Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
2.1.1 Definisi DBD
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam kelompok
B Arthropod Borne (arbovirus). Virus genus Flavvirus grup famili Togav iridae.
Virus ini mempunyai ukuran diameter sebesar 30 nanometer dan terdiri dari 4
serotip, yakni DEN 1, DEN 2, DEN 3, dan DEN 4. Virus ini ditularkan pada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, pada suhu
300C memerlukan 8-10 hari untuk menyelesaikan masa inkubasi ekstrinsik dari
lambung sampai kelenjar ludah nyamuk tersebut (Djoni, 2006).
2.1.2 Epidemiologi
Pada tahun 2015 jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak
129.650 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 1.071 orang angka kesakitan
(IR) = 50,75 per 100.000 penduduk dan angka kematian (CFR) = 0,83%).
Dibandingkan tahun 2014 dengan kasus sebanyak 100.347 serta IR 39,80
terjadi peningkatan kasus pada tahun 2015. Target Renstra Kementerian
Kesehatan untuk angka kesakitan DBD tahun 2015 sebesar < 49 per 100.000
penduduk, dengan demikian Indonesia belum mencapai target Renstra 2015.
Berikut tren angka kesakitan DBD selama kurun waktu 2008-2015.
7
Gambar 2.1.1 Angka Kesakitan DBD selama kurun waktu 2008 - 2015
2.1.3 Etiologi
Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
virus dengue. Virion virus dengue terdiri dari suatu single-stranded RNA genome
(genomic type SS-RNA) yang dikelilingi oleh nucleocapsid yang dibungkus oleh
lipid envelope yang mengandung protein E (envelope protein) dan protein M
(membrane-associated protein). Genom RNA virus dikode sebagai structural protein
capid (C), membrane (M), dan envelope (E) dan non-structural protein NS1, NS2a,
NS2b, NS3, NS4a, NS4b, dan NS5. Protein E berfungsi memegang peran kunci
dalam menginduksi fusi virus kepada host pada pH rendah. Protein M mempunyai 2
bentuk tergantung pada maturitas virus, yaitu (a) bentuk prot M (pre – M protein,
cell associated virions, immature virions) yang berfungsi untuk melindungi protein
8
E dalam suasana asam, dan (b) bentuk M (extracellular virus, mature virus, mature
membrane protein) berfungsi dalam kegiatan fusi dan infectivity virus. Protein C
berfungsi sebagai pembentukan nucleocapsid. Transmisi virus DEN-1 ditunjukkan
dalam strain 3 Aedes trisariatus setelah infeksi oral. Kecepatan infeksi ditemukan
sama dengan kecepatan infeksi yang diamati pada strain control Aedes aegypti.
Selain itu ditemukan 3 spesies lain dari subgenus Protomachleaya (Aedes bralandi,
Aedes hendersoni dan Aedes zoosophus) yang juga dapat rentan terhadap infeksi oral
dengan DEN-1 dimana virus dapat dideteksi dalam kelenjar liur nyamuk yang
terinfeksi. Laporan analisis oligonucleotide fingerprint terhadap spesies 40S RNA
virus DEN yang diisolasi dari berbagai daerah menunjukkan bahwa strain DEN-1 di
daerah Pasifik dan Asia Tenggara (khususnya Indonesia) tinggi prevalensi terkena
virus ini. Penyebab utama demam berdarah di banyak negara merupakan penyebab
paling umum DBD yang didapat dari lingkungan yang disebabkan oleh virus
dengue. Namun demikian, peran dari masyarakat dan tenaga kesehatan masih
kurang (Djoni, 2006).
A. Morfologi
Tahapan Aedes aegypti sebagai berikut:
I. Telur: berwarna hitam dengan ukuran 0,80 mm, berbentuk oval yang
mengapung satu persatu pada permukaan air jernih atau menempel di dinding
tempat penampungan air. Telur dapat bertahan sampai kurang lebih 6 bulan di
tempat yang kering.
II. Jentik: ada 4 tingkat (intisar) jentik atau larva sesuai dengan pertumbuhan larva
tersebut, yaitu
> Intisar 1: berukuran paling kecil yaitu 1 sampai 2 mm
9
> Intisar 2: 2,5 sampai 3,8 mm
> Intisar 3: lebih besar daripada 3,8 mm kuran dari 5mm
> Intisar 4: berukuran paling besar sekitar 5 mm
III. Pupa: berbentuk seperti “koma”. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping
bila dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain.
