Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Akne Vulgaris
2.1.1 Etiologi dan Epidemiologi Akne Vulgaris
Akne Vulgaris atau yang lebih dikenal dengan istilah jerawat
merupakan penyakit dermatologis kronik di unit polisebasea, biasanya
polimorfik, dan poligenetik. AV menjadi tanda awal dari pubertas pada usia
remaja, biasanya satu tahun sebelum menarkhe. Gambaran klinis yang ada
pada AV adalah polimorfik, dari komedo, papul, pustul, hingga nodul dan
scar (Movita, 2013).
Berdasarkan penelitian oleh Munawar dkk, didapatkan hasil bahwa, AV
merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia remaja dengan prevalensi
80%. Pernyataan ini juga sesuai dengan studi retrospektif yang telah
dilakukan oleh Ayudianti, bahwa, remaja merupakan penderita AV tersering
dengan presentase sekitar 85% (Ayudianti & Indramaya, 2014). Onset AV
pada perempuan lebih dulu dibandingkan dengan laki-laki karena umumnya
masa pubertas perempuan lebih dahulu terjadi daripada laki-laki. Perempuan
ras Afrika-Amerika memiliki prevalensi AV tertinggi dibandingkan dengan
ras lainnya, yaitu 32-37%. Urutan kedua yaitu ras Asia sebesar 30%, setelah
itu diikuti oleh ras Kukasia 24 %, dan ras India 23% (Movita, 2013).
Sedangkan prevalensi AV untuk perempuan dan laki-laki di Indonesia yang
telah tercatat oleh Dermatologi Kosmetika Indonesia, terdapat 60% kasus AV
pada tahun 2006, 80% pada tahun 2007, dan 90% pada tahun 2009 dengan
total tertinggi ada pada perempuan sebesar 83-85% dengan puncak usia 14
6
17 tahun, sedangkan untuk laki-laki 95-100% pada usia 16-19 tahun
(Afriyanti, 2015). Sesuai dengan hasil survei prevalensi AV dari beberapa
populasi yang berbeda menunjukkan hasil yang sama yaitu prevalensi AV
menurun setelah usia 20 tahun (Williams, et al., 2012)
Etiologi AV sendiri masih belum diketahui dengan pasti akan tetapi ada
beberapa faktor yang menyebabkan AV yaitu Hiperkeratinisasi atau proses
keratinisai yang abnormal, produksi sebum berlebihan yang disebabkan oleh
hormon androgen, infeksi bakteri Propionibacterium acnes (P. acnes), peran
mediator inflamasi, faktor usia, jenis kelamin, faktor keluarga, jenis kulit
berminyak yang lebih dominan daripada jenis kulit kering, diet, cuaca iklim,
sinar uv, faktor pekerjaan, dan faktor stress (Purwaningdyah & Jusuf, 2013).
Umumnya jika kedua orang tua menderita AV berat pada usia remaja, anak-
anaknya cenderung memiliki potensi serupa di masa pubertasnya, oleh karena
itu AV juga disebut sebagai dermatosis poligenetik (Movita, 2013).
2.1.2 Patogenesis Akne Vulgaris
AV biasanya dimulai pada awal masa pubertas, ditandai dengan
peningkatan produksi minyak dan komedo yang diikuti oleh lesi inflamasi.
AV pada usia yang lebih muda (sebelum 12 tahun) biasanya lebih cenderung
komedonal daripada lesi inflamasi, hal ini dikarenakan produksi sebum yang
belum berlebih. Penyebab utama dari AV adalah hiperproliferasi epidermis
folikel rambut bagian atas, infundibulum, menjadi hiperkeratotik. Keratin,
sebum, dan bakteri menumpuk menyebabkan sumbatan di ostium folikel.
Semua ini menyebabkan pelebaran folikel rambut bagian atas dan
menghasilkan mikrokomedo (Fitzpatrick & Freedberg, 2012).
7
Kedua, disebabkan karena produksi sebum yang berlebihan. Produksi
sebum berlebih ini memicu aktivitas bakteri P. acnes pada kulit wajah dan
dapat menyebabkan AV (Healthcare Ltd, MA , 2015). Hal lain yang juga
menjadi penyebab AV adalah peran sitokin yang menginduksi perubahan
komedogenik pada folikel infundibulum dan menghambat sekresi sebum dari
kelenjar sehingga menjadi sebab lesi inflamasi pada penderita AV (Williams,
et al., 2012). AV terjadi saat adrenarke atau kelenjar adrenal mulai aktif
menghasilkan dehidroepiandrosteron sulfat, yaitu prekursor hormone
testosterone. Penderita AV memiliki kadar androgen lebih tinggi
dibandingkan dengan orang normal, meskipun kalau dilihat dengan lebih
teliti, kadar androgen penderita AV masih dalam batas normal. Hormon
Adrogen berperan dalam meningkatkan ukuran kelenjar sebasea dan
menyebabkan peningkatan produksi sebum, disamping itu juga memicu
proliferasi keratinosit pada duktus seboglandularis dan akroinfundibulum.
Hiperproliferasi epidermis folikuler ini diduga terjadi akibat dari penurunan
asam linoleat kulit dan peningkatan aktivitas IL 1-alfa. Hiperkeratinosit
infundibulum yang terus bertambah menyebabkan sumbatan pada muara
folikel rambut, hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi keratin, sebum, dan
bakteri P. acnes sehingga menyebabkan dilatasi folikel rambut menyebabkan
mikrokomedo. Mikrokomedo ini menimbulkan respon inflamasi (Movita,
2013); (Fitzpatrick & Freedberg, 2012).
Disamping karena produksi sebum dan hiperproliferasi epidermis
folikuler, peran mikroorganisme juga penting dalam perkembangan AV.
