324
B. TER HAAR Bzh rjumnf <sn Nq. SOEBAKTI POESPONOTO Asas-asas Susunan a HUKUM ADAT

Azas-azas dan susunan hukum adat.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

B. TER HAAR Bzh

rjum nf <snNq. SOEBAKTI POESPONOTO

Asas-asas

Susunan a

HUKUM ADAT

^SAS-ASAS DAN SUSUNAN HUKUM ADAT

ASAS-ASAS DAN SUSUNAN HUKÜM ADAT

, 1 % '

*«*11....... '(BEGINSELEN EN STELSEL V A N H ET ‘ ADATRECHT)

OLEH :

Mr B. TER HAAK Bzn

TERJEMAHAN

K. Ng. SOEBAKTI POESPONOTO

(Dosen U I I Surakarta)

I'

cetalcan keen am

PRADNYA PARAMITAJl. Kebon Sirih 46-Jakarta Pusat

1981

10i00eS“

. Terim»-. - - 7 ^ / d

\ NO-

Ange°ta 1KAPI

nr

Usaha terjemahan ini timbul dari keinginan akan menyajikan sebuah kitab yang lengkap kepada para pelajar pendahuluan hu- kum adat di bawah asuhan penterjemah, yang sebagian besar tidak atau kurang faham akan bahasa Belanda. Pada hal buah tangan Ter Haar ini betul sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris, tapi ke dalam bahasa Indonesia sepanjang pengetahuan penterjemah sampai sekarang belum ada salinannya.

Mula terjemahan ini terbit sefatsal demi sefatsal, yang lalu di- bicarakan dan di sana-sini dibetulkan ber-sama , hal mana sangat dipermudah karena memang untuk penilikan sedemikian itu pem- berian nomor halaman terjemahan sudah dicocokkan dengan penomoran halaman dalam buku aslinya.

Mengapakah justru buah tangan Ter Haar „beginselen en stelsel van adatrecht” yang diterjemahkan ? Karena antara lain menurut pendapat sarjana luikuni adat Prof Soepomo dan Piol Logemann „pandangan yang mahir daripada Ier Haar tentang asas- dan susunan luikum adat sampai sekarang masih tetap men- jadi ukuran” .

Berhubung dengan mutu keilmuan daripada isi buku ini, ditambah pula karena sukarnya cara penulis membahas soal- — yaitu antara lain dengan memakai rangkaian kaliniat yang panjang. tapi padat dalam artinya — maka di sini diusahakan suatu terjemahan yang selurus mungkin, tidak ditambah atau dikurangi dengan jalan uraian, komentar atau lain nya dari fihak penyalin, itupun karena ia khawatir kalau dengan tak disengaja nanti akan timbul ma na yang lain dari pada mustinya.

Kata asing yang belum la/.im, setengah lazïm atau sudah lazim dipakai dalam bahasa Indonesia ditulis di sini dengan sengaja tidak menurut sesuatu sistim ejaan yang tertentu, itupun beihubung dengan sampai sekarang belum adanya sistim itu, ptda mengni„at, sebagaimana termaklum, bahwa bahasa Indonesia sedang berada da lam fase pertumbuhan, misalnya : delikt, disertasi, exogaam, funksi, genealogis, kritis, kongkrit, kooperasi, magis, materieel, obyek, toci dan sebagainya.

Pula di mana dipandangnya perlu untuk penegasan, niaka penter­jemah tidak segan mencantumkan di antara dua tanda kurung . kata , istilah, bahkan seluruh kalimat, kesemuanya dalam bentu

V,

aslinya di belakang terjernahannya, misalnya : pokrol2an (juristerij) , paruh liasil tanam (deelbouw), tolong-menolong antara satu sama lain dan bertimbal-balik (onderling en wederkerig hulpbetoon) dan sebagainya.

Pokok maksud usaha ini ialah, sebagaimana diterangkan di atas tadi, sekedar untuk memenuhi kebutnhan yang perlu sekali, lagi mendesak ; maka dari itu bilamana di sana-sini terdapat misalnya susunan kalimat yang janggal atau kata yang kurang Iazimnya, diharap buat sebentar berpegangan pada peribahasa : „janganlahmembaca yang tersurat, tapi ambillah yang tersirat..........................hendaknya.

Akhirnya, juga karena penterjemah bukannya seorang ahli da- lam hal salin menyalin, maka setiap kritik yang bersifat membangun atas usahanya yang serba kurang ini, akan diterimanya dengan segala suka hati.

Sura k ar ta , Agustus 1953.

SO EBAKTI P O ESPO N Ó TO .

Pada tanggal 19 April 1941 gugurlah Ter Haar di tempat penga- singan Jernian. Pekerjaan keilmuannya terbengkalailali oleh Varcnanya. Pekerjaan yang berguna akan orang banyak untuk j k M M tisaiia pengadilan itu berada dalam angin ïibut suatu revolusi politik dan sosial.

Saya tak khawatir kalau usaha^nya itu akan lenvap. Kemurnian- nva. kadarnya yang kritis dan kesukaannya akan hakekat, kesennia- nva itu adalah jaminan akan kebenaran pendapat saya itu. Baik

ekerjaannya, maupun manusia Ter Haar tidak akan dapat diha- puskan dari sejarah peradaban Indonesia.

Penyelitliknn dan pertumbuhan hukum adat sesungguhma tïdak ernah berhenti sejak tahun 1940. Tapi penglihatan T er Haar

^ I)(r ninhir tentang asas dan susunannya buat sementara tetap men- : nkuran, sehhigga pencetakan ulangan dengan tiada peru-Ij^liannya benar dapat dipertanggung-jawabkan.

\ludnh2nn peninjaunn kembali atau penggantinn pada saat yang bili tepnt untuk itu nanti akan terbimbing oleh lenaga yang ber-

^n^alaman. vang enkap dan yang penuh rasa khidmat pula terhadap ^imarluitn hendaknya.aln • L O G E M A N N .

VT

Pada perguruan-perguruan tinggi/fakultas-fakultas hukum atau- pun perguruan-perguruan sesamanya, buku Prof M r B. Ter Haar Bzn. „Beginselen en Stelsel van het Adatrecht” dewasa ini masih merupakan literatur wajib untuk mata pelajaran hukum adat.

Tetapi kenyataan menunjukkan, bahwa buku tersebut tidak lagi dapat dimengerti oleh sebagian besar para mahasiswa, karena me- reka sudah tidak dapat memahami bahasa Belanda, sedangkan buku itu merupakan dasar bagi pelajaran hukum adat.

Dari fihak Universitas belumlah ada usaha untuk menterjemah- kan buku tersebut. Maka. dari itu terjemahan Sdr. K. Ng. Soebakti Poesponoto ini wajib kita sambut dengan gembira, karena terje­mahan ini akan besar sekali manfaatnya bagi para mahasiswa.

Dapat kami katakan di sini, bahwa terjemahan ini adalah sangat serius, walaupun di sana-sini masih ada beberapa kekurangan. Kekurangan-kekurangan ini diakui oleh penterjemahnya dan de- ngan sangat gembira beliau sedia menerima kritik-kritik yang me- nuju kesempurnaan terjemahannya itu.

Sebagai asisten dari Prof Mr M. M. Djojodigoeno yang diserahi tugas untuk menguji para mahasiswa fakultas hukum & fakultas Sosial Politik Universitas Gajah Mada dan Fakultas Hukum Universitas Airlangga mengenai literatur, kami dapat menganjur- kan kepada para mahasiswa dan peminat-peminat hukum adat untuk menggunakan dan menilai terjemahan ini.

Terjemahan ini sangat memenuhi kebutuhan. Harapan kami mudah-mudahan — kalau kami boleh meminjam istilah Prof Mr M . M . Djojodigoeno — buku yang menguraikan „Azas-azas dan peragaan” liukum adat ini akan berjasa pada para mahasiswa dalam mempelajari hukum adat.

Y o g y a k a r t a , M e i 1 9 5 8 .

Mr SOEJONO HAD1DJOJO.

VH

A N T A R K A T A (dari penulis)

Pendahuluan untuk pelajaran hukum adat penduduk Pribumi Indonesia im mencoba dalam dua hal mengemukakan soal umum. Per-tama dengan jalan memberikan corak tanda-ciri daripada lembajp. hukum Indonesia dan hubungan hukum, sedemikian ru- pa, sehingga asas dan susunan hukum adat Bumiputera dapat nampak keluar, pula sehingga perangai khusus daripada hukum adat dinyatakan oleh karenanya, kedua : dengan jalan menunjuk­kan faktor yang mempengaxuhi keadaan dan perubahan hukum adat, pula dengan menunjukkan keadaan sosial yang memajukan atau mcrintangi perkembangan corak yang tertentu itu. Tetapi pendahuluan ini bermaksud juga akan mengaitkan soal umum tadi pada bentuk gejala istimewa daripada lembaga, hubung- an dan perbuatan ; agar supaya dengan demikian seraya dapat sekedar memberikan gambaran tentang arti yang konkrit dari­pada soal yang diberikan secara typologis, sehingga misalnya orang «k a li tahu bahwa susunan sanak-saudara berhukum ibu itu terutama penting buat hukum adat Minangkabau, bahwa perjanjian peli- hara (verzorgingscontract) rupa nya adalah keistimewaan Minaha- sa, bahwa hak pertuanan (beschikkingsrecht) dan paruh hasil (deelwinning) ternak terdapat dalam lingkungan rakyat Pribumi dalam hampir semua lingkungan hukum ; tokoh hukum setempat saban disebut, baik sebagai misal daripada lembaga yang konkrit yang dimaksudkan oieh lukisan yang abstrakt, maupun untuk fnenu- turkan adanya corak , setempat dan simpangan lokal. Hukum adat positief daripada beberapa lingkungan kadang ditunjukkan de­ngan jalan disebutkannya istilah Pribum i; sebuah ikhtisar yang agak panjang lebar tentang susunan masyarakat hukum disaji- kan sebagai pet a dasar daripada medan berlakunya hukum adat pada pokoknya.

Sudah barang tentu dengan jalan demikian itu penyusunan pen­dahuluan pelajaran hukum adat yang ringkas buat sebagian adalah soal me-milih dari bahan yajig ber-lebih an apa yang patut diambil sebagai misal yang konkrit, dan apa yang tidak. Dengan sendirinya cara bekerja demikian itu mengandung cacat „sembarangan”, tapi cacat ini agak diperlunak karena keyakinan bahwa ini hanya mengenai gambaran sesuatu saja, bukannya mengenai lukisannya sendiri yang typologis itu walaupun cacat itu masih tetap ber- laku terhadap lukisan yang tak lengkap daripada aturan hukum setempat yang tidak termasuk. dalam bentuk (type) tadi.

Hal terakliir ini memang tak dapat dielaikkan lagi dalam penyu- sunan sesuatu pendahuluan yang hendak tetap ringkas, tetapi segan akan mengabaikan corak yang konkrit.

Sudah semustinya pemilihan termaksud di atas tadi tèrpengaruh banyak oleh keadaan perpustakaan hukum adat. Terhadap bagian Timur dari pada Nusantara (sebelah Timurnya Sulawesi dan Bali, lerkecuali Ambon dan Kepulauan Uliaser) hampir tidak ada sama sekali saduran secara hukum adat daripada tulisan ethologis oleh tenaga yang terkenal di tempat situ, sedangkan jarang terdapat keputusan hakim yang diuraumkan, pula bahan yang disajikan oleh para ethnografen yang tak berpendidikan dipandang dari sudut ethnologie juga kurang heningnya. Walaupun demikian alangkah tidak tepatnva andaikata lingkungan hukum tadi dikecualikan dari lukisan susunan hukum adat, meskipun dalam hal tidak mengecuali- k a n n y a sekarang ini, penunjukan ke lingkungan situ itu harus deng^n hati' sekali.

Buku kecil ini disusun untuk mereka yang memulai belajar hu­kum adat, yaitu studen rechts-hogeschool; ia bennaksud menyaji- kan catatan uraum yang dapat menambah hasilnya pelajaran m e n g e n a i hukum adat positief daripada suatu lingkungan hukum vang tertentu; seraya ia bermaksud memberi petunjuk kepada para pekerja di Iuar, supaya mereka taliu akan adanya lingkungan umum, dalam mana hukum adat — yang mereka hadapi (secara kritis) dalam praktek mereka yang menuju kenyataan — dapat mereka linjau sebagai suatu bentuk ke jala yang istimewa. T a k dapat dipungkiri - mélainkan hanya dapat disesalkan — bahwa pcmbahasan secara abstrakt dan menurut sistim daripada corak Ari hukum adat sebagaimana di sini dikerjakan ini, adalali laksana sebatang pohon jati di musim kemarau. Tidak terdapat daim nya dm bunganva *ang memberi warna dan bau harum serta kese- «ran kepada sebuah naskah tentang hukum adat yang hidup di falah satu masyarakat yang konkrit; yang terdapat ada, hanyalah batangnva, percabangan nya dan petunjuk ke arai uncup-nya. Menaenai „pendahuluan atau peranaktirian”, „dapat dipakar atau tidak”, „ber-jenis nya” yang „mengejutkan" (atau tak menge- ■utkan), „keunggulan atau cacatnya hukum adat", maka dalam buku ini tak sepatah katapun terdapat tentang itu.

Kenvataan telah memberi pelajaran, bahwa buat sementara hu- vum perdata tak tertulis daripada Bumiputera tidak diganti ; maka dari itu, juga dipandang dari sudut yang praktis. tetap berguna p e n g a ja r a n masalah in i secara teratur.

Pula talc ada sepatah katapun tertulis mengenai persamaannya atau tidak persamaannya hukum adat dengan hukum Nederland, atau mengenai kesejajaran hukum adat dengan hukum masya- rakat A£rika, Jerman, Ibrani atau Iain nya. Sebagai obyek pela- jaran yang wetenschappelijk maka perbandingan secara cermat antara dua lembaga hukum itu - kedua nya sudah barang tentu tiarus difahami dalam hubungan bentuknya sendiri seluruhnya — berguna juga. Perbandingan hukum adat dengan hukum Neder­land sedemikian itu sepanjang pengetahuan sayk belum pernah dx- usahakan orang. T api tidak jarang diadakannya secara kurang mendalam perbandingan lembaga hukum atau aturan hukum yang ■dicabut ke luar daii hubungan bentuknya masing ; perbandingan serupa itu mengakibatkan kesalah fahaman dan acapkali pengani- ayaan. Sudah barang tentu sangat lain halnya soal betapa penting arti daripada ilmu hukum Barat beserta para ahli hukum yang trer- didik olehnya, untuk ilmu hukum adat itu, arti mana karena besar- nya sukar untuk dilampaui.

Bahan untuk lukisan ini adalah tertimba dari ,,Adatrecht” nya Van Vollenhoven dan karangan tentang hukum adat berikutnya beserta keputusan yang diumumkan ; sebagai penutup daripada bab keempatbelas akan dituturkan sedikit lebih lanjut tentang pe- makaian sumber ini dan dalam bab yang terakhir disajikan sebuah ikhtïsar selayang pandang dari adanya tempat yang menghasilkan bahan tadi.

Beberapa bahan adalah terpetik dari naskah studen tahunIcelima.

H ókum tertulis untuk Bumiputera (mengenai perwalian, perka- winan Kristen, perkumpulan kooperasi, pelayaran laut dan sebagai- nya) tidak dibicarakan dalam buku ini, melainkan hanya disebutkan saja kadang

Mengenai urutannya bab : bab pertama — pada pokoknya mem- bahas susunan masyarakat hukum — mungkin akan dapat disusul baik dengan bab tentang hukum tan ah, karena haknya masyarakat atas tanah dalam pada itu adalah terkemuka, maupun dengan bab tentang hukum kesanaksaudaraan (dengan hukum perkawinan dan hukum waris) karena dengan demikian diperoleli sambungan pada apa yang telah dituturkan tentang faktor genealogis daripada ma­syarakat itu ; mungkin baik dengan bab tentang hukum perhn- tangan (schuldenrecht), karena soal ini berpusat pada pertolongan bertimbal-balik dalam lingkungan masyarakat , maupun kemudian

a

dengan hukum pelanggaran (delictenrecht), karena dalam pada itu masyarakatlah yang mempunyai arti yang mutlak.

Telah terpilih urutan masyarakat hukum, hukum tanah, perjan- jian tanah dan perjanjïan yang bersangkutan dengan tanah— hukum perhutangan — yayasan — hukum perseorangan — hu­kum kesanaksaudaraan — hukum perkawinan — hukum war is — hukum pelanggaran; hubungannya satu sauna lain sebanyak mung- kin diletakkan dengan jalan penunjukan (verwijzingen) . Perï- ngatan singkat pada penutup mengenai pengaruh lamanya waktu, bahasa hukum dan pembentukan hukum, kesemuanya mengandung maksud untuk mengingatkan akan persoalan umum yang bertalian dengan itu.

Sesudah dalam tahun 1941 diterbitkan cetakan kedua yang tak berubah, maka dalam tahun 1946 buat ketiga kalinya dikeluarkan cetakan baru, yang dengan tidak tepat disebut „cetakan kedua yang tak berubah” . Maka dari itu penerbitan ini adalah cetakan yang keempat, yang tekstnya tetap tak berubah pula, kecuali tambahan sebuah daftax singkat daripada buku , yang diselenggarakan oleh M r H. T h . Chabot. Dari penyebutan buku yang diumumkan se­sudah terbitnya buah tangan Ter Haar dalam tahun 19S9 itu, ter- nyata, bahwa pelajaran hukum adat sejak itu tidak berhenti. Da­lam pada itu buku ini sendiri diterjemahkan ke dalam bahasa Ing- geris dan terjemahannya itu pada tahun 1948 diumumkan di New York, dengan sebagai pendahuluan dibubuhi sebuah fatsal tentang latar belakang ethnologis daripada hukum adat, pula tentang kedu- dukan hukum adat dalam organisasi urusan hukum di Hindia Be- landa dulu, fatsal mana ditulis oleh professor E. Adamson Hoebel dan A. Arthur Schiller. Demikianlali hasil karya Ter Haar yang patut menjadi tugu peringatan terhadap Ter Haar ini dapat di- hampiri oleh khalayak ramai yang dapat membaca dalam bahasa Inggris, hal mana sudah tentu akan memberi sumbangannya terhadap penyiaran pengertian tentang sistim hukum adat, secara lebih luas <iari pada apa yang sudah mungkin sampai pada saat itu dulu.

Pada hemat saya buat sementara belum tiba waktunya untuk me ninjau kembali buku ini. Memang benar, bahwa pendudukan Je pang 5elama tahun 1942 — 1945 dan selama revolusi nasional beri kutnya tidak membiarkan begitu saja jalannya kehidupan hukuin Indonesia ini ; sebaliknya ; proses kepribadian (individualisering) , perbeda-an (differentiatie), dan persaana-rataan (nivellering) , pula proces pelenyapan (desintegratie) di sana-sini di masyarakat Indone­sia, tidak boleh tidak dipercepat oleh karenanya, akan tetapi ke onaran politik dan sosial yang masih menimpa Indonesia pada se­karang ini belum mengizinkan penyelidikan secara wetenschappe lijk mengenai berlakunya kaidah hukum adat yang baru.

Penerbitan cetakan ulangan yang tak berubah ini m e n y e b a b k a n

keberatan yang tertentu. Kita sadari se-penuh nya, bahwa istilah yang terdapat dalam buku ini — di mana perkataan „inlandsch” a-tau „inheemsch” yang dipergunakan itu — sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan zamannya, bahkan menyinggung perasaan jua. Untuk ini diminta maaEnya para pembaca. Selanjutnya „staatsrechtelijke geldingsgrondslag" (dasar berlakunya menurut ilmu tata negara)

xm,

sudah berubah sama sekali, sehingga halaman 21 — 2-1 dapat diang. gap tak. terpakai lagi seluruhnya. Tapi andaikata dulu harus me- nunggu dibubuhinya perubahan yang perlu, maka ini akan menve- babkan banyak kelambatan, pada hal berhubung dengan kebutuban dikehendaki terbitnya kitab ini selekas mungkin.

Napiun masih tetap berlaku apa yang ditulis oleh Prof Logemann dalam cetakan „kedua yang tak berubah” — yang betulnya cetakan ketiga — ialah bahwa pandangan yang mahir daripada T er Maar tentang asas dan susunan hukum adat buat sementara tetap men- jadi ukuran, sehingga sekarang ini cetakan ulangan yang tak ben:- bah dapat dipertanggung-jawabkan juga sepenuhnya.

Januari 1950.

S O E P O Aj- o.

Demikian kata pengantar dalam cetakan keempat pada pen*r bitan buku ini dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Belanda yang ditei jemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk pertama kali ini oleh K. Ng- Soebakti Poesponoto, seorang yang mempunyai reputasi ce- merlang sebagai pegawai negeri yang rajin dan setia, d^n' tcrjamin mengenai perwatakannya sebagai pejuang kemerdekaan yang tidakbercacat.

Di samping itu beliau juga adalali dosen dari Perguruan T in ggj „Hayam Wuruk” (Swasta) di Surabaya dalam mata pelajaran hu- kum adat, yang menjamin segi-segi ke ilmiahan dari cara penter- jemahan buku ini ke dalam bahasa nasional kita.

Mengenai buku ini sendiri, rasanya pencrbit tidak perlu menge- jnukakan lagi betapa penting artinya di bidang ilmu luikimi bagi j n_ donesia sendiri, sebab hal itu bukan saja penting bagi mereka yang ingin memperdalam pengetahuannya tentang ilmu hukum dan bagi pejabat-pejabat kehakiman dan kepamongprajaan yang dalam pekerjaannya seringkali menghadapi soal-soal yang bersangkutan dengan hukum adat, bahkan buku ini penting juga bagi dunia ilm u pengetahuan hukum dunia, terbukti buku ini pada tahun 19-18 telali diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris oleh Prof A .A . Schiller dari Columbia University bersama-sama dengan Prof E.A. H oebel dengan nama „Adat law in Indonesia’', diterbitkan oleh Institute of pacific Relations.

Pada penerbitan dalam bahasa Indonesia yang pertama ini penya- lin telah mengusahakan untuk memasukkan ke dalaimnya istilah-isti- lah baru. W alaupun demikian halnya, tidaklah menutup kesempatan bagi penerbit untuk meminta maaf kepada para Guru Besar, para Dosen, para Mahasiswa, para Hakim, para Jaksa, para Pamong Praja dan lain-lain yang menggunakan buku ini untuk memberikan kuliah, untuk belajar dan/atau untuk pegan^an dalam menghadapi masalah-masalah hukum dan kepamongprajaan atas segala keku- rangan yang selalu mungkin ada.

Jakarta, 1960.

PRADNYA PARAM1TA.

BERITA PENERBIT Cetafcan ke-6

Isi cetakan ke-6 Ini sama dengan cetakan terdahulu. •

Semoga buku Ini tetap bermanfaat bagi para pemakai.

Jakarta, Juli 1981. P enerb it

I S I

H A L.A N T A R K A T A (D A R I P E N U L I S ) .................................................................... I XK A T A PE N G A N T A R P A D A C E TA K A N K E-EM PAT ........... i s

FA TSA L P E N D A H U L U A N ..................... ................................................... 21Dasar berlakunya hukum adat menurut ketatane°"araan ( d a l i i s ) ............................................................................................ ° ............ s i

BAB P ER TAM A : SUSUNAN R A K Y A T .................................................... 27

1. Masyarakat- hultiim dalam lingkungan rakyat (co-rnk- unuim (27) dan bentuk2 khusus (43) ) . . . . 27

2. Lingkungan raja- ................................................................ 610. PedagangJ sebagai orang- luaran masyarakat . . . . 654. Pelancaran susunan raja- dan susitnan guberne-

men ke dalam masyarakat2 ............................................. 66

BAB KE-DUA : H A K 2 ATA S T A N A H ........... .......................................... 71

1. Hak2 pertuanan (beschikkingsrecht) daripadamasyarakat3 .............................................................................. 71

2. Hak2 perseorangan (dalam ketertiban hukum :masyarakat-, kerajaan- dan gubernemen) ............ 89

BAB K E -T IG A : PERJANJIAN^ T A N A H (G RO N D TRAN SAK TIES) 1011. Pendirian dusun .................................................................... 1012. Pembukaan tanah perseorangan . . . .•.......................... 1033. Perjanjian2 tanah segi dua di dalam lingkungan

masyarakat2 (gadai tanah (112), jual tanah (118) menyewafcan tanah (119) ) ......................................... 105

4. Merayendirikan tanah ......................................................... 1205. Penghadiahan (toeschenking) tanah .......................... 1206. Penghibahan (toescheiding) tanah ............................. 1217. Surat akte ............................................ .................................... 1218. Perjanjian2 tanah di luar lingkungan masyarakai2 123

BAB KE-EM PAT : PERJANJIAN2 Y A N G BERSANGKUTAND E N G A N T A N A H ...................................................................................... 125

1. Perjanjian paruh hasil tanam (deelbomv) ............. 1252. Séwa ........................................................................................... 1283. Gabungan paruh lmsil tanam dan séxua dengan ga­

dai tanah ................................................................................. 1294. Tanah sebagai penjaminan (zekerheidstelling) . . 1315. Perbuatan pura2 (schijn handeling) .......................... 1346. Penumpang rumah (bijwoner) dan penumpang

pekarangan (opwoner) ..................................................... 1367. Memberikan tanali dengan hak pn"kai ......................

xvn,

HAL.B A S K E 'L IM A : HXJKUM PERH UTANGAN (SCH ULDENRECH T) 139

1. Hak atas rumah , tanaman , terna.k, barang- . . . . 1392. Perbuatan krediet, tolong-menolong satu sama lain

dan. berti-mbal balik .......................................................... 1^33. Perkumpulan ......................... ' .............................................. *464. Perbuatan krediet perseorangan ................................ 1495. Merugikan penagih hutang ........................................ 1536. Alat pengikat, tanda yang kelihatan ........................ 154

BAB KE-EN AM : YAYASAN 2 (S T IC H T IN G E N )................................... 161

1 . Wakap (vrome stichting) ................................................ 1612. Yayasan (stichting) ........................................................... 162

BAB KE-TUJUH: HUKUM PERSEORANGAN ................................... 1651. Kebadanan hukum (rechtspersoonlijkheid) daripada

perkumpulan ........................................................................ 1652. Perseorangan manusia (natuurlijke personen).

Kecakapan berbuat (handelingsbekwaamheid) . . . . 166

BAB KE-DELAPAN: HUKUM KESANAK SAUDARAAN ................ 171

\. Perhubungan di antara anak terhadap kedua orang-tuanya ................................................................................... 172

2. Perhubungan di antara anak terhadap golongansanaksaudara........................................................................... 175

3. Pemeliharaan anak p ia tu ................................................. 1804. Pengambilan anak .............................................................. 181

BAB KE-SEMBILAN : HUKUM P E R K A W IN A N ........ .......................... 187

1. Bentuk perkawinan (perkawinan pinang, - lari bersama, - bawa lari (188); perkawinan jujur,—mengabdi, — tukar-menukar, — mengganti dan perkawinan meneruskan (194); perkawinan dengan pembayaran lain atau tanpa pemba/yaran (194); perkawinan ambil ana’k (194) ; perkawinan kanak(206); permaduan (206); pengaruh agama Islam dan agama Kristen atats pelaksanaan perkawinan(207) 1 ).

2. Perceraian perkawinan (perceraian menurut hu­kum adat (210); pengaruhnya agama besar (214); lembaga Islam mengenai perceraian perkawinan (215); hukum Kristen mengenai perceraian perka­winan (219); akibat nya perputusan perkawinan (220) )

%VlH

3. Hukum liarta benda perkawinan (barang asal dari warisan (220); barang yang diperoleh atas usaJia sendiri (222) ; harta benda perkawinan sebagai mi- lik bersama di antara suami dan isteri (224); baran^ yang dihadiahkan kepada suami dan isteri bersama (229) )

BAB KE-SEPU LU H : HUKUM W A R IS ...........................................................1. Harla peninggalan )ang tak ter-bagi- .....................2. Penghibahan dan wasiat ........... ..............................3. Pembagian hart a peninggalan .......................................4. Ahli w a ris ...............................................................5. Bahagian daripada harta peninggalan .....................

BAB KE-SEBELAS: HUKUM PE LA N G G A R A N (DELlKTEN'RHCHTj

BAB KE-DUABELAS : PEN GARUH L A M A N Y A W A K T U ................

BAB KE-TIGABELAS : BAHASA HUKUM ................................................

BAB KE-EMPATBELAS : PEM BENTUKAN HUKUM A D A T ...........

BAB KE-L1MABELAS : KESUSASTERAAN HUKUM A D A T ...........

D AFTAR KECIL D A R IP A D A SIN G K AT AN : ...........................................

D AFTAR D A R I A D A N Y A LIN G K U N G AN 2 HUKUM DAN A N A K - L1NGKUNGAN H U K U M ........................................................................

D AFTAR SOAL ....................................................................................................

DAFTAR I STIL AH P R IB U M I..........................................................................

231233 23S 242 233 ' 218

235

2(i:>

2<>‘>

275

283

2‘Mi

2UT

301

305

FATSAL PEN D AH U LU AN .

D A SA R D A N L ÏN G K A R B E R L A K U N Y A H U K U M A D A T M E N U R U T K E T A T A N E G A R A A N (D A L IL 2) .

Mengenai artinya peraturan wet, yang menentukan tempatnya dan batas nya hukum adat (sipil) orang Indonesia dalam ling­kungan keseluruhan hukum di Hindia Belanda, terdapatlali sejak dulu sampai sekarang banyak perbedaan pendapat *) . Di sana-sini saya pernah ambil bagian dalam pembicaraan mengenai masalah ini' tapi dalam buku ini hanya saya cantumkan saja pendapat saya dalam bentuk dalil Bilamana saya harus membentangkan (mau tidak mau secara panjang lebar) alasan nya daripada apa ^ang harus berlaku dalam pada itu, maka tindakan saya ini akan menjadi : menulis apa „sekitar” hukum adat, pada hal mestinya „tentang” hukum adat, hal mana sebagaimana telah ditunjuk oleh Van Vollenhoven merupakan suatu penyakit daripada lebih dari sebuah karangan.

I. Dalam alam peradilan gtibernemen yntuk Bumiputera (Inlandse gouvernementsrechtspraak) (juga seberapa' jauh ia meliputi kaula- landschap) (landschaps-onderhorigen).

1. Hukum adat sipil berlaku atas Bumiputera ) berdasarkan atas fatsal 131 ayat 6 Indische Staatsregeling, seberapa jauh hu­kum sipil itu tidak diganti dengan ordonnan^l (menurut wet) atau dengan hukum untuk golongan Eropah (Europeanen-recht) yang sudah ditakluki menurut batas yang sudah ditentukan oleh wet.

2. Ordonnansi yang telah ditetapkan sebelum 1 Januari 1920 dan yang mengatur hukum sipilnya Bumiputera, harus berupa per- nyataan berlakunya (toepasselijk verklaring) undang untuk golo- ngnn Eropah — kalau perlu sesudahnya diubah — (fatsal 75 lama Regeringsreglement), itupun untuk sahnya dan untuk dapat di berlakukan oleh hakim atas Bumiputera.

ï ) Berhadapan dengan Van Vollenhoven dalam „H et Adatrecht van Nader-landsch Indië,, mengenai lebih dari satu soal : dr. (mr) I. A . Nederburgh. H oostukken over adatrecht 1933 ; bertentangan dengan itu ..Nederburgh over adat­recht” dalam Ind.T.v.h.R. 138 (1933) hal. 723; repliek dari Nederburgh dalam T, 139 (1934) hal. 477 (Adat- tegen Westersch recht).

=) Golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) di sini tidak dibicarakan .juga „perhubungan2 intergentiel” tidak.

3. Ordonnansi yang ditetapkan sesudah 1 January 1920 dan yang mengatur hukum sipil Bumiputera harus :

a. berupa pernyataan berlakunya (toepasselijk verklaring) keten- tuan hukum untuk golongan Eropah — seberapa perlu sesudaJinya diubah — atas golongan Bumiputera ; itupun bilamana terdorong oleh kebutuhan masyarakat yang ternyata ada di kalangan Buinipu- tera atau sebagian daripadanya ;

b. Bumiputera dan golongan Eropah diatur dengan peraturan bersama jadi satu; itupun bilamana terdorong oleh kebutulian masyarakat yang ternyata ada di kalangan Bumiputera atau sebagiaa daripadanya ;

c. Lain dari pada itu (bila l i d a k ternyata ada kebutuhan ma­syarakat yang serupa itu di kalangan Bumiputera) dihormadlah hu- kum adat, tapi dapat menyimpang dari itu bilamana terdorong oleh kepentingan umum atau oleh kebutuhan masyarakat yang ternyata ada di kalangan Bumiputera itu (fatsal 131 ayat 2 b Indische Staats­regeling) .

4 . Mengenai perintahnya wet supaya tidak diberlakukan liukum adat bila ia bertentangan dengan „asas yang sudah diakui umum daripada kepatutan cfcrn keadilan" (fatsal 75 lama Regeringsregle­ment ayat 3 penutup) dan perintahnya net supaya dipakai sebagai pedoman : asas umum daripada liukum sipil dan hukum dagang untuk golongan Eropah itupun bilamana harus diputus ,,perkara2" („zaken”) yang „tidak diatur” („niet geregeld”) dalam hukum adat (fatsal 75 lama Regeringsreglement ayat 6 ), maka kedua pe- rintah itu tidak berlaku lagi sesudah 1 Januari 1920 karena pera- turan itu oleh fatsal 131 ayat 6 Indische Staatsregeling tidak di-pertahankan.

Mengenai takluk dalam anggapan (veronderstelde onderwer­ping) (fatsal 29 Staatsblad 1917 no. 12) mana kala Bumiputera menindakkan perbuatan hukum yang diatur dalam hukumnya go­longan Eropah tapi „tidak diatur'’ dalam hukum yarïg berlaku un- tuk golongannya, maka takluk sedemikian itu hanya berakibat bahwa lalu hukum tentang wissels, orderbriefjes dan surat serupa itu ber­laku atas Bumiputera itu. ^

II. Dalam alam peradilan Pribumi (Inheemse rechtspraak) di daerah yang langsung di bawah perintah gubernemen (rechtstreeks bestuurd gebied).

A . 5. Tentang alam ini yang meliputi — kecuali pembatasan oleh atau berdasarkan ordonnantie — penduduk Bumiputera Aceh Raya dan Singkel seluruhnya ; Tapanuli Utara, Nias dan Padang Lawas ; Korinci dan Mentawai ; Bengkulen luar ibu kota ; Palem- bang luar ibu kota ; Jambi luar ibu kota ; bekas Kesultanan l.ing- ga Riauw ; Kalimantan. Barat di bagian yang langsung di bawah j>e- rintah gubernemen, luar ibu kota ; Mahakam Hulu dan Pasir ; Go- rontalo ; Laikang (ditambah beberapa masyarakat adat) ; Maluku yang langsung di bawah perintah gubernemen (kecuali ibu kou Ternate, Banda, Ambon dan kepulauan Oliaser) dan Lombok, ma­lta di situ yang berlaku ialah hukum sipil adat, hukum pidana adat dan hukum acara adat, sepanjang tidak diganti dengan ..algemene verordeningen” 'atau (mengenai hukum pidana dan hukum acaia) tidak diganti dengan „residentsverordeningen” , ke>emuanya yang dengan tegas dinyatakan berlaku dalam lingkungan situ (iatsal 130 dan 131 ayat 5 „Indische Staatsregeling”) .

6. Ordonnantie tertanggal 18 Pebruari 1932 Staatsblad no. 80 yang terakhir diubah dengan ordonnantie tertanggal 23 Juni 1938 Staatsblad no. 371 dengan daftar nya dan peraturan pelaksanaan- nya (residentsverordeningen) mengatur lingkar (omvang) berlaku­nya hukum adat seluruhnya.

B. 7. Menurut hukum tata negara maka p e r a d i l a n d u - s u n (dorpsjustitie) yang dikaitkan pada peradilan gubernemen adalah suatu bagian daripada peradilan Pribunu dalam daerah yang langsung di bawah perintah gubernemen ; fatsal 3 a daripada „Reg­lement op de rechterlijke organisatie” yang ditambahkan dengan jalan ordonnantie tertanggal 9 Maret 1935 Staatsblad No. 10*. m??nberi kesempatan untuk berlakunya peradilan dusun itu, denman tiada mengurangi keutuhan kekuasaan mengadili (rechtsmacht) hakim gubernemen ; dalam lingkungan peradilan dusun itu yang berlaku hanyalah hukum adat.

III. Dalam alam peradilan landschap (landschapsrechtspraak).

8. Mengenai alam ini yang meliputi :

a. kaula landschap (landschapsonderhorigen) daripada land­schap dalam Hindia Belanda, kecuali bilamana berdasarkan kon-

trakt atau menurut „zeJfbestuursregelen” kekuasaan mengadili atas kaula itu diserahkan kepada hakim gubernemen (di daeraii swa- praja di Jawa hampir semua kekuasaan mengadili diserahkan kepada hakim gubernemen, *) dan di lain tempat kekuasaan meng­adili dalam hal 'perkecualian saja yang diserahkannya) ;

b. kaula gubernemen (landsonderhorigen) dalam dua tiga hal perkecualian, yaitu bilamana mereka dulu pada waktu permulaan pemeriksaan perkara adalah termasuk kaula landschap atau bila­mana perkara itu mengenai tanah milik yayasan, mengenai rumaii dan tanaman yang lebili dari satu tahun umurnya (overjarig), benda mana kesemuanya yang terletak di daerah landschap situ ; — maka yang berlaku dalam alam itu ialah liukum sipil adat, hukum pidana adat dan hukum acara adat (kadang dalam bentuk „zelf- bestuursverordeningen), sepaojang tidak diganti dengan ordon­nantie — yang dengan tegas dan berdasarkan wewenang yang diberi- kan kepada gubernemen menurut „kontrakt” atau „korte verklaring" (kontrakt pendek) — yang dinyatakan berlaku buat alam situ ; dan

mengenai hukum pidana dan hukum acara sepanjang tidak diganti dengan „residentsverordeningen'’ (fatsal 12 dan 13 „Zelfbestuursre- gelen 1938” dan ketentuan yang sesuai dengan itu dalam „kontrakt panjang’ ; bandingkanlah fatsal 21 ayat 2 Indische Staatsregeling).

\\. Daiam alam pcradilan agama (godsdienstige rechtspraak).

9. Hakim peradilan agama yang berkekuasaan mengadili — kekuasaan mana berbatasan dengan kekuasaan hakim peradilan gubernemen — terdapat di Jawa dan Madura, di ibu kota Pa- lembang dan Jambi, di kota pantai di Kalimantan dan di Ternate. Kekuasaan mengadili daripada „syarat ” di Sulawesi Selatan( tidak diakui (lagi) oleh jurisprudentie ; bagaimana halnya di Padang dan cji Ambon, maka rupa nya tiada kepastian.

]0. Dalam alam hakim ini, yang mengadili orang Islam — se- panjang menurut hukum adatnya sekarang dan ordonnantie me- n^izinkan bahwa perkara nya diadili oleh seorang hakim peradilan agama — yang berlaku bukannya hukum sipil adat buat perkara - nya itu» taP* hukum fikih Islam, yang walaupun demikian, dalam be- berapa soal telah terpungut (opgenomen) dalam hukum adat (fat­sal 13 ayat 2 Indische Staatsregeling).

i) peraturan istimewa mengenai Aceh. Kalimantan Barat, landschap2 M anado,'fernate hampir tiba saatnya untuk dihapuskan (Desember 1938).

