111
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Fenomena menarik yang dialami oleh Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) adalah “prahara” yang sedang melandanya ketika terjadi semacam “gugatan” oleh sebagian jemaat terhadap kepemimpinan sinodal dengan dilaksanakannya Sidang Sinode Istimewa (SSI) yang mengusung transformasi atau pembaharuan dalam gereja (sinode) tersebut pada tanggal 6-8 September 2013 di Tobelo. Dengan dilaksanakannya SSI 2013 ini, terkesan keinginan dari beberapa pihak untuk menganulir hasil Sidang Sinode GMIH di Dorume Loloda Utara yang telah berlangsung pada tahun 2012. Fenomena ini telah memunculkan semacam konflik kepentingan dalam tubuh sinode GMIH sebab berakibat munculnya dualisme kepemimpinan, yakni di satu sisi terdapat kepemimpinan sinode “lama” dan di sisi lain ada kepemimpinan sinode Pembaharuan yang dibentuk lewat keputusan SSI tersebut. Bahkan pasca SII muncul informasi yang berkembang pada tingkatan jemaat bahwa Badan Pekerja Harian Sinode GMIH hasil sidang Sinode Dorume tahun 2012 sudah demisioner. Wacana ini digelontorkan oleh beberapa pihak bahkan menjadi pro dan kontra diskusi pemuda GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI PEMUDA GMIH”. Wacana yang digelontorkan tersebut, telah turut memberi dampak negatif terhadap pengembangan jemaat-jemaat dalam kehidupan bergereja. Kontra terhadap wacana demisioner itu datang dari berbagai pendukung BPHS GMIH hasil keputusan sidang Sinode Dorume 2012, yang mengatakan bahwa SSI adalah tindakan ilegal, tidak sesuai dengan aturan gereja, karena itu BHPS hasil SII juga merupakan badan atau lembaga yang ilegal, dan perlu ditangiani oleh yang berwajibdipolisikan . Sebagai contoh, Malutpos, 7 September 2013 memuat berita “Polisi Didesak Usut Oknum Dibalik SSI GMIH”. Berita ini merupakan kencaman dari beberapa tokoh GMIH di Halmahera Barat, dikarenakan pelaksanaan SSI GMIH di Tobelo tanpa sepengetahuan Badan Pekerja Harian Sinode GMIH yang sah. Seorang tokoh GMIH di Halmahera Barat, James Uang, S.Pd., MM., dalam berita tersebut mengungkapkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

  • Upload
    builien

  • View
    229

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Fenomena menarik yang dialami oleh Gereja Masehi Injili di Halmahera

(GMIH) adalah “prahara” yang sedang melandanya ketika terjadi semacam “gugatan”

oleh sebagian jemaat terhadap kepemimpinan sinodal dengan dilaksanakannya Sidang

Sinode Istimewa (SSI) yang mengusung transformasi atau pembaharuan dalam gereja

(sinode) tersebut pada tanggal 6-8 September 2013 di Tobelo. Dengan dilaksanakannya

SSI 2013 ini, terkesan keinginan dari beberapa pihak untuk menganulir hasil Sidang

Sinode GMIH di Dorume Loloda Utara yang telah berlangsung pada tahun 2012.

Fenomena ini telah memunculkan semacam konflik kepentingan dalam tubuh

sinode GMIH sebab berakibat munculnya dualisme kepemimpinan, yakni di satu sisi

terdapat kepemimpinan sinode “lama” dan di sisi lain ada kepemimpinan sinode

Pembaharuan yang dibentuk lewat keputusan SSI tersebut. Bahkan pasca SII muncul

informasi yang berkembang pada tingkatan jemaat bahwa Badan Pekerja Harian Sinode

GMIH hasil sidang Sinode Dorume tahun 2012 sudah demisioner. Wacana ini

digelontorkan oleh beberapa pihak bahkan menjadi pro dan kontra diskusi pemuda

GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI PEMUDA

GMIH”.

Wacana yang digelontorkan tersebut, telah turut memberi dampak negatif

terhadap pengembangan jemaat-jemaat dalam kehidupan bergereja. Kontra terhadap

wacana demisioner itu datang dari berbagai pendukung BPHS GMIH hasil keputusan

sidang Sinode Dorume 2012, yang mengatakan bahwa SSI adalah tindakan ilegal, tidak

sesuai dengan aturan gereja, karena itu BHPS hasil SII juga merupakan badan atau

lembaga yang ilegal, dan perlu ditangiani oleh yang berwajib–dipolisikan .

Sebagai contoh, Malutpos, 7 September 2013 memuat berita “Polisi Didesak

Usut Oknum Dibalik SSI GMIH”. Berita ini merupakan kencaman dari beberapa tokoh

GMIH di Halmahera Barat, dikarenakan pelaksanaan SSI GMIH di Tobelo tanpa

sepengetahuan Badan Pekerja Harian Sinode GMIH yang sah. Seorang tokoh GMIH di

Halmahera Barat, James Uang, S.Pd., MM., dalam berita tersebut mengungkapkan

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

2

kekecewaannya terhadap pelaksanaan SSI GMIH bahwa “motivasi pelaksanaan SSI

tersebut, diduga kuat dilatari akumulasi kekecewaan, karena mereka yang terlibat di

dalamnya didominasi orang-orang yang tidak terpilih pada sidang sinode GMIH di

Dorume Loloda Utara, beberapa bulan lalu. Selain itu, juga dilatari kekecewaan karena

tidak terpilih dalam Pilgub putaran pertama”.

Selain itu, dua hari sebelumnya, tepatnya tanggal 5 September 2013 juga terjadi

aksi protes (demonstrasi) oleh Gerekan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)

Kabupaten Halmahera Utara (Halut), yang menolak reformasi dan pembaharuan GMIH

di Halut. Massa menuntut agar Badan Pekerja Harian Sinode (BPHS) GMIH

memberikan surat pengembalaan dan surat teguran bagi pegawai organik atau pejabat

gereja yang ikut melibatkan diri dalam tim reformasi dan tim pembaharuan. Bahkan

massa memintah agar Kapolres Halut segera memberhentikan gerakan-gerakan tim

reformasi dan tim pembaharuan karena gerakan tersebut banyak diikuti dan diintervensi

oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), sehingga menimbulkan keresahan warga

(http://poskomalut.com/2013/09/06/gmki-halut-tolak-reformasi-gmih/).

Tuntutan para pendukung BPHS hasil keputusan Sidang Sinode Dorume 2012

mendapat tanggapan positif dari BPHS dengan dikeluarkannya beberapa surat

pemecatan tegana organik (pendeta-pelayan) gereja. Hasilnya adalah terganggunya

pelayanan bagi jemaat-jemaat. Pasca surat pemecatan, menambah “deretan penderitaan”

jemaat sebab beberapa pendeta yang dipecat memiliki “jemaat loyal” yang ikut juga

merasa dipecat sebagai GMIH, realitas itu mengakibatkan perpecahan ditingkat jemaat,

yakni yang mendukung BPHS lama dan BPHS baru.

Salah satu keputusan penting dari SSI GMIH di Tobelo tahun 2013, satu tahun

pasca Sidang Sinode di Dorume adalah pembentukan Badan Pekerja Harian Sinode

(BPHS) “tandingan”1. Dalam aktivitas keseharian mengurus “gereja baru” badan ini

diberi kewenangan untuk menganulir Surat Keputusan (SK) pemecatan pendeta-pendeta

yang mendukung SSI dan melaksanakan evaluasi butir-butir rekomendasi dari SSI,

untuk disampaikan pada sidang tahunan (Dokumen Hasil SSI, 2013), pertama pada

tahun 2014.

1 Tandingan merupakan tambahan penulis, mengingat BPHS hasil Sidang Sinode Dorume masih bekerja

seperti biasanya.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

3

Sidang Sinode Istimewa (SSI) GMIH di Tobelo tersebut mengusung tema

“Lihatlah, Aku Membuat Segala sesuatu Baru” (Wahyu 21:5b). Tema ini memang tidak

hanya sekedar tema, namun memang telah membuat segala sesuatunya menjadi baru;

yakni dengan membentuk sinode baru (GMIH Pembaharuan); menghasilakn jemaat-

jemaat baru hasil perpecahan dari GMIH; menimbulkan “konflik baru” ditengah-tengah

jemaat; menghasilkan elit-elit baru untuk memimpin Sinode GMIH; dan hal baru

lainnya adalah Ketua Sinode GMIH tidak dihadirkan dalam SSI, dan ini bisa dikatakan

sebagai pelanggaran baru terhadap tata aturan gereja.

Sebenarnya, jika memperhatikan sejarah gereja, maka apa yang telah dilakukan

SSI adalah bukan hal baru. Reformasi gereja (yang salah satunya menghasilkan gereja

Protestan) memang sejak dari awalnya sudah terjadi, dan hal tersebut adalah wajar guna

terus memperbaharui situasi dan kondisi gereja sesuai konteksnya. Masalahnya hanya

terletak pada latar belakang reformasi atau pembaharuan yang dilakukan, apakah benar-

benar berangkat dari suara jemaat (umat) atau hanya merupakan keinginan dan

kehendak sebagian orang, terutama sebagian elite gereja.

Mengenai pembaharuan gereja, Martin Luther sekitar tahun 1517 menuntut

reformasi gereja dengan dasar argumentasi pemisahan kekuasaan agama (gereja) dari

negara. Pemicuh tuntutan Luther dikarenakan gereja dan negara pada masa itu adalah

satu–saling kawin-mawin dan tidak terpisahkan. Dasar pemikirannya kemudian

“dilanjutkan” oleh John Lock (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755), sekalipun

dalam beberapa aspek dasar pemicu pemikiran ketiga tokoh ini berbeda, tetapi mereka

juga sependapat bahwa monopoli kekuasaan bertentangan dengan prinsip-prinsip

demokrasi dan berpotensi melanggar kebebasan manusia (Simorangkir, 2011:1). Bagi

Luther, yang penting adalah bagaimana agar manusia dapat hidup bebas, sejahtera,

mandiri dan tidak ada satu orang atau satu kelompok pun yang berhak dan diberi hak

memonopoli kekuasaan gereja sekaligus negara.

Martin Luther mereformasi gereja dengan latar belakang atau alasan yang jelas,

yakni ketika “gereja” memperjualbelikan indulgensia atau surat penghapusan dosa, yang

secara harfiah bisa dimaknai sebagai: agama, sorga, dan keselamatan bisa dibeli dengan

uang dan dengan jasa baik (Simorangkir, 2011:8). Luther mengambil sikap untuk

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

4

melawan gereja akibat kesewenang-wenangan gereja yang memang menjadi sangat

dominan dalam kekuasaan agama maupun negara–indulgensia dapat dimaknai sebagai

“kawin-mawin dogma gereja dengan paradigma ekonomi guna memperkaya elit gereja–

dan ini harus dirombak.

Dalam konteks reformasi, pembaharuan, atau tranformasi yang terjadi di GMIH,

maka pertanyaannya tentang hal yang melatar-belakangi tindakan itu menjadi relevan.

Dalam pemberitaan baik di Radar Halmahera, Malutpos maupun Tobelo Pos, terkesan

SSI GMIH di Tobelo 2013 lebih banyak dilatari oleh masalah politik, yang dikaitkan

dengan kekalahan salah satu calon Gubernur. Sedangkan hasil wawancara dengan

pendeta A. Djurubasa tanggal 11 Oktober 2013, beliau mengatakan bahwa “sebenarnya

tidak hanya itu, dan bukan karena itu, namun lebih pada pelaksanaan tata gereja dan

perilaku beberapa pimpinan gereja yang terlalu condong ke politik ketimbang

pelayanan”. Beliau melanjutkan bahwa “saya pernah menulis di Tobelo Pos akhir tahun

2012 tentang Plus-Minus Sidang Sinode GMIH XXVI di Dorume Loloda Utara, yang

antara lain mengkritik pengabaian penatua dan diaken dalam pemilihan pimpinan gereja

dalam sidang sinode tersebut”.

Walaupun alasan yang dikemukakan pendeta A. Djurubasa di atas baik adanya,

namun pertanyaannya adalah apakah cukup hanya dengan alasan seperti itu SSI di

Tobelo membuat BPHS GMIH “tandingan”? Phil Erari, ketua PGI, Senior Papua Policy

Advisor, Conservation Internasional yang diundang khusus untuk memberikan

semacam materi pembekalan sebelum “para pendukung” SSI di Tobelo 2013 mulai

bersidang, dalam akhir materinya memberikan semacam pesan atau saran: 1) Supaya

dijaga citra GMIH sebagai gereja yang utuh, bersatu, mandiri dan misioner; 2) Hindari

setiap gagasan yang mengarah pada pembentukan Kepemimpinan ganda dalam GMIH,

termasuk perpecahan sebagai gereja baru di Provinsi Maluku Utara; 3) Dalam semangat

di atas, saya mohon agar SSI yang diprakarsai Sekretariat Pembaharuan ini, dirobah

statusnya menjadi Sidang Pembaharuan dan Revitalisasi GMIH, demi persatuan GMIH.

Namun arahan dan saran hanya bisa menjadi arahan,. Faktanya GMIH sebagai

“gereja” yang utuh telah terpecah-belah. Dalam konteks seperti itu, pertanyaan yang

kemudian muncul adalah mengapa sampai terjadi semacam “pemekaran” sinode GMIH

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

5

dengan dibentuknya BPHS GMIH “tandingan”? Dibentuknya BPHS baru berdampak

negatif terhadap pelayanan jemaat-jemaat, realitasnya jemaat itu terpecah mengikuti

kemauan para elit. Kemudi bahtera GMIH yang berlayar dilautan bebas sedang

diperebutkan, penumpang mengalami kebingungan hendak mendukung siapa, namun

yang jelas elit yang berebut kemudi memiliki pendukung loyal–bahtera GMIH tanpa

arah dan haluan jelas untuk berlabu–badai masih terus bergelora.

Proses “pemekaran” sinode berdampak pada pemisahan jemaat-jemaat sebagai

pendukung SSI dan BPHS GMIH pembaharuan 2013 dan jemaat-jemaat pendukung

BPHS GMIH hasil keputusan sidang sinode di Dorume 2012. Hasil wawancara dengan

ketua BPHS versi SSI, bapak L. Sambaimana, S.Th., M.Si mengutarakan bahwa “dari

435 jemaat GMIH yang menyatakan mendukung SSI sudah mencapai 233 jemaat, walau

keinginan awal untuk membentuk SSI itu hanyalah empat jemaat.2” Dengan demikian,

maka dapat dikatakan bahwa legitimasi terhadap sinode GMIH sedang mengalami

resistensi dari bawah.

Realitas ini telah menciptakan semacam konflik kepentingan yang juga terjadi

ditingkat jemaat, khususnya di desa Wari (Jemaat Wari), yakni dalam satu desa yang

awalnya satu jemaat yang beribadah dalam satu gedung gereja setelah adanya hasil

keputusan SSI jemaat juga terkotak-kotak, walau masih beribadah di gedung gereja

yang sama. Bedanya hanyalah warga jemaat pendung SSI dipimpin pendetanya

beribadah saat sore hari dan warga jemaat yang tidak mendung SSI beribadah di pagi

hari.3 Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar bagaimana pola interaksi warga

jemaat setelah mengalami perpecahan?

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam

penetian ini adalah “Konflik Sinode GMIH: Studi Sosiologis Tentang Pola Interaksi

2 Wawancara tanggal 27 Desember 2013 di Rumah Bapak Pdt. L. Sambaimana, M.Th. bandingkan

pernyataan ini dengan hasil Pemetaan yang dilakukan Balitbang dan Statistik GMIH, dalam lampiran.

Data tentang pemetaan ini juga telah peneliti masukan ke bab V 3 Informasi diperoleh dari Pendeta Ny. Mathelda Namotemo, pendeta pelayan Jemaat Wari lewat saluran

telp, tanggal 10 Oktober 2013, dan hasil amatan peneliti pada saat penelitian berlangsung pada bulan

Desember 2013 – Januari 2014 menemukan hal yang sama.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

6

Warga Jemaat Ikthus Wari pasca perpecahan Sinode Gereja Masehi Injili di Halmahera

(GMIH) tahun 2013”. Elaborasi lebih lanjut dari rumusan masalah tersebut melahirkan

pertanyaan penelitian, sebagai berikut:

1. Faktor apakah yang melatar belakangi perpecahan Jemaat Ikhtus Wari pasca

perpecahan Sinode GMIH?

2. Bagaimana relasi (pola interaksi) antar warga jemaat Ikhtus Wari pasca

perpecahan itu?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan

penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan faktor yang melatar belakangi perpecahan jemaat Wari

pasca perpecahan Sinode GMIH

2. Mendiskripsikan pola interaksi warga Jemaat Wari pendukung BPHS baru

dan pendukung BPHS lama.

1.4. Manfaat Penelitian

Sebagai sebuah tulisan ilmiah, maka penelitian ini diharapkan memberikan

manfaat baik praktis maupun teoritis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu

memberikan sumbangsi bagi teori konflik dan legitimasi, khususnya dalam konflik

kepentingan yang mempersoalkan hubungan agama (gereja) dan negara (politik) yang

sedang terjadi dan dialami oleh Gereja Masehi Injili di Halmahera pasca Sidang Sinode

Istimewa di Tobelo tahun 2013.

Sedangkan secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan

sumbangan pemikiran dalam praktek bergeraja khususnya di wilayah GMIH, sekaligus

memberikan kontribusi bagi masyarakat (jemaat) tentang peran gereja (institusi gerega)

dalam jemaat atau masyarakat.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

7

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

Dalam bab ini, dua teori penting akan dibahas guna memberikan gambaran yang

lebih komprehensif sekaligus sebagai semacam “arahan” bagi peneliti dalam melakukan

penelitian ini. Sekalipun demikian, peneliti tidak bermaksud untuk menguji teori-teori

tersebut di lapangan, karena itu jika nantinya dalam penelitian terdapat “konsep-konsep

lokal” yang digunakan dalam menggambarkan fokus penelitian ini, maka akan diadopsi

atau digunakan guna menambah khazana berpikir dalam penelitian dimaksud.

Namun sebelum menjelaskan tentang konflik dan legitimasi, peneliti merasa

perlu untuk menguraikan konsep kekuasaan. Karena itu, pembahasan bab ini akan

difokuskan pada tiga konsep besar, yakni: 1). Makna Kekuasaan; 2). Konflik; dan 3).

Legitimasi.

2.1. Makna Kekuasaan

Dalam kehidupan sosial, wujud kekuasaan seringkali terpatri dalam gagasan

politik formal, seperti negara dan kekerasan diidentikan dengan aktivitas fisik yang

merugikan. Perwujudan relasi kekuasaan dan kekerasan dilihat sebagai peristiwa yang

melibatkan entitas-entitas fisikal, seperti tubuh para aktor, sarana-prasarana fisik,

institusi dan lainnya. Kekuasaan merupakan gejala yang selalu ada dalam masyarakat

manapun, sehingga konsep tentang kekuasaan mengandung kerumitan-kerumitan untuk

mendefinisikannya, dan di kalangan para ilmuan terdapat beberapa perbedaan dalam

mendefinisikan kekuasaan dikarenakan adanya hubungan sosial atau politik yang

dilandasi oleh tindakan-tindakan politik yang sangat dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan sekitar dan menunjukkan perubahan-perubahan yang dinamis.

Kekuasaan sering didefinisikan sebagai kemampuan individu atau kelompok

untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain sehingga bisa sesuai dengan tujuan dan

kemauan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Kekuasaan tidaklah memiliki

makna atau definisi tunggal, namun sebaliknya memiliki makna yang begitu luas

(Budiharjo, 2005: 35). Akibat dari defenisi kekuasaan yang begitu luas dan beragan,

dalam tulusan ini akan dikemukakan pemikiran para ahli tentang kekuasaan hkususnya,

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

8

Max Weber dan Michel Foucault tanpa bermaksud mengabaikan pemikir atau ahli yang

lain.

Max Weber (1864-1920), mengaitkan kekuasaan dengan konsepsinya mengenai

teori tindakan. Bahwa setiap tindakan menurutnya dapat bersifat; pertama, rasional-

tujuan (zweckrational). Kedua, rasional–nilai (wertrational), dan ketiga, bersifat

ekspresi dari adat istiadat yang tertata (Weber, 1980:28; Campbell, 1981:176-178).

Weber mengatakan bahwa kekuasaan merupakan kesempatan bagi individu dalam

berinteraksi sosial untuk mewujudkan keinginannya dalam suatu tindakan komunal

sekalipun harus melawan arus tantangan dan resistensi dengan individu lain yang

terlibat dalam tindakan tersebut (Ritzer dan Goodman, 2009).

Dapat dikatakan bahwa definisi Weber tentang kekuasaan diatas merupakan

yang paling banyak dipakai oleh kalangan sosiolog dan seringkali diposisikan sebagai

norma atau ukuran para penganut mazhab realisme politik. Politik sendiri bagi Weber,

adalah upaya membagi kekuasaan atau upaya mempengaruhi pembagian kekuasaan

yang ada dalam Negara-negara atau di antara kelompok di dalam suatu Negara. Jadi

menurutnya, kekuasaan dan politik adalah dua sisi mata uang dari logam yang sama;

kekuasaan menjadi semacam kemampuan untuk mempengaruhi putusan-putusan politik,

sedangkan politik merupakan upaya membagi porsi berbagai kekuasaan yang tengah

berpengaruh.

Sementara itu, Michel Foucault (1926-1984) juga dikenal sebagai filsuf yang

mengkritik pandangan arus utama tentang kekuasaan. Ia tidak memandang kekuasaan

sebagai suatu milik yang bisa dikuasai dan digunakan oleh kelas tertentu untuk

mendominasi dan menindas kelas yang lain. Bukan pula kemampuan subyektif untuk

mempengaruhi dan mendominasi orang lain seperti pandangan Weber. Kekuasaan tidak

sekadar terkonstentrasi di tangan para penguasa struktur-struktur yang menonjol seperti

negara, perusahaan dan organisasi agama (Foucault, 1997:115).

Menurut Foucault “kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada situasi

strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu”. Dalam hubungan itu, tentu saja ada

pihak yang diatas dan di bawah, di pusat dan di pinggir, di dalam dan di luar. Tetapi ini

tidak berarti kekuasaan terletak di atas, di pusat, dan di dalam. Sebaliknya, kekuasaan

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

9

menyebar, terpencar, dan hadir di mana-mana seperti jejaring yang menjerat kita semua.

Kekuasaan „merasuki‟ seluruh bidang kehidupan masyarakat modern. Kekuasaan berada

di semua lapisan, kecil dan besar, laki-laki dan perempuan, dalam keluarga, di sekolah,

kampus, dan lain sebaginya.

Selain itu Foucault menentang pendapat bahwa kekuasaan semata-mata bersifat

negatif dan represif (dalam bentuk larangan dan kewajiban) seperti dirumuskan dalam

konsepsi yuridis tentang kekuasaan. Menurutnya, kekuasaan justru beroperasi secara

positif dan produktif.

Pandangan Foucault yang menilai kekuasaan bukanlah negatif melainkan positif

dan produktif menyiratkan bahwa kekuasaan dapat dirawat dan diefektifkan melalui

pengetahuan, yaitu membentuk citra yang baik untuk segala kepentingan pemegang

kekuasaan. Dalam memproduksi citra, tatanan dan normalitas, rezim pengetahuan selalu

menindas pengetahuan yang lain (“minor knowledge”) yang karenanya “pengetahuan

marjinal” tersebut juga sebetulnya memiliki kekuasaan untuk berbalik menindas.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, kekuasaan adalah suatu

tindakan seseorang baik individu maupun kelompok dengan menggunakan berbagai

instrumen dalam menopang kekuasaannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Selain itu, perlu juga dimaknai bahwa kekuasaan selalu berada dalam posisi ambigu,

karena untuk mencapai suatu tujuan kekuasaan dapat saja menimbulkan resistensi atau

bahkan penolakan yang dilakukan oleh kelompok yang dikuasai (Andrain, 1992:130).

Namun kekuasaan dapat juga bersifat positif dan produktif bila diarahkan untuk

pencapaian kesejahteraan dan keadilan bagi semua pihak.

Dalam kaitan dengan fenomena “perpecahan” sinode GMIH dengan munculnya

semacam resistensi dari berberapa pihak yang membentuk sinode GMIH “tandingan”

atau GMIH pembaharuan menunjukan bahwa pihak-pihak tersebut baik GMIH lama

maupun GMIH baru sedang mendemosntrasikan kekuasaan yang mereka miliki.

Pertanyaannya apakah demonstrasi kekuasaan itu bertujuan membawa bahterah GMIH

ke arah yang lebih baik atau malah mengarungi gelombang samudera yang

menghancurkan bahterah tersebut? Itulah ambiguisitas kekuasaan.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

10

2.2. Memahami Konflik

Tokoh sosiologi yang cukup terkenal, Emile Durkheim menekankan bahwa

sistem sosial seimbang oleh karena adanya nilai-nilai yang dianut bersama oleh

individu, seperti nilai moral dan agama. Nilai-nilai inilah yang mengikat individu dalam

kelompok masyarakat. Rusaknya nilai-nilai ini berarti rusaknya keseimbangan sosial

dan menciptakan ketidaknyaman bagi individu-individu dalam masyarakat (Durkheim,

1965:121). Walau demikian, pemikiran ini bukan berarti tanpa kritik. Salah satu

pengkritikanya adalah para penganut teori fungsionalis yang melihat masyarakat pada

awalnya disusun oleh individu-individu yang ingin memenuhi kebutuhan biologisnya

secara bersama, namun akhirnya berkembang menjadi kebutuhan-kebutuhan sosial.

Kebutuhan sosial inilah yang membentuk nilai masyarakat. Jadi, kebutuhan biologis

individu-individi berkembang menjadi kebutuhan sosial (kolektif), dan nilai inilah yang

membuat masyarakat tetap seimbang. (Soekanto dan Lestarini, 1988:89-93).

Sekalipun berbeda pada titik berangkatnya, kedua teori di atas memiliki

persamaan bahwa keseimbangan masyarakat terjadi atau terbentuk karena adanya nilai-

nilai yang mengikat. Walaupun demikian, bagi peneliti nilai-nilai perekat keseimbangan

masyarakat bukanlah selalu berfisat statis (tetap) namun berada dalam kondisi yang

penuh dinamika akibat konflik. Konflik dapat saja merusak tatanan nilai yang telah ada,

namun dapat juga mentrasformasi atau memperbaharuinya.

Konflik berasal dari kata confligere, conflictum yang artinya saling benturan dan

mendapat makna sebagai semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian,

ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi-interaksi yang

antagonis (Jary dan Jary, 1991:56). Konflik sebagai relasi-relasi yang antagonis,

berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan, interest-interest eksklusif

yang tidak dapat dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan dan struktur-

struktur nilai yang berbeda, sedangkan interaksi yang antagonis, mencakup tingkah laku

lahiriah yang tampak jelas, mulai dari bentuk-bentuk perlawanan halus, terkontrol,

tersembunyi, tidak langsung sampai pada benturan perlawanan terbuka, kekerasan,

perjuangan tidak terkontrol, benturan laten, pemogokan, hura-hura, gerilya, perang.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

11

Dengan demikian, konflik perlu dimaknai sebagai bagian dari dinamika sosial

yang lumrah terjadi di setiap interaksi sosial dalam tatanan pergaulan keseharian baik

individu, atau pun kelompok dalam masyarakat. Konflik dapat berperan sebagai pemicu

proses menuju pada penciptaan keseimbangan sosial bahkan dapat berperan sebagai alat

perekat kehidupan individu, atau kelompok dalam masyarakat apabila dikelola dengan

baik.

Dalam masyarakat konflik dapat saja terjadi antara dua orang atau lebih, antara

gerakan sosial, antara kelompok kepentingan, antara kelompok kelas sosial, antara

kelompok gender, antara organisasi, antara partai politik, antara suku bangsa, maupun

Ras. Dengan demikian, konflik dapat berasal dari persaingan masa lalu maupun

perbedaan individual, jadi konflik adalah ketidak sepahaman ilmiah yang terjadi di

antara individu atau kelompok yang berbeda sikap, kepercayaan, nilai dan kebutuhan

(Mulyanto dkk, dalam Suwondo, 2002:85).

Kontradiksi internal tersebut bersumber di dalam kenyataan bahwa setiap

masyarakat mengenal pembagian kewenangan atau otoritas (authority), secara tidak

merata, suatu hal yang senantiasa mengakibatkan dua macam kategori sosial dalam

setiap masyarakat, yakni mereka yang memiliki otoritas dan mereka yang tidak

memiliki otoritas (Nasikun, 2007). Dalam konsepsi seperti ini, Ralf Dahrendorf

(1959:162; Nasikun, 2007:20) mengungkapkan bahwa konflik dalam masyarakat selalu

muncul dengan anggapan-anggapan dasar sebagai berikut:

a. Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak

pernah berakhir, atau perubahan social merupakan gejala yang melekat di

dalam setiap masyarakat.

b. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau

dengan kata lain konflik adalah merupakan gelaja yang melekat di dalam

setiap masyarakat.

c. Setiap unsur di dalam masyarakat suatu masyarakat memberikan sumbangan

bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan social.

d. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh

sejumlah orang atas sejumlah orang-orang yang lain.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

12

Dalam perspektif seperti ini, maka authority yang “dibayangkan” seperti di atas,

mengikuti “anjuran” Max Weber perlu dimaknai sebagai kemungkinan perintah-

perintah seseorang, di dalam posisi atau kedudukan tertentu, diikuti oleh sekelompok

orang-orang tertentu, maka authority bersumber atau melekat di dalam kedudukan orang

yang memilikinya (Dahrendrorf, 1959:166).

Berdasarkan pengertian seperti itu, maka di dalam masyarakat selalu terdapat

konflik antara kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan otoritatif berupa

kepentingan untuk memelihara bahkan mengukuhkan status-quo dari pola hubungan-

hubungan kekuasaan yang ada, dengan kepentingan mereka yang tidak memiliki

kekuasaan otoritatif, berupa kepentingan untuk mengubah atau merombak status-quo

dari pola hubungan-hubungan tersebut. Karena kepentingan-kepentingan yang dimiliki

selalu tidak disadar, maka kepentingan ini dapat disebut sebagai kepentingan-

kepentingan yang bersifat laten (laten intesest).

Berdasarkan hal itu, Dahrendorf (1959:179-189) mengemukakan tiga macam

prasyarat bersifat kondisional yang memungkinkan suatu kelompok semu dapat

terorganisir menjadi kelompok kepentingan, diantanya: pertama, kondisi-kondisi teknis

dari suatu organisasi (technical conditions of organization). Kondisi ini hanya akan

tampak dengan munculnya orang-orang tertentu yang mampu merumuskan dan

mengorganisir laten interests dari sauatu kelompok semu menjadi manifest interests

berupa kebutuhan-kebutuhan yang secara sadar ingin dicapai. Dalam perwujudannya,

manifest interests tersebut dirumuskan ke dalam satu bentuk ideologi atau suatu system

nilai, yang pada gilirannya akan berfungsi sebagai program suatu kelompok

kepentingan. Dalam kaitannya dengan fenomena yang terjadi di GMIH, dapat dikatakan

bahwa dokumen Kairos yang disiapkan oleh Sekretariat Pembaharuan dimaknai sebagai

system nilai.

Kedua, kondisi-kondisi politis suatu organisasi (political conditions of

organization), yang dimaksudkan adalah ada tidaknya kebebasan politik untuk

berorganisasi yang diberikan oleh masyarakat. Artinya sekalipun kondisi-kondisi teknis

suatu organisasi terpenuhi, namun tanpa kebebasan untuk berorganisasi kelompok semu

tetap tidak akan dapat terorganisir sebagai kelompok kepentingan. Dengan demikian,

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

13

tanpa kebebasan berorganisasi, maka munculnya kelompok kepentingan hanya akan

bersifat potensial. Dalam kaitan dengan yang terjadi di Halmahera khususnya di GMIH,

political conditions of organization memang terbuka lebar, bahkan kondisi ini didukung

dan sengaja dibuat semakin lebar oleh pemerintah daerah maupun beberapa akademisi

yang ada di Universitas Halmahera.

Ketiga, kondisi-kondisi social bagi suatu organisasi (social condition of

organization), yakni adanya system komunikasi yang memungkinkan para anggota dari

suatu kelompok semu berkomunikasi satu sama lain dengan mudah. Dengan demikian,

dalam kaitan dengan situasi dan kondisi kehidupan bergereja di Halmahera, social

condition of organization memang tampak jelas terbuka dan memungkinkan untuk

secara intens setiap anggota bertemu dan berdialog mewujudkan tujuan yang telah

mereka sepakati pada prasyarat technical conditions of organization. Sebab secara

kondisional mereka hidup dan beraktifitas pada tempat yang sama, apalagi secara

political condition juga menunjukan adanya kesamaan kepentingan.

Berdasarkan pendekatan teori konflik yang didasarkan pada pemahaman Weber

dan Dahrendorf di atas, peneliti mencoba menjelaskan bentuk-bentuk konflik dalam

masyarakat. Penjelasan ini merupakan elaborasi lebih lanjut sebagai konsekuensi logis

dari pendekatan konflik tersebut. Untuk itu lebih jelas tentang bentuk konflik dapat

dilihat pada uraian di bawah ini.

2.2.1. Bentuk-Bentuk Konflik

Manusia baik individu atau kelompok pada dasarnya memiliki ciri-ciri, karakter

dan prilaku yang berbeda-beda. Dalam proses perkembangan sosial perbedaan-

perbedaan tersebut telah melahirkan kelas-kelas sosial yang satu sama lain sangat

kontras. Dengan demikian, maka konflik yang terjadi dalam relasi sosial baik individu

maupun kelompok selalu memiliki dua wajah, yakni positif maupun negatif, karenanya,

mengintensifkan konflik kadang memang perlu sehingga perubahan-perubahan yang

diperlukan bisa terjadi (Fisher, 2001:5). Mengintensifkan konflik berarti

mengungkapkan konflik laten ke permukaan dan menjadikannya terbuka (manifest),

sehingga konflik tersebut dapat dikelola. Untuk itu, di bawah ini akan dijelaskan dua

bentuk atau tipe konflik yaitu konflik laten dan manifest.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

14

a. Konflik Laten (Tertutup)

Konflik laten merupakan konflik sosial yang memiliki sifat yang cenderung

tertutup, atau dengan kata lain konflik yang tersembunyi. Karena sifatnya tertutup maka

konflik laten ini sulit dideteksi dan diprediksi (Fisher, 2001). Bentuk konflik ini

memperlihatkan pada bagian permukaan nampak terjadi integrasi sosial, namun pada

dasarnya integrasi tersebut bersifat semu. Konflik yang bersifat laten seringkali tidak

akan jelas terlihat siapa lawan dan siapa kawan, sehingga sulit untuk dilakukan

rekonsiliasi, dan kalau pun terjadi rekonsiliasi sifatnya sangat semu pula. Manifestasi

adanya konflik bersifat laten seperti gerakan-gerakan bawah tanah

Anthony Giddens mengemukakan bahwa bentuk konflik ini sering terjadi antara

umat beragama, terutama karena keberadaan konflik ini dari aspek sejarah telah

berlangsung sejak lama, dan terjadi berulangkali di berbagai negara yang kadangkala

muncul ke permukaan dan kadangkala tenggelam, tidak kelihatan. Konflik antara Islam

dan Kristen terjadi terus menerus sejak abad pertengahan di negara-negara Eropa yang

sekarang dikenal dengan Spanyol, Yugoslavia, Bulgaria dan Romania (Giddens,

1989:47)

Menurut Fisher (2001:6), karena sifatnya yang tersembunyi dan sulit untuk

dideteksi dan diprediksi, maka konflik laten ini perlu diangkat ke permukaan sehingga

dapat ditangani secara efektif. Jika suatu konflik ditekan, maka akan muncul masalah-

masalah baru di masa depan. Konflik itu sendiri mungkin saja menjadi bagian solusi

dari suatu masalah.

b. Konflik Manifest (Terbuka)

Konflik manifest atau konflik terbuka merupakan bagian dari berkembangnya

konflik laten. Konflik manifest adalah yang berakar dalam dan sangat nyata serta

memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya

(Fisher, 2001). Karena memiliki sifat yang terbuka penyelesaian konflik ini dapat segera

diupayakan, untuk terciptanya rekonsiliasi, meskipun hasilnya tidak selalu memuaskan.

Rekonsiliasi ini dapat terwujud manakala proses pembicaraan dalam rekonsiliasi dapat

menyetarakan semua unsur yang terlibat dalam konflik.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

15

Berdasarkan dimensi timbal balik, konflik seringkali dibedakan dengan istilah

konflik vertikal dan konflik horisontal, dapat disebut sebagai konflik vertikal apabila

dimensi konflik melibatkan pertentangan antara kelompok kelas yang sifatnya vertikal.