Mikroorganisme yang berperan adalah P. acnes, Staphylococcus epidermidis,
8
Gambar 2.1 Patofisiologi Akne Vulgaris. (A) Mikrokomedo. Hiperkeratinosit infundibulum,
korneosit yang kompak, sekresi sebum. (B) Komedo. Akumulasi dari korneosit dan sebum.
(C) Papul/pustule inflamasi. Perluasan unit folikel lebih lanjut, Proliferasi Propionibacterium
acnes, Peradangan perifollicular. (D) Nodul. Pecahnya dinding folikel dan terbentuknya
jaringan parut.
Gambar 2.2 Korelasi klinisopatologis dari lesi jerawat. (A). Komedo tertutup. Infundibulum
folikel mengalami distensi, diisi dengan keratin dan sebum, dan epitel folikel dilemahkan.
Osium folikel sempit. (B). Komedo terbuka. Menyerupai komedo tertutup tetapi, ostium
folikuler yang tidak terlihat. (C). Papula inflamasi. Akut dan sel-sel inflamasi kronis
mengelilingi folikel, yang menunjukkan hiperkeratosis infundibular. (D). Nodule. Folikel diisi
dengan sel-sel inflamasi akut.
dan Pityrosporum ovale. Bakteri ini berperan untuk kemotaktik inflamasi
pada pembentukan enzim lipolitik yang akan mengubah fraksi lipid sebum.
Pada bakteri P.acnes, komponen aktif seperti lipase, hialuronidase, protease,
dan faktor-faktor kemotaktik penyebab inflamasi. Lipase memiliki peran
sebagai zat yang menghidrolisis trigliserida sebum menjadi asam lemak bebas
yang berperan pada hiperkeratosis, retensi, dan pembentukan mikrokomedo
(Afriyanti, 2015).
(Fitzpatrick & Freedberg, 2012)
(Fitzpatrick & Freedberg, 2012)
9
Secara sederhananya, bakteri P.acne memproduksi suatu enzim lipase
yang dapat memecah sebum menjadi asam lemak bebas. Asam lemak ini
menyebabkan rekrutmen netrofil dan mengakibatkan inflamasi jaringan.
Dinding sel bakteri P. acne mengandung karbohidrat antigen yang dapat
menstimulasi antibodi, yaitu antipropionibacterium. Antibodi ini mampu
meningkatkan respon inflamatori dengan cara aktivasi komplemen yang
menjadi awal mula cascade proinflammasi. Respon ini menyebabkan
terbentuklah mikrokomedo dan timbul lesi yang akan meradang hingga
berubah menjadi pustul, papul, dan nodul (Ismiaulia, 2016).
2.1.3 Klasifiksi Derajat Keparahan Akne Vulgaris
Klasifikasi derajat AV terbagi menjadi AV derajat ringan, sedang, berat
dan sangat berat yang terbagi berdasarkan jumlah komedo, jumlah pustul,
jumlah kista, inflamasi, dan jaringan parutnya. Pembagian ini biasanya
digunakan untuk menegakkan diagnosis dan sebagai acuhan dalam
menentukan tatalaksana yang tepat penderita AV (Ramdani & Sibero, 2015).
Tabel 2. 1 Klasifikasi Derajat Akne Vulgaris Berdasarkan Jumlah dan Tipe
Lesi Derajat Komedo Papul pustul Nodul, Kista,
Sinus
Inflamasi Jaringan
parut
Ringan <10 <10 - -
Sedang <20 10-50 + +
Berat 20-50 50-100 <5 ++ ++
Sangat berat >50 >100 >5 +++ +++
Keterangan: (-) tidak ditemukan, (+) ada, (++) cukup banyak, (+++) banyak. (Ramdani &
Sibero, 2015)
Klasifikasi lainnya tentang AV yang terdapat di Fitzpatrick’
Dermatology in General Medicine ed 8th 2012 ada 2 macam, yaitu terbagi
10
Gambar 2.3 Akne Derajat Ringan
berdasarkan varian AV secara umum dan terbagi berdasarkan algoritma
terapi. Varian AV secara umum meliputi:
a) Neonatal Akne
b) Infantil Akne
c) Akne Konglobata
d) Akne Fulminans
e) Sapho Syndrome
f) Papa Syndrome
g) Ane Excoriee Des Juenes Filles
h) Akne Mechanica
i) Akne dengan bentuk solid facial edeme
j) Akne dengan hubungan endocrinology abnormalities
Sedangkan AV yang dibagi berdasarkan algoritma terapinya ada 5
macam, yaitu:
a) Akne Derajat Ringan (Komedonal)
Pada Akne derajat ringan terlihat adanya komedo yang tersebar
di permukaan kulit wajah dan terdapat lesi inflamasi. Lesi tersebar
kurang dari setengah bagian wajah dan tidak ada lesi berbentuk nodul.
(Fitzpatrick & Freedberg, 2012)
11
Gambar 2.4 Akne Derajat Sedang
Gambar 2.5 Akne Derajat Berat yang disertai dengan Akne derajat Nodular
b) Akne Derajat Moderete/Sedang
Ditandai dengan lesi yang lebih dari separuh wajah dan dalam
segi bentuk lebih bervariasi, yaitu papul, pustul, dan komedo. Jarang
terdapat nodul yang berbatas jelas, tapi tidak menutup kemungkinan
untuk tidak ada. Timbuh jaringan parut pada postinflamasi.
(Fitzpatrick & Freedberg, 2012)
c) Akne Derajat Berat (Papul Pustul)
Ditandai dengan jenis lesi yang lebih banyak dari akne dengan
derajat sedang, yaitu banyak lesi pustul dan ada lesi nodular tetapi tidak
sebanyak akne kategori nodular, dicampur dengan komedo dan papula
kecil.