II Pack sekarang mi hakim peradilan agama di Jawa dan i Kalimantan 1 enggara itu berkuasa mengadili hanya perkara yan°-

harus diputus menurut hukum perkawinan (huwelijksrecht) kecuah bilamana Burgerlijk Wetboek berlaku a*as perkara itu (fatsal *> a daripada staatsblad 1882 No. 152 (jawa) yang telah ditambah dengan staatsblad 1937 No. 116. dan fatsal 3 daripada staatsblad 1937 No. 6S8 (Kalimantan Tenggara).

12. Di daerah luar Jawa lain nya maka kekuasaan mengadili daripada hakim peradilan agama itu terdiri dari mengadili perkara antara orang Islam satu sama lain, yang m enuim hukum adat da­lam inasing lingkungannya harus diadili oleh hakim peradilan agama. Kiasanyn perkara itu aclalah perkara yang mustinya diadili menurut hukum perkawinan. hukum waris dan hukum wakap.

b a b p e r t a m a . s u s u n a n r a k y a t .

1. M A S Y A R A K A T 2 H U K U M D I K A L A N G A N R A K Y A T .

A. Corahs (imam.

Bilamana orang_ meneropong suku bangsa Indonesia manapun ° ; ™ tampaklah d, matanya di lapisan bagian bawah yang

.m at Inasnya, suatu masyarakat yang terdiri dari gerombolan van ! bertahan satu sama la in ; terhadap a l a m y a n g t a k ke

a i a m 1 terhadaP d u n i a 1 dan terhadapr . e ' " n , rnaka mereka beningkah-laku sedemikianb o ^ ’ , ' ‘ pS8f UntU, niendaPat gambaran yang se-jelas-’nya gerom-

olan tad. dapat dtsebut masyarakat hukum (rechtsgemeenchap- pen). Dalam pergaulan hukum maka mereka yang merasa menjadï anggauta daripada ikatan- itu bersikap dan bertindak sebagai suatu

esatuan ; beberapa orang berbuat apa , semuanya beruntung atau merugi , adalah suatu aturan batin yang menyebabkan, bahwa bebe­rapa orang atau golongan orang mempunyai hak mendahulu, hak

atau kekuasaan : adalah barang , tanah, air, tanaman , kuil dan bangunan yang harus dipelihara ber-sama^ oleh anggauta ikatan, yang harus dipertahankan oleh mereka ber-sama- dan dijaga kebersihannya untuk kepentingan kekuasaan gaib, yang hanya me- leka sendiri yang mengambil manfaatnya dengan mengecualikan lain orang; terjadinya masyarakat itu dialaminya sebagai takdir alam, sebagai sesuatu kenyataan daripada hukum gaib ; tiada se- orang yang mempunyai pikiran atau timbul angan-nya akan keniung- kinan membubarkan gerombolan itu ; yang mungkin buat orang seorang ialah hanya ke luar dari gerombolan atau melepaskan diri dari rangkaian, itupun hanya mungkin terhadap persekutuan yang adanya tergantung dari daerahnya.

Ilmu ethnologie pada zaman sekarang telah dapat menemukan gambaran yang jelas mengenai faham asli Pribumi tentang kesa- tuan yang kokoh dan teratur daripada masyarakat itu, hal mana kadang- dilambangkan dengan wujud manusia dengan dua bagian- nya (tweedelingen), empat bagiannya (vierdelingen) dan cara mem-beda-kan lainnya, di mana orang penjabat pangkat ditetap- kan kedudukannya dalam organisasi; ilmu tadi aniat besar artinya untuk memahami susunan aival-mula di purbakala daripa'da masya­rakat Indonesia yang bergandengan dengan pembeda annya (klassifikatie) alam besar (kosmos) maupun alam manusia.

Benda keramat daripada masyarakat misalnya punennya orang Pagai, pusaka dusun (pusaka Xaman) daripada orang Dayak N gaju dan Dayak Klemantan, senjata2nya orang Toraja, perhiasan pusaka di Sulawesi Selatan, batu daripada bagian dan di Ambon, marapu di Sumba, lontar desa di Bali dan lain2nya lagi, maka itu semuanya adalah perumahan berwujud benda atau perwujudan daripada daya hidup, ialah daya sakti daripada masyarakat ; kesemuanya itu adalah tanda yang nyata daripada kesatuan masyarakat yang betul ada; begitu juga rumah persekutuan sopo (Batak), sesat (Lam- pung), balai (Melayu), baileo (Maluku), bale (Sunda) dan seterus- nya, pula kadang juga perahu masyarakat belan (di kepulauan Keidan Aru).

Terhadap lebih dari selingkungan hukum (Kalimantan, Bali, Batak) maka pada akhir ini saban perhatian ditujukan kepada maksud pokok yang bersifat peribadatan daripada masyarakat itu, ialah bahwa mereka merasa inenjadi anggauta perikatan itu karena „ m a berwajib menindakkan ibadat sihir (religieus magische ver- ïicKtingen) itu. Dalam masyarakat itu ternyata, bahwa persambung- an. kekerabatan, yaitu hubungan antaTa mereka berasal dari ketu- runan satu leluhur, adakalanya berarti mutlak atau penting, ada- kalanya tak seberapa ar-tinya atau sama sekali tak berarti, terhadap bentuk susunan masyarakat itu. Di satu fihak masyarakat kecil k u — beserta penghulu rakyatnya dan ketua kerabatnya, pula acapkali beserta sendi nya yang teratur berupa kelas — nampak kepada kita sebagai masyarakat hukum; di situlah hukum adat sebagai endapan daripada kenyataan sosial, dipungut daripadanya dan oleh karena- nya didukungnya pula; di situ pulalah hukum adat dalam proses abadi dibentuk dan dipelihara oleh dan dalam k e p u t u s a n pemegang kekuasaan ( p e n g h u l u rakyat dan rapat ) yang dijatuhkan atas sesuatu tindakan hukum atau atas sesuatu perselisihan.

Di lain fihak maka masyarakat itu dengan hak atas tanahnya, atas air dan tanaman nya, atas bangunan nya, benda keramat dan- lain barang miliknya, nampak pada kita sebagai subyek hukum (rechtssubjecten) yang turut serta dalam pergaulan hukum.

Bila dirumuskan se-singkat-nya maka persekutuan itu dapat di- sebut: gerombolan yang teratur bersifat tetap dengan mempunyai kekuasaan sendiri, pula kekayaan sendiri berupa benda yang keli- hatan dan tidak kelihatan mata.

Untuk menginsy&fi bagaimana bentuk dan susunan persekutuan h u k u m di kalangan rakyat di Nusantara ini, maka terutama orang

harus tahu ,akan arti faktor territorial (daerah) dan genealogis (keturunan) bagi timbulnya dan kelangsungannya masyarakat itu.

Masyarakat hukum, di mana i'aktor t e r r i t o r i a l , yaitu adanya ber-sama terik.at pada sesuatu daerah yang tertentu — belum atau tidak penting baginya, adalah jarang terdapat dan di' mana ada, keadaannya tak berarti. Suatu misal yang tepat untuk itu ialah suku bangsa Gayo, terdiri dari clan yang berdiam berserak dan hanya terikat satu sama lain oleh hubungan claji. Rini rupa nya keadaan sedemikian itu berubah. Di kalangran banvak suku ban^sa ada tandaO v Omereka juga terikat oleh ikatan clan, lepas apakah mereka men- diami daerah yang sama atau tidak. Masyarakat sedemikian itu mungkin adalah masyarakat territorial belaka, tapi bukannya ma­syarakat hukum, bagaimanapun mungkin pentingnya dipandang dari sudut lain. Atau, bila sebutan „bukan masyarakat hukum” ini agak keterlaluan, dapat juga disebut masyarakat hukum (rechtsge- meenschapj>en) tapi yang amat terbelakang kedudukan sosialnya sebagai masyarakat hukum ; misalnya ada tindakan ke luar ber-sama dan teratur hanya pada hari peringatan sesama bapa leluhur yang ma- kamnya merupakan tanda persambungan bagi mereka semuanya.

Sebaliknya masyarakat , di mana faktor g e n e a l o g i s tidak berarti — yaitu faktor terikatnya satu sama lain karena keturunan yang sama — di kepulauan Indonesia ini ada banyak. Desa di Jawa, Sunda, Madura, Bali, gampong (meunasah) di Aceh, dusun di daerah Melayu, di Bangka dan Belitung, sebagian daripada gabungan wilayah di Sumatera Selatan, gabungan dusun dan wilayah di Sulawesi Selatan, negorij di Minahasa dan di Ambon — masyarakat itu se-mata bersifat territorial, walaupun hubungannya dengan susunan genealogis di pelbagai masyarakat itu ada terang.

Terhadap masyarakat territorial ini harap diperhatikan sekarang juga (lihatlah pula halaman 30) bahwa orang , yang ber-sama- mendiami dusun atau gabungan wilayah, mereka itu juga merupa­kan suatu g o l o n g a n , suatu k e s a t u a n , dengan kekuasaan pembelaannya keluar dan dengan penyusunannya ke dalam. Sese- orang yang buat sementara berada dalam rantauan dapat tetap menjadi anggauta masyarakat tadi; seseorang yang datang dari luaran dapat juga masuk menjadi anggauta golongan itu, tapi untuk ini tidak cukup ia datang bertempat tinggal begitu saja dalam dusun, melaiiïkan orang itu harus juga diizinkan masuk dalam golongati di masyarakat (territorial) itu dan orang itu harus dipungut masuk ke dalam ikatannya, yang dipeliharanya dengan jalan tolong-meno

long satu sama lain. Kadang dan terhadap beberapa orang (rekanan sendiri) masuknya itu ada mudah, di tempat lain daji terhadap orang lain (orang luaran) masuknya ada sukar atau tak mungkin sama sekali. Soal sudah menjadinya anggauta masyarakat ,,seja*k dulu kala”, jadi juga terhitung menurut ukuran faktor kekerabatan dan keturunan, adalah faktor penting buat kedudukan anggauta itu dalam masyarakat territorial ini.

K e d u a f a k t o r ini, ialah faktor genealogis dan faktor ter­ritorial, menetapkan bentuk dan susunan vma di Mentawai, euri di Nias, huta dan kuria di Batak, iiagari di Minangkabau, marga dan dusun di sebagian Sumatra Selatan, suku di Kalimantan, dusun dan gabungan wilayah di Toraja, di Timur Besar dan kepulaua/n T i ­mor. Maka dari itu penting sekali saban mengenai hasil paduan setempat daripada kedua faktor tadi.

Sebeluni melukiskan beberapa misal yang kongkrit, maka dapat ditetapkan garis besar, titik perbedaan umum dan persamaan umum, agar supaya faktor genealogis dan faktor territorial itu lebih terang dapat di-beda3kan dan selanjutnya dapat ditetapkan.

Mcngïf/za/ /k a ta n g e n e a l o g i s timbullah per-tamas keba- likan susunan vaderrechtelijk (hukum keturunan fihak bapa) dan moederrechtelijk (hukum keturunan fihak ibu) , susunan parentaal (hukum keturunan fihak bapa dan ibu) dan alternerend (hukum

keturunan fihak bapa dan fihak ibu, ber-ganti-) . Bacalah di bagian hukum kekerabatan, halaman 175 dst.).

Susunan berhukum bapa (vaderrechtelijk) ialah suatu aturan, di mana persamaan keturunan (keturunan sejati a'tau keturunan dalam anggapan belaka) dari sesama bapa leluhur menetapkan termasuk golongan kaum mana seseorang dalam susunan kekera- batannya, tergolong c l a n atau b a g i a n c l a n mana ; dan golongan2 itu hidup sebagai kesatuan2 sosial dan oleh karenanya dapat dikenalnya.

Nias, Gayo, Batak dan sebagian penduduk Lampung adalah misal yang tepat buat susunan vaderrechtelijk, di Bali susunan sedemikian jtu masih benar2 kentara nyata, di Maluku dan di kepulauan T im o r ja banyak terdapat pula.

Berhadapan dengan itu (di Minangkabau, Krinci, Semendo dan di kalangan sementara suku bangsa kecil2 di Timur Besar) tercla- patlah susunan berhukum ibu (moederrechtelijk) .(hukum keturun­an dari fihak ibu ; di sini yang menjadi patokan buat tempatnya

dalam ikatan ialah persaniaan keturunan menurut garis perempuan dari satu ibu leluliur, dan golongan -yang terikat menuruL sistim itu tadi, ialah bagian dan, adalah terbesar artinya bagi kehidupan hukum. Pada susunan kerabat satu segi (eenzijdig) itu acapkali terdapat aturan exogamie, yaitu larangan berkawin dengan sesajwa anggauta clan atau bagian clan. Bilamana dalam sesuatu masyarakat terdapat kedua macam susunan kerabat itu, yang teratur sosial dan sebagai golongan dapat dikenal terang, sehingga masing anggauta baik termasuk clan patrilineal (claii bapa) maupun termasuk clan matrilineal (clan ibu) , maka keadaan sedemikian itu dalam hukum adat dapat disebut „dubbel unilateraal’’ ; mungkin buat Indonesia misal buat itu ialah kepulauan T im or (M ollo di T im or, suku Kodi di Sumba .■') , di Melanesia misal itu akan lebih mudah terdapat.

Berliadapan dengan itu, maka di lain tempat, misalnya di banvak daerah di Kalimantan dan Sulawesi, faktor genealogis tidak terda­pat di susunan kerabat satu segi (di clan ) , akan tetapi terdapat di susunain dua segi (tweezijdig) atau di susunan parentaal ; di situ maka golongan kerabat baik dari fihak bapa maupun dari fihak ibu umumnya sama aartinya bagi perhubungan hukum.

Dengan jalan „endogamie”, yaitu berkawin dalam sukunya sen- diri (ini bukannya suatu keharusan, melainkan suatu kebiasaan) maka susunan parentaal sedemikian itu dapat mempertaharikan ikatan nya (ke arah seraua fihak) di dalam suku sendiri. Pada akhir- nya ; di daerah seperti Rejang, maka dasar kekerabatan bukannya patrilineal dan bukannya parentaal, akan tetapi dasarnya tergantung dari bentuk perkawinan ; yaitu bentuk perkawinan di mana anak termasuk clannya bapa (oleh karenanya juga disebut perkawinan hukum bapa = vaderrechtelijk huwelijk) hal mana sama seringnya terjadi dengan bentuk perkawinan, di mana anak termasuk clannya ibu (susunan keraiba*t satu segi „ b e r - g a n t i 2 = a l t e r n e r e n d e'enzijdige verwantenorde, halaman 179 ; di samping itu ada lagi bentuk perkawinan ke tiga, di mana anak sama kedudukannya ter­hadap clannya bapa dan clannya ibu (tambahan lagi dalam ke­adaan yang tertemu memindahkan anak dari clannya ibu ke clan­nya bapa juga mungkin, hal 185. Juga di pulau di sebelah Tim ur terdapat beberapa misal daripada susunan „ber-ganti-” (alternerend) itu) .

Mengenai s u s u n a n t e r r i t o r i a l dapat digambarkan dengan mem-beda2kan tiga bagian, hal mana tidak berarti membuat tiga golongan yang akan dapat meliputi keadaan se-nyata2nya, me-

lainkan tiga bagian itu berarti tiga pusat yang masing2 menjadi pusa t nya pelbagai bentuk tetap dan bentuk peralihan. Ke tiga je- nis itu ialah : masyarakat dusun, masyarakat wilayah dan gabungan dusun (de dorpsgemeenschap, de streekgemeenschap en de dor­penbon d) .

Bilamana satu tempat kediaman kecil menghimpun ummat ma­nusia jadi satu di tempat situ sendiri - mungkin dengan meliputi perkampungan (pedukuhan ) yang berdiri sendiri dan agak jauh dan terpencil letaknya - dan bilamana dalam pada itu penghulu masyarakat dan penjabat masyarakat lainnya semua nyatanya bertempat tinggal di pusat kedudukan di tempat situ juga jadi satu, maka di situlah ada masyarakat dusun yang tepait, ialah misal- nya : desa di Jawa dan Bali.

Bilamana saban di sesuatu daerah ada beberapa tempat kediaman kecil, walaupun sedikit banyak mempunyai kedaulatan dan peme- rintahan kepala nya sendiri sejenis desa tadi, akan tetapi meru- pakan bagian daripada satu masyarakat yang meliputi bagian itu semuanya, maka di sinilah terwujudnya masyarakat wilayali (streek-gemeenschap) yang tepat; ia mempunyai batas sendiri, pemerintahan sendiri, pula mempunyai „hak pertuanan” (beschik­kingsrecht) atas tanah yang belum dibuka sejak dulu kala, terletak di tetigah dan sekelilingnya ladang yang masih dikerjakan atau sudah ditinggalkan ; di dalam lingkungannya maka dusun yang sam- pai tingkatan yang tcrtentu berdiri sendiri, mempunyai kedudukan dalam organisasi seluruhnya, termasuk dusun tadi baik tempat ke­diaman yang pertama, ialah induk dusun, maupun dusun yang pada tingkatan akhirnya berasal dari induk dusun itu, ialah dusun bawahan, misal dari pada masyarakat wilayali (streek-gemeen- schappen) yaitu : kuria beserta hutanya di Angkola atau Mandai- ling, tnarga beserta dusi/rmya di Sumatra Selatan.

Bilamana masyarakat dusun yang mempunyai pemerintahan dan daerah sendiri letaknya bersandingan satu sama lain dan bersama mengadakan perserikatan untuk memelihara kepentingan bersama (membikin saluran air, pertahanan bersama melawan musuh, per­adilan) atau memelihara hubungan satu sama lain berdasarkan atas asal mereka, dalam pada itu ada pemerintahannya yang bersifat ker- ja sama dengan pemerintahan dusun itu, sedangkan tak ada hak- pertuanan (beschikkingsrecht) pada perserikatan itu, maka itulah yang disebut gabungan dusun (dorpenbond); misalnya di daerah Batak bagian tengah.

Jadi, dusun (yang kecil) itu di antara tiga bentuk. tadi adalah suatu pusat hidup daripada masyarakat ummat manusia yang berdiri sendiri atau'terikat dalam persekutuan yang lebih tinggi atau meme- lihara hubungan dengan lain2 masyarakat2 yang sejajar, secara tak tetap, untuk kepentingan bersama. Mengenai bentuk apa yang dipilih masyarakat- kecil2 itu dalam hal ini, maka faktor ikatan genealogis daripada golongan- pendudok itu besar artinya.

Karena beberapa keadaan maka dapat terjadi bahwa bentuk2 tadi tidak mencocoki keadaan- yang senyatanya dan percampuran tangan dari luar menyebabkan bentuk2 menurut hukum adat itu sukar akan dikenal kembali.

Di satu fihak terdapat gabungan2 wilayah, ya-ng terdiri dari satu induk daerah kediaman dari mana lain- tempat kedudukan itu me- nyiar, akan tetapi terhadap si induk tetap bersikap sebagai muda terhadap tua ; di lain fihak terdapat juga dusun2 yang pedukuhan2 nya menjadi sebesar dusun2 sendiri, tapi tak sampai menjadi se- jajar penuh terhadapnya. Dalam hal ini, maka nagari di Minang­kabau mirip seperti laras di Minangkabau Selatan dulu (suatu gabungan wilayah) . Dusun2 yang digabungkan (lain misal) lambat- laun disebut dusun pula, tapi pada hakekatnya mirip seperti gabu­ngan wilayali secara buatan. Masyarakat2 kecil2 yang dalam ling- kungannya penduduknya berdiam tersiar dalam kelompok2 rumah- kecil, ruraah2 halaman petani — seperti di Madura — menurut adatnya disebut dhisa (dorp), sebagaimana di Sunda gabungan wilayah juga disebut desa. Sebutan2 desa dan nagari dalam arti etymologis adalah mengandung maksud gabungan2 wilayah (streek- gemeenschappen). Gabungan2 wilayah yang diakui sebagai swapra- ja, lalu disebut landschap2 (dan timbuUah sebegitu banyak land­schap2 kecil2) . Perlingkupan2 yang tidak banyak secara lazim meliputi gabungan2 wilayah adalah kerajaan2 dan landschap2 yang besar ; juga antara ke-dua2nya ini tidak ada batasnya yang tegas.

Dengan mengingat kedua pangkal pengertian ini : beraneka war- nanya susunan genealogis dan beraneka warnanya penggolongan2 ter­ritorial, maka pada sekarang dapat dibentangkan lebih Ian jut k e r j a s a m a k e d u a f a k t o r 2 i t u yang besar ar­tinya sehingga merupakan bentuk dan corak daripada masyarakat tersebut di atas tadi. Kenyataannya adalah begitu rupa, sehingga ba- tas2 daerah territorial itu — biasanya batas2 alam — (boleh dika- takan) memotong golongan2 kerabat dalam territoir itu dari golo- ngan2 kerabat di tempat2 lain ; masyarakat2 hukum genealogis’ tetap adalah bagian2 clan yang berdiri dan terbatas oleh terikatnya

ber-sama2 dengan bumi di dusunnya sendiri atau daerahnya sendiri, suatu ikatan yang malahan terus berlaku atas mereka yang sudah pergi dari tenipat situ sampai sangat Iamanya tapi yang dalam po_ koknya bei*arti hanya buat sementara saja. Di Iain fihak, maka ada- nya ber-sama2 terikat pada bumi dusunnya atau daerahnya itulah yang menghimpun golongan2 kerabat yang bersama berdiam di situ tapi satu sama lain bukan sanak-saudara (bagian2 dari pelbagai clan) menjadi satu masyarakat hukum atau satu kesatuan. Clan- itu se- luruhnya bukannya masyarakat- hukum, tidak bertindak sebagai kesatuan, tidak mempunyai pemerintahan atau kekayaan sendiri, melainkan mereka adalah golongan kerabat yang bersegi satu (eenzijdig) susunan2nya dan berdiam terpencar di seluruh wi- layali, hanya kentara dari nama2nya yang berliubungan dengan <Iongeng2nya keramat mengenai asalnya dan pertumbuhannya (ha- laman 21). Demikianlah halnya di Nias, Batak, Minangkabau, R e_ jang dan lain2 tempat. Namun yang merupakan m a s y a r a ­k a t h u k u m ( r e c h t s g e m e e n s c h a p ) ialah bagian2 c l a n yang berada di dusun atau di daerah, yang menyatakan berasalnya dari p e m b a n g u n ( s t i c h t e r ) atau p e m. - b a n g u n - dusun atau daerah situ atau dari leluhur yang sesudahnya pembanguna/} telah diïzinkan berdiam di dusun atau di daevsk vtu sebagai orang baru. Orang sesama clan dari lain2 tem­pat mungkin dengan mudah dapat dipungut masuk dalam susunan- n>J. ialah karena mereka adalah sanak-saudara sedari awal-mulanya, akan tetapi sebelum mereka dipungut masuk, maka mereka tetap mggauta dari golongannya sendiri di tempat semula, bukannya ter­masuk di golongan kerabat di dusun situ.

Kerjasama tersebut di atas, ialah daripada fcfktor geneologis dan faktor territorial mengakibatkan adanya pelbagai jenis susunan rakyat, susunan2 mana kadang2 timbul satu sama Iain berdampingan di satu daerah ; hal ini akan dapat diterangkan dengan singkat lebih lanjut.

Per-tama2 bagian clan ialah sebagai satu2nya golongan yang men- diami sesuatu wilayah (territoir) yang terbatas. Dalam pada itu pa­da umumnya ada pergaulan yang ramai dengan bagian2 clan tetangga (w'alaupun andaikata karena cxogamie saija), tapi ke satuan dari­pada susunan rakyat, daripada dusun atau daerah hanya terdapat pada bagian clan di wilayah situ sendiri. Misalnya : barangkali di pedalaman pulau Buru.

Selanjutnya bagian clan „dalam wilayahnya sendiri” tapi berdiam di situ bersama dengain golongan2 atau perseorangan2 dari clan lain

(disebabkan oleh pergaulan clan2 dan untuk memajukan pergaulan itu ), yaitu mereka yang di wilayah situ tergólong penduduk kelas dua. Dipeilakukan sebagai kelas dua ialah dalam hal turut sertanya da­lam pemerintanan wilayali situ, begitu juga terhadap hak2 atas tanaii ; dalam hal2 lain mereka dihargai sebagai sesama anggauta yang dibutuhkan. Misalnya orang- Batak Toba dengan marga-nya yang meraja (regerende marga) dan pelbagai penduduk penum- pangnya (penduduk penumpang daripada marga perkawinan dan marga lain) dan orang2 Rejang dengan perserikatan2 daerahnya, di mana mereka se clan (bang mégo) mewujudkan satu masyarakat ber-sama2 orang2 golongan semendanya (aangehuwden) dan orang2 luaran lainnya yang sudah menetap di situ (mereka di'sini tidak dapat dikatakan lagi dikurangi tingkat kedudukannya) dalam masyarakat2 sedemikian itu adalah tiga macam rangkaian : rangkaian sanak2- saudara, rangkaian sanak2-saudara beserta golongan semenchuiya, akhirnya rangkaian sesama anggauta dusun.

Selanjutnya : bagian clan dalam daerahnya sendiri sebagai pen­duduk pertama, tapi di sampingnya dan d i a t a s n y a ada su­atu bagian clan asing yang mendatang dari luar, merebut kekuasaan dan memerintah sebagai golongan yang berkuasa (kelas penghulu = hoofdenstand) dan yang tetap asing terhadap perikatan golongan penduduk pertama dengan tanahnya, dan penghulu dari golongan inilah mendapat (tetap memegang) jaba-tan „wali taaiah” ( = grondvoogd, hal. 85) . Misalnya : Sumba Tengah dan Sumba Timur.

Keempat: pelbagai bagian2 clan yang satu sama lain bukan sa- nak saudara (atau mungkin menurut dongeng asal-usul masih sanak-saudara tapi tak cukup berartinya buat aturan exogamie), jadi anak cucu pembuka2 tanah yang pertama, yang masing2 per­tama kali menduduki bagian2 tanah sesudahnya oleh pembuka2 ta­nah itu di-bagi2-kannya di antara mereka sendiri, dengain demikian mereka merupakan satu masyarakat dengan berdaerah gabungan territoir2 clan itu, yang berbatasan satu sama lain (atau yang dae­rahnya dibagi habis menjadi territoir2 clan). Misal3 : beberapa nagari di Minangkabau, yang terdiri dari daerah2 suku ; beberapa marga di Bengkulen.

Kelima : pelbagai bagian2 clain yang tidak bersanak-saudara satu sama lain, yang ber-sama2 mewujudkan suatu masyarakat atas satu daerah yang tak ter-bagi2.' Misal2 : beberapa nagari di Mirtangkabau dan dusun di Rejang.

Masyarakat hukum yang dapat disebut kesatuan daripada susu­nan. rakyat menurut misal- tersebut di atas teranglah sennntiasa ter­ritorial genealogis campuran. Orang dari luar yang m endatang dapat masuk golongan masyarakat itu hanya dengan perbuatan rangkap yang tak terpisah satu sama lain, yaitu : menggabungkan diri dalam ikatan genealogis Pribumi ditambah : berdiam di territoir situ. Pertalian kesanak-saudaraan dan pertalian dengan tanali ke- dua-nya adalaii penting terhadap susunan masyarakat itu.

Di mana susunan kerabat segi satu tak terdapat, jadi di mana tak ada bentukan clan, tapi kekerabatannya berlaku baik menurut keturunan bapa maupun keturunan ibu, ma;ka di sana (Kalimantan, Sulawesi Tengah) terdapat masyarakat kerabat (suku atau kerabat yang berdaerah sendiri, kerabat itu berdiri sendiri atau di bawahkan suku). *) Demikian juga halnya bilamana orang- yang bukan sanak-saudara karena lamanya berdiam di sesuatu suku dapat mem- peroleh kedudukan di masyarakat situ (hal mana disebut „men-ter- ritorial-kan" masyarakat, ini karena sebagai perseorangan dengan perseorangan2 lainnya ber-sama2 berdiam di satu territoir, jadi bu- kannva ditetapkan oleh pertalian kesanak-saudaraannya) maka ang­gauta- asli daripada suku Jtu dapat masih lama terus berkedudukan istimewa, lebih= mengenai hak3nya atas tanali, hal mana dapat terli- hat terang (Kalimantan).

Di-lain2 tempat, walaupun sedari dulu mungkin seseorang datang berdiam dalam sesuatu dusun dan menggabungkan diri sebagai ang- gautanya dengan tiada halangan suatu apa terhadap soal kesanak- saudaraan, tapi meskipun demikian kekuasaan adat dalam dusun dan hak atas tanali2 yang dibuka semula, dapat tetap di-tanga/n anak- cucu (satu sama lain tidak bersanak-saudara) daripada pendiri- dusun yang pertama (dusun2 di Bali dan mungkin juga di Jawa dengan penduduk2 intinya sebagai kelas satu ; kelas dua dan kelas tiga).

*) Dalam tulisan ini untuk golongan kerabat besar segi satu yang tak tersusun sebagai masyarakat, dipakai sebutan „dan” dan buat bagian2nya, sebutan : „b a ­gian dan” , sedangkan untuk golongan besar — paranteel — segi dua — genea­logis, dipakai perkataan „suku” (stam) dan „kerabat” (geslacht) buat bagian2 nya. Di samping itu perkataan „suku” (stam) dapat dipakai b u a t: suatu gabungan dan2 yang hidup menyendiri. Perkataan „kerabat” (familie) bermaksud susunan kerabat segi satu atau segi dua terdiri dari sanak saudara yang dapat dikenal kembali sebagai kesatuan. „Kerabat” itu dapat bermaksud sama dengan „bagian clan” atau „suku” atau bagian kedl daripada kedua2nya itu, tapi senantiasi lebih besar daripada „keluarga2” (gezinnen).

Akhirnya : ada juga dusun2 dan gabungan- wilayah yang tak bcrcorak susunan kekerabatan sedikitpun dan tak mendahulukan kedudukan anak2 cucu pendiri2 dusun itu, dan di mana pemilik ru- mah halaman beserta sedikit tanah pertanian sudah begitu saja ter­masuk penduduk kelas satu, atau di mana pembagian kelas2 sama sekali tidak ada.

Bagaimana territorial pun juga dasarnya masyarakat- dusun ter­sebut tadi, na'nuin sebagaimana telah diuraikan (halaman 3Z) urn- mat manusia yang mendiami dusun itu merupakan satu gerombolan (di Bali disebut desa, di Jawa wong akeh) yang sebagai kesatuan (bukan mengenai bentuknya) sama sekali dapat dipersamakan de­ngan isi ni huta, yaitu orang2 dusun seluruhnya di Batak dan dengan laman dusun di Pasemah.

Pembagian anggauta2 dalam kelas- itu terdapat di masyarakat2 hukum dalam banyak lingkungan2 hukum; namun patokannya meng- (k) elas ini adalah ber-beda2. Tadi sudah disinggung ,,mempunyai tanah" sebagai patokan kelas : mempunyai tanah pertanian beserta halaman, kadang2 mempunyai tanah pertanian tertentu beserta hala­man, demikian itu sudah menjadikan pemiliknya „kelas satu" ; hak kelas dua ; yang tak mempunyai tanah selanjutnya tergolong kelas tiga. Rangka ini mcngandung kemungkinan peralihan2 dan corak ragam yang beraneka-warna ; k e l a s p e m i l i k 2 t a n a h atas halaman saja atau hak atas tanah bukannya tanah2 inti : adalah suatu tanda khas buat Jawa dan Bali. Kedudukan pemilik2 tanah, yaitu anggauta2 dari ummat manusia yang pada asalnya ge­nealogis susunannya, berdiam di suatu masyarakat yang sudah men- jadi territorial (misalnya orang2 paung asal di dusun2 campuran di sungai Barito di Kalimantan) rupa2nya berdasarkan atas pokok- pikiran tersebut di atas juga. Hal sedemikian itu juga terdapat ter­hadap kerabat2 pembuka tanah pertama di Minangkabau yang berderajat di atasnya golongan2 kerabat yaing datangnya di nagari di waktu belakangnyi, sedangkan rupa2nya hal ini ada hubungannya dengan kedudukan sesuatu marga yang „meraja” (heersende mar- ga) di tanah Batak.

Di banyak daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Tim or timbullah di masyarakat2 lingkungan rakyat suatu k e l a s p e n g - h u 1 u (hoofdenstand) — kelas „bangsawan” dan kela-s2 di alam raja2 tak dibicarakan di sirri — yang dipertahankan dengan jalan ; hukum waris Indonesia yang mengandung perkecualian buat kelasnya, pelarangain atas perkawinan pemuda3 penghulu dengan lelaki2 dari kelas yang di bawahnya, pengambilan sebagai bini muda

dari wanita2 kelas bawahan oleh anak2 lak.i bangsa penghulu, dan wanita sesama kelas dijadikan bini tua (hoofdvrouw). Jumlah wang jujur atau jumlah wang kemantin adalah, di mana aturan itu ada, buat pemudi2 dari kelas penghulu lebih 'tinggi dari pada buat anak2 perempuan orang kebanyakan, malahan mereka ini dilarang me- minta wang jujur yang ketinggian. Delikt2 (pelanggaran2 dan kejaliatan2) yang diperbuat orang lawan penghulu2 dihukum m e­nurut adat lebih berat. Penghulu2 itu memakai nama2 dan gelarJ yang tak mungkin dicapai oleh orang kecil. Pada upacara- adat maka penghulu2 mendapat hak2 mendahului, berupa ; urutan2 duduknya, macain perkakas tempat hidangannya yang diedarkan, macam ba­gian daging hewan tersembelih yang dipersembahkannya, pula m e­reka didahulukan dan diliormati. Caranya penghulu2 diperbolehkan berpakaian adalah lain dari pada caranya rakyat jelata, cara pe- makamnya pun lain dari pada orang kecil, dan yang terakhir ini terlarang memakai cara itu. Karena cara2 adat sedemikian itu maka perbedaan kelas tetap suatu perbedaan sosial yang dirasakan se-liari2 dan banyak aturan2 hukum bertalian dengan itu.

Di wilayali2 yang berendogamie dusun atau suku, penghulu2 pun mencari bini di lain2 tempat untuk menegakkan kelasnya (endoga- mie kelas = stand endogamie).

Kelas penghidu suku Abung di Lampung, ialah penyimbang, su­dah menjadi aturan yang setengah terpendani karena pangkat dan gelar yang lebih tinggi (pepadon) dapat dibeli oleh unium, walau- pun di lain2 tempat penghulu2 itu dapat menaikkan derajatnya de­ngan jalan membayar secara.adat kepada lain2 penghulu.

Terhadap Sulawesi Selatan asalnya perbedaan kelas itu dikira orang karena susunan clan dahulu kala. Rupa2nya a-sas2 klassifikatie primitief juga turut mengakibatkan pembentukan golongan2 dan pembagian2 menjadi kelas-.

Patokan umura daripada adanya kelas sedari dahulukala ialah penghambaan dan ketaklukan (dari pihak orang2 yang telah dika- lahkan, orang2 yang berhutang dan anak cucunya) . K e l a s b u - d a k ( s l a v e n s t a n d ) yang sekarang sudah lenyap, namun m a- sih dapat dikenal di banyak masyarakat2, antara lain dari caranya berkawin, jumlahnya wang jujur, diperlakukannya bagaimana di pes- ta2 adat; juga soal bahwa seseorang berasal dari lain tempat ada pe- ngaruhnya atas hubungan2 hukum, misalnya mengenai tanah. Begi- tupun ada suku2 bangsa di pulau2 tersebut di mana tak cerdapat kelas penghulu (misalnya suku Toraja yang berbahasa „barée”

begitupun juga ada suku2 bangsa yang tai pernah mengenai kelas takiukan dan kelas budak; namun tiga serangkai; kelas penghulu — orang kecil atau kelas merdeka (tergantung dari kebalikannya) — kelas budak, terdapat ber-ulang-. Ter-kadang2 di daerah2 lingkungan raja- sedikit banyak ada liubungannya, malahan ada percampuran. antara bangsawan raja bawahan dan penghulu2 masyarakat, namun di sana perbedaan antara kelas penghulu d a l a m masyarakat2 dan bangsawan raja d i 1 u a r n y a kebanyakan masili dapat dikenal kembali.

Di Minahasa, di Ambon dan di Uliaser masyarakat rupa-nya tidak (tidak lagi) mengenai perbedaan dalam kelas dengan keduduk­an hukumnya masing2, di lain fihak maka pembagian dalam kelas2 ini di banyak pulau di Maluku mengakibatkan bentuknya golongan2 yang satu sama lain terpisah dengan tegasnya dengan nama2nya sendiri dan endogamienya yang tertib (mélmél, rénrén dan iriri di Kei, dan mama, wuhru dan atan di Kisar dan sebagainya) ; perka- winan dengan tak sesama kelas (mésalliance) buat si perempuan — (dulu) — diancam dengan hukuman mati atau pembuangan.

Masyarakat2 itu dengan susunannya genealogis territorial beserta pemerintahannya collegial a*tau Ivanya di tangan satu orang (hal mana jarang) dan pembagiannya dalam kelas2, biasanya dapat juga di- masuki orang2 luaran. Memasuki masyarakat2 oleh o r a n g 2 I n ­d o n e s i a d a r i l ua r , orang2 sesama suku atau orang2 luaran, aclalah suatu proses yang telah ber-abad2 berlangsung. Pertama kali mereka mendaitang sebagai budak dan dengain demikian memang membawa darah baru dan menduduki tempat ekonomis yang amat penting, namun sebagai budak mereka tak dapat mema­suki inti susunan masyarakat. Selanjutnya ada yang mendataing se­bagai sanak-saudara .ipar, terdiri dari perempuan2 atau lelaki2. Perkawinan2 ambil anak (inlijf huwelijken) di beberapa wilayah justru diselenggarakan dengan lelaki2 dari lain tempat (mereka toch sudali dalam keadaan bergelandangan). Tetapi, terlepas dari perbudakan dan perkawinan tadi, orang2 luaran secara perseorangan dapat pula memasuki masyarakat itu. Di masyara­kat2 yang terdiri dari golongan2 genealogis, dengan jalan .,dipungut sebagai anak” (adoptie) atau dengan jalan meng- gabungkan diri dalam sesuatu keluarga, hal mana dalam hu­kum adat sudah ada aturannya (di Minangkabau sebagai anak semang pada induk semangnyd) dalam pada itu disajikan sela- matan makan kepada penghulu2 dusun dalam rumah majikannya.

