Upload
builien
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Fenomena menarik yang dialami oleh Gereja Masehi Injili di Halmahera
(GMIH) adalah “prahara” yang sedang melandanya ketika terjadi semacam “gugatan”
oleh sebagian jemaat terhadap kepemimpinan sinodal dengan dilaksanakannya Sidang
Sinode Istimewa (SSI) yang mengusung transformasi atau pembaharuan dalam gereja
(sinode) tersebut pada tanggal 6-8 September 2013 di Tobelo. Dengan dilaksanakannya
SSI 2013 ini, terkesan keinginan dari beberapa pihak untuk menganulir hasil Sidang
Sinode GMIH di Dorume Loloda Utara yang telah berlangsung pada tahun 2012.
Fenomena ini telah memunculkan semacam konflik kepentingan dalam tubuh
sinode GMIH sebab berakibat munculnya dualisme kepemimpinan, yakni di satu sisi
terdapat kepemimpinan sinode “lama” dan di sisi lain ada kepemimpinan sinode
Pembaharuan yang dibentuk lewat keputusan SSI tersebut. Bahkan pasca SII muncul
informasi yang berkembang pada tingkatan jemaat bahwa Badan Pekerja Harian Sinode
GMIH hasil sidang Sinode Dorume tahun 2012 sudah demisioner. Wacana ini
digelontorkan oleh beberapa pihak bahkan menjadi pro dan kontra diskusi pemuda
GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI PEMUDA
GMIH”.
Wacana yang digelontorkan tersebut, telah turut memberi dampak negatif
terhadap pengembangan jemaat-jemaat dalam kehidupan bergereja. Kontra terhadap
wacana demisioner itu datang dari berbagai pendukung BPHS GMIH hasil keputusan
sidang Sinode Dorume 2012, yang mengatakan bahwa SSI adalah tindakan ilegal, tidak
sesuai dengan aturan gereja, karena itu BHPS hasil SII juga merupakan badan atau
lembaga yang ilegal, dan perlu ditangiani oleh yang berwajib–dipolisikan .
Sebagai contoh, Malutpos, 7 September 2013 memuat berita “Polisi Didesak
Usut Oknum Dibalik SSI GMIH”. Berita ini merupakan kencaman dari beberapa tokoh
GMIH di Halmahera Barat, dikarenakan pelaksanaan SSI GMIH di Tobelo tanpa
sepengetahuan Badan Pekerja Harian Sinode GMIH yang sah. Seorang tokoh GMIH di
Halmahera Barat, James Uang, S.Pd., MM., dalam berita tersebut mengungkapkan
2
kekecewaannya terhadap pelaksanaan SSI GMIH bahwa “motivasi pelaksanaan SSI
tersebut, diduga kuat dilatari akumulasi kekecewaan, karena mereka yang terlibat di
dalamnya didominasi orang-orang yang tidak terpilih pada sidang sinode GMIH di
Dorume Loloda Utara, beberapa bulan lalu. Selain itu, juga dilatari kekecewaan karena
tidak terpilih dalam Pilgub putaran pertama”.
Selain itu, dua hari sebelumnya, tepatnya tanggal 5 September 2013 juga terjadi
aksi protes (demonstrasi) oleh Gerekan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)
Kabupaten Halmahera Utara (Halut), yang menolak reformasi dan pembaharuan GMIH
di Halut. Massa menuntut agar Badan Pekerja Harian Sinode (BPHS) GMIH
memberikan surat pengembalaan dan surat teguran bagi pegawai organik atau pejabat
gereja yang ikut melibatkan diri dalam tim reformasi dan tim pembaharuan. Bahkan
massa memintah agar Kapolres Halut segera memberhentikan gerakan-gerakan tim
reformasi dan tim pembaharuan karena gerakan tersebut banyak diikuti dan diintervensi
oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), sehingga menimbulkan keresahan warga
(http://poskomalut.com/2013/09/06/gmki-halut-tolak-reformasi-gmih/).
Tuntutan para pendukung BPHS hasil keputusan Sidang Sinode Dorume 2012
mendapat tanggapan positif dari BPHS dengan dikeluarkannya beberapa surat
pemecatan tegana organik (pendeta-pelayan) gereja. Hasilnya adalah terganggunya
pelayanan bagi jemaat-jemaat. Pasca surat pemecatan, menambah “deretan penderitaan”
jemaat sebab beberapa pendeta yang dipecat memiliki “jemaat loyal” yang ikut juga
merasa dipecat sebagai GMIH, realitas itu mengakibatkan perpecahan ditingkat jemaat,
yakni yang mendukung BPHS lama dan BPHS baru.
Salah satu keputusan penting dari SSI GMIH di Tobelo tahun 2013, satu tahun
pasca Sidang Sinode di Dorume adalah pembentukan Badan Pekerja Harian Sinode
(BPHS) “tandingan”1. Dalam aktivitas keseharian mengurus “gereja baru” badan ini
diberi kewenangan untuk menganulir Surat Keputusan (SK) pemecatan pendeta-pendeta
yang mendukung SSI dan melaksanakan evaluasi butir-butir rekomendasi dari SSI,
untuk disampaikan pada sidang tahunan (Dokumen Hasil SSI, 2013), pertama pada
tahun 2014.
1 Tandingan merupakan tambahan penulis, mengingat BPHS hasil Sidang Sinode Dorume masih bekerja
seperti biasanya.
3
Sidang Sinode Istimewa (SSI) GMIH di Tobelo tersebut mengusung tema
“Lihatlah, Aku Membuat Segala sesuatu Baru” (Wahyu 21:5b). Tema ini memang tidak
hanya sekedar tema, namun memang telah membuat segala sesuatunya menjadi baru;
yakni dengan membentuk sinode baru (GMIH Pembaharuan); menghasilakn jemaat-
jemaat baru hasil perpecahan dari GMIH; menimbulkan “konflik baru” ditengah-tengah
jemaat; menghasilkan elit-elit baru untuk memimpin Sinode GMIH; dan hal baru
lainnya adalah Ketua Sinode GMIH tidak dihadirkan dalam SSI, dan ini bisa dikatakan
sebagai pelanggaran baru terhadap tata aturan gereja.
Sebenarnya, jika memperhatikan sejarah gereja, maka apa yang telah dilakukan
SSI adalah bukan hal baru. Reformasi gereja (yang salah satunya menghasilkan gereja
Protestan) memang sejak dari awalnya sudah terjadi, dan hal tersebut adalah wajar guna
terus memperbaharui situasi dan kondisi gereja sesuai konteksnya. Masalahnya hanya
terletak pada latar belakang reformasi atau pembaharuan yang dilakukan, apakah benar-
benar berangkat dari suara jemaat (umat) atau hanya merupakan keinginan dan
kehendak sebagian orang, terutama sebagian elite gereja.
Mengenai pembaharuan gereja, Martin Luther sekitar tahun 1517 menuntut
reformasi gereja dengan dasar argumentasi pemisahan kekuasaan agama (gereja) dari
negara. Pemicuh tuntutan Luther dikarenakan gereja dan negara pada masa itu adalah
satu–saling kawin-mawin dan tidak terpisahkan. Dasar pemikirannya kemudian
“dilanjutkan” oleh John Lock (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755), sekalipun
dalam beberapa aspek dasar pemicu pemikiran ketiga tokoh ini berbeda, tetapi mereka
juga sependapat bahwa monopoli kekuasaan bertentangan dengan prinsip-prinsip
demokrasi dan berpotensi melanggar kebebasan manusia (Simorangkir, 2011:1). Bagi
Luther, yang penting adalah bagaimana agar manusia dapat hidup bebas, sejahtera,
mandiri dan tidak ada satu orang atau satu kelompok pun yang berhak dan diberi hak
memonopoli kekuasaan gereja sekaligus negara.
Martin Luther mereformasi gereja dengan latar belakang atau alasan yang jelas,
yakni ketika “gereja” memperjualbelikan indulgensia atau surat penghapusan dosa, yang
secara harfiah bisa dimaknai sebagai: agama, sorga, dan keselamatan bisa dibeli dengan
uang dan dengan jasa baik (Simorangkir, 2011:8). Luther mengambil sikap untuk
4
melawan gereja akibat kesewenang-wenangan gereja yang memang menjadi sangat
dominan dalam kekuasaan agama maupun negara–indulgensia dapat dimaknai sebagai
“kawin-mawin dogma gereja dengan paradigma ekonomi guna memperkaya elit gereja–
dan ini harus dirombak.
Dalam konteks reformasi, pembaharuan, atau tranformasi yang terjadi di GMIH,
maka pertanyaannya tentang hal yang melatar-belakangi tindakan itu menjadi relevan.
Dalam pemberitaan baik di Radar Halmahera, Malutpos maupun Tobelo Pos, terkesan
SSI GMIH di Tobelo 2013 lebih banyak dilatari oleh masalah politik, yang dikaitkan
dengan kekalahan salah satu calon Gubernur. Sedangkan hasil wawancara dengan
pendeta A. Djurubasa tanggal 11 Oktober 2013, beliau mengatakan bahwa “sebenarnya
tidak hanya itu, dan bukan karena itu, namun lebih pada pelaksanaan tata gereja dan
perilaku beberapa pimpinan gereja yang terlalu condong ke politik ketimbang
pelayanan”. Beliau melanjutkan bahwa “saya pernah menulis di Tobelo Pos akhir tahun
2012 tentang Plus-Minus Sidang Sinode GMIH XXVI di Dorume Loloda Utara, yang
antara lain mengkritik pengabaian penatua dan diaken dalam pemilihan pimpinan gereja
dalam sidang sinode tersebut”.
Walaupun alasan yang dikemukakan pendeta A. Djurubasa di atas baik adanya,
namun pertanyaannya adalah apakah cukup hanya dengan alasan seperti itu SSI di
Tobelo membuat BPHS GMIH “tandingan”? Phil Erari, ketua PGI, Senior Papua Policy
Advisor, Conservation Internasional yang diundang khusus untuk memberikan
semacam materi pembekalan sebelum “para pendukung” SSI di Tobelo 2013 mulai
bersidang, dalam akhir materinya memberikan semacam pesan atau saran: 1) Supaya
dijaga citra GMIH sebagai gereja yang utuh, bersatu, mandiri dan misioner; 2) Hindari
setiap gagasan yang mengarah pada pembentukan Kepemimpinan ganda dalam GMIH,
termasuk perpecahan sebagai gereja baru di Provinsi Maluku Utara; 3) Dalam semangat
di atas, saya mohon agar SSI yang diprakarsai Sekretariat Pembaharuan ini, dirobah
statusnya menjadi Sidang Pembaharuan dan Revitalisasi GMIH, demi persatuan GMIH.
Namun arahan dan saran hanya bisa menjadi arahan,. Faktanya GMIH sebagai
“gereja” yang utuh telah terpecah-belah. Dalam konteks seperti itu, pertanyaan yang
kemudian muncul adalah mengapa sampai terjadi semacam “pemekaran” sinode GMIH
5
dengan dibentuknya BPHS GMIH “tandingan”? Dibentuknya BPHS baru berdampak
negatif terhadap pelayanan jemaat-jemaat, realitasnya jemaat itu terpecah mengikuti
kemauan para elit. Kemudi bahtera GMIH yang berlayar dilautan bebas sedang
diperebutkan, penumpang mengalami kebingungan hendak mendukung siapa, namun
yang jelas elit yang berebut kemudi memiliki pendukung loyal–bahtera GMIH tanpa
arah dan haluan jelas untuk berlabu–badai masih terus bergelora.
Proses “pemekaran” sinode berdampak pada pemisahan jemaat-jemaat sebagai
pendukung SSI dan BPHS GMIH pembaharuan 2013 dan jemaat-jemaat pendukung
BPHS GMIH hasil keputusan sidang sinode di Dorume 2012. Hasil wawancara dengan
ketua BPHS versi SSI, bapak L. Sambaimana, S.Th., M.Si mengutarakan bahwa “dari
435 jemaat GMIH yang menyatakan mendukung SSI sudah mencapai 233 jemaat, walau
keinginan awal untuk membentuk SSI itu hanyalah empat jemaat.2” Dengan demikian,
maka dapat dikatakan bahwa legitimasi terhadap sinode GMIH sedang mengalami
resistensi dari bawah.
Realitas ini telah menciptakan semacam konflik kepentingan yang juga terjadi
ditingkat jemaat, khususnya di desa Wari (Jemaat Wari), yakni dalam satu desa yang
awalnya satu jemaat yang beribadah dalam satu gedung gereja setelah adanya hasil
keputusan SSI jemaat juga terkotak-kotak, walau masih beribadah di gedung gereja
yang sama. Bedanya hanyalah warga jemaat pendung SSI dipimpin pendetanya
beribadah saat sore hari dan warga jemaat yang tidak mendung SSI beribadah di pagi
hari.3 Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar bagaimana pola interaksi warga
jemaat setelah mengalami perpecahan?
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
penetian ini adalah “Konflik Sinode GMIH: Studi Sosiologis Tentang Pola Interaksi
2 Wawancara tanggal 27 Desember 2013 di Rumah Bapak Pdt. L. Sambaimana, M.Th. bandingkan
pernyataan ini dengan hasil Pemetaan yang dilakukan Balitbang dan Statistik GMIH, dalam lampiran.
Data tentang pemetaan ini juga telah peneliti masukan ke bab V 3 Informasi diperoleh dari Pendeta Ny. Mathelda Namotemo, pendeta pelayan Jemaat Wari lewat saluran
telp, tanggal 10 Oktober 2013, dan hasil amatan peneliti pada saat penelitian berlangsung pada bulan
Desember 2013 – Januari 2014 menemukan hal yang sama.
6
Warga Jemaat Ikthus Wari pasca perpecahan Sinode Gereja Masehi Injili di Halmahera
(GMIH) tahun 2013”. Elaborasi lebih lanjut dari rumusan masalah tersebut melahirkan
pertanyaan penelitian, sebagai berikut:
1. Faktor apakah yang melatar belakangi perpecahan Jemaat Ikhtus Wari pasca
perpecahan Sinode GMIH?
2. Bagaimana relasi (pola interaksi) antar warga jemaat Ikhtus Wari pasca
perpecahan itu?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan faktor yang melatar belakangi perpecahan jemaat Wari
pasca perpecahan Sinode GMIH
2. Mendiskripsikan pola interaksi warga Jemaat Wari pendukung BPHS baru
dan pendukung BPHS lama.
1.4. Manfaat Penelitian
Sebagai sebuah tulisan ilmiah, maka penelitian ini diharapkan memberikan
manfaat baik praktis maupun teoritis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu
memberikan sumbangsi bagi teori konflik dan legitimasi, khususnya dalam konflik
kepentingan yang mempersoalkan hubungan agama (gereja) dan negara (politik) yang
sedang terjadi dan dialami oleh Gereja Masehi Injili di Halmahera pasca Sidang Sinode
Istimewa di Tobelo tahun 2013.
Sedangkan secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
sumbangan pemikiran dalam praktek bergeraja khususnya di wilayah GMIH, sekaligus
memberikan kontribusi bagi masyarakat (jemaat) tentang peran gereja (institusi gerega)
dalam jemaat atau masyarakat.
7
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Dalam bab ini, dua teori penting akan dibahas guna memberikan gambaran yang
lebih komprehensif sekaligus sebagai semacam “arahan” bagi peneliti dalam melakukan
penelitian ini. Sekalipun demikian, peneliti tidak bermaksud untuk menguji teori-teori
tersebut di lapangan, karena itu jika nantinya dalam penelitian terdapat “konsep-konsep
lokal” yang digunakan dalam menggambarkan fokus penelitian ini, maka akan diadopsi
atau digunakan guna menambah khazana berpikir dalam penelitian dimaksud.
Namun sebelum menjelaskan tentang konflik dan legitimasi, peneliti merasa
perlu untuk menguraikan konsep kekuasaan. Karena itu, pembahasan bab ini akan
difokuskan pada tiga konsep besar, yakni: 1). Makna Kekuasaan; 2). Konflik; dan 3).
Legitimasi.
2.1. Makna Kekuasaan
Dalam kehidupan sosial, wujud kekuasaan seringkali terpatri dalam gagasan
politik formal, seperti negara dan kekerasan diidentikan dengan aktivitas fisik yang
merugikan. Perwujudan relasi kekuasaan dan kekerasan dilihat sebagai peristiwa yang
melibatkan entitas-entitas fisikal, seperti tubuh para aktor, sarana-prasarana fisik,
institusi dan lainnya. Kekuasaan merupakan gejala yang selalu ada dalam masyarakat
manapun, sehingga konsep tentang kekuasaan mengandung kerumitan-kerumitan untuk
mendefinisikannya, dan di kalangan para ilmuan terdapat beberapa perbedaan dalam
mendefinisikan kekuasaan dikarenakan adanya hubungan sosial atau politik yang
dilandasi oleh tindakan-tindakan politik yang sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan sekitar dan menunjukkan perubahan-perubahan yang dinamis.
Kekuasaan sering didefinisikan sebagai kemampuan individu atau kelompok
untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain sehingga bisa sesuai dengan tujuan dan
kemauan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Kekuasaan tidaklah memiliki
makna atau definisi tunggal, namun sebaliknya memiliki makna yang begitu luas
(Budiharjo, 2005: 35). Akibat dari defenisi kekuasaan yang begitu luas dan beragan,
dalam tulusan ini akan dikemukakan pemikiran para ahli tentang kekuasaan hkususnya,
8
Max Weber dan Michel Foucault tanpa bermaksud mengabaikan pemikir atau ahli yang
lain.
Max Weber (1864-1920), mengaitkan kekuasaan dengan konsepsinya mengenai
teori tindakan. Bahwa setiap tindakan menurutnya dapat bersifat; pertama, rasional-
tujuan (zweckrational). Kedua, rasional–nilai (wertrational), dan ketiga, bersifat
ekspresi dari adat istiadat yang tertata (Weber, 1980:28; Campbell, 1981:176-178).
Weber mengatakan bahwa kekuasaan merupakan kesempatan bagi individu dalam
berinteraksi sosial untuk mewujudkan keinginannya dalam suatu tindakan komunal
sekalipun harus melawan arus tantangan dan resistensi dengan individu lain yang
terlibat dalam tindakan tersebut (Ritzer dan Goodman, 2009).
Dapat dikatakan bahwa definisi Weber tentang kekuasaan diatas merupakan
yang paling banyak dipakai oleh kalangan sosiolog dan seringkali diposisikan sebagai
norma atau ukuran para penganut mazhab realisme politik. Politik sendiri bagi Weber,
adalah upaya membagi kekuasaan atau upaya mempengaruhi pembagian kekuasaan
yang ada dalam Negara-negara atau di antara kelompok di dalam suatu Negara. Jadi
menurutnya, kekuasaan dan politik adalah dua sisi mata uang dari logam yang sama;
kekuasaan menjadi semacam kemampuan untuk mempengaruhi putusan-putusan politik,
sedangkan politik merupakan upaya membagi porsi berbagai kekuasaan yang tengah
berpengaruh.
Sementara itu, Michel Foucault (1926-1984) juga dikenal sebagai filsuf yang
mengkritik pandangan arus utama tentang kekuasaan. Ia tidak memandang kekuasaan
sebagai suatu milik yang bisa dikuasai dan digunakan oleh kelas tertentu untuk
mendominasi dan menindas kelas yang lain. Bukan pula kemampuan subyektif untuk
mempengaruhi dan mendominasi orang lain seperti pandangan Weber. Kekuasaan tidak
sekadar terkonstentrasi di tangan para penguasa struktur-struktur yang menonjol seperti
negara, perusahaan dan organisasi agama (Foucault, 1997:115).
Menurut Foucault “kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada situasi
strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu”. Dalam hubungan itu, tentu saja ada
pihak yang diatas dan di bawah, di pusat dan di pinggir, di dalam dan di luar. Tetapi ini
tidak berarti kekuasaan terletak di atas, di pusat, dan di dalam. Sebaliknya, kekuasaan
9
menyebar, terpencar, dan hadir di mana-mana seperti jejaring yang menjerat kita semua.
Kekuasaan „merasuki‟ seluruh bidang kehidupan masyarakat modern. Kekuasaan berada
di semua lapisan, kecil dan besar, laki-laki dan perempuan, dalam keluarga, di sekolah,
kampus, dan lain sebaginya.
Selain itu Foucault menentang pendapat bahwa kekuasaan semata-mata bersifat
negatif dan represif (dalam bentuk larangan dan kewajiban) seperti dirumuskan dalam
konsepsi yuridis tentang kekuasaan. Menurutnya, kekuasaan justru beroperasi secara
positif dan produktif.
Pandangan Foucault yang menilai kekuasaan bukanlah negatif melainkan positif
dan produktif menyiratkan bahwa kekuasaan dapat dirawat dan diefektifkan melalui
pengetahuan, yaitu membentuk citra yang baik untuk segala kepentingan pemegang
kekuasaan. Dalam memproduksi citra, tatanan dan normalitas, rezim pengetahuan selalu
menindas pengetahuan yang lain (“minor knowledge”) yang karenanya “pengetahuan
marjinal” tersebut juga sebetulnya memiliki kekuasaan untuk berbalik menindas.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, kekuasaan adalah suatu
tindakan seseorang baik individu maupun kelompok dengan menggunakan berbagai
instrumen dalam menopang kekuasaannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Selain itu, perlu juga dimaknai bahwa kekuasaan selalu berada dalam posisi ambigu,
karena untuk mencapai suatu tujuan kekuasaan dapat saja menimbulkan resistensi atau
bahkan penolakan yang dilakukan oleh kelompok yang dikuasai (Andrain, 1992:130).
Namun kekuasaan dapat juga bersifat positif dan produktif bila diarahkan untuk
pencapaian kesejahteraan dan keadilan bagi semua pihak.
Dalam kaitan dengan fenomena “perpecahan” sinode GMIH dengan munculnya
semacam resistensi dari berberapa pihak yang membentuk sinode GMIH “tandingan”
atau GMIH pembaharuan menunjukan bahwa pihak-pihak tersebut baik GMIH lama
maupun GMIH baru sedang mendemosntrasikan kekuasaan yang mereka miliki.
Pertanyaannya apakah demonstrasi kekuasaan itu bertujuan membawa bahterah GMIH
ke arah yang lebih baik atau malah mengarungi gelombang samudera yang
menghancurkan bahterah tersebut? Itulah ambiguisitas kekuasaan.
10
2.2. Memahami Konflik
Tokoh sosiologi yang cukup terkenal, Emile Durkheim menekankan bahwa
sistem sosial seimbang oleh karena adanya nilai-nilai yang dianut bersama oleh
individu, seperti nilai moral dan agama. Nilai-nilai inilah yang mengikat individu dalam
kelompok masyarakat. Rusaknya nilai-nilai ini berarti rusaknya keseimbangan sosial
dan menciptakan ketidaknyaman bagi individu-individu dalam masyarakat (Durkheim,
1965:121). Walau demikian, pemikiran ini bukan berarti tanpa kritik. Salah satu
pengkritikanya adalah para penganut teori fungsionalis yang melihat masyarakat pada
awalnya disusun oleh individu-individu yang ingin memenuhi kebutuhan biologisnya
secara bersama, namun akhirnya berkembang menjadi kebutuhan-kebutuhan sosial.
Kebutuhan sosial inilah yang membentuk nilai masyarakat. Jadi, kebutuhan biologis
individu-individi berkembang menjadi kebutuhan sosial (kolektif), dan nilai inilah yang
membuat masyarakat tetap seimbang. (Soekanto dan Lestarini, 1988:89-93).
Sekalipun berbeda pada titik berangkatnya, kedua teori di atas memiliki
persamaan bahwa keseimbangan masyarakat terjadi atau terbentuk karena adanya nilai-
nilai yang mengikat. Walaupun demikian, bagi peneliti nilai-nilai perekat keseimbangan
masyarakat bukanlah selalu berfisat statis (tetap) namun berada dalam kondisi yang
penuh dinamika akibat konflik. Konflik dapat saja merusak tatanan nilai yang telah ada,
namun dapat juga mentrasformasi atau memperbaharuinya.
Konflik berasal dari kata confligere, conflictum yang artinya saling benturan dan
mendapat makna sebagai semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian,
ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi-interaksi yang
antagonis (Jary dan Jary, 1991:56). Konflik sebagai relasi-relasi yang antagonis,
berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan, interest-interest eksklusif
yang tidak dapat dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan dan struktur-
struktur nilai yang berbeda, sedangkan interaksi yang antagonis, mencakup tingkah laku
lahiriah yang tampak jelas, mulai dari bentuk-bentuk perlawanan halus, terkontrol,
tersembunyi, tidak langsung sampai pada benturan perlawanan terbuka, kekerasan,
perjuangan tidak terkontrol, benturan laten, pemogokan, hura-hura, gerilya, perang.
11
Dengan demikian, konflik perlu dimaknai sebagai bagian dari dinamika sosial
yang lumrah terjadi di setiap interaksi sosial dalam tatanan pergaulan keseharian baik
individu, atau pun kelompok dalam masyarakat. Konflik dapat berperan sebagai pemicu
proses menuju pada penciptaan keseimbangan sosial bahkan dapat berperan sebagai alat
perekat kehidupan individu, atau kelompok dalam masyarakat apabila dikelola dengan
baik.
Dalam masyarakat konflik dapat saja terjadi antara dua orang atau lebih, antara
gerakan sosial, antara kelompok kepentingan, antara kelompok kelas sosial, antara
kelompok gender, antara organisasi, antara partai politik, antara suku bangsa, maupun
Ras. Dengan demikian, konflik dapat berasal dari persaingan masa lalu maupun
perbedaan individual, jadi konflik adalah ketidak sepahaman ilmiah yang terjadi di
antara individu atau kelompok yang berbeda sikap, kepercayaan, nilai dan kebutuhan
(Mulyanto dkk, dalam Suwondo, 2002:85).
Kontradiksi internal tersebut bersumber di dalam kenyataan bahwa setiap
masyarakat mengenal pembagian kewenangan atau otoritas (authority), secara tidak
merata, suatu hal yang senantiasa mengakibatkan dua macam kategori sosial dalam
setiap masyarakat, yakni mereka yang memiliki otoritas dan mereka yang tidak
memiliki otoritas (Nasikun, 2007). Dalam konsepsi seperti ini, Ralf Dahrendorf
(1959:162; Nasikun, 2007:20) mengungkapkan bahwa konflik dalam masyarakat selalu
muncul dengan anggapan-anggapan dasar sebagai berikut:
a. Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak
pernah berakhir, atau perubahan social merupakan gejala yang melekat di
dalam setiap masyarakat.
b. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau
dengan kata lain konflik adalah merupakan gelaja yang melekat di dalam
setiap masyarakat.
c. Setiap unsur di dalam masyarakat suatu masyarakat memberikan sumbangan
bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan social.
d. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh
sejumlah orang atas sejumlah orang-orang yang lain.
12
Dalam perspektif seperti ini, maka authority yang “dibayangkan” seperti di atas,
mengikuti “anjuran” Max Weber perlu dimaknai sebagai kemungkinan perintah-
perintah seseorang, di dalam posisi atau kedudukan tertentu, diikuti oleh sekelompok
orang-orang tertentu, maka authority bersumber atau melekat di dalam kedudukan orang
yang memilikinya (Dahrendrorf, 1959:166).
Berdasarkan pengertian seperti itu, maka di dalam masyarakat selalu terdapat
konflik antara kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan otoritatif berupa
kepentingan untuk memelihara bahkan mengukuhkan status-quo dari pola hubungan-
hubungan kekuasaan yang ada, dengan kepentingan mereka yang tidak memiliki
kekuasaan otoritatif, berupa kepentingan untuk mengubah atau merombak status-quo
dari pola hubungan-hubungan tersebut. Karena kepentingan-kepentingan yang dimiliki
selalu tidak disadar, maka kepentingan ini dapat disebut sebagai kepentingan-
kepentingan yang bersifat laten (laten intesest).
Berdasarkan hal itu, Dahrendorf (1959:179-189) mengemukakan tiga macam
prasyarat bersifat kondisional yang memungkinkan suatu kelompok semu dapat
terorganisir menjadi kelompok kepentingan, diantanya: pertama, kondisi-kondisi teknis
dari suatu organisasi (technical conditions of organization). Kondisi ini hanya akan
tampak dengan munculnya orang-orang tertentu yang mampu merumuskan dan
mengorganisir laten interests dari sauatu kelompok semu menjadi manifest interests
berupa kebutuhan-kebutuhan yang secara sadar ingin dicapai. Dalam perwujudannya,
manifest interests tersebut dirumuskan ke dalam satu bentuk ideologi atau suatu system
nilai, yang pada gilirannya akan berfungsi sebagai program suatu kelompok
kepentingan. Dalam kaitannya dengan fenomena yang terjadi di GMIH, dapat dikatakan
bahwa dokumen Kairos yang disiapkan oleh Sekretariat Pembaharuan dimaknai sebagai
system nilai.
Kedua, kondisi-kondisi politis suatu organisasi (political conditions of
organization), yang dimaksudkan adalah ada tidaknya kebebasan politik untuk
berorganisasi yang diberikan oleh masyarakat. Artinya sekalipun kondisi-kondisi teknis
suatu organisasi terpenuhi, namun tanpa kebebasan untuk berorganisasi kelompok semu
tetap tidak akan dapat terorganisir sebagai kelompok kepentingan. Dengan demikian,
13
tanpa kebebasan berorganisasi, maka munculnya kelompok kepentingan hanya akan
bersifat potensial. Dalam kaitan dengan yang terjadi di Halmahera khususnya di GMIH,
political conditions of organization memang terbuka lebar, bahkan kondisi ini didukung
dan sengaja dibuat semakin lebar oleh pemerintah daerah maupun beberapa akademisi
yang ada di Universitas Halmahera.
Ketiga, kondisi-kondisi social bagi suatu organisasi (social condition of
organization), yakni adanya system komunikasi yang memungkinkan para anggota dari
suatu kelompok semu berkomunikasi satu sama lain dengan mudah. Dengan demikian,
dalam kaitan dengan situasi dan kondisi kehidupan bergereja di Halmahera, social
condition of organization memang tampak jelas terbuka dan memungkinkan untuk
secara intens setiap anggota bertemu dan berdialog mewujudkan tujuan yang telah
mereka sepakati pada prasyarat technical conditions of organization. Sebab secara
kondisional mereka hidup dan beraktifitas pada tempat yang sama, apalagi secara
political condition juga menunjukan adanya kesamaan kepentingan.
Berdasarkan pendekatan teori konflik yang didasarkan pada pemahaman Weber
dan Dahrendorf di atas, peneliti mencoba menjelaskan bentuk-bentuk konflik dalam
masyarakat. Penjelasan ini merupakan elaborasi lebih lanjut sebagai konsekuensi logis
dari pendekatan konflik tersebut. Untuk itu lebih jelas tentang bentuk konflik dapat
dilihat pada uraian di bawah ini.
2.2.1. Bentuk-Bentuk Konflik
Manusia baik individu atau kelompok pada dasarnya memiliki ciri-ciri, karakter
dan prilaku yang berbeda-beda. Dalam proses perkembangan sosial perbedaan-
perbedaan tersebut telah melahirkan kelas-kelas sosial yang satu sama lain sangat
kontras. Dengan demikian, maka konflik yang terjadi dalam relasi sosial baik individu
maupun kelompok selalu memiliki dua wajah, yakni positif maupun negatif, karenanya,
mengintensifkan konflik kadang memang perlu sehingga perubahan-perubahan yang
diperlukan bisa terjadi (Fisher, 2001:5). Mengintensifkan konflik berarti
mengungkapkan konflik laten ke permukaan dan menjadikannya terbuka (manifest),
sehingga konflik tersebut dapat dikelola. Untuk itu, di bawah ini akan dijelaskan dua
bentuk atau tipe konflik yaitu konflik laten dan manifest.
14
a. Konflik Laten (Tertutup)
Konflik laten merupakan konflik sosial yang memiliki sifat yang cenderung
tertutup, atau dengan kata lain konflik yang tersembunyi. Karena sifatnya tertutup maka
konflik laten ini sulit dideteksi dan diprediksi (Fisher, 2001). Bentuk konflik ini
memperlihatkan pada bagian permukaan nampak terjadi integrasi sosial, namun pada
dasarnya integrasi tersebut bersifat semu. Konflik yang bersifat laten seringkali tidak
akan jelas terlihat siapa lawan dan siapa kawan, sehingga sulit untuk dilakukan
rekonsiliasi, dan kalau pun terjadi rekonsiliasi sifatnya sangat semu pula. Manifestasi
adanya konflik bersifat laten seperti gerakan-gerakan bawah tanah
Anthony Giddens mengemukakan bahwa bentuk konflik ini sering terjadi antara
umat beragama, terutama karena keberadaan konflik ini dari aspek sejarah telah
berlangsung sejak lama, dan terjadi berulangkali di berbagai negara yang kadangkala
muncul ke permukaan dan kadangkala tenggelam, tidak kelihatan. Konflik antara Islam
dan Kristen terjadi terus menerus sejak abad pertengahan di negara-negara Eropa yang
sekarang dikenal dengan Spanyol, Yugoslavia, Bulgaria dan Romania (Giddens,
1989:47)
Menurut Fisher (2001:6), karena sifatnya yang tersembunyi dan sulit untuk
dideteksi dan diprediksi, maka konflik laten ini perlu diangkat ke permukaan sehingga
dapat ditangani secara efektif. Jika suatu konflik ditekan, maka akan muncul masalah-
masalah baru di masa depan. Konflik itu sendiri mungkin saja menjadi bagian solusi
dari suatu masalah.
b. Konflik Manifest (Terbuka)
Konflik manifest atau konflik terbuka merupakan bagian dari berkembangnya
konflik laten. Konflik manifest adalah yang berakar dalam dan sangat nyata serta
memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya
(Fisher, 2001). Karena memiliki sifat yang terbuka penyelesaian konflik ini dapat segera
diupayakan, untuk terciptanya rekonsiliasi, meskipun hasilnya tidak selalu memuaskan.
Rekonsiliasi ini dapat terwujud manakala proses pembicaraan dalam rekonsiliasi dapat
menyetarakan semua unsur yang terlibat dalam konflik.
15
Berdasarkan dimensi timbal balik, konflik seringkali dibedakan dengan istilah
konflik vertikal dan konflik horisontal, dapat disebut sebagai konflik vertikal apabila
dimensi konflik melibatkan pertentangan antara kelompok kelas yang sifatnya vertikal.
Misalnya konflik antara kelompok elite dengan kelompok masyarakat bawah, antara
penguasa dengan rakyat, antara kelompok orang kaya dengan kelompok orang miskin,
antara penguasa dengan kelompok buruh, dan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, konflik yang bernuansa keagamaan dapat bersifat vertikal, misalnya
anata tokoh agama dengan penganutnya. Konflik antar umat beragama dengan
pemerintah dapat juga dikategorikan sebagai konflik yang bersifat vertikal, namun
dalam kaitan ini kelompok umat beragama stutusnya sebagai rakyat (Tholkhah,
2001:39).
Sedangkan konflik horisontal adalah sebuah konflik yang terjadi antara
kelompok kelas yang berdimensi horisontal (hubungan menyamping). Misalnya, konflik
antara kelompok, etnik, konflik antar kelompok pendatang dan penduduk asli, antara
kelompok elite, antar agama (Tholkhah, 2001:40). Tidak mudah mengatasi konflik
horizontal, karena pada dasarnya kesukuan, keagamaan dan kedaerahan merupakan
faktor yang bersifat tetap dan kefaktaan yang terkadang membatasi relasi-relasi individu
maupun sosial (Soedjatmoko, 1984:3-15). Karena itu, dalam pandangan Soedjatmoko,
tentang konsep otonomi dan kebebasan, dia menyatakan bahwa kebudayaan sebagai
otonomi beraspek statis, bertahan terhadap perubahan; sedangkan kebudayaan sebagai
kebebasan beraspek dinamis, mendorong perubahan (Kleden, 1984: xix).
