juga masalah-

masalah khusus.

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peratuan Perundang-Undangan telah menetapkan asas-asas pembuatan peraturan

perundang-undangan menyebutkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik sebagaimana disampaikan di atas. Selain asas-asas tersebut

yang memang harus dimuat di dalam pembuatan peraturan perundang-undanan

yang bersifat inheren secara teknis pembuatan. Namun demikian, suatu peraturan

perundang-undangan harus eksplisit memuat asas-asas yang lain, selain yang sudah

disebutkan di dalam asas-asas formal dan material yang harus implisit di dalam

pembuatan peraturan perundang-undangan.

Asas-asas yang dimaksud dalam pembuatan peraturan perundang-undangan

yang bersifat eksplisit karena memang asas-asas itu merupakan “asas hukum” yang

biasa memberikan pedoman dan pengertian di dalam peraturan perundang-

undangan. Untuk menyebutkan asas tersebut terdapat beberapa pendapat

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

14

diantaranya disampaikan oleh Amiroeddin Sjarif17 dengan menyebutkan asas

perundang-undangan sebagai berikut:

1. asas berdasarkan tingkat hirarki;

2. undang-undang yang tidak dapat diganggu gugat;

3. undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang

bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis);

4. undang-undang tidak berlaku surut (retroaktif);

5. undang-undang yang baru menyampingkan undang-undang yang lama (lex

posterior derigate lex priori).

Sementara itu, Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menyebutkan

asas perundang-undangan meliputi:

1. undang-undang tidak berlaku surut (retroaktif);

2. undang-undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggu, memperoleh

kedudukan yang lebih tinggi pula;

3. undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang

bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis);

a. undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-

undang yang berlaku terdahuku (lex posterior derigate lex priori);

b. undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat

mencapai kesejahteraan spriritual dan material bagi masyarakat

maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian

(welvaarstaat).

Berdasarkan asas-asas di atas maka penyusunan RUU DIY yang akan disusun dan

diundangkan berkesesuaian dengan asas-asas tersebut.

17 Amiroeddin Sjarif, “Perundang-undangan: Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatanya”,

Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 78-84.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

15

BAB III

MATERI MUATAN RUU KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA

DAN KETERKAITANNYA DENGAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Di dalam Bab III ini berisi materi muatan yang akan diatur dalam Rancangan

Undang-Undang tentang Daerah Istimewa Yogyakarta dan kajian/analisis keterkaitan

materi dimaksud dengan hukum positif, sehingga RUU diharapkan tidak tumpang

tindih dengan hukum positif.

A. KAJIAN/ANALISIS KETERKAITAN DENGAN SISTEM HUKUM DI

INDONESIA

Pembentukan RUU tentang DIY ini terkait dan tidak bertentangan dengan

hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:

A.1. Keterkaitan dengan UUD NRI 1945

Atribut pemerintahan daerah secara khusus dan istimewa bukan sesuatu

yang baru, melainkan telah dirmuskan eksistensinya dalam UUD 1945. Suasana

kebatinan dibalik makna dan fungsi keistimewaan dapat mendorong perlunya

kajian komprehensif. Dalam Pasal 18B, baik ayat (1) dan ayat (2) dengan

tegas diakui adanya daerah yang memiliki otonomi khusus dan otonomi yang

istimewa tersebut. Misalnya dalam Pasal 18 B, UUD 1945 dinyatakan sebagai

berikut:

(1) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan pemerintah

daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan

undang undang.

(2). Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam undang undang.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

16

Kedua ayat dari Pasal 18 B UUD 1945 tersebut mengandung norma-

norma imperatif yaitu norma perintah sebagai kewajiban bagi negara untuk

melindunginya. Di Pihak lain, bagi daerah menimbulkan hak-hak yang wajib

dilindungi. Terhadap Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945 negara wajib melindungi

dan menjamin hak-hak konstitusional daerah untuk menegaskan kekhususan

atau keistimewaan. Selain itu, negara mengatur melalu instrumen hukum baik

dalam arti adanya peraturan UU untuk mengatur tentang syarat-syarat,

mekanisme, prosedur dan pembentukan daerah khusus dan istimewa.

Sedangkan dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 kewajiban negara

untuk melindungi hak-hak tradisional masyarkat hukum adat yang didalamnya

terkait dengan material hak ulayat, hutan adat, termasuk hak kolektif atas

sungai dan laut, juga hak-hak immaterial seperti bahasa daerah, seni tari,

menyanyi dan hak cipta. Secara faktual pengabaian negara atas kewajiban

tersebut berakibat status dan keberadaan masyarakat hukum adat

tersudutkan. Karena tiadanya penjelasan atas istilah keistimewaan tersebut,

maka perlu dicari makna dan fungsinya dari pendekatan kebahasaan dan

pandangan para pakar HTN. Model pemahaman ini diharapkan bahwa, istilah

keistimewaan dalam arti dan makna kebahasaan dapat digunakan sebagai cara

memahami apa yang tersirat dan tersurat dalam Pasal 18B UUD 1945.

Pertama, dalam pendekatan bahasa (Linguistic Approach) keistimewaan

mengandung unsur-unsur yang memberikan kepastian hukum. Dalam kamus

berbahasa Inggris, istilah istimewa sama artinya dengan privilege, something

special one is allowed to have, sesuatu yang paling khusus yang diperbolehkan,

atau privileged (adjecive),18 having or enjoying one or more privilieges

(keistimewaan). Dengan kata lain, keistimewaan merupakan sesuatu yang

sangat khusus, dan keadannya berbeda dari yang lain, dan wujud perbedaan

tersebut diakui keberadaaannya. Dalam Law‟s Dictionary, Privilege That which

is granted or allowed to any person, or any class persons, either against or

18 Lihat secara cermat rumusan istilah privileges, dalam Webster’s New Enciclopedic Dictionary.

BD&L New York, 1993: hlm. 803. Dalam Mozley and Whiteleys‟s Law Dictionary by John B Saunders, menjadi sangat tegas istilah privilege sebagai keistimewaan. London. Nutterworth. 1977. Hal 255. Baca pula W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta. PT Balai Pustaka. hlm. 455.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

17

beyond the course of ordinary law. Keistimewaan adalah sesuatu jaminan yang

diberikan pada seseorang atau sekelompok masyarakat, apakah ia

bertentangan atau berkesesuaian dengan peraturan hukum yang menjadi

kelaziman. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, istimewa adalah yang khas, atau

untuk suatu maksud tertentu, atau sesuatu yang lain dan luar biasa.19

Sebagai perbandingan, dalam bahasa Arab, istilah keistimewaan

diterjemahkan sebagai khoriqul „adat, di luar kebiasaan suatu peristiwa yang

sangat luar biasa dan menakjubkan, seperti halnya peristiwa mukjizat.

Misalnya, Allah SWT. mengizinkan Nabi Muhammad untuk melakukan

perjalanan dari Mekkah ke Palestina, melakukan Isra mi‟raj menuju langit

ketujuh di Sidratul Muthaha. Peristiwa yang terjadi pada diri Nabi Muhammad

tersebut bukan saja tidak dipercayai, melainkan juga karena tidak dijumpai

dalam kaidah-kaidah akal sehat biasa, common sense. Bagi mereka yang tidak

percaya atas kejadian tersebut tidaklah menafikan bahwa peristiwa luar biasa

itu tidak ada. Sedangkan mereka yang percaya akan peristiwa tersebut

didasarkan pada aspek keimanan yang tidak menuntut adanya pembuktian.

Karena itu, bilamana keistimewaan dipahami sebagai sesuatu yang luar

biasa, keadaan yang terjadi hanya satu kali dan tidak ada perbandingannya

tergantung pada argumentasi yang diperlukan. Bilamana istilah keistimewaan

dalam pendekatan kebahasaan dapat ditegaskan sebagai sesuatu keadaan

yang luar biasa, unik dan tiada bandingannya, maka pemaknaan secara bahasa

ini juga harus sesuai dengan pandangan para ahli HTN. Keistimewaan

merupakan suatu pernyataan yang menegaskan sesuatu keadaan yang sangat

khusus, unik, atau satu-satunya atau tiada bandingan merupakan sesuatu

kondisi yang luar biasa, sehingga tidak dijumpai pada tingkat penalaran yang

umum.

Kedua, pandangan para ahli Hukum Tata Negara terhadap Pasal 18B

UUD 1945 yang kemudian dikaitkan dengan makna dan fungsi bahasa yang

konsisten. Bagaimana para ahli HTN memandang persoalan kekhususan dan

19 Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta. PT Balai Pustaka.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

18

keistimwaan sebagaimana tertera dalam Pasal 18 dan 18B ayat (1) dan ayat

(2), UUD 1945. Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD sepakat bahwa ketentuan

pasal Pasal 18 ayat (1) tidak mengurangi makna otonomi daerah yang dijamin

dalam Pasal 18 ayat (2) sampai dengan ayat (7) dan Pasal 18 A serta Pasal

18B UUD 1945.

Prinsip otonomi daerah yang diadopsikan tetap menjamin pluralisme

antara daerah dan tuntutan keprakarsaan dari bawah atau dari tiap-tiap daerah

untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan. Pengaturan yang

memberikan status otonomi khusus kepada Irian Jaya yang kemudian berubah

menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam mencerminkan bahwa di bawah konsep Negara

Kesatuan Republik Indonesia tetap dimungkinkan dengan adanya pola-pola

pengaturan yang bersifat pluralis seperti terhadap Aceh dan Papua.20

Seiring dengan itu, Mahfudz MD menyatakan bahwa pasal 18 B ayat (1)

dan ayat (2) UUD 1945 terkait dengan hukum pemerintahan daerah yang

memungkinkan adanya daerah istimewa dengan prinsip demokrasi di Indoensia

yang dituangkan di dalam Naskah Akademik agar orang-orang di legislatif yang

tidak semuanya mengerti, dipaksa menghayati tentnag DIY agar bisa

memahami dan menerima. Hanya saja yang harus diantisipasi adalah

kemungkinan dimintakan uji materi (judicial reviwe) ke Mahkamah Konstitusti

oleh mereka yang mempunyai legal standing.21

Senada dengan itu, Jimly Asshiddiqie menguatkan bahwa Pasal 18B UUD

1945, dimungkinkan dilakukannya pengaturan-pengaturan yang bersifat

federalistik dalam hubungan antara pemerntah pusat dengan pemerintah

daerah. Dalam dinamika hubungan antara pusat dan daerah itu, dimungkinkan

pula dikembangkan kebijakan otonomi yang bersifat pluralis. Dalam arti bahwa

setiap daerah dapat diterapkan pola otonomi yang berbeda-beda.