(Fitzpatrick & Freedberg, 2012)
12
Gambar 2.6 Akne Konglobata/ Fulminans
d) Akne Nodular
Akne dengan derajat lesi yang lebih parah dari pada akne derajat
berat. Biasanya ditandai dengan jumlah lesi nodular yang banyak di
area wajah.
e) Akne Konglobata/Fulminans
Akne Konglobata adalah jenis akne yang berat sehingga tidak ada
pembagian tingkatnya. Jenis AV ini banyak diderita oleh laki-laki. Ciri
lesi akne konglobata ini adalah nodulus yang saling bersambung,
berwarna merah dan nyeri.
(Fitzpatrick & Freedberg, 2012)
2.1.4 Faktor resiko Akne Vulgaris
AV merupakan penyakit kulit yang penyebabnya multifaktorial.
Berdasarkan Fitzpatrick’ Dermatology in General Medicine terdapat 4
faktor yang menjadi penyebab akne, yaitu: (Fitzpatrick & Freedberg,
2012)
a) Hiperproliferasi folikel epidermal
Adanya hiperproliferasi folikel epidermal menyebabkan
penurunan asam linoleat kulit dan peningkatan aktivitas IL-1 alfa.
13
Epitel folikel rambut bagian atas semakin hiperkeratinosit sehingga
menyebabkan sumbatan pada muara folikel rambut dan menyebabkan
lesi mikrokomedo
b) Produksi sebum yang berlebihan
Produksi sebum yang berlebihan ini terjadi akibat aktivitas
hormon androgen yang hiperaktif pada penderita AV dibandingkan
oang normal lainnya. Sebum yang berlebihan ini memicu aktivasi
kolonisasi bakteri P. acne sebagai salah satu faktor pencetus AV
c) Proses inflamasi
Sama seperti reaksi yang terjadi akibat hiperproliferasi folikel
epidermal, adanya penurunan asam linoleat pada kulit menyebabkan
hiperkeratinosit folikuler dan produksi faktor proinflamasi yaitu
sitokin.
d) Aktivitas kolonisasi bakteri P. acnes
Peranan P. acnes adalah sebagai bakteri normal flora di SC yang
memecah trigliserida, salah satu komponen yang ada di dalam sebum
menjadi asam lemak bebas. Pada sisi lain P. acnes memiliki titer
antibodi pada dindingnya sehingga dapat meningkatkna respon
inflamasi.
14
Selain dalam buku Fitzpatrick’ Dermatology in General Medicine,
dikutip dari berbagai sumber, faktor resiko penyebab AV, sebagai berikut:
a) Genetik (family)
Umumnya jika kedua orang tua menderita AV berat pada usia
remaja, anaknya memiliki potensi tinggi menderita AV di usia
pubertasnya (Khate & Williams, 2013).
b) Tipe kulit (skin type)
Kulit berminyak memiliki kandungan sebum yang lebih tinggi
daripada kulit kering. Produksi sebum mempengaruhi aktivitas P. acnes
yang disebut sebagai salah satu faktor paling umum penyebab AV,
sehingga diketahui orang dengan jenis kulit berminyak lebih mudah
mendapatkan AV dibandingkan dengan orang dengan jenis kulit kering
(Baumann, et al., 2014).
c) Faktor hormonal
60-70% wanita akan memiliki lesi AV kurang lebih seminggu
sebelum haid yang disebabkan karena hormon progesteron. Hormon
lain yang mempengaruhi AV adalah hormone androgen. Peningkatan
hormone androgen di usia pubertas memicu pembesaran ukuran
kelenjar sebasea sehingga produsi sebum menjadi berlebihan
(Afriyanti, 2015).
d) Faktor Higiene
Higiene kulit wajah yang buruk dipercaya menjadi salah satu
faktor penyebab jerawat. Penumpukan hiperkeratinosit epitel rambut
bagian atas, sebum yang berlebih, dan peningkatan kolonisasi P. acne
15
yang tidak dikontrol dengan cara membersihkan wajah 2 kali sehari
menjadi penyebab AV (Healthcare Ltd, MA , 2015).
e) Faktor kosmetik
Kosmetik yang menyebabkan AV adalah kosmetik dengan
kandungan bahan-bahan yang dapat menyebabkan komedogenik.
Bahan-bahan itu seperti lanolin, petrolatum, minyak atsiri, dan bahan
kimia murni (asam oleik, butyl stearate, lauril alkohol, bahan pewarna)
yang biasanya terkandung dalam krim-krim wajah. Sedangkan jenis
bedak yang dapat memicu AV adalah jenis bedak padat (compact
powder) karena penumpukan partikel di pori kulit menyebabkan
sumbatan yang dapat menyebabkan mikrokomedo (Afriyanti, 2015).
f) Faktor infeksi
Faktor infeksi ini dikarenakan oleh bakteri penyebab AV. Bakteri
penyebab AV umumnya adalah Propionibacterium acnes, akan tetai,
ada juga bakteri lain penyebab AV, yaitu Corynebacterium acnes,
Pityrosporum ovale, dan Staphylococcus epidermidis (Afriyanti, 2015).
g) Faktor pekerjaan
Karyawan-karyawan pabrik banyak yang menderita AV akibat
terlalu sering terpapar bahan-bahan kimia seperti oli, debu-debu logam.
(Matodihardjo, 2015)
h) Makanan (diet)
Telalu banyak mengkonsumsi makanan berlemak menyebabkan
peningkatan produksi sebum yang nantinya akan menjadi faktor
penyebab AV. Makanan lain yang memperbarat AV adalah makanan
16
tinggi karbohidrat, alkohol, makanan pedas, dan makanan tinggi
sodium (Afriyanti, 2015).