Dalam konteks penelitian ini, asumsi yang peneliti bangun adalah bahwa kedua
bentuk konflik yang telah dijelaskan di atas, terjadi dalam kasus yang di hadapi Geraja
Masehi Injili di Halmahera (GMIH) saat ini. Tindakan tim pembaharuan melakukan
Sidang Sinode Istimewa (SSI) di Tobelo tahun 2013 mungkin merupakan manifestasi
dari konflik laten yang selama ini dipendam tentang penatalayanan gereja dan
pemberdayaan warga jemaat yang tidak atau belum berjalan maksimal. Namun hal ini
baru merupakan asumsi awal.
Bahkan dalam beberapa informasi, konflik yang terjadi pada tingkat elite
organisasi sinode GMIH dan para pendeta telah berdampak (negatif) terhadap pelayanan
16
terhadap jemaat, yakni terjadinya pemisahan jam ibadah dan bahkan konflik ditingkat
jemaat. Diskusi tentang hal ini tampak menarik dilakukan dalam jejaring sosial facebook
dengan nama “Grup Diskusi Halmahera”. Dengan demikian, maka penggunaan teori
konflik dalam penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan pola, model atau bentuk
konflik yang terjadi baik di tingkat elite maupun di tingkat warga jemaat, dan belum
sampai pada bagimana bentuk resolusi konfliknya. Sekalipun nantinya terdapat sebagian
pejelasan tentang hal ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan yang mencul adalah apakah konflik
yang terjadi cukup berdampak pada legitimasi jemaat terhadap kepemimpinan sinode
GMIH saat ini? Ataukah legitimasi jemaat ikut terbagi akibat dualisme kepemimpinan
GMIH?. Khusus tentang topik legitimasi ini, peneliti memilih salah satu jemaat di
Halmahera, yakni jemaat Wari yang menurut informasi telah terbagi dua; sebagian
jemaat memilih untuk tetap mengikuti kepemimpinan sinode yang sudah ada dan
sebagian lagi memilih untuk mengikuti sinode bagu hasil bentukan SSI. Topik ini akan
dibahas pada bab lain.
2.3. Makna Legitimasi
Dalam masyarakat pra-modern dan modern telah terjadi hirarki komando yang
setiap orang perlu mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan bersama, dalam
menegakkan aturan bersama perlu juga ada individu-individu atau lembaga yang diberi
kewenangan serta kekuasaan guna penegakan. Dalam perspektif Nasikun (2007) selalu
terdapat “mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai”. Merupakan ciri khas
negara bahkan organisasi atau lembaga bahwa kekuasaanya memiliki wewenang. Maka
kekuasaan negara organisasi atau lembaga dapat disebut sebagai kekuasaan otoritatif.
Otoritas atau wewenang adalah kekuasaan yang dilembagakan dan berhak menuntut
ketaatan dan berhak memberi perintah. Terhadap wewenang itu timbullah pertanyaan
tentang legitimasi atau keabsahan kekuasaan (Susilo, dkk., 2003:107-128)
Legitimasi terkait erat dengan keyakinan moral yang membenarkan hak untuk
dimanfaatkan dalam menuntut ketaatan dan memberi perintah. Walaupun demikian,
legitimasi bukan diperoleh dari penguasa (dari atas - kebawah), melainkan dari bawah
ke atas, atau dengan kata lain legitimasi berasal dari masyarakat–walau tidak selalu,
17
misalnya dalam teori souverinitas. Sebagai contoh, dimata masyarakat Tibet, Dalai
Lama diberikan legitimasi oleh masyarakat untuk menjadi pemimpin politik mereka
sekaligus sebagai pendeta tertinggi (Andrain, 1992:203; Surbakti, 1992:85-99).
Dengan demikian legitimasi memperlihatkan bahwa berbagai segmen
masyarakat luas yakin bahwa penguasa memiliki hak untuk berkuasa. Penerimaan
keabsahan oleh masyarakat tersebut, juga dapat menghindarkan penguasa dari
mengandalkan kekerasan fisik dalam mempertahankan kekuasaannya. Legitimasi juga
lebih mempermudah bagi para penguasa untuk membuat berbagai kebijakan dalam
situasi yang sulit. Banyak penguasa yang sulit atau cenderung mengelak untuk membuat
kebijakan, karena khawatir terhadap konsekuensi-konsekuensi melakukan kesalahan
yang berakibat pada hilangnya legitimasi masyarakat dan runtuhnya kekuasaannya.
Dengan demikian, antara Kekuasaan (power), Wewenang (authority), dan
Keabsahan (legitimacy), tidak dapat dilepas-pisahkan dalam kaitannya dalam menuntut
ketaatan masyarakat. Disisi lain, karena kekuasaan memiliki konsekuensi-konsekuensi,
untuk ditaati atau tidaknya suatu perintah, maka ketiga konsep tersebut sangat
tergantung pada pengakuan dan keyakinan masyarakat sebagai dasar untuk mentaati
suatu Perintah.
Kajian tentang legitimasi kekuasaan, khususnya mengenai legitimasi negara,4
Weber dianggap sebagai teoritikus legitimasi. Weber menempatkan analisisnya dalam
teori kekuasaan yang disebut dengan dominasi dan legitimasi. Menurut Weber
dominasi adalah upaya untuk memperoleh ketaatan secara sukarela, sebagaimana yang
dikemukakan Max Weber (1974:212), bahwa:
“... all the way from simple habituation to the most purely rational calculation
of advantage. Hence every genuine from of domination implies a minimum of
voluntary complience, that is, an interest(based on ulterior motives or genuine
acceptance) in obedience”.
Konsepnya bahwa kekuasaan dilegitimasi dengan mengacu pada adat istiadat
dan tradisi, atau klaim-klaim kharismatik pemimpin personal, atau pada prosedur-
4 Dalam konteks Gereja yang menganut sistem Presbitarial Sinodal memang ada sedikit perbedaan,
namun dalam prakteknya tidak jauh berbeda. Topik ini akan coba dibahas pada bagian berikutnya.
18
prosedur rasional - legal, dianggap sebagai sumbangan terbesar Weber terhadap
sosiologi politik. Sebagaimana di kemukakan oleh J. Freund, bahwa;
“Tidak ada otoritas yang puas begitu saja atas ketaatan dan kepatuhan yang
hanya muncul berdasarkan common sense, rasa pantas atau penghargaan
belaka; kekuasaan akan selalu berusaha menumbuhkan kepercayaan di
kalangan pengikutnya untuk meyakini legitimasi yang dia miliki, dan ini
ditempuh dengan cara mentransformasikan disiplin-disiplin menjadi sikap
tunduk dan patuh terhadap kebenaran yang dia wakili. Weber menemukan tiga
tipe otoritas yang legitimate” (Turner, 1991:322).
Tiga bentuk legitimasi yang di kemukakan Weber (Budiharjo, 1998:15; Suseno,
1987:5; Ritzer dan Goodman, 2005), adalah:
1. Legitimasi tradisional, yaitu keyakinan dalam suatu masyakarat tradisional,
bahwa pihak yang menurut tradisi lama memegang pemerintahan memang
berhak untuk memerintah, misalnya kaum bangsawan atau keluarga raja
(dinasti) dan oleh karena itu sudah sepatutnya apabila pihak itu ditaati;
2. Legitimasi kharismatik, berdasarkan pada perasaan kagum, hormat, cinta
masyarakat terhadap seseorang individu yang sangat mengesankan sehingga
masyarakat dengan sendirinya bersedia untuk mentaatinya; misalnya
ketaatan masyarakat kepada pemimpin spiritual pada masyarakat primitif,
atau ketaatan masyarakat kepada pemimpin agama; dan
3. Legitimasi Rasional – legal, berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum
rasional yang melandasi kedudukan seseorang pemimpin. Inilah bentuk
legitimasi yang menurut Weber paling ideal pada masyarakat modern.
Berdasarkan ketiga konsep legitimasi di atas, Weber mengemukakan seorang
pemimpin negara dalam menjalankan kekuasaannya harus dilandaskan pada legitimasi
rasional legal, yaitu:
“Satu keyakinan akan legalitas aturan-aturan dan legalitas hak mengeluarkan
perintah bagi pemegang kekuasaan yang didapatkannya berdasarkan aturan
pula; yang lazim disebut otoritas legal” (Turner, 1991:331).
Dengan demikian, maka legitimasi rasional legal perlu dipahami sebagai
keyakinan akan legalitas pola aturan baku dan mereka yang memegang kekuasaan
tersebut sekaligus memiliki kewenangan untuk melaksanakan atauran-aturan bersama.
19
Kewenangan yang dimiliki oleh individu-individu yang dipercayakan memegang
kekuasaan tertentu dalam organisasi bahkan negara memiliki kemampuan “memaksa”
yang untuk mematuhi kepemimpinannya. Ketidak-patuhan terhadap kepemimpinan
legal rasional akan diberi sanksi. Sekalipun demikian, legitimasi yang berasal dari
rakyat tidak serta-merta dapat disahgunakan oleh mereka yang dilegitimasi, karena itu
ketidak-mampuan pimpinan dalam menjalankan aturan dapat berakibat “penarikan”
kembali legitimasi yang telah diberikan, dengan cara resistensi rakyat.
Artinya sebuah aturan dapat dipandang legitimite karena aturan tersebut
dijalankan berdasarkan prosedur-prosedur yang legimite pula. Weber melihat bahwa
sistem pemerintahan yang didasarkan pada legitimasi rasional-legal hanya dapat
berkembang pada masyarakat modern, sehingga Weber mengatakan bahwa, bentuk
legitimasi lain (tradisional maupun kharismatik) adalah bentuk legitimasi yang
menghambat perkembangan sistem hukum rasional dan birokrasi modern (Ritzer dan
Goodman, 2005:38-39).
Namun demikian, legitimasi yang merupakan instrumen penting terhadap
pelaksanaan kekuasaan untuk menuntut ketaatan masyarakat, bagaimanapun bentuknya
tentu akan selalu membawa konsekuensi-konsekuensi. Misalnya saja, dalam kaitan
dengan penelitian ini, legitimasi jemaat memberikan peluang kepada penguasa
(pemimpin GMIH) untuk membuat perubahan-perubahan kebijakan yang menurutnya
adalah menyangkut kebutuhan hidup jemaat atau gerja, namun dalam pandangan
beberapa pihak, pimpinan Sinode GMIH masih kurang mampu dalam membuat
kebijakan-kebijakan pemberdayaan jemaat, malah terkesan “berjalan” sendiri dan
mengabaikan aturan-aturan gereja. Sehingga muncul kekecewaan sebagian pihak dalam
wujud Sidang Sinode Istimewa (SSI) di Tobelo tahun 2013.
Sayangnya, beberapa pihak yang telah “menarik kembali” legitimasi yang telah
mereka berikan dalam Sidang Sinode di Dorume tahun 2012 tidak hanya berupaya
memperbaikan tatanan organisasi Gereja (GMIH) yang sudah ada namun lebih jauh
membentuk semacam GMIH tandingan. Sehingga terkesan ada kepentingan politik lain
yang muncul dan mendasari pelaksanaan SSI di Tobelo tahun 2013 itu. Dalam konteks
ini, maka dapat diformulasikan bahwa konsekuensi pendayagunaan kekuasaan oleh
20
pimpinan sinode GMIH yang kurang optimal telah mengakibatkan resistensi sebagian
warga jemaat.
2.4. Kerangka Pikir Penelitian
Berdasarkan fokus masalah yang telah dikemukakan di bab I, dengan
memperhatikan pendekatan metode dan teori, terutama teori konflik dan teori legitimasi
yang digunakan, maka pemaparan tersebut mengerucut sebagai bentuk kerangka pikir
penelitian, yang akan digunakan sebagai “arahan” dalam melakukan penelitin ini. Untuk
itu, kerangka piker penelitian dapat diformulasikan sebagai berikut.
Gambar 2.1
Kerangka Pikir Penelitian
PERPECAHAN JEMAAT
IKHTUS, WARI-TOBELO
GEREJA MASEHI
INJILI di
HALMAHERA (GMIH)
KONFLIK
KEPENTINGAN ANTAR
ELIT GMIH
PERPECAHAN BPS GMIH
HASIL SIDANG
SINODE XXVII
BPS GMIH HASIL
SIDANG SINODE
ISTIMEWA
LEGITIMASI
JEMAAT
21
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Dalam
penelitian pendekatakan kualitatif tidak terdapat tuntutan baku tentang terpenuhinya
syarat representatifitas sehingga dapat dibuat generalisasi ke arah yang lebih luas,
pendekatan kualitatif menghendaki adanya kelengkapan dan keakuratan data (Suwondo,
2005:189). Dengan alasan seperti inilah pendekatan kualitatif dipilih, artinya penelitian
ini tidak bermaksud untuk melakukan generalisasi.
Dengan pendekatan seperti itu, maka jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian deskriptif dan eksplanatori. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan
secara tepat sifat–sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau
untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala dan gejala lain dalam
masyarakat atau organisasi tertentu (Koentjaraningrat, 1997: 29). Jenis penelitian
deskriptif bertujuan mendiskripsikan pola interaksi jemaat Wari yang telah terpecah
pasca SSI di Tobelo 2013, yakni sebagian jemaat mendukung sinode lama dan sebagian
lagi mendukung sinode baru (Nordholt, 1973: 88), sedangkan penelitian eksplanatif
bertujuan menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi perpecahan GMIH termasuk
juga perpecahan jemaat Ikthus Wari akibat konflik kepentingan pada tingkat Sinode
GMIH (Malo, 1986: 38).
3.2. Unit Amatan dan Unit Analisa
Proses mengumpulkan data atau informasi adalah bagian terpenting dari suatu
penelitian guna mendukung analisis. Karena itu, untuk mendapatkan data atau informasi
yang baik diperlukan penentuan unit amatan dan unit analisisnya. Satuan Analisis (unit
of analisys) ialah aras agregasi dari data yang dikumpulkan untuk dianalisis dalam
rangka menjawab persoalan penelitian. Sedangkan satuan pengamatan (unit of
observation) ialah sesuatu yang dijadikan sumber untuk memperoleh data dalam rangka
menggambarkan atau menjelaskan tentang satuan analisis. Sesuatu yang dapat dijadikan
sumber itu dapat orang, tempat atau organisasi (Ihalauw 2004 : 178).
22
Dengan demikian, maka unit analisis dalam penelitian ini adalah faktor-faktor
yang melatar belakangi perpecahan Sinode GMIH termasuk perpecahan Jemaat Ikthus
Wari dan pola interaksi warga Jemaat Ikthus Wari pasca perpecahan. Selain itu, unit
amatan atau unit observasi dalam penelitian ini adalah pola interaksi Jemaat Wari pasca
SSI, Sinode Pembaharuan atau Sinode GMIH baru dan secara umum Sinode GMIH.
3.3. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber melalui
wawancara dengan pihak-pihak terkait. Dalam hal ini data dikumpulkan melalui
informan kunci yakni tokoh-tokoh Jemaat Wari, Pemuda Jemaat Wari, kepala desa
Wari, para pengurus sinode pembaharuan hasil SSI GMIH di Tobelo 2013 dan pengurus
Sinode GMIH. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari literature,
dokumen mengenai persoalan sampah yang pernah dipublis dalam jurnal dan media
(koran), salah satu yang penting dari data sekunder adalah hasil keputusan SSI di
Tobelo, termasuk tata gereja GMIH.
Teknik pengumpulan data adalah cara-cara praktis yang ditempuh peneliti dalam
mencari dan mengumpulkan data penelitian dalam bentuk pikiran, kata-kata, tindakan,
peristiwa/kasus, tulisan-tulisan, gambar, dan lain-lain, sesuai dengan masalah atau fokus
penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menempuh jalur wawancara mendalam (In
depth interview), pengamatan (obsevation), penelusuran kepustakaan dan atau
dokumentasi. Wawancara mendalam dilakukan kepada informan atau responden kunci
(key informan/responden) sebagai sumber data primer (Moleong, 2006).
a. Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam merupakan suatu cara mengumpulkan data atau informasi
dengan cara langsung bertatap muka dengan informan, dengan maksud mendapatkan
gambaran lengkap tentang topik yang diteliti.
b. Dokumentasi
Selain menggunakan tekhnik wawancara peneliti juga melakukan study – study
kepustakaan seperti, dokumen sejarah GMIH, dan dokumen berupa gambar/foto, dan
lain-lain.
23
c. Pengamatan
Guba dan Lincoln dalam Moleong (2006) mengemukakan bahwa pengamatan
memungkinkan peneliti melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku
dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya, dan juga pengamatan
memungkinkan peneliti mengatasi aspek bias dari proses wawancara.
Ketiga pola strategi ini digunakan untuk mendapatkan data dari informan dalam
skala unit analisa dan unit amatan yang telah ditetapkan di atas.
3.4. Teknik Analisis Data
Proses analisa data dilakukan mengikuti alur penelitian kualitatif, terdapat tiga
tahapan yang digunakan yaitu melalui tiga tahap model alir. Menurut Ridjal (dalam
Bungin, 2003), tiga tahap model alir yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi.
Dalam penelitian, ketiga tahapan tersebut akan berlangsung secara simultan.
Proses analisa hasil penelitian, dilakukan bersama dengan proses pengumpulan
data, diantaranya melalui tiga tahap yaitu reduksi data, merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari teknik triangulasi di atas, dimana ada data-data yang mungkin
terpotong, dan tidak dapat digunakan, dapat juga dikatakan sebagai mengelompokan
data merupakan bagian penting dari deskripsi tentang masalah yang diteliti, kemudian
melakukan analisis, terhadap data yang ditemukan dalam rangka menjawab tujuan
penelitian dan tahap ketiga adalah verifikasi atau simpulan terhadap hasil analisa data.
Ketiga tahap ini merupakan proses yang saling berhubungan, dan tidak berdiri sendiri
(Sugiono, 2006: 276-284).
.
24
BAB IV
BAHTERA GEREJA MESEHI INJILI di HALMAHERA (GMIH)
DI LAUTAN LEPAS
Bab ini merupakan bab yang mendiskripsikan secara umum tentang situasi dan
kondisi GMIH, baik sejarah perjalanan pembentukannya, maupun situasi konflik yang
sedang dihadapi yang mengakibatkan perpecahan serta berimplikasi pada dualisme
kepemimpinan dalam tubuh GMIH sebagai gereja yang utuh. Namun sebelum
melakukan deskripsi tentang situasi dan kondisi GMIH, lebih awal perlu dijelaskan
implikasi paradigma Pasca-Modern bagi Misi Gereja terutama misi gereja GMIH yang
sedang membangun.
4.1. Implikasi Paradigma Pasca-Modern Bagi Misi Gereja
Perkembangan Gereja tentu tidak dapat dilepaskan dari komunitas dan
masyarakat di mana gereja tersebut berada atau hidup. Teologi yang dikembangkan oleh
gereja tentu (dan harus) diupayakan dalam posisi berdialog dengan tatanan masyarakat
yang dilayani gereja. Sekalipun demikian, pada era pasca-modern, teologi yang
dikembangkan oleh gereja-gerja termasuk Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH)
adalah teologi gereja yang tidak dapat dipisahkan dari paradigma pasca-modern,
sehingga paradigma yang mempengaruhi pemahaman teologi Gereja mengenai misi
tentu dipengaruhi juga oleh paradigma pasca-modern. Menurut Thomas Kuhn,
paradigma adalah “An entire constellation of beliefs, values, tecniques and so on shared
by the members or a given community” (Widi, 1997:33).
Berdasarkan pemahaman di atas, paradigma misi gereja pasca modern perlu
dipahami sebagai model interpretasi dan seperangkat nilai-nilai pasca modern yang
mempengaruhi pemahaman Gereja tentang teologi misi dalam melaksanakan tugas
misioner pada sebuah komunitas dengan konteks pergumulannya. Pasca-moden
menggugat watak modernisme lanjut yang monoton, positivistik, rasionalistik dan
teknosentris; modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sejarah yang linear,
kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta
pembakuan secara ketat tata pengetahuan dan sistem produksi; modernisme yang
kehilangan semangat emansipasi dan terperangkap dalam sistem yang tertutup; dan
25
modernisme yang tak lagi peka pada perbedaan dan keunikan (Haryanto, 1994:80).
Tema utama yang sering disuarakan pasca-modern antara lain adalah pluralisme,
heterodoks, eklektisisme, keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi,
dekonstruksi, pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi,
delegitimasi serta demistifikasi (Bertens, 1995:44). Secara singkat perbedaan
karakteristik antara era modern dan pasca-modern dapat dibedakan dalam dua hal :
Modernisme : singular, seragam, tunggal. Sedangkan Post Modernisme : plural,
beraneka ragam, bhinneka. Dengan demikian, pasca-modem mendorong manusia untuk
menghargai dan menghormati keunikan dan pluralitas, terutama pluralitas dalam teologi.
Menyangkut paradigma, menurut David J. Bosch (Bosch, 2000:529-556)5
setidaknya terjadi pergeseran dimensi paradigma era modern ke era pascamodern. Bosch
mengemukakan setidaknya terdapat tujuh pergeseran dimensi paradigma dan
implikasinya bagi Gereja, yaitu: pertama, pergeseran rasionalitas, bahwa ramalan abad
pencerahan tentang agama yang “bermain” pada tataran nilai akan mengalami
kemundurun dan bahkan mati, ternyata tidak terbukti kebenarannya. Buktinya pada awal
abad ke 20 muncul gerakan Pentakosta dengan mengalahkan pesaing-pesaingnya dalam
Protestantisme seperti Lutheran, Reformed dan Anglikan. Di samping itu, kekristenan
juga berkembang dengan subur di dataran Cina dan Afrika.
Walaupun demikian, Bosch tidak menganjurkan untuk meninggalkan
rasionalitas, karena sebagai manusia kita juga perlu hal-hal yang bersifat rasional dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Tetapi rasional tersebut harus diperluas dengan
“dibumbuhi” dimensi spiritual-religius, karena tanpanya maka hidup manusia akan
terasa kosong dan hampa. Perwujudan dari perluasan ini adalah sudah tidak berlakunya
pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Agama dan ilmu pengetahuan perlu
hidup dalam relasi yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya–menyegani Tuhan
adalah permulaan pengetahuan.
Kedua, pergeseran skema subjek objek. Dominasi dan objektifitas atas alam
5 Bosch memberikan uraian yang cukup panjang tentang pergeseran dimensi paradigma ini. Dalam bagian
ini, saya hanya merangkum beberapa hal yang penting guna memberikan semacam „pencerahan‟ untuk
melihat GMIH secara lebih komprehensif, sebab beberapa hal yang dikemukanan Bosch memiliki
kemiripan dengan perjalanan GMIH sampai dengan pembaharuan yang sedang terjadi di tahun 2013-2014
ini. Bagian ini selain disarikan dari D.J.Bosch, juga disarikan dari tulisan Ngarbingan, 2004
26
serta penundukan fisik terhadap pikiran manusia, yang selalu menjadi ciri khas
Pencerahan ternyata memberikan konsekuensi-konsekuensi yang menghancurkan.
Dunia menjadi semakin sederhana, tertutup bahkan unsur misteri dari dunia itu sendiri
menghilang, karena dilihat sebagai objek mesinisasi manusia yang kaku. Oleh karena
kecenderungan kehidupan yang semakin hancur itulah, maka perlu untuk melakukan
reorientasi. Komitmen yang harus dibangun adalah dengan mengakui diri sebagai
bagian dari bumi dan saudara dari seluruh umat manusia. Kerangka berpikir Gereja
seharusnya diarahkan pada cara berpikir secara holistik yang menekankan kebersamaan
antara pikiran dan jasmani, subjek dan objek serta menekankan „simbiosis‟. Karena itu,
misi Gereja harus diarahkan pada penggunaan teknologi yang berorintasi pada nilai-nilai
Kerajaan Allah dalam menentukan hidup manusia.
Ketiga, penemuan kembali dimensi Teologis. Tujuan hidup manusia pada zaman
pencerahan menyebabkan hidup manusia semakin tidak ada artinya–hanya mengejar
kesenangan, terjebak dalam lingkaran sebab-akibat. Kondisi seperti ini nampaknya bisa
bertahan dalam konteks kehidupan dari segelintir orang-orang yang memiliki hak-hak
istimewa dalam abad ke 19 di Eropa dan Amerika Utara, karena mereka mempunyai
jaminan hidup yang layak. Sementara itu lingkaran sebab-akibat seraca teologis
menyebabkan iman yang sifatnya eskatologis semakin tidak dihayati karena tidak ada
perubahan yang tidak dapat diramalkan. Pasca-modern melakukan kritik terhadap
realitas hidup seperti itu, manusia tidak perlu untuk hidup dalam pola yang lama dan
mapan. Segala sesuatu teridentifikasikan dan secara langsung akan memberikan harapan
bagi orang bayak, terutama bagi mereka yang tidak mempunyai hak-hak istimewa.
Kondisi ini secara jelas-jelas menggambarkan pertobatan orang-orang yang selama ini
tenggelam dalam lingkaran sebab-akibat yang kaku. Dalam konteks ini, misi Gereja
menjadi relevan dalam memberikan harapan bagi orang yang kehilangan tujuan hidup.
Keempat, pemikiran tentang kemajuan dari Pencerahan membangkitkan ekspansi
kolonial dan kemudian melahirkan konsep pembangunan. Karena itu, sejak
pencanangan „Pendekatan Komprehensif‟ oleh Konferensi Dewan Misi Intemasional di
Yerusalem (1928), Gereja mau tidak mau harus melakukan berbagai hal yang tidak
sekedar pelayanan, tetapi terlibat dalam upaya rekonstruksi pedesaan, pemecahan
27
masalah-masalah indusri. Dekade 1960 merupakan periode pembangunan yang
dilaksanakan dengan menggebu-gebu baik oleh pemerintah maupun Gereja.
Pembangunan yang dijalankan dianggap bisa dan harus menjawab masalah Dunia
Ketiga.
Kelima, penemuan kembali nilai-nilai dalam fakta kehidupan. Hal mendasar dari
pencerahan adalah pembedaan radikal antara fakta dan nilai. Namun, keseluruhan
bangunan ini mulai runtuh, tembok-tembok yang dibangun oleh positivisme dan
empirisme antara subjek dan objek, fakta dan nilai dalam kenyataannya mulai runtuh.
Dalam realitas hidup orang Kristen pada masa pascamodern adalah sikap yang kritis
diri, sehingga dengan begitu Gereja dapat terbebas dari ketergantungan kepada utopis
yang keliru. Kritis diri ini juga harus disertai dengan memperbaharui dasar-dasar iman
Kristen, dengan begitu Gereja akan semakin sadar terhadap sikap misinya terhadap
orang-orang dan kepercayaan-kepercayaan lain.
Keenam, melampaui optimesme pencerahan. Salah satu unsur yang mengalami
tekanan adalah sikap optimistis masyarakat pencerahan yang menganggap bahwa segala
pergumulan dan permasalahan hidup manusia, pada prinsipnya, dapat dipecahkan.
Mimpi- mimpi pencerahan tentang sebuah dunia yang satu di mana semuanya akan
menikmati kedamaian, keadilan dan kebebasan telah berubah menjadi mimpi buruk
yang penuh konflik, belenggu dan ketidakadilan. D.J Bosch mengemukakan bahwa
seruan yang tidak kritis tentang pembaharuan, perubahan dan pembebasan pada tahun
1970-an dalam konferensi-konferensi Gereja sedunia menampakkan ketidakmampuan
Barat untuk mempercayai bahwa era hegemoninya telah usai. Orang semakin sadar
bahwa wajah dunianya semakin diwarnai oleh kejahatan dalam diri dan struktur
masyarakat.6
Ketujuh, dari individualism menuju kesalingtergantungan yang positif.
Kepercayaan pencerahan terhadap otonomi individu dalam menentukan dan mencari
kebahagiaan hidupnya ternyata membawa dampak negatif. Kemampuan diri sendiri
yang diandalkan, yang tidak melihat dan membutuhkan orang lain di sekelilingnya.
6 Dalam konteks GMIH, pola pembaharuan yang dilakukan oleh kelompok reformasi dan pembaharuan
dapat dikatakan „tidak kritis‟ sebab telah mengakibatkan mimpi buruk yang penuh konflik, belenggu dan
ketidakadilan
28
Karena itu, Gereja perlu hadir dan menciptakan kehidupan yang saling bersama,
kesaling-tergantungan, “simbiosis” merupakan wujud dari keyakinan bahwa manusia
bukanlah satuan dirinya sendiri melainkan bagian dari organisasi. Disinilah letak
manfaat penemuan kembali Gereja sebagai “Tubuh Kristus” dan misi Gereja sebagai
pembangunan suatu komunitas dari mereka yang ikut serta dalam sebuah tujuan
bersama.
Ketujuh dimensi pergeseran paradigma yang dikemukan D. J. Bosch di atas,
diyakini turut memberi warna dalam perjalanan Bahtera GMIH sejak awal
keberadaannya–tahun 1949 sampai dengan terjadinya prahara GMIH. Prahara yang
dimaksudkan adalah munculnya beberapa kelompok jemaat yang menuntut
pembaharuan GMIH, pembaharuan dimaksudkan untuk mengembalikan GMIH pada
“track” yang benar–setidaknya menurut paradigma mereka yang menuntut
pembaharuan, namun tuntutan ini menjadi “tidak kritis” sebab tidak mampu dikelola
secara benar pada tingkat elit dan berimbas pada konflik ditingkat jemaat.
4.2. GMIH Dalam Perjalanan Sejarah Pembentukannya: Keterkaitan GMIH
dengan Sistem Politk Negara dalam Perspektif Presbiterial Sinodal
Salah satu referensi menarik yang mengisahkan perjalanan sejarah penyebaran
Injil di Halmahera adalah “buah tangan” James Haire yang berjudul “Sifat dan
Pergumulan Gereja Halmahera” terbitan BPK Gunung Mulia tahun 1998. Dalam buku
ini, Haire menguraikan latar sejarah yang melandasi pertumbuhan gereja di Halmahera.
Latar sejarah yang dikisahkan berawal dari Papua, ketika terjadi gempa bumi yang
mengguncang kepulauan Papua, khususnya Nieu-Guinea pada tahun 1868.
Akibat dari gempa bumi tersebut, para zendeling–Utrechtsche Zending
Vereeniging (UZV) memperluas wilayah pekabaran Injil yang awalnya di Papua.
Dengan demikian, dapat dikakatan bahwa tanpa adanya gempa bumi di Papua, mungkin
para zendeling tidak akan berpindah ke Ternate dan memperluas wilayah pekabaran injil
sampai ke pulau Halmahera. Selain itu, faktor lain yang turut mempengaruhi pekabaran
Injil di Halmahera adalah kedatangan seorang anggota suku Galela yang bernama Moli
di ke Ternate. Sebelum tiba di Ternate, Moli bekerja untuk C.W. Ottow salah seorang
zendeling Gossner pertama di Neieuw-Guinea, kedatangannya di Ternate akibat
29
zendeling tersebut meninggal dunia (Haire, 1998: 179-181). Dengan demikian, Moli
diduga sebagai orang pertama dari Halmehera yang menjadi Kristen (Ngarbingan,
2004:71).
Upaya ini memberi jalan bagi zendeling lain guna melakukan perluasan
pekabaran Injil di Halmahera, diantaranya: De Bode dan Van Dijken yang tiba di Galela
pada 19 April 1866, dan memulai pekerjaan Injil dengan semboyan: penginjilan lewat
pembangunan negeri. Semboyan ini mengindikasikan bahwa Van Dijken bukan hanya
seorang penginjil namun juga seorang petani ulung. Ia menanam kopi, coklat, panili,
pala dan segala tanaman palawija serta tembakau. Pertanian ini menarik simpati warga
Galela yang masih belum mengenal sistem pertanian secara baik sehingga rumah Van
Dijken menjadi tempat berkumpul banyak orang. Kesempatan ini dipakai Van Dijken
untuk mengajar mereka. Bahkan ketika wabah kolera menyerang, banyak orang yang
disembuhkan Van Dijken, jelaslah bahwa zending melayani warga Halmahera melalui
aspek-aspek kehidupan manusiawi, dan pembabtisan pertama baru dilakukan pada 17
Juli 1874, yakni 5 orang laki-laki dan dua orang perempuan (Haire, 1998).
Pola pekabaran Injil yang dilakukan van Dijken adalah dengan cara
“mengumpulkan massa” kemudian mengajar, setelah itu barulah dibaptis. Kegiatan ini
mula-mula dilakukan didaerah pesisir pantai, sebab UZV tidak mendapatkan izin untuk
tinggal bersama penduduk. Diperkirakan sekitar tahun 1867 van Dijken berpindah ke
tepi danau dan membangun rumah atau boleh dikatakan perkampungan–sebab orang-
orang yang diajar (mendapatkan pengajaran agama Kristen) olehnya ikut tinggal
bersama–perkampungan itu diberi nama Duma yang artinya keheningan (Haire,
1998:187). Kegiatan pekabaran Injil mulai intens dilakukan pada saat itu.
Selanjutnya, dalam rangka perluasan pekabaran Injil, maka Anton Hueting
diutus ke Tobelo awal tahun 1897 atau 23 tahun setelah Van Dijken ditahbiskan
menjadi penginjil di Ternate. Kehadiran Hueting di Tobelo “bertepatan” dengan
terjadinya persoalan politik antara Spanyol dan Portugis yang turut mengadu domba
Sultan Ternate dan Sultan Tidore. Gesekan politik tersebut dalam konteks tertentu
dimanfaatkan oleh Hueting guna mendapatkan simpati masyarakat, dia melayani
30
mereka, memberi “pencerahan” dan berhasil meredam pemberontakan. Sehingga tahun
1898 terjadi gerakan masal masuk Kristen dan dibaptis.
Pola pekabaran Injil yang Hueting berbeda dengan pola yang dilakukan van
Dijken. Hueting dalam prakteknya tidak menganut pertobatan pribadi, namun lebih pada
pertobatan masal–pola ini intinya adalah yang terpenting dibabtis dulu baru dibina atau
dididik; sedangkan van Dijken menganut pola pertobatan pribadi, yakni mendidik dan
mempersiapkan dengan baik warga masyarakat untuk menerima Injil melalui
pendidikan, kesehatan, pertanian dan kehidupan sosial, setelah itu barulah mereka
dibabtis. Babtisan masal yang pernah dilakukan Hueting adalah membaptis masyarakat
desa Wohia–sekarang sering disebut Wosia, dan pada tahun 1898-1910 terjadi
pembabtisan orang-orang suku Tobelo (Ngarbingan, 2004:73).
Apabila dipetakan dalam rentang waktu, maka dapat disimpulkan bahwa pada
masa 1866-1897 yang berperan penting dalam pekabaran Injil pada wilayah ini adalah
van Dijken dengan pola pelayanan “terpusat” atau terkonsentrasi. Artinya dia
“mengumpulkan” masyarakat dan mengajar mereka baik dalam hal pengetahuan tentang
pertanian maupun penguatan iman Kristen; sedangkan pada periode 1886-1915 yang
berperan penting adalah Anton Hueting yang menerapkan metode “misi sosiologis”.
Dalam pandangan James Haire (1998), metode ini dikatakan bertujuan
memasyarakatkan Kekristenan lewat kerja-kerja yang bertujuan pragmatis. Artinya yang
penting masyarakat dibaptis, dijadikan Kristen, dan mendapatkan “surat murid” sebagai
tanda meninggalkan agama nenek moyang mereka (Van den End & Weitjens,
1999:137).
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan kedua metode/cara pendekatan
pekebaran Injil di Halmahera (Galela dan Tobelo), dapat disimpulkan bahwa metode ini
berhasil dalam menanamkan benih Kekristenan yang kemudian tumbuh sebagai sebuah
Gereja yang akhirnya dikenal sebagai Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengalaman van Dijken dan Hueting di
Galela dan Tobelo merupakan titik tolak pembangunan Gereja di Halmahera. Pola misi
sosiologis yang digunakan Hueting terus berlanjut, di mana pada saat Hueting
31
membaptis masyarakat Pitoe (Tobelo) tanggal 3 Juli 1898, terdapat juga orang-orang
Loloda yang berasal dari desa Doroeme (Dorume) yang ikut dibaptis.
