29
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan tradisi lisan yang tersebar di seluruh wilayah geografisnya. Tradisi lisan yang merupakan kekayaan budaya bangsa tersebut adalah pewujudan dari bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang sangat berharga bukan hanya menyimpan nilai-nilai budaya dari suatu masyarakat tradisional, melainkan juga bisa menjadi akar budaya dari masyarakat baru. Hal ini berarti tradisi lisan bisa menjadi sumber bagi suatu penciptaan budaya baru (Esten,1999: 105). Tradisi lisan yang juga merupakan bagian dari sebuah kebudayaan daerah, tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu faktor utama berdirinya kebudayaan yang lebih global, yang biasa disebut dengan kebudayaan nasional. Kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga, memelihara dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan kata lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap suku bangsa. Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruh terhadap budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat berpengaruh pula terhadap kebudayaan daerah atau kebudayaan lokal. Kebudayaan merupakan suatu kekayaan yang sangat bernilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga menjadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah. Upaya pelestarian tradisi lisan sebagai akar budaya nasional perlu dilaksanakan secara berkesinambungan. Fakta menunjukkan bahwa terdapat banyak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

  • Upload
    lethuan

  • View
    238

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki kekayaan tradisi lisan yang tersebar di seluruh wilayah

geografisnya. Tradisi lisan yang merupakan kekayaan budaya bangsa tersebut adalah

pewujudan dari bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang sangat berharga bukan

hanya menyimpan nilai-nilai budaya dari suatu masyarakat tradisional, melainkan

juga bisa menjadi akar budaya dari masyarakat baru. Hal ini berarti tradisi lisan bisa

menjadi sumber bagi suatu penciptaan budaya baru (Esten,1999: 105).

Tradisi lisan yang juga merupakan bagian dari sebuah kebudayaan daerah,

tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu faktor utama berdirinya kebudayaan

yang lebih global, yang biasa disebut dengan kebudayaan nasional. Kebudayaan

merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga, memelihara dan

melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan kata lain

kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap suku

bangsa. Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat

berpengaruh terhadap budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional

yang bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat berpengaruh pula terhadap

kebudayaan daerah atau kebudayaan lokal. Kebudayaan merupakan suatu kekayaan

yang sangat bernilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga menjadi

lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah.

Upaya pelestarian tradisi lisan sebagai akar budaya nasional perlu

dilaksanakan secara berkesinambungan. Fakta menunjukkan bahwa terdapat banyak

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

2

tradisi lisan yang punah karena tidak mendapatkan atensi dari masyarakat

pendukungnya dan terlepas dari upaya pendokumentasian baik secara audio maupun

visual. Hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan di negara maju yang telah

mendokumentasikan budayanya dan diterbitkan dalam bentuk buku sehingga banyak

tradisi lisan yang masih bertahan (Rosidi, 1995:125-126).

Upaya untuk menggali dan mengkaji isi yang terkandung di dalam sastra lisan

sangat diperlukan disamping upaya untuk melestarikan tradisi lisan tersebut. Salah

satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengadakan penelitian dari salah satu

bentuk tradisi lisan yaitu sastra lisan (Tuloli,1990:2).

Vansina (1985: 27-28) mengungkapkan bahwa sastra lisan adalah bagian dari

tradisi lisan berupa tuturan verbal yang memenuhi ciri-ciri dulce et utile sebagaimana

dikemukakan oleh Horatius. Penggunaan bahasa dan struktur pembaitannya indah

(dulce) dan bermanfaat (utile) antara lain sebagai sarana pewarisan nilai, legitimasi

kedudukan sosial politik, ataupun sekedar melipur lara para pendengarnya. Pesan,

cerita, atau kesaksian tersebut disampaikan melalui tuturan atau nyanyian dari satu

generasi ke generasi berikutnya dalam bentuk-bentuk seperti dongeng, puisi, balada,

atau kidung. Melalui cara ini, masyarakat dapat mewariskan sejarah lisan, sastra lisan,

hukum lisan, dan pengetahuan-pengetahuan lisan lainnya tanpa sistem tulisan.

Meskipun sastra lisan merupakan bagian dari tradisi lisan, akan tetapi

penelitian ini akan menggunakan istilah tradisi lisan karena peneliti tidak hanya

mengupas ekspresi kesusastraan dari warga suatu kebudayaan yang tersebar dan

diturunkan secara lisan, tetapi juga mengupas mengenai beragam hal tentang tradisi

pertunjukan, teks sebagai karya sastra, dan audience atau penikmat tradisi lisan.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

3

Penggunaan istilah tradisi lisan juga lebih cenderung diterapkan oleh Pudentia

(2001:1) yang berpendapat bahwa kebijaksanaan yang mengandalkan homogenitas

akan mempersempit kemungkinan bertahannya bahasa-bahasa daerah. Akibatnya,

terjadi kemiskinan pengetahuan mengenai masyarakat itu sendiri sehingga tidak

muncul keinginan untuk memahami lebih jauh tentang masyarakat tersebut. Dengan

kata lain, istilah tradisi lisan akan lebih tepat digunakan sebagai alat untuk melihat

lebih jauh keunikan dalam masyarakat pemilik tradisi itu.

Masyarakat pemilik tradisi yang akan menjadi bahan kajian dalam penelitian

ini adalah sebuah masyarakat adat di Pulau Bali. Bali telah terkenal tidak hanya di

Indonesia tetapi juga di mancanegara akan kekayaan keberagaman tradisi

kebudayaan, panorama alam, dan karya sastra klasik yang dimilikinya. Zoetmulder

(1983:24) menyampaikan dalam bukunya Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang

Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih

tersimpan di berbagai tempat seperti di Perpustakaan Lontar Universitas Udayana,

Museum Bali, Perpustakaan Dwijendra, dan Gedong Kirtya Singaraja, serta di rumah

penduduk seperti di puri dan geria. Bagus (1978:1) menyatakan bahwa dalam

mempelajari sastra klasik, seperti halnya karya sastra Bali, terlebih dahulu perlu

diketahui mengenai pembagiannya baik dari segi isi maupun dari segi bentuknya.

Ditinjau dari segi penyampaiannya, karya sastra Bali klasik dapat dibagi

menjadi dua yaitu sastra tulis dan sastra lisan. Apabila ditinjau dari segi bentuknya,

karya sastra Bali klasik juga dibagi menjadi dua, yaitu gancaran (prosa) dan paletan

(puisi). Gancaran terikat oleh konvensi sastra gancaran, sedangkan paletan terikat

oleh konvensi sastra paletan. Dalam sastra paletan dikenal adanya sastra paletan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

4

tembang, yaitu karya sastra yang mengutamakan tembang atau lagu seperti kidung,

kakawin, dan geguritan (Granoka, 1981: 1-2).