Misalnya konflik antara kelompok elite dengan kelompok masyarakat bawah, antara

penguasa dengan rakyat, antara kelompok orang kaya dengan kelompok orang miskin,

antara penguasa dengan kelompok buruh, dan antara pemerintah pusat dengan

pemerintah daerah, konflik yang bernuansa keagamaan dapat bersifat vertikal, misalnya

anata tokoh agama dengan penganutnya. Konflik antar umat beragama dengan

pemerintah dapat juga dikategorikan sebagai konflik yang bersifat vertikal, namun

dalam kaitan ini kelompok umat beragama stutusnya sebagai rakyat (Tholkhah,

2001:39).

Sedangkan konflik horisontal adalah sebuah konflik yang terjadi antara

kelompok kelas yang berdimensi horisontal (hubungan menyamping). Misalnya, konflik

antara kelompok, etnik, konflik antar kelompok pendatang dan penduduk asli, antara

kelompok elite, antar agama (Tholkhah, 2001:40). Tidak mudah mengatasi konflik

horizontal, karena pada dasarnya kesukuan, keagamaan dan kedaerahan merupakan

faktor yang bersifat tetap dan kefaktaan yang terkadang membatasi relasi-relasi individu

maupun sosial (Soedjatmoko, 1984:3-15). Karena itu, dalam pandangan Soedjatmoko,

tentang konsep otonomi dan kebebasan, dia menyatakan bahwa kebudayaan sebagai

otonomi beraspek statis, bertahan terhadap perubahan; sedangkan kebudayaan sebagai

kebebasan beraspek dinamis, mendorong perubahan (Kleden, 1984: xix).

Dalam konteks penelitian ini, asumsi yang peneliti bangun adalah bahwa kedua

bentuk konflik yang telah dijelaskan di atas, terjadi dalam kasus yang di hadapi Geraja

Masehi Injili di Halmahera (GMIH) saat ini. Tindakan tim pembaharuan melakukan

Sidang Sinode Istimewa (SSI) di Tobelo tahun 2013 mungkin merupakan manifestasi

dari konflik laten yang selama ini dipendam tentang penatalayanan gereja dan

pemberdayaan warga jemaat yang tidak atau belum berjalan maksimal. Namun hal ini

baru merupakan asumsi awal.

Bahkan dalam beberapa informasi, konflik yang terjadi pada tingkat elite

organisasi sinode GMIH dan para pendeta telah berdampak (negatif) terhadap pelayanan

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

16

terhadap jemaat, yakni terjadinya pemisahan jam ibadah dan bahkan konflik ditingkat

jemaat. Diskusi tentang hal ini tampak menarik dilakukan dalam jejaring sosial facebook

dengan nama “Grup Diskusi Halmahera”. Dengan demikian, maka penggunaan teori

konflik dalam penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan pola, model atau bentuk

konflik yang terjadi baik di tingkat elite maupun di tingkat warga jemaat, dan belum

sampai pada bagimana bentuk resolusi konfliknya. Sekalipun nantinya terdapat sebagian

pejelasan tentang hal ini.

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan yang mencul adalah apakah konflik

yang terjadi cukup berdampak pada legitimasi jemaat terhadap kepemimpinan sinode

GMIH saat ini? Ataukah legitimasi jemaat ikut terbagi akibat dualisme kepemimpinan

GMIH?. Khusus tentang topik legitimasi ini, peneliti memilih salah satu jemaat di

Halmahera, yakni jemaat Wari yang menurut informasi telah terbagi dua; sebagian

jemaat memilih untuk tetap mengikuti kepemimpinan sinode yang sudah ada dan

sebagian lagi memilih untuk mengikuti sinode bagu hasil bentukan SSI. Topik ini akan

dibahas pada bab lain.

2.3. Makna Legitimasi

Dalam masyarakat pra-modern dan modern telah terjadi hirarki komando yang

setiap orang perlu mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan bersama, dalam

menegakkan aturan bersama perlu juga ada individu-individu atau lembaga yang diberi

kewenangan serta kekuasaan guna penegakan. Dalam perspektif Nasikun (2007) selalu

terdapat “mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai”. Merupakan ciri khas

negara bahkan organisasi atau lembaga bahwa kekuasaanya memiliki wewenang. Maka

kekuasaan negara organisasi atau lembaga dapat disebut sebagai kekuasaan otoritatif.

Otoritas atau wewenang adalah kekuasaan yang dilembagakan dan berhak menuntut

ketaatan dan berhak memberi perintah. Terhadap wewenang itu timbullah pertanyaan

tentang legitimasi atau keabsahan kekuasaan (Susilo, dkk., 2003:107-128)

Legitimasi terkait erat dengan keyakinan moral yang membenarkan hak untuk

dimanfaatkan dalam menuntut ketaatan dan memberi perintah. Walaupun demikian,

legitimasi bukan diperoleh dari penguasa (dari atas - kebawah), melainkan dari bawah

ke atas, atau dengan kata lain legitimasi berasal dari masyarakat–walau tidak selalu,

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

17

misalnya dalam teori souverinitas. Sebagai contoh, dimata masyarakat Tibet, Dalai

Lama diberikan legitimasi oleh masyarakat untuk menjadi pemimpin politik mereka

sekaligus sebagai pendeta tertinggi (Andrain, 1992:203; Surbakti, 1992:85-99).

Dengan demikian legitimasi memperlihatkan bahwa berbagai segmen

masyarakat luas yakin bahwa penguasa memiliki hak untuk berkuasa. Penerimaan

keabsahan oleh masyarakat tersebut, juga dapat menghindarkan penguasa dari

mengandalkan kekerasan fisik dalam mempertahankan kekuasaannya. Legitimasi juga

lebih mempermudah bagi para penguasa untuk membuat berbagai kebijakan dalam

situasi yang sulit. Banyak penguasa yang sulit atau cenderung mengelak untuk membuat

kebijakan, karena khawatir terhadap konsekuensi-konsekuensi melakukan kesalahan

yang berakibat pada hilangnya legitimasi masyarakat dan runtuhnya kekuasaannya.

Dengan demikian, antara Kekuasaan (power), Wewenang (authority), dan

Keabsahan (legitimacy), tidak dapat dilepas-pisahkan dalam kaitannya dalam menuntut

ketaatan masyarakat. Disisi lain, karena kekuasaan memiliki konsekuensi-konsekuensi,

untuk ditaati atau tidaknya suatu perintah, maka ketiga konsep tersebut sangat

tergantung pada pengakuan dan keyakinan masyarakat sebagai dasar untuk mentaati

suatu Perintah.

Kajian tentang legitimasi kekuasaan, khususnya mengenai legitimasi negara,4

Weber dianggap sebagai teoritikus legitimasi. Weber menempatkan analisisnya dalam

teori kekuasaan yang disebut dengan dominasi dan legitimasi. Menurut Weber

dominasi adalah upaya untuk memperoleh ketaatan secara sukarela, sebagaimana yang

dikemukakan Max Weber (1974:212), bahwa:

“... all the way from simple habituation to the most purely rational calculation

of advantage. Hence every genuine from of domination implies a minimum of

voluntary complience, that is, an interest(based on ulterior motives or genuine

acceptance) in obedience”.

Konsepnya bahwa kekuasaan dilegitimasi dengan mengacu pada adat istiadat

dan tradisi, atau klaim-klaim kharismatik pemimpin personal, atau pada prosedur-

4 Dalam konteks Gereja yang menganut sistem Presbitarial Sinodal memang ada sedikit perbedaan,

namun dalam prakteknya tidak jauh berbeda. Topik ini akan coba dibahas pada bagian berikutnya.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

18

prosedur rasional - legal, dianggap sebagai sumbangan terbesar Weber terhadap

sosiologi politik. Sebagaimana di kemukakan oleh J. Freund, bahwa;

“Tidak ada otoritas yang puas begitu saja atas ketaatan dan kepatuhan yang

hanya muncul berdasarkan common sense, rasa pantas atau penghargaan

belaka; kekuasaan akan selalu berusaha menumbuhkan kepercayaan di

kalangan pengikutnya untuk meyakini legitimasi yang dia miliki, dan ini

ditempuh dengan cara mentransformasikan disiplin-disiplin menjadi sikap

tunduk dan patuh terhadap kebenaran yang dia wakili. Weber menemukan tiga

tipe otoritas yang legitimate” (Turner, 1991:322).

Tiga bentuk legitimasi yang di kemukakan Weber (Budiharjo, 1998:15; Suseno,

1987:5; Ritzer dan Goodman, 2005), adalah:

1. Legitimasi tradisional, yaitu keyakinan dalam suatu masyakarat tradisional,

bahwa pihak yang menurut tradisi lama memegang pemerintahan memang

berhak untuk memerintah, misalnya kaum bangsawan atau keluarga raja

(dinasti) dan oleh karena itu sudah sepatutnya apabila pihak itu ditaati;

2. Legitimasi kharismatik, berdasarkan pada perasaan kagum, hormat, cinta

masyarakat terhadap seseorang individu yang sangat mengesankan sehingga

masyarakat dengan sendirinya bersedia untuk mentaatinya; misalnya

ketaatan masyarakat kepada pemimpin spiritual pada masyarakat primitif,

atau ketaatan masyarakat kepada pemimpin agama; dan

3. Legitimasi Rasional – legal, berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum

rasional yang melandasi kedudukan seseorang pemimpin. Inilah bentuk

legitimasi yang menurut Weber paling ideal pada masyarakat modern.

Berdasarkan ketiga konsep legitimasi di atas, Weber mengemukakan seorang

pemimpin negara dalam menjalankan kekuasaannya harus dilandaskan pada legitimasi

rasional legal, yaitu:

“Satu keyakinan akan legalitas aturan-aturan dan legalitas hak mengeluarkan

perintah bagi pemegang kekuasaan yang didapatkannya berdasarkan aturan

pula; yang lazim disebut otoritas legal” (Turner, 1991:331).

Dengan demikian, maka legitimasi rasional legal perlu dipahami sebagai

keyakinan akan legalitas pola aturan baku dan mereka yang memegang kekuasaan

tersebut sekaligus memiliki kewenangan untuk melaksanakan atauran-aturan bersama.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

19

Kewenangan yang dimiliki oleh individu-individu yang dipercayakan memegang

kekuasaan tertentu dalam organisasi bahkan negara memiliki kemampuan “memaksa”

yang untuk mematuhi kepemimpinannya. Ketidak-patuhan terhadap kepemimpinan

legal rasional akan diberi sanksi. Sekalipun demikian, legitimasi yang berasal dari

rakyat tidak serta-merta dapat disahgunakan oleh mereka yang dilegitimasi, karena itu

ketidak-mampuan pimpinan dalam menjalankan aturan dapat berakibat “penarikan”

kembali legitimasi yang telah diberikan, dengan cara resistensi rakyat.

Artinya sebuah aturan dapat dipandang legitimite karena aturan tersebut

dijalankan berdasarkan prosedur-prosedur yang legimite pula. Weber melihat bahwa

sistem pemerintahan yang didasarkan pada legitimasi rasional-legal hanya dapat

berkembang pada masyarakat modern, sehingga Weber mengatakan bahwa, bentuk

legitimasi lain (tradisional maupun kharismatik) adalah bentuk legitimasi yang

menghambat perkembangan sistem hukum rasional dan birokrasi modern (Ritzer dan

Goodman, 2005:38-39).

Namun demikian, legitimasi yang merupakan instrumen penting terhadap

pelaksanaan kekuasaan untuk menuntut ketaatan masyarakat, bagaimanapun bentuknya

tentu akan selalu membawa konsekuensi-konsekuensi. Misalnya saja, dalam kaitan

dengan penelitian ini, legitimasi jemaat memberikan peluang kepada penguasa

(pemimpin GMIH) untuk membuat perubahan-perubahan kebijakan yang menurutnya

adalah menyangkut kebutuhan hidup jemaat atau gerja, namun dalam pandangan

beberapa pihak, pimpinan Sinode GMIH masih kurang mampu dalam membuat

kebijakan-kebijakan pemberdayaan jemaat, malah terkesan “berjalan” sendiri dan

mengabaikan aturan-aturan gereja. Sehingga muncul kekecewaan sebagian pihak dalam

wujud Sidang Sinode Istimewa (SSI) di Tobelo tahun 2013.

Sayangnya, beberapa pihak yang telah “menarik kembali” legitimasi yang telah

mereka berikan dalam Sidang Sinode di Dorume tahun 2012 tidak hanya berupaya

memperbaikan tatanan organisasi Gereja (GMIH) yang sudah ada namun lebih jauh

membentuk semacam GMIH tandingan. Sehingga terkesan ada kepentingan politik lain

yang muncul dan mendasari pelaksanaan SSI di Tobelo tahun 2013 itu. Dalam konteks

ini, maka dapat diformulasikan bahwa konsekuensi pendayagunaan kekuasaan oleh

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

20

pimpinan sinode GMIH yang kurang optimal telah mengakibatkan resistensi sebagian

warga jemaat.

2.4. Kerangka Pikir Penelitian

Berdasarkan fokus masalah yang telah dikemukakan di bab I, dengan

memperhatikan pendekatan metode dan teori, terutama teori konflik dan teori legitimasi

yang digunakan, maka pemaparan tersebut mengerucut sebagai bentuk kerangka pikir

penelitian, yang akan digunakan sebagai “arahan” dalam melakukan penelitin ini. Untuk

itu, kerangka piker penelitian dapat diformulasikan sebagai berikut.

Gambar 2.1

Kerangka Pikir Penelitian

PERPECAHAN JEMAAT

IKHTUS, WARI-TOBELO

GEREJA MASEHI

INJILI di

HALMAHERA (GMIH)

KONFLIK

KEPENTINGAN ANTAR

ELIT GMIH

PERPECAHAN BPS GMIH

HASIL SIDANG

SINODE XXVII

BPS GMIH HASIL

SIDANG SINODE

ISTIMEWA

LEGITIMASI

JEMAAT

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

21

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Dalam

penelitian pendekatakan kualitatif tidak terdapat tuntutan baku tentang terpenuhinya

syarat representatifitas sehingga dapat dibuat generalisasi ke arah yang lebih luas,

pendekatan kualitatif menghendaki adanya kelengkapan dan keakuratan data (Suwondo,

2005:189). Dengan alasan seperti inilah pendekatan kualitatif dipilih, artinya penelitian

ini tidak bermaksud untuk melakukan generalisasi.

Dengan pendekatan seperti itu, maka jenis penelitian yang digunakan adalah

penelitian deskriptif dan eksplanatori. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan

secara tepat sifat–sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau

untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala dan gejala lain dalam

masyarakat atau organisasi tertentu (Koentjaraningrat, 1997: 29). Jenis penelitian

deskriptif bertujuan mendiskripsikan pola interaksi jemaat Wari yang telah terpecah

pasca SSI di Tobelo 2013, yakni sebagian jemaat mendukung sinode lama dan sebagian

lagi mendukung sinode baru (Nordholt, 1973: 88), sedangkan penelitian eksplanatif

bertujuan menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi perpecahan GMIH termasuk

juga perpecahan jemaat Ikthus Wari akibat konflik kepentingan pada tingkat Sinode

GMIH (Malo, 1986: 38).

3.2. Unit Amatan dan Unit Analisa

Proses mengumpulkan data atau informasi adalah bagian terpenting dari suatu

penelitian guna mendukung analisis. Karena itu, untuk mendapatkan data atau informasi

yang baik diperlukan penentuan unit amatan dan unit analisisnya. Satuan Analisis (unit

of analisys) ialah aras agregasi dari data yang dikumpulkan untuk dianalisis dalam

rangka menjawab persoalan penelitian. Sedangkan satuan pengamatan (unit of

observation) ialah sesuatu yang dijadikan sumber untuk memperoleh data dalam rangka

menggambarkan atau menjelaskan tentang satuan analisis. Sesuatu yang dapat dijadikan

sumber itu dapat orang, tempat atau organisasi (Ihalauw 2004 : 178).

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

22

Dengan demikian, maka unit analisis dalam penelitian ini adalah faktor-faktor

yang melatar belakangi perpecahan Sinode GMIH termasuk perpecahan Jemaat Ikthus

Wari dan pola interaksi warga Jemaat Ikthus Wari pasca perpecahan. Selain itu, unit

amatan atau unit observasi dalam penelitian ini adalah pola interaksi Jemaat Wari pasca

SSI, Sinode Pembaharuan atau Sinode GMIH baru dan secara umum Sinode GMIH.

3.3. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber melalui

wawancara dengan pihak-pihak terkait. Dalam hal ini data dikumpulkan melalui

informan kunci yakni tokoh-tokoh Jemaat Wari, Pemuda Jemaat Wari, kepala desa

Wari, para pengurus sinode pembaharuan hasil SSI GMIH di Tobelo 2013 dan pengurus

Sinode GMIH. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari literature,

dokumen mengenai persoalan sampah yang pernah dipublis dalam jurnal dan media

(koran), salah satu yang penting dari data sekunder adalah hasil keputusan SSI di

Tobelo, termasuk tata gereja GMIH.

Teknik pengumpulan data adalah cara-cara praktis yang ditempuh peneliti dalam

mencari dan mengumpulkan data penelitian dalam bentuk pikiran, kata-kata, tindakan,

peristiwa/kasus, tulisan-tulisan, gambar, dan lain-lain, sesuai dengan masalah atau fokus

penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menempuh jalur wawancara mendalam (In

depth interview), pengamatan (obsevation), penelusuran kepustakaan dan atau

dokumentasi. Wawancara mendalam dilakukan kepada informan atau responden kunci

(key informan/responden) sebagai sumber data primer (Moleong, 2006).

a. Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam merupakan suatu cara mengumpulkan data atau informasi

dengan cara langsung bertatap muka dengan informan, dengan maksud mendapatkan

gambaran lengkap tentang topik yang diteliti.

b. Dokumentasi

Selain menggunakan tekhnik wawancara peneliti juga melakukan study – study

kepustakaan seperti, dokumen sejarah GMIH, dan dokumen berupa gambar/foto, dan

lain-lain.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

23

c. Pengamatan

Guba dan Lincoln dalam Moleong (2006) mengemukakan bahwa pengamatan

memungkinkan peneliti melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku

dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya, dan juga pengamatan

memungkinkan peneliti mengatasi aspek bias dari proses wawancara.

Ketiga pola strategi ini digunakan untuk mendapatkan data dari informan dalam

skala unit analisa dan unit amatan yang telah ditetapkan di atas.

3.4. Teknik Analisis Data

Proses analisa data dilakukan mengikuti alur penelitian kualitatif, terdapat tiga

tahapan yang digunakan yaitu melalui tiga tahap model alir. Menurut Ridjal (dalam

Bungin, 2003), tiga tahap model alir yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi.

Dalam penelitian, ketiga tahapan tersebut akan berlangsung secara simultan.

Proses analisa hasil penelitian, dilakukan bersama dengan proses pengumpulan

data, diantaranya melalui tiga tahap yaitu reduksi data, merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari teknik triangulasi di atas, dimana ada data-data yang mungkin

terpotong, dan tidak dapat digunakan, dapat juga dikatakan sebagai mengelompokan

data merupakan bagian penting dari deskripsi tentang masalah yang diteliti, kemudian

melakukan analisis, terhadap data yang ditemukan dalam rangka menjawab tujuan

penelitian dan tahap ketiga adalah verifikasi atau simpulan terhadap hasil analisa data.

Ketiga tahap ini merupakan proses yang saling berhubungan, dan tidak berdiri sendiri

(Sugiono, 2006: 276-284).

.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

24

BAB IV

BAHTERA GEREJA MESEHI INJILI di HALMAHERA (GMIH)

DI LAUTAN LEPAS

Bab ini merupakan bab yang mendiskripsikan secara umum tentang situasi dan

kondisi GMIH, baik sejarah perjalanan pembentukannya, maupun situasi konflik yang

sedang dihadapi yang mengakibatkan perpecahan serta berimplikasi pada dualisme

kepemimpinan dalam tubuh GMIH sebagai gereja yang utuh. Namun sebelum

melakukan deskripsi tentang situasi dan kondisi GMIH, lebih awal perlu dijelaskan

implikasi paradigma Pasca-Modern bagi Misi Gereja terutama misi gereja GMIH yang

sedang membangun.

4.1. Implikasi Paradigma Pasca-Modern Bagi Misi Gereja

Perkembangan Gereja tentu tidak dapat dilepaskan dari komunitas dan

masyarakat di mana gereja tersebut berada atau hidup. Teologi yang dikembangkan oleh

gereja tentu (dan harus) diupayakan dalam posisi berdialog dengan tatanan masyarakat

yang dilayani gereja. Sekalipun demikian, pada era pasca-modern, teologi yang

dikembangkan oleh gereja-gerja termasuk Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH)

adalah teologi gereja yang tidak dapat dipisahkan dari paradigma pasca-modern,

sehingga paradigma yang mempengaruhi pemahaman teologi Gereja mengenai misi

tentu dipengaruhi juga oleh paradigma pasca-modern. Menurut Thomas Kuhn,

paradigma adalah “An entire constellation of beliefs, values, tecniques and so on shared

by the members or a given community” (Widi, 1997:33).

Berdasarkan pemahaman di atas, paradigma misi gereja pasca modern perlu

dipahami sebagai model interpretasi dan seperangkat nilai-nilai pasca modern yang

mempengaruhi pemahaman Gereja tentang teologi misi dalam melaksanakan tugas

misioner pada sebuah komunitas dengan konteks pergumulannya. Pasca-moden

menggugat watak modernisme lanjut yang monoton, positivistik, rasionalistik dan

teknosentris; modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sejarah yang linear,

kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta

pembakuan secara ketat tata pengetahuan dan sistem produksi; modernisme yang

kehilangan semangat emansipasi dan terperangkap dalam sistem yang tertutup; dan

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

25

modernisme yang tak lagi peka pada perbedaan dan keunikan (Haryanto, 1994:80).

Tema utama yang sering disuarakan pasca-modern antara lain adalah pluralisme,

heterodoks, eklektisisme, keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi,

dekonstruksi, pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi,

delegitimasi serta demistifikasi (Bertens, 1995:44). Secara singkat perbedaan

karakteristik antara era modern dan pasca-modern dapat dibedakan dalam dua hal :

Modernisme : singular, seragam, tunggal. Sedangkan Post Modernisme : plural,

beraneka ragam, bhinneka. Dengan demikian, pasca-modem mendorong manusia untuk

menghargai dan menghormati keunikan dan pluralitas, terutama pluralitas dalam teologi.

Menyangkut paradigma, menurut David J. Bosch (Bosch, 2000:529-556)5

setidaknya terjadi pergeseran dimensi paradigma era modern ke era pascamodern. Bosch

mengemukakan setidaknya terdapat tujuh pergeseran dimensi paradigma dan

implikasinya bagi Gereja, yaitu: pertama, pergeseran rasionalitas, bahwa ramalan abad

pencerahan tentang agama yang “bermain” pada tataran nilai akan mengalami

kemundurun dan bahkan mati, ternyata tidak terbukti kebenarannya. Buktinya pada awal

abad ke 20 muncul gerakan Pentakosta dengan mengalahkan pesaing-pesaingnya dalam

Protestantisme seperti Lutheran, Reformed dan Anglikan. Di samping itu, kekristenan

juga berkembang dengan subur di dataran Cina dan Afrika.

Walaupun demikian, Bosch tidak menganjurkan untuk meninggalkan

rasionalitas, karena sebagai manusia kita juga perlu hal-hal yang bersifat rasional dalam

mengembangkan ilmu pengetahuan. Tetapi rasional tersebut harus diperluas dengan

“dibumbuhi” dimensi spiritual-religius, karena tanpanya maka hidup manusia akan

terasa kosong dan hampa. Perwujudan dari perluasan ini adalah sudah tidak berlakunya

pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Agama dan ilmu pengetahuan perlu

hidup dalam relasi yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya–menyegani Tuhan

adalah permulaan pengetahuan.

Kedua, pergeseran skema subjek objek. Dominasi dan objektifitas atas alam

5 Bosch memberikan uraian yang cukup panjang tentang pergeseran dimensi paradigma ini. Dalam bagian

ini, saya hanya merangkum beberapa hal yang penting guna memberikan semacam „pencerahan‟ untuk

melihat GMIH secara lebih komprehensif, sebab beberapa hal yang dikemukanan Bosch memiliki

kemiripan dengan perjalanan GMIH sampai dengan pembaharuan yang sedang terjadi di tahun 2013-2014

ini. Bagian ini selain disarikan dari D.J.Bosch, juga disarikan dari tulisan Ngarbingan, 2004

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

26

serta penundukan fisik terhadap pikiran manusia, yang selalu menjadi ciri khas

Pencerahan ternyata memberikan konsekuensi-konsekuensi yang menghancurkan.

Dunia menjadi semakin sederhana, tertutup bahkan unsur misteri dari dunia itu sendiri

menghilang, karena dilihat sebagai objek mesinisasi manusia yang kaku. Oleh karena

kecenderungan kehidupan yang semakin hancur itulah, maka perlu untuk melakukan

reorientasi. Komitmen yang harus dibangun adalah dengan mengakui diri sebagai

bagian dari bumi dan saudara dari seluruh umat manusia. Kerangka berpikir Gereja

seharusnya diarahkan pada cara berpikir secara holistik yang menekankan kebersamaan

antara pikiran dan jasmani, subjek dan objek serta menekankan „simbiosis‟. Karena itu,

misi Gereja harus diarahkan pada penggunaan teknologi yang berorintasi pada nilai-nilai

Kerajaan Allah dalam menentukan hidup manusia.

Ketiga, penemuan kembali dimensi Teologis. Tujuan hidup manusia pada zaman

pencerahan menyebabkan hidup manusia semakin tidak ada artinya–hanya mengejar

kesenangan, terjebak dalam lingkaran sebab-akibat. Kondisi seperti ini nampaknya bisa

bertahan dalam konteks kehidupan dari segelintir orang-orang yang memiliki hak-hak

istimewa dalam abad ke 19 di Eropa dan Amerika Utara, karena mereka mempunyai

jaminan hidup yang layak. Sementara itu lingkaran sebab-akibat seraca teologis

menyebabkan iman yang sifatnya eskatologis semakin tidak dihayati karena tidak ada

perubahan yang tidak dapat diramalkan. Pasca-modern melakukan kritik terhadap

realitas hidup seperti itu, manusia tidak perlu untuk hidup dalam pola yang lama dan

mapan. Segala sesuatu teridentifikasikan dan secara langsung akan memberikan harapan

bagi orang bayak, terutama bagi mereka yang tidak mempunyai hak-hak istimewa.

Kondisi ini secara jelas-jelas menggambarkan pertobatan orang-orang yang selama ini

tenggelam dalam lingkaran sebab-akibat yang kaku. Dalam konteks ini, misi Gereja

menjadi relevan dalam memberikan harapan bagi orang yang kehilangan tujuan hidup.

Keempat, pemikiran tentang kemajuan dari Pencerahan membangkitkan ekspansi

kolonial dan kemudian melahirkan konsep pembangunan. Karena itu, sejak

pencanangan „Pendekatan Komprehensif‟ oleh Konferensi Dewan Misi Intemasional di

Yerusalem (1928), Gereja mau tidak mau harus melakukan berbagai hal yang tidak

sekedar pelayanan, tetapi terlibat dalam upaya rekonstruksi pedesaan, pemecahan

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

27

masalah-masalah indusri. Dekade 1960 merupakan periode pembangunan yang

dilaksanakan dengan menggebu-gebu baik oleh pemerintah maupun Gereja.

Pembangunan yang dijalankan dianggap bisa dan harus menjawab masalah Dunia

Ketiga.

Kelima, penemuan kembali nilai-nilai dalam fakta kehidupan. Hal mendasar dari

pencerahan adalah pembedaan radikal antara fakta dan nilai. Namun, keseluruhan

bangunan ini mulai runtuh, tembok-tembok yang dibangun oleh positivisme dan

empirisme antara subjek dan objek, fakta dan nilai dalam kenyataannya mulai runtuh.

Dalam realitas hidup orang Kristen pada masa pascamodern adalah sikap yang kritis

diri, sehingga dengan begitu Gereja dapat terbebas dari ketergantungan kepada utopis

yang keliru. Kritis diri ini juga harus disertai dengan memperbaharui dasar-dasar iman

Kristen, dengan begitu Gereja akan semakin sadar terhadap sikap misinya terhadap

orang-orang dan kepercayaan-kepercayaan lain.

Keenam, melampaui optimesme pencerahan. Salah satu unsur yang mengalami

tekanan adalah sikap optimistis masyarakat pencerahan yang menganggap bahwa segala

pergumulan dan permasalahan hidup manusia, pada prinsipnya, dapat dipecahkan.

Mimpi- mimpi pencerahan tentang sebuah dunia yang satu di mana semuanya akan

menikmati kedamaian, keadilan dan kebebasan telah berubah menjadi mimpi buruk

yang penuh konflik, belenggu dan ketidakadilan. D.J Bosch mengemukakan bahwa

seruan yang tidak kritis tentang pembaharuan, perubahan dan pembebasan pada tahun

1970-an dalam konferensi-konferensi Gereja sedunia menampakkan ketidakmampuan

Barat untuk mempercayai bahwa era hegemoninya telah usai. Orang semakin sadar

bahwa wajah dunianya semakin diwarnai oleh kejahatan dalam diri dan struktur

masyarakat.6

Ketujuh, dari individualism menuju kesalingtergantungan yang positif.

Kepercayaan pencerahan terhadap otonomi individu dalam menentukan dan mencari

kebahagiaan hidupnya ternyata membawa dampak negatif. Kemampuan diri sendiri

yang diandalkan, yang tidak melihat dan membutuhkan orang lain di sekelilingnya.

6 Dalam konteks GMIH, pola pembaharuan yang dilakukan oleh kelompok reformasi dan pembaharuan

dapat dikatakan „tidak kritis‟ sebab telah mengakibatkan mimpi buruk yang penuh konflik, belenggu dan

ketidakadilan

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

28

Karena itu, Gereja perlu hadir dan menciptakan kehidupan yang saling bersama,

kesaling-tergantungan, “simbiosis” merupakan wujud dari keyakinan bahwa manusia

bukanlah satuan dirinya sendiri melainkan bagian dari organisasi. Disinilah letak

manfaat penemuan kembali Gereja sebagai “Tubuh Kristus” dan misi Gereja sebagai

pembangunan suatu komunitas dari mereka yang ikut serta dalam sebuah tujuan

bersama.

Ketujuh dimensi pergeseran paradigma yang dikemukan D. J. Bosch di atas,

diyakini turut memberi warna dalam perjalanan Bahtera GMIH sejak awal

keberadaannya–tahun 1949 sampai dengan terjadinya prahara GMIH. Prahara yang

dimaksudkan adalah munculnya beberapa kelompok jemaat yang menuntut

pembaharuan GMIH, pembaharuan dimaksudkan untuk mengembalikan GMIH pada

“track” yang benar–setidaknya menurut paradigma mereka yang menuntut

pembaharuan, namun tuntutan ini menjadi “tidak kritis” sebab tidak mampu dikelola

secara benar pada tingkat elit dan berimbas pada konflik ditingkat jemaat.

4.2. GMIH Dalam Perjalanan Sejarah Pembentukannya: Keterkaitan GMIH

dengan Sistem Politk Negara dalam Perspektif Presbiterial Sinodal

Salah satu referensi menarik yang mengisahkan perjalanan sejarah penyebaran

Injil di Halmahera adalah “buah tangan” James Haire yang berjudul “Sifat dan

Pergumulan Gereja Halmahera” terbitan BPK Gunung Mulia tahun 1998. Dalam buku

ini, Haire menguraikan latar sejarah yang melandasi pertumbuhan gereja di Halmahera.

Latar sejarah yang dikisahkan berawal dari Papua, ketika terjadi gempa bumi yang

mengguncang kepulauan Papua, khususnya Nieu-Guinea pada tahun 1868.

Akibat dari gempa bumi tersebut, para zendeling–Utrechtsche Zending

Vereeniging (UZV) memperluas wilayah pekabaran Injil yang awalnya di Papua.

Dengan demikian, dapat dikakatan bahwa tanpa adanya gempa bumi di Papua, mungkin

para zendeling tidak akan berpindah ke Ternate dan memperluas wilayah pekabaran injil

sampai ke pulau Halmahera. Selain itu, faktor lain yang turut mempengaruhi pekabaran

Injil di Halmahera adalah kedatangan seorang anggota suku Galela yang bernama Moli

di ke Ternate. Sebelum tiba di Ternate, Moli bekerja untuk C.W. Ottow salah seorang

zendeling Gossner pertama di Neieuw-Guinea, kedatangannya di Ternate akibat

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

29

zendeling tersebut meninggal dunia (Haire, 1998: 179-181). Dengan demikian, Moli

diduga sebagai orang pertama dari Halmehera yang menjadi Kristen (Ngarbingan,

2004:71).

Upaya ini memberi jalan bagi zendeling lain guna melakukan perluasan

pekabaran Injil di Halmahera, diantaranya: De Bode dan Van Dijken yang tiba di Galela

pada 19 April 1866, dan memulai pekerjaan Injil dengan semboyan: penginjilan lewat

pembangunan negeri. Semboyan ini mengindikasikan bahwa Van Dijken bukan hanya

seorang penginjil namun juga seorang petani ulung. Ia menanam kopi, coklat, panili,

pala dan segala tanaman palawija serta tembakau. Pertanian ini menarik simpati warga

Galela yang masih belum mengenal sistem pertanian secara baik sehingga rumah Van

Dijken menjadi tempat berkumpul banyak orang. Kesempatan ini dipakai Van Dijken

untuk mengajar mereka. Bahkan ketika wabah kolera menyerang, banyak orang yang

disembuhkan Van Dijken, jelaslah bahwa zending melayani warga Halmahera melalui

aspek-aspek kehidupan manusiawi, dan pembabtisan pertama baru dilakukan pada 17

Juli 1874, yakni 5 orang laki-laki dan dua orang perempuan (Haire, 1998).

Pola pekabaran Injil yang dilakukan van Dijken adalah dengan cara

“mengumpulkan massa” kemudian mengajar, setelah itu barulah dibaptis. Kegiatan ini

mula-mula dilakukan didaerah pesisir pantai, sebab UZV tidak mendapatkan izin untuk

tinggal bersama penduduk. Diperkirakan sekitar tahun 1867 van Dijken berpindah ke

tepi danau dan membangun rumah atau boleh dikatakan perkampungan–sebab orang-

orang yang diajar (mendapatkan pengajaran agama Kristen) olehnya ikut tinggal

bersama–perkampungan itu diberi nama Duma yang artinya keheningan (Haire,

1998:187). Kegiatan pekabaran Injil mulai intens dilakukan pada saat itu.

Selanjutnya, dalam rangka perluasan pekabaran Injil, maka Anton Hueting

diutus ke Tobelo awal tahun 1897 atau 23 tahun setelah Van Dijken ditahbiskan

menjadi penginjil di Ternate. Kehadiran Hueting di Tobelo “bertepatan” dengan

terjadinya persoalan politik antara Spanyol dan Portugis yang turut mengadu domba

Sultan Ternate dan Sultan Tidore. Gesekan politik tersebut dalam konteks tertentu

dimanfaatkan oleh Hueting guna mendapatkan simpati masyarakat, dia melayani

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

30

mereka, memberi “pencerahan” dan berhasil meredam pemberontakan. Sehingga tahun

1898 terjadi gerakan masal masuk Kristen dan dibaptis.

Pola pekabaran Injil yang Hueting berbeda dengan pola yang dilakukan van

Dijken. Hueting dalam prakteknya tidak menganut pertobatan pribadi, namun lebih pada

pertobatan masal–pola ini intinya adalah yang terpenting dibabtis dulu baru dibina atau

dididik; sedangkan van Dijken menganut pola pertobatan pribadi, yakni mendidik dan

mempersiapkan dengan baik warga masyarakat untuk menerima Injil melalui

pendidikan, kesehatan, pertanian dan kehidupan sosial, setelah itu barulah mereka

dibabtis. Babtisan masal yang pernah dilakukan Hueting adalah membaptis masyarakat

desa Wohia–sekarang sering disebut Wosia, dan pada tahun 1898-1910 terjadi

pembabtisan orang-orang suku Tobelo (Ngarbingan, 2004:73).