James Haire (1998: 205-210) mengemukakan bahwa setelah pembaptisan itu,
mereka (orang-orang Loloda) kembali ke Loloda atas bujukan Hueting, dan Van Baarda
diutus juga dalam proses kembalinya orang Loloda tersebut guna membangun basis
pelayanan di sana. Basis pelayanan yang mulai difungsikan pada tanggal 20 November
1898 menambah “kantong-kantong” pekabaran Injil yang telah ada sebelumnya,
sekalipun demikian, dibangunnya basis pelayanan di Loloda perlu juga ditempatkan
sebagai bagian strategi politik dalam pelayanan, mengingat Loloda pada waktu itu
merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate.
Berdasarkan hal di atas, dapat dikatakan bahwa pola pelayanan yang dilakukan
oleh Hueting lewat misi sosiologisnya adalah memenangkan dan menarik simpatik
warga masyarakat (pribumi) yang diindikasikan masih kurang bersimpatik dengan
tradisi kesultatan Ternate, seperti daerah Ibu dan Jailolo (Haire, 1998:225). Upaya keras
yang dilakukan guna membaptis masyarakat yang dianggap belum Kristen, khususnya
di wilayah Halmahera bagian Barat lewat motode misi sosilogisnya menghasilkan 22
jemaat Kristen di wilayah ini, belum termasuk jemaat-jemaat Kristen di bagian
Halmahera lainnya (Ngarbingan, 2004:76).
Pada tahun 1940 diadakanlah konferensi di Kupa-Kupa, Tobelo. Konferensi
dilakukan akibat munculnya tanda-tanda bahwa Zending hendak menyerahkan usaha
penginjilan untuk diteruskan pribumi karena Jepang hampir pasti menguasai ASEAN -
Halmahera dikuasai Jepang pada Mei 1942 – dan Belanda dikuasai oleh Jerman pada 10
Mei 1940. Keputusan yang disepakati dalam konferensi adalah mengumpulkan dana
setempat guna menutupi defisit anggaran Zending yang disebabkan oleh pemutusan
komunikasi dengan negeri Belanda. Selain itu, konperensi membentuk founds Injil dan
hasil dana dipergunakan untuk membiayai kebutuhan hidup para penginjil setempat
serta cita-cita pengelolahan gereja Halmahera oleh pribumi (Haire, 1998:17).
Pada periode ini, Jepang melancarkan kebijakan yang “menghilangkan” segala
sesuatu yang telah dilakukan atau di hasilkan oleh Belanda. Imbasnya para Zending
bahkan guru Jemaat yang masih melakukan aktivitas dengan Belanda ditawan oleh
32
Jepang. Kebijakan ini mendapatkan reaksi dari jemaat-jemaat yang telah terbentuk, di
satu sisi mereka menolak kebijakan Jepang dalam memperlakukan para zending namun
di sisi lain mereka “meminta‟ bantuan Jepang dan lewat kesultanan Ternate untuk
membicarakan kepentingan Gereja Halmahera. Upaya ini mendapatkan respon dari
Jepang yang memerintahkan mempersiapkan suatu badan persiapan kemandirian gereja
yang keanggotaannya ditentukan atau berdasarkan persetujuan Jepang. Badan ini
akhirnya membentuk Gereja Protestan Halmahera (GPH) yang sebagian besar unsur
gerejanya berasal dari wilayah Halmahera bagian Barat (Tolo, 1968).
Walaupun telah berhasil menciptakan Gereja sendiri (GPH), namun realitasnya
terdapat semacam perbedaan dalam jemaat-jemaat yang telah ada waktu itu. Artinya
selain terbentuknya GPH, terdapat jemaat-jemaat khususnya yang berada di wilayah
Galela dan Tobelo masih mengharapkan “kedatangan” para zending guna menuntun
mereka. Akibatnya adalah muncul keinginan untuk bergabung dengan Gereja Protestan
Maluku (GPM) yang merupakan bentukan zending Belanda. Keinginan disampaikan
lewat delegasi jemaat Galela dan Tobelo yang menemui Sultan Ternate dan Mentsjibu
yang meminta agar Pdt. Kriekhoff (pendeta GPM) di Ternate melayani sakramen di
Halmahera khususnya Tobelo dan Galela, dan permintaan ini disetujui. Sebenarnya
keinginan ini sangat beralasan karena kedekatan Tobelo dan Galela kepada orang
Ambon (GPM) karena banyaknya penginjil dan guru-guru jemaat adalah
orang Ambon (Tolo, 1968:1).
James Haire (1998:33) menguraikan bahwa pada tahun 1945 para zending mulai
kembali ke Indonesia. K. A. Bot dan van den Bent adalah zending yang tiba di Tobelo
tahun 1945 dan mendirikan kantor di Daoe-Morotai, namun pada tahun 1946 mereka
kembali ke Tobelo. Kembalinya para zending ini disambut dengan baik oleh penduduk
Halmahera. Hal ini mengindikasikan bahwa jemaat-jemaat di Halmahera sebenarnya
masih terus mengharapkan kedatangan kembali para zending tersebut, ini juga
memperkuat dua wacana yang berkembang saat itu, yakni, di satu sisi terdapat jemaat
yang menghendaki kemandirian gereja yang benar-benar mandiri di bumi Halmahera,
dan di sisi lain masih juga terdapat jemaat yang menghendaki dipimpin oleh para
33
zending. Walaupun demikian, kedatangan para zending mengemban sebuah misi yakni
ingin bekerjasama dengan para pemimpin jemaat di Halmahera (Junga, 1978:20).
Mencermati uraian di atas, dapat dikatakan bahwa ada semacam ketidak-
sepakatan pada zending terhadap pendirian Gereja Protestan Halmahera (GPH). O. R.
Djawa yang menulis “Sedjarah Singkat Lahirnya G.M.I. di H. dan Usaha-Usahanya
Selama Dua Puluh Tahun”, mengatakan bahwa:
“Tampaknya sudah saatnya menggunakan kata “Gereja” lagi, ketimbang
“zending”, bukan GPH sudah ada sejak usaha-usaha kemandirian yang
dilakukan oleh Tolo di Jailolo pada tahun 1942 atau Rapat Umum di
Tongotesungi pada tahun 1943, tetapi sejak Juni 1946, ketika zendeling
memindahkan kantor administrasinya ke Tobelo dengan papan di depannya
bertuliskan “Kantor Bakal GPH” (Djawa 1969:2).
Maksudnya adalah bahwa GPH yang telah dibentuk atas dasar persetujuan
Jepang pada tahun 1942 masih dipertanyakan kesahihannya sebagai sebuah Gereja di
Halmahera pada waktu itu.
Dengan demikian, untuk merealisasikan kebutuhan dan keinginan para zending
dalam bekerjasama dengan pimpinan jemaat di Halmahera, maka para zending
mengambil tiga langkah (Haire, 1998:50), yakni: pertama, mereka berusaha menata
kembali pekerjaan rutin Gereja7; kedua, menahbiskan para guru jemaat/sekolah yang
senior pada Agustus 1946, kelima orang tersebut adalah, H.B. Hamijs, E. Polnaija, J.F.
Noija, J. Djawa dan P.J. Joija; dan ketiga adalah melakukan konferensi di Tobelo dari
11-18 Januari 1947, yang anggotanya terbatas pada kelima guru jemaat yang telah di
tahbiskan di atas.
Dapat dipahami bahwa usaha kemandirian dalam wujud GPH memang
mendapatkan banyak tantangan, baik secara internal–adanya perbedaan pada tingkat
jemaat maupun secara eksternal dari akibat kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II,
saat tentara Sekutu berhasil meruntuhkan kekuatan Jepang dan membangun basis
pertahanannya di Morotai–itulah sebabnya K.A. Bot dan van den Bent ketika kembali
ke Halmahera memilih Daoe-Morotai sebagai tempat mendirikan kantor sebelum
7 Langkah pertama tampak jelas dari apa yang diuraikan O.R. Djawa di atas. Dan bagi saya (peneliti), ada
semacam indikasi ketidaksepakatan dari para zending untuk menerima kenyataan bahwa GPH telah
dibentuk dan dipimpin oleh orang-orang pribumi sendiri. Seolah-olah Gereja tanpa campur tangan
zending bukanlah gereja.
34
berpindah ke Tobelo. Kekalahan Jepang memberikan atau membuka kembali jalan
zending untuk memimpin jemaat di Halmahera dan “menganulir” GPH dengan
bentukan badan (gereja) baru pada tanggal 6 Juni 1949 dengan nama Gereja Masehi
Injili di Halmahera (GMIH).
Sekalipun demikian, upaya kerjasama zending dan para pemimpin jemaat di
Halmahera (termasuk para pemimpin GPH) tidak bisa seluruhnya dipandang negatif.
Kerjasama tersebut telah dengan sadar bertujuan mengembangkan Sumber Daya
Manusia (SDM) Halmahera guna dipersiapkan sebagai pemimpin Gereja mandiri.
Upaya itu ditunjukan dengan mengirimkan enam orang guru jemaat atau guru sekolah
untuk melanjutkan belajarnya di Sekolah Theologia untuk Indonesia Timur tahun 1947
di SoE, Timor. Keenam orang tersebut adalah: 1) C Ray-Ray dari Tobelo, 2) F. Nanere
dari Kao, 3) B. Mailoa dari Galela, 4) D. Djumaty dari Jailolo/Sahu, 5) R. Salakparang
dari Buli, dan 6) H. Samange dari Loloda (Ngarbingan, 2004:88). Harapannya dengan
pengembangan sumber daya manusia ini, gereja di Halmahera dapat berdiri secara
mandiri terlepas dari campur tangan orang Ambon.
Pembentukan Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) diawali dengan
diadakannya peretemuan pada tahun 1948 yang dalam arsip GMIH disebut Proto-Sinode
kedua–Proto-Sinode pertama diakui terjadi pada tahun 1940 di Kupa-Kupa, Tobelo.
Keputusan Proto-Sinode kedua adalah dibentuknya sebuah badan persiapan Sinode
Gereja, badan ini dipercayakan menyusun Anggaran Dasar atau Tata Gereja, masa kerja
badan persiapan ini ditetapkan antara bulan Juni 1948-Juni 1949.
Hasil kerja badan persiapan Sinode Gereja di sampaikan dalam Sidang Pertama
tanggal 4-14 Juni 1949 di Tobelo. Sidang pertama ini kemudian ditetapkan sebagai
Sidang Sinode Pertama dalam Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH). Dalam
sidang ini disepakati Anggaran Dasar atau Tata Gereja yang merupakan hasil kerja
badan persiapan, yang terdiri dari sembilan pasal, yang dalam pandangan James Haire
(1998:59) disebut sebagai “dokumen yang agak tradisional”, diantaranta: : 1) Geredja;
2) Djoema'at; 3) Djawatan; 4) Pelajanan Al-Kalam dan Tanda-Tanda Ezrar (Sakramen);
5) Nikah; 6) Oemat Kristen di dalam Persekoetoean adat dan masjarakat Baroe; 7)
Keoeangan; 8) Perhoeboengan dengan Geredja lain; 9) Permohonan peratoeran Gereja.
35
Selain menerima Anggaran Dasar atau Tata Gereja tersebut, dalam sidang ini
juga terjadi perdebatan soal nama Gereja yang baru akan dibentuk itu. Hasil perdebatan
mengerucut pada kesepakatan nama gereja, akhirnya tanggal 6 Juni 1949 dilakukan
ibadah pertama dan secara resmi Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) ditetapkan
sebagai nama yang disepakati dan tanggal 6 Juni ditetapkan sebagai hari kelahirannya.
Ketua sinode yang pertama adalah Pdt. A. Ploeger dari VNZ. Keenam anggota lainnya
dari Badan Pengurus ini terdiri dari tiga orang Halmahera (J. Junga, sebagai Sekretaris;
Pdt. J. Djawa dan R.B. Djago) serta tiga orang Ambon (Pdt. E. Polnaija, Wakil Ketua;
S.B. Lesnussa, Bendahara: dan J. Noija).8
Susunan atau struktur organisai Sinode GMIH pertama (1949-1960) adalah: a)
Badan Pengurus Sinode, yang susunannya terdiri dari: seorang Ketua, seorang Wakil
Ketua, seorang Sekretaris, seorang Bendahara, dan Anggota-Anggota; b) Badan
Pengurus Klasis (BPK) terdiri dari: Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan
Anggota; c) Badan Ring terdiri dari: Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara dan
Anggota; dan d) Majelis Gereja yang teridiri dari: Guru Injil (guru Jemaat), Penatua-
Penatua dan Syamas. Jumlah Majelis Gereja disesuaikan dengan kebutuhan.
Dalam perkembangnnya ketika memasuki masa kepemimpinan Sinode GMIH
kedua (1960-1967), Badan Ring kemudian dihapus demi efesiensi dan kelancaran
penyaluran keuangan ke Klasis. Namun pada level Badan Pekerja Sinode (BPS), posisi
sekretaris ditambahkan satu orang (Sekretaris II), alasannya adalah demi kelancaran
organisasi–membantu sekretaris mengurus administrasi gereja. Selain itu, ada
penambahan struktur dengan posisi: a) Kepala Perkebunan, b) Ketua Yayasan
Kesehatan, c) Ketua Sinar Pemuda Masehi Halmahera (SPMH), d) Pimpinan Sekolah
Pendidikan Guru Kristen, f) Hubungan Masyarakat, dan g) Ketua Kaum Wanita Kristen
(KWK). Beberapa organisasi seperti SPMH, Pendidikan/Sekolah Guru Kristen dan
KWK sebenarnya berdiri sendiri sebab memiliki Anggaran Dasar sendiri, namun gereja
mengakomodir mereka guna membantu pelayanan gereja.
Dengan demikian, struktur organisasi yang ditetapkan dan diputuskan dalam
Sidang Sinode ke-XV GMIH yang berlangsung pada bulan September 1971 untuk
8 Hasil wawancara dengan Pdt. Anton Piga (Ketua Sinode GMIH), tanggal 10 Januari 2014; Pdt Leonard
Duan (Mantan Ketua Sinode GMIH), tanggal 12 Januari 2014
36
periode kepemimpinan Sinode GMIH 1971-1975 adalah: a) Ketua Umum dan dibantu
dua orang Ketua–jadi terdapat tiga Ketua, Wakil Ketua dihapus, b) Sekretaris Umum
yang dibantu 3 Sekretaris Departemen, yakni: departemen Koinonia, departemen
Diakoni, dan departemen Marturia, c) Bendahara, d) Kepala Perkebunan, e) Ketua
Yayasan Kesehatan, dan f) Ketua Yayasan Pendidikan.
Dalam fase kepemimpinan Sinode ini (1971-1975) pola persidangan Sinode
GMIH tidak mengalami perubahan dengan periode sebelumnya, yakni dua kali sidang.
Periode ini BPS melaksanakan tugasnya selama 4 tahun, dan melaksanakan dua kali
persidangan, yakni: Sidang Sinode Antara yang dilakukan pada tahun 1973 dan Sidang
Sinode yang dilakukan tahun 1975.
Mencermati penjelasan James Haire (1998: 85-93) ditemukan dua tema besar
yang menjadi pergumulan GMIH dalam rentang waktu 1969-1979, yakni: pertama,
masalah kesukuan yang berdampak pada “bongkar-pasang” struktur organisasi GMIH
guna terus mengakomodir kepentingan-kepentingan orang Halmahera, dan kedua tema
pembangunan yang perlu digumuli oleh gereja. Pergumulan pembangunan oleh gereja
tampak dalam setiap tema yang diusung dalam Sidang Sinode GMIH, yakni: tahun
1969, "Membangun Di Dalam Kristus", sub temanya "Wujudkanlah PELITA"; tahun
1971, "Diutus ke Dalam Dunia", sub temanya "Partisipasi Gereja di Tengah-Tengah
Negara Yang Sedang Membangun"; tahun 1974, "Yesus Kristus Memberikan
Pertumbuhan", sub temanya "Peranan Gereja dalam Pembangunan Maluku Utara";
tahun 1975, "Yesus Kristus Membebaskan dan Mempersatukan", sub temanya
"Meningkatkan Pendidikan untuk Membangun Gereja dan Negara".
Pada periode selanjutnya pergumulan GMIH masih belum mengalami
perubahan, yakni menyangkut struktur gereja dan kesukuan, termasuk pergumulan
teologis tentang pembangunan, seperti tema yang diusung dalam Sidang Sinode tahun
1987, yakni: “Akulah Jalan Kebenaran dan Hidup”, Sub Tema “Melalui Jalan yang
ditunjukan Yesus Kita Tingkatkan Kesaksian dan Pelayanan Gereja Dalam
Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila”. Demikian pula dengan tema
Sidang Sinode sebelumnya pada tahun 1983 di Tobelo, yakni: “Yesus Kristus
Kehidupan Dunia”, Sub Tema “Pembaharuan Kristus Harus Merupakan Dampak Dalam
37
Meningkatkan Peran Serta dan Pergumulan Gereja di Tengah Bangsa Yang Sedang
Membangun”.
Tem-tema Sidang Sinode yang selalu berkaitan dengan pergumulan teologis
akan pembangunan bangsa dan negara termasuk di dalamnya masyarakat dan jemaat
GMIH di Halmahera, bagi peneliti mengkonformasikan adanya keinginan gereja untuk
ikut membangun bangsa dan negara. Implikasi dari tema seperti ini tentu sangat banyak,
salah satunya membuka ruang bagi para pelayan (pendeta) untuk ikut memikirkan tidak
saja pelayanan gereja (ibadah) namun juga ekonomi masyarakat (jemaat), dan
memikirkan atau membicarakan ekonomi tentu memiliki keterkaitan erat dengan
pengambilan kebijakan politik di Ternate dan Halmahera.
Pergulatan teologis (gereja) dan pembangunan yang tampak dalam setiap tema
Sidang Sinode, berimplikasi pada keinginan gereja termasuk Pendeta untuk ikut
memikirkan tentang dunia ekonomi, sosial, bahkan politik dalam rangka mewujudkan
kehidupan gereja dan jemaatnya yang lebih baik. Konsepsi ini berkonsekuensi logis bagi
munculnya keinginan para pendeta untuk terjun dalam dunia politik, bahkan politik
praktis sebagai anggota partai politik maupun anggota legislatif.
Hal menarik lainnya adalah kembali dirubahnya Tata Gereja dan Tata Rumah
Tangga GMIH dalam Sidang Sinode ke-XXIII tanggal 30 Agustus – 6 September 1992
di Doruba, Morotai. Sidang ini mengambil tema: “Roh Kudus Memberi Kuasa Menjadi
Saksi”, dengan sub tema “Bersama-sama Memantapkan Kemandirian Theologia, Daya
dan Dana Selaku Tanda Pembaharuan Umat Yang Taat Melaksanakan Persekutuan dan
Pelayanan Gereja Dalam Pembangunan Nasional”. Perubahan Tata Gereja ini
didasarkan pada kebutuhan serta perkembangan gereja yang beriringan dengan
perkembangan masyarakat. Dalam Sidang Sinode ini pula, asas Presbiterial Sinodal
(berjalan bersama tua-tua) ditetapkan sebagai dasar gerak GMIH dalam pelayanannya.
Dalam struktur organisasinya, terjadi perubahan dari Badan Pekerja Sinode
(BPS) GMIH menjadi Majelis Pekerja Sinode (MPS) GMIH. Selain itu, juga terjadi
perubahan yakni dihapusnya Majelis Sinode–yang merupakan wakil dari gereja sebagai
bentuk yang mewakili asas presbiterial sinodal. Sehingga dalam proses pengambilan
keputusan MPS langsung berada di bawah Sidang Sinode. Kelihatannya memang terjadi
38
kontradiksi dalam keputusan Sidang Sinode tersebut, di satu sisi ditetapkan asas
presbiterial sinodal sebagai dasar gereka GMIH, namun di sisi lain Majelis Sinode yang
merupakan representasi jemaat-jemaat sebagai bagian penting asas presbiterial sidonal
dihapus. Sehingga asas presbiterial sinodal menjadi kurang bermakna, namun keputusan
itu tetap dijalankan dan tidak ada protes yang berujung pada pembaharuan.
Dihapusnya Majelis Sinode yang merupakan “lembaga” perwakilan dari gereja-
gereja (terdiri dari penatua-penatua) didasarkan pada keinginan optimalisasi fungsi
pelayanan dengan memberikan kewenangan besar pada MPS untuk mengambil
keputusan-keputusan penting dan mendesak, sebab tidak mungkin mengumpulkan
Majelis Sinode secara cepat mengingat wilayah pelayanan yang semakin luas atau
semakin besar. Namun tindakan ini juga telah membuat GMIH kehilangan aspek
Presbyterial Sinodalnya, dimana keputusan ini mengerucutkan struktur organisasi dan
sistem dilihat sebagai sesuatu yang hirarkis. Aspek pertimbangan bersama dan
keputusan bersama hilang digantikan dengan pertimbangan dan keputusan dari
pemegang mandat tertinggi.
Walaupun demikian, nampaknya keputusan tentang dihapusnya Majelis Sinode
memiliki keterhubungan dangan tema-tema Sidang Sinode GMIH sebelumnya yang
berupaya mempertautkan Gereja (GMIH) dengan perkembangan ekonomi, sosial,
budaya, bahkan politik pada lingkup bernegara, yang oleh pemerintah Orde Baru
ditempatkan dalam satu komando tertinggi guna menyukseskan pembangunan dalam
segala bidang tersebut. Dengan demikian, keputusan Sidang Sinode GMIH tentang
dimasukannya asas presbiterial sinodal dalam Tata Gereja untuk pertama kalinya perlu
dibaca dalam perspektif seperti itu, apalagi presbiterial sinodal gereja NHK di Belanda
memang memberi tempat yang lebih khusus bagi Sinode atau kewenangan berada
ditangan Sinode. Sehingga gereja dan negara bersatu dalam hal pembangunan.
Konsepsi ini membuka ruang bagi munculnya elit-elit gereja (pendeta) untuk
terjun dalam dunia politik di Halmahera. Realitas inilah yang terjadi sampai dengan saat
ini, yakni, para pendeta ikut langsung mengambil bagian dalam perhelatan demokrasi
politik di bumi Maluku Utara, baik sebagai calon dan anggota legislatif, maupun ikut
berkecimpung dalam proses-proses pemekaran daerah di Halmahera. Dengan demikian,
39
diguga kuat bahwa asas presbiterial sinodal yang dicanangkan pada Sidang Sinode ke-
XXIII tanggal 30 Agustus – 6 September 1992 di Doruba, Morotai adalah mengikuti
versi Gereja NHK di Belanda yang kemudian dipertautkan dengan kebijakan Orde Baru
dimana diperlukan sistem komando dalam proses pembangunan.
Keputusan ini seolah menjadi “titik api” pertama yang terus menyalah walau
tidak langsung membakar. Pergumulan teologis Gereja kelihatannya mengalami sedikit
pergeseran dalam menggumuli asas presbitarial sinodal ini. Hal ini tampak dalam tema
yang diusung pada Sidang Sinode berikutnya di Balisoan, Sahu tanggal 7-14 September
1997 (Sidang Sinode ke-XXIV, periode 1997-2002), yakni: “Ya Roh Kudus Baharuilah
Dan Persatukanlah Kami”, dengan sub tema “Peningkatan Dedikasi dan Loyalitas
Pelayan dan Warga Gereja Berdasarkan Takut akan Tuhan Dalam Rangka
Melaksanakan Tri Panggilan Gereja dan Berperan Aktif
Dalam Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan Pancasila Memasuki Abad XXI”.
Dalam sidang ini, selain menggumuli dan memperdebatkan asas presbitarial
sidonal, juga diwarnai dengan pergumulan gereja akan konflik horizontal yang terjadi
diseluruh wilayah pelayanan GMIH. Program kerja GMIH yang telah ditetapkan dalam
periode sebelumnya diyakini kurang efektif terlaksana akibat konflik tersebut,
akumulasi permasalahan ini menambah beban tersendiri bagi periode kepemimpinan ini.
Diakui pula bahwa MPS GMIH yang terpilih pada periode ini tidak dapat menjalankan
fungsi pelayanannya dengan baik akibat konflik yang melanda Halmahera, bahkan para
pelayan (pendeta) ikut mengambil bagian atau terjun ke dunia politik mengakibatkan
masalah pelayanan menjadi terbengkalai. Akibatnya adalah akumulasi kekecewaan atas
masalah baik presbiterial sinodal maupun ketidakberdayaan struktur organisasi GMIH
menggerakkan pelayanannya di jemaat-jemaat. Kekecewaan ini diduga “ditumpahkan”
pada persidangan Sinode berikutnya di jemaat Ikhtus Wari, Tobelo.
4.3. Kondisi dan Situasi GMIH Pasca Konflik Horizontal: Pergulatan Asas
Presbiterial Sinodal dan Kepentingan Pendeta Berpolitik Praktis
Sidang Sinode GMIH ke-XXV (periode 2002-2007) di Jemaat Ikhthus Wari,
Tobelo merupakan sidang yang bertujuan membawa kembali bahtera GMIH menjadi
gereja yang utuh. Sidang ini masih menggumuli situasi konflik yang belum benar-benar
40
pulih di wilayah pelayanan GMIH. Hasil wawancara dengan bapak Anton Piga, tanggal
11 Januari 2014, dikatakan bahwa
“sedianya Sidang Sinode ini dilaksanakan di Ternate, namun akibat situasi
konflik yang belum pulih akhirnya dilakukan di jemaat Ikthus Wari. Dalam
persidangan itu, banyak perdebatan tentang boleh tidaknya pendeta berpolitik
praktis, selain juga menggumuli tentang situasi konflik yang masih belum
benar-benar berakhir”.
Akibat konflik, maka keutuhan GMIH menjadi bagian penting yang digumuli
dalam persidangan Sinode tersebut. Dengan demikian, struktur organisasi dengan asas
presbiterial sinodal sebagai dasar gerak penatalayanan GMIH kembali perlu menjadi
perhatian bersama peserta Sidang, guna menemukan format yang tepat dalam melayani
dan memperbaharui tatanan masyarakat Kristen di Maluku Utara yang sedang “sakit”
akibat konflik. Permasalahannya adalah asas presbiteril sinodal seperti apa yang
dikehendaki sebagai dasar gerak GMIH? Mengingat model prebiterial sinodal yang
telah ditetapkan masih diindikasikan sebagai adopsi asas gereja NHK di Belanda.9
Pergumulan gereja (GMIH) tantang persatuan yang sudah sejak lama digumuli
(sejak sidang sinode sebelumnya) kembali “diangkat” sebagai tema dalam sidang
Sinode ke-XXV yakni “GMIH Yang Utuh”. Masalah persatuan dan keutuhan menjadi
pergumulan utama, sebab memasuki melenium ketiga, terjadi berbagai gejolak sosial
yang terjadi baik di Indonesia secara umum maupun di Maluku Utara secara khusus, apa
lagi kondisi saat itu diperhadapkan dengan konflik horizontal di bumi Maluku Utara
yang sedang dan dalam proses perdamaian. Dengan demikian, diperlukan pendasaran
Iman Kristiani bagi warga jemaat (termasuk gereja) yang sedang dilanda konflik.
Dalam sidang ini, menurut catatan Julianus Mojau (2014:14-15) beliau
mengusulkan agar sidang “membentuk bidang Ajaran dan Teologi mengingat sudah
saatnya GMIH memiliki kesadaran iman kristiani secara kontekstual”. Usulan tersebut
diterima sidang, dan pada tahun 2003 (setahun setelah sidang sinode), dalam rangka hari
ulang tahun GMIH ke-54 bidang Ajaran dan Teologi di bawah koordinasi Ketua I, Pdt.
Sartje Papoeling, M.Th., menyelenggarakan Seminar dan Lokakarya tentang
9 Topik ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian selanjutnya.
41
Calvinisme.10
Mencermati “catatan” Mojau (2014) dapat diketahui bahwa aktivitas atau
program kerja yang dilakukan oleh bidang Ajaran dan Teologi ini memberi dasar pijak
bagi keinginan mengembalikan GMIH pada azas presbiterial sinodal yang sebenarnya,
yang dikemudian hari dijadikan alasan kritis oleh Sekretariat Pembaharuan sebagai
landasan Sidang Sinode Istimewa GMIH.11
Julianus Mojau dalam bukunya “Sejarah Pembaharuan GMIH” (2014) mencatat
setidaknya terdapat 5 (lima) hal penting yang sudah “diingatkan” dan dilakukan oleh
kepemimpinan MPS GMIH periode 2002-2007 sebagai peletak dasar bagi tumbuhnya
GMIH yang utuh dengan asas presbiterial sinodal12
. Ketidak-mampuan dilakukannya
kelima hal tersebut oleh kepemimpinan Badan Pekerja Harian Sinode selanjutnya
(2007-2012 dan 2012-sekarang), dibawa kepemimpinan Pdt. Anton Poga, diduga
berimplikasi pada mencuatnya keinginan dari beberapa tokoh GMIH untuk melakukan
pembaharuan GMIH yang berujung pada konflik dan perpecahan.
Kelima hal tersebut secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut13
: pertama,
Pendeta dan Politik Praktis–politik kekuasaan. Masalah ini sebenarnya telah
diwacanakan sebelum sidang Sinode ke-25 di Jemaat Ikthus Wari Tobelo, agar pendeta
GMIH seharusnya fokus pada panggilan pelayanannya sebagai gembala di dalam
jemaat. Menurut catatan persidangan, dalam sidang tersebut Gubernur Maluku Utara
(care-taker), Drs. S.H. Sarundajang, M.PA, dalam sambutannya sudah mengingatkan
agar pendeta-pendeta GMIH tidak terlibat dalam politik praktis. Namun himbauan ini
tampaknya tidak disambut dengan baik, malah menimbulkan debat yang keras antara
beberapa warga jemaat (angggota sidang) dengan beberapa pendeta.
Bahkan perdebatan itu malah mengerucut pada salah satu Keputusan Sidang
Sinode ke-26 sebagai “payung hukum” pendeta berpolitik. Keputusan Sidang tersebut
kemudian ditindak-lanjuti oleh MPS GMIH lewat Surat Keputusan MPS GMIH Nomor:
10
Bidang Ajaran dan Teologi pada saat pembentukannya dipimpin atau diketuai oleh Pdt. Anton Piga,
S.PAK., M.Si. namun karena rangkap jabatan sebagai Kepala Biro Personalia dan Ketua Yayasan
Perguruan Tinggi Kristen GMIH (YPTK GMIH), maka pada bulan Mei 2005 Julianus Mojau ditunjuk
menggantikan Anton Piga. 11
Interpretasi peneliti terhadap program kerja bidang ini telah membuka ruang bagi tuntutan yang lebih
besar pasca sidang sonode tahun 2012 di Dorume yang berujung pada Sidang Sinode Istimewa. 12
Mengenai asas ini akan diuraikan dibagian selanjutnya. 13
Uraian lebih lengkap dapat dilihat dalam Julianus Mojau, Buku I “Sejarah Pembaharuan GMIH, Tobelo
2014 hal. 12-31
42
370/Kpts/A-2/2003 tentang Peraturan Keikutsertaan Pelayan Khusus GMIH Dalam
Bidang Politik, dan pada tahun 2008 (lima tahun kemudian) keputusan tersebut direvisi
oleh BPHS GMIH dengan Surat Keputusan Nomor: 597/Kpts/XXVI/A-2/2008 tentang
Peraturan Keikutsertaan Pelayan Khusus GMIH Dalam Proses KPU, Pemilu Legislatif,
Pilkada Privinsi dan Kabupaten/Kota.
Akibat disepakatinya aturan tersebut, maka pada tahun 2004 dalam perhelatan
demokrasi politik (pemilu legislatif), sebanyak 37 pendeta GMIH mencalonkan diri
sebagai anggota legislatif namun hanya sebagian yang terpilih (Djurubasa, 2013). Selain
itu, dalam pemilu legislatif tahun 2009 juga terdapat pelayan gereja (pendeta) yang ikut
mengambil bagian praktek politik praktis tersebut. Pertanyaannya jika hal ini telah
merupakan Keputusan Sidang Sinode GMIH, yang konstitusional, mengapa pasca
Sidang Sinode tahun 2012 di Dorume masalah keikutsetaan pendeta dalam politik
dijadikan alasan mendasar yang berujung pada munculnya SSI?.
Kedua, membentuk bidang Ajaran dan Teologi. Usulan pembentukan bidang ini
datang dari Julianus Mojau yang kemudian di terima oleh sidang, dan menjadi salah satu
keputusan Sidang Sinode XXV tahun 2002. Bidang ini pada awal pembentukannya di
pimpin oleh Pdt. Anton Piga, S.PAK., namun karena kesibukan rangkap jabatan, maka
pada bulan Mei 2005 Julianus Mojau ditunjuk untuk menggantikan Anton Piga.
Beberapa kegiatan yang dilakukan bidang ini adalah: a). Semiloka tentang Calvinisme,
pada tanggal 4-5 Juni 2003 menghadirkan Pdt. Dr. A.A. Yewangoe dengan materi
ceramah “Beberapa Catatan untuk Diskusi dalam Rangka Mencari Ajaran dan Teologi
GMIH”, dan Pdt. Dr. J.M. Saruan dengan materi “Eklesiologi Calvinis dan
Pengembangannya”; b). Satu program penelitian lapangan tentang Ajaran dan Teologi
yang dibiayai oleh Kerkinactie-Belanda. Penelitian ini diketuai oleh Julianus Mojau
yang beranggotakan 9 (sembilan) orang (delapan pendeta dan satu vikaris). Penelitian
ini menghasilkan “draft pemahaman dasar iman GMIH” yang kemudian oleh MPS
GMIH periode 2002-2007, disampaikan secara bersamaan dengan draft perubahan Tata
Gereja dan Tata Rumah Tangga GMIH ke Sidang Sinode ke-26 di Jeemaat Tiga
Saudara, Ibu. Namun dalam laporan Mojau, draft ini tidak sempat dibahas dalam
persidangan tersebut.
43
Ketiga, draft Tata Dasar dan Peraturan-Peraturan. Dalam periode 2002-2007
muncul kesadaran untuk mengembalikan peran kemajelisan, sekalipun belum berhasil
didiskusikan lebih mendalam dan belum tertuang dalam Tata Rumah Tangga GMIH
tahun 2002. Dengan adanya wacana ini, MPS GMIH melalui Lembaga Pembinaan
Warga Gereja (LPWG) melakukan Semiloka yang dikoordinir oleh Ketua LPWG, Pdt.
Izhak Sumtaki, M.Th., dengan topik “Asas Presbiterial Sinodal” tanggal 18 Agustus
2005 di Jemaat Imanuel Gamsungi Tobelo. Usaha ini kemudian ditindaklanjuti oleh Tim
Revisi Tata Gereja GMIH, kerja Tim ini menghasilkan perubahan atas Tata Gereja dan
Tata Rumah Tangga GMIH 2002 dan menghasilkan draft Tata Dasar GMIH 2007.
Menurut Julianus Mojau, dalam “draf itu cukup jelas perbedaan penerapan praktik Asas
Presbiterial Sinodal GMIH secara drastis, yaitu: menerjemahkan jiwa dan nafas asas
presbiterial sinodal secara konsekuen ke dalam pasal dan ayat Tata Dasar 2007;
hubungan-hubungan hierarkis dihapus. Itulah sebabnya Wilayah dan/atau Klasis pun
dihapus; hubungan yang ada Jemaat–Sinode (Mojau, 2014:21). Perubahan ini kemudian
diterima dan menjadi keputusan Sidang Sinode GMIH ke-26 di Jemaat Tiga Saudara Ibu
(BPHS GMIH, 2008). Walaupun demikian, ada kesan bahwa perubahan ini tidak
ditindaklanjuti dengan perubahan Tata Gereja dan Tata Rumah Tangga GMIH pada
periode yang sama.
