33
9 BAB 2 LANDASAN TEORI Minyak kelapa sawit merupakan salah satu komoditi yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Pentingnya kelapa sawit bagi ekonomi Indonesia bukan saja disebabkan karena kelapa sawit merupakan salah satu sumber pendapatan devisa negara tetapi kelapa sawit juga merupakan sumber makanan bagi rakyat Indonesia yaitu sebagai bahan baku industri minyak goreng. Produksi minyak kelapa sawit Indonesia meningkat dengan tajam dari 450.000 ton pada tahun 1976 menjadi 12,11 juta ton pada tahun 2005. Indonesia merupakan produsen kelapa sawit kedua terbesar setelah Malaysia, yang menyumbangkan sebesar 34% dari total produksi minyak kelapa sawit dunia pada tahun 2005. Sementara Malaysia sebagai produsen terbesar minyak kelapa sawit menyumbang sebesar 54% dari total produksi minyak kelapa sawit dunia. Dalam satu dekade terakhir, rata-rata pertumbuhan produksi minyak kelapa sawit Indonesia mencapai 21,67% sementara Malaysia tingkat pertumbuhan produksinya hanya mencapai 7,7%. Hal ini mengisyaratkan ekspansi yang cepat dari luas areal tanam dan produksi minyak sawit di negeri ini. Industri sawit merupakan sektor unggulan dan memiliki daya saing di pasar internasional yang ditunjukkan dengan RCA (revealed comparative advantage) sebesar 14,8. Saat ini, Indonesia merupakan negara penghasil CPO terbesar kedua setelah Malaysia, dengan produksi mencapai lebih dari 15 juta ton dan ekspor sebesar 11 juta ton pada tahun 2006. Industri ini sangat berperan dalam

BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-79..pdf · Pentingnya kelapa sawit bagi ekonomi Indonesia ... 20,22% pada tahun 2005, jauh di atas Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

9

BAB 2

LANDASAN TEORI

Minyak kelapa sawit merupakan salah satu komoditi yang sangat penting

dalam perekonomian Indonesia. Pentingnya kelapa sawit bagi ekonomi Indonesia

bukan saja disebabkan karena kelapa sawit merupakan salah satu sumber

pendapatan devisa negara tetapi kelapa sawit juga merupakan sumber makanan

bagi rakyat Indonesia yaitu sebagai bahan baku industri minyak goreng. Produksi

minyak kelapa sawit Indonesia meningkat dengan tajam dari 450.000 ton pada

tahun 1976 menjadi 12,11 juta ton pada tahun 2005. Indonesia merupakan

produsen kelapa sawit kedua terbesar setelah Malaysia, yang menyumbangkan

sebesar 34% dari total produksi minyak kelapa sawit dunia pada tahun 2005.

Sementara Malaysia sebagai produsen terbesar minyak kelapa sawit menyumbang

sebesar 54% dari total produksi minyak kelapa sawit dunia. Dalam satu dekade

terakhir, rata-rata pertumbuhan produksi minyak kelapa sawit Indonesia mencapai

21,67% sementara Malaysia tingkat pertumbuhan produksinya hanya mencapai

7,7%. Hal ini mengisyaratkan ekspansi yang cepat dari luas areal tanam dan

produksi minyak sawit di negeri ini.

Industri sawit merupakan sektor unggulan dan memiliki daya saing di pasar

internasional yang ditunjukkan dengan RCA (revealed comparative advantage)

sebesar 14,8. Saat ini, Indonesia merupakan negara penghasil CPO terbesar

kedua setelah Malaysia, dengan produksi mencapai lebih dari 15 juta ton dan

ekspor sebesar 11 juta ton pada tahun 2006. Industri ini sangat berperan dalam

10

menyediakan kesempatan kerja bagi lebih dari 2 juta orang, menghasilkan devisa

dan pendapatan negara, serta menyediakan bahan baku bagi industri pangan,

seperti minyak goreng. Peran industri CPO dan produk turunannya akan

terus berkembang, utamanya dengan adanya program energi alternatif,

biodiesel, baik nasional maupun internasional.(Sugema dkk,2007,p1-10)

2.1 Posisi Indonesia dalam Perdagangan CPO Dunia

Catatan Oil World yang dikutip BPS (2007) menyebutkan, total produksi

CPO (dan produk turunannya) di dunia mencapai 33,42 juta ton pada tahun 2005

Dari jumlah ini, sekitar 84 persen dipasok dari dua negara penghasil utama CPO,

yaitu Malaysia dan Indonesia dengan produksi masing‐masing sebesar 14,96 juta

ton (44,76%) dan 13,11 juta ton (39,23%).

Tabel 2.1 Produksi CPO dan Produk Turunannya di Dunia

Sumber:GAPKI dan BPS,2006

12

Sementara itu, pertumbuhan produksi CPO menunjukkan angka yang cukup

tinggi. Pada tiga tahun terakhir, produksi CPO dunia tumbuh sekitar 9%.