Masyarakat Bali juga dikenal masih mempertahankan dunia tradisional agraris

yang telah berakar paling tidak sejak 4000 tahun lalu, berjiwa Hindu, dengan

beraneka ragam ekspresi budayanya. Ekspresi yang paling nyata dari dunia

tradisional agraris Bali adalah ratusan jenis ritual adat-agama yang masih dijalani

oleh orang Bali, hampir di setiap waktu, dan sering melibatkan seni pertunjukan baik

sakral maupun sekuler (propan atau bersifat hiburan). Dunia tradisi Bali yang berjiwa

Hindu dengan elemen pemujaan alam dan para leluhurnya adalah hasil evolusi dan

akulturasi dari beberapa budaya yang datang ke pulau ini, yaitu nenek moyang dari

Cina Selatan sekitar 4000 tahun yang lalu dan budaya Hindu-Budha baik langsung

dari India maupun melalui Jawa melalui skenario perluasan wilayah kerajaan Hindu-

Budha di Jawa menuju Bali sejak awal abad ke 9.

Sistem dan tatanan kehidupan inti seperti desa adat dengan banjar-nya yang

diikat oleh konsep Tiga Pura, Khayangan Tiga (Puseh, Desa, Dalem) dan Pura

Keluarga (sanggah atau merajan) serta organisasi pertanian bernama subak yang

diperkirakan mulai diterapkan di Bali sejak awal abad ke 11 hingga kini tetap kuat

keberadaannya di kota manapun di Bali. Lembaga tradisional sosial religius seperti

desa adat, banjar dan subak ini dianggap sebagai pilar-pilar penyangga kelestarian

kebudayaan Bali (Pitana, 2002:11). Dunia tradisi ini mengajarkan filsafat

keseimbangan antara kebutuhan jasmani-rohani sebagai sumber kebahagiaan yang

tercapai bila terjadi keseimbangan antara kebutuhan badan, kebutuhan sosial dan

spiritual.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

5

Konsep dasar ajaran Agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Desa Adat

Penglipuran adalah memanusiakan alam dan lingkungan. Didalam pelaksanaannya

dilakukan melalui aktifitas upacara, karena melalui upacara, orang Hindu diharapkan

tidak melupakan lingkungan bahkan harus menyatu dengan lingkungan untuk

mewujudkan kebahagiaan hidup (Gunung, 2004:11). Upacara merupakan bagian dari

tiga kerangka dasar agama Hindu yang bertujuan untuk mencapai kesempurnaan,

kebahagian dan kesejahteraan hidup serta kesucian lahir batin bagi umat Hindu di

Bali. Pelaksanaan upacara biasanya bergandengan dengan Yajña seperti Dewa Yajña,

Pitra Yajña, Rsi Yajña, Manusa Yajña dan Bhuta Yajña. Pada beberapa rangkaian

upacara keagamaan yang digelar di Bali biasanya diiringi oleh alunan nyanyian yang

merupakan salah satu wujud karya sastra klasik asli Bali yang disebut dengan kidung.

Salah satu tradisi yang masih bertahan di Bali sebagai pengejawantahan dari

masyarakat tradisional agraris adalah tradisi upacara sakral Tumpek Pengatag atau

juga disebut sebagai Tumpek Bubuh di masyarakat Desa Adat Penglipuran,

Kecamatan Kubu, Kabupaten Bangli. Upacara sakral Tumpek Pengatag jatuh setiap

210 hari sekali atau 25 hari menjelang hari raya Galungan dalam kalender Saka. Pada

setiap Saniscara Kliwon Wariga (Sabtu Kliwon dalam penanggalan Hindu wuku

Wariga), umat Hindu selalu menghaturkan sesajen kehadapan Sanghyang Sangkara

sebagai dewa dari segala tumbuh-tumbuhan yang juga diberi nama lain upacara

Tumpek Pengarah, Tumpek Penguduh/uduh. Tumpek Bubuh oleh umat Hindu

merupakan cetusan hati manusia yang paling dalam menggambarkan rasa kasih dan

sayangnya kepada tumbuh-tumbuhan. Sebab umat Hindu menyadari bahwa dalam

menjalani hidupnya di dunia ini tidak bisa berdiri sendiri (individu) tetapi selalu

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

6

membutuhkan orang lain sebagai teman untuk mengarungi hidupnya sampai pada

tujuannya yang terakhir, maka itu manusia disebut sebagai makhluk sosial

(Purnomohadi, 1993:25). Manusia selalu membutuhkan orang lain sebagai teman

maka muncullah konsep dalam agama Hindu yang disebut dengan Tri Hita Karana

yang secara leksikal berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera,

Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga

penyebab kesejahteraan yang bersumber pada keharmonisan hubungan antara:

Manusia dengan Tuhannya, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia

dengan sesamanya.

Peringatan hubungan manusia dengan alam lingkungan menyebabkan

timbulnya pemikiran umat Hindu untuk ditetapkan melalui hari raya yang disebut

Tumpek Pengatag atau Tumpek Uduh. Pada upacara Tumpek Penguduh yang dipuja

adalah Sanghyang Siwa sebagai Bhatara Sangkara sebagai penguasa tumbuh-

tumbuhan, yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan berkembang biak, berdaun,

berbunga, dan berbuah lebat sesuai dengan kegunaannya. Pemujaan yang ditujukan

kepada Bhatara Sangkara maka yang dipakai objek dalam upacara adalah tumbuh-

tumbuhan yang paling erat kaitannya dengan manusia yang dipakai dalam kebutuhan

hidup sehari-hari seperti : pohon kelapa, pohon mangga, pohon wani, pohon durian,

pohon jambu dan sebagainya. Pada hari upacara ini mengingatkan kepada manusia

bahwa hari raya Galungan akan datang 25 hari lagi, maka segala persiapan untuk

menyambut dan merayakan hari raya Galungan telah dimulai. Tujuan umat Hindu

menghaturkan upacara pada hari ini adalah untuk menghaturkan rasa terima kasih

kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Bhatara Sangkara,

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

7

bahwa Tuhan telah menciptakan tumbuh-tumbuhan serta memohon agar tumbuh-

tumbuhan itu dapat berkembang biak dengan baik dan berguna bagi manusia.

Sekaligus juga memohon agar tumbuh-tumbuhan berbuah baik dan banyak sehingga

ketika menjelang Galungan dapat dipergunakan sebagai sarana upacara persembahan

di hari raya Galungan. Pada umumnya upacara ini dilakukan di pekarangan atau

perkebunan, tegalan yang banyak dipelihara pepohonan yang berguna bagi kehidupan

manusia.