Keempat, Arah Hidup Menggereja yang Liberatif dan Rekonsiliatif. Salah satu
keputusan Sidang Sinode ke-25 adalah mengembangkan hidup menggereja yang
liberatif dan rekonsiliatif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
era otonomi daerah. Guna mengkonkritkan keputusan Sidang tersebut dilakukan Study
Meeting dalam Rapat Kerja Tahunan, tanggal 31 Oktober – 4 November 2004 di Jemaat
Elim Gura Tobelo. Study Meeting ini bertujuan sebagai bentuk pemberdayaan dan
penguatan kelembagaan masyarakat (Jemaat) dalam menjalin relasi-relasi kehidupan
yang liberatif dengan sesama. Dua tokoh yang diminta untuk membawakan materi
adalah: 1). Ir. Hein Namotemo (Ketua III MPS GMIH, dengan materi “Gereja dan
Masyarakat; dan 2). Dr. Julianus Mojau, dengan materi “Hidup Menggereja GMIH yang
Kontekstual dalam Konteks Dinamika Sosial di Propinsi Maluku Utara”. Gagasan study
44
meeting kemudian diakomodir dalam Tata Dasar GMIH 2007 sebagai salah satu hasil
Keputusan Sidang Sinode ke-26 di Jemaat Tiga Saudara Ibu.
Kelima, Perbaikan Jaminan Hidup para Pengereja GMIH. Untuk upaya ini, MPS
GMIH periode 2002-2007, berdasarkan “catatan” Julianus Mojau, dia diminta untuk
melakukan penelitian kecil guna melihat kemampuan/potensi jemaat-jemaat dalam
Sinode GMIH apakah dengan kemampuan yang mereka miliki mampu meningkatkan
jaminan hidup para pengereja GMIH. Hasil penelitian Mojau dengan menggunakan
metode secara acak (random-sample method)14
adalah bahwa kemampuan atau potensi
jemaat yang ada bisa atau mampu meningkatkan jaminan hidup para pengereja. Hasil
penelitian ini dipaparkan dalam Rapat Kerja Tahunan tahun 2006 di Hatetabako, dan dia
“mengusulkan kenaikan perbaikan jaminan hidup pengereja GMIH dengan kenaikan
150% dari pendapatan dasar saat itu. Namun usulan ini kurang diterima oleh peserta
Rakerta, akhirnya dilakukan pembahasan dalam kelompok dengan “simulasi uji-
potensi” yang dipimpin oleh Ir. Hein Namotemo, M.Sp, dan disepakati kenaikan hanya
sebesar 100% (Mojau, 2014:25).
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa dalam Sidang Sinode ke-25 di Jemaat
Ikthus Wari Tobelo, keinginan-keinginan bersama untuk perbaikan struktur organisasi
gereja (GMIH) dan perbaikan jaminan hidup para pendeta dan pegawai gereja lainnya
(pengereja–meminjam istilah Julianus Mojau), telah dengan sadar dipikirkan,
ditetapkan, dan diputuskan dalam Sidang Sinode, baik Sidang ke-24, Sidang Sinode ke-
25, maupun Sidang Sinode ke-26, termasuk juga diputuskan dalam Rapat Kerja
Tahunan, atau secara kontekstual keinginan pembaharuan GMIH telah muncul sejak
periode kepemimpinan MPS GMIH 2002-2007. Benih ini diharapkan untuk dirawat dan
dipupuk oleh periode kepemimpinan Sinode GMIH sejanjutnya. Namun apadaya
“Apolos” dikatakan tidak juga menyiram benih itu, dan agar tidak mati sia-sia, benih itu
dipaksakan tumbuh dengan “wajah yang berbeda”.
14
Dalam tulisannya, Mojau tidak memaparkan berapa jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian
ini, termasuk variasi sampelnya tidak juga diuraikan. Yang jelas dia mengatakan bahwa potensi yang
dimiliki jemaat memungkinkan untuk meningkatkan taraf hidup para pengereja.
45
4.4. Pergantian Kepemimpinan Sinode GMIH: Pergulatan Presbiterial Sinodal
dan Pendeta Berpolitik Praktis, Memunculkan Tanda-Tanda Keretakan
Kepemimpinan Sinode GMIH periode 2002-2007 harus berakhir dan tongkat
estafet (kepemimpinan) itu harus diserahkan kepada orang lain. Pergumulan tentang
asas presbiterial sinodal yang telah disepakati bersama juga dibebankan kepada
kepemimpinan periode baru ini untuk dilanjutkan. Dalam bahasa Mojau (2014:12)
dibuat dengan judul: “Suara dari Jemaat Ikthus Wari ke Jemaat Tiga Saudara.” Topik ini
membahas lima hal penting yang juga telah peneliti jelaskan di atas (bagian 4.3), yang
oleh Mojau dikatakan sebagai “benih pembaharuan penghayatan dan praktek hidup
menggereja GMIH secara kontekstual dimulai oleh keputusan Sidang Sinode XXV yang
kemudian secara konsisten diwujudkan oleh kebesaran hati masa kepemimpinan MPS
GMIH, periode 2002-2007…yang kemudian disemaikan dalam persidangan Sinode ke-
26 di Jemaat Tiga Saudara-Ibu, tanggal 17-22 Juli 2007” (Mojau, 2014:26-27) 15
.
Mengikuti alur penjelasan Julianus Mojau, peneliti mengkonstruksikan makna
penjelasan di atas sebagai “rawatlah benih itu agar ia dapat tumbuh menjadi bunga
mawar yang bisa mengharumkan bahtera GMIH yang sedang berlayar”. Pesan ini
agaknya kurang mendapat tanggapan yang serius dari periode kepemimpinan yang baru
(setidaknya menurut kelompok pembaharuan), sebab realitasnya pendeta masih saja
terlibat dalam politik praktis, bahkan Ketua Sinode diketahui juga memegang jabatan
penting dalam salah satu partai politik, termasuk juga Sekretaris Sinode yang ikut
mencalonkan diri sebagai kandidat dalam perhelatan politik praktis pemilihan Bupati di
salah satu kabupaten di Maluku Utara. Namun pertanyaannya siapa yang harus
disalahkan? Atau siapa yang harus bertanggungjawab? Bukankah keterlibatan pendeta
dalam politik praktis turut terlegitimasi secara kelembagaan pada periode 2002-2007.
15
Yang terdiri dari: 1). Pdt. L.P. Duan, S.Th sebagai Ketua, 2). Pdt. Sartje Papoeling, M.Th sebagai Ketua
I, 3). Pdt. Reinhard Salakparang, S.Th sebagai Ketua II, 4). Ir. Hein Namotemo, M.Sp sebagai Ketua III,
5). Dr. J. Nanere sebagai Ketua IV, 6). Pdt. M.D. Boediman, M.Th sebagai Sekretaris, 7). Ph. Thomas,
BA sebagai Wakil Sekretaris, 8). Pdt. W. Petonengan sebagai Bendahara, dan 9). Pnt. M. Thomas sebagai
Wakil Bendahara (Mojau, 2014:26-27).
46
Struktur organisasi GMIH jika ditelaah secara objektif sejak kemunculan GMIH
sebagai Gereja Mandiri tahun 1949 selalu mengalami “pasang-surut” perubahan atau
pembaharuan struktur organisasi, dan bagi peneliti ini adalah dinamika yang memang
harus muncul dalam setiap organisasi. Namun jika perubahan struktur organisasi itu
mengakibatkan perpecahan dalam tubuh GMIH dan memunculkan dualisme
kepemimpinan seperti saat ini, maka siapakah yang harus dimintai
pertanggungjawaban? Kedua kubu sama-sama mengklaim diri sebagai yang benar, dan
kebenaran masing-masing kubu turut terlegitimasi oleh jemaat-jemaat sebagai
pendukung setia mereka.
Julianus Mojau dalam kata pengantar “Kumpulan Keputusan Sidang Sinode ke-
26 tahun 2007 di Jemaat Tiga Saudara Ibu, mengatakan “kita berterima kasih kepada
BPHS (dulu: MPS), periode 2002-2007, yang dengan keberanian tanpa takut kehilangan
kekuasaan dalam jabatan-jabatan struktural telah meletakan Pembaharuan eklesiologis
GMIH…kita juga berterima kasih Bupati Halmahera, Bapak Ir. Hein Namotemo, M.Sp
dalam kapasitas sebagai Ketua III, telah ikut mengawal Pembaharuan eklesiologis
GMIH ini dengan memfasilitasi secara teknis…” (Mojau, 2014:27-28). Pertanyaannya
mengapa Mojau harus begitu “vulgar” mengatakan bahwa gereja (GMIH) harus
berterima kasih secara khusus kepada seseorang? Bukankah “pesan” dari Ikthus Wari ke
Tiga Saudara Ibu tidak “kemas” oleh seorang individu? Bukankah “pesan” itu
merupakan kerja keras secara kolektif atau dalam bahasa yang bernada teologis
bukankah pesan itu merupakan keputusan bersama tua-tua yang merupakan konsekuensi
logis dari praktek presbiterial sinodal yang mereka usung bersama?.16
Jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan ini mengkonfirmasikan asas “berjalan bersama tua-tua”
(presbiterial sinodal) diduga tidak muncul dari kesadaran menggereja pada tingkat
jemaat.
Sidang Sinode ke-XXVI di Jemaat Tiga Saudara Ibu menghasilkan struktur
kepemimpinan Sinode GMIH yang baru. Kepemimpinan GMIH yang baru ini
16
Pertanyaan-pertanyaan ini (mungkin) dapat mengkonfirmasi tulisan Egbert Hoata (Biro Hukum,
Demokrasi dan HAM GMIH), dalam Surat Kabar Obor Halmahera, Edisi I/X/2013, hal. 6, dengan judul
“Ompongnya Akademisi Tobelo: Menyorot keterlibatan sejumlah Akademisi Tobelo dalam Gerakan
Pembaharuan GMIH”
47
dinahkodai oleh Pdt. Anton Piga, S.PAK., M.Si, selain itu, Keputusan Sidang tersebut
juga merubah Majelis Pekerja Sinode (MPS) menjadi Badan Pekerja Harian Sinode
(BPHS). Ada harapan besar yang dibebankan kepada kepengurusan (BPHS) GMIH
yang baru ini, yakni merawat dan menjaga agar benih Presbitarial Sinodal dalam wujud
kepemimpinan kolektif akan terus diwujudkan dalam GMIH guna menghasilkan
penatalayanan Gereja yang memberdayakan jemaat, dan meniadakan struktur organisasi
hierarkis yang sebelumnya ada, yang seolah menjauhkan pengereja dan jemaat.
Apabila mencermati program kerja yang dilakukan oleh periode kepemimpinan
Sinode (BPHS) GMIH 2007-2012 yang dinahkodai Pdt. Anton Piga, tidak ada masalah
serius dan berat (pelanggaran terhadap Tata Gereja dan Tata Rumah Tangga) yang
dilakukan oleh kepengurusan periode ini. Membaca semua topik yang dibahas Julianus
Mojau dalam buku kecilnya (Buku I Sejarah Pembaharuan GMIH, 2014), yang
dikemukakan sebagai alasan mendasar oleh penulis17
yang juga adalah pendukung
Sekretariat Pembaharuan adalah:
“seharusnya benih pembaharuan penghayatan dan praktek hidup mengereja
GMIH itu dipelihara dan diberi ruang yang baik oleh BPHS GMIH, periode
2007-2012. Tetapi tampaknya benih itu tidak cukup diberi kebun hijau dan air-
air segar sehingga benih itu terasa sulit berkembang, sekalipun di hati warga
Jemaat dan anggota majelis jemaat sudah mendapat tempat sebagai lahan yang
subur seiring dengan perubahan sosial di Halmahera dan pulau-pulau
sekitarnya. Kepemimpinan BPHS GMIH 2007-2012 di bawah Pdt. Anton
Piga, S.PAK., M.Si tidak mampu mengkonsolidasikan team-worknya menjadi
sebuah team-work yang berkinerja optimal dan efektif. Malahan ditengarai
tidak terbangunnya team-work yang solid” (Mojau, 2014:28-29).
Buah pikir Mojau yang dikutip di atas, apabila memperbandingkan dengan
paragraf selanjutnya (dalam tulisan tersebut), maka menurut peneliti terjadi kontradiktif
yang cukup hebat/besar antar argumentasi yang dikemukakan penulis buku. Kontradiktif
pemikiran penulis (Julianus Mojau), misalnya dapat terbaca dalam kutipan di bawah ini:
“tentu kita tidak boleh menutup mata terhadap usaha-usaha serius dari
beberapa anggota BPHS dalam team-work itu,18
antara lain, Pdt. Jerda Djawa,
17
Interpretasi yang peneliti lakukan (mungkin) akan dianggap sangat subjektif – pembaca lain (mungkin)
bisa berinterpretasi berbeda. Namun jika membaca secara keseluruhan buku kecil tersebut, peneliti cukup
yakin bahwa interpretasi yang peneliti lakukan berdasarkan fakta yang tampak dalam tulisan Julianus
Mojau tersebut. 18
Bandingkan dengan kritik Mojau terhadap team-work dalam kutipan di atas.
48
M.Th., sebagai Ketua Bidang Ajaran dan teologi, telah mengambil langkah
konkret dalam bentuk membuat kelender liturgi GMIH tahunan secara reguler.
Juga beliau, dalam kerja sama dengan Fakultas Teologi Universitas
Halmahera, pernah melakukan Semiloka Oktober 2010… kita juga perlu
menghargai dan menyebutkan usaha-usaha individual yang mengupayakan
pembaharuan liturgi seperti yang dilakukan oleh Pdt. Grace Morene
Rubawange, S.Si.Teol sekitar awal tahun 2012 dengan menerbitkan kumpulan
liturgi. Kita juga perlu mencatat kerja keras Ketua III, Ir. Hein Namotemo,
M.Sp., yang telah dengan sungguh memperjuangkan perlunya peningkatan
jaminan hidup para pengereja GMIH secara kontinu…” (Mojau, 2014:29-30).
Pernyataan yang bagi peneliti kontradiktif tersebut dikonfirmasikan oleh salah
satu pertanyaan (renungan peneliti ketika membaca buku tersebut), apa yang salah
dengan BPHS 2007-2012? Bukankah itulah esensi dari presbitarial sinodal, bahwa
keputusan diambil bersama dan dikerjakan bersama oleh seluruh elemen GMIH? Bagi
peneliti akan menjadi masalah dalam presbiterial sinodal tersebut jika dalam aktivitas
atau usaha-usaha individual (meminjam pernyataan Mojau) dilarang oleh Ketua BPHS.
Sehingga tidak ada alasan mengatakan BPHS GMIH 2007-2012 tidak memberi “kebun
hijau” dan “air-air segar” guna menumbuhkan benih presbitarial sinodal itu.
Walaupun demikian, GMIH telah retak dengan kepentingan berbagai pihak yang
sulit dipetakan dengan baik dan benar, “tali kekang” GMIH telah kusut dan sulit
ditemukan ujung-pangkalnya–yang jelas keikutsertaan pendeta dalam politik praktis
menjadi topik yang kembali diwacanakan. GMIH tidak hanya retak namun telah
terpecah, aktor berebut menjadi nahkoda, dan arah pelayaran menjadi tidak tentu.
Ketidak tentuan arah pelayaran itu diakibatkan oleh dualisme kepemimpinan akibat
Sidang Sinode Istimewa GMIH menghasilkan BPHS baru yang diamanatkan untuk
memimpin GMIH disaat BPHS hasil Dorume masih aktif. Satu Bahtera Dua Nahkoda,
qua vadis, GMIH?.
4.5. Dualisme Kepemimpinan GMIH: Perseteruan Antara BPHS versi SSI dengan
BPHS Hasil Sidang Sinode di Dorume
Pemicu awal perjuangan Tim Reformasi yang kemudian berubah nama menjadi
Tim Penyelamat GMIH, dan akhirnya mengkristal sebagai sebuah lembaga dengan
nama Sekretariat Pembaharuan adalah masalah Presbiterial-Sinodal yang hendak
dipakai sebagai dasar gerak GMIH dalam mengarungi samudra luas. Namun sebelum
49
menganalisis lebih dalam tentang asas presbiterial sinodal, ada baiknya lebih dulu
dilihat konteks persidangan Sinode GMIH di Dorume yang juga telah menghasilkan
kepemimpinan GMIH yang baru (periode 2012-2017).
4.5.1. Dorume Memanas: Bercerai Pasca Pilkada Maluku Utara
Dalam perspektif Weber, konsepsi kekuasaan dan teori tindakan saling terkait
erat. Bahwa setiap tindakan bersifat rasional-bertujuan, rasional-nilai dan bersifat
ekspresi dari adat istiadat yang tertata. Sebagai sebuah gereja, sejak awal
kemandiriannya GMIH telah menetapkan nilai Kristiani yang di ajarkan oleh Yesus
Kristus sebagai dasar gerak organisasinya. Praktek nilai Kristiani ini pada awal-mulanya
memang agak sulit berdialog secara liberatif dengan ekspresi adat-istiadat masyarakat
setempat. Sejarah terbentuknya GMIH dan proses perjalanan GMIH memang
memperlihatkan fenomena tersebut, sekalipun tidak dalam kondisi yang berdarah-darah.
Pendekatan KASIH Kristiani memang diyakini sebagai kekuatan yang membuat GMIH
mampu bertahan sampai dengan saat ini, setidaknya sampai dengan Sidang Sinode ke-
27 di Dorume, Loloda Utara.
Ujian berat pertama yang dihadapi GMIH secara kelembagaan adalah tragedi
berdarah yang dibalut dengan isyu SARA. Tragedi ini melanda hampir semua wilayah
Maluku, dan khusus untuk Maluku Utara, semua wilayah pelayanan GMIH memang
dilanda tragedi ini. Dalam ujian kekuatan nilai dasar (kasih) yang diembannya,
pergumulan GMIH kemudian diarahkan pada bagaimana membangun relasi yang saling
menghidupkan dengan liyan. Dalam konteks seperti ini, dasar pijak dan dasar gerak
GMIH yang ditetapkan di Jemaat Ikhthus Wari Tobelo menjadi bermakna.
Dalam Sidang Sinode ke-25 di Jemaat Ikhthus Wari, pergumulan tentang
bagaimana membangun relasi dengan agama lain, terutama Islam menjadi tema yang
digumuli secara kelembagaan oleh GMIH. Karena itu, salah satu butir yang
direkomendasikan oleh komisi rekomendasi kepada Majelis Pekerja Sinode (MPS)
terpilih adalah mengupayakan rekonsiliasi menyeluruh dengan umat Islam. Selain itu,
komisi program juga memprogramkan upaya rekonsiliasi dengan pemeluk agama Islam.
Dengan Visi GMIH yang Utuh, program GMIH dalam 5 tahun pertama mengarahkan
upaya pembangunan kembali jemaat-jemaat yang telah hancur oleh konflik.
50
Pembangunan yang dimaksudkan bukan saja pada sarana fisik berupa gedung gereja dan
pemulangan warga jemaat yang mengungsi namun lebih dari pada itu adalah berupaya
membagun rasa percaya umat GMIH kepada pemeluk Islam. Dalam hal ini langkah
yang dilakukan adalah dengan berupaya mengobati trauma yang disebabkan oleh
konflik itu sendiri.
Namun realitasnya hubungan ini belum terwujud dengan baik, sebab diakui
bahwa secara kelembagaan GMIH belum memiliki dasar yang jelas dalam hubungan
dengan agama lain, khususnya Islam. Alasan inilah yang menjadi salah satu faktor
penting yang mendorong GMIH untuk merumuskan kembali Ajaran dan Teologi secara
menyeluruh. kajian tentang ajaran dan teologi ini kemudian di bawah dalam Sidang
Sinode GMIH ke-26 di Jemaat Tiga Saudara Ibu (Mojau, 2014). Bahkan dalam makalah
“pengantar perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga GMIH”, Pdt. Dr.
Julianus Mojau mengungkapkan bahwa perubahan yang dilakukan terhadap AD/ART
GMIH haruslah memiliki dasar pada ajaran tradisi gereja yaitu tradisi Calvinis dengan
model organisasi Presbyterial Synodal. Bahwa AD/ART GMIH yang selama ini
digunakan hanya semacam perangkat organisasi yang tidak memiliki dasar jelas pada
ajaran-ajaran gereja. Akibatnya GMIH seolah menganut sistem tertentu tetapi ajaran-
ajarannya tidak mencirikan hal tersebut. Untuk itu perubahan ini penting dilakukan demi
memperlihatkan ciri khas GMIH.
Pertanyaannya adalah apakah konflik bernuansa SARA yang terjadi sekitar
tahun 1999 yang membuat GMIH terpecah? Apakah hubungan dengan pemeluk agama
lain khususnya Islam yang belum tertata dengan baik itu yang membuat GMIH
terpecah? Atau masalah praktek Presbiterial Sinonal yang menjadi pemicunya? Jika
menelaah lebih mendalam tentang deskripsi yang ada dalam Bab IV, maka pemicu
utamanya adalah masalah praktek model kepemimpinan (pemerintahan) Presbiterial
Sinodal. Namun sebenarnya faktor paling berpengaruh dalam pecahnya GMIH,
menurut peneliti adalah faktor politik–pasca pemilihan Gubernur Maluku Utara, kalau
tidak ingin dikatakan politik sakit hati.
Dalam deskripsi yang dilakukan Julianus Mojau (2014)–yang sudah peneliti
kritisi pada bab IV tulisan ini, gerakan-gerakan pembaharuan GMIH memang telah
51
dimulai sejak Sidang Sinode ke-25 di Jemaat Ikhthus Wari. Embrio itu tampak muncul
dan berupaya mengawal keputusan Sidang Sinode sampai ke Sidang Sinode selanjutnya
di Jemaat Tiga Saudara Ibu. Kelompok yang awalnya mengidentifikasi diri dengan
“Tim Penyelamat GMIH” memang berupaya keras mengawal aturan-aturan gereja
dengan model presbiterial sinodal untuk tetap dilakukan. Upaya kelompok ini dalam
banyak hal kurang berhasil sebab memang tidak ada pelanggaran oleh kepemimpinan
GMIH periode 2007-2012 dalam Tata Gereja dan Tata Rumah Tangga GMIH.
Perjuangan mereka kemudian difokuskan pada “pendeta berpolitik”. Namun yang
terjadi GMIH secara kelembagaan malah memberi kekuatan bagi pendeta berpolitik,
buktinya dikeluarkan dua aturan dalam bentuk Surat Keputusan.
Tim Penyelamat GMIH kemudian melebur diri dan membentuk Tim Reformasi
GMIH, perjuangannya masih berkisar pada dua tema utama, yakni organisasi gereja
yang harus didasarkan pada model presbiterial sinodal19
, dan tuntutan agar pendeta tidak
terlibat dalam politik praktis. Anehnya perjuangan kelompok ini tidak juga mendapat
“respon positif” dari jemaat-jemaat. Fase selanjutnya Tim Reformasi juga melebur diri
dan membentuk kelompok baru, yakni kelompok pembaharuan GMIH. Pertanyaannya
apa yang dibaharui? Tema yang diusung kemudian diperlus, yakni pendeta yang
berpolitik praktis, pengaturan organisasi gereja yang melenceng dari asas presbiterial
seinodal, dan soal jaminan hidup para pengereja–setoran jemaat 30% yang diduga
pengaturannya tidak transparan.
Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) khususnya BPHS periode 2007-
2012, dan 2012-Sekarang dikatakan sedang “sakit‟ oleh kelompok pembaharuan.
Perjuangan (tindakan) yang menuntut rasionalitas bertujuan sekaligus rasionalitas nilai,
kelihatannya dibungkus kepentingan kekuasaan. Dikatakan demikian, sebab ketika
BPHS melakukan berbagai klarifikasi kelompok Pembaharuan GMIH masih tetap tidak
menerima. Bahkan dalam catatan “Pemetaan Permasalahan GMIH” yang dilakukan oleh
Tim Balitbang dan Statistik GMIH, dikatakan bahwa:
“Aksi mereka kemudian terhenti ketika Sidang Majelis Sinode I yang
dilakukan di Jemaat Betlehem Tobelo pada bulan Februari 2013. Dalam sidang
tersebut, BPHS melakukan klarifikasi dan penjelasan terkait dengan tuduhan
19
Lihat penjelasan lengkapnya pada bagian berikut
52
yang dilakukan oleh Kelompok Reformasi. Dengan hasil dari penjelasan
tersebut, peserta SMS merekomendasikan untuk dilakukan pengampunan dan
konsiliasi kepada Kelompok Reformasi dan dilakukan penarikan selebaran
atau buku yang telah disebarkan. Rekomendasi tersebut diindahkan oleh
mereka”20
.
Setelah Tim Reformasi “dibubarkan” kondisi GMIH kembali normal, gerak
organisasi GMIH kembali berjalan normal, anehnya kelompok ini kembali melakukan
aksi bahkan membentuk Sekretariat Pembaharuan. Rekomendasi Pengampunan yang
diberikan oleh Sidang Majelis Sinode bulan Februari 2013 menjadi dokumen indah
yang hanya baik untuk dibaca dan tidak perlu ditaati. Ada apa gerangan, situasi GMIH
kembali memanas setelah Sekretariat Pembaharuan terbentuk. Berdasarkan informasi
yang dihimpun oleh peneliti, baik yang didapatkan dari surat kabat (lokal) maupun
informan kunci yang diwawancarai, tuntutan tentang presbiterial sinodal, dan lain
sebagainya menjadi kabur, atau dikaburkan dengan masalah politik–sekretaris BPHS
dikatakan berkampanye untuk calon tertentu, dan Ketua Sinode dikatakan mendukung
calon tertentu pula. Dengan demikian, menurut peneliti telah terjadi pergeseran tujuan
pembaharuan.
Dalam buku I “Sejarah Pembaharuan GMIH”, Julianus Mojau (2014:50)
menulis:
“Sayang sekali, di tengah-tengan proses berjalan ke arah yang lebih baik itu
sebagaimana amanat Sidang Majelis Sinode I, untuk membaharui tata
organisasi GMIH agar lebih sesuai Asas Presbiterial Sinodal tidak mendapat
perhatian BPHS GMH periode 2012-2017. Malahan, … Ketua, Sekretaris,
Wakil Ketua II, Wakil Ketua IV dan Wakil Sekretaris, sibuk mengurus politik
praktis politik kekuasaan di tengah-tengah hiruk-pikuk agenda demokrasi lokal
di Maluku Utara, yaitu: Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur”
Wacana ini kemudian menjadi topik utama pembicaraan di Sekretariat
Pembaharuan, bahkan sampai dikomunikasikan ke Jemaat-jemaat lewat sosialisasi yang
dilakukan, membentuk opini pada tingkat Jemaat bahwa pimpinan gereja meninggalkan
mereka. “Pimpinan gereja sebagai gembala ternyata hanya mengeksploitasi mereka
(jemaat), dan mereka sangat kecewa dan marah karena mereka menganggap bahwa
20
Yang dimaksudkan dengan aksi mereka adalah kelompok (Tim) Reformasi. Lihat lampiran Pemetaan
Permasalahan GMIH, khusunya point 2
53
pimpinan gereja justru meninggalkan mereka dan memihak calon lain secara terang-
terangan karena rupanya lebih banyak memberikan sumbangan daripada dua calon dari
warga GMIH” (Mojau, 2014: 54-55).21
Selain itu, Mojau (2014:55-56) juga menguraikan topik diskusinya dengan kedua
calon Gubernur Maluku Utara di Sekretariat Pembaharuan GMIH Tobelo, Halmahera
Utara dan pada saat peletakan batu pemula Gereja Protestan Halmahera di Tosoa
Halmahera Barat22
. Hasil diskusi dengan kedua calon Gubernur ini, diuraikan oleh
Mojau sebagai berikut:
“Sekiranya Ketua Sinode tidak dukung kami tidak apa-apa, asalkan jangan
menjelek-jelekan kami dan berkampanye secara terbuka untuk orang lain.
Kami dapat memahami posisi dia sebagai pimpinan umat. Tetapi apa yang
dilakukan oleh Ketua Sinode adalah sangat menyakitkan hati kami dan kami
sulit terima dan akan melawannya. Kami juga malu karena dia melacurkan diri
untuk uang dan politik. Dia pendeta kami jadi jangan menjadi lonte/pelacur
politik seperti itu. Jangan melacurkan diri hanya uang dan politik. Panggilan
kependetaan kan suci dan menjadi pemberi air sejuk dan tidak boleh tamak
uang?”
Pertanyaannya mengapa topik ini dibicarakan di Sekretariat Pembaharuan, dan
pada saat peletakan Batu Pemula pembangunan Gereja Protestan Halmahera di Tosoa?.
Dan mengapa hal ini dibahas begitu mendalam oleh sang penulis buku “Sejarah
Pembaharuan GMIH”. Menurut peneliti tema yang diusung kelompok pembaharuan
GMIH memang telah mengalami pergeseran, seolah yang diperlihatkan dalam buku
“Sejarah Pembaharuan GMIH” adalah model politik sakit hati akibat kekalahan dalam
bertarung di pemilihan Gubernur. Perhatikan kalimat “kami sulit terima dan kami akan
lawan.”
21
Ketua Sinode (Pdt. Anton Piga) ketika diwawancarai tanggal 29 Desember 2013, mengatakan bahwa
secara kelembagaan GMIH tidak pernah mengeluarkan seruan atau himbauan agar Jemaat memilih calon
tertentu. Kami sadar setiap anggota Jemaat memiliki hak politik, dan bebas memilih, kalau saya himbau
tentu melanggar dan salah. Saya sendiri juga punya hak politik secara pribadi, bukan lembaga. Karena itu
saya berhak memilih siapa saja calonnya. Kalau soal sumbangan yang lebih besar itu tidak tepat, tanpa
bukti dan itu bisa dikatakan fitnah. 22
Peletakan Batu Pemula sesuai dengan pasal 9 (huruf g) Peratuan No. 1 Tentang Sinode yang adalah
merupakan Tugas Badan Pekerja Harian Sinode. Namun sesuai dengan informasi yang terhimpun,
peletakan batu pemula pada dua gereja yang dibangun tersebut, BPHS hasil bentukan Sidang Sinode di
Dorume tidak diundang.
54
Tim Reformasi yang telah dimaafkan oleh BPHS dalam Sidang Majelis Sinode
bulan Februari 2013 memang telah “membekukan” diri. Kelompok ini baru kembali
beraksi setelah adanya demonstrasi yang dipimpin oleh seorang Penatua pasca
pemilihan Gubernur Maluku Utara. Itulah sebabnya menurut hemat peneliti perjuangan
Tim Reformasi sarat kepentingan karena bisa saja dikatakan ikut ditunggangi secara
politik. Faktanya, pasca pemilihan Gubernur Maluku Utara, barulah terbentuk
Sekretariat Pembaharuan, dan diduga kuat salah satu calon yang kalah dalam pemilihan
itu ikut menjadi motor dalam membentuk atau mendirikan Gereja Protestan Halmahera
(GPH) di Tosoa, Halmahera Barat. Dengan demikian, pertanyaannya siapa yang
membawa politik ke dalam gereja?.
Pasca pemilihan Gubernur Maluku menjadi momen penting yang
melatarbelakangi terpecahnya GMIH sebagai Gereja yang Utuh dan Mandiri. Akibat
dari terbentunya Sekretariat Pembaharuan, dan aktivitas-aktivitas (sosialisasi) yang
dilakukan tentang “dosa-dosa” BPHS 2007-2012 dan BPHS GMIH 2012-2017
membuat GMIH menjadi “kehilangan arah”. „Kemudi‟ bahtera GMIH yang hendak
direbut tidak membuahkan hasil, akibatnya muncul upaya menghadirkan GMIH “baru.”
Realitasnya GMIH telah terpecah menjadi dua–BPHS hasil Sidang Sinode Dorume dan
BPHS versi Sidang Sinode Istimewa (SSI). Namun mereka yang melakukan ini masih
saja “bersembunyi” dibalik jubah dan berkata “GMIH hanya satu, dan BPHS hasil
Dorume telah demisioner atau dibubarkan”. Anehnya wacana ini diterima oleh jemaat-
jemaat sebagai yang benar adanya. Benar bahwa BPHS versi SSI ada dan melakukan
pelayanan gerejawai, benar juga bahwa BPHS hasil Sidang Sinode di Dorume ada dan
juga melakukan pelayanan gerejawi, bahkan Gereja Protestan Halmahera juga ada dan
melakukan pelayanan gerejawi.
Berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan Balitbang dan Statistik GMIH
terhadap konflik kepentingan di tingkat elite yang merembes pada tingkat jemaat, dan
ketika memetakan jumlah jemaat-jemaat pendukung ditemukan bahwa jumlah jemaat
pendukung BPHS GMIH hasil Sidang Sinode ke-27 di Dorume adalah sebanyak 85%,
jemaat pendung BPHS versi SSI adalah sebanyak 13% dan jemaat pendukung GPH
adalah sebesar 2%. Hasil ini dihitung berdasarkan jumlah jemaat pendukung GMIH
55
adalah sebanyak 432 Jemaat. Dengan demikian, jemaat pendukung BPHS Dorume
adalah 367 Jemaat; yang mendukung BPHS versi SSI adalah 56 Jemaat, dan yang
mendukung GPH adalah 9 Jemaat.
Walaupun demikian, hasil wawancara dengan Kepala Badan Litbang dan
Statistik GMIH, bapak Anthon Ngarbingan, M.Si dikatakan bahwa:
“Dalam hal prahara atau konflik elite GMIH yang berdampak sampai pada
tingkat jemaat, dan berdasarkan data yang sudah kami himpun agak sulit untuk
mengatakan bahwa yang berpindah ke SSI maupun GPH itu adalah Jemaat.
Menurut kami yang berpindah itu Rumah Tangga atau boleh dibilang orang
per orang. Alasannya adalah bahwa dalam satu Jemaat terdapat kelompok yang
mendukung BPHS, BPHS versi SSI dan mungkin juga GPH di Halmahera
Barat. Jadi kelihatannya Jemaat terkontaminasi dengan konflik elite di GMIH
kemudian anggota jemaat memilih untuk mendukung yang mana, karena itu
dalam satu Jemaat ada yang mendukung BPHS dan ada juga yang mendukung
BPHS versi SSI”23
Meminjam perspektif Foucault, “kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada
situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu”. Dalam hubungan itu, tentu saja
ada pihak yang diatas dan di bawah, di pusat dan di pinggir, di dalam dan di luar. Tetapi
ini tidak berarti kekuasaan terletak di atas, di pusat, dan di dalam. Sebaliknya,
kekuasaan menyebar, terpencar, dan hadir di mana-mana seperti jejaring yang menjerat
kita semua. Kekuasaan „merasuki‟ seluruh bidang kehidupan masyarakat modern.
Kekuasaan berada di semua lapisan, kecil dan besar, laki-laki dan perempuan, dalam
keluarga, di sekolah, kampus, dan lain sebagainya. Namun dalam praktek
memperebutkan dan menggunakan kekuasaan itu, bagi peneliti ada mekanismenya.
Semua orang (individu) memiliki kekuasaan tetapi dalam organisasi kekuasaan
organisasi itu diatur dalam mekanisme yang baku–dimiliki organisasi, karena itu tidak
semua orang berhak menggunakan atau mengekspresikan kekuasaan organisasi,
termasuk Gereja. Dalam hubungannya dengan masalah GMIH, “pertunjukan”
kekuasaan setiap orang sedang terjadi, seolah GMIH tanpa aturan atau konstitusi.
Dalam perspektif legitimasi, „pertunjukan kekuasaan‟ tersebut berimplikasi pada
munculnya pengkotak-kotakan anggota jemaat dalam mendukung atau mengabsahkan
kebenaran secara parsial. Faktanya adalah bahwa aktor yang “bermain” di Halmahera
23
Wawancara pada tanggal 5 Januari 2014
56
Barat sebut saja Bupati Halmahera Barat yang ikut memotori dibangunnya gereja baru
atas referensi sejarah munculnya Gereja Protestan Halmahera (GPH), mampu
membangkitkan semangat „kekeluargaan‟ atau dalam perspektif antropologis mampu
membangkitkan “klan” manusia Halbar yang “bangkit” mempersatukan dan
mengeratkan kembali sistem kekeluargaan tersebut dengan mendeklarasikan diri sebagai
sebuah gereja baru, atau gereja kekeluargaan?.