IV. Nyamuk dewasa: berukuran lebih kecil dibanding rata-rata nyamuk lainnya,
berwarna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki.
Perbedaan dengan nyamuk jantan adalah antena pada jantan yang lebih lebat
dibanding yang betina.
V. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti sama dengan jenis nyamuk lainnya, yaitu:
telur (yang umumnya akan menetas kurang lebih 2 hari setelah terendam air),
jentik/larva (6 sampai 8 hari) lalu stadium pupa atau kepompong berlangsung 2
sampai 4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewas selama 9 sampai
10 hari. Usia nyamuk betina bisa sampai 2 - 3 bulan.
Vector dari penyakit DBD ialah nyamuk Aedes aegypti. DBD
dikelompokkan dalam 4 derajat (pada setiap kelompok ditemukan trombositopenia
dan hemokonsentrasi), yaitu : (a) derajat I yaitu demam yang disertai gejala klinis
tidak khas, satu-satunya gejala pendarahan adalah uji Torniquet positif, (b) derajat II
yaitu gejala yang timbul pada DBD tingkat I, ditambah pendarahan spontan,
biasanya dalam bentuk pendarahan di bawah kulit (ptekie) atau bentuk pendarahn
lainnya, (c) derajat III yaitu adanya tanda-tanda kegagalan sirkulasi yang ditnadai
dengan denyut nadi yang cepat dan lemah, menyempitnya tekanan nadi (kurang
lebih sama dengan 20 mmHg) atau hipotensi yang ditandai dengan kulit dingin dan
10
lembab yang membuat penderita menjadi gelisah, (d) derajat IV yaitu syok, yang
ditandai dengan tidak terabanya nadi dan tekanan darah (Depkes RI, 2015).
2.1.4 Tanda Gejala
Penyakit ini ditunjukkan melalui munculnya demam secara tiba-tiba,
disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi dan otot (myalgia dan arthralgia) dan
ruam; ruam demam berdarah mempunyai ciri-ciri merah terang, dan biasanya
mucul dulu pada bagian bawah badan dan menyebar hingga menyelimuti
hampir seluruh tubuh. Selain itu, radang perut bisa juga muncul dengan
kombinasi sakit di perut, rasa mual, muntah-muntah atau diare. Penyebab
demam berdarah menunjukkan demam yang lebih tinggi, pendarahan,
trombositopenia dan hemokonsentrasi. Sejumlah kecil kasus bisa menyebabkan
sindrom shock dengue yang mempunyai tingkat kematian tinggi (Siregar, 2004).
Gejala klinis demam dengue menjadi 3 fase : 1. Fase Demam, 2. Fase Kritis, 3. Fase
Penyembuhan.
Fase 1 (Fase Demam)
Demam akut yang berlangsung 2 - 7 hari dan sering disertai muka
kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia, dan sakit kepala.
Beberapa pasien dapat memiliki gejala sakit tenggorokan, faring hiperemis dan
injeksi konjungtiva. Anorexia, mual, dan muntah sering terjadi dan dapat sulit
dibedakan dengan demam non-dengue pada fase awal. Uji torniquet positif pada fase
ini meningkatkan kepastian dari dengue. Manifestasi perdarahan ringan seperti
petekie dan perdarahan membran mukosa (mis. hidung dan gusi) dapat terlihat.
Gejala tidak khas seperti perdarahan vagina dan perdarahan gastrointestinal dapat
terjadi. Hati dapat membesar dan terasa sakit pada beberapa hari sewaktu demam.
