23
Tujuan P 1. M pe 2. M ke 3. M ke 3.1. PEN A Artinya: “Telah ta manusia, Pembelajaran Mahasiswa m enyebab kerus Mahasiswa eanekaragama Mahasiswa m eanekaragama NDAHULUA Allah SWT ber ampak kerus supaya Allah ANC KEANE n mengetahui a sakan di bum mengetahui an hayati mengetahui an hayati men AN rfirman dalam sakan di dar h merasakan BA CAMAN EKARAG ayat-ayat alq mi faktor-fak klasifikasi, nurut IUCN d m Al-qur’an s rat dan di l n kepada mer AB III N TERHA GAMAN quran yang ktor yang dan criteri dan penting cr sebagai beriku laut disebab reka sebagian ADAP HAYAT terkait deng menganca ia ancam riteria tersebu ut: bkan perbuata n dari (akiba TI gan am man ut. an at)

Bab 3 - Ancaman Kehati

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Ancaman Kehati

Citation preview

Tujuan Pembelajaran

1. Mahasiswa mengetahui ayat

penyebab kerusakan di bumi

2. Mahasiswa mengetahui

keanekaragaman hayati

3. Mahasiswa mengetahui klasifikasi, dan criteria ancaman

keanekaragaman hayati menurut IUCN dan penting criteria tersebut.

3.1. PENDAHULUAN

Allah SWT berfirman dalam Al

Artinya:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan

manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat)

Tujuan Pembelajaran

Mahasiswa mengetahui ayat

penyebab kerusakan di bumi

Mahasiswa mengetahui

keanekaragaman hayati

Mahasiswa mengetahui klasifikasi, dan criteria ancaman

keanekaragaman hayati menurut IUCN dan penting criteria tersebut.

PENDAHULUAN

Allah SWT berfirman dalam Al

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan

manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat)

ANCAMAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI

Tujuan Pembelajaran

Mahasiswa mengetahui ayat

penyebab kerusakan di bumi

Mahasiswa mengetahui

keanekaragaman hayati

Mahasiswa mengetahui klasifikasi, dan criteria ancaman

keanekaragaman hayati menurut IUCN dan penting criteria tersebut.

PENDAHULUAN

Allah SWT berfirman dalam Al

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan

manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat)

BAB IIIANCAMAN TERHADAP

KEANEKARAGAMAN HAYATI

���

Mahasiswa mengetahui ayat-ayat alquran yang terkait dengan

penyebab kerusakan di bumi

Mahasiswa mengetahui faktor-faktor yang mengancam

Mahasiswa mengetahui klasifikasi, dan criteria ancaman

keanekaragaman hayati menurut IUCN dan penting criteria tersebut.

Allah SWT berfirman dalam Al-qur’an sebagai berikut:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan

manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat)

BAB III ANCAMAN TERHADAP

KEANEKARAGAMAN HAYATI

ayat alquran yang terkait dengan

faktor yang mengancam

Mahasiswa mengetahui klasifikasi, dan criteria ancaman

keanekaragaman hayati menurut IUCN dan penting criteria tersebut.

qur’an sebagai berikut:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan

manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat)

ANCAMAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI

ayat alquran yang terkait dengan

faktor yang mengancam

Mahasiswa mengetahui klasifikasi, dan criteria ancaman

keanekaragaman hayati menurut IUCN dan penting criteria tersebut.

qur’an sebagai berikut:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan

manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat)

KEANEKARAGAMAN HAYATI

ayat alquran yang terkait dengan

faktor yang mengancam

Mahasiswa mengetahui klasifikasi, dan criteria ancaman

keanekaragaman hayati menurut IUCN dan penting criteria tersebut.

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan

manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat)

perbuatan mereka, agar mereka kembali (k

Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perlihatkanlah bagaimana

kesudahan orang

orang-orang yang mempersekutukan (Allah).”

Artinya:

“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjala

mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam

binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan/kerusakan

(lingkungan)

3.2. DEFORESTRASI

Deforestrasi merupakan gambaran nyata dari perubahan lingkungan

global. Laju deforestrasi yang sangat tinggi di hutan

berdampak

hayati, banjir, dan degradasi tanah. Lebih lanjut, de

kehidupan serta integritas budaya dari masyarakat yang bergantung pada

hutan dan persediaan hasil hutan kayu dan non

mendatang.

Penggunaan istilah ‘deforestrasi’ sangat beragam,

penting untuk memiliki

Bangsa (PBB) untuk pangan dan pertanian (Food and Agricultural

Organization

mendefinisikan deforestrasi.

perbuatan mereka, agar mereka kembali (k

Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perlihatkanlah bagaimana

kesudahan orang-orang yang dulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah

orang yang mempersekutukan (Allah).”

“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjala

mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam

binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan/kerusakan

(lingkungan). (QS. Al-Baqorah

DEFORESTRASI

Deforestrasi merupakan gambaran nyata dari perubahan lingkungan

global. Laju deforestrasi yang sangat tinggi di hutan

berdampak besar terhadap perubahan iklim, punahnya keanekaragaman

hayati, banjir, dan degradasi tanah. Lebih lanjut, de

kehidupan serta integritas budaya dari masyarakat yang bergantung pada

hutan dan persediaan hasil hutan kayu dan non

mendatang.