Begitu juga yang terjadi di Halmahera Utara, kemampuan aktor sebut saja
Bupati Halmahera Utara dengan kharisma yang dimiliki mampu memainkan kekuasaan
simbolis yang hampir tidak tampak secara kasat mata, namun memiliki kekuatan atau
posisi tawar yang tinggi bagi beberapa akademisi Uniera. Hasil „pertunjukan kukuatan‟
ini berimplikasi pada munculnya dokumen kurios (pembaharuan) yang membuat GMIH
harus menelan pil pahit perpecahan di Halut. Pertunjukan kekuasaan yang
mengkonfirmasikan dukungan berbagai pihak, termasuk para Pendeta, menghasilkan
tindakan radikal yang diambil oleh BPHS SSD dengan “mendisiplinkan” beberapa
pendeta yang oleh BPHS SSD dianggap melanggar Tata Gereja.24
4.5.2. Presbiterial Sinodal: Pemicu Awal yang Hilang dalam Wacana
Politik
Mencermati sejarah GMIH, sejak gereja ini disahkan keberadaanya tahun 1949,
asas presbiterial sinodal (sekalipun tampak dilaksanakan), namun secara kelembagaan
asas ini baru dicantumkan dalam Tata Gereja berdasarkan hasil keputusan Sidang
Sinode ke-23 tahun 1992 di Morotai. Itu artinya sejak berdirinya GMIH tahun 1949 baru
pertama kalinya asas presbiterial-sinodal dimasukan sebagai dasar gerak GMIH pada
tahun 1992, dan 23 tahun kemudian (2013) baru dipermasalahkan praktek asas ini dalam
kehidupan bergereja di GMIH. Apa gerangan?.
Sejak Sidang Sinode ke-23 di Morotai tahun 1992, setiap keputusan Sidang
Sinode selanjutnya (ke-24 di Balisoan, hingga ke-27 di Dorume), selalu dicantumkan
bahwa struktur organisasi GMIH adalah menganut asas/paham Presbiteril-Sinodal, dan
dalam rentang waktu 1992–2007 tidak ada elit gereja (GMIH) yang mempermasalahkan
24
Termasuk Ibu peneliti yang adalah Pendeta GMIH “didisiplinkan” oleh BPHS.
57
praktek presbiterial-sinodal ini dalam bergereja. Wacana tentang presbiterial-sinodal
baru mulai diperdebatkan sejak munculnya Tim Reformasi yang kemudian berubah
nama menjadi Tim Penyelamat GMIH dan terakhir menjadi Sekretariat Pembaharuan
tahun 2013, maka pertanyaan yang mengemuka adalah presbiterial-sinodal seperti apa
yang dikehendaki oleh Sekretariat Pembaharuan?.
Berbicara tentang sistem presbiterial-sinodal tentu tidak lepas dari pemahaman
tentang gereja (ekklesiologi) Johanes Calvin, sebab sistem ini merupakan bagian penting
dari pemahaman Calvin tentang gereja. Baginya gereja harus dipimpin secara bersama-
sama antara pendeta atau pastor, pengajar, orang yang berusia lanjut (Penatua), dan
Diaken atau Syamas. Tugas Pastor atau Pendeta adalah memberitakan Firman Tuhan
Allah, melayankan sakramen-sakramen dan bersama dengan para penatua mengawasi
kehidupan jemaat agar mereka hidup sesuai dengan kehendak Tuhan Allah. Para
pengajar (doctor), mereka melakukan pengajaran iman kepada anggota gereja, namun
dalam perkembangannya, jabatan pengajar ini dirangkap oleh para pastor/pendeta. Oleh
sebab itu, menurut Calvin, para pendeta harus mempelajari Alkitab dan juga ajaran
gereja serta teologi sebaik mungkin, supaya dapat memberikan pengajaran yang
berbobot kepada anggota gereja. Sedangkan tugas para Syamas atau Diaken membantu
orang-orang miskin dan sakit. (de Jonge, 1998: 103 ).
Pola kepemimpinan gereja yang kolektif seperti itu mengkonfirmasikan makna
consistorium yang dikemukakan oleh Calvin. Consistorium bermakna sebuah “ruang”
dimana para pendeta/pastor dan penatua bertemu setiap minggu untuk membicarakan
kasus-kasus penggembalaan dan disiplin (de Jonge, 1998:110). Setiap permasalahan
yang dihadapi dibicarakan bersama dan keputusan yang ada adalah keputusan bersama
bukan keputusan perorangan. Dengan demikian akan tampak makna system presbiterial-
sinodal yang sebenarnya.
Secara emologis, frase presbiterial sinodal merupakan penggabungan dari kata
Yunani presbiterion yang berarti “dewan tua-tua”, dan sun yang berarti “bersama, oleh,
melalui,, dengan”, serta hodos yang berarti “jalan, perjalanan”. Dengan demikian,
makna dari presbiterial sinodal merupakan komitmen „tua-tua‟ di dalam jemaat untuk
berjalan bersama bagi tugas pelayanan gereja di dalam dunia (Hontong, dkk, 2013:17-
58
20).25
Berdasarkan pengertian ini, Mojau merumuskan pengertian presbiterial sinodal
sebagai:
“dasar berpikir dan bertindak yang menjadi landasan hukum gereja ketika
menjalankan misi Allah di dalam dunia; dimana proses menjalankan misi
Allah itu dilaksanakan berdasarkan semangat „berjalan bersama-sama‟ para
tua-tua di jemaat, dalam hal ini adalah pendeta, penatua, dan diaken”. Dalam
kaitannya dengan GMIH, diartikan sebagai “suatu kesadaran hidup menggereja
yang menjunjung tinggi kesepakatan para pendeta, penatua, dan diaken dalam
jemaat-jemaat GMIH untuk menjalankan misi Allah di dalam dunia…yang
mewujud dalam berbagai keputusan gereja, ditingkat jemaat setempat maupun
ditingkat jemaat-jemaat di dalam sinode GMIH (Hontong, dkk, 2013:18-19).
Secara normatif, model kepemimpinan presbiteril sinodal tampak memiliki
kemiripan dengan model demokrasi perwakilan, artinya wakil-wakil jemaat (penatua,
diaken, dan pendeta) merupakan representasi jemaat yang diberi kewenangan untuk
mengurus dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi, baik masalah
organisasi maupun masalah yang dihadapi anggota jemaat. Para tua-tua ini sekaligus
juga memiliki kapasitas untuk diutus oleh jemaat dalam proses pengambilan keputusan
di tingkat atas (sinode). Perbedaannya dengan demokrasi perwakilan adalah bahwa
pendeta, penatua, dan diaken dalam perundingan untuk mengambil keputusan tidak
didasarkan pada “suara terbanyak”, melainkan berdasarkan pertimbangan “suara
terbaik” sesuai kehendak Kristus (Hontong, dkk, 2013:26).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa model kepemimpinan
“tuntutan” presbiterial sinodal merupakan model yang sangat ideal, sebab pertimbangan
“suara terbaik” sesuai kehendak Kristus tentu dapat diperdebatkan dan diklaim
kebenarannya oleh setiap orang yang dikategorikan sebagai “tua-tua”–suara terbaik
adalah konsep abstrak yang sulit ditemukan padanannya apalagi dikatakan sebagai
25
Buku kecil dengan judul “HIDUP MENGGEREJA: Asas Presbiterial Sinodal Gereja Masehi Injili di
Halmahera”, merupakan kumpulan tulisan dari tiga orang dosen UNIERA, yakni: Julianus Mojau,
Arkipus Djurubasa, dan Sefnat Honton. Mereka ditugaskan secara khusus oleh BPHS versi SSI lewat
surat: BPHS/15/B-6/XX-VII-SSI/2013 tanggal 2 Oktober 2013, untuk menyusun buku ini sebagai “buku
saku” yang sedianya akan dibagikan kepada jemaat. Bahkan dalam kata sambutannya, Dekan F.Teol
Uniera (Sefnat A. Hontong) menulis “…semoga melaluinya, kemandirian jemaat setempat dan jemaat-
jemaat dalam Sinode GMIH bisa didesak untuk bersegera dan bergegas supaya „menjadi‟.
59
“sesuai kehendak Kristus”. Frase ini jika diperhadapkan dengan prinsip pertama26
:
Imamat Am Orang Percaya, yang mendasari asas presbiterial sinodal ini, maka akan
menimbulkan masalah sebab setiap orang bisa mengklaim bahwa suaranya adalah
“suara terbaik” sesuai kehendak Kristus.
Mercermati sejarah perjalanan GMIH, pertanyaan mendasarnya adalah perlu
merujuk kemana asas presbiterial sinodal ini? Mengingat sejarah masuknya agama
Kristen di Halmahera “dikomandoi” oleh gereja Belanda, yakni: Nederlandse
Hervormde Kerk (NHK), yang faktanya dapat disebut sebagai “gereja negara” karena
memiliki hubungan istimewa dengan pemerintah Belanda. Untuk itu, „nuansa‟ Sidang
Sinode Istimewa GMIH yang mengusung pembaharuan kepemimpinan kepada asas
presbiterial sinodal seperti yang dikemukan di atas perlu “diintip” sebagai pintu masuk
guna mendudukkan persoalan tentang apakah asas presbiterial sinodal merupakan
kesadaran kolektif kemajelisan ataukah asas yang ideal ini “dipaksakan” kepada jemaat
dan tua-tuanya (kemajelisan) untuk dilaksanakan?.27
Nederlandse Hervormde Kerk (NHK) sekalipun merupakan “gereja negara”,
namun dalam sistem penataan atau asas organisasinya menggunakan asas “berjalan
bersama tua-tua”–presbiterial sinodal. Dalam hal ini jemaat setempat dipimpin oleh
Majelis Jemaat, lalu ada Klasis untuk jemaat-jemaat sewilayah, kemudian ada sinode
provinsi dan sinode nasional. Sekalipun secara resmi ajaran gereja NHK memisahkan
antara gereja dan negara/politik, namun dalam kenyataannya, hal itu sulit dilakukan oleh
gereja; gereja sama dengan negara dan negara itulah gereja. Hal ini berakibat pada
menjadi besar dan kuatnya peran serta wewenang Sinode dalam kehidupan menggereja
NHK, baik dalam hal menentukan keuangan gereja maupun dalam hal pemanggilan para
pendeta (Hontong, dkk, 2013:39).
Uraian di atas menarik untuk mengaitkan “situasi” Sidang Sinode Istimewa
tanggal 6-8 September 2013 dengan tujuan utama yang mendasari dilakukannya SSI,
yakni menghendaki penatalayanan GMIH dengan asas presbiterial sinodal. Dalam SSI
26
Terdapat 4 (empat) prinsip mendasar dari asas ini, yang membedakannya dengan asas episkopal dan
asas kongregasional, yakni: a). Imamat Am Orang Percaya; b). Tidak Ada Hirarki dalam Gereja; c).
Kepemimpinan Kolektif (kemajelisan); dan d). Berjalan Bersama (Hontong, dkk, 2013:27-36). 27
Perhatikan catatan kaki no. 13 khususnya kalimat “jemaat didesak untuk bersegera dan bergegas supaya
„menjadi‟.
60
tersebut, Bupati Halmahera Utara Ir. Hein Namotemo, MSP diundang secara khusus
untuk memberikan sambutan.28
Kehadiran Bupati Halmahera Utara dalam pelaksanaan
SSI, bisa diformulasikan sebagai: pertama, kehadirannya perlu dilihat sebagai “orang
nomor satu” di Halmahera Utara dan kebetulan beragama Kristen, sehingga
legitimasinya dianggap penting sebagai bagian dari pengakuan pemerintah Halmahera
Utara terhadap eksistensi SSI yang dilaksanakan dalam wilayah pemerintahan tersebut;
dan kedua, konsekuensi dari posisinya sebagai “orang nomor satu” di Halmahera Utara,
harusnya Bupati hadir dan mengambil sikap netral, sembari memberikan pemahaman
yang baik akan keutuhan GMIH.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, Bupati hadir dalam kapasitas sebagai
pendukung SSI dan tentu dukungan ini menambah rumit permasalahan yang dihadapi
GMIH. Ketidak-netralan negara (dalam hal ini Bupati yang merupakan representasi
pemerintah), diakibatkan posisi Bapak Ir. Hein Namotemo, MSP (Bupati Halmahera
Utara) yang pada periode kepemimpinan Sinode 2002-2007 memegang jabatan Ketua
III dalam Sinode, sehingga kehadirannya dalam SSI perlu “dibaca” dalam romantisme
jabatan Ketua III tersebut. Dengan demikian, maka dalam pelaksanaan SSI dapat diduga
muncul hegemoni kekuasaan negara terhadap gereja, atau (mungkin) kolabirasi
kekuasaan negara dan agama (gereja).
Dengan demikian, sebenarnya asas presbiterial sinodal atau asas “berjalan
bersama tua-tua” yang ditawarkan oleh SSI menurut pandangan peneliti masih sarat atau
muatannya adalah kepentingan penguasa dan kelompok tertentu, bukannya muncul dari
kesadaran Majelis Jemaat apalagi kesadaran anggota jemaat. Akibatnya kritik
Sekretariat Pembaharuan tentang praktek asas Presbiterial Sinodal yang dilakukan oleh
BPHS hasil SS Dorume menjadi sangat dangkal bahkan terkesan hilang karena tidak
memiliki dasar argumentasi yang kuat dan bermanfaat.
Selain itu, apabila memperbandingkan hasil Sidang Sinode Dorume (SSD) dan
hasil SSI khusunya pada 2 (dua) Surat Keputusan yang dihasilkan, yakni: 1) Keputusan
28
Sambutan tertulis tersebut dimuat dalam Buku Panduan Sidang Sinode Istimewa (GMIH) Tobelo, 6-8
September 2013. Sambutan tersebut dibuat dalam kertas yang berlogo “Bupati Halmahera Utara” dengan
Burung Garuda di atasnya. Sambutan ini menjadi bagian dari dokumen gereja. Selengkapnya sambutan
tersebut dapat dilihat dilampiran.
61
Persidangan Sinode GMIH XXVII No. 08/Kpts/SS XXVII/2012 tentang Tata Geraja
dan Peraturan-Peraturan, yang dihasilkan di Dorume; dan 2) Keputusan Persidangan
Sidang Sinode Istimewa GMIH No. 07/Kpts/SSI/2013 tentang Peraturan Tentang
Sinode, yang dihasilkan di Tobelo. Lebih khusus lagi pada turunan dari 2 (dua) surat
keputusan tersebut, masing-masing Peraturan Nomor 01 Tentang Sinode, memang
ditemukan beberapa perbedaan, namun tidak sangat mendasar dalam dua rumusan
peraturan yang dihasilkan oleh dua BPHS berbeda tersebut.
Realitasnya adalah bahwa dalam Ketentuan Umum (Peraturan No. 1–untuk
masing-masing BPHS), khususnya pasal 1 ayat 3 mencantumkan bahwa:
“Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) adalah Badan
Musyarawah para Penatua (presbyteros) utusan Majelis Jemaat dan BPHS
(pasal 1 ayat 3. versi SSD);
Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Halmahera (MS-GMIH) adalah
badan musyawarah para Penatua (presbyteros) yang mewujud dalam
persidangan-persidangan (pasal 1 ayat 3. versi SSI)”.
Mencermati dua kutipan ayat di atas, menurut peneliti yang tampak adalah lebih
banyak persamaan ketimbang perbedaan, bahwa kedua BPHS tersebut pada titik ini
bersepakat “Sidang Majelis Sinode adalah badan musyawarah para presbyteros. Yang
membedakannya adalah: menurut BPHS SSD, badan musyawarah para Penatua
merupakan „utusan Majelis Jemaat dan BPHS‟, sedangkan menurut BPHS hasil SSI
badan musyawarah penatua „yang mewujud dalam persidangan-persidangan‟–frase ini
bisa saja multi tafsir, seandainya tidak dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 1 ayat 4
tentang “anggota Majelis Sinode adalah wakil-wakil anggota Majelis Jemaat dalam
Sinode GMIH.
Untuk memperjelas tentang anggota yang diharuskan hadir dalam Sidang
Majelis Sinode sebagai perwujudan dari asas Presbiterial Sinodal, maka perlu melihat
dan memperbandingkan pasal yang mengatur tentang peserta Sidang. Dalam Tata
Gereja dan Peraturan-peraturan yang dihasilkan pada Sidang Sinode GMIH di Dorume,
khususnya pasal 5 (ayat 1 dan 2) Peraturan No. 1, dijelaskan bahwa:
“Ayat 1: Peserta Sidang Sinode dan Sidang Sinode Istimewa terdiri dari: a).
Utusan Jemaat: Ketua, Sekretaris dan Bendahara; b). Para Koordinator
Wilayah; c). Badan Pekerja Harian Sinode; d). Ketua-ketua Kelembagaan; e).
Rektor UNIERA, Direktur Rumah Sakit Bethesda; dan f). Undangan.
62
Selanjutnya, ayat 2: Peserta Sidang Majelis Sinode terdiri dari: a). Ketua
PBHJ; b). Para Koordinator Wilayah; c). Badan Pekerja Harian Sinode; d).
Ketua-ketua Kelembagaan; e). Rektor UNIERA, Direktur Rumah Sakit
Bethesda; dan f). Undangan”.
Selain itu, Peraturan No. 01 tentang Sinode GMIH hasil Keputusan SSI di
Tobelo, Pasal 11 (ayat 1, 2, dan 3) menyebutkan bahwa:
“Ayat 1. Peserta Sidang Lima Tahunan adalah: a). Tiga orang wakil dari
anggota-anggota Majelis Jemaat dalam Sinode GMIH; b). Mejelis
Pertimbangan Sinode, Badan Pekerja Harian Sinode dan Badan Pemeriksa dan
Pembinaan Perbendaharaan GMIH; c). Ketua-ketua Kelembagaan; d).
Undangan. Ayat 2 dan 3 tentang Peserta Sidang Sinode Istimewa dan Sidang
Sinode Tahunan adalah sama dengan peserta Sidang Lima Tahunan”.
Masalahnya memang terletak pada peserta atau anggota persidangan tersebut.
Jenis Sidang GMIH adalah Sidang Majelis Sinode yang dilakukan setahun sekali,
Sidang Sinode Istimewa yang dilakukan jika terdapat kepentingan yang sangat
mendesak, dan Sidang Sinode yang dilakukan lima tahun sekali. Titik kritik Sekretariat
Pembaharuan adalah soal siapa (peserta) yang harus mengikuti sidang tersebut, terutama
Sidang Majelis Sinode dan Sidang Sinode. Dalam Sidang Sinode masalahnya adalah
Keputusan Sidang Sinode Dorume sudah menetapkan secara jelas “utusan Jemaat”
yakni: Ketua, Bendahara dan Sekretaris–ini berarti ada tiga orang yang harus diutus.
Sedangkan Keputusan SSI secara abstrak menetapkan “utusan Jemaat” adalah “Tiga
orang wakil dari anggota-anggota Majelis Jemaat dalam Sinode GMIH”.
Dengan demikian, menurut kelompok Sekretariat Pembaharuan, utusannya harus
“tiga orang wakil” namun tidak perlu ditetapkan dengan pasti bahwa tiga orang utusan
itu haruslah Ketua, Bendahara dan Sekretaris. Bahwa keputusan rapat di tingkat
Jemaatlah yang memutuskan siapa yang diutus, dan tidak perlu ditetapkan dalam aturan
Sinode secara jelas. Selanjutnya Sidang Mejelis Sinode yang dilakukan sekali dalam
setahun, keputusan SSD menetapkan yang berhak hadir adalah “Ketua BPHJ”,
sedangkan keputusan SSI mengaruskan “tiga orang wakil” yang perlu diputuskan dalam
rapat Mejelis Jemaat untuk diutus sebagai peserta SMS, jadi tidak perlu langsung
ditetapkan seperti versi SSD.
63
Masalahnya adalah hal ini tidak memiliki implikasi organisatoris apapun, sebab
yang dilakukan oleh BPHS hasil SSD adalah konstitusional, karena aturan itu telah
ditetapkan dalam sebuah Sidang Sinode. Artinya keputusan SSD adalah konsensus
bersama dalam menggereja ala GMIH yang perlu dilakukan selama 5 tahun. Sehingga
ketika aturan itu dilaksanakan bukan berarti ada pelanggaran terhadap asas presbiterial
sinodal, seperti yang dituduhkan oleh Sekretariat Pembaharuan. Kalaupun terdapat
keberatan dalam penetapan peserta sidang seperti yang diatur dalam aturan tersebut,
maka hal ini perlu dicatat sebagai bagian yang nantinya direkomendasikan pada Sidang
Sinode selanjutnya, dan bukan diselesaikan lewat Sidang Sinode Istimewa (SSI).
Realitas lainnya adalah bahwa perbedaan perspektif tentang asas presbiterial
sinodal dari kedua kelompok terletak pada “Kepemimpinan Mejelis Sinode”. Dalam
Peraturan No. 1 (pasal 7) versi SSD dikatakan bahwa: “Mejelis Sinode dipimpin oleh
Badan Pekerja Harian Sinode (BPHS)”, yang keanggotaannya (diatur dalam pasal 6)
terdiri dari: a) Para Ketua PBHJ; b) Para Koordinator Wilayah; c) Anggota BPHS; dan
d) Ketua-ketua Kelembagaan tingkat Sinode. Selanjutnya, dalam Peraturan No. 1 (pasal
4 ayat 2) versi SSI dikatakan bahwa “kepemimpinan Majelis Sinode diketuai oleh tiga
orang Ketua atau lima orang Ketua yang didampingi oleh seorang Sekretaris yang
dipilih setiap kali persidangan Mejelis Sinode”. Selain itu–masih menurut versi SSI,
pada Pasal 6 yang mengatur tentang Masa Jabatan Majelis Sinode, dikatkan: (ayat 1)
“masa jabatan Anggota Majelis Sinode adalah 5 (lima) tahun untuk satu periode
pelayanan” dan (ayat 2) “masa jabatan Kepemimpinan Majelis Sinode adalah 1 (satu)
tahun untuk satu periode persidangan Majelis Sinode.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa struktur organisasi yang
diusung oleh BPHS versi SSI tampak “gemuk” dan tidak jelas kewenangannya. Artinya
Kepemimpinan Majelis Sinode yang masa jabatannya hanya 1 (satu) tahun, dan anggota
Majelis Sinode yang memiliki masa jabatan 5 (lima) tahun menjadi aneh dan tidak
bermanfaat dari sudut pandang organisasi. Selain itu, dari sudut pandang legitimasi,
Kepemimpinan Majelis Sinode tidak berarti apa-apa atau bahkan bisa dikatakan
“jabatan tanpa makna”, sebab kepemimpinan itu ada (diadakan) pada saat Sidang
Majelis Sinode setelah itu tidak memiliki kewenangan lagi setelah sidang berakhir,
64
fungsi apa yang akan “dimainkan” dalam waktu setahun berjalan, sedangkan
anggotanya menjabat selama 5 tahun?.
Mencermati uraian di atas, peneliti mencoba memformulasikan dua alur berpikir
dengan memperhatikan keanggotaan (peserta) Sidang Lima Tahunan dan Sidang
Tahunan, seperti: pertama, menurut versi SSI: Peserta Sidang Sinode Lima Tahunan
(Peraturan No. 1, pasal 11), adalah: a) tiga orang wakil dari antara anggota-anggota
Mejelis Jemaat dalam Sinode GMIH; b) Majelis Pertimbangan Sinode–5 orang (pasal 13
ayat 2), Badan Pekerja Harian Sinode dan Badan Pemeriksa dan Pembinaan
Perbendaharaan GMIH; c) Ketua-ketua Kelembagaan; dan d) Undangan. Sekian banyak
orang tersebut berkumpul 5 tahun sekali, selain membahas agenda baku yang
ditepakan29
, sidang tersebut harus terlebih dahulu membahas agenda utama yakni
Kepemimpinan Majelis Sinode yang baru untuk menjabat selama 1 tahun–logikanya
sebab Kepemimpinan Majelis Sinode yang lama telah berakhir. Wewenang yang
diberikan kepada Majelis Sinode (mungkin kepemimpinan yang baru dibentuk) adalah
menjalankan Sidang Majelis Sinode, sampai pada puncaknya, mengangkat dan
memberhentikan Majelis Pertimbangan Sinode, Badan Pemeriksa Pembinaan
Perbendaharaan GMIH dan Badan Pekerja Harian Majelis Sinode.30
Anehnya setelah
menetapkan berbagai macam keputusan dalam Sidang Majelis Sinode tersebut,
Kepemimpinan Majelis Sinode ini berakhir pada tahun berikutnya (tahun berjalan).
Pertanyaannya adalah siapa yang akan mengontrol berbagai aturan termasuk kinerja
kelembagaan yang dibentuk dan berjalan selama 5 tahun itu? Dikembalikan pada
Anggota Majelis Sinode? Apakah anggota memiliki kewenangan untuk itu? Bukankah
tugas pekerjaannya juga menumpuk dalam 5 tahun berjalan?.
Selain itu, berdasarkan pada Sidang Majelis Sinode Tahunan (Pasal 7 ayat 2 a).
Setelah kepemimpinan Majelis Sinode terbentuk, melakukan tugas dan tanggung
jawabnya selama satu tahun berjalan, dan pada Sidang Majelis Sinode tahunan pertama–
keanggotaan masih tetap sama, setelah laporan-laporan dipaparkan dan dievaluasi,
agenda berikut (mungin) adalah memilih dan menetapkan Kepemimpinan Majelis
Sinode yang baru. Tugas kepemimpinan Majelis Sinode ini adalah merancang program
29
Lihat pasal 8 Peraturan No. 1 Tentang Sinode 30
Lihat tugas dan wewenang Majelis Sinode dalam Pasal 5, Peraturan No. 1 Tentang Sinode
65
kerja tahunan untuk tahun berjalan–pola ini akan kembali berulang untuk tahun-tahun
berikutnya, sampai pada Sidang Sinode yang baru.
Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa pola kepemimpinan (presbiterial
sinodal) yang ditawarkan BPHS versi SSI menarik pasa sisi sirkulasi kepemimpinan,
namun pada sisi kewenangan dan pertanggungjawaban perlu dipertimbangkan lagi.
Setidaknya dengan pola ini, sirkulasi kepemimpinan Majelis Sinode dapat berjalan
dengan baik, dan proses kaderisasi mungkin juga menemukan format yang tepat,
sehingga terhidar dari kecurigaan-kecurigaan penyalagunaan kewenangan. Namun
kelemahannya adalah pada aspek miskinnya kewenangan, fungsi, peran, atau yang
paling penting adalah soal pertanggungjawaban, sebab struktur organisasi terlihat
tampak “gemuk” namun fungsinya menjadi “kurus” khususnya dari sudut pandang
sirkulasi kepemimpinan Majelis Sinode, sehingga kepemimpinan Majelis Sinode yang
hanya 1 tahun bertugas bisa saja melepas tanggungjawab untuk masalah-masalah
mendasar.
Kedua, menurut versi SSD: pasal 7 Peraturan No. 1, menjelaskan bahwa
“Majelis Sinode dipimpin oleh Badan Pekerja Harian Sinode (BPHS). Perlu dipahami
bahwa Sidang Sinode menghasilkan program kerja 5 tahun, sehingga kepemimpinan
Majelis Sinode oleh BPHS dimaksudkan agar kepemimpinan tersebut melakukan kajian,
penialain dan evaluasi terhadap seluruh program kerja 5 tahun yang dimanivestasikan
dalam Sidang Majelis Sinode (sidang tahunan). Ini artinya, struktur organisasinya
“ramping” namun memainkan tugas dan fungsi yang besar. Dengan demikian,
Kepemimpinan Majelis Sinode yang harus dibentuk dan dibentuk ulang dalam setiap
tahun persidangan tidak perlu dilakukan, sebab hanya akan menguras energi baik aktor
maupun organisasi.
Pertanggungjawabannya menjadi jelas, sebab dalam SMS selain BPHS
mengevaluasi program kerja yang telah dilakukan dan melaporkannya, BPHS juga
dievalusi oleh peserta SMS tersebut. Hasil evaluasi terhadap kinerja BPHS dalam SMS
akan dicatat sebagai pertimbangan Persidangan yang perlu diakumulasikan sampai pada
Sidang Sinode selanjutnya, dan bukannya kelemahan dan kekurangan BPHS yang
mungin terevalusi dalam SMS langsung diselesaikan lewat mekanisme Sidang Sinode
66
Istimewa (SSI). Akumulasi catatan persidangan itu akan menjadi bahan dasar evalusi 5
tahun program kerja BPHS dalam Sidang Sinode, sehingga BPHS bisa atau baru dapat
“dihakimi” dalam Sidang Sinode tersebut – inilah makna hari penghakiman bagi mereka
(BPHS) yang tidak mampu jelankan fungsi dan perannya selama 5 tahun. Wujud
penghakiman itu bisa termanivestasi dalam tindakan tidak akan memilih figur yang
sama untuk memimpin GMIH, itulah makna pertanggungjawaban.
Mencermati penjelasan tentang “perbandingan peraturan” versi SSD dan SSI di
atas, dapat dikatakan bahwa tidak ada yang salah dan keliru dalam gerak organiasi
GMIH. Sirkulasi, komunikasi organisasi (GMIH) oleh BPHS SSD dilakukan atas dasar
konsensus nilai bersama yang terdokumenkan sebagai Tata Gereja sehingga oleh
mereka yang dilakukan adalah konstitusional. Akan menjadi masalah apabila konsensus
bersama itu tidak dilakukan. Pertannyaannya, presbiterial sinodal seperti apa yang
hendak dituntut? Bukankan asas presbiterial sinodal sudah terkonsensuskan dan telah
menjadi tindakan berpola yang tampak dalam perilaku organisasi yang dikomandoi
BPHS hasil keputusan Sidang Sinode di Dorume tahun 2012? Perjalanan masih panjang,
dan kalaupun BPHS melakukan penyelewengan peraturan GMIH yang menciderai asas
persbiterial sinodal, Sidang Sinode Istimewa bukan solusinya.
Sekalipun demikian, realitasnya adalah SSI telah dilakukan dan menghasilkan
BPHS GMIH yang baru. Dualisme kepemimpinan ini ternyata tidak menghasilkan
solusi tepat namun berujung pada keretakan dan perpecahan ditingkat Jemaat-jemaat.
BPHS versi SSI mencoba menawarkan “air segar” tetapi mekanisme yang ditempuh
keliru dan dapat dikatakan inkonstitusional terhadap konstitusi GMIH. Keinginan untuk
menegakkan asas presbiterial sinodal “terbungkus” interest lain yang membuat
presbiterial sinodal itu turut tercemar. Selain itu, ada fakta sejarah yang membuktikan
bahwa Utrechtsche Zendings Vereeninging (UZV) adalah utusan gereja NHK di
Belanda dalam pekabaran injil di Halmahera, yang asasnya adalah presbiterial sinodal
dengan kewenangan berada di tangan Sinode. Sehingga keingian untuk merubah asas
presbiterial sinodal menjadi yang ala Halmahera, maka diperlukan kesiapan dan
pengkajian mendalam untuk memberdayakan dan mempersiapkan jemaat-jemaat
67
terlebih dahulu, dan tidak “memotong kompas” lewat jalur cepat (SSI), apalagi bercerai
pasca Pemilihan Gubernur Maluku Utara, sehingga terkesan sarat kepentingan politik.
4.6. Pasca Perpecahan GMIH: Satu Bahtera Dua Nahkoda
Judul sub bab di atas “satu bahtera dua nahkoda” memang terasa menggelitik,
menggemaskan, namun akhirnya terasa sangat menakutkan. Ibarat sebuah bahtera atau
kapal jika diketahui terdapat dua nahkoda yang sedang berebut kemudi maka
pertanyaannya siapakah penumpang yang sudi untuk berlayar dengan bahtera tersebut?
Dalam kondisi normal, tidak ada penumpang yang ingin untuk berlayar dengan jenis
bahtera seperti itu. Dalam bahasa yang bernada teologis, qua vadis bahtera itu? Inilah
yang terjadi dengan Gereja Masehi Injili di Halmahera atau GMIH.
Bahtera GMIH yang sedang berlayar kemudian diarahkan untuk berlabuh
sejenak di Dorume, Loloda Utara pada tanggal 23-30 Agustus 2012, dan kemudian
diputuskan agar “kapten” Pdt. Anton Piga, S.PAK., M.Si, kembali menahkodai bahtera
GMIH itu adalah sebuah keputusan yang dalam Tata Gereja boleh dan bisa dikatakan
konstitusional. Terlepas dari adanya keberatan dari beberapa pihak yang menamakan
dirinya “Tim Reformasi GMIH” atau “Sekretariat Pembaharuan GMIH”, namun
pemilihan kepengurusan Sinode GMIH atau BHPS GMIH dalam Sidang Sinode ke-
XXVII di Jemaat Dorume, Loloda Utara adalah konstitusional.
Bagi peneliti kalaupun GMIH harus direformasi atau dibaharui, itu merupakan
hal yang wajar saja dalam sebuah organisasi, apalagi organisasi gereja Protestan yang
sejak awalnya memang lahir dari sebuah proses reformasi–sebuah protes yang dilakukan
oleh Martin Luther denegan “memaparkan” dalil-dalilnya tahun 1517. Namun
pembaharuan atau reformasi GMIH yang dikomandoi oleh Sekretariat Pembaharuan,
bagi peneliti waktunya menjadi kurang tepat–kalau tidak ingin dikatakan sarat
kepentingan. Pertanyaan mengemukan adalah mengapa hal tersebut terjadi pasca
Pilkada Gubernur Maluku Utara? “Titik keberangkatan” yang keliru inilah yang
membuat Sekretariat Reformasi dalam beberapa tulisan yang dibuat oleh para
pendukungnya terkesan memaksakan argumentasi.
Sekalipun demikian–adanya titik berangkat yang keliru, namun upaya yang
dilakukan oleh Sekretariat Pembaharuan pada tataran tertentu perlu diapresiasi sebagai
68
bentuk “penyegaran” terhadap organisasi GMIH, setidaknya upaya itu membuktikan
bahwa Sumber Daya Manusia GMIH sudah cukup mumpuni dalam mempertautkan
perkembangan ilmu pengetahuan dengan agama atau iman. Sayangnya bentuk
penyegaran ini tampak terlalu bergairah sehingga memicuh konflik pada tingkat Jemaat.
Meminjam perspektif D.J.Bosch, rasionalitas ilmu pengetahuan harus “dibumbui”
dimensi spritualitas-religius. Artinya bahwa perubahan, trasformasi, atau pembaharuan
terhadap struktur organisasi gereja (GMIH) ke arah yang lebih modern perlu
memperhatikan syarat spiritualitas-religius tersebut.
Dengan demikian, yang perlu dilakukan adalah pengatan kelembagaan pada
tingkat jemaat, agar warga/anggota jemaat benar-benar berdaya dan sadar bahwa
pembaharuan memang diperlukan secara berkelanjutan dalam kehidupan menggereja.
Kesadaran dan pemahaman jemaat tentang asas presbiterial sinodal perlu ditingkakan
atau terus diupayakan. Dengan demikian, tanpa melalui mekanisme SSI asas itu akan
diperjuangkan oleh warga jemaat yang rasional dengan dasar spritualitas-religius itu,
sehingga konflik dapat terhindarkan. Realitas yang terjadi saat ini, sekelompok orang
terkesan memaksakan rasionalitasnya kepada jemaat-jemaat sehingga memunculkan
pengkotakan-pengkotakan warga jemaat yang mengakibatkan konflik kepentingan atas
dasar dukungan. Dalam terminologi seperti ini, asas presbiterial sinodal menurut peneliti
terkesan ikut dipaksakan agar dimengerti oleh warga jemaat yang belum diberdayakan.
Mencermati buku kecil yang disusun oleh Julianus Mojau dengan judul “Sejarah
Pembaharuan GMIH”, topik utama yang dijadikan masalah bagi Sekretariat
Pembaharuan adalah masalah asas Gereja, yakni Presbitarial Sinodal. Namun jika
membaca secara saksama (lebih mendalam) argumentasi yang dibangun penulis, yang
tampak adalah keikutsertaan pendeta dalam politik, serta beberapa wacana lain sebagai
turunan, yakni: tidak transparannya pengelolaan keuangan, terjadinya pengelembungan
suara dalam pemilihan Sekretaris BPHS GMIH periode 2012-201731
, dan kemudian
semua permasalahan yang dilakukan oleh BPHS 2007-2012 dan 2012-sekarang, yang
diinventarisir oleh Sekretariat Pembaharuan dan disebar-luaskan lewat “Materi
31
Permasalahannya adalah mengapa tidak diprotes dan diboikot jika terjadi pengelembungan suara dalam
pemilihan Sekretaris BPHS GMIH 2012-2017 pada saat pemilihan? Mengapa harus menunggu satu tahun
dulu baru diprotes??
