Upload
trannhu
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Genuk kemiri merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang berupa mitos
dan terdapat di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan sebagai
upaya untuk memahami mitos genuk kemiri di Kabupaten Pati dalam kaitannya
dengan fungsi mitos bagi masyarakat Pati. Penelitian ini menggunakan analisis
struktural Lévi-Strauss yang mengaji karya sastra tidak hanya dari bidang sastra
saja tetapi juga dari bidang antropologi dengan memanfaatkan data-data etnografi.
Data etnografi yaitu data kebudayaan suatu masyarakat yang telah diterbitkan
dalam bentuk tulisan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kajian
teori strukturalisme Claude Lévi-Strauss. Teori strukturalisme Lévi-Strauss pada
umumnya digunakan dalam penelitian antropologi tetapi dalam penelitian ini
diaplikasikan pada kajian sastra.
Menurut Taum (2011: 21-22), sastra lisan adalah sekelompok teks yang
disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan, yang secara instrinsik
mengandung sarana-sarana kesusastraan dan memiliki efek estetik dalam
kaitannya dengan konteks moral maupun kultur dari sekelompok masyarakat
tertentu. Dengan demikian, segala bentuk ekspresi sastra yang diungkapkan secara
lisan dapat disebut sebagai sastra lisan. Sedangkan tradisi lisan lebih luas
cakupannya karena meliputi segala macam tradisi yang diwariskan turun-temurun
2
secara lisan, yang antara lain meliputi seni arsitektur rakyat, tarian rakyat, hukum
adat rakyat, dan lain sebagainya.
Sastra lisan mempunyai peran yang besar dalam kehidupan masyarakat
tradisional atau masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan. Masyarakat di
daerah pedesaan masih memakai bahasa daerah dalam setiap kesempatan serta
masih sering menuturkan sastra lisan dalam kesempatan-kesempatan khusus dan
pertemuan ritual. Sastra lisan mempunyai nilai estetis, metaforis dan simbolis
yang menonjol. Hal ini berkaitan dengan keadaan masyarakat saat itu yang masih
belum begitu mengenal komunikasi tertulis sehingga untuk berkomunikasi mereka
membutuhkan sarana-sarana tertentu yang dilukiskan dalam bentuk simbol-simbol.
Sastra lisan diciptakan suatu masyarakat untuk menghayati dimensi
transendensnya, sambil mewartakan peristiwa eksistensial mengenai realita-realita
paling besar dalam eksistensi manusia: kelahiran, kehidupan, kesakitan, ketakutan,
pendambaan keselamatan, permohonan mengatasi maut, dan sebagainya (Taum,
2011:3). Dapat disimpulkan bahwa sastra lisan mempunyai fungsi untuk
menyeimbangkan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan
lingkungan sosial dan manusia dengan manusia. Semua itu diungkapkan secara
simbolis dengan tuturan yang berupa nyanyian, puisi, syair, mantra yang
terkadang disertai dengan gerakan tertentu atau dengan alunan alat musik.
Suripan Sadi Hutomo (1991:1) menyebut sastra lisan sebagai kesusastraan
yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan
dan diturunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Dilihat dari kebudayaan, sastra
lisan adalah pengucapan yang langsung dan serta merta dari jiwa rakyat biasa
3
yang merupakan lapisan bawah masyarakat (Sastrowardoyo, 1983:3). Dengan
demikian, sastra lisan meliputi segala macam ekspresi sastra manusia yang
bersifat lisan termasuk di dalamnya berupa nyanyian rakyat, puisi, pantun, mitos,
legenda, dan dongeng. Wujud cerita sastra lisan bermacam-macam, ada yang
bersifat kepahlawanan, ada yang bersifat didaktis, ada yang bersifat keagamaan,
ada yang bersifat adat, keagamaan dan sejarah (Tirtawidjaja, 1979: 6). Sampai
saat ini, sastra lisan masih dapat dijumpai di Indonesia dengan berbagai bahasa
yang ratusan jumlahnya.
Akan tetapi, para generasi muda saat ini tidak lagi mengapresiasi sastra
daerahnya sendiri. Faktanya anak-anak muda Jawa saat ini banyak yang tidak
mengenal tokoh-tokoh wayang, cerita wayang, lagu daerah dan dolanan anak,
berbeda dengan anak muda generasi terdahulu. Hal ini membuktikan kurangnya
apresiasi generasi muda untuk mempelajari sastra dan budaya daerahnya sendiri.
Mereka menganggap bahwa sastra daerah bersifat kuno dan ketinggalan zaman.
Hal ini akan menyebabkan sastra dan budaya lisan di daerah lambat laun akan
mengalami kepunahan. Menurut Pudentia (2002 via Taum, 2011:6), kematian
sebuah tradisi lisan bisa berarti kehilangan sebuah ensiklopedi sebuah masyarakat.