Keberagaman pola hubungan itu telah dibuktikan dengan diterimanya prinsip

20 Lihat lebih jauh penjelaasan Jimly Asshiddiqie, dalam Konstitusi dan konstitualisme di

Indonesia. Jakarta Penerbit Konsititusi Press. 2005, hlm. 284. 21 Moch. Mahfud MD, Menyongsong RUUK DIY Mencermati Aspek Substansi”/ Kedaulatan

Rakyat, 12 Februari 2007

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

19

otonomi khusus Provinsi NAD dan Provinsi Papua yang keduanya memiliki

format kelembagaan pemerintahan yang berbeda dari pemerintahan daerah

lain pada umumnya.22 Disamping itu, Pasal 18B ayat (1) disebutkan pula

adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau

istimewa. Beberapa contoh pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau

istimewa itu adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Otonomi Khusus

Nanggroe Aceh Darussalam dan Daerah Otonomi Khusus Papua.23

Secara tegas Dahlan Thaib menyatakan bahwa kalau dirunut secara

konstitusi seperti Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 berbunyi negara meyakini dan

menghormati sebuah satuan pemerintahan darerah yang bersifat khusus atau

bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Disini konstitusi

mengakui adanya daerah khusus dan daerah istimewa, disamping daerah

otonom lainnya setelah memberikan amanat kepada DPR RI dan pemerintah

untuk membentuk UU yang mengatur daerah khusus dan daerah istimewa.

Selanjutnya Dahlan Thaib menyebutkan bahwa daerah khusus dan daerah

istimewa adalah anak kembar negara yang telah ditegasakan dalam konstitusi,

karenanya harus diperlakukan secara adil.

Aceh yang namanya saat ini Daerah Khusus Aceh telah mendapatkan

kepastian hukum berupa ditetapkannya UU No. 11 tahun 2006 yang

didalamnya mengatur hak-hak pemerintah Daerah Aceh. Lebih dari itu, mereka

mendapatkan dana tambahan. Demikian pula halnya Provinsi Papua juga telah

mendapatkan status daerah khusus sebagaimana ditegaskan dengan UU No.

21 tahun 2000. Demikian pula halnya UU No. 29 tahun 2007 tentang DKI

Jakarta yang telah ditetapkan.24

Pandangan tersebut juga ditegaskan dalam suatu diskusi informal

dengan penulis bahwa Keistimewaan di Yogyakarta bukan saja mendapatkan

pengakuan dan perlindungan dalam UUD 1945, melainkan kita wajib

22 Lihat Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. Jakarta . Sekretariat Jendral dan Kepanitriaan Mahkamah Konstitusi RI. 2008, hlm. 793.

23 Lihat lebih jauh Jimly Asshiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2006, hlm. 276.

24 Lihat Dahlan Thaib, “RUU Keistimewaan DIY , Sampai dimana Perjalananmu?”. Kantor Berita Indonesia. GEMARI, Seri 26 April 2010. hlm. 2

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

20

melestarikan keaneka ragaman ciri-ciri lokal dari suatu pemerintahan. Sehingga

menjadi tidak beralasan jika bentuk negara NKRI tidak memberikan ruang atas

tegaknya keanekaragaman. Kedudukan Sultan HB dan Paku Alam sebagai

Gubernur dan Wakil Gubernur dipandang sebagai nilai-nilai lokal yang perlu

dilestarikan.25

Berdasarkan pembahasan di atas, maka makna keistimewaan

sebagaimana diamanahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 baik dari pendekatan

bahasa dan pandangan ahli-ahli HTN menunjukkan adanya konsistensi dan

konsekuensi bahwa keistimewaan merupakan hak konstitusional bagi

pemerintahan daerah yang penyelenggaraannya dikecualikan dari ketentuan

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Konsekuensinya pemerintah daerah

bersifat otonom, sifat khusus dan bersifat istimewa merupakan hak

konstitusional yang menyebutkan negara untuk melindungi dan

melestarikannya. Dengan demikian, hak-hak keistimewaan DIY untuk

dilestarikan melalui instrumen hukum ini mendapatkan dasar-dasar

argumentatif, baik secara filosofis, historis, sosiologis, dan juga juridis.

A.2. Keterkaitan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah

Sejalan dengan ketentuan Pasal 18B UUD 1945, Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dalam Ketentuan

Lain-Lain Pasal 225 menyebutkan bahwa Daerah-daerah yang memiliki status

istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang

ini diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain.

Lebih lanjut Pasal 226 UU Pemda menyebutkan bahwa Keistimewaan

untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa

penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

didasarkan pada Undang-Undang ini.

25 Diskusi tersebut berlangsung di Kampus Paska Sarjana fakultas Hukum, Universitas Islam

Indoneia sekitar tahun 2007, pada saat ramainya DPD RI mengajukan hak inisiatif Perubahan atas UU Nomor 3/1950 tentang Pembenekan Daerah Istimewa Jogjakarta.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

21

Ketentuan Pasal 225 dan Pasal 226 UU Pemda tersebut mengamanatkan

kepada organ pembentuk undang-undang untuk membentuk peraturan

perundang-undangan tentang keistimewaan Yogyakarta dengan tetap

melandaskan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan UU Pemda.

A.3. Keterkaitan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Perundang-

Undangan Pertanahan Lainnya

Selain terkait dengan suksesi kepemimpinan, salah satu elemen penting

keistimewaan Yogyakarta adalah terkait bidang pertanahan. Persoalan ini

penting oleh karena tanah sesungguhnya bukan sekedar komoditas untuk

kepentingan ekonomi belaka yang seringkali menjadi sumber konflik,

melainkan juga secara kosmologis merupakan asal usul manusia tumbuh dan

berkembang biak di muka bumi dan juga tempat kembali.

Keyakinan bahwa tanah merupakan tempat bagaimana manusia

mengawali permukiman, tetapi juga awal mula dinamika kekuasaan

ditancapkan. Sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria di tanah air ini diimplementasikan, hukum tanah di

Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta sudah terlebih dahulu diatur sejak

pemerintahan Hindia Belanda. Asal mulanya hak milik atas seluruh luas tanah

di wilayah kerajaan Yogyakarta, adalah mutlak di tangan raja.26 Rakyat hanya

diberi hak atau wewenang anggadhuh atau meminjam tanah dari raja secara

turun temurun.

Dalam perkembangan selanjutnya, hukum pertanahan di Yogyakarta

mengalami perubahan-perubahan yang mendasar, misalnya adanya peraturan

reorganisasi agraria tahun 1914. Melalui Rijksblad Kesultanan 1918 Nomor 16

dan Rijksblad Paku Alaman 1918 Nomor 18 kedua kerajaan itu menyatakan

kekuasaannya sebagai berikut: “semua bumi yang tidak terbukti dimiliki oleh

orang lain dengan hak eigendom, adalah kepunyaan kerajaan Ngayogyakarta”.

26. Tentang hal ini lihat, Soedarisman P., op.cit., hlm. 280; Suhartono, Apanage dan Bekel

Perubahan Sosial di Surakarta 1830-1920, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991, hlm. 27; Selo Sumardjan, Perubahan Sosial…, Op.Cit., hlm. 177.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

22

Atas dasar pernyataan domein itu Pemerintah Kesultanan dan paku Alaman

memberikan “hak pakai/wewenang anggadhuh cara jawa” kepada desa-desa

(Pasal 3 ayat 1) yang harus dibentuknya. Dikemudian hari berdasarkan

Rijksblad Kesultanan Nomor 6 Tahun 1926 dan Rijsblad Paku Alaman Nomor 26

Tahun 1925 “hak anggadhuh” dari desa itu diubah menjadi “hak

andharbeni/wewenang andharbeni”. Suatu hak tradisional lokal yang

pemanfaatannya telah dengan jelas untuk kepentingan rakyat.

Begitu banyak instrumen hukum terkait dengan pengaturan dan

pemanfaatan tanah di Yogyakarta, demi terciptanya kesejahteraan bagi

masyarakat.27 Tanah-tanah yang berada di bawah kekuasaan Desa diberi

wewenang untuk dimanfaat sebagai berikut:

1. Menentukan peruntukannya (Pasal 4 jo Pasal 7 RK No. 16 tahun 1918 dan

RPA No. 18 tahun 1918) sebagai berikut:

a. tanah bengkok (gaji) bagi pejabat-pejabat desa yang masih aktif;

b. tanah pengarem-arem (pensiun) bagi pejabat-pejabat desa yang

telah berhenti dengan hak mendapat pensiun.

2. Mengatur sendiri mengenai:

a. Memindahkan sementara, misalnya menjual sewa (adol sewa).

b. Memindahkan untuk dipakai Turín-temurun dengan memperhatikan

ketentuan Pasal 4 RK No. 16 tahun 1918 dan RPA No. 18 tahun

1918.

3. Mengatur dan mengawasi agar tidak timbul penumpukan atau akumulasi

tanah pada seseorang (RK No. 16 tahun 1930 dan RPA No. 39 tahun

27. Melalui UU No. 3 tahun 1950 jo Undang-undang Nomor 19 Tahun 1950 ditetapkan urusan

rumah tangga bagi DIY, antara lain urusan agraria (Pasal 4). Kemudian urusan agraria di DIY diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas tanah di DIY; Peraturan Daerah No. 10 Tahun 1954 tentang Pelaksanaan Putusan Desa Mengenai Peralihan Hak Andarbe dari Kelurahan dan Hak Anganggo Turun Temurun atas Tanah dan Perubahan Jenis Tanah di DIY; Peraturan daerah No. 11 Tahun 1954 tentang Peralihan Hak Milik Perseorangan Turun Temurun atas Tanah dan Peraturan Daerah No. 12 Tahun 1954 tentang Tanda yang Sah Bagi Hak Milik Perseorangan Turun Temurun Atas Tanah.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

23

1928). Mengenai berapa luas tanah yang dapat dikuasai seseorang hingga

dapat dinilai sebagai tuan tanah diserahkan kepada masing-masing desa

mengingat keadaan setempat saja. Dalam praktek tergantung kepada

aktivitas desa diadakan atau tidak.