11
Penurunan sel darah putih dapat memberikan tanda sebagai infeksi dengue. Tanda
dan gejala ini kurang dapat membedakan antara severe dan non severe dengue
sehingga perlu monitoring lebih untuk berhati - hati dalam menilai fase
perkembangan ke fase kritis (WHO, 2009)
Gambar 2.1.2 Proses Penyakit Dengue (WHO, 2009)
Fase 2 (Fase Kritis)
Pada tahap ini, demam masih berlangsung pada hari ke 3 – 7 namun
temperatur sedikit menurun yaitu 37.5 – 380 C atau lebih rendah dan juga
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dengan level hematokrit yang
meningkat. Periode kebocoran plasma berlangsung selama 24 – 48 jam (WHO,
12
2009). Leukopenia parah diikuti dengan penurunan hitung trombosit
mengindikasikan terjadinya kebocoran plasma. Pada pasien dengan tidak diikuti
peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik namun pasien yang memiliki
keadaan tersebut akan bertambah parah dengan kehilangan volume plasma. Efusi
pleura dan ascites dapat terdeteksi tergantung dari tingkat keparahan kebocoran
plasma tersebut. Maka foto thorax dan USG abdomen dapt digunakan sebagai alat
bantu diagnosa. Kadar hematokrit yang melebihi batas normal dapat digunakan
sebagai acuan melihat derajat keparahan kebocoran plasma. Syok dapat terjadi jika
volume plasma berkurang hingga titik kritis dan sering didahului oleh warning signs.
Syok yang berlangsung lama, menyebabkan hipoperfusi organ sehingga dapat
mengakibatkan gangguan organ, metabolik asidosis, dan Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC) (WHO, 2009).
Fase 3 (Fase Penyembuhan)
Pasien yang melewati fase kritis akan memasuki fase recovery dimana terjadi
reabsorpsi cairan extravaskular dalam 48-72 jam, dimana keadaan umum akan
membaik, nafsu makan bertambah, gejala gastrointestinal berkurang, status
hemodinamik stabil, dan diuresis terjadi. Ruam, pruritis, bradikardia dapat terjadi
pada fase ini. Hematokrit dapat kembali stabil atau menurun akibat efek
pengenceran dari absorpsi cairan. Sel darah putih perlahan mengalami peningkatan
setelah suhu tubuh menurun diikuti dengan peningkatan trombosit. Respiratory
distress akibat efusi pleura masif dan ascites dapat terjadi akibat dari terapi cairan IV
yang berlebih sewaktu fase kritis ataupun fase recovery yang dapat dikaitkan d
engan edema paru atau gagal jantung kongestif (WHO, 2009)
13
2.1.5 Cara Penularan
Cara penularan penyakit ini adalah dari manusia-nyamuk-manusia (man-
mosquito-man) dan berlangsung terus-menerus. Nyamuk Aedes aegypti bisa
menularkan DBD apabila menghisap darah pasien yang terinfeksi virus Dengue
sejak sebelum onset sampai hari ke 5 (viremia stage) (Djoni, 2006).
Setelah menghisap darah yang terinfeksi, virus bereplikasi pada lapisan sel
epitel dari midgut dan sampai ke haemocoele menginfeksi kelenjar ludah dan
akhirnya memasuki air liur menyebabkan infeksi saat menggigit. Masa inkubasi
ekstrinsik berlangsung dari 8 sampai 12 hari dan nyamuk tetap terinfeksi selama sisa
hidupnya. Masa inkubasi intrinsik mencakup lima sampai tujuh hari (WHO, 2008).
Sebagian besar kasus DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk betina Aedes
(terutama Aedes aegypti) yang terinfeksi oleh arbovirus (virus dengue ). Nyamuk
betina yang terinfeksi akan menyalurkan virus ke generasi berikutnya melalui proses
transmisi transovarian, begitu juga jika nyamuk terinfeksi oleh arbovirus pertama
kali, maka sepanjang hidup nyamuk tersebut akan menjadi carier / vector ( pembawa
virus dengue) (Djoni , 2006).
Penularan demam dengue terjadi apabila penderita yang sakit ( dalam keadaan
viremia) digigit oleh nyamuk penular, yang kemudian menggigit orang lain.
Biasanya penularan terjadi dalam satu rumah, tetangga dan cepat menyebar ke suatu
wilayah (RT/RW/dusun/desa) (Depkes RI, 2008).