Pada prosesi upacara Tumpek Pengatag, dilantunkan sebuah kidung sebagai

nyanyian pengiring sepanjang upacara berlangsung. Kidung yang dinyanyikan

disebut sebagai Kidung Dewa Yajña yaitu nyanyian yang dipersembahkan kepada Ida

Sanghyang Widhi dan para dewa yang merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Maha

Esa. Kidung ini juga merupakan sarana komunikasi hubungan antara manusia dengan

Tuhan.

Kidung Dewa Yajña dalam upacara Tumpek Pengatag ini dituturkan dalam

bahasa Jawa Tengahan dan dinyanyikan atau dituturkan oleh para sinden yang

mayoritas telah berusia lanjut. Hingga penelitian ini dilaksanankan, kidung dewa

Yajña yang terdapat di desa adat Penglipuran belum didokumentasikan dalam bentuk

tertulis sehingga muncul kekhawatiran bahwa kidung tersebut akan punah yang

berarti hilangnya salah satu simbol budaya desa. Bahasa Jawa tengahan saat ini sudah

jarang digunakan oleh masyarakat Desa Adat Penglipuran dalam rutinitas sehari-hari

misalnya komunikasi antar warga sehingga berimbas kepada ketidakpahaman

masyarakat yang merupakan umat Hindu pelaksana upacara Tumpek Pengatag

terhadap teks kidung. Masyarakat hanya menjalani ritual upacara sakral tanpa

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

8

memahami teks kidung yang berisi nilai-nilai religius dan amanat dalam menjalani

kehidupan sehari-hari.

Sibarani (2004:44) membedakan fungsi bahasa menjadi dua, yaitu: (1)

pragmatik (practical use), yaitu fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, dan (2) ritual

(magical use), yaitu fungsi bahasa yang bersangkutan dengan kegiatan upacara atau

keagamaan dalam suatu kebudayaan. Dalam hubungannya dengan fungsi yang kedua,

Cassirer (1987:168--169), mengatakan bahwa, bahasa sebagai sebuah kata memiliki

kekuatan magis. Kata-kata bukanlah letupan angin semata, namun juga memiliki daya

magis atau daya-daya misterius. Sebagai sesuatu yang mengandung kekuatan magis,

kata-kata itu tidak bisa diubah, karena berhubungan dengan kualitas magis itu sendiri

(Dhavamony, 1995:58--59).

Rosidi (1995: 126) juga menyatakan bahwa bahasa-bahasa daerah yang

menjadi media pengucapan tradisi lisan itu juga merupakan bagian-bagian dari

kebudayaan daerah tradisional, yaitu bahasa yang paling tepat dapat mengekspresikan

isi kebudayaan daerah yang bersangkutan.

Pembahasan kidung sebagai bagian dari sastra lisan tidak dapat dilepaskan

dari aspek kelisanan yang terjadi. Hal tersebut juga berlaku pada kidung Dewa Yajña

dalam pelaksanaan upacara ritual Tumpek Pengatag di masyarakat Desa adat

Penglipuran yang sudah tentu memiliki kelisanannya sendiri. Guna mengetahui aspek

kelisanan pada kidung Dewa Yajña dalam pelaksanaan upacara ritual Tumpek

Pengatag digunakan teori analisis sastra lisan Albert B Lord. Albert B Lord

mengajukan analisis kelisanan dalam sebuah sastra lisan yang meliputi transmisi,

komposisi, formula, tema, dan pertunjukan (performance).

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

9

1.2 Rumusan Masalah

Kidung Dewa Yajña yang digunakan dalam tradisi upacara sakral masyarakat

Desa adat Penglipuran merupakan sarana komunikasi umat Hindu kepada para

Dewata yang merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa (Sanghyang Widhi).

Kidung Dewa Yajña sebagai sebuah produk kesusastraan lisan memiliki aspek-aspek

kelisanan yang dapat dijadikan pedoman oleh para penuturnya dari satu generasi ke

generasi penerusnya. Menilik kepada hal tersebut, peneliti merumuskan dua buah

pertanyaan penelitian untuk dikaji secara mendalam yaitu:

1. Bagaimana aspek-aspek kelisanan yang meliputi transmisi, komposisi,

formula, tema, dan pertunjukan (performance) yang terdapat dalam kidung

Dewa Yajña?

2. Apa nilai yang terkandung dalam kidung Dewa Yajña pada pelaksanaan ritual

upacara Tumpek Pengatag yang dimiliki oleh masyarakat Desa adat

Penglipuran?

1.3 Objek Penelitian

Terdapat dua objek material dalam penelitian ini yaitu kidung Dewa Yajña

yang terdapat dalam pelaksanaan upacara Sakral Tumpek Pengatag di Desa Adat

Penglipuran, Kecamatan Kubu, Kabupaten Bangli dan pertunjukan upacara Tumpek

Pengatag itu sendiri mengingat peneliti tidak hanya mengkaji aspek kesastraannya

saja tetapi juga perlu mengkaji aspek pertunjukannya karena kidung sebagai sebuah

produk karya sastra tidak bisa terlepas dari tradisi masyarakat pendukung yang

menyertainya.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

10

Objek formal dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan judul dan

permasalahan sebagaimana yang telah dirumuskan, yaitu mengungkapkan aspek-

aspek kelisanan yang ditinjau dari aspek formula, ekspresi formulaik, transmisi, dan

fungsi serta nilai yang terdapat dalam teks kidung Dewa Yajña pada pelaksanaan

upacara ritual Tumpek Pengatag.

1.4 Tujuan penelitian

Peneliti menetapkan dua tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yang

meliputi tujuan teoritis sebagai tujuan pertama disertai dengan tujuan praktis sebagai

tujuan kedua. Tujuan teoritis berupa pengaplikasian konsep-konsep tradisi lisan yang

terdapat dalam upacara Tumpek Pengatag. Pembahasan pada hal ini dapat

dikelompokkan menjadi tiga hal pokok yang meliputi pendeskripsian upacara

Tumpek Pengatag di dalam masyarakat adat dan konvensi kelisanan dari upacara

tersebut, penyajian teks kidung Dewa Yajña disertai dengan analisis aspek kelisanan

dan terjemahannya, serta penyajian fungsi dan nilai-nilai yang terkandung dalam

upacara Tumpek Pengatag di kehidupan masyarakat.

Tujuan praktis dalam penelitian ini adalah mendudukkan kidung Dewa Yajña

sebagai dokumen yang sangat penting sebagai pengiring upacara sakral dalam

perkembangan kesusastraan secara khusus sehingga dengan keberadaannya

diharapkan masyarakat adat masih tetap memberikan apresiasi terhadap tradisi lisan

di desa Adat Penglipuran.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

11

1.5 Tinjauan Pustaka

Sejauh pengamatan peneliti, terdapat beberapa penelitian mengenai tradisi

atau sastra lisan dalam berbagai bentuk seperti kidung, mantra, dan cerita rakyat lisan.