Penggunaan istilah ‘deforestrasi’ sangat beragam,

penting untuk memiliki

Bangsa (PBB) untuk pangan dan pertanian (Food and Agricultural

Organization - FAO) menggunakan dua parameter yang berbeda dalam

mendefinisikan deforestrasi.

perbuatan mereka, agar mereka kembali (k

Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perlihatkanlah bagaimana

orang yang dulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah

orang yang mempersekutukan (Allah).”

“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjala

mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam

binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan/kerusakan

Baqorah :205

DEFORESTRASI DAN DEGRADASI

Deforestrasi merupakan gambaran nyata dari perubahan lingkungan

global. Laju deforestrasi yang sangat tinggi di hutan

besar terhadap perubahan iklim, punahnya keanekaragaman

hayati, banjir, dan degradasi tanah. Lebih lanjut, de

kehidupan serta integritas budaya dari masyarakat yang bergantung pada

hutan dan persediaan hasil hutan kayu dan non

Penggunaan istilah ‘deforestrasi’ sangat beragam,

penting untuk memiliki definisi yang tepat. Badan

Bangsa (PBB) untuk pangan dan pertanian (Food and Agricultural

FAO) menggunakan dua parameter yang berbeda dalam

mendefinisikan deforestrasi. Pertam

���

perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah

Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perlihatkanlah bagaimana

orang yang dulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah

orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS Ar Rum : 41

“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjala

mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam

binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan/kerusakan

:205)

DEGRADASI HUTAN

Deforestrasi merupakan gambaran nyata dari perubahan lingkungan

global. Laju deforestrasi yang sangat tinggi di hutan

besar terhadap perubahan iklim, punahnya keanekaragaman

hayati, banjir, dan degradasi tanah. Lebih lanjut, de

kehidupan serta integritas budaya dari masyarakat yang bergantung pada

hutan dan persediaan hasil hutan kayu dan non

Penggunaan istilah ‘deforestrasi’ sangat beragam,

definisi yang tepat. Badan

Bangsa (PBB) untuk pangan dan pertanian (Food and Agricultural

FAO) menggunakan dua parameter yang berbeda dalam

Pertama, berdasarkan penggunaan lahan

e jalan yang benar). Katakanlah

Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perlihatkanlah bagaimana

orang yang dulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah

(QS Ar Rum : 41

“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk

mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-

binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan/kerusakan

HUTAN

Deforestrasi merupakan gambaran nyata dari perubahan lingkungan

global. Laju deforestrasi yang sangat tinggi di hutan-hutan tropis telah

besar terhadap perubahan iklim, punahnya keanekaragaman

hayati, banjir, dan degradasi tanah. Lebih lanjut, deforestrasi mengancam

kehidupan serta integritas budaya dari masyarakat yang bergantung pada

hutan dan persediaan hasil hutan kayu dan non-kayu untuk generasi

Penggunaan istilah ‘deforestrasi’ sangat beragam,

definisi yang tepat. Badan Perserikatan Bangsa

Bangsa (PBB) untuk pangan dan pertanian (Food and Agricultural

FAO) menggunakan dua parameter yang berbeda dalam

, berdasarkan penggunaan lahan

e jalan yang benar). Katakanlah

Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perlihatkanlah bagaimana

orang yang dulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah

(QS Ar Rum : 41-42)

n di bumi untuk

-tanaman dan

binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan/kerusakan

Deforestrasi merupakan gambaran nyata dari perubahan lingkungan

hutan tropis telah

besar terhadap perubahan iklim, punahnya keanekaragaman

forestrasi mengancam

kehidupan serta integritas budaya dari masyarakat yang bergantung pada

kayu untuk generasi

oleh sebab itu

erserikatan Bangsa

Bangsa (PBB) untuk pangan dan pertanian (Food and Agricultural

FAO) menggunakan dua parameter yang berbeda dalam

, berdasarkan penggunaan lahan

e jalan yang benar). Katakanlah:

Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perlihatkanlah bagaimana

orang yang dulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah

n di bumi untuk

tanaman dan

binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan/kerusakan

Deforestrasi merupakan gambaran nyata dari perubahan lingkungan

hutan tropis telah

besar terhadap perubahan iklim, punahnya keanekaragaman

forestrasi mengancam

kehidupan serta integritas budaya dari masyarakat yang bergantung pada

kayu untuk generasi

oleh sebab itu

erserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB) untuk pangan dan pertanian (Food and Agricultural

FAO) menggunakan dua parameter yang berbeda dalam

, berdasarkan penggunaan lahan,

����

deforestrasi didefinisikan sebagai konversi lahan hutan untuk kepentingan

lain. Kedua, berdasarkan tutupan tajuk, deforestrasi didefinisikan sebagai

penurunan jangka panjang tutupan tajuk di bawah ambang 10 persen.

Hasilnya, degradasi hutan yang besar dapat terjadi sebelum melewati

ambang deforestrasi tersebut.kegiatan pembalakan hutan yang selektif

biasanya tidak langsung mengurangi penutupan kanopi sampai batas

tersebut, yang akhirnya menyebabkan degradasi hutan, bukan deforestrasi.

Umumnya, deforestrasi merupakan perubahan penggunaan lahan yang lebih

drastic, biasanya ditandai dengan penggudulan hutan dan konversi hutan

menjadi lahan alternative, kebanykan menjadi lahan pertanian. Namun

demikian, degradasi hutan seringkali dapat menjadi deforestrasi melalui

berbagai cara misalnya, kegiatan pembalakan hutan member akses lebih

mudah bagi para petani. Deforestrasi dapat juga terjadi karena pembukaan

lahan untuk pertambangan terbuka, pemakaran kota dan lainnya.