2.1.5 Pencegahan DBD
Dengan cara memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara
palingmemadai saat ini. Vektor dengue khususnya Aedes aegypti sebenarnya mudah
diberantas karena sarang-sarangnya terbatas di tempat yang berisi air bersih dan
14
jarak terbangnya maksimum 100 meter. Tetapi karena vektor tersebar luas, untuk
keberhasilan pemberantasan diperlukan total coverage (meliputi seluruh wilayah)
agar nyamuk tidak dapat berkembang biak lagi (Indrawan, 2009). Ada 2 cara
pemberantasan vector yaitu: menggunakan Insektisida dan tanpa insektisida.
Faktor Kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
Insektisida yang lazim digunakan adalah malathion untuk membunuh
nyamuk dewasa dan temephos (abate) untuk membunuh jentik. Cara menggunakan
malathion ialah dengan pengasapan (thermal fogging) atau pengobatan (cold
fogging). Penyemprotan insektisida dilakukan jika ditemukan penderita DBD lain
atau sekurang-kurannya 3 penderita panas tanpa sebab jelas dan jentik Aedes aegypti
di lokasi tersebut. Penyemprotan dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu.
Penyemprotan ini diikuti penyuluhan dan gerakan PSN DBD oleh masyarakat.
Pemakaian rumah tangga dapat digunakan berbagai insektisida yang disemprotkan
ke dalam kamar/ruangan, misalnya golongan organofosfat, karbonat atau
prethoid.Cara penggunaan abate ialah dengan pasir abate (sand granules) ke dalam
sarang nyamuk Aedes yaitu bejana tempat penampungan air. Dosis yang digunakan
ialah 1 ppm atau 1 gram abate SG 1% per 10 liter air atau 1 sendok makan peres (10
gram) abate untuk 100 liter air (Indrawan, 2009). Pemberantasan jentik nyamuk
Aedes aegypti secara biologi dapat dilakukan dengan memelihara ikan pemakan
jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, ikan cupang atau tempalo, dan lain-lain). Dapat
juga digunakan Bacillus thuringiensis var israeliensis (Bti) (Depkes RI, 2008).
Tanpa insektisida yaitu: menguras bak mandi, tempayan dan tempat
penampungan air minimal 1 x seminggu (perkembangan telur ke nyamuk lamanya
7-10 hari). Menutup tempat penampungan air rapat-rapat. Membersihkan halaman
15
dari kaleng-kaleng bekas, botol-botol pecah dan benda lain yang memungkinkan
nyamuk bersarang.
Siklus hidup dari nyamuk dari telur-larva-pupa-nyamuk butuh waktu 7-14
hari, dengan demikian penting untuk memahami siklus hidup nyamuk Aedes aegypti
sehingga dapat ditentukan saat yang tepat untuk memberantas larva dan nyamuk
dewasa (Depkes RI, 2008).
2.2 Aplikasi Model Epidemiologi dan Konsep Model Hendrik L. Blum pada
Analisis Faktor Risiko PHBS Terhadap Kejadian DBD.
2.2.1 Pendekatan Model Segitiga Epidemologi
Model segitiga epidemiologi menggambarkan interaksi tiga komponen
penyakit yaitu manusia (Host), penyebab (Agent) dan lingkungan (Environment).
Menurut Hockennberry dan Wilson, 2009 penyakit dapat terjadi karena adanya
ketidakseimbangan antara faktor agent, host, dan environment. Dalam model ini
faktor agent adalah yang bertanggung jawab terhadap penyebab penyakit meliputi
infectious agent yaitu organisme penyebab penyakit, physical agent dan chemical
agent. Faktor penjamu (Host) adalah individu atau populasi yang berisiko terpajan
penyakit meliputi faktor genetik atau gaya hidup. Faktor lingkungan (Enviroment)
adalah tempat dimana host hidup termasuk cuaca dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan rumah, tetangga dan sekolah.
Host
Agent Environment
16
Gambar 2.2.1 The Epidemiologic triangel (Hockenberry and Wilson, 2009)
Gambar diatas memperlihatkan segitiga dalam status keseimbangan
(ekuilibrium) yang normal. Keseimbangan bukan menandakan kesehatan yang
optimum, tetapi pola biasa yang sederhana dari kondisi sehat dan sakit dalam
populasi. Berbagai perubahan yang terjadi pada salah satu sisi (agent, host, dan
environment) akan menghasilkan ketidakseimbangan. Berikut adalah penjabaran
hubungan 3 komponen yang terdapat dalam model segitiga epidemiologi dengan
faktor risiko terjadinya DBD :
a. Faktor penyebab (agent) adalah penyebab dari penyakit DBD yaitu berupa
virus. Berdasarkan faktor penyebab (Agent) DBD yaitu virus DEN.