69
Sosialisasi Penyimpangan Yang Dilakukan BPHS GMIH”32
. Dalam materi sosialisasi
ini termuat “29 dosa” yang dituduhkan ole kelompok Pembaharuan GMIH.
Dalam “catatan” Mojau (2014:36-38) dikatakan bahwa “selain keterlibatan
pendeta dalam politik praktis–politik kekuasaan, sejumlah pokok serius dalam
manajeman organisasi GMIH selama periode 2007-2012 yang telah mempercepat benih
gerakan pembaharuan penghayatan dan praktik hidup menggereja GMIH sebagaimana
diletakan oleh MPS GMIH 2002-2007 mencari jalan keluar dari tumpukan batu-batuan
staus quo periode 2007-2012”. Dikatakan, pada awalnya tim tersebut33
menamakan diri
sebagai “Tim Penyelamat GMIH” yang melakukan rapat pertamanya tanggal 1 Juni
201134
, yang kemudian menambahkan sejumlah kelalaian serius dalam kepemimpinan
BPHS GMIH 2007-2012 yang dinahkodai oleh Pdt. Anton Piga, S.PAK., M.Si, sebagai
berikut:
a. Soal Balai Pengobatan Bethesda yang tidak dikelola secara profesional
sehingga mutu layanan memburuk dan pegawai tidak terima gaji;
b. Soal pengelolaan keuangan yang tidak transparan (bahkan ditengarai Ketua
BPHS GMIH–Pdt. Anton Piga, S.PAK., M.Si selalu membawa ATM);
c. Soal Akte pendirian Unira (Universitas Halmahera) yang ditengarai tidak
jelas dan dikuatirkan nanti menjadi milik pribadi;
d. Pengembalian dana pensiaun dari PGI yang menggunaannya tidak jelas;
e. Di antara anggota BPHS tidak lagi harmonis (retaknya team-work);
f. Pemecatan pendeta tanpa pendampingan pastoral.
Permasalahannya apabila hasil identifikasi permasalahan oleh Tim Penyelamat
GMIH yang ditudukan kepada BPHS 2007-2012 ini benar, dan Tim ini telah melakukan
rapat pada tanggal 1 Juni 2011 (setahun sebelum Sidang Sinode GMIH di Dorume),
maka diyakini hasil keputusan rapat Tim Penyelamat GMIH telah tersosialisasikan
kepada Jemaat-Jemaat. Namun masalahnya mengapa pada saat pemilihan Ketua Sinode
GMIH pada tahun 2012, Pdt. Anton Piga kembali terpilih? Bukankah dengan terpilihnya
Pdt. Anton Piga yang dituduh melakukan “kelalaian serius” (meminjam istilah Mojau),
telah mengeliminir tuduhan dari Tim Penyelamat GMIH?.
32
Lihat lampiran Materi Sosialisasi Penyimpangan Yang Dilakukan BPHS GMIH 33
Tim yang mencari jalan keluar dari tumpukan batu-batuan status quo BPHS 2007-2012 34
Keanggotaan Tim ini adalah: 1) Pdt. S.S. Duan, M.Th, 2) Pdt. J.Biso, M.Th (alm), 3) Pdt. S. Ray-Ray,
S.Th, 4) Pdt. A. Djurubasa, M.Th, 5) Pdt. A. Puasa, M.Th, 6) Pdt. F.Putjutju, M.Th, 7) Pdt. Drs. Karwanto
Hohakay, M.Th, 8) Pdt. Ekson Tonoro, S.H., M.Th, 9) Willy Kuat (pemuda GMIH), 10) Pdt (Em) Hans
Alexander Annu, M.Th, 11) Pdt. Eduard R. Mailoa, dan 12) Pnt. A. May-Luhulima.
70
Apabila mencermati sumber daya manusia keanggotaan Tim Penyelamat GMIH
(lihat catatan kaki nomor 15), dapat dikatakan bahwa sangat mumpuni untuk dapat
membaca fenomena yang terjadi setelah kembali terpilihnya Pdt. Anton Piga dalam
Sidang Sinode tersebut. Selain itu dua anggota Tim Penyelamat GMIH yang kemudian
mengundurkan diri, atau “membelot” (meminjam istilah Mojau), yakni Pdt. Ekson
Tonoro, S.H., M.Th, dan Pdt. F. Putjutju, M.Th, perlu di ”baca” oleh Tim Penyelamat
GMIH sebagai apa yang dituduhkan tidak semuanya benar. Namun yang terjadi adalah
Tim ini tetap “memainkan” perannya dalam mencari kesalahan-kesalahan BPHS GMIH
periode 2007-2012, puncaknya, benih yang ditanamkan Tim Penyelamat GMIH berbuah
menjadi Tim Reformasi GMIH dan akhirnya terbentuklah Sekretariat Pembaharuan
GMIH.
Julianus Mojau mencatat dalam “Sejarah Pembaharuan GMIH” bahwa: Setelah
Sidang Sinode GMIH XXVII tahun 2012, Tim Reformasi semakin gencar melakukan
gerakan menentang BPHS GMIH hasil Sidang Sinode GMIH XXVII dengan
mendeklarasikan diri secara terbuka sebagai Tim Reformasi GMIH pada tanggal 31
Oktober 2012 di Jemaat Elim Wosia Tobelo yang dihadiri oleh sejumlah jemaat-jemaat
dalam Sinode GMIH di wilayah Galela, Tobelo dan Kao.” Dalam pertemuan itu, Tim ini
kembali menyuarakan soal ATM yang (katanya) masih dipegang oleh Ketua Sinode,
dan soal pengelolaan dana pensiun GMIH yang dikembalikan oleh PGI.
Isyu lama yang kembali diwacanakan oleh Tim Reformasi GMIH, dibungkus
dengan beberapa issue (temuan?) baru pasca Sidang Sinode Dorume, diantaranya:
a. Sumbangan pihak ketiga kepada Panitia Sidang Sinode tidak diteruskan oleh
Pdt. Anton Piga, S.PAK., M.Si;
b. Telah terjadi pengelembungan suara dalam pemilihan Sekretaris BPHS
GMIH periode 2012-2017;
c. Wakil Sekretaris terlibat dalam kecurangan penghitungan suara pada saat
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pulau Morotai;
d. Tata Gereja GMIH 2012 sungguh-sungguh telah menyimpang dari prinsip
dasar dan semangat Asas Presbitarial Sinodal;
e. Penyimpangan itu disebabkan karena terjadi pengubahan dalam editing
akhir, yang;
f. Berujung pada pelantikan anggota Majelis Sinode (Duan, 2012; Mojau,
2014).
71
Perang wacana, mungkin itulah yang terjadi. Namun wacana tersebut telah
terakumulasi menjadi tindakan yang menghasilkan Sidang Sinode Istimewa (SSI) pada
tanggal 6-8 September 201335
di Sekretariat Pembaharuan yang menghasilkan BPHS
versi SSI. Pertanyaannya apakah pelaksanaan SII 2013 diketahui oleh Ketua Sinode
GMIH hasil pemilihan dalam Sidang Sinode Dorume tahun 2012, Pdt. Anton Piga?
Ketika peneliti menemui dan mewawancarai Pdt. Anton Piga pada tanggal 26 Januari
2014 beliau mengatakan
“saya tidak tahu adanya SSI, saya tidak diundang oleh Panitia Pelaksana,
padahal kalau melihat aturan Gereja (GMIH), harusnya saya sebagai ketua
Sinode hadir dalam Sidang Sinode Istimewa itu. Jadi, bisa saya katakan
pelaksanaan SSI melanggar aturan dan mekanisme GMIH, apalagi Ketua
Sinode tidak sedang berhalangan tetap.”
Mengenai segala macam wacana (isyu dan tuduhan) Tim Reformasi atau
Sekretariat Pembaharuan GMIH, yang sebagian telah diuraikan dibagian atas, Ketua
Sinode GMIH (Pdt. Anton Piga), dalam Surat Kabar Obor Halmahera (Edisi I/X/2013:
1), ketika diwawancarai oleh tim OH tentang 29 “dosa” yang ditudukan kepadanya, dia
malah mempersilahkan atau menganjurkan kepada setiap orang yang percaya dengan
tuduhan-tuduhan itu untuk langsung saja mengkroscek ke Badan Pemeriksa Pengawasan
Perbendaharaan Gereja (BP3G), sebab badan itulah yang bisa mengklarifikasi soal
penggunaan dana BPHS GMIH. Pdt. Anton Piga mengungkapkan
“kalau masalah keuangan Sinode selama ini tidak beres, maka kami sudah
pasti dimintai pertanggungjawaban. Malah mungkin kami sudah harus
dilaporkan karena penggelapan dana gereja, tapi nyatanya kan tidak”.
Selanjutnya dalam laporan Obor Halmahera yang mengkroscek hal ini kepada
Sekretaris BP3G, Drs. Ames Bassay, M.Si, tidak ditemukan adanya pengelapan
anggaran atau dana gereja. Bassay menjelaskan bahwa “setiap pelaporan keuangan
BPHS sudah diperiksa oleh BP3G dan sudah diterima oleh perwakilan Jemaat di Sidang
Sinode dan Sidang Majelis Sinode”. (Obor Halmahera Edisi I/X/2013)
35
Terdapat perbedaan tanggal dengan hasil “Pemetaan Persoalan GMIH” yang dilakukan dan dikeluarkan
oleh BALITBANG dan STATISTIK GMIH tahun 2013. Dalam laporan pemetaan perrsoalan GMIH
tersebut, pada point 8 dijelaskan “pelaksanaan SSI pada tanggal 13-15 September 2013. Sedangkan pada
Buku Panduan SSI GMIH tertulis, SSI dilakukan pada tanggal 6-8 September 2013. Ketika hal ini
dikonfirmasikan kepada Kepala Balitbang dan Statistik GMIH, Anthon Ngarbingan, M.Si, dia
mengatakan bahwa “ada kesalahan pengetikan pada hasil pemetaan persoalan GMIH dan telah direvisi”.
72
Pertanyaannya adalah apabila dalam Sidang Sinode ke-27 di Dorume sudah
menerima laporan pertanggungjawaban keuangan GMIH dan Pdt. Anton Piga
kembali dipercaya untuk memimpin GMIH dalam periode 2012-2017, dan dalam
Sidang Majelis Sinode tahun 2013 laporan keuangan GMIH juga sudah diterima
dalam sidang tersebut apakah isyu tentang penggelapan dana GMIH masih relevan
untuk dituduhkan?.
Mencermati permasalahan yang muncul dan menimpa GMIH, Kepala Balitbang
dan Statistik GMIH, Anthon Ngarbingan, M.Si melakukan kajian (penelitian), dan
hasilnya adalah “Pemetaan Persoalan GMIH”. Laporan yang berjumlah 9 (sembilan)
halaman itu telah memetakan dengan cukup baik masalah yang dihadapi sampai dengan
perhitungan “kekuatan” jemaat pendung BPHS GMIH hasil Sidang Sinode Dorume
2012, dan jemaat pendukung BPHS hasil SSI tahun 2013, termasuk jemaat yang
kemudian mendukung Gereja Protestan Halmahera (GPH) di Halmahera Barat.36
Intinya
hasil pemetaan itu menunjukan bahwa semua hal yang dituduhkan oleh Sekretariat
Pembaharuan GMIH adalah tidak berdasar, bahkan terkesan tindakan itu diambil akibat
kekalahan salah seorang calon dalam pertarungan politik–suksesi pemilihan Gubernur
Maluku Utara.
Intinya bahwa berbagai tuduhan itu telah diklarifikasi oleh BPHS GMIH dalam
Sidang Majelis Sinode I pada bulan Februari 2013 di Jemaat Betlehem Tobelo. Bahkan
setelah melakukan klarifikasi, Sidang Majelis Sinode “merekomendasikan untuk
dilakukan pengampunan dan konsiliasi kepada Kelompok Reformasi dan dilakukan
penarikan selebaran atau buku yang telah disebarkan. Rekomendasi tersebut diindahkan
oleh mereka (Kelompok Reformasi).”37
Hasilnya kondisi GMIH kembali tenang sekitar
5 bulan lamanya. Kelompok ini (reformasi) kembali melakukan aksi dipicu oleh adanya
demonstrasi dari sekelompok orang yang menuntut Ketua dan Sekretaris Sinode mundur
dari jabatannya karena mendukung calon tertentu.38
36
Lihat lampiran Pemetaan Persoalan GMIH 37
Lihat lampiran, laporan Pemetaan Persoalan GMIH khususnya point 2, 3, dan 4 38
Pdt. Anton Piga dalam Obor Halmahera, Edisi I/X/2013 mengatakan bahwa “secara kelembagaan
BPHS Sinode tidak pernah mengeluarkan seruan atau dukungan kepada salah satu Calon Gubernur. Kami
sadar Gereja tidak punya kapasitas untuk mengeluarkan seruan politik seperti itu. Oleh karena itu kami
netral. Tapi jika dalam keberadaan selaku pribadi, khan masing-masing BPHS GMIH punya hak pribadi
73
Akibat demonstrasi yang dipimpin Pnt. Benny Bitjoli (Majelis Jemaat Elim
Gura), berbagai isyu-pun mulai dikembangkan–bagai bola liar terutama di Jemaat-
jemaat Halmahera Barat dan Halmahera Utara. Isyu penyelewengan, isyu keterlibatan
politik, penyalahgunaan keuangan dan sebagainya digulirkan ke jemaat-jemaat.
Kelompok Reformasi yang pada SMS Betlehem telah dibubarkan, kembali ikut
menyemarakan isyu-isyu tersebut. Pada beberapa wilayah tertentu, mulai dilakukan
pertemuan-pertemuan kecil untuk membahas isyu-isyu yang telah berkembang, mulai
dari wilayah Kao, Tobelo dan Galela. Akhirnya BPHS melakukan pertemuan klarifikasi
kepada Pegawai Organis Gereja (POG) di Jemaat Siloam Gosoma, tanggal 23 Juli 2013.
Hasil klarifikasi tidak memuaskan beberapa pendeta yang menyebut diri kelompok
Reformasi, dibantu oleh beberapa dosen Uniera, tim reformasi melebur diri menjadi Tim
Pembaharuan GMIH dan menyiapkan dokumen Kairos (dokumen pembaharuan) yang
dikomandoi oleh Fakultas Teologi Uniera. Puncaknya adalah pelaksanaan SSI dengan
menghasilkan BPHS versi SII.
Terlepas dari berbagai permasalahan–konflik kepentingan pada tingkat elite
GMIH dan (mungkin) juga beberapa elite politik di Halmahera, pertanyaan pentingnya
adalah mengapa konflik kepentingan ini tidak mampu dikelola secara baik di tingkat
elite, malah dibiarkan mengelinding bagai bola liar? Kepentingan siapa yang membuat
sampai bola liar (yang telah berapi) ini harus mengelinding sampai membakar emosi
jemaat-jemaat yang tidak atau belum memahami permasalahan sebenarnya?.
Meminjam kata-kata anak mudah dalam pergaulan “penyesalan selalu datang
terlambat”. Walaupun demikian, siapa yang menyesal dalam realitas GMIH yang telah
terpecah dan memiliki dua nahkoda ini? Jawabannya tentu jemaat yang tidak ingin
gerejanya terpecah. Untuk itu, dalam bab selanjutnya, peneliti akan membahas realitas
salah satu jemaat dalam menanggapi konflik kepentingan yang mengakibatkan bahtera
GMIH tidak saja retak tapi telah memiliki dua nahkoda ini. Keterpecahan warga jemaat,
secara langsung juga menunjukan proses legitimasi jemaat mengikuti pilihan dukungan
terhadap kepada elit gereja yang dalam perspektif warga jemaat sama-sama benar, atau
untuk menentukan dukungan pada siapapun juga. Untuk hal ini, kita juga harus menghargainya sebagai
hak politik setiap anggota BHPS GMIH.
74
sesuatu yang dikalim benar menurut rasionalitas berbasis spiritualitas-religius setiap elit
gereja.
75
BAB V
POTRET JEMAAT IKHTHUS WARI:
SATU BAHTERA DUA NAHKODA
Bab ini bertujuan menjawab dua masalah penelitian, difokuskan pada analisis
mengenai perpecahan GMIH serta dampak perpecahan tersebut bagi kehidupan warga
jemaat di Jemaat Ikhthus Wari.
5.1. Dampak Pembaharuan GMIH Pada Kehidupan Jemaat Ikhthus Wari
Jemaat Ikhthus Wari adalah jemaat yang menurut interpretasi peneliti sebagai
tempat peletak dasar GMIH memasuki milenium ketiga. Alasannya adalah bahwa ketika
Sidang Sinode ke-25 di Jemaat Ikhthus Wari, keinginan untuk merubah Tata Gereja dan
Tata Rumah Tangga GMIH itu diutarakan oleh Majelis Pekerja Sinode (MPS) GMIH
pada saat itu. Upaya reformasi aturan GMIH ini kemudian terus dikawal guna berjalan
dalam rel presbiterial sinodal. Namun dalam perjalanan perkembangan dinamika
organisasi (GMIH) ini, wacana politik kemudian ikut memperkeruh situasi dan akhirnya
Sidang Sinode Istimewa dipilih sebagai jalan yang me-radikal-kan GMIH, sebab SSI
membuat GMIH terpecah.
Jemaat Ikthus Wari yang “mula-mula” menjadi pelabuhan teduh bagi bahtera
GMIH ikut menerima dampak “gelombang tsunami” yang diakibatkan oleh konflik
kepentingan di tingkat elite GMIH, akhirnya “pelabuhan teduh” itu bergoyang
mengakibatkan robohnya tiang-tiang penyangga, anggota jemaat tercerai-berai
mengikuti kepentingan elite. Meminjam pernyataan Kepala Badan Litbang dan Statistik,
Anthon Ngarbingan, “yang terjadi adalah rumah tangga berpindah gereja”. Realitas
itulah yang terjadi di Jemaat Ikthus Wari saat ini. Namun sebelum menguraikan pokok
ini lebih mendalam, ada baiknya peneliti deskripsikan sekilas tentang sejarah jemaat
Ikthus Wari.
5.1.1. Sekilas Tentang Sejarah Jemaat Ikthus Wari
Berdasarkan data yang dihimpun di Kantor Jemaat Ikthus Wari (dokumen tanpa
tahun), diketahui bahwa sejarah perkabaran injil di Halmahera utara, dimotori oleh
Hendrik van Dijken, dan orang Wari yang pertama kali menerima injil itu adalah Nenek
Kukula, kemudian dengan semangat kepelayanannya ia menyebarkan injil dan
76
membentuk persekutuan di Wari, waktu itu ada 7 Kepala Keluarga (KK) yang telah
menerima injil39
. Segala hal menyangkut pelayanan pemberitaan injil di Wari dibiayai
oleh Nenek Kukula dari hasilnya menjual pinang. Nenek Kukula bersama dengan 7 KK
mulai membangun tempat beribadah darurat yang terbuat dari bambu dan beratapkan
daun rumbia.
Guna mempermudah pelayanan, maka waktu itu diangkatlah kepengurusan
jemaat yang terdiri dari: seorang Penatua, yaitu Pnt. Babronga-Ina, dan dua orang
Diaken, yaitu, Diaken Kanaba Pagama dan Diaken Kotarame Pohodo. Dalam proses
perkembangan injil di desa Wari, kemudian datanglah bapak Metiari dari Ambon
sebagai guru sekolah dan guru jemaat. Kehadiran bapak guru Metiari di Wari tidak
begitu lama. Sebagai penggantinya adalah bapak guru Yosias Noya, yang selain
menaruh perhatian dibidang pendidikan, beliau bergiat dalam pembinaan kerohanian
jemaat. Atas prakarsa bapak guru Yosias Noya maka direncanakan untuk membangun
sebuah gereja yang lebih layak, maka dengan kebulatan tekad, pekerjaan pembangunan
gerejapun dimulai.
Pada saat pembangunan gereja dilakukan, belum semua penduduk Wari
beragama Kristen. Dalam proses pembangunan itu, ada seseorang anggota jemaat yaitu,
bapak Mangalo, mungkin berniat melarikan dari tanggung jawab pekerjaan gedung
gereja, dan kemudian meminta izin untuk “pukul sagu”40
ke Limau, tapi tidak berapa
lama bapak Mangalo dibawa pulang dengan tubuh tidak bernyawa. Tidak berselang
beberapa lama musibah penyakit sampar menyerang masyarakat Wari, setiap hari ada
yang meninggal dunia, dan itu berlangsung lama sehingga peti mayat yang biasanya
terbuat dari papan diganti dengan pelepah rumbia. Dengan berbagai peristiwa yang
menimpa masyarakat Wari selama pembangunan gedung gereja, akhirnya mereka
menjadi takut dan kemudian memilih menjadi Kristen.
39
Sejarah Jemaat Ikhthus Wari belum tercatat dengan baik dalam dokumen Gereja. Satu-satunya yang
ditemukan hanyalah “catatan pinggiran” yang ada dalam dukumen penthabisan gereja pertama dan kedua,
itupun tanpa tahun, dan tidak memadai. Karena itu, selain berpedoman pada catatan yang ada dalam
„dokumen‟ gereja Ikhthus Wari, bagian ini juga “diperkaya” oleh penuturan: Pdt. Irene Souhoka,
S.Si.Teol., Pdt. Mathelda Namotemo, S.Si.Teol., dan Pdt. A. Towondila. Walaupun demikian, diskusi soal
Sejarah ini-pun tidak sampai pada menuturkan tahun per tahun perjalanan jemaat Ikthus Wari. 40
Pukul sagu artinya memanen sagu: menebang pohon sagu, membelahnya dan menghaluskan batang
sayu yang telah dibelah kemudian diperas untuk mendapatkan sarinya.
77
Setelah penduduk Wari memilih untuk masuk agama Kristen, pekerjaan
pembangunan gerejapun kemudian dikerjakan secara bersama-sama, dan akhirnya
gedung gerejapun selesai dibangun dan diberi nama gereja “IMANUEL“ dan
diresmikan pada tahun 1931 oleh guru jemaat Yosias Noya. Bapak guru Yosias Noya
bertugas di Wari kurang lebih 27 tahun lamanya. Selanjutnya silih-berganti pelayan atau
pendeta yang bertugas. Dalam perkembangannya, jumlah anggota jemaat Imanuel Wari
terus bertambah, dan gedung gereja tidak mampu menampung semua anggota jemaat
dalam ritual peribadatan, maka direncanakan pembangunan gedung gereja baru. Dalam
proses pembangunan gedung gereja baru memakan waktu yang sangat panjang sampai
pada penthabisannya, dikarena panitia pembangunan kurang bertangtanggung jawab
terhadap masalah keuangan, akhirnya beberapa kali diadakan pergantian panitia
pembangunan. Proses akhir pembangunan dan penthabisan gereja baru dilakukan
tanggal 27 November 1999 gedung gereja yang baru dithabis dengan nama baru, yakni:
IKHTHUS.
Jemaat Ikthus Wari pada saat gereja baru tersebut diremikan, terbagi dalam tujuh
(7) lingkungan pelayanan41
. Tidak dalam waktu lama, sejak gereja Ikthus dithabiskan
terjadilah kerusuhan di Tobelo. Kerusuhan ini seakan membawa berkah bagi desa Wari,
sebab Wari merupakan salah satu tempat “berteduh” bagi para pengungsi yang sebagian
besar pengungsi berasal dari Loloda. Kedatangan para pengungsi, dan kemudian
menetap, membuat jemaat Ikhthus Wari bertambah banyak, terhitung sampai akhir
tahun 2009 jemaat Wari sudah terbagi menjadi 10 lingkungan pelayanan, dan ketika
tahun 2012 akibat jumlah anggota jemaat yang terus bertambah, maka lingkungan
pelayanan “dimekarkan” lagi menjadi 12 lingkungan pelayanan. Data yang tercatat di
kantor gereja Ikthus Wari, diketahui bahwa jumlah kepala keluarga jemaat Ikthus Wari
berdasarkan hasil Rapat Sidi Jemaat tahun 2014 adalah 525 kepala keluarga, dengan
jumlah 2062 jiwa.
41
Lingkungan pelayanan merupakan pembagian jemaat yang dimasukan dalam lingkungan-lingkungan.
Jika dikaitkan dengan pola pembagian penduduk Desa yang dipilah berdasarkan Rukun Tetangga dan
Rukun Warga, maka dalam satu lingkungan bisa terdiri dari beberapa RT atau RW.
78
5.1.2. Faktor Yang Ikut Mendukung Perpecahan Jemaat Ikhthus Wari
Julianus Mojau dalam kesimpulan buku yang ditulisnya “Sejarah Pembaharuan
GMIH” (2014:126) mengatakan “ pembaharuan adalah wujud dari kemajuan iman.
Itulah sebabnya setiap usaha melawan pembaharuan adalah usaha melawan kemajuan
iman. Apalagi di tengah-tengah perubahan sosial-budaya, ekonomi dan politik masa
kini…”. Mencermati pernyataan Mojau, peneliti mengambil posisi untuk bersepakat
dengan kesimpulan yang dibuta Mojau. Namun, yang menggelitik peneliti adalah
“kemajuan iman” siapa? Jemaat GMIH? Rasanya Mojau terlalu memaksakan
kesimpulan ini.
Pertanyaan itu mengkonfirmasi pikiran peneliti tentang topik yang dikaji Mojau
dalam buku kecilnya (Sejarah Pembaharuan GMIH), tentang: “5 Juli 2013: Saat Tuhan
Menegur Para Pemimpin umat-Nya”. Topik ini dibahas panjang lebar tentang keberatan
Sekretariat Pembaharuan akan tindakan Ketua Sidone (secara pribadi–namun seolah-
olah dikatakan mewakili lembaga) yang tidak mendukung salah salah satu calon dari
dua calon warga GMIH yang ikut “meramaikan” suksesi Gebernur Maluku Utara Waktu
itu. Sehingga pertanyaannya adalah apakah Tuhan sedang menegur Ketua Sinode (Pdt.
Anton Piga) atau Tuhan sedang menegur dua orang calon Gubernur yang nota bene
adalah warga GMIH karena membuat Ketua Sinode bingung untuk menentukan pilihan?
Pertanyaan terakhir ini tentu sulit untuk dijawab. Namun yang jelas jemaat Ikthus Wari
terpecah pasca suksesi pemilihan Gubernur Maluku Utara.
Sidang Sinode Istimewa (SSI) dilakukan para tanggal 6-8 September 2013.
Dalam laporan persidangan (Dokumen Hasil Sidang Sinode Istimewa GMIH di Tobelo,
2013), tercatat tiga nama sebagai sebagai peserta persidangan dari Jemaat Iktuhus Wari,
yakni: Pnt. S. Labuha, O. Kumihi42
, dan Pdt. M. Namotemo43
. Keberangkatan keempat
“elite” untuk mengikuti SSI, menurut penuturan Pdt. M. Namotemo adalah “atas
42
O. Kumihi dalam kesehariannya di Jemaat Ikthus Wari dianggap sebagai yang dituakan atau tua-tua
Jemaat. 43
Hasil wawancara dengan Pdt. M. Namotemo tanggal 20 Desember 2013, dikatakan bahwa yang
mengikuti sidang tersebut sebanyak 4 orang. Tiga orang yang telah disebutkan di atas, dan seorang lagi,
yakni: Pdt. Eko Djurubasa, yang adalah Ketua Jemaat Ikhthus Wari pada saat itu. Namun di dalam
Dokumen Persidangan (SSI) tanggal 6-8 September 2013 nama Pdt Eko Djurubasa tidak tercatat dalam
dokumen (daftar hadir) persidangan tersebut. Peneliti tidak dapat melakukan konfirmasi soal ini kepada
Pdt. Eko Djurubasa, karena pada saat penelitian, Pdt. E. Djurubasa telah dipindah-tugaskan.
79
kesepakatan majelis Jemaat dan juga jemaat, dengan tujuan untuk mengetahui
permasalahan apa yang dibicarakan dalam SSI atau apa yang dibahas dalam persidangan
tersebut”.
Seusai persidangan, keempat utusan tersebut kembali ke Ikhthus Wari dan
mensosialisasikan hasil persidangan tersebut. Melihat materi sosialisasi yang
disampaikan oleh para utusan tersebut, terdapat kesan bahwa para utusan tidak lagi
menempatkan posisi sebagai utusan yang mencermati permasalahan yang dibahas dalam
SSI (posisi netral), namun keempat “utusan” tersebut kemudian mengambil sikap
sebagai pendukung SSI, tanpa sepengetahuan Jemaat Ikthus Wari. Realitas ini bagi
peneliti, makna “utusan” sebagai yang netral dalam mengikuti SSI menjadi tidak berarti
lagi.
Argumentasi “makna utusan tidak bermakna lagi” dikarenakan hasil diskusi
dengan ketiga “utusan” ini pada waktu penelitian tampak bahwa mereka telah
memposisikan diri sebagai pendukung SSI ketika hadir dalam Sidang Sidone Istimewa
tersebut, jadi ketiganya tidak hadir dalam kapasitas sebagai utusan yang “netral” namun
telah terkontaminasi ketika mengikuti sidang. Hasilnya ketika ketiga utusan ini kembali
ke Jemaat Ikhthus Wari, pelaporan (atau siosialisai) yang dilakukan dalam Ibadah
Rumah Tangga (ibadah keluarga), tampak telah menyimpang dari tujuan awal mereka
diutus untuk mengikuti SSI.
Dua topik yang di sosialisasikan adalah: a). Penyimpangan pengelolaan
keuangan oleh BPHS hasil Sidang Sinode di Dorume tahun 2012, secara khusus yang
dilakukan oleh Ketua Sinode; b). Selain memberikan sosialisai ini, pendeta pelayan (M.
Namotemo), tokoh masyarakat (O. Kumihi), Sekretaris jemaat (Pnt. S. Labuha), dan
Ketua Jemaat (Pdt. Eko Jurubasa) juga melakukan pelayanan pribadi atau pastoral bagi
anggota Jemaat tentang penyelewengan atau penyinmpangan pengelolaan keuangan dan
realitas Ketua Sidone yang berpolitik. Pola sosialisasi yang dilakukan oleh “para
utusan” ini tidak mampu menarik perhatian anggota jemaat secara keseluruhan.
Buktinya berdasarkan data yang dihimpun dari Sekretaris Jemaat (Pnt. S. Labuha) yang
80
biasanya dipanggil pak Nus, ditemukan bahwa anggota Jemaat yang mendukung SSI
sampai dengan penelitian ini dilakukan adalah sebanyak 44 Kepala Keluarga (KK).44
Melihat upaya yang dilakukan oleh para utusan ketika kembali ke Jemaat
Ikhthus Wari, tampak bahwa ada upaya yang sistematis dilakukan untuk membangun
dan membentuk oponi pada warga jemaat bahwa kepengurusan BPHS periode 2007-
2012 dan 2012-2017 talah melakuan kesalahan serius. Pola sosialisasi yang dilakukan
oleh “para utusan” menimbulkan permasalahan tersendiri pada tingkat jemaat.
Meminjam perspektif Emile Durkheim (1965) bahwa sistem soaial (termasuk agama)
hanya akan seimbang jika nilai-nilai bersama masih diyakini sebagai perekat, seperti
nilai moral dan agama. Rusaknya nilai-nilai ini berarti rusaknya keseimbangan sosial
dan menciptakan ketidaknyamanan bagi individu-individu dalam masyarakat.
Sosialisasi hasil SSI oleh “para utusan” diyakini mengakibatkan ketidaknyamanan pada
tatanan sosial (jemaat) Ikhthus Wari Tobelo. Dikatakan demikian, sebab setelah
sosialisasi dilakukan, warga jemaat malah terpecah kedalam kubu-kubu atau kelompok-
kelompok pendukung, baik pendukung BPHS Dorume, maupun pendukung BPHS versi
SSI, bahkan berdasarkan hasil wawancara dengan Pdt. M. Namotemo, diketahui bahwa
warga jemaat tidak hanya terbagi dalam dua kelompok, namun terdapat kelompok yang
netral.
Berdasarkan data yang himpun dari kantor gereja Ikthus Wari, keseluruhan
anggota jemaat Ikthus Wari adalah berjumalah 2062 jiwa dengan jumlah Kepala
Keluarga adalah sebanyak 525 KK, yang tersebar dalam 12 Lingkungan Pelayanan (LP).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
44
Berdasarkan data survey yang dilakukan peneliti 44 KK ini tersebar dalam 12 Lingkungan Pelayanan
yang ada dalam Wilayah Pelayanan Ikhthus Wari. Dengan demikian, maka data ini sebenarnya
mengkonfirmasi pernyataan Kepala Badan Litbang dan Statistik GMIH (Anton Ngarbingan) bahwa yang
terpecah bukanlah Jemaat, namun Rumah Tanggah yang berpindah mendukung BPHS versi SSI 2013 dan
BPHS hasil Sidang Sinode Dorume tahun 2012.
81
Tabel 5.1.
Jumlah Lingkungan Pelayanan, Kepala Keluarga dan Anggota Jemaat
Ikthus Wari Tobelo Tahun 2013
Lingkungan
Pelayanan
Jumlah KK Jumlah Jiwa Jumlah
L P
1 39 67 74 141
2 51 85 101 186
3 43 79 84 163
4 39 77 90 167
5 37 73 74 147
6 40 83 89 172
7 45 86 86 172
8 46 82 91 173
9 32 53 66 119
10 45 96 96 192
11 52 105 107 212
12 56 106 112 218
Jumlah 525 992 1070 L+P = 2062
Sumber: Data Jemaat Ikthus Wari 2013, Diolah.
Berdasarkan data yang tampak dalam tabel di atas, dengan memperhatikan
jumlah anggota jemaat yakni 2062 jiwa dan jumlah kepala keluarga yakni 525 KK,
maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata jumlah jiwa dalam satu kepala keluarga adalah
3,9 orang. Artinya dalam satu rumah tangga dihuni oleh 4 orang.
Di atas telah dikatakan bahwa perpecahan yang terjadi dalam warga jemaat tidak
bisa dihitung atau dipatok berdasarkan lingkungan pelayanan. Artinya dalam setiap
lingkungan pelayanan selalu terdapat tiga kelompok pendukung, yakni BPHS hasil
Dorume, BPHS hasil SSI, dan juga kelompok netral. Selain itu, sebelum terjadi
perpecahan pada Jemaat ini, pola interaksi antar dan antara lingkungan pelayanan terjadi
dalam kondisi yang sangat harmonis. Dimana setiap anggota jemaat dalam satu
lingkuang hidup dalam suasana kekeluargaan yang saling membantu satu sama lain,
demikian pula interaksi antara warga jemaat lingkungan pelayanan. Pola tolong-
menolong menjadi perekat utama antar sesama anggota warga jemaat.
Situasi atau pola interaksi yang terjadi atas dasar kekelurgaan pasca SSI menjadi
berantakan, sebab setiap warga jemaat atau kepala keluarga mulai menentukan pilihan,
layaknya orang sedang mengikuti pemilihan dalam pemilu. Implikasi dari penentuan
82
pilihan ini adalah pola interaksi yang tidak lagi berjalan atas dasar kekeluargaan dan
kegotong-royongan, namun lebih pada kepentingan dukungan pada elit-elit gereja
tertentu–antara SSI dan SSD . Untul lebih jelas, dalam tabel di bawah ini akan
dijelaskan jumlah kepala keluarga pendukung dalam setiap lingkungan pelayanan.
Tabel 5.2.