Juga masyarakat- territorial, sebagaimana sudah diuraikan, tetap menolak masuknya orang2 luaran ke dalam gerombolan manusia itu. Orang yang hanya tinggal di daerah masyarakat, dapat menjadi penduduk sementara atau tetap — namun terhadap masyarakat sa­ma dengan orang luaran yang bertempat tinggal di luar masyarakat , ia dikertakan pemerintahan atasan (dari raja .atau gubernemen) yang juga melingkupi masyarakat itu ; ia dapat dengan jalan per- janjian memperoleh hak menikmati (genot) atas tanah masyara­kat (hal. 79) ; penghulu2 rakyat dapat menanggung keselamatannya terhadap masyarakat asalnya atau yang dikira asalnya, namun kedu- dukannya tetap berlainan sama sekali dengan kedudukan orang yang sudah dipungu’t masuk dalam gerombolan orang- dalam masyarakat itu dengan aturannya tolong-menolong bertimbal-balik. Misalnya penduduk- preman Pribumi di Minahasa dan di Am bon berada di luar masyarakat, sebagaimana juga biasanya priyayi di Jawa, yang kada-ng® bertempat tinggal dan mempunyai tanah dalam desa situ, walaupun tentang hal ini ada perobahannya di Ambon. U ntuk di- pungut masuk dalam ikatan adat harus ada izin dari pemerintah masyarakat situ, Kadang2 permintaan izin itu harus disertai dengan persemfrvahan adat, terdiri dari nasi dan seekor ayam atau wa,ng (wang adat); juga sesudah diberi izin untuk menetap itu liarus ada selingan beberapa tempo, sebelum ia dimasukkan dalam ikatan adat. Dalam dusun2 di Ambon orang sampai lama tetap asing, bum sesudah beberapa turunan maka anak cucunya itu boleh dikatakan dengan diam2 memperoleh kedudukan sebagai sesama^ anggauta dusun, kecuali bila agamanya lain (orang2 Islam di dusun- Kristen) , maka mereka buat se-lama2nya tak akan di anggap sebagai sesama anggauta. Begitu juga misalnya tidak mungkin seorang Indonesia tidak beragama Hindu menjadi anggauta sesuatu dusun di Bali ; dan bila ada kejadian kepindahan dari orang Bali beragama H indu ke agama Kristen, maka yang menimbulkan pertengkaran ialah bah- u-a orang2 Bali Kristen tadi berkehendak tetap menjadi anggauta, tapi tetap ditolaknya oleh masyarakatnya. Bila terjadi seseorang dari luaran sudah terpungut masuk dalam ikatan adat, maka karenanya haruslah ia memiliki penuh beban2nya dan memperolehlah ia hak2 penuh sebagai lain2 sesama anggauta. Demikianlah keadaan selu- ruhnya di Aceh, Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, Minahasa dan Ambon tentang ini. Misalnya pemasukan orang2 Jawa ke Sumatra Selatan makin lama makin banyak secara demikian. Pemungu-tan masuk dapat terjadi secara perseorangan atau secara gerombolan, karena dalam lingkungan2 hukum yang ber-masyarakat2 wilayah ke­pada orang2 asing sesudah membayar wang adat diberi izin untuk

mendirikan dusun. Karei?a anggauta2 masyarakat sendiri ter-bagi2 menjadi perbagai golongan atau kelas dengan ber-beda2 haknya, maka kedudukan orang baru itu tergantung dari jawab pertanyaan : kira*3 ia dulu termasuk golongan apa ; ini belum ada keputusan apa2 di waktu ia dipungut masuk ikatan adat itu. Apakah ia dapat dipilih menjadi penghulu, atau apakaih ia dapat memperoleh „hak milik” atas 'tanah dengan keharusan memikul beban2nya, apakali dia turut mendapat bagiannya dari hasil2 „beschikkingsrecht” , mala- han apa-kah dia termasuk golongan yang berhak diundang, maka , hal2 ini kesemuanya tergantung dari persetujuan2 di belakang.

Tentang jatuh ke s u s u n a n r a k y a t c o n c r e e t yang mana daya faktor2 genealogis dan territorial, perbedaan kelas dan pemasukan orang- asing, nanti pada akhirnya, maka hal ini ter­gantung dari banyak keadaan2. Di satu fihak tergantung dari perja- lanan nasibnya masyarakat sendiri sebelum, di waktu dan sesudali la- hirnya, pula dari reaiksinya terhadap dan penolakannya melawam pe- ngaruh2 dari luar. Faktor besar yang mendorong ke perubahan ben­tuk ialah pengembaraan ke luar, yang disebabkan oleh pelbagai ala- san (keinginan untuk berdiri sendiri, kekurangan hasil2 hutan atau kekurangan tanah, permusuhan kerabat lawan kerabat, dan seba- gainya). -Keadaan2 yang dijumpai oleh gerombolan yang mengem- bara ke luar itu, ialah : daerah tak bertuan atau daerah yang sudah diduduki orang ; masyarakat2 ummat manusia yang bersikap musuh atau sahabat; lembah2 sungai, pulau2 atau tanah datar, ini kese- muanya dapat menjadikan salah satu faktor ya;ng berpengaruh atas bentuknya masyarakat itu. Di lain fihak untuk itu pada umuninya adalah juga suatu faktor yang menentukan, ialah susunan dari in- duk masyarakat pada saat pengembaraan. Pergaulan dengan orang- asing yang makin lama maikin ramai dan oleh karenanya perubaham- daripada kebutuhan2 ekonomis dan daripada cara berfikir tentang peribadatan, kesemuanya itu tetap menyebabkan perkisarain, walau- pun per-lahan2 tapi selalu.

Pengembaraan besar2an mengakibatkan kolonisasi, ialah pem- bentukan masyarakat2 orang2 luaran pada awal-mulanya, di-tengah- rakyat yang sejak purbakala berdiam di sesuatu wilayah (yaing juga disebut penduduk asli). Orang2 kolonis tadi hidup dalam masyara­kat2 dan dalam pada itu di lingkungan rakyat dapat dikenal sebagai golongan2 yang tersendiri. Pekerja2 Jawa daripada perkebunan2 yang besar2 hampir selalu bertempat tinggal berkumpul dalam kam- pung2 sendiri, sebagaimana orang2 Jawa yang berboyong secara besar2an dan dengan bantuan pemerintah ke Sumatra Selatan

(Gedongtataan dan sebagainya). Namun juga tan pa percampuran tangan pemerintah orang2 Indonesia berpindah dalam rombongan2 besar ke lain5 tempat. Koloni2 Minangkabau di pantai Barat Aceh, Koloni Toba sejumlah 15.000 jiwa di Tapanuli Selatan (Sayurma- tinggi), orang2 Bugis di Bali dan Lombok, orang2 Banjar di Indra- giri dan sebagainya. Mereka datang menetap dalam susunannya sendiri dengan penghulunya sendiri (tapi yang sudah dirobah karena pengembaxaannya yang jauh) dalam daerah tak bertuan atau men- desak lambat-Iaun penduduknya asli ke luar, atau juga mereka se­bagai orang2 asing mengakui kekuasaan dan hak daripada pendu- duk yang mendahulu, yang tanahnya tetap mereka diami sebagai masyarakat2 berdiri sendiri, misalnya: orang Minangkabau (orang2 pengitlu) di tengah2 suku Batin di Jam bi; orang2 kolonis T ob a dan Karo di tanah Dairi, orang2 Dayak Maanyan Siung merupakan g o Iongan Bantai dalam masyarakat Dayak Lawangan, dan seterusnya. Proses perobahan dalam ketertiban dusun itu kadang2 'iftendapat dorongan berwujud percampuran tangan daripada kekuasaan2 fihak luaran atau fihak Pribumi, yang melarang bertempat tinggal di pegunungan2, yang mengaaakan bagian2 territorial, yang membe- rikan tanah2 „lungguh”, yang menarik biaya2 dan menuntut kerja rodi, yang membela kepentingan secara melampaui batas pengertian masyarakat, yang menempatkan pegawai2 di samping dan di atas penghulu- rakyat dan yang mencoba memberikan kepada penghulu2 rakyat suatu kekuasaan jabatan yang tak sesuai dengan imbangan2 adat.

Orang harus axnat ber-hati2 dengan gambaran2 tentang perkem- bangan dan pertumbuhan masyarakat2, gambaran2 mana yang ber- pangkal jauh di zaman lampau; gambaran2 sedemikian itu seharus- nya ditunda dulu sampai kita akam mengetahui sekedar dari zaman kultur yang lampau dari keadaan dan tujuan kulturnya bangsa2 yang be-ribu2 tahun yang lampau memasuki kepulauan Indonesia ini.

Sebagai dasar pengalas umtuk apa yang dalam buku ini akan di- uraikan tentang hukum tanah dan hukum perhutangan (gronden- en schuldenrecht), pula untuk penetapan dan pemegasan daripada apa yang tadi telah disinggung dalam garis besarnya mengenai susu- an rakyat, maka berikutnya akan ditinjau lebih jauh kesatuan2 susunan rakyat di beberapa lingkungan hukum dan anak lingkungan hukum di kepulauan Indonesia ini dalam garis2 besarnya — dalam pada itu akan selalu dipakai sebutan2 „masyarakat” (de gemeen­schap) , „kerabat” ( = de familie), „clan”, suku (de stam) kerabat atau kaum (het geslacht) dan „penghulu2 rakyat” (— de volkshoof-

den) — susunan2 rakyat yang meskipun ada penyimpangan2nya dan bentuk2nya istimewa dari kehidupan praktis, namun masih dapat dikenalnya kembali; dalam pada itu akan sekedar dapat temyata juga bagaimana beraneka warnanya dan penjelmaannya masyara­kat2 dalam beberapa lingkungan hukum.

Urutan membahasnya diatur sedemikian rupa sehingga masyara­kat2 di mana faktor genealogisnya berlaku terkuat, didahulukan, dan di mana se-mata2 faktor territorial berlaku, diperbelakangkan, Timur Besar adalah dianak tirikan dalam hal ini, karena sebab2 yang ter­sebut dalam antax kata.

B. Bentuk1 khitsus.

1. Menurut patokan yang sudah kita tetapkan buat urutnya, maka harus didahulukan pembicaraan mengenai masyarakat GAYO Ba­gian clan yang tersusun atas hukum bapa dan exogaam ini adalah masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) ; rakyatnya berdiam terse- bar dalam kelompok2 yang terdiri dari keluarga2, yang kadang2 son- diri, tapi kebanyakan bersama kelompok2 keluarga dari lain bagian clan (kampong) mereka ber-sama2 mewujudkan suatu dusun, tem­pat kediaman bersama. Di situ tak ada kekuasaan, selainnya kekua- saa-n kepala bagian clan (reujeu) atas anggauta2nya (saudeureu), tidak ada pertalian selainnya pertalian sesama anggauta satu sama lain. Mengeni Gayo Luëus pernah ada terbaca bahwa bagian clan di bawah reujeunja. dulu mempunyai lingkungan2 pengaruh terri­torial yang lebih luas dari pada luasnya tanah2 yang sudah dibuka oleh saudeureunya. Oleh kekuasaan di Aceh maka dulu diangkat kepala2 untuk mengepalai daerah2, dengan sebutan kejuron (keu- jru'ên) ; maka karena kekuasaan Belanda kejuron itu — se-tidak2 nya kejuron petiambang di Gayo Luëus dengan dewan reujeu céq berasal dari daerah atau landschapnya — sekedar kekuasaan yang nyata, sedang masing2 reujeu diberi bagian suatu distrik sebagai daerah kekuasaannya, dalam daerah mana dia oleh kelompok2 kelu­arga dari golongan bagian clan lain yang berdiam di situ diakui se­bagai kepal? distrik dan rupa2nya Iambat-laun juga sebagai kepala (penghulu) adat.

Reujeu (céq) dalam pemerintahan adat dibantu oleh petuè buat urusan2 kedunawian dan oleh imeum buat tirusan2 agama ; di Gayo Luëus ia membawahkan kepala2 daripada bagian2 kaumnya, ialah reujeu mudeu dengan tmeumnya dan xvakélnya. sendiri. Dengan tertib diadakan permusyawaratan dengan sesama anggautanya. Su-

ku bangsa kedua yang, tersusun serupa itu adalah orang2 P U B IA N d\ Lampung.

Ketiga clan (merga; di lain tempat2 di Sumatra Selatan „m erga” berarti masyarakat daerah, streekgemeenschap) berdiam bercampu- ran di dalam daerah yang diduduki suku bangsa Pubiain. Mereka ter-bagi2 menjadi bagian2 clan (kabuaian) yang dapat ter-bagi2 pula menjadi kerabat2 besar (suku). Dalam sebuaJi dusun (tiuh) mungkin ada berdiam suku dari pelbagai merga, malaihan juga bagian2 daripada suku yang cenderung akan merdeka berdiri sendiri. Penghulu2 (kepala2) yang sesungguhnya (lebih tepat : „ketua2” ) adalah penghulu2 suku (panyimbang) ; kabuaian di bawahkan oleh paksi, sekali tempo oleh panyimbang2 ber-sama2. Ja<li paksi itu mempunyai kekuasaan, tidak tergantung dari tempat di mana sesama anggauta kebuaiannyz berdiam. Karena pengaruh dari Banten maka daerah Pubian itu telaih terbagi menjadi bagian2 territorial, yaing diakui oleh kekuasaan Belanda sesudah tahun 1928 dain yang seka- rang menjadi masyarakat2 wilayah (streekgemeenschappen) ; pada awal-mulanya dulu maka paksi2 bersama di daerah serupa itu m em ­punyai kekuasaan atas urusan2 yang tertentu ; kini masing2 masya­rakat wilayah (disebut marga pula) mempunyai kepala marga. Juga di sini perterritorialan karena pengaruh dari atas, itapi di bawahnya masih kentata. susunannya sendiri yang asli. Suku itu masih bertindak sebagai masyarakat hukum genealogis. Pertalian sebagai masyarakat hukum dengan kerabat-nya yang tersiar di lebih dari satu masyarakat wilayah, menjadi lenyap, begitu juga pertaiiannya dengan kekuasaan penghulu2 dalam arti genealogis atas anggauta^nya yang berdiam di tempat2 lain. Seperti di daerah Pubian ini dengan clan2nya yang berdiam bercampuran di Lampong, maka di Padanglawas ada te^ Jeta-k suatu daerah ialah Tano sapanjang, di mana empat clan Batak secara demikian berdiam bercampuran satu sama lain ; dan rupa-nya keadaan sedemikian itu terdapat juga misalnya di pulau Roti. Daerah2 serupa itu (dalam tingkatan besar dan tanpa masyarakat hukum yang melingkupinya) adalah seperti bagia-n2 clan yang berdiam bercam°- puran satu sama lain dalam suaitu nagari.

Selai.-jumya susunan2 rakyat Gayo, begitu juga Pubian dapat di- ba-ndingkan dengan susunan rakyat ALAS yang sukubangsa2nya ('stammen, merga) dan suku*nya (geslachten) terubah bentuknva oleh kekuasaan dari luar sehingga menjadi masyarakat2 territorial (juga disebut merga); di dalamnya ada tempat2 berumah halaman jadi satu (kampong) di bawah kekuasaan seorang kepala yang dise­but penghulu suku. Sedemikian rupa juga di pulau S IM E U L U E ,

di mana di susunan rakyatnya terdapat persamaan yang luar biasa dengan Pubian. Juga di sana bagian2 clan berhukum bapa yang di- sebut suku, berdiam bercampur dalam suatu „landschap”, suatu masyarakat wilayah (streekgemeenscha'p) yang diurus oleh peng­hulu- suku bersama di bawah pimpinan seorang dari mereka, ialah datuk pamuncak.

Segumpal daripada bagian clan yang berdiam dalam suatu kam­pong dipimpin oleh seorang kepala kerabat yang ditunjuk oleh datuk, dan kepentingan2 kampong seluruhnya diurus oleh kepala2 itu bersama. Di sana-sini faktor territorial ada peranannya akan te- tapi sangat sedikit artinya. Demikian juga di kalangan rakyat pen­duduk kepulauan LIN G G A R IAU , yang berdiam tersiar di banyak pulau kecil2 terutama dalam pertaliannpa genealogis di bawah pe- ngurusan kepala- (penghulu2) bagian2 clan — sering disebut suku— sedang gerombolan2 genealogis itu tak menduduki daerah terri- toirnya sendiri.

2. Bentukan suatu bagian clan di daerahnya sendiri rupa2nya terdapat di bagian2 pedalaman di banyak pulau2 kecil2 (ENGGANO, BURU, SERAM, FLORES) . Di pantai2 timbullah dusun2 campur- an, terdiri dari kerabat2 pelbagai clan yang mengembara dari pe- jdalaman, pula dari- orang2 asing yang mendatang dari seberang laut. Di IR IAN ialah di daerah pedalamannya yang dikunjungi orang buat pertama kali, terdapat suatu clan di daerahnya sendiri (clan kanguru : Kauwerawet (clan babi dan seterusnya). Dalam kepindahannva ke pantai itu maka gerombolan2 genealogis kecil- itu (kérét) mempertahankan kemerdekaannya sendiri2, mereka di sana menduduki tanah se-mata2 buat mereka sendiri, walaupun meieka berdiam ber-sama2 kerabat2 dari clan2 lain dalam dusun yang di- perintah oleh seora-ng kepala dusun, korano, tapi yang hanya mem­punyai sedikit kekuasaan atas orang2 yang bukan anggauta clann^a.

3. Bentuk terdiri dari bagian2 clan yang bukan karib satu sama lain tapi ber-sama2 mewujudkan suatu masyarakat territorial adalah terutama terdapat di M IN AN G K ABAU . Sesama anggauta clan berhukum ibu yang tidak berdiam di nagari yang sama, tidak me­wujudkan masyarakat hukum, tidak mempunyai pemerintahan ber­sama, tidak berkekayaan bersama. Masyarakat2 hukumnya adalah . per-tama2 kerabat (bagian clan) dalam dusun ; kerabat2 itu adalah setengah sesama clan dan setengahnya lagi tergolong pelbagai clan , kerabat2 sesama clan menjadi merdeka berdiri sendiri sesudah me- mecah-belah diri ; selanjutnya kadang2 (tidak di mana2 tempat)

gabungan2 daripada kerabat2 semacam itu yang setengahnya bukan- nya golongan clan2 yang bersanak-saudara; ketiga: negari yang terbentuk dari bagian2 clan, yaitu kerabat2 yang terhixnpun atau tak terhimpun dalam gabungan. Clan2 Minangkabau itu mempunyai na- ma2 sendiri, sebagaimana juga clan2 Gayo, Pubian dan banyak clan2 lain nya lagi.

Tidak ada suatu lukisan mengenai Minangkabau yang tak memu- lai dengan peringatan : jangan menyamaratakan ; di sini peringatan itu lebih tepatnya daripada di lain tempat, sehingga di sini hanya garis2 pokok2 saja yang digoreskan. Bilamana orang dalam angan2 mencoba menggambarkan dengan jalan mencipta pertumbuhannya dari bawah, maka haruslah orang memulai dengan menciptakaai sebagai bahan: beberapa clan, umpama 2 4 ; pada saat yang tertentu maka datang berdiam perempuan2 dari pelbagai clan (dengan saudara2nya lelaki dan suami2nya) baik di daerah tak bertuan, mau­pun di tanah yang belum terbuka, dalam lingkungan „beschikkings­recht” 'suatu nagari. Lambat-Iaun bertumbuhlah dalam tempat ke- diaman situ kerabat2 itu, demikian juga bertumbuhlah tempat ke- diaman itu sendiri.

Pertama golongan2 sanak-saudara; perempuan2 itu, yang dapat diparulang sebagai nenek2 moyang tempat kediaman, menurunkan Iterabat- dan bagian? clan yang berpusat pada milik kerabat (ta nali2, rumah, banmg- berharga, gelar kerabat daripada kepala kerabat) . Sebuah kerabat (sa buah paruiq) hendaknya digambarkan dalam pikiran sebagai rumah kerabat sendiri, dengan lelaki yang tertua daripada keturunan yang tertua pula sebagai kepala kerabatnya. Bilamana kerabat itu menjadi kebesaran, maka didirikan sebuah rumah kerabat baru, di mana sebagian kerabat berpindah untuk bertempat tinggal, sementara masih merupakan satu masyarakat dengan bagian2 kerabat lainnya; dengan jalan demikian (di belakang terutama meluas ke rumah2 keluarga) meluaslali kerabat itu meliputi nagari (atau mereka berpindah ke lain2 tempat dan tiba di luar m a­syarakat) . Kepala daripada segenap kerabat tetap adalah lelaki ter­tua daripada keturunan yang tertua, kecuali bila ia dikesamping-kan karena tidak cakapnya. Dalam kedudukannya itu ia ikut serta dalam pemerintahan dusun dan disebutnya pengulu andiko; hanya bilama­na kerabatnya sudah menjadi kebesaran atau bila orang2 baru da­lam kerabat itu membentuk gerombolan baru yang ingin berdiri sendiri, maka dapa/t terjadi pemisahan, dan kedua bagian itu ma- sing2 dibawahkan oleh penghulu andikonya sendiri. Dalam kerabat serupa itu kadang2 terdapat banyak atau sedikit atau sama sekali

tiada cabangnya, yang sedikit banyak merupakan masyarakat berdiri sendiri rpengerumuni barang2 warisan bersama berasal dari perem- puan atau lelaki yang meninggalkannva sebagai barang2 hasil usaha- nya sendiri semasa hidupnya, pula mereka mengerumuni bagian2 barang2 pusaka kerabat yang diserahkan kepada mereka untuk di- pakainya (hal. 221) . Cabang2 kerabat itu kerapkali (tapi tidak di mana2 tempat begitu) ada di bawah pimpinan ketua2nya sendiri, ialah mamak kepala waris atau tungganai. Pengulu andiko itu me- rangkap mamak kepala waris cabangnya sendiri; di mana cabang2 kerabat tak mempunyai mamak kepala waris sendiri, maka pengulu andikolzh di masing2 cabang memangku kedudukan itu. Bila ada orang2 baru — orang2 Minangkabau — mendatang dalam nagari maka walaupun sebelumnya itu harus dipungut masuk lefbih dulu dalam sebuah kerabat yang telah berdiam di situ, mereka di belakang kebanyakan membentuk- masyarakat tersendiri, dilanjutkan oleh perempuan2 daripada golongannya itu. Lamanya masa berdiam se- suatu kerabat dalam suatu nagari tetap membawa pengaruh atas kedudukannya kemasyarakatan, makin lama makin terkemuka. Orang2 asing, ialah orang2 Indonesia bukan Minangkabau (yaitu orang2 Nias) dibiarkan dalam kedudukan tak bebas ; apa yang di- sebut golongan- budak, ialah kemenakan di bawah lutuiq adalah di bawaih perintah sebuah kerabat Minangkabau. Selagi bertumbuh golongan2 kerabat itu, maka bertumbuh terus pula kampongnya, ialah tratraq menjadi dusun dan dusun menjadi kota, itupun karena didirikannya di situ rumah2 yang kokoh kuat, dan kota menjadi tiagari, itupun karena telah didirikan rumah dewan sendiri (balai), tempat mandi (tapian), tempat penyabung ayam jantan (galénggang) dan sebuah rumah sembahyang sendiri, kesemuanya menandakan terang bahwa golongan2 manusia di situ sudah menetap dengan ko- kohnya dan bahwa manusia dan tanah sudah bertumbuh menjadi satu sebagai suatu kesatuan berdiri sendiri dengan nyata. Bilamana lembaga2 itu ada semua dan bilamana berdiam paling sedikit empat golongan2 yang bukan se clan di dusun situ (nagari baampég suku) suku3 mana mempunyai daerah „beschikkingsrecht sendiri terpisah satu sama lain, maka dusun itu diakui sebagai nagari, dengan pe­merintahan sendiri dan dengan pemisahan dan pembatasannya dae­rah „beschikkingsrecht" umum milik nagari itu, pengakuan mana dilangsungkan dengan upacara2 adat.

Susunan dan pemerintahan dalam nagari selanjutnya memecah menjadi dua tokoh, yang keduanya terbelah dan terikat oleh se- jumlah banyak bentuk2 peralihan. Menurut adat Bodi Caniago yang berlaku terutama di Agam maka pengulus andiko (kepala

kerabat) ber-sama2 dan atas persamaan kedudukan memegang pe- merintahaji dalam suatu nagari. Kerapatnn nagari itu adalah kekua­saan yang tertinggi. Bagian dan dalam arti sejumlah kerabat3 yang tergolong satu dan tapi berdiri sendiri berdampingan satu sama lain, di sana disebut suku. Pemecahan kerabat menjadi dua bagian ter­dapat kerap kali. Sebaliknya bagian2 dan (di sini disebut kampu- anS)> terdiri dari kerabat2 yang berdiri sendiri, di Tanah Datar dan Limapuluh kota menurut adat Kota Piliang terhimpun dalam gabu­ngan2 meiiputi 4, 5, 6, dan 9 bagian2 dan termasuk golongan sekian clan pula yang terdiri dari kerabat berdiri sendiri, atau tidak ; gabu­ngan2 itu di sana disebut suku misalnya suku „ nart ampeq” dan se­bagainya, namun kadang2 mempunyai juga nama dan daripa-da clannya kepala suku. Dalam kebanyakan nagari maka dari keba- nyakan clan2 itu ada anggauta2nya di situ ; mereka jauh dari pada selalu terhimpun secara sama seperti gabungan empat, lima, enam dan gabungan2 sembilan tersebut tadi. Pengulu andiko dari pada suatu suku memerintah atas suku itu dan dia sen-diri dipimpin oleh seorang pengulu suku; empat pengulu suku itu di bawah pimpinan seorang kepala dusun (pucuq nagari) memerintah atas nagari itu, dengan pengulu andiko tadi. Kepala2 suku di samping oleh manti tiuat urusan pemerintahan umum, oleh dubalang buat urusan polisi dan oldi malim, buat urusan agama; mereka dengan pengulu meru- pakan urang ampeq jinih. Pengangkatan dan pemberhentïan pengulu andiko dalam hukum adat diaitur dengan panjang lebar.

Susunan Minangkabau yaitu : gerombolan2 genealogis yang sedari dulu ber-sama2 mewujudkan suatu masyarakat, maka per-tama2 su­sunan itu cocok dengan susunan di. K R IN C I. Juga di sana ada­lah golongan2 sanaW udara berhukum ibu (lurah, kelebu, perut) yang karib atau tidak satu sama lain, ber-sama2 merupakan dusun diliputi oleh masyarakat wilayah mendapo. Serupa itu juga diberi- takan orang terdapat di kalangan suku B A T IN di Jainbi. Masya- rakat- wilayah territorial (atau gabungan2 dusun) di pulau N IA S termasuk tokoh sedemikian rupa ju g a ; di sana bagian2 daripada pelbagai dan, mado atau gana, baik menetap di satu tempat, baik tinggal terserak di suatu wilayah (di sini mirip tokoh pertama, hal. 40 41) berada di bawah kekuasaan pemerintahan euri, yang bersifat pemerintadian gabungan atau pemerintahan masyarakat wilayali ; dusun2 itu terdiri dari bagian2 dan tersusun menurut hukum bapa di bawah pimpinan kepala2 kerabat, di antara mana seorang menja- bat kepala dusun. Selanjutnya negory di jazirah H IT U (Ambon)

adalah terbentuk dari masyarakat2 hukum genealogis (rumatau) yang menurut hukum bapa susunannya, sedangkan misalnya di ke- pulauan Kei juga bagian2 clan berhukum bapa pula yang mewujud- kan dusun2 di situ. Mereka setengahnya adalah golongan pendu-duk asli dan setengahnya golongan orang* luaran bangsa Indonesia yang mendatang di belakang dan berhasil dapat merebut kekuasaan peme- rintah dusun. Kepala dusun, orang kaya mempunyai hanya sedikit kekuasaan atas kepala2 kerabat (kepala soa).

4. Sebagai tokoh ke 4 daripada susunan rakyat menyusul seka- rang masyarakat2 hukum suku bangsa BATAK . Juga di kalangan mereka terdapat golongan- genealogis ialah clan2 atau bagian2 clan exogaam dan tersusun menurut hukum bapa, yang mendiami daerah nya sendiri. Golongan2 itu tersusun menjadi lapisan2, yaitu dusun kerabat, masyarakat wilayah bagian clan dan daerah clan, tetapi de­ngan tanda ciri istimewa seperti tersebut di atas, ialah bahwa dalam sesama masyarakat itu senantiasa atau liampir senantiasa juga ada berdiam anggauta2 daripada clan2 lain, walaupun dengan hak2 yang kurang, yaitu : salah seorang dari mereka tak dapat menjabat peng- hulu masyarakat, mereka tidak ada hak milik penuh atas tanah per­tanian dan halaman yang didudukinya, namun kedudukannya sede­mikian rupa sehingga mereka harus dianggap sebagai anggauta2 ma­syarakat hukum itu, clan termasuk isi ni huta. Mereka yang menjadi keluarga semenda terkemuka mewakili golongan2nya dalam pemerin- tahan dan kebanyaikan dapat mendirikan dusun sendiri dalam ma­syarakat wilayah (walaupun kedudukan dusun2 itu seluruhnya ada­lah tetap : tempat buat penduduk penumpang saja), namun mereka karena lamanya berdiam 'ber-sama2 mempunyai kedudukan yang amat kokohnya. Clan2 atau bagian2 clan Batak disebut marga, dan bagi­an2 clan yang di sesuatu daerah adalah „tuan rumah” kebanyakan (di bagian Selatan tidak) disebut marga tanah. Dalam bahasa Be- landa disebutnya „heersende” atau „regerende” marga (marga yang menguasai atau marga yang memerintah) berhadapan dengan orang2 dari marga lain (penduduk penumpang) yang di sebelah Utara dise­but parrippé. (Di sebelah Selatan maksudnya parrippé ialah kelas- rakyat, berhadapan dengan kelas penghulu). Dengan menerobos perhubungan antara m-arga tanah dan penduduk penumpang berla- kulah lain perhubungan yang ada pertaliannya dengan perhubungain tersebut pertama tadi dengan cara tertentu, yaitu : marga yang me- nyerahkan wanita2 terhadap mereka yang menerima wanita2. Ma- sing2 marga mempunyai „langganan” tetap dengan marga lainnya yang mengakibatkan, bahwa dalam prinsipnya pemudi2 dari satu marga dikawinkan dengan lelaki2 dari marga yang lain itu. Jadi

yang pertama itu adalah marga yang menyerahkan wanita2 (di T oba disebut hula-hula, di sebelah Selatan : mora, di lain2 tempat disebut lain pula), yang kedua ialah marga yang menerima wanita2, boru (beru) namanya. Perhubungan ini tidak boleli bertimbal-balik, maka dari itu istilahnya : asymmetrisch connubium. Jadi marga yang .ke­dua itu membutuhkan marga nomor tiga lagi sebagai borunya atau marga yang menerima wanata2nya ; marga ïtu sendiri dengan demi- kian menjadi hula-hulanya marga nomor tiga tadi. Begitulah dapat digambarkan dalam pikiran suatu Hngkaran menangkup daripada ti­ga marga atau lebih. Maka suatu lembaga yang sering terdapat ialaJi bahwa marga borunya marga tanah di sesuatu daerah, dalam dusun ada perwakilannya sebagai marga yang menumpang (pertama) atau „ (eerste) bijwonende marga”, maka dalam pada itu kadang2 dise- butnya : marga perkawinan (trouw marga); malahan di bagian Se­latan misalnya adalah satu syarat untuk dapat diakui sebagai huta yang berdiri sendiri ialah bahwa harus marga borunya. raja sudah ada perwakilannya di dusun situ (namanya orang2nya : bayo-bayo na godang) (bandingkanlah ini dengan syarat bahwa negari di M i­nangkabau harus memuat empat suku). Karena hula-hula itu mem­punyai keunggulan hidup yang tertentu atas borunya., maka di sini letaknya keta.klukan.nya yang rangkap daripada boru : sebagai marga PjMwxvma perempuan2 dan sebagai marga penumpang. Di beberapa daerah (Padanglawas) maka hula-hula daripada marga tanah kap keunggulan hidup sebagai sesuatu marga tanah, akan tetapi di (marga berkuasa) mungkin juga adalah marga penumpang, maka di sini keunggulan hidup marga ini sebagai hula-hula tidak merang- sini kekuasaan hula-hula toch kalah dengan kekuasaan boru-nya, karena marga pertama ini hanya penumpang dan karenanya tergan- tung pada boru nya yang berkedudukan marga tanah itu. Dalam kenyataarmya perhubungan2 dalam hal ini sangat ruwetnya karena adanya persimpangan2 dan perkecualian2 yang beraneka wama, tapi orang tahu, bagaimana „sebetulnya” susunan itu menurut mestinya.

Sebaliknya bila membaca lukisaji tentang anak lingkungan hukum ini, orang berpedoman pokok pikiran bahwa masyarakat hukum se­bagai kesatuan daripada susunan masyarakat, adalah masyarakat wilayah (streekgemeenschap) (urung, portahian atau sekarang di­sebut „negari", kuria) dan dusun (huta), jadi bukannya bagian clan- nya; anak cucunya pembangun2 huta merupakan marga tanah (heersende mairga), garis2 pembatasan territoir dusun2 dan wilayah2 memotong bagian2 clan sebagai masyarakat2 hukum terputus dari bagian2 clan induknya (yaitu tempat asal daripada si pembuka dusun itu) ; jadi sesama anggauta clan dari lain tempat tidak termasuk

marga tanah dalam sesuatu dusun yang tertentu. Di bagian Selatan dan sebagai sambungannya daerah ke jurusan Utara di tanah datar tinggi Toba, Baligé, Laguboti dan Lumban Julu, di situ adalalihanya satu (cabang) marga yang „meraja” dalam kuria, dalam negari dan dalam huta dengan penduduk penumpangnya dari marga lain di sampingnya, di daeralinya; (cabang) marga itu di daerah2 Utara na- manya horja, nama mana sesuai dengan pujaan2 yang disajikan ber- sama, ja d i: „persekutuan pujaan”. Dalam beberapa masyarakat2 di daerah situ terdapat juga, bahwa dua atau tiga marga berdiam berdampingan satu sama lain atau campur-baur satu sama lain, ke-tiga2nya adalah marga tanah, jadi kedudukannya satu terhadap yang lain mirip kerabat2 Minangkabau ; bedanya dengan itu terletak di penduduk penumpang yang bersama ketiga marga tanah tadi juga termasuk masyarakat itu. Di daerah Pakpak masyarakat wilayah (atau gabungan dusun2) (aur) kebanyakan meliputii marga yang karib satu sama lain, yang masing2, juga sebagai marga tanah mempunyai da­erah sendiri2 (bandingkanlah dengan N ias). Di semenanjung Samo- sir masyarakat2 wilayah yang besar2 disebut mula2nya : bius; di sana berdiam bersama pelbagai marga tanah, dengan kelompokan dusun2- nya terpisah satu sama lain letaknya. Tanah2 belum terbuka yang termasuk lingkungan hak pertuanan (beschikkingsrecht) ada dalam keadaan tak ter-bagi2. Sebaliknya di Barns maka di sana di masyara­kat wilayah yang besar (sembamr) berdiam beberapa marga tanah atas dasar persetujuan bercampur-baur satu sama lain (bandingkan­lah Gayo), mereka mempunyai daerah „beschikkingsrecht” tak ter- bagi2. Di kalangan orang2 Batak Karo maka kepribadian kampung2 dusun (kesain) terhadap masyarakat yang lebih tinggi (kuta, urung) sangat kuatnya. Juga di sini dipakai sebutan marga tanah untuk marga yang „meraja”. Daerah2 besar yang berdiri sendiri di Sima- lungun itu telali menjadi kerajaan2 kecil2 yang lalim ; masyarakat2 bawahan di sana ada sangat tertekun.

Pemerintahan di semua masyarakat2 wilayali dan di dusun2 per- tama2 terletak di tangan seorang wakil dari marga yang „meraja”, kadang2 dengan dibantu oleh seorang sanak-saudaranya. Selanjut­nya dalam pemerintahan itu hampir senantiasa terdapat wakil2 dari marga born dan di sebelah Selatan juga wakil2 dari marga penum­pang lainnya, yaitu disebutkan, bahwa di sebelah Selatan kuria itu diperintah oleh raja panusunan, kahanggi ni raja (karibnya, pe- suruhnya dalam segala macam pekerjaan, mungkin bakal penggan- tinya), bayo bayo na godang untuk marga borunya raja dan natoras untuk penduduk penumpang lainnya. Dalam kenyataannya kepala kuria memerintah bersama kepala2 dusun dan kadang2 bersama bayo

bayo na godang. Di tanah datar tinggi Toba, Baligé dan sebagainya kcpalanya disebut raja parjolo, yang memerintah dengan pembantu2 dan kaki tangannya : raja portahi; di Samosir raja doli bersama raja portahi, yang di sana adalah kepala2 daripada marga yang „me- raja” ; di Pakpak penjabat2 pemerintahan yaitu kepala2 marga tanah} dinamakan menurut bagian daripada hewan tersembelih, yang mereka berhak menerimanya di waktu upacara2 (parisang isang juga takal aur) parékor ékor dan partulan tengah) bersama dengan beru untuk marga penumpang. Juga di Barus pemerintahan terdiri dari beberapa kepala. Di kalangan Batak Karo maka kampong, kesain, dan dusun diketuai oleh pengulu daripada marga tanah, dibantu oleh anak beru seninanya, ialah ipar dan saudara dalam arti menu­rut ,,abu”nya (klassifi-katorisch) (hal. 150). Urung itu diperintah oleh sebuah dewan kepala2.

Dapat disamakan dengan susunan rakyat Batak ialah susunan daripada beberapa suku2 bangsa di Timur Besar, di mana juga ter­dapat „asymmetrisch- connubium”.

5. Suatu cara lain susunan rakyat daripada yang telah dibica- rakan sampai sekarang ialah golongan genealogis segi dua, yaitu suku (stam) atau bagian2nya : kaum2 (geslachten) (kadang2 dusun didiami sesama anggauta suku) yang mendiami territoir sendiri.

Terutama masyarakat2 tadi terdapat di K a l i m a n t a n . Per­tama kali di sana terdapat DAYAK PUNAN, suatu suku pengembara yang dalam gerombolan2 kecil2 berkeliaran dalam suatu daerah pengembara ; bila mereka menetap baharulah suku seluruhnya da­tang berkumpul jadi satu, sebagaimana halnya dengan suku PE- NYAMBUNG di Barito udik dalam tahun 1905. Yang paling terke- nal sebagai suku2 yang sudah menjadi kesatuan2 yang menetap di- tempat kediamannya sendiri ialah suku D AYAK K E N A di daerah Apokayan, su-ku M AANYAN SIUNG dan suku L A W A N G A N BE LOH. Bagian2 daripada suku itu, ialah kaum2 (kerabat2) memang berdiam menjadi satu dan memang agak berarti, namun masyarakat hukum yang menguasai segala hubungan2 hukum dan perbuatan2 hukum adalah : suku dengan lingkungan hak pertuanan (beschik­kingsrecht)-nya sendiri. Pimpinan ada di tangan kepala2 (penghulu2) suku dengan segala permufakatan dan kerja sama dengan orang2 merdeka laki2 ; sifat2 pribadi kadang2 dapat mengakibatkan kekua­saan besar. Di kalangan suku DAYAK L A W A N G A N lainnya, pula suku KLEM ANTEN di Kota Waringm maka masyarakat2 yang terkemuka ialah dusun2 yang terdiri dari kerabat2 dan yang berda- erah sendiri, meskipun dalam pada itu masyarakat suku tidak ter-

liapus karenanya, tapi hanya bergerak dalam urusan2 mengenai tanah dan pemerintahan. Tingkatan perkembangan berikutnya ter­dapat antara lavn di kalangan suku NGAJU, O T D A N U M dan M A A N YA N P A TA I di Kalimantan Selatan; di sana kerabat2 itu sudah meningkat menjadi masyarakat-.yang berdiri sendiri, perta­lian suku tidak ada artinya. Di wilayah2 sini keadaannya sekarang menjadi demikian : makin mendekat pantai maka kerabat itu makin banyak yang diganti dengan dusun. Orang2 berasal dari golongan genealogis dulu pada asal-mulanya masih juga merupakan kelas yang dilebihkan tentang hak2. alas tanah (paung asal) — sampai juga ini lenyap menjadi dusun territorial seluruhnya (di daerah pantai) yang merupakan masyarakat hukum se-mata2. Hanya di ka­langan beberapa suku, misalnya LO N G G L A T T . LEPO T IM E I dan LEPO ALIM (di Apo Kayan) maka suku2 yang mengembara itu lalu datang berdiam berserak di sesuatu daerah bersama suku2 yang terdapat sudah berdiam di situ, maka mereka dibiarkan dalam kedudukan dl bawah (hal mana makin menjadi kurang) tapi tidak sampai mereka dijadikan budak.