4. Memutus masalah-masalah pemindahan hak atas tanah yang dilakukan

dengan cara lintiran (warisan).

Dalam konteks tersebut, tanah sebagai pilar pertama keistimewaan

tidak saja merupakan wilayah kekuasaan territorial jurisdcition bagi Sri Sultan

HB dan Paku Alam, melainkan juga sebagai media yang dapat dimanfaatkan

untuk kemakmuran masyarakat secara lebih berdaya guna.

Pengaturan tanah-tanah yang masih merupakan tanah keraton tampak

jelas dan pasti Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo cq. Kantor

Paniti Kismo Keraton Ngayogyakarta merupakan institusi keraton yang

menerapkan pengaturan tanah. Pembenahan dimulai dengan inventarisasi,

registrasi, pengawasan, penelitian dan penerbitan penggunaan tanah-tanah

tersebut. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang kemudian

diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950 kecuali mengukuhkan

nama dan wilayah DIY, juga menetapkan organ-organ daerah dan urusan-

urusan yang diserahkan kepada Pemerintah Provinsi DIY. Urusan-urusan yang

diserahkan antara lain urusan agraria, meliputi:

1. Penerimaan penyerahan hak eigendom atas tanah kepada Negeri

(medebewind).

2. Penyerahan tanah Negara (beheersoverdracht) kepada jawatan-jawatan

atau kementrian lain, atau kepala daerah otonom (medebewind).

3. Pemberian ijin membalik nama hak eigendom dan opstal atas tanah jika

salah satu pihak atau keduanya masuk golongan bangsa asing.

4. Pengawasan pekerjaan daerah otonom di bawahnya tentang agraria

(sebagian ada yang medebewind).

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

24

Selanjutnya secara nasional pengaturan tentang pertanahan

dimodifikasikan ke dalam suatu peraturan tertulis yaitu Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang telah

di sahkan pada tanggal 23 September 1960. Hal itu dimaksudkan untuk

menghilangkan dualisme dalam peraturan perundang-undangan keagrariaan

(hukum agraria yang didasarkan pada hukum adat pada satu pihak dan

didasarkan pada hukum Barat pada pihak lain). Namun, bagi DIY dualisme

tersebut tetap timbul, karena jauh sebelum dikeluarkannya UUPA, DIY telah

memiliki peraturan perundang-undangan daerah di bidang pertanahan yang

didasarkan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 jo Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta,

berupa peraturan Daerah.

Konsekuensinya, UUPA baru diberlakukan di DIY pada tahun 1984, yaitu

sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1984 tentang

Pemberlakuan sepenuhnya UUPA di DIY. Keppres tersebut menegaskan bahwa

pemberlakuan UUPA secara penuh di Propinsi DIY diatur oleh Menteri Dalam

Negeri. Untuk menindaklanjuti perintah tersebut dikeluarkanlah Keputusan

Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan

Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 di Provinsi

DIY.

Dengan rentang waktu yang sangat panjang yakni sejak tahun 1960

sampai dengan 2004 political will pemerintah tidak juga muncul untuk

menyelesaikan persoalan ini. Untuk sementara dapat disimpulkan,

dikeluarkannya Keppres No. 33 Tahun 1984 maupun Kepmendagri No. 66

Tahun 1984 sesungguhnya tidak memiliki makna yang signifikan bagi

penyelesaian persoalan pertanahan di DIY, karena proses peralihan itu belum

juga dapat dilakukan sehingga dualisme masih berlangsung hingga hari ini.

Toleransi pemerintah pusat untuk tidak memaksakan pemberlakukan UUPA

sampai dengan tahun 1984, merupakan keistimewaan yang tidak dijumpai

dalam pemerintah daerah lainnya.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

25

B. KAJIAN/ANALISIS KEDUDUKAN KASULTANAN NYAYOGYAKARTO

HADININGRAT DAN PURO PAKUALAMAN SEBAGAI ENTITAS BUDAYA

MASYRAKAT YOGYAKARTA

Kedudukan Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat atau Kraton Yogyakarta

dan Puro Paku Alaman bagi rakyat Jawa bukan hanya suatu pusat politik dan

budaya, tetapi juga menjadi pusat keramat kerajaan. Keraton adalah tempat

raja bersemayam dan raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang

mengalir ke daerah dan membawa ketentraman, keadilan, dan kesuburan.

Paham itu terungkap dengan sangat jelas dalam gelar para penguasa keempat

kerajaan di Jawa Tengah hasil perpecahan Kerajaan Mataram II, dua ratus

tahun yang lalu. Kedua penguasa Yogyakarta menyebut diri Hamengku Buwana

(yang memangku jagad raya) dan Paku Alam, para penguasa Surakarta

bernama Paku Buwana (paku jagad raya) dan Mangkunagara (yang memangku

negara).28

Ditinjau dari sisi arkeologis, keraton hanyalah sebuah artefact

(monumen bisu), namun jika ditinjau dari sisi historigrafi merupakan monumen

hidup (living museum) yang dapat menjadi sumber sejarah kemanusiaan,

maupun saksi peradaban kekuasaan, pemerintahan, budaya, dan agama secara

sekaligus.29

Keraton ialah tempat bersemayam ratu-ratu, berasal dari kata ke – ratu

- an = kraton. Disebut juga kedaton, yaitu ke - datu - an = kedaton, tempat

datu-datu atau ratu-ratu. Dalam bahasa Indonesia disebut istana. Jadi keraton

ialah sebuah istana, tetapi istana bukanlah keraton. Keraton ialah istana yang

mengandung arti keagamaan, arti filsafat dan arti kultural (kebudayaan).30

28. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup

Jawa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hlm. 107. 29. H. Heru Wahyukismoyo, “Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX”

sebuah Kumpulan Pemikiran dan Polemik Status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Dharmakaryadhika Publisher, Yogyakarta, tanpa tahun, hlm. 69.

30. Brongtodiningrat, Arti Kraton Yogyakarta, Murdani Hadiatmaja (penerjemah), Museum Kraton Yogyakarta, Yogyakarta, 1978, hlm. 107.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

26

Dari perkembangan sejarah sebelum kemerdekaan RI Kasultanan

Yogyakarta dan Paku Alam selalu terlibat dalam mekanisme politik pertahanan

dan pelestarian budaya. Setidaknya sebagai pusat kebudayaan Yogyakarta

ditandai beberapa unsur penting. Pertama, Kraton Yogyakarta merupakan

harta warisan budaya yang masih tersimpan dan terpelihara utuh. Bukti-bukti

fisik dan artefak peninggalan Kesultanan DIY dan Puro Pakualaman masih

terpelihara baik terkait dengan bangunan fisik maupun barang-barang

peninggalan zaman kuno lainnya.

Kedua, kepemimpinan informal seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X

dan Sri Paduka Paku Alam IX masih tetap memerankan peran penting dalam

memelihara tradisi yang didukung oleh sistem pemerintahan tradisionalnya.

Perangkat birokrasi lokal masih berfungsi tidak saja dalam mempresentasikan

produk budaya kepada wisatawan domestik dan asing, tapi juga dalam

melestarikan tradisi upacara sekaten, upacara labuhan dan lainnya.

Ketiga, tata aturan kehidupan kraton atau hukum adat Kasultanan

Ngyogyokarto dan Puro Pakualaman masih dipatuhi oleh masyarakat. Sehingga

aksi-aksi suksesi Kasultanan Ngyogyokarto dan Puro Pakualaman masih

didasarkan pada norma-norma adat yang berlaku. Efektivitas norma-noram

adat ini tentu saja menjadi efektif karena adanya dukungan masyarakat.

Keempat, dualisme kepemimpinan antara Kasultanan Ngyogyokarto dan

Puro Pakualaman sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur masih tetap berlaku

dengan ditandai oleh melekatnya kekuasaan dan kewenangan mereka di

wilayah masing-masing. Dualisme tersebut dalam tradisi keraton disebut

dengan DWI TUNGGAL HAMENGKONI AGUNG (lembaga kepemimpinan

tertinggi) sebagai pemersatu dan pelindung masyarakat. Pada awalnya konsep

ini mencerminkan sistem monarki absolut. Namun, selama ini diakui oleh Sri

Sultan Hamengku Buwono X telah bergeser kedalam struktur aristokrasi

demokrasi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan yang terbukti

berjalan efektif.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

27

Oleh sebab itu, keberadaan dua unsur yang kemudian dikenal sebagai

Dwi Tunggal Hamengkoni Agung, maka seorang Sultan dan Adipati dituntut

untuk senantiasa mengedepankan kepentingan rakyat dengan prinsip berbudi

bawa laksana, Hamengku, yaitu merengkuh atau melindungi semua pihak

tanpa memandang suku, ras, agama maupun golongan, dalam

memperjuangkan, mamajukan dan mensejahterakan rakyat. Sedangkan

Hamengkoni artinya memberikan bingkai kekuatan pemersatu dan berdiri

paling depan dalam perjuangan. Dalam konteks ini terlihat, bahwa

kepemimpinan Dwi Tunggal Hamengkoni Agung diorientasikan untuk

kepentingan rakyat atau tahta untuk rakyat.

Berdasarkan argumentasi di atas, kedudukan Kraton dan Puro

Palualaman sebagi bagian dari identitas keistimewaan Yogyakarta yang harus

mendapat perlindungan dan kepastian hukum merupakan suatu keniscayaan.

C. RASIONALISASI PENETAPAN SRI SULTAN HEMANGKUBUWONO DAN

PAKU ALAM SEBAGAI GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa, hak asal-usul yang

dijadikan argumen keistimewaan DIY terdiri dari empat pilar utama. Tanah

sebagai modal kosmologis dan wilayah kekuasaan, kraton tempat dan pusat

kebudayaan dan parwisata, pendidikan dan kepemimpinan DIY melalui

penetapan. Timbulnya pro-kontra terkait dengan proses suksesi kepemimpinan

di DIY, isu penetapan tidak sajak telah menjadi pemicu masyarakat DIY, juga

dapat mendorong kecemburuan di kalangan elit-elit lokal wakil-wakil rakyat di

tingkat nasional. Adanya dugaan kesamaan kondisi pemerintahan daerah,

dengan sejarah masa lalu boleh jadi klaim tersebut timbul ke permukaan.

