12
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Masalah-masalah perkembangan individu sejak dilahirkan, masa kanak-kanak, remaja hingga dewasa merupakan masalah yang menarik untuk disimak. Tidak semua individu mengalami perjalanan yang mulus dalam menjalani kehidupan akan datang, ada juga yang mengalami masalah dalam tumbuh kembangnya. Masa kanak-kanak merupakan masa yang sangat menentukan dalam tumbuh kembang seorang individu. Kebutuhan akan nutrisi yang cukup dan seimbang, pendidikan dan kesehatan merupakan modal mereka untuk dapat mencapai taraf perkembangan yang optimal. Tetapi tidak semua anak terlahir beruntung. Ada yang lahir dengan kelainan yang dibawa sejak dari kandungan, ada yang mendapat kelainan selama proses persalinan, dan ada

BAB I Data Kebutuhan Khusus

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I Data Kebutuhan Khusus

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Masalah-masalah perkembangan individu sejak dilahirkan, masa kanak-kanak,

remaja hingga dewasa merupakan masalah yang menarik untuk disimak. Tidak

semua individu mengalami perjalanan yang mulus dalam menjalani kehidupan akan

datang, ada juga yang mengalami masalah dalam tumbuh kembangnya.

Masa kanak-kanak merupakan masa yang sangat menentukan dalam tumbuh

kembang seorang individu. Kebutuhan akan nutrisi yang cukup dan seimbang,

pendidikan dan kesehatan merupakan modal mereka untuk dapat mencapai taraf

perkembangan yang optimal. Tetapi tidak semua anak terlahir beruntung. Ada yang

lahir dengan kelainan yang dibawa sejak dari kandungan, ada yang mendapat

kelainan selama proses persalinan, dan ada juga yang mendapatkan kelainan pada

masa balita. Anak-anak seperti inilah yang disebut dengan anak berkebutuhan

khusus. 1

Anak berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat merupakan salah satu

sumber daya manusia bangsa Indonesia yang kualitasnya harus ditingkatkan agar

dapat berperan, tidak hanya sebagai obyek pembanguanan tetapi juga sebagai subyek

pembangunan. Anak penyandang cacat perlu dikenali dan diidentifikasi dari

kelompok anak pada umumnya, karena mereka memerlukan pelayanan yang bersifat

Page 2: BAB I Data Kebutuhan Khusus

khusus, seperti pelayanan medik, pendidikan khusus maupun latihan-latihan tertentu

yang bertujuan untuk mengurangi keterbatasan dan ketergantungan akibat kelainan

yang diderita, serta menumbuhkan kemandirian hidup dalam masyarakat.

Masalah kecacatan pada anak merupakan masalah yang cukup kompleks baik

secara kuantitas maupun kualitas, mengingat berbagai jenis kecacatan mempunyai

permasalahan tersendiri.

Jika masalah anak penyandang cacat ini ditangani secara dini dengan baik dan

keterampilan mereka ditingkatkan sesuai minat, maka beban keluarga, masyarakat

dan negara dapat dikurangi. Sebaliknya jika tidak diatasi secara benar, maka

dampaknya akan memperberat beban keluarga dan negara.

Keberadaan anak berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat secara

nasional maupun sebarannya pada masing-masing provinsi belum memiliki data

yang pasti. Menurut WHO jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia adalah

sekitar 7% dari total jumlah anak usia 0-18 tahun atau sebesar 6.230.000 pada tahun

2007. Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003 jumlah

penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah penduduk sebesar

211.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa. Dari jumlah tersebut 24,45% atau

361.860 diantaranya adalah anak-anak usia 0-18 tahun dan 21,42% atau 317.016

anak merupakan anak cacat usia sekolah (5-18 tahun). Sekitar 66.610 anak usia

sekolah penyandang cacat (14,4% dari seluruh anak penyandang cacat) ini terdaftar

di Sekolah Luar Biasa (SLB). Ini berarti masih ada 295.250 anak penyandang cacat

(85,6%) ada di masyarakat dibawah pembinaan dan pengawasan orang tua dan

keluarga dan pada umumnya belum memperoleh akses pelayanan kesehatan

2

Page 3: BAB I Data Kebutuhan Khusus

sebagaimana mestinya. Pada tahun 2009 jumlah anak penyandang cacat yang ada di

Sekolah meningkat menjadi 85.645 dengan rincian di SLB sebanyak 70.501 anak dan

di sekolah inklusif sebanyak 15.144 anak.2

Salah satu contoh anak kategori berkebutuhan khusus adalah anak tunagrahita

yang memiliki intelegensi yang signifikan berada di bawah rata-rata dan disertai

dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa

perkembangan, yang terutama disebabkan oleh karena adanya kelainan kromosom

(sindroma Down).2

Nama sindroma Down berasal dari nama dokter Inggris bernama Langdon

Down. Sindroma Down bukan merupakan suatu penyakit tetapi merupakan suatu

kelainan genetik yang dapat terjadi pada pria maupun wanita. Kelainan ini

merupakan hasil dari kelainan kromosom yang tidak selalu diturunkan kepada

keturunan berikutnya. Kelainan kromosom yang sering dijumpai adalah kelebihan

kromosom 21 yang dinamakan trisomi 21. 3

Frekuensi terjadinya penderita sindroma Down di Indonesia adalah 1 dalam

600 kelahiran hidup. Angka kejadian sindroma Down berkaitan dengan usia ibu saat

kehamilan. Rasio kejadian untuk ibu muda <20 tahun adalah 1:2000 setiap kelahiran.