Juga Sulawesi Tengah termasuk tokoh ini. Suku T O M O R I di Sulawesi Tengah Timur masing2 tetap berdiam di daerahnya sendiri dalam masyarakat2 genealogis (suku2) . Masyarakat2 hukum yang asalnya ialah suku yang berdiam di daerah sukunya sendiri, tapi di belakang lalu me-misah2 menjadi dusun2 daripada sesama anggauta suku, adalah masyarakat2nya orang2 T O R A JA yang berbahasa „barée”, walaupun penghulu2 yang berpengaruh masih mempunyai kekuasaan di luar dusunnya atas masyarakat2 karibnya dan walau­pun perairan ikan rupa2nya dapait dianggap sebagai „miliknya suku” . Di kalangan T O R A JA SADAN masyarakat2 wilayahnya di­sebut buah atau penanian dikepalai oleh indo buah atau paréngé dengan kelasnya nomer satu tomakaka ialah anak cucu pembangun masyarakat itu ; buah itu rupa2nya bukannya dusun2 sesama ang­gauta suku se-mata2, dalam arti kata bahwa orang2 luaran dapat dipungut masuk sebagai sesama dalam hak2nya dalam masyarakat, walaupun teranglah kekuasaan ada di tangan tomakaka, kelas mana menghasilkan paréngé pula.

Ikatan genealogis menjadi berkurang dan lenyap di dusun2 dan masyarakat2 wilayah yang akan disebut berikutnya ini. Telah di- terangkan tadi, bahwa masyarakat territorial serupa itu dapat terbit dari masyarakat genealogis, yaitu satu kaum kerabat yajng berdiam di daerahnya sendiri, maka di situ lambat-laun orang2 luaVan menda- pat hal:2 yang sama dengan anak cucu dari kaum yang asli sehingga

mereka karena ikut berdiam di daerah itu juga berhak atas bagian- nya dalam masyarakat; sedangkan mungkin juga bahwa masyarakat2 di mana golongan2 genealogis di satu daerah berdiam campur-baur satu sama lain, di situ karena pertalian kesanak-saudaraan m enjadi lemah masyarakatnya lantas menjadi dusun2 atau wilayah2 territo­rial penuh; proses ini,terjadi — seperti kadang2 di marga di Su­matra Selatan dan di dusun2 pantai di Maluku — di mana golongan.2 pengembara dari pelbagai suku sama menetap ber-sama2 satu sama lain dan di sini mereka menghapuskan segala pembatasan2 satu de­ngan lain. Cara timbulnya masyarakat2 territorial itu tidak daripada 5em.ua lingkungan2 hukum (Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, Jawa) dapat diketahui. *

6. Suatu misal daripada daerah suku yaing sudah menjadi ter­ritoir per-tama2 terdapat rupa2nya di M IN A H A SA . Daerah suku ( = walak) asli beberapa lama (sekarSng sudah tidak lagi) hidup

terus sebagai distrik (dengan kepala distrik), di mana berdiam se- mata2 sesama anggauta suku ; juga sampai sekarang batas2 daerah lama itu masih dihonnati oleh. pemburu2 dan orang2 pengumpul hasil hutan. Di dalam „distrik” itu, yang induk dusunnya atau tem- patn -a. Mediaman pertama masi^i dapat diketahui, maka oleh bebe­rapa kerabat didirikan negory2 baru, yang batas2nya (sesudah empat tahun) ditunjuk dan ditetapkan dengan upacara. Sebagaimana di Minangkabau maka orang dapat menyelidiki asal^ya dusun2 itu sampaï kepada dusun pertama, ialah pokok pangkal daripada asal- nya segenap penduduk. Kerabat di dalam suku „endogaam” itu ter­susun menurut hukum bapa — jadi di mana „b in /b in ti”-nya, (de „van ) (nama kerabatnya) berasal dari fihak bapa, dan kerabat itu diketuai oleh kepala kerabat (tua un teranak) tidak sebagai masya­rakat hukum yang tertutup buat orang2 luaran, tapi sebagai suatu golongan yang ber-sama2 berhak atas harta peninggalan yang tak ter-bagi-. Karena pemetakan distrik2 itu, maka lenyaplah pertalian sanak-saudara sebagai faktor dalam susunan masyarakat2 hukum itu dan buat sekarang negory itu harus dianggap sebagai masyarakat hukum territorial dengan lingkungan beschikkingsrecht-^nya, diurus oleh hukum tua yang dibantu oleh kepala jaga dengan mezuéténg sebagai pembantu2nya pula.

7. Kedua, maka masyarakat2 wilayah di S U M A T E R A S E L A T A N , yaitu marga, setengahnya dapat dianggap sebagai wilayah2 yang didiami oleh sesama anggauta2 clan, di mana tergolongnpa dalam golongan sanak-saudara tak membawa keuntungan hak2 yang mele- bihi lagi, dan setengahnya lagi harus dianggap sebagai suatu pem-

bagian daerah oleh kekuasaan atasan, daerah mana diperkembang- kan menjadi masyarakat wilayah (streekgemeenschap) itu. Dalam marga itu terletak dusun, yaitu desa2 yang sekedar bertegak sendiri.

Di masa lampau (sampai pertengahan abad ke-19), terdapat di sini— sebagaimana sekaramg masih terdapat di Kalimantan — juga segala macam bentuk: orang2 KUBU yang mengembara dalam . gerom­bolan2 kecil2 di daerah perigembaraannya sendiri ; orang2 A N A K LAK 1TAN , yang bergelandangan dari suatu pergabungan tanah ladang kepergabungan lainnya ; orang2 REJANG suatu clan yang telah menetap di daerahnya sendiri ; orang2 JELMA D A YA di daerah KRUÉ, ialah clan2 yang me-mecah3 sebagai bagian2 clan masing-masing dengan daerahnya sendiri2 ; dan orang A B U N G dan PAM IN G G IR di daerah SEM ANGKA termasuk jenis itu juga. Selanjutnya terdapat di daerah Ranau di Bengkulen dan di lain2 tempat bagian2 clan daripada pelbagai clan yang ber-sama- berdiam di lembah sungai atau di wilayah lainnya, kadang2 dengan kedudukan yang lebih unggul buat bagian clan yang berdiam ter- lebih dulu di situ. Selanjutnya pula dalam lingkungan luas sekeliling ibu kota Palembang, dalam daerah „lungguh’'-nya (apanage) sultan2, ialah di Kapungutan, terdapat pemetakan2 dusun kerabat di bawah kekuasaan pemegang2 „lungguh” ; batas2 menurut peme­rintahan ; pegawai2 di pucuk pimpinan ; hanya keraba-t-lah mula2 merupakan masyarakat2 hukum ; pada akhirnya juga ini lenyap pula. Di pantai antara Palembang dan Banten di Lampong, yang tiada kekuasaan untuk mengatur (T U LU N G BAW AN G) terdapat keka- cauan besar di kalangan masyarakat2 genealogis kecil2 di sana (suku) yang berdiam bercampur-baur satu sama lain. Penduduk2 pantai Bengkulen dan orang2 Paminggir sekitar teluk Lampong ber-sama- unsur2 asing merupakan masyarakat2 wilayah campuran.

Pada sekarang marga itu harus dianggap sebagai masyarakat wi­layah territorial, di mana orang dapat menjadi anggauta dengan jalan berdiam di situ dan memasukkan diri untuk dipungut oleh ummat yang mendiami masyarakat situ ; maka makin dekat tanah usul, yaitu ke arah daerah pegunungan, makin ada kemungkinan, bahwa masrh ada pengaruhnya pertalian sanak-saudaxa atas pen­duduk marga itu.

Kepala2 marga dengan gelar pangéran atau depati disebut pasirak ; kepala2 dusun disebut proatin, kria} depati, mangku atau pembarep ; pembantu2nya disebut penggawa, pemangku dan seterusnya; jadi satu dengan kepala2 suku (tuo suku) dan tertua2 kerabat lainnya maka kepala2 dusun di Rejang itu disebut kutai.

8. Di pulau2 kecil2 A M B O N dan di U LIASER yang merupakan masyarakat ialah dusun, nagory, yang di pantai H IT U membawah- kan kerabat2, rumatau, (ialah bagian2 clan) sebagai masyarakat- hukum (hal. 48, 4 9 ) ,tapi di lain2 tempat negory itu hanya meliputi keluarga2. Dulu pada asalnya penduduk berdiam di pedalaman se­bagai clan2 yang tersusun hukum bapa, dan exogaam (aman, héna) di daerahnya sendiri dan terhimpun jadi satu menjadi uli, dalam masa bersejarah maka bentukan negory di pantai itu dipaksaJtannya oleh kekuasaan dari luar. Di si'tu kerabat2 (rumatau, soa) dan kadang2 kerabat2 yang tak karib satu sama lain, berdiam ber-samaJ di bawah satu pemerintah, yang bersandar pada kekuasaan asing pula. Di negory2 Kristen maka sedemikian itu mengakibatkan lenyapnya masyarakat sanak-saudara ; di dalam negory situ hanya datilnh m a­sih tetap sebagai cabang kerabat yang tertentu berhukum bapa, yang memiliki perkebunan2, dan yang merupakan „kerabat2 inti” , yang karena tindakan2 pemerintah Eropah atau pemerintahan negory kadang2 di-robah2 bentuknya menjadi sembarang masyarakat pemilik tanah.

SegoT) itxi dWemudikan oleh kepala negory, disebut „regent , dengan dewan, samYi rajapati namanya. Dalam^dewan itu duduk kepala soa; soa di negory* Kristen sekarang berarti „kam pong" menurut tata usaha pemerintahan.

9. Suatu masyarakat wilayah (wanua atau banua, kadang2 se- besar dusun), di mana sangat menyolok mata perwujudan (materia­lisatie) daripada kesatuan daya hidupnya masyarakat, adalah. perse­kutuan perhiasan (ornamentschap), yaitu yayasan gaukang (gau- kang-stichting) di Sulawesi Selatan; masyarakat2 itu dalam batin satu sama lain terikat oleh perasaan bahwa mereka ber-sama2 m em ­punyai hubungan dengan suatu benda pelik yang ajaib, suatu per­hiasan, yang disebut gaukang, kalompoan atau arajang, menurut kata orang pada asal-mulanya berwujud : sebutir batu yang ditemu- kan, sepucuk cabang berbonggol, sepucuk bendera, sepucu-k tom* bak, sebuah bajak atau lain benda, di dalam mana daya hidup m a­syarakat berpusat dan yang dianggap perwujudan daripada kesa- tuannya masyarakat. Benda pelik itu kebanyakan ditambah dengan barang2 berharga yang di belakang kadang2 mengganti gaukang yang asli.

Pengembaraan2 dari wanua asal dapat juga merupakan masya­rakat2 yang berdiri sendiri, walaupun mereka tak ada gaukang na­mun kebanyakan lalu disebutnya sebagai bermartabat nomor dua, iaJah anawanua. Terhadap swapraja2 Mandar ada tersebut dalam

tulisan bahwa di sana bagian2 dan (apakah kesanak-saudaraannya menurut keturunan fihak lelaki ?) adalah golongan2 yang penting artinya. Tapi masyarakat2nya di mana2 tempat adalah territorial. Pe- merintahnya adalah penjaga (waardijn) perhiasan, yang disebut karaeng, aru, galarang, maradia, dan seterusnya adalah am at ber- aneka warnanya sebutan dan tugas daripada para pembantu dan para kepala- bawahan; pada asalnya dulu masing2 yayasan gaukang ada dewannya, hadat ; susunan rakyat itu sangat dipengaruhi oleh perse- kutuan- kerajaan2 yang kuat — peperangan — gubernemen; na­mun di bawahnya susunan itu tetap hidup terus wanua itu sebaga-i ,,cel” dan bentuk asli daripada kerajaan itu sendiri.

10. Dusun BALI, ialah desa, adalah masyarakat territorial se-bu- lat-nya ; pertalian sanak-saudara di Bali memang betul menghimpun masyarakat2 pemujaan (yang genealogis dan kurang diketahui orang), menjadi satu, namun anggauta2nya berdiam berserakan dibeberapa dusun dan tugasnya tidak lain dari memelihara kuil dan ber-sama2 memuja moyangnya yang di-dewa2kan ; susunannya kera­bat2 adalah menurut hukum bapa, kecuali beberapa dcsa yang ber- susunan menurut luikum bapa-ibu. Desa itu adalah suatu masyarakat yang per-tama2 berdasarkan atas kewajiban dan atas kehendak ber­sama untuk -mensucikan daerahnya buat dewa2nva dan untuk me- mungkinkan penyelenggaraan pujaan2 dan upacara2 agama lain-- nya sebagaimana mustinya. Adalah perbedaan besar dalam susunan2 di luar dan di dalam daerah „lungguh” (apanage-gebied) dulu (yaitu daerah di sebelah Selatan Karangasem, Btdeleng dan Jembrana di- kurangi dengan pegunungan2 Gianyar dan Bangli), pula perbedaan besar antara dusun2 kolot dan dusun2 modern. Dalam dusun2 kolot anggauta2 yang diwajibkan dan berhak pula sebagai anggauta sem- purna untuk turut serta dalam pekerjaan pemujaan, ialalx sejum- lah tetap atau ber-ganti2 (kadang3 duapuluh atau kelipatannya dua- puluh) daripada orang2 dusun yang mempunyai tanah2 pertanian yang harus sudah berkawin. Terdapatlah aturan2 yang sangat ber- beda2 mengenai penggantian bilamana seorang anggauta lowong ; kebanyakan kedudukannya itu dapat diwariskan dalam lingkungan kerabat, ter-kadang2 juga tidak. Orang2 desa yang tertua menger- jakan tugas2 pengurus yang istimewa (pasek, dan sebagainya) ar­tinya, mereka harus mengerjakan tugas istimewa di pemujaan de- wa2. Malahan yang memutuskan perselisihan2 adalah pada hake- katnya anggauta2 pengurus desa, yang menjaga jangan sampai daerah dusun dinajiskan karena perselisihan2. Anggauta2 desa itu disebut desa, krama desa, kanoman dan sebagainya, namanya saban2 lain. Di antara penduduk2 inti ini maka di dalam desa kebanyakan

ada segolongan penduduk desa kelas dua, yang masih juga mem- punyai bagian tanah dan suatu tugas yang terbatas. Penumpang2 dan orang- baru datang, yang pada mulanya menumpang kepada krama desa merupakan lapisan ketiga (sampingan). Selanjutnya di dusun- terletak di luar daerah „lungguh” raja2 dulu, terdapat pelbagai perkumpulan2, yang di bawahkan oleh desa. Pertama : ban jar, yaitu perkumpulan kampong; lalu perkumpulan2 pemuda dan pemudi, perkumpulan2 musik dan sandiwara, dan seterusnya. Dalam daerah „lungguh” maka masyarakat2 hukum serupa itu ter­dapat juga sebagai perkumpulan2 yang merdeka terbentuknya, ti­dak di bawahkan oleh dusun2. Dusun2 model baru mengizimkan masing- penduduk lelaki yang sudah kawin masuk menjadi ang­gauta perkumpulan. desa, mengharuskan mereka masuk anggauta itu, dan desa2 modern itu mempunyai kepala2 desa yang disebut klian, kadang2 dengan beberapa orang pengurus lain ; dain klian itu adalah sebagai gantinya pemerintahan desa oleh anggauta- dusun yang tertua. Menurut kebiasaan (ada juga perkecualiannya) sese- orang menjadi penduduk bilamana ia satu tahun bertempat tinggal di desa, mempunyai rumah halaman dan sudah kawin.

Di samping masyarakat2 atau persekutuan2 tersebut, maka. &\ B all yang besar ua&ah. 'geng&uiu&Ti* pengairan yaitu subak, yangw.Tas&MasK'Vi pelbagai caranya dan hubungannya dengan desa pelba­gai pula caranya; suatu persekutuan di antara pemilik2 saw ah di ba- wah pimpinan klian atau lain pengurus yang bertugas memelihara pe­ngairan. Juga atas subak ini raja2 dulu besar sekali pengaruhnya di daerah2 „lungguh”.

Desa di LOM BOK adalah masyarakat territorial, terdiri dari per­seorangan2 (keluarga2) yang satu sama lain bukan sanak-saudara. Ja mempunyai lingkungan hak pertuanan (beschikkingskring) dan dikemudikan oleii seorang kepala desa.

Juga desa di Jawa adalah masyarakat territorial se-bulat2 nya dan juga terdiri dari perseorangan2 (keluarga2) yang satu sa­ma lain tak ada ikatan sanak-saudara sedikitpun. T idak termasuk

anggauta” desa, artinya bukannya sesama anggauta masyarakat, ialah 'Selainnya penduduk desa berbangsa asing, kebanyakan juga priyayi, walaupun mereka berdiam di desa situ ; namun mereka dapat juga masuk ke dalam masyarakat desa itu.

Anggauta2 desa (hal. 35) dapat di-silah2kan dalam kelas pen­duduk inti (pribumi, sikep, kuli, baku, gogol) yang mempunyai ta- nah pertanian dan rumah halaman dan yang memikul beban2 penuh :

lantas kelas pemilik rumah halaman atau pemilik2 tanah pertanian saja (lindung, indung, dan sebagainya) yang memikul hanya bebe- rapa beban, dan akhirnya : kelas pemilik2 rumah a?tas halaman lain orang (numpang) atau penumpang2 yang mencari nafkah sendiri, (nusup, tlosor) dan mereka yang bekerja untuk mereka yang di- tumpangi; anggauta2 serumah (anggauta2 kerabat), rayat, lidak merupakan kelas tersendiri.

Di B A N TE N desa itu terdiri dari beberapa ampian atau kam- pong agak kecil2 ; kampong2 tadi mempunyai kepala sendiri ialah kokolot, tua-tua, dan seorang penghubung antara penduduk ampian dan kepala desa yang disebut jaro, yang mempunyai beberapa orang pesuruh.

Di PR IAN G AN maka .desa itu terdiri dari kampung atau lembur yang letaknya jauh satu sama laiin. Kepala2 kampung disebut man­dor, punduh, di sini di bawahkan oleh kepala desa (lurah). Lurah itu dibantu oleh beberapa orang polisi, ulu-ulu, dan sebagainya.

Di JA W A T E N G A H dan JAW A T IM U R maka desa yang sebenarnya itu adalah suatu lingkungan kediaman yang disebut krajan dengan dukuh2nya yang di bawahkannya (padukuan). Ke­pala desa (kuwu, bekel, lurah, patinggi) mempunyai kedudukan yang agak autokratis dan mempunyai banyak pembantu2nya (kamitua, bahu, kebayan dan lain3nya) .

Di M A D U R A penduduk berdiam tersiar dikelompokan rumah2 petani; empat sampai sepuluh keluarga, kebanyakan sanak-saudara satu sama lain, bertinggal berkumpul di rumah halamannya sendiri2 dengan tanah2 pertanian di sekitarnya. Beberapa buah kampong méji serupa itu merupakan satu kampong di bawah pimpinan seorang apél, yang di bawahkan lagi oleh kelompokan lebih besar ialah desa, dipimpin oleh kepala desa, yang disebut kalébun. Desa sedemikian itu walaupun hubungannya satu sama lain ada kendor, namun oleh penduduknya dianggap sebagai masyarakat.

Di mana2 kepala2 desa itu mempunyai penulis2 (carik, jurutulis) di sampingnya. Di mana2 juga dalam dusun ada pegawai urusan agama (modin, lebé, alim, ketib dan sebagainya). Di mana2 pendu­duk- inti sekarang berapat di kumpulan2 desa untuk membicarakan urusan2 desa yang penting; kadang2 jarang sekali (di Banten, di Madura) ; di lain2 tempat dengan tertibnya sekali sebulan, sekali dalam tiga puluh lima hari, dan sebagainya; jarang atau kerapnya diadakan rapat ini juga tergantung dari pendapat pegawai2 peme- rimah.

Di zaman dulu ter-tua2 desa itu adalah penjabat- yang sangat penting (yang paling penting) di lapangan kehidupan desa seluruh- nya. Rupa-nya mereka di kebanyakan wilayah sudah dihapuskan.

Beberapa desa merdeka (perdika, pakmicén, mijén, pcsantrén) adalah desa yang dahulukala dibebaskan dari beban- oleh raja, atau mendapat tugas2 istimewa dari raja, masih tetap mempunyai sifat istimewa itu atas persetujuan dari fihak gubernemen.

Jemaah- Kristen itu bukannya desa — walaupun memang ada beberapa desa Kristen — melainkan persekutuan- daripada orang- Kristen yang termasuk dalam satu desa, dengan mempunyai kekayaan sendiri (gereja, kas) dan pengurusan sendiri.

12. Masyarakat- hukum di ACEH adalah se-mata2 territorial pula.

Baik masyarakat wilayah (yang besar) yaitu yang dikemudikan oleh oléebalang, ciq atau apapun juga sebutannya, maupun dusun­nya disebut gampong, meunasah. T i dak ada istilah Pribumi buat masyarakat2 wilayah itu ; wilayah itu adalah landschap2 atau bagian2 landschap (lefaih <lari seratus) atau — bila letaknya /di daerah gu­bernemen — haminte2 Pribumi (Inlandsche gemeenten): M ungkin clan2 yang tersusun menurut hukum bapa (kawom) di bagian2 udik, masih sedikit ada artinya, tapi mereka tidak merupakan unsur dalam Yteiuuk. masyarakat territorial ini. Jabatan daripada pemerintah2 yang autocratis atas masyarakat2 wilayah, ialah daripada uléebalang, ciq, dapat diwariskan. Di puouk piimpinan dusun2 adalah per-tama2 kepala dusun (keuciq, peutua), yang dulu diangkat oleh uléebalang, tapi sejak itu, jabatan itu juga dapat diwariskan. Di samping dia— disebut juga bapa dusun — adalah teungku atau buat di lain tempat; imeum, disebut juga ibu dusun; yang terakhir ini ber- tugas memelihara urusan kerohaniain dan ke Islaman, dan dua pen­jabat ini bersama suatu dewan ter-tua2, ureueng tuha, menjalankan pemerintahan di dusun.

13. Selanjutnya termasuk juga golongan masyarakat2 territorial yang bulat2 : dusun2 di B AN G K A dan B E L IT U N G dan dusun2 di PANTAI2 T IM U R K A L IM A N T A N dan S U M A T R A (Ling­kungan Melayu). Selanjutnya „onderdistrik2” di G O R O N T A L O , ialah masyarakat2 wilayah di bawahkan marsaoléh, dan dusun dalam B O LAAN G M O N GO N D O W dikemudikan oleh kepala dusun, / kimclaha; dibantu oleh pembantu2 probis dan disokong oleh ter­tua2 kerabat (guhangia). Terhadap penduduk2 kepulauan B A N G - GAI di-khabarkan orang bahwa mereka berdiam berserak seliiruh kepulauan dengan tiada sedikitpun ikatan atau hubungan satu sama lain. Kepala2nya : tenggol, yang terdapat di sana, rupa2nya adalah

bikinan raja2 Pribumi yang berasal dari luar. Juga di kalangan sukubangsa N G A D A di pulau FLORES, di antara Manggarai dan Nage, terdapat kehidupan tersiar sendiri2 tanpa hubungan satu sama lain. Kerabat- kecil2 berdiam di sana dengan berdiri sendiri yang satu tak tergantung dari yang lain dan tanpa ikatan masyarakat sedikit- pun di atasnya.

Demikianlah oleh masyarakat2 yang tersebut tadi dikuasailah kehidupan hukum se-hari2 daripada ber-juta2 orang2 Indonesia, dan dipertahankanlah hukum adat oleh p e n g h u l u 2 r a k y a t n y a (volkshoofden), pengulu yang mcmegang adat. T u g a s -menurut

hukum adat daripada penghulu2 rakyat ialah meletakkan suatu pada tempatnya” ( = „elk ding zijn plaats geven”) jadi memelihara juga „ketertiban” (hukum), maka bagian2 dari tugas itu saban2 akan muncul untuk dibicarakan ; baik dipandang dari sudut penjagaan ketertiban hukum (preventieve rechtszorg) maupun dan sudut per­adilan perselisihan2, maka tugas tadi meliputi seluruh lapangan huikum. P e n g l i a s i l a n daripada kepala2 dusun itu (terlepas dari tolong-menolong, pekerjaan dinas untuk kepalanya, hal. 122) mencerminkan macam2 pekerjaannya dan seharusnya — menilik sebutan2nya istimewa — mendapat j>erhatian dari fihak hukum adat. Untuk menerima dan membelanjaikan yang tepat sumbangan2 ber- dasarkan Islaim, yang berupa beras/padi dain wang (jakat sesudah panen) dan pitrah sesudah puasa), maka hal2 ini diurus oleh pega- wai dusun urusan agama.

Bagaimanapun juga pentingnya pembentukan hukum dalam ma­syarakat2 kecil2 itu, namun masyarakat2 itu tidak merupakan ma­syarakat Indonesia seluruhnya. Di samping hukum adat di masyarakat2 itu ada hukum adat dari asal lain, ialah yang tidak terbentuk di masyarakat2 kecil2 itu, walaupun ada keharusannya bertalian dengan itu. Karena di samping — walaupun juga berhubungan — lingkung- an hukum daripada orang2 luar masyarakat (gemeenschapsvreem- den).

2. LIN G K U N G AN RAJA2.*

Walaupun satu sama lain bertalian erat, namun lingkungan raja2 dapat dipandang berhadapan dengan lingkungan rakyat di masya­rakat2 hukum yang kecil2 ; baik raja berasal keturunan dari bangsa penghulu2 di wilayah sendiri, bangsa mana bertumbuh menjadi bangsa raja2, maupun dia seorang Indonesia berasal dari luar daerah situ ataupun bahkan dia seorang berasal dari luar Indonesia, namun di mana2 lingkungan raja2 itu mempunyai corak2 yang sama jenis-

nya. Pribadi raja itu adalah sebagai pemilik kekuasaan, titik pusat daripada kekajaan daya sakti dalam kerajaan itu, beserta lembaga. (kerajaan), perhiasan2 kerajaannya, ialah apa yang disebut upacara. Dapat dikatakan juga, bahwa raja itu di waktu naik takhta mewarisi benda2 keramat itu, atau bahwa benda2 keramat itu (sebagai per- wujudan kesatuan kerajaan) mewarisi dia. Raja dan kerajaannya adalah satu, se-gala2nya dalam kerajaannya adalah miliknya, dalam theori kekuasaannya tak terbatas, ia dihormati secara hamba (By­zantijns) , ia di-dewa2kan; akan tetapi, karena kesejahteraan kera­jaan adalah kesejaJhteraannnya (dan sebaliknya) dan dalam prak- teknya kekuasaannya terbatas, maka dari itu ia tak me-nyinggung2nya dan membiarkannya saja imbangan timbal-balik antara kerajaan dan dirinya itu. Sekitarnya berkerumunlah kerabat raja (bangsawan) dan pegawai2 kerajaan tinggi. Martabatnya terhadap satu sama lain dari atas sampai ke bawah di-beda2kan dengan saksama, untuk per­kawinan2 maka soal martabat ini sangat pentingnya, gelar akademi atau lain2 tanda2 sukses dalam kehidupan jnemungkinkan m em a­suki golongan2 bangsawan tadi, kepada mereka pula yang pada awal- mulanya tak termasuk golongan2 itu. Tanda2 lahir daripada kebe- saran itu dihormati dengan cermatnya. Di Jawa misalnya jangan se-Valv* orang timbul kehendaknya menyajikan air teh kepada se- orang pangeran dengan mempergunakan alat2 yang dapat dipergu- nakan juga untuk seorang tumenggung; tetapi di kalangan mereka yang sudah modern hal sedemikian itu sudah tmakin 'hilang. Di Bali, maka kebangsawanan kasta ( ± 8 % dari penduduk) itu dapat di anggap sebagai golongan yang hidup di luar desa. Di mana orga- nisasi raja2 berasal dari ketumbuhannya susunan rakyat, seperti di Sulawesi Selatan, dan di mana karena pertalian perkawinan terjadi perhubungan erat antara keturunan raja2 dan penghulu2 rakyat (volkshoofden), maka di situ perbedaan antara penghulu2 rakyat dan bangsawan raja2 -adalah lebih beda dalam tingkatannya (gra­dueel) daripada dalam dasarnya (principieel) walaupun kedua go­longan itu tetap dapat di-silah2kan sebagai „golongan” dan „go­longan disisi”, walaupun raja dan kerabatnya berada di luar, dan penghulu2 rakyat rendahan di dalam masyarakat2 kecil2 itu (peng­hulu2 rakyat atasan kadang2 di tengah2nya).

Termasuk bangsawan dan pegawai tinggi juga ialah mereka yang menjalankan pemerintahan atas penduduk, yang menyampaikan perintah2 dan yang menerima dan meneruskan pembayaran pajak2 (mereka dari tingkat atasan berpangkalan di ibukota, mereka dari tingkat bawahan di pedalaman). Pegawai bawahan raja di pedalam- an segera sedikit banyak memperoleh sifat penghulu rakyat (volks-

hoofd). Seluruh golongan digaji oleh raja, karena mereka diberikan hak menarik penghasilan raja dari wilayah yang tertentu. Alam raja dan bangsawan istana dengan bahasa istananya, dengan kese- niannya bunyi2an, tari2an dan sandiwara dengan seni pandai, ukiraij. kayu dan ukiran kulitnya, dengan sasteranya yang telah dilazimkan, mereka semuanya bertinggal di ibukota, maka alam tadi mempunyai adat2 sendiri dan aturan2 hukum sendiri. Tentang pembagiau su­sunan kota2 kerajaan, hubungannya pembagian itu dengan „klassi- fikatie primitief”, yang juga meliputi persusunan seluruh bentuk kerajaan, dan susunan kepegawaian, maka soal2 ini adalah suatu kenyataan yang menarik perhatian tapi belum cukup diselidiki selu- ruhnya (Gorontalo, Tawaili, Ngayogyakarta dan sebagainya) . Adalah suatu organisasi dan susunan ber-tingkat2, yang memberikan kesem- patan kepada para kepala untuk campur tangan dalam urusan kehi­dupan hukum daripada pegawai2 bawahannya; di waktu kematian, di waktu perkawinan, di perjanjian2 atas tanah, dalam urusan hutang piutang wang, dan seterusnya. Hak2 atas tanah di ibukota adalah sebagian hak2 tempat tinggal jabatan (ambtelijke woonrechten) atas tanah halaman, yang makin cenderung ke arah hak yasan, seba­gian pula adalah hak2 sementara buat orang asing (misalnya di kampong2 tempat tinggalnya pedagang2 dari luaran). Penduduk lambat-laun memperoleh hak2 bebas yang dapat diperdagangkan, atas bidang2 kecil2 tanah pekarangan sebagaimana di pedalaman tanah Jawa kadang2 bagian2 kecil2 daripada tanah halaman rumah kabupaten yang luas2 dipindah-tangankan, sehingga jatuh di tangan lain sebagai tanah yasan. Raja adalah hakim tertinggi, ia menyuruh mengadili liwat pengadilan2nya, yang membina hukum kerajaannya berwujud keputusan2nya dan selain daripada itu mengadili juga perselisihan2 di antara hamba2 raja yang tak dapat diputuskan di masyarakat2 kecil2 sehingga ia oleh karenanya ikut memelihara dan mempengaruhi hukum adat daripada masyarakat2 itu. Sebagai pe» doman (instruksi), raja menyampaikan kepada pengadilan2nya suatu undang2 (Ind), suatu nawala (J .), suatu „kitab undang2 hukum”, yang kesemuanya berasal dari dalam negerï sendiri atau dari luarnya. Kemudian — lebih2 karena pengamh Barat — tum- buhlah kebiasaan pembikinan undang2 berupa pranatan (J .), pes- wara (Bal.), undang2, sehingga terdapatlah suatu hukum adat ter­tulis, yang dalam alam rakyat rupa2nya hanya dapat sekedar ber- tumbuih di dusun2 di Ambon dan Bali. Aturan2 desa di Jawa adalah buatan2 pegawai2 pemerintah. Raja adalah kepala agama; ia meme- rintahkan diaturnya urusan2 agama dan dalam sementara hal juga diadilinya perkara, kepada pegawai tertinggi urusan agama, ialah

kepala masjid kota istana. Di bawah hakim2 urusan2 keduniawian dan keagamaan dari pusat ini, maka terbentuklah susunan hakim2 bawahan di tempat2 pemerintahan yang tak begitu penting dalam daerah kerajaan. Buat orang2 luar masyarakat (penduduk kota, pegawai2) maka pemegang hukum itu lebih pentingnya daripada buat rakyat di luar tempat2 situ.

Alam raja2, walaupun di satu fihak berkedudukan jauh dari alam rakyat, namun berhubungan dengan itu juga. Raja itu asal ketu- runan dari pahlawan sakti di alam gaibnya rakyat; arti kesaktian benda2 pusaka kerajaan disadari oleh segenap rakyat dari tingkatan atas sampai ke bawah; pesta2 dan kenduri2 dengan pembagiannya makanan2 mengeratkan persatuan antara raja dan rakyat dengan cara mutlak dan jitu buat kedua fihak; dalam urusan perselisihan antara masyarakat2 yang dapat menimbulkan perang saudara antara dusun2, pula dalam urusan pengaduan melawan penghulu2 rakyat, maka pengaduan dihadapkan raja, yang keputusannya ditaatinya. Acapkali raja dalam kedudukan sedemikian itu dimohon menjadi wasit di daerah2 pedalaman; sebaliknya sekali tempo dengan sengaja pengadilan2 raja dan kekuasaan raja untuk mengadili, di- jauhkan dari lingkungan dusun, itupun untuk menolak pengaruh ra\a (sebagaimana dulu terjadi oleh Tnganan Pagringsingan me­lawan Karangasem, Bali). Selaku perseorangan si orang kecil dapat menerobos semua instansi2 dan dengan berpakaian putih mexnohon keadilan tertinggi dari raja sendiri (pépé J,) ; juga dalam rombongan2 besar rakyat dapat mengadu tentang sesuatu ketidakadilan kepada raja (massa klacht).

Perempuan2 dari golongan rakyat dipungut oleh lelaki2 bangsa- wan sebagai isteri (atau bini muda); pertalian kekerabatan antara penghulu2 rakyat dan bangsawan raja2 memperkokoh persatuan satu sama lain. Raja pada umumnya membiarkan masyarakat2 itu melangsungkan kehidupannya (hukum) sendiri2 ; titik pertemuan ialaJi p e m u n g u t a n 2 wang, hasil bumi dan tenaga. Pu- ngutan2 raja acapkali dapat sesuai benar dengan kewajiban2 me- nurut hukum adat daripada anggauta2 masyarakat terhadap peng- hulu2nya, misalnya : tolong-menolong (hal. 128) dan bila demikian maka dipakai terus namanya, misalnya : kasuwiyang (Sulawesi Sela­tan) . Dalam urusan pungutan itu maka penghulu2 itu adalah peran- tara daripada rakyat dan raja. Penaikan beban pekerjaan rodi adalah suatu kenyataan yang terkenal, begitu juga sebaliknya pen- cegahan tuntutan2 raja yang tak sesuai dengan adat di kalangan rakyat. Lebih2 di mana pegawai2 digaji dengan pungutan2 tadi

(„lungguh hal. 96) maka pungutan itu ber-ulang2 mengacaukan atau membinasakan masyarakat- hukum (para pemborong mendesak kedudukan penghulu2) . Dalam lebih dari satu wilayah (Sulawesi Selatan, Sumbawa, Jawa) dulu terdapat suatu organisasi luas da­ripada tukang2 kerajinan tangan hamba raja yang satu sama lain dipersatukan dengan pertalian turun-temurun (ikatan pertukangan hamba2 raja) .

Timbulnya alam raja2 ini berarti juga timbulnya golongan per- tama daripada orang2 Indonesia yang hidup di luar masyarakat2 ; apa yang dulu banyak terdapat, pada sekarang sudah banyak yang tidak ada lagi, dan banyak setengaihnya berlangsung terus tapi dalam suatu bentuk yang berlainan: raja2 dan priyayi di Jawa; raja2 dan keturunan raja2 di Aceh, bangsawan2 Aceh di Padang, bang­sawan2 Jawa dan bangsawan2 pribumi di Palembang dan Jambi, di daerah Melayu dan Sumatra, di Kalimantan, Sulawesi, Ternate, Tidore, kepulauan Timor, Bima dan Sumbawa, Bali dan Lombok.

3. PEDAGANG2.

Tepat disebut orang2 asing dalam masyarakat (gemeenschaps- vreemden), juga asing di luar alam raja2, ialah orang2 dagang. Mereka di kota2 kerajaan mengadakan kampung2 sendiri, hal mana penting sekali buat perekonomian kerajaan. Untuk menghadapi alam rakyat, maka mereka berlindung di bawah kekuasaan raja atau pembesar2 rendahan, sebagaimana di Toraja Barat, seorang mu- safir asing mendapat jaminan bantuan pembesar daerah situ de­ngan jalan imemberikan persembahan kepadanya. Kadang2 mereka mempersatukan diri di alam rakyat di tempat kediamannya bersama, misalnya di pasar yang berdiri sendiri di Sumatra Selatan, di Tapa- nuli Selatan ; di Simeuluë orang2 asing itu merupakan suku sendiri, ialah suku dagang. Mereka berdiam selaku perseorangan2 asing (terhadap masyarakat), campur dengan orang2 dari suku2 bangsa lain di tempat2 kediaman pemerintahan dan di tempat2 pelabuhan. Hukum tak tertulis yang berlaku atas perhubungannya dengan pen­duduk masyarakat2 Pribumi adalah tergantung bulat2 di satu fihak dari hukum adatnya persekutuan kecil itu, tapi juga di lain fihak sangat di pengaruhi oleh kebutuhan2 yang mengandung hukum dari­pada hakim2 jabatan, (kadang2) juga dari hakim2 agama dan dari­pada pemeliharaan hukum oleh advocaat2 dan notaris2 — itupun sepanjang penjabat2 tadi sadar akan sudut konstruiktief daripada tugasnya. Terhadap ketertiban hukum daripada gubernemen (atau daripada raja), maka mereka tidak dikecualikan dari perlindungan,

p em D flaan aan pelonggaran yang DefiaTtu atas KetertfUan ftuRum di dusun2. Persoalan2 hukum seperti soal timbulnya bunga m enurut hukum (wettelijke interessen), hal2 di mana harus dianggap ada tergugurnya hak (rechtsverwerking), perlindungan kepentingan pemberi2 hutang bilamana si peminjam tak mampu sama sekali untuk membayar dan banyak soal2 laijtnya lagi, maka kesemuanya itu ada patokannya sendiri buat perhubungan2 hukum di kalangan mereka.

4. M ELAN TASN YA SUSUNAN P E M E R IN T A H A N RAJA2 DAN G UBER N EM EN -KE D A L A M

M A SY A R A K A T 2.

Antara kehidupan hukum masyarakat2 hukum Pribumi dan ke- terriban hukum daripada raja2 dan daripada gubernemen sebagai- mana dapat dimengerti selalu terdapat ketegangan yang tertentu. Masyarakat2 itu, bilamana tak tercekek mati tetap berdiri sendiri sebagai lingkungan2 hukum, ke luar dari ketertiban hukum yang me- nyelubunginya. Yang menyebabkan ketegangan ialah karena kedua- nya bersangkutan dengan obyekt yang sama.