Indonesia memiliki peluang pertumbuhan produksi yang relatif lebih tinggi

dibanding Malaysia, mengingat ketersediaan lahan dan teknologi produksi

yang belum dimanfaatkan secara optimal. Pada tahun 2005, produksi CPO

Indonesia tumbuh sekitar 7,20 %, sedangkan Malaysia 7,01 %. Hal yang patut

diwaspadai adalah berkembangnya industri sawit di negara‐negara lain yang

ditunjukkan dengan melonjaknya pertumbuhan produksi CPO yang mencapai

20,22% pada tahun 2005, jauh di atas Indonesia dan Malaysia. Dari jumlah

produksi minyak sawit sebanyak 13,11 juta ton pada tahun 2005, sebanyak 10,38

juta ton diekspor. Angka ini merupakan 79,18% dari total produksi nasional,

meningkat secara tajam dibanding tahun 2001 yang sebesar 58,33%.

Tabel 2. 2 Volume Produksi dan Ekspor CPO dan Produk Turunannya

Keterangan 2001 2002 2003 2004 2005 Total Produksi (Juta Ton) 8.40 9.62 10.44 12.23 13.11 Volume Ekspor (Juta Ton) 4.90 6.33 6.39 8.66 10.38 Presentase Ekspor (%) 58.33 65.90 61.21 70.81 79.81

Sumber : GAPKI,2006

Peningkatan porsi ekspor CPO secara tajam dan konsisten dalam lima tahun

terakhir mencerminkan beberapa hal, sebagai berikut:

Pertama, masih rendahnya penyerapan CPO didalam negeri berkaitan dengan

terbatasnya kapasitas industri hilir CPO. Dalam industri minyak goreng yang

menyerap sebagian besar pasokan CPO domestik hanya memiliki kapasitas

sekitar 1,9 juta ton per tahun (AIMMI, 2007). Industri turunan CPO saat ini belum

13

siap menyerap pasokan bahan baku, karena masih kurangnya investasi di sektor

hilir. Dalam enam tahun terakhir, produk - produk turunan CPO tidak bergerak

pada kisaran sekitar 60%; ekspor CPO murni sekitar 40%. Hal ini berbeda

dengan Malaysia yang telah mengekspor sebagian besar produk sawitnya berupa

produk turunan. Dalam kondisi industri hilir belum siap, termasuk kurangnya

infrastruktur yang diperlukan, pengekangan ekspor CPO melalui peningkatan tarif

PE hanya akan menekan nilai tambah bagi produsen di sektor hulu dan memicu

keimpangan harga di pasar domestik bagi keuntungan sebesar‐besarnya kelompok

produsen tertentu, utamanya penghasil minyak goreng.

Kedua, nilai tambah tertinggi diperoleh ketika memproduksi CPO, bukan

memproduksi produk turunan CPO. Hal ini menjadi daya tarik bisnis yang nyata

bagi produsen CPO. Memproduksi CPO akan menghasilkan nilai tambah sebesar

US$ 458 ; sementara meemproduksiproduk turunannya, misalnya olein, hanya

menghasilkan nilai tambah sebesar US$ 30.

Tabel 2.3.   Ekspor CPO dan Produk Turunannya  (dalam Ribu Metrik Ton) 

Sumber: GAPKI,2007

14

2.2 Definisi Ekspor

Perdagangan luar negeri merupakan sektor ekonomi yang sangat berperan

dalam menunjang pembangunan ekonomi Indonesia pada umumnya dan Kutai

Kartanegara pada khususnya. Dari kegiatan ekspor dapat diperoleh devisa yang

merupakan salah satu sumber dana untuk pembangunan, sementara dari kegiatan

impor dapat diperoleh bahan baku dan barang modal yang diperlukan dalam

pembangunan.

Menurut Jurnal Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi

Kabupaten Kutai Kartenegara (Kartanegara, 2007, p 248 ), Definisi ekspor adalah

pengiriman barang dagangan keluar negeri melalui pelabuhan diseluruh wilayah

Republik Indonesia, baik bersifat komersial maupun bukan komersial. Sedangkan

yang dimaksudkan Impor adalah pengiriman barang dagangan dari luar negeri ke

pelabuhan diseluruh wilayah Indonesia kecuali wilayah bebas yang dianggap luar

negeri, yang bersifat komersial maupun bukan komersial.