Frekuensi akan meningkat menjadi 1:100 pada usia ibu >45 tahun. Meningkatnya

usia ibu saat kehamilan sampai di atas 45 tahun akan meningkatkan resiko

melahirkan anak dengan sindroma Down sebesar 1:50. 3

Orang-orang dengan sindroma down tidak memiliki masalah rongga mulut

yang unik. Akan tetapi, beberapa masalah cenderung sering terjadi dan bisa menjadi

parah. Perawatan profesional secara dini dan perawatan harian di rumah dapat

3

Page 4: BAB I Data Kebutuhan Khusus

mengurangi keparahannya dan membuat penderita sindroma Down memiliki

perbaikan kesehatan rongga mulut. 4

Beberapa penelitian mengatakan bahwa karies pada penderita sindroma Down

bukan merupakan masalah karena cenderung insidensinya terjadi lebih rendah

dibanding anak yang non sindroma Down3,5,6, hal ini disebabkan adanya saliva yang

berlebihan, dan terutama oleh kandungan karbonat yang tinggi pada saliva sehingga

memiliki daya buffer yang baik. Disamping itu juga keadaan mikrodonsia dan

spacing turut memberikan peran dalam daya self cleansing gigi-geligi.3 Selain itu ada

beberapa kondisi oral yang berhubungan dengan hal ini yaitu adanya erupsi yang

terlambat dari gigi desidui dan permanen, hilangnya gigi permanen, dan adanya

bentuk gigi yang kecil sehingga terbentuk space yang luas (diastema) diantara gigi,

yang dapat memudahkan dalam mengontrol dan melepaskan plak. Sebagai tambahan,

adanya pengaturan makanan (diet) pada kebanyakan anak dengan sindroma down

dalam mencegah obesitas (kelebihan berat badan), dapat membantu dalam

mengurangi konsumsi makanan dan minuman kariogenik.4

Namun, ada juga beberapa penelitian yang mengatakan bahwa pada penderita

retardasi mental (sindroma Down) dijumpai insiden karies gigi yang lebih tinggi7,8,

terutama pada retardasi mental yang berat dan sangat berat. Insidensi karies yang

tinggi pada penderita retardasi mental kemungkinan disebabkan karena kekurang-

mampuan penderita melakukan pembersihan rongga mulut, atau orang tua kurang

memperhatikan pola makan (diet) anak.1

Selain masalah karies gigi, pada penderita sindroma Down juga ditemukan

adanya maloklusi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti adanya

4

Page 5: BAB I Data Kebutuhan Khusus

keterlambatan erupsi gigi permanen, gangguan perkembangan pada maksila,

kebiasaan buruk (bernafas melalui mulut, bruxism, tongue trusting), bentuk gigi yang

abnormal, pengunyahan yang tidak baik, hipotonik otot rongga mulut, dan terjadinya

anodonsia parsialis dengan angka kejadian sebesar 50% jika dibandingkan populasi

umum yang hanya sebesar 2%. Satu-satunya gigi yang tidak mengalami anodonsia

adalah gigi molar pertama tetap. 3,4,9,10

Di negara-negara maju prevalensi karies gigi terus menurun, sedangkan di

negara-negara berkembang termasuk Indonesia ada kecenderungan terjadi kenaikan

prevalensi penyakit tersebut. 11

Berdasarkan survei data, kesehatan gigi di Indonesia masih merupakan masalah

karena prevalensi karies mencapai 80% dari jumlah penduduk. Tingginya prevalensi

karies gigi, serta belum berhasilnya usaha untuk mengatasinya mungkin disebabkan

oleh faktor-faktor distribusi penduduk, lingkungan, perilaku, dan pelayanan

kesehatan gigi yang berbeda dalam masyarakat Indonesia (Dirjen Pelayanan Medik

Direktorat Kesehatan Gigi, 1996). 11

Menurut Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional tahun

2007, Kota Makassar yang memiliki jumlah penduduk terbesar di provinsi Sulawesi

Selatan dengan 1.235.239 jiwa yang tersebar di 14 kecamatan memiliki angka

prevalensi karies aktif dan pengalaman karies yang cukup tinggi, yaitu sebesar 37,6%

dan 58,1%. 12,13

Berdasarkan beberapa hal di atas, dapat dilihat bahwa kepedulian dan perhatian

masyarakat dan pemerintah masih sangat rendah terhadap kesehatan gigi dan mulut

anak-anak, khususnya anak berkebutuhan khusus seperti sindroma Down. Oleh

5

Page 6: BAB I Data Kebutuhan Khusus

karena itu, penulis tertarik untuk menelusuri lebih lanjut mengenai prevalensi

terjadinya karies gigi dan bagaimana relasi gigi anterior pada anak sindroma Down

di kota Makassar, yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Sulawesi Selatan

dengan angka pengalaman karies yang cukup tinggi.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah

penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana prevalensi karies gigi pada anak sindroma Down di kota Makassar?

2. Bagaimana relasi gigi anterior anak sindroma Down di kota Makassar?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka diperoleh tujuan dari penelitian

ini, yaitu :

1. Mengetahui prevalensi karies gigi pada anak sindroma Down di kota Makassar.

2. Mengetahui jenis relasi gigi anterior yang paling sering terjadi pada anak

sindroma Down di kota Makassar.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan serta memberikan pengalaman

langsung pada peneliti dalam melakukan penelitian ini.

6

Page 7: BAB I Data Kebutuhan Khusus

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai

prevalensi karies gigi anak sindroma Down di kota Makassar.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi ilmiah

mengenai jenis relasi gigi anterior yang paling sering terjadi pada anak

sindroma Down di kota Makassar.

4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para dokter

gigi mengenai karakteristik sindroma Down.

5. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan salah satu acuan untuk

mengadakan penelitian-penelitian selanjutnya.

7

Page 8: BAB I Data Kebutuhan Khusus