Vengaruh -yang m e r u s a k dari pusat kerajaan2 terutama me- mmpa masyarakat yang terletak sekitar kediaman raja2, itupun karena pemenntahan raja* sendiri yang intensief, karena penghu- ta- rakyat diganti dengan pegawai raja, karena pemindahan tangan daripada tanah untuk di miliki sendiri, pemberian „lun ggu h" (apa­nages) kecil2 kepada orang^ lain (yaitu pegawai2 atau sanak-saudara diberi hak memungut hasil daripada beberapa kerabat atau daripada beberapa bidang sawah dari masyarakat2 (gemeenschappen) , yang batas2nya diabaikan, untuk diri sendiri, pungutan mana semustinya kepunyaan dan diperurttukkan raja yang memberikannya („lung­guh)” itu. Pengaruh2 sedemikian itu meresap ke dalam kesultanan Aceh, Palembang, Jambi, kesultanan2 Sumatra Timur, meresap ke da­lam kerajaan2 yang kuat di Sulawesi Selatan (Bone, Gowa dan seba- gainya), Ternate dan Tidore, Bali dan Lombok dan di Jawa di naga- ragung. Tidak selalu masyarakat itu menjadi rusak seluruhnya ka- renanya; desa di Bali tetap suatu masyarakat hukum walaupun le- taknya di daerah „lungguh”, namun dusun2 di situ toch berbeda dengan desa di lain2 tempat, antaTa lain karena „raja melantas ke dalam desa”. Kemudian — karena pengaruh Belanda — maka di wilayah2 situ kadang2 masyarakat2 itu dipulihkan lagi, hal mana sebagai misal yang jelas ialah penyusunan kembali (reorganisatie) di daerah2 swapraja di Jawa.

Kedua : kekuasaan pemerintahan raja dari luaran terhadap ma­syarakat2 berpengaruh m e m p e r k o k o h , yaitu terhadfp masya- rakat2 yang jauh^ letaknya, yang oleh karena dianggapnya sebagai kesatuan2 wilayah pungutan pajak dan pekerjaan rodi, maka dari itu dengan sendirinya bentuknya ke dalam mestinya dijadikan lebih kokoh, misalnya : Banten terhadap marga dan bandaria Lam* pong Palembang terhadap sikep marga — Ternate (barangkali) ' terhadap negory2 di Ambon, terhadap clan di daerah clannya sendiri di kepulauan Sula — Karaijgasem dan kerajaan2 lain^iya di Bali

•terhadap desa di' luar daerah lungguh — Jawa terhadap desa di daerah mancanegara. Kekuasaan penghulu2 masyarakat bertambah; kepentingan2 masyarakat mendesak sehingga buat anggauta2 masya­rakat lapangan hidupnya pribadi hanya tinggal sedikit; kepentingan masyarakat h a r u s didahulukan, lebih2 mengenai soal tanah. Ditambah pula kedudukan raja2 sebagai hakim dalam perselisihan2 masyarakat3 itu satu lawan lain, pula berhubung dengan itu keba­nyakan lantas diberikan piagam sebagai surat pengesahan, maka kesemuanya itu adalah daya yang memperkokoh masyarakat2 itu dalam bentuknya ke dalam. Namun di dalam masyarakat2 itu maka selainnya kepentingan masyarakat sendiri adalah kepentingan lain yang tak dapat diabaikan. Kepentingan dan kehendak raja menjadi faktor2 yang dapat dibandel oleh masyaTakat itu, tapi se-tidak2nya toch merupakan faktor2 yang harus diperhitungkan juga.

Juga gubernemen Belanda sampai pada tingkatan tertentu dan sejalan dengan pemerintahan raja2 mempengaruhi bentuknya su­sunan rakyat. Di beberapa tempat — di kota2 besar — pengaruhnya m e r u s a k ; di Jakarta, Surabaya dan di kota serupa itu — tapi dalam batas sempit — masyarakat hukum Pribumi tak tampak sama sekali. Hanya sekali — yaitu di Lampung — masyarakat di situ tak diakui, lalu dihapuskan, tapi buat siapa yang meninjaunya lebih dalam masih ternyata tegas berlangsungnya terus masyarakat itu tapi berada dalam kekacauan — maka masyarakat itu sejak tahun 1928 dipulihkan kembali menurut hukum adat.

Di samping itu pengaruh gubernemen juga bersifat m e m p e r ­k o k o h , di mana gubernemen itu seperti raja2, menetapkan masyarakat2 itu sebagai kesatuan2 untuk pungutannya pajak dan pekerjaan ro d i; kadang2 sama halnya dengan raja2 cocok de- ngan pungutan pekerjaan untuk penghulu2nya, ialah adat to- long-menolong ; contohnya yang tertua ialah barangkali tuntutan Compagnie mengenai pekerjaan dinas buat perjalanan2 hongi atas dasar pekerjaan dinas di Ambon untuk penghulu2nya yaitu apa

yang disebut pekerjaan kwarto. Pengaruh gubernemen dulu kadang2 juga bersifat m e m b a n g u n di mana di wilayah2 yang tak ter­atur timbul dusun2 yang bertumbuh dan seterusnya hidup langsung dalam suasana Pribumi, ialah suatu proses yang acapkali terjadi, yang penting sekali ialah dipertahankannya hak2 dalam masyarakat2 itu terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh penghulu2 rakyat. Cara2 untuk membela diri yang dulu ada pada rakyat (pindah ke lain tempat, mengamuk) makin sukar buat dijalankan. Maka dari itu tambah perlu, bahwa hakim (orang pemerintah) yang berada di atas masyarakat2 melindungi hak2 anggauta2 masyarakat itu ter­hadap tindakan se-wenang2 dari penghulu2 ; tapi justru dalam hal ini maka tindakan melindungi yang sangat (kesangatan) meluas dapat menyendi benar2.

Tujuan pemerintahan gubernemen ialah pemeliharaan kesejah- teraan positief, menyebabkan pelancaran ke dalam dusun2, hal mana lebih hebatnya daripada pemerintahan raja2 Pribumi, dan oleh karenanya mengakibatkan perobahan2 dalam kehidupan masyarakat Dalam pada itu adalah terlalu sukar mem-beda2kan antara sernu dan sungguh, karena dengan dicatnya baru yang sesuai dengan undang2 haminte Bumiputera (Inlandse gemeenteordonnanties) lama itu, kehidupan hukum yang sebeua.xw^denman Üengan pengurusannya tanah, dengan•ïEÜföi«g-menolongnya satu sama lain, berlangsung terus atau dapat berlangsung terus dengan tiada atau hampir tiada gangguannya. Undang- Haminte Bumiputera untuk luar Jawa tahun 1938 (Staats­blad no. 490) dengan terang2an memberi kesempatan untuk itu. Bahkan gabungan2 dan pemecahan2 persekutuan2 yang acapkali mengerikan dalam caranya melaksanakannya, bahkan pengangkatan penghulu2 oleh fihak gubernemen dan bikinan2 pangrehpraja yajig dijalankan sebagai „aturan desa” (dorpsregeling), kesemuanya itu kebanyakan adalah sebagai kulit luar, bukannya bagian dalam, walaupun tak dapat diungkiri pengaruhnya tindakan2 tadi bahkan kadang2 pengaruh itu sangat mendalamnya. Bagaimana kejadian- nya perpaduan di masing2 wilayah antara bentuk menurut keleng- kapannya di satu fihak dan daya hidup masyarakat dengan pengaruh2 dari luar yang sudah meresapnya dan sedang meresapnya d i lain fihak, maka perpaduan itu muda!i2an lebih banyak daripada seka- rang, dilukiskan orang dalam risalah2 (monografieën) masyarakat2 hukum* ) . Dalam pada itu hendaknya di-sendiri2kan lukisan ten-

♦) Seperti buah tangan Friedericy : „Ponré” , dan „Tnganan Pagring-sirigan” oleh K om .

tang lembaga2 dan hubungan2 sosial dan cara2 berjalannya itu di satu fihak dan pencatatan adanya b e n t u k 2 h u k u m , adanya h u k u m p o s i t i e f yang disvmpulkan dari këputusan2 dan aturan2 di lain fihak, bentuk2 hukum mana pula dapat menjadi bahan2 buat penyelidikan ke arah nilai2nya functioneel. Mengenai kedua persoalan itu ; ialah lukisan kenyataan2 sosial menurut cara functioneel dan pencatatan berdasar hukum adat dari adanya hukum yang berlaku, maka masing2 dari keduanya itu janganlah diabaikan hendaknya ; buat hakim maka k e * d u a 2n y a adalah penting (hal. 275).

BAB K ED U A. H U K U M T A N A H .

1. H A K P E R T U A N A N (BESCHIKKINGSRECHT) D A R IP A D A M A SYA R A K A T2.

Hubungan hidup antara ummat manusia yang teratur susunan- nya dan bertalian satu sama lain di satu fihak dan tanah di lain fihak yaitu tanah di mana mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah di mana mereka dimakamkan dan yang men­jadi tempat kediaman orang2 halus pelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah di mana meresap daya2 hidup, termasuk juga hidupnya ummat itu dan karenanya tergantung dari padanya, maka pertalian demikian itu yang dirasakan dan berakar dalam alam pikirannya „serba berpasangan” (participerend denken) itu dapat dan seharusnya dianggap sebagai p e r t a l i a n h u k u m (rechts­betrekking) ummat manusia terhadap tanah. Sebagaimana kita telah maklum, maka ummat manusia itu ada yang berdiam di suatu pusat tempat kediaman — dengan atau tiada pedukuhan2nya — yang lan- tas disebut masyarakat dusun (dorpsgemeenschap), atau mereka ada yang berdiam tersebar di pusat2 kediaman yang sama nilainya. satu sama lain, di suatu wilayah yang terbatas, maka bila demikian mereka merupakan masyarakat wilayah (streekgeineenschap).

Gerombolan itu berhak atas tanah itu, mempunyai hak tertentu atas tanah itu, dan melakukan hak itu baik ke luar maupun ke da­lam. Berdasarkan atas berlakunya haknya ke luar, maka gerombolan itu sebagai kesatuan berkuasa memungut hasil dari tanah itu dengan menolak Iain2 orang berbuat sedemikian itu, pula sebagai kesatuan ia bertanggung jawab terhadap orang2 luaran masyarakat at a* per­buatan2 pelanggaran (delikten) di bumi masyarakat situ yang sudah dilakukan oleh orang2 yang tak dapat diketemukan. Berdasarkan atas berlakunya hak ke dalam maka masyarakat itu mengatur pe- mungutan hasil oleh anggauta2nya, yang berdasarkan atas hak dari­pada masyarakat itu bersama, dan agar supaya masing2 anggauta mendapat bagiannya yang sail, maka masyarakat itu juga b e r h a ­d a p a n dengan anggauta2nya, dengan jalan membatasi tuntutan2 dan hak2 perseorangan3 (untuk kepentingan masyarakat) dan de- ngan jalan melepaskan tanah2 yang langsung diperuntukkan kepentingan2 masyarakat2 dari usaha2 perseorangan yang memungut hasilnya untuk diri sendiri. Hak daripada masyarakat atas tanah itu, yang dalam lukisan2 kuno disebut dengan sebutan2 „hak eigendom’' (eigendomsrecht) dan „hak yasan kominal” (communaal bezits­recht) , hal mana menyebabkan jalman2 yang ruwet, maka oleh Van

Vollenhoven diberi nama „ be s c h i k k i n g s r e c h t” (hak per- tuanan), nama mana sebelufflnya itu oleh lain2 orang sudah pernah dipakai dengan sambil lalu saja, tapi sejak itu telah menjadi istilah tekhnis. Menurut ilmu sastera istilah tadi mudah menimbulkan salah tafsiran, oleh karena hak untuk „beschikken” (menguasai mutlak) dalam arti kata memindahkan tangan, justru hak sedemi- kan itu t i d a k ada pada masyarakat itu (hal. 81). Tapi menurut sejarahnya tidak mungkin menimbulkannya salah faham, karena Van Vollenhoven seketika di waktu pemberian nama itu pada tahun 1909 (dalam tulisannya „miskenningen”, hal. 19, 20) dan sesudah- nya itu ber-ulang2, enam tanda2 „beschikkingsrecht” (liak pertuan- an) itu — di antara mana „tidak boleh dipindahkan tangan — dengan tegas dilukiskan.

B e r l a k u n y a ke d a l a m. Masyarakat itu, dalam arti kata anggauta2nya bersama, mempergunakan hak pertuanan (beschik­kingsrecht)-nya berupa dan dengan jalan meraungut keuntungan dari tanah itu dan dari binatang2 dan tanaman2 yang terdapat dengan tak terpelihara di situ. Masyarakat itu, dalam arti kata kesatuan daripada anggauta2nya, fmembatasi kebebasan berbuat da­ripada anggauta2 perseorangan berdasarkan atas haknya atas tanah itu dan untuk kepentingannya sendiri (kepentingan masyarakat.). Hubungan hak pertuanan terhadap hak2 oran^ seorang adalah me- nguncup-mengembang bertimbal-balik dengan tiada hentinya. Be- sarnya perbedaan — dipandang dari sudut nilai sosial — hak orang seorang terhadap hak masyarakat mengakibatkan sama besarnya ke- kuatannya hak masyarakat untuk mempertahankan diri terhadap hak orang seorang itu, demikian juga sebaliknya. Tindakan2 dari luar, hal mana nanti dibicarakan lebih lanjut, mempengaruhi de­ngan pelbagai cara berlakunya hak. masyarakat itu. Hampir tiada tempat di Nusantara ini (kecuali mungkin di kepulauan Banggai, di Ngada di Flores) yang tiada sama sekali terdapat ta.nda2 adanya „beschikkingsrecht” itu ; isinya — dalam arti kata hukum positief - - ada berbeda sangat satu sama lain, ialah karena faktor2 termaksud di atas. Apa yang di sini terutama akan diuraikan, adalah melukiskan tokoh dasar di Indonesia sini daripada hak pertuanan itu.

cifnf reristimewa daripada hak pertuanan, sehingga membutuh- kannya nama tersendiri itu, ialah terletak pada daya timbal-balik dari pada hak itu terhadap hak2 orang seorang. Makin memperkuat ang­gauta masyarakat (karena pengolahnya tanah) hubungannya perse- orangan dengan sebidang tanah yang tertèncu daripada bumi yang diHf"lfl 7 h^ hllckingsrecht”, makin mem per dalam ia hubungannya

hukum perseorangan (terhadap tanah itu), maka makin surutlah jiak-nya masyarakat terhadap sebidang tanah pertanian, kolam ikan atau tanah pekarangan itu. Bilamana hubungan perseorangan atas tanah itu berkurang atau bila hubungan itu diabaikan terus-mene- rus, maka pulihlah hak2nya masyarakat, dan „beschikkingsrecht” atas tanah itu berlaku kembali dengan tiada gangguannya. Mengenai tanah2 pertanian di Tapanuli Selatan yang dicabut kembali karena orang2nya penumpang yang mengolahnya meninggalkan kuria, ma­ka tanah- itu (salipi na tartar) dibagikan kepada orang2 baru atau orang2 miskin -dengan „hak pakai”. Di beberapa lingkungan hukum maka hak2 perseorangan daripada anggauta2 atas sawah yang di- tinggalkan, bertahan sampai lama lawan hak masyarakat itu. Di Minahasa- pada pokoknya hak2 perseorangan atas tanah yang terbuka itu bertahan se-lama2nya sampai abadi, di sana tidak ada pencabutan kembali secara pelan2 atau cepat daripada tanah2 yang ditinggal- kan, untuk kepentingan ,;besohikkingsrecht” yang utuh ; tetapi se- baliknya dalam lingkungan hukum situ masyarakat ada kekuasaan (berdasarkan atas „beschikkingsrecht”) untuk memberikan hak2 sementara (hak2 pakai) kepada sesama anggauta atas tanah „hak miliknya” lain2 orang, sebagaimana terdapat di Batak atas sawah- nya anggauta marga yang „meraja” (de heersende marga) disitu.

Di beberapa lingkungan hukum maka kesadaran mengenai adanya hubungan masyarakat dengan tanah itu terbukti dari adanya sela- matan2 pada waktu yang tetap di tempat2 selamatan dusün di bawah pimpinan penghulu2 masyarakat pada permulaan mengerjakan ta­nah ; sedangkan keyakinan dari adanya pertalian hidup antara um- mat dan t^nah juga kentara di waktu pesta2 pembersihan dusun sesudah panen dan di waktu upacara2 sebagai itu.

Anggauta2 masyarakat yang sebagai perseorangan memungut hasil dari tanah itu, dalam kebanyakan lingkungan hukum pada pokok- selama penggarapan tanah itu se-mata2 diperuntukkan buat nafkah- nya masih diakui bahwa mereka mempergunakan hak masyarakat, keluarganya atau kerabatnya sendiri. Bila anggauta2 itu melewati batas (misalnya menggarap tanah itu untuk maksud perdagangan) maka mereka diperlakukan seberapa jauh sebagai orang2 luaran masyarakat, dan hak masyarakat „ke luar” berlaku terhadap mereka itu (seberapa jau h ).

Sebagai (sesama) pendukung hak masyarakat maka anggauta itu mempunyai hak untuk berburu dan mengumpulkan hasil hutan untuk dipakai sendiri dan dengan demikian ia memperoleh hak milik atas apa yang diperolehnya; selanjutnya ia ada hak meng-

ambil buat dimilikinya pohon2 yang tumbuh sendiri di hutan2 itu. Perbuatan sedemikiaji itu menimbulkan pertalian perseorangan da­lam hukum antara anggauta dan pohon itu ; dan meskipun perbuatan tadi dijalankannya berdasar atas keanggautaannya daripada masya­rakat pemilik „beschikkingsrecht” itu, namun pertalian hukum se­cara perseorangan yang telah ditimbulkan itu selanjutnya menera* patkan si anggauta itu sedikit banyak berhadapan dengan masyara­kat itu. Pertalian pribadi itu diselenggarakan setelah si anggauta itu mengadakan pujaan dan menempelkan sesuatu tanda, ialah tan­da larangan dan tanda milik, dalam pada itu misalnya juga dipan- cangnya pasak2 untuk dapat dipanjatnya pohon itu atau ditebang- nya tanaman2 sekitar pohon itu supaya menjadi bersih. Sejak itu maka pohon itu buat sementara dilepaskan dari kekuasaan anggau­ta2 lainnya untuk dipungut hasilnya ; hak masyarakat menjadi ter- lekuk, setengahnya terdesak ke luar, namun hak masyarakat itu masih tetap meliputi hak pribadi, sebagaimana perseorangan diliputi oleh ummat seluruhnya, pujaan (offer) perseorangan diliputi oleh pujaannya masyarakat. Bila tanda2 itu menjadi tidak kentara lagi karena kulit pohon atau cabang2 itu bertumbuh kembali, maka hak masyarakat herpulih kembali sepenuhnya pula dengan menghapus- kan hak perseorangan itu, maka masing2 anggauta dapat lagi me- miliki pohon itu menurut hukum.

Akhirnya anggauta masyarakat itu ada hak membuka tanah (ont- ginningsrecht), yaitu ia dapat menyelen'ggarakan hubungan sendiri terhadap sebidang tanah sebagai sebagian dari lingkungan hak per- tuanan (besehikkingskring). Hak membuka tanah itu menurut hu­kum adat adalah hanya salah satu daripada tanda2 lahir daripada „beschikkingsrecht” dan hanya ada pada anggauta2 masyarakat atas tanah2 di lingkungan hak pertuanan sendiri (walaupun pada pokok- nya hak membuka tanah itu dapat diperoleh oleh orang2 luaran saban2 buat satu panen). Bila pembukaan tanah itu dilaksanakan di bawah pimpinan penghulu2 ber-sama^ dan mereka yang mcm- bagi2kannya menjadi tanah2 pertanian perseorangan, kemudian di tahun berikutnya lagi terjadi demikian, sedang bagian yang diting- galkan itu telah tertutup oleh semak2, maka di situ hubungan per­seorangan adalah tidak-berapa lama dan lemah, sedangkan pertalian masyarakat yang meliputinyj adalah kuat. Bila si anggauta sendiri memilih sebidang tanah hutan dan di sana menaruhkan tandanya dengan setahunya penghulu, dan di sana mengadakan pujaan pula, maka dengan demikian ia telah melaksanakan pertalian hukum dalam lingkungan ketertiban masyarakat; hal itu berarti, bahwa di antara anggauta2 hanya dialah yang berhak mengerjakan tanah

itu sebagai tanah pertanian, ialah tanah pertanian buat dia seke- luarga, asal selalu dikerjakannya penebangan, pembakaran dan penanaman ; jikalau dia melewatkan musimnya yang tertentu maka dapatlah ia oleh anggauta lainnya dipaksa memilih (berdasarkan „beschikkingsrecht”) : di antara „terus mengerjakan tanah itu untuk diri sendiri” atau „menyerahkannya kepada orang lain” . Dengan perkataan lain ia sementara hanya mempunyai h a k t e r d a h u l u , (voorkeursrecht) atas tanah itu. Bila ia meneruskan pekerjaannya membuka dan menanami tanali itu sampai selesai, maka ia sebagai perkecualian menurut hukum hanya mempunyai hak perseorangan selama satu tanaman, sampai panennya, jadi ia hanya mempunyai h a k m e n i k m a t i (genotrecht). Acapkali ia mempunyai „hak menikmati” m e n u r u t k e n y a t a a n n y a , karena tanahnya se- sudah panert sudah „habis” , tak dapat menghasilkan sama sekali, setelah ia meninggalkan tanali itu, maka masih tetap ada padanya „hak terdahulu” (voorkeursrecht) atas tanah itu, selama pohonJan dan semak- yang tumbuh liar belum mencapai besar batang yang tertentu, tapi sesudah mencapainya itu, maka hubungan hak perse­orangan itu lenyaplah (di Minahasa tidak, hal. 74) dan „beschik­kingsrecht” timbul kembali dengan tiada gangguannya. Ia dapat memegang teguh haknya itu dengan jalan menanaminya dengan pohon2 buah2an atau pohon2 karet ; bukannya dengan jalan mena- nam satu pohon atau beberapa polion, karena bila demikian ia hanya memperoleh hak milik atas pohon2 itu belaka, tapi harus ia menanam pohon2 sebegitu banyaknya sehingga tanah itu meiu- pakan kebun buah2an, kebun karet atau kebun kopi. Dengan demi­kian haknya atas tanah seharusnya disebut h a k m i l i k atau „Inlands bezitsrecht” (busuran di kebun2 kopi di Jawa T im u r), walaupun tanah itu bila tak dipelihara dapat haknya beralih ke „hak terdahulu” dan selanjutnya lenyap sama sekali. Akhirnya ia dapat mencetak tanah2 pertanian yang saban tahun dikerjakannya dan tanda2 daripada tujuannya itu berupa tanggul, saluran air atau saluran serupa itu dan halaman2 rumah, yang didiami terus- menerus, maka di atas tanah itu ia tetap mempunyai hak milik, selama, biarpun sedikit, masih nampak sisa2 daripada tanggul- sawah dan tiang2 rumah itu. Tanah2 pertanian dan halaman2 rumah sede­mikian itu dapat diwariskan dan pemiliknya Pribumi kebanyakan dapat menjualnya dalam lingkungan masyarakat itu sendiri. Apakah ia dapat menjualnya kepada orang2 di luar daerahnya, hal ini ter- gantung dari apakah „beschikkingsrecht” dalam berlakunya ke luar tetap menolaknya atau sudah tak berdaya lagi akan menolaknya.

Mungkin juga yang tinggal hanya h a k t e r d a h u l u u n t u k b e l i ( t a n a h t e t a n g g a ) ( n a a s t i n g s r e c h t) untuk se­sama anggauta, yang untuk mencegah jangan sampai orang asing membeli tanah tetangganya itu, berhak ia membelinya sendiri se- harga sama dengan tawaran si asing.

Terhadap ladang2 dan kebun2 buah2an yang sudah tetap, maka masyarakat itu tetap melakukan hak pertuanannya pada pokoknya dengan jalan mengambil kembali tanah2 pertanian itu sesudah ma- tinya pemunjanya dan selanjutnya diberikannya kepada seorang penduduk dusun yang diangkat menjadi penduduk inti dari dusun situ, atau diberikannya (kebanyakan) kepada warisnya yang terpilih (hal. 250); dengan jalan menggantikan kedudukan ayah oleh anak- nva lelaki sesudah ia kawin ; dengan jalan menjaga jangan sampai seseorang penduduk inti dari dusun itu mempunyai lebih dari sebi­dang tanah pertanian yang biasa luasnya, jadi diadakan larangan raenjual tanahnya dalam lingkungan dusun itu, sehingga dalam pokoknya semua penduduk dusun secara sama rata dalam m em ungut hasil tanah itu ; dengan jalan mengambil kembali tanah itu di mana pemegangnya bertindak buruk terhadap golongannya atau bila ia mernnggalkan dusunnya, dalam hal mana tanah2 itu lantas diberi- kan kepada orang2 lain : dadal (J.), salipi na tartar (T ap. Sel.) .

Tekanan yang berat dari fihak kekuasaan pusat atau kekuasaan masyara at yang karena sebab2 lain menjadi amat kuat atau tetap. amJ.. U„at, (Tng3nan di Bali) dapat mengakibatkan, bahwa peng- ambilan- kembali tanah2 itu menjadi aturan yang berkala ; aturan2 sedemikian itu disebabkan .baik oleh pajak2 dari fihak raja2, mau­pun oleh beban2 yang diletakkan oleh gubernemen kesemuanya itu lebih2 terjadi di desa di Cirebon dan di Tawa Tengah ; begitulah timbul aturan pembagian berkala daripada tanah2 pertanian, hal mana tidak sedikn inendapat sokongan dari fihak pabrik2 gula, supaya memperoleh tanah2 sewaan yang utuh tidak ter-pisah2. D e­ngan cara demikian maka tercapailah suaitu aturan, sehingga pen- duduk desa sejauh mungkin dapat hasilnya tanah secara sama rata sama rasa ; aturan itu kadang= tetap berlaku, manakala ada perbe- daan dalam kurus atau gemuknya tanah dalam satu'desa ataupun karena sebab2 lain ; tapi aturan itu kadang2 tetap hampir semua dengan sendirinya cenderung akan lenyap bilamana desakan dari luar berkurang. Pembagian2 berkala daripada tanah itu tidak di jalankan terus hal ini telah nampak dilebih dari satu tempat ser jak pengurangan pabrik2 gula di Jawa sejak 1933) maka pertalian hukum dengan perseorangan menjadi erat. Bila percampuran tangan

dari desa terhadap tanah mepjadi lenyap maka akhirnya tidak ada halangannya bahwa seseorang mempunyai lebih dari sèbidang tanah pertanian, pula tak ada halangannya menjual tanah* pertanian kepada orang dari lain2 tempat secara besar2an (misal yang terke- n a l: di K edu), dan dengan demikian maka „beschikkingsrecht” desa dalam geraknya ke dalam (dan ke luar) hampir seluruhnya „tertahan” . Hak mencabut kembali tanah bilamana si pemunya tidak baik kelakuannya, hal jatuhnya kembali tanah kepada desa bilamana ditinggalkan atau pemunyanya mati dengan tidak ada ahli warisnya, bantuan dari fihak kepala2 desa dalam urusan perjanjian2 mengenai tanah, itu semuanya adalah bekas2 yang terakhir yang masih ada, ialah bekas- daripada adanya „beschikkingsrecht” . Adanya orang menamakan hak desa itu dengan istilah „communaal bezit” (tanah „pekulén” tanah „gogolan”, dsb.nya) dengan bagiannya „giliran” atau „tetap” („wisselende” of „vaste” aandelen), itupun karena orang tak dapat menangkap dan mengakui proses yang diuraikan di atas tadi (walaupun dalam praktek proses itu berjalan terus) ; pula orang menyebut „individueel recht” (hak perseorangan), pada

■ hal bila orang itu mengakui adanya hak desa mestinya harus menye- '■ butnya „hak pakai aitas satu bagian” (gebruiksrecht op een aan- ; deel) ; atau ada orang yang menyebutnya „hak-milik perseorangan : turun-temurun” (erfelijk individueel bezitsrecht), dalam sebutan Smana sudah tidak diakui lagi adanya hak desa, pula ada lagi yang menyebutnya „hak milik campuran” (gemengd bezit), maka semua­nya sebutan2 itu mengakihatkan kesalah fahaman theoritis yang se- besar2nya, dan menyebabkan tindakan2 sosial yang sangat keliru pula.

Percampuran tangan dari fihak negory mengenai tanah2 dati (yang dihubungkan dengan dikenakannya pekerjaan rodi atas kerabat2 di Ambon) merupakan suatu persamaan yang jitu dengan percampuran tangan desa mengenai tanah2 pertanian yang telah dilukiskan di atas tadi. Di Ambon oleh penjabat2 pemerintahan negory untuk pekerjaan negeri dipergunakan tenaga3 dari kerabat^ yang tertentu yang dari fihak dusun telah diberi bagian tanah2 dati, se-akan2 buat upahnya atas pekerjaannya dinas itu.

Ke dalam, maka „beschikkingsrecht” itu juga berlaku karena ba­gian2 tertentu daripada daerah sendiri dipakai buat tanah tempat kediaman umu-m atau buat keperluan2 masyarakat sebagai kesatuan (pekuburan, cadangan kayu untuk pertukangan, penggembalaan umum, tanah2 arajang di Sulawesi Selatan, tanah „bengkok ) atau karena dipergunakan untuk dipungut hasilnya buat masyarakat

sebagai kesatuan (sawah buat kas desa, suksara, titisara, J. kolam perikanan yang diborongkan untuk mengisi kas marga di Palem- bang, kas dusun negory di Ambon) dan oleh karenanya tertutup untuk dipetik hasilnya oleh sesama anggauta. Pencadangan ini da­pat diselenggarakan dengan jalan melarang memotong dan memetik; pula larangan memetik buat sementara (sasi di Ambon) atau larang- an mengambil ikan buat sementara (di kalangan orang2 Toraja) adalah termasuk aturan2 pencadangan itu.

Pemakaian tanah sebagai „bengkok” yang dipetik hasilnya oleh kepala atau pegawai masyarakat hukum selama mereka menjabat dinas, adalah terdapat di daerah2 yang telah ada sedikit banyak kekurangan tanah; di lain2 tempat kepala2 desa juga dapat2 nien- capai hasil yang sama yaitu dengan jalan memiliki tenaga kerja daripada sesama anggautanya. Pengertian tanah bengkok itu jangan dicampur adukkan dengan tanah yang oleh sesuatu kerabat dise- rahkan kepada salah seorang anggautanya yang ditugaskari untuk menjalankan kewajiban kerabat itu, pula jangan disamakan dengan tanah yang kadang2 dibuka oleh kepala2 dusun untuk dimiliki sendiri se-Iama2nya dengan mempergunakan tenaga2 yang didinas- kan Vepadanya (dusun di Ambon yang dicetak dengan tenaga orang2 yang dikenakan dinas kwarto, hutan2 rotan yang luas yang dise- enggara an oleh kepala2 Dayak d en gan mempergunakan tenaga2 >U(.i\ Imtan- mana dimiliki dan dipelihara untuk diri sendiri.

(Ian sebagainya). Karena tidak membeda2kan kemungkinan2 ini maka akibatnya acapkali ialah pertengkaran2 yang berlangsung sampai lama.

Tanah- bengkok (ambtsvelden) daripada masyarakat2 itu (saba na bolak di Batak, galung arajang di Sulawesi Selatan, dusun dati raja di Ambon, bukti di Bali, dan sebagainya) berbeda pula de­ngan tanah2 bengkok yang kadang2 diberikan oleh fihak raja ke­pada pegawai rendahan daripada raja2 itu — dengan tak menghirau- kan adanya „beschikkingsrecht” daripada masyarakat2 kecil2 — dan oleh karenanya aturan ini termasuk aturana di alam raja2. T anah2 bengkok di Jawa (bengkok, dsb.-nya) sekarang adalah sebagian dari­pada tanah masyarakat yang diperuntukkan gaji kepada desa : asal- usulnya mungkin berpangkal di alam raja2 : tanah2 halaman rumah jabatan (ambtserven) di zaman dulu daripada para bekel di daerah swapraja adalah benar2 termasuk berpokok tadi. Istilah „gaduh" yang di Jawa juga terdapat untuk maksud bengkok, adalah sangat mem- bingungkan karena istilah itu ada maksudnya juga^ yang berhu- bungan dengan tanah „lungguh” (apanages).

Berlakunya „beschikkingsrecht” ke dalam seluruhnya ada di bawah pengawasan daripada penghulu2 rakyat, kadang2 juga daripada wali2 tanah (grondvoogden) tersendiri, hal mana lebih lanjut nanti (hal. 85).

B e r l a k u n y a ke l u a r . Hak pertuanan atau „bescliikking- recht” itu ternyata berlaku k e l u a r karena orang2 luaran masya­rakat, orang2 dari lain2 tempat termasuk juga orang2 dari masyarakat tetangga, hanya boleh memungut hasil dari tanah selingkungan „beschikkingsrecht” sesudah mendapat izin untuk itu dari fihak masyarakat, pula sesudah membayar wang pengakuan di muka be­serta wang penggantian di belakang; di situ si asing tadi pada po- koknya tak dapat memperoleh hak orang seorang atas tanah lebih lama daripada tempo untuk menikmatinya, ialah satu panen ( g e ­n o t r e c h t) ; pula ternyata berlakunya hak pertuanan ke luar itu ialah batyva orang2 luaran- tak boleh mewaris, membeli atau mem- beli gadai tanah2 pertanian, pula bahwa mereka malahan menurut hukum adat dapat dilarang dibata-si dengan perjanjian- untuk menginjak daerah lingkungan „beschikkingsrecht” itu (ini terlepas dari soal mungkin atau tidaknya demikan itu menurut ketatanega- raan pada sekarang ini) .

Mereka yang datang dari luar harus berhubungan dengan peng­hulu2 rakyat untuk mendapat izin. Permohonan izin itu menuiut cara Indonesia patutnya disertai dengan sekedar pemberian untuk membuka jalan ke arah jawaban (yang baik). Selanjutnya maka di beberapa lingkungan hukum terdapat tanda yang kelihatan mata sebagai pendahuluan, wang pemasuqan (Aceh), mesi (Jawa), di- bayarkan pada permulaan mempergunakan tanah oleh si asing, ya­itu suatu tanda daripada kenyataan bahwa ia dengan kesadarannya mendatang di tanah milik orang lain untuk memungut hasilnya. Mereka yang bukan golongan jnarga yang „meraja (heersende mar­ga) misalnya di Angkola, dapat memperoleh izin mendirikan dusun dalam daerah beschikkingsrechtnya suatu kuria; (dusun itu lantas disebut; huta na ro ); penghulunya (si pembangun dusun, mja sioban ripé) harus membayar dengan enam ekor kerbau, yang di- peruntukkan buat masyarakat seluruhnya di induk dusun dan dusun- lainnya — yang merupakan se kuria — dan karena demikianlah maka di Bali seluruh penduduk padukuhan immigrant- Kastala (termasuk juga pegawai2 raja yang dipekerjakan buat sementara di sana) di tanah Tnganan (Bali) tak lain dan tak bukan hanya pemaroh2 (deelbouwers) atas tanah2 pertaniannya orang2 Tnganan.

Ketiga : adalah kebiasaan umum pemungutan biaya di belakang-, juga dengan akibat, bahwa dengan demikian diakui telah m em u­ngut hasil dari tanah orang lain (maka dari itu bolehlah kadang2 jumlah pembayaran senyatanya kalau perlu araat sedikitnya, asal ada pembayaran apa2 saja) sepulüh satu (10% ) sewa bum i, bunga kayu, dan sebagainya. Di Minangkabau maka amsal adat „lem baga dituang, adat diisi” kadang2 ditafsirkan, bahwa pajak dan biaya dibayar oleh orang2 luaran masyarakat. Bukannya penghulu2 saja mendapat bagian dari pemungutan2 itu, melainkan juga orang2 ba­nyak yang berhak atas tanah itu, seperti paung asal, yaitu golongan iT f 37* ^USUn2 camPuran di tepi sungan Barito (K alim antan),

Terhadap orang2 luaran itu, maka masyarakat dengan sadarnya tetap memegang haknya atas tanahnya ; orang2 luaran itu tak dapat mendesak kembali hak itu, mereka tak dapat berakar dalam tanah itu, mereka tetap duduk kendur2 di atasnya (orang m enum pang ber­hadapan dengan orang asal, R ej.). Hanya bila dan di m ana orang2 „luaran asli itu sepanjang masa, turun-temurun, m enetap di ma- syarakat, maka mereka (sebagai suatu bagian dari proses jalannya wans \uaran menjadi anggauta berdasarkan atas lamanya ia me- wan* iT* “ cmperoleh pemakaian tanah yang bersifat lebih

p, a an tetapi pemakaian tanah sedemikian itu pada saat2 gen- tmg juga tak dapat dipertahankan terhadap haknya masyarakat, karena itu adalah tetap „pemakaian oleh orang asing (bila mening- galkan masyarakat, bila ada kecenderungan akan m enjual tanah itu) .^Berhubung dengan itu, maka terdapatlah keadaan, bahwa ka- dang- dalam dusun2 atau kesatuan2 wilayah anak cucu daripada pembentuk atau pembentuk2 dusun merupakan suatu golongan inti, yang hanya dapat hak se-bulat2nya atas tanah, sedang sesama ang­gauta wilayah lainnya tentang itu hanya menempati kedudukan yang berkurang, walaupun mereka tak dapat disebut orang2 luaran lagi. Demikian dapat dimengerti pertimbangan kedudukan mengenai tanah antara marga tanah (heersende marga) terhadap p e n u m - pang-nya di Batak (hal. 42); penumpang2 yang menjadi sanak- saudara karena perkawinan dan yang mendatang dari lain2 d a e r a h dapat (lambat-laun) di sana suatu hak milik yasan atas tanah ter- tentu, yang dihadiahkan karena perkawinan anaknya perempuan, walaupun kedudukannya mengenai hak atas tanah itu mula2 lemah.

Dalam lebih dari satu lingkungan hukum terdapat, bahwa ma- syarakat2 itu dengan cara perjanjian bertimbal-balik menghapuskan kedudukannya „asing terhadap satu sama lain (voor elkaar vreern*

den zijn) (misalnya berhubung dengan suatu pertalian perkawinan di antara penghulu2nya), maka oleh karena itu aturan2 pembukaan tanah baru dan pengumpulan hasil2 hutan didasarkan atas berla- kunya „beschikkingsrecht” ke dalam, bukannya atas berlakunya ke luar.

B e r t a n g g u n g - j a w a b l a h masyarakat yang mempunyai „beschikkingsrecht” itu terhadap reaksi adat mengenai pelanggaran atau kejahatan yang terjadi di daerah „beschikkingsrecht”nya dan yang diperbuat oleh seseorang yang tak dikenal; ini dapathih disebut sudut yang tak menguntungkan daripada „beschikkings­recht” dalan; berlakunya ke luar. Pertanggungan-jawab tadi ber­dasarkan atas hubungannya dengan tanah dan ini ternyata dari hal2 yang telah kejadian di mana orang2 dapat melepaskan diri dari pertanggungan-jawabnya dengan jalan menyerahkannya sebagian tanah lingkungan „beschikkingsrecht”, di mana mayat si- terbunuh cliketemukan orang; teranglah, bahwa di satu fihak per­tanggungan-jawab itu'berdasarkan atas alam pikiran „serba berpa- sangan” (participerend denken) dan di lain fihak timbul dari suatu siasat licin yang dipandang perlu dari fihak raja2 atau fihak ke­kuasaan gubernemen. Bilamana pert'anggungan-jawab tadi h a - n y a berdasarkan itas maksud terakhir ini, maka sifatnya sudah berubah. Di samping pertanggungan-jawab tadi adalah pertang^ gungan-jawab lain yang lain pula dasarnya, ialah pertanggungan- jawab daripada segolongan sanak-saudara terhadap seorang dari­pada anggauta2nya. Pada lahirnya mungkin kedua macam pertang­gungan-jawab itu luluh menjadi satu nampaknya, bilamana satu golongan sanah-saudara sebagai masyarakat hukum mendiami territoir sendiri; namun kedua lembaga yang berbeda mutlak satu sama lain ini dalam hukum adat tetap tertampak berdampingan.