Jumlah KK Pendukung BPHS hasil Dorume,
BPHS hasi SSI dan KK Yang Netral
Lingkuan
Pelayanan
Kepala Keluarga
Pendung BPHS
Dorume
Kepala Keluarga
Pendung BPHS
SSI
Kepala Kluarga
Netral
Jumlah
1 8 3 28 39
2 14 5 32 51
3 7 3 33 43
4 5 4 30 39
5 4 4 29 37
6 8 4 28 40
7 5 3 37 45
8 12 3 31 46
9 6 3 23 32
10 8 4 33 45
11 7 6 39 52
12 9 2 45 56
Jumlah 93 44 388 525
Sumber: Data Jemaat Ikthus Wari 2013. Diolah
Berdasarkan data yang tampak dalam tabel 2 di atas, terlihat jelas bahwa
legitimasi warga jemaat masih sangat kuat mendukung BPHS hasil Sidang Sinode
GMIH di Dorume, yakni sebanyak 93 kepala keluarga (KK). Terpecahnya warga jemaat
Ikhthus Wari dalam memberikan dukungan kepada GMIH berdasarkan data yang
dihimpun di lapangan, baru terjadi pasca Sidang Sinode Istimewa yang dilakukan di
Tobelo tanggal 6-8 September 2013. Dengan demikian, data jemaat tersebut di atas
mengkonfirmasikan setidaknya beberapa hal penting, yakni:
Pertama, bahwa keberangkatan 4 (empat) tokoh untuk mengikuti Sidang Sinode
Istimewa (SSI) benar-benar hanya diutus untuk mencermati dan mengikuti SSI, dan
bukan hadir sebagai pendukung SSI. Dengan demikian, harusnya ketika “para utusan”
ini kembali ke jemaat mensosialisasikan hasil pertemuan di SSI secara jujur dan
83
bertanggungjawab pula sebagai utusan yang netral, dan bukan utusan yang “berat
sebelah” sebab “keberadaannya” di SSI hanya untuk mencermati Sidang tersebut;
Kedua, kepercayaan warga jemaat kepada “para utusan” menjadi berkurang
sebab sekembalinya mereka, dan kemudian melakukan sosialisasi, “para utusan” telah
mengambil sikap keberpihakan kepada hasil SSI yang mengakibatkan jemaat ikut
mengambil sikap resistensi terhadap para utusan. Artinya tujuan awal diutusnya mereka
ke SSI, menurut sebagian jemaat (93 KK?) telah diingkari. Sehingga keputusan warga
jemaat yang tetap mendung BPHS hasil Dorume dan tidak mendengarkan para pelayan
mereka tidak dapat dikatakan sebagai bentuk pembangkangan terhadap “suara
kenabian” yang dibawa oleh pendeta atau “para utusan” tersebut; dan,
Ketiga, yang menarik dari data tersebut adalah keputusan 388 kepala keluarga
(KK) yang mengambil sikap tidak mendukung, atau dengan kata lain “lebih radikal”
terhadap gereja (GMIH). Dalam perspektif gereja, jemaat adalah adalah segala-galanya,
dan masuk dalam ikatan nilai bersama yang tidak mungkin mengambil sikap netral
terhadap gereja, sebab mereka perlu dilayani. Namun realitas unik ini terjadi dalam
jemaat Ikhthus Wari Tobelo, fenomena ini menimbulkan pertanyaan siapakah yang
berwenang melayani 388 kepala keluarga yang mengambil sikap netral tersebut? Sebab
dalam realitasnya terjadi pembagian jam Ibadah, yakni kelompok Sidang Sinode
Dorume (SSD) beribadah minggu pada pagi hari dan kelompok SSI beribadah pada sore
hari.45
Dalam konteks permasalahan seperti di atas (khusus point ketiga), pertanyaan
yang mengemuka adalah bagaimana kelompok netral ini melakukan ritual
(peribadatannya)? Siapa yang melayani mereka? Jika pendeta yang bertugas di jemaat
juga ikut terkotak sebagai pendeta SSD dan pendeta SSI? Beberapa informan kunci
yang diwawancarai, diantaranya: Pdt. Irene Souhoka, Pdt. M. Nometemo, Pdt.
Tuwondila46
mengalami kesulitan memberikan jawaban terhadap pertanyaan siapa yang
akan melayani mereka. Intinya para informan kunci ini mengatakan bahwa “mereka
45
Wawancara dengan Pdt. Irene Souhoka, S.Si. Pendeta SSI yang ditugaskan di Jemaat Ikthus Wari,
tanggal 4 Januari 2014. 46
Masing-masing adalah Pendeta SSI, pendeta GMIH yang telah dipecat akibat mendukung SSI, dan
Pendeta SSD.
84
lebih memilih untuk tidak mengikuti baik SSD maupun SSI, mereka bertahan menunggu
masalah ini selesai, dan soal ibadah mereka mengikuti saja, kadang-kadang masuk
ibadah SSD dan kadang masuk ibadah SSI”. Bagi peneliti sunggu miris melihat
kenyataan seperti ini. Namun para informan kunci “enggan” mengutarakan eksistensi
mereka dalam ritual keagamaan kelompok netral ini lebih jauh.
Pendeta Irene Souhoka ketika ditanya lebih lanjut tentang hal ini mengatakan
bahwa “pembinaan akan berjalan baik jika gembalanya adalah gembala yang baik yang
membawa umatnya dengan baik, gembalanya ke air yang jernih bukan ke air yang
keruh”. Ketika peneliti mencoba mendiskusikan lebih lanjut tentang pernyataan
“gembalanya ke air yang jernih bukan ke air yang keruh”, beliau mengatakan bahwa
sudah jelas adalah hasil SSI bahwa terdapat sekian banyak “dosa” yang harus
dipertanggungjawabkan oleh BHPS hasil Dorume, khususnya Ketua dan Sekretaris
Sinode. Mereka perlu mempertanggungjawabkan “dosa-dosa” itu agar jemaat bisa
meminum air yang jernih, bukan keruh.
Pendeta Tuwondila (Pendeta jemaat SSD) yang diwawancarai soal konflik yang
melanda GMIH sampai akibatnya terhadap jemaat Ikthus Wari, mengatakan bahwa:
“Kalau saya melihat dari aturan gereja, SSI jelas tidak memenuhi prosedur
karena SSI itu berada pada sistem sinode GMIH, jadi kalau terjadi masalah di
sinode GMIH mengenai tata dasar GMIH itu baru dibuat SSI dan itu sudah
disepakati waktu sidang lima tahunan sebelumnya waktu di Wari, Ibu, Morotai
dan lain-lain. Dan kalau saya lihat kenyataan lapangan bahwa BPHS SSI ini itu
orang-orang yang kalah dalam pemilihan ketua dan pengurus sinode
diantaranya Pendeta Mailoa, Pendeta Djurubasa, Pendeta Amos Puasa dan
Pendeta Biso, waktu sidang sinode di Dorume itu, dan mereka dan mereka
membentuk sinode itu. Mereka tidak melihat posisi mereka di sinode, padahal
kalau sesuai peraturan ketika keluhan-keluhan atau saran-saran dari pengurus
SSI ini kita bahas pada sidang sinode tahunan, tetapi mereka menutup diri dan
kemudian mereka mengusut 23 dosa sinode GMIH itu. Mereka membuat
sinode itu atas dasar apa? Sesuai dengan tugas dan wewenang mereka atau?
Dan apa yang mereka buat itu? Mereka yang benar tanpa melihat keputusan-
keputusan dari ketua dan juga BPHS. Saya mengatakan bahwa keputusan
tertinggi adalah Sidang Sinode di Dorume itu, apabila masih ada kejangalan-
kejangalan lagi maka harus diselesaikan pada Sidang Tahunan. Yang lebih
salah lagi mereka membentuk BPHS dan Sinode dengan pakai nama GMIH,
kalau mereka membuat sinode haruslah pakai nama lain. Mereka mengatakan
85
sinode lama itu dimisioner, dan juga dengan dosa sinode yang mereka usut itu
mereka tidak bisa pertanggung jawabkan itu mereka tidak bisa membenarkan
itu mengenai dana pensiun,beasiswa dan lain-lain.”
Konflik pada tingkat elit GMIH menjadi “buah bibir” setiap pelayan (Pendeta)
bahkan warga jemaat GMIH. Tidak hanya dibicarakan (buah bibir) saja, namun tampak
dalam sikap dan perbuatan. Masing-masing mengklaim dirinya benar, pendeta jemaat
terkotak-kotak berdasarkan interest masing-masing yang akhirnya berimbas pada
terkotak-kotaknya jemaat, bahkan rumah tangga ikut mengambil sikap mendukung
“calon” tertentu, dan ada yang mengambil sikap diam, yang penting aman. Ibarat dunia
politik terdapat faksi-faksi, maka dalam gereja juga terdapat faksi-faksi dalam
mendukung, memperebutkan dan mendapatkan “kasih” yang menurut ucapan masing-
masing pelayan (pendeta) benar dalam dirinya sendiri. Sikap dan tindakan ini telah
mengabaikan nilai bersama yang disepakati dalam Sidang Sinode GMIH di Dorume
tahun 2012.
Sekalipun demikian, SSI perlu juga dipahami sebagai benar menurut versi
mereka. Atas dasar kebenaran menurut versi mereka itulah SSI dapat didukung,
dilakukan dan menghasilkan dokumen gereja sebagai nilai bersama (kesepakatan
kolektif sebagaian jemaat) yang menjadi dasar gerak SSI. Namun dalam perspektif
gereja (GMIH), hasil keputusan Sidang Sinode GMIH di Dorume tahun 2012 adalah
yang sah. Setidaknya menurut sebagian besar jemaat–dan dalam perspektif peneliti,
dengan mempelajari berbagai dokumen yang ada, maka yang sah dalam GMIH itu
adalah BPHS hasil Dorume tahun 2012 itu. Akan menjadi lain, jika dalam SSI Ketua
Sinode (Pdt. Anton Piga) ikut diundang untuk menjelaskan atau mengklarifikasi
berbagai macam “dosa” yang telah dituduhkan kepadanya, dan apabila klarifikasi itu
tidak diterima maka SSI dapat mengeluarkan rekomendasi bahwa SSD telah demisioner.
Mencermati pernyataan kedua Pendeta (Pdt. Tuwondila dan Pdt. I. Souhoka) di
atas, sulit mengambil sikap siapakah yang sedang bermain, berada, atau melayani di “air
keruh” sebab masing-masing mempertahankan posisi berada di “air jerih”. Jika Pendeta
sudah bertindak dan bersikap seperti itu maka dapat dikatakan bahwa “para pendeta”
(gembala) memang sedang membawa jemaat ke “air keruh”. Bagi peneliti, harusnya
86
para gembala tidak ikut terlena dan terlibat dalam konflik elit tersebut, mereka harusnya
mengambil posisi netral dalam melayani, bukannya jemaat yang netral.
Fenomena warga Jemaat yang netral di Ikthus Wari harusnya menjadi tamparan
keras bagi para gembala yang memilih “lehernya diikat” dan ditarik ke mana-mana.
Gembala harusnya netral karena mereka adalah panglimanya warga jemaat. Kalau
gembala sudah berpihak akibatnya warga Jemaat tercerai-berai, atau dengan bahasa
yang lebih bermakna teologis “domba-domba mengalami kebingungan” karena
gembalanya telah dan lebih memilih “rumput tetangga yang lebih hijau.”47
Yang
dimaksudkan dengan rumput tetangga lebih baik atau lebih hijau adalah pendeta lebih
memilih untuk mendukung salah satu “calon” yang sedang berkonflik, dan memilih
memuaskan dahaga (kehausan) jemaat yang dilayaninya lewat Sumber Air Kehidupan,
yang dikatakan Pdt. Irene Souhoka sebagai “air jernih”. Namun bagi peneliti Pdt. Irene
Souhoka sendiri sedang atau belum tentu menawarkan “air jernih” karena konflik ini
belum selesai, dan domba-domba masih terus kebingungan.
5.2. Relasi Antar Anggota Jemaat Ikhthus Wari Pasca Perpecahan
Berdasarkan deskripsi yang telah dilakukan, hal menarik yang dapat pelajari
adalah bahwa nilai-nilai perekat keseimbangan masyarakat adalah tidak selalu bersifat
statis (tetap), namun berada dalam kondisi yang penuh dinamika akibat konflik. Dengan
demikian, terjadinya konflik dapat saja merusak tatanan nilai yang telah ada, namun
dapat pula mentrasformasi atau memperbaharui nilai-nilai bersama yang telah ada
sebagai perekat atau kohesifitas sosial, dan di dalam konflik saja saja terdapat “domba-
domba yang bingung” akibat keributan yang terjadi.
Dalam kebingungan itu, “domba-domba” terus berupaya mencari perlindungan
pada mereka yang memiliki otoritas, dalam proses “mencari” perlindungan atau
keteduhan itu, diakui bahwa ada “domba” yang berhasil mendapatkan lahan terbaik
yang kemudian diakui sebagai keabsahan yang dapat menaungi kepentingan dan
kebutuhannya, ada juga “domba” yang mencari namun tidak menemukan lahan hijau
akhirnya lari atau keluar dari lingkaran nilai bersama dan berdiam di wilayah entah-
47
Kata-kata “rumput tetangga lebih hijau atau lebih baik” adalah kata-kata sebuah Iklan Televisi yang
peneliti gunakan sebagai bentuk analogi dalam tulisan ini.
87
berantah, yang mungkin tak bertuan, dan dapat saja domba-domba yang sedang
kebingungan ini saling menyerang satu sama lainnya.
Analogi “domba-domba yang kebingungan” menurut hemat peneliti adalah
tepat digunakan guna mengelaborasi akibat konflik kepentingan elite yang terjadi di
GMIH dan berdampak pada Jemaat Ikthus Wari Tobelo. Tabel 2 di atas
mengkonfirmasikan “domba-domba yang kebingungan” tersebut. Setidaknya sebanyak
93 kepala keluarga yang tetap pada nilai bersama yang disepati oleh Sidang Sinode
GMIH di Dorume tahun 2012, dan 44 kepala keluarga memilih untuk ikut melegitimasi
“transformasi atau pembaharuan” nilai bersama yang dilakukan oleh Sidang Sinode
Istimewa (SSI) di Tobelo, serta 388 kepala keluarga memutuskan untuk tidak
melegitimasi (walau awalnya mereka adalah warga GMIH) kedua kepentingan (nilai
bersama) yang dibangun oleh kedua kelompok tersebut.
Bagi peneliti, keputusan 388 kepala keluarga untuk tidak terlibat, memihak pada
salah satu “calon” adalah keputusan menarik, walaupun agak “menggelitik” jika
ditempatkan dalam perspektif Gereja yang pola pelayanan atau penatalayananya rapi
dan tersistematis. Dikatakan menggelitik sebab jika ditempatkan dalam struktur gereja –
apalagi para pendeta juga ikut terkotak-kotak, maka pertanyaannya adalah siapakah
yang berhak atau dapat mengklaim 388 kepala keluarga ini sebagai anggota jemaat
mereka? Bukankan mereka sedang berada dalam kondisi “tanpa status”? Itulah realitas
domba-domba yang kebingungan, yang dalam konteks 388 KK itu dapat dikatakan
sedang menampar dengan sangat keras para pelayan (pendeta) GMIH yang berkonflik.
Implikasinya Pendeta yang berkonflik itu mengusik ketenangan domba-domba yang
kebingungan sehingga ikut saling menanduk.
Hasil wawancara dengan Pdt. Irene Souhoka, tanggal 4 Januari 2014 tentang
realitas yang terjadi di Jemaat Wari, pada intinya mengatakan bahwa:
“Sudah tidak lagi terlihat keadaan aman tetapi sudah ada kelompok-kelompok
dan tak ada lagi ketulusan yang ada bukan kebersamaan tetapi kepentingan
kelompok-kelompok. Di jemaat Ikhthus Wari terjadi kekacauan pada saat
ibadah di gereja, ada sekelompok orang yang memberontak dengan parang.
Kami dari pendeta SSI tidak bisa menanganinya karena kami terus diancam
dan bahkan di tindas kalau melakukan pelayanan kita di usir dari jemaat
tersebut. Gereja Yesus telah menjadi bahan elok-elokan. Gereja atau pengikut
Yesus tidak lagi menjadi garam dan terang bagi dunia, tetapi dunia yang
88
menjadi terang bagi gereja, Yesus di khianati dengan 30 keping perak sekarang
pengikut Yesus di pecahkan dengan 30%48
. Kepentingan kelompok tertentu
dan kepolosan umat dijaadikan pertikaian dan perhinaan antara satu sama lain.
Dilihat dari sisi negatif sangat meresahkan warga jemaat, jemaat bingung.
Namun, sisi positifnya, umat bingung membuat umat harus bergumul supaya
mengenal Tuhan dengan keberadaannya.
Sekalipun setiap informan kunci yang diwawancarai mengatakan bahwa
“mereka tidak menganggap yang lainnya sebagai musuh”, namun dalam realitas
keseharian kehidupan warga jemaat, pasca perpecahan ini mengakibatkan pola interaksi
tidak lagi berjalan dengan baik, sebagaimana sebelum perpecahan. Hal ini misalnya
seperti yang dikatakan oleh Herlina Keper49
bahwa “dalam kehidupan sehari-hari
kelihatannya rukun, namun sudah tidak kayak (seperti) dulu lagi, antara kedua kubu ada
senyum namun senyum sinis”. Sekalipun demikian, menurutnya “reformasi itu baik
walaupun ada tantangan dan ada yang menjadi korban anarkis, tetapi reformasi itu baik
untuk pembaharuan GMIH”.
Lain posisi (jabatan) lain pula pandangannya, ketika peneliti bertemu dan
mewawancarai Edison Bubala50
dengan topik pola interaksi jemaat Ikhthus Wari, pada
intinya mengatakan bahwa “sebelum terpecahnya Sinode kerukunan itu masih terjaga
sangat baik, harmonis, seperti kerja bakti semua hadir dari bidang-bidang kategorial.
Namun setelah perpecahan, jemaat kelihatannya saling mencurigai, saling tidak senyum,
senyumpun dipaksakan”. Mengenai soal perpecahan ini, Edison Bulaba dalam
pernyataannya mengambil posisi berbeda dengan Herlina Keper, dia mengatakan bahwa
“reformasi memang baik, namun dalam konteks GMIH hal ini sangat tidak baik, sebab
tidak sesuai prosedur gereja. SSI itu ada dalam Tata Gereja, tidak dilarang, tapi
melakukannya harus sesuai mekanisme dan masalah yang dibahas itu jelas, kalau begini
siapa saja bisa buat SSI, walau masalahnya cuma pendeta salah mengucapkan kata-kata
48
30% adalah setoran jemaat ke Sinode yang memang telah disepakati dan diatur dalam aturan Gereja
(GMIH), dan oleh kelompok Pembaharuan 30% ini dituduhkan sebagai salah satu “dosa” akibat
pengelolaannya tidak transparan 49
Menjabat sebagai Syamas di Jemaat Ikhthus Wari (dari kelompok SSI), diwawancarai tanggal 29
Desember 2013. 50
Menjabat sebagai Penatua di jemaat Ikhthus Wari (dari kelompok SSD), diwawancarai tanggal 30
Desember 2013
89
waktu khotbah, kita buat SSI, jadi aneh, sangat tidak baik reformasi ini, dan itu yang
buat kita (jemaat) terpecah”.
Informan kunci yang mengemukakan pendapatnya dengan mencoba mengambil
posisi netral dalam konflik tersebut adalah On Lumeling, S.Pd51
dalam wawancaranya
Lumeling mengatakan:
“Realitas di jemaat kami Ikhthus Wari ini, memang benar kita sudah terpecah
ada sebagian jemaat yang memilih tetap di Sinode lama dan juga ada yang
masuk ke Sinode baru atau SSI, bahkan juga majelis dan teman-teman pemuda
kami. Saya selaku Ketua Pemuda bahkan sebagai Kordinator atau Ketua
Bidang pemuda khususnya Tobelo Utara ini, saya sudah menyampaikan kesan
dan pesan saya pada saat ibadah gabungan pemuda Tobelo Utara. Saya
menyampaikan kepada mereka agar tidak terprofokasi dan ikut dalam konflik
bahkan memihak salah satu sinode. Tetapi bagaimana kita bisa bersikap netral
dan tidak memihak. Karena kalau kita memihak akan kacau, karena tugas kita
sebagai pemuda sekarang haruslah berpikir bagaimana memberikan
pemahaman kepada masyarakat kita yang sekarang hancur dan berkonflik.
Kesan ini juga saya sampaikan waktu natal pemuda kita di jemaat Wari ini
agar kita tidak terprofokasi dan harus bersikap netral. Saya juga berharap agar
pemuda-pemuda kita yang lahir dari GMIH ini harus mempertahankan ini dan
berupa memulihkan kembali GMIH yang sebenarnya. Karena kita lahir dan
dibesarkan oleh GMIH dengan pendidikan dari sekolah-sekolah GMIH. Saya
akan terus berjuang dengan teman-teman pemuda lainnnya agar memulihkan
GMIH dan tidak terprofokasi dan berupaya menyatukan kembali umat kami
yang lagi berkonflik ini untuk jemaat wari yang utuh kembali dan rukun seperti
semula.”
Bagi peneliti inilah suara penyejuk hati, atau suara kenabian yang harusnya
disuarakan oleh para pendeta dan tua-tua jemaat. Namun realitasnya pendeta dan tua-tua
jemaat mengambil sikap memihak salah satu “calon” dan terus mendorong menguatkan
kelompok mereka, seolah menjalankan strategi “teologi jiwa-jiwa” dalam mencari
domba-domba kebingungan untuk mendukung dan melegitimasi salah satu kelompok
yang sedang bertikai (BPHS Dorume vs BPHS versi SSI).
51
Beliau adalah tokoh Pemuda Wari, yang diwawancarai tanggal 20 Desember 2013
90
Tentang tua-tua jemaat yang tidak mengambil posisi netral, dan berupaya
mendamaikan situasi adalah seperti yang dilakukan oleh Opa Kumihi52
yang ketika
diwawancarai pada intinya mengatakan:
“Berita ini perpecahan di jemaat ini ternyata sudah ada dari kelompok dari
produk Sidang Sinode Dorume sudah mempengaruhi umat kami sehingga
mereka terpecah. Setelah mengamati awalnya peristiwa ini bahwa kelompok
yang paling dominan membuat konflik agar memihak mereka adalah
kelompok Sinode Lama. Setelah melihat perdebatan itu dan saya melihat
peraturan sinode itu Presbiterial Sinodal dan mereka melanggar itu ada pendeta
yang masuk ke politik, dan itu saya tidak setuju karena pendeta tugasnya
melayani umat, gereja dalam bidang pelayanan rohani sehingga lewat pribadi
saya, saya masuk SSI. Karena SSI ini memperbaharui GMIH dan itu akan saya
sampaikan ke masyarakat, karena asas-asas gereja ini mereka tiadakan. GMIH
ini kan pakai asas, ada aturan dan apa yang mereka lakukan ini tidak mengarah
pada asas presbiterial sinodal, para penatua, diaken, pendeta, dan tua-tua itu
jalan bersama dan apa yang yang dilakukan Sinode Lama ini sudah keluar dari
situ dari aturan gereja. Dan apa yang dilakukan pihak sinode lama ini mereka
mengaitkan dengan persoalan PILGUB53
dan mereka membenci bupati kita,
karena dengan sesuai amatan saya SSI dibuat oleh bupati dan saya setuju.
Persoalan ini mereka masuk kepolitik dan juga mereka mengabaikan asas
gereja. Saya mengambil kesimpulan bahwa sinode pembaharuan yang tepat
karena mereka mengembalikan asas gereja tersebut… saya sudah memberika
pemahaman kepada mereka, tetapi baru 1 dan 2 orang54
, kalau masyarakat
secara umum belum. Karena saya lihat kondisi yang ada kalau ada seseorang
yang menyampaikan hasil SSI, itu pasti mereka berkelahi dan mereka tidak
akan terima, jadi saya akan sampaikan kepada warga jemaat secara orang per
orang dan ternyata mereka mendukung pembaharuan.”
Namun ketika peneliti coba menanyakan tanggapannya tentang konflik di tingkat
jemaat, Opa Kumihi pada intinya mengatakan “menurut saya dengan melihat umat saya
yang sudah pecah kalau melihat budaya-budaya, nilai-nilai yang saya tanamkan saya
memohon kalau kita punya masalah janganlah membuat konflik dan merusak
masyarakat dan marilah kita sama-sama membangun”. Bagi peneliti, pernyataan terakhir
opa Kumihi memang sangat menyejukkan, namun faktanya opa Kumihi tidak lagi netral
52
Di Jemaat Wari, beliau diposisikan sebagai tua-tua adat. Wawancara tanggal 19 Desember 2013. Beliau
juga merupakan salah satu utusan Jemaat untuk mengikuti SSI 53
Mengenai hal ini peneliti mencoba bertanya “apakah opa sudah baca buku “Sejarah Pembaharuan
GMIH”? beliu mengatakan belum membaca, dan peneliti „berseloroh‟ ada topik menarik coba nanti opa
baca. 54
Jawaban ini berkaitan dengan pertanyaan bagaimana sosialisasi yang dilakukan setelah mengikuti SSI
tanggal 6-8 September 2013
91
mengambil sebagai tua-tua jemaat yang harusnya menyuarakan suara kenabiaan, tapi
telah berpihak, sehingga dalan ungkapan beliau di atas, juga tampak kekhawatiran
karena sebagian warganya tidak lagi melegitimasikan dirinya sebagai tua-tua (yang di-
tua-kan) oleh mereka. Hal ini terlihat dari pola sosialisasi yang beliau lakukan.
Hal menarik lainnya dari domba-domba yang kebingungan ini adalah apa yang
diungkapkan oleh Arnold Yaro yang dimuat dalam Surat Kabar Obor Halmahera (OH),
Edisi I/X/2013, halaman 3. Beliau adalah salah satu anngota jemaat Ikthus Wari (lingpel
11). Menurut catatan OH, beliau adalah anggota jemaat yang paling “getol” memprotes
SSI, untuk kepentingan penelitian ini, peneliti mencatata pernyataan Arnold Yaro,
karena menyampaikan sikap berbeda dengan sikap sejumlah Badan Pekerja Harian
Jemaat (BPHJ) sebagai berikut:55
“dari dulu-dulu kita GMIH ini khan. Trus kenapa lagi sekarang ini sudah jadi
dua begini? Saya sangat tidak suka dengan cara-cara sekelompok orang dari
sekretariat pembaharuan yang mendirikan sinode tandingan. Apalagi isyu yang
dibuat kelompok pembaharuan itu menyangkut hal-hal yang sangat diragukan.
Masak diisyukan kalau uang pensiun pendeta sudah habis dipakai oleh Ketua
Sinode sebanyak 1,3 milyar. Tetapi buktinya setiap bulan khan kita liat para
istri guru jemaat itu datang menerima uang pensiun khan selalu tepat waktu.
Malah saya dengar pendeta Emiritus juga ada menerima uang pengabdian
sekitar 40 juta dari Sinode, lalu apalagi yang diprotes oleh mereka? Saya juga
merasa senang dengan pergantian ketua jemaat dari Pdt. Eko Jurubasa kepada
Pdt. Towondila. Semoga saja pergantian pinpinan jemaat itu akan membawa
suasana sejuk dalam jemaat Ikthus Wari. Dan semoga saja dengan pergantian
ini jemaat Ikthus Wari akan tetap menjadi jemaat yang dipimpin oleh BPHS
GMIH yang resmi dan sah. Namun, sekalipun saya harus mati untuk membela
kehormatan GMIH, saya siap untuk itu”.
Arnold Yaro, seorang pekerja di pelabuhan juga ikut terusik batinnya ketika
mendengar dan mengetahui konflik yang melanda GMIH, separah itukah para elite
GMIH dalam mengolah konflik di antara mereka sehingga masyarakat pada level paling
bahwa pun mengetahui dan ikut berbicara dan mengambil bagian dalam konflik itu?
Atau konflik ini memang sengaja digelontorkan oleh mereka yang tidak bertanggung
jawab guna menaikan citra diri (pencitraan)?. Apapun itu bahtrera GMIH sedang
55
Pada saat penelitian, peneliti beberapa kali berkunjung ke rumahnya, namun tidak sempat bertemu,
karena selalu berada (bekerja) di palabuhan.
92
diambang-ambingkan badai dalam samudra luas, dan jika nahkodanya kurang
berpengalaman maka kemungkinan bahtera GMIH tenggelam tidak terhindarkan.
Masalahnya bagaimana menjinakkan “domba-domba yang sudah liar akibat
kebingungan” itu? Dalam salah satu ayat Alkitab yang pernah saya dengar (saya lupa
nama Kitabnya), kira-kira berbunyi demikian “Aku mengutus engkau ke tengah-tengah
serigala”. Dengan demikian, para pelayan di Jemaat Ikhthus Wari harus memaknai
bahwa medan yang sekarang mereka layani sedang dihuni oleh “domba-domba liar”
kalau tidak ingin dikatakan serigala. Badan Pekerja Harian Jemaat (BPHJ) Ikthus Wari
perlu mengambil sikap netral. Belajar dari jemaat yang cerdas (388 kepala keluarga
yang netral), dan jangan berpihak. Tinggalkan ego masing-masing pimpinan atau
pelayan jemaat dan selamatkanlah domba-domba yang tersesat, agar tidak menjadi
semakin liar. Namun jika para pelayan tetap dengan pilihan mendukung salah satu
“calon”, maka domba-domba yang kebingungan itu niscahya akan mencari rumput
tetangga yang kelihatan lebih baik, atau kawanan domba itu akan bangkit merusak
tatanan yang telah ada. Qua vadis Ikhthus Wari? Inilah pertanyaan tersisah bari para
pelayan (BPHJ).
93
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka kesimpulan penting yang
penelitian guna menjawab tujuan penelitian tentang alasan-alasan perpecahan jemaat
Ikthus Wari dan pola interaksi jemaat pasca perpecahan, dapat diformulasikan sebagai
berikut: terpecahnya jemaat Ikthus Wari diakibatkan oleh dua hal, yakni: a). konflik
kepentingan elit yang terjadi pada tingkat Sinode GMIH berimplikasi pada dukungan
anggota jemaat pada elit tertentu hasil Sidang Sinode Istimewa. Dukungan ini tampak
atas dasar kesamaan kepentingan, baik kepentingan politik-administratif-merujuk pada
status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), maupun kepentingan kekeluargaan–merujuk
pada menguatnya persaudaraan dalam sistem klan; dan b). Perilaku elit ditingkat Jemaat
yang tidak netral. Hal ini merujuk pada kesepakatan Jemaat mengutus 4 orang “elit”
mereka dalam Sidang Sinode Istimewa sebagai utusan yang netral. Sekembalinya “para
utusan” ini, pola sosialisasi yang dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban mereka
kepada jemaat sudah tidak lagi netral, artinya telah memihak keputusan SSI sehingga
berimplikasi pada hilangnya kepercayaan anggota Jemaat dan berakibat perpecahan.
Selain itu, dampak yang timbul dari perpecahan Jemaat mengakibatkan harmoni
sosial menjadi rusak atau tidak harmonis lagi. Interaksi antar anggota Jemaat juga terkait
dengan pimpinan Jemaat menjadi tidak harmonis, masing-masing saling mencurigai,
senyum yang dipaksakan, dan tegur-sapah menjadi sekedar “basa-basi‟ belaka. Anggota
jemaat terjebak dalam pengkotakan sebagai “pendukung BHPS SSD”, pendukung
BPHS SSI”, dan kelompok netral. Pengkotakan ini menambah rumit pola interaksi
antara mereka, tegur-sapah dan senyum merupakan ungkapan keterpaksaan akibat
pernah hidup bersama sebagai orang saudara. Namun tidak lagi setulus yang pernah ada
pada waktu-waktu sebelum perpecahan. Realitas ini semakin diperparah dengan
pembagian jam ibadah Minggu di gereja, dan realitas elit (terutama pendeta dan tua-tua)
yang ikut terpecah dan mendukung aktor dan kelompok tertentu, atas dasar keyakinan
akan kebenaran menurut versi masing-masing, semakin memperkeruh situasi Jemaat
Ikthus Wari. Pada tataran anggota Jemaat kehausan akan “air segar” membuat mereka
94
bingung menentukan sikap sebab setiap kelompok (elit) menawarkan “air bersih dan
segar” sesuai selera yang sebenarnya hanya mewakili serpihan-serpihan kebenaran.
6.2. Rekomendasi
Berdasarkan analisis dan kesimpulan di atas, maka beberapa hal yang
diformulasikan sebagai rekomendasi penelitian ini adalah:
Bagi kelembagaan GMIH, BPHS disarankan untuk lebih giat berupaya dalam
memberi pemahaman yang benar kepada jemaat-jemaat tentang konsensus bersama
dalam Sidang Sinode di Dorume tahun 2012. Memperbaiki dan terus meningkatkan pola
komunikasi yang baik dan bermartabat dengan semua pihak terutama dengan jemaat-
jemaat. Perlu dengan arif dan bijaksana mengelola konflik yang terjadi pada tingkat elit
dan tidak “meneruskan” konflik tersebut ke tingkat jemaat dalam rangka menarik
dukungan jemaat untuk melegitimasi kepentingan elit.
Bagi BPHS versi SSI, disarankan untuk menahan diri. Pembaharuan Gereja
memang perlu selalu dilakukan, namun waktunya perlu dipersiapkan dengan matang,
sehingga tidak terkesan ditunggangi secara politik. Tuhan (mungkin) sedang menegur
GMIH, namun teguran itu perlu dimaknai sebagai mempersiapkan diri dan kapasitas
kelembagaan untuk bangkit, mempersiapkan Jemaat-jemaat dan membaharui kehidupan
menggereja, tetapi perlu memperhatikan dan menempu mekanisme organisasi yang
telah juga disebakati bersama sebagai “suara terbaik” yang dibimbing Tuhan. Berilah
kesempatan bagi BPHS SSD untuk bekerja dan membuktikan diri, sebab hari
penghakiman pasti akan datang untuk semua orang. Tanggal 5 Juli 2013 kalaupun
dipahami sebagai “Saat Tuhan menegur para pemimpin Umat-Nya”, namun tidak perlu
meradikal dalam bentuk mekanisme SSI sebab “hari penghakiman” perlu disesuikan
dengan mekanisme gereja yang telah melembaga.
Bagi para pelayan (pendeta dan majelis) di Wari, disarankan untuk tidak ikut
terkontaminasi konflik pada tingkatan elit (sinode) tetapi perlu memposisikan diri
sebagai pelayan yang menyuarakan Suara Kenabian. Berhentilah mendukung elit dan
kelompok tertentu, sebab realitasnya jemaat Ikthus Wari telah terpecah dan masing-
masing kelompok merindukan sentuhan kasih dari seorang pelayan. Belajarlah dari
jemaat yang mengambil posisi netral dalam konflik perpecahan ini, mereka (jemaat
95
yang netral) sedang mengkritik anda (pendeta) yang mempertontonkan pelayanan
setengah hati, yang berbicara atau meneriakkan “air segar” tetapi tidak mampu
menempatkan posisi atau lebih memilih mengekor. Sebagai pelayan yang tahu dan taat
asas presbiterial sinodal anda perlu menempatkan posisi tak berkepentingan dengan
konflik elit, sebab yang perlu “diselamatkan” adalah jemaat dan bukan elit. Itulah
konsekuensi panggilan anda sebagai pelayan Yesus Kristus.
Bagi anggota Jemaat, disarankan untuk berbesar hati dan kembali saling
memaafkan sebagai „orang saudara‟ yang hidup dengan kekuatan nilai dan norma
bersama yang diikat oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan kearifan lokal yang telah
dimiliki. Jangan beri ruang bagi rusaknya persaudaraan dan kekeluargaan hanya karena
kepentingan orang-orang tertentu yang menginginkan kekuasaan dalam gereja. Anggota
jemaat perlu bersatu hati dan mengambil sikap resistensi bagi pendeta yang
terkontaminasi kepentingan elit yang berkonflik, dengan sikap ini para elit akan belajar
untuk tahu diri, sebab mereka ditolak oleh jemaatnya.
Bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian tentang “prahara GMIH”
disarankan untuk mengkaji topik-topik, seperti: a). Gereja dan Politik; b). Peran aktor
politik dalam konflik perpecahan GMIH; c). Peran aktor Gereja dalam perpecahan
GMIH; d). Dualisme kepemimpinan dan proses pengambilan keputusan dalam Sinode
GMIH; e). Penerapan asas presbiterial sisnodal dalam GMIH; f). Perpecahan GMIH dan
kekerabatan, dan lain sebagainya.
