35
Rektorat Universitas Negeri Bangka Belitung Jl. Merdeka No. 4 Pangkalpinang Kep. Bangka Belitung Indonesia Telp. +62 717 422145 Fax +62 717 421303 Email : [email protected] Sastra Lisan Dalam Sen Budaya Melayu Klasi Sastra Melayu atau Kesusastr Melayu adalah sastra yang hi dan berkembang di kawasan Me Sastra Melayu mengalami perkembangan dan penciptaan saling mempengaruhi antara s periode dengan periode yang Situasi masyarakat pada jama sebelum Hindu, jaman Hindu, peralihan dari Hindu ke Isla dan jaman Islam, berpengaruh pada hasil-hasil karya sastr Melayu. Terjadi hubungan yan erat antara tahap perkembang kehadiran genre, dan faktor di luar karya sastra. Sastra Melayu berkembang pes pada jaman Islam dan sesudah karena tema-tema yang diangk partner-pub-7898 FORID:10 C a ri

SASTERA KLASIK

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SASTERA KLASIK

Rektorat Universitas Negeri Bangka Belitung Jl. Merdeka No. 4 Pangkalpinang Kep. Bangka Belitung IndonesiaTelp. +62 717 422145 Fax +62 717 421303 Email : [email protected]

Sastra Lisan Dalam Seni dan Budaya Melayu Klasik

Sastra Melayu atau Kesusastraan Melayu adalah sastra yang hidup dan berkembang di kawasan Melayu. Sastra Melayu mengalami perkembangan dan penciptaan yang saling mempengaruhi antara satu periode dengan periode yang lain. Situasi masyarakat pada jaman sebelum Hindu, jaman Hindu, jaman peralihan dari Hindu ke Islam, dan jaman Islam, berpengaruh kuat pada hasil-hasil karya sastra Melayu. Terjadi hubungan yang erat antara tahap perkembangan, kehadiran genre, dan faktor lain di luar karya sastra.Sastra Melayu berkembang pesat pada jaman Islam dan sesudahnya, karena tema-tema yang diangkat seputar kehidupan masyarakat Melayu, meskipun beberapa ada pengaruh asing. Sebelum jaman Islam, konteks penceritaannya lebih berorientasi ke wilayah di luar Melayu, yaitu India dengan latar belakang kebudayaan Hindu.

Melayu KlasikYang dimaksud dengan Sastra Melayu Klasik adalah sastra yang hidup dan berkembang di

partner-pub-7898 FORID:10 C a r i

Page 2: SASTERA KLASIK

daerah Melayu pada masa sebelum dan sesudah Islam hingga mendekati tahun 1920-an di masa Balai Pustaka. Masa sesudah Islam merupakan zaman dimana sastra Melayu berkembang begitu pesat karena pada masa itu banyak tokoh Islam yang mengembangkan sastra Melayu.Kesusastraan Melayu sebelum Islam tidak ada nuansa Islam sama sekali dan bentuknya adalah sastra lisan. Isi dan bentuk sastranya lebih banyak bernuansa animisme, dinamisme, dan Hindu-Budha, dan semua hasil karya tersebut dituangkan dalam bentuk prosa dan puisi. Untuk puisi, tampak tertuang ke dalam wujud pantun, peribahasa, teka-teki, talibun, dan mantra. Bentuk yang terakhir ini (mantra), sering dikenal dengan jampi serapah, sembur, dan seru. Sedangkan bentuk prosa, tampak tertuang dalam wujud cerita rakyat yang berisi cerita-cerita sederhana dan berwujud memorat (legenda alam gaib yang merupakan pengetahuan pribadi seseorang), fantasi yang berhubungan dengan makhluk-makhluk halus, hantu dan jembalang.Perkembangan kesusastraan Melayu sesudah kedatangan Islam ditandai dengan penggunaan Huruf Arab yang kemudian disebut Tulisan Jawi atau Huruf Jawi, yang dalam perkembangannya dikenal dengan istilah Arab Melayu. Hal ini dikarenakan masyarakat Melayu merasa bahwa tulisan tersebut telah menjadi milik dan identitasnya. Huruf Jawi ini diperkenalkan oleh para pendakwah Islam untuk membaca al-Qur`an dan menelaah berbagai jenis kitab dari berbagai disiplin ilmu. Perkembangan penulisan ini sangat pesat karena Islam memperbolehkan semua orang untuk menulis dalam berbagai bidang.

Sastra LisanSastra lisan adalah bagian dari tradisi yang berkembang di tengah rakyat jelata yang menggunakan bahasa sebagai media utama. Sastra lisan ini lebih dulu muncul dan berkembang di masyarakat daripada sastra tulis. Dalam kehidupan sehari-hari, jenis sastra ini biasanya dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya, seorang tukang cerita pada para pendengarnya, guru pada para muridnya, ataupun antar sesama anggota masyarakat. Untuk menjaga kelangsungan sastra lisan ini, warga masyarakat mewariskannya secara turun temurun dari generasi ke generasi. Sastra lisan sering juga disebut sebagai sastra rakyat, karena muncul

Page 3: SASTERA KLASIK

dan berkembang di tengah kehidupan rakyat biasa.Sastra lisan ini dituturkan, didengarkan dan dihayati secara bersama-sama pada peristiwa tertentu, dengan maksud dan tujuan tertentu pula. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain berkaitan dengan upacara perkawinan, upacara menanam dan menuai padi, kelahiran bayi dan upacara yang bertujuan magis. Sastra lisan sangat digemari oleh warga masyarakat dan biasanya didengarkan bersama-sama karena mengandung gagasan, pikiran, ajaran dan harapan masyarakat. Suasana kebersamaan yang dihasilkan dari sastra lisan berdampak positif pada menguatnya ikatan batin di antara anggota masyarakat. Dalam konteks ini, bisa dilihat bahwa sastra lisan juga memiliki fungsi sosial, disamping fungsi individual. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa memudarnya tradisi sastra lisan di masyarakat merupakan salah satu indikasi telah memudarnya ikatan sosial di antara mereka, dan sebaliknya.