b. Faktor Manusia (host) adalah manusia atau pasien. Faktor risiko dalam hal ini
meliputi: Riwayat pemberian ASI, paparan asap rokok di rumah, ventilasi
rumah, sanitasi kamar mandi, sanitasi makanan, tingkat pengetahuan PHBS,
dan pelayanan kesehatan.
c. Faktor Lingkungan (environment) adalah yang dapat menjadi faktor risiko
terjadinya DBD meliputi cuaca.
2.2.2 Konsep Model Hendrik L Blum
Menurut teori Hendrik L. Blum (1974) dalam Proverawati 2012, status
kesehatan dipengaruhi secara simultan oleh empat faktor penentu yang saling
berinteraksi satu sama lain. Keempat faktor penentu tersebut adalah lingkungan,
17
perilaku (gaya hidup), keturunan dan pelayanan kesehatan. Bagan kerangka pikir
Hendrik L. Blum dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 2.2.2 Faktor yang mempengaruhi status kesehatan (Hendrik L Blum, 1974)
Makna panah berdasarkan model Hendrik L Blum yang menuju kepada status
kesehatan memiliki ukuran yang berbeda, dimana perilaku memiliki ukuran panah
paling besar. Hal ini disebabkan karena perilaku memiliki peranan yang paling
besar, karena dapat di intervensi dengan mudah kemudian yang kedua adalah
lingkungan dan yang ketiga adalah pelayanan kesehatan. Genetik atau keturunan
tidak dapat di intervensi oleh sebab itu memiliki panah dengan ukuran paling kecil
(Setyawan, 2015) Gambar diatas memperlihatkan sehat tidaknya seseorang
tergantung 4 faktor yaitu keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan.
Faktor tersebut berpengaruh langsung pada kesehatan dan juga berpengaruh satu
LINGKUNGAN PELAYANAN
KESEHATAN
KETURUNAN
PERILAKU
STATUS
KESEHATAN
18
sama lain. Status kesehatan akan tercapai optimal jika empat faktor tersebut
kondisinya juga optimal. Bila salah satu faktor terganggu, status kesehatan tergeser
kearah di bawah optimal.
a. Faktor pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat menentukan dalam
pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap penyakit, pengobatan dan
keperawatan serta kelompok dan masyarakat yang memerlukan pelayanan
kesehatan. Ketersediaan fasilitas kesehatan dipengaruhi oleh lokasi, apakah dapat
dijangkau atau tidak. Yang kedua adalah tenaga kesehatan pemberi pelayanan
kesehatan itu sendiri apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang
memerlukan. (Setyawan, 2015)
Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangatlah dibutuhkan. Masyarakat
membutuhkan posyandu, puskesmas, rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya
untuk membantu dalam mendapatkan pengobatan dan perawatan kesehatan.