Bagaimanapun, sastra lisan merupakan salah satu alat dan sarana penyimpanan
kesadaran manusia yang sangat penting nilainya. Identitas suatu masyarakat dapat
digali melalui sastra lisannya. Selain itu, sastra lisan mempunyai peran yang
sangat besar untuk mengatur norma-norma dalam masyarakat niraksara.
Sastra lisan juga sering disebut sebagai folklore (diindonesiakan menjadi
folklor) karena sastra lisan merupakan bagian dari folklor. James Danandjaja
4
(2002:2) mendefinisikan folklor sebagai bagian kebudayaan suatu kolektif, yang
tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh
yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Konsep folklor
tersebut mencakup 1) sastra lisan; 2) sastra tertulis penduduk daerah pedesaan dan
masyarakat kota kecil; 3) ekspresi budaya yang mencakup teknologi budaya,
pengetahuan rakyat, kesenian dan rekreasi termasuk di dalamnya mencakup
kerajinan, tari-tarian, obat-obatan tradisional (Hutomo, 1991: 7-8). Folklor juga
menyimpan keragaman sastra daerah yang mendukung proses pembangunan jati
diri dan budaya lokal. Folklor dapat membimbing masyarakat ke arah apresiasi
sastra dan pemahaman gagasan berdasarkan praktik yang telah menjadi tradisi
selama berabad-abad (Sande, 1986:1).
Menurut Rusyana (1978:1) sastra lisan merupakan dasar komunikasi antara
pencipta dan masyarakat dalam arti bahwa karya sastra lisan akan lebih mudah
dipahami sebab ada unsurnya yang lebih mudah dikenal oleh masyarakat. Dengan
demikian, masyarakat akan lebih mudah belajar lewat sebuah sastra lisan sehingga
sebuah sastra lisan yang merupakan bagian dari folklor, dapat dijadikan sebagai
pedoman dalam hidup masyarakat dalam mengatur norma yang satu dengan yang
lainnya.
Sastra lisan mempunyai peran sebagai pedoman bagi masyarakat untuk
hidup selaras dengan alam sehingga antara manusia dan alam terjadi hubungan
timbal balik yang berpengaruh langsung terhadap terjaganya kelestarian alam.
Menurut Sastrowardoyo (1983:2), sastra lisan memandang orang, alam dan
5
masyarakat serba sahaja dan bahkan daya tarik dari kesahajaannya serta dari
kelugasan bentuk lahirnya adalah ciri yang mempesona dari sastra lisan. Folklor,
yang mencakup sastra lisan di dalamnya, diciptakan masyarakat tertentu bukan
hanya sebagai hiburan, warisan sejarah dan sebagai sebuah sistem religi saja.
Folklor diciptakan berdasarkan motif-motif tertentu sebagai pedoman atau
petunjuk masyarakat pemiliknya. Motif-motif tersebut terkadang digambarkan
secara tidak langsung melalui simbol-simbol tertentu. Folklor pada umumnya
mengandung isi berupa tuntunan bagi masyarakatnya. Kota Pati yang terletak di
pantai utara Jawa (pantura) mempunyai folklor diantaranya yaitu mitos genuk
kemiri yang berada di desa Sarirejo, Pati, Jawa Tengah. Penggunaan istilah mitos
mengacu pada cerita yang terjadi di masa lalu, ada perbedaan istilah itu dengan
sejarah (Lévi-Strauss, 2009:280). Mitos dan sejarah tentu saja berbeda karena
mitos tidak mempunyai kronologi waktu.
Pada dasarnya cara kerja mitos sama dengan cara kerja bahasa. Mitos
disampaikan melalui bahasa dan mengandung pesan-pesan yang dapat diketahui
lewat proses penceritaannya (Susrama, 2011:8). Demikian halnya dengan bahasa,
pesan-pesan yang disampaikan dapat diketahui lewat pengucapannya. Meskipun
demikian, gejala kebahasaan yang terdapat di dalam mitos berbeda dengan gejala
kebahasaan yang dipelajari dalam linguistik.
Mitos mempunyai karakteristik tertentu yaitu memunculkan kekuatan
supranatural yang dipercaya oleh masyarakatnya. Mitos biasanya mempunyai
cerita yang aneh, janggal dan tidak dapat diterima kebenarannya karena
kebanyakan tidak sesuai dengan kenyataan sehari-hari. Meskipun demikian, mitos
6
dapat digunakan sebagai alat untuk melegitimasi atau sebagai alat pembenaran
untuk peristiwa-peristiwa tertentu. Hal ini membuktikan bahwa mitos tidak
sekedar dianggap sebagai dongeng pelipur lara belaka. Lebih dari itu, mitos
seringkali merupakan ungkapan simbolik suatu masyarakat dalam menghadapi
konflik-konflik yang terjadi. Melalui mitos tersebut masyarakat belajar terhadap
nilai-nilai moral yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, penting untuk
menginventarisasi dan memublikasi mitos genuk kemiri sehingga nantinya tidak
akan punah termakan zaman.