Apabila dipetakan dalam rentang waktu, maka dapat disimpulkan bahwa pada

masa 1866-1897 yang berperan penting dalam pekabaran Injil pada wilayah ini adalah

van Dijken dengan pola pelayanan “terpusat” atau terkonsentrasi. Artinya dia

“mengumpulkan” masyarakat dan mengajar mereka baik dalam hal pengetahuan tentang

pertanian maupun penguatan iman Kristen; sedangkan pada periode 1886-1915 yang

berperan penting adalah Anton Hueting yang menerapkan metode “misi sosiologis”.

Dalam pandangan James Haire (1998), metode ini dikatakan bertujuan

memasyarakatkan Kekristenan lewat kerja-kerja yang bertujuan pragmatis. Artinya yang

penting masyarakat dibaptis, dijadikan Kristen, dan mendapatkan “surat murid” sebagai

tanda meninggalkan agama nenek moyang mereka (Van den End & Weitjens,

1999:137).

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan kedua metode/cara pendekatan

pekebaran Injil di Halmahera (Galela dan Tobelo), dapat disimpulkan bahwa metode ini

berhasil dalam menanamkan benih Kekristenan yang kemudian tumbuh sebagai sebuah

Gereja yang akhirnya dikenal sebagai Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengalaman van Dijken dan Hueting di

Galela dan Tobelo merupakan titik tolak pembangunan Gereja di Halmahera. Pola misi

sosiologis yang digunakan Hueting terus berlanjut, di mana pada saat Hueting

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

31

membaptis masyarakat Pitoe (Tobelo) tanggal 3 Juli 1898, terdapat juga orang-orang

Loloda yang berasal dari desa Doroeme (Dorume) yang ikut dibaptis.

James Haire (1998: 205-210) mengemukakan bahwa setelah pembaptisan itu,

mereka (orang-orang Loloda) kembali ke Loloda atas bujukan Hueting, dan Van Baarda

diutus juga dalam proses kembalinya orang Loloda tersebut guna membangun basis

pelayanan di sana. Basis pelayanan yang mulai difungsikan pada tanggal 20 November

1898 menambah “kantong-kantong” pekabaran Injil yang telah ada sebelumnya,

sekalipun demikian, dibangunnya basis pelayanan di Loloda perlu juga ditempatkan

sebagai bagian strategi politik dalam pelayanan, mengingat Loloda pada waktu itu

merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate.

Berdasarkan hal di atas, dapat dikatakan bahwa pola pelayanan yang dilakukan

oleh Hueting lewat misi sosiologisnya adalah memenangkan dan menarik simpatik

warga masyarakat (pribumi) yang diindikasikan masih kurang bersimpatik dengan

tradisi kesultatan Ternate, seperti daerah Ibu dan Jailolo (Haire, 1998:225). Upaya keras

yang dilakukan guna membaptis masyarakat yang dianggap belum Kristen, khususnya

di wilayah Halmahera bagian Barat lewat motode misi sosilogisnya menghasilkan 22

jemaat Kristen di wilayah ini, belum termasuk jemaat-jemaat Kristen di bagian

Halmahera lainnya (Ngarbingan, 2004:76).

Pada tahun 1940 diadakanlah konferensi di Kupa-Kupa, Tobelo. Konferensi

dilakukan akibat munculnya tanda-tanda bahwa Zending hendak menyerahkan usaha

penginjilan untuk diteruskan pribumi karena Jepang hampir pasti menguasai ASEAN -

Halmahera dikuasai Jepang pada Mei 1942 – dan Belanda dikuasai oleh Jerman pada 10

Mei 1940. Keputusan yang disepakati dalam konferensi adalah mengumpulkan dana

setempat guna menutupi defisit anggaran Zending yang disebabkan oleh pemutusan

komunikasi dengan negeri Belanda. Selain itu, konperensi membentuk founds Injil dan

hasil dana dipergunakan untuk membiayai kebutuhan hidup para penginjil setempat

serta cita-cita pengelolahan gereja Halmahera oleh pribumi (Haire, 1998:17).

Pada periode ini, Jepang melancarkan kebijakan yang “menghilangkan” segala

sesuatu yang telah dilakukan atau di hasilkan oleh Belanda. Imbasnya para Zending

bahkan guru Jemaat yang masih melakukan aktivitas dengan Belanda ditawan oleh

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

32

Jepang. Kebijakan ini mendapatkan reaksi dari jemaat-jemaat yang telah terbentuk, di

satu sisi mereka menolak kebijakan Jepang dalam memperlakukan para zending namun

di sisi lain mereka “meminta‟ bantuan Jepang dan lewat kesultanan Ternate untuk

membicarakan kepentingan Gereja Halmahera. Upaya ini mendapatkan respon dari

Jepang yang memerintahkan mempersiapkan suatu badan persiapan kemandirian gereja

yang keanggotaannya ditentukan atau berdasarkan persetujuan Jepang. Badan ini

akhirnya membentuk Gereja Protestan Halmahera (GPH) yang sebagian besar unsur

gerejanya berasal dari wilayah Halmahera bagian Barat (Tolo, 1968).

Walaupun telah berhasil menciptakan Gereja sendiri (GPH), namun realitasnya

terdapat semacam perbedaan dalam jemaat-jemaat yang telah ada waktu itu. Artinya

selain terbentuknya GPH, terdapat jemaat-jemaat khususnya yang berada di wilayah

Galela dan Tobelo masih mengharapkan “kedatangan” para zending guna menuntun

mereka. Akibatnya adalah muncul keinginan untuk bergabung dengan Gereja Protestan

Maluku (GPM) yang merupakan bentukan zending Belanda. Keinginan disampaikan

lewat delegasi jemaat Galela dan Tobelo yang menemui Sultan Ternate dan Mentsjibu

yang meminta agar Pdt. Kriekhoff (pendeta GPM) di Ternate melayani sakramen di

Halmahera khususnya Tobelo dan Galela, dan permintaan ini disetujui. Sebenarnya

keinginan ini sangat beralasan karena kedekatan Tobelo dan Galela kepada orang

Ambon (GPM) karena banyaknya penginjil dan guru-guru jemaat adalah

orang Ambon (Tolo, 1968:1).

James Haire (1998:33) menguraikan bahwa pada tahun 1945 para zending mulai

kembali ke Indonesia. K. A. Bot dan van den Bent adalah zending yang tiba di Tobelo

tahun 1945 dan mendirikan kantor di Daoe-Morotai, namun pada tahun 1946 mereka

kembali ke Tobelo. Kembalinya para zending ini disambut dengan baik oleh penduduk

Halmahera. Hal ini mengindikasikan bahwa jemaat-jemaat di Halmahera sebenarnya

masih terus mengharapkan kedatangan kembali para zending tersebut, ini juga

memperkuat dua wacana yang berkembang saat itu, yakni, di satu sisi terdapat jemaat

yang menghendaki kemandirian gereja yang benar-benar mandiri di bumi Halmahera,

dan di sisi lain masih juga terdapat jemaat yang menghendaki dipimpin oleh para

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

33

zending. Walaupun demikian, kedatangan para zending mengemban sebuah misi yakni

ingin bekerjasama dengan para pemimpin jemaat di Halmahera (Junga, 1978:20).

Mencermati uraian di atas, dapat dikatakan bahwa ada semacam ketidak-

sepakatan pada zending terhadap pendirian Gereja Protestan Halmahera (GPH). O. R.

Djawa yang menulis “Sedjarah Singkat Lahirnya G.M.I. di H. dan Usaha-Usahanya

Selama Dua Puluh Tahun”, mengatakan bahwa:

“Tampaknya sudah saatnya menggunakan kata “Gereja” lagi, ketimbang

“zending”, bukan GPH sudah ada sejak usaha-usaha kemandirian yang

dilakukan oleh Tolo di Jailolo pada tahun 1942 atau Rapat Umum di

Tongotesungi pada tahun 1943, tetapi sejak Juni 1946, ketika zendeling

memindahkan kantor administrasinya ke Tobelo dengan papan di depannya

bertuliskan “Kantor Bakal GPH” (Djawa 1969:2).

Maksudnya adalah bahwa GPH yang telah dibentuk atas dasar persetujuan

Jepang pada tahun 1942 masih dipertanyakan kesahihannya sebagai sebuah Gereja di

Halmahera pada waktu itu.

Dengan demikian, untuk merealisasikan kebutuhan dan keinginan para zending

dalam bekerjasama dengan pimpinan jemaat di Halmahera, maka para zending

mengambil tiga langkah (Haire, 1998:50), yakni: pertama, mereka berusaha menata

kembali pekerjaan rutin Gereja7; kedua, menahbiskan para guru jemaat/sekolah yang

senior pada Agustus 1946, kelima orang tersebut adalah, H.B. Hamijs, E. Polnaija, J.F.

Noija, J. Djawa dan P.J. Joija; dan ketiga adalah melakukan konferensi di Tobelo dari

11-18 Januari 1947, yang anggotanya terbatas pada kelima guru jemaat yang telah di

tahbiskan di atas.

Dapat dipahami bahwa usaha kemandirian dalam wujud GPH memang

mendapatkan banyak tantangan, baik secara internal–adanya perbedaan pada tingkat

jemaat maupun secara eksternal dari akibat kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II,

saat tentara Sekutu berhasil meruntuhkan kekuatan Jepang dan membangun basis

pertahanannya di Morotai–itulah sebabnya K.A. Bot dan van den Bent ketika kembali

ke Halmahera memilih Daoe-Morotai sebagai tempat mendirikan kantor sebelum

7 Langkah pertama tampak jelas dari apa yang diuraikan O.R. Djawa di atas. Dan bagi saya (peneliti), ada

semacam indikasi ketidaksepakatan dari para zending untuk menerima kenyataan bahwa GPH telah

dibentuk dan dipimpin oleh orang-orang pribumi sendiri. Seolah-olah Gereja tanpa campur tangan

zending bukanlah gereja.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

34

berpindah ke Tobelo. Kekalahan Jepang memberikan atau membuka kembali jalan

zending untuk memimpin jemaat di Halmahera dan “menganulir” GPH dengan

bentukan badan (gereja) baru pada tanggal 6 Juni 1949 dengan nama Gereja Masehi

Injili di Halmahera (GMIH).

Sekalipun demikian, upaya kerjasama zending dan para pemimpin jemaat di

Halmahera (termasuk para pemimpin GPH) tidak bisa seluruhnya dipandang negatif.

Kerjasama tersebut telah dengan sadar bertujuan mengembangkan Sumber Daya

Manusia (SDM) Halmahera guna dipersiapkan sebagai pemimpin Gereja mandiri.

Upaya itu ditunjukan dengan mengirimkan enam orang guru jemaat atau guru sekolah

untuk melanjutkan belajarnya di Sekolah Theologia untuk Indonesia Timur tahun 1947

di SoE, Timor. Keenam orang tersebut adalah: 1) C Ray-Ray dari Tobelo, 2) F. Nanere

dari Kao, 3) B. Mailoa dari Galela, 4) D. Djumaty dari Jailolo/Sahu, 5) R. Salakparang

dari Buli, dan 6) H. Samange dari Loloda (Ngarbingan, 2004:88). Harapannya dengan

pengembangan sumber daya manusia ini, gereja di Halmahera dapat berdiri secara

mandiri terlepas dari campur tangan orang Ambon.

Pembentukan Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) diawali dengan

diadakannya peretemuan pada tahun 1948 yang dalam arsip GMIH disebut Proto-Sinode

kedua–Proto-Sinode pertama diakui terjadi pada tahun 1940 di Kupa-Kupa, Tobelo.

Keputusan Proto-Sinode kedua adalah dibentuknya sebuah badan persiapan Sinode

Gereja, badan ini dipercayakan menyusun Anggaran Dasar atau Tata Gereja, masa kerja

badan persiapan ini ditetapkan antara bulan Juni 1948-Juni 1949.

Hasil kerja badan persiapan Sinode Gereja di sampaikan dalam Sidang Pertama

tanggal 4-14 Juni 1949 di Tobelo. Sidang pertama ini kemudian ditetapkan sebagai

Sidang Sinode Pertama dalam Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH). Dalam

sidang ini disepakati Anggaran Dasar atau Tata Gereja yang merupakan hasil kerja

badan persiapan, yang terdiri dari sembilan pasal, yang dalam pandangan James Haire

(1998:59) disebut sebagai “dokumen yang agak tradisional”, diantaranta: : 1) Geredja;

2) Djoema'at; 3) Djawatan; 4) Pelajanan Al-Kalam dan Tanda-Tanda Ezrar (Sakramen);

5) Nikah; 6) Oemat Kristen di dalam Persekoetoean adat dan masjarakat Baroe; 7)

Keoeangan; 8) Perhoeboengan dengan Geredja lain; 9) Permohonan peratoeran Gereja.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

35

Selain menerima Anggaran Dasar atau Tata Gereja tersebut, dalam sidang ini

juga terjadi perdebatan soal nama Gereja yang baru akan dibentuk itu. Hasil perdebatan

mengerucut pada kesepakatan nama gereja, akhirnya tanggal 6 Juni 1949 dilakukan

ibadah pertama dan secara resmi Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) ditetapkan

sebagai nama yang disepakati dan tanggal 6 Juni ditetapkan sebagai hari kelahirannya.

Ketua sinode yang pertama adalah Pdt. A. Ploeger dari VNZ. Keenam anggota lainnya

dari Badan Pengurus ini terdiri dari tiga orang Halmahera (J. Junga, sebagai Sekretaris;

Pdt. J. Djawa dan R.B. Djago) serta tiga orang Ambon (Pdt. E. Polnaija, Wakil Ketua;

S.B. Lesnussa, Bendahara: dan J. Noija).8

Susunan atau struktur organisai Sinode GMIH pertama (1949-1960) adalah: a)

Badan Pengurus Sinode, yang susunannya terdiri dari: seorang Ketua, seorang Wakil

Ketua, seorang Sekretaris, seorang Bendahara, dan Anggota-Anggota; b) Badan

Pengurus Klasis (BPK) terdiri dari: Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan

Anggota; c) Badan Ring terdiri dari: Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara dan

Anggota; dan d) Majelis Gereja yang teridiri dari: Guru Injil (guru Jemaat), Penatua-

Penatua dan Syamas. Jumlah Majelis Gereja disesuaikan dengan kebutuhan.

Dalam perkembangnnya ketika memasuki masa kepemimpinan Sinode GMIH

kedua (1960-1967), Badan Ring kemudian dihapus demi efesiensi dan kelancaran

penyaluran keuangan ke Klasis. Namun pada level Badan Pekerja Sinode (BPS), posisi

sekretaris ditambahkan satu orang (Sekretaris II), alasannya adalah demi kelancaran

organisasi–membantu sekretaris mengurus administrasi gereja. Selain itu, ada

penambahan struktur dengan posisi: a) Kepala Perkebunan, b) Ketua Yayasan

Kesehatan, c) Ketua Sinar Pemuda Masehi Halmahera (SPMH), d) Pimpinan Sekolah

Pendidikan Guru Kristen, f) Hubungan Masyarakat, dan g) Ketua Kaum Wanita Kristen

(KWK). Beberapa organisasi seperti SPMH, Pendidikan/Sekolah Guru Kristen dan

KWK sebenarnya berdiri sendiri sebab memiliki Anggaran Dasar sendiri, namun gereja

mengakomodir mereka guna membantu pelayanan gereja.

Dengan demikian, struktur organisasi yang ditetapkan dan diputuskan dalam

Sidang Sinode ke-XV GMIH yang berlangsung pada bulan September 1971 untuk

8 Hasil wawancara dengan Pdt. Anton Piga (Ketua Sinode GMIH), tanggal 10 Januari 2014; Pdt Leonard

Duan (Mantan Ketua Sinode GMIH), tanggal 12 Januari 2014

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

36

periode kepemimpinan Sinode GMIH 1971-1975 adalah: a) Ketua Umum dan dibantu

dua orang Ketua–jadi terdapat tiga Ketua, Wakil Ketua dihapus, b) Sekretaris Umum

yang dibantu 3 Sekretaris Departemen, yakni: departemen Koinonia, departemen

Diakoni, dan departemen Marturia, c) Bendahara, d) Kepala Perkebunan, e) Ketua

Yayasan Kesehatan, dan f) Ketua Yayasan Pendidikan.

Dalam fase kepemimpinan Sinode ini (1971-1975) pola persidangan Sinode

GMIH tidak mengalami perubahan dengan periode sebelumnya, yakni dua kali sidang.

Periode ini BPS melaksanakan tugasnya selama 4 tahun, dan melaksanakan dua kali

persidangan, yakni: Sidang Sinode Antara yang dilakukan pada tahun 1973 dan Sidang

Sinode yang dilakukan tahun 1975.

Mencermati penjelasan James Haire (1998: 85-93) ditemukan dua tema besar

yang menjadi pergumulan GMIH dalam rentang waktu 1969-1979, yakni: pertama,

masalah kesukuan yang berdampak pada “bongkar-pasang” struktur organisasi GMIH

guna terus mengakomodir kepentingan-kepentingan orang Halmahera, dan kedua tema

pembangunan yang perlu digumuli oleh gereja. Pergumulan pembangunan oleh gereja

tampak dalam setiap tema yang diusung dalam Sidang Sinode GMIH, yakni: tahun

1969, "Membangun Di Dalam Kristus", sub temanya "Wujudkanlah PELITA"; tahun

1971, "Diutus ke Dalam Dunia", sub temanya "Partisipasi Gereja di Tengah-Tengah

Negara Yang Sedang Membangun"; tahun 1974, "Yesus Kristus Memberikan

Pertumbuhan", sub temanya "Peranan Gereja dalam Pembangunan Maluku Utara";

tahun 1975, "Yesus Kristus Membebaskan dan Mempersatukan", sub temanya

"Meningkatkan Pendidikan untuk Membangun Gereja dan Negara".

Pada periode selanjutnya pergumulan GMIH masih belum mengalami

perubahan, yakni menyangkut struktur gereja dan kesukuan, termasuk pergumulan

teologis tentang pembangunan, seperti tema yang diusung dalam Sidang Sinode tahun

1987, yakni: “Akulah Jalan Kebenaran dan Hidup”, Sub Tema “Melalui Jalan yang

ditunjukan Yesus Kita Tingkatkan Kesaksian dan Pelayanan Gereja Dalam

Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila”. Demikian pula dengan tema

Sidang Sinode sebelumnya pada tahun 1983 di Tobelo, yakni: “Yesus Kristus

Kehidupan Dunia”, Sub Tema “Pembaharuan Kristus Harus Merupakan Dampak Dalam

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

37

Meningkatkan Peran Serta dan Pergumulan Gereja di Tengah Bangsa Yang Sedang

Membangun”.

Tem-tema Sidang Sinode yang selalu berkaitan dengan pergumulan teologis

akan pembangunan bangsa dan negara termasuk di dalamnya masyarakat dan jemaat

GMIH di Halmahera, bagi peneliti mengkonformasikan adanya keinginan gereja untuk

ikut membangun bangsa dan negara. Implikasi dari tema seperti ini tentu sangat banyak,

salah satunya membuka ruang bagi para pelayan (pendeta) untuk ikut memikirkan tidak

saja pelayanan gereja (ibadah) namun juga ekonomi masyarakat (jemaat), dan

memikirkan atau membicarakan ekonomi tentu memiliki keterkaitan erat dengan

pengambilan kebijakan politik di Ternate dan Halmahera.

Pergulatan teologis (gereja) dan pembangunan yang tampak dalam setiap tema

Sidang Sinode, berimplikasi pada keinginan gereja termasuk Pendeta untuk ikut

memikirkan tentang dunia ekonomi, sosial, bahkan politik dalam rangka mewujudkan

kehidupan gereja dan jemaatnya yang lebih baik. Konsepsi ini berkonsekuensi logis bagi

munculnya keinginan para pendeta untuk terjun dalam dunia politik, bahkan politik

praktis sebagai anggota partai politik maupun anggota legislatif.

Hal menarik lainnya adalah kembali dirubahnya Tata Gereja dan Tata Rumah

Tangga GMIH dalam Sidang Sinode ke-XXIII tanggal 30 Agustus – 6 September 1992

di Doruba, Morotai. Sidang ini mengambil tema: “Roh Kudus Memberi Kuasa Menjadi

Saksi”, dengan sub tema “Bersama-sama Memantapkan Kemandirian Theologia, Daya

dan Dana Selaku Tanda Pembaharuan Umat Yang Taat Melaksanakan Persekutuan dan

Pelayanan Gereja Dalam Pembangunan Nasional”. Perubahan Tata Gereja ini

didasarkan pada kebutuhan serta perkembangan gereja yang beriringan dengan

perkembangan masyarakat. Dalam Sidang Sinode ini pula, asas Presbiterial Sinodal

(berjalan bersama tua-tua) ditetapkan sebagai dasar gerak GMIH dalam pelayanannya.

Dalam struktur organisasinya, terjadi perubahan dari Badan Pekerja Sinode

(BPS) GMIH menjadi Majelis Pekerja Sinode (MPS) GMIH. Selain itu, juga terjadi

perubahan yakni dihapusnya Majelis Sinode–yang merupakan wakil dari gereja sebagai

bentuk yang mewakili asas presbiterial sinodal. Sehingga dalam proses pengambilan

keputusan MPS langsung berada di bawah Sidang Sinode. Kelihatannya memang terjadi

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

38

kontradiksi dalam keputusan Sidang Sinode tersebut, di satu sisi ditetapkan asas

presbiterial sinodal sebagai dasar gereka GMIH, namun di sisi lain Majelis Sinode yang

merupakan representasi jemaat-jemaat sebagai bagian penting asas presbiterial sidonal

dihapus. Sehingga asas presbiterial sinodal menjadi kurang bermakna, namun keputusan

itu tetap dijalankan dan tidak ada protes yang berujung pada pembaharuan.

Dihapusnya Majelis Sinode yang merupakan “lembaga” perwakilan dari gereja-

gereja (terdiri dari penatua-penatua) didasarkan pada keinginan optimalisasi fungsi

pelayanan dengan memberikan kewenangan besar pada MPS untuk mengambil

keputusan-keputusan penting dan mendesak, sebab tidak mungkin mengumpulkan

Majelis Sinode secara cepat mengingat wilayah pelayanan yang semakin luas atau

semakin besar. Namun tindakan ini juga telah membuat GMIH kehilangan aspek

Presbyterial Sinodalnya, dimana keputusan ini mengerucutkan struktur organisasi dan

sistem dilihat sebagai sesuatu yang hirarkis. Aspek pertimbangan bersama dan

keputusan bersama hilang digantikan dengan pertimbangan dan keputusan dari

pemegang mandat tertinggi.

Walaupun demikian, nampaknya keputusan tentang dihapusnya Majelis Sinode

memiliki keterhubungan dangan tema-tema Sidang Sinode GMIH sebelumnya yang

berupaya mempertautkan Gereja (GMIH) dengan perkembangan ekonomi, sosial,

budaya, bahkan politik pada lingkup bernegara, yang oleh pemerintah Orde Baru

ditempatkan dalam satu komando tertinggi guna menyukseskan pembangunan dalam

segala bidang tersebut. Dengan demikian, keputusan Sidang Sinode GMIH tentang

dimasukannya asas presbiterial sinodal dalam Tata Gereja untuk pertama kalinya perlu

dibaca dalam perspektif seperti itu, apalagi presbiterial sinodal gereja NHK di Belanda

memang memberi tempat yang lebih khusus bagi Sinode atau kewenangan berada

ditangan Sinode. Sehingga gereja dan negara bersatu dalam hal pembangunan.

Konsepsi ini membuka ruang bagi munculnya elit-elit gereja (pendeta) untuk

terjun dalam dunia politik di Halmahera. Realitas inilah yang terjadi sampai dengan saat

ini, yakni, para pendeta ikut langsung mengambil bagian dalam perhelatan demokrasi

politik di bumi Maluku Utara, baik sebagai calon dan anggota legislatif, maupun ikut

berkecimpung dalam proses-proses pemekaran daerah di Halmahera. Dengan demikian,

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

39

diguga kuat bahwa asas presbiterial sinodal yang dicanangkan pada Sidang Sinode ke-

XXIII tanggal 30 Agustus – 6 September 1992 di Doruba, Morotai adalah mengikuti

versi Gereja NHK di Belanda yang kemudian dipertautkan dengan kebijakan Orde Baru

dimana diperlukan sistem komando dalam proses pembangunan.

Keputusan ini seolah menjadi “titik api” pertama yang terus menyalah walau

tidak langsung membakar. Pergumulan teologis Gereja kelihatannya mengalami sedikit

pergeseran dalam menggumuli asas presbitarial sinodal ini. Hal ini tampak dalam tema

yang diusung pada Sidang Sinode berikutnya di Balisoan, Sahu tanggal 7-14 September

1997 (Sidang Sinode ke-XXIV, periode 1997-2002), yakni: “Ya Roh Kudus Baharuilah

Dan Persatukanlah Kami”, dengan sub tema “Peningkatan Dedikasi dan Loyalitas

Pelayan dan Warga Gereja Berdasarkan Takut akan Tuhan Dalam Rangka

Melaksanakan Tri Panggilan Gereja dan Berperan Aktif

Dalam Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan Pancasila Memasuki Abad XXI”.

Dalam sidang ini, selain menggumuli dan memperdebatkan asas presbitarial

sidonal, juga diwarnai dengan pergumulan gereja akan konflik horizontal yang terjadi

diseluruh wilayah pelayanan GMIH. Program kerja GMIH yang telah ditetapkan dalam

periode sebelumnya diyakini kurang efektif terlaksana akibat konflik tersebut,

akumulasi permasalahan ini menambah beban tersendiri bagi periode kepemimpinan ini.

Diakui pula bahwa MPS GMIH yang terpilih pada periode ini tidak dapat menjalankan

fungsi pelayanannya dengan baik akibat konflik yang melanda Halmahera, bahkan para

pelayan (pendeta) ikut mengambil bagian atau terjun ke dunia politik mengakibatkan

masalah pelayanan menjadi terbengkalai. Akibatnya adalah akumulasi kekecewaan atas

masalah baik presbiterial sinodal maupun ketidakberdayaan struktur organisasi GMIH

menggerakkan pelayanannya di jemaat-jemaat. Kekecewaan ini diduga “ditumpahkan”

pada persidangan Sinode berikutnya di jemaat Ikhtus Wari, Tobelo.

4.3. Kondisi dan Situasi GMIH Pasca Konflik Horizontal: Pergulatan Asas

Presbiterial Sinodal dan Kepentingan Pendeta Berpolitik Praktis

Sidang Sinode GMIH ke-XXV (periode 2002-2007) di Jemaat Ikhthus Wari,

Tobelo merupakan sidang yang bertujuan membawa kembali bahtera GMIH menjadi

gereja yang utuh. Sidang ini masih menggumuli situasi konflik yang belum benar-benar

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

40

pulih di wilayah pelayanan GMIH. Hasil wawancara dengan bapak Anton Piga, tanggal

11 Januari 2014, dikatakan bahwa

“sedianya Sidang Sinode ini dilaksanakan di Ternate, namun akibat situasi

konflik yang belum pulih akhirnya dilakukan di jemaat Ikthus Wari. Dalam

persidangan itu, banyak perdebatan tentang boleh tidaknya pendeta berpolitik

praktis, selain juga menggumuli tentang situasi konflik yang masih belum

benar-benar berakhir”.

Akibat konflik, maka keutuhan GMIH menjadi bagian penting yang digumuli

dalam persidangan Sinode tersebut. Dengan demikian, struktur organisasi dengan asas

presbiterial sinodal sebagai dasar gerak penatalayanan GMIH kembali perlu menjadi

perhatian bersama peserta Sidang, guna menemukan format yang tepat dalam melayani

dan memperbaharui tatanan masyarakat Kristen di Maluku Utara yang sedang “sakit”

akibat konflik. Permasalahannya adalah asas presbiteril sinodal seperti apa yang

dikehendaki sebagai dasar gerak GMIH? Mengingat model prebiterial sinodal yang

telah ditetapkan masih diindikasikan sebagai adopsi asas gereja NHK di Belanda.9

Pergumulan gereja (GMIH) tantang persatuan yang sudah sejak lama digumuli

(sejak sidang sinode sebelumnya) kembali “diangkat” sebagai tema dalam sidang

Sinode ke-XXV yakni “GMIH Yang Utuh”. Masalah persatuan dan keutuhan menjadi

pergumulan utama, sebab memasuki melenium ketiga, terjadi berbagai gejolak sosial

yang terjadi baik di Indonesia secara umum maupun di Maluku Utara secara khusus, apa

lagi kondisi saat itu diperhadapkan dengan konflik horizontal di bumi Maluku Utara

yang sedang dan dalam proses perdamaian. Dengan demikian, diperlukan pendasaran

Iman Kristiani bagi warga jemaat (termasuk gereja) yang sedang dilanda konflik.

Dalam sidang ini, menurut catatan Julianus Mojau (2014:14-15) beliau

mengusulkan agar sidang “membentuk bidang Ajaran dan Teologi mengingat sudah

saatnya GMIH memiliki kesadaran iman kristiani secara kontekstual”. Usulan tersebut

diterima sidang, dan pada tahun 2003 (setahun setelah sidang sinode), dalam rangka hari

ulang tahun GMIH ke-54 bidang Ajaran dan Teologi di bawah koordinasi Ketua I, Pdt.

Sartje Papoeling, M.Th., menyelenggarakan Seminar dan Lokakarya tentang

9 Topik ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian selanjutnya.

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

41

Calvinisme.10

Mencermati “catatan” Mojau (2014) dapat diketahui bahwa aktivitas atau

program kerja yang dilakukan oleh bidang Ajaran dan Teologi ini memberi dasar pijak

bagi keinginan mengembalikan GMIH pada azas presbiterial sinodal yang sebenarnya,

yang dikemudian hari dijadikan alasan kritis oleh Sekretariat Pembaharuan sebagai

landasan Sidang Sinode Istimewa GMIH.11

Julianus Mojau dalam bukunya “Sejarah Pembaharuan GMIH” (2014) mencatat

setidaknya terdapat 5 (lima) hal penting yang sudah “diingatkan” dan dilakukan oleh

kepemimpinan MPS GMIH periode 2002-2007 sebagai peletak dasar bagi tumbuhnya

GMIH yang utuh dengan asas presbiterial sinodal12

. Ketidak-mampuan dilakukannya

kelima hal tersebut oleh kepemimpinan Badan Pekerja Harian Sinode selanjutnya

(2007-2012 dan 2012-sekarang), dibawa kepemimpinan Pdt. Anton Poga, diduga

berimplikasi pada mencuatnya keinginan dari beberapa tokoh GMIH untuk melakukan

pembaharuan GMIH yang berujung pada konflik dan perpecahan.

Kelima hal tersebut secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut13

: pertama,

Pendeta dan Politik Praktis–politik kekuasaan. Masalah ini sebenarnya telah

diwacanakan sebelum sidang Sinode ke-25 di Jemaat Ikthus Wari Tobelo, agar pendeta

GMIH seharusnya fokus pada panggilan pelayanannya sebagai gembala di dalam

jemaat. Menurut catatan persidangan, dalam sidang tersebut Gubernur Maluku Utara

(care-taker), Drs. S.H. Sarundajang, M.PA, dalam sambutannya sudah mengingatkan

agar pendeta-pendeta GMIH tidak terlibat dalam politik praktis. Namun himbauan ini

tampaknya tidak disambut dengan baik, malah menimbulkan debat yang keras antara

beberapa warga jemaat (angggota sidang) dengan beberapa pendeta.

Bahkan perdebatan itu malah mengerucut pada salah satu Keputusan Sidang

Sinode ke-26 sebagai “payung hukum” pendeta berpolitik. Keputusan Sidang tersebut

kemudian ditindak-lanjuti oleh MPS GMIH lewat Surat Keputusan MPS GMIH Nomor:

10

Bidang Ajaran dan Teologi pada saat pembentukannya dipimpin atau diketuai oleh Pdt. Anton Piga,

S.PAK., M.Si. namun karena rangkap jabatan sebagai Kepala Biro Personalia dan Ketua Yayasan

Perguruan Tinggi Kristen GMIH (YPTK GMIH), maka pada bulan Mei 2005 Julianus Mojau ditunjuk

menggantikan Anton Piga. 11

Interpretasi peneliti terhadap program kerja bidang ini telah membuka ruang bagi tuntutan yang lebih

besar pasca sidang sonode tahun 2012 di Dorume yang berujung pada Sidang Sinode Istimewa. 12

Mengenai asas ini akan diuraikan dibagian selanjutnya. 13

Uraian lebih lengkap dapat dilihat dalam Julianus Mojau, Buku I “Sejarah Pembaharuan GMIH, Tobelo

2014 hal. 12-31

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

42

370/Kpts/A-2/2003 tentang Peraturan Keikutsertaan Pelayan Khusus GMIH Dalam

Bidang Politik, dan pada tahun 2008 (lima tahun kemudian) keputusan tersebut direvisi

oleh BPHS GMIH dengan Surat Keputusan Nomor: 597/Kpts/XXVI/A-2/2008 tentang

Peraturan Keikutsertaan Pelayan Khusus GMIH Dalam Proses KPU, Pemilu Legislatif,

Pilkada Privinsi dan Kabupaten/Kota.

Akibat disepakatinya aturan tersebut, maka pada tahun 2004 dalam perhelatan

demokrasi politik (pemilu legislatif), sebanyak 37 pendeta GMIH mencalonkan diri

sebagai anggota legislatif namun hanya sebagian yang terpilih (Djurubasa, 2013). Selain

itu, dalam pemilu legislatif tahun 2009 juga terdapat pelayan gereja (pendeta) yang ikut

mengambil bagian praktek politik praktis tersebut. Pertanyaannya jika hal ini telah

merupakan Keputusan Sidang Sinode GMIH, yang konstitusional, mengapa pasca

Sidang Sinode tahun 2012 di Dorume masalah keikutsetaan pendeta dalam politik

dijadikan alasan mendasar yang berujung pada munculnya SSI?.

Kedua, membentuk bidang Ajaran dan Teologi. Usulan pembentukan bidang ini

datang dari Julianus Mojau yang kemudian di terima oleh sidang, dan menjadi salah satu

keputusan Sidang Sinode XXV tahun 2002. Bidang ini pada awal pembentukannya di

pimpin oleh Pdt. Anton Piga, S.PAK., namun karena kesibukan rangkap jabatan, maka

pada bulan Mei 2005 Julianus Mojau ditunjuk untuk menggantikan Anton Piga.

Beberapa kegiatan yang dilakukan bidang ini adalah: a). Semiloka tentang Calvinisme,

pada tanggal 4-5 Juni 2003 menghadirkan Pdt. Dr. A.A. Yewangoe dengan materi

ceramah “Beberapa Catatan untuk Diskusi dalam Rangka Mencari Ajaran dan Teologi

GMIH”, dan Pdt. Dr. J.M. Saruan dengan materi “Eklesiologi Calvinis dan

Pengembangannya”; b). Satu program penelitian lapangan tentang Ajaran dan Teologi

yang dibiayai oleh Kerkinactie-Belanda. Penelitian ini diketuai oleh Julianus Mojau

yang beranggotakan 9 (sembilan) orang (delapan pendeta dan satu vikaris). Penelitian

ini menghasilkan “draft pemahaman dasar iman GMIH” yang kemudian oleh MPS

GMIH periode 2002-2007, disampaikan secara bersamaan dengan draft perubahan Tata

Gereja dan Tata Rumah Tangga GMIH ke Sidang Sinode ke-26 di Jeemaat Tiga

Saudara, Ibu. Namun dalam laporan Mojau, draft ini tidak sempat dibahas dalam

persidangan tersebut.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

43

Ketiga, draft Tata Dasar dan Peraturan-Peraturan. Dalam periode 2002-2007

muncul kesadaran untuk mengembalikan peran kemajelisan, sekalipun belum berhasil

didiskusikan lebih mendalam dan belum tertuang dalam Tata Rumah Tangga GMIH

tahun 2002. Dengan adanya wacana ini, MPS GMIH melalui Lembaga Pembinaan

Warga Gereja (LPWG) melakukan Semiloka yang dikoordinir oleh Ketua LPWG, Pdt.

Izhak Sumtaki, M.Th., dengan topik “Asas Presbiterial Sinodal” tanggal 18 Agustus

2005 di Jemaat Imanuel Gamsungi Tobelo. Usaha ini kemudian ditindaklanjuti oleh Tim

Revisi Tata Gereja GMIH, kerja Tim ini menghasilkan perubahan atas Tata Gereja dan

Tata Rumah Tangga GMIH 2002 dan menghasilkan draft Tata Dasar GMIH 2007.