2.1.5 Diagnosis dan Managemen Akne Vulgaris
Penilaian tingkat derajat keparahan AV sangat penting sebagai
penegak diagnosis dan pemilihan terapi yang sesuai. Anamnesis dapat
meliputi nama, usia, pekerjaan, hobi, dan riwayat keluarga. Pada
pemeriksaan fisik perlu dilakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap
semua sisi wajah pasien untuk mengetahui derajat keparahan AV
(Gambar 2.2). Melalui Anamesis dan pemeriksaan fisik biasanya sudah
dapat digunakan sebagai penegak diagnosis AV (Healthcare Ltd, MA ,
2015).
Managemen AV seperti memperhatikan kondisi psikologis dan
sosial pasien dinilai sangat penting. Hal ini disebabkan karena
banyaknya penderita AV yang kurang memiliki rasa kepercayaan diri.
Mereka mengeluhkan sering merasa malu saat berkomunikasi dengan
orang lain. Beberapa hasil studi observasi yang telah dilakukan
sebelumnya memuat informasi bahwa terapi AV yang tepat menjadi
salah satu yang berperan penting dalam memperbaiki kualitas hidup
penderita (Gieler, et al., 2015).
Mekanisme terapi AV yang sesuai dengan Fitzpatrick adalah
memperbaiki hiperkeratinosit folikuler, mengurangi aktivitas kelenjar
sebasea sehingga dapat menurunkan produksi sebum, mengurangi
bahkan menghambat perkembangan kolonisasi bakteri P. acne
penyebab AV, dan mengurangi proses inflamasi. Terapi lokal yang
17
umum dan dapat dilakukan dengan mudah adalah cleansing
(membersihkan kulit wajah). Cleansing dapat dilakukan dengan
mencuci wajah dua kali sehari menggunakan sabun khusus wajah yang
sesuai dengan jenis kulit. Terapi topikal juga disarankan untuk
penderita AV. Terapi ini memiliki kandungan seperti Retinoid yang
mampu menurunkan resistensi P.acne dan sebagai antiinflamasi,
Benzoyl Peroxide sebagai anti inflamasi, antimikroba, dan komedolitik,
Azeliac Acid yang mampu menormalkan diferensiasi keratinosit, efek
antiinflamasi, dan mengobati hiperpigmentasi pasca inflamasi, serta
Salicylic Acid dengan efeknya yaitu komedolitik, sedangkan untuk
terapi oral sistemik yang biasanya digunakan untuk terapi AV adalah
antibiotik dan antibakterial agen, meliputi tetrasiklin sebagai anti
inflamasi akibat P. acne, Macrolides yang dapat mempengaruhi
resistensi P. acne, Trimethoprim–Sulfamethoxazole biasa digunakan
sebagai antibiotik untuk penderita AV dengan derajat berat karena efek
samping yang besar, dan Sefalexin yang merupakan generasi pertama
sefalosporin memiliki kekuatan dalam membunuh bakteri P. acne
secara in vitro (Fitzpatrick & Freedberg, 2012).
18
Gambar 2. 7 Anatomi Kulit
2.2 Kulit
2.2.1 Anatomi Kulit
(Mescher, 2010).
Kulit merupakan organ terbesar dan terluas yang dimiliki oleh manusia
dan berfungsi sebagai organ proteksi tubuh dari lingkungan eksternal
(Manuel & Eugénia, 2017). Berdasarkan penuturan Prof. R.D. Lockhart
seorang ahli anatomi berkebangsaan Skotlandia mengatakan bahwa, kulit
merupakan mantel ajaib yang dapat berfungsi sebagai lapisan kedap air,
pengatur suhu tubuh, pelindung, organ yang paling sensitive terhadap rasa
raba, nyeri, suhu, dan sebagai organ yang dapat dengan cepat memperbaiki
dirinya sendiri saat terjadi kerusakan dibandingkan dengan organ lain yang
ada pada tubuh manusia (Kalangi, 2013).
Kulit memiliki ketebalan, warna, dan struktur berbeda di berbagai
tempat, hal ini didasarkan kepada kebutuhan fungsional spesifik yang berbeda
19
di setiap bagian tubuh. Sebagai contoh adalah kulit kelopak mata yang
cenderung lebih tipis dari bagian tubuh lainnya serta kulit alis yang cenderung
lebih tebal dan kasar dibandingkan dengan kulit dahi dan pipi yang lebih
lembut dan halus, karena banyak mengandung kelenjar sebasea yang
berfungsi menjaga kelembaban kulit (Arda, et al., 2014).
2.2.2 Struktur Kulit
Kulit manusia umumnya tersusun atas tiga lapisan, yaitu, epidermis,
dermis, dan hipodermis (Wong, et al., 2016). Epidermis ialah lapisan terluar
kulit yang berasal dari ektoderm. Dermis adalah lapisan kulit dibawah
epidermis yang tersusun dari jaringan ikat padat berasal dari mesoderm.
Hipodermis merupakan jaringan kulit paling dalam yang terdisi dari beberapa
jaringan ikat longgar (Kalangi, 2013).
a) Epidermis
Epidermis merupakan lapisan paling superfisial dan tersusun atas lima
lapisan: (Kalangi, 2013);(Agarwal & Krishnamurthy, 2019).
1) Stratum Basalis (Basal layer)
Lapisan yang paling dalam dan paling dekat dengan dermis.
Lapisan ini aktif melakukan mitosis dan merupakan lapisan yang
mengandung pigmen warna (melanosit), satu baris keratinosit, dan
sel induk. Melanosit merupakan jenis sel yang bertanggung jawab
dalam produksi melanin, zat pemberi warna kulit. Keratinosit ialah
lapisan yang bersifat recovery untuk lapisan diatasnya.