Salah satu penelitian mengenai kidung antara lain berjudul Variasi Bahasa dalam

Kidung Pasamuwan Kristen (Wulandari,2012). Penelitian tersebut berusaha

membongkar beberapa variasi bahasa yang digunakan dalam kidung Pasamuwan

Kristen yang meliputi variasi dalam bahasa Jawa Ngoko, Jawa Krama, dan Jawa

Kuno. Wulandari disamping menganalisis variasi bahasa yang terdapat dalam kidung

juga mengkaji fungsi beserta variasi morfologis yang terdapat di dalamnya. Secara

lebih mengerucut, Wulandari memfokuskan kajiannya dalam proses afiksasi kata

dalam kajian morfologisnya.

Kidung Madya Muter (Wirayuda, 2011) mengemukakan mengenai lambang,

bentuk, dan struktur kidung Madya Muter yang berkembang dalam masyarakat Bali.

Penelitian tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk mengungkap lambang, bentuk

dan struktur kidung yang pada akhirnya peneliti akan mendapatkan titik terang

mengenai makna dari setiap simbol yang terdapat di dalam kidung yang akan

membawa pembaca lebih memahami ajaran yang terdapat di dalamnya serta dari hasil

analisis tersebut dapat diungkap pula mengenai cara pembacaan terhadap kidung

Madya Muter.

Penelitian yang berjudul MaI’o dalam Tradisi Sasadu Masyarakat Sahu

Telaah Pendekatan Puitika Sastra Lisan (Djumati, 2011) menitikberatkan kepada

pengungkapan puitika sastra lisan Ma I’o yang dilihat dari tukang cerita Ma I’o,

pertunjukan, masyarakat, dan teksnya. Djumati mengungkapkan bahwa pertunjukan

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

12

Ma I’o dibawakan oleh tukang Ma I’o, pemain musik, dan para penari Salai.

Penelitian ini menyatakan bahwa sebuah tradisi Sasadu yang ditampilkan pada saat

upacara panen merupakan hasil dari konvensi para tukang cerita terdahulu dengan

komposisi teks yang tidak baku mengingat ditemukan terdapat banyak variasi teks

Ma I’o.

Kidung Tantri Pisacarana: Suntingan teks, Terjemahan, dan Pendekatan

Semiotik (Nyoman, 2007) membahas empat permasalahan pokok yang meliputi

transformasi teks Tantri Kamandaka Jawa Kuna ke dalam pernaskahan Bali, sastra

kidung dalam tradisi Bali, suntingan dan terjemahan teks Kidung Tantri Pisacarana,

serta Kidung Tantri Pisacarana dilihat sebagai sistem tanda dalam proses komunikasi

dan signifikansi pengarang dan pembaca. Melalui penelitian ini Nyoman menyatakan

bahwa kidung dalam tradisi Bali dipahami sebagai sekar dan merupakan sarana

persembahan, ibadat keindahan, serta bagian integral dalam upacara keagamaan di

Bali.

1.6 Landasan Teori

Penelitian ini akan mengunakan teori yang dapat mengupas masalah di atas

secara mendalam. Untuk itu digunakan teori tentang sastra tradisional yang

dikemukakan oleh Lord. Lord menyatakan dalam bukunya The Singer of Tales

(1981) bahwa terdapat tiga hal pokok yang berhubungan dengan kelisanan yaitu

komposisi, formula, dan performance. Konsep fungsi dalam tradisi lisan sebagaimana

yang dikemukakan oleh Teeuw digunakan untuk membedah fungsi dan nilai yang

terkandung dalam kidung dan ritual Tumpek Pengatag.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

13

1.6.1 Formula

Menurut Lord dalam bukunya The Singer of Tales (1981:30 dan 43), formula

adalah kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang

sama untuk mengungkapkan suatu ide yang esensial atau pokok. Formula itu muncul

berkali-kali dalam cerita, yang mungkin berupa kata, frasa, klausa, atau larik. Untuk

menghasilkan perulangan itu, ada dua cara yang ditempuh oleh pencerita, yaitu

mengingat perulangan dan menciptakan melalui analogi dengan perulangan kata,

frasa, klausa, dan larik yang telah ada.

Lord (1981:34) menyatakan bahwa penyair-penyair itu tidak menghafalkan

puisinya lewat naskah atau tulisan. Setiap penyair tradisional membawakan ceritanya

dengan menciptakan kembali secara spontan dan memakai sejumlah unsur bahasa

(kata, kata majemuk, frasa) yang tersedia baginya (stock-in-trade) yang siap pakai.

Unsur-unsur yang dipakai memperlihatkan bentuk yang identik atau variasi sesuai

dengan tuntutan tata bahasa, matra, dan irama puisi yang dipakai.

Dalam setiap pertunjukan tidak ada bentuk penciptaan yang spontan seratus

persen, tetapi pencerita memakai sejumlah formula yang merupakan stereotipe yang

siap pakai dengan kemungkinan variasi menurut tata bahasa. Persediaan formula

disebut stock-in-trade si penyair, pencerita, atau tukang pidato. Setiap kali seorang

tukang cerita atau pembawa puisi naratif lisan berpentas, dia mengucapkan kembali

secara baru dan spontan gubahannya. Hal itu terbukti bahwa jarang terdapat

penghafalan dan tidak ada dua pementasan yang sama, bahkan seorang pencerita

yang sama, yang identik penampilannya (Teeuw, 1988:298). Pencerita mempunyai

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

14

kebebasan memilih dan memasangkan formula itu pada saat pertunjukan. Teknik

formula dikembangkan untuk melayani dirinya sebagai seorang ahli seniman (Lord,

1981:54)

Konsep kelisanan tidak hanya dimaknai secara presentasi lisan, tetapi juga

dimaknai sebagai komposisi selama terjadinya penampilan secara lisan. Upaya untuk

mempelajari, menyusun, dan menampilkan suatu karya secara lisan merupakan

bentuk rangkaian kelisanan yang dimaknai sebagai kelisanan dalam arti teknis atau

harfiah (Lord, 1981:5). Penganalisisan terhadap teks harus dimulai dengan

pengamatan yang cermat terhadap frase-frase yang mengalami perulangan. Hal ini

dilakukan untuk menentukan formula dengan berbagai variasi polanya (Lord,

1981:45).

Dengan pola formula sebagai dasar, pencerita dapat menyusun larik-larik

dengan rapi dan cepat pada posisi tertentu. Dalam penyusunan baris dengan pola

formula itu terjadi proses penggantian, kombinasi, pembentukan model, dan

penambahan kata-kata atau ungkapan baru pada pola formula sesuai dengan

kebutuhan penceritaan atau penggubahan. Pencerita dapat membangun larik terus-

menerus, sesuai dengan keinginan dan kreatifitasnya. Ekspresi formulaik dapat juga

membantu terbentuknya wacana ritmis sehingga merupakan salah satu alat bantu

untuk mengingat kembali dengan mudah, cepat, dan tepat serta menjadi ungkapan

tetap yang dapat bertahan hidup secara lisan (Lord, 1981:30).