Karena itu, menjadi sangat penting untuk dikemukakan argumentasi

logis dan obyektif terhadap kebenaran faktual penetapan Sri Sultan dan Sri

Paku Alam, menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur di DIY. Sebagaimana

dipaparkan di atas sesungguhnya keistimewaan DIY, bukan saja suatu

keniscayaan sejarah, melainkan merupakan kewajiban negara untuk

melestarikan keberadaannya daerah khusus dan istimewa dalam wadah NKRI.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

28

Atribut kekhususan atau keistimewaan suatu daerah yang otonom diperoleh

berdasarkan landasan juridis konstitusional UUD 1945, khususnya Pasal 18 dan

18B ayat (1) dan ayat (2). Selain itu, landasan filosofis dan idiologis Pancasila

dan Bhineka Tunggal Ika, landasan historis, dan landasan sosio-politis. Adapun

rasionalisasi mengapa penetapan Sri Sultan dan Sri PA sebagai Gubernur dan

Wakil Gubernur DIY diformulasikan ke dalam Naskah Akademik RUUK DIY saat

ini adalah sebagai berikut.

C.1. Maklumat 5 September 1945 Sebagai Ijab Qobul yang Mengikat

Ijab dan Qobul adalah norma dalam hukum perjanjian Islam yang

memberikan ikatan kepada pihak pertama dan kedua atau lebih untuk

bersama-sama mematuhi dan menghormati suatu kesepakatan atas suatu

obyek tertentu yang halal dan tidak bertentangan dengan moralitas dan

kesusilaan. Penetapan sebagai ijab qobul acapkali dikemukakan oleh Sri Sultan

HB X ketika merespon adanya pro-kontra model suksesi di masyarakat DIY,

apakah dengan model pemilihan atau penetapan.

Maklumat 5 September 1945 dibuat oleh Presiden RI pertama,

Soekarno, oleh sebab itu, Maklumat ini dipandang sebagai suatu kesepakatan

resmi “formal agreement”, yang terus akan berlangsung efektifitasnya, kecuali

ada suatu tindakan pencabutan atau pembatalan demia hukum karena ada

beberapa persyaratan yang dilanggar oleh salah satu pihak. Kelangsungan

Maklumat Presiden, yang dipandang sebagai Ijab Qobul, atau juga Political

Contract, yang mengandung I‟tikak dan maksud yang baik (good faith or good

intention), setelah semua syarat telah terpenuhi. Kedua belah pihak (Negeri

Yogyakarta dengan NKRI) sejak dulu sepakat untuk mengikatkan janji. Tidak

pernah ada suatu tindakan sepihak atau atas dasar kesepakatan yang dapat

menimbulkan berakhirnya kesepakatan tersebut, sehingga kebiasaan yang

telah menjadi praktek ketatanegaraan DIY akan terus berlangsung.

Konsekuensinya, kedua belah pihak secara hukum dan moral terikat

untuk menghormati dan mematuhi kesepakatan tersebut. Asas hukum yang

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

29

diberlakukan antara lain disebut sebagai Pacta Sunt Servanda.31 Suatu asas

universal tentang perjanjian, yang memberikan pedoman kepada dua belah

pihak bahwa mereka terikat dengan kesepakatan-kesepakatan umum sehingga

selain timbul kewaiban juga hak-hak dan kewenangan.

Tidak pernah ditemukan dokumen yang berupaya, baik secara implisit

maupun eksplisit membatalkan atau batal demi hukum (karena salah satu

pihak mengingkari) dari praktek penetapan atas kedudukan Sri Sultan HB

dengan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur di DIY. Bahkan

dalam perjalanan sejarah perkembangan hukum pengakuan atas keistimewaan

DIY, dari sejak pemerintahan Orde Lama hingga Orde Baru cenderung saling

mengukuhkan. Bahkan pada tahun 2002, telah terjadi suatu keadaan yang

dipandang menyimpang dari adat-istiadat, karena telah dicoba melalukan

pengusulan calon gubernur dari luar kalangan kraton32.

Namun, terbukti hal itu menimbulkan goncangan sosial dan menusi

konflik yang cukup signifikan sehingga mengganggu harmoni sosial. Penolakan

dari berbagai lapisan masyarakat muncul, melalui forum Pisowanan Agung.

Suatu forum yang sarat dengan muatan nilai-nilai politik lokal, sebagai bentuk

perlawanan terhadap nilai-nilai baru yang belum dapat diterima. Dengan

demikian, bahwa Maklumat 5 September 1950 sama kuatnya dengan,

Perjanjian Gianti antara pemerintahan Belanda dengan Kesultanan DIY, antara

pemerintahan Jepang dengan Kesultanan DIY, termasuk instrumen hukum

berbentuk UU lainnya yang merupakan bentuk kesepakatan sosial yang secara

politik, sosial dan kultural menjadi bagian yang harus dilestarikan, sebagai jati

diri dari keistimewaan Yogyakarta.

31Suatu asas yang dikemukakan oleh Anzilotti, utamanya dalam kaitan dengan daya ikat

hukum internasional bagi negara-negara yang ikut menandatangani atau turut serta menjadi pihak dalam kesepakatan internasional. Asas ini diberlakukakan saat ini, tidak saja dalam kaitananya dengan pemberalakukan perjanjian hukum internasional yang mengikat negara-negara, melainkan juga mengikat subyek hukum non-negara. Sebagaimana halnya, serah terima kedudukan DIY dengan NKRI Enam Puluh Lima (65) Tahun lalu. Khususnya dalam lihat J.G. Starke, Hukum Internasional sub bab nol (edisi terjemahan), Jakarta, 2002 , Asas Hukum Universal tentang Perjanjian Internasional.

32 Suatu peristiwa yang terjadi di sekitar tahun 2002, dimana salah satu anggota DPRD DIY dari salah satu fraksi mencoba mengajukan diri sebagai calon gubernur. Namun, usulan tersebut menimbulkan kegaduhan politik lokal tersendiri.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

30

C.2. Penetapan Sebagai Pengecualian hukum (Lex Specialis)

Era reformasi yang diusung tahun 1998, tidak lepas dari kontribusi

masyarakat Yogyakarta. Sultan HB X bersama Sri Paku Alam menyuarakan

suatu perubahan dengan era reformasi yang dilakukan secara damai dan

menolak cara-cara kekerasan. Hasil dari reformasi adalah terbukanya pintu

politik dan pemerintahan yang lebih demokratis. Tuntutan reformasi antara lain

pemerintahan yang bersih bebas KKN, amandemen UUD 1945, dan pemisahan

kekuasaan TNI dan Kepolisian.

Secara langsung dampak demokratisasi telah dirasakan ketika sistem

pemerintahan demokrasi dari tingkat pusat dan daerah harus menggunakan

sistem pemilihan secara langsung. Keharusan untuk melakukan unifikasi dalam

aspek kepemimpinan tergolong dalam aspek hukum ketatanegaraan yang

meniscayakan pemerintah DIY tidak terbebas dari amanah UUD 1945 tersebut.

Agar kesadaran konstitusi khususnya Pasal 27 UUD 1945, yaitu prinsip-prinsip

pemberlakuan kesamaan di depan hukum (equality before the law) benar-

benar dapat ditegakkan secara menyeluruh.

Bilamana membaca ketentuan hukum yang bersifat umum (lex

generalis) maka ketentuan penyeragaman praktek pemilihan pimpinan nasional

dan lokal tidak lepas dari perintah UUD 1945. Pertama, Pasal 6 A ditegaskan

bahwa ayat (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan

secara langsung oleh rakyat. Ayat (2) Pasangan Calon Presiden dan Wakil

Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta

pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Ketentuan tersebut di

atas, jelas dan tegas dan tidak dapat ditafsirkan lain kecuali bahwa model

suksesi kepemimpinan di tingkat nasional Preiden dan Wakilnya, harus

dilakukan secara berpasangan melalui partai politik peserta pemilu.

Kedua, ketentuan umum yang diberlakukan bagi daerah-daerah (tingkat

provinsi dan kabupaten/kota). Kepala Daerah didasarkan pada Pasal 18 ayat

(4). Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah

daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Sama halnya

dengan Pasal 56, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Kepala

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

31

daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang

dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur dan adil. Pasangan calon sebagaimana dimaksud ayat (1)

diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, sesungguhnya

merupakan ketentuan hukum umum yang harus dipatuhi (general rule of law).

Namun, dalam prakteknya ketentuan hukum yang bersifat umum

tersebut tidak saja membebankan kewajiban yang harus dilakukan, melainkan

juga harus ada rasa penghormatan terhadap entitas politik yang dikecualikan

dari ketentuan umum tersebut. Apa yang dikatakan oleh pakar HTN, Dahlan

Thaib bahwa NKRI selain membentuk daerah-daerah otonom, juga memiliki

dua anak kembar lain yitu daerah khusus dan daerah istimewa. Kedua anak

kembar NKRI tersebut merupakan suatu ketentuan hukum yang khusus yang

wajib dikecualikan pemberlakuannya dari ketentuan hukum umum.

Karena itu, sekiranya penerapan sistem pemilihan langsung untuk

Presiden dan Wakilnya dapat juga diterapkan, justru telah menuai kritik ketika

harus diterapkan pada Pemilihan Kepala Daerah mengingat keanekaragaman

nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat lokal tidak dapat dipaksakan

melalui penyeragaman. Ruang kebhinnekaan yang selama ini telah menjadi

darah daging masyarakat secara jelas diberikan jaminan dalam Pasal 18 dan

18B ayat (1) dan (2). Dalam hal ini menarik untuk diperhatikan pandangan

Pratikno.

“Centralized party system are good for Presidential elections, but when local

politics is at stake, it is questionable whether elites and the centre have a

proper understanding of local political dynamics. Additionally, the continuing

centralized party system has allowed party elites at the provincial and national

levels to take advantage of their positions, demanding money, and maintaining

control over local activites. Although the change to the electoral system was

supposed to eridicate the money politics which had prolifirated in the previous

system when the legislature chose the regional heads, it has not done so,” 33.

