Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Investasi1 asing memiliki peran yang sangat penting dalam mempercepat
pembangunan ekonomi nasional. Sebagaimana yang tersirat dalam UUD 1945, sektor
swasta merupakan salah satu pilar pelaksanaan pembangunan ekonomi disamping
pemerintah dan koperasi. Memang disadari bahwa pembangunan nasional yang
berkelanjutan membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan
yang dimaksud. Hal tersebut tentunya tidak mungkin untuk ditanggung dan
dilaksanakan oleh pemerintah keseluruhannya. Bagaimanapun juga, pemerintah
mempunyai keterbatasan-keterbatasan untuk membiayai pembangunan nasional
dengan kekuatan pendanaannya sendiri.2
Bila hanya mengandalkan modal dari sumber dana pemerintah, hampir dapat
dipastikan agak sulit mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh para pendiri republik
ini.3 Di bidang infrastruktur misalnya, Pemerintah memiliki anggaran Rp. 330 triliun
1 Istilah investasi merupakan istilah yang lebih popular dalam dunia usaha, sedangkan istilah penanaman
modal lebih banyak digunakan dalam bahasa perundang-undangan. Namun demikian, pada dasarnya
kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama sehingga kadang-kadang digunakan secara
interchangeable. Kedua istilah tersebut merupakan terjemahan dari kata investment. Di kalangan
masyarakat luas, kata investasi memiliki pengertian yang lebih luas karena dapat mencakup baik
investasi langsung maupun investasi tidak langsung (portfolio investment), sedangkan kata penanaman
modal lebih mempunyai konotasi kepada investasi langsung. Lihat Ida Bagus Rahmadi Supancana,
Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia (Bogor: Ghalia, 2006) hal.1 2 Jonker Sihombing, Hukum Penanaman Modal di Indonesia (Bandung: Alumni, 2009) hal. 11 3 Sentosa Sembiring, Hukum Investasi (Bandung: Nuansa Aulia, 2010) hal. 59
2
pada tahun 2017 dan selama 5 tahun Rp. 1.500 triliun. Sementara target semua
kebutuhan infrastruktur adalah Rp. 5.000 triliun untuk tahun 2014-2019.4
Kebijakan investasi merupakan alat untuk menarik para pemilik modal
(investor) untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pemilik modal tersebut dapat
berasal dari dalam negeri atau dapat juga berasal dari luar negeri (asing). Namun
demikian, kebutuhan akan kehadiran investasi asing bersifat khusus, dan karenanya
menarik investasi asing harus dilakukan dengan cara yang amat khusus, mengingat
persaingan yang ketat dengan negara-negara lain. Jadi, sistem hukum, kelembagaan,
dan insentif harus dibangun dengan sebaik mungkin agar Indonesia menjadi tujuan
investasi yang menarik.5
Hampir tidak ada negara industri, baik yang sedang berkembang maupun yang
telah mencapai taraf maju, hanya bergantung kepada investasi domestik. Negara
dengan sistem ekonomi terbuka sudah pasti menjadi ajang gabungan investasi
domestik dan asing. Demikian halnya juga dengan Indonesia yang membutuhkan
pendanaan yang sangat besar dalam pembangunan nasional. Kebutuhan pendanaan itu
tidak hanya dapat diperoleh dari sumber-sumber pendanaan dalam negeri, tetapi juga
dari luar negeri. Hal tersebut yang membuat investasi menjadi salah satu sumber
pendanaan strategis dalam pembangunan nasional.6
4 Kompas, 19 Desember 2016 5 Didik Rachbini, Arsitektur Hukum Investasi Indonesia (Jakarta: Indeks, 2008) hal. 13-14 6 David Kairupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2013)
hal. 1-2
3
Ekonomi global dan negara-negara yang terbuka ekonominya digerakkan oleh
modal global, selain kekuatan internalnya sendiri. Semakin atraktif suatu negara
terhadap modal asing, maka semakin terbuka sistem ekonomi negara tersebut. Modal
global berperan dalam modernisasi ekonomi negara tersebut.7 Modal luar memberikan
tenaga yang besar terhadap ekonomi suatu negara sehingga banyak negara berebut dan
bersaing untuk mendapatkannya. Negara yang berhasil meraup investasi asing ini akan
dapat memajukan sektor-sektor utama dalam ekonomi, terutama industri, perdagangan
jasa, dan sebagainya.8
Penggunaan modal asing untuk membangun perekonomian nasional dalam
rangka mencapai kesejahteraan umum tidak bertentangan dengan konstitusi. Pasal 33
ayat (4) UUD 1945 mengatur prinsip-prinsip penyelenggaraan perekonomian nasional
sebagai berikut:
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.”
Dengan prinsip kemandirian dalam pembangunan nasional dimaksudkan
bahwa pembangunan yang dilaksanakan dari waktu ke waktu sedapat mungkin akan
dibiayai dengan dana yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Adanya prinsip
kemandirian tersebut tidak berarti bahwa pemerintah menjadi akan terfokus untuk
membiayai seluruh kebutuhan pembangunan nasional dengan hanya mengandalkan
7 Loc.cit, hal. 13-14 8 Ibid.
4
dana yang dimilikinya sendiri, ataupun akan melaksanakan pembangunan nasional
tersebut dengan dana yang bersumber dari dalam negeri saja. Makna dari kemandirian
dalam pembangunan nasional yang dijalankan dewasa ini adalah bahwa meskipun
penggunaan dana yang dimiliki oleh pemerintah lebih diutamakan, pembangunan
nasional tersebut tidak terlepas dari bantuan dan kerjasama pihak luar, sepanjang dana
dari pihak luar tersebut berfungsi pelengkap.9 Untuk itu, penanaman modal harus
menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai
upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan
kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas
dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan,
serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang
berdaya saing.10
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor
penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui
perbaikan koordinasi antar instansi Pemerintah Pusat dan daerah, penciptaan birokrasi
yang efesien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang
berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan
keamanan berusaha. Dengan perbaikan berbagai faktor penunjang tersebut, diharapkan
realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan.11
9 Sumantoro, Hukum Ekonomi (Jakarta: UI Press, 1986) hal. 5 10 Penjelasan Umum Undang-Undang Penanaman Modal 11 Penjelasan umum Undang-Undang Penanaman Modal
5
Rahmi Jened menyebutkan faktor yang mempengaruhi iklim investasi di
Indonesia, antara lain adalah:12
a. Stabilitas politik
b. Stabilitas sosial
c. Stabilitas ekonomi
d. Good Corporate Governance oleh birokrat dalam birokrasi, baik kementerian,
pemerintah pusat, dan pemerintah daerah
e. Kepastian dan penegakan hukum
f. Kepatuhan dan harmonisasi dengan instrumen hukum internasional
g. Kondisi infrastruktur
h. Ketersediaan tenaga kerja dengan keahlian dan iklim industri yang damai
(industrial peace)
i. Regulasi dan kepastian hukum di bidang perpajakan, pajak daerah, dan retibusi
j. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), tanah, dan hak milik lainnya, dan
k. Faktor pendukung lain
Kepastian atau perlindungan hukum merupakan hal yang esensial bagi investor
sebab investasi langsung bukanlah one-off transaction, namun melibatkan proyek-
proyek ekonomis dengan durasi yang panjang, seperti bisnis konsesi. Dalam beberapa
bidang bahkan tidak memiliki batas waktu sama sekali, seperti di bidang manufaktur
12 Rahmi Jened, Teori dan Kebijakan Hukum Investasi Langsung (Jakarta: Kencana, 2016) hal. 55
6
dan penyedia jasa. Proyek dengan durasi yang lama, akan memberikan risiko
perubahan kondisi dan dampak negatif atas investasi.13
Risiko yang ditanggung investor berkaitan dengan nilai riil (real value) dari
modal yang akan ditanamkan, maupun risiko yang berkaitan dengan ketidakpastian
apakah akan mendapatkan kembali modal yang telah ditanamkannya sebagaimana
perkiraan semula. Selain itu, terdapat pula risiko non ekonomis seperti gangguan
keamanan di sekitar lokasi penanaman modal tersebut berada, serta risiko
ketidakpastian hukum.14 Lebih dari itu, investasi langsung membuat investor asing
memindahkan sumber daya dari negara asalnya (negara asal investor) menuju negara
tuan rumah yang sebenarnya sumber daya tersebut dapat digunakan untuk membangun
perekenomian negaranya sendiri.15
Di Indonesia sendiri saat ini jaminan kepastian hukum bagi investor belum
cukup baik. Dari hasil pemetaan yang pernah dilakukan oleh Bappenas terutama
bekerjasama dengan direktorat-direktorat di Bappenas yang memiliki counterpart pada
Kementerian/Lembaga, diperoleh gambaran tentang kondisi saat ini terkait kualitas
regulasi di Indonesia, sebagai berikut:16
1. Terlalu banyak regulasi (Hyper-regulation)
13 UNCTAD, Fair and Equitable Treatment (New York and Geneva: United Nation, 2012) hal. 63. 14 Jonker Sihombing, op.cit., hal. 17 15 M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment (Cambridge Univesity Press, 2007) hal.