20
2) Stratum Spinosum (Prickle cell layer)
Lapisan spinosum merupakan lapisan diatas dari stratum basalis.
Berisi sel-sel dengan bentuk poligonal, inti lonjong, dengan tepian
sel berbentuk seperti duri/taju yang dihubungan oleh desmosome,
sehingga semakin keatas bentuk sel akan semakin gepeng.
3) Stratum Granulosum (granular cell layer)
Stratum yang mengandung banyak butiran-butiran lemak. Pada
lapisan ini sel-sel mulai kehilangan nukleusnya, hal ini terjadi
karena letak lapisan mulai menjauhi dari bagian hipodermis.
4) Stratum Lusidum
Pada lapisan ini terdapat zona eosinofilik homogen tipis yang sulit
diidentifikasi dan dapat ditembus oleh cahaya. Secara mikroskopis
kulit tampak garis celah akibat adhisi yang berkurang. Sel
berbentuk gepeng karena semakin jauh dari lapisan hipodermis dan
semakin mendekati lapisan stratum korneum.
5) Stratum Korneum (Keratin layer)
Stratum korneum merupakan lapisan terluar dari epidermis.
Lapisan ini berfungsi sebagai mantel pelindung lapisan yang lebih
dalam. Pada lapisan ini banyak sel kulit mati, sel pipih, dan tidak
berinti serta memiliki sitoplasma yang digantikan oleh keratin. Sel-
sel ini terletak pada bagian superficial tubuh sehingga mudah
terdehidrasi dan selalu terkelupas.
21
b) Dermis
Dermis adalah lapisan yang berada dibawah epidermis dan tersusun atas
dua lapisan, yaitu: (Wong, et al., 2016)
1) Dermis papilaris
Terdapat pembuluh darah kapiler pada bagian dermis papilaris. Hal
ini bertujuan sebagai pemberi nutrisi untuk sel epitel diatasnya.
2) Dermis retikularis
Bagian terbesar yang ada pada dermis retrikularis adalah serat
kolagen. Terdapat banyak rongga yang berisi lemak, kelenjar
sebasea, dan kelenjar minyak pada lapisan ini.
c) Hipodermis
Hipodermis atau lapisan subkutan ialah lapisan paling bawah dari
kulit dan terdiri atas jaringan ikat longgar. Pada jaringan ini terdapat
banyak sel-sel lemak yang kaya dengan proteoglikan dan
glikosaminoglikan yang mampu menarik cairan ke arah dalam sehingga
memberikan sifat lendir. Ada beberapa macam sel yang terdapat pada
hipodermis, yaitu sel adiposa (sel lemak), fibroblast, dan makrofag
yang memiliki peran sebagai homeostatis, remodeling, dan
termoregulator tubuh (Wong, et al., 2016).
2.2.3 Jenis Kulit
Setiap orang memiliki jenis kulit yang berbeda dan dapat selalu berubah
seiring berjalannya waktu (Maharani, 2015). Menurut penelitian dr.
Baumann, jenis kulit terbagi berdasarkan empat hal:
22
a) Kelembaban Kulit (Skin Hydration)
Kelembaban kulit seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Ada empat faktor yang paling mendominasi, yaitu kandungan lemak,
produksi sebum, Natural Moisturizing Factor (Asam amino, Asam
Laktat, Asam Organik, Peptid, Glycerol, Hyaluronic Acid), dan
Aquaporin (AQP3). Berdasarkan keempat faktor tersebut, dr. Baumann
membagi lagi jenis kulit menurut kelembabannya menjadi dua, yaitu
kulit kering (DS) dan kulit berminyak (OS) (Baumann, et al., 2014).
1) Kulit Kering (Dry Skin/DS)
Kulit kering atau yang dikenal dengan xerosis memiliki
gambaran kulit yang tampak kusam, bertekstur kasar, dan mudah
timbul kerutan. Kandungan lemak, produksi sebum yang kurang
dan ketidakseimbangan fungsi stratum korneum (SC) menjadi
salah satu pencetus xerosis. Disamping itu, Natural Moisturaizing
factor (NMF) yang ada pada SC berfungsi untuk menjaga
kandungan air di dalam kulit agar tetap dalam keadaan stabil.
Stratum korneum yang bermasalah menyebabkan hilangnya
cairan melalui kulit (Transepidermal Water Loss/TEWL)
sehingga kulit tampak kusam, tidak elastis, dan mudah
mangalami iritasi. Hal terbesar yang menyebabkan kerusakan
dari SC adalah paparan faktor eksternal seperti radiasi sinar
ultraviolet (UV), detergen, aseton, klorin, dan pajanan dengan air
yang terlalu lama (Baumann, et al., 2014).
23
2) Kulit Berminyak (Oily Skin/ OS)
Kulit berminyak merupakan kulit dengan kandungan sebum
yang relatif tinggi. Peningkatan sekresi sebum sering dikeluhan
bagi banyak orang, dikarenakan menyebabkan gangguan dalam
segi kosmetik dan dapat sebagai faktor predisposisi penyebab
AV. Sebumnnmerupakan sekresi kelenjar sebasea yang
mengandung ester lilin, ester sterol, kolesterol, trigliserida, dan
squalane yang berkontribusi secara signifikan sebagai faktor
pemicu terjadinya AV. Produksi sebum dalam batas normal
diperlukan oleh kulit untuk mencegah terjadinya TEWL, selain
itu didalam sebum juga terkandung vitamin E yang diperlukan
untuk memberikan perlindungan dari paparan faktor eksogen
yang dapat merusak SC. Hal inilah yang dapat menjadi jawaban
mengapa sering didapatkan gambaran kulit kusam dan mudah
keriput pada seseorang dengan kulit kering dibandingkan dengan
seseorang dengan kulit berminyak (Baumann, et al., 2014);
(Khate & Williams, 2013).