T u g a s p e n g h u l u 2 r a k y a t . Oleh karena itu maka penghulu2 rakyat mempunyai tugas rangkap sesuai dengan berlaku­nya „beschikkingsrecht” yang rangkap pula, ialah ke luar sebagai wakil2 masyarakat menghadapi orang2 luaran masyarakat, dan ke dalam sebagai pengatur bagaimana anggauta2 sebagai sesama pen- dukung „beschikkingsrecht” melakukan hak perseorangannya dan menanam hak2nya atas tanah itu ; ia bertugas sebagai pemelihara tanah yang dipergunakan langsung untuk kepentingan masyarakat. Barangkali „wali2 tanah” (grondvoogden) itu hanya mempunyai tu­gas ke dalam ini.

B e n d a ( o b y e k t ) d a r i p a d a „ b e s c h i k k i n g s - r e c h t ” . Hak pertuanan berlaku baik atas tanah, maupun atas

perairan (sungai2, perairan pantai laut) dan juga atas tanaman yang tumbuh sendiri (pohon2 lebah, pohon2 buah2an, pohon2 untuk pertukangan) beserta atas binatang2 yang hidup liar. Karena ber- bagai keadaan maka berlakunya „beschikkingsrecht” dalam lingku­ngan „beschikkingsrecht” yang tertentu dapat sangat ber-beda2. Di Jawa „beschikkingsrecht” itu, mungkin hanya sebagai perkecuali­an, dapat ternyata terhadap tanah yang belum terbuka (hutan2) , terhadap dasar2 sungai yang menjadi kering, pulau2 yang timbul dan lain2nya, terhadap tanah yang dipungutnya dari perairan, maka „beschikkingsrecht” itu sebagaimana diseluruh Nusantara selalu berlaku dengan tertibnya ; terhadap pembawaan2 lumpur (aanslib­bing) pada tanah pertanian maka biasanya diakui juga haknya ter- dahulu (voorkeursrecht) si pemilik tanah pertanian itu atasnya. Pula berlakunya „beschikkingsrecht'' atas tanah yang sudah dikerjakan itu tidak selalu sama. Dalam pelbagai lingkungan2 hukum (misal­nya di Tapanuli Selatan, Ambon, Bali, Jawa) dapatlah orang mem-bedaakan tingkatan dalam kehebatannya, di beberapa dusun Pertama : hak masyarakat itu paling kuat atas tanah2 yang sebagai tak bertuan jatuh kembali kepada dusun dan lantas oleh dusun itu

kepada pemilik baru angkatan dusun itu sendiri ; perta'.iannya hukum perseorarfgan atas tanah itu buat sementara itu mengizinkan ia membuat perjanjian suatu apa mengenai tanah itu dan kedudukannya lemah sekali terhadap tindakan dari fihak kekua­saan dusun, misalnya bila tanah itu diambil kembali karena peker- - jaan dinas dilalaikan. Kedua : „beschikkingsrecht” itu berlakunya juga mendalam atas tanali yang menjadi milik inti daripada ang­gauta2 dusun; selama seorang keturunan (anak lelaki) memiliki tanahnya leluhur2nya, maka pertalian hukum perseorangan daripa­da penduduk inti dusun dalam lingkungan dusun itu memang ko- koh, tapi kepentingan dusun menjaga jangan sampai ada peru- bahan dalam kedudukan hukum tanah2 inti itu, pula jangan sam­pai tanah2 dikenakan perjanjian2, jangan sampai di-bagi2 di antara ahli waris, jangan sampai jatuh terkumpul di satu tangan ; bila­mana anggauta inti dusun meninggal tanpa anak-cucu, maka dur- sun mengangkat pemilik baru atas tanah2 pertanian atau kebun2 (Ambon) yang laraa-kelamaan memperoleh kedudukan yang sama seperti pemilik2 semula. Ketiga : di masyarakat sedemikian itu — di samping tanah2 yang sudah dibagikan oleh dusun dan di samping tanah2 milik penduduk inti dusun — mungkin juga terdapat hak milik atas tanah2 pertanian atau atas kebun2, terhadap mana hak masyarakat sudah terdesak lebih jauh lagi ke -belakang; pemilik2 ini dapat menggadaikan dan menjual tanah2nya, jarang sekali ta-

nan2 itu jatuh kembali kepada dusun dan tindakan2 dusun terhadap tanah2 itu adalah jarang pu la; di Jawa disebutnya sawah yasa (berhadapan dengan sawah pekulen, gogolan), di Ambon disebutnya dusun pusaka (berhadapan dengan dati) dan seterusnya. Inilah ber- lakunya hak dusun yang lipat tiga atau lipat dua, hal mana kadang2 disebut dengan istilah (yang umumnya tidak tepat) : „milik cam- puran” („gemengd bezit”), (hal. 77).

Terhadap tanah pekarangan berlakunya hak masyarakat itu ka­dang2 juga berlainan dengan terhadap tanah2 pertanian dalam dusun yang sama, itupun karena dari fihak dusun lebih mudah di­jalankan tindakan2 untuk mencetak pekarangan baru dari pada tin­dakan2 untuk memiliki tanali2 pertanian baru.

L i n g k u n g a n „ b e s c h i k k i n g s r e c h t ” y a n g r a n . g - , k a p . Dengan dua jalan orang dapat menjumpai lingkungan „beschikkingsrecht” yang rangkap (dubbele beschikkingskring). Pertama (sebagai perkecualian) suatu lingkungan „beschikkings­recht” daripada sebuah dusun di pedalaman yaitu daerah sesung- guhnya yang didiami dan dipungut hasilnya untuk Jiidup, dan di samping itu — kadang2 jauh jaraknya dari situ — lingkungan „beschikkingsrecht” sepanjang laut, dari mana dusun itu mengam- bil hasil2 laut dan garam yang sangat dibutuhkannya. Selanjuitnya dan yang lebih sering terdapat, yaitu lingkungan „beschikkingsrecht rangkap yang bertokoh sedemikian rupa, sehingga suatu lingkungan tanah2 termasuk lingkungan „beschikkingsrecht” baik daripada du­sun, maupun daripada masyarakat wilayah, di mana dusun itu ter­letak. Sebagai pangkal pikiran hendaknya orang gambarkan süatu wilayah yang sudah didiami oleh gerombolan2, atas dasar persama- an kedudukan, tersebar di beberapa tempat kediaman. Dan j urusan raasing2 dusun dilaksanakan pembukaan tanah yang lantas ditanami dan kemudian ditinggalkan, sehingga tertutup lagi ditumbuhi semak- dan dalam pada itu penduduk meladang lagi di lain tempat. Bila atas tanah2 pembukaan pertama ini hak terdahulu sudah lenyap, maka tanah2 itu jatiffi kembali kepada dusun dalam „beschikkings- recht”nya yang mutlak ; di samping itu tanah2 itu masih tetap ter­masuk lingkungan „beschikkingsrecht” daripada masyarakat wilayah yang melakukan haknya lebih tinggi dan yang tetap berwajib me- mutusi perselisihan2 antara penghulu2 dusun dan anggauta2 dusun nya, memutusi perkara boleh atau tidak bolehnya masuknya orang2 luaran dan sebagainya ; anggauta2 masyarakat wilayah (streek ge­meenschap) dalam dusun tak dipandang sebagai orang2 luaran. Tanah2 terletak antara wilayah2 dusun2 adalah se-mata^ termasuk

„beschikkingsrecht” masyarakat wilayah sendiri. Hak2 atas tanah3 belum terbuka daripada suku atau kampuang di dalam sebuah Jiagari di Minangkabau atau daripada dati di dalam negory di Am bon, meng- aki'batkan imbangan semacam itu juga ( f a m i l i e b e s c h i k ­k i n g s r e c h t ) .

P e m b a t a s a n d a e r a h „ b e s c h i k k i n g s r e c h t ” . Pem- batasan yang tegas daripada lingkungan „beschikkingsrecht” di semua lingkungan2 hukum adalah akibat daripada bertemu dengan gerom- bolan2 lain dan pemagaran dari gerombolan2 itu, gerombolan2 mana sudah menetap di atas tanah situ sebagai kesatuan yang ber- diri sendiri atau sebagai demikian sudah memisahkan diri dari in* duk dusun ; pembatasan yang samar2 dapat berlangsung terus bila tanah2 kosong itu sangat luasnya.

P e r l i n d u n g a n n y a . Selama tidak ada kekuasaan lebih ting- gi meliputi masyarakat2 itu, maka pertahanan kedudukan terhadap daerah sendiri itu tergantung dari daya pembelaan sendiri atau dari hormat-menghormati hak masing2. Maka dari itu terdapatlah dalam pemerintahan2 masyarakat : penjabat2 yang terutama ditu- gaskan untuk melindungi pembatasan2, ialah di Minangkabau ; rmg, di Mtnahasa: teterusan, di Ambon : kepala kéwang, di Tngan- an A u J pt Sl6m bukït Üuga di Jawa: reksabumi ?). Seketika sesudah ada kekuasaan yang meliputi masyarakat2 kecil itu dan sepanjang pengaruh kekuasaan itu — baik pemerintahan ga­bungan dusun2, maupun kekuasaan raja2 atau pemerintahan gubernemen pusat - maka timbullah suatu suasana di mana perta­lian antara gerombolan dan tanah dapat berlaku sebagai hubungan hukum. Keinginan ke arah situ adalah bukan sekali saja m enjadi sebab daripada timbulnya pemerintahan raja2 Pribumi (Bali, In- dragiri). Di samping perlindungan yang berupa penjaga2 batas, pa- troli2, perang2 dusun, terdapat surat2 pengakuan dari raja (pte- gam), keputusan2 hakim2 serikat, hakim2 raja2, hakim1 guberne­men dan penjabat2 pemerintahan.

K a r e n a d i d i a m k a n n y a „beschikkingsrecht” ini da­lam perundang-undangan, maka akibatnya dulu dan sekarang ialah pelbagai pertentangan yang mustinya tak perlu ada.

N a m a. Nama untuk „beschikkingsrecht” sendiri yang tnenun- jukkan adanya suatu hubungan rupa*nya dalam bahasa Indonesia tidak atau jarang terdapat - namun buat lingkungan „ b e s c h i k ­

kingsrecht” (beschikkingskring) 'sendiri sebagai lingkungan di ma- na2 praktis ada istilahnya ; istilah itu adalah sebutan untuk lingku-

ngan „beschikkingsrecht” baik sebagai milik — patuanan (Ambon)— maupun sebagai daerah penghasil makanan — panyampeto (Ka­limantan) — atau sebagai lapangan yang terpagar — pawatasan (Kalimantan), weivengkon (Jawa), prabumian (Bali), atau seba­gai tanah terlarang buat lain orang — tatabuan (Bolaang Mongon- dow) . Selanjutnya terdapat istilah2 seperti torluk (Angkola). limpo (Sulawesi Selatan), nuru (Buru), payar (Baili), paer (Lom­bok) , ulayat (Minangkabau). Selanjutnya „hak ulayat’* ini bermak- sud „beschikkingsrecht” sebayai hak subyektif dalam arti „technisch adatrechtelijk'’, tapi terbenturlah orang pada kenyataan, bahwa orang tak mengatakan haq ulayat nagari, melainkan „lingkungan” daripada nagari. Apakah perkataan2 golat di Batak dan édikio di Enggano sudah betul disalin dengan „beschikkingsrecht” dalam arti subyec- tief, maka hail ini harus diselidiki lebih lanjut. Di samping apa yang tersebut tadi masih banyak lagi istilah2 untuk „beschikkingsrecht” itu.

W a l i - t a n a h (grondvoogd). Perkataan wali tanah ter­dapat dipakai dalam kesusasteraan dalam dua macam arti. Pertama yang dimaksudkan ialah seorang kahin masyarakat (gemeenschaps- wïchelaar) yang terutama mengetahui syarat2 supaya kekuatan2 gaib membiarkan saja perbuatan2 manusia mengenai tana:h. Kedua: maksudnya ialah seorang yang di samping pemegang2 pemerintahan umum menjalankan kekuasaan2 yang timbul sebagai akibat dan. ^beschikkingsrecht” yang ada pada masyarakat. Dalam hubungan hukum adat maka perkataan itu harus dipakai dalam arti yang ter- akhir ini. Pemisahan antara pemerintahan umum dan pekerjaan2 yang bersangkut-paut dengan adanya „'beschikkingsrecht” bisa ter­dapat manakala kekuasaan asing memasuki atau dimasukkan dengan

• kekerasan ke dalam masyarakat itu. Dalam hal ini mungkin terdapat tiga jabatan yang sejajar : kahin, wali tanah, dan penghulu2 pe- megang pemerintahan umum. Namun selalu atau ha-rapir selalu da­lam pada itu jabatan kahin dan wali tanah jadi satu sebagaimana— bila tidak ada kekuasaan asing — jabatan wali tanah dan peng­hulu rakyat ada di satu tangan. Dalam makna hukum adat maka wa­li tanah itu adalah tanda daripada hubungan mutlak daripada tanah dan ummat manusia, yang berlangsung terus walaupun pemerintahan umum direbut oleh orang2 asing atau diserahkan kepada mereka ; dan justru oleh karena wali tanah itu se-olah2 adalah penjelmaan dari hubungan ibadat sihir (magisch religieus) antara ummat dan tanah, maka ia merangkap sebagai kahin (wichelaar) pada upaca- ra2 tanah. Di Sumba Timur misalnya pemerintahan direbut oleh go­longan2 yang datang dari luar, tetapi penghulu2nya (kepala2nya)

yaitu maramba menyerahkan urusan2 tanah kepada penghulu pen­duduk asli sebagai mangu tanah (grondvoogden = wali2 tanah) . W ali tanah yang dapat disamakan dengan itu di Savu disebut D é o rai, dan seterusnya. Tetapi di wilayah2 situ sering sekali kekuasaan wali tanah yang sesungguhnya adalah terletak lebih pada „perka- taan2nya” ( = „tuan”, „pemilik” tanah) dari pada kenyataannya, dan sebenarnya ia hanyalah kahin. Selama perubahan2 yang m enda- lam berlangsung, yang di Ambon mengakibatkan bentukan ne­gory dengan pemerintahan negory nya bikinan kekuasaan asing, maka kepala2 clan lama — upu aman — tetap menjalankan tugas2- nya yang berdasarkan „beschikkingsrecht” sebagai tuan tanah (grondvoogden = wali2 tanah). Di beberapa dusun di Pasemah masih terdapat jurai tua, keturunan langsung dari pembangun d u ­sun dengan kekuasaannya dalam urusan tanah di samping penjabat yangbertugas kepala dtwun. Hal serupa ini dikhabarkan orang pula. tentang dusun2 campuran sepanjang sungai Barito di Kalim antan. Bila di situ lambat-laun mendatang dan menetap sedemikian banyak orang2 asing, sehingga dari seorang di antaranya terpilih dan dipakai oleh pemerintah pusat sebagai kepala dusun, namun penghulu m e­nurut hukum adat daripada golongan a9li tetap menjabat pengulu dengan kewajiban2 dan kekuasaan2nya dalam urusan2 tanah ; ju ­ga di sini nampak adanya „wali tanah” pula.

Demikian juga kadang2 timbul jabatan wali tanah bilamana dalam masyarakat pemerintahan penghulu oleh fihak luaran diserah- kan kepada seorang keturunan kerabat yang lebih muda daripada kerabat yang menurut hukum adat mestinya melahirkan penghulu itu ; berhubung dengan itu maka dalam sebuah negari di wilayah Kampar timbul perpisahan petigulu andiko - yaitu penghulu2 rak- Jrfil — dan tuo ulayat, ialah wali2 tanah.

Pokok pikiran daripada lembaga wali tanah, yaitu tak ter-pisah2- nya ummat — tanah — masyarakat, kentara juga dengan jalan lain. Dahulukala dikhabarkan orang dari Minahasa bahwa perampa- san tanah (daerah) sesudah peperangan oleh si pemenang perang, adalah „mustahil” , hal mana boleh disebut suatu pernyataan yang

. terkuat daripada pokok pikiran tadi agaknya.

Acapkali dapat dikenalnya digahungan administratief daripada daerah2 : desa baru di Jawa, negoiy baru di Ambon, huta baru di Batak biarpun ditempatkan di bawah seorang kepala, dan adm ini­stratief dianggap satu daerah, namun dua atau tiga desa lama, huta atau negory* lama, yang digabungkan jadi satu dusun tadi, ma-

sing2 tetap memiliki daerah2 ,,beschikkingsrecht”nya sebagai dae­rah2 persekutuan yang berdiri sendiri terlepas satu sama lain. Sese- orang dari sesama dusun gabungan baru, tapi bukan dari sesama dusun lama, adalah dan tetaplah orang asing bagi dusun lama itu ; malahan kepala desanya jangan coba2 tanpa izin dari dusun lama menaxuh sesuatu hak atas tanah dalam lingkungan dusun itu, di mana ia bukan anggautanya, walaupun dusun lama itu sudah menjadi sa­tu bagian daripada dusun gabungan yang dikepalainya.

Di samping banyak gejala2 yang masih dapat dikenal daripada faham wali tanah itu, maka banyak juga terdapat kenyataan bahwa kekuasaan (pemerintahan) baru bertumbuh menjadi satu hubu­ngan yang erat dengan tanah. Di kalangan Toraja Barat maka bangsawan, yaitu rupa2nya golongan yang mendatang dari lain dae- iah justru disebut : puee tampo, ialah tuan tanah.

T a k d a p a t n y a d i p i n d a h t a n g a n ( o n v e r - v r e e m d b a a r h e i d ) . Menyerahkan sebagian daripada daerah „beschikkingsrecht” sebagai suatu perbuatan yang disenga- ja, pernah juga terjadi, walaupun jarang. Hal ini tadi sudah pfernah disinggung berhubung dengan pertanggungan-jawab ^ter' hadap kejahatan yang penjahatnya tak dikenal, dan bekas-nya terdapat di daerah pertuanan (beschikkingsgebied) daripada suatu masyarakat. Menyerahkan sebidang tanah, di mana mayat orang yang terbunuh itu terdapat, berarti membebaskan diri dari pertanggungan- jawab. Sekali tempo ada dikhabarkan, ba'hwa ada sebidang tanah yang diserahkail bcrsamaan dengan pengoperan barang2 sebagai gantinya, ialah untuk tidak mengganggu kesetimbangan ,magisch ' yang sudah ada, (di kalangan beberapa suku Dayak disebut manja- wi), penyerahan mana dianggap sudah selesai bilamana gerom o an baru itu sudah mulai memakai tanah yang diterimanya itu untuk me- ngubur mayat2 anggauta2nya yang mati (bantai, hal. 42). Karena peperangan dusun atau karena tekanan pemerintahan pusat maka telah acapkali terjadi penyerahan banyak tanah, hal mana meng- akibatkan terlepasnya tanah benar2, juga t’erlepasnya faham wali tanah itu, walaupun faham itu tadinya masih lama berlangsung terus dalam keadaan tertidur. Kaidah : „daerah pertuanan (beschikkings­gebied) tidak dapat dipindah tangan” tetap per-tama2 berlaku, wa­laupun ada beberapa perkecualian2nya.

M e n j a d i n y a p e r s e o r a n g a n d a r i p a d a „ b e - s c h i k k i n g s r e c h t ” ( de v e r p e r s o o n l i j k i n g v a n h e t b e s c h i k k i n g s r e c h t ) . Bentuk dasar da­ripada „beschikkingsrecht” dengan demikian telah dikemukakan se-

bagai suatu hak daripada golongan atas tanah yang dilakukan di satu fihak oleh golongan itu dan di lain fihak oleh penghulu2nya atas nama golongan. Di sinilah terletak sudah kemungkinan besar akan menjadinya perseorangan daripada „beschikkingsrecht” itu. Ke- jadian ini nampak benar2 dalam pelbagai jenis. Janganlah orang menggambarkan sedemikian rupa, ba'hwa pada „asal-mulanya” dulu di mana2 di Indonesia yang terdapat hanya bentuk dasar hak masya- rakat atas tanah sebagai tersebut di atas dan bahwa di sana-sini lalu timbuil perubahan2, pertumbuhan atau perusakan perangai, tapi se- harusnya digambarkannya sedemikian saja, bahwa andaikata orang dalam satu eerana menyajikan tokoh pokok daripada hak2 golo­ngan manusia atas tanah, maka di samping itu orang dapat nampak juga pelbagai hubungan2 hukum, di mana perseorangannya penghu­lu berkedudukan yang lebih tinggi. Tokoh luar biasa daripada „be­schikkingsrecht” yang menjadi perseorangan ialah suatu negara kecil di mana raja adalah tuan tanah (domeinheer) — tidak hanya nama saja — daripada seluruh daerahnya, dan di mana tanda2, yang menunjukkan golongan manusia sebagai rechts subjectnya, adalah hanya lemah, tersembunyi dan tak tampil ke muka, sebagai- mana halnya di kalangan Batak Simalungun ; di tanah Batak bagian Selatan ternyata selailu ada niat daripada penghulu2 supaya dirinya diakui sebagai pendukung2 „beschikkingsrecht” . Juga desa (mer- deka) di Jawa, yang dikepalai oleh seorang kepala yang „digadu- hi” desanya itu oleh raja (in apanage) yaitu desa mi jen, adalah dipandang dari sudut dusun suatu contoh daripada menjadinya ke arali perseorangan ialah : menarik orang2 luaran supaya mengex- ploitatie gosong2 mutiara atau tanah2 hutan ; menarik biaya dari sesama anggauta2 golongannya, dalam pada itu lebih rendah jutn- lahnya daripada biaya2 buat orang2 luaran masyarakat; menetap- kan tempo yang pendek, yang bila sudah lalu, berakibat tanah yang terlantar kembali kekekuasaan „beschikkingsrecht” (untuk selekas- nya dapat diarahkannya kepada lain orang dengan pembayaran bia­ya lagi) dan seterusnya.

P e n g a r u h k è k u a s a a n l e b i h t i n g g i . Dari fihak2 kekuasaan raja2 dan gubernemen „beschikkingsrecht” itu mendapat tidak hanya perlindungan yang telah diuraikan tadi (dan pengingkaran) melainkan juga diterobos, dihapuskan dan dibu- bungkan (opschroeven) juga olehnya (sejalan dengan pengaruh- nya atas masyarakat2 tadi) hal. 66.

Dapat disebut penerobosan „beschikkingsrecht” oleh fihak alam raja- juga, ialah kewajiban mempersembahkan (dengan sedikit wang penggantian) hasil3 yang sangat berharga (cula badak, mus-

tika, kapur barus, gading dan sebagainya) dan yang sudah terkum- pul sebagai barang raja ; pula pengambilan tanah2 pertanian (atau penerimaan) oleh raja, yang terlepas dari masyarakat dipakainya sebagai milik raja (tanah pemburuan, tanah pertanian atau tanah „bengkok” bagi sanak-saudara raja atau bagi kepentingain2 raja lainnya). Perbuatan serupa itu oleh fihak gubernemen berupa per- nyataannya dengan undang2, bahwa hutan jati adalah milik negeri. Termasuk penghapusan „beschikkingsrecht” ialah apa yang telah dibentangkan di muka tadi tentang apa yang terjadi di pusat2 ta­nah2 lungguh (apanage centra) di daerah swapraja di Jawa, be­gitu juga di kota2 pantai besar dan apa yang di muka tadi telah di- uraikan sebagai suatu pelantasan ke dalam masyarakat2 sendiri. Pro­ses ini mengakibatkan kepribadian (dalam pelbagai arti Jcata : baik daripada raja, maupun daripada pemegang2 lungguh atau daripada petani2) mengenai hubungan2nya dengan tanahnya, sehingga perta- liari hidup dari golongan dengan tanah (golongan dalam arti ummat manusia) sudah lenyap karenanya.

Dapat disebut pembubungan (opschroeven) ialah akibat2 yang telah diuraikan di halaman 7ö tadi karena peri'maii- dan raja* a cat/ dari gubernemen yang memaksa supaya tanah2 dikerjakan sesaksa- ma mungkin untuk. penduduk desa sebanyak mungkin, se-akan- ta­nah itu adalah upah atas pekerjaan2 dinas yang sudah dijalankan atau se-akan2 tanah adalah bahan buat pemberian hadiah, pada hal mestinya se-akan2 tanah itu, — dan memang sesungguhnya — adalah suatu object hak daripada lingkungan dusun. Dalam bentuk luar biasa yang sedemikian itu, maka hak desa di Jawa adalah suatu *alat untuk mencapai tujuan2 raja2 atau pemerintahan pusat; dalam bentuk luar biasa itu maka hak dati di Ambon mendekati pengganti kerugian untuk pekerjaan2 dinas (kwarto).

2. H AK PERSEORANGAN.

\. Dalam kctertiban hukum masyarakat2.

H u b u n g a n n y a d e n g a n h a k p e r t u a n a n ( b e ­s c h i k k i n g s r e c h t ) . Bilamana orang melukiskan tam’ ciri isinya hak2 perseorangan atas tanah dan keadaannya hak2 itu, maka orang akan dapat mengulangi lagi apa yang diuraikan tad. mengenai „beschikkingsrecht” daripada masyarakat atas tanah, tapi ditinjau- nya dari sudut lain. Sebagaimana „beschikkingsrecht” dalam berla- kunya ke dalam dibatasi oleh hak2 perseorangan atas tanah, begitu- pun hak perseorangan terbatas oleh kelonggaran yang ditentukan (yang harus ditentukan) oleh „beschikkingsrecht” itu.

H a k m i l i ' k ( h e t I n l a n d s b e z i t s r e c h t ) . B ilam ana seorang anggauta masyarakat menaruh hubungan perseorangan atas pekarangan atau ladang (pembukaan tanah sebagai perbuatan hu ­kum a'kan dibicarakan berikut ini) , ialah berdasarkan atas , .beschik­kingsrecht” yang ia ikut mendukungnya, maka dalam pokoknya haknya itu disebut hak m ilik (Inlands bezitsrecht) , w alaupun lam a- nya ia menaruh hubungannya itu praktis tak lebih dari satu atau dua tahun panenan ; 'bilamana hubungan itu tak berlangsung lebih lama darisatu tahun panenan — sebagaimana halnya dengan tanah- akuan di Jawa Utara, tanah2 teleng di Sulawesi Selatan, begitu juga dengan aturan yang terkeras daripada tanali2 di beberapa desa di Jawa, dan seterusnya — maka haknya itu dapat disebut h a k m e - n i k m a t i ( g e n o t r e c h t ) . Batas yang nyata antara hak m ilik daripada sesama anggauta, dan hak menikmati daripada sesama

'anggauta tidaïk ada ; di sini ternyata bahwa „genotrecht itu suatu tanda yang menyolok mata daripada kuatnya berlakunya „beschik­kingsrecht” atas tanali2 pertanian, sehingga berakibat bahwa sesudah setiap panenan — baik berliubung dengan adanya banjir2 taliunan maupun karena tekanan keras dari luar atau karena keadaan2 apa- pun juga — -maka \enyaplah hak perseorangan itu dan tanali jatuli kembali kepada „beschikkingsrecht” se-bulat2nya daripada dusun atau wilayah masyarakat.

Juga untuk hak milik ini rupa2nya jarang ada istilahnya ; dalam bahasa Pribumi maka cukup disebutnya : saw ah saya, sawahnya, la­dang saya, ladangnyz, kepunyaan saya atau kepunyaannya dan sebutan2 serupa itu adalah suda'h cukup dalam bahasa P ribum i' Perkataan „milik’' berasal dari perkataan Arab ke-banyakan dipakai untuk menunjukkan bendanya umpama : „sawali itu m ilik saya » yang bermaksud : atas sawah itu saya ada „Inlands bezitsrecht .Perkataan Jawa wewenang bukannya bahasa bicara dan yang dim ak- sudkan tidak hanya „ha'k «milik” saja. Masyarakat2pun dapat m em ­punyai „hak milik” atas tanah. Bila masyarakat itu beli tanah untuk dipakai buat kepentingan-nya sendiri, maka di sini dapat disebut „hak milik”nya dusun atau wilayah. Di mana — sebagaimana kadang" terdapat — perkataan2 dalam bahasa Pribumi mengandung arti baik > tanah „beschikkingsrecht” desa, maupun ; tanah „Inlands bezitsrecht desa, (misalnya istilah druwé desa (Bali), namun bahasa Belanda orang harus tetap mem-beda2kannya. Halaman2 distrik yang terke- nal di ibukota Menado (kintal kalakéran) adalah salah satu dari banyak misal2 mengenai milik masyarakat. Pun kerabat2 dan cabang2 clan adalah pemunya2 hak milik dan dalam hal ini dipakai sebutan yang tertuju kepada bendanya (harta pusaka, M in.) .

H a k m e n i k m a t i ( g e n o t r e c h t ) . Hak menikmati yang se-benar2nya ialah haknya seorang luaran masyarakat yang telah diizinkan membuka sebidang tanah dalam lingkungan „beschikings- recht” dan yang hubungannya dengan tanah itu menurut hukumnya berakhir sesudah panenan ; pun juga bila pemakaian tanah secara nyata ada berlangsung lama, namun menurut hukum adat haknya hanya suatu rangkaian „genotrecht” ber-turut2 terdiri dari „genot­recht” yang berakhir sesudah setiap panenan. Sebagaimana „Inlands bezitsrecht” terbatas oleh berlakunya „beschikkingsrecht” ke dalam demikian juga „genotrecht” terbatas oleh berlakunya „beschikkings­recht” ke luar.

H a k t e r d a h u l u ( v o o r k e u r s r e c h t ) . Permulaan dan penghabisan daripada hak milik sesama anggauta, dan sebaliknya : menguncupnya dan dengan pelan2 pulihnya „beschikkingsrecht” masyarakat, kesemuanya itu ternyata oleh tanda h a k t e r d a h u l u a t a s t a n a h ( v o o r k e u r s r e c h t o p g r o n d ) ; suatu hu­bungan hukum yang mcmbcri hak untuk meiigerjakan tanah itu (terus) dan untuk memilikinya (dengan „hak milik”) , tetapi tun-

tutan hak serupa itu lenyap sama sekali, bilamana ada lain orang sesama anggauta yang menginginkamvya dan mendesak dia memilih satu antara d u a ; benar2 (terus) mengerjakan tanah itu, atau me- nyerahkan tanah itu kepadanya (hal. 72). Demikianlah hukum adat memberikan hak terdahulu kepada orang yang dulu menaruh tanda pelarangannya atau mula2 membuka tanah ; bilamana fa tidak me­ngerjakan pekerjaan2 pènebangan dan pembakaran menurut musim- nya, maka orang lain dapat mendesaknya supaya memilih ; menger­jakan terus atau menyerahkan tanahnya kepadanya ; tanah2 hutan yang ada haknya terdahulu dengaivada tandanya pelarangan, misal­nya di Minahasa di sebut : kaxoak, apar, palau; tanah2 apar atau tanah2 palau itu rupa2nya karena penyalahgunaan menjadi tanah2 cadangan tetap buat sesuatu kerabat karena hasil2 hutannya. Di lain tempat keadaan demikian itu tidak diperbolehkan, sistimnya tidak mengizinkan hak perseorangan yang berlangsung terus atas tanah2 yang belum terbuka. Dikalangan beberapa suku Dayak maka tanah2 terbuka dalam masa permulaan itu disebut: pupuh, siruan (nama buat „voorkeursrecht” yang mengandung makna bendanya). Kedua, maka dalam hukum adat terkenallah „voorkeursrecht” daripada pemilik tanah pertanian yang dahulu ; bilamana orang itu mem- biarkan tana'k itu dalam keadaan tandus, jadi dalam proses pemu- lihan kembali „beschikkingsrecht”, maka — sebelum proses itu se- lesai — setiap orang yang menginginkan tanah itu buat pertanian

harus memberi kesempatan kepada si pemilik yang dulu itu untuk mengerjakannya tanah itu sendiri. Selama „voorkeursrecht” masih ada atas tanah itu, maka dilarang membukanya tanpa izin dacri pemilik yang dulu yang dapat menyatakan tak akan m e n g e r ja k a n tanah itu lagi dan dapat memberjkan izinnya, kadang2 dengan pe- mungutan pembayaran; pun tanah sedemikian itu ada namanya tersendiri, misalnya burukan (Kalimantan). Akhirnya „voorkeurs­recht” ada pada orang yang memiliki ladang terletak di perbatasan tanah yang belum terbuka di situ itu di Sumatra Selatan lalu di sebut ekor tanah (ekornya tanah pertanian itu) atau hapuan, di Boalemo disebutnya yali yalilio (anaknya tanah pertanian itu) .-Se- tokoh dengan ini ialah „voorkeursrecht” daripada pemilik tanah pertanian atas tanah pembawaan lumpur (aanslibbing) pada tanah pertaniannya itu hal. 72.

H a k t e r d a h u l u u n t u k b e l i ( n a a s t i n g s r e c h t ) . Di samping apa yang dilukiskan sampai sekarang ini maka terdapat- \aY> hak terdahulu untuk beli (naastingsrecht) sebagai suatu hubung­an hukum yang bertokoh sendiri. Maksudnya ialah suatu hak untuk membeli tanah2 pertanian, halaman2 dan empang2 i'kan dengan har- ga yang ditawarkan oleh lain orang calon pembeli dengan menge- sampingkan orang calon pembeli itu. Pun dalam hal „naastings­recht” ini dapat di-beda2kan tiga tokoh. Pertama hak daripada s a n a k 2- s a u d a r a untuk membeli tanah yang melebihi hak2nya orang2 lain yang juga menginginkannya tapi bukan sanak-saudara ; selanjutnya hak daripada s e s a m a a n g g a u t a m a s y a r a k a t untuk membeli tanah dusun dengan mengalahkan tawaran2 dari orang2 luaran masyarakat (inilah berlakunya paling lemah daripada „beschikkingsrecht” atas tanah2 pertanian dan tanah2 lainnya) , dan akhirnya: ialah hak daripada p e m i l i k t a n a h t e t a n g g a membeli tanah2 berdampingnya dengan mengalahkan pembeli2 lain­nya (se-akan2 kelanjutan daripada „voorkeursrecht” , setelah tanah berdampingan itu menjadi tanah yang sudah terbuka).

H a k p u n g u t h a s i l k a r e n a j a b a t a n n y a ( a m b t e - 1 ij k p r o f.ij t r e c h t ) . Suatu hak macam lain atas tanah di tangan penghulu2 dan pengurus2 masyarakat, adalah hak pungut hasil karena jabatannya (ambtelijk profijtrecht), yaitu hak atas bagian2 tanah dalam lingkungan „beschikkingsrecht” yang oleh tna- syarakat diberikan kepada penjabat2 golongannya, perlu untuk nafkahnya, ialah : tanah2 „bengkok” (ambtsvelden). Bila jabatan­nya itu berakhir karena penjabatnya mati atau diberhentikan, maka tanah bengkok itu jatuh kembali kepada masyarakat menjadi „beschikkingsrecht” lagi se-utuh2nya, (hal. 71).

H a k p a k a i ( g e b r u i k s r e c h t ) . Selanjutnya dapat di anggap sebagai suatu hak saluran (afgeleid recht) ialah hak pakai perseorangan atas tanah11, empang2 dan -halaman2 yang berdasar „Inlands bezitsrecht” dimiliki oleh suatu .golongan (golongan sanak- ■saudara) yang juga golongannya si pemakai itu. Suatu kerabat Minangkabau ada haknya „Inlands bezitsrecht” atas sawah pusaka, sedang anggauta2 dari kerabat itu (keluarga2) mempunyai hak pakai atas tanah2 bagian sawah pusaka yang dibagi'kan untuk mereka buat dipungut hasilnya ialah yang disebut ganggam bauntuiq sebagaimana di Minahasa anggauta2 kerabat juga mempunyai „hak pakai” atas tanah2 kerabat yang tak ter-bagi2, dan tokoh2 hukum serupa itu di tempat2 lain.

Di daerah2 Batak dan di Minahasa dapat juga disebut „hak pakai” hak daripada sesama anggauta masyarakat atas pekarangan atau atas tanah pertanian yang dengan izin masyarakat dicetak atas tanah2 „hak milik” kepunyaan orang2 atau kerabat2 lain (hal. 72, 136).

H a k g a d a i d a n h a k s e w a ( p a n d e n h u u r r e c h t ) . Akhirnya ada juga apa yang dapat disebut hak2 yang timbul ka­rena perjanjian atas tanah (terlepas dari adanya hak2 asing) yaitu; hak gadai daripada si pemegang gadai, pula haknya seorang yang menyewa tanah dengan pembayaran wang sewanya lebih dulu ; me­ngenai sifat daripada transaksi2 atas tanah itu berikutnya akan di- bicarakan panjang lebar (di bab ke-3).

W a k a p. Bilamana orang hendak menganggap yayasan „saleh” ini („vrome stichting”, wakap), sebagai suatu badan yang berdiri sendiri dalam hukum, maka tanah yang disendirikan buat pendirian wakap itu adalah „hak milik”nya wakap itu ; andaikata tidak be­gitu maka tanah yang disendirikan untuk wakap itu tanpa rechts subject, hal mana mungkin juga karena kedudukan hukum dari­pada tanah wakap itu ditentukan se-sempurna2nya dengan surat akte penyendirian tanah itu, di mana juga ditunjuk siapa yang diha- ruskan mempertahankan kedudukan hukum khusus atas tanah wa­kap itu. Tapi tokoh hukum yang tersebut pertama tadi, ialah mempunyai rechtssubject, adalah yang seharusnya lebih baik dipi- lih orang.

Sekianlah pembicaraan mengenai hak2 perseorangan dalam hu­bungannya dengan ketertiban hukum yang layak dalam masyarakat2 hukum kecil2 itu. Telah diutarakan betapa suatu tekanan dari satu pusat (raja atau gubernemen) atas masyarakat2 itu dapat meng- akibatkan akan dibatasinya hak2 perseorangan oleh masyarakat du-

sun sedemikian rupa sehingga pemakaian tanah dalam du su n itu se-akan2 sebagai penggantian upah buat pekerjaan-2 untuk ï aj a atau pekerjaan rodi pada hal sebenarnya pemakaian tanah itu haiu s tetap suatu pelaksanaan daripada suatu hak (hal* 77, 96) ; in ilah suatu hal yang melampaui batas mengenai „hak m ilik yan g sudah lemah di desa.

Bila kekuasaan pusat mengurangi tekanannya m aka pertu m bu h an hak2 atas tanah dalam ketertiban hukum di dusun2 m en jad i lebih leluasa, sebagaimana diuraikan tadi, namun ketertiban h u k u m dipu- sat tetap melingkupi ketertiban hukum masyarakat- kecil- d an tetap mempengaruhinya ; tambahan pula ia m enjadi pengurus h a l- yang timbul dari terlepasnya hubungan2 dari m a s y a r a k a t 2 itu (hal. 58), pula — ini yang penting dalam kehidupan hukum — pusat tadi nie- ngurus hubungan2nya penghulu2 dengan anak buahnya, b ila tim b u l perselisihan. Di mana haknya masyarakat atas tanah sudah hapus dan masyarakat2nya lenyap, atau di mana „beschikkingsrecht” sudah patah, maka di situ isi liak2 perseorangan atas tanah ditetapkan oleh ketertiban hukum raja2 atau ketertiban hukum gubernem en.