Mitos genuk kemiri sangat populer di antara masyarakat Pati karena mitos
genuk kemiri diduga berhubungan erat dengan terbentuknya Keraton Pasantenan,
yaitu Kota Pati pada zaman dahulu. Hal ini dibuktikan dengan letak situs genuk
kemiri yang berada di bekas Keraton Pasantenan. Situs genuk kemiri yang terletak
di desa Sarirejo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah sampai saat ini masih dikunjungi
oleh masyarakat. Genuk yang berarti „tempayan‟ atau „gentong‟, dahulu biasanya
digunakan sebagai tempat air. Oleh karena genuk ini terletak di Desa Kemiri maka
masyarakat menyebutnya sebagai genuk kemiri. Menurut kepercayaan masyarakat,
genuk kemiri sudah ada sejak Kembang Jaya membabad hutan Kemiri untuk
membangun Keraton Pasantenan pada abad ke-XIII Masehi.
Masyarakat Pati menganggap genuk kemiri sebagai benda keramat. Mereka
percaya bahwa air yang terdapat di dalam genuk kemiri adalah air yang bertuah
sehingga dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Tidak hanya itu, dengan
melempar uang koin ke dalam genuk kemiri maka masyarakat percaya
7
keinginannya akan terkabul. Oleh karena itu, di dalam genuk kemiri selain
terdapat air juga terdapat banyak uang koin.
Mitos genuk kemiri tidak hanya dipercayai oleh masyarakat umum saja
tetapi juga dipercaya oleh para pemimpin Kota Pati yakni para bupati Pati. Setiap
bupati yang baru saja terpilih harus segera datang sowan ke makam Kembang
Jaya yang terdapat di situs genuk kemiri untuk mendapatkan restu para leluhur
pemimpin Pati. Apabila ritual sowan tersebut tidak dilakukan maka bupati
tersebut tidak akan lama menjabat sebagai bupati.
Menurut kepercayaan masyarakat, apabila seseorang mengunjungi genuk
kemiri lalu melihat air yang terdapat di dalamnya penuh, maka rezekinya akan
besar dan dia tidak akan hidup berkekurangan. Namun apabila orang tersebut
melihat air di gentong tinggal sedikit atau bahkan habis maka rezeki orang itu pun
akan sedikit pula. Padahal air di dalam genuk kemiri diisi oleh juru kunci setiap
malam Jumat dengan ritual tertentu bukan karena air tersebut muncul dengan
sendirinya. Inilah letak local genius orang Jawa yang suka mengait-ngaitkan
segala hal yang mereka temui dengan kepercayaan mitis kejawen yang
menganggap bahwa terdapat roh atau jiwa di dalam benda-benda tertentu. Untuk
mengisi air di genuk kemiri pun seorang juru kunci harus melakukan ritual
tertentu disertai puasa sehari sebelumnya. Setiap tanggal 10 Sura selambu di
genuk kemiri akan diganti oleh juru kunci. Ritual ini disebut bukak selambu.
Mitos genuk kemiri yang berada di Kabupaten Pati tersebut berorientasi
pada kepercayaan masyarakat setempat yang selanjutnya berpengaruh terhadap
karakter masyarakat. Masyarakat di Kabupaten Pati percaya bahwa folklor
8
tersebut diyakini pernah terjadi karena terdapat bukti-bukti peninggalan yang
berupa genuk (tempayan). Sampai saat ini masyarakat percaya bahwa genuk
kemiri adalah benda yang bertuah. Hal-hal tersebut menurut peneliti layak untuk
dijadikan landasan sebagai acuan bahwa folklor tersebut mempunyai fungsi dan
kedudukan tersendiri di dalam masyarakat Pati. Kepercayaan masyarakat Pati
terhadap mitos genuk kemiri yang mereka yakini sampai saat ini, menurut penulis
layak untuk diteliti
Hingga saat ini, kajian atau analisis akademis yang disertai dengan teori
terhadap folklor di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini tentu saja sangat
memprihatinkan, mengingat folklor adalah produk budaya yang menyimpan
berbagai filosofis dan kearifan lokal masyarakat di nusantara. Adanya stereotip
dalam masyarakat yang menganggap bahwa belajar sastra daerah dianggap
ketinggalan zaman serta fakta bahwa generasi muda sudah tidak lagi
mengapresiasi sastra daerah, menjadi salah satu pendorong peneliti untuk
mengadakan penelitian bidang sastra lisan ini.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini,
1. Bagaimana struktur cerita genuk kemiri di Kabupaten Pati?
2. Mengapa masyarakat sekitar menganggap mitos sebagai sesuatu yang
penting dalam unsur kehidupan sehari-hari?