9 16 Ida Bagus Rahmadi Supancana, Grand Design Reformasi Regulasi Indonesia (Jakarta: Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya, 2017) hal. 3-4
7
Tidak diketahui secara pasti total jumlah regulasi di Indonesia, baik di tingkat
Pusat, Propinsi, maupun Kabupaten dan Kota, setidak-tidaknya sampai dengan
level Peraturan Daerah dan Peraturan Menteri/Lembaga, terdapat kurang lebih
60.000 peraturan. Jumlah tersebut belum termasuk peraturan pelaksanaan setingkat
Direktur Jenderal atau yang setingkat. Keberadaan hukum investasi pasca
diterapkannya otonomi daerah justru melahirkan suatu hukum investasi yang
kontraproduktif dengan penciptaan iklim investasi yang dikehendaki oleh para
investor. 17 Banyaknya regulasi tersebut telah menimbulkan gurauan (joke) yang
menyatakan bahwa jika dulu di Indonesia terkenal dengan “hukum rimba”, maka
kondisi yang kita hadapi sekarang adalah “rimba hukum”. Betapa menyedihkan
karena regulasi sudah tidak lagi menjadi solusi, tetapi malah menjadi beban.
2. Saling bertentangan (Conflicting)
Terdapat banyak peraturan yang memiliki materi yang bertentangan, baik yang
bersifat vertikal maupun horizontal yang menimbulkan kegamangan, dan
ketidakpastian dalam pelaksanaannya.
3. Tumpang tindih (overlapping)
Terdapat banyak peraturan yang bersifat tumpang tindih, artinya untuk isu yang
sama diatur oleh banyak peraturan perundang-undangan. Bahkan dalam satu
kementerian/lembaga terdapat beberapa peraturan untuk mengatur isu yang sama.
4. Multi Tafsir (Multi interpretation)
17 Suhendro, Hukum Investasi di era Otonomi Daerah (Yogyakarta: Gita Nagari, 2005) hal. 77
8
Permasalahan lain di bidang regulasi adalah banyaknya ketentuan regulasi yang
mengandung materi muatan yang bersifat multi tafsir. Peraturan yang multi tafsir
mengandung ketidakpastian dan perbedaan dalam implementasinya, dan rentan
digunakan untuk kepentingan tertentu.
5. Tidak Taat Asas (Inconsistency)
Ketidaktaatan asas dalam regulasi di Indonesia juga menonjol, terutama terkait
dengan hubungan antara kebijakan dan regulasi. Dalam banyak regulasi ditemukan
bahwa regulasi yang tidak konsisten dengan kebijakan yang mendasarinya, padahal
regulasi merupakan instrument kebijakan. Ketidaktaatan asas juga nampak pada
berbagai terminologi yang digunakan, termasuk pengertiannya. Hal ini akan
membingungkan berbagai pihak yang mendasarkan tindakannya pada peraturan-
peraturan tersebut.
6. Tidak Efektif
Ditemukan banyak regulasi yang tidak efektif dalam implementasi. Terdapat
beberapa kemungkinan yang menjadi penyebabnya. Kemungkinan penyebabnya
pertama adalah adalah tidak memadainya persiapan dalam implementasi suatu
peraturan perundang-undangan, baik dari aspek sosialisasi, penyiapan struktur
organisasi, kesiapan sumber daya manusia dari sisi kompetensinya, maupun
dukungan pendanaannya. Kemungkinan kedua, karena adanya kelemahan dalam
proses konsultasi publik, sehingga pihak-pihak yang seharusnya diminta
pandangan dan aspirasinya (misalnya: pihak yang terkena dampak, serta pemangku
9
kepentingan lainnya, termasuk interested parties) tidak mengetahui atau tidak
dapat menerima ketentuan termaksud, akibatnya timbul pihak-pihak yang
menentang pemberlakuannya, yang berakibat rendahnya kepatuhan dan akhirnya
menjadikan peraturan perundang-undangan dimaksud menjadi tidak efektif.
7. Menciptakan Beban yang Tidak Perlu (Unnecessary Burden)
Banyak regulasi yang menciptakan beban yang tidak perlu terhadap targeted group
maupun non targeted group. Keadaan ini menunjukkan bahwa pada saat
pembentukan peraturan perundangan tidak cukup dilakukan identifikasi terhadap
pihak-pihak yang potensial terkena dampak, serta tidak cukup dilakukan upaya
upaya untuk memitigasi dampaknya, sehingga ketika diberlakukan akan
menimbulkan beban yang tidak perlu.
8. Menciptakan Ekonomi Biaya Tinggi (High-Cost Economy)
Banyaknya jumlah regulasi yang tidak proporsional (berlebihan) menciptakan
ekonomi biaya tinggi yang jelas akan menambah biaya produksi sehingga pada
akhirnya produk atau jasa yang dihasilkan menjadi tidak kompetitif.
Perlindungan hukum kepada investor asing merupakan kewajiban negara tuan
rumah (host state) dan termasuk bagian dari kewajiban berdasarkan hukum kebiasaan
internasional (customary international law).18 Oleh karena itu meskipun kondisi
regulasi nasional Indonesia masih banyak masalah, Pemerintah tetap memiliki
18 Howard Mann, Investment Liberalization: Some Key Elements and Issues in Today’s Negotiating
Context (Singapore: IISD, 2007) hal. 2. Lihat juga M. Sornarajah, op. cit, hal. 120
10
kewajiban untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada investor asing yang
beroperasi di wilayah Indonesia.
Pada dasarnya jaminan perlindungan dan kepastian hukum terhadap investor
asing dan investasinya didapat melalui beberapa sumber. Pertama, melalui kontrak
yang dibuat antara Pemerintah dan investor asing. Bentuk kontrak seperti ini sering
disebut dengan investment contract. Dengan adanya kontrak, maka perlindungan
terhadap investor asing yang berlaku adalah apa yang diatur melalui klausul pasal-pasal
kontrak tersebut, adapun undang-undang penanaman modal hanya berlaku bagi
ketentuan yang tidak diatur di dalam kontrak.
Suatu kontrak yang dimana antara negara dan investor secara langsung
bertindak sebagai pihak dimungkinkan karena Pemerintah dapat melakukan perbuatan
hukum yang tergolong dalam bidang hukum publik (acts jure imperii), dan pada saat
yang bersamaan dapat pula bertindak dalam bidang hukum privat (acts jure
guestiones).19 Ditinjau dari sudut hukum administrasi negara, pemerintah juga
memiliki fungsi materiale daad (perbuatan dalam bidang keperdataan) yang tunduk
dan diatur berdasarkan hukum perdata .20
Kedua, yang pasti perlindungan investor asing dan investasinya diatur pada
hukum nasional negara tuan rumah, yaitu peraturan perundang-undangan khususnya di
bidang penanaman modal. Di Indonesia saat ini telah ada Undang-Undang Nomor 25
19 Hikmahanto Juwana, Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional (Jakarta: Lentera
Hati, 2002) hal. 43 20 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Raja Grafindo, 2006) hal. 283
11
tahun 2007 tentang Penanaman Modal21 (Undang-Undang Penanaman Modal) yang
mengatur mengenai perlindungan hukum seperti jaminan perlakuan non diskriminasi
dan proses penyelesaian sengketa mulai dari musyawarah hingga arbitrase
internasional.
Selain itu, beberapa undang-undang juga memiliki peran dalam menciptakan
iklim penanaman modal yang baik, contohnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat22 (undang-
undang antimonopoli). Iklim persaingan sehat dibutuhkan agar antara investor asing
dan misalnya perusahaan milik negara (Badan Usaha Milik Negara) dapat bersaing
secara sehat. Investor akan enggan masuk ke suatu negara jika setelah masuk kemudian
dicurangi atau gagal berkompetisi dengan perusahaan yang sudah mapan di negara tuan
rumah karena tidak adanya peraturan yang menjamin adanya persaingan sehat.
Ketiga, meskipun perlindungan sebenarnya sudah dijamin melalui hukum
nasional, negara asal investor (home state) khususnya yang berasal dari negara
pengekspor modal (capital exporting country) menghendaki adanya perlindungan
dengan tingkat komitmen yang lebih tinggi dan tidak berubah-ubah kecuali dengan
kesepakatan para pihak. Perlindungan tersebut diperoleh melalui perjanjian
internasional di bidang investasi, atau sering disebut perjanjian investasi internasional
(International Investment Agreements/IIAs).
21 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67 22 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33
12
Perjanjian investasi internasional adalah perjanjian internasional antar negara
yang melahirkan kewajiban kepada negara terkait bagaimana cara memperlakukan
investor asing dari negara mitra perjanjian.23 Perjanjian investasi internasional
termasuk ke dalam golongan “treaty contract”, yaitu perjanjian yang mengakibatkan
hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu saja.24
Perjanjian ini mencakup perjanjian yang bersifat bilateral dalam bentuk Bilateral
Investment Treaty (BIT)25, Free Trade Agreement (FTA), Economic Partneship
Agreement (EPA), Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA),
perjanjian dalam ruang lingkup regional seperti ASEAN Agreement, dan perjanjian
lainnya yang memiliki elemen perlindungan terhadap investasi asing. Selain itu
terdapat juga perjanjian yang dapat juga dikategorikan sebagai perjanjian investasi,
yaitu Foreign Investment Insurance Agreement26 dan Investment Support Agreement27.
