BAB 1 -Revisiiii

Embed Size (px)

Citation preview

  • KARYA TULIS ILMIAH

    KAJIAN TAPAK DAN LANSEKAP TERHADAP PERENCANAAN INFRASTRUKTUR LUWENG GLATIK KALISUCI SEMANU GUNUNG KIDUL

    Dosen Pembimbing : Ir. Hanif Budiman

    Disusun : Yusuf Relyanto

    NIM :10512100

    Program Studi Arsitektur

    Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

    Universitas Islam Indonesia

    2014/2015

  • BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1 LATAR BELAKANG

    Objek dan Daya tarik wisata, etrutama yang bertemakan alam yang ada diindonesia belakangan sudah mulai dilirik oleh para Investor, Pengusaha, dan Pemerintah sebagai sebagai sumber daya dan salah stu modal bagi usaha pengembangan serta peningkatan kepariwisataan yang akan mendatangkan keuntungan. Kepariwisataan sendiri sangat berperan dalam menyediakan dan memperluas lapangan pekerjaan, memunculkan faktor-faktor kemajuan suatu daerah, Serta menambah pemasukan nasional maupun daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

    Di Indonesia sendiri banyak sekali dijumpai tempat wisata alam yang sangat menarik untuk dikunjungi. Karakter lanskapnya beragam mulai dari pantai, dataran rendah, sampai pegunungan. Setiap tempat memiliki ciri dan karakternya masing-masing. Salah satu potensi lanskap yang kurang begitu diperhatikan adalah karst.

    Karst merupakan penamaan dari bentukan di permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya bebatuan bertumpuk yang tertutup akbiat proses pergeseran geologi sejak zaman dahulu kala, drainase permukaan, dan gua. Daerah ini dibentuk oleh pelarutan batuan kapur. Kawasan karst di Indonesia memiliki luas sekitar 154.000 km2 hektar dan tersebar hampir di seluruh Indonesia (Surono dkk. 1999). Oleh karena itu banyak dari kawasan karst tersebut yang dimasukkan dalam golongan pariwisata Geopark oleh pemerintah dan UNESCO

    Geopark menurut UNESCO merupakan sebuah daerah dengan batasan yang sudah ditetapkan dengan jelas dan memiliki kawasan permukiman yang cukup luas untuk pembangunan ekonomi local. Secara umum, Suatu kawasan Geopark akan terdiri dari sejumlah tapak geologi yang memiliki kepentingan ilmiah khusus, kelangkaan atau keindahan. Salah satunya Geopark yang terdapat di Indonesia yakni adalah kawasan Geopark Cave Tubing, Gunung kidul, Yogyakarta.

    Gunung kidul sendiri merupakan salah satu kabupaten di provinsi D.I Yogyakarta yang memiliki asset geologi berupa kawasan gunung karst yang sekarang sudah ditetapkan sebagai kawasan geopark nasional. Aset geologi tersebut dapat menjadi wadah pendidikan, sejarah dan juga pariwisata. Potensi ini bias dimanfaatkan sebagai peluang promosi kawasan wisata geopark Gunung Kidul. Sehingga sector pariwisata di Gunung Kidul yang menjadi komoditi andalan menjadi semkain meningkat dan diharapkan memiliki dampak positif kepada masyarakat. Sebagian besar wilayah Gunung Kidul merupakan pegunungan dan perbukitan kapur. Kawasan

  • karst memiliki karakteristik yang unik di permukaan atas dan bawahnya. Secara fisik kawasan ini memiliki nilai estetik yang khas. Banyak dijumpai sungai bawah tanah yang menjadi pemasok ketersediaan air tanah bagi kawasan yang berada diatasnya. Menurut Purnomo (2005), salah satu potensi yang ada di daerah karst adalah rupa bumi dengan topografi yang unik dan air bawah tanah yang merupakan salah satu unsur sumber daya alam yang sangat penting keberadaannya untuk kehidupan makhuk hidup karena menunjang berbagai aktivitas kehidupan.

    Gunungkidul memiliki banyak tempat yang menarik berkaitan dengan rupa bumi setempat yang berbentuk karst. Luweng Kalisuci adalah salah satu wilayah di desa pacarejo Kecamatan Semanu yang bentukan lanskapnya berupa cekungan karst (Goa Horizontal). Lanskapnya berupa lembah yang tidak begitu luas. Terbentang sejauh kurang lebih 1 km. Dari ketinggian tertentu dapat dilihat kawasan sekitar dengan tebing-tebing curamnya dan berbagai macam vegetasi. Mulut gua tersebar di beberapa spot kawasan yang belum terjamah. Kawasan ini dengan jelas dapat terekspos dari pinggir jalan raya Desa pacarejo.

    Kalisuci sendiri merupakan wisata goa karst dengan sungai bawah tanah yang saat ini dijadikan sebagai sebuah objek wisata baru di Kabupaten Gunung Kidul. Kalisuci terletak sekitar 10 kilometer dari Wonosari yaitu tepatnya diDesa Pacarejo, Kecamatan Semanu, Gunungkidul. Tempat ini sebenarnya sudah mulai dirintis sebagai tempat wisata pada era pemerintahan Soeharto sekitar tahun 1997 yaitu dengan pembangunan tangga untuk akses ke bawah sungai, akan tetapi kurangnya perhatian dari pemerintah setempat kemudian menjadikan tempat ini tidak terawat dengan baik, dan digunakan oleh warga sekitar untuk keperluan mandi dan mencuci.