9
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian antara lain:
Tujuan teoritis :
1. Menjelaskan struktur cerita berdasarkan beberapa versi dan varian cerita
yang berkembang di desa Sarirejo, Pati, Jawa Tengah.
2. Menjelaskan fungsi mitos dan relevansinya dengan kehidupan
masyarakat di Pati saat ini.
Tujuan praktis:
1. Memberikan pemahaman terhadap para pembaca dan masyarakat Pati
terhadap pesan yang terdapat pada mitos genuk kemiri.
2. Pendokumentasian mitos genuk kemiri.
1.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian terhadap mitos genuk kemiri di desa Sarirejo Kabupaten Pati
sebelumnya belum pernah ada. Penelitian yang dimaksud di sini adalah skripsi,
tesis ataupun penelitian yang telah dibukukan. Akan tetapi, ada beberapa
penelitian terdahulu yang berkaitan dengan folklor sebagai berikut. Pertama,
Laporan Penelitian Heddy Shri Ahimsa Putra, Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, 1994/1995, yang berjudul “Analisis Struktural dan
Makna Mithos Orang Bajo”, mendeskripsikan tentang kisah Si Muhamma‟.
Penelitian ini menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa dongeng Pitoto Muhamma
mencerminkan konflik batin orang Bajo yang meyakini superioritas laut tetapi
10
juga tergantung pada kehidupan darat karena kenyataannya orang Bajo tidak dapat
hidup hanya dengan hasil laut saja.
Kedua, buku Heddy Shri Ahimsa–Putra, 2001, yang berjudul Strukturalisme
Lévi – Strauss: Mitos dan Karya Sastra yang diterbitkan oleh Galang Press. Buku
ini memuat analisis Ahimsa – Putra terhadap karya sastra Sri Sumarah, Bawuk
dan Para Priyayi karya sastrawan Umar Kayam dengan analisis Lévi – Strauss.
Ketiga judul novel di atas mempunyai struktur yang hampir sama sehingga layak
untuk diperbandingkan. Setting waktu ketiga novel di atas yaitu pada saat
meletusnya peristiwa G-30 SPKI. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan yang
pertama bahwa ketiga cerita tersebut yaitu Sri Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi
merupakan perwujudan dari kebimbangan Umar Kayam dalam menghadapi
peristiwa G-30 SPKI sehingga cerita dalam novel tersebut merupakan upaya
Umar Kayam untuk menjelaskan peristiwa tersebut dari sudut pandangnya sendiri.
Kedua, nilai Jawa sak madya, tokoh mitis Semar, sosok nyata Umar Kayam dan
tokoh dongeng etnografis Tun, Bawuk dan Hari, dapat ditafsirkan sebagai
perwujudan prinsip nalar Jawa yang selalu berusaha menyeimbangkan dan
menyatukan elemen-elemen yang berlawanan pada tataran nilai, mitos, individu,
dan hasil karya individu (Ahimsa-Putra, 2001:307). Melalui analisis yang telah
dilakukan oleh Ahimsa – Putra maka dihasilkan suatu kesimpulkan bahwa ketiga
cerita dalam novel tersebut memiliki ceriteme yang saling bersangkutan satu sama
lain sehingga ketiga karya Umar Kayam tersebut merupakan variasi dari sebuah
tema.
11
Ketiga, Skripsi Dhanar Widianta, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta, 2005, yang berjudul “Mitos Babad Alas Nangka Dhoyong
Kajian Strukturalisme Lévi Strauss”. Dhanar Widianta membandingkan dua versi
cerita babad alas nangka dhoyong yang keduanya bersumber dari hasil
wawancara. Hasil wawancara kedua versi cerita babad alas nangka dhoyong
inilah yang direkonstruksi menjadi cerita 1 dan cerita 2. Selanjutnnya, Dhanar
membagi cerita babad alas nangka dhoyong ke dalam episode-episode yang
disebut mythéme oleh Lèvi Strauss dan disebut ceriteme oleh Heddy Shri Ahimsa
Putra. Dhanar mencoba mencari perbedaan dan persamaan dari ceriteme kedua
versi Mitos Babad Alas Nangka Dhoyong. Setelah mencari persamaan dan
perbedaan tersebut dicarilah deretan sinkronik dan diakronik untuk menemukan
struktur dalam dan struktur permukaannya. Dhanar Widianta menemukan bahwa
kedua versi Mitos Babad Alas Nangka Dhoyong sebagai hasil karya dari dua
wilayah yang berbeda menghasilkan potret masyarakat Gunungkidul dan
sekitarnya. Sifat dan perilaku itu, pertama, masyarakat Gunungkidul pada
dasarnya mengakui adanya ancaman baik yang berasal dari alam manusia berupa
tindak kriminal dan ancaman dari alam roh yang berupa dhanyang pengganggu.
