45
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Investasi 1 asing memiliki peran yang sangat penting dalam mempercepat pembangunan ekonomi nasional. Sebagaimana yang tersirat dalam UUD 1945, sektor swasta merupakan salah satu pilar pelaksanaan pembangunan ekonomi disamping pemerintah dan koperasi. Memang disadari bahwa pembangunan nasional yang berkelanjutan membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan yang dimaksud. Hal tersebut tentunya tidak mungkin untuk ditanggung dan dilaksanakan oleh pemerintah keseluruhannya. Bagaimanapun juga, pemerintah mempunyai keterbatasan-keterbatasan untuk membiayai pembangunan nasional dengan kekuatan pendanaannya sendiri. 2 Bila hanya mengandalkan modal dari sumber dana pemerintah, hampir dapat dipastikan agak sulit mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh para pendiri republik ini. 3 Di bidang infrastruktur misalnya, Pemerintah memiliki anggaran Rp. 330 triliun 1 Istilah investasi merupakan istilah yang lebih popular dalam dunia usaha, sedangkan istilah penanaman modal lebih banyak digunakan dalam bahasa perundang-undangan. Namun demikian, pada dasarnya kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama sehingga kadang-kadang digunakan secara interchangeable. Kedua istilah tersebut merupakan terjemahan dari kata investment. Di kalangan masyarakat luas, kata investasi memiliki pengertian yang lebih luas karena dapat mencakup baik investasi langsung maupun investasi tidak langsung (portfolio investment), sedangkan kata penanaman modal lebih mempunyai konotasi kepada investasi langsung. Lihat Ida Bagus Rahmadi Supancana, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia (Bogor: Ghalia, 2006) hal.1 2 Jonker Sihombing, Hukum Penanaman Modal di Indonesia (Bandung: Alumni, 2009) hal. 11 3 Sentosa Sembiring, Hukum Investasi (Bandung: Nuansa Aulia, 2010) hal. 59

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahrepository.uph.edu/5354/4/chapter 1.pdf · 2019-11-06 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Investasi1 asing memiliki peran

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Investasi1 asing memiliki peran yang sangat penting dalam mempercepat

pembangunan ekonomi nasional. Sebagaimana yang tersirat dalam UUD 1945, sektor

swasta merupakan salah satu pilar pelaksanaan pembangunan ekonomi disamping

pemerintah dan koperasi. Memang disadari bahwa pembangunan nasional yang

berkelanjutan membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan

yang dimaksud. Hal tersebut tentunya tidak mungkin untuk ditanggung dan

dilaksanakan oleh pemerintah keseluruhannya. Bagaimanapun juga, pemerintah

mempunyai keterbatasan-keterbatasan untuk membiayai pembangunan nasional

dengan kekuatan pendanaannya sendiri.2

Bila hanya mengandalkan modal dari sumber dana pemerintah, hampir dapat

dipastikan agak sulit mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh para pendiri republik

ini.3 Di bidang infrastruktur misalnya, Pemerintah memiliki anggaran Rp. 330 triliun

1 Istilah investasi merupakan istilah yang lebih popular dalam dunia usaha, sedangkan istilah penanaman

modal lebih banyak digunakan dalam bahasa perundang-undangan. Namun demikian, pada dasarnya

kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama sehingga kadang-kadang digunakan secara

interchangeable. Kedua istilah tersebut merupakan terjemahan dari kata investment. Di kalangan

masyarakat luas, kata investasi memiliki pengertian yang lebih luas karena dapat mencakup baik

investasi langsung maupun investasi tidak langsung (portfolio investment), sedangkan kata penanaman

modal lebih mempunyai konotasi kepada investasi langsung. Lihat Ida Bagus Rahmadi Supancana,

Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia (Bogor: Ghalia, 2006) hal.1 2 Jonker Sihombing, Hukum Penanaman Modal di Indonesia (Bandung: Alumni, 2009) hal. 11 3 Sentosa Sembiring, Hukum Investasi (Bandung: Nuansa Aulia, 2010) hal. 59

2

pada tahun 2017 dan selama 5 tahun Rp. 1.500 triliun. Sementara target semua

kebutuhan infrastruktur adalah Rp. 5.000 triliun untuk tahun 2014-2019.4

Kebijakan investasi merupakan alat untuk menarik para pemilik modal

(investor) untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pemilik modal tersebut dapat

berasal dari dalam negeri atau dapat juga berasal dari luar negeri (asing). Namun

demikian, kebutuhan akan kehadiran investasi asing bersifat khusus, dan karenanya

menarik investasi asing harus dilakukan dengan cara yang amat khusus, mengingat

persaingan yang ketat dengan negara-negara lain. Jadi, sistem hukum, kelembagaan,

dan insentif harus dibangun dengan sebaik mungkin agar Indonesia menjadi tujuan

investasi yang menarik.5

Hampir tidak ada negara industri, baik yang sedang berkembang maupun yang

telah mencapai taraf maju, hanya bergantung kepada investasi domestik. Negara

dengan sistem ekonomi terbuka sudah pasti menjadi ajang gabungan investasi

domestik dan asing. Demikian halnya juga dengan Indonesia yang membutuhkan

pendanaan yang sangat besar dalam pembangunan nasional. Kebutuhan pendanaan itu

tidak hanya dapat diperoleh dari sumber-sumber pendanaan dalam negeri, tetapi juga

dari luar negeri. Hal tersebut yang membuat investasi menjadi salah satu sumber

pendanaan strategis dalam pembangunan nasional.6

4 Kompas, 19 Desember 2016 5 Didik Rachbini, Arsitektur Hukum Investasi Indonesia (Jakarta: Indeks, 2008) hal. 13-14 6 David Kairupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2013)

hal. 1-2

3

Ekonomi global dan negara-negara yang terbuka ekonominya digerakkan oleh

modal global, selain kekuatan internalnya sendiri. Semakin atraktif suatu negara

terhadap modal asing, maka semakin terbuka sistem ekonomi negara tersebut. Modal

global berperan dalam modernisasi ekonomi negara tersebut.7 Modal luar memberikan

tenaga yang besar terhadap ekonomi suatu negara sehingga banyak negara berebut dan

bersaing untuk mendapatkannya. Negara yang berhasil meraup investasi asing ini akan

dapat memajukan sektor-sektor utama dalam ekonomi, terutama industri, perdagangan

jasa, dan sebagainya.8

Penggunaan modal asing untuk membangun perekonomian nasional dalam

rangka mencapai kesejahteraan umum tidak bertentangan dengan konstitusi. Pasal 33

ayat (4) UUD 1945 mengatur prinsip-prinsip penyelenggaraan perekonomian nasional

sebagai berikut:

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi

dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan

kesatuan ekonomi nasional.”

Dengan prinsip kemandirian dalam pembangunan nasional dimaksudkan

bahwa pembangunan yang dilaksanakan dari waktu ke waktu sedapat mungkin akan

dibiayai dengan dana yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Adanya prinsip

kemandirian tersebut tidak berarti bahwa pemerintah menjadi akan terfokus untuk

membiayai seluruh kebutuhan pembangunan nasional dengan hanya mengandalkan

7 Loc.cit, hal. 13-14 8 Ibid.

4

dana yang dimilikinya sendiri, ataupun akan melaksanakan pembangunan nasional

tersebut dengan dana yang bersumber dari dalam negeri saja. Makna dari kemandirian

dalam pembangunan nasional yang dijalankan dewasa ini adalah bahwa meskipun

penggunaan dana yang dimiliki oleh pemerintah lebih diutamakan, pembangunan

nasional tersebut tidak terlepas dari bantuan dan kerjasama pihak luar, sepanjang dana

dari pihak luar tersebut berfungsi pelengkap.9 Untuk itu, penanaman modal harus

menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai

upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan

kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas

dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan,

serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang

berdaya saing.10

Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor

penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui

perbaikan koordinasi antar instansi Pemerintah Pusat dan daerah, penciptaan birokrasi

yang efesien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang

berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan

keamanan berusaha. Dengan perbaikan berbagai faktor penunjang tersebut, diharapkan

realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan.11

9 Sumantoro, Hukum Ekonomi (Jakarta: UI Press, 1986) hal. 5 10 Penjelasan Umum Undang-Undang Penanaman Modal 11 Penjelasan umum Undang-Undang Penanaman Modal

5

Rahmi Jened menyebutkan faktor yang mempengaruhi iklim investasi di

Indonesia, antara lain adalah:12

a. Stabilitas politik

b. Stabilitas sosial

c. Stabilitas ekonomi

d. Good Corporate Governance oleh birokrat dalam birokrasi, baik kementerian,

pemerintah pusat, dan pemerintah daerah

e. Kepastian dan penegakan hukum

f. Kepatuhan dan harmonisasi dengan instrumen hukum internasional

g. Kondisi infrastruktur

h. Ketersediaan tenaga kerja dengan keahlian dan iklim industri yang damai

(industrial peace)

i. Regulasi dan kepastian hukum di bidang perpajakan, pajak daerah, dan retibusi

j. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), tanah, dan hak milik lainnya, dan

k. Faktor pendukung lain

Kepastian atau perlindungan hukum merupakan hal yang esensial bagi investor

sebab investasi langsung bukanlah one-off transaction, namun melibatkan proyek-

proyek ekonomis dengan durasi yang panjang, seperti bisnis konsesi. Dalam beberapa

bidang bahkan tidak memiliki batas waktu sama sekali, seperti di bidang manufaktur