    Berangkat dari semua fakta dan data yang sudah diuraikan maka untuk mendukung kegiatan wisata di kawasan Geopark Kalisuci, Semanu agar lebih berkembang dan menarik lagi, perlu adanya bangunan-bangunan infrastruktur yang mampu mendukung aktifitas pengunjung wisata nantinya. Bangunan tersebut, dalam desainnya haruslah mampu memenuhi segala aspek mulai dari Estetika, Kenyamanan pengguna, Efisiensi, Fungsional, dan mampu meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Namun sebelum itu perlunya suatu kajian teknis terhadap site itu sendiri dimana jika dilihat site ini bukanlah site yang bisa menggunakan standar infrastruktur dan konstruksi seperti pada umumnya apabila ditanah mau pun di kondisi yang datar. Perlu adanya perencanaan Lansekap sebagai acuan dan standar Teori maupun teknis terhadap upaya pembangunan infrastruktur di atas bebatuan karst Goa vertikal Kalisuci.

    Perlindungan dan Perencanaan kawasan karst dan gua-gua dibawahnya baik yang berbentuk Horizontal maupun Vertikal dalam UU No. 5 pasal 1 (13) tahun 1990 bahwa kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya baik untuk kepentingan pemajuan kawasan tersebut maupun pelestarian alam dikawasan tersebut. Pada pasal 3 juga disebutkan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, pemajuan kawasan sesuai perencanaan yang diinginkan dan perbaikan mutu kehidupan manusia. Perencanaan lanskap ekowisata karst di kawasan ini

  • penting dilakukan untuk menata kawasan agar lebih fungsional, secara estetis (Indah), teknis (Kajian ekologi dan alam), membentuk ikon wisata daerah, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.

    1.2 RUMUSAN MASALAH

    A. UMUM

    - Memunculkan suatu usulan rancangan yang bisa dijadikan pedoman untuk

    membangun infrastruktur pendukung kegiatan Ekowisata, Kalisuci, Semanu.

    B. KUSUS

    - Mengidentifikasi dan menganalisis kawasan luweng glatik yang merupakan salah satu

    spot Ekowisata Kalisuci sebagai area yang nantinya direncanakan akan dibangun

    sebuah infrastruktur pendukung kegiatan ekowisata kalisuci.

    1.3 TUJUAN

    A. UMUM

    - Merencanakan lanskap alami karst luweng glatik, kalisuci sebagai area pembangunan

    Infrastruktur pendukung kegiatan ekowisata, Kalisuci.

    B. KUSUS

    - Terciptanya suatu usulan standar perencanaan sistem konstruksi dan pembangunan

    yang sanggup berdiri di kondisi tanah tebing tanpa merusak lingkungan ditebing itu

    sendiri.

    1.4 SASARAN

    Kajian dan analisis pada usulan perencanaan Infrastruktur Pinggir Tebing ini diharapakn akan menjadi pedoman dalam menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya desain sebuah Infrastruktur pendukung yang berada di pinggir tebing untuk perencanaan 50 tahun kedepan tanpa merusak lanskap alami ataupun nilai konstruksi dari bangunan Infrastruktur itu sendiri.

    1.5 KEASLIAN PENULIS

    1.5.1 Nama : Tri Octa Ayu Ashari (1051210)

    Judul : Analisa Kelayakan Fasilitas Gedung Olahraga Kridosono

  • Penekanan : Ditinjau Dari Standard Tata Cara Perencanaan teknik

    bangunan gedung olahraga, departemen pekerjaan umum

    dan kebutuhan bangunan public kota.

    1.5.2 Nama : Naufal Heru Satria (10512240)

    Judul : Geopark Adventure Resort di Kawasan Luweng Cokro, Gunung

    Kidul

    Penekanan : Desain Fasilitas Resort pada Site Ekstrim dengan Struktur dan

    Material Lokal

    1.6 SISTEMATIKA PENULISAN

    BAB 1 : PENDAHULUAN

    Penjelasan kepariwisataan di Indonesia, Karst yang merupakan salah satu daya

    Tarik potensial wisata alam Geopark, Mengapa suatu kawasan memerlukan

    suatu Infrastruktur pendukung yang bukan hanya nyaman dan menarik tapi juga

    baik secara konstruksi dan perencanaanya, Gunung kidul sebagai kawasan karts

    yang sudah terkenal, alasan kalisuci sebaigai salah satu Ekowisata geopark di

    Gunung Kidul untuk dikembangkan dan diperhatikan, permasalahan, Tujuan,

    Metode, Sasaran, Sistematika Penulisan dan Kerangka Berpikir.

    BAB 2 : KAJIAN TEORI

    - Karst : Pengertian Karst. Lansekap karst

    pegunungan Sewu.

    - Gua : Pengertian Gua, Teori proses

    terbentuknya Gua Karst.

  • - Potensi Wisata : Pengertian potensi wisata, aspek yang

    perlu diperhatikan dalam mengupayakakan daya Tarik dari suatu objek

    Infrastruktur wisata.

    - Ekowisata : Pengertian Ekowisata, Pengembangan

    Ekowisata

    - Perencanaan Lansekap : Pengertian perencanaan, Lansekap,

    Perencanaan Lansekap.

    - Daya dukung lansekap wisata alam : Pengertian daya dukung, Faktor yang

    mempengaruhi daya dukung.

    BAB 3 : SAJIAN DATA

    a. Kondisi Umum.

    - Letak Geografis

    - Tata Guna Lahan

    - Topografi

    - Geologi dan Tanah

    - Hidrologi

    - Iklim

    - Vegetasi ( Keanekaragaman Hayati )

    - Visualisasi.

    b. Aksesibilitas.

    c. Potensi penerapan dan pengembangan dari sebuah kawasan Ekowisata.

    d. Zona Peka.