3.2.1. Penyebab langsung deforestrasi dan degradasi hutan

1. Ekspansi pertanian

Aktivitas pertanian yang menyebabkan terjadinya pembukaan dan

konversi hutan, termasuk pembangunan lahan pertanian permanen,

perladangan berpindah, dan pengembalaan ternak. Ekspansi lahan

pertanian umumnya menjadi contributor dominan dari

deforestrasi.perladangan berpindah tidak terlalu merusak

dibandingkan kegiatan pertanian lainnya, karena pertumbuhan

kembali vegetasi dan suksesi hutan sekunder setelahnya, namun hal

ini dapat terjadi hanya pada kawasan dengan kepadatan penduduk

pedesaan yang sangat rendah sehingga dapat terjadi pembiaran lahan

����

dalam waktu yang lama. Penyebab langsung yang dapat memicu

keputusan untuk mengkonversi lahan hutan adalah:

• Kondisi lingkungan yang mendukung (misalnya hutan di

daerah yang memiiliki drainase dan kesuburan tanah yang

baik, akan cenderung dikonversi menjadi lahan pertanian)

• Harga produk pertanian yang tinggi (produksi semakin

menguntungkan, maka semakin banyak pembukaan lahan);

• Biaya yang rendah (biaya rendah untuk pembukaan hutan,

sehingga semakin banyak deforestrasi)

• Perubahan demografi ( misalnya, pertumbuhan populasi dan

populasi penduduk pedesaan yang lebih tinggi dapat

meningkatkan deforestrasi).

Kaimowitz dan Angelsen (1998) menyimpulkan bahwa ekspansi

pertanian merupakan sumber utama deforestrasi. Di Indonesia,

konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit adalah contributor

yang paling signifikan. Harga minyak sawit mentah (crude palm oil

– CPO) yang cukup tinggi memicu ekspansi kawasan untuk ditanami

kelapa sawit. Deforestrasi lebih banyak dipicu oleh industry

pertanian skala besar daripada pertanian skala kecil. Dalam decade

terkahir saja, lahan yang dijadikan perkebunan kelapa sawit telah

meningkat tiga kali lipat, dan di tahun 2005-2006 total lahan

untukperkebunan kelapa sawit adalah 5.6 juta hektar

2. Ekstraksi Kayu

Ekstraksi kayu merupakan penyabab intra sektoral utama dari

degradasi hutan, yang dapat merambat ke terjadinya

deforestrasi,baik secara langsung maupun tidak langsung. Kayu

diambil dari hutan untuk keperluan kayu gelondongan, bubur kertas,

����

kayu arang dan kayu bakar. Ekstraksi kayu yang tidak terkontrol dan

tidak mematuhi aturan, baik legal maupun ilegal, seringkali memicu

degradasi hutan dan secara tidaklangsung menyebabkan deforestrasi.

Pembangunan jalan untuk logging,juga seringkali memicu

deforestrasi karena memberikan akses bagiimigrasi dan konversi

hutan menjadi areal pertanian- di daerah-daerah yang aturan

kepemilikannya tidak jelas atau kurang ditegakkan. Kegiatan

penebangan hutan yang tidak dilaksanakan dengan baik akan

menyisakan limbah dalamjumlah yang sangat besar dan mudah

terbakar, sehingga menjadikan hutan rentan terhadap api yang

berasal pembukaan lahan untuk kegiatan komersial ataupun

pertanian.

3. Pembangunan infrastruktur

Hutan dapat dibuka untuk pembangunan jalan raya, pemukiman,

fasilitas public, saluran pipa,pertmabngan terbuka,bnedungan

hidroelektrik dan berbagai infrastruktur lain. Tidak satu pun dari

aktivitas ini menjadi penyebab utama degradasi dalam skalabesar

dalam kaitannya dengan besarnya arealhutan yang dibuka. Namun

secara tidak langsung, pembanguna jalan raya dan infrastruktur

berkontribusi paling besar terhadap deforestrasi. Halini terjadi bukan

karena luas jalan yang dibangun, namun karena turunnya ongkos

transportasi, yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya

aktivitas produktif di daerah yang terpencil.

3.2.2. Penyebab tak langsung dari deforestrasi dan degradasi hutan

1. Faktor-faktor ekonomi mikro

���

Para bisnismen yang menanggapi kekuatan pasar pada umumnya

akan membuka lahan untuk mengakomodasi permintaan yang

meningkat terhadap produk-produk yang dapat dibudidayakan di

lahan hutan yang dikonversi. Pertumbuhan ekonomi dapat

meningkatkan deforestrasi pada tahap awal pembangunan ekonomi,

dimana hutan ditebang untukproduksi komoditas pertanian. Dalam

tahapan akhir pembangunan ekonomi, tekanan terhadap hutan dapat

berkurang karena produksi pertanian menjadilebih intensif, sector

jasa meningkat pangsanya dalam perekonomian dan permintaan

akan produk dan jasa hutan meningkat, membuat tanah hutan lebih

berharga. Faktor-faktor ekonomimikro lainnya yang berpotensi

untuk mempengaruhi deforestrasi adalah utang luar negeri,kebijakan

nilaikurs mata uang asing dan kebijakan perdagangan yang

mengatur sector-sektor terkait dengan deforestrasi dan degradasi

hutan. Namun, pengaruh dari kebijakan-kebijakn ini terhadaphutan

sangat bervariasi. Sebagai contoh,devaluasi dan depresiasi mata

uang akan merangsang ekspor dan dampak deforestrsai tergantung

pada apakah tanaman uang diekspor cocok untuk dibudidayakan

pada lahan hutan yng ditebang tersebut.