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

15

Sweeney (1999:68) menyebutkan bahwa formula adalah larik atau paruh larik

yang digunakan lebih dari sekali dalam bentuk yang sama, sedangkan ekspresi

formulaik adalah ungkapan yang dibentuk menurut pola irama dan sintaksis yang

sama serta mengandung sekurang-kurangnya satu kata yang sama, baik dalam bentuk

perulangan maupun sinonim. Konsep pola formula dan ekspresi formulaik

sebagaimana yang diungkapkan oleh Lord digunakan dalam menganalisis teks kidung

Dewa Yajña. Isi teks yang ditampilkan dalam kidung juga menyampaikan perihal

tema atau ide. Formula dan ekspresi formulaik bertujuan untuk menceritakan kisah-

kisah dalam nyanyian dan sajak. Formula merupakan alat untuk menuangkan tema

atau ide-ide yang disampaikan kepada audience. Pencerita berpikir dan

mempertimbangkan berdasarkan pola formula untuk menyajikan cerita. Penguasaan

formula dan tema merupakan syarat utama dalam menggubah cerita secara mudah

dan lancar.

1.6.2 Komposisi Sebagai Pengungkap Tema

Lord (1981: 4 dan 68) menyatakan bahwa kelompok-kelompok ide yang

secara reguler digunakan dalam menceritakan kisah merupakan tema-tema cerita.

Tema adalah peristiwa atau adegan yang diulang dan bagian-bagian deskriptif dalam

cerita. Tema adalah kelompok ide yang secara teratur digunakan pada penciptaan

suatu cerita dalam gaya formulaik. Tema disusun dari adegan-adegan yang telah ada

dalam pikiran pencerita dan digunakan untuk merakit cerita itu. Dalam pikiran

pencerita yang telah mapan, tema mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh

sifat lentur formula dan pencerita tidak memakai formula yang sama pada setiap saat

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

16

penceritaan. Tema bukanlah kreasi seni yang sungguh-sungguh statis, melainkan

kreasi seni yang hidup dan berubah sesuai dengan situasi (Lord, 1981:94). Tema

dapat diekspresikan dengan sekumpulan kata-kata. Pencerita tidak pernah

memproduksi tema dengan kata-kata yang persis sama. Ini merupakan suatu

keharusan dan bersifat normal. Tema bukan sekumpulan kata yang tetap, melainkan

merupakan pengelompokan ide-ide (Lord, 1981:61).

Komposisi skematik merupakan skemata atau formula yang digunakan untuk

mengungkapkan ide atau gagasan. Skemata atau formula itu diadaptasikan sesuai

dengan kebutuhan dan penggambaran objek yang diceritakan. Dalam sastra Melayu

tradisional, skemata merupakan hal yang penting, terutama dalam penceritaan

dramatis secara lisan (Sweeney, 1981:40).

Komposisi skematik merupakan cara-cara konvensional dalam

menghubungkan peristiwa-peristiwa dan situasi-situasi cadangan dalam sastra

Melayu tradisional. Penyajian lisan dihasilkan dari pengunaan pola-pola, ide-ide, atau

tema-tema yang merupakan bentuk komposisi skematis. Dalam penceritaan lisan,

seorang performer menggunakan tema-tema yang sama, apapun cerita yang

ditampilkan (Sweeney, 1981:64-65).

Lord juga menyatakan aspek kelisanan berupa komposisi tema atau ide

gagasan, performance, dan transmisi. Menurut Lord, pembuatan komposisi bagi

penyair lisan dilakukan pada saat pencerita melaksanakan performance sehingga

komposisi dan performance merupakan dua hal yang dilakukan pada saat bersamaan.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

17

Performer adalah orang yang memproduksi sastra lisan pada saat performance dan

sekaligus juga sebagai komposer. Penyanyi, performer, komposer, dan penyair adalah

orang dengan aspek yang berbeda, tetapi dalam sastra lisan, semuanya itu dapat

dilakukan oleh satu orang dalam waktu yang bersamaan. Performance adalah saat

berkreasi bagi penyair lisan. Suasana, tempat, dan audience akan mempengaruhi

performance. Audience dapat datang, pergi, dan berbicara dengan sesama penonton

yang lain. Hal ini akan mempengaruhi performance atau mungkin juga performance

dapat terputus sejenak (Lord, 1981:13—17).

Keberadaan kidung Dewa Yajña dalam budaya masyarakat Desa adat

Penglipuran sebagai produk masa lalu terkait erat dengan tendensi kehidupan

kolektifnya. Kidung Dewa Yajña tentu lahir dengan dasar fungsi yang ada di

dalamnya. Fungsi inilah yang membuatnya lahir, berkembang, dan diwariskan kepada

generasi selanjutnya. Hal ini mengacu kepada Fananie (2002:2) yang menyatakan

bahwa karya sastra yang merupakan refleksi kehidupan masyarakat biasanya

mengandung persoalan moral, etika, agama, sosial, budaya, dan tradisi yang terkait

erat dengan masalah kehidupan. Oleh karena itu, memahami sastra berarti memahami

seluruh proses di mana sastra itu merupakan bagiannya (Eagleton, 2007:6).

1.6.3 Pertunjukan (performance) dan Proses Penurunan Kelisanan

Konsep transmisi dapat dikatakan paralel dengan konsep memori dalam

kaitannya sebagai sebuah upaya untuk penurunan tradisi lisan. Memori atau repertoar

memiliki dua buah unsur yaitu unsur aktif dan unsur pasif. Proses penurunan sastra

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

18

lisan diawali dengan pertunjukan (performance). Unsur aktif lebih terfokus pada

proses memori, yang dengan bekal kreativitas memungkinkan seseorang untuk

merekonstruksi atau mereorganisasi terhadap pengetahuan sebelumnya. Sementara

itu, unsur pasif berkaitan dengan penyimpanan memori kata per kata yang berarti

lebih terfokus pada isi memori (Finnegan, 1992: 114-115). Hal ini juga berkaitan

dengan transmisi. Transmisi yang bersifat aktif akan terfokus pada proses transmisi

yang berarti melibatkan kreativitas untuk merekonstruksi kidung yang telah diketahui

sebelumnya. Transmisi yang bersifat pasif akan terfokus pada isi transmisi dengan

cara menyimpannya sesuai dengan apa adanya (kata per kata), sebagimana sesuatu

yang bersifat given. Cara penurunan atau transmisi yang bersifat pasif inilah yang

digunakan pada kidung Dewa Yajña yang berarti kidung tersebut diturunkan dari

seorang guru kepada muridnya dengan menitikberatkan pada isi kidung dengan cara

menghafal kata demi kata. Pada tahap ini performance dilakukan oleh penyair

pertama yang disebut sebagai guru. Proses penurunan sastra lisan berkaitan dengan

komposisi lisan dan transmisi lisan. Tidak dapat dihindari bahwa penyair lisan adalah

orang yang mereproduksi apa yang didengar dan dilihatnya. Namun, penyair lisan

adalah seorang komposer yang tidak hanya menyajikan sebuah tradisi, namun juga

merupakan seniman kreatif pembuat tradisi. Performance atau proses pertunjukan

adalah saat penciptaan sastra lisan itu sendiri. Hal tersebut disebabkan dalam proses

pertunjukan tersebut terdapat bagaimana seorang penyanyi atau penyampai atau

penutur sastra lisan terpengaruh dengan keadaan di sekitar mereka, terutama

penonton (Lord, 1981: 13-14).