Agar dapat menguasai dan mengorganisasi ancaman tersebut maka masyarakat
membutuhkan telangkai atau penghubung. Kedua, pola hidup patuh merupakan
dimensi yang mempunyai tempat dalam cara pandang masyarakat Gunungkidul
tentang tatanan kosmos (Widianta, 2005:141-142).
Keempat, tesis Dewi Angelina, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta, 2012, yang berjudul “ Mitos Joko Tole dalam Babad Sumenep:
12
Analisis Strukturalisme Lévi Strauss”, selain menguraikan surface structure
(struktur luar) dan deep structure (struktur dalam) mitos Joko Tolé, ia juga
menganalisis keterkaitan struktur mitos Joko Tolé terhadap pola pikir masyarakat
Madura. Data yang digunakan adalah Babad Sumenep. Analisis Dewi Angelina
terhadap Babad Sumenep menghasilkan suatu kesimpulan yaitu terdapat relasi
keterkaitan struktur antara mitos Joko Tolé terhadap pola pikir masyarakat
Madura saat ini. Dalam skripsi ini Dewi Angelina menemukan bahwa anggapan
masyarakat yang menilai bahwa orang-orang Madura adalah suatu komunitas
yang mempunyai budaya kekerasan saja, tidak tahu diri, keras kepala, mau
menang sendiri dan hanya mementingkan diri sendiri tidaklah benar. Hal ini
dibuktikan dengan adanya perilaku, gaya hidup, budaya masyarakat Madura di
dalam mitos yang menunjukkan kebalikannya (Angelina, 2012:182-188).
Kehadiran tokoh Joko Tole yang taat beragama, santun pada orang tua, rendah
hati, bertanggung jawab dan berani merupakan oposisi dari anggapan negatif
masyarakat terhadap orang-orang Madura.
Penelitian dalam skripsi ini akan menganalisis strukturisasi dalam mitos
genuk kemiri dengan teori strukturalisme Lévi-Stauss serta fungsi mitos bagi
masyarakat. Pembahasan folklor dengan teori Lévi-Strauss sudah pernah
dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Dalam penelitian ini penulis akan
menggunakan teori yang sama yaitu teori struktural Lévi-Straus tetapi dengan
objek yang berbeda yaitu mitos genuk kemiri. Teori strukturalisme Claude Lévi-
Strauss pada umumnya digunakan dalam penelitian antropologi tetapi dalam
13
penelitian ini diaplikasikan pada kajian sastra dengan memanfaatkan data-data
etnografi.
1.5 Landasan Teori
Mitos adalah salah satu bagian dari folklor. Folklor sendiri dibagi ke dalam
tiga kelompok berdasarkan tipenya yaitu: 1) folklor lisan (verbal folklore), 2)
folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), dan 3) folklor bukan lisan (non
verbal folklore) (Brunvard, 1968 via Danandjaja, 2002:21). Folklor lisan adalah
folklor yang wujudnya lisan. Folklor lisan meliputi: a) bahasa rakyat (folk speech)
seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; b) ungkapan
tradisional seperti peribahasa, pepatah dan pemeo; c) pertanyaan tradisional,
seperti teka-teki; d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; e) cerita
prosa rakyat, seperi mite, legenda dan dongeng; dan f) nyanyian rakyat. Folklor
sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan
dan unsur bukan lisan seperti kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater rakyat,
tari rakyat, adat-istiadat. Upacara, pesta rakyat, dan lain-lain. Mitos adalah salah
satu bentuk folklor lisan.
Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan meski cara
pembuatannya diajarkan secara lisan. Folklor bukan lisan dibagi menjadi dua
yaitu folklor bukan lisan yang material seperti, arsitektur rakyat, kerajinan tangan
rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat serta obat
tradisional. Folklor bukan lisan yang bukan material meliputi gerak isyarat
14
tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat dan musik rakyat
(Brunvand, 1963 via Danandjaja, 2002: 21-22).
Lévi-Strauss mengasumsikan bahwa mitos tak ada bedanya dengan dongeng
sehingga mitos tidak lain adalah dongeng. Dongeng merupakan sebuah kisah yang
lahir dari hasil imajinasi manusia, dari khayalan manusia walaupun unsur-unsur
khayalan tersebut berasal dari dalam kehidupan manusia sehari-hari (Ahimsa-
Putra, 2001:77). Oleh karena khayalan manusia tidak terbatas maka dalam suatu
dongeng terkadang ditemukan hal-hal yang di luar nalar atau tidak masuk akal.
Akan tetapi, dalam kenyataannya sering ditemui dongeng yang mirip atau agak
mirip dengan dongeng yang lainnya. Lévi-Strauss menyimpulkan bahwa
kemiripan dongeng-dongeng tersebut bukan berasal dari hasil kontak ataupun
interaksi antar faktor eksternal yang ada di luar nalar manusia. Kemiripan
dongeng-dongeng tersebut lebih disebabkan oleh hasil mekanisme yang ada di
dalam nalar manusia (Ahimsa-Putra, 2001:78).