B. Haft.2 perseorangan dalam ketertiban hukum di daerah2 kera­jaan.

Dalam alam raja2 maka ketegangan seperti yang telah diuraikan tadi, yaitu antara masyarakat beserta ,,beschikkingsrecht” nya, dan hak2 perseorangan, juga terdapat antara raja dan perseorangan2 pemunya hak tanah. Bilamana dipakai untuk pangkal peninjaTian kekuasaan pemerintahan raja2 (jadi bukannya suatu hak atas ta- nahnya raja), maka hak perseorangan daripada kaula2 negara ada­lah h a k m i l i k ( I n l a n d s b e z i t s r e c h t ) , yang begitu berat bebannya sehingga tak selalu dapat dihargakan tinggi dan oleh karenanya mudah menjadinya lenyap (dan karena goyah- nya kedudukan maka juga disebutnya „ h a k m e n g g a - r a p ”) ( b e w e r k i n g s r e c h t ) — atau h a k p n - n g u t h a s i l k a r e n a j a b a t a n ( a m b t e l i j k p r o - f ij t r e c h t) , mungkin juga, h a k p u n g u t h a s i l ” k a r e n a k e k e r a b a t a n ( f a m i l i e p r o f ij t r e e h t) atas tanah pertanian atau pekarangan.

M i l i k r a j a ( v o r s t e n d o m e i n ) . Sudah cukuplah kiranya peninjauan tentang susunan hukum atas tanah ialah : kekuasaan pemerintahan raja2 dan hak2 perseorangan yang telah diuraikan tadi, dan seharusnya cukup sampai sedemikian saja ; karena hanya dengan rumusan itu dapat difahami sampai pada hakikinya segala

im bangan2 dalam pertaliannya satu sama lain, dalam seluruh lïng- karnya (jadi termasuk juga imbangan2 yang meliputi masyarakat- kecil2 itu) , pula dapat difahami bagaimana reaksinya terhadap fak- t °r 2 sosial, dan bagaimana gerak-geriknya. Tiga hal yang mengaki- batkan faham milik raja (vorstendomein) dan hak milik raja (vor- steneigendomsrecht) toch dapat timbul dengan kuatnya di tengah» im bangan2 itu. Hal pertama, yang tak membahayakan, ialah bahwa m enurut adat bahasa secara hamba (byzantijns) tanah itu disebut ■ tanah Raja, milik Raja, milik khusus Raja, sebagaimana se--ala2nya adalah kepunyaan Raja dan untuk Raja (hal. 62). Hal kedua ialah bahw a dalam hubungannya dengan orange asing tokoh hukum In lands bezitsrecht” daripada raja atas tanah kosong merupakan ben tuk meruncing daripada „beschikkingsrecht” yang sudah menjadi perseorangan, hal mana memudahkan pemberian tambahan (com plem ent) (pura2) pada hak2 yang lemah yang diluluskan kepada orang2 asing2 m.salnya „hak^ pikukuh” di daerah Swapraja2 di Taw, dan hak» sewa di Kalimantan, R iauw, dan d; lain2V m n a t Jn„ * „h ak 2 izin” (grantrechten) di Sumatra Timnr. Adalah menariic h , t* (walaupun tak usah dem.k.an) pemberian luk tambahan s e d e m i k i a n it., buat pemegang2 tanah2 bengkok (tanah2dan tanah2 dipakai sekerabat yang dianggap adalah sepenuhnva m ilik Raja dalam „domemreoht ; dalam pada itu konstruksi hak m ilik Raja atas tanah (eigendomsrecht van de vorst) , menimbülkan k e s u k a r a n 2 besar, b»a hak- kerabat, hak2 pegawaiJ dan hak

asing, kesemuanya ma s w g ' JMenijjeiXUaf (lirt (ifilf/ m enjadi hak- dapat dipindahkan tangan, sebagaimana misalnya dulu di ibu kota Yogyakarta ; jadi „domeinrecht" (hak milik raja-’ ) yang theoretis itu, justru karena d.anggap mutlak dalam pada itu menimbülkan faham 2 hukum dan hubungan- hukum yang sama sekali tak masuk akal, lain halnya dengan .beschikkingsrecht'’ yang menyisi bila ter- desak hak2 perseorangan Hal ketiga, yang memperkuat faham hak m ilik raja atas tanah ialah karena pertumbuhan ke arah hak'ner seorangan yang diserta. dengan beban2 pajak faerat |*rpengusiran2 yang kejam dl satu fihak dan hak2 yang tipis lagi tidak bebas atas tanah sebagai upah atas pekerjaan2 roli di l a i f fihak maka hal ini semua hampir sama dengan „ paroh hasil (deelbouw) di mana yang mengerjakan - di sini Pribumi “

memakai tanah - hampir sama dengan petani Qh ™ Q dan raja hampir sama kedudukannya dengan ^ ™ er)

bezitter), dan keadaan m., ialah tekanan atas „Inlands bezitsrecht" diperkuat karena aturan pembenan tanah „lungguh.. (a na“hal. 96). 8 ’

, l u u g g u h" dan m i l i k t a n a h (a p a n a g e e n g r o n d ­b e z i t ) . Seorang pemegang „lungguh” atau „apanage" (pegawai atau anggauta kerabat) atas daerah kecil dengan perantaraan pem- borong-nya (bekel,. J.) yang diberinya sekedar kekuasaan, atau de­ngan perantaraan penghulu2 rakyat yang bekerja untuknya, adalah dulu seorang tuan yang lebih keras dan lebih banyak tuntutannya daripada raja sendiri; sebagai pengecualian, maka dulu dalam da­erah „lungguh” kecil2, tanah2 pertanian yang lowong dapat diker- jakan oleh pemegang „lungguh” sendiri, sehingga ia sendiri men* jadi petani yang bayar pajak kepadanya sendiri, jadi keadaannyft tanah mirip tanah jabatan (ambtsgrond) yang dipungut hasilnya karena jabatannya dengan hak „ambtelijk profijtrecht” .

Kesamaan yang hampir sempurna ini diperkuat karena suatu tokoh lain yang timbul sebagai akibat aturan lungguh ini. Seorang pemegang lungguh yang berhak atas sebagian hasil tanah sama de­ngan dulu haknya raja, seumpamanya dua per lima, maka ia dapat juga menyediakan dua per lima luas tanahnya untuk dirinya sendiri sehingga dengan jalan demikian hasil penuh daripada dua per lima yang ia suruh kerjakan oleh rakyat dalam pekerjaan rodi, di- peruntukkan buat dia sendiri dan hasü penuh dari tiga. per lima lainnya uittuk petani- yang mengerjakannya. Bilamana pemegang JungguJi itu sebagaimana di masa akhir2 ini b a n y a k terjadi di daerah Swapraja di Jawa, tambahan pula menyewakan tanah b a g ia n n y a itu kepada perkebunan atau penanam tebu, maka timbullah suatu keadaan di mana se-akan2 dia, yaitu pemegang lungguh, adalah tuan tanah, dan perkebunan (onderneming) se-akan2 pemakai tanah dan akhirnya si orang kecil yang bekerja rodi dengan pemakaian sebi- dang tanah sebagai upahnya se-akan2 petaninya. Lebih2 untuk me- mahami latar-belakang riwayatnya aturan2 hukum tanah ini, maka pengertian tentang berjalannya lembaga „lungguh” ' ini adalah per- lu sama sekali. Di Jawa, di mana sistim lungguh ini dulu dijalan- kan paling sempurna masih terdapat desa yang telah diberikan sebagai „lungguh” kepada seorang anggauta kerabat raja yang istime­wa dikasihinya. maka desa itu sebagai desa „merdeka” (desa mi- jen, hal. 60)-dipertahankan oleh gubernemen dan merupakan sisa2 daripada sistim lungguh, dan hubungan2 hukum yang tim bul kare- nanya harus ditafsirkan atas dasar sistim tadi. H am pir sejenis dengan desa mijen itu rupa2nya adalah dusun2 yang oleh raja2 Kaili dan Sigi di Toraja Barat dihadiahkan kepada pengantin perempuan buat selama hidupnya di waktu perkawinannya supaya ia dapat memungut hasil pajak2 dari dusun itu untuk diri sendiri. Pun terhadap hubungan2 hukum atas tanah dalam alam raja2 di Su­

matra, Kalimantan, Sulawesi dan Ternate, maka „lungguh” itu penting artinya. Di daerah2 Swapraja di Jawa maka susunan lungguh (apanage stelsel) itu dihapuskan, yaitu dengan jalan perubahan organisasi yang memang sengaja di adakan, di lain tempat karena hapusnya pemerintahan raja2, atau karena perubahan2 ber-angsur2 dalam imbangan2 intern.

Karena reorganisasi2 di daerah2 Swapraja di Jawa maka hapuslah „lungguh” itu dan bersama itu hapus pula pemborong2nya dengan sawah2 jabatan dan halaman2 rumah jabatannya ; sebagai pengganti muncullah desa2 dengan „beschikkingsrecht” yaflg lemah, hak milik petani2 dan hak pungut hasil karena jabatan (ambtelijk profijtrecht) atas tanah2 pertanian untuk penjabat2 desa.

P e k a r a n g a n 2 di i b u k o t a . Keadaan ibu kota Yogya- karta di bawah pemerintahan raja2 Jawa ada lebih terkenal dari­pada keadaan di lain kota2 kerajaan, tapi rupa2nya dalam garis be- sarnya merupakan macam khas (typerend) buat keadaan di lain2 tempat.

Pekarangan2 itu diliputi oleh susunan hak pakai sebagai penja­bat dan sebagai kerabat (ambtelijk- en familie gebruiksrecht) de­ngan hak2nya pengliuni2 dan penumpang2, pula dikuasai oleh ma- kin lama makin mendesaknya pengaruh hak2nya orang2 asing, ru­mah2 tembok, kenaikan harga tanah, dan sebagainya. Bentuk dari­pada perkembangan hukum yang sejalan dengan perkembangannya kota kerajaan menjadi kota tempat tinggal (faham Barat), adalah pengakuan hak2 atas „rumah dan tanaman”, hak mana dapat dijual, (yang akhirnya sama dengan menjual pekarangannya) sehingga pada hakekatnya hak penghuni (opwoners recht), hak pakai sebagai kerabat (familie gebruiksrecht) dan hak pakai karena jabatan (ambtelijk gebruiksrecht) sudah mendekati hak milik (Inlands bezitsrecht) atas tanah, dengan pura2 dipakai sebagai obyek ialah : rumah dan tanaman, sedangkan kepada orang2 asing diberikan hak2 Belanda „opstal” atau „erfpacht” atau suatu hak yang dapat di- samakan dengan itu, ialah hak pikukuh. Di waktu reorganisasi itu maka hak milik penuh atas pekarangan2 di kota di akui (atau dicetak).

C. Haks perseorangan dalam ketertiban hukum gubernemen.

Bilamana tadi telah diuraikan pokok2 daripada hukum tanah da­lam ketertiban hukum di masyarakat2 hukum yang kecil2, pula dalam ketertiban hukum di daerah2 kerajaan2 Pribumi, maka uraian ten-

tang garis2 pokok hukum tanah k e t e r t i b a n l i u k u m g u b e r ­n e m e n akan menyinggung sebagian daripada perundang-undang- an tanah. Xidak dibicarakan di sini percobaan a ia n m elintangkan ketertiban hukum tadi terus menerobos „beschikkingsrecht , lang sung meliputi hak2 perseorangan atas tanah. *) Percobaan itu m eng- akibatkan banyak kekacauan yang tak terhingga — lalu dipertang- guhkannya dan sejak itu dihentikan, ialah karena daya kekuatan kehidupan hukum Pribumi dal.am masyarakat2 keciil karena bebe' rapa instansi2 gubernemen (pegawai2 Pangreh Praja dan hakim ) dan karena ilmu pengetahuan. Sekarang yang di-nanti2kan hanya pemakaian perkataan „beschikkingsrecht” yang ke luar dari m u lu t pembuat undang2, dan yang di tahun2 akhir3 ini seperti di masa yang lampau, sudah mengakui dan mengatur hak pertuanan itu dalam kenyataannya, walaupun belum sampai pada seluruhnya.

Ketertiban hukum gubernemen mencengkang dan menyokong- per-tama2 imbangan2 hukum atas tanah sebagaimana telah terlukis dalam ketertiban hukum masyarakat2 tadi, itupun dengan jalan peradilan hakimnya, pula pemerintahannya. Dasar daripada im bang- an itu terletak dalam Indische Staatsregeling (het Regeeringsregle- ment) di mana Koning dan Staten Generaal sejak awal mulanya sudah menetapkan bahwa ketertiban hukum Pribumi di In d o n e s ia akan dipakai sebagai dasar dan titik pangkal dalam hubungan*- hukum antara orang2 Indonesia satu sama lain, pun juga m e n g e n a i hubungannya dengan tanah.

Di luar masyarakat2 hukum kecil2, di pulau2 kosong, di kota- besar, dan di daerah tak bertuan, yang berlaku se-mata2 dan secara langsung ialah ketertiban hukum gubernemen (perundang-undang-* an, peradilan gubernemen, hukum tak tertulis) . Di situlah terdapat „hak milik” yang tak terbatas oleh „beschikkingsrecht” atau oleh hak raja2, namun oleh pembuat undang2 dibatasi dalam l a l u - l i n -

tasnya hukum dengan lain2 bangsa; rupa2nya tanah2 jabatan (ambtsgronden) tak terdapat, begitu juga „ha;k terdahulu” (voor­keursrecht) , „hak menikmati” (genotrecht) dan „hak terdahulu untuk beli” (naastingsrecht) pun tak ada pula ; kesemuanya itu langsung berhubungan satu sama lain 'dengan ketertiban hukum daripada masyarakat2 kecil2, namun di luar masyarakat2 itu tak mendapat dasar apapun dan di manapun juga.

Dalam .Advies der Agrarische Commissie” yang tercetak, L a n d s d r u k k e r i j 1930, terdapat segala sesuatu yang menurut pendapat saya merupakan kecamar» sehat terhadap masalah ini. Keberatan2 vang menentang advies tadi, adalah ter- dapat dalam Verslag dari Panitya untuk mempelajari A dvies der A g r a r is c h e Commissie 1932, panitya mana dibentuk oleh perkumpulan „Indië-N ederland”

T a n a h 2 p a r t i k e l i r ( p a r t i c u l i e r e l a n d e r ij en) . Dapat disamakan dengan „lungguh" di alam raja2 — dipandang dari sudut penekanan atas hak milik — ialah tanah2 partikelir di ling­kungan gubernemen. Karena menduduki tanah partikelir itu maka penduduk mendapat suatu hak yang seharusnya disebut „hak milik’' (Inlands bezitsrecht) andaikata tanah partikelir itu tidak sama sekali bakal d iju al; dan seharusnya menjadi „hak milik”, bilamana tanah partikelir itu dibeli kembali atau dicabut haknya (ontei­gend) oleh pemerintah ; tetapi bilamana karena pembatasan2 dari fihak tuan tanah selama masih status „tanah partikelir” itu, orang tak suka menyebutnya „hak milik”, maka hak itu dapat disebut »>h a k m e n g e r j a k a n ” ( b e w e r k i n g s r e c h t ) , dan dalam undang2 namanya „hak erfpacht” (erfpachtsrecht). Hak menger- jakan ini untuk daerah sebelah Barat sungaii Cimanuk dibatasi oleh hukum tertulis (Stbl. 1912 No. 422) dan untuk sebelah Timur sungai Cimanuk oleh hukum tak tertulis. Tentang tuan tanah (yang perhubungannya dengan tanah tidak dapat mengikat perkembangan- nya perhubungan gubernemen- dengan tanah, dan yang dalam lalu- lintas hukum civiel mendapat perlindungan sebagai pemilik atau „eigenaar”) , maka ia di samping mempunyai hak untuk memungut pajak (cuke) dan hak2 lain2nya terhadap penduduk yang menger­jakan tanahnya, mempunyai juga beberapa bidang tanah yang luas2 dalam hak „eigendom” yang u>tuh.

Hak Pribumi a g r a r i s c h e i g e n d o m sama sekali ditetap- kan dengan suatu aturap tertulis, yang juga menjadi dasarnya pula, yaitu Staatsblad 1872 No. 177. Ber-ulang2 terjadi, bahwa kewajiban untuk „overschrijving” lebih2 bila tanah agrarisch eigendom itu diterimanya sebagai warisan seorang mati dilalaikan sama sekali, sehingga kedudukannya hukum lantas amat sangat goyahnya ; itu­pun. kecuali bila kiranya dapat dianggap bahwa melalaikan „over­schrijving" daripada tanah yang di tangan orang2 Indonesia itu meng- akibatkan bahwa tanah itu jatuh kembali ke status „Indands bezits­recht”, hal mana akan dapat merupakan „jalan ke luar” yang se-baik2nya.

BAB KETIGA. PERJANJIAN T E N T A N G T A N A H .

Setelah dikemukakan ciri- daripada hukum tanah dalam keadaan diam, maka sekarang menyusul suatu percobaan membahas dalam garis2 besarnya hukum tanah dalam keadaan bergerak. Ini berarti, bahwa harus diikhtisarkan menurut rangkanya, perbuatan2 mena- ruh dan memindahkan hak2 atas tanah. Dalam perincian lebih lan- jut maka usaha itu meliputi : pendirian dusun, pembukaan tanah oleh perseorangan, penjualan tanah (tukar-menukar tanah), peng- gadaian tanah, pemberian sewa tanah dengan wang sewa yang di- bayar lebih dulu ; pencadangan tanah untuk dijadikan benda hu­kum tersendiri; pemberian tanah dan penghibahan tanah (toescheid- ing van grond).

I. PENDIRIAN DUSUN.

Sebagaimana pembahasan pertalian hukum atas tanah yang su­dah2 itu dimulai dengan membahas hak2nya khalayak (groepsrecht) yaitu hak pertuanan (beschikkingsrecht), maka lukisan mengenai hukum tanah dalam keadaan bergerak harus memulai dengan per­buatan hukum yang mengakibatkan timbulnya hak2nya khalayak tadi.

Tidak mungkin dikatakan, bahwa suku2 bangsa Jawa dan Sunda dulu memasuki pulau Jawa, bahwa suku2 bangsa Batak, Nias, Mi­nangkabau atau suku manapun juga memasuki Sumatra, bahwa suku2 bangsa Bugis, Toraja dan Minahasa memasuki Sulawesi, dan sebagainya. Sebagai pangkal, harus dianggap lingkungan2 hukum yang sekarang ini, yang didiami oleh suku2 bangsa dengan jenis2nya sendiri dan dengan kesatuan2 siisunan rakyatnya sendiri . masing- lingkungan hukum itu mengalami proses pertumbuhan yang ajaib, ialah bahwa masyarakat2 hukum baru timbullah dengan jalan pe- rumpunan (uitstoeling) yang berlangsung dengan tertibnya.

Sebagaimana dalam suatu golongan sanak<saudara kerabat- me- nimbulkan cabang2 kerabat, ialah dalam proses dari abad ke abad berwujud penambahan dan pemisahan ummat manusia, tanah, gelar dan benda lain2nya, selanjutnya cabang2 kerabat itu menimbulkan kerabat2 baru dan golongan2 sanak-saudara baru, sebagaimana keluarga2 menimbulkan keluarga2 baru karena menyiarnya anak2 dengan membawa sebagian dari kekayaan keluarga, demikian jugk orang2 penduduk dusun membentuk dusun2 dan masyarakat2 wila­yah baru, tersusun menurut unsur2 sejati daripada bangunnya sen­diri. Masyarakatnya sendiri sudah menjadi kesempitan. Dalam jarak

yang patut sudah tidak dapat diperoleh lagi hasil2 hutan yang mencukupi, begku juga tiada tanah pertanian cukup buat semua anggauta2; perselisihan satu sama lain menyebabkan keadaan hidup berkumpul tak tertahan lagi ; keinginan akan kemegahan men-dorong orang mencari kalangan kekuasaan dan kalangan hukum nya sendiri, mendorong dia ingin membentuk gerombolan anak cucu yang ber- diri sendiri atau apa saja lain2nya. Lalu pergïlah serombongan kecil untuk membuka tanah dan untuk berdiam di sana (m enyusuq. R ej» truka, J.) bila mungkin, pada jarak yang tertentu dari masyarakat- nya sendiri; yang memimpin ialah saudara lelaki m uda daripada penghulu rakyat, atau sepuluh orang lelaki dan perempuan, beker- ja atas dasar pfrsamaan satu sama lain. Didirikan pondok2 kecil» diadakan pujaan untuk meletakkan hubungan dengan tanah, orang menebang, membakar dan menanara ; bilamana panennya berhasil baik, maka rumah2nya diperkokoh, makin banyak orang mendatang, didirikan dan dibuat balai dusun, tempat pemujaan, pagar dusun, tanah lapang dusun, dan rumah sem/bahyang; masih tergolong se‘ bagian daripada masyarakat asal sendiri, namun pekerjaan pendirian dusun berlangsung terus ; buat tahun kedua tanah2 pertanian di- buka di lam tempat, terhadap tanah2 pertanian dari tahun pertama yang ditinggalkan, maka rombongan baru itu berkedudukan i^ti- mewa- Mula2 orang2nya yang mati masih dikubur di induk dusun­nya, tapi di belakang di tempatnya sendiri yang baru itu ( p e r i s t i w a

penting) ; angkatan kedua dilahirkan di tempat baru itu (peristiwa yang tak kurang pentingnya), mereka se-akan2 mempunyai p e r ik a ta n yang terwujud nyata dengan tanah kelahirannya. R om bongan *tu sedari awal-mulanya merupakan suatu ketertiban sendiri ; si p e n d i n

dusun dan anak cucunya sebagai orang2 terkemuka dan di bawahnya : kepala2 kerabat2 lainnya, aitau; rapat yang terdiri dari pendiri2 dusun dan anak cucunya, kemudian diperkuat oleh kepala2 kerabat2 yang datang di belakang.

Rombongan yang memisah dan mengembang menurut keadaan bangunnya sendiri sedemikian itu, bertumbuh jadi satu dengan tanahnya menjadi persekutuan hidup, ialah karena kelahiran dan kematian, pujaan2 dan tanda2, penebangari dan pemulihan m e n j a d i

semak kembali, penanaman dan panen, dan pekerjaan2 dengan mandi keringat.

Pada suatu hari maka sisa2 hubungan dengan tempat asal dipu' tuskanlah ; dalam pada itu diselenggarakan upacara2 yang bermak- sud memperkuat kedudukan kesetimbangan dalam alam raya (kos­misch) daripada dusun baru itu di lingkungan yang lama ; batas2nya

ditetapkan, kedaulatannya dinyatakan, hak pertuanannya (beschik­kingsrecht) baru terlahir, dan dengan itu maka pendirian dusun sudah selesailah.

Pendirian dusun dalam masyarakat wilayah sendiri atas tanah yang telah dimiliki oleh pendirinya dengan „hak milik’’ (seperti di kalangan orang2 Batak) pada umumnya adalah suatu proses yang kurang hebatnya dan yang hanya memakan tempo pendek saja.

Dalam lebih dari satu lingkungan hukum maka di sana banyak keadaan yang mengurangi dan menghentikan proses perumpunan dusun- ; terjadilah kekurangan tanah, karena daerah2nya masyarakat2 itu berbatasan satu sama lain dan tiada lagi terdapat ruangan yang kosong, atau karena. tanah tak terbuka itu tidak diperbolehkan lagi diperuntukkan buat pendirian dusun sebab disediakan buat cadang- an tanah liutan dan tanah erfpacht. Lalu-lintas cepat membuka banyak kemungkinan2 bagi' orang2 yang bertabiat dinamis, kemung- kinan2 mana mengganti kemungkinan di zaman dulu yang hanya berupa satu saja, ialah : mengembara ke luar dan lalu mendirikan dusun ; kota2 besar meriyerap mereka, yang dulu sama mencari naf- kahnya ke dusun baru ; pembentukan dusun2 yang besar mendapat sokongan dari fihak pemerintahan pusat. Meskipun demikian, namun perbuatan pedirian dusun itu adalah dasar daripada ribuan masyarakat2, di mana sekarang penduduk melangsungkan kehidup­an hukumnya.

2. PEMBUKAAN T A N A H PERSEORANGAN.

Bilamana pendirian dusun dan peletakan hak pertuanan itu da­pat disebut suatu perbuatan ber-„segi satu” (eenzijdig) daripada rombongan orang atas tanah, maka dengan tepat perbuatan segi satu dari individu ialah pembukaan tanah sebagian dari daerah hak pertuanan (beschikkingskring) oleh seorang anggauta masyarakat. Menurut hukum adat maka hak membuka tanah (ontginningsrecht) itu tidak dapat ditempatkan di sisi hak pertuanan (beschikkings­recht) , melainkan lebih baik disebutnya sebagai haknya si anggauta sendiri untuk melakukannya dengan cara tertentu atas „beschik­kingsrecht” yajig dia ikut mendukungnya juga. Melakukannya itu terjadi secara gerombolan atau secara perseorangan, dengan ke- tahuannya penghulu masyarakat lebih dulu, jadi : dalam ketertiban- hukum masyarakat. Tentang pembukaan tanah oleh bukan anggauta masyarakat, yang bukannya berdasar hak membuka tanah yang dia ikut mendukungnya, melainkan karena ia sudah mendapat izin dari masyarakat yang ber-„beschikkingsrecht” itu, maka soal ini telah di- bicarakan di waktu meninjau „beschikkingsrecht" di muka ; maka

perbuatan orang itu dapat dianggap perbuatan atas dasar perjan- jian, bukannya. perbuatan berdasar suatu hak yang didukung sen­diri oleh perseorangannya si pembuka tanah itu.

Pembukaan tanah oleh sesama anggauta gerombolan dalam ling- kungannya sendiri berlangsung dengan ketahuan penghulu masya­rakat lebih d u lu ; dengan cara demikian maka ini ternyatalah suatu perbuatan hukum yang menimbülkan hubungan2 yang berhak me- nuntut perlindungan dalam ketertiban hukum masyarakat itu. Penghulu (kepala) menjaga jangan sampai hak2nya orang2 Iain— ialah hak2 terdahulu (voorkeursrecht) — dilanggarnya (pemeli- haraan hukum pencegahan *= preventieve rechtszorg), pula ia menjaga jangan sampai terlanggar-: tanah yang disedia'kan untuk kepentingan masyarakat — atas dasar „beschikkingsrecht” masya- rakat — atau tanah yang dilepaskan dari pemakaian perseorangan (perbuatan terakhir ini dia sebagai perwakilan dari masyarakat yang ber-„hak pertuanan” itu ).

Tanah yang akan dibuka oleh orang-seorang itu diasingkan de- ngan jalan dibubuhinya suatu tanda larangan ; dengan demikian diberitahu'kan kepada orang2 lain, bahwa tanah yang ditandai sede­mikian itu adalah taiiah larangan, si calon pembuka dengan syarat tertentu sudah menghubungkan diri -dengan tanah itu, melanggar tanah itu berarti melanggar dirinya si calon. Tanda2 larangan itu kadang2 berupa kelar3 di pohon2 pembatasan, kadang2 galah* yang ditaruhkan daun2, kadang2 dua batang canggah berpalang yang di* gantungi sekian kait2 dari kayu sejumlali bidang2 sama dengan tanah yang akan dibuka, atau digantungi sekian singat2 kerbau yang menunjukkan sekian dendanya bila orang melanggar larangan itu (sebenarnya berarti; sekian ekor kerbau liarus si pelanggar mem- bayar sebagai dendanya) . Si calon pembuka tanah mempersembah- kan pujaannya selaku perseorangan, bila perlu dengan bantuannya kahin tanah, perlunya supaya memperoleh suasana sedemikian rupa sehingga ia merubah keadaan itu dimungkinkan dengan tiada kena bahaya maut, pula untuk berdamai dengan orang2 halus yang jahat dan untuk meminta tolong kepada orang2 halus yang baik.

Pada saat yang telah ditetapkan oleh musimnya maka dapatlah dan haruslah tindakan2 pertama ke arah pembukaan itu ialah mene- bang, dimulai; perhubungan hukum dengan tanah adalah „hak terdahulu (voorkeursrecht) daripada pembuka tanah yang memu- lai itu.

Membuka tanah di daerah bukannya daerah masyarakat hukumnya sendiri jalannya sama saja, hanya harus ada izin sebelumnya, yang

diberikan oleh kepala (penghulu) sebagai wakil daripada masyara­kat yang mempunyai „beschikkingsrechtMnya itu ; untuk menye- lenggarakan pujaan perseorangan, maka harus ada bantuannya seorang anggauta daripada masyarakat yang berhak pertuanan tadi.

Pembukaan tanah di daerah tak bertuan aturannya se-mata2 menu­rut aturan kerajaan Pribumi atau gubernemen. Undang2 pembu­kaan tanah (ontginningsordonnanties) di daerah gubernemen de­ngan demikian tidak di-halang2i berlakunya oleh hak pertuanan da­ripada masyarakat2. Undang2 itu berlaku juga terhadap lingku­ngan- „beschikkingsrecht” sepanjang tak menyalahi hak pertuanan itu.

A k i b a t h u k u ill n o m o r d u a ( s e c u n d a i r ) d a r i p a d a p e m b u k a a n t a n a h . Karena tindakan hukum segi satu perseorangan itu, ialah pembukaan tanah, maka diletakkanlah hubungan perseorangan oleh si pembuka tanah atas tanah pertanian yang dibuka itu, ialah hubungan sihir (magisch) dan hubungan hukum dalam lingkungan keseluruhan siliir dan ke- seluruh hukum yang ada pada ummat dan tanah. Tapi hubungan antara tanah pertanian dan manusia itu tidak terbatas tegas sampai ke manusia dan tanah saja, melainkan juga berlangsung terus dari manusia ke keluarganya dan ke kerabatnya (ini tergantung dari foko/i susunan kesanak-saudar<(3nnj'3), ke bagian clannya yang ber- diri sendiri, dan ke iwamnya ; pula berlangsung terus dari tanahnya itu ke tanah tetangganya (hak terdahulu atau „voorkeursrecht ) . Hubungan itu se-konyong2 dapat menjadi se-erat2nya antara kera- bat dan tanah, bila kejadian (demikianlali di kalangan Daya'k Ma- anyan di Kalimantan) si pembuka meninggal dunia di lapangan situ (tanah itu lalu disebut taneh kauhi) atau bilamana seorang perem­puan melahirkan anak di tanah situ ; pembukaan tanah itu dapat pula menyebabkan milik kerabat, bilamana pembukaan itu memang untuk kerabat. Bilamana seorang lelaki yang tidak kawin — seorang pengembara yang terlepas dari sanak-saudaranya — di suatu tempat membuka sebidang tanah tak bertuan (mungkin dengan menepati aturan2 suatu undang2 pembukaan tanah) maka yang timbul tak lain hanya hubungan hukum antara si pembuka dan tanah pertani­an itu saja.

3- PERJANJIAN2 T A N A H SEGI D UA DI D ALAM M ASYARAKAT2.

Untuk memahami hakikinya perjanjian2 tanah segi dua (twee­zijdig) menurut hukum adat, maka perlulah (dan logislah) mema-

kai sebagai pangkal : hubungan (hukum) yang mengandung iba- dat sihir (magisch religieus) antara manusia (dan warisnya) dan tanah (beserta tanah berdampingannya) di dalam ketertiban hukum (dan ketertiban menurut sihir) masyarakat, hubungan mana yang timbul karena pembukaan tanah oleh perseorangan itu. Andaikata kesatuan masyarakat itu dapat digambarkan sebagai suatu lingka- ran, maka di dalamnya itu hubungan2 sendiri2 daripada manusia ta­nah masyarakat merupakan lingkungan2 kecil2 yang satu terhadap lain berkedudukan yang tertentu, pula misalnya terhadap bidang- tanah kerabat, di mana tanah2 serupa itu ada terdapat.

Maka ternyata mungkin juga melepaskan ,,apa2” dari satuan yang digambarkan secara kongkrit tadi, pula mungkin juga me- mindahkan ,,apa2” tadi kepada lain satuan, asal pemindahan itu diselenggarakan dengan ber-hati2s secukupnya dan asal dijaga ja­ngan sampai kesetimbangan itu terganggu, ialah dengan jalan me* mindahkan suatu tara (equivalent) dengan serentak dari satuan ke satuan, ke juruan kebalikannya. Unsur daripada perbuatan itu ialah peralihan yang serentak — pembayaran tunai — sehingga per­buatan hukum semacam itu kiranya dapat disebut p e r b u a t a n t u n a i (kontante handeling) . Ini terdapat di hukum sanak- saudara, di mana orang jnemungut anak yang bukan karibnya de­ngan disertai pembayaran (berupa barang2 berkhasiat atau wang, hal. 182), pula terdapat di waktu kepindahan anak2 dari sukunya ibu ke sukunya bapa disertai pembayaran menurut adat (pedaul, Rej. hal. 185) ; terdapat di hukum perkawinan di waktu kawin ju­jur (bruidschatfhuwelijk, hal. 195) ; terdapat di ,.hukum kekayaan” (vermogensrecht) di waktu menyerahkan (hak atas) tanah ; pula

terdapat di waktu menyerahkan barang2 yang berkhasiat benar dan yang berhubungan erat dengan orang yang membuatnya atau yang memilikinya (tanduk menjangan terukir, senjata tertempa, gigi2 macan atau azimat lain, dan sebagainya). Inti kesemuanya itu ialah penyera'han untuk terima pembayaran tunai; faham sedemikian .itu dinyatakan dengan perkataan Indonesia „mcnjual” , perkataan Ja­wa ,,adol” (bahasa tinggi : sade) , istilah2 mana dalam hubungannya ini jadi tidak boleh disalin dengan bahasa Belanda : „verkopen”, selainnya bila, dari sesuatu hal, ternyata bahwa yang dimaksudkan : penyerahan buat se-lama2nya. Dalam hukum tanah maka perjan­jian2 jual itu dapat mengandung tiga jenis maksud :

A. menyerahkan tanah untuk terima pembayaran tunai sejum- iah wang, sedemikian rupa, sehingga orang yang menyerahkannya

tetap ada hak atas kerabalinya lagi tanah itu kepadanya dengan jaJan membayar kembali sejumlah uang yang sama; antara lain menggadai (M in.), menjual gadé (Ind.), adol séndé (].), nga- jual akad atau gadé (Sund.);

B. menyerahkan tanah untuk terima tunai pembayaran wang, tanpa hak menebusnya, jadi buat se-lama2nya (menjual lepos (Ind.), adol plas, runtumurun, pati bogor (J.), menjual jaja, (Kalimantan) ;

C. menyerahkan tanah untuk terima tunai pembayaran wang de- ngan janji bahwa tanah akan kembali lagi kepada pemiliknya tan­pa perbuatan2 hukum lagi, itupun sesudahnya berlalu beberapa ta- hun panen (menjual tahunan (Ind.), adol oyodan (J.).

Dalam bahasa Belanda disebutnya: A. „grondverpanding” ,B. „grondverkoop” dan C. „grondverhuur met vooruitbetaalde huur- schat” .

Juga di mana dasar yang mengandung ibadat dynamisme tidak ada (atau mulai tidak ada) pada imbangan2 tanaih atau perjan- jian2 tanah ini, jadi imbangan2 tanah ini bukannya hasil daripada faham fikiran „participerend”, melainikan hasil dari perhitungan sa- dar dan analystis, namun perjanjïan2 jual ini dalam susunan hukum adat hanya dapat difahami sebagai perjanjian2, di mana hak2 dipindahkan dengan jalan perbuatan2 tunai (perjanjian2 riil = reële overeenkomsten).

P e m b a n t u a n d a r i p e n g h u l u 3 r a k y a t . Un­tuk melaksanakan suatu perbuatan hukum (rechthandeling) yang menimbülkan suatu perubahan yang diinginkan dalam ketertiban- hukum dan yang berhak atas perlindungan hukum, maka ia harus dilaksanakan dengan pembantuan penghulu2 rakyat atau kepala2 dusun yang tugasnya itu (di Jawa) disebut dengan perkataan yang menunjukkan bahwa mereka itu dengan pembantuannya itu me- nanggung (tanggung) bahwa perbuatan itu sudah cukup tertib dan cukup sah menurut hukumnya. Mereka menjadikan perbuatan itu sampai kelihatan oleh umum, mengangkatnya sampai ke ketertiban hukum umum, menjadikannya terang dan tidak gclap, peteng (J.), menjadiikannya di bagasan adat (Bat.) di lalu-lintas hukum

yang bebas dan terjamin. Tugas penghulu2 masyarakat itu meliputi juga kewajiban menjaga hak2 wan'jnya terjamin, begitu juga hak2nya pemilik2 tanah2 berdampingnya, pula hak2nya sesama ang­gauta masyarakat. Bila ada tanah dijual lepas atau dijual gadai, maka — bila pertalian antara anggauta3 kerabat (waris) masih cu-

kup eratnya — harus ada pernyataan baiiwa mereka menyerujuinya (atau mereka hendak mengoper tanah itu sendiri) ; dan di beberapa

wilayah harus juga ada pernyataan baiiwa pemilik2 tanah2 yang berdampingan menyetujuinya ; dan bila dipindahnya tangan kepada seorang di luar dusun harus ternyata bahwa anggauta2 masyarakat tidak mempergunakan ,,naastingsrecht"nya (hak terdahulu untuk beli, halaman 76, 92) ; kadang2 pembuatan kepala dusun itu juga menjamin berlakunya tanah itu sebagai tanggungan pinjaman (hal. 143) ; dengan cara demikian dijaga supaya jangan timbul perselisihan2 hukum di belakang, bantuan kepala2 dusun itu me* ngandung nilai sama dengan suatu keputusan di luar perselisihan, misalnya dengan demikian sudah' diputuskan apakah perjanjian dengan orang luaran masyarakat diperbolehkan apa tidak oleh „be­schikkingsrecht” (dalam berlakunya ke luar) ; dan bila m em ang di­perbolehkan, maka pembantunya penghulu masyarakat itu se-olah2 membuka pintunya Iingkaran tadi untuk orang luaran itu ; dan da­lam lingkungan situ si asing tadi ilaimbait-lauTi dapat dipuTigut masulk sebagai anggauta, atau „si asing tetap asing yang harus membayar biaya (sewa bumi) terus sesudah terlaksananya perjanjian tanah itu . Wang pengakuan yang harus dibayarkan kepada penghulu2 di w-iViu diadakan perjanjian2 tanah itu, berupa sejumlah kecil,

1 a anSati orang2 Batak disebut pazo-pago tapi biasanya disebut :saksi saja.

Bila perjanjian itu dilaksanakan di luar pengetahuan penghulu masyarakat maka ia tak ditingkatkan sampai ketertiban hukum, tak

er aku terhadap fihak ketiga, dan si penerima oleh dunia luar tak diakui sebagai yang berhak atas tanah. Juga dalam hubungan antara kedua fihak maka bila timbul perselisihan mengenai hak atas tanah2 risikonya ada pada si penerima, yang tidak menerimanya de­ngan „terang”. Pengabaian pembantuan penghulu rakyat itu dapat dibetulkan lagi dengan jalan melakukan tempo yang lama, pula

engan perbuatan2 pengakuan langsung atau tidak langsung, ke­semuanya itu lalu dapat mengakibatkan bahwa hubungan2 hukum atas tanah yang baru — yaitu berdasar perjanjian2 tadi — dapat

u sePer>uhnya. Andaikata ternyata bahwa kepada dusun sudaJi pernah menolak permintaan pembantuannya maka bila toch tanpa pembantuannya dilaksanakan suatu perjanjian tanah, maka per­janjian sedemikian itu tidak se-kali2 akan mendapat pengakuan oleh hukum.

Jadi menurut hukum adat maka, penggadaian tanah, penjualan tanah dan penyewaan tanah dengan pembayaran wang sewa lebih dulu, adalah penyerahan tanah di muka penghulu masyarakat dan

dengan setahunya waris dan pemilik2 tanah berdampingnya, untuk menerima tunai sejumlah wang, dan penyerahan sedemikian itu un­tuk se-Iama2nya, atau, dengan permufakatan di belakang baik untuk dapat ditebusnya kembali, maupun untuk kembalinya tanah sesudah lewat tempo tertentu. Kebanyakan perjanjian sedemikian itu di- buat dengan tertulis, ialah di atas surat perjanjian atau „akte”.