Terutama untuk pelayanan kesehatan dasar yang memang banyak dibutuhkan
masyarakat. Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di bidang kesehatan juga
mesti ditingkatkan. Puskesmas sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan
masyarakat sangat besar peranannya, sebab di puskesmas akan ditangani masyarakat
yang membutuhkan edukasi dan perawatan primer. (Setyawan, 2015)
b. Faktor perilaku
Perilaku merupakan faktor pertama yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan kesehatan individu,
keluarga dan masyarakat sangat tergantung pada perilaku manusia itu sendiri. Di
19
samping itu, juga dipengaruhi oleh kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan, pendidikan
sosial ekonomi, dan perilaku-perilaku yang melekat pada dirinya. (Setyawan, 2015)
Perilaku, baik individu maupun masyarakat dalam menjaga kesehatan memegang
peranan sangat penting untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2015. Hal ini
dikarenakan budaya hidup bersih dan sehat harus dapat dimunculkan dari dalam diri
sendiri maupun masyarakat untuk menjaga kesehatannya. Individu dan masyarakat
yang berprilaku hidup bersih dan sehat akan menghasilkan budaya menjaga
lingkungan yang bersih dan sehat. pembuatan peraturan tentang berperilaku sehat
juga harus dibarengi dengan pembinaan untuk menumbuhkan kesadaran pada
individu dan masyarakat. Pembinaan dapat dimulai dari lingkungan keluarga,
sekolah dan msayarakat. Tokoh-tokoh masyarakat sebagai role model harus diajak
turut serta dalam menyukseskan program-program kesehatan. Faktor perilaku,
seperti pada penjelasan sebelumnya, mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap tercapainya derajat kesehatan. Perilaku dapat mempengaruhi lingkungan,
pemanfaatan terhadap pelayanan kesehatan yang telah disiapkan maupun terhadap
kemungkinan masalah genetik yang timbul (Setyawan, 2015)
c. Faktor Lingkungan
Lingkungan memiliki pengaruh cukup besar. Lingkungan sangat bervariasi,
umumnya digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu yang berhubungan dengan aspek
fisik, biologi dan sosial (Setyawan, 2015). Lingkungan fisik yaitu bersifat abiotik
atau benda mati seperti air, udara, tanah, cuaca, makanan, rumah, panas, sinar,
radiasi, dan lain-lain. Lingkungan fisik ini berinteraksi secara konstan dengan
manusia sepanjang waktu dan masa serta memegang peranan penting dalam proses
terjadinya penyakit pada masyarakat. Lingkungan yang memiliki kondisi sanitasi
20
buruk dapat menjadi sumber berkembangnya penyakit. Hal ini jelas membahayakan
kesehatan masyarakat kita. Terjadinya penumpukan sampah yang tidak dapat
dikelola dengan baik, polusi udara, air dan tanah juga dapat menjadi penyebab
(Setyawan, 2015). Lingkungan biologis yaitu bersifat biologis atau benda hidup
misalnya tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga, dan
lain-lain yang dapat berperan sebagai agen penyakit, reservoir infeksi, vektor
penyakit, dan hospes intermediate. Hubungan manusia dengan lingkungan
biologisnya bersifat dinamis dan pada keadaan tertentu saat terjadi
ketidakseimbangan di antara hubungan tersebut, manusia akan menjadi sakit
(Setyawan, 2015). Lingkungan sosial merupakan hasil interaksi antar manusia
seperti kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Berupa kultur, adat
istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap, standar, gaya hidup, pekerjaan,
kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial dan poolitik. Manusia dipengaruhi oleh
lingkungan sosial melalui berbagai media seperti radio, TV, pers, seni, literatur,
cerita, lagu, dan sebagainya. Bila manusia tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan sosial, akan terjadi konflik kejiwaan dan menimbulkan gejala
psikosomatik seperti stres, insomnia, depresi, dan lain-lain (Setyawan, 2015). Upaya
menjaga lingkungan menjadi tanggungjawab semua pihak untuk itulah perlu
kesadaran semua pihak (Setyawan, 2015).
2.3 Konsep Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
2.3.1 Pengertian
21
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas mahluk hidup yang dapat
diamati secara langsung maupun tidak langsung yang dapat diamati oleh pihak luar.
Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus yang
berhubungan dengan sakit, penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan,
minuman, serta lingkungan (Notoatmodjo, 2007).
Gambar 2.2.3 Rumah Tangga Ber-PHBS Puskesmas di Kota Malang (Profil
Kesehatan Kota Malang, 2014)
PHBS adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran
sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang
kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat.
PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga
agar tahu, mau dan mampu melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat serta
berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2009).
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Penerapan PHBS
22
2.4.1 Faktor Penguat (Reinforcing Factor)
Faktor ini merupakan faktor yang menentukan apakah tindakan kesehatan
memperoleh dukungan atau tidak. Faktor ini terwujud dalam bentuk sikap dan
perilaku pengasuh anak-anak atau orangtua yang merupakan tokoh yang dipercaya
atau dipanuti oleh anak-anak seperti pengasuh anak-anak memberikan keteladanan
dengan melakukan mencuci tangan sebelum makan, atau selalu meminum air yang
sudah dimasak. Maka hal ini akan menjadi penguat untuk perilaku hidup bersih dan
sehat bagi anak-anak. Terdapat hal hal yang dapat mempengaruhi PHBS, sebagian
terletak di dalam diri individu itu sendiri (Notoatmodjo, 2007).