12 Rahmi Jened, Teori dan Kebijakan Hukum Investasi Langsung (Jakarta: Kencana, 2016) hal. 55

6

dan penyedia jasa. Proyek dengan durasi yang lama, akan memberikan risiko

perubahan kondisi dan dampak negatif atas investasi.13

Risiko yang ditanggung investor berkaitan dengan nilai riil (real value) dari

modal yang akan ditanamkan, maupun risiko yang berkaitan dengan ketidakpastian

apakah akan mendapatkan kembali modal yang telah ditanamkannya sebagaimana

perkiraan semula. Selain itu, terdapat pula risiko non ekonomis seperti gangguan

keamanan di sekitar lokasi penanaman modal tersebut berada, serta risiko

ketidakpastian hukum.14 Lebih dari itu, investasi langsung membuat investor asing

memindahkan sumber daya dari negara asalnya (negara asal investor) menuju negara

tuan rumah yang sebenarnya sumber daya tersebut dapat digunakan untuk membangun

perekenomian negaranya sendiri.15

Di Indonesia sendiri saat ini jaminan kepastian hukum bagi investor belum

cukup baik. Dari hasil pemetaan yang pernah dilakukan oleh Bappenas terutama

bekerjasama dengan direktorat-direktorat di Bappenas yang memiliki counterpart pada

Kementerian/Lembaga, diperoleh gambaran tentang kondisi saat ini terkait kualitas

regulasi di Indonesia, sebagai berikut:16

1. Terlalu banyak regulasi (Hyper-regulation)

13 UNCTAD, Fair and Equitable Treatment (New York and Geneva: United Nation, 2012) hal. 63. 14 Jonker Sihombing, op.cit., hal. 17 15 M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment (Cambridge Univesity Press, 2007) hal.

9 16 Ida Bagus Rahmadi Supancana, Grand Design Reformasi Regulasi Indonesia (Jakarta: Universitas

Katolik Indonesia Atma Jaya, 2017) hal. 3-4

7

Tidak diketahui secara pasti total jumlah regulasi di Indonesia, baik di tingkat

Pusat, Propinsi, maupun Kabupaten dan Kota, setidak-tidaknya sampai dengan

level Peraturan Daerah dan Peraturan Menteri/Lembaga, terdapat kurang lebih

60.000 peraturan. Jumlah tersebut belum termasuk peraturan pelaksanaan setingkat

Direktur Jenderal atau yang setingkat. Keberadaan hukum investasi pasca

diterapkannya otonomi daerah justru melahirkan suatu hukum investasi yang

kontraproduktif dengan penciptaan iklim investasi yang dikehendaki oleh para

investor. 17 Banyaknya regulasi tersebut telah menimbulkan gurauan (joke) yang

menyatakan bahwa jika dulu di Indonesia terkenal dengan “hukum rimba”, maka

kondisi yang kita hadapi sekarang adalah “rimba hukum”. Betapa menyedihkan

karena regulasi sudah tidak lagi menjadi solusi, tetapi malah menjadi beban.

2. Saling bertentangan (Conflicting)

Terdapat banyak peraturan yang memiliki materi yang bertentangan, baik yang

bersifat vertikal maupun horizontal yang menimbulkan kegamangan, dan

ketidakpastian dalam pelaksanaannya.

3. Tumpang tindih (overlapping)

Terdapat banyak peraturan yang bersifat tumpang tindih, artinya untuk isu yang

sama diatur oleh banyak peraturan perundang-undangan. Bahkan dalam satu

kementerian/lembaga terdapat beberapa peraturan untuk mengatur isu yang sama.

4. Multi Tafsir (Multi interpretation)

17 Suhendro, Hukum Investasi di era Otonomi Daerah (Yogyakarta: Gita Nagari, 2005) hal. 77

8

Permasalahan lain di bidang regulasi adalah banyaknya ketentuan regulasi yang

mengandung materi muatan yang bersifat multi tafsir. Peraturan yang multi tafsir

mengandung ketidakpastian dan perbedaan dalam implementasinya, dan rentan

digunakan untuk kepentingan tertentu.

5. Tidak Taat Asas (Inconsistency)

Ketidaktaatan asas dalam regulasi di Indonesia juga menonjol, terutama terkait

dengan hubungan antara kebijakan dan regulasi. Dalam banyak regulasi ditemukan

bahwa regulasi yang tidak konsisten dengan kebijakan yang mendasarinya, padahal

regulasi merupakan instrument kebijakan. Ketidaktaatan asas juga nampak pada

berbagai terminologi yang digunakan, termasuk pengertiannya. Hal ini akan

membingungkan berbagai pihak yang mendasarkan tindakannya pada peraturan-

peraturan tersebut.

6. Tidak Efektif

Ditemukan banyak regulasi yang tidak efektif dalam implementasi. Terdapat

beberapa kemungkinan yang menjadi penyebabnya. Kemungkinan penyebabnya

pertama adalah adalah tidak memadainya persiapan dalam implementasi suatu

peraturan perundang-undangan, baik dari aspek sosialisasi, penyiapan struktur

organisasi, kesiapan sumber daya manusia dari sisi kompetensinya, maupun

dukungan pendanaannya. Kemungkinan kedua, karena adanya kelemahan dalam

proses konsultasi publik, sehingga pihak-pihak yang seharusnya diminta

pandangan dan aspirasinya (misalnya: pihak yang terkena dampak, serta pemangku

9

kepentingan lainnya, termasuk interested parties) tidak mengetahui atau tidak

dapat menerima ketentuan termaksud, akibatnya timbul pihak-pihak yang

menentang pemberlakuannya, yang berakibat rendahnya kepatuhan dan akhirnya

menjadikan peraturan perundang-undangan dimaksud menjadi tidak efektif.

7. Menciptakan Beban yang Tidak Perlu (Unnecessary Burden)

Banyak regulasi yang menciptakan beban yang tidak perlu terhadap targeted group

maupun non targeted group. Keadaan ini menunjukkan bahwa pada saat

pembentukan peraturan perundangan tidak cukup dilakukan identifikasi terhadap

pihak-pihak yang potensial terkena dampak, serta tidak cukup dilakukan upaya

upaya untuk memitigasi dampaknya, sehingga ketika diberlakukan akan

menimbulkan beban yang tidak perlu.

8. Menciptakan Ekonomi Biaya Tinggi (High-Cost Economy)

Banyaknya jumlah regulasi yang tidak proporsional (berlebihan) menciptakan

ekonomi biaya tinggi yang jelas akan menambah biaya produksi sehingga pada

akhirnya produk atau jasa yang dihasilkan menjadi tidak kompetitif.

Perlindungan hukum kepada investor asing merupakan kewajiban negara tuan

rumah (host state) dan termasuk bagian dari kewajiban berdasarkan hukum kebiasaan

internasional (customary international law).18 Oleh karena itu meskipun kondisi

regulasi nasional Indonesia masih banyak masalah, Pemerintah tetap memiliki

18 Howard Mann, Investment Liberalization: Some Key Elements and Issues in Today’s Negotiating

Context (Singapore: IISD, 2007) hal. 2. Lihat juga M. Sornarajah, op. cit, hal. 120

10

kewajiban untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada investor asing yang

beroperasi di wilayah Indonesia.

Pada dasarnya jaminan perlindungan dan kepastian hukum terhadap investor

asing dan investasinya didapat melalui beberapa sumber. Pertama, melalui kontrak

yang dibuat antara Pemerintah dan investor asing. Bentuk kontrak seperti ini sering

disebut dengan investment contract. Dengan adanya kontrak, maka perlindungan

terhadap investor asing yang berlaku adalah apa yang diatur melalui klausul pasal-pasal

kontrak tersebut, adapun undang-undang penanaman modal hanya berlaku bagi

ketentuan yang tidak diatur di dalam kontrak.

Suatu kontrak yang dimana antara negara dan investor secara langsung

bertindak sebagai pihak dimungkinkan karena Pemerintah dapat melakukan perbuatan

hukum yang tergolong dalam bidang hukum publik (acts jure imperii), dan pada saat

yang bersamaan dapat pula bertindak dalam bidang hukum privat (acts jure

guestiones).19 Ditinjau dari sudut hukum administrasi negara, pemerintah juga

memiliki fungsi materiale daad (perbuatan dalam bidang keperdataan) yang tunduk

dan diatur berdasarkan hukum perdata .20

Kedua, yang pasti perlindungan investor asing dan investasinya diatur pada

hukum nasional negara tuan rumah, yaitu peraturan perundang-undangan khususnya di

bidang penanaman modal. Di Indonesia saat ini telah ada Undang-Undang Nomor 25

19 Hikmahanto Juwana, Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional (Jakarta: Lentera

Hati, 2002) hal. 43 20 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Raja Grafindo, 2006) hal. 283

11

tahun 2007 tentang Penanaman Modal21 (Undang-Undang Penanaman Modal) yang

mengatur mengenai perlindungan hukum seperti jaminan perlakuan non diskriminasi

dan proses penyelesaian sengketa mulai dari musyawarah hingga arbitrase

internasional.