Menurut Julianus Mojau, dalam “draf itu cukup jelas perbedaan penerapan praktik Asas

Presbiterial Sinodal GMIH secara drastis, yaitu: menerjemahkan jiwa dan nafas asas

presbiterial sinodal secara konsekuen ke dalam pasal dan ayat Tata Dasar 2007;

hubungan-hubungan hierarkis dihapus. Itulah sebabnya Wilayah dan/atau Klasis pun

dihapus; hubungan yang ada Jemaat–Sinode (Mojau, 2014:21). Perubahan ini kemudian

diterima dan menjadi keputusan Sidang Sinode GMIH ke-26 di Jemaat Tiga Saudara Ibu

(BPHS GMIH, 2008). Walaupun demikian, ada kesan bahwa perubahan ini tidak

ditindaklanjuti dengan perubahan Tata Gereja dan Tata Rumah Tangga GMIH pada

periode yang sama.

Keempat, Arah Hidup Menggereja yang Liberatif dan Rekonsiliatif. Salah satu

keputusan Sidang Sinode ke-25 adalah mengembangkan hidup menggereja yang

liberatif dan rekonsiliatif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di

era otonomi daerah. Guna mengkonkritkan keputusan Sidang tersebut dilakukan Study

Meeting dalam Rapat Kerja Tahunan, tanggal 31 Oktober – 4 November 2004 di Jemaat

Elim Gura Tobelo. Study Meeting ini bertujuan sebagai bentuk pemberdayaan dan

penguatan kelembagaan masyarakat (Jemaat) dalam menjalin relasi-relasi kehidupan

yang liberatif dengan sesama. Dua tokoh yang diminta untuk membawakan materi

adalah: 1). Ir. Hein Namotemo (Ketua III MPS GMIH, dengan materi “Gereja dan

Masyarakat; dan 2). Dr. Julianus Mojau, dengan materi “Hidup Menggereja GMIH yang

Kontekstual dalam Konteks Dinamika Sosial di Propinsi Maluku Utara”. Gagasan study

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

44

meeting kemudian diakomodir dalam Tata Dasar GMIH 2007 sebagai salah satu hasil

Keputusan Sidang Sinode ke-26 di Jemaat Tiga Saudara Ibu.

Kelima, Perbaikan Jaminan Hidup para Pengereja GMIH. Untuk upaya ini, MPS

GMIH periode 2002-2007, berdasarkan “catatan” Julianus Mojau, dia diminta untuk

melakukan penelitian kecil guna melihat kemampuan/potensi jemaat-jemaat dalam

Sinode GMIH apakah dengan kemampuan yang mereka miliki mampu meningkatkan

jaminan hidup para pengereja GMIH. Hasil penelitian Mojau dengan menggunakan

metode secara acak (random-sample method)14

adalah bahwa kemampuan atau potensi

jemaat yang ada bisa atau mampu meningkatkan jaminan hidup para pengereja. Hasil

penelitian ini dipaparkan dalam Rapat Kerja Tahunan tahun 2006 di Hatetabako, dan dia

“mengusulkan kenaikan perbaikan jaminan hidup pengereja GMIH dengan kenaikan

150% dari pendapatan dasar saat itu. Namun usulan ini kurang diterima oleh peserta

Rakerta, akhirnya dilakukan pembahasan dalam kelompok dengan “simulasi uji-

potensi” yang dipimpin oleh Ir. Hein Namotemo, M.Sp, dan disepakati kenaikan hanya

sebesar 100% (Mojau, 2014:25).

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa dalam Sidang Sinode ke-25 di Jemaat

Ikthus Wari Tobelo, keinginan-keinginan bersama untuk perbaikan struktur organisasi

gereja (GMIH) dan perbaikan jaminan hidup para pendeta dan pegawai gereja lainnya

(pengereja–meminjam istilah Julianus Mojau), telah dengan sadar dipikirkan,

ditetapkan, dan diputuskan dalam Sidang Sinode, baik Sidang ke-24, Sidang Sinode ke-

25, maupun Sidang Sinode ke-26, termasuk juga diputuskan dalam Rapat Kerja

Tahunan, atau secara kontekstual keinginan pembaharuan GMIH telah muncul sejak

periode kepemimpinan MPS GMIH 2002-2007. Benih ini diharapkan untuk dirawat dan

dipupuk oleh periode kepemimpinan Sinode GMIH sejanjutnya. Namun apadaya

“Apolos” dikatakan tidak juga menyiram benih itu, dan agar tidak mati sia-sia, benih itu

dipaksakan tumbuh dengan “wajah yang berbeda”.

14

Dalam tulisannya, Mojau tidak memaparkan berapa jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian

ini, termasuk variasi sampelnya tidak juga diuraikan. Yang jelas dia mengatakan bahwa potensi yang

dimiliki jemaat memungkinkan untuk meningkatkan taraf hidup para pengereja.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

45

4.4. Pergantian Kepemimpinan Sinode GMIH: Pergulatan Presbiterial Sinodal

dan Pendeta Berpolitik Praktis, Memunculkan Tanda-Tanda Keretakan

Kepemimpinan Sinode GMIH periode 2002-2007 harus berakhir dan tongkat

estafet (kepemimpinan) itu harus diserahkan kepada orang lain. Pergumulan tentang

asas presbiterial sinodal yang telah disepakati bersama juga dibebankan kepada

kepemimpinan periode baru ini untuk dilanjutkan. Dalam bahasa Mojau (2014:12)

dibuat dengan judul: “Suara dari Jemaat Ikthus Wari ke Jemaat Tiga Saudara.” Topik ini

membahas lima hal penting yang juga telah peneliti jelaskan di atas (bagian 4.3), yang

oleh Mojau dikatakan sebagai “benih pembaharuan penghayatan dan praktek hidup

menggereja GMIH secara kontekstual dimulai oleh keputusan Sidang Sinode XXV yang

kemudian secara konsisten diwujudkan oleh kebesaran hati masa kepemimpinan MPS

GMIH, periode 2002-2007…yang kemudian disemaikan dalam persidangan Sinode ke-

26 di Jemaat Tiga Saudara-Ibu, tanggal 17-22 Juli 2007” (Mojau, 2014:26-27) 15

.

Mengikuti alur penjelasan Julianus Mojau, peneliti mengkonstruksikan makna

penjelasan di atas sebagai “rawatlah benih itu agar ia dapat tumbuh menjadi bunga

mawar yang bisa mengharumkan bahtera GMIH yang sedang berlayar”. Pesan ini

agaknya kurang mendapat tanggapan yang serius dari periode kepemimpinan yang baru

(setidaknya menurut kelompok pembaharuan), sebab realitasnya pendeta masih saja

terlibat dalam politik praktis, bahkan Ketua Sinode diketahui juga memegang jabatan

penting dalam salah satu partai politik, termasuk juga Sekretaris Sinode yang ikut

mencalonkan diri sebagai kandidat dalam perhelatan politik praktis pemilihan Bupati di

salah satu kabupaten di Maluku Utara. Namun pertanyaannya siapa yang harus

disalahkan? Atau siapa yang harus bertanggungjawab? Bukankah keterlibatan pendeta

dalam politik praktis turut terlegitimasi secara kelembagaan pada periode 2002-2007.

15

Yang terdiri dari: 1). Pdt. L.P. Duan, S.Th sebagai Ketua, 2). Pdt. Sartje Papoeling, M.Th sebagai Ketua

I, 3). Pdt. Reinhard Salakparang, S.Th sebagai Ketua II, 4). Ir. Hein Namotemo, M.Sp sebagai Ketua III,

5). Dr. J. Nanere sebagai Ketua IV, 6). Pdt. M.D. Boediman, M.Th sebagai Sekretaris, 7). Ph. Thomas,

BA sebagai Wakil Sekretaris, 8). Pdt. W. Petonengan sebagai Bendahara, dan 9). Pnt. M. Thomas sebagai

Wakil Bendahara (Mojau, 2014:26-27).

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

46

Struktur organisasi GMIH jika ditelaah secara objektif sejak kemunculan GMIH

sebagai Gereja Mandiri tahun 1949 selalu mengalami “pasang-surut” perubahan atau

pembaharuan struktur organisasi, dan bagi peneliti ini adalah dinamika yang memang

harus muncul dalam setiap organisasi. Namun jika perubahan struktur organisasi itu

mengakibatkan perpecahan dalam tubuh GMIH dan memunculkan dualisme

kepemimpinan seperti saat ini, maka siapakah yang harus dimintai

pertanggungjawaban? Kedua kubu sama-sama mengklaim diri sebagai yang benar, dan

kebenaran masing-masing kubu turut terlegitimasi oleh jemaat-jemaat sebagai

pendukung setia mereka.

Julianus Mojau dalam kata pengantar “Kumpulan Keputusan Sidang Sinode ke-

26 tahun 2007 di Jemaat Tiga Saudara Ibu, mengatakan “kita berterima kasih kepada

BPHS (dulu: MPS), periode 2002-2007, yang dengan keberanian tanpa takut kehilangan

kekuasaan dalam jabatan-jabatan struktural telah meletakan Pembaharuan eklesiologis

GMIH…kita juga berterima kasih Bupati Halmahera, Bapak Ir. Hein Namotemo, M.Sp

dalam kapasitas sebagai Ketua III, telah ikut mengawal Pembaharuan eklesiologis

GMIH ini dengan memfasilitasi secara teknis…” (Mojau, 2014:27-28). Pertanyaannya

mengapa Mojau harus begitu “vulgar” mengatakan bahwa gereja (GMIH) harus

berterima kasih secara khusus kepada seseorang? Bukankah “pesan” dari Ikthus Wari ke

Tiga Saudara Ibu tidak “kemas” oleh seorang individu? Bukankah “pesan” itu

merupakan kerja keras secara kolektif atau dalam bahasa yang bernada teologis

bukankah pesan itu merupakan keputusan bersama tua-tua yang merupakan konsekuensi

logis dari praktek presbiterial sinodal yang mereka usung bersama?.16

Jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan ini mengkonfirmasikan asas “berjalan bersama tua-tua”

(presbiterial sinodal) diduga tidak muncul dari kesadaran menggereja pada tingkat

jemaat.

Sidang Sinode ke-XXVI di Jemaat Tiga Saudara Ibu menghasilkan struktur

kepemimpinan Sinode GMIH yang baru. Kepemimpinan GMIH yang baru ini

16

Pertanyaan-pertanyaan ini (mungkin) dapat mengkonfirmasi tulisan Egbert Hoata (Biro Hukum,

Demokrasi dan HAM GMIH), dalam Surat Kabar Obor Halmahera, Edisi I/X/2013, hal. 6, dengan judul

“Ompongnya Akademisi Tobelo: Menyorot keterlibatan sejumlah Akademisi Tobelo dalam Gerakan

Pembaharuan GMIH”

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

47

dinahkodai oleh Pdt. Anton Piga, S.PAK., M.Si, selain itu, Keputusan Sidang tersebut

juga merubah Majelis Pekerja Sinode (MPS) menjadi Badan Pekerja Harian Sinode

(BPHS). Ada harapan besar yang dibebankan kepada kepengurusan (BPHS) GMIH

yang baru ini, yakni merawat dan menjaga agar benih Presbitarial Sinodal dalam wujud

kepemimpinan kolektif akan terus diwujudkan dalam GMIH guna menghasilkan

penatalayanan Gereja yang memberdayakan jemaat, dan meniadakan struktur organisasi

hierarkis yang sebelumnya ada, yang seolah menjauhkan pengereja dan jemaat.

Apabila mencermati program kerja yang dilakukan oleh periode kepemimpinan

Sinode (BPHS) GMIH 2007-2012 yang dinahkodai Pdt. Anton Piga, tidak ada masalah

serius dan berat (pelanggaran terhadap Tata Gereja dan Tata Rumah Tangga) yang

dilakukan oleh kepengurusan periode ini. Membaca semua topik yang dibahas Julianus

Mojau dalam buku kecilnya (Buku I Sejarah Pembaharuan GMIH, 2014), yang

dikemukakan sebagai alasan mendasar oleh penulis17

yang juga adalah pendukung

Sekretariat Pembaharuan adalah:

“seharusnya benih pembaharuan penghayatan dan praktek hidup mengereja

GMIH itu dipelihara dan diberi ruang yang baik oleh BPHS GMIH, periode

2007-2012. Tetapi tampaknya benih itu tidak cukup diberi kebun hijau dan air-

air segar sehingga benih itu terasa sulit berkembang, sekalipun di hati warga

Jemaat dan anggota majelis jemaat sudah mendapat tempat sebagai lahan yang

subur seiring dengan perubahan sosial di Halmahera dan pulau-pulau

sekitarnya. Kepemimpinan BPHS GMIH 2007-2012 di bawah Pdt. Anton

Piga, S.PAK., M.Si tidak mampu mengkonsolidasikan team-worknya menjadi

sebuah team-work yang berkinerja optimal dan efektif. Malahan ditengarai

tidak terbangunnya team-work yang solid” (Mojau, 2014:28-29).

Buah pikir Mojau yang dikutip di atas, apabila memperbandingkan dengan

paragraf selanjutnya (dalam tulisan tersebut), maka menurut peneliti terjadi kontradiktif

yang cukup hebat/besar antar argumentasi yang dikemukakan penulis buku. Kontradiktif

pemikiran penulis (Julianus Mojau), misalnya dapat terbaca dalam kutipan di bawah ini:

“tentu kita tidak boleh menutup mata terhadap usaha-usaha serius dari

beberapa anggota BPHS dalam team-work itu,18

antara lain, Pdt. Jerda Djawa,

17

Interpretasi yang peneliti lakukan (mungkin) akan dianggap sangat subjektif – pembaca lain (mungkin)

bisa berinterpretasi berbeda. Namun jika membaca secara keseluruhan buku kecil tersebut, peneliti cukup

yakin bahwa interpretasi yang peneliti lakukan berdasarkan fakta yang tampak dalam tulisan Julianus

Mojau tersebut. 18

Bandingkan dengan kritik Mojau terhadap team-work dalam kutipan di atas.

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

48

M.Th., sebagai Ketua Bidang Ajaran dan teologi, telah mengambil langkah

konkret dalam bentuk membuat kelender liturgi GMIH tahunan secara reguler.

Juga beliau, dalam kerja sama dengan Fakultas Teologi Universitas

Halmahera, pernah melakukan Semiloka Oktober 2010… kita juga perlu

menghargai dan menyebutkan usaha-usaha individual yang mengupayakan

pembaharuan liturgi seperti yang dilakukan oleh Pdt. Grace Morene

Rubawange, S.Si.Teol sekitar awal tahun 2012 dengan menerbitkan kumpulan

liturgi. Kita juga perlu mencatat kerja keras Ketua III, Ir. Hein Namotemo,

M.Sp., yang telah dengan sungguh memperjuangkan perlunya peningkatan

jaminan hidup para pengereja GMIH secara kontinu…” (Mojau, 2014:29-30).

Pernyataan yang bagi peneliti kontradiktif tersebut dikonfirmasikan oleh salah

satu pertanyaan (renungan peneliti ketika membaca buku tersebut), apa yang salah

dengan BPHS 2007-2012? Bukankah itulah esensi dari presbitarial sinodal, bahwa

keputusan diambil bersama dan dikerjakan bersama oleh seluruh elemen GMIH? Bagi

peneliti akan menjadi masalah dalam presbiterial sinodal tersebut jika dalam aktivitas

atau usaha-usaha individual (meminjam pernyataan Mojau) dilarang oleh Ketua BPHS.

Sehingga tidak ada alasan mengatakan BPHS GMIH 2007-2012 tidak memberi “kebun

hijau” dan “air-air segar” guna menumbuhkan benih presbitarial sinodal itu.

Walaupun demikian, GMIH telah retak dengan kepentingan berbagai pihak yang

sulit dipetakan dengan baik dan benar, “tali kekang” GMIH telah kusut dan sulit

ditemukan ujung-pangkalnya–yang jelas keikutsertaan pendeta dalam politik praktis

menjadi topik yang kembali diwacanakan. GMIH tidak hanya retak namun telah

terpecah, aktor berebut menjadi nahkoda, dan arah pelayaran menjadi tidak tentu.

Ketidak tentuan arah pelayaran itu diakibatkan oleh dualisme kepemimpinan akibat

Sidang Sinode Istimewa GMIH menghasilkan BPHS baru yang diamanatkan untuk

memimpin GMIH disaat BPHS hasil Dorume masih aktif. Satu Bahtera Dua Nahkoda,

qua vadis, GMIH?.

4.5. Dualisme Kepemimpinan GMIH: Perseteruan Antara BPHS versi SSI dengan

BPHS Hasil Sidang Sinode di Dorume

Pemicu awal perjuangan Tim Reformasi yang kemudian berubah nama menjadi

Tim Penyelamat GMIH, dan akhirnya mengkristal sebagai sebuah lembaga dengan

nama Sekretariat Pembaharuan adalah masalah Presbiterial-Sinodal yang hendak

dipakai sebagai dasar gerak GMIH dalam mengarungi samudra luas. Namun sebelum

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

49

menganalisis lebih dalam tentang asas presbiterial sinodal, ada baiknya lebih dulu

dilihat konteks persidangan Sinode GMIH di Dorume yang juga telah menghasilkan

kepemimpinan GMIH yang baru (periode 2012-2017).

4.5.1. Dorume Memanas: Bercerai Pasca Pilkada Maluku Utara

Dalam perspektif Weber, konsepsi kekuasaan dan teori tindakan saling terkait

erat. Bahwa setiap tindakan bersifat rasional-bertujuan, rasional-nilai dan bersifat

ekspresi dari adat istiadat yang tertata. Sebagai sebuah gereja, sejak awal

kemandiriannya GMIH telah menetapkan nilai Kristiani yang di ajarkan oleh Yesus

Kristus sebagai dasar gerak organisasinya. Praktek nilai Kristiani ini pada awal-mulanya

memang agak sulit berdialog secara liberatif dengan ekspresi adat-istiadat masyarakat

setempat. Sejarah terbentuknya GMIH dan proses perjalanan GMIH memang

memperlihatkan fenomena tersebut, sekalipun tidak dalam kondisi yang berdarah-darah.

Pendekatan KASIH Kristiani memang diyakini sebagai kekuatan yang membuat GMIH

mampu bertahan sampai dengan saat ini, setidaknya sampai dengan Sidang Sinode ke-

27 di Dorume, Loloda Utara.

Ujian berat pertama yang dihadapi GMIH secara kelembagaan adalah tragedi

berdarah yang dibalut dengan isyu SARA. Tragedi ini melanda hampir semua wilayah

Maluku, dan khusus untuk Maluku Utara, semua wilayah pelayanan GMIH memang

dilanda tragedi ini. Dalam ujian kekuatan nilai dasar (kasih) yang diembannya,

pergumulan GMIH kemudian diarahkan pada bagaimana membangun relasi yang saling

menghidupkan dengan liyan. Dalam konteks seperti ini, dasar pijak dan dasar gerak

GMIH yang ditetapkan di Jemaat Ikhthus Wari Tobelo menjadi bermakna.

Dalam Sidang Sinode ke-25 di Jemaat Ikhthus Wari, pergumulan tentang

bagaimana membangun relasi dengan agama lain, terutama Islam menjadi tema yang

digumuli secara kelembagaan oleh GMIH. Karena itu, salah satu butir yang

direkomendasikan oleh komisi rekomendasi kepada Majelis Pekerja Sinode (MPS)

terpilih adalah mengupayakan rekonsiliasi menyeluruh dengan umat Islam. Selain itu,

komisi program juga memprogramkan upaya rekonsiliasi dengan pemeluk agama Islam.

Dengan Visi GMIH yang Utuh, program GMIH dalam 5 tahun pertama mengarahkan

upaya pembangunan kembali jemaat-jemaat yang telah hancur oleh konflik.

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

50

Pembangunan yang dimaksudkan bukan saja pada sarana fisik berupa gedung gereja dan

pemulangan warga jemaat yang mengungsi namun lebih dari pada itu adalah berupaya

membagun rasa percaya umat GMIH kepada pemeluk Islam. Dalam hal ini langkah

yang dilakukan adalah dengan berupaya mengobati trauma yang disebabkan oleh

konflik itu sendiri.

Namun realitasnya hubungan ini belum terwujud dengan baik, sebab diakui

bahwa secara kelembagaan GMIH belum memiliki dasar yang jelas dalam hubungan

dengan agama lain, khususnya Islam. Alasan inilah yang menjadi salah satu faktor

penting yang mendorong GMIH untuk merumuskan kembali Ajaran dan Teologi secara

menyeluruh. kajian tentang ajaran dan teologi ini kemudian di bawah dalam Sidang

Sinode GMIH ke-26 di Jemaat Tiga Saudara Ibu (Mojau, 2014). Bahkan dalam makalah

“pengantar perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga GMIH”, Pdt. Dr.

Julianus Mojau mengungkapkan bahwa perubahan yang dilakukan terhadap AD/ART

GMIH haruslah memiliki dasar pada ajaran tradisi gereja yaitu tradisi Calvinis dengan

model organisasi Presbyterial Synodal. Bahwa AD/ART GMIH yang selama ini

digunakan hanya semacam perangkat organisasi yang tidak memiliki dasar jelas pada

ajaran-ajaran gereja. Akibatnya GMIH seolah menganut sistem tertentu tetapi ajaran-

ajarannya tidak mencirikan hal tersebut. Untuk itu perubahan ini penting dilakukan demi

memperlihatkan ciri khas GMIH.

Pertanyaannya adalah apakah konflik bernuansa SARA yang terjadi sekitar

tahun 1999 yang membuat GMIH terpecah? Apakah hubungan dengan pemeluk agama

lain khususnya Islam yang belum tertata dengan baik itu yang membuat GMIH

terpecah? Atau masalah praktek Presbiterial Sinonal yang menjadi pemicunya? Jika

menelaah lebih mendalam tentang deskripsi yang ada dalam Bab IV, maka pemicu

utamanya adalah masalah praktek model kepemimpinan (pemerintahan) Presbiterial

Sinodal. Namun sebenarnya faktor paling berpengaruh dalam pecahnya GMIH,

menurut peneliti adalah faktor politik–pasca pemilihan Gubernur Maluku Utara, kalau

tidak ingin dikatakan politik sakit hati.

Dalam deskripsi yang dilakukan Julianus Mojau (2014)–yang sudah peneliti

kritisi pada bab IV tulisan ini, gerakan-gerakan pembaharuan GMIH memang telah

Page 51: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

51

dimulai sejak Sidang Sinode ke-25 di Jemaat Ikhthus Wari. Embrio itu tampak muncul

dan berupaya mengawal keputusan Sidang Sinode sampai ke Sidang Sinode selanjutnya

di Jemaat Tiga Saudara Ibu. Kelompok yang awalnya mengidentifikasi diri dengan

“Tim Penyelamat GMIH” memang berupaya keras mengawal aturan-aturan gereja

dengan model presbiterial sinodal untuk tetap dilakukan. Upaya kelompok ini dalam

banyak hal kurang berhasil sebab memang tidak ada pelanggaran oleh kepemimpinan

GMIH periode 2007-2012 dalam Tata Gereja dan Tata Rumah Tangga GMIH.

Perjuangan mereka kemudian difokuskan pada “pendeta berpolitik”. Namun yang

terjadi GMIH secara kelembagaan malah memberi kekuatan bagi pendeta berpolitik,

buktinya dikeluarkan dua aturan dalam bentuk Surat Keputusan.

Tim Penyelamat GMIH kemudian melebur diri dan membentuk Tim Reformasi

GMIH, perjuangannya masih berkisar pada dua tema utama, yakni organisasi gereja

yang harus didasarkan pada model presbiterial sinodal19

, dan tuntutan agar pendeta tidak

terlibat dalam politik praktis. Anehnya perjuangan kelompok ini tidak juga mendapat

“respon positif” dari jemaat-jemaat. Fase selanjutnya Tim Reformasi juga melebur diri

dan membentuk kelompok baru, yakni kelompok pembaharuan GMIH. Pertanyaannya

apa yang dibaharui? Tema yang diusung kemudian diperlus, yakni pendeta yang

berpolitik praktis, pengaturan organisasi gereja yang melenceng dari asas presbiterial

seinodal, dan soal jaminan hidup para pengereja–setoran jemaat 30% yang diduga

pengaturannya tidak transparan.

Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) khususnya BPHS periode 2007-

2012, dan 2012-Sekarang dikatakan sedang “sakit‟ oleh kelompok pembaharuan.

Perjuangan (tindakan) yang menuntut rasionalitas bertujuan sekaligus rasionalitas nilai,

kelihatannya dibungkus kepentingan kekuasaan. Dikatakan demikian, sebab ketika

BPHS melakukan berbagai klarifikasi kelompok Pembaharuan GMIH masih tetap tidak

menerima. Bahkan dalam catatan “Pemetaan Permasalahan GMIH” yang dilakukan oleh

Tim Balitbang dan Statistik GMIH, dikatakan bahwa:

“Aksi mereka kemudian terhenti ketika Sidang Majelis Sinode I yang

dilakukan di Jemaat Betlehem Tobelo pada bulan Februari 2013. Dalam sidang

tersebut, BPHS melakukan klarifikasi dan penjelasan terkait dengan tuduhan

19

Lihat penjelasan lengkapnya pada bagian berikut

Page 52: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

52

yang dilakukan oleh Kelompok Reformasi. Dengan hasil dari penjelasan

tersebut, peserta SMS merekomendasikan untuk dilakukan pengampunan dan

konsiliasi kepada Kelompok Reformasi dan dilakukan penarikan selebaran

atau buku yang telah disebarkan. Rekomendasi tersebut diindahkan oleh

mereka”20

.

Setelah Tim Reformasi “dibubarkan” kondisi GMIH kembali normal, gerak

organisasi GMIH kembali berjalan normal, anehnya kelompok ini kembali melakukan

aksi bahkan membentuk Sekretariat Pembaharuan. Rekomendasi Pengampunan yang

diberikan oleh Sidang Majelis Sinode bulan Februari 2013 menjadi dokumen indah

yang hanya baik untuk dibaca dan tidak perlu ditaati. Ada apa gerangan, situasi GMIH

kembali memanas setelah Sekretariat Pembaharuan terbentuk. Berdasarkan informasi

yang dihimpun oleh peneliti, baik yang didapatkan dari surat kabat (lokal) maupun

informan kunci yang diwawancarai, tuntutan tentang presbiterial sinodal, dan lain

sebagainya menjadi kabur, atau dikaburkan dengan masalah politik–sekretaris BPHS

dikatakan berkampanye untuk calon tertentu, dan Ketua Sinode dikatakan mendukung

calon tertentu pula. Dengan demikian, menurut peneliti telah terjadi pergeseran tujuan

pembaharuan.

Dalam buku I “Sejarah Pembaharuan GMIH”, Julianus Mojau (2014:50)

menulis:

“Sayang sekali, di tengah-tengan proses berjalan ke arah yang lebih baik itu

sebagaimana amanat Sidang Majelis Sinode I, untuk membaharui tata

organisasi GMIH agar lebih sesuai Asas Presbiterial Sinodal tidak mendapat

perhatian BPHS GMH periode 2012-2017. Malahan, … Ketua, Sekretaris,

Wakil Ketua II, Wakil Ketua IV dan Wakil Sekretaris, sibuk mengurus politik

praktis politik kekuasaan di tengah-tengah hiruk-pikuk agenda demokrasi lokal

di Maluku Utara, yaitu: Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur”

Wacana ini kemudian menjadi topik utama pembicaraan di Sekretariat

Pembaharuan, bahkan sampai dikomunikasikan ke Jemaat-jemaat lewat sosialisasi yang

dilakukan, membentuk opini pada tingkat Jemaat bahwa pimpinan gereja meninggalkan

mereka. “Pimpinan gereja sebagai gembala ternyata hanya mengeksploitasi mereka

(jemaat), dan mereka sangat kecewa dan marah karena mereka menganggap bahwa

20

Yang dimaksudkan dengan aksi mereka adalah kelompok (Tim) Reformasi. Lihat lampiran Pemetaan

Permasalahan GMIH, khusunya point 2

Page 53: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

53

pimpinan gereja justru meninggalkan mereka dan memihak calon lain secara terang-

terangan karena rupanya lebih banyak memberikan sumbangan daripada dua calon dari

warga GMIH” (Mojau, 2014: 54-55).21

Selain itu, Mojau (2014:55-56) juga menguraikan topik diskusinya dengan kedua

calon Gubernur Maluku Utara di Sekretariat Pembaharuan GMIH Tobelo, Halmahera

Utara dan pada saat peletakan batu pemula Gereja Protestan Halmahera di Tosoa

Halmahera Barat22

. Hasil diskusi dengan kedua calon Gubernur ini, diuraikan oleh

Mojau sebagai berikut:

“Sekiranya Ketua Sinode tidak dukung kami tidak apa-apa, asalkan jangan

menjelek-jelekan kami dan berkampanye secara terbuka untuk orang lain.

Kami dapat memahami posisi dia sebagai pimpinan umat. Tetapi apa yang

dilakukan oleh Ketua Sinode adalah sangat menyakitkan hati kami dan kami

sulit terima dan akan melawannya. Kami juga malu karena dia melacurkan diri

untuk uang dan politik. Dia pendeta kami jadi jangan menjadi lonte/pelacur

politik seperti itu. Jangan melacurkan diri hanya uang dan politik. Panggilan

kependetaan kan suci dan menjadi pemberi air sejuk dan tidak boleh tamak

uang?”

Pertanyaannya mengapa topik ini dibicarakan di Sekretariat Pembaharuan, dan

pada saat peletakan Batu Pemula pembangunan Gereja Protestan Halmahera di Tosoa?.

Dan mengapa hal ini dibahas begitu mendalam oleh sang penulis buku “Sejarah

Pembaharuan GMIH”. Menurut peneliti tema yang diusung kelompok pembaharuan

GMIH memang telah mengalami pergeseran, seolah yang diperlihatkan dalam buku

“Sejarah Pembaharuan GMIH” adalah model politik sakit hati akibat kekalahan dalam

bertarung di pemilihan Gubernur. Perhatikan kalimat “kami sulit terima dan kami akan

lawan.”

21

Ketua Sinode (Pdt. Anton Piga) ketika diwawancarai tanggal 29 Desember 2013, mengatakan bahwa

secara kelembagaan GMIH tidak pernah mengeluarkan seruan atau himbauan agar Jemaat memilih calon

tertentu. Kami sadar setiap anggota Jemaat memiliki hak politik, dan bebas memilih, kalau saya himbau

tentu melanggar dan salah. Saya sendiri juga punya hak politik secara pribadi, bukan lembaga. Karena itu

saya berhak memilih siapa saja calonnya. Kalau soal sumbangan yang lebih besar itu tidak tepat, tanpa

bukti dan itu bisa dikatakan fitnah. 22

Peletakan Batu Pemula sesuai dengan pasal 9 (huruf g) Peratuan No. 1 Tentang Sinode yang adalah

merupakan Tugas Badan Pekerja Harian Sinode. Namun sesuai dengan informasi yang terhimpun,

peletakan batu pemula pada dua gereja yang dibangun tersebut, BPHS hasil bentukan Sidang Sinode di

Dorume tidak diundang.

Page 54: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

54

Tim Reformasi yang telah dimaafkan oleh BPHS dalam Sidang Majelis Sinode

bulan Februari 2013 memang telah “membekukan” diri. Kelompok ini baru kembali

beraksi setelah adanya demonstrasi yang dipimpin oleh seorang Penatua pasca

pemilihan Gubernur Maluku Utara. Itulah sebabnya menurut hemat peneliti perjuangan

Tim Reformasi sarat kepentingan karena bisa saja dikatakan ikut ditunggangi secara

politik. Faktanya, pasca pemilihan Gubernur Maluku Utara, barulah terbentuk

Sekretariat Pembaharuan, dan diduga kuat salah satu calon yang kalah dalam pemilihan

itu ikut menjadi motor dalam membentuk atau mendirikan Gereja Protestan Halmahera

(GPH) di Tosoa, Halmahera Barat. Dengan demikian, pertanyaannya siapa yang

membawa politik ke dalam gereja?.

Pasca pemilihan Gubernur Maluku menjadi momen penting yang

melatarbelakangi terpecahnya GMIH sebagai Gereja yang Utuh dan Mandiri. Akibat

dari terbentunya Sekretariat Pembaharuan, dan aktivitas-aktivitas (sosialisasi) yang

dilakukan tentang “dosa-dosa” BPHS 2007-2012 dan BPHS GMIH 2012-2017

membuat GMIH menjadi “kehilangan arah”. „Kemudi‟ bahtera GMIH yang hendak

direbut tidak membuahkan hasil, akibatnya muncul upaya menghadirkan GMIH “baru.”

Realitasnya GMIH telah terpecah menjadi dua–BPHS hasil Sidang Sinode Dorume dan

BPHS versi Sidang Sinode Istimewa (SSI). Namun mereka yang melakukan ini masih

saja “bersembunyi” dibalik jubah dan berkata “GMIH hanya satu, dan BPHS hasil

Dorume telah demisioner atau dibubarkan”. Anehnya wacana ini diterima oleh jemaat-

jemaat sebagai yang benar adanya. Benar bahwa BPHS versi SSI ada dan melakukan

pelayanan gerejawai, benar juga bahwa BPHS hasil Sidang Sinode di Dorume ada dan

juga melakukan pelayanan gerejawi, bahkan Gereja Protestan Halmahera juga ada dan

melakukan pelayanan gerejawi.

Berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan Balitbang dan Statistik GMIH

terhadap konflik kepentingan di tingkat elite yang merembes pada tingkat jemaat, dan

ketika memetakan jumlah jemaat-jemaat pendukung ditemukan bahwa jumlah jemaat

pendukung BPHS GMIH hasil Sidang Sinode ke-27 di Dorume adalah sebanyak 85%,

jemaat pendung BPHS versi SSI adalah sebanyak 13% dan jemaat pendukung GPH

adalah sebesar 2%. Hasil ini dihitung berdasarkan jumlah jemaat pendukung GMIH

Page 55: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

55

adalah sebanyak 432 Jemaat. Dengan demikian, jemaat pendukung BPHS Dorume

adalah 367 Jemaat; yang mendukung BPHS versi SSI adalah 56 Jemaat, dan yang

mendukung GPH adalah 9 Jemaat.

Walaupun demikian, hasil wawancara dengan Kepala Badan Litbang dan

Statistik GMIH, bapak Anthon Ngarbingan, M.Si dikatakan bahwa:

“Dalam hal prahara atau konflik elite GMIH yang berdampak sampai pada

tingkat jemaat, dan berdasarkan data yang sudah kami himpun agak sulit untuk

mengatakan bahwa yang berpindah ke SSI maupun GPH itu adalah Jemaat.

Menurut kami yang berpindah itu Rumah Tangga atau boleh dibilang orang

per orang. Alasannya adalah bahwa dalam satu Jemaat terdapat kelompok yang

mendukung BPHS, BPHS versi SSI dan mungkin juga GPH di Halmahera

Barat. Jadi kelihatannya Jemaat terkontaminasi dengan konflik elite di GMIH

kemudian anggota jemaat memilih untuk mendukung yang mana, karena itu

dalam satu Jemaat ada yang mendukung BPHS dan ada juga yang mendukung

BPHS versi SSI”23

Meminjam perspektif Foucault, “kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada

situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu”. Dalam hubungan itu, tentu saja

ada pihak yang diatas dan di bawah, di pusat dan di pinggir, di dalam dan di luar. Tetapi

ini tidak berarti kekuasaan terletak di atas, di pusat, dan di dalam. Sebaliknya,

kekuasaan menyebar, terpencar, dan hadir di mana-mana seperti jejaring yang menjerat

kita semua. Kekuasaan „merasuki‟ seluruh bidang kehidupan masyarakat modern.

Kekuasaan berada di semua lapisan, kecil dan besar, laki-laki dan perempuan, dalam

keluarga, di sekolah, kampus, dan lain sebagainya. Namun dalam praktek

memperebutkan dan menggunakan kekuasaan itu, bagi peneliti ada mekanismenya.

Semua orang (individu) memiliki kekuasaan tetapi dalam organisasi kekuasaan

organisasi itu diatur dalam mekanisme yang baku–dimiliki organisasi, karena itu tidak

semua orang berhak menggunakan atau mengekspresikan kekuasaan organisasi,

termasuk Gereja. Dalam hubungannya dengan masalah GMIH, “pertunjukan”

kekuasaan setiap orang sedang terjadi, seolah GMIH tanpa aturan atau konstitusi.