Nilai ekspor adalah nilai transaksi barang ekspor sampai diatas kapal

pelabuhan muat dalam keadaan free on board (f.o.bs-), sedangkan nilai impor

adalah nilai transaksi barang dagangan yang diimpor dari luar negeri dalam

keadaan cost, insurance, and freight (c.i.f). (sumber : Dinas Perindustrian,

Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Kutai Kertanegara)

2.3 Pengertian Pajak

Menurut Wikipedia (2008, http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak), Pajak

adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat

dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontra-prestasi) yang

15

langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Dengan demikian pajak dapat diartikan sebagai pungutan untuk membiayai

pengeluaran umum sektor publik, yang berhubungan dengan tugas pemerintah

untuk menyelenggarakan pelayanan kepada warga negaranya. Disamping sebagai

alat untuk memasukkan dana dari masyarakat ke dalam kas negara (fungsi

budgeter), pajak juga mempunyai fungsi lain, yaitu fungsi mengatur (fungsi

alokasi dan distribusi) sumberdaya dan pendapatan diantara masyarakat. Retribusi

agak berbeda dengan pajak. Dalam retribusi, hubungan antara prestasi yang

dilakukan (dalam wujud pembayaran) dengan kontra-prestasi itu bersifat

langsung. Dalam hal ini, pembayar retribusi menginginkan adanya timbal balik

jasa secara langsung dari pemerintah. Dengan demikian, retribusi adalah pungutan

sebagai imbalam atas pemakaian atau manfaat yang diperoleh secara langsung

oleh seseorang atau badan (misalnya perusahaan) atas jasa pelayanan, pekerjaan,

pemakaian barang, atau ijin yang diberikan oleh pemerintah. Jadi hanya mereka

(misalnya pengusaha) yang menikmati atau membeli prestasi atau membeli

kenikmatan dari pemerintah saja yang membayar. Disamping pajak dan retribusi,

sebagai species dari pungutan yang lain adalah sumbangan. Di dalam sumbangan

terdapat pemikiran bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan untuk prestasi tertentu

pemerintah, tidak boleh dikeluarkan dari kas umum, karena prestasi tersebut tidak

ditujukan kepada seluruh masyarakat, melainkan hanya untuk kelompok

masyarakat tertentu saja. Oleh karenanya hanya golongan tertentu dari masyarakat

yang diwajibkan membayar sumbangan tersebut. Namun pada kenyataannya

dilapangan, istilah pajak, retribusi, dan sumbangan seringkali bercampur baur,

16

bahkan seringkali memakai istilah-istilah yang lain seperti iuran, dana

kompensasi, dll.

Selain itu terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang

dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :

• Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada

negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib

membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)

dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan

yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum

berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

• Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat

kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat

ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut:

Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara

untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk

public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public

investment.

• Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock

Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke

sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib

dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa

17

mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat

melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.

Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari

sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa

adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya

kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan

penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara

dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.

Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan

suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan

timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan

tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang

pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari

pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus

berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik

bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar

pajak.

Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata

cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan

tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan

negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

18

2.3.1 Ciri pajak

Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian

secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke

sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang

dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat

pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut:

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan

perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan

pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur

dalam undang-undang."

2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan)

yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat

membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama

kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.

3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum

pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin

maupun pembangunan.

4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila

wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan

sanksi sesuai peraturan perundag-undangan.

5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas

Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan

penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk

19

mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi

dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).

2.3.2 Asas Pengenaan Pajak

Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada

orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai

keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan

yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan

dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak

untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat

menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-

dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.

Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam

menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan

pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai

landasan untuk mengenakan pajak adalah:

1. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence

principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu

penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila

untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan

penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang

bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak

dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu

20

berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem

pengenaan pajak terhadap penduduknya akan menggabungkan asas

domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan

baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di

luar negeri (world-wide income concept).

2. Asas sumber, Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak

atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau

badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh

atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari

sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi

persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang

memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan

penge¬naan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara

itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari

penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh

pemerintah Indonesia.

3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas

kewarganegaraan (nationality/citizenship principle).Dalam asas ini, yang

menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari

orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini,

tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan

pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak

berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara mengga¬bungkan

asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.

21

Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau

kependudukan dan asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak,

dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada kedua asas yang

disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara

untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan pajak,

yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau

berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara

(dalam asas nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilan yang menjadi

objek pajak tidaklah begitu penting. Sementara itu, pada asas sumber, yang

menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang

akan dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari

orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak

begitu penting. Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan

dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja (world-wide

income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat dikenakan

pajak hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari

sumber-sumber yang ada di negara yang bersangkutan.

Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, tetapi

mengadopsi lebih dari satu asas, bisa gabungan asas domisili dengan asas sumber,

gabungan asas nasionalitas dengan asas sumber, bahkan bisa gabungan ketiganya

sekaligus.

Indonesia, dari ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

22

10 Tahun 1994, khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek

pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut asas domisili dan asas

sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya. Indonesia juga menganut asas

kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur

mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi.

Jepang, misalnya untuk individu yang merupakan penduduk (resident individual)

menggunakan asas domisili, di mana berdasarkan asas ini seorang penduduk

Jepang berkewajiban membayar pajak penghasilan atas keseluruhan penghasilan

yang diperolehnya, baik yang diperoleh di Jepang maupun di luar Jepang.

Sementara itu, untuk yang bukan penduduk (non-resident) Jepang, dan badan-

badan usaha luar negeri berkewajiban untuk membayar pajak penghasilan atas

setiap penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber di Jepang.