Selain itu, beberapa undang-undang juga memiliki peran dalam menciptakan

iklim penanaman modal yang baik, contohnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat22 (undang-

undang antimonopoli). Iklim persaingan sehat dibutuhkan agar antara investor asing

dan misalnya perusahaan milik negara (Badan Usaha Milik Negara) dapat bersaing

secara sehat. Investor akan enggan masuk ke suatu negara jika setelah masuk kemudian

dicurangi atau gagal berkompetisi dengan perusahaan yang sudah mapan di negara tuan

rumah karena tidak adanya peraturan yang menjamin adanya persaingan sehat.

Ketiga, meskipun perlindungan sebenarnya sudah dijamin melalui hukum

nasional, negara asal investor (home state) khususnya yang berasal dari negara

pengekspor modal (capital exporting country) menghendaki adanya perlindungan

dengan tingkat komitmen yang lebih tinggi dan tidak berubah-ubah kecuali dengan

kesepakatan para pihak. Perlindungan tersebut diperoleh melalui perjanjian

internasional di bidang investasi, atau sering disebut perjanjian investasi internasional

(International Investment Agreements/IIAs).

21 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67 22 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33

12

Perjanjian investasi internasional adalah perjanjian internasional antar negara

yang melahirkan kewajiban kepada negara terkait bagaimana cara memperlakukan

investor asing dari negara mitra perjanjian.23 Perjanjian investasi internasional

termasuk ke dalam golongan “treaty contract”, yaitu perjanjian yang mengakibatkan

hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu saja.24

Perjanjian ini mencakup perjanjian yang bersifat bilateral dalam bentuk Bilateral

Investment Treaty (BIT)25, Free Trade Agreement (FTA), Economic Partneship

Agreement (EPA), Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA),

perjanjian dalam ruang lingkup regional seperti ASEAN Agreement, dan perjanjian

lainnya yang memiliki elemen perlindungan terhadap investasi asing. Selain itu

terdapat juga perjanjian yang dapat juga dikategorikan sebagai perjanjian investasi,

yaitu Foreign Investment Insurance Agreement26 dan Investment Support Agreement27.

Untuk memahami perjanjian investasi internasional secara menyeluruh, sangat

penting untuk memahami terlebih dahulu awal mula munculnya perjanjian tersebut,

khususnya mengenai tarik-menarik kepentingan antara negara pengekspor dan

pengimpor modal. Pada awalnya, perlindungan terhadap orang asing (aliens)

dilakukan melalui perlindungan diplomatik (diplomatic protection). Teori ini

23 Aaron Cosbey dan Howard Mann, Bilateral Investment Treaties, Mining and National Champions:

Making it Work (2014, IISD) hal. 14 24 Mengenai perbedaan antara treaty contract dan law making treaties, lihat Yudha Bhakti

Ardhiwisastra, Hukum Internasional Bunga Rampai (Bandung: Alumni, 2003) hal. 107 25 BIT di Indonesia sering juga disebut dengan Perjanjian Peningkatan dan Perlindungan Penanaman

Modal (P4M). 26 Lihat Canada-Indonesia Foreign Investment Insurance Agreement 27 Lihat Indonesia-United State of America Invesment Support Agreement

13

menyatakan bahwa kerusakan atau gangguan (Injury) terhadap warga suatu negara

dianggap sebagai gangguan terhadap negara dimaksud.28 Melalui perlindungan

diplomatik ini, negara asal investor menggugat negara tuan rumah atas kerugian yang

dialami warganegara negara asal investor tersebut.29

Negara-negara menggunakan perlindungan diplomatik ini pada abad ke 18 dan

19. Pada tahun 1924 Permanent Court of Internasional Justice (PCIJ) mengakui bahwa

hak negara untuk melakukan perlindungan diplomatik terhadap warganegaranya

merupakan prinsip dasar hukum internasional. Salah satu prinsip perlindungan

diplomatik adalah sebelum negara melakukan perlindungan diplomatik, orang asing

tersebut harus menyelesaikan terlebih dahulu persoalannya melalui sistem hukum

nasional negara tuan rumah.30

Dalam perkembangannya, pada abad ke 19 dan awal abad ke 20, penggunaan

perlindungan diplomatik sering disalahgunakan oleh negara. Negara melakukan

perlindungan yang sering disertai dengan ‘gun-boat’ diplomacy, yang ditandai dengan

penggunaan pasukan atau kekerasan untuk mendukung gugatan perlindungan. Pada

saat itu, penggunaan pasukan dalam perlindungan diplomatik bukan pelanggaran atas

hukum internasional.31

28 Chittharanjan F. Amerasinghe, Diplomatic Protection (Oxford: Oxford University Press, 2008) hal.

22 29 Andrew Newcombe dan Lluis Paradell, op.cit., hal. 5 30 Ibid., hal. 6 31 Ibid., 8-9

14

Perkembangan perdagangan dan investasi pada abad 19 dan awal abad 20

mengarah pada meningkatnya perhatian terhadap status hukum orang asing di luar

negeri dan perlindungan terhadap kepentingan ekonominya. Di awal tahun 1900an,

terdapat kesepakatan umum di antara ahli hukum dari eropa dan amerika tentang

adanya minimum standard of treatment (standar perlakuan minimum) bagi orang asing.

Di saat yang sama, kemunculan pokok tanggung jawab negara terhadap perlakuan atas

orang asing berkembang melalui berbagai kontrak komersil, tindakan pemerintah,

putusan arbitrase dan komisi-komisi. Sebagian besar kasusnya lebih banyak terkait

denial of justice dan acts of violence. Walaupun isu kepentingan ekonomi belum

banyak, akan tetapi sudah ada konsensus di antara negara pengeskpor modal mengenai

kewajiban kompensasi jika terjadi ekspropriasi.32

Negara maju telah mempertahankan posisinya bahwa orang asing harus

diperlakukan berdasarkan international minimum standard (standar minimum

internasional) yang standarnya dapat lebih tinggi daripada yang diberikan oleh negara

tuan rumah kepada warga negaranya sendiri. Standar minimum internasional tersebut

digunakan sebagai prinsip umum yang berlaku untuk perlakuan terhadap orang asing.

Namun terdapat komponen di dalam standar tersebut yang memiliki hubungan khusus

dengan perlakuan terhadap investasi asing. Eksistensi standar minimum tersebut

ditegaskan di dalam perjanjian-perjanjian investasi. Putusan arbitrase modern juga

mengakui bahwa terdapat standar minimum dimana negara tuan rumah harus

32 Ibid., 11-12

15

menyesuaikannya dalam perlakuannya terhadap investor asing. Standar minimum

adalah standar ekstenal yang membuat negara maju bisa menetapkan standar perlakuan

yang mereka harapkan untuk investor asing mereka, namun sulit dipenuhi oleh negara

berkembang. Kegagalan untuk mematuhi standar perlakuan minimum menimbulkan

pelanggaran oleh negara. Pelanggaran tersebut dapat digugat melalui mekanisme

penyelesaian sengketa. Mayoritas dari kasus - kasus standard of liability tersebut

mencakup pelanggaran terhadap individu (person) asing.33

Munculnya standar minimum awalnya terkait dengan orang asing secara

umum, berlaku dengan area yang luas mencakup hak prosedural di bidang hukum

pidana, hak di tribunal secara umum, hak terkait keperdataan, dan hak terkait kekayaan

privat orang asing. Salah satunya kasus yang muncul pada era ini adalah putusan

commission pada tahun 1926 mengenai keadaan dimana negara tuan rumah

bertanggung jawab atas pelanggaran terhadap standar minimum:

“The treatment of alien, in order to constitute an international deliquency,

should amount to outrage, to bada faith, to wilful neglect of duty, or to an

insufficiency of governmental action so far short of international standard that

every reasonable and impartial man would readily recognize its insufficiency”

Pernyataan atas standard pada putusan di atas tidak merujuk secara khusus kepada

masalah kekayaan orang asing. putusan tersebut juga dikeluarkan saat investasi asing

dan isu terkaitnya seperti pertumbuhan ekonomi, development, good governance, dan

iklim penanaman modal yang baik belum terlalu menjadi agenda internasional.34

33 M. Sornarajah, op.cit., hal. 122 34 Rudolf Dolzer and Christoph Schreuer, Principles of International Investment Law (New York:

Oxford University Press, 2008) hal. 14

16

Perkembangan muncul di waktu kemudian dan menjadi dasar untuk

membangun hukum perlindungan investasi asing. Dengan demikian cara yang kuat

dibuat untuk mengamankan kepentingan negara maju dan investor asing mereka. Cara

tersebut dikembangkan dalam praktek kebiasaan yang saat ini digunakan di dalam

perjanjian-perjanjian. Fenomena khusus mengenai perkembangan perjanjian adalah

dimasukkannya standar perlakuan adil dan layak (fair equitable treatment standard)

yang sebelumnya tidak bergerak hingga setengah abad, sekarang telah diasumsikan

sebagai standar yang merangkul semuanya (all-embracing standard).35

Menanggapi tuntutan adanya standar perlakuan minimum, beberapa negara

khususnya dari Amerika Latin, mendorong perlakuan nasional (national treatment)

atau equality of treatment standard. Posisi ini sangat berkaitan dengan ahli hukum dari