Untuk memahami perjanjian investasi internasional secara menyeluruh, sangat
penting untuk memahami terlebih dahulu awal mula munculnya perjanjian tersebut,
khususnya mengenai tarik-menarik kepentingan antara negara pengekspor dan
pengimpor modal. Pada awalnya, perlindungan terhadap orang asing (aliens)
dilakukan melalui perlindungan diplomatik (diplomatic protection). Teori ini
23 Aaron Cosbey dan Howard Mann, Bilateral Investment Treaties, Mining and National Champions:
Making it Work (2014, IISD) hal. 14 24 Mengenai perbedaan antara treaty contract dan law making treaties, lihat Yudha Bhakti
Ardhiwisastra, Hukum Internasional Bunga Rampai (Bandung: Alumni, 2003) hal. 107 25 BIT di Indonesia sering juga disebut dengan Perjanjian Peningkatan dan Perlindungan Penanaman
Modal (P4M). 26 Lihat Canada-Indonesia Foreign Investment Insurance Agreement 27 Lihat Indonesia-United State of America Invesment Support Agreement
13
menyatakan bahwa kerusakan atau gangguan (Injury) terhadap warga suatu negara
dianggap sebagai gangguan terhadap negara dimaksud.28 Melalui perlindungan
diplomatik ini, negara asal investor menggugat negara tuan rumah atas kerugian yang
dialami warganegara negara asal investor tersebut.29
Negara-negara menggunakan perlindungan diplomatik ini pada abad ke 18 dan
19. Pada tahun 1924 Permanent Court of Internasional Justice (PCIJ) mengakui bahwa
hak negara untuk melakukan perlindungan diplomatik terhadap warganegaranya
merupakan prinsip dasar hukum internasional. Salah satu prinsip perlindungan
diplomatik adalah sebelum negara melakukan perlindungan diplomatik, orang asing
tersebut harus menyelesaikan terlebih dahulu persoalannya melalui sistem hukum
nasional negara tuan rumah.30
Dalam perkembangannya, pada abad ke 19 dan awal abad ke 20, penggunaan
perlindungan diplomatik sering disalahgunakan oleh negara. Negara melakukan
perlindungan yang sering disertai dengan ‘gun-boat’ diplomacy, yang ditandai dengan
penggunaan pasukan atau kekerasan untuk mendukung gugatan perlindungan. Pada
saat itu, penggunaan pasukan dalam perlindungan diplomatik bukan pelanggaran atas
hukum internasional.31
28 Chittharanjan F. Amerasinghe, Diplomatic Protection (Oxford: Oxford University Press, 2008) hal.
22 29 Andrew Newcombe dan Lluis Paradell, op.cit., hal. 5 30 Ibid., hal. 6 31 Ibid., 8-9
14
Perkembangan perdagangan dan investasi pada abad 19 dan awal abad 20
mengarah pada meningkatnya perhatian terhadap status hukum orang asing di luar
negeri dan perlindungan terhadap kepentingan ekonominya. Di awal tahun 1900an,
terdapat kesepakatan umum di antara ahli hukum dari eropa dan amerika tentang
adanya minimum standard of treatment (standar perlakuan minimum) bagi orang asing.
Di saat yang sama, kemunculan pokok tanggung jawab negara terhadap perlakuan atas
orang asing berkembang melalui berbagai kontrak komersil, tindakan pemerintah,
putusan arbitrase dan komisi-komisi. Sebagian besar kasusnya lebih banyak terkait
denial of justice dan acts of violence. Walaupun isu kepentingan ekonomi belum
banyak, akan tetapi sudah ada konsensus di antara negara pengeskpor modal mengenai
kewajiban kompensasi jika terjadi ekspropriasi.32
Negara maju telah mempertahankan posisinya bahwa orang asing harus
diperlakukan berdasarkan international minimum standard (standar minimum
internasional) yang standarnya dapat lebih tinggi daripada yang diberikan oleh negara
tuan rumah kepada warga negaranya sendiri. Standar minimum internasional tersebut
digunakan sebagai prinsip umum yang berlaku untuk perlakuan terhadap orang asing.
Namun terdapat komponen di dalam standar tersebut yang memiliki hubungan khusus
dengan perlakuan terhadap investasi asing. Eksistensi standar minimum tersebut
ditegaskan di dalam perjanjian-perjanjian investasi. Putusan arbitrase modern juga
mengakui bahwa terdapat standar minimum dimana negara tuan rumah harus
32 Ibid., 11-12
15
menyesuaikannya dalam perlakuannya terhadap investor asing. Standar minimum
adalah standar ekstenal yang membuat negara maju bisa menetapkan standar perlakuan
yang mereka harapkan untuk investor asing mereka, namun sulit dipenuhi oleh negara
berkembang. Kegagalan untuk mematuhi standar perlakuan minimum menimbulkan
pelanggaran oleh negara. Pelanggaran tersebut dapat digugat melalui mekanisme
penyelesaian sengketa. Mayoritas dari kasus - kasus standard of liability tersebut
mencakup pelanggaran terhadap individu (person) asing.33
Munculnya standar minimum awalnya terkait dengan orang asing secara
umum, berlaku dengan area yang luas mencakup hak prosedural di bidang hukum
pidana, hak di tribunal secara umum, hak terkait keperdataan, dan hak terkait kekayaan
privat orang asing. Salah satunya kasus yang muncul pada era ini adalah putusan
commission pada tahun 1926 mengenai keadaan dimana negara tuan rumah
bertanggung jawab atas pelanggaran terhadap standar minimum:
“The treatment of alien, in order to constitute an international deliquency,
should amount to outrage, to bada faith, to wilful neglect of duty, or to an
insufficiency of governmental action so far short of international standard that
every reasonable and impartial man would readily recognize its insufficiency”
Pernyataan atas standard pada putusan di atas tidak merujuk secara khusus kepada
masalah kekayaan orang asing. putusan tersebut juga dikeluarkan saat investasi asing
dan isu terkaitnya seperti pertumbuhan ekonomi, development, good governance, dan
iklim penanaman modal yang baik belum terlalu menjadi agenda internasional.34
33 M. Sornarajah, op.cit., hal. 122 34 Rudolf Dolzer and Christoph Schreuer, Principles of International Investment Law (New York:
Oxford University Press, 2008) hal. 14
16
Perkembangan muncul di waktu kemudian dan menjadi dasar untuk
membangun hukum perlindungan investasi asing. Dengan demikian cara yang kuat
dibuat untuk mengamankan kepentingan negara maju dan investor asing mereka. Cara
tersebut dikembangkan dalam praktek kebiasaan yang saat ini digunakan di dalam
perjanjian-perjanjian. Fenomena khusus mengenai perkembangan perjanjian adalah
dimasukkannya standar perlakuan adil dan layak (fair equitable treatment standard)
yang sebelumnya tidak bergerak hingga setengah abad, sekarang telah diasumsikan
sebagai standar yang merangkul semuanya (all-embracing standard).35
Menanggapi tuntutan adanya standar perlakuan minimum, beberapa negara
khususnya dari Amerika Latin, mendorong perlakuan nasional (national treatment)
atau equality of treatment standard. Posisi ini sangat berkaitan dengan ahli hukum dari
Argentina yang bernama Carlos Calvo, yang pada tahun 1868 menentang pelaksanaan
perlindungan diplomatik dan keberadaan standar perlakuan minimum. Calvo doctrine
memiliki tiga elemen dasar: Tidak ada hak yang lebih besar bagi orang asing daripada
warganegara negara tuan rumah; Hak orang asing diatur oleh hukum negara tuan
rumah, dan pengadilan negara tuan rumah punya yurisdiksi eksklusif atas sengketa
yang melibatkan orang asing36 sehingga orang asing tersebut tidak memiliki hak atas
perlindungan diplomatik dari negara asal investor atau akses ke tribunal
internasional.37
35 M. Sornarajah, Op.cit., hal. 122 36 Andrew Newcombe dan Lluis Paradell, Op.cit., hal. 13 37 Rudolf Dolzer and Christoph Schreuer, Op.cit., hal. 12
17
Di tingkat internasional, Calvo Doctrine masih menjadi perdebatan, dimana
posisi dominannya adalah negara terikat dengan aturan hukum internasional yang
terpisah dari hukum nasional.38 Dalam perjalanannya, doktrin ini tidak pernah
mencapai status prinsip hukum kebiasaan internasional. Di awal abad 20, negara
pengekspor modal mempertahankan pemahamannya bahwa hukum internasional
memerlukan standar perlakuan minimum. Adapun negara pengimpor modal tetap
menentang adanya standar perlakuan minimum, khususnya terkait kompensasi atas
ekspropriasi.39
Meskipun terdapat penolakan dari Rusia dan negara Amerika Latin terhadap
standar perlakuan minimum, pandangan akan pentingnya standar perlakuan minimum
pada hukum internasional ditegaskan kembali pada tahun 1920an pada beberapa
putusan berpengaruh US-Mexico General Claims Commission. Pada kurun waktu itu
the commission beberapa kali memutuskan kasus yang menolak pandangan Calvo dan
menegaskan keberadaan standar perlakuan minimum.40
Selain itu Putusan PCIJ juga beberapa kali mengeluarkan putusan yang
menegaskan berlakunya perlindungan diplomatik merupakan prinsip dasar hukum
internasional, penghormatan terhadap hak warga negara asing, dan perampasan
kekayaan orang asing secara illegal memerlukan adanya ganti rugi. Putusan-putusan
38 Ibid. 39 Loc.cit 40 Ibid., hal. 14
18
PCIJ tersebut merefleksikan adanya kewajiban pemerintah untuk memperlakukan
orang asing dengan standar perlakuan minimum.41
Tahun 1920s dan 1930s dilakukan upaya kodifikasi standar perlakuan oleh
beberapa lembaga. Upaya untuk mengkodifikasi customary internasional law rules on
the Responsibility of States for Damage Caused in Their Territories to the Persons and
Properties of Foreigners gagal karena perbedaan pandangan antara negara pengekspor
modal yang menuntut adanya standar perlakuan minimum dan negara pengimpor
modal tetap pada posisinya bahwa orang asing hanya berhak atas perlakuan yang
sebagaimana didapat warga domestik.