Secara historis, jumlah karya sastra yang bersifat lisan lebih banyak dibanding dengan sastra tulis. Di antara jenis sastra lisan tersebut adalah pantun, peribahasa, nyanyi panjang, dodoi, koba dll. Gurindam, dongeng, legenda dan syair pada awalnya juga merupakan bagian dari tradisi lisan. Namun, perkembangannya mengalami perubahan ketika jenis sastra ini menjadi bagian dari kehidupan di istana–istana Melayu yang telah terbiasa dengan tradisi tulis. Sehingga gurindam, dongeng, legenda dan syair berkembang menjadi bagian dari tradisi tulis. Tampaknya, ini adalah bagian dari wujud interaksi positif antara sastra lisan dan tulisan. Dalam portal ini, berbagai jenis sastra lisan dibahas secara lebih rinci.

PantunPantun adalah bentuk puisi yang terdiri atas empat baris yang bersajak bersilih dua-dua (pola ab-ab), dan biasanya, tiap baris terdiri atas empat perkataan. Dua baris pertama disebut sampiran (pembayang), sedangkan dua baris berikutnya disebut isi pantun. Ada dua pendapat mengenai hubungan antara sampiran dan isi pantun. Pendapat pertama dikemukakan oleh H.C. Klinkert pada tahun 1868 yang menyebutkan bahwa, antara sampiran dan isi terdapat hubungan makna. Pendapat ini dipertegas kembali oleh Pijnappel pada tahun 1883 yang mengatakan

Page 4: SASTERA KLASIK

bahwa, hubungan antara keduanya bukan hanya dalam tataran makna, tapi juga bunyi. Bisa dikatakan jika sampiran sebenarnya membayangkan isi pantun. Pendapat ini dibantah oleh van Ophuysen yag mengatakan bahwa, sia-sia mencari hubungan antara sampiran dan isi pantun. Menurutnya, yang muncul pertama kali dibenak seseorangadalah isi, baru kemudian dicari sampirannya agar bersajak. Dalam perkembangannya, Hooykas kemudian memadukan dua pendapat ini dengan mengatakan bahwa, pada pantun yang baik, terdapat hubungan makna tersembunyi dalam sampiran, sedangkan pada pantun yang kurang baik, hubungan tersebut semata-mata hanya untuk keperluan persamaan bunyi. Pendapat Hooykas ini sejalan dengan pendapat Dr. (HC) Tenas Effendy yang menyebut pantun yang baik dengan sebutan pantun sempurna/penuh, dan pantun yang kurang baik dengan sebutan pantun tak penuh/tak sempurna. Karena sampiran dan isi sama-sama mengandung makna yang dalam (berisi), maka kemudian dikatakan, “sampiran dapat menjadi isi, dan isi dapat menjadi sampiran.” Dalam kehidupan masyarakat Melayu sehari-hari, pantun merupakan jenis sastra lisan yang paling populer. Penggunaannya hampir merata di setiap kalangan: tua-muda, laki-laki-perempuan, kaya miskin, pejabat-rakyat biasa dst. Dalam prkatiknya, pantun ini diklasifikasi ke dalam beberapa jenis yaitu: Pantun Nasihat, Pantun Berkasih Sayang, Pantun Suasana Hati, Pantun Pembangkit Semangat, Pantun Kerendahan Hati, Pantun Pujian, Pantun Teka-teki, Pantun Terhadap Perempuan, dan Pantun Jenaka.Pantun juga berfungsi sebagai bentuk interaksi yang saling berbalas, baik itu dilakukan pada situasi formal maupun informal. Pantun pada masyarakat Melayu mengalir berdasarkan tema apa yang tengah diperbincangkan. Ketika seseorang mulai memberikan pantun, maka rekan lainnya berbalas dengan tetap menjaga tali perbincangan. Dalam interaksi pantun berbalas ini berlatar belakang pada situasi formal maupun situasi informal. Pada situasi formal semisal ketika meminang atau juga membuka sebuah pidato, sedangkan pada situasi informal seperti perbincangan antar rekan sebaya.Pantun adalah genre sastra tradisional yang paling dinamis, karena dapat digunakan pada

Page 5: SASTERA KLASIK

situasi apapun. Sebagaimana dikatakan bahwa: “Di mana orang berkampung disana pantun bersambung. Di mana ada nikah kawin disana pantun dijalin. Di mana orang berunding di sana pantun bergandeng. Dimana orang bermufakat di sana pantun diangkat. Di mana ada adat dibilang, di sana pantun diulang. Di mana adat di bahas di sana pantun dilepas”.

Contoh Pantun :Berisikan syarak beserta sunnahBerisikan petuah dengan amanah

Berisikan jalan mengenal AllahBerisikan ilmu memahami aqidah

Di situ disingkap benar dan salahnyaDi situ dicurai halal dan haramnya

Di situ dibentang manfaat mudaratnyaDi situ didedahkan baik buruknya

Di situ ilmu sama disimbahDi situ tempat mencari tuah

Di situ tempat menegakkan marwahMenyebarkan Islam dengan akidahnya

Supaya hidup ada kiblatnyaApabila mati ada ibadatnya.