Argentina yang bernama Carlos Calvo, yang pada tahun 1868 menentang pelaksanaan

perlindungan diplomatik dan keberadaan standar perlakuan minimum. Calvo doctrine

memiliki tiga elemen dasar: Tidak ada hak yang lebih besar bagi orang asing daripada

warganegara negara tuan rumah; Hak orang asing diatur oleh hukum negara tuan

rumah, dan pengadilan negara tuan rumah punya yurisdiksi eksklusif atas sengketa

yang melibatkan orang asing36 sehingga orang asing tersebut tidak memiliki hak atas

perlindungan diplomatik dari negara asal investor atau akses ke tribunal

internasional.37

35 M. Sornarajah, Op.cit., hal. 122 36 Andrew Newcombe dan Lluis Paradell, Op.cit., hal. 13 37 Rudolf Dolzer and Christoph Schreuer, Op.cit., hal. 12

17

Di tingkat internasional, Calvo Doctrine masih menjadi perdebatan, dimana

posisi dominannya adalah negara terikat dengan aturan hukum internasional yang

terpisah dari hukum nasional.38 Dalam perjalanannya, doktrin ini tidak pernah

mencapai status prinsip hukum kebiasaan internasional. Di awal abad 20, negara

pengekspor modal mempertahankan pemahamannya bahwa hukum internasional

memerlukan standar perlakuan minimum. Adapun negara pengimpor modal tetap

menentang adanya standar perlakuan minimum, khususnya terkait kompensasi atas

ekspropriasi.39

Meskipun terdapat penolakan dari Rusia dan negara Amerika Latin terhadap

standar perlakuan minimum, pandangan akan pentingnya standar perlakuan minimum

pada hukum internasional ditegaskan kembali pada tahun 1920an pada beberapa

putusan berpengaruh US-Mexico General Claims Commission. Pada kurun waktu itu

the commission beberapa kali memutuskan kasus yang menolak pandangan Calvo dan

menegaskan keberadaan standar perlakuan minimum.40

Selain itu Putusan PCIJ juga beberapa kali mengeluarkan putusan yang

menegaskan berlakunya perlindungan diplomatik merupakan prinsip dasar hukum

internasional, penghormatan terhadap hak warga negara asing, dan perampasan

kekayaan orang asing secara illegal memerlukan adanya ganti rugi. Putusan-putusan

38 Ibid. 39 Loc.cit 40 Ibid., hal. 14

18

PCIJ tersebut merefleksikan adanya kewajiban pemerintah untuk memperlakukan

orang asing dengan standar perlakuan minimum.41

Tahun 1920s dan 1930s dilakukan upaya kodifikasi standar perlakuan oleh

beberapa lembaga. Upaya untuk mengkodifikasi customary internasional law rules on

the Responsibility of States for Damage Caused in Their Territories to the Persons and

Properties of Foreigners gagal karena perbedaan pandangan antara negara pengekspor

modal yang menuntut adanya standar perlakuan minimum dan negara pengimpor

modal tetap pada posisinya bahwa orang asing hanya berhak atas perlakuan yang

sebagaimana didapat warga domestik.

Perbedaan antara negara pengekspor dan pengimpor modal mengenai standar

perlakuan minimum memuncak pada tahun 1938 ketika terjadi kasus antara Mexico

dan Amerika Serikat terkait standar kompensasi atas ekspropriasi. Amerika Serikat

menekankan bahwa seperti Hull Rule (Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Cordell

Hull), pembayaran atas kekayaan yang diambil alih dilakukan dengan adequate,

effective, and prompt disyaratkan berdasarkan hukum internasional. Adapun Mexico

mengatakan pembayaran kompensasi dilakukan berdasarkan hukum nasional.42

Pada tahun 1962 OECD merilis Draft Convention on the Protection of Foreign

Property yang selanjutnya disempurnakan pada tahun 1967. Mengingat keanggotaan

OECD, maka tidak mengherankan kalau draft tersebut mencerminkan pandangan

41 Ibid., hal. 15 42 Ibid., hal. 18

19

negara pengekspor modal terkait standar perlakuan minimum. Draft tersebut

menetapkan standar perlakuan minimum sebagai berikut:

Each party shall at all times ensure fair and equitable treatment to the property

of the nationals of the other parties. It shall accord within its territory the most

constant protection and security ti such property and shall not in anyway

impair the management, mantainance, use, enjoyment or disposal thereof by

unreasonable or discriminatory measures. The fact that certain nationals of

any state are accorded treatment more favourable than that provided for in this

Convention shall not be regarded as discriminatory against nationals of a

Party by reason only of the fact that such treatment is not accorded to the latter.

Meskipun draft tersebut gagal diadopsi menjadi konvensi multilateral, substansi

provisinya telah menjadi rujukan penting bagi BIT.43

Periode tahun 1945 dan 1990 merupakan era konfrontasi utama antara

peningkatan jumlah negara berkembang yang baru merdeka di satu sisi, dan negara

pengekspor modal di lain sisi, mengenai status customary law yang mengatur investasi

asing.44 Medan perang yang dipilih oleh negara berkembang adalah United Nations

General Assembly, dimana mereka masih memegang mayoritas suara. Pada tahun

1962, konfrontasi berakhir dengan adanya kompromi yaitu GA resolution 1803 yang

menyatakan in the case of expropriation, ‘appropriate compensation’ had to be paid,

thus neither explicitly confirming the Hull rule nor the Calvo Doctrine.45 Medan perang

selanjutnya adalah, ketika tahun 1974 United Nations mengeluarkan resolusi

Declaration on the Establishment Of A New International Economic Order (NIEO

Declaration), dan Charter Of Economic Rights And Duties Of States (charter). Isinya

43 Andrew Newcombe dan Lluis Paradell, op.cit., hal. 30 44 Rudolf Dolzer and Christoph Schreuer, op.cit., hal 14 45 Ibid.

20

adalah penegasan mengenai kedaulatan permanen atas sumber daya dan aktivitas

ekonomi (permanent sovereignty over resources and economic activities) dan beberapa

prinsip baru seperti hak negara untuk mengatur perusahaan transnasional. NIEO

Declaration ini tidak memiliki kekuatan mengikat, dan pada beberapa dekade

berikutnya negara berkembang memilih membuat perjanjian investasi internasional

yang secara signifikan meninggalkan prinsip charter dan NIEO Declaration.46

Periode konfrontasi antara negara berkembang dan negara pengekspor modal

membawa pada kegelisahan terkait aturan kebiasaan internasional yang mengatur

investasi asing. Fase ini berlangsung serius hingga tahun 1990. Pada saat itu, menjadi

jelas bahwa pandangan sosialis terhadap kekayaan telah runtuh, bersama dengan

berakhirnya uni soviet, dan yang dikenal dengan economic independence telah

membawa krisis besar daripada kemakmuran bagi masyarakat Amerika Latin. Hingga

saat ini, negara-negara Amerika Latin telah membuat BIT yang semangatnya tentu

bertentangan dengan Calvo Doctrine, dan seruan atas ‘permanent sovereignty’ pada

UN General Assembly berakhir sudah.47

Pada waktu yang sama, institusi keuangan internasional merevisi posisinya

dalam hal peran pada investasi privat, dan disebut dengan dengan Washington

Consensus. Tahun 1992 pendekatan baru terwujudkan dalam Preamble World Bank’s

Guidelines of The Treatment of Foreign Direct Investment. Guideline tersebut

mengakui bahwa aliran investasi asing yang lebih besar membawa keuntungan

46 Andrew Newcombe dan Lluis Paradell, op.cit., hal. 32-33 47 Rudolf Dolzer and Christoph Schreuer, op.cit., hal 14-15

21

substantif dalam perekonomian dunia dan dalam perekonomian negara berkembang

khususnya, dalam hal meningkatkan efisiensi jangka panjang negara tuan rumah

melaui kompetisi yang lebih baik, transfer modal, teknologi48 dan keahlian manajerial

dan peningkatan akses pasar dan dalam hal ekspansi perdagangan internasional.49

Selain itu, dalam hal industri ekspor investor asing mungkin memiliki kemampuan

pemasaran, yang dapat meningkatkan penjualan dan nilai tambah bagi negara. Investor

asing juga sering melakukan investasi kembali (reinvest) keuntungan di tingkat lokal.50

Dalam iklim baru hubungan ekonomi internasional, pertarungan pada dekade

sebelumnya terhadap customary rules protecting foreign investment tiba tiba menjadi

usang dan tidak sesuai zaman. Arus telah berbalik, tema baru negara pengimpor modal

bukan lagi melawan classical customary law, namun memberikan proteksi yang lebih

kepada investasi asing daripada yang diberikan oleh traditional customary law, saat ini

dengan basis perjanjian yang dinegosiasikan untuk menarik investasi asing yang lebih

banyak. Lima dekade setelah diucapkan, Hull Rule saat ini menjadi elemen standar dari

ratusan BIT baru dan juga perjanjian-perjanjian multilateral, seperti energy charter

treaty tahun 1994 atau North American free trade Agreement (NAFTA) di tahun yang

sama dimana Meksiko memutuskan untuk bergabung bersama Amerika Serikat dan

Kanada. Negara – negara berkembang mulai membuat perjanjian-perjanjian investasi

48 Transfer teknologi dapat dilakukan dengan pengiriman tenaka kerja ke luar negeri, pemanfaatan

informasi teknologi yang terdapat dalam publikasi luar negeri, penggunaan ahli dari luar negeri, dan

program kerjasama. Lihat Sutekti, Hukum dan Alih Teknologi (Yogyakarta: Thafa Media, 2013) hal. 31 49 Ibid., hal. 15-16 50 Robert Pitchard (ed), Economic Development, Foreign Investment Law and the Law (London: Kluwer

Law International, 1996) hal. 5

22

diantara mereka, dan karakteristik dari perjanjian tersebut secara signifikan tidak

berbeda dari yang dibuat oleh negara maju.51

Dengan demikian, sejak awal 1990-an fokus dalam praktek telah bergeser

kepada negosiasi perjanjian-perjanjian yang baru mengenai investasi asing, terkait

pemahaman dan penafsirannya. Uraian mengenai hukum kebiasaan atas negara tidak

lagi menjadi perhatian utama. Namun demikian, isu – isu yang terkait belum hilang.