    BAB 4 : ANALISIS USULAN

    a. Perencanaan Lansekap b. Konsep Bangunan c. Kajian Tipologi dan Preseden.

    BAB 5 : KESIMPULAN

  • 1.7 KERANGKA BERPIKIR

    LUWENG GLATIK, KALISUCI, SEMANU, GUNUNGKIDUL, D.I YOGYAKARTA

    Analisis kawasan Kalisuci dalam upaya fungsi dan pemanfaatannya.

    Kondisi Eksisting kawasan luweng Glatik, Kalisuci dan sekitarnya.

    AKSESIBILITASPotensi objek di kawasan luweng glatik

    dan sekitarnya.

    Bentang Lansekap yang menarik.

    Analisis kepekaan tapak berbasis

    lingkungan.

    Zonasi kesesuaian tapak untuk Infrastruktur

    Ekowisata.

    AKSESIBILITAS

    Potensi Pengembangan kawasan Infrastruktur

    Wisata.

    Zonasi Pengunjung.

    Daya dukung tanah

    Rencana Fasilitas.

    Kesimpulan Rencana Lansekap Kawasan Luweng Glatik

  • BAB 2

    KAJIAN TEORI

    2.1 KARST

    Secara terminologi, karst adalah bentang alam batuan gamping yang dibentuk oleh kegiatan pelarutan air. Proses itu akan berjalan baik selama batuan yang tersedia masih memiliki bagian yang bersifat mudah larut serta masih tersedia cukup air yang berfungsi sebagai pelarut. Proses pelarutan biasa disebut karstifikasi. Pembentukan bentang alam karst memerlukan waktu jutaan tahun. Bentang alam ini selain dapat mengandung berbagai jenis mineral berharga (diantaranya adalah emas, perak, tembaga, timbal, dan seng), sering juga memiliki keindahan yang luar biasa sehingga dapat membuat suatu daerah karst menarik dan mendapat perhatian berbagai golongan masyarakat (Maryanto 2006).

    Secara umum para ahli menyebutkan bahwa kawasan karst mencakup luasan lebih dari

    10% dari seluruh permukaan bumi (Jennings 1985). Laporan yang dibuat Hikespi (Himpunan

    Kegiatan Speleologi Indonesia) menyebutkan bahwa kawasan karst ditemukan hampir di

    seluruh pulau besar di Indonesia yang meliputi Sumatera, Jawa, Kaliamantan, Sulawesi, dan

    Papua. Bappenas (2003) menyebutkan bahwa ada sekitar 15,4 juta hektar kawasan batuan

    gamping yang tersebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia. Namun hanya sebagian saja

    yang berkembang menjadi kawasan karst. Kawasan ini merupakan kawasan yang

    mempunyai nilai yang sangat tinggi baik dari segi ilmiah, ekosistem, budaya, sosial, ekonomi,

    dan tempat untuk pendidikan.

    2.2.1 LANSEKAP KARST PEGUNUNGAN SEWU

    Batu gamping neogen tersingkap luas di tengah Jawa bagian selatan. Tersebar dari mulai Parangtritis-Yogakarta hingga Teluk Pacitan-Jawa Timur, melalui Gunungkidul dan Wonogiri membentuk bentangan morfologi spesifik dinamakan karst. Kawasan ini dikenal dengan nama karst Gunung Sewu. Bentangan ini dicirikan adanya sekitar 40.000 bukit karst berbentuk kerucut (conical hills) (Uhlig 1980).

    Kawasan Gunung Sewu merupakan bagian pegunungan di bagian selatan Pulau Jawa. Wilayahnya dari barat ke timur mencakup Kabupaten Gunungkidul, Wonogiri, dan Pacitan. Secara geografis, kawasan ini membentang dari Parangtritis hingga Teluk Pacitan sepanjang lebih dari 100 km, dengan batas selatan Samudera Hindia. Di sepanjang garis selatan ini, bentukan tebing terjal (cliff) merupakan kenampakan paling dominan, yang di beberapa bagian terputus oleh ujung-ujung lembah kering dan teluk, yang masing-masing diapit oleh lereng-lereng terjal dari perbukitan kerucut di kanan-kirinya. Ke arah utara, topografi kawasan Gunung Sewu dicirikan oleh sebaran bukit kerucut yang saling

  • terpisahkan oleh depresi-depresi poligonal (cockpit) atau pun jaringan lembah kering menyerupai labirin. Beberapa dolin dan uvala yang berkembang di bagian inti (cockpit), kebanyakan berubah menjadi telaga pada musim hujan. Di bagian tengah, tubuh perbukitan karst Gunung Sewu menjorok ke utara sejauh kurang lebih 30 km sampai menjangkau wilayah Kecamatan Ponjong dan Eromoko yang diapit oleh dua depresi, yaitu Depresi Wonosari di sisi barat dan Depresi Baturetno di sisi timur (Samodra 2001).

    Ciri dominan bentang alam karst Gunung Sewu, khususnya yang berkaitan dengan

    fenomena permukaan (eksokarst), berupa bukit-bukit kerucut berpuncak membulat

    (sinusoida) atau lancip (connica). Selain bangun residual tersebut, yang terjadi akibat adanya

    batuan yang lebih resisten terhadap proses pelarutan oleh air hujan (Ludman dan Coch

    1982), kondisi eksokarst juga dicirikan oleh jaringan lembah kering antar perbukitan, baik

    yang terbuka maupun tertutup, depresi-depresi tertutup (doline dan uvala) yang seringkali

    menjadi telaga, mulut-mulut goa dan ponor (swallet), bentukan-bentukan/morfologi mikro

    (karren), serta ceruk-ceruk (rockshelters) pada lereng-lereng bukit dan lembah. Beberapa

    bangun karst permukaan tersebut telah mampu menyediakan sumberdaya lahan yang

    memiliki keterkaitan erat dengan eksistensi kehidupan manusianya, sejak zaman prasejarah

    hingga sekarang (Ludman & Coch 1982).