PeribahasaPeribahasa adalah ungkapan tradisional yang terdiri dari kalimat ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasehat, prinsip hidup ataupun aturan tingkah laku. Dalam ungkapan lain, Carvantes mendefinisikannya sebagai kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang; Bertrand Russell mendefinisikannya sebagai kebijaksanaan orang banyak, tapi kecerdasan seseorang. Biasanya, kelompok kata atau kalimat dalam peribahasa memiliki struktur susunan yang tetap, dan merupakan kiasan terhadap maksud tertentu. Kalimat dalam peribahasa biasanya mengesankan, dengan arti yang luas dan isi yang bijak. Dalam peribahasa, tersirat unsur sistem budaya masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai, pandangan hidup, norma, petunjuk dan aturan yang menjadi acuan bagi anggota masyarakat. Biasanya, peribahasa ini muncul dalam pembicaraan sehari-hari, upacara adat, acara keramaian dll. Dalam kehidupan sehari-hari, bisa dikatakan bahwa peribahasa merupakan salah satu sarana enkulturasi dalam proses penanaman nilai-nilai adat dari generasi ke generasi dalam kebudayaan Melayu. Sebagai sastra lisan, maka perkembangannya sangat dipengaruhi oleh

Page 6: SASTERA KLASIK

perubahan yang terjadi di masyarakat pendukungnya. Setiap perubahan di masyarakat, biasanya juga diiringi dengan lenyapnya peribahasa yang tidak lagi sesuai dengan keadaan yang telah berubah.

Ada dua jenis peribahasa, yaitu peribahasa yang memiliki arti lugas dan yang memiliki arti simbolis. Peribahasa yang berarti lugas ada dua: bidal dan pepatah, sedangkan yang berarti simbolis adalah perumpamaan. Peribahasa jenis bidal memiliki irama dan rima, sehingga sering juga digolongkan ke dalam bentuk puisi, contohnya adalah: bagai kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau. Peribahasa jenis pepatah mengandung isi yang ringkas, bijak, benar dan seolah-olah dimaksudkan untuk mematahkan ucapan orang lain, contohnya: biar lambat asal selamat; sedikit demi sedikit, lama lama jadi bukit. Berkaitan dengan perumpamaan, ungkapannya mengandung arti simbolik, dan biasanya didahului kata seperti, bagai atau bak, contohnya: seperti katak di bawah tempurung; bagai pungguk merindukan bulan; datar bak lantai papan, licin bak dinding cermin.

Cerita RakyatCerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya, seperti agama dan kepercayaan, undang-undang, kegiatan ekonomi, sistem kekeluargaan, dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut. Dahulu, cerita rakyat diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam masyarakat tertentu. Menurut Djames Danandjaja, di antara ciri-ciri cerita rakyat, antara lain:

Penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan.

Bersifat tradisional, yakni hidup dalam suatu kebudayaan dalam waktu tidak kurang dari dua generasi.

Bersifat lisan, sehingga terwujud dalam berbagai versi.

Bersifat anonim, yakni nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi. Maka, ia menjadi milik bersama dalam masyarakatnya.

Mempunyai fungsi tertentu dalam masyarakatnya, misalnya sebagai media pendidikan, pengajaran moral, hiburan, proses sosial dan

Page 7: SASTERA KLASIK

sebagainya. Bersifat pralogis, yakni mempunyai

logika tersendiri yang tidak sesuai dengan logika ilmu pengetahuan, misalnya seorang tokoh adalah keturunan dewa atau proses kelahirannya tidak wajar seperti Karna dalam epos Mahabharata yang dilahirkan melalui kuping ibunya.

Pada umumnya bersifat sederhana dan seadanya, terlalu spontan dan kadang kala kelihatan kasar, seperti yang terlihat pada anekdot dan sebagian cerita jenaka. Namun dalam perkembangannya, sebagian cerita rakyat telah disusun dalam bentuk bahasa yang lebih teratur dan halus.

Pada umumnya, cerita-cerita rakyat mengisahkan tentang terjadinya berbagai hal, seperti terjadinya alam semesta, manusia pertama, kematian, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam tertentu, tokoh sakti yang lahir dari perkawinan sumbang, tokoh pembawa kebudayaan, makanan pokok (seperti padi, jagung, sagu, dsb.), asal-mula nama suatu daerah atau tempat, tarian, upacara, binatang tertentu, dan lain-lain. Adapun tokoh-tokoh dalam cerita rakyat biasanya ditampilkan dalam berbagai wujud, baik berupa binatang, manusia maupun dewa, yang kesemuanya disifatkan seperti manusia. Cerita rakyat sangat digemari oleh warga masyarakat karena dapat dijadikan sebagai suri teladan dan pelipur lara, serta bersifat jenaka. Oleh karena itu, cerita rakyat biasanya mengandung ajaran budi pekerti atau pendidikan moral dan hiburan bagi masyarakat pendukungnya. Pada masa sebelum tersedianya pendidikan secara formal, seperti sekolah, cerita-cerita rakyat memiliki fungsi dan peranan yang amat penting sebagai media pendidikan bagi orang tua untuk mendidik anak dalam keluarga. Meskipun saat ini pendidikan secara formal telah tersedia, namun cerita-cerita rakyat tetap memiliki fungsi dan peranan penting, terutama dalam membina kepribadian anak dan menanamkan budi pekerti secara utuh dalam keluarga.