Dalam perspektif legitimasi, „pertunjukan kekuasaan‟ tersebut berimplikasi pada

munculnya pengkotak-kotakan anggota jemaat dalam mendukung atau mengabsahkan

kebenaran secara parsial. Faktanya adalah bahwa aktor yang “bermain” di Halmahera

23

Wawancara pada tanggal 5 Januari 2014

Page 56: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

56

Barat sebut saja Bupati Halmahera Barat yang ikut memotori dibangunnya gereja baru

atas referensi sejarah munculnya Gereja Protestan Halmahera (GPH), mampu

membangkitkan semangat „kekeluargaan‟ atau dalam perspektif antropologis mampu

membangkitkan “klan” manusia Halbar yang “bangkit” mempersatukan dan

mengeratkan kembali sistem kekeluargaan tersebut dengan mendeklarasikan diri sebagai

sebuah gereja baru, atau gereja kekeluargaan?.

Begitu juga yang terjadi di Halmahera Utara, kemampuan aktor sebut saja

Bupati Halmahera Utara dengan kharisma yang dimiliki mampu memainkan kekuasaan

simbolis yang hampir tidak tampak secara kasat mata, namun memiliki kekuatan atau

posisi tawar yang tinggi bagi beberapa akademisi Uniera. Hasil „pertunjukan kukuatan‟

ini berimplikasi pada munculnya dokumen kurios (pembaharuan) yang membuat GMIH

harus menelan pil pahit perpecahan di Halut. Pertunjukan kekuasaan yang

mengkonfirmasikan dukungan berbagai pihak, termasuk para Pendeta, menghasilkan

tindakan radikal yang diambil oleh BPHS SSD dengan “mendisiplinkan” beberapa

pendeta yang oleh BPHS SSD dianggap melanggar Tata Gereja.24

4.5.2. Presbiterial Sinodal: Pemicu Awal yang Hilang dalam Wacana

Politik

Mencermati sejarah GMIH, sejak gereja ini disahkan keberadaanya tahun 1949,

asas presbiterial sinodal (sekalipun tampak dilaksanakan), namun secara kelembagaan

asas ini baru dicantumkan dalam Tata Gereja berdasarkan hasil keputusan Sidang

Sinode ke-23 tahun 1992 di Morotai. Itu artinya sejak berdirinya GMIH tahun 1949 baru

pertama kalinya asas presbiterial-sinodal dimasukan sebagai dasar gerak GMIH pada

tahun 1992, dan 23 tahun kemudian (2013) baru dipermasalahkan praktek asas ini dalam

kehidupan bergereja di GMIH. Apa gerangan?.

Sejak Sidang Sinode ke-23 di Morotai tahun 1992, setiap keputusan Sidang

Sinode selanjutnya (ke-24 di Balisoan, hingga ke-27 di Dorume), selalu dicantumkan

bahwa struktur organisasi GMIH adalah menganut asas/paham Presbiteril-Sinodal, dan

dalam rentang waktu 1992–2007 tidak ada elit gereja (GMIH) yang mempermasalahkan

24

Termasuk Ibu peneliti yang adalah Pendeta GMIH “didisiplinkan” oleh BPHS.

Page 57: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

57

praktek presbiterial-sinodal ini dalam bergereja. Wacana tentang presbiterial-sinodal

baru mulai diperdebatkan sejak munculnya Tim Reformasi yang kemudian berubah

nama menjadi Tim Penyelamat GMIH dan terakhir menjadi Sekretariat Pembaharuan

tahun 2013, maka pertanyaan yang mengemuka adalah presbiterial-sinodal seperti apa

yang dikehendaki oleh Sekretariat Pembaharuan?.

Berbicara tentang sistem presbiterial-sinodal tentu tidak lepas dari pemahaman

tentang gereja (ekklesiologi) Johanes Calvin, sebab sistem ini merupakan bagian penting

dari pemahaman Calvin tentang gereja. Baginya gereja harus dipimpin secara bersama-

sama antara pendeta atau pastor, pengajar, orang yang berusia lanjut (Penatua), dan

Diaken atau Syamas. Tugas Pastor atau Pendeta adalah memberitakan Firman Tuhan

Allah, melayankan sakramen-sakramen dan bersama dengan para penatua mengawasi

kehidupan jemaat agar mereka hidup sesuai dengan kehendak Tuhan Allah. Para

pengajar (doctor), mereka melakukan pengajaran iman kepada anggota gereja, namun

dalam perkembangannya, jabatan pengajar ini dirangkap oleh para pastor/pendeta. Oleh

sebab itu, menurut Calvin, para pendeta harus mempelajari Alkitab dan juga ajaran

gereja serta teologi sebaik mungkin, supaya dapat memberikan pengajaran yang

berbobot kepada anggota gereja. Sedangkan tugas para Syamas atau Diaken membantu

orang-orang miskin dan sakit. (de Jonge, 1998: 103 ).

Pola kepemimpinan gereja yang kolektif seperti itu mengkonfirmasikan makna

consistorium yang dikemukakan oleh Calvin. Consistorium bermakna sebuah “ruang”

dimana para pendeta/pastor dan penatua bertemu setiap minggu untuk membicarakan

kasus-kasus penggembalaan dan disiplin (de Jonge, 1998:110). Setiap permasalahan

yang dihadapi dibicarakan bersama dan keputusan yang ada adalah keputusan bersama

bukan keputusan perorangan. Dengan demikian akan tampak makna system presbiterial-

sinodal yang sebenarnya.

Secara emologis, frase presbiterial sinodal merupakan penggabungan dari kata

Yunani presbiterion yang berarti “dewan tua-tua”, dan sun yang berarti “bersama, oleh,

melalui,, dengan”, serta hodos yang berarti “jalan, perjalanan”. Dengan demikian,

makna dari presbiterial sinodal merupakan komitmen „tua-tua‟ di dalam jemaat untuk

berjalan bersama bagi tugas pelayanan gereja di dalam dunia (Hontong, dkk, 2013:17-

Page 58: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

58

20).25

Berdasarkan pengertian ini, Mojau merumuskan pengertian presbiterial sinodal

sebagai:

“dasar berpikir dan bertindak yang menjadi landasan hukum gereja ketika

menjalankan misi Allah di dalam dunia; dimana proses menjalankan misi

Allah itu dilaksanakan berdasarkan semangat „berjalan bersama-sama‟ para

tua-tua di jemaat, dalam hal ini adalah pendeta, penatua, dan diaken”. Dalam

kaitannya dengan GMIH, diartikan sebagai “suatu kesadaran hidup menggereja

yang menjunjung tinggi kesepakatan para pendeta, penatua, dan diaken dalam

jemaat-jemaat GMIH untuk menjalankan misi Allah di dalam dunia…yang

mewujud dalam berbagai keputusan gereja, ditingkat jemaat setempat maupun

ditingkat jemaat-jemaat di dalam sinode GMIH (Hontong, dkk, 2013:18-19).

Secara normatif, model kepemimpinan presbiteril sinodal tampak memiliki

kemiripan dengan model demokrasi perwakilan, artinya wakil-wakil jemaat (penatua,

diaken, dan pendeta) merupakan representasi jemaat yang diberi kewenangan untuk

mengurus dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi, baik masalah

organisasi maupun masalah yang dihadapi anggota jemaat. Para tua-tua ini sekaligus

juga memiliki kapasitas untuk diutus oleh jemaat dalam proses pengambilan keputusan

di tingkat atas (sinode). Perbedaannya dengan demokrasi perwakilan adalah bahwa

pendeta, penatua, dan diaken dalam perundingan untuk mengambil keputusan tidak

didasarkan pada “suara terbanyak”, melainkan berdasarkan pertimbangan “suara

terbaik” sesuai kehendak Kristus (Hontong, dkk, 2013:26).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa model kepemimpinan

“tuntutan” presbiterial sinodal merupakan model yang sangat ideal, sebab pertimbangan

“suara terbaik” sesuai kehendak Kristus tentu dapat diperdebatkan dan diklaim

kebenarannya oleh setiap orang yang dikategorikan sebagai “tua-tua”–suara terbaik

adalah konsep abstrak yang sulit ditemukan padanannya apalagi dikatakan sebagai

25

Buku kecil dengan judul “HIDUP MENGGEREJA: Asas Presbiterial Sinodal Gereja Masehi Injili di

Halmahera”, merupakan kumpulan tulisan dari tiga orang dosen UNIERA, yakni: Julianus Mojau,

Arkipus Djurubasa, dan Sefnat Honton. Mereka ditugaskan secara khusus oleh BPHS versi SSI lewat

surat: BPHS/15/B-6/XX-VII-SSI/2013 tanggal 2 Oktober 2013, untuk menyusun buku ini sebagai “buku

saku” yang sedianya akan dibagikan kepada jemaat. Bahkan dalam kata sambutannya, Dekan F.Teol

Uniera (Sefnat A. Hontong) menulis “…semoga melaluinya, kemandirian jemaat setempat dan jemaat-

jemaat dalam Sinode GMIH bisa didesak untuk bersegera dan bergegas supaya „menjadi‟.

Page 59: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

59

“sesuai kehendak Kristus”. Frase ini jika diperhadapkan dengan prinsip pertama26

:

Imamat Am Orang Percaya, yang mendasari asas presbiterial sinodal ini, maka akan

menimbulkan masalah sebab setiap orang bisa mengklaim bahwa suaranya adalah

“suara terbaik” sesuai kehendak Kristus.

Mercermati sejarah perjalanan GMIH, pertanyaan mendasarnya adalah perlu

merujuk kemana asas presbiterial sinodal ini? Mengingat sejarah masuknya agama

Kristen di Halmahera “dikomandoi” oleh gereja Belanda, yakni: Nederlandse

Hervormde Kerk (NHK), yang faktanya dapat disebut sebagai “gereja negara” karena

memiliki hubungan istimewa dengan pemerintah Belanda. Untuk itu, „nuansa‟ Sidang

Sinode Istimewa GMIH yang mengusung pembaharuan kepemimpinan kepada asas

presbiterial sinodal seperti yang dikemukan di atas perlu “diintip” sebagai pintu masuk

guna mendudukkan persoalan tentang apakah asas presbiterial sinodal merupakan

kesadaran kolektif kemajelisan ataukah asas yang ideal ini “dipaksakan” kepada jemaat

dan tua-tuanya (kemajelisan) untuk dilaksanakan?.27

Nederlandse Hervormde Kerk (NHK) sekalipun merupakan “gereja negara”,

namun dalam sistem penataan atau asas organisasinya menggunakan asas “berjalan

bersama tua-tua”–presbiterial sinodal. Dalam hal ini jemaat setempat dipimpin oleh

Majelis Jemaat, lalu ada Klasis untuk jemaat-jemaat sewilayah, kemudian ada sinode

provinsi dan sinode nasional. Sekalipun secara resmi ajaran gereja NHK memisahkan

antara gereja dan negara/politik, namun dalam kenyataannya, hal itu sulit dilakukan oleh

gereja; gereja sama dengan negara dan negara itulah gereja. Hal ini berakibat pada

menjadi besar dan kuatnya peran serta wewenang Sinode dalam kehidupan menggereja

NHK, baik dalam hal menentukan keuangan gereja maupun dalam hal pemanggilan para

pendeta (Hontong, dkk, 2013:39).

Uraian di atas menarik untuk mengaitkan “situasi” Sidang Sinode Istimewa

tanggal 6-8 September 2013 dengan tujuan utama yang mendasari dilakukannya SSI,

yakni menghendaki penatalayanan GMIH dengan asas presbiterial sinodal. Dalam SSI

26

Terdapat 4 (empat) prinsip mendasar dari asas ini, yang membedakannya dengan asas episkopal dan

asas kongregasional, yakni: a). Imamat Am Orang Percaya; b). Tidak Ada Hirarki dalam Gereja; c).

Kepemimpinan Kolektif (kemajelisan); dan d). Berjalan Bersama (Hontong, dkk, 2013:27-36). 27

Perhatikan catatan kaki no. 13 khususnya kalimat “jemaat didesak untuk bersegera dan bergegas supaya

„menjadi‟.

Page 60: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

60

tersebut, Bupati Halmahera Utara Ir. Hein Namotemo, MSP diundang secara khusus

untuk memberikan sambutan.28

Kehadiran Bupati Halmahera Utara dalam pelaksanaan

SSI, bisa diformulasikan sebagai: pertama, kehadirannya perlu dilihat sebagai “orang

nomor satu” di Halmahera Utara dan kebetulan beragama Kristen, sehingga

legitimasinya dianggap penting sebagai bagian dari pengakuan pemerintah Halmahera

Utara terhadap eksistensi SSI yang dilaksanakan dalam wilayah pemerintahan tersebut;

dan kedua, konsekuensi dari posisinya sebagai “orang nomor satu” di Halmahera Utara,

harusnya Bupati hadir dan mengambil sikap netral, sembari memberikan pemahaman

yang baik akan keutuhan GMIH.

Namun yang terjadi justru sebaliknya, Bupati hadir dalam kapasitas sebagai

pendukung SSI dan tentu dukungan ini menambah rumit permasalahan yang dihadapi

GMIH. Ketidak-netralan negara (dalam hal ini Bupati yang merupakan representasi

pemerintah), diakibatkan posisi Bapak Ir. Hein Namotemo, MSP (Bupati Halmahera

Utara) yang pada periode kepemimpinan Sinode 2002-2007 memegang jabatan Ketua

III dalam Sinode, sehingga kehadirannya dalam SSI perlu “dibaca” dalam romantisme

jabatan Ketua III tersebut. Dengan demikian, maka dalam pelaksanaan SSI dapat diduga

muncul hegemoni kekuasaan negara terhadap gereja, atau (mungkin) kolabirasi

kekuasaan negara dan agama (gereja).

Dengan demikian, sebenarnya asas presbiterial sinodal atau asas “berjalan

bersama tua-tua” yang ditawarkan oleh SSI menurut pandangan peneliti masih sarat atau

muatannya adalah kepentingan penguasa dan kelompok tertentu, bukannya muncul dari

kesadaran Majelis Jemaat apalagi kesadaran anggota jemaat. Akibatnya kritik

Sekretariat Pembaharuan tentang praktek asas Presbiterial Sinodal yang dilakukan oleh

BPHS hasil SS Dorume menjadi sangat dangkal bahkan terkesan hilang karena tidak

memiliki dasar argumentasi yang kuat dan bermanfaat.

Selain itu, apabila memperbandingkan hasil Sidang Sinode Dorume (SSD) dan

hasil SSI khusunya pada 2 (dua) Surat Keputusan yang dihasilkan, yakni: 1) Keputusan

28

Sambutan tertulis tersebut dimuat dalam Buku Panduan Sidang Sinode Istimewa (GMIH) Tobelo, 6-8

September 2013. Sambutan tersebut dibuat dalam kertas yang berlogo “Bupati Halmahera Utara” dengan

Burung Garuda di atasnya. Sambutan ini menjadi bagian dari dokumen gereja. Selengkapnya sambutan

tersebut dapat dilihat dilampiran.

Page 61: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

61

Persidangan Sinode GMIH XXVII No. 08/Kpts/SS XXVII/2012 tentang Tata Geraja

dan Peraturan-Peraturan, yang dihasilkan di Dorume; dan 2) Keputusan Persidangan

Sidang Sinode Istimewa GMIH No. 07/Kpts/SSI/2013 tentang Peraturan Tentang

Sinode, yang dihasilkan di Tobelo. Lebih khusus lagi pada turunan dari 2 (dua) surat

keputusan tersebut, masing-masing Peraturan Nomor 01 Tentang Sinode, memang

ditemukan beberapa perbedaan, namun tidak sangat mendasar dalam dua rumusan

peraturan yang dihasilkan oleh dua BPHS berbeda tersebut.

Realitasnya adalah bahwa dalam Ketentuan Umum (Peraturan No. 1–untuk

masing-masing BPHS), khususnya pasal 1 ayat 3 mencantumkan bahwa:

“Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) adalah Badan

Musyarawah para Penatua (presbyteros) utusan Majelis Jemaat dan BPHS

(pasal 1 ayat 3. versi SSD);

Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Halmahera (MS-GMIH) adalah

badan musyawarah para Penatua (presbyteros) yang mewujud dalam

persidangan-persidangan (pasal 1 ayat 3. versi SSI)”.

Mencermati dua kutipan ayat di atas, menurut peneliti yang tampak adalah lebih

banyak persamaan ketimbang perbedaan, bahwa kedua BPHS tersebut pada titik ini

bersepakat “Sidang Majelis Sinode adalah badan musyawarah para presbyteros. Yang

membedakannya adalah: menurut BPHS SSD, badan musyawarah para Penatua

merupakan „utusan Majelis Jemaat dan BPHS‟, sedangkan menurut BPHS hasil SSI

badan musyawarah penatua „yang mewujud dalam persidangan-persidangan‟–frase ini

bisa saja multi tafsir, seandainya tidak dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 1 ayat 4

tentang “anggota Majelis Sinode adalah wakil-wakil anggota Majelis Jemaat dalam

Sinode GMIH.

Untuk memperjelas tentang anggota yang diharuskan hadir dalam Sidang

Majelis Sinode sebagai perwujudan dari asas Presbiterial Sinodal, maka perlu melihat

dan memperbandingkan pasal yang mengatur tentang peserta Sidang. Dalam Tata

Gereja dan Peraturan-peraturan yang dihasilkan pada Sidang Sinode GMIH di Dorume,

khususnya pasal 5 (ayat 1 dan 2) Peraturan No. 1, dijelaskan bahwa:

“Ayat 1: Peserta Sidang Sinode dan Sidang Sinode Istimewa terdiri dari: a).

Utusan Jemaat: Ketua, Sekretaris dan Bendahara; b). Para Koordinator

Wilayah; c). Badan Pekerja Harian Sinode; d). Ketua-ketua Kelembagaan; e).

Rektor UNIERA, Direktur Rumah Sakit Bethesda; dan f). Undangan.

Page 62: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

62

Selanjutnya, ayat 2: Peserta Sidang Majelis Sinode terdiri dari: a). Ketua

PBHJ; b). Para Koordinator Wilayah; c). Badan Pekerja Harian Sinode; d).

Ketua-ketua Kelembagaan; e). Rektor UNIERA, Direktur Rumah Sakit

Bethesda; dan f). Undangan”.

Selain itu, Peraturan No. 01 tentang Sinode GMIH hasil Keputusan SSI di

Tobelo, Pasal 11 (ayat 1, 2, dan 3) menyebutkan bahwa:

“Ayat 1. Peserta Sidang Lima Tahunan adalah: a). Tiga orang wakil dari

anggota-anggota Majelis Jemaat dalam Sinode GMIH; b). Mejelis

Pertimbangan Sinode, Badan Pekerja Harian Sinode dan Badan Pemeriksa dan

Pembinaan Perbendaharaan GMIH; c). Ketua-ketua Kelembagaan; d).

Undangan. Ayat 2 dan 3 tentang Peserta Sidang Sinode Istimewa dan Sidang

Sinode Tahunan adalah sama dengan peserta Sidang Lima Tahunan”.

Masalahnya memang terletak pada peserta atau anggota persidangan tersebut.

Jenis Sidang GMIH adalah Sidang Majelis Sinode yang dilakukan setahun sekali,

Sidang Sinode Istimewa yang dilakukan jika terdapat kepentingan yang sangat

mendesak, dan Sidang Sinode yang dilakukan lima tahun sekali. Titik kritik Sekretariat

Pembaharuan adalah soal siapa (peserta) yang harus mengikuti sidang tersebut, terutama

Sidang Majelis Sinode dan Sidang Sinode. Dalam Sidang Sinode masalahnya adalah

Keputusan Sidang Sinode Dorume sudah menetapkan secara jelas “utusan Jemaat”

yakni: Ketua, Bendahara dan Sekretaris–ini berarti ada tiga orang yang harus diutus.

Sedangkan Keputusan SSI secara abstrak menetapkan “utusan Jemaat” adalah “Tiga

orang wakil dari anggota-anggota Majelis Jemaat dalam Sinode GMIH”.

Dengan demikian, menurut kelompok Sekretariat Pembaharuan, utusannya harus

“tiga orang wakil” namun tidak perlu ditetapkan dengan pasti bahwa tiga orang utusan

itu haruslah Ketua, Bendahara dan Sekretaris. Bahwa keputusan rapat di tingkat

Jemaatlah yang memutuskan siapa yang diutus, dan tidak perlu ditetapkan dalam aturan

Sinode secara jelas. Selanjutnya Sidang Mejelis Sinode yang dilakukan sekali dalam

setahun, keputusan SSD menetapkan yang berhak hadir adalah “Ketua BPHJ”,

sedangkan keputusan SSI mengaruskan “tiga orang wakil” yang perlu diputuskan dalam

rapat Mejelis Jemaat untuk diutus sebagai peserta SMS, jadi tidak perlu langsung

ditetapkan seperti versi SSD.

Page 63: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

63

Masalahnya adalah hal ini tidak memiliki implikasi organisatoris apapun, sebab

yang dilakukan oleh BPHS hasil SSD adalah konstitusional, karena aturan itu telah

ditetapkan dalam sebuah Sidang Sinode. Artinya keputusan SSD adalah konsensus

bersama dalam menggereja ala GMIH yang perlu dilakukan selama 5 tahun. Sehingga

ketika aturan itu dilaksanakan bukan berarti ada pelanggaran terhadap asas presbiterial

sinodal, seperti yang dituduhkan oleh Sekretariat Pembaharuan. Kalaupun terdapat

keberatan dalam penetapan peserta sidang seperti yang diatur dalam aturan tersebut,

maka hal ini perlu dicatat sebagai bagian yang nantinya direkomendasikan pada Sidang

Sinode selanjutnya, dan bukan diselesaikan lewat Sidang Sinode Istimewa (SSI).

Realitas lainnya adalah bahwa perbedaan perspektif tentang asas presbiterial

sinodal dari kedua kelompok terletak pada “Kepemimpinan Mejelis Sinode”. Dalam

Peraturan No. 1 (pasal 7) versi SSD dikatakan bahwa: “Mejelis Sinode dipimpin oleh

Badan Pekerja Harian Sinode (BPHS)”, yang keanggotaannya (diatur dalam pasal 6)

terdiri dari: a) Para Ketua PBHJ; b) Para Koordinator Wilayah; c) Anggota BPHS; dan

d) Ketua-ketua Kelembagaan tingkat Sinode. Selanjutnya, dalam Peraturan No. 1 (pasal

4 ayat 2) versi SSI dikatakan bahwa “kepemimpinan Majelis Sinode diketuai oleh tiga

orang Ketua atau lima orang Ketua yang didampingi oleh seorang Sekretaris yang

dipilih setiap kali persidangan Mejelis Sinode”. Selain itu–masih menurut versi SSI,

pada Pasal 6 yang mengatur tentang Masa Jabatan Majelis Sinode, dikatkan: (ayat 1)

“masa jabatan Anggota Majelis Sinode adalah 5 (lima) tahun untuk satu periode

pelayanan” dan (ayat 2) “masa jabatan Kepemimpinan Majelis Sinode adalah 1 (satu)

tahun untuk satu periode persidangan Majelis Sinode.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa struktur organisasi yang

diusung oleh BPHS versi SSI tampak “gemuk” dan tidak jelas kewenangannya. Artinya

Kepemimpinan Majelis Sinode yang masa jabatannya hanya 1 (satu) tahun, dan anggota

Majelis Sinode yang memiliki masa jabatan 5 (lima) tahun menjadi aneh dan tidak

bermanfaat dari sudut pandang organisasi. Selain itu, dari sudut pandang legitimasi,

Kepemimpinan Majelis Sinode tidak berarti apa-apa atau bahkan bisa dikatakan

“jabatan tanpa makna”, sebab kepemimpinan itu ada (diadakan) pada saat Sidang

Majelis Sinode setelah itu tidak memiliki kewenangan lagi setelah sidang berakhir,

Page 64: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

64

fungsi apa yang akan “dimainkan” dalam waktu setahun berjalan, sedangkan

anggotanya menjabat selama 5 tahun?.

Mencermati uraian di atas, peneliti mencoba memformulasikan dua alur berpikir

dengan memperhatikan keanggotaan (peserta) Sidang Lima Tahunan dan Sidang

Tahunan, seperti: pertama, menurut versi SSI: Peserta Sidang Sinode Lima Tahunan

(Peraturan No. 1, pasal 11), adalah: a) tiga orang wakil dari antara anggota-anggota

Mejelis Jemaat dalam Sinode GMIH; b) Majelis Pertimbangan Sinode–5 orang (pasal 13

ayat 2), Badan Pekerja Harian Sinode dan Badan Pemeriksa dan Pembinaan

Perbendaharaan GMIH; c) Ketua-ketua Kelembagaan; dan d) Undangan. Sekian banyak

orang tersebut berkumpul 5 tahun sekali, selain membahas agenda baku yang

ditepakan29

, sidang tersebut harus terlebih dahulu membahas agenda utama yakni

Kepemimpinan Majelis Sinode yang baru untuk menjabat selama 1 tahun–logikanya

sebab Kepemimpinan Majelis Sinode yang lama telah berakhir. Wewenang yang

diberikan kepada Majelis Sinode (mungkin kepemimpinan yang baru dibentuk) adalah

menjalankan Sidang Majelis Sinode, sampai pada puncaknya, mengangkat dan

memberhentikan Majelis Pertimbangan Sinode, Badan Pemeriksa Pembinaan

Perbendaharaan GMIH dan Badan Pekerja Harian Majelis Sinode.30

Anehnya setelah

menetapkan berbagai macam keputusan dalam Sidang Majelis Sinode tersebut,

Kepemimpinan Majelis Sinode ini berakhir pada tahun berikutnya (tahun berjalan).

Pertanyaannya adalah siapa yang akan mengontrol berbagai aturan termasuk kinerja

kelembagaan yang dibentuk dan berjalan selama 5 tahun itu? Dikembalikan pada

Anggota Majelis Sinode? Apakah anggota memiliki kewenangan untuk itu? Bukankah

tugas pekerjaannya juga menumpuk dalam 5 tahun berjalan?.

Selain itu, berdasarkan pada Sidang Majelis Sinode Tahunan (Pasal 7 ayat 2 a).

Setelah kepemimpinan Majelis Sinode terbentuk, melakukan tugas dan tanggung

jawabnya selama satu tahun berjalan, dan pada Sidang Majelis Sinode tahunan pertama–

keanggotaan masih tetap sama, setelah laporan-laporan dipaparkan dan dievaluasi,

agenda berikut (mungin) adalah memilih dan menetapkan Kepemimpinan Majelis

Sinode yang baru. Tugas kepemimpinan Majelis Sinode ini adalah merancang program

29

Lihat pasal 8 Peraturan No. 1 Tentang Sinode 30

Lihat tugas dan wewenang Majelis Sinode dalam Pasal 5, Peraturan No. 1 Tentang Sinode

Page 65: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

65

kerja tahunan untuk tahun berjalan–pola ini akan kembali berulang untuk tahun-tahun

berikutnya, sampai pada Sidang Sinode yang baru.

Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa pola kepemimpinan (presbiterial

sinodal) yang ditawarkan BPHS versi SSI menarik pasa sisi sirkulasi kepemimpinan,

namun pada sisi kewenangan dan pertanggungjawaban perlu dipertimbangkan lagi.

Setidaknya dengan pola ini, sirkulasi kepemimpinan Majelis Sinode dapat berjalan

dengan baik, dan proses kaderisasi mungkin juga menemukan format yang tepat,

sehingga terhidar dari kecurigaan-kecurigaan penyalagunaan kewenangan. Namun

kelemahannya adalah pada aspek miskinnya kewenangan, fungsi, peran, atau yang

paling penting adalah soal pertanggungjawaban, sebab struktur organisasi terlihat

tampak “gemuk” namun fungsinya menjadi “kurus” khususnya dari sudut pandang

sirkulasi kepemimpinan Majelis Sinode, sehingga kepemimpinan Majelis Sinode yang

hanya 1 tahun bertugas bisa saja melepas tanggungjawab untuk masalah-masalah

mendasar.

Kedua, menurut versi SSD: pasal 7 Peraturan No. 1, menjelaskan bahwa

“Majelis Sinode dipimpin oleh Badan Pekerja Harian Sinode (BPHS). Perlu dipahami

bahwa Sidang Sinode menghasilkan program kerja 5 tahun, sehingga kepemimpinan

Majelis Sinode oleh BPHS dimaksudkan agar kepemimpinan tersebut melakukan kajian,

penialain dan evaluasi terhadap seluruh program kerja 5 tahun yang dimanivestasikan

dalam Sidang Majelis Sinode (sidang tahunan). Ini artinya, struktur organisasinya

“ramping” namun memainkan tugas dan fungsi yang besar. Dengan demikian,

Kepemimpinan Majelis Sinode yang harus dibentuk dan dibentuk ulang dalam setiap

tahun persidangan tidak perlu dilakukan, sebab hanya akan menguras energi baik aktor

maupun organisasi.

Pertanggungjawabannya menjadi jelas, sebab dalam SMS selain BPHS

mengevaluasi program kerja yang telah dilakukan dan melaporkannya, BPHS juga

dievalusi oleh peserta SMS tersebut. Hasil evaluasi terhadap kinerja BPHS dalam SMS

akan dicatat sebagai pertimbangan Persidangan yang perlu diakumulasikan sampai pada

Sidang Sinode selanjutnya, dan bukannya kelemahan dan kekurangan BPHS yang

mungin terevalusi dalam SMS langsung diselesaikan lewat mekanisme Sidang Sinode

Page 66: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

66

Istimewa (SSI). Akumulasi catatan persidangan itu akan menjadi bahan dasar evalusi 5

tahun program kerja BPHS dalam Sidang Sinode, sehingga BPHS bisa atau baru dapat

“dihakimi” dalam Sidang Sinode tersebut – inilah makna hari penghakiman bagi mereka

(BPHS) yang tidak mampu jelankan fungsi dan perannya selama 5 tahun. Wujud

penghakiman itu bisa termanivestasi dalam tindakan tidak akan memilih figur yang

sama untuk memimpin GMIH, itulah makna pertanggungjawaban.

Mencermati penjelasan tentang “perbandingan peraturan” versi SSD dan SSI di

atas, dapat dikatakan bahwa tidak ada yang salah dan keliru dalam gerak organiasi

GMIH. Sirkulasi, komunikasi organisasi (GMIH) oleh BPHS SSD dilakukan atas dasar

konsensus nilai bersama yang terdokumenkan sebagai Tata Gereja sehingga oleh

mereka yang dilakukan adalah konstitusional. Akan menjadi masalah apabila konsensus

bersama itu tidak dilakukan. Pertannyaannya, presbiterial sinodal seperti apa yang

hendak dituntut? Bukankan asas presbiterial sinodal sudah terkonsensuskan dan telah

menjadi tindakan berpola yang tampak dalam perilaku organisasi yang dikomandoi

BPHS hasil keputusan Sidang Sinode di Dorume tahun 2012? Perjalanan masih panjang,

dan kalaupun BPHS melakukan penyelewengan peraturan GMIH yang menciderai asas

persbiterial sinodal, Sidang Sinode Istimewa bukan solusinya.

Sekalipun demikian, realitasnya adalah SSI telah dilakukan dan menghasilkan

BPHS GMIH yang baru. Dualisme kepemimpinan ini ternyata tidak menghasilkan

solusi tepat namun berujung pada keretakan dan perpecahan ditingkat Jemaat-jemaat.

BPHS versi SSI mencoba menawarkan “air segar” tetapi mekanisme yang ditempuh

keliru dan dapat dikatakan inkonstitusional terhadap konstitusi GMIH. Keinginan untuk

menegakkan asas presbiterial sinodal “terbungkus” interest lain yang membuat

presbiterial sinodal itu turut tercemar. Selain itu, ada fakta sejarah yang membuktikan

bahwa Utrechtsche Zendings Vereeninging (UZV) adalah utusan gereja NHK di

Belanda dalam pekabaran injil di Halmahera, yang asasnya adalah presbiterial sinodal

dengan kewenangan berada di tangan Sinode. Sehingga keingian untuk merubah asas

presbiterial sinodal menjadi yang ala Halmahera, maka diperlukan kesiapan dan

pengkajian mendalam untuk memberdayakan dan mempersiapkan jemaat-jemaat

Page 67: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

67

terlebih dahulu, dan tidak “memotong kompas” lewat jalur cepat (SSI), apalagi bercerai

pasca Pemilihan Gubernur Maluku Utara, sehingga terkesan sarat kepentingan politik.

4.6. Pasca Perpecahan GMIH: Satu Bahtera Dua Nahkoda

Judul sub bab di atas “satu bahtera dua nahkoda” memang terasa menggelitik,

menggemaskan, namun akhirnya terasa sangat menakutkan. Ibarat sebuah bahtera atau

kapal jika diketahui terdapat dua nahkoda yang sedang berebut kemudi maka

pertanyaannya siapakah penumpang yang sudi untuk berlayar dengan bahtera tersebut?

Dalam kondisi normal, tidak ada penumpang yang ingin untuk berlayar dengan jenis

bahtera seperti itu. Dalam bahasa yang bernada teologis, qua vadis bahtera itu? Inilah

yang terjadi dengan Gereja Masehi Injili di Halmahera atau GMIH.

Bahtera GMIH yang sedang berlayar kemudian diarahkan untuk berlabuh

sejenak di Dorume, Loloda Utara pada tanggal 23-30 Agustus 2012, dan kemudian

diputuskan agar “kapten” Pdt. Anton Piga, S.PAK., M.Si, kembali menahkodai bahtera

GMIH itu adalah sebuah keputusan yang dalam Tata Gereja boleh dan bisa dikatakan

konstitusional. Terlepas dari adanya keberatan dari beberapa pihak yang menamakan

dirinya “Tim Reformasi GMIH” atau “Sekretariat Pembaharuan GMIH”, namun

pemilihan kepengurusan Sinode GMIH atau BHPS GMIH dalam Sidang Sinode ke-

XXVII di Jemaat Dorume, Loloda Utara adalah konstitusional.

Bagi peneliti kalaupun GMIH harus direformasi atau dibaharui, itu merupakan

hal yang wajar saja dalam sebuah organisasi, apalagi organisasi gereja Protestan yang

sejak awalnya memang lahir dari sebuah proses reformasi–sebuah protes yang dilakukan

oleh Martin Luther denegan “memaparkan” dalil-dalilnya tahun 1517. Namun

pembaharuan atau reformasi GMIH yang dikomandoi oleh Sekretariat Pembaharuan,

bagi peneliti waktunya menjadi kurang tepat–kalau tidak ingin dikatakan sarat

kepentingan. Pertanyaan mengemukan adalah mengapa hal tersebut terjadi pasca

Pilkada Gubernur Maluku Utara? “Titik keberangkatan” yang keliru inilah yang

membuat Sekretariat Reformasi dalam beberapa tulisan yang dibuat oleh para

pendukungnya terkesan memaksakan argumentasi.

Sekalipun demikian–adanya titik berangkat yang keliru, namun upaya yang

dilakukan oleh Sekretariat Pembaharuan pada tataran tertentu perlu diapresiasi sebagai

Page 68: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

68

bentuk “penyegaran” terhadap organisasi GMIH, setidaknya upaya itu membuktikan

bahwa Sumber Daya Manusia GMIH sudah cukup mumpuni dalam mempertautkan

perkembangan ilmu pengetahuan dengan agama atau iman. Sayangnya bentuk

penyegaran ini tampak terlalu bergairah sehingga memicuh konflik pada tingkat Jemaat.

Meminjam perspektif D.J.Bosch, rasionalitas ilmu pengetahuan harus “dibumbui”

dimensi spritualitas-religius. Artinya bahwa perubahan, trasformasi, atau pembaharuan

terhadap struktur organisasi gereja (GMIH) ke arah yang lebih modern perlu

memperhatikan syarat spiritualitas-religius tersebut.

Dengan demikian, yang perlu dilakukan adalah pengatan kelembagaan pada

tingkat jemaat, agar warga/anggota jemaat benar-benar berdaya dan sadar bahwa

pembaharuan memang diperlukan secara berkelanjutan dalam kehidupan menggereja.

Kesadaran dan pemahaman jemaat tentang asas presbiterial sinodal perlu ditingkakan

atau terus diupayakan. Dengan demikian, tanpa melalui mekanisme SSI asas itu akan

diperjuangkan oleh warga jemaat yang rasional dengan dasar spritualitas-religius itu,

sehingga konflik dapat terhindarkan. Realitas yang terjadi saat ini, sekelompok orang

terkesan memaksakan rasionalitasnya kepada jemaat-jemaat sehingga memunculkan

pengkotakan-pengkotakan warga jemaat yang mengakibatkan konflik kepentingan atas

dasar dukungan. Dalam terminologi seperti ini, asas presbiterial sinodal menurut peneliti

terkesan ikut dipaksakan agar dimengerti oleh warga jemaat yang belum diberdayakan.