    2.2 GUA

    Menurut IUS (International Union of Speleology) dalam Tim Litbang Acintyacunyata Speleological Club (2004:1) Gua merupakan setiap ruang bawah tanah yang dapat dimasuki orang. Gua memiliki sifat yang khas dalam mengatur suhu didalamnya, yaitu pada saat udara di luar panas maka didalam gua akan sejuk, begitu juga sebaliknya apabila udara di luar dingin maka di dalam gua akan terasa hangat. Sifat inilah yang menjadikan gua sebagai tempat berlindung bagi setiap makhluk hidup. Gua-gua yang banyak ditemukan di Pulau Jawa dan pulau lain di Indonesia, sebagian adalah gua batugamping atau gua karst.

    Gua-gua yang berada dikawasan karst terbentuk oleh proses pelarutan air yang bersifat asam terhadap batugamping. Gua-gua ini merupakan bagian yang tersisa setelah bagian batugamping yang terlarut diangkut oleh air. Bagian yang ditinggalkan oleh batugamping yang terlarut tersebut berupa rongga-rongga.

    Teori pembentukan gua karst tidak selalu sama antara satu tempat dengan tempat yang lain, hal ini bergantung pada kondisi Geologi daerah setempat (Litologi/batuan, Hidrologi, iklim, dll). Pada dasarnya teori pembentukan dan perkembangan gua karst mengarah pada posisi relatif air yang melarutkan batuan dengan posisi muka air tanah pada daerah dimana gua tersebut terbentuk.

  • 2.2.1 TEORI PROSES TERBENTUKNYA GUA KARST

    Menurut Kusumayudha (2005:20) ada beberapa pendapat dan teori tentang proses terbentuknya gua batugamping atau gua karst. Pendapat tersebut dibagi menjadi tiga sebagai berikut :

    a. Teori Vadus (Vadose Theory)

    Dalam teori ini, gua terbentuk oleh adanya aksi arus bawah tanah yang mengalir, baik pada atau di atas permukaan air tanah (water table). Dalam hal ini, air yang menginfiltrasi secara vertikal kedalam tanah melaui lueng-lueng dianggap sangat agresif. Agresivitas ini hilang saat air tersebut memasuki zona saturasi (zona jenuh air). Setelah air mencapai zona saturasi maka pergerakannya mulai kearah horizontal dengan cara mengikuti celah-celah yang sudah ada, seperti bidang perlapisan, kekar, retakan, dan sebaginya. Selama bergerak, air mengerosi dan melarutkan bagian demi bagian batugamping yang dilaluinya.

    Hal ini mengakibatkan celah-celah tersebut perlahan-lahan semakin lebar hingga akhirnya

    membentuk saluran-saluran atau terowongan-terowongan.

    b. Teori Freatik Dalam (Deep Phreatic Theory)

    Teori ini pertama kali ditemukan oleh Davis (1930,1931). Dan dikembangkan oleh Cvijic (1893) dan Grund (1903), tetapi dengan penekanan pada proses pembentukan gua dari pada masalah hidrogeologi.

    Davis berpendapat bahwa pelarutan terjadi pada zona freatik dimasa lampau dan dalam stadium tua pada daur geomorfologi. Untuk mencapai level air tanah, air didalam batuan melanjutkan pergerakannya kearah yang semakin dalam melalui garis-garis aliran menuju zona freatik. Bersamaan dengan itu, proses pelarutan berlangsung secara serentak dan seragam melalui berbagai macam pola aliran. Tenaga atau kekuatan yang menggerakkan aliran air adalah beda potensial atau perbedaan tinggi hidrostatika antara level air tanah terendah dengan level air tanah tertinggi didaerah tersebut.

    c. Teori Freatik Dangkal (Shallow Phreatic Theory)

    Seperti halnya teori vadus, dalam teori ada dua versi yaitu versi para ahli dari

    Amerika dan versi para pakar dari Eropa.

    Davies (1980) mengemukakan hipotesis tentang teori freatik dangkal

    pembentukan gua dalam 4 tahapan. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut :

    Tahap 1 : Pelarutan secara random pada kedalaman tertentu. Dalam tahap ini,

    terjadi pelarutan jaringan porositas awal membentuk pembuluh-

    pembuluh dan kantong-kantong primitif di dalam akuifer.

    Tahap 2 : Integrasi dan pengembangan bukaan-bukaan hasil pelarutan. Proses ini

    terjadi di bagian atas level/muka air tanah dalam waktu lama.

  • Tahap 3 : Pengendapan dan pengisian. Setelah terjadi integrasi dan

    pengembangan saluran-saluran gua lebih lanjut terjadi pengendapan

    material-material.

    Tahap 4 : Pengangkatan dan erosi. Setelah masa kondisi stabil berakhir, saluran-

    saluran gua terangkat diatas level air tanah, kemudian terisi udara.

    Dalam tahap ini terowongan-terowongan tersebut berubah karena

    adanya pengendapan dan erosi yang terjadi pada materialmaterial

    yang semula mengisi ruang saluran. Keadaan akhir dari tahap ini

    adalah perusakan gua akibat adanya runtuhan (collapse) atap gua dan

    erosi.