Sebagai contoh, dalam konteks NAFTA, ketiga negara anggota memutuskan bahwa

standar ‘fair and equitable treatment’ dan ‘full protection and security’ harus dipahami

sebagai persyaratan bagi negara tuan rumah untuk mematuhi hukum kebiasaan

internasional dan tidak lebih menghendaki autonomous treaty-based standards.52

Perkembangan perjanjian investasi internasional utamanya adalah karena

respon terhadap ketidakpastian dan kekurangan hukum kebiasaan internasional terkait

tanggung jawab negara atas kerugian orang asing dan kekayaannya. Selain itu, negara

pengeskpor modal berusaha mendapatkan komitmen akses pasar yang lebih baik dari

negara pengimpor modal, dan untuk mendapatkan pengembangan yang progresif

dalam standar perlindungan investasi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, walaupun

telah ada usaha-usaha untuk membuat kerangka internasional untuk investasi asing,

ketidaksepakatan antara negara pengeskpor dan pengimpor modal mengenai standar

perlakuan untuk investor asing menggagalkan upaya membuat Perjanjian multilateral.

51 Ibid., hal. 16 52 Ibid.

23

Akibatnya, negara pengekspor modal mulai membuat BIT yang untuk promosi dan

proteksi investasi asing.53

Pasca perang dunia kedua dan ketiga, investasi asing meningkat dengan

perlahan dan mencapai puncaknya pada tahun 1990-2000. Peningkatan investasi asing

ini dibarengi dengan meningkatnya perjanjian bilateral yang tumbuh dari 500

perjanjian pada tahun 1990 menjadi sekitar 2000 perjanjian pada tahun 2000, yang 80%

diantaranya adalah dari negara berkembang, khususnya Asia.54 Pada periode 1990-

2007 terdapat 3067 perjanjian investasi internasional, dan periode 2008-2015 terdapat

3271 perjanjian investasi internasional.55 Evolusi dan perkembangan jumlah perjanjian

investasi internasional dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

53 Andrew Newcombe dan Lluis Paradell, op.cit., hal. 40 54 Rudolf Dolzer and Christoph Schreuer, Principles of International Investment Law (New York:

Oxford University Press, 2008) hal. 1 55 UNCTAD, World Investment Report 2015 (New York and Geneva: United Nations Publication, 2015)

hal. 121

24

Sumber: World Investment Report 2015 UNCTAD

Gambar 1

Evolusi dan Perkembangan Perjanjian Investasi Internasional

Perjanjian investasi internasional merupakan bagian dari hukum investasi

internasional yang dalam perkembangannya dapat dikategorikan dalam rezim hukum

public karena melibatkan negara (host state) yang pada prinsipnya memiliki

kewenangan untuk mengatur (right to regulate) termasuk fungsi pengawasan (state

control) sebagai perwujudan kedaulatan (state sovereignty) dalam rangka untuk

melindungi kepentingan publik. Demikian juga sengketa investasi pada prinsipnya juga

memiliki karakter publik. Sebagian besar sengketa investasi terkait dengan berbagai

bentuk pengaturan/regulasi pemerintah (regulatory measures) yang bersifat

administratif yang meliputi perindungan lingkungan hidup, hak asasi manusia maupun

kesehatan publik. Bahkan karakter publik dari hukum investasi interasional juga jika

25

dikaitkan dengan pembayaran kompensasi bagi pihak investor juga berasal dari

keuangan negara (state budget) yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) sehingga unsur perlindungan kepentingan publik dalam sistem hukum

investasi internasional menjadi lebih dominan.56

Hakikat dari perjanjian investasi internasional adalah perlindungan terhadap

investor asing dan investasinya di wilayah negara tuan rumah. Perlindungan yang

secara prinsip merupakan kewajiban berdasarkan hukum kebiasaan internasional,

dinormakan secara tertulis dan rinci melalui suatu perjanjian internasional. Dengan

adanya jaminan perlindungan hukum oleh negara tuan rumah, maka diharapkan

investasi asing mengalir masuk ke negara tuan rumah, sehingga aspek peningkatan

(promotion) dari perjanjian ini bisa bekerja.57

Adapun di Indonesia perlindungan terhadap investasi asing sudah mulai secara

khusus dilakukan pada saat diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967

tentang Penanaman Modal Asing (Undang-Undang Penanaman Modal Asing) 58.

Setelah ada Undang-Undang tersebut, Pemerintah Indonesia melakukan sejumlah

perjanjian-perjanjian internasional yang menyangkut penanaman modal asing. Pada

umumnya perjanjian-perjanjian internasional itu adalah Perjanjian-Perjanjian Jaminan

56 Markus W Gehring & Avidan Kent, International Investment Agreement and the Emerging Green

Economy: Rising to the Challenge, in Freya Baetens (ed) Investment Law within International Law,

Integrantionist Perspective, Cambridge University Pers, 2013, dalam Fifi Junita dkk, Penerapan Asas

Rule of Law dalam Perjanjian Investasi dan Penyelesaian Sengketa Investasi di Asia Tenggara: Menuju

Trend Reformasi (Surabaya: Revka Petra Media, 2016) hal. 30-31 57 Bilateral Investment Treaty biasanya menggunakan judul Agreement on The Promotion and

Protection of Investments 58 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1

26

Penanaman Modal (Investment Guaranty Agreements), Perjanjian Kerjasama

Ekonomi, Ratifikasi Konvensi Washington mengenai penyelesaian sengketa antara

negara dan warga negara asing mengenai penanaman modal asing, perjanjian-

perjanjian bantuan luar negeri dari negara-negara Intergovermental Group on

Indonesia (IGGI), perjanjian-perjanjian kerjasama ekonomi dengan negara-negara

anggota ASEAN, dan lain-lain.59 Selain itu, hampir seluruh BIT Indonesia juga

dilahirkan pada saat Undang-Undang Penanaman Modal Asing berlaku sampai dengan

lahirnya rezim baru Undang-Undang Penanaman Modal yang menggantikan Undang-

Undang Penanaman Modal Asing.

Indonesia sebagai negara yang aktif mengikuti perjanjian investasi

internasional, saat ini memiliki 65 BIT, yang 20 diantaranya masih berlaku. Adapun

sisanya terdapat 20 perjanjian yang belum diratifikasi baik oleh Indonesia maupun

negara mitra, dan 25 perjanjian telah diterminasi60. Selain BIT, secara bilateral

Indonesia memiliki perjanjian kemitraan ekonomi (Economic Partnership Agreement)

dengan Jepang. Dalam lingkup regional, Indonesia merupakan pihak di dalam ASEAN

Agreement, yaitu perjanjian antara ASEAN dengan negara mitra seperti ASEAN-

Korea, ASEAN-Australia-New Zealand (AANZ), ASEAN-China, dan ASEAN

Comprehensive Investment Agreement (ACIA). Saat ini Indonesia juga sedang aktif

59 Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, (Jakarta: Trimitra Mandiri, 1999) hal.

148 60 Meskipun telah diterminasi, BIT memiliki survival/sunset clause yang biasanya berlaku antara 10-20

tahun. Dengan adanya clause ini, maka investor yang sudah ada pada saat terminasi dilakukan tetap

dapat mengambil benefit dari BIT tersebut selama periode survival/sunset clause.

27

melakukan perundingan CEPA dengan banyak negara. Sebut saja Regional

Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Indonesia-Korea CEPA, Indonesia-

Australia CEPA, Indonesia-Uni Eropa CEPA, Indonesia- EFTA CEPA. Dalam lingkup

multilateral, Indonesia juga anggota dari Agreement on Promotion, Protection and

Guarantee of Investment amongst the Member States of the Organization of the Islamic

Conference (OIC).