2.4.2. Faktor Pemudah (Predisposing Factor)
Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap terhadap perilaku hidup bersih
dan sehat sehingga faktor ini menjadi pemicu atau anteseden terhadap perilaku yang
menjadi dasar atau motivasi bagi tindakannya akibat tradisi atau kebiasaan,
kepercayaan, tingkat pendidikan dan tingkat sosial ekonomi, seperti pengetahuan,
sikap, keyakinan dan nilai yang dimiliki seseorang yang tidak merokok
(Notoatmodjo, 2007).
2.4.3 Faktor Pemungkin (Enambling Factor)
Faktor ini merupakan pemicu terhadap perilaku yang memungkinkan suatu
motivasi atau tindakan terlaksana. Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan
prasarana atau fasilitas kesehatan bagi anak-anaknya seperti air bersih, tempat
pembuangan sampah, ketersediaan jamban, dan makanan yang bergizi. Fasilitas ini
pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku hidup bersih
dan sehat (Notoatmodjo, 2007).
23
2.5 Tujuan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
PHBS adalah upaya memberikan pengalaman belajar bagi perorangan,
keluarga, kelompok, dan masyarakat dengan membuka jalur komunikasi,
memberikan informasi dan edukasi guna meningkatkan pengetahuan, sikap dan
perilaku melalui pendekatan advokasi, bina suasana (social support), dan gerakan
masyarakat (empowerment) sehingga dapat menerapkan cara-carahidup sehat dalam
rangka menjaga, memelihara, dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Aplikasi
paradigma hidup sehat dapat dilihat dalam program Perilaku Hidup Bersih Sehat
(Depkes RI, 2007).
2.6 Manfaat Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Adapun manfaat PHBS menurut Depkes RI (2006) , Manfaat PHBS bagi
rumah tangga yaitu :
a.Setiap rumah tangga meningkatkan kesehatannya dan tidak mudah sakit.
b.Anak tumbuh sehat dan cerdas.
c. Produktivitas kerja anggota keluarga meningkat dengan meningkatnya kesehatan
anggota rumah tangga maka biaya yang dialokasikan untuk kesehatan dapat
dialihkan untuk biaya investasi seperti biaya pendidikan, pemenuhan gizi keluarga
dan modal usaha untuk peningkatan pendapatan keluarga.
2.7 Sasaran Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Sasaran PHBS di Rumah Tangga adalah seluruh anggota keluarga yaitu
(Depkes RI, 2006) : Pasangan Usia Subur, Ibu Hamil dan Ibu Menyusui, Anak dan
Remaja, Usia Lanjut dan Pengasuh Anak.
2.8 Penerapan PHBS tentang Pencegahan DBD
24
2.8.1 Rumah Tangga
Pembinaan PHBS di rumah tangga dilakukan untuk mewujudkan Rumah
Tangga Sehat. Rumah Tangga Sehat adalah rumah tangga yang memenuhi PHBS di
Rumah Tangga (Kemenkes, 2011). Adapun PHBS di Rumah Tangga adalah sebagai
berikut:
a. Memberantas jentik dirumah sekali seminggu
Siklus hidup dari nyamuk dari telur-larva-pupa-nyamuk butuh waktu 7-14 hari,
dengan demikian penting untuk memahami siklus hidup nyamuk Aedes aegypti
sehingga dapat ditentukan saat yang tepat untuk memberantas larva dan nyamuk
dewasa. (Depkes RI, 2004). Lakukan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) di
lingkungan rumah tangga. PJB adalah pemeriksaan tempat perkembangbiakan
nyamuk yang ada di dalam rumah, seperti bak mandi, WC, vas bunga, tatakan
kulkas, dan di luar rumah seperti talang air, dll yang dilakukan secara teratur setiap
minggu. Selain itu, juga lakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara
Menguras, Mengubur, Menutup (3M) (Dinkes, 2010).
b. Menggunakan air bersih
Gunakan air bersih dalam kehidupan sehari-hari seperti memasak, mandi, hingga
untuk kebutuhan air minum. Air yang tidak bersih banyak mengandung kuman dan
bakteri yang dapat menyebabkan berbagai macam penyakit (Sudayasa, 2011). Air
minum tidak menyebabkan penyakit, maka air tersebut hendaknya diusahakan
memenuhi persyaratan kesehatan. Air yang sehat harus memenuhi persyaratan yaitu
sebagai berikut :
- Syarat fisik yaitu persyaratan air untuk minum yang sehat adalah tidak berwarna,
tidak berasa, suhu di bawah suhu udara diluarnya.