Ada tiga cara orang memahami dan menyampaikan masa lalunya yaitu
lewat mitos, sastra dan sejarah. Sama-sama menuturkan masa lalu, mitos berbeda
dengan sejarah dan sastra. Dalam mitos tidak perlu ada pengalaman. Mitos
dituturkan secara subjektif, dalam arti kebenarannya hanya berlaku di
masyarakatnya dan tidak ada kaitan antara pengalaman dan penuturan
(Kuntowijoyo, 2002:39). Sejarah sama dengan sastra juga berdasarkan
pengalaman. Namun, berbeda dengan mitos dan sastra, penuturan sejarah tidak
subjektif.
15
Lévi-Strauss menganalisis ratusan mitos dengan menggunakan model-
model dari linguistik karena menurutnya antara mitos dan bahasa mempunyai
kemiripan. Kemiripan pertama, bahasa adalah sebuah media, alat, atau sarana
untuk komunikasi, untuk menyampaikan pesan-pesan dari individu ke individu
yang lain, dari kelompok satu ke kelompok yang lain. Demikian pula dengan
mitos yang disampaikan melalui bahasa dan mengandung pesan-pesan. Pesan
dalam sebuah mitos diketahui lewat penceritaannnya, seperti halnya pesan yang
disampaikan lewat bahasa yang diketahui lewat pengucapannya (Ahimsa-Putra,
2001: 80).
Tak ubahnya seperti Lévi-Strauss, Barthes menegaskan bahwa mitos
merupakan sistem komunikasi atau dapat dikatakan pula bahwa mitos adalah
sebuah pesan. Mitos tidak ditentukan oleh objek pesannya tetapi oleh cara
pengutaraan pesan, memang mitos mempunyai batas-batas formal tetapi tidak
substansial (Barthes, 2011:152). Mitos tidak dapat menjadi sebuah objek, konsep,
atau ide karena mitos adalah penandaan (signification).
Kedua, Lévi-Strauss memandang bahwa mitos mempunyai aspek langue
dan parole sama seperti bahasa. Langue dari sebuah bahasa adalah aspek
struktural yang relatif tetap. Bahasa atau langue menjadi objek linguistik karena
sifatnya yang relatif stabil, sedang tuturan atau parole selalu berubah tergantung
pada pengujarnya. Parole adalah bahasa yang diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari sebagai sarana berkomunikasi yang berupa logat, ucapan dan
perkataan. Parole atau tuturan merupakan sisi konkrit dari bahasa yang
merupakan aspek statistikal bahasa sedangkan langue merupakan aspek
16
strukturnya (Ahimsa-Putra, 2001: 80). Pada tataran langue, bahasa merupakan
suatu sistem struktur yang relatif tetap serta tidak terpengaruh oleh individu yang
menggunakannya.
Bahasa pada tataran langue berada dalam waktu yang berbalik (reversible
time) karena dia terlepas dari perangkap waktu yang diakronis. Parole berada
dalam waktu yang tidak dapat berbalik (non-reversible time) karena parole tidak
dapat terlepas dari waktu diakronis (Ahimsa-Putra, 2001:80). Menurut Lévi-
Strauss, mitos juga mempunyai dua sisi waktu sekaligus sama halnya dengan
langue dan parole yaitu waktu yang dapat berbalik dan waktu yang tidak dapat
berbalik. Mitos menunjuk pada peristiwa yang terjadi di masa lampau. Namun, di
sisi lain mitos mempunyai ciri khas berupa pola-pola tertentu yang membuatnya
tetap relevan sampai sekarang. Pola-pola yang terdapat pada mitos tidak terikat
oleh waktu sehingga pola-pola ini dapat menjelaskan yang terjadi di masa lalu
sekaligus menjelaskan yang tengah terjadi sekarang dan di masa yang akan datang
(Lévi-Strauss, 1963 via Ahimsa-Putra 2001:81). Sifat mitos yang historis dan
ahistoris inilah yang membuatnya berbeda dengan bahasa. Bahasa mempunyai sisi
sinkronis dan diakronis yang terpisah sedangkan sisi sinkronis dan diakronis mitos
tidak dapat dipisahkan.
Selain mempunyai persamaan, mitos dan bahasa juga mempunyai perbedaan.
Mitos mempunyai ciri khas dalam hal isi dan susunannya. Walaupun sebuah mitos
diterjemahkan ke dalam bahasa lain tidak seperti bentuk aslinya, mungkin telah
mengalami penyingkatan tetapi masyarakat masih dapat mengenali cerita tersebut
17
sebagai mitos. Hal ini bukan dikarenakan bahasa, gayanya ataupun sintaksisnya
melainkan karena isi dan susunan cerita mitos yang khas.