Saat ini, cerita-cerita rakyat tidak hanya merupakan cerita yang dikisahkan secara lisan dari mulut ke mulut dan dari generasi ke generasi berikutnya, akan tetapi telah banyak

Page 8: SASTERA KLASIK

dipublikasikan secara tertulis melalui berbagai media. Peranan para tukang cerita sebagian besar telah diambil alih oleh media cetak maupun elektronik. Meskipun demikian, ciri-ciri kelisanannya tetap melekat padanya. Media cetak dan elektronik hanya merupakan alat penyebar dan pelestari cerita rakyat tersebut.

Dodoi / Nyanyi BudakLagu dodoi (lullabies) adalah bagian dari genre tradisi lisan orang Melayu di nusantara. Ada yang mengatakan bahwa, lagu dodoi adalah nyanyian rakyat paling tua, yang lahir dari tengah kehidupan rakyat biasa, karena itu, tema-tema lagu juga berkaitan dengan kehidupan harian mereka. Dalam lagu dodoi tercermin kepercayaan, pikiran, keinginan dan harapan rakyat.Secara umum, terdapat empat aspek utama dalam lagu dodoi yaitu: pembelajaran bahasa; permainan anak-anak; pesan nilai dan norma kehidupan; dan aspek keagamaan. Dalam masyarakat Melayu, lagu ini dinyanyikan oleh seorang ibu (terkadang kakak atau saudara) dengan suara yang lemah-lembut, merdu, mendayu-dayu dan berulang-ulang sambil mengayun atau membuai anak yang berada dalam ayunan (buaian) hingga tertidur. Usia anak yang ditidurkan dengan lagu dodoi ini biasanya masih bayi, belum mengerti bahasa formal. Ketika mendendangkan lagu dodoi, pergerakan tangan, mimik muka dan nada suara sang ibu menggambarkan seolah-olah ia sedang bercakap-cakap dengan anaknya. Terkadang, ibu juga mencium dan menepuk-nepuk punggung anaknya, mengangguk-anggukkan kepala dan mengeluarkan suara tertentu yang sudah dikenal dengan baik oleh anaknya, sehingga anak akan cepat tertidur. Bisa dikatakan bahwa, lagu ini adalah simbol dari limpahan kasih sayang dan keikhlasan orang tua terhadap anaknya; media komunikasi antara anak dan ibu bapak; media perdidikan perdana tentang nilai-nilai luhur dan keagamaan; dan pengganti teman bagi si anak.

Nyanyi Panjang / KobaNyanyi panjang merupakan jenis sastra lisan bercorak naratif (cerita) yang dipertunjukkan oleh tukang nyanyi panjang dengan cara dinyanyikan atau dilagukan. Dari namanya, nyanyi panjang, terdapat dua kata: nyanyi dan panjang. Nyanyi merujuk pada cara sastra lisan itu dipertunjukkan, dan panjang

Page 9: SASTERA KLASIK

merujuk pada waktu yang diperlukan dalam penyampaiannya. Dalam pertunjukan nyanyi panjang, ada empat unsur yang saling berkaitan dan mempengaruhi yaitu: tukang cerita, cerita, suasana pertunjukan dan penonton. Nyanyi panjang ini murni hasil kreatifitas masyarakat dan menjadi milik bersama, kemudian diwariskan secara turun temurun dengan cara berguru pada tukang cerita. Tidak ada buku rujukan yang mereka jadikan pegangan, karena itu, nyanyi panjang termasuk kategori kelisanan primer (primary oral). Di antara ciri nyanyi panjang adalah: gaya bahasa bercorak prosa lirik atau prosa berirama; banyak pengulangan; struktur cerita seperti hikayat Melayu lainnya yaitu: pengenalan, pengembaraan dan penyelesaian; dan diawali dengan pantun bebalam. Disebut bebalam, karena nyanyian pantunnya mirip dengan suara burung balam. Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat lebih kurang 97 nyanyi panjang.

Sebenarnya, ada dua jenis nyanyi panjang yaitu: nyanyi panjang tombo dan nyanyi panjang biasa. Tombo adalah jenis nyanyi panjang yang berisi tentang sejarah, hukum dan aturan adat. Oleh sebab itu, tombo ini dianggap sakral dan merupakan salah satu sumber hukum di masyarakat. Tukang cerita Tombo disebut pebilang tombo, statusnya sangat dihormati dalam kehidupan sehari-hari. Tombo ini dalam bentuk prosa berirama dan dinyanyikan dalam bentuk yang baku (tetap), tidak boleh diubah. Dalam tombo tersebut, terdapat banyak formula puitis kuno, petuah dan amanat moral. Isi nyanyi panjang tombo bersifat partikular, hanya berkaitan dengan pesukuan tertentu, sedangkan nyanyi panjang biasa bersifat umum, milik semua warga masyarakat dari semua pesukuan.