    Sebagian gua-gua yang terdapat di daerah Gunung Sewu merupakan gua yang terbentuk di zona vadus, dan sebagian lainnya merupakan gua yang terbentuk pada level muka air tanah. Gua-gua pada zona vadus di Gunung Sewu biasanya dialiri air hanya pada musim penghujan. Gua Seropan merupakan salah satu gua yang terbentuk pada level muka air tanah sedangkan Gua Semuluh terbentuk di zona vadus. Sketsa terbentuknya gua karst dari berbagai teori dapat dilihat pada gambar.

    Teori Terbentuknya Gua pada Batugamping di Daerah Karst

    (White, 1988 dalam Kusumayudha, 2005)

  • 2.3 POTENSI WISATA

    Menurut Damanik (2006) potensi wisata adalah semua objek (alam, budaya, dan

    buatan) yang memerlukan banyak penanganan agar dapat memberikan nilai daya tarik bagi

    wisatawan karena memiliki peluang untuk dijadikan sebagai daya tarik wisata. Semua potensi

    wisata masih tergolong embrio objek dan daya tarik wisata. Setelah unsur-unsur aksesibilitas,

    amenitas, dan hospitality menyatu dengan potensi objek tersebut maka ia merupakan produk

    wisata yang siap dikonsumsi oleh wisatawan.

    Menurut Raharjana (2009) ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan berkenaan dengan daya tarik dari suatu objek wisata. Aspek-aspek ini merupakan sisi objek yang dapat dikatakan menarik. Beberapa diantaranya adalah:

    a. Keunikan

    Suatu objek wisata biasanya menjadi menarik antara lain karena keunikannya, kekhasannya, dan keanehannya. Artinya objek ini sulit didapatkan kesamaannya atau tidak ada dalam objek-objek lain. Aspek keunikan ini seringkali terkait dengan sejarah dari objek itu sendiri, baik itu sejarah dalam arti yang sebenarnya maupun sejarah dalam arti yang lebih mitologis. Oleh karena itu dalam mengidentifikasi objek-objek wisata, aspek keunikan ini perlu diperhatikan karena ini dapat menjadi daya tarik yang kuat bagi wisatawan.

    b. Estetika

    Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah aspek keindahan dan ini merupakan unsur yang paling penting dari suatu objek wisata untuk dapat menarik wisatawan. Aspek keindahan ini sangat perlu diperhatikan dalam proses pengembangan suatu objek wisata. Suatu objek yang tidak unik dapat saja menarik bagi wisatawan karena keindahan yang dimilikinya. Bilamana keindahan ini menjadi menonjol, maka keindahan tersebut kemudian menyatu dengan keunikan dan membuat objek tersebut semakin menarik.

    c. Keagamaan

    Suatu objek wisata bisa saja tidak unik, tidak menarik, namun mempunyai nilai keagamaan yang tinggi. Artinya objek tersebut dipercaya sebagai objek yang bersifat suci, wingit, atau mempunyai kekuatan supernatural tertentu yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Aspek keagamaan ini perlu diperhatikan ketika identifikasi dan promosi dilakukan karena wisatawan tertentu seringkali tertarik oleh hal-hal semacam ini.

    d. Ilmiah

    Suatu objek wisata juga dapat menarik banyak wisatawan karena nilai ilmiah atau nilai pengetahuan yang tinggi yang dimilikinya, walaupun unsur unik, estetis, dan keagamaannya kurang. Namun, nilai ilmiah yang tinggi dari suatu objek wisata pada

  • dasarnya merupakan bagian dari keunikannya. Aspek ilmiah ini perlu diperhatikan dalam proses identifikasi, pengembangan, dan promosi objek wisata tersebut karena ini merupakan salah satu potensi yang dapat dimanfaatkan untuk menarik lebih banyak wisatawan.

    Masih menurut Raharjana, daya tarik sebuah objek wisata akan semakin kuat jika

    berbagai elemen penarik tersebut hadir bersama-sama. Jika tidak, maka dalam proses

    pengembangan dan promosi elemen-elemen yang masih kurang menonjol hendaknya

    diperkuat lagi agar objek tersebut mampu menarik wisatawan lebih banyak lagi. Selanjutnya

    dalam mengidentifikasi suatu objek perlu memperhatikan tiga hal, yaitu: kriteria atau

    patokan yang digunakan dalam identifikasi, metode identifikasi, dan dokumentasi hasil

    identifikasi. Kriteria identifikasi objek didasarkan pada sifat objek yang diidentifikasi.

    Berdasarkan sifatnya objek dibagi menjadi dua, yaitu: objek material (benda) dan objek non

    material (aktivitas). Sebagai contoh, objek budaya material adalah objek-objek yang

    mencakup hasil perilaku manusia, seperti rumah, barang kerajinan, ataupun objek alam yang

    direkayasa manusia. Objek non material sifatnya lebih mengarah pada aktivitas manusia,

    baik itu aktivitas yang rutin, ataupun yang jarang dilakukan dan berlangsung karena ada

    sesuatu atau waktu-waktu yang khusus. Metode identifikasi objek wisata yang dilakukan

    seperti halnya ketika melakukan penelitian, diantaranya pengamatan dan survei lapangan,

    observasi, dan wawancara mendalam.