Australia, untuk semua badan usaha milik negara maupun swasta yang

berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang

diperoleh dari seluruh sumber penghasilan. Sementara itu, untuk badan usaha luar

negeri, hanya dikenakan pajak atas penghasilan dari sumber yang ada di Australia.

2.3.3 Penerimaan Pajak di Indonesia

Target penerimaan negara Indonesia di sektor pajak tahun 2006 secara nasional

sebesar Rp 362 trilyun atau mengalami peningkatan 20 persen dari 2005 lalu.

Angka tersebut terdiri Rp 325 trilyun dari pajak dan Rp 37 trilyun dari Pajak

Penghasilan (PPh) Migas.(Brenan dkk,1981,p20-22)

23

Target penerimaan negara dari perpajakan dalam APBN 2006 mencapai Rp.402,1

triliun. Target penerimaan itu antara lain berasal dari:

• Pajak Penghasilan (PPh) Rp.198,22 triliun

• Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

(PPN dan PPnBM) Rp.126,76 triliun

• Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp.15,67 triliun

• Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Rp.5,06 triliun

penerimaan pajak lainnya Rp.2,76 triliun.

Pendapatan pajak itu sudah termasuk pendapatan cukai Rp.36,1 triliun, bea masuk

Rp.17,04 triliun dan pendapatan pungutan ekspor Rp.398,1 miliar. Total

penerimaan pajak dalam lima tahun terakhir (2001-2005) sudah mencapai 1.040

triliun

2.3.4 Model Leviathan

Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal dari pajak

daerah pada dasarnya perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu : (i) dasar pengenaan

pajak dan (ii) tarif pajak. Pemerintah Daerah cenderung untuk menggunakan tarif

yang tinggi agar diperoleh total penerimaan pajak daerah yang maksimal.

Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoritis tidak selalu menghasilkan

total penerimaan maksimum. Hal ini tergantung pada respons wajib pajak,

permintaan dan penawaran barang yang dikenakan tariff pajak lebih tinggi.

Formulasi model ini dikenal sebagai Model Leviathan. Dengan asumsi bahwa

biaya administrasi perpajakan dianggap tidak signifikan dan ceteris-paribus level

24

pelayanan publik yang dibiayai dfari penerimaan pajak, dan hanya kegiatan

ekonomi saja yang dipengaruhi oleh besaran pajak, maka Gambar 2.1 di bawah

ini menunjukkan hubungan antara tarif pajak proporsional atas basis pajak

tertentu. Bentuk kurva (“Laffer”) yang berbentuk parabola menghadap sumbu Y

(tarif pajak), menghasilkan Total Penerimaan Pajak Maksimum yang ditentukan

oleh kemampuan wajib pajak untuk menghindari beban pajak baik legal maupun

illegal dengan mengubah “economic behavior” dari wajib pajak. Gambar ini juga

mengasumsikan bahwa penyesuaian wajib pajak terhadap pengenaan tarif pajak

tertentu adalah independent terhadap jenis pajak dan tarif pajak lainnya. Model

Leviathan akan mencapai total penerimaan pajak maksimum (T*) pada tarif t*.

Pada tarif t*, menunjukkan bukanlah tariff tertinggi, tetapi dapat dicapai total

penerimaan pajak maksimum. Pada kondisi ini dikenal sebagai Revenue

Maximizing Tax Rate. Model Leviathan ini memberikan pelajaran kepada kita

bahwa peningkatan penerimaan pajak daerah tidak harus dicapai dengan

mengenakan tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pajak

yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang meminimalkan

penghindaran pajak dan respon harga dan kuantitas barang terhadap pengenaan

pajak sedemikian rupa, maka akan dicapai Total Penerimaan Maksimum. Model

Leviathan ini dapat dikembangkan untuk menganalisis hubungan lebih lanjut

antara tarif dan dasar pengenaan pajak untuk mencapai Total Penerimaan Pajak

Maksimal.

25

Gambar 2.1 Model Leviathan

2.4 Definisi Pungutan

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, pungutan berarti; 1) mengambil yang

ada di tanah atau lantai (karena jatuh dan sebagainya), 2) menarik (biaya, derma)

yang berupa uang atau barang, 3) memetik (buah dan hasil tanaman). Dalam

kajian ini, pengertian pungutan lebih pada point 2, dimana pengertian pungutan

secara formal dapat didefinisikan sebagai sesuatu (berupa uang maupun bentuk

lainnya) yang ditarik atau dikumpulkam pihak yang berwenang (legal authority)

atau pengusaha. Dengan demikian, pungutan merupakan salah satu sumber

penerimaan negara untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan. Pungutan oleh negara biasanya dibedakan menjadi pajak dan

retribusi, dimana pembayaran keduanya dapat dipaksakan berdasarkan peraturan

perundangan baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah. Dalam prakteknya

pungutan tidak sesederhana definisinya. Ada berbagai kategori yang dapat

digunakan untuk membuat anatomi pungutan, yaitu:

26

♦ Dari sisi formalitasnya, ada pungutan resmi (official levies) dan ada pungutan

liar (unofficial levies). Pungutan resmi dalam arti ada dasar hukumnya. Pungutan

resmi ini juga bisa didomplengi oleh pungutan liar, sehingga jumlah pungutan

yang harus dibayar menjadi tidak sesuai dengan jumlah yang semestinya.