25
- Syarat bakteriologis yaitu air minum yang sehat harus bebas dari segala
bakteri/jentik-jentik nyamuk.
- Syarat kimia yaitu air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu dalam
jumlah yang tertentu pula. Kekurangan atau kelebihan salah satu zat kimia dalam
air akan menyebabkan gangguan fisiologis pada manusia (Sudayasa, 2011).
c. Kebersihan Lingkungan
Penderita penyakit DBD jika tidak mendapat perawatan yang memadai dapat
mengalami perdarahan yang hebat, syok dan dapat mengakibatkan kematian. Oleh
karena itu semua kasus DBD sesuai dengan kriteria WHO harus mendapat
perawatan di tempat pelayanan kesehatan ataupun rumah sakit. Keterbatasan
perawatan dan penanganan penderita yang sering terjadi berpengaruh buruk
terhadap pasien. 1. Tingkat pendidikan kepala keluarga yang rendah mengakibatkan
rendahnya kepedulian terhadap pencegahan penyakit DBD seperti mangakibatkan
higiene atau sanitasi lingkungan, mengabaikan gejala-gejala penyakit DBD,
terlambat membawa pasien ke rumah sakit. 2. Demikian pula dengan jenis pekerjaan
kepala keluarga, bila kepala keluarga dapat mengalokasikan waktu yang baik dalam
memperhatikan kebersihan lingkungan disela-sela kesibukan mencari nafkah, hal ini
sangat membantu dalam usaha pencegahan penyakit DBD. Lingkungan pekerjaan
yang memperhatikan sanitasi/kebersihan akan berpengaruh terhadap sikap dan
perilaku masyarakat di luar lingkungan kerja. (Depkes RI, 2004)
d. Tingkat Pemahaman
Rendahnya pemahaman anggota keluarga tentang penyakit DBD
menyebabkan semakin sulitnya pencegahan tentang penyakit DBD itu sendiri antara
26
lain meliputi: Kurangnya pengetahuan tentang penyakit DBD pada anggota keluarga
yang meliputi gejala-gejala apa saja yang terjadi pada pasien DBD, kurangnya
pemahaman tentang bahaya akan penyakit DBD sehingga masyarakat kurang
mengetahui bahwa penyakit DBD bisa menyebabkan kematian yang pada akhirnya
masyarakat banyak yang memandang penyakit DBD seperti penyakit ringan yang
tidak perlu penanganan segera, kurangnya pengetahuan tentang tempat perindukan
nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit DBD misalnya kurang
memperhatikan kebersihan lingkungan, tidak melaksanakan program 3M untuk
memberantas penyakit DBD. (Depkes RI, 2004)
e. Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Masih rendahnya pemahaman tentang penyakit DBD menuntut pelayanan
kesehatan masyarakat dan puskesmas antara lain: Penyuluhan oleh tenaga kesehatan
tentang gejala-gejala, tempat perindukan nyamuk penyebab penyakit DBD, dan
bahaya akan kematian akibat penyakit DBD. Pemberian fogging yang dilakukan
oleh petugas kesehatan setiap ada kasus DBD sampai radius 200 meter akan
mengurangi penularan penyakit DBD. Pemberian abate oleh tenaga kesehatan untuk
membunuh larva/jentik nyamuk Demam Berdarah akan mengurangi
perkembangbiakan vektor. (Depkes RI, 2004)
f. Kebiasaan menggantung pakaian
Kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah merupakan indikasi
menjadi kesenangan beristirahat nyamuk Aedes aegypti. Kegiatan PSN dan 3M
ditambahkan dengan cara menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam
kamar merupakan kegiatan yang mesti dilakukan untuk mengendalikan populasi
27
nyamuk Aedes aegypti, sehingga penularan penyakit DBD dapat dicegah dan
dikurangi (Sungkar, 2007)