Perbedaan antara negara pengekspor dan pengimpor modal mengenai standar
perlakuan minimum memuncak pada tahun 1938 ketika terjadi kasus antara Mexico
dan Amerika Serikat terkait standar kompensasi atas ekspropriasi. Amerika Serikat
menekankan bahwa seperti Hull Rule (Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Cordell
Hull), pembayaran atas kekayaan yang diambil alih dilakukan dengan adequate,
effective, and prompt disyaratkan berdasarkan hukum internasional. Adapun Mexico
mengatakan pembayaran kompensasi dilakukan berdasarkan hukum nasional.42
Pada tahun 1962 OECD merilis Draft Convention on the Protection of Foreign
Property yang selanjutnya disempurnakan pada tahun 1967. Mengingat keanggotaan
OECD, maka tidak mengherankan kalau draft tersebut mencerminkan pandangan
41 Ibid., hal. 15 42 Ibid., hal. 18
19
negara pengekspor modal terkait standar perlakuan minimum. Draft tersebut
menetapkan standar perlakuan minimum sebagai berikut:
Each party shall at all times ensure fair and equitable treatment to the property
of the nationals of the other parties. It shall accord within its territory the most
constant protection and security ti such property and shall not in anyway
impair the management, mantainance, use, enjoyment or disposal thereof by
unreasonable or discriminatory measures. The fact that certain nationals of
any state are accorded treatment more favourable than that provided for in this
Convention shall not be regarded as discriminatory against nationals of a
Party by reason only of the fact that such treatment is not accorded to the latter.
Meskipun draft tersebut gagal diadopsi menjadi konvensi multilateral, substansi
provisinya telah menjadi rujukan penting bagi BIT.43
Periode tahun 1945 dan 1990 merupakan era konfrontasi utama antara
peningkatan jumlah negara berkembang yang baru merdeka di satu sisi, dan negara
pengekspor modal di lain sisi, mengenai status customary law yang mengatur investasi
asing.44 Medan perang yang dipilih oleh negara berkembang adalah United Nations
General Assembly, dimana mereka masih memegang mayoritas suara. Pada tahun
1962, konfrontasi berakhir dengan adanya kompromi yaitu GA resolution 1803 yang
menyatakan in the case of expropriation, ‘appropriate compensation’ had to be paid,
thus neither explicitly confirming the Hull rule nor the Calvo Doctrine.45 Medan perang
selanjutnya adalah, ketika tahun 1974 United Nations mengeluarkan resolusi
Declaration on the Establishment Of A New International Economic Order (NIEO
Declaration), dan Charter Of Economic Rights And Duties Of States (charter). Isinya
43 Andrew Newcombe dan Lluis Paradell, op.cit., hal. 30 44 Rudolf Dolzer and Christoph Schreuer, op.cit., hal 14 45 Ibid.
20
adalah penegasan mengenai kedaulatan permanen atas sumber daya dan aktivitas
ekonomi (permanent sovereignty over resources and economic activities) dan beberapa
prinsip baru seperti hak negara untuk mengatur perusahaan transnasional. NIEO
Declaration ini tidak memiliki kekuatan mengikat, dan pada beberapa dekade
berikutnya negara berkembang memilih membuat perjanjian investasi internasional
yang secara signifikan meninggalkan prinsip charter dan NIEO Declaration.46
Periode konfrontasi antara negara berkembang dan negara pengekspor modal
membawa pada kegelisahan terkait aturan kebiasaan internasional yang mengatur
investasi asing. Fase ini berlangsung serius hingga tahun 1990. Pada saat itu, menjadi
jelas bahwa pandangan sosialis terhadap kekayaan telah runtuh, bersama dengan
berakhirnya uni soviet, dan yang dikenal dengan economic independence telah
membawa krisis besar daripada kemakmuran bagi masyarakat Amerika Latin. Hingga
saat ini, negara-negara Amerika Latin telah membuat BIT yang semangatnya tentu
bertentangan dengan Calvo Doctrine, dan seruan atas ‘permanent sovereignty’ pada
UN General Assembly berakhir sudah.47
Pada waktu yang sama, institusi keuangan internasional merevisi posisinya
dalam hal peran pada investasi privat, dan disebut dengan dengan Washington
Consensus. Tahun 1992 pendekatan baru terwujudkan dalam Preamble World Bank’s
Guidelines of The Treatment of Foreign Direct Investment. Guideline tersebut
mengakui bahwa aliran investasi asing yang lebih besar membawa keuntungan
46 Andrew Newcombe dan Lluis Paradell, op.cit., hal. 32-33 47 Rudolf Dolzer and Christoph Schreuer, op.cit., hal 14-15
21
substantif dalam perekonomian dunia dan dalam perekonomian negara berkembang
khususnya, dalam hal meningkatkan efisiensi jangka panjang negara tuan rumah
melaui kompetisi yang lebih baik, transfer modal, teknologi48 dan keahlian manajerial
dan peningkatan akses pasar dan dalam hal ekspansi perdagangan internasional.49
Selain itu, dalam hal industri ekspor investor asing mungkin memiliki kemampuan
pemasaran, yang dapat meningkatkan penjualan dan nilai tambah bagi negara. Investor
asing juga sering melakukan investasi kembali (reinvest) keuntungan di tingkat lokal.50
Dalam iklim baru hubungan ekonomi internasional, pertarungan pada dekade
sebelumnya terhadap customary rules protecting foreign investment tiba tiba menjadi
usang dan tidak sesuai zaman. Arus telah berbalik, tema baru negara pengimpor modal
bukan lagi melawan classical customary law, namun memberikan proteksi yang lebih
kepada investasi asing daripada yang diberikan oleh traditional customary law, saat ini
dengan basis perjanjian yang dinegosiasikan untuk menarik investasi asing yang lebih
banyak. Lima dekade setelah diucapkan, Hull Rule saat ini menjadi elemen standar dari
ratusan BIT baru dan juga perjanjian-perjanjian multilateral, seperti energy charter
treaty tahun 1994 atau North American free trade Agreement (NAFTA) di tahun yang
sama dimana Meksiko memutuskan untuk bergabung bersama Amerika Serikat dan
Kanada. Negara – negara berkembang mulai membuat perjanjian-perjanjian investasi
48 Transfer teknologi dapat dilakukan dengan pengiriman tenaka kerja ke luar negeri, pemanfaatan
informasi teknologi yang terdapat dalam publikasi luar negeri, penggunaan ahli dari luar negeri, dan
program kerjasama. Lihat Sutekti, Hukum dan Alih Teknologi (Yogyakarta: Thafa Media, 2013) hal. 31 49 Ibid., hal. 15-16 50 Robert Pitchard (ed), Economic Development, Foreign Investment Law and the Law (London: Kluwer
Law International, 1996) hal. 5
22
diantara mereka, dan karakteristik dari perjanjian tersebut secara signifikan tidak
berbeda dari yang dibuat oleh negara maju.51
Dengan demikian, sejak awal 1990-an fokus dalam praktek telah bergeser
kepada negosiasi perjanjian-perjanjian yang baru mengenai investasi asing, terkait
pemahaman dan penafsirannya. Uraian mengenai hukum kebiasaan atas negara tidak
lagi menjadi perhatian utama. Namun demikian, isu – isu yang terkait belum hilang.