2. Faktor tata kelola

Tata kelola memainkan peran penting dalam menentukan nasib

hutan. Deforestrai dan degradasi hutan bisa diakibatkan dari efek

kombinasi kepemilikan lahan hutan dan lembaga, yang pada

gilirannya, menentukan insentif yang mengarah pada eksploitasi

yang berlebihan.

Sehubungan dengan kepemilikan lahan lahan, deforestrasi dan

degradasi hutan dapat terjadi sebagai akibat dari minimnya definisi

����

hak kepemilikan, termasuk di dalamnya sistem yang member ijin

deforestrasi dengan adanya kepemilikan.ketika hak-hak kepemilikan

lahan itu ambigu, tumpang tindih atau lemah, insentif

untukkeuntungan berinvestasi dalamjangka panjang dari sumberdaya

alamjuga lemah.

Pengambilan keputusan yang tidak transparan mengenai alokasi atau

konversi sumberdaya hutan Negara, dan terkait perilaku mencari

sewa, adalah faktor penting kedua yang mendorong deforestrasi dan

degradasi hutan. Hukum, peraturan dan yuridiksi antar sektoral yang

ambigu atau tumpang tindih, serta kebingunan yang disebabkan oleh

sistem desentralisasi yang tidaklengkap, semua ini member

kesempatan bagi pengusaha untuk mengeksploitasi daerah abu-abu

untukmenghindari kebijkan-kebijakan perlindungan hutan.

Demikian pula, elit ekonomi dan politik nasional sering

menggunakan posisi kekuasan mereka untuk meningkatkan control

ekonomi terhadap sumberdaya hutan dan menyebabkan eksploitasi

yang tidak lestari. Perusahaan kayu dan pabrik pengelolaannya yang

memiliki hubungan dekat dengan pejabat pemerintah dan militer

seringkali dapat memperoleh akses yang diinginkan terhadap

konsesi pembalakan yang bernilai ekonomi tinggi dan hutan

tanaman/perkebunan, dan untuk mendapatkan porsi sewa ekonomi

yang signifikan yang terkait dengan halini. Meluasnya korupsi pada

semua level di banyak negar penghasil hutan umumnya

memungkinkan actor politik dan perusahaan yang kuat untuk

berperilaku dengan tingkat akuntabilitas public yang sangat rendah.

Hal lain yang mempengaruhi nasib hutan adalah faktor tata kelola

hutan, yaitu hukum kehutanan yang tidak tepat dan kapasista

����

penegakan hukum yang lebih. Hukum kehutanan sering

menganggap kegiatan hutan yang lestari sebagai hal yang illegal,

sementara pada saat yang sama memperlakukan kegaitan yang tidak

lestari sebagai hal yang lestari. Colchester dkk. (2006) menemukan

bahwa undang-undang kehutanan cenderung menilai sumber

pendapatan bagi masyarakat miskin yang berbasis hutan sebagai

praktek illegal, sementara undang-undang di luar sector kehutanan

yang melindungi hak-hak komunitas hutan seringkali lemah, ambigu

dan diabaikan. Pada saat yang sama, hukum kehutanan telah

terbukti lemah dalam menangani kejahatan hutan dalam skala besar.

Di Indonesia, upaya mengejar dan menuntur individu dan perusahan

yang tersangkut kasus-kasu pembalakan liar dan pemabakaran telah

gagal.

3.3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONDISI

KEANEKARAGAMAN HAYATI

Kekayaan sumberdaya hayati Indonesia saat ini diperkiraan sedang

mengalami penurunan dan kerusakan. Krisis keanekaragaman hayati ini bisa

disebabkan oleh berbagai faktor, yang satu dengan yang lainnya saling

berkaitan. Faktor-faktor ini dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu

faktor teknis dan faktor struktural. Adapun penjelasannya adalah sebagai

berikut:

1. Faktor Teknis

Ada 3 (tiga) aspek yang masuk kedalam kategori faktor teknis yaitu

kegiatan manusia, teknologi yang digunakan, dan kondisi alam itu

���

sendiri. Ketiga aspek ini diperkirakan mampu menimbulkan kerusakan

dan kepunahan keanekaragaman hayati seperti yang diuraikan berikut ini:

a. Faktor kegiatan Manusia

1. Kesadaran, pemahaman dan kepedulian yang rendah.

Sebagian lapisan masyarakat kurang memiliki kesadaran dan

pemahaman tentang makna penting keanekaragaman hayati

bagi kehidupan sehari-hari maupun sebagai aset

pembangunan. Ketidaktahuan ini menimbulkan sikap tidak

peduli yang mengarah pada perusakan keanekaragaman

hayati.

2. Pemanfaatan berlebih

Pemanfaatan sumber daya sering dilakukan tanpa

mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

Banyak sumberdaya hutan, perikanan dan satwa liar

dieksploitasi secara berlebihan. Banyak kelangkaan

disebabkan oleh perburuan, untuk mendapatkan gading

gajah, cula badak, burung nuri, cenderawasih, dll.