Kondisi sebum seseorang dapat diukur menggunakan alat
yang bernama sebumeter. Berdasarkan penelitian dr. Bauman
terhadap 94 wanita Korea, didapatkan hasil bahwa, banyak
diantara mereka melakukan kesalahan dalam penentuan jenis
kulitnya, sehingga tidak sedikit dari mereka yang juga melakukan
kesalahan dalam pemilihan terapi, oleh karena itu dr. Baumann
menciptakan sebuah kuesioner tentang penentuan jenis kulit.
24
Kuesioner ini terdiri atas 11 pertanyaan seputar jenis kulit dan
telah dilakukan pengkorelasian dengan alat ukur sebumeter.
Dikatakan seseorang memiliki jenis kulit kering apabila
didapatkan total skor antara 11-26, sedangkan dikatakan
seseorang memiliki jenis kulit berminyak apabila total skor yang
diperoleh berkisar antara 27-44 (Baumann, et al., 2014).
b) Sensitivitas Kulit (Skin Sensitivity)
Berdasarkan sensitivitasnya, kulit terbagi menjadi dua, yaitu kulit
yang sensitif dan kulit resisten. Seseorang yang memiliki kulit resisten
cenderung jarang mendapatkan gangguan kulit dibandingkan dengan
seseorang dengan kulit yang sensitif. Eritema dan AV jarang menjadi
keluhan bagi orang dengan kulit resisten. Lain halnya dengan seseorang
dengan kulit sensitif yang akan sering mengeluhkan masalah
dermatologis. Untungnya seiring bertambahnya usia insiden ini mulai
berkurang (Ahn, et al., 2017).
c) Pigmentasi Kulit (Skin Pigmentation)
Jenis kulit berdasarkan pigmentasinya dibagi menjadi dua, yaitu
hiperpigmentasi dan hipopigmentasi. Perbedaan antara hiperpigmentasi
dan hipopigmentasi ini dikarenakan kandungan melanosit, yaitu sel
yang mengandung melanin. Kulit yang mengandung banyak melanin
cenderung tampak lebih berwarna gelap dibandingkan dengan kulit
yang memiliki kandungan melanin sedikit. Radiasi sinar UV
berpengaruh terhadap proses melanogenesis, sehingga tidak jarang
bagian tubuh yang sering terpapar sinar UV cenderung memiliki warna
25
yang lebih gelap dari bagian tubuh lain yang tidak terpapar oleh sinar
UV (Baumann, et al., 2014).
d) Usia Kulit (Skin Aging)
Penuaan kulit merupakan sesuatu yang dinamis, penyebabnya
cenderung multifaktorial, bisa karena faktor endogen maupun eksogen.
Faktor endogen yang berpengaruh adalah faktor genetik, sedangkan
faktor eksogen yang berpengaruh adalah paparan sinar UV (Ahn, et al.,
2017).
2.3 Higiene Kulit Wajah
Higiene kulit atau lebih dikenal dengan kebersihan kulit merupakan
suatu praktik menjaga kebersihan diri terhadap segala macam penyakit,
khususnya penyakit-penyakit dermatologis. Kebersihan kulit wajah memiliki
tujuan untuk mengurangi bakteri P. acnes penyebab AV dengan cara
menghilangkan sebum berlebih dan kotoran di wajah tanpa merusak barrier
kulit wajah. Konsep higiene kulit wajah ini dapat terlaksana dengan baik
apabila seseorang menjunjung tinggi dua aspek yang menjadi point utama,
yaitu, upaya kebersihan kulit wajahnya bisa dengan memperhatkan frekuensi
dan prosedur membersihkan wajah yang baik dan perawatan kulit wajahnya
yaitu dengan memperhatikan pemilihan sabun pembersih wajah yang sesuai
dengan jenis kulit (Mukhopadhyay, 2011).
Hubungan antara kebersihan kulit wajah dengan kejadian AV dapat
diukur menggunakan kuesioner Faheem yang telah dilakukan uji validitas dan
reliabilitas. Cara dan kebiasaan responden membersihkan wajah diukur
melalui 10 pertanyaan. Pertanyaan dijawab benar oleh responden maka diberi
26
nilai 1, jika responden menjawab salah maka diberi nilai 0. Sehingga skor
total yang tertinggi adalah 10. Selanjutnya dikategorikan atas baik, sedang
dan kurang dengan definisi sebagai berikut: (Faheem, 2010).
a. Baik, apabila responden mengetahui sebagian besar atau seluruhnya
tentang cara dan kebiasaan mencuci wajah (skor jawaban responden
>75% dari nilai tertinggi yaitu >7).
b. Sedang, apabila responden mengetahui sebagian tentang cara dan
kebiasaan mencuci wajah (skor jawaban responden 45%-75% dari nilai
tertinggi yaitu 5-7)
c. Kurang, apabila responden mengetahui sebagian kecil tentang cara dan
kebiasaan mencuci wajah (skor jawaban responden <45% dari nilai
tertinggi yaitu <5).
2.3.1 Frekuensi dan Prosedur Membersihkan Wajah
Berfokus terhadap kejadian AV, salah satu penyakit kulit yang
banyak dikeluhkan masyarakat, frekuensi dan prosedur membersihkan
wajah patut menjadi sorotan utama. Sebum yang ada pada kulit wajah
menjadi tempat paling ideal untuk berkembangnya koloni bakteri P.
acnes (Khate & Williams, 2013). Kebersihan wajah yang kurang baik
dapat menyebabkan peningkatan kolonisasi dari bakteri P. acnes.