    2.4 EKOWISATA

    Menurut Lascurain (1996) ekowisata adalah perjalanan ke tempat-tempat alami yang relatif masih belum terganggu atau terkontaminasi (tercemari) dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini. Rumusan di atas hanyalah penggambaran tentang kegiatan wisata alam biasa. Rumusan ini kemudian disempurnakan oleh The International Ecotourism Society (TIES) pada awal tahun 1990 bahwa ekowisata adalah perjalanan yang bertanggung jawab ketempat-tempat yang alami dengan menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Definisi ini sebenarnya hampir sama dengan yang diberikan oleh Lascurain yaitu sama-sama menggambarkan kegiatan wisata di alam terbuka, hanya saja menurut TIES dalam kegiatan ekowisata terkandung unsur-unsur kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahteraan penduduk setempat. Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan pontensi sumber-sumber alam dan budaya untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan. Dengan kata lain ekowisata adalah kegiatan wisata alam plus plus. Definisi di atas telah telah diterima luas oleh para pelaku ekowisata.

  • 2.4.1 Pengembangan Ekowisata

    Ekowisata merupakan suatu konsep pariwisata yang mencerminkan wawasan

    lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Secara umum pengembangan ekowisata harus dapat meningkatkan kualitas hubungan antar manusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan. Dalam naskah yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (2001), pengembangan ekowisata sangat dipengaruhi oleh keberadaan unsur-unsur yang harus ada dalam pengembangan itu sendiri, yaitu:

    a. Sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya.

    Kekayaan keanekaragaman hayati merupakan daya tarik utama bagi pangsa pasar ekowisata sehingga kualitas, keberlanjutan dan pelestarian sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya menjadi sangat penting untuk pengembangan ekowisata. Ekowisata juga memberikan peluang yang sangat besar untuk mempromosikan pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia di tingkat internasional, nasional maupun lokal.

    b. Masyarakat

    Pada dasarnya pengetahuan tentang alam dan budaya serta daya tarik wisata kawasan dimiliki oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu pelibatan masyarakat menjadi mutlak, mulai dari tingkat perencanaan hingga pada tingkat pengelolaan.

    c. Pendidikan

    Ekowisata meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Ekowisata memberikan nilai tambah kepada pengunjung dan masyarakat dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman. Nilai tambah ini mempengaruhi perubahan perilaku dari pengunjung, masyarakat dan pengembang pariwisata agar sadar dan lebih menghargai alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya.

    d. Pasar

    Kenyataan memperlihatkan kecenderungan meningkatnya permintaan terhadap produk ekowisata baik di tingkat internasional dan nasional. Hal ini disebabkan meningkatnya promosi yang mendorong orang untuk berperilaku positif terhadap alam dan berkeinginan untuk mengunjungi kawasan-kawasan yang masih alami agar dapat meningkatkan kesadaran, penghargaan dan kepeduliannya terhadap alam, nilai-nilai sejarah dan budaya setempat.

    e. Ekonomi

    Ekowisata memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi penyelenggara, pemerintah dan masyarakat setempat, melalui kegiatan-kegiatan yang non

  • ekstraktif, sehingga meningkatkan perekonomian daerah setempat. Penyelenggaraan yang memperhatikan kaidah-kaidah ekowisata mewujudkan ekonomi berkelanjutan.

    f. Kelembagaan

    Pengembangan ekowisata pada mulanya lebih banyak dimotori oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, pengabdi masyarakat dan lingkungan. Hal ini lebih banyak didasarkan pada komitmen terhadap upaya pelestarian lingkungan, pengembangan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan.

    Namun kadangkala komitmen tersebut tidak disertai dengan pengelolaan yang baik dan profesional, sehingga tidak sedikit kawasan ekowisata yang hanya bertahan sesaat. Sementara pengusaha swasta belum banyak yang tertarik menggarap bidang ini, karena usaha seperti ini dapat dikatakan masih relatif baru dan kurang diminati karena harus memperhitungkan social cost dan ecological cost dalam pengembangannya. Dalam naskah yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (2001), pengembangan ekowisata perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

    a. Konservasi

    b. Pendidikan

    c. Ekonomi

    d. Peran aktif masyarakat

    e. Wisata

    2.5 PERENCANAAN LANSEKAP

    2.5.1 Lansekap

    Menurut Simonds (2006) lanskap merupakan suatu bentang alam dengan

    karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dengan karakter

    lanskap tersebut. Dalam hal ini indera manusia memegang peranan penting merasakan

    suatu lanskap. Setiap tempat memiliki bentukan dan karakter lanskap yang berbeda baik

    terbentuk secara alami ataupun buatan. Karakter lanskap alami terdiri atas banyak tipe,

    antara lain gunung, bukit, lembah, hutan, padang rumput, aliran air, rawa, laut, danau, dan

    padang pasir. Karakter ini terbentuk oleh adanya kesan harmoni kesatuan antara elemen-

    elemen lanskap yang ada di alam seperti suatu bentukan lahan, formasi batuan, vegetasi,

    dan fauna. Derajat dari harmoni atau kesatuan dari berbagai elemen lanskap tidak hanya

    diukur dari kesan menyenangkan yang akan ditimbulkan, tetapi juga dari ukuran kualitas

  • yang disebut dengan keindahan. Keindahan dapat diartikan sebagai hubungan harmoni

    nyata dari keseluruhan komponen perasaan.

    2.5.2 Perencanaan Lansekap

    Perencanaan lanskap adalah salah satu bentuk produk dalam kegiatan arsitektur

    lanskap. Perencanaan lanskap ini merupakan suatu bentuk kegiatan penataan ang berbasis lahan

    (land bassed planning) melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai dan merupakan

    proses untuk pengambilan keputusan berjangka panjang guna mendapatkan suatu model

    lanskap atau bentang alam yang fungsional, estetik, dan lestari yang mendukung berbagai

    kebutuhan daqn keinginan manusia dalam upaya meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan,

    termasuk kesehatannya (Nurisjah 2008).