MantraMantra bisa diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2001). Dalam sastra Melayu lama, kata lain untuk mantra adalah jampi, serapah, tawar, sembur, cuca, puja, seru dan tangkal. Mantra termasuk dalam genre sastra lisan yang populer di masyarakat Melayu, sebagaimana pantun dan syair. Hanya saja, penggunaannya lebih eksklusif, karena hanya dituturkan oleh orang tertentu saja, seperti

Page 10: SASTERA KLASIK

pawang dan bomoh (dukun). Menurut orang Melayu, pembacaan mantra diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib untuk membantu meraih tujuan-tujuan tertentu. Secara umum, mantra dapat dibagi ke dalam empat jenis berdasarkan tujuan pelafalannya, yaitu: (1), mantra untuk pengobatan; (2), mantra untuk ‘pakaian’ atau pelindung diri; (3), mantra untuk pekerjaan; dan (4), mantra adat-istiadat (Majelis Peperiksaan Malaysia: 2005).Dari segi bentuk, mantra sebenarnya lebih sesuai digolongkan ke dalam bentuk puisi bebas, yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, rima dan jumlah kata dalam setiap baris. Dari segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sukar dipahami. Adakalanya, dukun atau pawang sendiri tidak memahami arti sebenarnya mantra yang ia baca; ia hanya memahami kapan mantra tersebut dibaca dan apa tujuannya. Dari segi penggunaan, mantra sangat eksklusif, tidak boleh dituturkan sembarangan, karena bacaannya dianggapa keramat dan tabu. Mantra biasanya diciptakan oleh seorang dukun atau pawang, kemudian diwariskan kepada keturunan, murid ataupun orang yang ia anggap akan menggantikan fungsinya sebagai dukun. Kemunculan dan penggunaan mantra ini dalam masyarakat Melayu, berkaitan dengan pola hidup mereka yang tradisional dan sangat dekat dengan alam. Oleh sebab itu, semakin modern pola hidup masyarakat Melayu dan semakin jauh mereka dari alam, maka mantra akan semakin tersisihkan dari kehidupan mereka. Berikut ini satu contoh mantra yang sering dibaca oleh suku Laut ketika mereka melempar pancing ikan ke dalam air: Air pasang telan ke insang; Air surut telan ke perut; Renggutlah!; Biar putus jangan rabut.

Source : http://melayuonline.comDikirim oleh Admin Tanggal 2008-09-19Jam 17:49:42

Baca Juga Artikel Tentang Budaya dan Melayu, Sastra, Lisan, Seni, Klasik

Lainnya :

Page 11: SASTERA KLASIK
Page 12: SASTERA KLASIK
Page 13: SASTERA KLASIK

o Sambutan Rektor Universitas

Bangka Belitungo Kolom Rektor Universitas Bangka

Belitungo Profil Rektor Universitas Bangka

Belitung

Homeo Kembali Ke Halaman index

Website Universitas Bangka Belitung

Tentang UBB >>o Profil Universitas Bangka

Belitungo Visi, Misi & Tujuan Universitas

Bangka Belitungo Logo Universitas Bangka

Belitungo Struktur Organisasi Universitas

Bangka Belitungo Lokasi Kampus Universitas

Bangka Belitungo Rencana Strategis Universitas

Silahkan Ketik Keyword untuk mencari Artikel, Feature, atau berita yang diinginkan

Baca Artikel Lainnya :

Baca Berita :

Baca Feature :

Lihat Foto :

partner-pub-7898 FORID:10 ISO-8859-1

C a r i

Page 14: SASTERA KLASIK

SPMB UBB Fakultas

New Look of FPPB Websiteo Fakultas Tekniko Fakultas Pertanian, Perikanan

dan Biologio Fakultas Hukum dan Ilmu Sosialo Fakultas Ekonomi

Akademik >>o Kalender Akademik UBB 2009 -

2010 (Pdf File)o Pendaftaran Mahasiswa Baru

Universitas Bangka Belitungo Jenis & Jenjang Pendidikan di

Universitas Bangka Belitungo Dosen & Tenaga Pengajar

Universitas Bangka Belitungo Prestasi Mahasiswa Universitas

Bangka Belitungo Program Beasiswa di Universitas

Bangka Belitung

SCoLE UBB Fasilitas

BAPSI UBB Penjaminan Mutu

LPPM UBBo Website LPPM UBBo CARSIS UBB

Page 15: SASTERA KLASIK

UBB Press >>o Tentang Universitas Bangka

Belitung Press (UBB Press)

UPT Bahasa UBB >>o Tentang UPT Bahasa Universitas

Bangka Belitung

Page 16: SASTERA KLASIK

Perpustakaan UBB >>o Sejarah Perpustakaan

Universitas Bangka Belitungo Visi, Misi & Tujuan Perpustakaan

Universitas Bangka Belitungo Organisasi Perpustakaan

Universitas Bangka Belitungo Kebijakan dan Program kerja

Perpustakaan Universitas Bangka Belitung

o Layanan, Aktivitas, Koleksi dan Kemitraan Perpustakaan Universitas Bangka Belitung

Buku Tamu >>o Lihat Buku Tamu Universitas

Bangka Belitungo Isi Buku Tamu Universitas

Bangka Belitung

Kemahasiswaan >>o Profil Mahasiswa Universitas

Bangka Belitungo Aktivitas Mahasiswa Universitas

Bangka Belitungo Organisasional Mahasiswa

Universitas Bangka Belitungo Beasiswa Mahasiswa Universitas

Bangka Belitung

Saran Untuk UBB UBB Journal

Explorasi Terumbu Karang Artikel dan Opini Berita & Feature

Foto dan Peristiwa Bursa Kerja

Oasis UBB Journal

English Version CARSIS UBB

SiteMap/Peta Situs Join Mailinglist UBB

o Masuk Ke Halaman E-Learning

Universitas Bangka Belitung

o Hanya Dapat Di Akses Lewat

Jaringan Intranet Universitas Bangka Belitung Saja

o Masuk Ke Halaman Download

Kumpulan Peraturan & Ketetapan di Universitas Bangka Belitung (Khusus Jaringan Intranet UBB)