Sebagai contoh, dalam konteks NAFTA, ketiga negara anggota memutuskan bahwa
standar ‘fair and equitable treatment’ dan ‘full protection and security’ harus dipahami
sebagai persyaratan bagi negara tuan rumah untuk mematuhi hukum kebiasaan
internasional dan tidak lebih menghendaki autonomous treaty-based standards.52
Perkembangan perjanjian investasi internasional utamanya adalah karena
respon terhadap ketidakpastian dan kekurangan hukum kebiasaan internasional terkait
tanggung jawab negara atas kerugian orang asing dan kekayaannya. Selain itu, negara
pengeskpor modal berusaha mendapatkan komitmen akses pasar yang lebih baik dari
negara pengimpor modal, dan untuk mendapatkan pengembangan yang progresif
dalam standar perlindungan investasi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, walaupun
telah ada usaha-usaha untuk membuat kerangka internasional untuk investasi asing,
ketidaksepakatan antara negara pengeskpor dan pengimpor modal mengenai standar
perlakuan untuk investor asing menggagalkan upaya membuat Perjanjian multilateral.
51 Ibid., hal. 16 52 Ibid.
23
Akibatnya, negara pengekspor modal mulai membuat BIT yang untuk promosi dan
proteksi investasi asing.53
Pasca perang dunia kedua dan ketiga, investasi asing meningkat dengan
perlahan dan mencapai puncaknya pada tahun 1990-2000. Peningkatan investasi asing
ini dibarengi dengan meningkatnya perjanjian bilateral yang tumbuh dari 500
perjanjian pada tahun 1990 menjadi sekitar 2000 perjanjian pada tahun 2000, yang 80%
diantaranya adalah dari negara berkembang, khususnya Asia.54 Pada periode 1990-
2007 terdapat 3067 perjanjian investasi internasional, dan periode 2008-2015 terdapat
3271 perjanjian investasi internasional.55 Evolusi dan perkembangan jumlah perjanjian
investasi internasional dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
53 Andrew Newcombe dan Lluis Paradell, op.cit., hal. 40 54 Rudolf Dolzer and Christoph Schreuer, Principles of International Investment Law (New York:
Oxford University Press, 2008) hal. 1 55 UNCTAD, World Investment Report 2015 (New York and Geneva: United Nations Publication, 2015)
hal. 121
24
Sumber: World Investment Report 2015 UNCTAD
Gambar 1
Evolusi dan Perkembangan Perjanjian Investasi Internasional
Perjanjian investasi internasional merupakan bagian dari hukum investasi
internasional yang dalam perkembangannya dapat dikategorikan dalam rezim hukum
public karena melibatkan negara (host state) yang pada prinsipnya memiliki
kewenangan untuk mengatur (right to regulate) termasuk fungsi pengawasan (state
control) sebagai perwujudan kedaulatan (state sovereignty) dalam rangka untuk
melindungi kepentingan publik. Demikian juga sengketa investasi pada prinsipnya juga
memiliki karakter publik. Sebagian besar sengketa investasi terkait dengan berbagai
bentuk pengaturan/regulasi pemerintah (regulatory measures) yang bersifat
administratif yang meliputi perindungan lingkungan hidup, hak asasi manusia maupun
kesehatan publik. Bahkan karakter publik dari hukum investasi interasional juga jika
25
dikaitkan dengan pembayaran kompensasi bagi pihak investor juga berasal dari
keuangan negara (state budget) yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) sehingga unsur perlindungan kepentingan publik dalam sistem hukum
investasi internasional menjadi lebih dominan.56
Hakikat dari perjanjian investasi internasional adalah perlindungan terhadap
investor asing dan investasinya di wilayah negara tuan rumah. Perlindungan yang
secara prinsip merupakan kewajiban berdasarkan hukum kebiasaan internasional,
dinormakan secara tertulis dan rinci melalui suatu perjanjian internasional. Dengan
adanya jaminan perlindungan hukum oleh negara tuan rumah, maka diharapkan
investasi asing mengalir masuk ke negara tuan rumah, sehingga aspek peningkatan
(promotion) dari perjanjian ini bisa bekerja.57
Adapun di Indonesia perlindungan terhadap investasi asing sudah mulai secara
khusus dilakukan pada saat diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing (Undang-Undang Penanaman Modal Asing) 58.
Setelah ada Undang-Undang tersebut, Pemerintah Indonesia melakukan sejumlah
perjanjian-perjanjian internasional yang menyangkut penanaman modal asing. Pada
umumnya perjanjian-perjanjian internasional itu adalah Perjanjian-Perjanjian Jaminan
56 Markus W Gehring & Avidan Kent, International Investment Agreement and the Emerging Green
Economy: Rising to the Challenge, in Freya Baetens (ed) Investment Law within International Law,
Integrantionist Perspective, Cambridge University Pers, 2013, dalam Fifi Junita dkk, Penerapan Asas
Rule of Law dalam Perjanjian Investasi dan Penyelesaian Sengketa Investasi di Asia Tenggara: Menuju
Trend Reformasi (Surabaya: Revka Petra Media, 2016) hal. 30-31 57 Bilateral Investment Treaty biasanya menggunakan judul Agreement on The Promotion and
Protection of Investments 58 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1
26
Penanaman Modal (Investment Guaranty Agreements), Perjanjian Kerjasama
Ekonomi, Ratifikasi Konvensi Washington mengenai penyelesaian sengketa antara
negara dan warga negara asing mengenai penanaman modal asing, perjanjian-
perjanjian bantuan luar negeri dari negara-negara Intergovermental Group on
Indonesia (IGGI), perjanjian-perjanjian kerjasama ekonomi dengan negara-negara
anggota ASEAN, dan lain-lain.59 Selain itu, hampir seluruh BIT Indonesia juga
dilahirkan pada saat Undang-Undang Penanaman Modal Asing berlaku sampai dengan
lahirnya rezim baru Undang-Undang Penanaman Modal yang menggantikan Undang-
Undang Penanaman Modal Asing.
Indonesia sebagai negara yang aktif mengikuti perjanjian investasi
internasional, saat ini memiliki 65 BIT, yang 20 diantaranya masih berlaku. Adapun
sisanya terdapat 20 perjanjian yang belum diratifikasi baik oleh Indonesia maupun
negara mitra, dan 25 perjanjian telah diterminasi60. Selain BIT, secara bilateral
Indonesia memiliki perjanjian kemitraan ekonomi (Economic Partnership Agreement)
dengan Jepang. Dalam lingkup regional, Indonesia merupakan pihak di dalam ASEAN
Agreement, yaitu perjanjian antara ASEAN dengan negara mitra seperti ASEAN-
Korea, ASEAN-Australia-New Zealand (AANZ), ASEAN-China, dan ASEAN
Comprehensive Investment Agreement (ACIA). Saat ini Indonesia juga sedang aktif
59 Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, (Jakarta: Trimitra Mandiri, 1999) hal.
148 60 Meskipun telah diterminasi, BIT memiliki survival/sunset clause yang biasanya berlaku antara 10-20
tahun. Dengan adanya clause ini, maka investor yang sudah ada pada saat terminasi dilakukan tetap
dapat mengambil benefit dari BIT tersebut selama periode survival/sunset clause.
27
melakukan perundingan CEPA dengan banyak negara. Sebut saja Regional
Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Indonesia-Korea CEPA, Indonesia-
Australia CEPA, Indonesia-Uni Eropa CEPA, Indonesia- EFTA CEPA. Dalam lingkup
multilateral, Indonesia juga anggota dari Agreement on Promotion, Protection and
Guarantee of Investment amongst the Member States of the Organization of the Islamic
Conference (OIC).
Saat ini Indonesia juga merupakan anggota dari Multilateral Investment
Guarantee Agency (MIGA). Tujuan dari konvensi MIGA adalah untuk memberikan
jaminan non-commercial risk berkenaan dengan penanaman modal di dalam suatu
negara anggota yang datangnya dari negara anggota lainnya.61 MIGA memberikan
perlindungan kepada investor terhadap resiko larangan transfer, ekspropriasi, perang,
terorisme, gangguan sipil, pelanggaran kontrak, dan ketidakpatuhan atas kewajiban
finansial.62 Layanan yang diberikan MIGA adalah asuransi investasi, bantuan teknis,
dan saran kebijakan. Dalam menentukan untuk memberikan invesment guarantee,
insurer akan melihat apakah sudah ada BIT antara negara tuan rumah dan negara asal
investor. Sebagai contoh, MIGA’s operational regulation mengatur bahwa dalam
menilai kondisi-kondisi investasi, investasi dianggap sudah memiliki perlindungan
hukum yang memadai jika sudah memiliki BIT.63
61 Yulianto Achmad, Peran Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) Dalam Kegiatan
Investasi (Jurnal Hukum Bisnis, 2003) hal. 41 62 https://www.miga.org/investment-guarantees, akses 6 Juni 2017 63 Andrew Newcombe dan Lluis Paradell, Law and Practice of Investment Treaties (Belanda: Kluwer
Law International, 2009) hal. 255
28
Secara umum muatan pasal perjanjian investasi internasional terbagi dua, yaitu
substantive obligation (kewajiban substantif) yang mengatur tentang kewajiban dan
hak negara tuan rumah dan investor, seperti most favoured nation, national treatment,
repatriation, dan fair and equitable treatment. Muatan selanjutnya adalah procedures
(prosedural), yaitu provisi atau pasal yang mengatur tentang jaminan akses
penyelesaian sengketa, seperti penyelesaian sengketa antara negara dan negara (state
to state dispute settlement) dan penyelesaian sengketa antara investor dan negara
(investor-state dispute settlement).64
Salah satu kewajiban substantif yang paling menjadi perhatian utama di dalam
perjanjian investasi internasional adalah pasal mengenai Fair and Equitable Treatment
(FET). Klausula FET digunakan pada perjanjian perjanjian internasional bidang
ekonomi di masa awal seperti Havana Charter for an International Trade Organization
tahun 1948, economic agreement of Bogota tahun 1948, dan Friendship Commerce
and Navigation (FCN) Amerika Serikat. Penggunaan pertama kali klausula FET dalam
konteks perjanjian investasi internasional dapat dilihat dari pasal 1 Draft Convention
on Investment Abroad yang diusulkan oleh Hermann Abs dan Lord Shawcross pada
tahun 1959:65
“Each Party shall at all times ensure fair and equitable treatment to the
property of the nationals of the other Parties. Such property shall be accorded
the most constant protection and security within the territories of the other
Parties and the management, use and enjoyment thereof shall not in any way
be impaired by unreasonable or discriminatory measures”
64 UNCTAD, International Investment Agreement Negotiators Handbook: APEC/UNCTAD Modules
(Geneva: 2012) 65 UNCTAD, Fair...., op.cit., hal. 7.