    2.6 DAYA DUKUNG LANSEKAP WISATA ALAM

    2.6.1 Pengertian Daya Dukung

    Dalam merencanakan suatu kawasan wisata alam perlu dipertimbangkan kenyamanan dan kepuasan pengunjung atas sumberdaya wisata yang ditawarkan dan pada saat bersamaan juga harus dilakukan perlindungan terhadap sumberdaya alam ini. Upaya utama yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan ini adalah dengan merencanakan suatu bentuk pengelolaan kawasan wisata berdasarkan pendekatan daya dukung sumberdaya alam dan lingkungannya (Nurisjah 2003) .

    Wagar (1978) menyatakan bahwa daya dukung suatu kawasan alam adalah tingkat penggunaan sumberdaya alam, terutama dalam kegiatan rekreasi alam pada suatu area dimana dalam melakukan kegiatan ini tetap dapat mempertahankan kualitas sumberdaya alam yang digunakan. Dinyatakan selanjutnya bahwa daya dukung ini merupakan suatu konsep ukuran yang dinamis yang dapat dimanipulasi dengan pengelolaan melalui bantuan pengaturan, pembiayaan, dan pembatasan penggunaan suberdaya alamnya.

    Masih menurut Nurisjah (2003), pengelolaan suatu kawasan wisata alam yang berdasarkan nilai daya dukung umumnya tidak bersifat absolut, tetapi bersifat probabilistic. Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor yang mempengaruhinya, tidak hanya terhadap kelestarian yang dapat diberikan oleh sumberdaya alam dan lingkungan untuk wisata ini, tetapi juga terhadap kepuasan dan kenyamanan serta keamanan pengunjung kawasan. Karena itu maka bentuk dan intensitas serta model pengelolaan yang direncanakan akan sangat penting artinya guna penentuan besaran daya dukung ini.

  • 2.6.2 Faktor Yang Mempengaruhi Daya Dukung Tanah Guna menduga nilai daya dukung suatu kawasan wisata alam, maka harus terlebih

    dahulu diketahui berbagai parameter yang mempengaruhi penilaian itu. Secara umum dapat dinyatakan bahwa daya dukung kawasan wisata alam ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:

    a. Faktor wisatawan

    b. Faktor biofisik lingkungan kawasan

    Karena umumnya penyebaran pengunjung dalam ruang dan waktu tidak merata maka daya dukung lingkungan suatu kawasan wisata sulit dan tidak dapat dihitung berdasarkan rata-rata ruang dan waktu penggunaan, tetapi harus juga memperhatikan setiap lokasi yang dikunjungi dan pada waktu-waktu tertentu. Dalam kaitannya dengan pengunjung, berdasarkan penelitian Hendee, et al. (1978), diketahui bahwa hal-hal yang dapat mempengaruhi daya dukung kawasan wisata alam ini umumnya adalah tingkat atau intensitas penggunaan, tipe kelompok pengunjung, dan perilaku pengunjung. Menurut Gold (1980) daya dukung terbagi menjadi 2 aspek, yaitu:

    a. Daya dukung fisik, yaitu kemampuan suatu area rekreasi untuk mendukung atau menampung penggunaan aktivitas rekreasi yang diinginkan

    b. Daya dukung sosial, yaitu kemampuan suatu area rekreasi untuk memberikan kualitas pengalaman rekreasi yang diinginkan.

    Analisis daya dukung fisik dan sosial menggunakan standar-standar yang berlaku dan kebutuhannya disesuaikan dengan tujuan perencanaan lanskap.

    2.7 SITE EKSTRIM

    Site ekstrim yang dimaksud adalah site dengan kemiringan yang tinggi dan terjal sehingga membutuhkan penanganan khusus dalam konstruksi dan struktur bangunan. Site yang berada di bukit tumapk memiliki kemiringan lebih dari 45derajat sehingga site ini cukup ekstrim untuk di bangun bangunan beserta fasilitasnya. Kondisi tanah di Bukit Tumpak merupakan tanah berbatu dan juga merupakan tanah dengan batuan kapur dan karang, sehingga memerlukan metode khhusus dalam struktur dan konstruksi bangunan dengan material lokal.

    Site dengan kemiringan dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan pemandangan, mendapatkan angin dan berdampak pada bentuk bangunan yang lebih unik dan menarik di atas lereng atau bukit. Bangunan di atas tanah yang miring membutuhkan beberapa pertimbangan untuk menyeimbangkan alternatif desain.

    Kunci dari penghematan biaya adalah dengan memminimalisir penggunaan cut and fill pada site miring dan rekayasa penahan dinding. Meskipun cut and fill tidak dapat dihindari

  • visual, struktur dandrainase dapat dikurangi dengan perancagan dengan lanskape dan meminimalkan kebutuhan luas penggalian. Perencanaan bangunan di lahan mirig harus mempertimbangkan aspek matahari, angin, dan view terbaiknya.

    2.7.1 Prinsip pembangunan pada site miring

    Mendapatkan data yang akurat tentang plot kontur dan menentukan lereng

    blok yang direncanakan

    Merubah level ketinggian dalam desain

    Merancang pada site miring harus menghindari bentuk bangunan yang

    diterapkan di site datar

    Slap tunggal pada konstruksi pondasi biasanya hanya mencapai kemiringan 4

    derajat atau 7% untuk cut and fill

    Pada kemiringan 4-12 derajat (1:5) menggunakan lebih dari satu slap pada

    pondasi untuk menangani kemiringan.