Dengan mengemukakan persamaan dan perbedaan antara mitos dan bahasa
maka Lévi-Strauss mempunyai landasan untuk menganalisis mitos melalui
kacamata struktural (Ahimsa-Putra, 2001:85). Seperti halnya bahasa yang terdiri
dari unit-unit kecil yang meliputi fonem, morfem, dan semem, mitos pun
mempunyai unit-unit kecil yang disebut mythéme oleh Lévi-Strauss atau ceriteme
oleh Ahimsa-Putra. Mythéme inilah yang harus ditemukan terlebih dahulu untuk
mengetahui makna mitos secara keseluruhan. Mythéme harus diperlakukan
sebagai simbol dan tanda. Sebuah mythéme dapat dikatakan sebagai sebuah
simbol karena ia memiliki makna referential (acuan) tetapi di sisi lain mythéme
juga dianggap sebagai tanda yang mempunyai nilai dalam konteks tertentu.
Ceriteme atau mythéme adalah unit terkecil dari suatu cerita sehingga
mythéme dapat juga diibaratkan sebagai simbol dan tanda. Lévi-Strauss tidak
memperhatikan anggapan penafsiran tunggal pada setiap simbol, melainkan
menunjukkan bahwa simbol-simbol terbuka untuk beragam penafsiran yang
bersifat melengkapi (Sturrock, 2004: 41). Dengan memperlakukan mythéme
sebagai tanda dan simbol maka akan didapatkan analisis mitos yang bersifat
objektif. Mythéme menurut Lévi-Strauss adalah unsur-unsur dalam konstruksi
wacana mitis (mythical discourse) yang merupakan satuan-satuan yang bersifat
oposisi, relatif dan negatif (Ahimsa-Putra, 2001: 95).
Analisis strukturalisme Lévi-Strauss mendapat pengaruh langsung dari
Ferdinand de Saussure yang mengubah studi linguistik dari pendekatan diakronik
18
ke sinkronik. Studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya,
melainkan pada hubungan antar unsurnya. Masalah unsur dan hubungan antar
unsur merupakan hal yang penting dalam pendekatan strukturalisme
(Nurgiyantoro, 2010: 36). Dengan demikian, setiap unsur dalam suatu sistem
struktur baru akan bermakna setelah dihubungkan dengan unsur-unsur lainnya
yang terkandung di dalamnya.
Analisis struktural dibagi menjadi dua macam struktur yaitu struktur lahir
atau struktur luar (surface structure) dan struktur batin atau struktur dalam (deep
structure). Struktur luar adalah relasi-relasi antar unsur yang dapat dibangun
berdasarkan ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut. Struktur
dalam adalah susunan tertentu yang dibangun berdasarkan atas struktur lahir yang
telah berhasil dibuat (Ahimsa-Putra, 2001:61). Dengan demikian, struktur dalam
dapat disusun dengan menganalisis dan membandingkan struktur luar yang telah
ditemukan. Struktur dalam inilah yang digunakan untuk memahami fenomena
budaya yang diteliti.
Fenomena budaya yang diteliti memperlihatkan adanya struktur tertentu
yang bersifat tetap. Struktur inilah yang dapat dikatakan struktur dalam (deep
structure). Struktur dalam (deep structure) inilah yang merupakan model oleh ahli
antropologi untuk memahami kebudayaan yang ditelitinya. Oleh sebab itulah,
analisis struktural dapat digunakan untuk memprakirakan transformasi budaya
yang pernah terjadi di masyarakat, di masa lampau dan di masa yang akan datang.
Akan tetapi, analisis struktural tidak memusatkan perhatiannya pada perubahan
atau transformasi melainkan pada struktur dari sebuah fenomena.
19
Asumsi dasar analisis strukturalisme sastra adalah karya sastra dipandang
telah mempunyai kebulatan makna intrinsik sehingga strukturalisme menentang
teori mimetik yang berpandangan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan,
menentang teori ekspresif yang menganggap sastra adalah ungkapan perasaan dan
watak pengarang. Strukturalisme juga menentang teori resepsi yang menganggap
makna sastra sangat tergantung pada tanggapan dan harapan pembaca ( Taum,
2011: 190-191).
Penekanan pada sifat otonomi karya sastra pada teori strukturalisme
dianggap sebagai kelemahan teori strukturalisme. Hal ini disebabkan,
bagaimanapun juga sebuah karya sastra tidak mungkin dipisahkan sama sekali
dari latar belakang sosial budaya dan sejarah (Nurgiyantoro, 2010: 39).
Kelemahan kajian strukturalisme yang menganggap karya sastra secara otonom
sehingga karya sastra kehilangan relasi dan relevansinya terhadap situasi, kondisi
dan masalah manusia tidak berlaku bagi kajian strukturalisme Lévi-Strauss.
Kelemahan strukturalisme sastra adalah: karya sastra diasingkan dari konteks dan
fungsinya sehingga sastra kehilangan relevansi sosialnya, tercerai dari sejarah, dan
terpisah dari permasalahan manusia (Ahimsa-Putra, 2011: 191). Lévi-Strauss
membangun kajian strukturalisme yang berbeda dari model kajian strukturalisme
sastra.