Pengambilan gaharu yang berlebihan mengurangi populasi

alami, hingga para pemburu gaharu harus mencari lebih jauh

ke dalam hutan.

3. Pemungutan dan perdagangan ilegal: Contoh jelas tentang

hal ini adalah penebangan liar, serta perdagangan flora dan

fauna, yang dilindungi maupun yang tidak, juga marak di

Indonesia.

4. Konversi habitat alami

Diperkirakan sekitar 20-70% habitat alami Indonesia sudah

rusak (Bappenas, 1993). Hal ini terjadi terutama karena

����

konversi habitat alami untuk berbagai kepentingan

pembangunan. Misalnya, degradasi hutan mangrove untuk

dikonversi menjadi tambak, lahan pertanian, pemukiman,

pelabuhan dan industri, seperti yang umum terjadi di pesisir

timur Sumatera, pantai utara Jawa, dan Sulawesi Selatan.

5. Monokulturisme dalam budidaya dan pemanfaatan

Pola monokultur ini mengarah pada ketidakseimbangan dan

akhirnya menimbulkan keterancaman spesies serta erosi

keanekaragaman genetik. Spesies yang diketahui nilai

ekonomi pasarnya dieksploitasi secara berlebih, dan upaya

budidayanya dilakukan. Sementara spesies yang dianggap

tidak punya nilai ekonomi dibiarkan terancam punah tanpa

ada upaya budidaya.

Pertanian dan kehutanan modern cenderung monokultur,

menggunakan pupuk dan pestisida untuk mendapat hasil

sebesar-besarnya. Hutan tanaman industri (HTI)

memprioritaskan tanaman-tanaman eksotik (dari luar) yang

dapat dipanen dengan cepat, seperti acaccia mangium,

eucalyptus sp, sehingga menggususr jenis lokal dan

mengubah ekosistem hutan secara drastis.

6. Tekanan penduduk

Indonesia merupakan negara terpadat keempat di dunia

dengan populasi mencapai 240 juta orang pada tahun 2013,

untuk penghidupannya, jumlah penduduk yang tinggi ini

memerlukan dukungan sandang, pangan, papan serta ruang

untuk beraktivitas. Hampir semua daya dukung ini berasal

dari alam yang berkaitan sangat erat dengan Kehati. Pola

����

pemanfaatan yang tidak bijaksana akan ancaman bagi

kelestarian keanekaragaman hayati.

7. Kemiskinan dan keserakahan

Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah,

merupakan ancaman bagi kelestarian keanekaragaman

hayati (KLH, 2002). Kualitas SDM yang rendah ini

merupakan salah satu penyebab tingginya tingkat

kemiskinan di Negara ini. Tekanan jumlah dan kualitas

penduduk ini akan semakin mengancan keanekaragaman

hayati laut dan pesisir. Demikian pula, karena tingkat

kemiskinan tertinggi biasanya terdapat di pedesaan, maka

tekanan pada sumber daya alam pasti akan meningkat,

Namun, sebenarnya perusakan keanekaragaman hayati yang

disebabkan oleh kemiskinan lebih kecil dibandingkan

dengan perusakan yang terjadi akibat keserakahan beberapa

pihak yang mengeksploitasi sumber daya alam demi

keuntungan semata. Sikap serakah inilah yang menjurus

pada gejala tangkap lebih di beberapa perairan laut,

penebangan berlebih yang resmi maupun ilegal,

penyelundupan flora dan fauna yang dilindungi serta

konversi habitat alami untuk proyek-proyek pembangunan

ekonomi.

8. Penanaman jenis invasif (invasive species)

Jenis invasif merupakan salah satu bahaya yang mengancam

keanekaragaman hayati. Flora dan fauna yang bersifat

invasif umumnya masuk ke Indonesia dengan sengaja atau

tidak dari luar negeri atau dari area yang bakan habitatnya.

����

Sebagai contoh adalah keberadaan enceg gondok, awal

mulanya digunakan sebagai tumbuhan hias, namun pada

kenyataannya tumbuhan perairain ini telah menggangu

ekosistem perairan air tawar Indonesia, beberapa flora dan

fauna asli tidak dapat bersaing hidupberdampingan dengan

dominasi enceng gondok. Kondisi yang sama terjadi

terhadap keberadaan tumbuhan akasia (akasia nilotica) yang

berda di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur yang pada

awalnya digunakan untuk mencegah kebakaran secara

perlahan telah mendominasi sehingga kebaradaan banteng

(Bos sondaicus) di taman nasional tersebut populasinya

menurun karena kesulitan dalammencari pakan. Contoh lain

adalah tumbuhan Merremia peltata (mantangan) yang

menyerang kawasan Taman Nasional Bukit BArisan

Selatan, Sumatra tumbuah invasive ini telah menguabh jalur

gajah menyebabkan gjah terjebak oleh tumbuhan invasif. Di

Indonesia diketahui ada 2.809 jenis invasive, yaitu mulai

dari jamur, bakteri, virus, ikan arachina, burung, mamalia,

insekta dan muluska serta tumbuahn, seperti ditunujukkan

pada gambar berikut:

���

b. Pemilihan Teknologi

Beberapa jenis teknologi, teknik dan alat untuk pemanfaatan

keanekaragaman hayati dapat menimbulkan kerusakan pada ekosisem.