    Pada kemiringan lebih dari 12-18 derajat, menggunakan kolom dan balok

    untuk konstruksi pondasi.

    Pada kemiringan lebih dari 18 derajat merupakan site yang cukup sulit untuk

    dibangun sehingga harus menggunakan konstruksi tiang.

    Perencanan bangunan pada site miring dapat menambah biaya mulai dari

    pengalian, dinding penahan, penyewaan alat berat(scaffolding), teknik

    tambahan, isolasi pada lantai, dan umumnya meningkatkan biaya tenaga.

    Penghematan biaya dapat dikurangi dengan mengurangi luas lantai.

  • 2.7.2 Typologi penempatan bangunan pada site miring

    Berikut adalah beberapa cara penempatan banguna pada site miring, Metode ini

    dimaksudkan agar bangunan dapat dengan maksimal di tempatkan pada site miring:

    Down Slope:

    Gambar: Down Slope

    Sumber: http://www.tweed.nsw.gov.au/Download.aspx?Path=~/Documents/Planning/TSC02931_Fact_Sheet

    _4_Working_with_Sloping_Sites.pdf.

    Site berda jauh d bawah jalan

    Desain dengan membagi ketinggian bangunan

    Penggunaan tergantung dari sistem struktur dan sistem gabungan pada

    ketinggian yang berbeda dengan menggunakan kolom dan balok untuk

    menaikan ketinggian bangunan.

    Penempatan garasi dekat dengan jalan

    Hindari peningkatan jumlah lantai pada bagian belakang bangunan

    Menyamakan ketinggian antara ruang tamu dan jalan.

  • Up Slope:

    Gambar:Up Slope

    Sumber: http://www.tweed.nsw.gov.au/Download.aspx?Path=~/Documents/Planning/TSC02931_Fact_Sheet

    _4_Working_with_Sloping_Sites.pdf.

    Site berada lebih tinggi dari jalan

    Memerlukan galian lebih untuk memungkinkan level lebih rendah

    Pintu garasi dan jalan masuk mendominasi tampak visual dari jalan

    Bertujuan untuk tingkat level transisi yang lebih tinggi dan aktivitas di lakukan

    di halaman belakang

    Slide Slope:

    Gambar:Slide Slope

    Sumber:http://www.tweed.nsw.gov.au/Download.aspx?Path=~/Documents/Planning/TSC02931_Fact_Sheet_

    4_Working_with_Sloping_Sites.pdf.

  • Site naik dan turun.

    Desain biasanya meletakkan garasi di ruang bawah dan aktivitas di ruang

    atas.

    Harus menghindari benching dan dinding pemikul besar untuk memudahkan

    sistem drainase.

    Rolling Slope:

    Gambar:Rolling Slope

    Sumber:http://www.tweed.nsw.gov.au/Download.aspx?Path=~/Documents/Planning/TSC02931_Fact_Sheet_

    4_Working_with_Sloping_Sites.pdf.

    Site naik dan turun dalam dua rah atau lebih

    Membedakan level lantai dalam desain bangunan

    Hindari dinding penahan yang besar di luar bangunan dan lanskape

    2.7.3 Metode penempatan bangunan berdasarkan karakteristik tanah miring

    Penempatan bangunan berdasarkan karakteristik tanah miring dimana terdapat perbedaan

    kemiringan dan metode penmpatan bangunannya, terdapat beberapa tingkat kemiringan tanah yaitu

    Flat Sites, Moderate Slope, Steep Slope, ekstreme Slope. Untuk bangunan resort yang berada pada

    bukit dengan tingkat kemiringan yang ektrim dapat menggunakan metode pada Ekstreem Slop.

  • gambar: Metode penempatan bangunan

    Sumber:

    http://www.tweed.nsw.gov.au/Download.aspx?Path=~/Documents/Planning/TSC02931_Fact_Sheet_4_Work

    ing_with_Sloping_Sites.pdf.

    Site perencanaan resort termasuk kedalam site dengan kemiringan mulai dari 45 derajat lebih sehingga pada penempatan bangunan dapat digunakan dengan cara pada extreme slope dengan penggunaan kolom tiang penyangga.

    Berikut adalah gambaran bagaimana tahapan-tahapan merancang bangunan yang berada pada site miring dan penggunaan cut and fill.

  • gambar: Metode penempatan bangunan

    Sumber:

    http://www.tweed.nsw.gov.au/Download.aspx?Path=~/Documents/Planning/TSC02931_Fact_Sheet_4_Work

    ing_with_Sloping_Sites.pdf.

    Terdapat beberapa cara penempatan bangunan pada site miring dengan metode-metode tertentu. Untuk bangunan dengan kemiringan yang ekstrim digunakan cara pada metode ektrim slope yaitu dengan membuat tiang-tiang penyangga untuk menyangga bangunan agar mempunyai level ketinggian yang sesuai, penggunaan metode ini meminimalkan pengguanaan cut and fill sehingga dapat menghemat biaya. Pada site ektrim biasanya bangnunan menempatkan pintu masuk di level lantai paling tinggi untuk mempermudah akses, sirkulasi dan sebagainya.

    Pada pempatan bangunan resort di perbukitan mengunaan metode ekstrim slope dengan menggunaan tiang penyangga pada pondasi bangunan, tiang ini bisa mengunakan kayu jati karena mempunyai kekuatan dan keawetan yang sesuai dan juga tahan terhadap air dan serangga. pada pondasi bangunan menggunakan pondasi batu dan beton sehingga mendukung kekuatan bangunan.

  • BAB 3

    SAJIAN DATA

    2.8 KONDISI UMUM