Page 17: SASTERA KLASIK

o Masuk Ke Halaman Download

Panduan Akademik Universitas Bangka Belitung (Khusus Jaringan Intranet Universitas Bangka Belitung)

o Masuk Ke Halaman Daftar E-mail

Di Universitas Bangka Belitung (Khusus Jaringan Intranet Universitas Bangka Belitung)

o Masuk Ke Halaman E-Catalog,

Koleksi Buku Di Perpustakaan Universitas Bangka Belitung (Khusus Jaringan Intranet Universitas Bangka Belitung)

:: Beberapa Grafik Menggunakan Format SWF, Untuk Tampilan Terbaik Aktifkan/install Active-x Plugin flash di

Browser Anda Tampilan Terbaik Dengan Resolusi Monitor 1024 x 768 Pixels ::

Rektorat Universitas Negeri Bangka Belitung Jl. Merdeka No. 4 Pangkalpinang Kep. Bangka Belitung IndonesiaTelp. +62 717 422145 Fax +62 717 421303 http://www.ubb.ac.id Email : [email protected]

Copyright 2008 Universitas Bangka BelitungSitemap - Peta situs

Page 18: SASTERA KLASIK

Ciri Sastra Melayu Klasik 1. Berbahsa Klise (Biasanya diawali: Syahdan, Hatta, Pada suatu hari,Alkisah) 2. Ceritanya seperti Gambaran masyarakat yang statis 3. Digunakan untuk mendidik masyarakat sekitar pada zaman itu 4. Merupakan Sastra lisan (Diceritakan) 5. Tidak diketahui nama pengarangnya(Anonim ) 6. Cerita berkisar kehidupan kekerajaan atau kaum bangsawan

Melayu KlasikYang dimaksud dengan Sastra Melayu Klasik adalah sastra yang hidup dan berkembang di daerah Melayu pada masa sebelum dan sesudah Islam hingga mendekati tahun 1920-an di masa Balai Pustaka. Masa sesudah Islam merupakan zaman dimana sastra Melayu berkembang begitu pesat karena pada masa itu banyak tokoh Islam yang mengembangkan sastra Melayu.Kesusastraan Melayu sebelum Islam tidak ada nuansa Islam sama sekali dan bentuknya adalah sastra lisan. Isi dan bentuk sastranya lebih banyak bernuansa animisme, dinamisme, dan Hindu-Budha, dan semua hasil karya tersebut dituangkan dalam bentuk prosa dan puisi. Untuk puisi, tampak tertuang ke dalam wujud pantun, peribahasa, teka-teki, talibun, dan mantra. Bentuk yang terakhir ini (mantra), sering dikenal dengan jampi serapah, sembur, dan seru. Sedangkan bentuk prosa, tampak tertuang dalam wujud cerita rakyat yang berisi cerita-cerita sederhana dan berwujud memorat (legenda alam gaib yang merupakan pengetahuan pribadi seseorang), fantasi yang berhubungan dengan makhluk-makhluk halus, hantu dan jembalang.Perkembangan kesusastraan Melayu sesudah kedatangan Islam ditandai dengan penggunaan Huruf Arab yang kemudian disebut Tulisan Jawi atau Huruf Jawi, yang dalam perkembangannya dikenal dengan istilah Arab Melayu. Hal ini dikarenakan masyarakat Melayu merasa bahwa tulisan tersebut telah menjadi milik dan identitasnya. Huruf Jawi ini diperkenalkan oleh para pendakwah Islam untuk membaca al-Qur`an dan menelaah berbagai jenis kitab dari berbagai disiplin ilmu. Perkembangan penulisan ini sangat pesat karena Islam memperbolehkan semua orang untuk menulis dalam berbagai bidang.

Search Open Directory

Page 19: SASTERA KLASIK

Skip to content Skip to main navigation Skip to columns

Perpustakaan | UT Home Home Layanan Galeri PTJJ

Home - FKIP - PBIN4104 Teori Sastra PBIN4104 Teori Sastra

TINJAUAN MATA KULIAHApakah Sastra itu? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Setiap jawaban yang diberikan tidak akan menimbulkan kepuasan penanya. Namun demikian, jika seseorang ditanya tentang apakah ia pernah membaca karya sastra. Jawabannya, “ya, pernah atau belum”. Atau, jika seseorang ditanya apakah ia menyukai sastra, dengan segera pula timbul jawabannya, “ya” atau “tidak”, sesuai dengan pengalaman keseharian hidupnya bergaul dengan sastra. Ini berarti, secara konseptual yang ditanya tidak dapat menjelaskan tentang “apa itu sastra”, tetapi dalam keseharian ia mengenal “sastra sebagai suatu objek yang dihadapinya.Dalam kehidupan keseharian pula, pada umumnya orang menyukai sastra. Kata-kata mutiara, ungkapan-ungkapan yang bersifat persuasif yang merupakan salah satu ciri khas keindahan bahasa sastra sering kali digunakan orang dalam situasi berkomunikasi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan orang ke arah bersastra.Untuk memahami dan menikmati karya sastra diperlukan pemahaman tentang teori sastra. Teori sastra menjelaskan kepada kita tentang konsep sastra sebagai salah satu disiplin ilmu humaniora yang akan mengantarkan kita ke arah pemahaman dan penikmatan fenomena yang terkandung di dalamnya. Dengan mempelajari teori sastra, kita akan memahami fenomena kehidupan manusia yang tertuang di dalam teori sastra. Sebaliknya juga, dengan memahami fenomena kehidupan manusia dalam teori sastra kita akan memahami pula teori sastra.Modul Teori Sastra ini merupakan pengantar bagi Anda dalam mempelajari sastra lebih lanjut, seperti mata kuliah apresiasi dan kajian sastra dengan segala ruang lingkupnya yang akan mengantarkan Anda ke arah pemahaman, penikmatan, dan penghayatan terhadap karya sastra. Melalui modul ini, secara umum diharapkan Anda dapat memahami hakikat sastra dengan ruang lingkupnya sebagai bekal Anda dalam