29
Inisiatif tersebut dilanjutkan oleh Organisation for Economic Cooperation and
Development (OECD) Yang melahirkan Draft Convention on the Protection of Foreign
Property yang lebih dikenal dengan Draft OECD Convention yang mengatur klausula
fair and equitable treatment.66 Penting untuk dicatat bahwa Draft OECD Convention
digunakan oleh sebagian besar negara anggota OECD sebagai basis mereka dalam
melakukan negosiasi perjanjian investasi internasional. Dengan merujuk kepada model
OECD dan menggunakannya secara sistematik, mereka juga merujuk kepada standar
fair and equitable treatment sebagaimana didefinisikan pada Draft Convention of
1967.67
World Bank Guidelines on Treatment of Foreign Direct Investment mengatur
pada Pasal 3 ayat (2) bahwa: each State will extend to investments established in its
territory by nationals of any other State fair and equitable treatment according to the
standards recommended in the Guidelines.” Multilateral Investment Guarantee
Agreement (MIGA) juga mensyaratkan “the agency to be satisfied that the host state
provides fair and equitable treatment to investments before guaranteeing the
investment”.68
Draft for a United Nations Code of Conduct on Transnational Corporations in
its 1983 version menyatakan bahwa perusahaan transnasional harus mendapatkan
66 Pasal 1 Draft Convention of 1967 mengatur: “Each Party shall at all times ensures fair and equitable
treatment to the property of the nationals of the other Parties…” 67 Ibid., hal. 5 68 Mahnaz Malik, Fair and Equitable Treatment (Canada: IISD, 2009) hal. 2
30
perlakuan fair and equitable and non-discriminatory. Di tingkat bilateral, perjanjian-
perjanjia FCN pada tahun 1950-1960 juga mengatur perlakuan yang “fair” dan
“equitable”69
Berdasarkan pengertian sederhana, FET adalah tuntutan atas sikap tata kelola
yang didasarkan pada peraturan yang adil yang diterapkan dengan tujuan memberikan
keadilan bagi semua pihak yang berkepentingan yang mungkin akan terkena dampak
dari keputusan negara.70 Namun demikian pengertian yang tepat mengenai aturan dasar
FET ini masih belum ada. Aturan dasar ini masih ditafsirkan macam-macam.
Umumnya pengertian yang diterima adalah persyaratan untuk tidak memperlakukan
diskriminatif dan memberikan perlindungan dan keamanan hukum yang penuh atau
perlakuan yang tidak kurang sebagaimana disyaratkan oleh hukum internasional.71
Fairness dan equity adalah prinsip dasar di hampir seluruh sistem hukum di
dunia. Negara mustahil ingin dianggap gagal memperlakukan investor asing dengan
fair and equitable, khususnya jika tujuan mereka adalah untuk menarik modal asing.
Namun demikian, peningkatan pesat gugatan investor terhadap negara melalui
arbitrase atas pelanggaran perjanjian investasi internasional menunjukkan
kompleksitas di belakang frase yang kelihatannya sederhana tersebut. Di dalam
investor-state arbitration, negara tergugat telah menyadari bahwa bahasa atau kalimat
yang minimalis yang sering digunakan dalam provisi FET di dalam perjanjian investasi
69 Ibid 70 UNCTAD, Fair...., op.cit., hal. 7. 71 Huala Adolf, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal (Bandung: Keni Media, 2015)
hal. 44
31
internasional dapat menimbulkan beban kewajiban yang luas dan standar perlindungan
yang tinggi bagi investor.72
Sebagai salah satu elemen kewajiban substantif di perjanjian investasi, FET
merupakan bagian dari jaminan perlindungan hukum terhadap investor asing. Namun
demikian, FET juga menimbulkan juga risiko dan ketidakpastian hukum. Pertama,
berkaitan dengan luasnya wording FET di dalam pasal perjanjian yang mengakibatkan
ketidakjelasan ruang lingkup FET. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan
ketidakpastian dan ketidakleluasaan bagi Pemerintah dalam bertindak, karena tidak
jelas batasan tindakan yang dianggap melanggar perjanjian komitmen FET.
Selanjutnya banyak tribunal yang menafsirkan substansi FET dengan luas
sehingga mencakup juga berbagai persyaratan khusus seperti kewajiban negara untuk
bertindak konsisten, transparan, masuk akal, tidak ambigu, tidak sewenang-wenang
atau diskriminatif, bertindak adil, menjamin proses yang benar dalam pengambilan
keputusan, dan menghormati ekspektasi yang sah (legitimate expectation) investor.
Daftar panjang ini dapat memberatkan negara, khususnya bagi negara berkembang atau
negara kurang berkembang.73
Kedua, mengenai cara menentukan appropriate threshold of liability (ambang
batas yang pantas atas tanggung jawab), yaitu seberapa berat dan nyata tindakan dari
suatu negara untuk dianggap inkonsisten terhadap FET. Isu ini berkaitan dengan
sumber hukum apa yang akan dijadikan patokan oleh FET, yaitu hukum internasional
72 Mahnaz Malik, op.cit., hal. 1 73 UNCTAD, Fair...,op.cit., hal.1
32
atau hukum kebiasaan internasional sebagai standar FET, atau FET dijadikan sebagai
standar independen.74
Ketiga, Ruang lingkup FET yang luas melahirkan tren investor asing
menggunakan FET dalam setiap gugatan terhadap negara tuan rumah untuk
melengkapi gugatan utamanya. Jika Pemerintah digugat ke arbitrase internasional
maka Pemerintah harus menyiapkan sumber dana yang sangat besar mengingat sangat
tingginya biaya beracara di arbitrase internasional.
Keempat, penerapan FET membawa kepada pemikiran akan pentingnya
keseimbangan antara perlindungan investor asing dan tujuan kebijakan negara,
khususnya dalam hal kewenangannya mengatur kepentingan publik.75 Meski disadari
bahwa perjanjian internasional sedikit banyak mengurangi kedaulatan negara, namun
bukan berarti pada setiap perjanjian internasional negara harus menggadaikan harga
diri dan kedaulatannya. Harus ada prinsip kehati-hatian dan analisa untung rugi yang
baik terhadap materi perjanjian secara umum maupun secara detail per setiap pasal di
dalamnya, sehingga negara tetap memiliki cukup fleksibilitas dalam mengatur (right of
the host state to regulate).
Perjanjian internasional di bidang investasi harus dibuat dengan tetap
memperhatikan kepentingan nasional. Undang-Undang Penanaman Modal dalam hal
ini menjelaskan bahwa dalam rangka menghadapi perubahan perekonomian global dan
keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim
74 Ibid. 75 UNCTAD, Fair...,op.cit., hal.1
33
penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan,
dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional.
Pasal 4 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional76
(Undang-Undang Perjanjian Internasional) menyatakan dalam pembuatan perjanjian
internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional
dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan
memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Kepentingan nasional yang dimaksud Undang-Undang Perjanjian Internasional
berdasarkan penjelasan Pasal 18 adalah kepentingan umum (public interest),
perlindungan subjek hukum Republik Indonesia, dan yurisdiksi kedaulatan Republik
Indonesia. Dengan demikian, maka suatu perjanjian internasional di bidang investasi
harus dapat memberikan kepastian hukum yang lebih baik kepada investor asing, dan
tetap harus menjaga kedaulatan atau keleluasaan Pemerintah dalam menjalankan
fungsinya.