♦ Dari sifat kesukarelaannya, ada pungutan wajib dan ada sumbangan sukarela.

Pungutan wajib biasanya dikaitkan dengan fungsi tertentu dari instansi pemerintah

(seperti fungsi pengatur, pembinaan, pelayanan, dan pengawasan). Sumbangan

sendiri secara teoritis bersifat sukarela. Namun kenyataannya sering menjadi

pungutan wajib bukan atas dasar legalitas, melainkan karena ada tekanan

moral/sosial dan atau ancaman. Selain itu, masih ada pungutan yang mungkin

dapat dimasukkan ke dalam “ongkos penyogokan” (cost of bribery) dengan

berbagai label seperti “uang pelicin”, “uang perangsang”, “uang terima kasih”,

“biaya intertainment”, “biaya negosiasi” dan lain-lain. Walaupun dalam hal ini

mengesankan pengusaha sebagai pihak yang aktif mengambil inisiatif, namun

kenyataannya di lapangan menunjukkan praktek-praktek tersebut seringkali

menjadi prosedur “wajib” yang sulit dihindari pengusaha. Berbagai ragam

pungutan yang berkembang, dapat ditarik garis tegas mengenai perspektif

pungutan dari dua sisi. Pada satu sisi, pungutan merupakan bagian dari inefisiensi

ekonomi, akibatnya ekonomi dibangun di atas biaya tinggi. Pada sisi lain,

pungutan juga bersifat sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Secara teoritis,

beban atas pungutan yang dikenakan pada perusahaan tidak secara otomatis

menjadi beban perusahaan, walaupun pungutan tersebut dikenakan langsung

kepada perusahaan. Dalam teori ekonomi dikenal dengan istilah insidens pajak

(tax incidence) yaitu pihak yang menderita beban suatu pajak/pungutan mungkin

27

dapat mengalihkan sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain. Dalam hal ini

perusahaan dapat mengalihkan beban pajaknya kepada konsumen bila mungkin

dengan cara menaikan harga jual produknya, atau pengalihkan kepada tenaga

kerja dengan menekan biaya produksi, misalnya upah tenaga kerja. Hal ini

tentunya sangat tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran, bentuk

pasar, dan motivasi pengusaha.

2.4.1 Syarat pemungutan pajak

Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila

terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila

terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang

kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai maswalah, maka pemungutan

pajak harus memenuhi persyaratan yaitu:

Pemungutan pajak harus adil

Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan

untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil

dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya.

Contohnya:

1. Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak

2. Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi

syarat sebagai wajib pajak

28

3. Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum

sesuai dengan berat ringannya pelanggaran

Pengaturan pajak harus berdasarkan UU

Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak

dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan

Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

penyusunan UU tentang pajak, yaitu:

Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang

berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya

Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan

secara umum

Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib

pajak

Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian

Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar

tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi,

perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai

merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha

masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan

menengah.

29

Pemungutan pajak harus efesien

Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan

pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima

lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh

karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah

untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan

mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi

penghitungan maupun dari segi waktu.

Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan

keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan

memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang

harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para

wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran

pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan

semakin enggan membayar pajak.

Contoh:

Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2

macam tarif

Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu

tarif, yaitu 10%

30

Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk

perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh)

yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (pribadi)

2.4.2 Asas pemungutan

Untuk dapat mencapai tujuan dari pemungutan pajak, beberapa ahli

yang mengemukakan tentang asas pemungutan pajak, antara lain:

Adam Smith, pencetus teori The Four Maxims

1. Menurut Adam Smith (Smith, 2007, p25) dalam bukunya Wealth of

Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four Maxims", asas

pemungutan pajak adalah sebagai berikut.

Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas

keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus

sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara

tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.

Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak

harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat

dikenai sanksi hukum.

Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat

waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang

tepat bagi wajib pakak (saat yang paling baik), misalnya disaat

31

wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak

menerima hadiah.

Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): biaya

pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai

terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan

pajak.

2. Menurut W.J. Langen (Langen, 1989, p2-3), asas pemungutan pajak

adalah sebagai berikut.

Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus

berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin

tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.

Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan

untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan

umum.

Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan

untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang

satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang

sama (diperlakukan sama).

32

Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan

sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandinglan sengan

nilai obyek pajak. Sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.

3. Menurut Adolf Wagner (Wagner, 1991, p31-38), asas pemungutan

pahak adalah sebagai berikut.