Dari pandangan tersebut perlu menjadi catatan dalam dua hal. Pertama,

pemilihan presiden memang cukup baik dalam sistem politik yang

disentralisasikan, namun belum tentu akan ada pengertian yang sama antara

33 Lihat Pratikono, ibid 2009, hlm. 70

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

32

elit pusat dan lokal. Kedua, sistem pemilihan langsung telah memberi banyak

keuntungan bagi posisi partai politik. Penyebaran politik uang ditingkat pusat

dapat dikurangi bila dibandingkan dengan situasi sebelumnya. Namun bagi

situasi di daerah, situasi ini tidak demikian. Dengan kata lain, apakah memang

jika pemilihan kepala daerah di DIY juga tidak terlepas dari keadaan politik isu

nasional yang imbasnya pada martabat dan posisi Sultan dan Sri Paku Alam

akan berpengaruh.

Penetapan Sri Sultan dan Paku Alam sebagi gubernur dan wakil

gubernur merupakan contoh pengecualian hukum khusus (lex specialis),

sehingga penetapan Sri Sultan dan Paku Alam sebagai gubernur dan wakil

gubernur di posisikan sebagai hak konstitusional bersyarat (fundamental rights

of constitusional condition), maka penetapan sebagai ciri keistimewaan DIY

tidak menyalahi konstitusi sepanjang hal tersebut masih berlaku dan juga

mendapatkan dukungan dari partisipasi masyarakat.

Sekiranya keraguan akan adanya “penetapan” di DIY dalam konteks

suksesi sebagai sesuatu komponen pelaksanaan demokratis yang tidak penuh

tidak berarti bahwa model suksesinya tidak demokratis, melainkan lebih

dipahami sebagai suatu proses perjalanan demokrasi yang harus mampu

mengakomodir kondisi lokal. Hal ini dapat dimaklumi karena pasal tentang

pemilihan untuk kepemimpinan nasional tidak serta merta dapat dijadikan

rujukan bagi DIY mengingat keistimewaan bagi DIY dapat mengesampingkan

peraturan hukum yang bersifat umum.

Argumentasi kedua, bahwa penetapan Sri Sultan HB dan Paku Alam

berkesesuaian dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM dalam koridor demokrasi

adalah bermula dari keterikatan asal usul sejarah peraturan hukum bersifat

kasuistik (sui generis). Situasi demikian, tidak berarti bahwa peraturan hukum

tidak dapat digeneralisasi, melainkan karena hukum yang sempurna oleh

manusia hadir dengan berbagai kelemahan. Dalam situasi kelemahan atas

lubang-lubang kosong (loop whole) diperlukan suatu aksioma hukum exit of

legal emergency. Dalam Perjanjian Internasional diberlakukan adanya konsep

reservasi (reservation) yang dianut oleh negara beradab, yang digunakan

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

33

untuk mencegah adanya suatu kondisi yang mengakibatkan umat manusia

harus menentukan plihan dalam keadaan sulit, yang tetap saja dilakukan demi

suatu hak yang wajib dipertahankan, tetapi secara hukum tidak dapat dikenai

pertanggungjawaban hukumnya.

Asas reservasi, merupakan pengecualian dalam hukum perjanjian

internasional bagi negara-negara sebagai subyek hukum internasional untuk

tidak melakukan ratifikasi terhadap isi atau substansi dari konvensi atau

perjanjian internasional tertentu. Efek resevasi adalah membatasi tanggung

jawab suatu Negara. Reservasi yang sah berarti bahwa suatu negara tidak

terikat dengan pasal ataupun ayat tertentu dari perjanjian internasional.34

Reservasi ini diakui dan dibenarkan sebagai suatu ketentuan khusus

dalam hukum internasional, sehingga manakala suatu negara yang berdaulat,

karena alasan-alasan internal politik dan hukum tidak memungkinkan, maka

suatu negara dapat meninggalkan beberapa pasal dari suatu perjanjian

internasional. Misalnya, jika suatu pemerintah mengambil sikap bahwa

pengeculaian terhadap beberapa pasal dalam suatu perjanjian internasional

dengan maksud mencegah timbulnya kekacauan pada sistem hukum

nasionalnya, maka masyarakat internasional tidak dapat membebankan

tangung jawab hukum internaasional karena melakukan reservasi.

Meskipun praktek reservasi ini tampaknya memiliki cakupan dalam

hukum internasional, namun sangat relevan untuk dijadikan argumen pada

persoalan penetapan Sri Sultan HB dan Sri Paku Alam di DIY. Pertama, bahwa

setiap kewajiban hukum yang dibebankan oleh hukum perjanjian internasional

kepada pihak-pihak, tidak serta merta menimbulkan beban dan tanggung

jawab yang sama kepada subyek hukum negara-negara. Meskipun setiap

subyek hukum memiliki kedaulatan yang sama secara normatif teoritik,

pembebanan kewajiban dan tanggung jawab umumnya sangat berbeda-beda

berdasarkan pada kapasitas dan kemampuan negara masing-masing.

34 Lihat. John O‟Brien, International Law, London , Covendish, Publishing Limited, 2001, hlm.

336

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

34

Dengan demikian jelaslah bahwa bentuk penetapan Sri Sultan dan Paku

Alam sebagai Gubernur dan wakila Gubernur (tanpa pemilihan langsung)

sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (1) merupakan ketentuan hukum

pengecualian yang tidak bertentangan dari ketentuan Pasal 6 dan Pasal 18 ayat

(5). Sebagaimana dasar penggunaan hak reservasi, bagi negara-negara

berdaulat untuk melakukan penyimpangan terhadap ketentuan umum hukum

perjanjian internasional yang diperbolehkan. Sehingga negara sebagai subyek

tidak terikat, juga tidak dapat dibebankan tanggung jawab.

C.3. Konvensi Penetapan Dalam Ketatanegaraan RI

Pengakuan atas keistimewaan DIY yang berkaitan dengan

kepemimpinan di Yogyakarta sesungguhnya telah diatur di dalam UU No.22

Tahun 1948 hingga pasca reformasi melalui UU No. 32 Tahun 2004. Sejatinya

substansi pergantian tersebut telah mengakomodir model kepemimpinan

kharismatik (Sultan dan Paku Alam) yang di akomodir ke dalam pimpinan

modern. Suatu model kepemimpinan eksekutif sebagai aparat pemerintah

pusat yang terlibat dalam penciptaan pelayanan publik.

Upaya sistemis antara nilai-nilai kearifan lokal dengan nilai-nilai

modernitas tersebut telah diperkuat oleh praktek ketatanegaraan selama

ini.Undang-undang pemerintah daerah selalu ditegaskan mengenai

kepemimpinan di DIY yang dipegang oleh Sri Sultan sebagai Gubernur dan

Paku Alam sebagai Wakil Gubernur. Di dalam UU No. 22 Tahun 1948 meskipun

belum disebut secara tegas nama Daerah istimewa Yogyakarta, karena ketika

itu belum lahir UU Pembentukan DIY.

Namun isyarat pengakuan nampak ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (5)

yang berbunyi, “Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan

keluarga yang berkuasa di daerah itu di jaman sebelum Republik Indonesia dan

yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran,

dan kesetiaan dan dengan mengingat adat-istiadat di daerah itu.”

Kedua, pada tanggal 17 Januari 1957 Presiden mengundangkan UU No.1

Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Penjelasan Umum UU

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

35

No. 1 Tahun 1957 menegaskan, “Kepala Daerah Istimewa tidak dipilih oleh dan

dari anggota-anggota DPRD, tetapi diangkat oleh Pemerintah Pusat dari

keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik

Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya dengan memperhatikan

syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah

itu.” Jadi keistimewaan masih terletak pada kedudukan kepala daerahnya yang

prosesnya dilakukan dengan pengangkatan.

Ketiga, yaitu UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan

Daerah secara konsisten tidak berubah. Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (5)

menegaskan,”Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta

yang sekarang, pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, adalah kepala

daerah dan wakil kepala daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang

tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan.” Selain itu, Daerah Istimewa

Yogyakarta diatur dalam Pasal 19 b, yang dirumuskan sebagai berikut, “Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-undang ini dengan sebutan

Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat pada ketentuan masa

jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah lainnya.”

Keempat, UU No. 5 Tahun 1974 diganti dengan UU No. 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah, masalah Daerah Istimewa diatur dalam Pasal

122 yang menegaskan bahwa:

“Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Provinsi Daerah Istimewa

Yogykarta, sebagaimana dimaksud dalam UU No.5 Tahun 1974, adalah tetap

dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Istimewa Aceh

dan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada undang-undang ini.” Kemudian

di keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal usul

keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan

calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan

mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai

dengan undang-undang”.

Kelima, UU No. 22 Tahun 1999 diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004,

didalam Pasal 225 ditegaskan, “Daerah-daerah yang memiliki status

keistimewaan dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

36

undang lain, diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam Undang-

undang lain. Ketentuan dalam UU ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta, Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak diatur secara khusus

dalam undang-undang tersendiri

Pengaturan tentang Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Pasal 226 ayat

(2) menegaskan; “Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

sebagaimana dimaksud dalam UU No.22 tahun 1999, adalah tetap dengan

ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi daerah Istimewa

Yogyakarta didasarkan pada Undang-undang ini.” Dari penegasan tersebut

nampak bahwa pengatuan tentang Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

adalah tetap seperti yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999.

Namun dalam perjalanan sejarah berikutnya, sedikit mengalami

goncangan mengingat UUD 1945 pasca amandemen sangat berbeda. Hasil

amandemen UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 18B ayat (1) telah

menegaskan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-maisng, sebagai

kepala pemerintahan dipilih secara otomatis. Perubahan ini membawa dampak

implikasi yuridis maupun politis terhadap proses demokrasi di Indonesia

dimana jabatan publik seperti Gubernur, Bupati, dan Walikota harus dilakukan

pemilihan secara demokratis. Penegasan tersebut telah membuka jalan bagi

masyarakat untuk melakukan tuntutan perubahan ke arah yang lebih

demokratis dalam pengisian jabatan.kepala daerahnya.

Dapatkah UU DIY nantinya mengatur masalah pengisian gubernur dan

wakil gubernur seperti yang selama ini berlangsung yakni melalui penetapan

dan tidak melalui pemilihan ataukah mengikuti model pemilihan?. Dari sudut

pandang hukum tata negara aspirasi masyarakat tentu dapat disalurkan melalui

DPR atau pemerintah, karena lembaga inilah yang memiliki wewenang untuk

membuat UU, termasuk UU DIY. Akan tetapi, hadirnya Pasal 18 (4) UUD 1945

juga harus dipertimbangkan secara serius, karena amanat UUD 1945 hasil

perubahan sudah sangat tegas bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-

masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi masing-masing, dan kota

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

37

dipilih secara demokratis. Akankah hasil amandemen UUD 1945 Pasal 18 ayat

(4) dan Pasal 18B ayat (1) memberi peluang adanya model kepemimpinan

yang selam ini telah berlangsung di DIY.