Dalam upaya melindungi kepentingan nasional, beberapa negara telah
melakukan peninjauan kembali (review) atas seluruh perjanjian investasi
internasionalnya, dan kebijakan-kebijakan pemerintahannya yang terkait dengan
perjanjian investasi internasional. Indonesia adalah salah satu negara yang
76 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185
34
melakukannya. Beberapa alasan Indonesia melakukan peninjauan kembali adalah
sebagai berikut:77
1. Peninjauan kembali dilakukan untuk mencari keseimbangan antara
perlindungan investor dan kedaulatan nasional.78
2. Sebagian besar provisi pada perjanjian investasi internasional saat ini sudah
ketinggalan zaman dan memberikan proteksi yang luas kepada investor asing,
dan memberikan negara tuan rumah sedikit ruang kebijakan untuk
melaksanakan tujuan pembangunannya sendiri. Indonesia juga percaya bahwa
rezim perjanjian investasi internasional saat ini tidak memberikan ruang yang
cukup untuk pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, modernisasi umum
diperlukan terhadap perjanjian saat ini untuk menjaga hak negara untuk
mengatur dan ruang kebijakan.
3. Salah satu perhatian utama Pemerintah Indonesia adalah terkait provisi pasal
Investor-State Dispute Settlement (ISDS) yang meningkatkan peluang
Indonesia digugat pada arbitrase internasional. Bagi Indonesia, pasal ISDS
merupakan masalah problematik, membuat ketidakseimbangan dan
manfaatnya tidak cukup jelas. Indonesia saat ini sudah mengalami enam kali
gugatan ISDS, paling tinggi dari negara-negara ASEAN.
77 Abdulkadir Jailani, Indonesia’s Perspective on Review of International Investment Agreements (South
Centre, 2015) hal. 1-2 78 Menteri Luar Negeri Indonesia menyampaikan hal ini pada Regional Interactive Meeting on the
Development of Investment Treaty Model. Lihat http://www.iisd.org/pdf/2015/investment-treaty-
models-jakarta-report-2015.pdf akses 4 Juni 2017
35
4. Provisi ISDS sangat berpotensi mengesampingkan hukum nasional. Lebih dari
itu, putusan arbitrase internasional dapat membatalkan putusan pengadilan
domestik. Kedua pertimbangan tersebut saat ini cukup beralasan mengingat
rezim perjanjian investasi internasional saat ini terkadang muncul sebagai
superior dibanding hukum nasional.
5. Peninjauan kembali BIT juga diperlukan mengingat banyak dari BIT Indonesia
yang tidak jelas tujuannya, mengingat tidak ada atau sedikit sekali realisasi
investasi dari negara mitra perjanjian. Selain itu terjadi juga tumpang tindih
perlindungan melalui beberapa perjanjian sekaligus. Contohnya adalah
Australia, dimana Indonesia dan Australia telah memiliki BIT disamping
Indonesia juga sebagai pihak dalam ASEAN-Australia-New Zealand FTA.
Bahkan saat ini pun Indonesia sedang menegosiasikan Indonesia-Australia
CEPA dan RCEP.79
Proses peninjauan kembali perjanjian investasi internasional yang dilakukan
Pemerintah Indonesia secara garis besar terbagi atas dua kegiatan. Pertama, melakukan
terminasi atau diskontinu atas seluruh BIT yang telah habis masa berlakunya.
Termasuk dalam kegiatan ini adalah tidak menerima seluruh proposal perjanjian dari
negara mitra, dan penundaan perundingan BIT yang sedang berlangsung. Kedua,
membuat new treaty model, yaitu BIT model sebagai posisi dasar yang digunakan
79 Koran Kompas 23 November 2016
36
dalam setiap perundingan. Sayangnya, program pembuatan BIT model ini gagal
diwujudkan dalam proses peninjauan kembali Pemerintah Indonesia.
Beberapa negara baik negara maju maupun negara berkembang telah
melakukan hal ini, antara lain Amerika Serikat, Canada, Afrika Selatan, dan India.
Afrika Selatan melakukan peninjauan kembali BIT selama 3 tahun dan selesai pada
tahun 2010. Kabinet Afrika Selatan menganggap bahwa adanya ambiguitas hubungan
antara BIT dan FDI. Selain itu, BIT juga dianggap memberikan risiko dan pembatasan
bagi Pemerintah dalam mencapai agenda konstitusinya. Cabinet memutuskan untuk
menghindarkan diri dari BIT di masa mendatang, kecuali ada keadaan ekonomi atau
politik yang memaksa. Cabinet juga memutuskan untuk meninjau kembali seluruh BIT
yang sudah ada dengan tujuan menterminasi atau merenegosiasikannya.80
Pada tahun 1990an Brazil menandatangani 14 BIT dengan negara mitra.
Namun tekanan politik yang kuat dari kongres, peradilan, dan eksekutif menghalangi
Pemerintah untuk meratifikasi seluruh BIT nya. Brazil kemudian dikenal sebagai ‘one
of the few top economies without BITs or an investment agreement model’.81 Namun
seiring berjalannya waktu, Brazil mencoba menciptakan formula atau format perjanjian
investasi baru yang sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Brazil akhirnya
menciptakan treaty model baru dengan nama Agreement on Cooperation and
Facilitation of Investments. Perjanjian ini berfokus pada fasilitasi investasi dan
80 Mahnaz Malik, Managing Bilateral Investment Treaties, disampaikan pada BKPM Focus Discussion
(Jakarta: 2013) 81 https://www.iisd.org/itn/2015/08/04/the-brazilian-agreement-on-cooperation-and-facilitation-of-
investments-acfi-a-new-formula-for-international-investment-agreements/ akses 24 Juni 2017
37
pencegahan sengketa melalui pembentukan ombudsman dan joint committee. Melalui
format perjanjian baru ini, Brazil telah membuat tujuh perjanjian yaitu dengan Angola,
Chile, Kolombia, Malawi, Meksiko, Mozambik, dan Peru82
Berdasarkan uraian di atas, penelitian terkait implikasi penerapan FET di
Indonesia menjadi penting dilakukan paling tidak karena beberapa alasan berikut:
1. Sengketa investasi pada arbitrase internasional dapat berasal dari tiga sumber, yaitu
hukum nasional, investment contract, dan perjanjian investasi internasional. Dari
ketiga sumber tersebut, yang paling sering diajukan ke arbitrase adalah perjanjian
investasi internasional. Di dalam perjanjian investasi internasional itu sendiri, pasal
atau kewajiban substantif yang paling sering dijadikan dasar gugatan adalah pasal
FET. Selanjutnya, mayoritas gugatan yang dimenangkan investor pada arbitrase
internasional adalah gugatan atas dasar pelanggaran FET.83
2. Indonesia saat ini memiliki banyak perjanjian investasi internasional dengan negara
mitra. Kewajiban substantif pada perjanjian investasi internasional hampir
seluruhnya merupakan kewajiban bagi Pemerintah, yang pada akhirnya sedikit
banyak pasti berpengaruh pada kedaulatan negara. Sayangnya hingga kini di
Indonesia hampir tidak ada literatur atau penelitian yang spesifik menganalisis
elemen-elemen dan untung rugi pasal-pasal di dalam perjanjian investasi
internasional. Hal ini membawa risiko negara memperjanjikan atau mengikatkan
82 https://www.iisd.org/itn/2016/12/12/brazil-and-india-initial-bilateral-investment-treaty-bit-text-yet-
to-be-published/ akses 24 Juni 2017 83 Rudolf Dozer and Christoph Scrheuer, op.cit., hal. 119
38
diri pada suatu kewajiban yang belum dipahami makna dan substansinya. Padahal
perjanjian internasional dapat mengikat negara hingga puluhan tahun. Bahkan jika
diterminasi pun masih ada survival/sunset clause yang berlaku sekitar 10-15 tahun.
Bahkan ada beberapa BIT Indonesia yang memiliki survival clause selama 20
tahun.84
3. Penelitian mengenai ruang lingkup keberlakuan FET sangat penting dilakukan,
terutama mengingat dari 65 perjanjian investasi internasional yang dimiliki
Indonesia, FET dikomitmenkan dengan formulasi yang berbeda-beda, sehingga
implikasi dan konsekuensi hukumnya juga akan berbeda. Selanjutnya seluruh
perjanjian tersebut juga memiliki provisi Most Favoured Nation (MFN), dimana
negara tidak boleh memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan daripada
perlakuan yang diberikan kepada negara lain (non party). Dengan demikian maka
investor negara mitra perjanjian Indonesia dapat menuntut komitmen FET dari
perjanjian antara Indonesia dengan negara mitra perjanjian lainnya yang dianggap
paling menguntungkan melalui skema MFN.
4. FET adalah baseline perlindungan investasi. FET dapat dianggap sebagai standar
perlakuan yang paling penting di dalam perjanjian dan diatur di sebagian besar
perjanjian investasi internasional.85 Sebagai pasal yang paling penting di dalam
84 Beberapa BIT Indonesia memiliki survival clause selama 20 tahun, yaitu BIT Indonesia dengan
Jerman, Inggris, dan Arab Saudi. Survival clause adalah ketentuan dimana existing investor pada saat
terminasi dilakukan masih dapat mengambil benefit dari BIT sepanjang waktu yang telah ditentukan
dalam perjanjian. 85 Andrew Newcombe dan Lluis Paradell, op.cit., hal. 255
39
perjanjian, FET bersinggungan dengan hampir seluruh pasal proteksi. Sebagai
contoh, NT, MFN, dan FET adalah kewajiban terkait perlakuan yang memiliki
karakteristik berbeda dimana NT dan MFN adalah relative standard dan FET
adalah absolute standard. Namun demikian, salah satu bagian dari FET adalah non
diskriminasi, yang mana merupakan elemen dasar NT dan MFN. Sifat FET yang
terkesan “satu pasal untuk semua” semakin kental dengan kenyataan bahwa banyak
BIT yang mengatur FET pada article Promotion and Protection, sehingga
memunculkan kesan bahwa “Protection itu adalah FET”.