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

19

Dua hal yang dimiliki oleh penyair sastra lisan adalah adanya faktor buta

huruf dan keinginan untuk mencapai kemahiran dalam membawakan sastra lisannya.

Buta huruf yang dimaksud dalam konteks ini adalah sastra lisan berkembang dan

lahir ketika masyarakat belum mengenal adanya tulisan. Sastra diturunkan secara

turun temurun dari mulut ke mulut dan tidak diketahui siapa penciptanya. Ketika

masyarakat pendukung sastra lisan tersebut telah mengenal adanya tulisan, mereka

tetap memilih seolah-olah tidak mengenal tulisan, karena sastra lisan yang dibawakan

tidak dituangkan ke dalam bentuk tertulis atau dalam bentuk naskah. Seorang penyair

lisan dalam proses penurunan pertama secara tidak sadar telah mempelajari tema

yang terkandung dalam sastra lisan tersebut melalui apa yang dikatakan oleh pengajar

terdahulu atau guru. Tema puisi lisan tersebut kemudian melekat dengannya dan daya

tarik puisi lisan tersebut dipertajam lagi dengan adanya pembahasan mengenai tema-

tema puisi lisan dengan menggunakan frase-frase yang diulang-ulang yang sering

disebut dengan formula (Lord, 1981: 20-21).

Terdapat dua faktor komposisi oral yang tidak hadir dalam tradisi tulis yaitu,

ketidaktetapan dan faktor waktu. Sebagaimana yang terdapat dalam kutipan berikut:

We must remember that the oral poet has no idea of a fixed model text to serve as his guide. He has models ebough, but they are not fixed and he has no idea of memorizing them in a fixed form. Every time he hears a song sung, it is different. Secondly, there is a factor of time. The literate poet has leisure to compose at any rate he pleases. The oral poet must keep singing. His composition, by its very nature, must be rapid. Individual singers may and do vary in their rate of composition, of course, but it has limits because there is an audience waiting to hear the story.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

20

Kedua faktor tersebut yang mempengaruhi sebuah komposisi oral. Ketidak

tetapan yang dimaksud adalah dalam penyampaian sastra lisan yang dia bawakan,

penyair lisan menyuguhkan sesuatu yang tidak tetap kepada penontonnya. Penyair

lisan menghafalkan sastra lisan yang dia miliki dengan tidak tetap. Hal ini terjadi

bukan karena penyair lisan tidak memiliki pola tertentu dalam proses menghafal,

namun dipengaruhi oleh waktu ketika dia melakukan pertunjukan. Waktu dalam

pertunjukan tersebut cepat atau lambat tergantung kepada audience dan situasi yang

terjadi pada saat pertunjukan dilaksanakan. Penyair lisan melakukan komposisi

dengan cepat ketika dia menemukan audience yang masih menunggu untuk

mendengarkan cerita. Beberapa penyair menyampaikan cerita cukup lambat dengan

jeda yang disisipi musik untuk memikirkan apa yang akan terjadi berikutnya. Penyair

juga memiliki formula yang ditunjukkan kepada penonton yang dapat menunjukkan

waktu. (Lord, 1981:22).

Penyair lisan menggunakan formula, yaitu sebuah sistem frase yang disusun

dalam pola ritmis sebagai alat untuk menyelamatkannya dari proses menghafal yang

tidak tetap dan sebuah proses komposisi yang cepat. Proses komposisi memiliki tiga

tahapan, pertama penyair lisan memilih seseorang untuk dijadikan sebagai panutan

dalam menyampaikan sastra lisan. Panutan tersebut yang disebutnya sebagai guru.

Guru sangat berperan dalam proses ini, karena penyair lisan mempelajari sebuah

bahasa khusus yang tidak didapatkannya dari sekolah. Bahasa inilah yang disebut

dengan bahasa puisi, di mana dia mempelajari bahasa dalam pertunjukan yang

dilakukan oleh gurunya. Proses kedua adalah yang disebut dengan proses imitasi,

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

21

baik dalam mempelajari instrument ataupun formula dan tema yang disampaikan oleh

guru. Proses imitasi sekaligus asimilasi dilakukan melalui pendengaran. Tahap ini

berakhir ketika penyair lisan siap untuk melaksanakan pertunjukannya dengan

menggunakan bahasa dan formula yang dipelajari dari gurunya. Pertunjukan tersebut,

tidak mungkin sama persis dengan pertunjukan yang disuguhkan oleh gurunya, hal ini

terjadi karena penyair tidak bisa menyajikan ornament serta komposisi yang sama

persis dengan sang guru dengan alasan penyair lisan tidak mengenal tulisan atau

dalam kondisi buta huruf. Tahap ketiga penyair lisan tidak pernah berhenti untuk

mengumpulkan, mengkombinasi, dan merenovasi formula. Dengan demikian

komposisi dianggap sebagai sarana untuk memperkaya seni (Lord, 1981: 22-25).

1.6.4 Konsep Fungsi

Konsep fungsi dalam kaitannya dengan seni pertunjukan terdiri atas dua buah

fungsi, yaitu fungsi primer dan fungsi sekunder. Fungsi primer berkaitan dengan seni

pertunjukan yang disajikan untuk dinikmati, sedangkan fungsi sekunder

menempatkan seni pertunjukan bukan sekadar dinikmati, tetapi digunakan juga untuk

kepentingan lain, yakni sebagai pengikat solidaritas kelompok masyarakat, sebagai

media komunikasi massa, sebagai media propaganda politik, sebagai propaganda

program-program pemerintah, dan sebagainya (Soedarsono, 2001:170).

Teeuw berpendapat bahwa fungsi sastra apabila didasarkan pada konsep

Horace, yakni dulce dan utile, indah dan berguna (1984:184). Fungsi karya sastra

disesuaikan dengan sifatnya, yaitu kesenangan yang memberikan kontemplasi dan

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

22

manfaat yang bersifat didaktis. Fungsi sastra dalam masyarakat memiliki tiga fungsi,

yaitu sarana menyampaikan ajaran moral atau agama, untuk kepentingan politik

pemerintah, dan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan (Chamamah-Soeratno,

1994:12).