Asas politik finalsial : pajak yang dipungut negara jumlahnya

memadadi sehingga dapat membiayai atau mendorong semua

kegiatan negara

Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat Misalnya: pajak

pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah

Asas keadilan yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa

diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.

Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan

(kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan

(bagaimana cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak.

Asas yuridis segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-

Undang.

33

2.4.3 Teori pemungutan

Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, (Brotodiharjo, 1989, p 150)

dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ada beberapa teori yang

mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu:

1. Teori asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk

melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan

jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan

tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi

diperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap

sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyak ditentang

karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.

2. Teori kepentingan, menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah

adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk

kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat

kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus

dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa

tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang

kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan

orang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.

2.5 Regulasi pemerintah dalam menerapkan tariff PE

Pemerintah menaikkan pungutan ekspor (PE) minyak kelapa swait (Crude

Palm Oil/CPO) dari 10 persen menjadi 20 persen untuk April karena harga CPO

34

di bursa Rotterdam selama Maret bertahan di atas US$1.200 per ton dan mencapai

rekor tertinggi US$1.395 per ton. Setelah mencapai puncaknya, harga CPO mulai

turun dan hingga hari ini senilai US$1.155 per ton. Harga rata-rata selama Maret

di atas US$1.200 per ton, PE-nya naik menjadi 20 persen. Berdasarkan

perhitungan Departemen Perdagangan, harga referensi yang dipakai untuk

menentukan besaran PE adalah US$1.273 per ton. Selain PE, Departemen

Perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan No.09/2008 juga

menetapkan Harga Patokan Ekspor (HPE) untuk CPO senilai US$1.196 per ton.

Seperti diketahui, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan No.

09/PMK.011/2008 mengenakan tarif PE atas CPO dan produk sawit lainnya

sebagaimana terlihat pada Tabel 2.4

Tabel 2.4 Tarif PE kelapa sawit, CPO dan produk turunannya

Jenis Produk

Harga Referensi CPO (US$/ton)

< 550 550 -650

650 -750

750 -850

850-1100

1100-1200

1200-1300

> 1300

Buah dan Kernel Kelapa Sawit

40 40 40 40 40 40 40 40

CPO 0 2.5 5 7.5 10 15 20 25

Crude Olein 0 2.5 5 7.5 10 15 20 25

Crude Stearin

0 1.5 4 5.5 9 13 18 23

Crude PKO 0 1.5 4 5.5 9 13 18 23

Crude Kernel Stearin

0 1.5 4 5.5 9 13 18 23

Crude Kernel Olein

0 1.5 4 5.5 9 13 18 23

RBD Palm Olein

0 2.5 5 7.5 10 15 20 25

RBD Palm Olein dalam kemasan dan bermerk

0 0 0 2.5 5 10 15 20

RBD PK Olein

0 0 5 7.5 10 15 20 25

35

RBD PKO 0 1.5 4 5.5 9 13 18 23

RBD Palm Stearin

0 0.5 3 4.5 8 11 16 21

RBD PO 0 0.5 3 4.5 8 11 16 21

Biofuel dari minyak sawit

0 0 2 2 2 5 5 5

Sumber : GAPKI, 2008

Perhitungan Pungutan Ekspor ditetapkan sebagai berikut:

a. Dalam hal tarif ditetapkan secara advalorum, maka:

Pungutan Ekspor = Tarif Pungutan Ekspor x Harga Patokan

Ekspor (HPE) x Jumlah Satuan Barang x Nilai Kurs

b. Dalam hal tarif ditetapkan secara spesifik, maka:

Pungutan Ekspor = Tarif Pungutan Ekspor dalam satuan mata uang

tertentu x Jumlah Satuan Barang x Nilai Kurs

Harga Patokan Eskpor (HPE) adalah harga patokan yang ditetapkan setiap bulan

oleh Menteri yang bertanggung jawab dibidang perdagangan, berdasarkan harga

rata-rata internasional.

Tarif Pungutan Ekspor dan HPE yang digunakan sebagai dasar perhitungan

Pungutan Ekspor adalah Tarif Pungutan Ekspor dan HPE yang berlaku pada saat

PEB didaftarkan pada Kantor Pelayanan Bea dan Cukai.

Dalam hal tidak terdapat HPE, penentuan jumlah Pungutan Ekspor dihitung

berdasarkan Harga Free on Board (FOB) yang tercantum dalam PEB dengan

rumus sebagai berikut:

Pungutan Ekspor = Tarif Pungutan Ekspor x Jumlah Satuan Barang

x Harga Free On Board (FOB) x Nilai Kurs

36

Nilai Kurs yang digunakan sebagai dasar perhitungan Pungutan Ekspor adalah

Nilai Kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat

pembayaran Pungutan Ekspor dilakukan.