5. Tingkat atau proporsi yang tepat dalam memberikan proteksi merupakan hal yang
sangat penting, mengingat proteksi adalah bagian dari insentif bagi investor asing.
Negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia sebagai pesaing dalam menarik
investasi asing secara aktif mengikatkan dirinya melalui perjanjian investasi
internasional di level bilateral maupun regional atau multilateral. Untuk itu perlu
dilakukan penelitian untuk menentukan tingkat komitmen FET yang akan
diberikan negara di dalam perjanjian investasi internasional. Selanjutnya
mengingat Indonesia saat ini tidak hanya sebagai negara pengimpor modal namun
juga sebagai negara pengekspor modal86, maka pengaturan FET di dalam perjanjian
juga harus disesuaikan. Untuk itu paling tidak harus ada dua bentuk formulasi FET
86 Salah satu arah kebijakan Pemerintah Indonesia di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJMN) 2015-2019 adalah pengembangan investasi keluar (outward investment). Data outward
investment Indonesia dapat dilihat di http://www.bkpm.go.id/en/outward-investment/what-is-outward-
investment, akses 9 Juni 2017. Sayangnya Pemerintah belum memiliki sistem pendataan investor
Indonesia di luar negeri, sehingga Pemerintah belum mampu secara maksimal memfasilitasi investornya
di luar negeri. Padahal, hal tersebut merupakan kewajiban Pemerintah berdasarkan Pasal 28 Undang-
Undang Penanaman Modal. Lihat Koran Investor Daily tanggal 7 Januari 2017.
40
yang disiapkan Pemerintah dalam perundingan perjanjian investasi internasional,
yaitu posisi dimana Indonesia sebagai negara pengekspor modal, dan posisi dimana
Indonesia sebagai negara pengimpor modal.
Tingkat komitmen yang tepat juga penting mengingat bahwa masih menjadi tanda
tanya mengenai dampak langsung dari perjanjian investasi terhadap arus masuk
investasi asing. sebagian ahli mengatakan dampaknya ada walaupun sedikit,
sebagian lainnya mengatakan terdapat dampak positif. Harus disadari bahwa
kepastian hukum di negara tuan rumah merupakan satu faktor yang mempengaruhi
keputusan investasi, dan yang menjadi parameter utama bukanlah hukum, namun
pertimbangan ekonomi. Di sisi lain, globalisasi telah memberikan informasi real
time yang akurat tentang masalah hukum dan ekonomi di seluruh dunia, dan
kurangnya stabilitas hukum di negara tertentu dapat mencegah keputusan positif
dari investor. Persepsi dari tingkat stabilitas hukum untuk suatu proyek dan untuk
iklim investasi di suatu negara secara umum merupakan satu dari beberapa faktor
dalam memutuskan untuk berinvestasi namun tidak dengan sendirinya menjadi
insentif yang menentukan untuk calon investor asing.87
6. Penelitian ini penting dilakukan dalam rangka melakukan reformasi regulasi
(regulatory reform). Sebagaimana diketahui bahwa perjanjian internasional tidak
hanya berfungsi sebagai pengatur hak dan kewajiban para pihak, namun juga dapat
memaksa negara tuan rumah untuk memperbaiki regulasinya menjadi lebih
87 Rudolf Dozer and Christoph Scrheuer, op.cit., hal. 119
41
transparan, stable, predictable, dan sesuai dengan prinsip good governance. Oleh
karena penelitian ini meneliti dampak dan kesesuaian antara peraturan perundang-
undangan nasional dengan perjanjian investasi internasional khususnya provisi
FET, sehingga akan didapat gambaran mengenai peraturan perundang-undangan
yang harus diperbaiki atau disesuaikan dengan komitmen dan kebiasaan
internasional.
7. Indonesia sebelumnya telah dua kali diputus bersalah melanggar komitmen fair and
equitable treatment, khususnya mengenai denial of justice. Indonesia dianggap
melanggar denial of justice pada kasus Amco vs Indonesia dan Hesham Al-Warraq
vs Indonesia. Saat ini Indonesia juga sedang menghadapi dua gugatan investor
asing pada forum arbitrase Internasional, yaitu gugatan Churchill and Planet
Mining pada ICSID dan India Metals & Ferro Alloys (IMFA) pada Permanent
Court of Arbitration. Kedua gugatan tersebut bernilai 1,3 miliar USD dan 530 Juta
USD.88 Mengingat kondisi regulasi di Indonesia yang masih belum sepenuhnya
memberikan kepastian hukum, maka penelitian terkait substansi FET penting
dilakukan untuk mengantisipasi gugatan lainnya di masa mendatang.
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan pada perpustakaan Universitas
Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjajaran, Universitas Sumatera
Utara, Universitas Airlangga, dan Universitas Pelita Harapan, diketahui bahwa
88 Pada kasus Churchill and Planet Mining, ICSID sudah mengeluarkan putusan bahwa gugatan tidak
dapat diterima sehingga belum masuk pada pokok perkara. Namun demikian perlu dianalisis secara
materil dan substansi perkara apakah memang ada unsur kelalaian Pemerintah yang merugikan investor.
Selain itu, saat ini Churchill and Planet Mining sedang mengajukan annulment ke ICSID
42
penelitian tentang implikasi dan analisa biaya manfaat perjanjian investasi
internasional, khususnya terkait fair and equitable treatment standard belum pernah
dilakukan secara mendalam pada tingkat disertasi. Beberapa penelitian dilakukan
dengan metode studi kasus FET namun baru pada tingkat tesis.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka penulis
menyusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan penafsiran standar dan ruang lingkup Fair and
Equitable Treatment standard di dalam perjanjian investasi internasional saat ini?
2. Bagaimana implikasi hukum pengaturan Fair and Equitable Treatment standard di
Indonesia?
3. Bagaimana seharusnya Fair and Equitable Treatment Standard diterapkan
seimbang dengan memberikan perlindungan terhadap investor dan tetap menjaga
kewenangan negara dalam mengatur (right of the host state to regulate)?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi, menentukan, dan menganalisis
ruang lingkup dan standar FET.
43
2. Selanjutnya, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis
manfaat dan dampak komitmen FET di dalam perjanjian investasi internasional
terhadap hukum dan kebijakan nasional.
3. Pada akhirnya, penelitian ini akan memberikan jawaban atas bentuk komitmen
FET yang paling efisien bagi Pemerintah dan investor yang diatur di dalam
perjanjian.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan perjanjian investasi
internasional. Bagian-bagian dimana terdapat kekurangan di dalam perjanjian
investasi internasional atau regulasi nasional harus diperbaiki dan disempurnakan.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan pengambil kebijakan
maupun praktisi yang berkaitan dengan pekerjaan atau kegiatan di bidang
perjanjian investasi internasional. Diharapkan akan ada posisi dasar nasional terkait
fair and equitable treatment di dalam perjanjian investasi internasional.
44
1.5 Sistematika Penelitian
Pada penelitian ini, digunakan sistematika sebagai berikut,
Bab I menguraikan latar belakang alasan mengapa investor asing perlu
mendapatkan jaminan perlindungan hukum di negara tuan rumah, dan penjelasan
mengapa perjanjian investasi internasional menjadi isu penting bagi investor asing dan
tuan rumah. Bab ini selanjutnya berisikan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab II membahas kerangka teoritis dan konseptual, yaitu teori-teori hukum
yang akan digunakan sebagai dasar analisis penelitian. Bab ini membahas teori cita
hukum yang meliputi kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. selanjutnya
dibahas juga teori analisa ekonomi dalam hukum khususnya dengan metode analisa
biaya manfaat, dan teori tentang kedaulatan.
Bab III membahas mengenai metodologi penelitian, yaitu mengenai
pendekatan-pendekatan yang digunakan, teknik pengumpulan dan analisis data, serta
sistematika penelitian.
Bab IV membahas mengenai perkembangan penafsiran terkait ruang lingkup
FET yang didasarkan pada putusan-putusan arbitrase internasional, dan pendapat para
ahli. Selanjutnya dilakukan analisis mengenai perbandingan antara manfaat dan risiko
penerapan FET bagi pemerintah Indonesia dalam melaksanakan kewenangannya. Pada
bab ini juga dilalakukan analisis bentuk FET yang paling efisien digunakan di dalam
perjanjian investasi internasional Indonesia.
45
Pada Bab V dirumuskan kesimpulan dan saran atas hasil penelitian. Bab ini
memberikan pilihan kebijakan bagi pemerintah dalam membuat klausula FET di dalam
perundingan perjanjian investasi internasional. Selain itu, diberikan juga saran terkait
penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan nasional agar selalu konsisten
dengan komitmen perjanjian investasi internasional, khususnya provisi FET.