Bakteri ini memproduksi suatu enzim lipase yang dapat memecah
sebum menjadi asam lemak bebas. Asam lemak ini menyebabkan
rekrutmen netrofil dan mengakibatkan inflamasi jaringan. Dinding sel
bakteri P. acnes mengandung karbohidrat antigen yang dapat
menstimulasi antibodi, yaitu antipropionibacterium. Antibodi ini
27
mampu meningkatkan respon inflamatori dengan cara aktivasi
komplemen yang menjadi awal mula cascade proinflammasi. Respon
ini menyebabkan terbentuklah mikrokomedo dan timbul lesi yang akan
meradang hingga berubah menjadi nodul, papul, dan pustul (Ismiaulia,
2016).
Prosedur membersihkan kulit wajah yang pertama kali harus
diperhatikan adalah masalah pemilihan air. Kriteria air yang baik untuk
membersihkan kulit wajah adalah air dengan suhu ruangan atau sesuai
dengan suhu tubuh. Air dengan suhu yang panas
berkontribusioterhadap rusaknyaakapiler pembuluh darah dan
memperburuknperadangan. Penelitian Joanna pada tahun 2006
terhadap tiga kelompok yaitu kelompok yang mencuci wajahnya satu
kali sehari, kelompok yang mencuci wajahnya dua kali sehari, dan
kelompok yang mencuci wajahnya empat kali sehari selama enam
minggu, diperoleh hasil, bahwa kelompok yang mencuci wajahnya
minimal dua kali sehari dapat menurunkan derajat keparahan lesi
inflamasi, eritema, dan komedo pada kejadian AV. Akan tetapi,
membersihkan wajah terlalu sering juga tidak disarankan, hal ini
dikarenakan dapat menghilangkan kandungan sebum normal yang
diperlukan untuk menjaga barrier kulit wajah sehingga dapat
menyebabkan kulit menjadi kering dan mudah iritasi (Palmer, 2018).
Menurut penelitian Goodman, membersihkan wajah dua kali sehari di
waktu pagi setelah bangun tidur dengan tujuan untuk menghilangkan
residu pada SC dan saat malam hari sebelum tidur untuk
28
Gambar 2. 8 Prosedur Mencuci Wajah (A) Mencuci wajah 2 kali sehari, pagi dan
malam. Membersihkan terlalu sering menimbulkan iritasi. (B) Gunakan hanya dengan
tangan kosong, washlap dan alat pembersih lainnya dapat menyebabkan iritasi, mencuci
wajah selama kurang lebih 10 detik. (C) Keringkan wajah dengan cara menepuk dengan
handuk tidak disarankan untuk menggosoknya karena dapat menyebabkan iritasi
menghilangkan sunscreen atau bahan kosmetik yang telah digunakan
selama sehari, dinilai sudah cukup efektif untuk menjaga kebersihan
kulit wajah dan mencegah penyumbatan pori-pori yang nantinya dapat
menyebabkan lesi komedo. Sebagai penguat penelitian terdahulu maka
pada tahun 2012, dr. Jung melakukan penellitian dengan hasil bahwa,
frekuensi membersihkan wajah khususnya mencuci muka sebaiknya
dilakukan minimal dua kali dalam sehari (Gambar 2.2) untuk
memastikan wajah dalam keadaan bersih dan mencegah timbulnya AV
(Jung & Hwang, 2012).
(Jung & Hwang, 2012)
Mencuci wajah idealnya menggunakan kedua telapak tangan
dengan teknik sirkuler atau memutar keluar dan dilakukan selama
kurang lebih 10 detik. Tidak perlu menggosok wajah terlalu kuat karena
hal seperti itu akan mengakibatkan iritasi. Setelah mencuci wajah
dianjurkan untuk mengeringkan wajah dengan cara menepuk lembut
dengan handuk tidak menggosoknya, selain itu mengoleskan pelembab
untuk menjaga barrier kulit tetap dalam keadaan baik, juga penting
untuk dilakukan (Kern, 2010).
C B A
29
2.3.2 Kebiasaan membersihkan Wajah
Kebiasaan membersihkan wajah dapat dinilai salah satunya dari
faktor pemilihan sabun wajah. Menurut penelitian Mukhopadhyay,
faktor eksternal yang menjadi pencetus AV seperti polusi dan residu
kosmetik merupakan bahan-bahan yang sulit larut di dalam air,
sehingga mencuci wajah dengan air saja tidak cukup untuk
membersihkannya. Oleh karenanya diperlukan zat seperti sabun yang
dapat menurunkan tegangan permukaan kulit, menghilangkan kotoran
seperti polusi, sebum dari residu kosmetik, mikroorganisme, dan sel-sel
kulit mati pada SC. Pembersih ideal adalah pembersih yang dapat
pmenghilangkan semua itu tanpa mengiritasi kulit dan menjaga kulit
tetap dalam keadaan lembab (Mukhopadhyay, 2011).
Menurut penelitian Goodman, sabun cuci muka untuk seseorang
yang menderita AV harus mempertimbangkan beberapa hal yaitu bebas
dari kandungan detergen, memiliki PH yang seimbang, dan bebas dari
kandungan alkohol. Selain itu, pemilihan sabun cuci muka harus sesuai
dengan jenis kulit (Goodman, 2009). Seseorang dengan jenis kulit
berminyak disarankan menggunakan sabun dengan kandungan
antibakteri, misalnya, triclosan yang dapat menghambat kokus gram
positif, asam salisilat yang merupakan keratolitik, komedolitik, dan
sebagai antiinflamasi, atau asam azelaic yang merupakan bakterisida
yang memiliki efek anti inflamasi dan komedolitik (Choi, et al., 2010).