Mencermati buku kecil yang disusun oleh Julianus Mojau dengan judul “Sejarah

Pembaharuan GMIH”, topik utama yang dijadikan masalah bagi Sekretariat

Pembaharuan adalah masalah asas Gereja, yakni Presbitarial Sinodal. Namun jika

membaca secara saksama (lebih mendalam) argumentasi yang dibangun penulis, yang

tampak adalah keikutsertaan pendeta dalam politik, serta beberapa wacana lain sebagai

turunan, yakni: tidak transparannya pengelolaan keuangan, terjadinya pengelembungan

suara dalam pemilihan Sekretaris BPHS GMIH periode 2012-201731

, dan kemudian

semua permasalahan yang dilakukan oleh BPHS 2007-2012 dan 2012-sekarang, yang

diinventarisir oleh Sekretariat Pembaharuan dan disebar-luaskan lewat “Materi

31

Permasalahannya adalah mengapa tidak diprotes dan diboikot jika terjadi pengelembungan suara dalam

pemilihan Sekretaris BPHS GMIH 2012-2017 pada saat pemilihan? Mengapa harus menunggu satu tahun

dulu baru diprotes??

Page 69: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

69

Sosialisasi Penyimpangan Yang Dilakukan BPHS GMIH”32

. Dalam materi sosialisasi

ini termuat “29 dosa” yang dituduhkan ole kelompok Pembaharuan GMIH.

Dalam “catatan” Mojau (2014:36-38) dikatakan bahwa “selain keterlibatan

pendeta dalam politik praktis–politik kekuasaan, sejumlah pokok serius dalam

manajeman organisasi GMIH selama periode 2007-2012 yang telah mempercepat benih

gerakan pembaharuan penghayatan dan praktik hidup menggereja GMIH sebagaimana

diletakan oleh MPS GMIH 2002-2007 mencari jalan keluar dari tumpukan batu-batuan

staus quo periode 2007-2012”. Dikatakan, pada awalnya tim tersebut33

menamakan diri

sebagai “Tim Penyelamat GMIH” yang melakukan rapat pertamanya tanggal 1 Juni

201134

, yang kemudian menambahkan sejumlah kelalaian serius dalam kepemimpinan

BPHS GMIH 2007-2012 yang dinahkodai oleh Pdt. Anton Piga, S.PAK., M.Si, sebagai

berikut:

a. Soal Balai Pengobatan Bethesda yang tidak dikelola secara profesional

sehingga mutu layanan memburuk dan pegawai tidak terima gaji;

b. Soal pengelolaan keuangan yang tidak transparan (bahkan ditengarai Ketua

BPHS GMIH–Pdt. Anton Piga, S.PAK., M.Si selalu membawa ATM);

c. Soal Akte pendirian Unira (Universitas Halmahera) yang ditengarai tidak

jelas dan dikuatirkan nanti menjadi milik pribadi;

d. Pengembalian dana pensiaun dari PGI yang menggunaannya tidak jelas;

e. Di antara anggota BPHS tidak lagi harmonis (retaknya team-work);

f. Pemecatan pendeta tanpa pendampingan pastoral.

Permasalahannya apabila hasil identifikasi permasalahan oleh Tim Penyelamat

GMIH yang ditudukan kepada BPHS 2007-2012 ini benar, dan Tim ini telah melakukan

rapat pada tanggal 1 Juni 2011 (setahun sebelum Sidang Sinode GMIH di Dorume),

maka diyakini hasil keputusan rapat Tim Penyelamat GMIH telah tersosialisasikan

kepada Jemaat-Jemaat. Namun masalahnya mengapa pada saat pemilihan Ketua Sinode

GMIH pada tahun 2012, Pdt. Anton Piga kembali terpilih? Bukankah dengan terpilihnya

Pdt. Anton Piga yang dituduh melakukan “kelalaian serius” (meminjam istilah Mojau),

telah mengeliminir tuduhan dari Tim Penyelamat GMIH?.

32

Lihat lampiran Materi Sosialisasi Penyimpangan Yang Dilakukan BPHS GMIH 33

Tim yang mencari jalan keluar dari tumpukan batu-batuan status quo BPHS 2007-2012 34

Keanggotaan Tim ini adalah: 1) Pdt. S.S. Duan, M.Th, 2) Pdt. J.Biso, M.Th (alm), 3) Pdt. S. Ray-Ray,

S.Th, 4) Pdt. A. Djurubasa, M.Th, 5) Pdt. A. Puasa, M.Th, 6) Pdt. F.Putjutju, M.Th, 7) Pdt. Drs. Karwanto

Hohakay, M.Th, 8) Pdt. Ekson Tonoro, S.H., M.Th, 9) Willy Kuat (pemuda GMIH), 10) Pdt (Em) Hans

Alexander Annu, M.Th, 11) Pdt. Eduard R. Mailoa, dan 12) Pnt. A. May-Luhulima.

Page 70: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

70

Apabila mencermati sumber daya manusia keanggotaan Tim Penyelamat GMIH

(lihat catatan kaki nomor 15), dapat dikatakan bahwa sangat mumpuni untuk dapat

membaca fenomena yang terjadi setelah kembali terpilihnya Pdt. Anton Piga dalam

Sidang Sinode tersebut. Selain itu dua anggota Tim Penyelamat GMIH yang kemudian

mengundurkan diri, atau “membelot” (meminjam istilah Mojau), yakni Pdt. Ekson

Tonoro, S.H., M.Th, dan Pdt. F. Putjutju, M.Th, perlu di ”baca” oleh Tim Penyelamat

GMIH sebagai apa yang dituduhkan tidak semuanya benar. Namun yang terjadi adalah

Tim ini tetap “memainkan” perannya dalam mencari kesalahan-kesalahan BPHS GMIH

periode 2007-2012, puncaknya, benih yang ditanamkan Tim Penyelamat GMIH berbuah

menjadi Tim Reformasi GMIH dan akhirnya terbentuklah Sekretariat Pembaharuan

GMIH.

Julianus Mojau mencatat dalam “Sejarah Pembaharuan GMIH” bahwa: Setelah

Sidang Sinode GMIH XXVII tahun 2012, Tim Reformasi semakin gencar melakukan

gerakan menentang BPHS GMIH hasil Sidang Sinode GMIH XXVII dengan

mendeklarasikan diri secara terbuka sebagai Tim Reformasi GMIH pada tanggal 31

Oktober 2012 di Jemaat Elim Wosia Tobelo yang dihadiri oleh sejumlah jemaat-jemaat

dalam Sinode GMIH di wilayah Galela, Tobelo dan Kao.” Dalam pertemuan itu, Tim ini

kembali menyuarakan soal ATM yang (katanya) masih dipegang oleh Ketua Sinode,

dan soal pengelolaan dana pensiun GMIH yang dikembalikan oleh PGI.

Isyu lama yang kembali diwacanakan oleh Tim Reformasi GMIH, dibungkus

dengan beberapa issue (temuan?) baru pasca Sidang Sinode Dorume, diantaranya:

a. Sumbangan pihak ketiga kepada Panitia Sidang Sinode tidak diteruskan oleh

Pdt. Anton Piga, S.PAK., M.Si;

b. Telah terjadi pengelembungan suara dalam pemilihan Sekretaris BPHS

GMIH periode 2012-2017;

c. Wakil Sekretaris terlibat dalam kecurangan penghitungan suara pada saat

pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pulau Morotai;

d. Tata Gereja GMIH 2012 sungguh-sungguh telah menyimpang dari prinsip

dasar dan semangat Asas Presbitarial Sinodal;

e. Penyimpangan itu disebabkan karena terjadi pengubahan dalam editing

akhir, yang;

f. Berujung pada pelantikan anggota Majelis Sinode (Duan, 2012; Mojau,

2014).

Page 71: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

71

Perang wacana, mungkin itulah yang terjadi. Namun wacana tersebut telah

terakumulasi menjadi tindakan yang menghasilkan Sidang Sinode Istimewa (SSI) pada

tanggal 6-8 September 201335

di Sekretariat Pembaharuan yang menghasilkan BPHS

versi SSI. Pertanyaannya apakah pelaksanaan SII 2013 diketahui oleh Ketua Sinode

GMIH hasil pemilihan dalam Sidang Sinode Dorume tahun 2012, Pdt. Anton Piga?

Ketika peneliti menemui dan mewawancarai Pdt. Anton Piga pada tanggal 26 Januari

2014 beliau mengatakan

“saya tidak tahu adanya SSI, saya tidak diundang oleh Panitia Pelaksana,

padahal kalau melihat aturan Gereja (GMIH), harusnya saya sebagai ketua

Sinode hadir dalam Sidang Sinode Istimewa itu. Jadi, bisa saya katakan

pelaksanaan SSI melanggar aturan dan mekanisme GMIH, apalagi Ketua

Sinode tidak sedang berhalangan tetap.”

Mengenai segala macam wacana (isyu dan tuduhan) Tim Reformasi atau

Sekretariat Pembaharuan GMIH, yang sebagian telah diuraikan dibagian atas, Ketua

Sinode GMIH (Pdt. Anton Piga), dalam Surat Kabar Obor Halmahera (Edisi I/X/2013:

1), ketika diwawancarai oleh tim OH tentang 29 “dosa” yang ditudukan kepadanya, dia

malah mempersilahkan atau menganjurkan kepada setiap orang yang percaya dengan

tuduhan-tuduhan itu untuk langsung saja mengkroscek ke Badan Pemeriksa Pengawasan

Perbendaharaan Gereja (BP3G), sebab badan itulah yang bisa mengklarifikasi soal

penggunaan dana BPHS GMIH. Pdt. Anton Piga mengungkapkan

“kalau masalah keuangan Sinode selama ini tidak beres, maka kami sudah

pasti dimintai pertanggungjawaban. Malah mungkin kami sudah harus

dilaporkan karena penggelapan dana gereja, tapi nyatanya kan tidak”.

Selanjutnya dalam laporan Obor Halmahera yang mengkroscek hal ini kepada

Sekretaris BP3G, Drs. Ames Bassay, M.Si, tidak ditemukan adanya pengelapan

anggaran atau dana gereja. Bassay menjelaskan bahwa “setiap pelaporan keuangan

BPHS sudah diperiksa oleh BP3G dan sudah diterima oleh perwakilan Jemaat di Sidang

Sinode dan Sidang Majelis Sinode”. (Obor Halmahera Edisi I/X/2013)

35

Terdapat perbedaan tanggal dengan hasil “Pemetaan Persoalan GMIH” yang dilakukan dan dikeluarkan

oleh BALITBANG dan STATISTIK GMIH tahun 2013. Dalam laporan pemetaan perrsoalan GMIH

tersebut, pada point 8 dijelaskan “pelaksanaan SSI pada tanggal 13-15 September 2013. Sedangkan pada

Buku Panduan SSI GMIH tertulis, SSI dilakukan pada tanggal 6-8 September 2013. Ketika hal ini

dikonfirmasikan kepada Kepala Balitbang dan Statistik GMIH, Anthon Ngarbingan, M.Si, dia

mengatakan bahwa “ada kesalahan pengetikan pada hasil pemetaan persoalan GMIH dan telah direvisi”.

Page 72: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

72

Pertanyaannya adalah apabila dalam Sidang Sinode ke-27 di Dorume sudah

menerima laporan pertanggungjawaban keuangan GMIH dan Pdt. Anton Piga

kembali dipercaya untuk memimpin GMIH dalam periode 2012-2017, dan dalam

Sidang Majelis Sinode tahun 2013 laporan keuangan GMIH juga sudah diterima

dalam sidang tersebut apakah isyu tentang penggelapan dana GMIH masih relevan

untuk dituduhkan?.

Mencermati permasalahan yang muncul dan menimpa GMIH, Kepala Balitbang

dan Statistik GMIH, Anthon Ngarbingan, M.Si melakukan kajian (penelitian), dan

hasilnya adalah “Pemetaan Persoalan GMIH”. Laporan yang berjumlah 9 (sembilan)

halaman itu telah memetakan dengan cukup baik masalah yang dihadapi sampai dengan

perhitungan “kekuatan” jemaat pendung BPHS GMIH hasil Sidang Sinode Dorume

2012, dan jemaat pendukung BPHS hasil SSI tahun 2013, termasuk jemaat yang

kemudian mendukung Gereja Protestan Halmahera (GPH) di Halmahera Barat.36

Intinya

hasil pemetaan itu menunjukan bahwa semua hal yang dituduhkan oleh Sekretariat

Pembaharuan GMIH adalah tidak berdasar, bahkan terkesan tindakan itu diambil akibat

kekalahan salah seorang calon dalam pertarungan politik–suksesi pemilihan Gubernur

Maluku Utara.

Intinya bahwa berbagai tuduhan itu telah diklarifikasi oleh BPHS GMIH dalam

Sidang Majelis Sinode I pada bulan Februari 2013 di Jemaat Betlehem Tobelo. Bahkan

setelah melakukan klarifikasi, Sidang Majelis Sinode “merekomendasikan untuk

dilakukan pengampunan dan konsiliasi kepada Kelompok Reformasi dan dilakukan

penarikan selebaran atau buku yang telah disebarkan. Rekomendasi tersebut diindahkan

oleh mereka (Kelompok Reformasi).”37

Hasilnya kondisi GMIH kembali tenang sekitar

5 bulan lamanya. Kelompok ini (reformasi) kembali melakukan aksi dipicu oleh adanya

demonstrasi dari sekelompok orang yang menuntut Ketua dan Sekretaris Sinode mundur

dari jabatannya karena mendukung calon tertentu.38

36

Lihat lampiran Pemetaan Persoalan GMIH 37

Lihat lampiran, laporan Pemetaan Persoalan GMIH khususnya point 2, 3, dan 4 38

Pdt. Anton Piga dalam Obor Halmahera, Edisi I/X/2013 mengatakan bahwa “secara kelembagaan

BPHS Sinode tidak pernah mengeluarkan seruan atau dukungan kepada salah satu Calon Gubernur. Kami

sadar Gereja tidak punya kapasitas untuk mengeluarkan seruan politik seperti itu. Oleh karena itu kami

netral. Tapi jika dalam keberadaan selaku pribadi, khan masing-masing BPHS GMIH punya hak pribadi

Page 73: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

73

Akibat demonstrasi yang dipimpin Pnt. Benny Bitjoli (Majelis Jemaat Elim

Gura), berbagai isyu-pun mulai dikembangkan–bagai bola liar terutama di Jemaat-

jemaat Halmahera Barat dan Halmahera Utara. Isyu penyelewengan, isyu keterlibatan

politik, penyalahgunaan keuangan dan sebagainya digulirkan ke jemaat-jemaat.

Kelompok Reformasi yang pada SMS Betlehem telah dibubarkan, kembali ikut

menyemarakan isyu-isyu tersebut. Pada beberapa wilayah tertentu, mulai dilakukan

pertemuan-pertemuan kecil untuk membahas isyu-isyu yang telah berkembang, mulai

dari wilayah Kao, Tobelo dan Galela. Akhirnya BPHS melakukan pertemuan klarifikasi

kepada Pegawai Organis Gereja (POG) di Jemaat Siloam Gosoma, tanggal 23 Juli 2013.

Hasil klarifikasi tidak memuaskan beberapa pendeta yang menyebut diri kelompok

Reformasi, dibantu oleh beberapa dosen Uniera, tim reformasi melebur diri menjadi Tim

Pembaharuan GMIH dan menyiapkan dokumen Kairos (dokumen pembaharuan) yang

dikomandoi oleh Fakultas Teologi Uniera. Puncaknya adalah pelaksanaan SSI dengan

menghasilkan BPHS versi SII.

Terlepas dari berbagai permasalahan–konflik kepentingan pada tingkat elite

GMIH dan (mungkin) juga beberapa elite politik di Halmahera, pertanyaan pentingnya

adalah mengapa konflik kepentingan ini tidak mampu dikelola secara baik di tingkat

elite, malah dibiarkan mengelinding bagai bola liar? Kepentingan siapa yang membuat

sampai bola liar (yang telah berapi) ini harus mengelinding sampai membakar emosi

jemaat-jemaat yang tidak atau belum memahami permasalahan sebenarnya?.

Meminjam kata-kata anak mudah dalam pergaulan “penyesalan selalu datang

terlambat”. Walaupun demikian, siapa yang menyesal dalam realitas GMIH yang telah

terpecah dan memiliki dua nahkoda ini? Jawabannya tentu jemaat yang tidak ingin

gerejanya terpecah. Untuk itu, dalam bab selanjutnya, peneliti akan membahas realitas

salah satu jemaat dalam menanggapi konflik kepentingan yang mengakibatkan bahtera

GMIH tidak saja retak tapi telah memiliki dua nahkoda ini. Keterpecahan warga jemaat,

secara langsung juga menunjukan proses legitimasi jemaat mengikuti pilihan dukungan

terhadap kepada elit gereja yang dalam perspektif warga jemaat sama-sama benar, atau

untuk menentukan dukungan pada siapapun juga. Untuk hal ini, kita juga harus menghargainya sebagai

hak politik setiap anggota BHPS GMIH.

Page 74: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

74

sesuatu yang dikalim benar menurut rasionalitas berbasis spiritualitas-religius setiap elit

gereja.

Page 75: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

75

BAB V

POTRET JEMAAT IKHTHUS WARI:

SATU BAHTERA DUA NAHKODA

Bab ini bertujuan menjawab dua masalah penelitian, difokuskan pada analisis

mengenai perpecahan GMIH serta dampak perpecahan tersebut bagi kehidupan warga

jemaat di Jemaat Ikhthus Wari.

5.1. Dampak Pembaharuan GMIH Pada Kehidupan Jemaat Ikhthus Wari

Jemaat Ikhthus Wari adalah jemaat yang menurut interpretasi peneliti sebagai

tempat peletak dasar GMIH memasuki milenium ketiga. Alasannya adalah bahwa ketika

Sidang Sinode ke-25 di Jemaat Ikhthus Wari, keinginan untuk merubah Tata Gereja dan

Tata Rumah Tangga GMIH itu diutarakan oleh Majelis Pekerja Sinode (MPS) GMIH

pada saat itu. Upaya reformasi aturan GMIH ini kemudian terus dikawal guna berjalan

dalam rel presbiterial sinodal. Namun dalam perjalanan perkembangan dinamika

organisasi (GMIH) ini, wacana politik kemudian ikut memperkeruh situasi dan akhirnya

Sidang Sinode Istimewa dipilih sebagai jalan yang me-radikal-kan GMIH, sebab SSI

membuat GMIH terpecah.

Jemaat Ikthus Wari yang “mula-mula” menjadi pelabuhan teduh bagi bahtera

GMIH ikut menerima dampak “gelombang tsunami” yang diakibatkan oleh konflik

kepentingan di tingkat elite GMIH, akhirnya “pelabuhan teduh” itu bergoyang

mengakibatkan robohnya tiang-tiang penyangga, anggota jemaat tercerai-berai

mengikuti kepentingan elite. Meminjam pernyataan Kepala Badan Litbang dan Statistik,

Anthon Ngarbingan, “yang terjadi adalah rumah tangga berpindah gereja”. Realitas

itulah yang terjadi di Jemaat Ikthus Wari saat ini. Namun sebelum menguraikan pokok

ini lebih mendalam, ada baiknya peneliti deskripsikan sekilas tentang sejarah jemaat

Ikthus Wari.

5.1.1. Sekilas Tentang Sejarah Jemaat Ikthus Wari

Berdasarkan data yang dihimpun di Kantor Jemaat Ikthus Wari (dokumen tanpa

tahun), diketahui bahwa sejarah perkabaran injil di Halmahera utara, dimotori oleh

Hendrik van Dijken, dan orang Wari yang pertama kali menerima injil itu adalah Nenek

Kukula, kemudian dengan semangat kepelayanannya ia menyebarkan injil dan

Page 76: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

76

membentuk persekutuan di Wari, waktu itu ada 7 Kepala Keluarga (KK) yang telah

menerima injil39

. Segala hal menyangkut pelayanan pemberitaan injil di Wari dibiayai

oleh Nenek Kukula dari hasilnya menjual pinang. Nenek Kukula bersama dengan 7 KK

mulai membangun tempat beribadah darurat yang terbuat dari bambu dan beratapkan

daun rumbia.

Guna mempermudah pelayanan, maka waktu itu diangkatlah kepengurusan

jemaat yang terdiri dari: seorang Penatua, yaitu Pnt. Babronga-Ina, dan dua orang

Diaken, yaitu, Diaken Kanaba Pagama dan Diaken Kotarame Pohodo. Dalam proses

perkembangan injil di desa Wari, kemudian datanglah bapak Metiari dari Ambon

sebagai guru sekolah dan guru jemaat. Kehadiran bapak guru Metiari di Wari tidak

begitu lama. Sebagai penggantinya adalah bapak guru Yosias Noya, yang selain

menaruh perhatian dibidang pendidikan, beliau bergiat dalam pembinaan kerohanian

jemaat. Atas prakarsa bapak guru Yosias Noya maka direncanakan untuk membangun

sebuah gereja yang lebih layak, maka dengan kebulatan tekad, pekerjaan pembangunan

gerejapun dimulai.

Pada saat pembangunan gereja dilakukan, belum semua penduduk Wari

beragama Kristen. Dalam proses pembangunan itu, ada seseorang anggota jemaat yaitu,

bapak Mangalo, mungkin berniat melarikan dari tanggung jawab pekerjaan gedung

gereja, dan kemudian meminta izin untuk “pukul sagu”40

ke Limau, tapi tidak berapa

lama bapak Mangalo dibawa pulang dengan tubuh tidak bernyawa. Tidak berselang

beberapa lama musibah penyakit sampar menyerang masyarakat Wari, setiap hari ada

yang meninggal dunia, dan itu berlangsung lama sehingga peti mayat yang biasanya

terbuat dari papan diganti dengan pelepah rumbia. Dengan berbagai peristiwa yang

menimpa masyarakat Wari selama pembangunan gedung gereja, akhirnya mereka

menjadi takut dan kemudian memilih menjadi Kristen.

39

Sejarah Jemaat Ikhthus Wari belum tercatat dengan baik dalam dokumen Gereja. Satu-satunya yang

ditemukan hanyalah “catatan pinggiran” yang ada dalam dukumen penthabisan gereja pertama dan kedua,

itupun tanpa tahun, dan tidak memadai. Karena itu, selain berpedoman pada catatan yang ada dalam

„dokumen‟ gereja Ikhthus Wari, bagian ini juga “diperkaya” oleh penuturan: Pdt. Irene Souhoka,

S.Si.Teol., Pdt. Mathelda Namotemo, S.Si.Teol., dan Pdt. A. Towondila. Walaupun demikian, diskusi soal

Sejarah ini-pun tidak sampai pada menuturkan tahun per tahun perjalanan jemaat Ikthus Wari. 40

Pukul sagu artinya memanen sagu: menebang pohon sagu, membelahnya dan menghaluskan batang

sayu yang telah dibelah kemudian diperas untuk mendapatkan sarinya.

Page 77: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

77

Setelah penduduk Wari memilih untuk masuk agama Kristen, pekerjaan

pembangunan gerejapun kemudian dikerjakan secara bersama-sama, dan akhirnya

gedung gerejapun selesai dibangun dan diberi nama gereja “IMANUEL“ dan

diresmikan pada tahun 1931 oleh guru jemaat Yosias Noya. Bapak guru Yosias Noya

bertugas di Wari kurang lebih 27 tahun lamanya. Selanjutnya silih-berganti pelayan atau

pendeta yang bertugas. Dalam perkembangannya, jumlah anggota jemaat Imanuel Wari

terus bertambah, dan gedung gereja tidak mampu menampung semua anggota jemaat

dalam ritual peribadatan, maka direncanakan pembangunan gedung gereja baru. Dalam

proses pembangunan gedung gereja baru memakan waktu yang sangat panjang sampai

pada penthabisannya, dikarena panitia pembangunan kurang bertangtanggung jawab

terhadap masalah keuangan, akhirnya beberapa kali diadakan pergantian panitia

pembangunan. Proses akhir pembangunan dan penthabisan gereja baru dilakukan

tanggal 27 November 1999 gedung gereja yang baru dithabis dengan nama baru, yakni:

IKHTHUS.

Jemaat Ikthus Wari pada saat gereja baru tersebut diremikan, terbagi dalam tujuh

(7) lingkungan pelayanan41

. Tidak dalam waktu lama, sejak gereja Ikthus dithabiskan

terjadilah kerusuhan di Tobelo. Kerusuhan ini seakan membawa berkah bagi desa Wari,

sebab Wari merupakan salah satu tempat “berteduh” bagi para pengungsi yang sebagian

besar pengungsi berasal dari Loloda. Kedatangan para pengungsi, dan kemudian

menetap, membuat jemaat Ikhthus Wari bertambah banyak, terhitung sampai akhir

tahun 2009 jemaat Wari sudah terbagi menjadi 10 lingkungan pelayanan, dan ketika

tahun 2012 akibat jumlah anggota jemaat yang terus bertambah, maka lingkungan

pelayanan “dimekarkan” lagi menjadi 12 lingkungan pelayanan. Data yang tercatat di

kantor gereja Ikthus Wari, diketahui bahwa jumlah kepala keluarga jemaat Ikthus Wari

berdasarkan hasil Rapat Sidi Jemaat tahun 2014 adalah 525 kepala keluarga, dengan

jumlah 2062 jiwa.

41

Lingkungan pelayanan merupakan pembagian jemaat yang dimasukan dalam lingkungan-lingkungan.

Jika dikaitkan dengan pola pembagian penduduk Desa yang dipilah berdasarkan Rukun Tetangga dan

Rukun Warga, maka dalam satu lingkungan bisa terdiri dari beberapa RT atau RW.

Page 78: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

78

5.1.2. Faktor Yang Ikut Mendukung Perpecahan Jemaat Ikhthus Wari

Julianus Mojau dalam kesimpulan buku yang ditulisnya “Sejarah Pembaharuan

GMIH” (2014:126) mengatakan “ pembaharuan adalah wujud dari kemajuan iman.

Itulah sebabnya setiap usaha melawan pembaharuan adalah usaha melawan kemajuan

iman. Apalagi di tengah-tengah perubahan sosial-budaya, ekonomi dan politik masa

kini…”. Mencermati pernyataan Mojau, peneliti mengambil posisi untuk bersepakat

dengan kesimpulan yang dibuta Mojau. Namun, yang menggelitik peneliti adalah

“kemajuan iman” siapa? Jemaat GMIH? Rasanya Mojau terlalu memaksakan

kesimpulan ini.

Pertanyaan itu mengkonfirmasi pikiran peneliti tentang topik yang dikaji Mojau

dalam buku kecilnya (Sejarah Pembaharuan GMIH), tentang: “5 Juli 2013: Saat Tuhan

Menegur Para Pemimpin umat-Nya”. Topik ini dibahas panjang lebar tentang keberatan

Sekretariat Pembaharuan akan tindakan Ketua Sidone (secara pribadi–namun seolah-

olah dikatakan mewakili lembaga) yang tidak mendukung salah salah satu calon dari

dua calon warga GMIH yang ikut “meramaikan” suksesi Gebernur Maluku Utara Waktu

itu. Sehingga pertanyaannya adalah apakah Tuhan sedang menegur Ketua Sinode (Pdt.

Anton Piga) atau Tuhan sedang menegur dua orang calon Gubernur yang nota bene

adalah warga GMIH karena membuat Ketua Sinode bingung untuk menentukan pilihan?

Pertanyaan terakhir ini tentu sulit untuk dijawab. Namun yang jelas jemaat Ikthus Wari

terpecah pasca suksesi pemilihan Gubernur Maluku Utara.

Sidang Sinode Istimewa (SSI) dilakukan para tanggal 6-8 September 2013.

Dalam laporan persidangan (Dokumen Hasil Sidang Sinode Istimewa GMIH di Tobelo,

2013), tercatat tiga nama sebagai sebagai peserta persidangan dari Jemaat Iktuhus Wari,

yakni: Pnt. S. Labuha, O. Kumihi42

, dan Pdt. M. Namotemo43

. Keberangkatan keempat

“elite” untuk mengikuti SSI, menurut penuturan Pdt. M. Namotemo adalah “atas

42

O. Kumihi dalam kesehariannya di Jemaat Ikthus Wari dianggap sebagai yang dituakan atau tua-tua

Jemaat. 43

Hasil wawancara dengan Pdt. M. Namotemo tanggal 20 Desember 2013, dikatakan bahwa yang

mengikuti sidang tersebut sebanyak 4 orang. Tiga orang yang telah disebutkan di atas, dan seorang lagi,

yakni: Pdt. Eko Djurubasa, yang adalah Ketua Jemaat Ikhthus Wari pada saat itu. Namun di dalam

Dokumen Persidangan (SSI) tanggal 6-8 September 2013 nama Pdt Eko Djurubasa tidak tercatat dalam

dokumen (daftar hadir) persidangan tersebut. Peneliti tidak dapat melakukan konfirmasi soal ini kepada

Pdt. Eko Djurubasa, karena pada saat penelitian, Pdt. E. Djurubasa telah dipindah-tugaskan.

Page 79: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

79

kesepakatan majelis Jemaat dan juga jemaat, dengan tujuan untuk mengetahui

permasalahan apa yang dibicarakan dalam SSI atau apa yang dibahas dalam persidangan

tersebut”.

Seusai persidangan, keempat utusan tersebut kembali ke Ikhthus Wari dan

mensosialisasikan hasil persidangan tersebut. Melihat materi sosialisasi yang

disampaikan oleh para utusan tersebut, terdapat kesan bahwa para utusan tidak lagi

menempatkan posisi sebagai utusan yang mencermati permasalahan yang dibahas dalam

SSI (posisi netral), namun keempat “utusan” tersebut kemudian mengambil sikap

sebagai pendukung SSI, tanpa sepengetahuan Jemaat Ikthus Wari. Realitas ini bagi

peneliti, makna “utusan” sebagai yang netral dalam mengikuti SSI menjadi tidak berarti

lagi.

Argumentasi “makna utusan tidak bermakna lagi” dikarenakan hasil diskusi

dengan ketiga “utusan” ini pada waktu penelitian tampak bahwa mereka telah

memposisikan diri sebagai pendukung SSI ketika hadir dalam Sidang Sidone Istimewa

tersebut, jadi ketiganya tidak hadir dalam kapasitas sebagai utusan yang “netral” namun

telah terkontaminasi ketika mengikuti sidang. Hasilnya ketika ketiga utusan ini kembali

ke Jemaat Ikhthus Wari, pelaporan (atau siosialisai) yang dilakukan dalam Ibadah

Rumah Tangga (ibadah keluarga), tampak telah menyimpang dari tujuan awal mereka

diutus untuk mengikuti SSI.

Dua topik yang di sosialisasikan adalah: a). Penyimpangan pengelolaan

keuangan oleh BPHS hasil Sidang Sinode di Dorume tahun 2012, secara khusus yang

dilakukan oleh Ketua Sinode; b). Selain memberikan sosialisai ini, pendeta pelayan (M.

Namotemo), tokoh masyarakat (O. Kumihi), Sekretaris jemaat (Pnt. S. Labuha), dan

Ketua Jemaat (Pdt. Eko Jurubasa) juga melakukan pelayanan pribadi atau pastoral bagi

anggota Jemaat tentang penyelewengan atau penyinmpangan pengelolaan keuangan dan

realitas Ketua Sidone yang berpolitik. Pola sosialisasi yang dilakukan oleh “para

utusan” ini tidak mampu menarik perhatian anggota jemaat secara keseluruhan.

Buktinya berdasarkan data yang dihimpun dari Sekretaris Jemaat (Pnt. S. Labuha) yang

Page 80: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

80

biasanya dipanggil pak Nus, ditemukan bahwa anggota Jemaat yang mendukung SSI

sampai dengan penelitian ini dilakukan adalah sebanyak 44 Kepala Keluarga (KK).44

Melihat upaya yang dilakukan oleh para utusan ketika kembali ke Jemaat

Ikhthus Wari, tampak bahwa ada upaya yang sistematis dilakukan untuk membangun

dan membentuk oponi pada warga jemaat bahwa kepengurusan BPHS periode 2007-

2012 dan 2012-2017 talah melakuan kesalahan serius. Pola sosialisasi yang dilakukan

oleh “para utusan” menimbulkan permasalahan tersendiri pada tingkat jemaat.

Meminjam perspektif Emile Durkheim (1965) bahwa sistem soaial (termasuk agama)

hanya akan seimbang jika nilai-nilai bersama masih diyakini sebagai perekat, seperti

nilai moral dan agama. Rusaknya nilai-nilai ini berarti rusaknya keseimbangan sosial

dan menciptakan ketidaknyamanan bagi individu-individu dalam masyarakat.

Sosialisasi hasil SSI oleh “para utusan” diyakini mengakibatkan ketidaknyamanan pada

tatanan sosial (jemaat) Ikhthus Wari Tobelo. Dikatakan demikian, sebab setelah

sosialisasi dilakukan, warga jemaat malah terpecah kedalam kubu-kubu atau kelompok-

kelompok pendukung, baik pendukung BPHS Dorume, maupun pendukung BPHS versi

SSI, bahkan berdasarkan hasil wawancara dengan Pdt. M. Namotemo, diketahui bahwa

warga jemaat tidak hanya terbagi dalam dua kelompok, namun terdapat kelompok yang

netral.

Berdasarkan data yang himpun dari kantor gereja Ikthus Wari, keseluruhan

anggota jemaat Ikthus Wari adalah berjumalah 2062 jiwa dengan jumlah Kepala

Keluarga adalah sebanyak 525 KK, yang tersebar dalam 12 Lingkungan Pelayanan (LP).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

44

Berdasarkan data survey yang dilakukan peneliti 44 KK ini tersebar dalam 12 Lingkungan Pelayanan

yang ada dalam Wilayah Pelayanan Ikhthus Wari. Dengan demikian, maka data ini sebenarnya

mengkonfirmasi pernyataan Kepala Badan Litbang dan Statistik GMIH (Anton Ngarbingan) bahwa yang

terpecah bukanlah Jemaat, namun Rumah Tanggah yang berpindah mendukung BPHS versi SSI 2013 dan

BPHS hasil Sidang Sinode Dorume tahun 2012.

Page 81: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

81

Tabel 5.1.

Jumlah Lingkungan Pelayanan, Kepala Keluarga dan Anggota Jemaat

Ikthus Wari Tobelo Tahun 2013

Lingkungan

Pelayanan

Jumlah KK Jumlah Jiwa Jumlah

L P

1 39 67 74 141

2 51 85 101 186

3 43 79 84 163

4 39 77 90 167

5 37 73 74 147

6 40 83 89 172

7 45 86 86 172

8 46 82 91 173

9 32 53 66 119

10 45 96 96 192

11 52 105 107 212

12 56 106 112 218

Jumlah 525 992 1070 L+P = 2062

Sumber: Data Jemaat Ikthus Wari 2013, Diolah.

Berdasarkan data yang tampak dalam tabel di atas, dengan memperhatikan

jumlah anggota jemaat yakni 2062 jiwa dan jumlah kepala keluarga yakni 525 KK,

maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata jumlah jiwa dalam satu kepala keluarga adalah

3,9 orang. Artinya dalam satu rumah tangga dihuni oleh 4 orang.

Di atas telah dikatakan bahwa perpecahan yang terjadi dalam warga jemaat tidak

bisa dihitung atau dipatok berdasarkan lingkungan pelayanan. Artinya dalam setiap

lingkungan pelayanan selalu terdapat tiga kelompok pendukung, yakni BPHS hasil

Dorume, BPHS hasil SSI, dan juga kelompok netral. Selain itu, sebelum terjadi

perpecahan pada Jemaat ini, pola interaksi antar dan antara lingkungan pelayanan terjadi

dalam kondisi yang sangat harmonis. Dimana setiap anggota jemaat dalam satu

lingkuang hidup dalam suasana kekeluargaan yang saling membantu satu sama lain,

demikian pula interaksi antara warga jemaat lingkungan pelayanan. Pola tolong-

menolong menjadi perekat utama antar sesama anggota warga jemaat.

Situasi atau pola interaksi yang terjadi atas dasar kekelurgaan pasca SSI menjadi

berantakan, sebab setiap warga jemaat atau kepala keluarga mulai menentukan pilihan,

layaknya orang sedang mengikuti pemilihan dalam pemilu. Implikasi dari penentuan

Page 82: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

82

pilihan ini adalah pola interaksi yang tidak lagi berjalan atas dasar kekeluargaan dan

kegotong-royongan, namun lebih pada kepentingan dukungan pada elit-elit gereja

tertentu–antara SSI dan SSD . Untul lebih jelas, dalam tabel di bawah ini akan

dijelaskan jumlah kepala keluarga pendukung dalam setiap lingkungan pelayanan.

Tabel 5.2.