Tradisi1 lisan yang berfungsi sebagai sarana komunikasi sarat dengan nilai-

nilai yang terdapat di dalam masyarakat. Ia merupakan pembentuk kepribadian,

intelegensi kecerdasan, serta intelegensi emosional yang sangat penting dalam

pengembangan hidup seseorang (Tilaar, 1999:15). Fungsi sastra sebagai sarana

komunikasi menjadi perhatian utama dari masyarakat pecinta sastra Indonesia. Hal

tersebut dikaitkan dengan aspek pragmatis karya sastra, baik pada masyarakat

tradisional maupun masyarakat masa kini. Jadi, dalam hal ini karya sastra

ditempatkan pada konsep bahwa karya sastra hadir dalam rangka fungsi sebagai

sarana komunikasi, yakni untuk menyampaikan informasi (Chamamah-Soeratno,

2001:10).

Pencerita dan cerita dalam tradisi lisan memiliki peran dan fungsi yang sangat

penting. Teeuw (1994:220) mengatakan bahwa di dalam tradisi lisan, tersimpan

informasi dan sistem nilai yang relevan dengan masyarakat yang bersangkutan.

Tradisi lisan mempunyai kegunaan (function) di dalam kehidupan bersama suatu

kolektif (Danandjaja, 2007:4) karena dalam tradisi lisan terdapat fakta-fakta budaya

berupa aspek-aspek yang berkenaan dengan isi yang terkandung di dalamnya serta

1 Tradisi dalam istilah ini dimaksudkan sebagai buah pikiran, kepercayaan, adat-istiadat, pandangan hidup yang diturunkan dari generasi ke generasi (Baroroh-Baried, 1977:89).

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

23

kaidah-kaidah penyelenggaraannya (Sedyawati, 1995:3-7). Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa sastra lisan memiliki fungsi utama sebagai sarana pendidikan,

undang-undang, adat-istiadat, nilai, dan norma yang berlaku yang diteruskan dan

diamankan secara turun temurun oleh pemiliknya (Teeuw, 1994:22-23).

Sastra lisan mempunyai fungsi sebagai penyimpan berbagai informasi masa

lampau, penguat pandangan masyarakat, dan pemberi arah terhadap norma-norma

pergaulan di dalam masyarakat (Tuloli, 1990:308). Jika dihubungkan antara sastra

dan sosio-budaya masyarakat, dapat ditemukan fungsi sebagai berikut, yakni,

afirmasi, yaitu menetapkan norma-norma sosio-budaya yang berada pada waktu

tertentu, restorasi, yaitu mengungkapkan keinginan terhadap norma-norma yang telah

hilang, dan negasi, yaitu memberontak atau mengubah norma yang berlaku (Teeuw,

1982:20).

Teori fungsi tersebut akan dimanfaatkan untuk melihat fungsi kidung Dewa

Yajña di dalam masyarakat. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa sastra lisan ritual

Tumpek Pengatag memiliki fungsi tersendiri bagi masyarakat pendukungnya, yaitu

masyarakat Desa adat Penglipuran.

1.7 Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah studi pustaka dan studi

lapangan yang mengacu pada pendekatan etnografi. Etnometodologi (Danandjaya,

1998: 36) diartikan sebagai suatu pendekatan yang menekankan dan tertaut dengan

peristiwa budaya komunitas tertentu. Oleh karena itu, etnometodologi merupakan

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

24

sesuatu atau apa yang tampak, apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri, apa

yang menampakkan diri sebagai apa adanya, dan apa yang tampak di hadapan kita.

Studi pustaka dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan dasar teori dan referensi-

referensi yang diperlukan. Studi lapangan perlu dilakukan untuk mengamati,

mempelajari, dan memperoleh data-data, baik berupa teks cerita yang dibutuhkan

maupun pandangan-pandangan yang berkaitan dengan penelitian ini.

1.7.1 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data Lapangan

Dalam rangka pengumpulan data di lapangan, terdapat beberapa hal yang

perlu mendapat perhatian secara khusus dari peneliti, yaitu sebagai berikut:

a. Informan

Informan yang dimaksud oleh peneliti dalam penelitian ini adalah informan

yang berfungsi sebagai pelantun kidung dan pencerita dari upacara Tumpek Pengatag.

Spradley (1997: 35) menyatakan bahwa informan hendaknya merupakan seorang

pembicara asli atau penutur asli yang merupakan sumber informasi, secara harfiah,

mereka menjadi guru bagi peneliti. Dalam konteks penelitian ini, mereka adalah

orang-orang yang dapat memberikan keterangan tentang berbagai hal yang berkaitan

dengan kegiatan tradisi lisan upacara Tumpek Pengatag yang masih berlangsung di

Desa adat Penglipuran.

Informan yang menjadi sasaran dalam penelitian ini ditentukan secara

purposif dengan kriteria. Peneliti menerapkan lima kriteria yang harus terpenuhi

sebagai standardisasi seorang informan guna mendapatkan informasi yang valid.

Kriteria tersebut yaitu yang pertama bersedia menjadi informan, kedua sehat secara

jasmaniah dan rohaniah, ketiga memiliki keterbukaan dalam berbagai akses informasi

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

25

yang berhubungan dengan objek kajian tradisi lisan, keempat merupakan warga asli

dari Desa adat Penglipuran, dan kelima merupakan penutur asli bahasa daerah

setempat dengan baik.

b. Wawancara

Peneliti menerapkan metode wawancara terpimpin atau yang disebut juga

interview guide dimana sebelum bertemu dengan informan, peneliti akan

mempersiapkan berbagai hal yang akan ditanyakan sehingga berbagai hal yang ingin

diketahui dapat lebih terfokus, yaitu peneliti sebagai pewawancara terikat oleh suatu

fungsi, bukan saja sebagai pengumpul data tetapi relevan dengan maksud penelitian

yang telah dipersiapkan, serta data pedoman yang memimpin jalannya tanya jawab

(Supardi, 2006: 100).

c. Perekaman dan Pencatatan

Perekaman data penelitian di lapangan dilaksanakan dengan menggunakan

perangkat handycam, pencatatan, dan wawancara langsung dengan narasumber.

Proses perekaman dilakukan dengan alamiah, hal ini dimaksudkan guna mendapatkan

data-data penelitian yang benar-benar akurat dan sesuai dengan kondisi yang

sesungguhnya terjadi di lapangan. Proses perekaman ini juga berfungsi sebagai sarana

pendokumentasian dari tradisi upacara Tumpek Pengatag sehingga memungkinkan

generasi yang akan datang melisankan kembali tradisi tersebut dengan sumber

dokumentasi yang ada. Dokumentasi hasil perekaman ditransfer dalam bentuk CD.