Page 20: SASTERA KLASIK

mempelajari apresiasi dan kajian sastra. Untuk mencapai tujuan tersebut, di dalamnya disajikan urutan materi berupa:1. Ruang Lingkup Ilmu Sastra,2. Pengertian Sastra,3. Jenis Karya Sastra,4. Struktur Karya Sastra,5. Puisi,6. Prosa,7. Drama,8. Pendekatan Pengkajian Sastra, serta9. Aliran dalam Karya Sastra.

Semoga materi-materi yang di sajikan di dalam modul Teori Sastra ini akan menambah pengetahuan dan wawasan Anda tentang sastra sebagai salah satu disiplin ilmu humaniora yang akan memperkaya batin Anda dalam memahami fenomena kehidupan manusia yang dituangkan di dalamnya. Pelajarilah isi modul ini dengan saksama sehingga berguna bagi Anda dalam melaksanakan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.

Selamat Belajar, Semoga Sukses!

MODUL 1: LINGKUP ILMU SASTRA: TEORI SASTRA, SEJARAH SASTRA, DAN KRITIK SASTRA, SERTA HUBUNGAN ANTARA KETIGANYA

Kegiatan Belajar 1

Ruang Lingkup Ilmu Sastra

Ilmu sastra sudah merupakan ilmu yang cukup tua usianya. Ilmu ini sudah berawal pada abad ke-3 SM, yaitu pada saat Aristoteles ( 384-322 SM) menulis bukunya yang berjudul Poetica yang memuat tentang teori drama tragedi. Istilah poetica sebagai teori ilmu sastra, lambat laun digunakan dengan beberapa istilah lain oleh para teoretikus sastra seperti The Study of Literatur, oleh W.H. Hudson, Theory of Literatur Rene Wellek dan Austin Warren, Literary Scholarship Andre Lafavere, serta Literary Knowledge (ilmu sastra) oleh A. Teeuw. Ilmu sastra meliputi ilmu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam pengkajian karya sastra. Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga disiplin ilmu tersebut. Khususnya bagi sejarah sastra dikatakan bahwa pengkajian sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian sejarah sastra menggunakan pendekatan kesewaktuan, sejarah sastra hanya dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang pada zaman itu. Bahkan dikatakan tidak terdapat kesinambungan karya sastra suatu periode dengan periode berikutnya karena dia mewakili masa tertentu. Walaupun teori ini mendapat kritikan yang cukup kuat dari teoretikus sejarah sastra, namun pendekatan ini sempat berkembang dari Jerman ke Inggris dan Amerika. Namun demikian, dalam prakteknya, pada waktu seseorang

Page 21: SASTERA KLASIK

melakukan pengkajian karya sastra, antara ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait.

Kegiatan Belajar 2

Pengertian Teori Sastra, Kritik Sastra, dan Sejarah Sastra

Teori sastra ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra yang membedakannya dengan yang bukan sastra. Secara umum yang dimaksud dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menerapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati. Teori berisi konsep/ uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu.Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan dicek kebenarannya(diverifikasi) atau dibantah kesahihannya pada objek atau gejala-gejala yang diamati tersebut.Kritik sastra juga bagian dari ilmu sastra. Istilah lain yang digunakan para pengkaji sastra ialah telaah sastra, kajian sastra, analisis sastra, dan penelitian sastra. Untuk membuat suatu kritik yang baik, diperlukan kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak dalam menelaah, menganalisis, mengulas karya sastra, penguasaan dan pengalaman yang cukup dalam kehidupan yang bersifat nonliterer, serta tentunya penguasaan tentang teori sastra.

Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa tertentu, para sastrawan yang mengisi arena sastra, puncak-puncak karya sastra yang menghiasi dunia sastra, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar masalah sastra. Sebagai suatu kegiatan keilmuan sastra, seorang sejarawan sastra harus mendokumentasikan karya sastra berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang ada, pengaruh yang melatarbelakanginya, karakteristik isi dan tematik.

Kegiatan Belajar 3Hubungan Teori Sastra dengan Kritik Sastra dan Sejarah Sastra Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat di dalam karya sastra baik konvensi bahasa yang meliputi makna, gaya,struktur, pilihan kata, maupun konvensi sastra yang meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar, dan lainnya yang membangun keutuhan sebuah karya sastra. Di sisi lain, kritik sastra merupakan ilmu sastra yang mengkaji, menelaah, mengulas, memberi pertimbangan, serta memberikan penilaian tentang keunggulan dan kelemahan atau kekurangan karya sastra. Sasaran kerja kritikus sastra adalah penulis karya sastra dan sekaligus pembaca karya sastra. Untuk memberikan pertimbangan atas karya sastra kritikus sastra bekerja sesuai dengan konvensi bahasa dan konvensi sastra yang melingkupi karya sastra. Demikian juga terjadi hubungan antara teori sastra dengan sejarah sastra. Sejarah sastra adalah bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu, periode ke periode sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa. Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa, suatu daerah, suatu kebudayaan, diperoleh dari penelitian karya sastra yang dihasilkan para peneliti sastra yang menunjukkan

Page 22: SASTERA KLASIK

terjadinya perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan karya sastra pada periode-periode tertentu.   Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra terjalin keterkaitan.