Penelitian lain dari Goodman juga mengatakan bahwa, kulit berminyak
dianjurkan menggunakan pembersih dengan kandungan Sodium
30
Laurent Sulfat (SLS) yang merupakan salah satu surfactan (surface
active agent). SLS ampuh mengemulsi sebum dan air pada kulit wajah
sehingga tidak meninggalkan residu saat dibilas.
Kulit kering merupakan jenis kulit yang sering mengalami
masalah pada bagian SC, masalah yang sering terjadi adalah
terganggunya NMF dan TEWL sehingga membuatnya mudah iritasi
(Baumann, et al., 2014). Hal tersebut menjadi point yang sangat penting
dalam pemilihan produk pembersih yang sesuai dengan keadaan kulit.
Seseorang dengan kulit yang cenderung kering dianjurkan
menggunakan pembersih dengan konsistensi cair, nonkomedogenik,
dan bersifat melembabkan. Ada tiga jenis pembersihnwajah yang cocok
digunakan untuk kulit kering, yaitu cleansing oil, cleansing
milk, dan cleansingmbalm. Ketiga cleanseroini mengandung senyawa
emollient yang mampu membuat kulit lebihmlembab.
Selainmitu, cleansing oil, cleansing milk, dan cleansing balm
memilikiotekstur danoformulaolembutountuk kulit kering. Kandungan
yang diperlukan dalam pembersihmwajah yang cocok bagi
kulitosensitif adalah hyaluronic acid. Asam ini tidak hanyaoefektif
dalam mempertahankan kelembaban wajah, akan tetapi juga mampu
untuk melindungiokulit dariopolutan, dan sekaligusomeningkatkan
produksi kolagen (Natanagara, 2018).
2.4 Hubungan Jenis kulit dan Higene Kulit Wajah terhadap Akne Vulgaris
Kulit dengan tingkat kebersihan yang minim dapat menimbulkan AV
(Putri, et al., 2018). Konsep higiene wajah yang sesuai dengan jenis kulit
31
adalah dengan cara mengurangi kotoran dan sebum tanpa menghilangkan
lipid barrier kulit dan memiliki tujuan untuk mencegah perkembangan koloni
P. acnes. Konsep higiene wajah ini dapat tercapai apabila seseorang
melakukan pembersihan wajah dengan frekuensi yang tepat, dan melakukan
perawatan kulit wajah yang baik, yaitu, dengan pemilihan sabun wajah yang
sesuai jenis kulit (Mukhopadhyay, 2011); (Hertanto, 2013).
Frekuensi membersihan kulit wajah khususnya mencuci wajah tidak
disarankan untuk dilakukan terlalu sering, hal ini dikarenakan dapat
menghilangkan derajat PH normal kulit yang nantinya menyebabkan kulit
menjadi kering dan murah iritasi. Frekuensi mencuci wajah yang disarankan
oleh beberapa ahli adalah dua kali sehari di pagi dan malam hari.
Membersihkan wajah dengan sabun pembersih wajah yang sesuai dengan
kondisi dan jenis kulit penderita sangat disarankan. Seseorang dengan jenis
kulit berminyak disarankan menggunakan sabun dengan kandungan
antibakteri, misalnya, triclosan yang dapat menghambat kokus gram positif,
asam salisilat yang merupakan keratolitik, komedolitik, dan sebagai
antiinflamasi, atau asam azelaic yang merupakan bakterisida dan memiliki
efek anti inflamasi serta komedolitik Penelitian lain dari Goodman juga
mengatakan bahwa, kulit berminyak dianjurkan menggunakan pembersih
dengan kandungan Sodium Laurent Sulfat (SLS) yang merupakan salah satu
surfactan (surface active agent). SLS ampuh mengemulsi sebum dan air pada
kulit wajah sehingga tidak meninggalkan residu saat dibilas (Goodman,
2009); (Choi, et al., 2010).
32
Kulit kering ialah jenis kulit yang sering mengalami masalah pada
bagian SC. Masalah yang sering terjadi adalah terganggunya keseimbangan
antara NMF yang menurun dengan TEWL yang meningkat, sehingga
membuatnya mudah untuk kering dan mengalami iritasi (Baumann, et al.,
2014). Permasalahan ini menjadi point yang sangat penting dalam pemilihan
produk pembersih yang sesuai dengan keadaan kulit. Seseorang dengan kulit
yang cenderung kering dianjurkan menggunakan pembersih dengan
konsistensi cair, nonkomedogenik, dan bersifat melembabkan. Ada tiga jenis
pembersihowajah yang cocok digunakan untuk kulit kering, yaituocleansing
oil, cleansing milk, dan cleansing balm (Choi, et al., 2010).
Ketiga cleanser ini kaya akan emollient yang mampu memberikan hasil
kulit terasa lebih lembab. Selainmitu, cleansing oil, cleansing milk,
dan cleansingbalm memilikiotekstur danoformulaolembutountuk kulit
kering. Kandungan yang diperlukan dalam pembersihmwajah yang cocok
bagi kulitosensitif adalah hyaluronic acid. Asam ini tidak hanyaoefektif
dalam mempertahankan kelembaban wajah, akan tetapi juga mampu untuk
melindungiokulit dariopolutan, dan sekaliguso mampu meningkatkan
produksi kolagen (Natanagara, 2018). Dalam penelitiannya, dr. Baumann
mengungkapkan selain mencuci wajah dengan produk yang sesuai dengan
jenis kulitnya, mengaplikasian produk pelembab wajah setiap hari juga
diperlukan untuk selalu menjaga barier kulit wajah (Baumann, et al., 2014).