Sebagaimana model-model kajian naratif yang lainnya, model kajian
strukturalisme Lévi-Strauss pun memiliki sebuah kelemahan, yakni perumusan
mythéme yang bersifat subjektif dan pembagian kolom-kolom yang tidak mudah
dirunut (Ahimsa-Putra, 2011: 192). Meskipun demikian, kelemahan ini dapat
20
diatasi dengan menyederhanakan rumus-rumus dan skema-skema yang terlalu
rumit dan dapat diganti dengan mengambil satu tema-tema pokok sehingga
menghasilkan mythéme yang mewakili setiap alur cerita.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1. Metode Pengumpulan Data
Data yang diperlukan berupa cerita genuk kemiri yang diperoleh dari hasil
wawancara dan studi pustaka serta data etnografi kebudayaan masyarakat Pati.
Data hasil wawancara merupakan data primer yang kemudian akan dipadukan
dengan data hasil dari studi pustaka dan data etnografi yang berasal dari buku-
buku tentang masyarakat Pati. Data etnografi dan kebudayaan Pati dikumpulkan
melalui studi pustaka dan pengamatan langsung.
1.6.2 Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif
kualitatif. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu wawancara dan
observasi langsung ke lokasi. Metode analisis data yang dilakukan peneliti yaitu
memverifikasi data dengan cara membuat asumsi-asumsi teoritis dalam suatu
bagian yang dipentingkan.
Berikut cara kerja analisis mitos genuk kemiri.
1. Pencarian data yang berupa cerita genuk kemiri dengan teknik
wawancara. Data hasil wawancara dipadukan dengan data hasil studi
pustaka yang selanjutnya diolah dan direkonstruksi membentuk cerita
21
genuk kemiri secara utuh. Hasil rekonstruksi inilah yang dijadikan data
primer.
2. Data primer yang sudah ada dibagi ke dalam beberapa episode
berdasarkan asumsi teoritis.
3. Episode-episode yang telah ada kemudian disusun menjadi beberapa
unit-unit cerita.
4. Unit-unit cerita dikelompokkan ke dalam beberapa kolom berdasarkan
deretan sinkronis dan diakronis untuk menemukan unsur-unsur terkecil
bahasa mitos atau disebut dengan istilah mythéme oleh Lévi-Strauss atau
ceriteme menurut Ahimsa Putra.
5. Mengelompokkan unit-unit peristiwa yang mempunyai kesamaan ke
dalam beberapa kolom untuk selanjutnya digunakan sebagai analisis
sitagmatik dan paradigmatik untuk mencari surface structure atau
struktur permukaan.
6. Melakukan penomoran pada unit-unit cerita untuk memudahkan
penyusunan deretan sintagmatik dan paradigmatik untuk menemukan
surface sturucture.
7. Mencari oposisi biner berdasarkan mythéme yang telah ditemukan untuk
mencari deep structure atau struktur dalam.
8. Mencari deep structure atau struktur dalam dengan pendekatan
interdisipliner yaitu antropologi dan sejarah yang dapat menjadi latar
belakang mitos dengan kehidupan nyata pada masyarakat Pati.
22
9. Menarik kesimpulan dari surface structure „struktur permukaan‟ dan
deep structure „struktur dalam‟.
1.7 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian penelitian ini dibagi ke dalam 4 (empat) bab. Bab I
adalah pendahuluan yang berisi uraian tentang latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan
sistematika penyajian. Bab I adalah landasan pokok bagi bab II sampai bab IV.
Bab II berisi uraian mengenai kebudayaan masyarakat Pati
Bab III berisi uraian mengenai cerita mitos genuk kemiri yang ada di desa
Sarirejo, Kabupaten Pati Jawa Tengah. Cerita mitos genuk kemiri merupakan hasil
dari rekonstruksi wawancara dengan tiga narasumber serta hasil studi pustaka
buku Sejarah Pati dan Babad Pati.
Dalam bab tiga, rekonstruksi cerita genuk kemiri dibagi ke dalam beberapa
episode yang selanjutnya dibagi lagi ke dalam unit-unit cerita. Unit-unit cerita
selanjutnya dikelompokkan ke dalam kolom-kolom deretan sinkronis –diakronis
yang selanjutnya dikelompokkan lagi ke dalam kolom deretan sintagmatik –
paradigmatik. Analisis cerita mitos genuk kemiri dibagi ke dalam beberapa
mythéme atau ceriteme untuk menemukan struktur dalam dan struktur
permukaannya. Setelah struktur dalam dan struktur permukaannya dapat
ditemukan, barulah dicari fungsi mitos terhadap masyarakat di Kabupaten Pati.
Bab IV penutup berisi kesimpulan dan saran.