DAFTAR PUSTAKA Arya, Putu. (1983). Apresiasi Puisi dan Prosa. Ende Flores: Nusa Indah.

Effendi. S. (1982). Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam.

Fananie, Zainuddin. (1982). Telaah Sastra. Surakarta: Muhamadiyah University Press.

Luxemburg, et.al. (1982). Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

Mido, Frans. (1982). Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Ende, Flores: Nusa Indah 1994.

Semi Atar M. (1992). Anatomi Sastra. Bandung: Rosda Karya.

Sudjiman, Panuti. (1992). Memahami Cerita Rekaan. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Suyitno. Sastra. (1986). Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Hanindita.

Tarigan Guntur H. (1986). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Tjahjono Libertus, T. (1986). Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan Apresiasi. Ende, Flores: Nusa Indah.

Waluyo, Herman. (1986). Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta: UNS.

Wellek & Warren A. (1986). Teori Kesusastraan (Diindonesiakan Melami Budianta).

MODUL 2: HAKIKAT SASTRA SERTA TEKS DAN KONTEKS

Kegiatan Belajar 1

Hakikat Sastra

Pengertian tentang sastra sangat beragam. Berbagai kalangan mendefinisikan pengertian tersebut menurut versi pemahaman mereka masing-masing. Menurut A. Teeuw, sastra dideskripsikan sebagai segala sesuatu yang tertulis; pemakaian bahasa dalam bentuk tulis. Sementara itu, Jacob Sumardjo dan Saini K.M. mendefnisikan sastra dengan 5 buah pengertian, dan dari ke-5 pengertian tersebut dibatasi menjadi sebuah definisi. Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang

Page 23: SASTERA KLASIK

membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Secara lebih rinci lagi, Faruk mengemukakan bahwa pada mulanya pengertian sastra amat luas, yakni mencakup segala macam hasil aktivitas bahasa atau tulis-menulis. Seiring dengan meluasnya kebiasaan membaca dan menulis, pengertian tersebut menyempit dan didefinisikan sebagai segala hasil aktivitas bahasa yang bersifat imajinatif, baik dalam kehidupan yang tergambar di dalamnya, maupun dalam hal bahasa yang digunakan untuk menggambarkan kehidupan itu.Untuk mempelajari sastra lebih dalam lagi, setidaknya terdapat 5 karakteristik sastra yang mesti dipahami. Pertama, pemahaman bahwa sastra memiliki tafsiran mimesis. Artinya, sastra yang diciptakan harus mencerminkan kenyataan. Kalau pun belum, karya sastra yang diciptakan dituntut untuk mendekati kenyataan. Kedua, manfaat sastra. Mempelajari sastra mau tidak mau harus mengetahui apa manfaat sastra bagi para penikmatnya. Dengan mengetahui manfaat yang ada, paling tidak kita mampu memberikan kesan bahwa sastra yang diciptakan berguna untuk kemaslahatan manusia. Ketiga, dalam sastra harus disepakati adanya unsur fiksionalitas. Unsur fiksionalitas sendiri merupakan cerminan kenyataan, merupakan unsur realitas yang tidak 'terkesan' dibuat-buat. Keempat, pemahaman bahwa karya sastra merupakan sebuah karya seni. Dengan adanya karakteristik sebagai karya seni ini, pada akhirnya kita dapat membedakan mana karya yang termasuk sastra dan bukan sastra. Kelima, setelah empat karakteristik ini kita pahami, pada akhirnya harus bermuara pada kenyataan bahwa sastra merupakan bagian dari masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu memiliki tanda-tanda, yang kurang lebih sama, dengan norma, adat, atau kebiasaan yang muncul berbarengan dengan hadirnya sebuah karya sastra.

Kegiatan Belajar 2

Teks dan Konteks

Teks adalah ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, dan pragmatik merupakan sebuah kesatuan, sedangkan konteks adalah fungsi yang diacu oleh teks. Baik teks maupun konteks, keduanya senantiasa hadir secara bersama dan tidak dapat dipisahkan.Terdapat enam faktor yang menentukan sebuah teks. Faktor tersebut selanjutnya disebut sebagai faktor-faktor yang berperan dalam tindak komunikasi. Keenam faktor tersebut adalah: (1) pemancar, (2) penerima, (3) pesan (teks itu sendiri), (4) kenyataan atau konteks yang diacu, (5) kode, dan (6) saluran. Sementara itu, terdapat empat jenis teks, yakni: (1) teks acuan, (2) teks ekspresif, (3) teks persuasif, dan (4) teks-teks mengenai teks. Teks acuan dibedakan lagi menjadi tiga, yakni: (1) teks informatif, (2) teks diakursif, dan (3) teks instruktif.Pada akhirnya, semua pembahasan mengenai teks harus bermuara pada bagaimana cara menilai teks-teks sastra. Memang, ilmu sastra tidak memberikan penilaian pada teks, tidak menghakimi baik-buruknya teks, tetapi ia bersama para ahli estetika dan juga kritikus sastra, mempelajari fakta dan relasi-relasi atau instrumen-instrumen yang diungkapkan dalam sebuah penilaian.

DAFTAR PUSTAKAAlha Pangeran. (1998). BMP Pendidikan Panca

Page 24: SASTERA KLASIK