Sebagai contoh:

• Jenis alat yang diketahui merusak habitat sumber daya hayati

pesisir adalah penggunaan alat pengumpul ikan, bahan peledak,

bahan beracun dan pukat harimau. Sebagai ilustrasi, pukat udang

dengan lebar 20 meter mampu menggerus dasar laut seluas 1

km2 dalam waktu 1 jam. Tingkat kerusakan ini melebihi tingkat

kerusakan yang ditimbulkan oleh gelombang.

• Di bidang pertanian, teknologi pertanian yang intensif, misalnya

revolusi hijau (untuk padi) dan revolusi biru (untuk

pertambakan udang) telah mengubah cara budidaya polikultur

yang kaya spesies dan kultivar dengan budidaya monokultur.

Seperti disebutkan diatas, pola monokultur ini mengarah pada

���

ketidakseimbangan dan akhirnya menimbulkan keterancaman

spesies serta erosi keanekaragaman genetik.

• Di laut, sumber pencemaran adalah tumpahan minyak dari

kapal, dan kegiatan industri. Sedangkan diperairan tawar,

sumber pencemar kebanyakan dari limbah kegiatan industri dan

rumah tangga.

c. Faktor Alam

Salah satu faktor alam yang bisa mempengaruhi kerusakan dan

penyusutan keanekaragaman hayati ialah perubahan iklim global.

Perubahan iklim global, yang disebabkan antara lain oleh pemanasan

global, mempunyai pengaruh pada sistem hidrologi bumi, yang pada

gilirannya berdampak pada struktur dan fungsi ekosistem alami dan

penghidupan manusia. Beberapa tahun terakhir ini, perubahan iklim

telah berdampak pada pertanian, ketahanan pangan, kesehatan

manusia dan permukiman manusia, lingkungan, termasuk sumber

daya air dan keanekaragaman hayati. Dampak yang mudah terlihat

adalah frekuensi dan skala banjir dan musim kering yang panjang,

yang terjadi di banyak bagian dunia, termasuk Indonesia.

2. Faktor Struktural

Ada dua akar persoalan atau masalah struktural. Pertama, paradigm

pembangunan yang dianut oleh pemerintah selama era 1970-an hingga

1990-an dan kedua, belum terbentuk tata kelola (governance) yang baik.

Paradigma pembangunan dimasa lalu belum mempertimbangkan

kepentingan pengelolaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.

Pemerintah memandang keanekaragaman hayati sebagai sumber daya

���

yang berharga untuk dilikuidasi dalam rangka perolehan devisa,

percepatan pertumbuhan ekonomi serta diversifikasi basis perekonomian.

Dengan kata lain, pemanfaatan keanekaragaman hayati dilakukan dengan

prinsip keruk habis, jual murah dan jual mentah. Oleh sebab itu,

kerusakan dan kepunahan keanekaragaman hayati meningkat seiring

dengan melajunya pertumbuhan ekonomi. Pemanfaatan dan pengelolaan

Kehati yang lestari dan berkelanjutan memerlukan tata kelola (good

governance) yang baik. Tata kelola yang baik dicirikan oleh pemerintah

yang bersih, bertanggung gugat, representatif dan demokratis. (KLH,

2002). Kedua pangkal persoalan tersebut menimbulkan masalah

struktural di bawah ini:

a. Kebijakan Eksploitatif, Sentralistik, Sektoral dan Tidak

Partisipatif

Paradigma pertumbuhan ekonomi mendorong pemerintah untuk

melakukan sentralisasi pelaksanaan pembangunan dan

penguasaan sumber daya untuk pembangunan, termasuk sumber

daya alam (Barber, 1996).

b. Sistem Kelembagaan yang Lemah

Indonesia belum mempunyai sistem yang kuat dan efektif untuk

pengelolaan keanekaragaman hayati. Akibatnya, perencanaan,

pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan lestari

keanekaragaman hayati belum terpadu. Pengelolaan

keanekaragaman hayati dilakukan oleh berbagai lembaga tanpa

mempunyai wewenang hukum yang jelas. Koordinasi dan

integrasi program di antara para pengelola amat lemah, salah

satunya karena tidak ada arahan nasional yang kuat dan diakui

yang mendasari perencanaan setiap sektor. Akibatnya keputusan

��

yang dibuat sering parsial, seperti yang telah diuraikan di atas,

dan bahkan keputusan satu sektor bisa bertentangan dengan

sektor lainnya (Wetlands Indonesia Programme, 2003).

Kelemahan di segi kelembagaan juga mempengaruhi koordinasi

pelaksanaan kewajiban terhadap berbagai konvensi internasional,

misalnya KKH, Konvensi Ramsar dan CITES. Koordinasi dan

integrasi program di antara para pengelola amat lemah, salah

satunya karena tidak ada arahan nasional yang kuat dan diakui

yang mendasari perencanaan setiap sektor. Akibatnya keputusan

yang dibuat sering parsial, seperti yang telah diuraikan di atas,

dan bahkan keputusan satu sektor bisa bertentangan dengan

sektor lainnya (Wetlands Indonesia Programme, 2003).

c. Sistem dan penegakan hukum yang lemah

Pengelolaan keanekaragaman hayati secara lestari sulit terjadi

karena sistem dan instrumen hukum yang ada masih lemah.