Saat ini Indonesia juga merupakan anggota dari Multilateral Investment

Guarantee Agency (MIGA). Tujuan dari konvensi MIGA adalah untuk memberikan

jaminan non-commercial risk berkenaan dengan penanaman modal di dalam suatu

negara anggota yang datangnya dari negara anggota lainnya.61 MIGA memberikan

perlindungan kepada investor terhadap resiko larangan transfer, ekspropriasi, perang,

terorisme, gangguan sipil, pelanggaran kontrak, dan ketidakpatuhan atas kewajiban

finansial.62 Layanan yang diberikan MIGA adalah asuransi investasi, bantuan teknis,

dan saran kebijakan. Dalam menentukan untuk memberikan invesment guarantee,

insurer akan melihat apakah sudah ada BIT antara negara tuan rumah dan negara asal

investor. Sebagai contoh, MIGA’s operational regulation mengatur bahwa dalam

menilai kondisi-kondisi investasi, investasi dianggap sudah memiliki perlindungan

hukum yang memadai jika sudah memiliki BIT.63

61 Yulianto Achmad, Peran Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) Dalam Kegiatan

Investasi (Jurnal Hukum Bisnis, 2003) hal. 41 62 https://www.miga.org/investment-guarantees, akses 6 Juni 2017 63 Andrew Newcombe dan Lluis Paradell, Law and Practice of Investment Treaties (Belanda: Kluwer

Law International, 2009) hal. 255

28

Secara umum muatan pasal perjanjian investasi internasional terbagi dua, yaitu

substantive obligation (kewajiban substantif) yang mengatur tentang kewajiban dan

hak negara tuan rumah dan investor, seperti most favoured nation, national treatment,

repatriation, dan fair and equitable treatment. Muatan selanjutnya adalah procedures

(prosedural), yaitu provisi atau pasal yang mengatur tentang jaminan akses

penyelesaian sengketa, seperti penyelesaian sengketa antara negara dan negara (state

to state dispute settlement) dan penyelesaian sengketa antara investor dan negara

(investor-state dispute settlement).64

Salah satu kewajiban substantif yang paling menjadi perhatian utama di dalam

perjanjian investasi internasional adalah pasal mengenai Fair and Equitable Treatment

(FET). Klausula FET digunakan pada perjanjian perjanjian internasional bidang

ekonomi di masa awal seperti Havana Charter for an International Trade Organization

tahun 1948, economic agreement of Bogota tahun 1948, dan Friendship Commerce

and Navigation (FCN) Amerika Serikat. Penggunaan pertama kali klausula FET dalam

konteks perjanjian investasi internasional dapat dilihat dari pasal 1 Draft Convention

on Investment Abroad yang diusulkan oleh Hermann Abs dan Lord Shawcross pada

tahun 1959:65

“Each Party shall at all times ensure fair and equitable treatment to the

property of the nationals of the other Parties. Such property shall be accorded

the most constant protection and security within the territories of the other

Parties and the management, use and enjoyment thereof shall not in any way

be impaired by unreasonable or discriminatory measures”

64 UNCTAD, International Investment Agreement Negotiators Handbook: APEC/UNCTAD Modules

(Geneva: 2012) 65 UNCTAD, Fair...., op.cit., hal. 7.

29

Inisiatif tersebut dilanjutkan oleh Organisation for Economic Cooperation and

Development (OECD) Yang melahirkan Draft Convention on the Protection of Foreign

Property yang lebih dikenal dengan Draft OECD Convention yang mengatur klausula

fair and equitable treatment.66 Penting untuk dicatat bahwa Draft OECD Convention

digunakan oleh sebagian besar negara anggota OECD sebagai basis mereka dalam

melakukan negosiasi perjanjian investasi internasional. Dengan merujuk kepada model

OECD dan menggunakannya secara sistematik, mereka juga merujuk kepada standar

fair and equitable treatment sebagaimana didefinisikan pada Draft Convention of

1967.67

World Bank Guidelines on Treatment of Foreign Direct Investment mengatur

pada Pasal 3 ayat (2) bahwa: each State will extend to investments established in its

territory by nationals of any other State fair and equitable treatment according to the

standards recommended in the Guidelines.” Multilateral Investment Guarantee

Agreement (MIGA) juga mensyaratkan “the agency to be satisfied that the host state

provides fair and equitable treatment to investments before guaranteeing the

investment”.68

Draft for a United Nations Code of Conduct on Transnational Corporations in

its 1983 version menyatakan bahwa perusahaan transnasional harus mendapatkan

66 Pasal 1 Draft Convention of 1967 mengatur: “Each Party shall at all times ensures fair and equitable

treatment to the property of the nationals of the other Parties…” 67 Ibid., hal. 5 68 Mahnaz Malik, Fair and Equitable Treatment (Canada: IISD, 2009) hal. 2

30

perlakuan fair and equitable and non-discriminatory. Di tingkat bilateral, perjanjian-

perjanjia FCN pada tahun 1950-1960 juga mengatur perlakuan yang “fair” dan

“equitable”69

Berdasarkan pengertian sederhana, FET adalah tuntutan atas sikap tata kelola

yang didasarkan pada peraturan yang adil yang diterapkan dengan tujuan memberikan

keadilan bagi semua pihak yang berkepentingan yang mungkin akan terkena dampak

dari keputusan negara.70 Namun demikian pengertian yang tepat mengenai aturan dasar

FET ini masih belum ada. Aturan dasar ini masih ditafsirkan macam-macam.

Umumnya pengertian yang diterima adalah persyaratan untuk tidak memperlakukan

diskriminatif dan memberikan perlindungan dan keamanan hukum yang penuh atau

perlakuan yang tidak kurang sebagaimana disyaratkan oleh hukum internasional.71

Fairness dan equity adalah prinsip dasar di hampir seluruh sistem hukum di

dunia. Negara mustahil ingin dianggap gagal memperlakukan investor asing dengan

fair and equitable, khususnya jika tujuan mereka adalah untuk menarik modal asing.

Namun demikian, peningkatan pesat gugatan investor terhadap negara melalui

arbitrase atas pelanggaran perjanjian investasi internasional menunjukkan

kompleksitas di belakang frase yang kelihatannya sederhana tersebut. Di dalam

investor-state arbitration, negara tergugat telah menyadari bahwa bahasa atau kalimat

yang minimalis yang sering digunakan dalam provisi FET di dalam perjanjian investasi

69 Ibid 70 UNCTAD, Fair...., op.cit., hal. 7. 71 Huala Adolf, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal (Bandung: Keni Media, 2015)

hal. 44

31

internasional dapat menimbulkan beban kewajiban yang luas dan standar perlindungan

yang tinggi bagi investor.72

Sebagai salah satu elemen kewajiban substantif di perjanjian investasi, FET

merupakan bagian dari jaminan perlindungan hukum terhadap investor asing. Namun

demikian, FET juga menimbulkan juga risiko dan ketidakpastian hukum. Pertama,

berkaitan dengan luasnya wording FET di dalam pasal perjanjian yang mengakibatkan

ketidakjelasan ruang lingkup FET. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan

ketidakpastian dan ketidakleluasaan bagi Pemerintah dalam bertindak, karena tidak

jelas batasan tindakan yang dianggap melanggar perjanjian komitmen FET.

Selanjutnya banyak tribunal yang menafsirkan substansi FET dengan luas

sehingga mencakup juga berbagai persyaratan khusus seperti kewajiban negara untuk

bertindak konsisten, transparan, masuk akal, tidak ambigu, tidak sewenang-wenang

atau diskriminatif, bertindak adil, menjamin proses yang benar dalam pengambilan

keputusan, dan menghormati ekspektasi yang sah (legitimate expectation) investor.

Daftar panjang ini dapat memberatkan negara, khususnya bagi negara berkembang atau

negara kurang berkembang.73

Kedua, mengenai cara menentukan appropriate threshold of liability (ambang

batas yang pantas atas tanggung jawab), yaitu seberapa berat dan nyata tindakan dari

suatu negara untuk dianggap inkonsisten terhadap FET. Isu ini berkaitan dengan

sumber hukum apa yang akan dijadikan patokan oleh FET, yaitu hukum internasional

72 Mahnaz Malik, op.cit., hal. 1 73 UNCTAD, Fair...,op.cit., hal.1

32

atau hukum kebiasaan internasional sebagai standar FET, atau FET dijadikan sebagai

standar independen.74

Ketiga, Ruang lingkup FET yang luas melahirkan tren investor asing

menggunakan FET dalam setiap gugatan terhadap negara tuan rumah untuk

melengkapi gugatan utamanya. Jika Pemerintah digugat ke arbitrase internasional

maka Pemerintah harus menyiapkan sumber dana yang sangat besar mengingat sangat

tingginya biaya beracara di arbitrase internasional.

Keempat, penerapan FET membawa kepada pemikiran akan pentingnya

keseimbangan antara perlindungan investor asing dan tujuan kebijakan negara,

khususnya dalam hal kewenangannya mengatur kepentingan publik.75 Meski disadari

bahwa perjanjian internasional sedikit banyak mengurangi kedaulatan negara, namun

bukan berarti pada setiap perjanjian internasional negara harus menggadaikan harga

diri dan kedaulatannya. Harus ada prinsip kehati-hatian dan analisa untung rugi yang

baik terhadap materi perjanjian secara umum maupun secara detail per setiap pasal di

dalamnya, sehingga negara tetap memiliki cukup fleksibilitas dalam mengatur (right of

the host state to regulate).

Perjanjian internasional di bidang investasi harus dibuat dengan tetap

memperhatikan kepentingan nasional. Undang-Undang Penanaman Modal dalam hal

ini menjelaskan bahwa dalam rangka menghadapi perubahan perekonomian global dan

keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim

74 Ibid. 75 UNCTAD, Fair...,op.cit., hal.1

33

penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan,

dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional.

Pasal 4 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional76

(Undang-Undang Perjanjian Internasional) menyatakan dalam pembuatan perjanjian

internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional

dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan

memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.

Kepentingan nasional yang dimaksud Undang-Undang Perjanjian Internasional

berdasarkan penjelasan Pasal 18 adalah kepentingan umum (public interest),

perlindungan subjek hukum Republik Indonesia, dan yurisdiksi kedaulatan Republik

Indonesia. Dengan demikian, maka suatu perjanjian internasional di bidang investasi

harus dapat memberikan kepastian hukum yang lebih baik kepada investor asing, dan

tetap harus menjaga kedaulatan atau keleluasaan Pemerintah dalam menjalankan

fungsinya.