96
DAFTAR PUSTAKA
Andrain, Charles F. Political Life and Social Change. (terj). Lukman Hakim Kehidupan
Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta. Tiara Wacana. 1992.
Artanto, Widi. Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia. Jakarta : BPK
Gunung Mulia. 1997
Bertens, Hans. The Idea of The Postmodern: A History. Routledge-London, 1995.
Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif : Aktualisasi Motodologis ke Arah
Ragam Varian Kontemporer, Jakarta : PT. Raja Grafindo. 2003
Budiharjo. Miriam. Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta; Dian Rakyat.1998.
Bosch, David J. Transformasi Misi Kristen : Seiarah Teologi Misi Yang Mengubah
DanBerubah. (terj) Stephen Suleeman. Jakarta : BPK Gunung Mulia,
2000.
Campbell, Tom. Seven Theorities of Human Society. Oxford University Press. 1981.
Dahrendorf, Ralf. Case and Class Conflik in Industris Society, Stanford University
Press, Stanford-California, 1959.
Djawa, O.R. Sedjarah Singkat Lahirnya G.M.I. di H. dan Usaha-Usahanya Selama Dua
Puluh Tahun. Arsip GMIH di STT Tobelo. Payahe. 1969.(Tidak
Diterbitkan)
Durkheim Emile, The Elementary Froms of Religious Life : New York, The Free Press,
Macmillan Publishing, 1965.
Fisher Simon, Mengelola Konflik : Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak : Jakarta,
The British Council Indonesia, 2001
Foucault, Michel. Sejarah Seksualitas. Seks dan kekuasaan (terj). Jakarta. Gramedia.
1997.
Giddens Anthony, Sociology, Cambridge Polity Press, 1989.
Haire, James. Sifat dan Pergumulan Gereja Halmahera. Jakarta : BPK Gunung Mulia,
1998.
Heryanto, Ariel, „Postmodernisme: Yang Mana ? Tentang Kritik dan Kebingungan‟,
dalam Debat Postmodernisme di Indonesia. Junal Kebudayaan Kalam
Edisi 1, Jakarta. 1994.
97
Hontong, Sefnat., Mojau, Julius., Djurubasa, A. Hidup Menggereja: Asas Presbiterial
Sinodal Gereja Masehi Injili di Halmahera. Yogyakarta: Alinea Baru,
2013.
Ihalauw, John J.O.I. Bangunan Teori. Edisi 3 Milenium. Salatiga: Universitas Kristen
Satya Wacana. 2004.
Jary, D Dan Julia Jary, Collinss Dictionary Of Sociology, Great Britain : Harper
Coolinss Publisher, 1991.
Junga, J.,. Ringkasan Perkembangan G.M.I. di H. Bagian I, UZV ke GPH:1942-1943.
Tobelo, 1978. (Tidak Diterbitkan)
Kleden, Ignas., Soedjatoko: “Sebuah Psikologi Pembebasan”, dalam Soedjatmoko,
“Etika Pembebasan”. Jakarta: LP3ES, 1984.
Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 1997.
Malo, Manasse. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Karunika. 1986.
Moleong, L. J.. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
2006
Mojau, Julianus. Sejarah Pembaharuan GMIH. Tobelo, GMIH, 2014.
Nasikun.” Sistem Sosial Budaya Indonesia”. Jakarta : PT RajaGrafind Persada, 2007
Ngarbingan, Anton, Alberth, 2004. Upaya Membangun Teologi Misi Yang Kontekstual
di Gereja Masehi Injili di Halmahera, Salatiga, Fakultas Teologi UKSW,
(Skripsi-Tidak Diterbitkan)
Nordholt, Schulte. Metodologi dan Metodik Sosiologi. Salatiga: LPIS Satya Wacana.
1973.
Ritzer. George dan Goodman. Douglas J. Modern sociological theory. 6th
Edition.
(Terj). Triwibowo Budi santoso Teori Sosiologi modern. edisi ke-6 cet.3.
Jakarta; Kencana. 2005.
Soedjatmoko, Etika Pembebasan, (Jakarta: LP3ES, 1984)
Sookanto, Soejono Dan Lestarini Ratih, Fungsionalisme Dan Teori Konflik Dalam
Perkembangan Sosiologi : Jakarta, Sinar Grafika, 1988.
Suwondo, Kutut, Gereja Dan Kemajemukan : Gereja Dalam Konflik Dengan Agama-
Agama Lain ; Jalan Baru Menuju Terbentuknya “Civil Society” : Visi
Gereja Memasuki Milenium Baru, Bunga Rampai Pemikiran. Jakarta,
BPK Gunung Mulia, 2002.
98
_____________, 2005. Otonomi Daerah Dan Perkembangan Civil Society Di Aras Lokal.
FISIPOL – UKSW, Salatiga.
Suseno, Franz Magnis. Etika politik Prinsip-pronsip moral dasar kenegaraan modern.
Jakarta; Gramedia Pustaka Utama. 1987.
Susilo Suko, Basrowi, Sukidin, Sosiologi Politik. Yayasan Kampusiana: Surabaya.
2003.
Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, 1992.
Sugiyono. Metode Penelitian kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: ALFABETA.
2006.
Turner. Bryan S. Religion and Social Theory.(Terj). London. SAGE publications Ltd.
1991.
Tholkhah Imam, Mewaspadai Dan Mencegah Konflik Antar Umat Beragama,
Departemen Agama RI : Badan LITBAG Agama Dan DIKLAT
keagamaan, Jakarta, 2001.
Tolo, S.B. Sedjarah Singkat Tentang G.P.H. Yang Adalah Rintisan G.M.I. di H.
Djailolo, 1968. (Tidak Diterbitkan)
Van Den End, Th. dan Weitjens, J. Ragi Cerita II: Sejarah Gereja di Indonesia dari
1860-an samapai Sekarang. Jakarta BPK Gunung Mulia. 1999.
Weber, Max. The Nature of Action. (ed). WG. Runciman. Max Weber. selection in
translation. E. Matthews. Cambridge : Cambridge University Press.
1980.
Weber, Max. Economy and Society. (ed) . Roth and Wittich. California. University
Press. 1974
SUMBER LAIN:
Tata Gereja dan Tata Rumah Tangga Gereja Masehi Injili di Halmahera. Hasil
Sidang Sinode Tahun 1997 di Balisoan.
Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan Gereja Masehi Injili di Halmahera. Hasil
Sidang Sinode Tahun 2012 di Dorume, Loloda Utara.
Dokumen Hasil Sidang Sinode Istimewa Gereja Masehi Injili di Halmahera,
Tahun 2013 di Tobelo.
Buku Panduan Sidang Sinode Istimewa GMIH Tahun 2013.
Surat Kabar „Obor Halmahera‟ Edisi VI/XII/2013.
99
Lampiran 1
GEREJA MASEHI INJILI di HALMAHERA
ANGGOTA PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA di INDONESIA
BALITBANG dan STATISTIK GMIH
Jl. Kemakmuran, Tobelo 97762
Telp. (62) 0924-2621166, Fax. (62) 0924-2621302
Email : [email protected]
Halmahera Utara - Maluku Utara
PEMETAAN PERSOALAN GMIH
Pengantar
Dalam tiga bulan terkahir, Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) dilanda dengan konflik
internal. Dalam berbagai media, baik dari media jejaring sosial maupun media massa (Koran lokal),
dikatakan bahwa : “perahu GMIH sedang dalam kondisi bocori”. Analogi persoalan GMIH dengan
“perahu yang bocor” tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan. Apakah memang benar bahwa perahu
tersebut sedang bocor sehingga tidak bertahan sampai ke pelabuhan Buli (SS XXVIII) ? Siapakah yang
membuat sampai bocor ? Mengapa sehingga dapat dikatakan bocor ? Kondisi seperti apa yang
menyebabkan hal tersebut bisa terjadi ?
Upaya untuk menjawab analogi tersebut di atas_apakah benar analogi tersebut dapat
menggambarkan polemik GMIH saat ini_sangat bergantung pada cara kita melihat persoalan tersebut.
Kebutuhan cara pandang untuk dengan jujur melihat persoalan tersebut, maka pemetaan persoalan ini
dilakukan dengan berupaya untuk menghindar penilaian subjektif terhadap persoalan yang sedang
dihadapi GMIH. Oleh karena itu, pemaparan dimulai dari fakta-fakta lapangan, kemudian kondisi data
jemaat pasca SSI dan GPH serta pemetaan kepegawaian.Dengan fakta dan data tersebut, kemudian
diidentifikasi faktor-faktor pendukung persoalan tersebut.Diharapkan dengan identifikasi tersebut dapat
dipakai untuk menganalisis fakta, data dan faktor-faktornya guna memperoleh persepsi yang benar
terhadap persoalan GMIH.
Kompilasi Fakta
1) Setelah Sidang Sinode GMIH XXVII yang dilaksanakan di Dorume Loloda Utara, 23-30 Agustus
2012, muncul sebuah kelompok yang menamakan diri sebagai Kelompok Reformasi. Kelompok ini
kemudian mengeluarkan selebaran dan bahkan sebuah Buku yang berisi keberatan mereka terhadap
hasil Sidang Sinode tersebut, mulai dari hasil pemilihan BPHS sampai pada tata kelola keuangan
GMIH. Kelompok tersebut dengan gencar melakukan sosialisasi kepada jemaat-jemaat GMIH.
2) Aksi mereka kemudian terhenti ketika Sidang Majelis Sinode I yang dilakukan di Jemaat Betlehem
Tobelo pada bulan Februari 2013. Dalam sidang tersebut, BPHS melakukan klarifikasi dan
penjelasan terkait dengan tuduhan yang dilakukan oleh Kelompok Reformasi.Dengan hasil dari
penjelasan tersebut, peserta SMS merekomendasikan untuk dilakukan pengampunan dan konsiliasi
100
kepada Kelompok Reformasi dan dilakukan penarikan selebaran atau buku yang telah
disebarkan.Rekomendasi tersebut diindahkan oleh mereka (Kelompok Reformasi).
3) Kondisi yang nyaman kembali berjalan sekitar 5 bulan. Karena pada bulan Juli dilakukan Pemilihan
Gubernur Maluku Utara, yang mana dalam proses tersebut, dua warga GMIH maju dalam
pencalonan, Bupati Halmahera Barat dan Halmahera Utara. Momentum pertarungan politik ini juga
memengaruhi kinerja pelayanan para Pendeta di Jemaat. Karena disadari dengan sungguh bahwa
Pendeta dan Jemaat juga “terseret”ii dalam pertarungan tersebut, terutama dua kandidat dari warga
GMIH. Selain itu pula, proses penyeretan tidak hanya untuk 2 kandidat tersebut, namun juga berlaku
bagi kandidat lain, yang bukan warga GMIH. Ranah pertarungan politik pemilukada tersebut
menjadi salah satu momentum dimana Pendeta ikut dalam proses kampanye kandidat. Hal ini terlihat
dari begitu banyak Pendeta yang ikut dalam kampanye, baik itu secara diam-diam maupun dengan
terang-terangan.
4) Pada awal Agustus 2013, ada kelompok jemaat yang melakukan aksi demo yang dipimpin oleh Pnt.
Benny Bitjoli (Majelis Jemaat Elim Gura), yang pada saat itu adalah sekretaris Tim Pemenangan
salah satu kandidat Calon Gubernur Maluku Utara periode 2013-2018. Adapun tuntutan mereka
adalah Ketua dan Sekretaris Sinode GMIH segera mengundurkan diri karena terbukti mendukung
salah satu kandidat calon Gubernur Maluku Utara periode 2013-2018.
5) Berselang beberapa hari kemudian, di Jailolo-Sahu, dilakukan pertemuan mendadak untuk
menyikapi demo yang telah dilakukan. Pertemuan tersebut digagas oleh beberapa politisi dan
Pendeta. Maksud dari pertemuan tersebut adalah menggagas sikap Halmahera Barat terhadap
fenomena yang terjadi di Halmahera Utara.iii Pertemuan yang dihadiri oleh Pendeta dan anggota
Majelis Jemaat serta tokoh-tokoh masyarakat, menghasilkan Tim Kecil untuk merumuskan sikap dan
kemudian disampaikan kepada Badan Pekerja Harian Sinode.
6) Berbagai isu pun mulai berkembang dan bergulir ibarat bola liar ke jemaat-jemaat, terutama di Halut
dan Halbar. Isu penyelewengan, isu keterlibatan politik, penyalahgunaan keuangan dan sebagainya
digulirkan ke jemaat-jemaat.Kelompok Reformasi yang pada SMS Bethelehem telah dibubarkan,
kembali ikut menyemarakan isu-isu tersebut. Pada beberapa wilayah tertentu, mulai dilakukan
pertemuan-pertemuan kecil untuk membahas isu-isu yang telah berkembang, mulai dari wilayah
Kao, Tobelo dan Galela.
7) Karena panasnya suhu isu-isu tersebut, Badan Pekerja Harian Sinode melakukan pertemuan Pegawai
Organik Gereja (POG) pada tanggal 23 Juli 2013 di Jemaat Siloam Gosoma. Dalam pertemuan
tersebut56
, dilakukan dialog antara POG dengan BPHS, terutama terkait dengan isu-isu yang
berkembang.Dalam pertemuan itu, BPHS melakukan klarifikasi terkait dengan berbagai tuduhan-
tuduhan yang dilakukan oleh segelintir orang.
56
101
8) Dengan pertemuan tersebut, tidak memadamkan niat para Pendeta yang menamakan kelompok
Reformasi untuk menjalankan niatnya. Hal tersebut terlihat dari isu yang kemudian berkembang,
yakni isu Pembaharuan GMIH.Isu tersebut semakin kental digulirkan ke jemaat-jemaat.Selain itu
pula, akademisi Universitas Halmahera (UNIERA) juga mengusung Pembaharuan GMIH sambil
menyiapkan Dokumen Kairos (dokumen pembaharuan) melalui Fakultas Teologi.Kelompok
Reformasi yang pernah ada setelah Sidang Sinode XXVII di Dorume kemudian meleburkan diri
menjadi kelompok Pembaharuan. Kelompok yang terakhir ini kemudian menetapkan sekretariat di
depan Kantor Bupati Halmahera Utara. Dari sini berbagai upaya dilakukan ke jemaat-jemaat untuk
mendukung aksi pembaharuan.Salah satu upaya mereka adalah dengan mengadakan Sidang Sinode
Istimewa (kemudian disingkatSSI).Utusan-utusan Pendeta maupun PNS dan juga yang lainnya
datang ke Jemaat untuk menghimpun tanda tangan sebagai bukti penyelenggaraan SSI. Puncak
pergerakan Kelompok Pembaharuan GMIH adalah pelaksanaan SSI pada tanggal 13-15 September
2013 di Sekretariat Pembaharuan dengan menghasilkan BPHS versi SSI.
9) Pada tanggal 13 Agustus 2013, dilakukan pertemuan antara BPHS dengan kelompok Pembaharuan
GMIH. Dalam pertemuan tersebut, kelompok Pembaharuan GMIH meminta kepada BPHS untuk
melaksanakan SSI. Namun dengan berbagai pertimbangan serta kondisi yang ada, BPHS menolak.
10) Dalam menghadapi pergolakan gerakan Pembaharuan GMIH, BPHS melakukan konsolidasi umat ke
beberapa titik wilayah pelayanan di Halmahera, mulai dari pertemuan BPHS dengan ketua Badan
Pekerja Harian Jemaat (selanjutnya disebut BPHJ) dan Tua-tua Jemaat se-Kab. Halmahera Utara di
Jemaat Betlehem Wosia Tobelo pada tanggal 12 September 2013; pertemuan se-Kab. Halmahera
Timur di jemaat Marantah Waijou pada tanggal 13 September 2013; pertemuan se-Halmahera
Tengah & Selatan, Tidore Kepulauan dan Ternate di Jemaat Eben Haezer Ternate pada tanggal 17
September 2013; pertemuan se-Halmahera Barat di Jemaat Imanuel Akelamo pada tanggal 18
September 2013 dan pertemuan se-Kab. Pulau Morotai di jemaat Eben Haezer Sabatai Morotai
Selatan pada tanggal 20 September 2013. Kesimpulan konsolidasi dari semua pertemuan itu adalah :
a) Menolak penyelenggaraan SSI dan keputusan-keputusannya, karena tidak berdasar pada
Tata Gereja;
b) Pemberlakuan sanksi organisasi kepada POG yang menyelenggarakan dan mengikuti
SSI maupun pergerakan Sinode GPH.
c) Penyetoran 30% sesuai hasil keputusan SS XXVII Dorume harus tetap dilaksanakan.
d) Tetap mempertahankan hasil keputusan SS XXVII Dorume.
Pemaksaan kepemimpinn GMIH semakin jelas ketika BPHS hasil SSI mengukuhkan diri sebagai
pemimpin GMIH dan menyatakan BPHS hasil SS XXVII Dorume sudah demisioner. Pemaksaan
tersebut merajalela ke berbagai aspek, BPHS SSI menjalankan tugasnya dengan memakai alamat
sekretariatnya, sedangkan BPHS SS XXVII Dorume tetap berkantor di Jln. Kemakmuran Tobelo.
102
11) Pada tanggal 19 September 2013, Biro Hukum, HAM dan Demokrasi GMIH melakukan pengaduan
terkait dugaan penyelewengan 30% oleh 5 orang Pendeta GMIH, serta penggunaan Cap dan Logo
GMIH serta penerbitan surat-surat berharga. Pengaduan tersebut dilaporkan ke Polres Halmahera
Utara.
12) Pada tanggal 01 Oktober 2013, gerakan persiapan Sinode Gereja Protestan Halmahera (GPH)
melakukan ritual peletakan batu pertama kantor sinodenya. Ritual yang dilaksanakan di desa Tosoa
tersebut menimbulkan keresahan pada warga GMIH yang ada di Halmahera Barat. Akibatnya
berbagai bentuk penolakan terjadi, demo GMKI dan GAMKI serta majelis jemaat dilakukan sebagai
bentuk penolakan mereka.Disamping itu pula, berbagai aksi demo juga sering dilakukan oleh
mahasiswa di Halmahera Utara untuk menolak indikasi keterlibatan Pemerintah Daerah turut campur
tangan terhadap pelaksanaan SSI.
13) Pada tanggal 03 Oktober 2013, Kementerian Agama RI, Kantor Wilayah Provinsi Maluku Utara,
mengeluarkan sebuah surat yang menyatakan sikap pemerintah terhadap konflik internal GMIH.
Surat tersebut kemudian didistribusikan ke jemaat-jemaat secara serentak.
14) Pasca surat Kemenag Kakanwil Maluku Utara, sosialisasi terus dilakukan oleh BPHS GMIH. Pada
saat yang bersamaan, pihak Pembaharuan GMIH terus melakukan sosialisasi serta melantik
kelengkapan kelembagaan BPHS hasil SSI.Sementara itu, kondisi Halmahera Barat yang berhadapan
dengan GPH, terus mengalami perkembangan. Dengan mana, beberapa jemaat telah mengalami
segregasi massa pada kedua kubu, baik yang masih mempertahankan GMIH maupun ada yang telah
menyatakan diri ke GPH. Salah satu fenomena konflik tersebut adalah konflik yang terjadi antara
desa Tosoa dan Lata-lata pada hari senin, 04 November 2013.
Pemetaan Jemaat
Konflik pada aras pimpinan tersebut secara perlahan namun pasti merembes ke kehidupan
berjemaat. Jemaat-jemaat GMIH yang berjumlah 432 jemaat sudah mulai menyatakan sikapnya terhadap
hasil SSI dan SS XXVII Dorume. Adapun pemetaannya adalah dapat dilihat pada gambar berikut :
103
Sumber : Tim Riset GMIH
Dari gambar 1., di atas terlihat bahwa 13% jemaat GMIH telah terkontaminasi hasil SSI dalam berbagai
kategori. Sedangkan 2% terkontaminasi GPH. Namun begitu ada 86% jemaat GMIH masih tetap
mempertahankan hasil SS XXVII Dorume.
Dari 13% jemaat yang telah terkontaminasi tersebut di atas, perlu untuk dilakukan
pengkategorian indikasinya.Hal ini diupayakan untuk melihat sejauh mana pengaruh SSI bagi jemaat-
jemaat. Adapun gambarannya dilihat pada gambar berikut :
Sumber : Tim Riset GMIH
Dari gambar 2., terlihat bahwa dari 13% atau 55 jemaat yang terindikasi SSI terdapat 35% yang masuk
dalam kategori sangat tinggi, 5% yang kategori tinggi, 18% kategori kurang dan 43% yang termasuk
dalam kategori sangat kurang. Dari data di atas, dapat dibaca juga bahwa dari 55 jemaat, terdapat 40%
jemaat yang dapat dikatakan rawan sedangkan 60% masih dapat dikatakan belum rawan.
104
Selanjutnya, jika dilihat menurut wilayah, maka akan diketahui bahwa pengaruh SSI terpusat
pada wilayah-wilayah di Kabupaten Halmahera Utara. Adapun gambaranya adalah sebagai berikut :
Sumber : Tim Riset GMIH
Dari gambar 3., di atas diketahui bahwa 55 jemaat yang terkontaminasi SSI sebagian besar berada di
wilayah pelayanan Tobelo Tengah yang mencapai 16%, kemudian wilayah Tobelo sebesar 15%dan Kao
Utara sebasar 11% serta Tobelo Selatan dan Galela Barat masing-masing 9%.
Pemetaan Kepegawaian
Salah satu kesepakatan pertemuan BPHS dengan ketua BPHJ dan Tua-tua Jemaat pada beberapa
wilayah adalah memberikan sanksi organisasi menurut klasifikasi kepada POG yang mendukung secara
aktif terhadap pelaksanaan SSI dan juga dengan gerakan pendirian Sinode GPH.Realisasi dari
kesepakatan tersebut adalah BPHS sudah memberikan sanksi skorsing kepada POG tersebut secara
bertahap. Sampai saat ini, BPHS sudah mengambil langkah tersebut dalam tiga tahap dengan gambaran
sebagai berikut :
Gambar 3. Prosentase Jemaat yang Terindikasi SSI
menurut Wilayah
105
Sumber : Tim Riset GMIH
Dari gambar di atas, diketahui bahwa terdapat 15% atau 68 PO yang terkena skorsing.Sisanya 85% atau
373 orang yang tidak terpengaruh dengan SSI maupun GPH.
Meneropong Faktor-faktor yang Mendukung Persoalan GMIH
Berdasarkan kompilasi fakta dan data yang telah diuraikan sebelumnya, maka perlu juga untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mendukung polemik ini semakin parah. Dalam berbagai pandangan
serta pendapat, minimal diketahui ada 4 faktor utama yang turut berpengaruh, diantaranya adalah :
1. Faktor Politik
Faktor politik yang dipahami dalam kondisi ini adalah kondisi dinamika politik daerah, baik
dalam skala Kabupaten maupun skala Provinsi.Dinamika tersebut dilihat dari sejauh mana
penggunaan kekuasaan untuk kemudian mempolitisasi wacana yang muncul di jemaat.Pemilihan
Gubernur Maluku Utara menjadi salah satu acuan kuat dalam upaya menyebarkan isu politis ke
jemaat.
2. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi dilihat sebagai kondisi ekonomis, seperti pekerjaan, pendapatan dan juga modal-
modal yang lain yang turut memengaruhi praksis individu atau keputusan-keputusan individu
dalam ranah dan atau praksisnya. Faktor ini dinilai berdasarkan keterlibatan PNS Halmahera
Utara dalam hal sosalisasi dukungan SSI ke jemaat-jemaat.Faktor ini juga tidak berjalan sendiri,
melainkan juga sangat ditopang oleh faktor politik Halut.
3. Faktor Sosial
Faktor sosial adalah dilihat pada kondisi status sosial seseorang yang turut berpengaruh pada
relasi dan tindakan sosial.Penilaian terhadap faktor ini adalah status Penatua dan Diaken serta
Tua-tua Jemaat yang juga turut bermain secara aktif maupun pasif dalam menyokong pelbagai
opini yang muncul.
4. Faktor Pengetahuan
Sedangkan faktor pengetahuan dipahami sebagai faktor tingkat pemahaman pelayan akan tugas
dan panggilannya. Faktor ini memang bukan persoalan baru, karena persoalan teologi GMIH
yang belum kunjung selesai, turut memengaruhi tingkat pemahaman pelayan.Muara dari kondisi
ini adalah kebingungan pelayan dalam hal memposisikan diri dalam pergumulan politik daerah,
pergumulan sosial dan budaya.Penilaian terhadap faktor ini adalah terseretnya para pelayan
dalam pusaran politik penguasa.
Keempat faktor di atas bukanlah inti dari persoalan yang dihadapi oleh GMIH, melainkan pra-
kondisi yang turut berpengaruh terhadap inti persoalan yang terjadi.
Memahami Kembali Persoalan GMIH
Dalam upaya untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di GMIH, perlu untuk merekonstruksi
fakta-fakat yang terjadi, data yang telah diolah serta faktor-faktor yang turut berpengaruh. Hal ini perlu
106
untuk dilakukan dalam rangka menemukan inti persoalan yang sedang melanda GMIH.Di samping itu
pula, untuk menemukan pemahaman yang jujur terhadap persoalan GMIH serta mencari solusinya.
Sebagaimana yang telah diungkapkan pada fakta pertama, bahwa Kelompok Reformasi muncul
sebagai akibat dari ketidakpuasan mereka terhadap hasil SS XXVII.Ketidakpuasan tersebut dilihat dari
dokumentasi yang disebarluaskan ke jemaat-jemaat.Hal ini sudah tentu diupayakan untuk membangun
opini ketidakpercayaan jemaat terhadap kepemimpinan hasil SS XXVII. Isu yang dipakai mulai dari
penggelembungan suara, penyelewengan dana pensiun pegawai sampai pada refleksi teologis terhadap
cara pemilihan pimpinan gereja dengan mengundi. Butir-butir pemikiran tersebut minimal telah
membentuk opini sendiri bagi jemaat-jemaat, walau ada penolakan terhadap aksi mereka. Namun
demikian, dapat dikatakan bahwa permulaan aksi Kelompok Reformasi adalah awal mula ketegangan
yang sengaja diciptakan, namun masih dalam skala yang cukup kecil.
Pembekukan kelompok tersebut pada bulan Februari 2013, sebagaimana yang digambarkan
dalam fakta kedua, bukan serta merta turut menghapus opini atau wacana yang telah lahir di kalangan
jemaat sebagai imbasan dari aksi mereka. Karena wacana ketidakpercayaan (distrust) kepada Badan
Pekerja Harian Sinode (BPHS) sudah mengalir dengan perlahan namun pasti. Grafik ketidakpercayaan
beberapa kalangan mulai merembes kepada kalangan Pendeta dan awam/jemaat.Rembesan tersebut cukup
berpengaruh terhadap penurunan grafik kepercayaan jemaat terhadap BPHS.iv
Kepercayaan (trust)v membawa konotasi aspek negosiasi harapan dan kenyataan yang dibawakan
oleh tindakan sosial individu-individu atau kelompok dalam kehidupan kemasyarakatan.Ketepatan antara
harapan dan realisasi tindakan yang ditunjukkan oleh individu atau kelompok dalam menyelesaikan
amanah yang diembannya, dipahami sebagai tingkat kepercayaan.Tingkat kepercayaan akan tinggi, bila
penyimpangan antara harapan dan realisasi tindakan, sangat kecil. Sebaliknya, tingkat kepercayaan
menjadi sangat rendah apabila harapan yang diinginkan tak dapat dipenuhi oleh realisasi tindakan sosial.
Jarak antara harapan dan kenyataan seperti itulah yang dimanfaatkan oleh Kelompok
Reformasi.Puncak dari ketidakpercayaan (distrust) tersebut adalah dengan momentum Pilgub Maluku
Utara.Salah satu indikator kepercayaan (trust) adalah kebajikan dalam melihat dan menempatkan diri
dalam lingkup organisasi, sehingga dapat menghasilkan perilaku individu dalam ranah organisasinya yang
bertanggung jawab.Dengan momentum Pilgub Malut putaran I, indikator ini cukup
memrihatinkan.Mengapa ?Karena Pelayan cukup terseret dalam segregasi politik yang terjadi.Cara
pandang dan posisi diri dalam arus politik pemilihan sangat terpengaruh oleh faktor pemahaman,
sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Faktor pengetahuan politik gereja belum selesai pada
aras pelayan dan jemaat GMIH.
Dengan minimnya faktor pemahaman tersebut, turut memperkeruh suasana distrust yang telah
diciptakan oleh kelompok reformasi. Selain itu, diperparah dengan hasil perhitungan Pilgub Malut putaran
I, yang kemudian menimbulkan gesekan kelompok, yang kemudian bermuara pada demo besar-besaran di
depan Kantor Sinode, sebagaimana yang diurai dalam fakta keempat. Demontrasi hasil perhitungan yang
107
kemudian dipolitisasi menjadi demo kepada pimpinan Gereja dengan berbagai tuduhan politis telah
membawa babakan baru.
Proses pewacanaan gap/jurang harapan dan kenyataan dalam fenomena bergereja mulai
digulirkan kembali dan dimanfaatkan oleh kelompok Reformasi. Kelompok ini ibarat memperoleh angin
segar dan pintu masuk untuk memanfaatkan kondisi. Isu reformasi kembali digulirkan, namun dengan
nafas Pembaharuan GMIH.Dengan demikian, dapat diketahui bahwa faktor politik turut menyuburkan
bunga pembaharuan GMIH, dengan terus menyebarkan semerbaknya ke seluruh jemaat.Apalagi aksi
tersebut sangat didukung oleh Universitas Halmahera (UNIERA) melalui Dokumen Kairos-nya.
Kesemerbakannya yang terus meluas tersebut dilihat dari pengumpulan tanda tangan jemaat serta
pengerahan Pegawai Negeri Sipil Halmahera Utara untuk melakukan sosialisasi dukungan.Dari kondisi
ini, faktor ekonomi turut berpengaruh.Karena status mereka sebagai PNS tidak terlepas upaya politis
untuk mengerahkan mereka.
Upaya yang dilakukan oleh kelompok pembaharuan tersebut, dengan cara pengumpulan tanda
tangan serta pewacanaan isu-isu dengan mengedepankan “dosa-dosa BPHS”, adalah cara politis untuk
membangun distrust kepada BPHS. Namun begitu, sebagaimana dalam data pada Gambar 1 di atas,
diketahui bahwa 85% jemaat menolak cara tersebut beserta pelaksanaan SSI. Hal tersebut terlihat dalam
uraian fakta kesepuluh, yang mana mereka menolak SSI dan hasil keputusannya.
Indikator lain dari dialektika trust (kepercayaan) adalah komitmen.vi Sebagai bentuk komitmen
tersebut, BPHS GMIH dengan perangkat organisasinya tetap melakukan langkah-langkah organisasi
untuk tetap berkomitmen terhadap aturan main organisasi yang telah disepakati dalam SS XXVII di
Dorume.Dalam kompilasi fakta kesebelas, diketahui bahwa melalui Biro Hukum, HAM dan Demokrasi
GMIH telah mengambil jalur hukum untuk semua pelanggaran organisasi. Hal tersebut juga semakin
diperkuat dengan surat dari KEMENAG KANWIL Provinsi Maluku Utara. Pengakuan Negara tersebut
minimal menjadi landasan hukum untuk mengembalikan trust (kepercayaan).
Penutup
Dari kompilasi fakta serta pengolahan data lapangan, ditambah lagi dengan inventarisir faktor-
faktor yang berpengaruh serta proses analisa, maka diketahui beberapa hal diantaranya adalah :
1. Kekuatan bergereja GMIH masih tetap berjalan sebagaimana mestinya, karena kekuatan 85%
jemaat yang belum terinfeksi dengan hasil SSI, merupakan kekuatan penuh untuk
mengimplementasikan pendekatan kelembagaan.
2. Faktor politik adalah faktor utama yang turut berpengaruh terhadap pewacanaan SSI di kalangan
jemaat. Selain itu pula, ada beberapa faktor ikutan yang juga turut memberikan kontribusi,
diantaranya adalah faktor ekonomi, sosial dan pengetahuan.
3. Inti dari persoalan yang melanda GMIH adalah bukan persoalan politik, melainkan persoalan
distrust (ketidakercayaan). Selain persoalan distrust tersebut, polemik ini juga ditopang oleh
pengetahuan teologis tentang peran aktif Pelayan dalam jemaat.
108
iBahasa Melayu Maluku Utara. iiKata tersebut dipakai bukan untuk memberikan kesan negatif. Kondisi tersebut dapat dibaca dalam konteks Hak
Politik warga Gereja sebagai warga negara yang menjalankan hak politiknya dalam proses pemilukada. iiiPertemuan tersebut sebenarnya adalah pertemuan evaluasi para Kordinator Wilayah, namun diperluas karena
kebutuhan.Pertemuan tersebut sebenarnya adalah pertemuan evaluasi para Kordinator Wilayah, namun diperluas
karena kebutuhan. ivIndikasi dari penurunan grafik kepercayaan jemaat kepada BPHS adalah isu penyelewengan dana pensiun tetap
terpelihara dengan baik di benak setiap orang (walau sudah dilakukan klarifikasi). Selain itu pula, ada sikap defensive
Pegawai Organik untuk mengurus dana Pensiun mereka. vPerhatian pada kajian trust mulai menguat sejak konsep modal sosial mulai bergulir sebagai wacana akademik
pemerhati sosiologi. Perkembangan selanjutnya, banyak thesis yang meneguhkan trust, sebagai bagian tak
terpisahkan dari modal sosial dalam pembangunan. Fukuyama (1995) menegaskan bahwa trust adalah salah satu hal
penting dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini kemudian ditekankan oleh Sztompka (1999) yang menegaskan
bahwa trust menjadi modal penting yang mengkondisikan masyarakat dapat berfungsi.
Rumusan dari Möllering tersebut menjelaskan, paling tidak, enam fungsi penting kepercayaan (trust) dalam
hubungan-hubungan sosial-kemasyarakatan. Keenam fungsi tersebut adalah:
a) Kepercayaan dalam arti confidence, yang bekerja pada ranah psikologis-individual. Sikap ini akan
mendorong orang berkeyakinan dalam mengambil satu keputusan setelah memperhitungkan resiko-resiko
yang ada. Dalam waktu yang sama, orang lain juga akan berkeyakinan sama atas tindakan sosial tersebut,
sehingga tindakan itu mendapatkan legitimasi kolektif.
b) Kerjasama, yang berarti pula sebagai proses sosial asosiatif dimana trust menjadi dasar terjalinnya
hubungan-hubungan antar individu tanpa dilatarbelakangi rasa saling curiga. Selanjutnya, semangat
kerjasama akan mendorong integrasi sosial yang tinggi.
c) Penyederhanaan pekerjaan, dimana trust membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja
kelembagaan-kelembagaan sosial. Pekerjaan yang menjadi sederhana itu dapat mengurangi biaya-biaya
transaksi yang bisa jadi akan sangat mahal sekiranya pola hubungan sosial dibentuk atas dasar moralitas
ketidakpercayaan.
d) Ketertiban. Trust berfungsi sebagai inducing behavior setiap individu, yang ikut menciptakan suasana
kedamaian dan meredam kemungkinan timbulnya kekacauan sosial. Dengan demikian, trust membantu
menciptakan tatanan sosial yang teratur, tertib dan beradab.
e) Pemelihara kohesivitas sosial. Trust membantu merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam
sebuah komunitas menjadi kesatuan yang tidak tercerai-berai.
f) Modal sosial. Trust adalah asset penting dalam kehidupan kemasyarakatan yang menjamin struktur-struktur
sosial berdiri secara utuh dan berfungsi secara operasional serta efisien. viKomitmen dimengerti sebagai konsistensi, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. Dengan komitmen
seperti ini, akan memampukan para pegawai untuk bekerja sesuai dengan apa yang menjadi kewajibannya, serta
ekspektasi masyarakat. Sudah tentu bahwa hal ini akan memampukan dirinya dalam melakukan pelayanan kepada
masyarakat. Bandingkan hasil penelitian Seok Eun Kim “The Role of trust in the Modern Administrative State : A
Integrative Model”, Administration and Society Journal,Vol 37, No. 5, November 2005, hal 611-635.
109
110
111