Teknik pencatatan digunakan untuk media pentranskripsian teks dan mencatat

berbagai aspek yang berkaitan dengan suasana penceritaan dan informasi-informasi

lain yang dipandang perlu selama melakukan proses wawancara.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

26

d. Penurunan Teks

Proses penurunan teks dilakukan setelah proses perekaman pelaksanaan

upacara Tumpek Pengatag selesai dilaksanakan. Pada proses ini peneliti mengubah

bentuk teks kidung dari yang semula dalam bentuk lisan ke dalam bentuk tertulis atau

yang disebut juga dengan proses transkripsi teks, karena istilah transkripsi juga cocok

untuk penerjemahan materi lisan ke dalam bentuk tertulis, misalnya dari bentuk

rekaman ke dalam bentuk halaman (Robson, 1994:66). Data ditranskripsikan dan

diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan kemudian disesuaikan dengan

masyarakat pendukungnya.

e. Penterjemahan teks

Setelah proses transkripsi selesai dilaksanakan, dilakukan proses

penterjemahan pada kidung Dewa Yajña di Desa Penglipuran. Penterjemahan adalah

pengalihan amanat antara budaya dan atau antara bahasa dalam tuturan gramatikal

dan leksikal dengan efek atau wujud yang sedapat mungkin tetap dipertahankan

(Kridalaksana, 1982:128). Tugas penterjemah adalah menyimak makna yang ada di

balik setiap bentuk kata bahasa sumber dengan memperhitungkan konteks (makna

kata-kata lain di dalam kalimat) dan konteks (situasi serta faktor lingkungan budaya

tempat berlakunya tuturan), mencari padanannya dalam bahasa sasaran, dan

selanjutnya mengungkapkan wacana yang secara utuh menggambarkan informasi

serta kesan estetis (untuk karya sastra) sebagaimana informasi dan kesan yang

diperoleh pembaca karya aslinya (Tandjuddin, 2001: 187). Pada tahapan ini peneliti

dengan bantuan warga asli yang juga merupakan penutur asli bahasa Bali

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

27

menterjemahkan hasil transkripsi dengan menyesuaikan konteks dan makna dari

kidung Dewa Yajña yang digunakan pada upacara sakral di Desa adat Penglipuran.

1.7.2 Metode Pengolahan Data Lapangan

Pengolahan data lapangan dilaksanakan Setelah semua data terkumpul,

langkah selanjutnya adalah melakukan analisis atau pengolahan data lapangan.

Analisis data dilakukan dengan menerapkan teori sastra lisan Albert B Lord. Guna

menganalisis transmisi, komposisi, formula, tema, pertunjukan (performance),

peneliti menerapkan langkah kerja penelitian sebagai berikut:

a. Membaca seluruh kidung dari hasil transkripsi dan terjemahan

b. Menganalisis proses transmisi, komposisi, dan performance dalam kidung

Dewa Yajña. Analisis penurunan kelisanan dilakukan dengan cara mengamati

penceritaan serta pengumpulan informasi dari informan yang terfokus pada

proses transmisi, komposisi serta pertunjukannya pada tahap pertama.

c. Menggarisbawahi baris, frasa atau kata yang diulang beberapa kali dalam

kidung

d. Menganalisis pengulangan-pengulangan kata atau frasa menggunakan teori

formula Albert B Lord. Analisis dikaitkan dengan alasan mengapa

pengulangan-pengulangan tersebut digunakan oleh pembaca kidung Dewa

Yajña.

e. Menganalisis tema-tema pokok yang terdapat dalam kidung Dewa Yajña.

Tema-tema tersebut kemudian dikaitkan dengan tema inti dari kidung

tersebut.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

28

f. Mendeskripsikan pertunjukan (performance) sesuai dengan pengamatan yang

dilaksanakan sejak tahap persiapan upacara yang dimulai pada tanggal 1

Agustus 2012, pelaksanaan upacara adat Tumpek Pengatag yang

dilangsungkan pada tanggal 4 Agustus 2012, hingga upacara ritual selesai

dilaksanakan pada hari yang sama.

g. Menarik kesimpulan dari semua proses kerja penelitian.

h. Menyusun dan melaporkan hasil penelitian.

1.8 Sistematika Penyajian

Penelitian ini disusun menjadi empat bab. Bab I merupakan pengantar yang

diawali dengan menampilkan pembahasan mengenai latar belakang permasalahan

yang mendorong dilaksanakannya penelitian ini. Pemaparan selanjutnya adalah

dengan merumuskan permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini dengan

diikuti oleh objek penelitian dan tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti. Tinjauan

pustaka selanjutnya dipaparkan dengan tujuan untuk menilik penelitian-penelitian

terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dan memastikan bahwa penelitian ini

belum pernah dilakukan oleh para peneliti terdahulu sehingga menjadikan penelitian

ini sebagai fresh research yang dapat memberikan khasanah ilmu pengetahuan yang

baru. Teori sastra lisan yang dikemukakan oleh Albert B Lord selanjutnya dipaparkan

sebagai alat untuk membedah permasalahan yang ada dengan diikuti oleh metode

penelitian sastra lisan. Bab ini ditutup dengan penyampaian sistematika penyajian

penelitian. Bab II memberikan pembahasan mengenai kondisi sosial budaya dan

tradisi lisan di Desa adat Penglipuran yang meliputi sejarah asal-usul desa, karakter

keagamaan, lokasi desa, mata pencaharian penduduk desa, kondisi fisik desa yang

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63477/potongan/S2-2013...Pandang bahwa karya sastra klasik berupa naskah-naskah klasik Bali masih tersimpan

29

menganut konsep Tri Mandala, tradisi mangidung dalam masyarakat Bali, tembang

dan jenis sastra kidung serta fungsi yang mengikutinya. Bab III berisi mengenai

penurunan tradisi lisan dan unsur-unsur kelisanan kidung Dewa Yajña yang diawali

dengan analisis proses transmisi. Analisis formula kemudian dijabarkan yang terdiri

dari formula kawitan kidung, formula pangawak yang meliputi formula nama tempat

persemayaman dewa, formula bebanten sebagai sarana persembahyangan, formula

penyebutan nama dewa sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, formula tujuan

dan harapan dari pelaksanaan upacara ritual tumpek Pengatag, dan dilanjutkan

dengan formula penutup kidung. Analisis mengenai tema dalam kidung selanjutnya

dipaparkan dengan diikuti oleh analisis pelaksanaan upacara ritual yang terdiri dari

tahap persiapan, prosesi pelantunan kidung, dan prosesi pasca pelaksanaan upacara

ritual. Penelitian ini ditutup pada bab IV dengan penyampaian kesimpulan dari

penelitian dan saran.