Lembaga penegakan hukum sering tidak memahami substansi

hukum yang terkaitan dengan keanekaragaman hayati. Sistem

judisial juga belum profesional dan otonom sehingga

menyulitkan penegakan hukum. Semuanya ini diperparah oleh

keterbatasan dana, sumber daya manusia serta infrastruktur yang

memadai untuk penegakan hukum (KLH, 2002). Karena

perumusan kebijakan sering tidak melibatkan partisipasi publik,

kalangan masyarakat tidak mengetahui adanya kebijakan

tersebut, sehingga tidak dapat membantu penegakannya. Lebih

jauh, kadang-kadang aparat di daerah tidak mengetahui atau tidak

peduli dengan kebijakan yang telah dibuat di pusat. Dan yang

terakhir, banyak kebijakan berbeda dari hukum adat yang berlaku

���

di masyarakat sehingga kadang-kadang sulit diterima oleh

masyarakat.

Faktor-faktor diatas telah mengakibatkan kerusakan ekosistem

keanekaragaman hayati, penurunan ukuran populasi serta meningkatkan

kelangkaan species di alam bahwa menuju kepunahan. Spesies yang rentan

terhadap kepunahan adalah spesies yang:

- Sebaran geografi yang sempit

- Jumlah populasinya sedikit

- Ukuran populasinya menurun

- Kepadatan populasi rendah

- Memerlukan daerah jelajah yang luas

- Hewan dengan ukuran tubuh besar

- Kemampuan menyebar yang lemah

- Bermigrasi musiman (tergantung pada 2 atau lebih habitat yang

berlainan)

- Variasi genetik rendah

- Memerlukan habitat khusus

- Hanya dijumpai pada lingkungan utuh stabil

- Membentuk kelompok, permanen atau sementara

- Terisolasi atau belum pernah kontak dengan manusia

- Diburu atau dipanen manusia

- Berkerabat dekat dengan spesies yang telah punah

Konvensi internasional yang mengatur perdagangan antar Negara tentang

species-species satwa dan tumbuhan yang terancam punah, yaitu CITES

(Convention on International Trade in Endangered species of Wild Flora

dan Fauna) mengelompokkan status tumbuhan dan satwa liar yang

diperdagangkan menjadi beberapa kelompok, yaitu:

���

a. Appendix I, yaitu Memuat daftar dan melindungi seluruh spesies

tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk

perdagangan internasional secara komersial.

b. Appendix II, yaitu Memuat daftar dari spesies yang tidak terancam

kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila

perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan.

c. Appendix III, yaitu memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar

yang telah dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas

kawasan habitatnya, dan memberikan pilihan (option) bagi negara-

negara anggota CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk

dimasukkan ke Appendix II, bahkan mungkin ke Appendix I.

3.4. KATEGORI IUCN UNTUK SPESIES TERANCAM

KEPUNAHAN

Menurut Red Data Booksnya, IUCN telah memperkenalkan

pengkatagorian spesies yang terancam kepunahan berdasarkan status

ekologis dan besarnya ancaman yang diterima spesies tersebut. Hubungan

kategori keterancaman dan proses dalam penentuan kategori

keterancamannya dapat dilihat pada Gambar 3.1 Berikut ini adalah

pengkategorian species menurut IUCN:

1. PUNAH Extinc (EX) Suatu taxon dikatakan punah jika tidak ada

keraguan lagi bahwa individu terakhir telah mati.

2. PUNAH DI ALAM Extinct in the wild (EW) Suatu taxon dikatakan

punah di alam jika dengan pasti diketahui bahwa taxon tersebut

hanya hidup di penangkaran, atau hidup di alam sebagai hasil

pelepasan kembali di luar daerah sebaran aslinya. Suatu taxon

dianggap punah di alam jika telah dilakukan survai menyeluruh di

��

daerah sebarannya atau di daerah yang memiliki potensi sebagai

daerah sebarannya di alam, survai dilakukan pada waktu yang tepat,

dan survai tersebut gagal menemukan individu taxon tersebut.

Survai harus dilakukan sepanjang siklus hidup taxon tersebut.

3. KRITIS Critically Endangered (CR) Suatu taxon dikatakan kritis

jika taxon tersebut menghadapi resiko kepunahan sangat tinggi di

alam

4. GENTING Endangered (EN) Suatu taxon dikatakan genting jika

taxon tersebut tidak termasuk kategori kritis saat menghadapi resiko

kepunahan sangat tinggi di alam dalam waktu dekat

5. RENTAN Vulnerable (VU) Suatu taxon dikatakan rentan jika taxon

tersebut tidak termasuk kategori kritis atau genting tetapi

menghadapi resiko kepunahan tinggi di alam

6. KEBERADAANNYA TERGANTUNG PADA AKSI

KONSERVASI Conservation Dependent (CD). Untuk dianggap

sebagai CD suatu taxon harus merupakan focus dari program

konservasi jenis atau habitat yang secara langsung mempengaruhi

taxon yang dimaksud.

7. RESIKO RENDAH Low Risk (LR). Suatu takson dikatakan resiko

rendah jika setelah dievaluasi ternyata taxon tersebut tidak layak

dikategorikan dalam kritis, genting dan rentan, Conservation

Dependent dan Data Deficient. Kategori ini dapat dibagi menjadi

tiga, yaitu: (i) taxon yang nyaris memenuhi syarat untuk dikatakan

terancam punah (Near-Threatened), (ii) taxon yang tidak begitu

menjadi perhatian, (iii) taxon yang saat ini jumlahnya besar tetapi

memiliki peluang yang sangat kecil untuk punah di masa depan

���

8. KURANG DATA Data Deficient (DD). Suatu taxon dikatakan

kekurangan data jika informasi yang diperlukan, baik sifatnya

langsung maupun tidak langsung, untuk menelaah resiko kepunahan

taxon dimaksud berdasarkan distribusi atau status tidak memadai.