Jumlah KK Pendukung BPHS hasil Dorume,

BPHS hasi SSI dan KK Yang Netral

Lingkuan

Pelayanan

Kepala Keluarga

Pendung BPHS

Dorume

Kepala Keluarga

Pendung BPHS

SSI

Kepala Kluarga

Netral

Jumlah

1 8 3 28 39

2 14 5 32 51

3 7 3 33 43

4 5 4 30 39

5 4 4 29 37

6 8 4 28 40

7 5 3 37 45

8 12 3 31 46

9 6 3 23 32

10 8 4 33 45

11 7 6 39 52

12 9 2 45 56

Jumlah 93 44 388 525

Sumber: Data Jemaat Ikthus Wari 2013. Diolah

Berdasarkan data yang tampak dalam tabel 2 di atas, terlihat jelas bahwa

legitimasi warga jemaat masih sangat kuat mendukung BPHS hasil Sidang Sinode

GMIH di Dorume, yakni sebanyak 93 kepala keluarga (KK). Terpecahnya warga jemaat

Ikhthus Wari dalam memberikan dukungan kepada GMIH berdasarkan data yang

dihimpun di lapangan, baru terjadi pasca Sidang Sinode Istimewa yang dilakukan di

Tobelo tanggal 6-8 September 2013. Dengan demikian, data jemaat tersebut di atas

mengkonfirmasikan setidaknya beberapa hal penting, yakni:

Pertama, bahwa keberangkatan 4 (empat) tokoh untuk mengikuti Sidang Sinode

Istimewa (SSI) benar-benar hanya diutus untuk mencermati dan mengikuti SSI, dan

bukan hadir sebagai pendukung SSI. Dengan demikian, harusnya ketika “para utusan”

ini kembali ke jemaat mensosialisasikan hasil pertemuan di SSI secara jujur dan

Page 83: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

83

bertanggungjawab pula sebagai utusan yang netral, dan bukan utusan yang “berat

sebelah” sebab “keberadaannya” di SSI hanya untuk mencermati Sidang tersebut;

Kedua, kepercayaan warga jemaat kepada “para utusan” menjadi berkurang

sebab sekembalinya mereka, dan kemudian melakukan sosialisasi, “para utusan” telah

mengambil sikap keberpihakan kepada hasil SSI yang mengakibatkan jemaat ikut

mengambil sikap resistensi terhadap para utusan. Artinya tujuan awal diutusnya mereka

ke SSI, menurut sebagian jemaat (93 KK?) telah diingkari. Sehingga keputusan warga

jemaat yang tetap mendung BPHS hasil Dorume dan tidak mendengarkan para pelayan

mereka tidak dapat dikatakan sebagai bentuk pembangkangan terhadap “suara

kenabian” yang dibawa oleh pendeta atau “para utusan” tersebut; dan,

Ketiga, yang menarik dari data tersebut adalah keputusan 388 kepala keluarga

(KK) yang mengambil sikap tidak mendukung, atau dengan kata lain “lebih radikal”

terhadap gereja (GMIH). Dalam perspektif gereja, jemaat adalah adalah segala-galanya,

dan masuk dalam ikatan nilai bersama yang tidak mungkin mengambil sikap netral

terhadap gereja, sebab mereka perlu dilayani. Namun realitas unik ini terjadi dalam

jemaat Ikhthus Wari Tobelo, fenomena ini menimbulkan pertanyaan siapakah yang

berwenang melayani 388 kepala keluarga yang mengambil sikap netral tersebut? Sebab

dalam realitasnya terjadi pembagian jam Ibadah, yakni kelompok Sidang Sinode

Dorume (SSD) beribadah minggu pada pagi hari dan kelompok SSI beribadah pada sore

hari.45

Dalam konteks permasalahan seperti di atas (khusus point ketiga), pertanyaan

yang mengemuka adalah bagaimana kelompok netral ini melakukan ritual

(peribadatannya)? Siapa yang melayani mereka? Jika pendeta yang bertugas di jemaat

juga ikut terkotak sebagai pendeta SSD dan pendeta SSI? Beberapa informan kunci

yang diwawancarai, diantaranya: Pdt. Irene Souhoka, Pdt. M. Nometemo, Pdt.

Tuwondila46

mengalami kesulitan memberikan jawaban terhadap pertanyaan siapa yang

akan melayani mereka. Intinya para informan kunci ini mengatakan bahwa “mereka

45

Wawancara dengan Pdt. Irene Souhoka, S.Si. Pendeta SSI yang ditugaskan di Jemaat Ikthus Wari,

tanggal 4 Januari 2014. 46

Masing-masing adalah Pendeta SSI, pendeta GMIH yang telah dipecat akibat mendukung SSI, dan

Pendeta SSD.

Page 84: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

84

lebih memilih untuk tidak mengikuti baik SSD maupun SSI, mereka bertahan menunggu

masalah ini selesai, dan soal ibadah mereka mengikuti saja, kadang-kadang masuk

ibadah SSD dan kadang masuk ibadah SSI”. Bagi peneliti sunggu miris melihat

kenyataan seperti ini. Namun para informan kunci “enggan” mengutarakan eksistensi

mereka dalam ritual keagamaan kelompok netral ini lebih jauh.

Pendeta Irene Souhoka ketika ditanya lebih lanjut tentang hal ini mengatakan

bahwa “pembinaan akan berjalan baik jika gembalanya adalah gembala yang baik yang

membawa umatnya dengan baik, gembalanya ke air yang jernih bukan ke air yang

keruh”. Ketika peneliti mencoba mendiskusikan lebih lanjut tentang pernyataan

“gembalanya ke air yang jernih bukan ke air yang keruh”, beliau mengatakan bahwa

sudah jelas adalah hasil SSI bahwa terdapat sekian banyak “dosa” yang harus

dipertanggungjawabkan oleh BHPS hasil Dorume, khususnya Ketua dan Sekretaris

Sinode. Mereka perlu mempertanggungjawabkan “dosa-dosa” itu agar jemaat bisa

meminum air yang jernih, bukan keruh.

Pendeta Tuwondila (Pendeta jemaat SSD) yang diwawancarai soal konflik yang

melanda GMIH sampai akibatnya terhadap jemaat Ikthus Wari, mengatakan bahwa:

“Kalau saya melihat dari aturan gereja, SSI jelas tidak memenuhi prosedur

karena SSI itu berada pada sistem sinode GMIH, jadi kalau terjadi masalah di

sinode GMIH mengenai tata dasar GMIH itu baru dibuat SSI dan itu sudah

disepakati waktu sidang lima tahunan sebelumnya waktu di Wari, Ibu, Morotai

dan lain-lain. Dan kalau saya lihat kenyataan lapangan bahwa BPHS SSI ini itu

orang-orang yang kalah dalam pemilihan ketua dan pengurus sinode

diantaranya Pendeta Mailoa, Pendeta Djurubasa, Pendeta Amos Puasa dan

Pendeta Biso, waktu sidang sinode di Dorume itu, dan mereka dan mereka

membentuk sinode itu. Mereka tidak melihat posisi mereka di sinode, padahal

kalau sesuai peraturan ketika keluhan-keluhan atau saran-saran dari pengurus

SSI ini kita bahas pada sidang sinode tahunan, tetapi mereka menutup diri dan

kemudian mereka mengusut 23 dosa sinode GMIH itu. Mereka membuat

sinode itu atas dasar apa? Sesuai dengan tugas dan wewenang mereka atau?

Dan apa yang mereka buat itu? Mereka yang benar tanpa melihat keputusan-

keputusan dari ketua dan juga BPHS. Saya mengatakan bahwa keputusan

tertinggi adalah Sidang Sinode di Dorume itu, apabila masih ada kejangalan-

kejangalan lagi maka harus diselesaikan pada Sidang Tahunan. Yang lebih

salah lagi mereka membentuk BPHS dan Sinode dengan pakai nama GMIH,

kalau mereka membuat sinode haruslah pakai nama lain. Mereka mengatakan

Page 85: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

85

sinode lama itu dimisioner, dan juga dengan dosa sinode yang mereka usut itu

mereka tidak bisa pertanggung jawabkan itu mereka tidak bisa membenarkan

itu mengenai dana pensiun,beasiswa dan lain-lain.”

Konflik pada tingkat elit GMIH menjadi “buah bibir” setiap pelayan (Pendeta)

bahkan warga jemaat GMIH. Tidak hanya dibicarakan (buah bibir) saja, namun tampak

dalam sikap dan perbuatan. Masing-masing mengklaim dirinya benar, pendeta jemaat

terkotak-kotak berdasarkan interest masing-masing yang akhirnya berimbas pada

terkotak-kotaknya jemaat, bahkan rumah tangga ikut mengambil sikap mendukung

“calon” tertentu, dan ada yang mengambil sikap diam, yang penting aman. Ibarat dunia

politik terdapat faksi-faksi, maka dalam gereja juga terdapat faksi-faksi dalam

mendukung, memperebutkan dan mendapatkan “kasih” yang menurut ucapan masing-

masing pelayan (pendeta) benar dalam dirinya sendiri. Sikap dan tindakan ini telah

mengabaikan nilai bersama yang disepakati dalam Sidang Sinode GMIH di Dorume

tahun 2012.

Sekalipun demikian, SSI perlu juga dipahami sebagai benar menurut versi

mereka. Atas dasar kebenaran menurut versi mereka itulah SSI dapat didukung,

dilakukan dan menghasilkan dokumen gereja sebagai nilai bersama (kesepakatan

kolektif sebagaian jemaat) yang menjadi dasar gerak SSI. Namun dalam perspektif

gereja (GMIH), hasil keputusan Sidang Sinode GMIH di Dorume tahun 2012 adalah

yang sah. Setidaknya menurut sebagian besar jemaat–dan dalam perspektif peneliti,

dengan mempelajari berbagai dokumen yang ada, maka yang sah dalam GMIH itu

adalah BPHS hasil Dorume tahun 2012 itu. Akan menjadi lain, jika dalam SSI Ketua

Sinode (Pdt. Anton Piga) ikut diundang untuk menjelaskan atau mengklarifikasi

berbagai macam “dosa” yang telah dituduhkan kepadanya, dan apabila klarifikasi itu

tidak diterima maka SSI dapat mengeluarkan rekomendasi bahwa SSD telah demisioner.

Mencermati pernyataan kedua Pendeta (Pdt. Tuwondila dan Pdt. I. Souhoka) di

atas, sulit mengambil sikap siapakah yang sedang bermain, berada, atau melayani di “air

keruh” sebab masing-masing mempertahankan posisi berada di “air jerih”. Jika Pendeta

sudah bertindak dan bersikap seperti itu maka dapat dikatakan bahwa “para pendeta”

(gembala) memang sedang membawa jemaat ke “air keruh”. Bagi peneliti, harusnya

Page 86: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

86

para gembala tidak ikut terlena dan terlibat dalam konflik elit tersebut, mereka harusnya

mengambil posisi netral dalam melayani, bukannya jemaat yang netral.

Fenomena warga Jemaat yang netral di Ikthus Wari harusnya menjadi tamparan

keras bagi para gembala yang memilih “lehernya diikat” dan ditarik ke mana-mana.

Gembala harusnya netral karena mereka adalah panglimanya warga jemaat. Kalau

gembala sudah berpihak akibatnya warga Jemaat tercerai-berai, atau dengan bahasa

yang lebih bermakna teologis “domba-domba mengalami kebingungan” karena

gembalanya telah dan lebih memilih “rumput tetangga yang lebih hijau.”47

Yang

dimaksudkan dengan rumput tetangga lebih baik atau lebih hijau adalah pendeta lebih

memilih untuk mendukung salah satu “calon” yang sedang berkonflik, dan memilih

memuaskan dahaga (kehausan) jemaat yang dilayaninya lewat Sumber Air Kehidupan,

yang dikatakan Pdt. Irene Souhoka sebagai “air jernih”. Namun bagi peneliti Pdt. Irene

Souhoka sendiri sedang atau belum tentu menawarkan “air jernih” karena konflik ini

belum selesai, dan domba-domba masih terus kebingungan.

5.2. Relasi Antar Anggota Jemaat Ikhthus Wari Pasca Perpecahan

Berdasarkan deskripsi yang telah dilakukan, hal menarik yang dapat pelajari

adalah bahwa nilai-nilai perekat keseimbangan masyarakat adalah tidak selalu bersifat

statis (tetap), namun berada dalam kondisi yang penuh dinamika akibat konflik. Dengan

demikian, terjadinya konflik dapat saja merusak tatanan nilai yang telah ada, namun

dapat pula mentrasformasi atau memperbaharui nilai-nilai bersama yang telah ada

sebagai perekat atau kohesifitas sosial, dan di dalam konflik saja saja terdapat “domba-

domba yang bingung” akibat keributan yang terjadi.

Dalam kebingungan itu, “domba-domba” terus berupaya mencari perlindungan

pada mereka yang memiliki otoritas, dalam proses “mencari” perlindungan atau

keteduhan itu, diakui bahwa ada “domba” yang berhasil mendapatkan lahan terbaik

yang kemudian diakui sebagai keabsahan yang dapat menaungi kepentingan dan

kebutuhannya, ada juga “domba” yang mencari namun tidak menemukan lahan hijau

akhirnya lari atau keluar dari lingkaran nilai bersama dan berdiam di wilayah entah-

47

Kata-kata “rumput tetangga lebih hijau atau lebih baik” adalah kata-kata sebuah Iklan Televisi yang

peneliti gunakan sebagai bentuk analogi dalam tulisan ini.

Page 87: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

87

berantah, yang mungkin tak bertuan, dan dapat saja domba-domba yang sedang

kebingungan ini saling menyerang satu sama lainnya.

Analogi “domba-domba yang kebingungan” menurut hemat peneliti adalah

tepat digunakan guna mengelaborasi akibat konflik kepentingan elite yang terjadi di

GMIH dan berdampak pada Jemaat Ikthus Wari Tobelo. Tabel 2 di atas

mengkonfirmasikan “domba-domba yang kebingungan” tersebut. Setidaknya sebanyak

93 kepala keluarga yang tetap pada nilai bersama yang disepati oleh Sidang Sinode

GMIH di Dorume tahun 2012, dan 44 kepala keluarga memilih untuk ikut melegitimasi

“transformasi atau pembaharuan” nilai bersama yang dilakukan oleh Sidang Sinode

Istimewa (SSI) di Tobelo, serta 388 kepala keluarga memutuskan untuk tidak

melegitimasi (walau awalnya mereka adalah warga GMIH) kedua kepentingan (nilai

bersama) yang dibangun oleh kedua kelompok tersebut.

Bagi peneliti, keputusan 388 kepala keluarga untuk tidak terlibat, memihak pada

salah satu “calon” adalah keputusan menarik, walaupun agak “menggelitik” jika

ditempatkan dalam perspektif Gereja yang pola pelayanan atau penatalayananya rapi

dan tersistematis. Dikatakan menggelitik sebab jika ditempatkan dalam struktur gereja –

apalagi para pendeta juga ikut terkotak-kotak, maka pertanyaannya adalah siapakah

yang berhak atau dapat mengklaim 388 kepala keluarga ini sebagai anggota jemaat

mereka? Bukankan mereka sedang berada dalam kondisi “tanpa status”? Itulah realitas

domba-domba yang kebingungan, yang dalam konteks 388 KK itu dapat dikatakan

sedang menampar dengan sangat keras para pelayan (pendeta) GMIH yang berkonflik.

Implikasinya Pendeta yang berkonflik itu mengusik ketenangan domba-domba yang

kebingungan sehingga ikut saling menanduk.

Hasil wawancara dengan Pdt. Irene Souhoka, tanggal 4 Januari 2014 tentang

realitas yang terjadi di Jemaat Wari, pada intinya mengatakan bahwa:

“Sudah tidak lagi terlihat keadaan aman tetapi sudah ada kelompok-kelompok

dan tak ada lagi ketulusan yang ada bukan kebersamaan tetapi kepentingan

kelompok-kelompok. Di jemaat Ikhthus Wari terjadi kekacauan pada saat

ibadah di gereja, ada sekelompok orang yang memberontak dengan parang.

Kami dari pendeta SSI tidak bisa menanganinya karena kami terus diancam

dan bahkan di tindas kalau melakukan pelayanan kita di usir dari jemaat

tersebut. Gereja Yesus telah menjadi bahan elok-elokan. Gereja atau pengikut

Yesus tidak lagi menjadi garam dan terang bagi dunia, tetapi dunia yang

Page 88: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

88

menjadi terang bagi gereja, Yesus di khianati dengan 30 keping perak sekarang

pengikut Yesus di pecahkan dengan 30%48

. Kepentingan kelompok tertentu

dan kepolosan umat dijaadikan pertikaian dan perhinaan antara satu sama lain.

Dilihat dari sisi negatif sangat meresahkan warga jemaat, jemaat bingung.

Namun, sisi positifnya, umat bingung membuat umat harus bergumul supaya

mengenal Tuhan dengan keberadaannya.

Sekalipun setiap informan kunci yang diwawancarai mengatakan bahwa

“mereka tidak menganggap yang lainnya sebagai musuh”, namun dalam realitas

keseharian kehidupan warga jemaat, pasca perpecahan ini mengakibatkan pola interaksi

tidak lagi berjalan dengan baik, sebagaimana sebelum perpecahan. Hal ini misalnya

seperti yang dikatakan oleh Herlina Keper49

bahwa “dalam kehidupan sehari-hari

kelihatannya rukun, namun sudah tidak kayak (seperti) dulu lagi, antara kedua kubu ada

senyum namun senyum sinis”. Sekalipun demikian, menurutnya “reformasi itu baik

walaupun ada tantangan dan ada yang menjadi korban anarkis, tetapi reformasi itu baik

untuk pembaharuan GMIH”.

Lain posisi (jabatan) lain pula pandangannya, ketika peneliti bertemu dan

mewawancarai Edison Bubala50

dengan topik pola interaksi jemaat Ikhthus Wari, pada

intinya mengatakan bahwa “sebelum terpecahnya Sinode kerukunan itu masih terjaga

sangat baik, harmonis, seperti kerja bakti semua hadir dari bidang-bidang kategorial.

Namun setelah perpecahan, jemaat kelihatannya saling mencurigai, saling tidak senyum,

senyumpun dipaksakan”. Mengenai soal perpecahan ini, Edison Bulaba dalam

pernyataannya mengambil posisi berbeda dengan Herlina Keper, dia mengatakan bahwa

“reformasi memang baik, namun dalam konteks GMIH hal ini sangat tidak baik, sebab

tidak sesuai prosedur gereja. SSI itu ada dalam Tata Gereja, tidak dilarang, tapi

melakukannya harus sesuai mekanisme dan masalah yang dibahas itu jelas, kalau begini

siapa saja bisa buat SSI, walau masalahnya cuma pendeta salah mengucapkan kata-kata

48

30% adalah setoran jemaat ke Sinode yang memang telah disepakati dan diatur dalam aturan Gereja

(GMIH), dan oleh kelompok Pembaharuan 30% ini dituduhkan sebagai salah satu “dosa” akibat

pengelolaannya tidak transparan 49

Menjabat sebagai Syamas di Jemaat Ikhthus Wari (dari kelompok SSI), diwawancarai tanggal 29

Desember 2013. 50

Menjabat sebagai Penatua di jemaat Ikhthus Wari (dari kelompok SSD), diwawancarai tanggal 30

Desember 2013

Page 89: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

89

waktu khotbah, kita buat SSI, jadi aneh, sangat tidak baik reformasi ini, dan itu yang

buat kita (jemaat) terpecah”.

Informan kunci yang mengemukakan pendapatnya dengan mencoba mengambil

posisi netral dalam konflik tersebut adalah On Lumeling, S.Pd51

dalam wawancaranya

Lumeling mengatakan:

“Realitas di jemaat kami Ikhthus Wari ini, memang benar kita sudah terpecah

ada sebagian jemaat yang memilih tetap di Sinode lama dan juga ada yang

masuk ke Sinode baru atau SSI, bahkan juga majelis dan teman-teman pemuda

kami. Saya selaku Ketua Pemuda bahkan sebagai Kordinator atau Ketua

Bidang pemuda khususnya Tobelo Utara ini, saya sudah menyampaikan kesan

dan pesan saya pada saat ibadah gabungan pemuda Tobelo Utara. Saya

menyampaikan kepada mereka agar tidak terprofokasi dan ikut dalam konflik

bahkan memihak salah satu sinode. Tetapi bagaimana kita bisa bersikap netral

dan tidak memihak. Karena kalau kita memihak akan kacau, karena tugas kita

sebagai pemuda sekarang haruslah berpikir bagaimana memberikan

pemahaman kepada masyarakat kita yang sekarang hancur dan berkonflik.

Kesan ini juga saya sampaikan waktu natal pemuda kita di jemaat Wari ini

agar kita tidak terprofokasi dan harus bersikap netral. Saya juga berharap agar

pemuda-pemuda kita yang lahir dari GMIH ini harus mempertahankan ini dan

berupa memulihkan kembali GMIH yang sebenarnya. Karena kita lahir dan

dibesarkan oleh GMIH dengan pendidikan dari sekolah-sekolah GMIH. Saya

akan terus berjuang dengan teman-teman pemuda lainnnya agar memulihkan

GMIH dan tidak terprofokasi dan berupaya menyatukan kembali umat kami

yang lagi berkonflik ini untuk jemaat wari yang utuh kembali dan rukun seperti

semula.”

Bagi peneliti inilah suara penyejuk hati, atau suara kenabian yang harusnya

disuarakan oleh para pendeta dan tua-tua jemaat. Namun realitasnya pendeta dan tua-tua

jemaat mengambil sikap memihak salah satu “calon” dan terus mendorong menguatkan

kelompok mereka, seolah menjalankan strategi “teologi jiwa-jiwa” dalam mencari

domba-domba kebingungan untuk mendukung dan melegitimasi salah satu kelompok

yang sedang bertikai (BPHS Dorume vs BPHS versi SSI).

51

Beliau adalah tokoh Pemuda Wari, yang diwawancarai tanggal 20 Desember 2013

Page 90: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

90

Tentang tua-tua jemaat yang tidak mengambil posisi netral, dan berupaya

mendamaikan situasi adalah seperti yang dilakukan oleh Opa Kumihi52

yang ketika

diwawancarai pada intinya mengatakan:

“Berita ini perpecahan di jemaat ini ternyata sudah ada dari kelompok dari

produk Sidang Sinode Dorume sudah mempengaruhi umat kami sehingga

mereka terpecah. Setelah mengamati awalnya peristiwa ini bahwa kelompok

yang paling dominan membuat konflik agar memihak mereka adalah

kelompok Sinode Lama. Setelah melihat perdebatan itu dan saya melihat

peraturan sinode itu Presbiterial Sinodal dan mereka melanggar itu ada pendeta

yang masuk ke politik, dan itu saya tidak setuju karena pendeta tugasnya

melayani umat, gereja dalam bidang pelayanan rohani sehingga lewat pribadi

saya, saya masuk SSI. Karena SSI ini memperbaharui GMIH dan itu akan saya

sampaikan ke masyarakat, karena asas-asas gereja ini mereka tiadakan. GMIH

ini kan pakai asas, ada aturan dan apa yang mereka lakukan ini tidak mengarah

pada asas presbiterial sinodal, para penatua, diaken, pendeta, dan tua-tua itu

jalan bersama dan apa yang yang dilakukan Sinode Lama ini sudah keluar dari

situ dari aturan gereja. Dan apa yang dilakukan pihak sinode lama ini mereka

mengaitkan dengan persoalan PILGUB53

dan mereka membenci bupati kita,

karena dengan sesuai amatan saya SSI dibuat oleh bupati dan saya setuju.

Persoalan ini mereka masuk kepolitik dan juga mereka mengabaikan asas

gereja. Saya mengambil kesimpulan bahwa sinode pembaharuan yang tepat

karena mereka mengembalikan asas gereja tersebut… saya sudah memberika

pemahaman kepada mereka, tetapi baru 1 dan 2 orang54

, kalau masyarakat

secara umum belum. Karena saya lihat kondisi yang ada kalau ada seseorang

yang menyampaikan hasil SSI, itu pasti mereka berkelahi dan mereka tidak

akan terima, jadi saya akan sampaikan kepada warga jemaat secara orang per

orang dan ternyata mereka mendukung pembaharuan.”

Namun ketika peneliti coba menanyakan tanggapannya tentang konflik di tingkat

jemaat, Opa Kumihi pada intinya mengatakan “menurut saya dengan melihat umat saya

yang sudah pecah kalau melihat budaya-budaya, nilai-nilai yang saya tanamkan saya

memohon kalau kita punya masalah janganlah membuat konflik dan merusak

masyarakat dan marilah kita sama-sama membangun”. Bagi peneliti, pernyataan terakhir

opa Kumihi memang sangat menyejukkan, namun faktanya opa Kumihi tidak lagi netral

52

Di Jemaat Wari, beliau diposisikan sebagai tua-tua adat. Wawancara tanggal 19 Desember 2013. Beliau

juga merupakan salah satu utusan Jemaat untuk mengikuti SSI 53

Mengenai hal ini peneliti mencoba bertanya “apakah opa sudah baca buku “Sejarah Pembaharuan

GMIH”? beliu mengatakan belum membaca, dan peneliti „berseloroh‟ ada topik menarik coba nanti opa

baca. 54

Jawaban ini berkaitan dengan pertanyaan bagaimana sosialisasi yang dilakukan setelah mengikuti SSI

tanggal 6-8 September 2013

Page 91: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

91

mengambil sebagai tua-tua jemaat yang harusnya menyuarakan suara kenabiaan, tapi

telah berpihak, sehingga dalan ungkapan beliau di atas, juga tampak kekhawatiran

karena sebagian warganya tidak lagi melegitimasikan dirinya sebagai tua-tua (yang di-

tua-kan) oleh mereka. Hal ini terlihat dari pola sosialisasi yang beliau lakukan.

Hal menarik lainnya dari domba-domba yang kebingungan ini adalah apa yang

diungkapkan oleh Arnold Yaro yang dimuat dalam Surat Kabar Obor Halmahera (OH),

Edisi I/X/2013, halaman 3. Beliau adalah salah satu anngota jemaat Ikthus Wari (lingpel

11). Menurut catatan OH, beliau adalah anggota jemaat yang paling “getol” memprotes

SSI, untuk kepentingan penelitian ini, peneliti mencatata pernyataan Arnold Yaro,

karena menyampaikan sikap berbeda dengan sikap sejumlah Badan Pekerja Harian

Jemaat (BPHJ) sebagai berikut:55

“dari dulu-dulu kita GMIH ini khan. Trus kenapa lagi sekarang ini sudah jadi

dua begini? Saya sangat tidak suka dengan cara-cara sekelompok orang dari

sekretariat pembaharuan yang mendirikan sinode tandingan. Apalagi isyu yang

dibuat kelompok pembaharuan itu menyangkut hal-hal yang sangat diragukan.

Masak diisyukan kalau uang pensiun pendeta sudah habis dipakai oleh Ketua

Sinode sebanyak 1,3 milyar. Tetapi buktinya setiap bulan khan kita liat para

istri guru jemaat itu datang menerima uang pensiun khan selalu tepat waktu.

Malah saya dengar pendeta Emiritus juga ada menerima uang pengabdian

sekitar 40 juta dari Sinode, lalu apalagi yang diprotes oleh mereka? Saya juga

merasa senang dengan pergantian ketua jemaat dari Pdt. Eko Jurubasa kepada

Pdt. Towondila. Semoga saja pergantian pinpinan jemaat itu akan membawa

suasana sejuk dalam jemaat Ikthus Wari. Dan semoga saja dengan pergantian

ini jemaat Ikthus Wari akan tetap menjadi jemaat yang dipimpin oleh BPHS

GMIH yang resmi dan sah. Namun, sekalipun saya harus mati untuk membela

kehormatan GMIH, saya siap untuk itu”.

Arnold Yaro, seorang pekerja di pelabuhan juga ikut terusik batinnya ketika

mendengar dan mengetahui konflik yang melanda GMIH, separah itukah para elite

GMIH dalam mengolah konflik di antara mereka sehingga masyarakat pada level paling

bahwa pun mengetahui dan ikut berbicara dan mengambil bagian dalam konflik itu?

Atau konflik ini memang sengaja digelontorkan oleh mereka yang tidak bertanggung

jawab guna menaikan citra diri (pencitraan)?. Apapun itu bahtrera GMIH sedang

55

Pada saat penelitian, peneliti beberapa kali berkunjung ke rumahnya, namun tidak sempat bertemu,

karena selalu berada (bekerja) di palabuhan.

Page 92: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

92

diambang-ambingkan badai dalam samudra luas, dan jika nahkodanya kurang

berpengalaman maka kemungkinan bahtera GMIH tenggelam tidak terhindarkan.

Masalahnya bagaimana menjinakkan “domba-domba yang sudah liar akibat

kebingungan” itu? Dalam salah satu ayat Alkitab yang pernah saya dengar (saya lupa

nama Kitabnya), kira-kira berbunyi demikian “Aku mengutus engkau ke tengah-tengah

serigala”. Dengan demikian, para pelayan di Jemaat Ikhthus Wari harus memaknai

bahwa medan yang sekarang mereka layani sedang dihuni oleh “domba-domba liar”

kalau tidak ingin dikatakan serigala. Badan Pekerja Harian Jemaat (BPHJ) Ikthus Wari

perlu mengambil sikap netral. Belajar dari jemaat yang cerdas (388 kepala keluarga

yang netral), dan jangan berpihak. Tinggalkan ego masing-masing pimpinan atau

pelayan jemaat dan selamatkanlah domba-domba yang tersesat, agar tidak menjadi

semakin liar. Namun jika para pelayan tetap dengan pilihan mendukung salah satu

“calon”, maka domba-domba yang kebingungan itu niscahya akan mencari rumput

tetangga yang kelihatan lebih baik, atau kawanan domba itu akan bangkit merusak

tatanan yang telah ada. Qua vadis Ikhthus Wari? Inilah pertanyaan tersisah bari para

pelayan (BPHJ).

Page 93: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

93

BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka kesimpulan penting yang

penelitian guna menjawab tujuan penelitian tentang alasan-alasan perpecahan jemaat

Ikthus Wari dan pola interaksi jemaat pasca perpecahan, dapat diformulasikan sebagai

berikut: terpecahnya jemaat Ikthus Wari diakibatkan oleh dua hal, yakni: a). konflik

kepentingan elit yang terjadi pada tingkat Sinode GMIH berimplikasi pada dukungan

anggota jemaat pada elit tertentu hasil Sidang Sinode Istimewa. Dukungan ini tampak

atas dasar kesamaan kepentingan, baik kepentingan politik-administratif-merujuk pada

status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), maupun kepentingan kekeluargaan–merujuk

pada menguatnya persaudaraan dalam sistem klan; dan b). Perilaku elit ditingkat Jemaat

yang tidak netral. Hal ini merujuk pada kesepakatan Jemaat mengutus 4 orang “elit”

mereka dalam Sidang Sinode Istimewa sebagai utusan yang netral. Sekembalinya “para

utusan” ini, pola sosialisasi yang dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban mereka

kepada jemaat sudah tidak lagi netral, artinya telah memihak keputusan SSI sehingga

berimplikasi pada hilangnya kepercayaan anggota Jemaat dan berakibat perpecahan.

Selain itu, dampak yang timbul dari perpecahan Jemaat mengakibatkan harmoni

sosial menjadi rusak atau tidak harmonis lagi. Interaksi antar anggota Jemaat juga terkait

dengan pimpinan Jemaat menjadi tidak harmonis, masing-masing saling mencurigai,

senyum yang dipaksakan, dan tegur-sapah menjadi sekedar “basa-basi‟ belaka. Anggota

jemaat terjebak dalam pengkotakan sebagai “pendukung BHPS SSD”, pendukung

BPHS SSI”, dan kelompok netral. Pengkotakan ini menambah rumit pola interaksi

antara mereka, tegur-sapah dan senyum merupakan ungkapan keterpaksaan akibat

pernah hidup bersama sebagai orang saudara. Namun tidak lagi setulus yang pernah ada

pada waktu-waktu sebelum perpecahan. Realitas ini semakin diperparah dengan

pembagian jam ibadah Minggu di gereja, dan realitas elit (terutama pendeta dan tua-tua)

yang ikut terpecah dan mendukung aktor dan kelompok tertentu, atas dasar keyakinan

akan kebenaran menurut versi masing-masing, semakin memperkeruh situasi Jemaat

Ikthus Wari. Pada tataran anggota Jemaat kehausan akan “air segar” membuat mereka

Page 94: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

94

bingung menentukan sikap sebab setiap kelompok (elit) menawarkan “air bersih dan

segar” sesuai selera yang sebenarnya hanya mewakili serpihan-serpihan kebenaran.

6.2. Rekomendasi

Berdasarkan analisis dan kesimpulan di atas, maka beberapa hal yang

diformulasikan sebagai rekomendasi penelitian ini adalah:

Bagi kelembagaan GMIH, BPHS disarankan untuk lebih giat berupaya dalam

memberi pemahaman yang benar kepada jemaat-jemaat tentang konsensus bersama

dalam Sidang Sinode di Dorume tahun 2012. Memperbaiki dan terus meningkatkan pola

komunikasi yang baik dan bermartabat dengan semua pihak terutama dengan jemaat-

jemaat. Perlu dengan arif dan bijaksana mengelola konflik yang terjadi pada tingkat elit

dan tidak “meneruskan” konflik tersebut ke tingkat jemaat dalam rangka menarik

dukungan jemaat untuk melegitimasi kepentingan elit.

Bagi BPHS versi SSI, disarankan untuk menahan diri. Pembaharuan Gereja

memang perlu selalu dilakukan, namun waktunya perlu dipersiapkan dengan matang,

sehingga tidak terkesan ditunggangi secara politik. Tuhan (mungkin) sedang menegur

GMIH, namun teguran itu perlu dimaknai sebagai mempersiapkan diri dan kapasitas

kelembagaan untuk bangkit, mempersiapkan Jemaat-jemaat dan membaharui kehidupan

menggereja, tetapi perlu memperhatikan dan menempu mekanisme organisasi yang

telah juga disebakati bersama sebagai “suara terbaik” yang dibimbing Tuhan. Berilah

kesempatan bagi BPHS SSD untuk bekerja dan membuktikan diri, sebab hari

penghakiman pasti akan datang untuk semua orang. Tanggal 5 Juli 2013 kalaupun

dipahami sebagai “Saat Tuhan menegur para pemimpin Umat-Nya”, namun tidak perlu

meradikal dalam bentuk mekanisme SSI sebab “hari penghakiman” perlu disesuikan

dengan mekanisme gereja yang telah melembaga.

Bagi para pelayan (pendeta dan majelis) di Wari, disarankan untuk tidak ikut

terkontaminasi konflik pada tingkatan elit (sinode) tetapi perlu memposisikan diri

sebagai pelayan yang menyuarakan Suara Kenabian. Berhentilah mendukung elit dan

kelompok tertentu, sebab realitasnya jemaat Ikthus Wari telah terpecah dan masing-

masing kelompok merindukan sentuhan kasih dari seorang pelayan. Belajarlah dari

jemaat yang mengambil posisi netral dalam konflik perpecahan ini, mereka (jemaat

Page 95: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

95

yang netral) sedang mengkritik anda (pendeta) yang mempertontonkan pelayanan

setengah hati, yang berbicara atau meneriakkan “air segar” tetapi tidak mampu

menempatkan posisi atau lebih memilih mengekor. Sebagai pelayan yang tahu dan taat

asas presbiterial sinodal anda perlu menempatkan posisi tak berkepentingan dengan

konflik elit, sebab yang perlu “diselamatkan” adalah jemaat dan bukan elit. Itulah

konsekuensi panggilan anda sebagai pelayan Yesus Kristus.

Bagi anggota Jemaat, disarankan untuk berbesar hati dan kembali saling

memaafkan sebagai „orang saudara‟ yang hidup dengan kekuatan nilai dan norma

bersama yang diikat oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan kearifan lokal yang telah

dimiliki. Jangan beri ruang bagi rusaknya persaudaraan dan kekeluargaan hanya karena

kepentingan orang-orang tertentu yang menginginkan kekuasaan dalam gereja. Anggota

jemaat perlu bersatu hati dan mengambil sikap resistensi bagi pendeta yang

terkontaminasi kepentingan elit yang berkonflik, dengan sikap ini para elit akan belajar

untuk tahu diri, sebab mereka ditolak oleh jemaatnya.

Bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian tentang “prahara GMIH”

disarankan untuk mengkaji topik-topik, seperti: a). Gereja dan Politik; b). Peran aktor

politik dalam konflik perpecahan GMIH; c). Peran aktor Gereja dalam perpecahan

GMIH; d). Dualisme kepemimpinan dan proses pengambilan keputusan dalam Sinode

GMIH; e). Penerapan asas presbiterial sisnodal dalam GMIH; f). Perpecahan GMIH dan

kekerabatan, dan lain sebagainya.