Dalam upaya melindungi kepentingan nasional, beberapa negara telah

melakukan peninjauan kembali (review) atas seluruh perjanjian investasi

internasionalnya, dan kebijakan-kebijakan pemerintahannya yang terkait dengan

perjanjian investasi internasional. Indonesia adalah salah satu negara yang

76 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185

34

melakukannya. Beberapa alasan Indonesia melakukan peninjauan kembali adalah

sebagai berikut:77

1. Peninjauan kembali dilakukan untuk mencari keseimbangan antara

perlindungan investor dan kedaulatan nasional.78

2. Sebagian besar provisi pada perjanjian investasi internasional saat ini sudah

ketinggalan zaman dan memberikan proteksi yang luas kepada investor asing,

dan memberikan negara tuan rumah sedikit ruang kebijakan untuk

melaksanakan tujuan pembangunannya sendiri. Indonesia juga percaya bahwa

rezim perjanjian investasi internasional saat ini tidak memberikan ruang yang

cukup untuk pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, modernisasi umum

diperlukan terhadap perjanjian saat ini untuk menjaga hak negara untuk

mengatur dan ruang kebijakan.

3. Salah satu perhatian utama Pemerintah Indonesia adalah terkait provisi pasal

Investor-State Dispute Settlement (ISDS) yang meningkatkan peluang

Indonesia digugat pada arbitrase internasional. Bagi Indonesia, pasal ISDS

merupakan masalah problematik, membuat ketidakseimbangan dan

manfaatnya tidak cukup jelas. Indonesia saat ini sudah mengalami enam kali

gugatan ISDS, paling tinggi dari negara-negara ASEAN.

77 Abdulkadir Jailani, Indonesia’s Perspective on Review of International Investment Agreements (South

Centre, 2015) hal. 1-2 78 Menteri Luar Negeri Indonesia menyampaikan hal ini pada Regional Interactive Meeting on the

Development of Investment Treaty Model. Lihat http://www.iisd.org/pdf/2015/investment-treaty-

models-jakarta-report-2015.pdf akses 4 Juni 2017

35

4. Provisi ISDS sangat berpotensi mengesampingkan hukum nasional. Lebih dari

itu, putusan arbitrase internasional dapat membatalkan putusan pengadilan

domestik. Kedua pertimbangan tersebut saat ini cukup beralasan mengingat

rezim perjanjian investasi internasional saat ini terkadang muncul sebagai

superior dibanding hukum nasional.

5. Peninjauan kembali BIT juga diperlukan mengingat banyak dari BIT Indonesia

yang tidak jelas tujuannya, mengingat tidak ada atau sedikit sekali realisasi

investasi dari negara mitra perjanjian. Selain itu terjadi juga tumpang tindih

perlindungan melalui beberapa perjanjian sekaligus. Contohnya adalah

Australia, dimana Indonesia dan Australia telah memiliki BIT disamping

Indonesia juga sebagai pihak dalam ASEAN-Australia-New Zealand FTA.

Bahkan saat ini pun Indonesia sedang menegosiasikan Indonesia-Australia

CEPA dan RCEP.79

Proses peninjauan kembali perjanjian investasi internasional yang dilakukan

Pemerintah Indonesia secara garis besar terbagi atas dua kegiatan. Pertama, melakukan

terminasi atau diskontinu atas seluruh BIT yang telah habis masa berlakunya.

Termasuk dalam kegiatan ini adalah tidak menerima seluruh proposal perjanjian dari

negara mitra, dan penundaan perundingan BIT yang sedang berlangsung. Kedua,

membuat new treaty model, yaitu BIT model sebagai posisi dasar yang digunakan

79 Koran Kompas 23 November 2016

36

dalam setiap perundingan. Sayangnya, program pembuatan BIT model ini gagal

diwujudkan dalam proses peninjauan kembali Pemerintah Indonesia.

Beberapa negara baik negara maju maupun negara berkembang telah

melakukan hal ini, antara lain Amerika Serikat, Canada, Afrika Selatan, dan India.

Afrika Selatan melakukan peninjauan kembali BIT selama 3 tahun dan selesai pada

tahun 2010. Kabinet Afrika Selatan menganggap bahwa adanya ambiguitas hubungan

antara BIT dan FDI. Selain itu, BIT juga dianggap memberikan risiko dan pembatasan

bagi Pemerintah dalam mencapai agenda konstitusinya. Cabinet memutuskan untuk

menghindarkan diri dari BIT di masa mendatang, kecuali ada keadaan ekonomi atau

politik yang memaksa. Cabinet juga memutuskan untuk meninjau kembali seluruh BIT

yang sudah ada dengan tujuan menterminasi atau merenegosiasikannya.80

Pada tahun 1990an Brazil menandatangani 14 BIT dengan negara mitra.

Namun tekanan politik yang kuat dari kongres, peradilan, dan eksekutif menghalangi

Pemerintah untuk meratifikasi seluruh BIT nya. Brazil kemudian dikenal sebagai ‘one

of the few top economies without BITs or an investment agreement model’.81 Namun

seiring berjalannya waktu, Brazil mencoba menciptakan formula atau format perjanjian

investasi baru yang sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Brazil akhirnya

menciptakan treaty model baru dengan nama Agreement on Cooperation and

Facilitation of Investments. Perjanjian ini berfokus pada fasilitasi investasi dan

80 Mahnaz Malik, Managing Bilateral Investment Treaties, disampaikan pada BKPM Focus Discussion

(Jakarta: 2013) 81 https://www.iisd.org/itn/2015/08/04/the-brazilian-agreement-on-cooperation-and-facilitation-of-

investments-acfi-a-new-formula-for-international-investment-agreements/ akses 24 Juni 2017

37

pencegahan sengketa melalui pembentukan ombudsman dan joint committee. Melalui

format perjanjian baru ini, Brazil telah membuat tujuh perjanjian yaitu dengan Angola,

Chile, Kolombia, Malawi, Meksiko, Mozambik, dan Peru82

Berdasarkan uraian di atas, penelitian terkait implikasi penerapan FET di

Indonesia menjadi penting dilakukan paling tidak karena beberapa alasan berikut:

1. Sengketa investasi pada arbitrase internasional dapat berasal dari tiga sumber, yaitu

hukum nasional, investment contract, dan perjanjian investasi internasional. Dari

ketiga sumber tersebut, yang paling sering diajukan ke arbitrase adalah perjanjian

investasi internasional. Di dalam perjanjian investasi internasional itu sendiri, pasal

atau kewajiban substantif yang paling sering dijadikan dasar gugatan adalah pasal

FET. Selanjutnya, mayoritas gugatan yang dimenangkan investor pada arbitrase

internasional adalah gugatan atas dasar pelanggaran FET.83

2. Indonesia saat ini memiliki banyak perjanjian investasi internasional dengan negara

mitra. Kewajiban substantif pada perjanjian investasi internasional hampir

seluruhnya merupakan kewajiban bagi Pemerintah, yang pada akhirnya sedikit

banyak pasti berpengaruh pada kedaulatan negara. Sayangnya hingga kini di

Indonesia hampir tidak ada literatur atau penelitian yang spesifik menganalisis

elemen-elemen dan untung rugi pasal-pasal di dalam perjanjian investasi

internasional. Hal ini membawa risiko negara memperjanjikan atau mengikatkan

82 https://www.iisd.org/itn/2016/12/12/brazil-and-india-initial-bilateral-investment-treaty-bit-text-yet-

to-be-published/ akses 24 Juni 2017 83 Rudolf Dozer and Christoph Scrheuer, op.cit., hal. 119

38

diri pada suatu kewajiban yang belum dipahami makna dan substansinya. Padahal

perjanjian internasional dapat mengikat negara hingga puluhan tahun. Bahkan jika

diterminasi pun masih ada survival/sunset clause yang berlaku sekitar 10-15 tahun.

Bahkan ada beberapa BIT Indonesia yang memiliki survival clause selama 20

tahun.84

3. Penelitian mengenai ruang lingkup keberlakuan FET sangat penting dilakukan,

terutama mengingat dari 65 perjanjian investasi internasional yang dimiliki

Indonesia, FET dikomitmenkan dengan formulasi yang berbeda-beda, sehingga

implikasi dan konsekuensi hukumnya juga akan berbeda. Selanjutnya seluruh

perjanjian tersebut juga memiliki provisi Most Favoured Nation (MFN), dimana

negara tidak boleh memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan daripada

perlakuan yang diberikan kepada negara lain (non party). Dengan demikian maka

investor negara mitra perjanjian Indonesia dapat menuntut komitmen FET dari

perjanjian antara Indonesia dengan negara mitra perjanjian lainnya yang dianggap

paling menguntungkan melalui skema MFN.

4. FET adalah baseline perlindungan investasi. FET dapat dianggap sebagai standar

perlakuan yang paling penting di dalam perjanjian dan diatur di sebagian besar

perjanjian investasi internasional.85 Sebagai pasal yang paling penting di dalam

84 Beberapa BIT Indonesia memiliki survival clause selama 20 tahun, yaitu BIT Indonesia dengan

Jerman, Inggris, dan Arab Saudi. Survival clause adalah ketentuan dimana existing investor pada saat

terminasi dilakukan masih dapat mengambil benefit dari BIT sepanjang waktu yang telah ditentukan

dalam perjanjian. 85 Andrew Newcombe dan Lluis Paradell, op.cit., hal. 255

39

perjanjian, FET bersinggungan dengan hampir seluruh pasal proteksi. Sebagai

contoh, NT, MFN, dan FET adalah kewajiban terkait perlakuan yang memiliki

karakteristik berbeda dimana NT dan MFN adalah relative standard dan FET

adalah absolute standard. Namun demikian, salah satu bagian dari FET adalah non

diskriminasi, yang mana merupakan elemen dasar NT dan MFN. Sifat FET yang

terkesan “satu pasal untuk semua” semakin kental dengan kenyataan bahwa banyak

BIT yang mengatur FET pada article Promotion and Protection, sehingga

memunculkan kesan bahwa “Protection itu adalah FET”.