Taxon dalam kategori ini mungkin telah banyak dipelajari aspek

biologinya, tetapi data kelimpahan dan atau distribusinya masih

kurang. Berdasarkan hal tersebut DD tidak dapat dimasukkan ke

dalam kategori terancam punah atau beresiko kecil. Dengan

memasukkan taxon ke dalam kategori ini menunjukkan bahwa

informasi tentang taxon tersebut sangat diperlukan

9. TIDAK DIEVALUASI Not Evaluated (NE). Suatu taxon dikatakan

tidak dievaluasi jika taxon tersebut tidak dinilai berdasarkan kriteria

di atas.

Persatuan Konservasi Dunia (The World Conservation Union,

IUCN) menerbitkan sebuah buku dengan nama Dartar Merah ini terancam

satu demi satu. Daftar Merah ini direvisi setiap 2 tahun sejak 1986 oleh

Pusat Monitor Konservasi Dunia (World Conservation Monitoring Centre),

bersama jaringan kelompok khusus dari Komisi Ketahanan Spesies (Spesies

Survival Commission Spesial Groups) IUCN, untuk lebih detail silahkan

kunjungi website nya di http:iucn.org.

Menurut Daftar Merah IUCN edisi 1990, terdapat 4.452 spesies

satwa yang terancam punah. Kelas satwa dengan jumlah spesies terbesar

yang terancam adalah serangga (1.083 spesies) dan burung (1.029). disusul

ikan (713), mamalia (507), kerang-kerangan (409), reptillia (169), karang

(154), cacing anelida (139), krustasea (126), dan amfibia (57). Sedangkan

Tumbuhan yang terancam di Asia mencapai 6.608 spesies, eropa tanpa

Jerman 2.677, Amerika Tengah dan utara 5.747, Amerika Selatan 2.061,

���

Oceania 2.673 dan Afrika 3.308. jumlah yang sebenarnya di lapangan

bahkan bisa lebih banyak dari itu.

Gambar 3.1. Hubungan antar kategori keterancaman menurut IUCN. Diagram di

atas menunjukkan proses suatu jenis bagi penentuan kategori status

keterancaman.

Kategori kritis, genting, dan rentan, sebagai kategori yang perlu

mendapatkan perhatian utama berdasarkan penjelasan yang diuraikan dalam

SEMUA

Kurang Data Data Deficient

Tidak Dievaluasi Not

Punah di alam /Extinct in the

Kritis/�Critically Endangered

Genting Endangered

Rentan Vulnerable

Mendekati Terancam Punah Near-Threatened

Jenis kurang yang Diperhatikan Least Concern

Dievaluasi

Resiko Rendah Low Risk (LR).

Data

Punah/Extinct

Kategori Terancam/ Threatened Categories.

���

masing-masing kategori tersebut di atas, maka peluang keterancamannya

lebih lanjut digambarkan pada Gambar 3.2. Selanjutnya kriteria kritis,

genting dan rentan tersebut di atas masing-masing diidentifikasi berdasarkan

batasan penjabaran dalam tabel berikut :

Tabel 2. Batasan Kategori Terancam Punah Dari IUCN

Kriteria Kritis Genting Rentan

A. Penurunan

Tajam

> 80% selama 10

tahun atau 3

generasi

> 50% selama 10

tahun atau 3

generasi

>50% selama 20

tahun atau 5 generasi

B. Daerah

Sebaran yang

sempit

Luas daerah

sebaran <100 km2.

Luas daerah yang

ditempati <10 km2.

Luas daerah

sebaran <5.000 km2

Luas daerah yang

ditempati <500 km2

Luas daerah sebaran

<20.000 km2.

Luas daerah yang

ditempati <2.000 km2

C. Populasi

Kecil

<250 individu

dewasa.

<2.500 individu

dewasa.

<10.000 individu

dewasa.

D1. Populasi

Sangat Kecil

<50 individu

dewasa.

<250 individu

dewasa.

<1.000 individu

dewasa.

D2. Daerah

Sebaran Sangat

Kecil

-

-

<100 km2 atau 5

lokasi

E.

Kemungkinan

Punah

Memiliki peluang

untuk punah <50%

dalam kurun waktu

5 tahun

Memiliki peluang

untuk punah >20%

dalam kurun waktu

20 tahun

Memiliki peluang

untuk punah 10%

dalam kurun waktu

100 tahun

����

Gambar 3.2. Besarnya peluang suatu jenis untuk punah berdasarkan kategori

ancaman menurut IUCN.

Kriteria menurut IUCN ini penting untuk:

1. Perencanaan konservasi – informasi species penting untuk aksi

konservasi dan identifikasi secara global lokasi untuk konservasi yang

meliputi area tanaman penting, area burung penting burung, are

biodiversitas kunci dan alliance untuk lokasi zero kepunahan

2. Pembuatan keputusan – pengaruh keputusan konservasi pada beberapa

skala, dari penilaian dampak laingkungan sampai perjanjian-perjanjian

lingkungan intrnasional.

3. Monitoring – mengindikasikan ststus terbaru species dan menunjukkan

trend resiko kepunahan mereka sampai kemajuan perjlanan kedepan

biodiversitas.