Page 96: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

96

DAFTAR PUSTAKA

Andrain, Charles F. Political Life and Social Change. (terj). Lukman Hakim Kehidupan

Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta. Tiara Wacana. 1992.

Artanto, Widi. Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia. Jakarta : BPK

Gunung Mulia. 1997

Bertens, Hans. The Idea of The Postmodern: A History. Routledge-London, 1995.

Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif : Aktualisasi Motodologis ke Arah

Ragam Varian Kontemporer, Jakarta : PT. Raja Grafindo. 2003

Budiharjo. Miriam. Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta; Dian Rakyat.1998.

Bosch, David J. Transformasi Misi Kristen : Seiarah Teologi Misi Yang Mengubah

DanBerubah. (terj) Stephen Suleeman. Jakarta : BPK Gunung Mulia,

2000.

Campbell, Tom. Seven Theorities of Human Society. Oxford University Press. 1981.

Dahrendorf, Ralf. Case and Class Conflik in Industris Society, Stanford University

Press, Stanford-California, 1959.

Djawa, O.R. Sedjarah Singkat Lahirnya G.M.I. di H. dan Usaha-Usahanya Selama Dua

Puluh Tahun. Arsip GMIH di STT Tobelo. Payahe. 1969.(Tidak

Diterbitkan)

Durkheim Emile, The Elementary Froms of Religious Life : New York, The Free Press,

Macmillan Publishing, 1965.

Fisher Simon, Mengelola Konflik : Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak : Jakarta,

The British Council Indonesia, 2001

Foucault, Michel. Sejarah Seksualitas. Seks dan kekuasaan (terj). Jakarta. Gramedia.

1997.

Giddens Anthony, Sociology, Cambridge Polity Press, 1989.

Haire, James. Sifat dan Pergumulan Gereja Halmahera. Jakarta : BPK Gunung Mulia,

1998.

Heryanto, Ariel, „Postmodernisme: Yang Mana ? Tentang Kritik dan Kebingungan‟,

dalam Debat Postmodernisme di Indonesia. Junal Kebudayaan Kalam

Edisi 1, Jakarta. 1994.

Page 97: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

97

Hontong, Sefnat., Mojau, Julius., Djurubasa, A. Hidup Menggereja: Asas Presbiterial

Sinodal Gereja Masehi Injili di Halmahera. Yogyakarta: Alinea Baru,

2013.

Ihalauw, John J.O.I. Bangunan Teori. Edisi 3 Milenium. Salatiga: Universitas Kristen

Satya Wacana. 2004.

Jary, D Dan Julia Jary, Collinss Dictionary Of Sociology, Great Britain : Harper

Coolinss Publisher, 1991.

Junga, J.,. Ringkasan Perkembangan G.M.I. di H. Bagian I, UZV ke GPH:1942-1943.

Tobelo, 1978. (Tidak Diterbitkan)

Kleden, Ignas., Soedjatoko: “Sebuah Psikologi Pembebasan”, dalam Soedjatmoko,

“Etika Pembebasan”. Jakarta: LP3ES, 1984.

Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 1997.

Malo, Manasse. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Karunika. 1986.

Moleong, L. J.. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

2006

Mojau, Julianus. Sejarah Pembaharuan GMIH. Tobelo, GMIH, 2014.

Nasikun.” Sistem Sosial Budaya Indonesia”. Jakarta : PT RajaGrafind Persada, 2007

Ngarbingan, Anton, Alberth, 2004. Upaya Membangun Teologi Misi Yang Kontekstual

di Gereja Masehi Injili di Halmahera, Salatiga, Fakultas Teologi UKSW,

(Skripsi-Tidak Diterbitkan)

Nordholt, Schulte. Metodologi dan Metodik Sosiologi. Salatiga: LPIS Satya Wacana.

1973.

Ritzer. George dan Goodman. Douglas J. Modern sociological theory. 6th

Edition.

(Terj). Triwibowo Budi santoso Teori Sosiologi modern. edisi ke-6 cet.3.

Jakarta; Kencana. 2005.

Soedjatmoko, Etika Pembebasan, (Jakarta: LP3ES, 1984)

Sookanto, Soejono Dan Lestarini Ratih, Fungsionalisme Dan Teori Konflik Dalam

Perkembangan Sosiologi : Jakarta, Sinar Grafika, 1988.

Suwondo, Kutut, Gereja Dan Kemajemukan : Gereja Dalam Konflik Dengan Agama-

Agama Lain ; Jalan Baru Menuju Terbentuknya “Civil Society” : Visi

Gereja Memasuki Milenium Baru, Bunga Rampai Pemikiran. Jakarta,

BPK Gunung Mulia, 2002.

Page 98: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

98

_____________, 2005. Otonomi Daerah Dan Perkembangan Civil Society Di Aras Lokal.

FISIPOL – UKSW, Salatiga.

Suseno, Franz Magnis. Etika politik Prinsip-pronsip moral dasar kenegaraan modern.

Jakarta; Gramedia Pustaka Utama. 1987.

Susilo Suko, Basrowi, Sukidin, Sosiologi Politik. Yayasan Kampusiana: Surabaya.

2003.

Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana

Indonesia, 1992.

Sugiyono. Metode Penelitian kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: ALFABETA.

2006.

Turner. Bryan S. Religion and Social Theory.(Terj). London. SAGE publications Ltd.

1991.

Tholkhah Imam, Mewaspadai Dan Mencegah Konflik Antar Umat Beragama,

Departemen Agama RI : Badan LITBAG Agama Dan DIKLAT

keagamaan, Jakarta, 2001.

Tolo, S.B. Sedjarah Singkat Tentang G.P.H. Yang Adalah Rintisan G.M.I. di H.

Djailolo, 1968. (Tidak Diterbitkan)

Van Den End, Th. dan Weitjens, J. Ragi Cerita II: Sejarah Gereja di Indonesia dari

1860-an samapai Sekarang. Jakarta BPK Gunung Mulia. 1999.

Weber, Max. The Nature of Action. (ed). WG. Runciman. Max Weber. selection in

translation. E. Matthews. Cambridge : Cambridge University Press.

1980.

Weber, Max. Economy and Society. (ed) . Roth and Wittich. California. University

Press. 1974

SUMBER LAIN:

Tata Gereja dan Tata Rumah Tangga Gereja Masehi Injili di Halmahera. Hasil

Sidang Sinode Tahun 1997 di Balisoan.

Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan Gereja Masehi Injili di Halmahera. Hasil

Sidang Sinode Tahun 2012 di Dorume, Loloda Utara.

Dokumen Hasil Sidang Sinode Istimewa Gereja Masehi Injili di Halmahera,

Tahun 2013 di Tobelo.

Buku Panduan Sidang Sinode Istimewa GMIH Tahun 2013.

Surat Kabar „Obor Halmahera‟ Edisi VI/XII/2013.

Page 99: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

99

Lampiran 1

GEREJA MASEHI INJILI di HALMAHERA

ANGGOTA PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA di INDONESIA

BALITBANG dan STATISTIK GMIH

Jl. Kemakmuran, Tobelo 97762

Telp. (62) 0924-2621166, Fax. (62) 0924-2621302

Email : [email protected]

Halmahera Utara - Maluku Utara

PEMETAAN PERSOALAN GMIH

Pengantar

Dalam tiga bulan terkahir, Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) dilanda dengan konflik

internal. Dalam berbagai media, baik dari media jejaring sosial maupun media massa (Koran lokal),

dikatakan bahwa : “perahu GMIH sedang dalam kondisi bocori”. Analogi persoalan GMIH dengan

“perahu yang bocor” tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan. Apakah memang benar bahwa perahu

tersebut sedang bocor sehingga tidak bertahan sampai ke pelabuhan Buli (SS XXVIII) ? Siapakah yang

membuat sampai bocor ? Mengapa sehingga dapat dikatakan bocor ? Kondisi seperti apa yang

menyebabkan hal tersebut bisa terjadi ?

Upaya untuk menjawab analogi tersebut di atas_apakah benar analogi tersebut dapat

menggambarkan polemik GMIH saat ini_sangat bergantung pada cara kita melihat persoalan tersebut.

Kebutuhan cara pandang untuk dengan jujur melihat persoalan tersebut, maka pemetaan persoalan ini

dilakukan dengan berupaya untuk menghindar penilaian subjektif terhadap persoalan yang sedang

dihadapi GMIH. Oleh karena itu, pemaparan dimulai dari fakta-fakta lapangan, kemudian kondisi data

jemaat pasca SSI dan GPH serta pemetaan kepegawaian.Dengan fakta dan data tersebut, kemudian

diidentifikasi faktor-faktor pendukung persoalan tersebut.Diharapkan dengan identifikasi tersebut dapat

dipakai untuk menganalisis fakta, data dan faktor-faktornya guna memperoleh persepsi yang benar

terhadap persoalan GMIH.

Kompilasi Fakta

1) Setelah Sidang Sinode GMIH XXVII yang dilaksanakan di Dorume Loloda Utara, 23-30 Agustus

2012, muncul sebuah kelompok yang menamakan diri sebagai Kelompok Reformasi. Kelompok ini

kemudian mengeluarkan selebaran dan bahkan sebuah Buku yang berisi keberatan mereka terhadap

hasil Sidang Sinode tersebut, mulai dari hasil pemilihan BPHS sampai pada tata kelola keuangan

GMIH. Kelompok tersebut dengan gencar melakukan sosialisasi kepada jemaat-jemaat GMIH.

2) Aksi mereka kemudian terhenti ketika Sidang Majelis Sinode I yang dilakukan di Jemaat Betlehem

Tobelo pada bulan Februari 2013. Dalam sidang tersebut, BPHS melakukan klarifikasi dan

penjelasan terkait dengan tuduhan yang dilakukan oleh Kelompok Reformasi.Dengan hasil dari

penjelasan tersebut, peserta SMS merekomendasikan untuk dilakukan pengampunan dan konsiliasi

Page 100: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

100

kepada Kelompok Reformasi dan dilakukan penarikan selebaran atau buku yang telah

disebarkan.Rekomendasi tersebut diindahkan oleh mereka (Kelompok Reformasi).

3) Kondisi yang nyaman kembali berjalan sekitar 5 bulan. Karena pada bulan Juli dilakukan Pemilihan

Gubernur Maluku Utara, yang mana dalam proses tersebut, dua warga GMIH maju dalam

pencalonan, Bupati Halmahera Barat dan Halmahera Utara. Momentum pertarungan politik ini juga

memengaruhi kinerja pelayanan para Pendeta di Jemaat. Karena disadari dengan sungguh bahwa

Pendeta dan Jemaat juga “terseret”ii dalam pertarungan tersebut, terutama dua kandidat dari warga

GMIH. Selain itu pula, proses penyeretan tidak hanya untuk 2 kandidat tersebut, namun juga berlaku

bagi kandidat lain, yang bukan warga GMIH. Ranah pertarungan politik pemilukada tersebut

menjadi salah satu momentum dimana Pendeta ikut dalam proses kampanye kandidat. Hal ini terlihat

dari begitu banyak Pendeta yang ikut dalam kampanye, baik itu secara diam-diam maupun dengan

terang-terangan.

4) Pada awal Agustus 2013, ada kelompok jemaat yang melakukan aksi demo yang dipimpin oleh Pnt.

Benny Bitjoli (Majelis Jemaat Elim Gura), yang pada saat itu adalah sekretaris Tim Pemenangan

salah satu kandidat Calon Gubernur Maluku Utara periode 2013-2018. Adapun tuntutan mereka

adalah Ketua dan Sekretaris Sinode GMIH segera mengundurkan diri karena terbukti mendukung

salah satu kandidat calon Gubernur Maluku Utara periode 2013-2018.

5) Berselang beberapa hari kemudian, di Jailolo-Sahu, dilakukan pertemuan mendadak untuk

menyikapi demo yang telah dilakukan. Pertemuan tersebut digagas oleh beberapa politisi dan

Pendeta. Maksud dari pertemuan tersebut adalah menggagas sikap Halmahera Barat terhadap

fenomena yang terjadi di Halmahera Utara.iii Pertemuan yang dihadiri oleh Pendeta dan anggota

Majelis Jemaat serta tokoh-tokoh masyarakat, menghasilkan Tim Kecil untuk merumuskan sikap dan

kemudian disampaikan kepada Badan Pekerja Harian Sinode.

6) Berbagai isu pun mulai berkembang dan bergulir ibarat bola liar ke jemaat-jemaat, terutama di Halut

dan Halbar. Isu penyelewengan, isu keterlibatan politik, penyalahgunaan keuangan dan sebagainya

digulirkan ke jemaat-jemaat.Kelompok Reformasi yang pada SMS Bethelehem telah dibubarkan,

kembali ikut menyemarakan isu-isu tersebut. Pada beberapa wilayah tertentu, mulai dilakukan

pertemuan-pertemuan kecil untuk membahas isu-isu yang telah berkembang, mulai dari wilayah

Kao, Tobelo dan Galela.

7) Karena panasnya suhu isu-isu tersebut, Badan Pekerja Harian Sinode melakukan pertemuan Pegawai

Organik Gereja (POG) pada tanggal 23 Juli 2013 di Jemaat Siloam Gosoma. Dalam pertemuan

tersebut56

, dilakukan dialog antara POG dengan BPHS, terutama terkait dengan isu-isu yang

berkembang.Dalam pertemuan itu, BPHS melakukan klarifikasi terkait dengan berbagai tuduhan-

tuduhan yang dilakukan oleh segelintir orang.

56

Page 101: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

101

8) Dengan pertemuan tersebut, tidak memadamkan niat para Pendeta yang menamakan kelompok

Reformasi untuk menjalankan niatnya. Hal tersebut terlihat dari isu yang kemudian berkembang,

yakni isu Pembaharuan GMIH.Isu tersebut semakin kental digulirkan ke jemaat-jemaat.Selain itu

pula, akademisi Universitas Halmahera (UNIERA) juga mengusung Pembaharuan GMIH sambil

menyiapkan Dokumen Kairos (dokumen pembaharuan) melalui Fakultas Teologi.Kelompok

Reformasi yang pernah ada setelah Sidang Sinode XXVII di Dorume kemudian meleburkan diri

menjadi kelompok Pembaharuan. Kelompok yang terakhir ini kemudian menetapkan sekretariat di

depan Kantor Bupati Halmahera Utara. Dari sini berbagai upaya dilakukan ke jemaat-jemaat untuk

mendukung aksi pembaharuan.Salah satu upaya mereka adalah dengan mengadakan Sidang Sinode

Istimewa (kemudian disingkatSSI).Utusan-utusan Pendeta maupun PNS dan juga yang lainnya

datang ke Jemaat untuk menghimpun tanda tangan sebagai bukti penyelenggaraan SSI. Puncak

pergerakan Kelompok Pembaharuan GMIH adalah pelaksanaan SSI pada tanggal 13-15 September

2013 di Sekretariat Pembaharuan dengan menghasilkan BPHS versi SSI.

9) Pada tanggal 13 Agustus 2013, dilakukan pertemuan antara BPHS dengan kelompok Pembaharuan

GMIH. Dalam pertemuan tersebut, kelompok Pembaharuan GMIH meminta kepada BPHS untuk

melaksanakan SSI. Namun dengan berbagai pertimbangan serta kondisi yang ada, BPHS menolak.

10) Dalam menghadapi pergolakan gerakan Pembaharuan GMIH, BPHS melakukan konsolidasi umat ke

beberapa titik wilayah pelayanan di Halmahera, mulai dari pertemuan BPHS dengan ketua Badan

Pekerja Harian Jemaat (selanjutnya disebut BPHJ) dan Tua-tua Jemaat se-Kab. Halmahera Utara di

Jemaat Betlehem Wosia Tobelo pada tanggal 12 September 2013; pertemuan se-Kab. Halmahera

Timur di jemaat Marantah Waijou pada tanggal 13 September 2013; pertemuan se-Halmahera

Tengah & Selatan, Tidore Kepulauan dan Ternate di Jemaat Eben Haezer Ternate pada tanggal 17

September 2013; pertemuan se-Halmahera Barat di Jemaat Imanuel Akelamo pada tanggal 18

September 2013 dan pertemuan se-Kab. Pulau Morotai di jemaat Eben Haezer Sabatai Morotai

Selatan pada tanggal 20 September 2013. Kesimpulan konsolidasi dari semua pertemuan itu adalah :

a) Menolak penyelenggaraan SSI dan keputusan-keputusannya, karena tidak berdasar pada

Tata Gereja;

b) Pemberlakuan sanksi organisasi kepada POG yang menyelenggarakan dan mengikuti

SSI maupun pergerakan Sinode GPH.

c) Penyetoran 30% sesuai hasil keputusan SS XXVII Dorume harus tetap dilaksanakan.

d) Tetap mempertahankan hasil keputusan SS XXVII Dorume.

Pemaksaan kepemimpinn GMIH semakin jelas ketika BPHS hasil SSI mengukuhkan diri sebagai

pemimpin GMIH dan menyatakan BPHS hasil SS XXVII Dorume sudah demisioner. Pemaksaan

tersebut merajalela ke berbagai aspek, BPHS SSI menjalankan tugasnya dengan memakai alamat

sekretariatnya, sedangkan BPHS SS XXVII Dorume tetap berkantor di Jln. Kemakmuran Tobelo.

Page 102: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

102

11) Pada tanggal 19 September 2013, Biro Hukum, HAM dan Demokrasi GMIH melakukan pengaduan

terkait dugaan penyelewengan 30% oleh 5 orang Pendeta GMIH, serta penggunaan Cap dan Logo

GMIH serta penerbitan surat-surat berharga. Pengaduan tersebut dilaporkan ke Polres Halmahera

Utara.

12) Pada tanggal 01 Oktober 2013, gerakan persiapan Sinode Gereja Protestan Halmahera (GPH)

melakukan ritual peletakan batu pertama kantor sinodenya. Ritual yang dilaksanakan di desa Tosoa

tersebut menimbulkan keresahan pada warga GMIH yang ada di Halmahera Barat. Akibatnya

berbagai bentuk penolakan terjadi, demo GMKI dan GAMKI serta majelis jemaat dilakukan sebagai

bentuk penolakan mereka.Disamping itu pula, berbagai aksi demo juga sering dilakukan oleh

mahasiswa di Halmahera Utara untuk menolak indikasi keterlibatan Pemerintah Daerah turut campur

tangan terhadap pelaksanaan SSI.

13) Pada tanggal 03 Oktober 2013, Kementerian Agama RI, Kantor Wilayah Provinsi Maluku Utara,

mengeluarkan sebuah surat yang menyatakan sikap pemerintah terhadap konflik internal GMIH.

Surat tersebut kemudian didistribusikan ke jemaat-jemaat secara serentak.

14) Pasca surat Kemenag Kakanwil Maluku Utara, sosialisasi terus dilakukan oleh BPHS GMIH. Pada

saat yang bersamaan, pihak Pembaharuan GMIH terus melakukan sosialisasi serta melantik

kelengkapan kelembagaan BPHS hasil SSI.Sementara itu, kondisi Halmahera Barat yang berhadapan

dengan GPH, terus mengalami perkembangan. Dengan mana, beberapa jemaat telah mengalami

segregasi massa pada kedua kubu, baik yang masih mempertahankan GMIH maupun ada yang telah

menyatakan diri ke GPH. Salah satu fenomena konflik tersebut adalah konflik yang terjadi antara

desa Tosoa dan Lata-lata pada hari senin, 04 November 2013.

Pemetaan Jemaat

Konflik pada aras pimpinan tersebut secara perlahan namun pasti merembes ke kehidupan

berjemaat. Jemaat-jemaat GMIH yang berjumlah 432 jemaat sudah mulai menyatakan sikapnya terhadap

hasil SSI dan SS XXVII Dorume. Adapun pemetaannya adalah dapat dilihat pada gambar berikut :

Page 103: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

103

Sumber : Tim Riset GMIH

Dari gambar 1., di atas terlihat bahwa 13% jemaat GMIH telah terkontaminasi hasil SSI dalam berbagai

kategori. Sedangkan 2% terkontaminasi GPH. Namun begitu ada 86% jemaat GMIH masih tetap

mempertahankan hasil SS XXVII Dorume.

Dari 13% jemaat yang telah terkontaminasi tersebut di atas, perlu untuk dilakukan

pengkategorian indikasinya.Hal ini diupayakan untuk melihat sejauh mana pengaruh SSI bagi jemaat-

jemaat. Adapun gambarannya dilihat pada gambar berikut :

Sumber : Tim Riset GMIH

Dari gambar 2., terlihat bahwa dari 13% atau 55 jemaat yang terindikasi SSI terdapat 35% yang masuk

dalam kategori sangat tinggi, 5% yang kategori tinggi, 18% kategori kurang dan 43% yang termasuk

dalam kategori sangat kurang. Dari data di atas, dapat dibaca juga bahwa dari 55 jemaat, terdapat 40%

jemaat yang dapat dikatakan rawan sedangkan 60% masih dapat dikatakan belum rawan.

Page 104: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

104

Selanjutnya, jika dilihat menurut wilayah, maka akan diketahui bahwa pengaruh SSI terpusat

pada wilayah-wilayah di Kabupaten Halmahera Utara. Adapun gambaranya adalah sebagai berikut :

Sumber : Tim Riset GMIH

Dari gambar 3., di atas diketahui bahwa 55 jemaat yang terkontaminasi SSI sebagian besar berada di

wilayah pelayanan Tobelo Tengah yang mencapai 16%, kemudian wilayah Tobelo sebesar 15%dan Kao

Utara sebasar 11% serta Tobelo Selatan dan Galela Barat masing-masing 9%.

Pemetaan Kepegawaian

Salah satu kesepakatan pertemuan BPHS dengan ketua BPHJ dan Tua-tua Jemaat pada beberapa

wilayah adalah memberikan sanksi organisasi menurut klasifikasi kepada POG yang mendukung secara

aktif terhadap pelaksanaan SSI dan juga dengan gerakan pendirian Sinode GPH.Realisasi dari

kesepakatan tersebut adalah BPHS sudah memberikan sanksi skorsing kepada POG tersebut secara

bertahap. Sampai saat ini, BPHS sudah mengambil langkah tersebut dalam tiga tahap dengan gambaran

sebagai berikut :

Gambar 3. Prosentase Jemaat yang Terindikasi SSI

menurut Wilayah

Page 105: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

105

Sumber : Tim Riset GMIH

Dari gambar di atas, diketahui bahwa terdapat 15% atau 68 PO yang terkena skorsing.Sisanya 85% atau

373 orang yang tidak terpengaruh dengan SSI maupun GPH.

Meneropong Faktor-faktor yang Mendukung Persoalan GMIH

Berdasarkan kompilasi fakta dan data yang telah diuraikan sebelumnya, maka perlu juga untuk

mengidentifikasi faktor-faktor yang mendukung polemik ini semakin parah. Dalam berbagai pandangan

serta pendapat, minimal diketahui ada 4 faktor utama yang turut berpengaruh, diantaranya adalah :

1. Faktor Politik

Faktor politik yang dipahami dalam kondisi ini adalah kondisi dinamika politik daerah, baik

dalam skala Kabupaten maupun skala Provinsi.Dinamika tersebut dilihat dari sejauh mana

penggunaan kekuasaan untuk kemudian mempolitisasi wacana yang muncul di jemaat.Pemilihan

Gubernur Maluku Utara menjadi salah satu acuan kuat dalam upaya menyebarkan isu politis ke

jemaat.

2. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi dilihat sebagai kondisi ekonomis, seperti pekerjaan, pendapatan dan juga modal-

modal yang lain yang turut memengaruhi praksis individu atau keputusan-keputusan individu

dalam ranah dan atau praksisnya. Faktor ini dinilai berdasarkan keterlibatan PNS Halmahera

Utara dalam hal sosalisasi dukungan SSI ke jemaat-jemaat.Faktor ini juga tidak berjalan sendiri,

melainkan juga sangat ditopang oleh faktor politik Halut.

3. Faktor Sosial

Faktor sosial adalah dilihat pada kondisi status sosial seseorang yang turut berpengaruh pada

relasi dan tindakan sosial.Penilaian terhadap faktor ini adalah status Penatua dan Diaken serta

Tua-tua Jemaat yang juga turut bermain secara aktif maupun pasif dalam menyokong pelbagai

opini yang muncul.

4. Faktor Pengetahuan

Sedangkan faktor pengetahuan dipahami sebagai faktor tingkat pemahaman pelayan akan tugas

dan panggilannya. Faktor ini memang bukan persoalan baru, karena persoalan teologi GMIH

yang belum kunjung selesai, turut memengaruhi tingkat pemahaman pelayan.Muara dari kondisi

ini adalah kebingungan pelayan dalam hal memposisikan diri dalam pergumulan politik daerah,

pergumulan sosial dan budaya.Penilaian terhadap faktor ini adalah terseretnya para pelayan

dalam pusaran politik penguasa.

Keempat faktor di atas bukanlah inti dari persoalan yang dihadapi oleh GMIH, melainkan pra-

kondisi yang turut berpengaruh terhadap inti persoalan yang terjadi.

Memahami Kembali Persoalan GMIH

Dalam upaya untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di GMIH, perlu untuk merekonstruksi

fakta-fakat yang terjadi, data yang telah diolah serta faktor-faktor yang turut berpengaruh. Hal ini perlu

Page 106: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

106

untuk dilakukan dalam rangka menemukan inti persoalan yang sedang melanda GMIH.Di samping itu

pula, untuk menemukan pemahaman yang jujur terhadap persoalan GMIH serta mencari solusinya.

Sebagaimana yang telah diungkapkan pada fakta pertama, bahwa Kelompok Reformasi muncul

sebagai akibat dari ketidakpuasan mereka terhadap hasil SS XXVII.Ketidakpuasan tersebut dilihat dari

dokumentasi yang disebarluaskan ke jemaat-jemaat.Hal ini sudah tentu diupayakan untuk membangun

opini ketidakpercayaan jemaat terhadap kepemimpinan hasil SS XXVII. Isu yang dipakai mulai dari

penggelembungan suara, penyelewengan dana pensiun pegawai sampai pada refleksi teologis terhadap

cara pemilihan pimpinan gereja dengan mengundi. Butir-butir pemikiran tersebut minimal telah

membentuk opini sendiri bagi jemaat-jemaat, walau ada penolakan terhadap aksi mereka. Namun

demikian, dapat dikatakan bahwa permulaan aksi Kelompok Reformasi adalah awal mula ketegangan

yang sengaja diciptakan, namun masih dalam skala yang cukup kecil.

Pembekukan kelompok tersebut pada bulan Februari 2013, sebagaimana yang digambarkan

dalam fakta kedua, bukan serta merta turut menghapus opini atau wacana yang telah lahir di kalangan

jemaat sebagai imbasan dari aksi mereka. Karena wacana ketidakpercayaan (distrust) kepada Badan

Pekerja Harian Sinode (BPHS) sudah mengalir dengan perlahan namun pasti. Grafik ketidakpercayaan

beberapa kalangan mulai merembes kepada kalangan Pendeta dan awam/jemaat.Rembesan tersebut cukup

berpengaruh terhadap penurunan grafik kepercayaan jemaat terhadap BPHS.iv

Kepercayaan (trust)v membawa konotasi aspek negosiasi harapan dan kenyataan yang dibawakan

oleh tindakan sosial individu-individu atau kelompok dalam kehidupan kemasyarakatan.Ketepatan antara

harapan dan realisasi tindakan yang ditunjukkan oleh individu atau kelompok dalam menyelesaikan

amanah yang diembannya, dipahami sebagai tingkat kepercayaan.Tingkat kepercayaan akan tinggi, bila

penyimpangan antara harapan dan realisasi tindakan, sangat kecil. Sebaliknya, tingkat kepercayaan

menjadi sangat rendah apabila harapan yang diinginkan tak dapat dipenuhi oleh realisasi tindakan sosial.

Jarak antara harapan dan kenyataan seperti itulah yang dimanfaatkan oleh Kelompok

Reformasi.Puncak dari ketidakpercayaan (distrust) tersebut adalah dengan momentum Pilgub Maluku

Utara.Salah satu indikator kepercayaan (trust) adalah kebajikan dalam melihat dan menempatkan diri

dalam lingkup organisasi, sehingga dapat menghasilkan perilaku individu dalam ranah organisasinya yang

bertanggung jawab.Dengan momentum Pilgub Malut putaran I, indikator ini cukup

memrihatinkan.Mengapa ?Karena Pelayan cukup terseret dalam segregasi politik yang terjadi.Cara

pandang dan posisi diri dalam arus politik pemilihan sangat terpengaruh oleh faktor pemahaman,

sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Faktor pengetahuan politik gereja belum selesai pada

aras pelayan dan jemaat GMIH.

Dengan minimnya faktor pemahaman tersebut, turut memperkeruh suasana distrust yang telah

diciptakan oleh kelompok reformasi. Selain itu, diperparah dengan hasil perhitungan Pilgub Malut putaran

I, yang kemudian menimbulkan gesekan kelompok, yang kemudian bermuara pada demo besar-besaran di

depan Kantor Sinode, sebagaimana yang diurai dalam fakta keempat. Demontrasi hasil perhitungan yang

Page 107: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

107

kemudian dipolitisasi menjadi demo kepada pimpinan Gereja dengan berbagai tuduhan politis telah

membawa babakan baru.

Proses pewacanaan gap/jurang harapan dan kenyataan dalam fenomena bergereja mulai

digulirkan kembali dan dimanfaatkan oleh kelompok Reformasi. Kelompok ini ibarat memperoleh angin

segar dan pintu masuk untuk memanfaatkan kondisi. Isu reformasi kembali digulirkan, namun dengan

nafas Pembaharuan GMIH.Dengan demikian, dapat diketahui bahwa faktor politik turut menyuburkan

bunga pembaharuan GMIH, dengan terus menyebarkan semerbaknya ke seluruh jemaat.Apalagi aksi

tersebut sangat didukung oleh Universitas Halmahera (UNIERA) melalui Dokumen Kairos-nya.

Kesemerbakannya yang terus meluas tersebut dilihat dari pengumpulan tanda tangan jemaat serta

pengerahan Pegawai Negeri Sipil Halmahera Utara untuk melakukan sosialisasi dukungan.Dari kondisi

ini, faktor ekonomi turut berpengaruh.Karena status mereka sebagai PNS tidak terlepas upaya politis

untuk mengerahkan mereka.

Upaya yang dilakukan oleh kelompok pembaharuan tersebut, dengan cara pengumpulan tanda

tangan serta pewacanaan isu-isu dengan mengedepankan “dosa-dosa BPHS”, adalah cara politis untuk

membangun distrust kepada BPHS. Namun begitu, sebagaimana dalam data pada Gambar 1 di atas,

diketahui bahwa 85% jemaat menolak cara tersebut beserta pelaksanaan SSI. Hal tersebut terlihat dalam

uraian fakta kesepuluh, yang mana mereka menolak SSI dan hasil keputusannya.

Indikator lain dari dialektika trust (kepercayaan) adalah komitmen.vi Sebagai bentuk komitmen

tersebut, BPHS GMIH dengan perangkat organisasinya tetap melakukan langkah-langkah organisasi

untuk tetap berkomitmen terhadap aturan main organisasi yang telah disepakati dalam SS XXVII di

Dorume.Dalam kompilasi fakta kesebelas, diketahui bahwa melalui Biro Hukum, HAM dan Demokrasi

GMIH telah mengambil jalur hukum untuk semua pelanggaran organisasi. Hal tersebut juga semakin

diperkuat dengan surat dari KEMENAG KANWIL Provinsi Maluku Utara. Pengakuan Negara tersebut

minimal menjadi landasan hukum untuk mengembalikan trust (kepercayaan).

Penutup

Dari kompilasi fakta serta pengolahan data lapangan, ditambah lagi dengan inventarisir faktor-

faktor yang berpengaruh serta proses analisa, maka diketahui beberapa hal diantaranya adalah :

1. Kekuatan bergereja GMIH masih tetap berjalan sebagaimana mestinya, karena kekuatan 85%

jemaat yang belum terinfeksi dengan hasil SSI, merupakan kekuatan penuh untuk

mengimplementasikan pendekatan kelembagaan.

2. Faktor politik adalah faktor utama yang turut berpengaruh terhadap pewacanaan SSI di kalangan

jemaat. Selain itu pula, ada beberapa faktor ikutan yang juga turut memberikan kontribusi,

diantaranya adalah faktor ekonomi, sosial dan pengetahuan.

3. Inti dari persoalan yang melanda GMIH adalah bukan persoalan politik, melainkan persoalan

distrust (ketidakercayaan). Selain persoalan distrust tersebut, polemik ini juga ditopang oleh

pengetahuan teologis tentang peran aktif Pelayan dalam jemaat.

Page 108: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

108

iBahasa Melayu Maluku Utara. iiKata tersebut dipakai bukan untuk memberikan kesan negatif. Kondisi tersebut dapat dibaca dalam konteks Hak

Politik warga Gereja sebagai warga negara yang menjalankan hak politiknya dalam proses pemilukada. iiiPertemuan tersebut sebenarnya adalah pertemuan evaluasi para Kordinator Wilayah, namun diperluas karena

kebutuhan.Pertemuan tersebut sebenarnya adalah pertemuan evaluasi para Kordinator Wilayah, namun diperluas

karena kebutuhan. ivIndikasi dari penurunan grafik kepercayaan jemaat kepada BPHS adalah isu penyelewengan dana pensiun tetap

terpelihara dengan baik di benak setiap orang (walau sudah dilakukan klarifikasi). Selain itu pula, ada sikap defensive

Pegawai Organik untuk mengurus dana Pensiun mereka. vPerhatian pada kajian trust mulai menguat sejak konsep modal sosial mulai bergulir sebagai wacana akademik

pemerhati sosiologi. Perkembangan selanjutnya, banyak thesis yang meneguhkan trust, sebagai bagian tak

terpisahkan dari modal sosial dalam pembangunan. Fukuyama (1995) menegaskan bahwa trust adalah salah satu hal

penting dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini kemudian ditekankan oleh Sztompka (1999) yang menegaskan

bahwa trust menjadi modal penting yang mengkondisikan masyarakat dapat berfungsi.

Rumusan dari Möllering tersebut menjelaskan, paling tidak, enam fungsi penting kepercayaan (trust) dalam

hubungan-hubungan sosial-kemasyarakatan. Keenam fungsi tersebut adalah:

a) Kepercayaan dalam arti confidence, yang bekerja pada ranah psikologis-individual. Sikap ini akan

mendorong orang berkeyakinan dalam mengambil satu keputusan setelah memperhitungkan resiko-resiko

yang ada. Dalam waktu yang sama, orang lain juga akan berkeyakinan sama atas tindakan sosial tersebut,

sehingga tindakan itu mendapatkan legitimasi kolektif.

b) Kerjasama, yang berarti pula sebagai proses sosial asosiatif dimana trust menjadi dasar terjalinnya

hubungan-hubungan antar individu tanpa dilatarbelakangi rasa saling curiga. Selanjutnya, semangat

kerjasama akan mendorong integrasi sosial yang tinggi.

c) Penyederhanaan pekerjaan, dimana trust membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja

kelembagaan-kelembagaan sosial. Pekerjaan yang menjadi sederhana itu dapat mengurangi biaya-biaya

transaksi yang bisa jadi akan sangat mahal sekiranya pola hubungan sosial dibentuk atas dasar moralitas

ketidakpercayaan.

d) Ketertiban. Trust berfungsi sebagai inducing behavior setiap individu, yang ikut menciptakan suasana

kedamaian dan meredam kemungkinan timbulnya kekacauan sosial. Dengan demikian, trust membantu

menciptakan tatanan sosial yang teratur, tertib dan beradab.

e) Pemelihara kohesivitas sosial. Trust membantu merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam

sebuah komunitas menjadi kesatuan yang tidak tercerai-berai.

f) Modal sosial. Trust adalah asset penting dalam kehidupan kemasyarakatan yang menjamin struktur-struktur

sosial berdiri secara utuh dan berfungsi secara operasional serta efisien. viKomitmen dimengerti sebagai konsistensi, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. Dengan komitmen

seperti ini, akan memampukan para pegawai untuk bekerja sesuai dengan apa yang menjadi kewajibannya, serta

ekspektasi masyarakat. Sudah tentu bahwa hal ini akan memampukan dirinya dalam melakukan pelayanan kepada

masyarakat. Bandingkan hasil penelitian Seok Eun Kim “The Role of trust in the Modern Administrative State : A

Integrative Model”, Administration and Society Journal,Vol 37, No. 5, November 2005, hal 611-635.

Page 109: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

109

Page 110: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

110

Page 111: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9990/3/T1_352009010_Full... · GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI

111