5. Tingkat atau proporsi yang tepat dalam memberikan proteksi merupakan hal yang

sangat penting, mengingat proteksi adalah bagian dari insentif bagi investor asing.

Negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia sebagai pesaing dalam menarik

investasi asing secara aktif mengikatkan dirinya melalui perjanjian investasi

internasional di level bilateral maupun regional atau multilateral. Untuk itu perlu

dilakukan penelitian untuk menentukan tingkat komitmen FET yang akan

diberikan negara di dalam perjanjian investasi internasional. Selanjutnya

mengingat Indonesia saat ini tidak hanya sebagai negara pengimpor modal namun

juga sebagai negara pengekspor modal86, maka pengaturan FET di dalam perjanjian

juga harus disesuaikan. Untuk itu paling tidak harus ada dua bentuk formulasi FET

86 Salah satu arah kebijakan Pemerintah Indonesia di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah

(RPJMN) 2015-2019 adalah pengembangan investasi keluar (outward investment). Data outward

investment Indonesia dapat dilihat di http://www.bkpm.go.id/en/outward-investment/what-is-outward-

investment, akses 9 Juni 2017. Sayangnya Pemerintah belum memiliki sistem pendataan investor

Indonesia di luar negeri, sehingga Pemerintah belum mampu secara maksimal memfasilitasi investornya

di luar negeri. Padahal, hal tersebut merupakan kewajiban Pemerintah berdasarkan Pasal 28 Undang-

Undang Penanaman Modal. Lihat Koran Investor Daily tanggal 7 Januari 2017.

40

yang disiapkan Pemerintah dalam perundingan perjanjian investasi internasional,

yaitu posisi dimana Indonesia sebagai negara pengekspor modal, dan posisi dimana

Indonesia sebagai negara pengimpor modal.

Tingkat komitmen yang tepat juga penting mengingat bahwa masih menjadi tanda

tanya mengenai dampak langsung dari perjanjian investasi terhadap arus masuk

investasi asing. sebagian ahli mengatakan dampaknya ada walaupun sedikit,

sebagian lainnya mengatakan terdapat dampak positif. Harus disadari bahwa

kepastian hukum di negara tuan rumah merupakan satu faktor yang mempengaruhi

keputusan investasi, dan yang menjadi parameter utama bukanlah hukum, namun

pertimbangan ekonomi. Di sisi lain, globalisasi telah memberikan informasi real

time yang akurat tentang masalah hukum dan ekonomi di seluruh dunia, dan

kurangnya stabilitas hukum di negara tertentu dapat mencegah keputusan positif

dari investor. Persepsi dari tingkat stabilitas hukum untuk suatu proyek dan untuk

iklim investasi di suatu negara secara umum merupakan satu dari beberapa faktor

dalam memutuskan untuk berinvestasi namun tidak dengan sendirinya menjadi

insentif yang menentukan untuk calon investor asing.87

6. Penelitian ini penting dilakukan dalam rangka melakukan reformasi regulasi

(regulatory reform). Sebagaimana diketahui bahwa perjanjian internasional tidak

hanya berfungsi sebagai pengatur hak dan kewajiban para pihak, namun juga dapat

memaksa negara tuan rumah untuk memperbaiki regulasinya menjadi lebih

87 Rudolf Dozer and Christoph Scrheuer, op.cit., hal. 119

41

transparan, stable, predictable, dan sesuai dengan prinsip good governance. Oleh

karena penelitian ini meneliti dampak dan kesesuaian antara peraturan perundang-

undangan nasional dengan perjanjian investasi internasional khususnya provisi

FET, sehingga akan didapat gambaran mengenai peraturan perundang-undangan

yang harus diperbaiki atau disesuaikan dengan komitmen dan kebiasaan

internasional.

7. Indonesia sebelumnya telah dua kali diputus bersalah melanggar komitmen fair and

equitable treatment, khususnya mengenai denial of justice. Indonesia dianggap

melanggar denial of justice pada kasus Amco vs Indonesia dan Hesham Al-Warraq

vs Indonesia. Saat ini Indonesia juga sedang menghadapi dua gugatan investor

asing pada forum arbitrase Internasional, yaitu gugatan Churchill and Planet

Mining pada ICSID dan India Metals & Ferro Alloys (IMFA) pada Permanent

Court of Arbitration. Kedua gugatan tersebut bernilai 1,3 miliar USD dan 530 Juta

USD.88 Mengingat kondisi regulasi di Indonesia yang masih belum sepenuhnya

memberikan kepastian hukum, maka penelitian terkait substansi FET penting

dilakukan untuk mengantisipasi gugatan lainnya di masa mendatang.

Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan pada perpustakaan Universitas

Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjajaran, Universitas Sumatera

Utara, Universitas Airlangga, dan Universitas Pelita Harapan, diketahui bahwa

88 Pada kasus Churchill and Planet Mining, ICSID sudah mengeluarkan putusan bahwa gugatan tidak

dapat diterima sehingga belum masuk pada pokok perkara. Namun demikian perlu dianalisis secara

materil dan substansi perkara apakah memang ada unsur kelalaian Pemerintah yang merugikan investor.

Selain itu, saat ini Churchill and Planet Mining sedang mengajukan annulment ke ICSID

42

penelitian tentang implikasi dan analisa biaya manfaat perjanjian investasi

internasional, khususnya terkait fair and equitable treatment standard belum pernah

dilakukan secara mendalam pada tingkat disertasi. Beberapa penelitian dilakukan

dengan metode studi kasus FET namun baru pada tingkat tesis.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka penulis

menyusun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan penafsiran standar dan ruang lingkup Fair and

Equitable Treatment standard di dalam perjanjian investasi internasional saat ini?

2. Bagaimana implikasi hukum pengaturan Fair and Equitable Treatment standard di

Indonesia?

3. Bagaimana seharusnya Fair and Equitable Treatment Standard diterapkan

seimbang dengan memberikan perlindungan terhadap investor dan tetap menjaga

kewenangan negara dalam mengatur (right of the host state to regulate)?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi, menentukan, dan menganalisis

ruang lingkup dan standar FET.

43

2. Selanjutnya, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis

manfaat dan dampak komitmen FET di dalam perjanjian investasi internasional

terhadap hukum dan kebijakan nasional.

3. Pada akhirnya, penelitian ini akan memberikan jawaban atas bentuk komitmen

FET yang paling efisien bagi Pemerintah dan investor yang diatur di dalam

perjanjian.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan sumbangan pemikiran bagi

pengembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan perjanjian investasi

internasional. Bagian-bagian dimana terdapat kekurangan di dalam perjanjian

investasi internasional atau regulasi nasional harus diperbaiki dan disempurnakan.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan pengambil kebijakan

maupun praktisi yang berkaitan dengan pekerjaan atau kegiatan di bidang

perjanjian investasi internasional. Diharapkan akan ada posisi dasar nasional terkait

fair and equitable treatment di dalam perjanjian investasi internasional.

44

1.5 Sistematika Penelitian

Pada penelitian ini, digunakan sistematika sebagai berikut,

Bab I menguraikan latar belakang alasan mengapa investor asing perlu

mendapatkan jaminan perlindungan hukum di negara tuan rumah, dan penjelasan

mengapa perjanjian investasi internasional menjadi isu penting bagi investor asing dan

tuan rumah. Bab ini selanjutnya berisikan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab II membahas kerangka teoritis dan konseptual, yaitu teori-teori hukum

yang akan digunakan sebagai dasar analisis penelitian. Bab ini membahas teori cita

hukum yang meliputi kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. selanjutnya

dibahas juga teori analisa ekonomi dalam hukum khususnya dengan metode analisa

biaya manfaat, dan teori tentang kedaulatan.

Bab III membahas mengenai metodologi penelitian, yaitu mengenai

pendekatan-pendekatan yang digunakan, teknik pengumpulan dan analisis data, serta

sistematika penelitian.

Bab IV membahas mengenai perkembangan penafsiran terkait ruang lingkup

FET yang didasarkan pada putusan-putusan arbitrase internasional, dan pendapat para

ahli. Selanjutnya dilakukan analisis mengenai perbandingan antara manfaat dan risiko

penerapan FET bagi pemerintah Indonesia dalam melaksanakan kewenangannya. Pada

bab ini juga dilalakukan analisis bentuk FET yang paling efisien digunakan di dalam

perjanjian investasi internasional Indonesia.

45

Pada Bab V dirumuskan kesimpulan dan saran atas hasil penelitian. Bab ini

memberikan pilihan kebijakan bagi pemerintah dalam membuat klausula FET di dalam

perundingan perjanjian investasi internasional. Selain itu, diberikan juga saran terkait

penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan nasional agar selalu konsisten

dengan komitmen perjanjian investasi internasional, khususnya provisi FET.