Dengan adanya berbagai perubahan sistem ketatanegaraan pasca

amandemen UUD 1945 dan perubahan paradigma penyelenggaraan

pemerintah daerah di atas, maka menjadi penting makna „Orasi Budaya‟ 7 April

2007 dimana Sri Sultan menyatakan tidak bersedia dicalonkan untuk menjadi

Gubernur DIY pada tahun 2008 dengan kata lain, Sri Sultan HB X telah

memberikan jalan kepada masyarakat untuk mengatur kepemimpinan DIY dan

mengakhiri dualisme kepemimpinan secara demokratis dan elegan.

Namun peringatan tersebut tidak dapat dipahami secara hitam putih,

melainkan harus pula diperhatikan tentang kondisi politik nasional yang

cenderung menegasikan penetapan sebagai kearifan lokal. Jaminan yuridis

konstitusional sebagaimana dikemukakan sejak proklamasi sampai reformasi

UU No. 22 Tahun 1999, tampaknya kedudukan Ijab Qabul, hak asal usul tidak

pernah ada pencabutan baik secara sepihak atau kedua belah pihak. Karena

itu, penetapan dalam konteks ketatanegaraan tetap relevan untuk

dipertahankan.

Dari paparan yang dikemukakan di dalam Bab ini, dapat disimpulkan

bahwa kebutuhan akan adanya pemahaman tentang makna dan substansi

Daerah Istimewa Yogyakarta mutlak dibutuhkan. Undang-undang No. 3 Tahun

1950 jo Undang-undang No 19 Tahun 1950 yang masih berlaku jelas tidak

mungkin memberikan jawaban yang memadai menyangkut makna Daerah

Istimewa Yogyakarta dan substansi yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab

itulah perubahan dan/atau penyempurnaan undang-undang yang dimaksud

mutlak dilakukan. Kehadiran undang-undang keistimewaan bagi Yogyakarta ini,

selain untuk menegaskan cakupan keistimewaan apa saja yang dimiliki oleh

Yogyakarta, yang berbeda dengan daerah lainnya, baik dari aspek historis,

budaya dan lain sebagainya, juga dimaksudkan untuk memberikan kepastian

hukum bagi DIY.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

38

C.4. Keadilan dalam Doktrin Preseden

Sebagaimana kelaziman dalam pembuatan suatu peraturan hukum,

selain kepastian hukum, kemanfaatan juga keadilan hukum. Dalam salah satu

doktrin preseden yang umumnya berlaku dalam sistem hukum common law

sistem. Doktrin hukum adalah keputusan-keputusan hukum telah mengikat dan

wajib dijadikan dasar rujukan bagi hakim-hakim lain. Preseden hukum tersebut

tentu wajib dipatuhi karena mengandung unsur keadilan. Karena itu, tidak ada

alasan bagi pemerintah pusat untuk menghindar dengan kebijakan atau

keputusan sebelumnya35.

Bahwa makna dan fungsi keistimewaan bagi DIY merupakan atrribut

yang menempel dengan sejarah asal-usul lahirnya Yogyakarta sebagai wilayah

nageri (konsep Perjanjian Gianti), Maklumat September 1950, dan peraturan

perudang-undangan lainnya yang menetapkan Keistimewaan DIY. Makna

fungsional Keistimewaan tersebut dapat dibuktikan melalui suatu penetapan

yang secara hierarkis memiliki hubungan langsung dengan Gubernur Jendral

masa pemerintahan Belanda atau Presiden pada saat setelah kemerdekaan RI.

Penetapan sebagai intisari keistimewaan tersebut diwujudkan dalam komitment

dan etika politik yang terbentuk Kontrak Politik jilid (1) Perjanjian Gianti 1755,

jilid (2) Maklumat Pemerintahan Jepang (1944) dan jilid (3), Maklumat 5

September 1950.

Kedaulatan negara yang semula sangat absolut saat ini telah berubah

pada pergulatan pemikiran antara kedaulatan negara yang penuh dengan

kedaulatan rakyat. Michael Riesman, selalu mengumandangkan, bahwa adanya

rakyat berdaulat benar-benar membatasi kedaulatan negara, seihingga negara

tidak dapat semena-mena menekankan peran dan fungsinya tanpa adanya

keterlibatan masyarakat.

Keunikan tersebut dibuktikan oleh sikap pemerintah Indonesia melalui

insturumen hukumnya, yang membolehkan penerapan hukum Islam (Syariat

Islam) tidak saja berlaku untuk persoalan atau urusan kekeluargaan atau

35 Lihat, Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Penerbit

Liberty, 1986, hlm. 91.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

39

keperdataan, melainkan juga diberlakukan ketentuan hukum publik, khususnya

penerapan hukum pidana Islam dilengkapi dengan institusi-insitusi hukum

Islam. Bilamana diperhatikan prinsip sistem hukum ketatanegaraan yang ada di

Indonesia, maka unifikasi hukum publik mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar

lagi, dan karena itu pemerintah pusat dapat memaksakan pelaksanaannya atas

dasar penerapan kedaulatan negara secara publik. Namun, karena persoalan

kultural dan konflik yang akan selalu mengancaman hubungan antara

pemerintah pusat dan daerah, maka jalan keluar untuk memelihara

terlestarikannya keinginan masyarakat Aceh, adalah dengan pemberlakuan

syariat Islam yang menjadi cita hukum mereka (rechtsidee)36.

Lahirnya kebijakan tersebut tentu saja harus ditinjau dari aspek

keadilan. Dari segi teori kedaulatan, jawaban tersebut di atas dapat

dikemukakan dengan mengajukan dua kelompok masyarakat yang memiliki

sikap toleran atau tidak toleran terhadap impelementasi demokrasi. Di satu

pihak, bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki hak untuk melakukan

pengaduan atau komplain terhadap keadaan yang tidak diberikan peluang

toleransi. Setiap orang memiliki hak komplain sebatas pada pelanggaran

prinsipil yang diketahuai oleh diri sendiri, misanya, jika suatu pihak

mengumumkan dirinya sebagai kelompok minoritas dan memiliki hak untuk

berkuasa.

“Rawls approves of represive measure against the intolerant not as a suspension

of principle but as an application of principle of justice agreed to even by the

intolerant in the original positition. “What is essential is that when a person wth

different conviction make conflicting demands on the the basic structure as a

matter of politifal principle, they are to judge these claims by the principle of

jutice. Thus, despite thi ideal of liberty to a group of citizen, the fundamental

organizing principles of justice according to Rawls ae in the end, well served”.37

36 Perbincangan syariat Islam yang cukup komprehensif tinjauan Konstitusi dapat dilihat

dalam dua karya besar: yaitu, M.B Hooker, Indonesiaan Syariah: defining National School of Islamic Law. Sinagpore Institute Southeast Asian Studies (ISEAS) 2008. , selain itu juga dapat diliha.

37 Perdebatan mengenai apakah sebagian besar warga dengan suara majoritas tetap memberikan ruang toleransi bagi sebagian minoritas masyarakat akan tetap dipandang sebagai kehidupan demokratis sepanjang ha-hak kebebasan minsoitar terlindungi, lebih lanjut dapat dibaca dalam Gregory H Fox, and Georg Nolle Intolerant Democracies., by Gregory H. Fox and Brad R Roth, (ed) Democratic Government and Intenational Law. Cambridge University Press. United Kingdom. 2000, hlm. 403.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

40

Dengan demikian, dalam preseden hukum terkait dengan kebijakan

pemerintah pusat terhadap kedua provinsi khusus yaitu Aceh dan Papua,

sehingga manakala pemerintah pusat tidak mengabulkan lahirnya UU

Keistimewaan, maka justru kesan masyarakat DIY akan sikap dan perlakukan

pemerintah pusat berkeadilan.

Tidak jauh berbeda dengan ketentuan hukum terkait dengan UU Nomor

21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua, secara subtantif dan kelembagaan

otonomi daerah di Papua sangat berbeda. Pertama, menguatkan sistem

pemerintahan daerah yang terdesentralisasi antara pusat dengan daerah

melalui kedudukan gubernur dan wakil gubernur dan lembaga legislatif dari

tingkat provinsi dan kabupatennya.

Namun, lembaga-lembaga adat, yang terhimpun dalam Majelis Rakyat

Papua sebagai badan yang sah dan kelompok perempuan diakui dalam struktur

pemerintahan sebagai bagian yang sah dalam peroses legislasi, budgeting dan

pengawasan. Karena itu, tidak mentup kemungkinan bahwa aspirasi

masyarakat yang selama ini tumbuh dan berkembang, seperti lembaga

Pisowanan Agung, sebagai lembaga adat masyarakar Yogyakarta

diakomodasikan dalam penentuan calon yang akan diajukan kepada Presiden

melalui lembaga DPRD Daerah.

D. PAUGERAN DAN WALI PALIMBANGAN

Penetapan seumur hidup akan menimbulkan masalah ketika nanti Sultan

yang bertahta tidak bersedia menjadi gubernur, sehingga jabatan tersebut

kosong atau tidak ada yang menjabat, untuk mengisi kekosongan jabatan

gubernur tersebut tentunya pihak keraton yang akan menentuka dan

menetapkan calonnya. Hal itu yang membuat pemerintah pusat tidak setuju

dengan penetapan. Alasan pemerintah pusat memang ada benarnya. Namun,

pemeritah pusat tampaknya ingin mengakomodasi berbagai aspirasi sehingga

terkesan berhati-hati dalam membahas RUUK DIY.38

38Bahan diambil dari sumber NILA.Com dan lihat pula dalam

www.menkokesra.go.id/content/view/12795/39

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

41

Kekhawatiran pemerintah dan sebagian ahli, jika Sultan berhalangan

tetap baik karena faktor usia, kesehatan, alasan hukum maupun penggantinya

yang belum jumeneng, sebenarnya sudah dijawab oleh Sultan melalui Komisi

III DPR RI yang melakukan kunjungan ke Yogyakarta dalam masa persidangan

II tahun 2009-2010 mengenai RUUK DIY, tanggal 12 Februari 2010. Dalam

pertemuan yang dihadiri Sri Sultan dalam kapasitasnya sebagai Gubernur DIY

didampingi oleh Sekdan adan Asisten Pemerintahan dan kesra tersebut Sultan

secara gamblang memberikan penjelasan mengenai mekanisme

penyelenggaraan pemerintahan jika Dwi Tunggal Hamengkoni DIY tersebut

berhalangan hadir.

Menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebenarnya di dalam Sistem

Pemerintahan Keraton sudah ada mekanisme tersendiri yang sudah

melembaga, jika suatu saat Sultan berhalangan tetap, sehingga tidak bisa

menjalankan pemerintahan. Mekanisme tersebut dikenal dengan PAUGERAN

(tatanan) yang mengatur mekanisme suksesi internal. Demikian halnya jika

Sultan dan Pakualam sudah terlalu sepuh dan/masih terlalu muda, maka

diinternal Keraton ada yang disebut WALI PALIMBANGAN yang tugasnya

mendampingi Sultan yang tidak/masih belum memenuhi syarat secara

teknokratis. Wali Palimbangan tersebut terdiri dari unsur paman, ulama dan

kerabat.

Dalam hal Sultan/Pakualam merangkap jabatan, maka problem

akuntabilitas juga dapat diatasi. Misalnya, dalam hal Kepala Daerah memangku

jabatan lain sebagai pejabat negara, maka pelaksanaan tugas kepala daerah

dilaksanakan oleh wakil kepala daerah. Dalam hal wakil kepala daerah

memangku jabatan lain sebagai pejabat negara, maka pelaksanaan tugas wakil

kepala daerah dijalankan sepenuhnya oleh kepala daerah. Kerangka konsep

tersebut lebih untuk mempertahankan konsep Dwi Tunggal Hamengkoni Agung

DIY.

Di dalam sejarah, mekanisme tersebut pernah terjadi ketika Sri Sultan

HB IX wafat pada tanggal 3 Oktober 1988, maka tugas ehari-hari Gubernur

dilaksanakan oleh Wakil Gubernur (Sri Paduka Paku Alam VIII) berdasarkan

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

42

Keppres Nomor 340/M/1988 tanggal 5 Desember 1988 yang isinya (1).

pemberhentian Hamengku Buwono IX sebagai Gubernur; (2). mengangkat

Paku Alam VIII sebagai pejabat pejabat Gubernur DIY. Saat itu keturunan HB

IX belum bisa menjadi gubernur karena belum jumeneng. Hal ini menegaskan

bahwa yang menjadi Gubernur DIY adalah keturunan HB yang jumeneng.

Dengan demikian, penetapan Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku

Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur di DIY merupakan inti

keistimewaan DIY yang didukung secara obyektif oleh keterikatan hukum

sebagai wujud dari ijab qobul. Faktor pengecualian hukum, doktrin keadilan,

dalam preseden hukum dan praktek demokrasi yang menempatkan pemilihan

kepala daerah sebagai bagian dari sistem demokrasi. Akibat hukumnya adalah

bahwa penetapan sebagai praktek dari suksesi di DIY tidak bertentangan

dengan ketentuan umum yang terkandung dalam UUD 1945, khususnya Pasal

18 ayat (4) karena kedudukan pemerintahan khusus dan istimewa merupakan

ketentuan hukum yang sangat khusus.

E. SUBSTANSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA

PENAMAAN

Daerah Isitimewa Yogyakarta sebagai suatu pemerintahan telah berdiri

sejak adanya perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 yang memecah

kerajaan Mataram menjadi 2 (dua) bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan

Kesultanan Ngayogjokarto Hadiningrat. Kemudian pada tanggal 17 Maret 1813

wilayah Kesultanan Yogyakarta dikurangi lagi oleh Pemerintah Inggris dan

diserahkan kepada Pangeran Notokusumo, adik Sultan Hamengku Buwono II

yang kedudukannya tidak berada di bawah Sultan (pangeran Merdiko) dan

bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam I.

Dengan demikian di wilayah Ngayogjokarto Hadiningrat terdapat dua

pucuk kekuasaan yang terpisah antara satu dengan yang lain, Sultan

Hamengku Buwono II memerintah di Kesultanan Ngayogjokarto Hadiningrat

dan Paku Alam I yang memerintah di Puro Pakualaman dan sekitarnya yakni

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

43

Onderdistrik Pakualaman dan Kabupaten Adikarto (Karang Kemuning/sekarang

adalah Kabupaten Kulonprogo).39

Eksistensi dua kerajaan ini sangat diakui oleh Penjajah Belanda,

sehingga dikembangkan hubungan khusus atas dasar perjanjian politik.

Kesultanan dan Pakualaman yang merupakan sistem pemerintahan yang

memiliki “asal-usul susunan asli” tersendiri. Dalam konteks ini, maka

pengakuan terhadap keistimewaan Yogyakarta, secara hukum dan politik

sudah mendapatkan pengakuan dari pemerintah ketika itu.

Embrio Keistimewaan Yogyakarta kemudian muncul dan berkembang

pada tahun 1945, sejalan dengan lahirnya bangsa Indonesia. Setelah

Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII dalam

kapasitas mereka sebagai raja, mengirim telegram kepada Presiden Soekarno

yang berisi ucapan selamat dan pernyataan untuk bergabung dengan RI.

Telegram itu direspon positif oleh Pemerintah Pusat dengan memberi “Piagam

Kedudukan” bagi HB IX dan PA VIII40.

Isi amanah tersebut, antara lain dua orang raja secara langsung

ditetapkan sebagai kepala daerah DIY sejajar dengan pemerintahan setingkat

provinsi. Jadi keistimewaan tersebut, seyogyanya dikaitkan dengan

nomenklatur bahwa keitimewaan Yogyakarta tidak diberi attribut pemerintahan

Provinsi. Pasal 18 UUD 1945 dan isi penjelasannya menegaskan bahwa Negara

RI “memandang” dan “mengingat” hak-hak “asal-usul” dan “susunan asli”

setiap daerah istimewa di Indonesia.

Tindakan taktis HB IX dan PA VIII dengan mengeluarkan Amanat 5

September 1945 yang isinya menegaskan bahwa Negeri (Kesultanan)

Yogyakarta dan Negeri Pakualaman merupakan dua Daerah Istimewa dalam

Negara RI41. Selain itu ada amanat kedua yaitu Amanat 30 Oktober 1945,

39 B. Hestu Cipto Handoyo, Kilas balik Keistimewaan daerah Istimewa Yogyakarta (Sebah Tinjauan

Historis Yuridis), Penerbitan Univ Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1998, hlm. 8. 40 Ditandatangani pada 19 Agustus 1945 41 Pada butir 1 terdapat kalimat “...Komite Nasional Pusat Daerah Istimewa Yogyakarta....”

Masih di tahun 1945, muncul pula UU No 1/1945 yang penjelasannya menyatakan sebuah Daerah Istimewa bernama Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta (meliputi Kasultanan Yogyakarta,

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

44

sebuah Amanat yang menyatakan bahwa Yogyakarta merupakan satu Daerah

Istimewa Negara RI yang dipimpin oleh dua Kepala Daerah (HB IX dan PA

VIII).

Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta

meliputi:

1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,

2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,

3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,

4. Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,

5. Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.

Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi: (1).

Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat, dan (2).

Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang. Kabupaten-

kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah

administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya

disebut dengan Bupati Pamong Praja. Mereka juga mengepalai birokrasi

kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah

yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai

tahun 1950.

Eksistensi pengakuan keistimewaan Yogyakarta oleh Pemerintah RI

kemudian dituangkan ke dalam hukumpositif nasional melalui diundangkannya

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah istimewa

Yogyakarta.

Seiring perjalanan bangsa Indonesia yang mempengaruhi perubahan

iklim politik, sosial, ekonomi dan berdampak bagi daerah-daerah di Indonesia

tak terkecuali Yogyakarta. Saat ini diskursus eksistensi keistimewaan

Kasultanan Surakarta, Kadipaten Pakualaman, Kadipaten Mangkunegaran). Rupanya pernah ada upaya untuk menjadikan wilayah-wilayah dari empat Praja Kejawen itu menjadi sebuah Daerah Istimewa „Mataram‟. Status Keistimewaan Yogyakarta semakin menguat selama tahun 1946, sementara upaya untuk menetapkan Daerah Istimewa „Mataram‟ tidak kesampaian.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

45

Yogyakarta menjadi mengemuka mengingat banyaknya peraturan perundang-

undangan yang berganti terlabih adanya amandemen UUD 1945.

Materi yang termaktub pada UU No. 3 Tahun 1950 beberapa

diantaranya sudah tidak memiliki relevansi dengan perubahan zaman dan

sistem hukum nasional. Namun demikian UU tersebut memiliki arti historis

mengingat dengan diundangkannya UU No. 3 Tahun 1950 itulah keistimewaan

Yogyakarta memiliki ruang dalam sistem hukum nasional secara nyata.

Pilihan untuk tetap mempertahankan UU No. 3 Tahun 1950 merupakan

pilihan logis sehingga penyusunan norma-norma baru dan penegasan kembali

pilar-pilar keistimewaan Yogyakarta hendaknya disusun dalam suatu

perundang-undangan tersendiri. Dengan demikian mengingat materi yang

terkandung dalam RUU merupakan upaya formalisasi terhadap keistimewaan

Yogyakarta dan bukan dalam rangka pembentukan Yogyakarta, maka nama

RUU ini adalah RUU tentang Daerah Istimewa Yogyakarta.

KETENTUAN UMUM

1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden

Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya disebut DIY adalah

daerah setingkat provinsi yang meliputi Kasultanan Yogyakarta dan

Kadipaten Pakualaman.

3. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya disebut

pemerintah daerah adalah unsur penyelenggara pemerintahan yang terdiri

atas Gubernur dan Perangkat Daerah.

4. Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi DIY yang karena jabatannya

berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah di wilayah Provinsi DIY.

5. Wakil Gubernur adalah Wakil Kepala Daerah.

Page 46: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

46

6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya

disebut DPR DIY, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah.

7. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

8. Daerah otonom selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat

hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur

dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

9. Keistimewaan adalah kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY

berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus

kewenangan istimewa.

10. Peraturan Daerah selanjutnya disebut Perda adalah Peraturan

perundang-undangan DIY yang dibentuk oleh DPR DIY dengan persetujuan

bersama Gubernur.

11. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang selanjutnya disebut

Kasultanan merupakan bagian Daerah Istimewa dari Negara Republik

Indonesia.

12. Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing

Ngalaga Abdurachman Sayidin Panatagama Kalifatullah, yang selanjutnya

disebut Sri Sultan Hamengku Buwono adalah Sultan dari Kasultanan.

13. Kadipaten Pakualaman yang selanjutnya disebut Kadipaten adalah

merupakan bagian Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia.

14. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam yang selanjutnya

disebut Sri Paduka Paku Alam adalah Adipati dari Kadipaten.

15. Kebudayaan adalah nilai-nilai, norma, adat istiadat, benda seni dan

tradisi luhur yang mengakar dalam Masyarakat Daerah Istimewa

Yogyakarta.

Page 47: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

47

ASAS-ASAS DALAM PENYUSUNAN RUU

DIY disusun berdasarkan asas pengakuan atas hak asal-usul, demokrasi,

kerakyatan, ke-bhinneka tunggalikaan, efektivitas pemerintahan, kepentingan

nasional, dan pendayagunaan kearifan lokal.

TUJUAN PENGATURAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Pengaturan DIY bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan

ketentraman masyarakat; mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih, dan

demokratis; mewujudkan tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin

ke-bhinneka tunggalikaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia; memberdayakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan

Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang

merupakan warisan budaya bangsa. Dengan mendasarkan pada kebijakan-

kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan publik dan pengembangan

kemampuan masyarakat.

PILAR-PILAR KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA

Keistimewaan kewenangan DIY mencangkup bidang kepemimpinan;

kepemerintahan; pelestarian dan pengembangan kebudayaan; dan tata kelola

pertanahan dimana kesemuanua dilandaskan pada nilai-nilai kearifan lokal dan

keberpihakan kepada rakyat.

Dalam hal kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono selain sebagai

pemimpin budaya tertinggi di Kasultanan, menjabat sebagai Gubernur Kepala

DIY. Sri Paduka Paku Alam selain sebagai pemimpin budaya tertinggi

Kadipaten, menjabat sebagai Wakil Gubernur Kepala DIY.

Penyelenggaraan kepemerintahan DIY sebagaimana dimaksud dalam

bertujuan untuk mencapai efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan

pemerintahan dan pelayanan publik dengan didasrkan pada prinsip-prinsip:

Page 48: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

48

partisipatif; transparansi; akuntabilitas; efektivitas; kesetaraan; dan penegakan

hukum.

Pelestarian dan pengembangan kebudayaan bertujuan untuk

memelihara dan mengembangkan hasil cipta, karsa dan karya. Dengan hasil

berupa nilai-nilai, norma, pengetahuan, benda cagar budaya, seni, adat istiadat

dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY.

Kewenangan keistimewaan dalam rangka penyelenggaraan tatakelola

pertanahan diwujudkan dengan Kasultanan dan Kadipaten ditetapkan sebagai

subyek hak yang mempunyai hak milik atas Sultan Grond (SG) dan Pakualaman

Grond (PAG).

Sebagai subyek hak, Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola

dan memanfaatkan Sultan Grond dan Pakualaman Grond untuk sebesar-

besarnya ditujukan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kebudayaan

dan kepentingan sosial.

Tanah SG-PAG yang sedang/masih dibebani Hak Guna Bangunan

dan/atau Hak Pakai diatasnya dari lembaga atau perseorangan yang

berkepentingan yang diperoleh berdasarkan surat kekancingan dari Kasultanan

dan kekancingan dari Kadipaten masih tetap sesuai dengan peruntukannya dan

status kepemilikan tetap berada pada Kasultanan dan Kadipaten. Sedangkan

selebihnya dari tanah SG-PAG dan tanah SG-PAG yang telah dilekati Hak

Eigendom yang sudah dikonversi menjadi Hak Milik serta tanah yang sudah

diatur dalam Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 baik

sudah atau belum dikonversi menjadi Hak Milik sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), adalah tanah Pemerintah

Daerah Istimewa Yogyakarta.

BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN

Pemerintahan Daerah Provinsi DIY terdiri atas DPR DIY sebagai badan

legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. Pemerintah Provinsi

terdiri atas Gubernur beserta perangkat pemerintah Provinsi lainnya. Pada

Page 49: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

49

Kabupaten/Kota dibentuk DPRD Kabupaten dan DPRD Kota sebagai badan

legislatif serta Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif.

Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri atas Bupati/Walikota beserta perangkat

pemerintah Kabupaten/Kota lainnya. Pada Desa dibentuk Badan Musyawarah

Desa dan Pemerintah Desa atau dapat disebut dengan nama lain.

PEMERINTAHAN DIY

Pemerintah DIY dipimpin oleh seorang Gubernur sebagai Kepala

Pemerintah DIY dan dibantu oleh seorang Wakil Gubernur. Gubernur dalam

menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat daerah DIY. Gubernur

bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan Pemerintah DIY pada semua

sektor pemerintahan termasuk keistimewaan DIY, pelayanan masyarakat dan

ketenteraman serta ketertiban masyarakat.

Gubernur karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil

Pemerintah dalam kedudukan sebagai wakil Pemerintah, Gubernur

bertanggung jawab kepada Presiden.

Pemerintah kabupaten/kota dipimpin oleh seorang bupati/walikota

sebagai kepala pemerintah kabupaten/kota dan dibantu oleh seorang wakil

bupati/wakil walikota. Bupati/walikota dalam menjalankan tugasnya dibantu

oleh perangkat kabupaten/kota.

Bupati/walikota bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan

pemerintah kabupaten/kota di semua sektor pelayanan publik termasuk

ketenteraman dan ketertiban masyarakat.

Pemerintah menetapkan dan mengukuhkan Sri Sultan Hamengku

Buwono dan Sri Paduka Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.

Mekanisme penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam

sebagai pemimpin budaya tertinggi di Kasultanan dan Sri Paduka Paku Alam

sebagai pemimpin budaya tertinggi di Kadipaten ditentukan sesuai dengan

ketentuan dan tata cara yang berlaku di lingkungan Kasultanan dan Kadipaten.

Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono belum memenuhi syarat sebagaimana

Page 50: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

50

syarat umum seorang Kepala Daerah, maka yang menjalankan tugas Gubernur

adalah Wakil Gubernur sampai dikukuhkannya Sultan Hamengku Buwono.

Dalam hal Sri Paku Alam belum memenuhi syarat umum seorang Wakil Kepala

Daerah, maka jabatan Wakil Kepala Daerah tidak diisi sampai dikukuhkannya

Sri Paku Alam.

Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam belum

memenuhi syarat, atau berhalangan tetap secara bersama-sama maka

Presiden selaku Kepala Negara dengan persetujuan Kesultanan Yogyakarta dan

Kadipaten Pakualaman menunjuk Pelaksana Tugas Kepala Daerah, sampai

dikukuhkannya Gubernur dan Waki Gubernur.

Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono memangku jabatan sebagai

Pejabat Negara, maka jabatan Gubernur tetap melekat, sedang yang

menjalankan tugas Kepala Daerah adalah Wakil Gubernur. Dalam hal Sri Paku

Alam memangku jabatan sebagai Pejabat Negara, maka jabatan Wakil

Gubernur tetap melekat, sedang tugas Wakil Gubernur dijalankan sepenuhnya

oleh Kepala Daerah.

KASULTANAN DAN KADIPATEN

Kasultanan dan Kadipaten sebagai Lembaga Kebudayaan Daerah

berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam

penyelenggaraan Pemerintahan DIY dan pemerintahan kabupaten/kota di

bidang kebudayaan, pertanahan, keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan

ketertiban masyarakat.

Pembinaan kehidupan kebudayaan dan adat istiadat DIY dilakukan

sesuai dengan perkembangan keistimewaan dan dilaksanakan oleh Kasultanan

dan Kadipaten.

Kasultanan mempunyai tugas dan wewenang menobatkan Sultan

Hamengku Buwono sebagai langkah suksesi didalam Kasultanan, mengatur

rumah tangga internal Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan mengurus

kewenangan keistimewaan bersama-sama Pemerintah Daerah.

Page 51: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

51

Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang tersebut Kasultanan

mempunyai hak : memperoleh protokoler dan anggaran; dan melaksanakan

kerjasama dengan Kadipaten dan pemerintah daerah untuk pelaksanaan

kewenangan keistimewaan.

Kasultanan mempunyai kewajiban menjaga paugeran Kasultanan,

menjaga adat istiadat dan budaya Yogyakarta, dan menyiapkan calon

pemimpin budaya tertinggi dengan memperhatikan syarat-syarat seorang

kepala daerah.

Kadipaten mempunyai tugas dan wewenang menobatkan Sri Paku Alam

sebagai langkah suksesi didalam Kadipaten; mengatur rumah tangga internal

Kadipaten Paku; dan mengurus kewenangan keistimewaan bersama-sama

Kasultanan dan Pemerintah Daerah.

Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang tersebut Kadipaten

mempunyai hak memperoleh protokoler dan anggaran dan melaksanakan

kerjasama dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kewenangan

keistimewaan.

Kadipaten mempunyai kewajiban menjaga paugeran Kadipaten;

menjaga adat istiadat dan budaya Yogyakarta; dan menyiapkan calon

pemimpin budaya tertinggi dengan memperhatikan syarat-syarat seorang wakil

kepala daerah.

HAK KEUANGAN

Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

bidang keuangan negara seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara; Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004

tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Peribangan Keuangan Pusat

dan Daerah berlaku di DIY kecuali yang diatur lain dalam Undang-Undang ini

Page 52: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · PDF file1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Peran Yogyakarta dalam pergulatan

52

dan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Istimewa

Yogyakarta sedankgan penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang

dilimpahkan pada Gubernur selaku Wakil Pemerintah dalam rangka

pelaksanaan tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan dibebankan pada

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pengecualian dalam pengelolaan keuangan terkait dengan pelaksanaan

kewenangan keistimewaan DIY ditetapkan sebesar 50 % (lima puluh per

seratus) dari hasil pajak yang dipungut Pemerintah di DIY. Dengan ketentuan

bahwa anggaran sebagaimana dimaksud diperuntukkan dan dikelola oleh

pemerintah daerah yang dipergunakan untuk pembiayaan kewenangan

keistimewaan.