Pendekatan ekonomi kesejahteraan

Dengan posisi Indonesia sebagai negara besar pengekspor CPO, penerapan PE

secara teoritis mempengaruhi harga internasional menjadi naik. Kenaikan ini

selanjutnya akan berdampak pada kenaikan harga CPO domestik dan minyak

goreng. Gejala kenaikan harga inilah yang dindikasikan sebagai terjadinya ”efek

domino” dari penerapan PE atas CPO. Analisis keseimbangan parsial (lihat

Gambar 2.1) digunakan untuk mengetahui distribusi surplus antara produsen dan

konsumen. Kebijakan PE mengubah alokasi surplus dalam perekonomian dan

memunculkan dead weight social loss (DSL). Input variabel bergerak ke

penggunaan lain yang lebih kompetitif, tetapi input tetap dalam sektor CPO

memberikan hasil yang lebih rendah dibandingkan tanpa PE. Penurunan ini

merupakan kehilangan surplus yang harus ditanggung produsen.

Bagaimana kehilangan surplus ini terdistribusi dalam perekonomian di atas.

Katakanlah nilai sebesar A menjadi peningkatan surplus bagi konsumen domestik

karena adanya penurunan harga dari katakanlah p1 ke p2, Nilai sebesar C diambil

sebagai penerimaan pungutan ekspor bagi pemerintah dari volume ekspor X2X3.

37

Gambar 2.2. Dampak PE terhadap distribusi kesejahteraan masyarakat

Nilai sebesar B dan D adalah kehilangan bersih yang harus ditanggung. Nilai D

mewakili kehilangan bersih karena sejumlah X 3 X 4 unit yang dapat dijual pada

harga p2 tidak diproduksi lagi setelah adanya PE. Input variabel yang dibebaskan

bergerak ke aktivitas yang lebih kompetitif lain. Nilai B adalah kehilangan surplus

bagi produsen karena sejumlah X1X2 unit diproduksi untuk dijual dengan harga

p2, bukan p1. Nilai B merupakan kehilangan surplus bersih setelah

mempertimbangkan peningkatan surplus bagi konsumen.

Dalam keseimbangan parsial, nilai B dan D merupakan kehilangan surplus bersih

karena perlindungan kepada konsumen dari harga CPO internasional yang tinggi

dan dalam rangka menghasilkan pendapatan bagi pemerintah dari PE. Dampak

penerapan PE secara matematis dapat dijelaskan sebagai berikut :

38

Kehilangan surplus bagi produsen = -(A+B+C+D)

Peningkatan surplus bagi konsumen domestik = + A

Penerimaan pungutan pemerintah = + C

Deadweight social loss = - (B + D)

Ukuran dari peningkatan surplus (consumer gain) atau kehilangan surplus

(producer loss) dari penerapan PE tergantung dari elastisitas permintaan dan

penawaran domestik terhadap CPO Indonesia, disamping tingkat harga CPO.

Ilustrasi teoritis di atas akan diterapkan dalam dunia nyata CPO di Indonesia

melalui perhitungan matematika ekonomi sederhana dengan cara menghitung luas

areal A, B, C dan D.

Dampak PE terhadap distribusi kesejahteraan masyarakat

Dalam tulisan ini, tingkat harga CPO dihitung dengan menggunakan harga CPO

ekspor dan domestik serta harga CPO di Rotterdam. Harga CPO di Rotterdam

yang digunakan dalam perhitungan ini adalah US$ 1.064 dan 1.273 per ton.

Biaya transfer Rotterdam-Belawan diperkirakan US$ 81/ton. HPE CPO untuk

bulan Maret dan April, masing-masing US$/ton 988 dan US$ 1.196/ton. Dengan

tingkat harga CPO Rotterdam tersebut, maka PE CPO adalah 10% dan 20%.

Sedangkan nilai elastisitas permintaan dan penawaran CPO adalah 0,57 dan 0,16.

Produksi CPO tahun 2008 diperkirakan 18 juta ton, ekspor 13 juta ton, dan

konsumsi domestik 5 juta ton. Perhitungan distribusi kesejahteraan masyarakat

(lihat Tabel 2) dilakukan dengan membandingkan keadaan bulan Maret dan April

2008.

39

Tabel 2.5 Dampak PE terhadap distribusi kesejahteraan masyarakat

URAIAN MARET APRIL

INPUT: Keadaan tanpa dan dengan PE PE = 10% PE = 20%

Konsumsi dengan PE, X2 (ton) 416,667 416,667

Produksi dengan PE, X3 (ton) 1,500,000 1,500,000

Elastisitas permintaan* 0.57 0.57

Elastisitas penawaran* 0.16 0.16

Nilai tukar $US1 ke Rp 9,000 9,000

Harga domestik (Rp/kg) 8,321 8,001

Harga domestik, P1 (US$/ton) 925 889

Harga ekspor, Po ($US/ton) 994 1,100

Selisih produksi, X3X4 (ton) 16,780.68 46,036.36

Produksi tanpa PE, X4 (ton) 1,516,781 1,546,036

Selisih konsumsi, X1X2 (ton) 16,605.89 45,556.82

Konsumsi, tanpa PE (Xl) 400,061 371,110

OUTPUT : Distribusi Kesejahteraan

I. Producer Loss (US$) - 10,483,313 - 64,271,367

II. Consumer Gain (US$) + 2,838,128 + 16,622,084

III. Government Tax Revenue (US$) + 7,529,167 + 45,716,667

IV. Deadweight Social Loss (US$) - 116,018 - 1,932,616

Net Welfare (II + III + I + IV) - 232,037 - 3,865,232

Sumber : GAPKI, 2008

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai producer loss bulan Maret (US$ -

10,483,313) dan deadweight social loss (US$ - 116,018 ) tidak terkompensasi

oleh consumer gain (US$ + 2,838,128) dan government tax revenue (US$ +

7,529,167). Secara keseluruhan, tingkat kesejahteraan dalam perekonomian CPO

memburuk dengan nilai US$ - 232,037 (Tabel 2). Dampak yang searah dalam

ukuran lebih besar terjadi untuk keadaan bulan April pada saat tingkat PE naik

menjadi 20%. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah semakin tinggi PE

maka produsen CPO semakin dirugikan, konsumen CPO (industri pengolahan)

semakin diuntungkan, penerimaan pemerintah makin tinggi, dan tingkat nilai

40

kehilangan dalam perekonomian juga makin tinggi. Secara keseluruhan tingkat

kesejahteraan memburuk dengan makin tingginya tarif PE CPO.

Khusus tentang penerimaan Pemerintah, dalam dua bulan di atas saja, Pemerintah

diperkirakan dapat memperoleh tambahan pendapatan sebesar US$ 53,245,833

atau Rp 479,212,500,000. Penerimaan Pemerintah ini tentunya akan berlipat

ganda seiring dengan jumlah dan jenis produk kelapa sawit yang di ekspor.

Konon kabarnya, pada tahun 2007 saja Pemerintah memperoleh tambahan

penerimaan sekitar Rp. 9 trilyun.

Dengan perhitungan di atas, pertanyaan selanjutnya adalah kenapa Pemerintah

tetap menerapkan PE 20% atas CPO?. Jawaban atas pertanyaan ini masuk ke aras

ekonomi politik yang penerapannya berdasarkan political preference Pemerintah.

Ekonomi Politik PE CPO

Masalah keuangan nasional dan pemihakan kepada konsumen golongan

masyarakat miskin menjadi political preference function Pemerintah. Masalah

keuangan nasional memerlukan pemecahan yang bersifat instan dan substansial

(bukan dengan hutang). Pemecahan palinng mudah adalah menerapkan

pungutan. Dalam kasus CPO, PE dapat diartikan sebagaii memajaki negara lain

atau dunia yang mengimpor CPO, bukan memajaki pengusaha CPO. Pengusaha

CPO hanya sebagai perantara karena dengan posisi Indonesia sebagai salah satu

negara pengekspor besar (a big country exporter), maka pengenaan PE atas CPO

mempengaruhi situasi pasar internasional dan selanjutnya harga CPO naik.

Pengusaha tidak dirugikan, tetapi keuntungan dari adanya wind fall gain kenaikan

41

harga internasional dikurangi. Pemerintah mengambil untung untuk mengatasi

masalah keuangan nasional dan keuntungan itu saat ini baru diarahkan untuk

memberi subsidi dan menanggung PPN minyak goreng (PPN-DTP).

Dalam perspektif ekonomi politik pertanian, apa yang dilakukan Pemerintah saat

ini sebetulnya masih kurang dari cukup. Berdasarkan perhitungan dampak di atas,

maka terdapat beberapa hal yang dapat menjadi perhatian Pemerintah untuk

menggeser political preference function Pemerintah. Dana yang didapat dari

penerapan PE ditambah produk-produk lainnya harus juga dialokasikan untuk

keberlanjutan usaha perkebunan, promosi dan advokasi tentang berbagai isu

kelapa sawit di luar negeri, penelitian dan pengembangan serta perbaikan

infrastruktur perkebunan, terutama jalan-jalan produksi.

Dari berbagai produk kelapa sawit yang terkena PE (lihat Tabel 1) usulan alokasi

untuk mengatasi masalah keuangan dan kemiskinan dibandingkan dengan untuk

pengembangan industri kelapa sawit 70% berbanding 30% (lihat Tabel 3), suatu

tingkat perbandingan yang tidak mengutamakan egosektoral. Usulan alokasi

inipun tidak melanggar peraturan perundang-unangan yang berlaku (UU No. 20

Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak).

42

Tabel 2.6 Usulan pemanfaatan dan alokasi penerimaan Pemerintah dari

pengenaan PE atas kelapa sawit, CPO dan produk turunannya

Pemanfaatan Porsi Alokasi (%)

Safety Net Program Stabilisasi (Subsidi bagi masyarakat miskin)

30

Pembangunan Umum 40

Sustainability Perkebunan 10

Promosi dan Advokasi 5

Penelitian dan Pengembangan 7.5

Peningkatan Infrastruktur 7.5

Sumber : GAPKI, 2008