O b y e k n y a p e r j a n j i a n 2 t a n a h . Mengenai perbuatan2 tuna^ (kontante handelingen) dalam hukum kekayaan maka tanahlah yang paling digemari sebagai obyeknya. Dapat disa- makan dengan tanah adalah empang2 ikan dan perairan lainnya yang dapat ditaruhkan hak2 perseorangan. Selanjutnya juga pohon2 menjadi obyek, pula rumah2, itupun bila dijualnya atau digadai- kannya ber-sama2 dengan halama'nnya. Rumah2 batu pun hanya se- mata2 dapat pindah tangan dengan jalan perjanjian jual (itu­pun bila rumah2 batu itu senyatanya menjadi obyek perjanjian yang berlangsung sendiri, lepas dari lain2 perjanjian, hal mana amat jarang akan terjadinya). Kemudian maka hanya dengan jalan perjanjian jual (jual transaksi) itu sajalah dapat dimi- liki benda2 yang sangat berhubungan dengan khasiat dan sangat me­ngandung khasiat, sebagaimana telah diuraikan tadi, misalnya : azi- mat2, obat2, tanduk terukir, kadang2 keris* dan sebagainya. Barang2 lainnya, termasuk juga rumah2 bambu dan ternak, dapat juga di­serahkan dengan pembayaran tunai, juga dapat bila perlu dijual dengan kredit. Dalam pada itu maka wang pembelian itu bukan- nya suatu syarat supaya memungkinkan pemindahan tangan barang2 itu berdasarkan atas hukum adat, tapi wang pembelian itu hanya berarti sebagai „tara” dalam arti ekonomis — seketika atau ber-ang- sur2 — bu^t ganti serentak apa yang diterimanya, masalah mana akan dibentangkan di bab kelima berikut.

A 1 a s a n. Alasan untuk perjanjian tanah itu lazimnya ialah bahwa si pemilik tanah butuh wang. Bilamana ia tak dapat men- cukupi kebutuhannya itu dengan jalan meminjam wang (mem- buat perjanjian w a *n g) maka ia dapat mempergunakan t a n a h nya untuk memperoleh wang-itu dengan jalan mem- buat p e r j a n j i a n t a n a h ( g r o n d t r a n s a c ­t i e ) . Acapkali urutannya demikian: seseorang membutuhkan 'vvang dan meminjam wang dan buat mengembalikannya maka ta- nahnya pertanian-atau pekarangannya dijadikan tanggungan (hal in-, dibicarakan nanti), artinya, orang itu berjanji — bila dalam tem­po yang sepatutnya wang itu belum dapat dikembalikan — maka ia melunasi hutangnya itu dengan jalan membuat jual transaksi

(perjanjian jual) dengan tanahnya itu sebagai obyeknya (m em - buat perjanjian ini dengan si pemberi hutang sendiri atau dengan lain orang). Bilamana sampai sekian, dan yang berhutang m em buat perjanjian jual (menggadaikan, menjual lepas, menyewakan dengan wang sewanya dibayar lebih dulu) dengan si pemberi pinja- mannya, maka di srni adalah suatu kontrak pelunasan (delgingskon- trakt) ; dengan demikian jumlah wang yang dibayarkan itu m en- jadi gantinya pembebasan hutang, atau sama dengan pengakuan - „wangnya sudah saya (penyerah tanah) terima dengan bark . D i ka langan orang2 Batak Xoba penggadaian tanah sebagai kontrak pc lunasan hütang itu disebut sindor, sebutan mana berlainan dengan penggadaian tanah karena kebutuhan wang, hal m ana disebut . dondon.

P e m b a y a r a n s e b a h a g i a n . Adalah sukar untuk. ditetapkan, apakah adakalanya dapat terjadi dalam suatu perjan­jian yang jujur, bahwa si pemilik menyerahkan tanahnya dan un­tuk itu dia dibayar wang hanya sebagian, sedang sisanya akan dibayar pada lain waktu. Bila memang pernah ada kejadian demikian, ma­ka hal ini adalah suatu perkecualian yang jarang terdapat, karena penghulu2 masyarakat menuntut pembayaran penuh daripada wang- harga yang sudah dimufakati, itupun sebagai syarat untuk memberi-

an P^hantuannya. Andaikata toch timbul perselisihan hukum ka- na tidak terbayarnya sisanya wang gadai, wang jual, atau wang

? Wa tat * maka menurut hukum adat perkara ini harus ditinjau an sudut „perbuatan tunai” (kontante handeling) sepenuhnya,

ja i wang tunggakan itu seharusnya dianggap sebagai suatu pm - jaman wang biasa, se-akan2 sesudah „perbuatan tunai" penuh tadi, sebagian wangnya pembayaran dipinjamkan lagi kepada si pembayar wanS ialah si penerima tanah.

S a a t t e r l a k s a n a n y a p e r j a n j i a n . Pada saat dinyataikan di hadapan penghulu (kepala) : sayamengaku sudah menyerahkan tanah dan untuk itu sudah menerima wang harganya,. maka saat itulah saat ditaruhnya hak fihak lain itu atas tanah yaitu baik hak gadai atau hak milik, maupun hak sewa. Sejak saat itulah - sampai ditebusnya, atau buat se-lama2nya, atau sampai le- watnya tempo tertentu — sipembayar wang itu menjadi p em u n y a h a k a t a s t a n a h ( g r o n d g e r e c h t i g d e ) -

an terletak padanya „pertanggungan-jawab”, sebagaimana periba- asa Batak mengatakannya. Pemilik tanah semula yang menggadai-

kannya sejak itu hanya dengan jalan menebus berhak atas kernba- linya tanahnya; pemilik tanah semula yang menjualnya lepas s e j a k

itu ta-k berhak lagi atas tanahnya ; pem ilik yang menyewakannya

ngan pembayaran wang sewa lebih dulu, hanya sesudah lewat tem- P° yang tertentu berhak atas kembalinya (menuntut kembali) ta­nahnya.

Bilamana dalam hal yang pertama dan yang ketiga hak milik atas tanah itu orang suka menamakan „hak milik yang sudah terbuka” (bloot inlandsch bezitsrecht) — misalnya untuk memenuhi peraturan „landrente” — maka rupa2nya sebutan yang sedemikian itu tak ada keberatannya ; orang yang menggadaikannya atau menyewakannya, bila perlu, dapat memperoleh pengakuan hukum, bahwa tanahnya itu dapat ditebus kembali atau bahwa hak2 gadai dan sewa itu hanya berlaku untuk sementara saja ; pula hukum adat mengenal cara2 lain, yang akan disebutkan berikutnya, yang mengingatkan bahwa ,/haik milik” masih ada di tangan pemiiliik semiula. Apakah sisa2 haik yasng masih ada di tangam si penjual gadai itu dapa't dipindah ta­ngan, maka soal ini rupa2nya tidak terang dan tidak boleh jadi. Hakwn dengan -kekuasaainnya ikut membentuk hukum baru harus sa­ngat hati2 terhadap kemungkinan2 serupa itu yang taik bersambung dengan alam pikiran hukum daripada rakyat Pribumi; ada kekha- watiran yang beralasan terhadap kemungkinan main kongkalikong. Tapi hak si penjual gadai dan si penjual se%va benar- dapat di-wariskan.

P e n u n d a a n p e n y e r a h a n t a n a h. Penundaanpemakaian tanah secara nyata oleh si penerima gadai, si pembeh ta- nah atau- si penyewa tanah dapat terjadi karena tiga macam kea­daan. Pertama kali — yaitu di Jawa — dapat dibuat persetujuan dalam perjanjian jual, bahwa hak yang diperoleh karena trans- aksi tadi baru berlaku sesudaihnya satu atau dua tahun atau lebih

' yang akan datang; sesudah habis tempo tadi, maka tak usah di- adakan tindakan kedua, namun haknya sipenerima tanah mulai ber­laku pada saat yang telah dimufa:kati. Ini disebut: digangsur seta- hun, rong tahun dan sebagainya. Kedua, seketika sesudahnya dibuat perjanjian maka dapatlah seseorang, yaitu orang yang menyerah­kan tanahnya, diizinkan memakai tanah itu secara nyata, misalnya berdasarnya atas perjanjian paruh hasil tanam (deelbouw). Dan ketiga, penundaan pemakaian tanah secara nyata itu dapat disebab- kan karena pemakaian yang tidak sah oleh seseorang, misalnya oleh si penyerah sendiri.

S a k s i. Mereka yang selaku jabatannya dalam masyarakat, yang selaku kedudukannya sebagai xoaris atau sebagai pemilik tanah berdampingnya dan mereka yang memang se-mata- sebagai saiksi, jadi kesemuanya itu yang menghadiri pembuatan perjanjian, maka

mereka itu biasanya disebut saksi. Jadi istilah ini tidak boleh disa- makan begitu saja dengan perkataan „getuige” dalam bahasa Belanda, namun harus diterangkan juga menurut kedudukannya khusus di waktu hadir itu.

G a d a i t a n a h b e r h a d a p a n d e n g a n ' j u a l t a n a h . Jadi bila gadai tanah dan jual tanah harus dianggap sebagai per­janjian2 tanah yang pada hakekatnya sangat karib satu sama lain, namun k e m u n g k i n a n untuk mengembalikan tanah yang di- gadaikan kepada si penjual gadai lagi, itulah yang kadang2 menye- babkan perbedaan penting dalam kedudukannya perjanjian itu, ditimbang dengan : penyerahan tanah untuk se-lama2nya ; perbedaan ini timbul dengam se-terang^nya di mana — seperti di daerah Batak - ada larangan tidak diperbolehkan memberikan tanah sebagai „jujur” (bruidschat) karena dengan cara apapun juga kerabat fihak perem­

puan (bapanya) tidak boleh menjadi pemilik tanah dalam masya- rajkat itu, tapi di situ juga benar2 boleh tanah digadaikan kepada kerabat fihak perempuan untuk di belakang ditebusnya kembali dengan „jujur” itu ; dan di Iain2 tempat di mana „beschikkings­recht masih berlaku ke luar terhadap tanah2 pertanian, hak pertu­anan itu melarang gadai tanah dan jual tanah ke-dua^nya, tapi ada- kalanya buat sekali tempo hanya „jual tanah” yang terlaraiDg, „gadai tanah” tidak. Pada umumnya terdapat kecenderungan yang sangat ada pada „gadai tanah” dibanding dengan „jual tanaU" ; itu disebabkan karena pengertian, bahwa perjanjian terhadap segala tanah yang dijunjung tinggi sebagai tanah kerabat atau tanah wa- risan itu — bila perjanjian gadai — dapat ditinjau kembali. Di banyak wilayah oleh karenanya gadai tanah itu lebih ber-ulang* terdapatnya daripada jual tanah menurut hukum adat ini adalah sama sekali lain wujudnya daripada „jual” („verkoop”) yang ter- kenal dari susunan2 hukum lain, yang menimbulkan kewajiban2 penyerahan dan pembayaran.

Sesudahnya membicarakan corakL’nya yang bersama, maka seka­rang dapat ditinjau masing2 daripada tiga perjanjian2 jual itu sendiri2.

A. Gadai tanah.

P e m b e r i a n n a m a . Perjanjian yang menyebabkan bahwa tana inya diserahkan untuk menerima tunai sejumlah wang, dengan ■ permufakatan bahwa si penyerah akan berhak mengembalikan ta- n itu ke diiinya sendiri dengan jalan membayarkan sejumlah wang yang sama, maka perjanjian (transactie) sedemikian itu oleh Van

Vollenhoven dengan konsekwen dinamakan gadai tanah (— sawah) (grond (-sawah) verpanding). Perjanjian itu juga masih acapkali disebut dengan istilah „jual dengan perjanjian beli kembali” (ver­koop met beding van wederinkoop), tapi istilah itu seharusnya di- buang jauh2 dan dalam bahasa hukum murni seharusnya dihindari. Pertama kali bukankah ini terjemahan yang salah, yaitu perkataan

j , menjual” , dalam „menjual sende”, )}menjual akad” dan sebagainya disalin menjadi „verkopen” ; di sini arti „menjual” ialah : „menye­rahkan” sebagaimana dalam „menjual lepas” perkataan „menjual” berarti „menyerahkan” dan „lepas” berarti „pocot” buat se-lama2nya dari si pemilik; maka dari itu istilah tersusun „menjual lepas” adalah bermaksud „verkopen” dalam bahasa Belanda. Kedua kalinya, maka „koop met beding van wederinkoop” mengandung saran pemindah- an hak milik, bila permufakatan „dibeli kembali” (wederinkoop) ini digantungkan pada tempo yang tertentu lamanya dan lantas diabaikan tempo ini, jadi hak membelinya kembali lenyap, hal mana menurut hukum adat tidak demikian (lihatlah di bawah) ; dan akhirnya pemakaian dua perkataan Belanda yang ber-beda2 menim- bulkan kesan, bahwa se-akan2 ada terdapat dua macam perjanjian (transakties) yaitu „verpanding” dan „verkopen met beding van wederinkoop” ; inipun tidak benar. Terjemahan „grondverpanding” (gadai tanah) menguntungkan karena' perjanjian ini dijadikan per­janjian macam tunggal (eensoortig) dan macam sendiri (eigen­soortig) , di hadapan kedua perjanjian2 jual lainnya, namun juga ada dua keberatannya yang besar. Pertama kali terjemahan sedemikian itu menyarankan se-akan2 perjanjian tanah itu ada sifatnya „acces­soir” , pada hal perjanjian itu adalah suatu perbuatan hukum yang berdiri sendiri (zelfstandige rechtshandeling) seperti „mertjual dan „menyewakan” ; selanjutnya — hal mana sama dengan tadi — terje­mahan tadi menyarankan pikiran se-akan2 berdasar atas p i n j a m- a n u a n g yang terus-menerus, atas pembayaran kembali suatu pinjaman uang dan karenanya lantas mendapat kembali tanah yang tergadai itu. Ini semua membingungkan. Gadai tanah sama sekali bukan (lagi) pinjaman uang ( s u a t u perjanjian uang) ; t a n a h l a h yang menjadi obyeknya perbuatan hukum ini sebagai diuraikan di atas ; orang d a p a t menarik kembali tanah itu kepada dirinya sendiri dengan jailan membayarkan uang yang sudah diterimanya, tapi untuk itu ia tidak se-kali2 diwajibkan ; perbuatan hukum itu adalah • perjanjian tanah yang bersifat sendiri. Se-kali2 janganlah dipakai lebih dari satu istilah buat menycbut perjanjian itu, dan karena tidak ada yang lebih baik, maka hendaknya tetap dipakai- nya istilah „grondverpanding” („gadai tanah”) , dan dalam pada

itu harus dihindari kecenderungan untuk meng-hubung2kan dalam pikiran istilah itu dengan „pandtransaktie” Belanda yang „accessoir" itu.

W e w e n a n g si p e m b e l i g a d a i . Si pembeli gadai se- sudahnya ditaruhkan hak gadainya atas tanah di hadapan penghulu rakyat dapat memetik hasil tanah itu sepenuhnya, mengerjafoannya atau mendiaminya, menyuruh mengerjakannya atau mendiaminya, raembuat perjanjian mengenai mengerjakan tanah itu (memaruh- nya dan sebagainya) perjanjian2 mana berakhir atau dapat ber- akhir setiap panen. Ia dalam memperlakukan tanah itu hanya ter- batas oleh kemungkinan 'kewajibannya menyediakannya untuk di- kembalrkan kepada si penjual gadai bila ditebusnya kembali. Jadi bilamana ia membuat perjanjian jual atas tanah itu maika dalant pada itu kemungkinan mengembalikan tadi harus tetap diadakan, artinya, ia hanya boleh menggadaikan terus (doorverpandexi) tanah itu. Kemungkinan ini adalah suatu pertolongan juga bagi si pembeli gadai bila dia butuh uang. Walaupun ia per-tama2 da­pat menemui si penjual gadainya-dengan permintaan supaya tanah pertaniannya ditebus kembali (untuk menolong dia wang), tapi bilamana si penjual gadai itu tidak dapat atau tidak mau mene- bus, maka si pembeli gadai sama sekali tidak akan dapat menuntut kembalinya wang gadai, tapi memang boleh ia menggadaikan tanah itu kepada orang lain. Ia dalam pada itu bertindak atas tanggung- jawabnya sendiri mengenai jumlah uang yang ia peroleh yaitu sama atau kurang dari pada uang gadai semula ; yang terakhir ini dise­but gadai di bawah harga (ondervenpanding), bila kelak ia terima uang tebusan, maka dia dapat menebus sendiri ; ia juga dapat ambil orang lain, untuk mengganti dia sebagai pembeli gadai, sedemikian sehingga ia lenyap ke luar dari urusaji gadai ini (sesudahnya ia menerima uang gadainya dari pembeli gadai baru itu ), ini disebut m e n g g a d a i t e r u s ( d o o r v e r p a n d i n g ) . Dalam hal ini menjual gadai harus dibéritahu.

M e n u n t u t k e m b a l i n y a u a n g g a d a i t a k m u n g ki n. Si pembeli gadai sebagai telah diutarakan tadi menurut hu­kum sama sekali tidak boleh menuntut kembali uang gadainya dari si -penjual gadai. Sedemikian itu akan sama sekali bertentangarr dengan sifat hukumnya perjanjian gadai (dengan susunan hukum adat) dan — yang lazimnya ber-sama2 jalannya — dengan funksi sosial daripada gadai tanah. Sebab seandainya si penjual gadai di- hukum mengembalikan wang gadainya, tapi tak dapat atau tak suka membayarnya, maka sudah tentu barang2nya bergerak (roerende goederen) dan sesudah itu barang2nya tetap (onroerende goederen)

disita, dan dijual seandainya hasil penjualan itu dipakai buat me- nebus kembali tanah yang digadaikan tadi; dengan demikian maka yang dicapai justru kebalikannya apa yang dituju di waktu pem- buatan perjanjian gadai, yaitu : mencukupi kebutuhan wang dengan mempergunakan tanah pertaniannya, dan membatasi risiko hanya sampai tanah pertanian itu saja. Sedang sekarang (oleh karena ke- putusan hakim) ia terpaksa menjual dan membelanjakan segala harta bendanya, kecuali tanah pertanian i tu; dengan cara demikian maka perjanjian gadai itu akan terpaksa menjadi perjanjian w a n g ( g e l d transactie) pada hal mestinya perjanjian t a n a h ( g r o n d transactie). Ini tak mungkin dalam ketertiban sistim hukum.

Jadi kepada si pembeli gadai. sama sekali tidak dapat diberikain hak dan kekuasaan menuntut kembali wang gadainya (sehingga de­ngan demikian menjadikan wang sebagai obyek perjanjian) bagaima- napun juga persetujuannya antara kedua fihak itu ialah selainnya hak dan kekuasaan yang sudah diberikan, yaitu berupa boleh memu­ngut hasilnya tanah dan boleh memakai tanah secara apa saja ; tapi dapat juga pembeli gadai itu diberi hak dan kekuasaan berdasar- kan atas persetujuan khusus dan sesudah lewat tempo tertentu, untuk mengambil inisiatief buat, mengakhiri perjanjian gadai ini.

T e m p o p e m b a t a s a n l a m a n y a g a d a i . Bila­mana tentang ini tidak ada persetujuan suatu apa (dalam hail ga­dai tanah macam biasa) maika hak menebus tetap ada di tanga» pemilik tanah (semula) dan beralih kepada waris2nya, begitu ju­ga kewajiban membuka kemungkinan ditebus keir^alinya tanah itu— „milik yang dapat ditebus kembali” — beralih kepada waris^nya si pembeli gadai. Sampai di mana tempo yang lama toch adaikala- nya berpengaruh atas lenyapnya kemungkinan ditebus kembali, maka masalah ini dibicarakan tersendiri di bab kesebelas. Tapi dalam banyak lingkungan huikum ber-ulang2 terdapat, bahwa di waiktii di- taruh hak gadai itu, dijanjikan suatu tempo, dalam mana si pen- juail gadai harus sudah menebus; kebanyakan ditambahkan syarat,. bahwa bila dalam tempo itu tidak ditebus, maka tanahnya jatuh menjadi hak milik (yang tak dapat ditebus lagi) si pembeli gadai. Tapi berlakunya janji itu senyatanya hanyalah bahwa sesudahnya: lewat temponya, si pembeli gadai itu hanya dapat m e n u n t u t supaya perjanjian gadai itu dapat diakhiri. Ini berarti, bahwa bila si penjual gadai tidaik dapat atau tidak mau menebus, maka si pem­beli gadai dapat menuntut supaya tanah diserahkan kepadanya de­ngan „hak milik” dengan jalan perbuatan hukum kedua, dan mungkin dengan tambahan bayaran bila wang gadainya lebih ren- dah daripada harga penjualan tanah itu.

Bilamana tentang ini kedua fihak tidak mencapai persetujuan satu sama lain, maka si pembeli gadai dapat m em ohon kepada hakim supaya ditetapkan dengan vonnis, bahwa pada saat dijatuhkannya vonnis atau saat yang berikutnya tanah gadai sudah beralih kepada- nya dengan „hak milik”, mungkin dengan ditambah pembayaran supaya wang gadai menjadi wang pembelian.

Bila selewatnya tempo menebus si pembeli gadai tak mempergu­nakan haknya untuk ambil inisiatief mengakhiri perjanjian gadai, maka h u b u n g a n g a d a i ' tetap berlaku terus; nam un si* penjual gadai tetap berhak menebus tanahnya dan si pembeli gadai tetap berhak mengakhiri hubungan gadai ini dengan cara yang di­uraikan tadi.

T e m p o t i d a k b o l e h m e n e b u s . Pada perjan- jian gadai di antara kedua fihak dapat dijanjikan suatu tempo, sama sekali lain jenisnya, yaitü untuk menetapkan saat sebelum mana si penjual gadai tidak akan boleh menebus. Bila mengenai saat ini tidak ada perjanjiannya,' maka buat penebusan berlaku dua aturan ini : tidak boleh menebus sèbelum si pembeli gadai paling sedikit satu kali sudah memungut panen dari tanah itu (atau tidak boleh menebus dalam satu tahun itu ), dan boleh menebus pada saat tajnah itu tidak dikerjakan dan tidak ditanami, jadi di waktu pendek sesudah panen yang terakhir. Sebab tanaman itu adalah miliknya orang yang menanamnya ; bila ditebus sebelum panen maka pemilik tanah im akan harus memperbolehkan si bekas pembeli ga* dai berada di tanahnya untuk memungut panemnya. D i waktu pem- buatan perjanjian adakalanya dijanjikan bahwa si pembeli ga­dai akan memegang tanah gadainya tidak hanya buat satu tahun saja, tapi misalnya buat tiga atau lima tahun.

M e n ge m b a 1 i k a n t a n a h . Di waktu ditebusnya, maka tanah itu harus dikembalikannya dalam keadaannya di waktu itu ju ­ga. Kenaikan harga tanah atau perbaikan2 yang sudah dikerjakan, tidak mendapat ganti. Tanaman2 berumur lebih dari satu tahun yang ditanam tidak seizin si penjual gadai menjadi miliknya tersebut terakhir ini bik tidak sudah diambilnya di waktu pengembalian ta­nah, itupun bilamana (sebagaimana di kalangan orang2 Batak) me- nurut aturannya si penjual gadai tidak kehilangan haknya menebus karena ia diam2 membiarkan saja ditanamnya dan bertumbuhnya pohon2an serupa itu. Kerusakan tanah yang memang diperbuat de­ngan niat jahat harus diganti kerugiannya untuk si penjual gadai. Pada saat wang gadai itu diterima kembali, maka pada saat itu juga berakhirlah haknya si pembeli gadai. Tanggungnya (J.) ke-

pala masyarakat (hal. 115) sudah barang tentu di sini sudah tak ber- aku lagi. Untuk si penjual gadai sudah barang tentu adalah pen­

ting bahwa ia memberitakan penebusan kembali ini kepada kepala dusun.

P e n g e m b a l i a r i w a n g g a d a i s e k a l i g u s W ang gadai itu harus dibayar kembali sekaligus, pembayaran se­bagian demi sebagian harus diartikan baiiwa sebagian dari wang gadai diserahkan lebih dulu kepada si pembeli gadai sedangkan ba­ru ada penebusan bila pembayaran bagian yang terakhir sudah ter- laksana.

Dalam pelbagai lingkungan hukum adalah terdapat suatu per­janjian yang memakai nama „gadai tanah” (dengan ada tamba- hannya lagi), yang pada hakekatnya adalah suatu „perjanjian se- wa dengan pembayaran wang sewa'nya lebih dulu”, akan tetapi di SIni disebut : gadai tanah dengan janji bahwa wang gadainya ber-angsur2 dibayar kembali clengan sebagian daripada hasil tanah

sehingga sesudah wang gadai dilunasi (secara demikian itu) maka tanah itu dengan tiada pembayaran lagi harus dikembalikan kepada si penjual gadai tadi ; misalnya dondon susut di Mandai- ling, ngajual tutung di Jawa Barat; oleh karenanya maka di sam- ping tokoh ini tidak ada terdapat „penyewaan tanali dengan pem- bayaran wang sewanya .lebih dulu” sebagai tokoh tersendiri.

C o r a k 2 s e t e m p a t . Gadai tanah itu adalah suatuperjanjian yang banyak terdapat boleh dikatakan di masing2 ling­kungan hukum ; sudah barang tentu di mana2 terdapat padanya ra- gam dan sifat2nya setempat, yang bertalian dengan keadaan2 sosial di lingkungan masing2.

Demikianlah — sebagai beberapa misal — di Aceh dalam per­janjian terdapat secara, formeel „penawaran dan penerimaan” (ijaab kabul) yang berasal dari agama Islam; di kalangan orang- Batak haruslah perjanjian itu, seperti segala perjanjian yang penting, dilaksanakan di atas nasi yi<ng masih panas, pula dengan pe- netapan batas2nya; di Minangkabau katanya hak dan kekuasaan ^^nggadaikan tanah pasaka itu tergantung dari salah satu alasan, di mana kerabat membutuhkan wang untuk pembiayaan adat yang mendesak (mengawinkan seorang anaik perawan, pengangkatan anggauta kerabat menjadi pengulu andiko, mengubur orang mati, memperbaiki rumah adat dan kadang2 lain2 lagi); mungkin juga, bahwa dalam nal2 tersebut tadi diperbolehkan menggadaikan atas lano£unS‘jawab kepala kerabat, sedangkan dalam hal2 lainnya ha-

rus ada kata sepakat kerabat untuk berbuat itu (harus sekato) ; di Minangkabau juga terdapat aturan kcwajiban si pembeli gadai untuk setiap tahun menyampaikan sedikit hadiah berupa padi kepada si penjual gadai sebagai pengakuan, bahwa yang terakhir ini ada hak menebus Vembali (pilungguh gadai), buat menyatakan maksud sedemikian itu maka orang2 Batak Toba juga mcmpcrsilahkan si- penjual gadai m e m i m p i n upacara pujaan tanah tahunan ; di Bah ditaruh janji juga bahwa bilamana tanahnya lenyap wang ga- dainya harus dibayar kembali ; di Jawa dan di lain2 tempat maka kekuasaan untuk menggadaikan tanah itu adakalanya terhalang oleh „beschikkingsrecht” desa ; .kemungkinan yang di m ana- terkenal, yaitu menaikkan wang gadai secara lambat-laun sampai ke tingkat harga pembelian tanah, di Banten disebut : n d a l a m i gadai, ialah „memasukkan gadai lebih dalam” ; sebagai syarat hukum untuk te­tap ingat adanya hubungan gadai itu (sama dengan gunanya pitun§ guh gadai di Minangkabau) maka di sana dan di lain tempat pula terdapat aturan mengulangi (dalam angan2) perjanjian di hadapan kepala dusu/2.

Jual tanah.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka si pembeli itu pada saat dilaksanakan perjanjian beli' (pembayaran wang p>embelian di hadapan penghulu rakyat) memperoleh hak milik atas'tanah yang ■dibelinya.

B e l i d e n g a n h a t i j u j u r ( t é g o e d e r t r o u w ) d a r i o r a n g t a k b e r h a k . Dalam prak- tek acapkali terdapat, bahwa seorang tak berhak (misalnya seorang wakil atau salah seorang dari sesama pemilik-) menjual sebidang tanah pertanian atau pekarangan dengan bantuannya penghulu rakyat (yang mungkin ia sendiri mengira berhadapan dengan orang yang be nar2 berhak) . Bilamana si pembeli (penerima) di waktu beli tanah itu bertindak dengan hati jujur maka ia terhadap peniihk seja-ti yang kerugian, diperlindungi sebagai orang yang berhak atas tanah, tapi hanya s e b a g a i p e m b e l i dengan tempo yang di- tetapkan dala.m vonnis hakim (yang dijatuhkan dalam perkara yang timbul antara dia dan si pemilik yang kerugian) , itupun menurut suatu keputusan baru2 ini, yang dipandang dari sudut sosial aniat memuaskan, pula sangat cocok dengan sistimnya. Si pemilik tanah itu lantas dapat memilih antara menebus kembali dan inelepaskan tanah itu buat se-lama2nya dan ia sendiri dapat mencoba dapat kem- balinya uang pembelian dari penjual tanah yang curang itu.

L e l a n g ( o p e n b a r e v e r k o o p ) . Perumyaan yang timbul sejalan dengan itu ialah, bagaimanakah hukumnya bilamana ada tanah pertanian kejadian dijual lelang untuk kepentingan bukan pemilik tanah itu ? Lelang berdasarkan vonnis yaing memerintahkan pemisahan dan pcmbagian harta, atau berdasarkan pelaksanaan von­nis atau akte notaris tidak diatur sedemikian, sehingga bersambung dengan azas2 hukum adat; ia menerobosnya. Tegasnya tidak ada aturan2 penjagaan supaya penjualan lelang itu dapat berlaku seba­gai suatu penjualan dalam ketertiban hukum dusun. Maka dari itu si pembeli di lelangan, walaupun ia beli dengan berhati jujur, tidak dapat mempertahankan haknya atas „pembelian di lelangan itu melawan tuntutannya pemilik tanah yang sejati, ia tak dapat me- nuntut berlakunya hak mutlak (onaantastbare titel), atas tanah itu dari peristiwa pembelian di lelangan itu. Apakah orang yang ter­akhir ini tidak sudah kehilangan haknya untuk menuntut kembali tanahnya itu, maka pertanyaan ini adalah pertanyaan yang terlepas dari lain2nya, dan yang harus dijawab dalam hubungan berlakunya lamanya tempo (tijdsverloop) dan tergantung dari apa yang sudah t'ïrjadi dalam tempo tadi (hal. 265).

C o r a k 2 s e t e m p a t . Keistimewaan* itu tidak hanya terdapat pada gadai tanah saja, tapi juga pada jual tanah (tjaab kabul yang telah disebut tadi di Aceh, dengan tiada menentang sifatnya ke In- donesiaan daripada jual tanah; perkara2 adat di Minangkabau, dan sebagainya) . Menurut sumber lama, maka dulu «harga pembelian itu juga terdiri dari beberapa benda : nasi, mangkok, tikar, kendi, yang menandakan sifat khasiat (magisch) daripada taranya itu ; pada se- karang adakalanya dengan sengaja ditambahkan pada harga pem­belian itu sekeping -uang tembaga, di lain tempat sebilah pisau atau secarik kain. Penanaman batu3 di~pojok2nya tanah (tanam atu) i Minangkabau, pemasangan tanda tambah (plus teken) yang dalam, sebagai tanda tanah sudah dibeli di Rejang dan pemasangan tong- gak2 tetap (tunggaq biulo) di pojok ke empat tanah pertanian di wilayah situ juga, penunju’kan batas2 di kalangan orang- Batak, maka kesemuanya itu adalah misal2 daripada syarat2 dan usaha- untuk kepentingan pelindungan hukum.

C. Persewaan tanah dengan pembayaran uang sewa lebih dulu.

Adol taunan, oyodan, trowongan dan sebagainya adalah cara per­sewaan tanah yang biasa di kalangan rakyat Jawa ; di luar Jawa rupa-- nya perjanjian semacam.ini kurang dikenal orang, atau dianggap sebagai semacam gadai, ialah dondon susut (hal. 117). Cara pitung-

£uh gadai 'di Minangkabau adalah scjalan dengan kcbiasaa.ii di Jawa vang kadang'- terdapat. ialali bahwa yang menycwa cmpat kali se- tahun memberikan sedikit liadiah (seckor ayam, beberapa butir buah-an) sebagai tanda pengakuan. kepada yang menyewakan. M e n v c w a k a n t e r u s (cl o o r v e r h n r e 11) (pindah sewa)juga terdapat di Jawa sebagai sejajar dengan pindah gade. Sebutan Simda : ngajual pitch dmrit (ngajual tutung) niengandung angan2 vans sama densran istilah Batak vang tersebut tadi : dondon susut.

O O j r * #

Lamanva tempo persewaan adalah dalam hal ini tergantung dari besar kecilnya hasil yang terpungut setiap tahun.

4. PENGASINGAN T A X A H U N T U K BENDA H U K U M (RECHTSGOED) VANG BERDIR1 SENDIRI.

Di tempat sini „untuk peringatan" (pro memorie) harus disebut* nya sebagai perjanjian tanah ; masalah ini akan dibicarakan 'di bab keenam.

5. PEMBERIAX T A N A H .

Pemberian tanah kepada orang2 luaran, di mana hak milik seke- tika itu juga berpindah tangan, menurut berita, terdapat terutama di Sulawesi. Lebih2 terdapat atau dulu terdapat pemberian tanah- pertanian kepada raja (raja Bolaang Mongondo w misalnya) atau kepada penghulu2 (Minahasa) supaya mendapat rela kasih, pula pembayaran dengan tanah sebagai denda atau sebagai hadiah untuk pekerjaan2 hakim. Di Minahasa tanah pertanian juga diberikan sebagai tanda ambil anak (adoptie teken), sebagai jujur (bruid­schat) dan sebagainya, demikian juga di Sulawesi Selatan. Tanah2 yang diterima sedemikian itu kadang^ mempunyai nama2 yang me- nunjutkan asalnya (tanah pei pamoya = „tanah yang diberikan sebagai jujur”, Minahasa). Jadi di sini itita harus menyebutkan „pemberian” dan „pembayaran menurut adat” sebagai perjanjiaTi2 tanah. Di samping itu terdapat „gadai tanah" sebagai aturan semenr tara ke arah pembayaran menurut adat, jujur, atau maskawin. Di be­lakang tanah itu ditebus dengan pembayaran uang sesungguhnya ('daerah2 liatak, Sulawesi Selatan). Di Sulawesi disebutnya sunrang

wnra, yaitu maskawin scmentara. Pelbagai macam pemberian2 tanali di kalangan orang- Batak J'oba, dari fihak bapanya isterinya dan rJari kérabamya isterinya, kepada dia (istej-i) dan suaminya (bangun- an, pauseanv, tndahan anun, dan sebagainya) ada bersifat hibahan ('toeschc-iding; sebagian harta benda dari bapak kepada anaknya

perempuan (dan menantu lelaki), hal. 241 - di daerah Batak sebe­lah Selatan pemberian2 semacam itu jarang sekali berupa tanah.

6. PENG H ÏBAHAN T A N A H .

Ke Indonesiaan umum ialah penghibahan (toescheiding) tanah. hal mana di belakang akan dibicarakan ; sudah barang tentu soal itu harus disebutkan ber-sama2 perjanjian2 tanah, tapi akan dibi- carakannya di golongan hukum waris di bab ikesepuluh : masalah ini dipandang dari satu sudut yang tertentu adalah kebalikan dari­pada perjanjian tanah sebagai „perbuatan tunai”, yaitu sepanjang pengertian bahwa ia dalam pokoknya adalah suatu perkisaran (ver­schuiving) dalam lingkungan para waris, bukannya suatu pelepasan tanah ke luar lingkungan wairis itu dengan akibat2nya sebagai ter- lukis di atas. Karena sebab2 yang tertentu maika penghibahan serupa itu dapat juga menguntungkan orang2 bukan karib, ialah si suami.

7. . SU R A T (AKTE) U N T U K PERJANJIAN2 T A N A H .

Perjanjian tanah di hadapan penghulu rakyat itu daJam keha- nyakan lingkungan hukum di Nusantara sini sering sekali — malah- an adaikalanya selalu — ditulis dalam surat (akte). Surat akte itu di mana2 menampakkan pelik2 yang sama, ia dapat disimpulkan menjadi tokoh yang tetap dan memuat pernyataan segi satu dari orang yang menyerahkan tanahnya : saya yang bertandatangan ini menyatakan menjual tanah pertanian saya, nama begini, batas2nya begitu ; yang menerima penyerahan tanah ialah si Fulan dan si Anu, dengan harga sekian, jumlah mana sudah saya terima penuh dengan baik; perjanjian kita ialah ; tanah buat se-lama2nya tetap milik si penerima penyerahan, atau, tanah dapat saya tebus kembali de­ngan harga sejumlah uang yang sama, atau tanah akan dikembalikan kepada saya sesudah sekian tahun.

Memang sifat sebenarnya daripada perbuatan hukum itu tidak selalu terdapat seperti yang sudah dilukiskan di atas tadi, ialah ter- pisah menjadi dua bagian ; surat akte itu juga dapat memulai; saya yang bertandatangan ini meniyatakan menggadaikan (menjual gadai atau menggadai) — tapi lukisan yang terpisah ini adalah gam- baf potret yang murni daripada peristiwa hukum ini. Surat akte itu ditandatangani oleh orang yang menyerahkan; „ditanda- tangani” ini berarti, bahwa orang yang bertindak itu meng-gores2- kan namanya dengan sesuatu macam huruf di bagian bawah surat

ïtu, atau, bahwa dia menaruh palang perempatan di sisi namaïiya- yang telah dilukiskan di situ oleh orang lain, atau dia menaruh cap jempol dengan sedikit tirnta di bawah namanya itu. Selanjutnya surat akte itu secara demikian tadi dkandatangani oleh kepala rakyat dari masyarakat di mana letaknya tanah itu, dan boleh jadi juga oleh penjabat- masyarakat lainnya yang hadix di situ ; kadang ditandatangani oleh golongan xuaris yang sudah dimintakan perse- tujuannya kadang2 oleh pemilik» tanah'berdampingnya ; kadang3 oleh orang yang hadir sebagai sa-ksi untuk menambah kepastian» dengan kata* lain : oleh segala macam saksi.

Surat akte yang tersusun sedemikian itu diterimakan kepada orang yang membeli lepas tanah itu, atau yang membelinya gadai, atau y g menyewanya, atau yang dihibahinya atau diberinya. Dengan

rat akte itu dia dapat membuktikan sahnya (menurut hukum)

te r h ! Z nnVa d C n g a n ta n a h U u ’ t e r h a d a P ^ Whakim fah°railgu 1Uar masyarakatnya sendiri, lebih* terhadap membuüL an>: ual mana naml dibi— lebih lanjut. la dap*memperoleh h a t "* perbuatannya hukum yang mengakibatkan memaraatastan\ tetaP' ^ yang dapat dihaPuskan atau hak *e- ™ telah berikht* ^ berllak j uSa mendapat perlindungan, karen* d-e le n la r a w r Perbuata™ ya Itu menjadi terang,M a t k e t e l " Pula’ Maka surat itu disebut ju *bahwa Surat ifu dal I * * * ' Tak daPat ^ r a g u 2kan Wmempunyai tempat T h>" la.kunya antara fihak* yang bersangkuta"; (participerend) dari al3m alam Pikiran -serba berpasanga1**«P « c^jeSkln sa P a ;= tCmPat mana *u . maka b e l*»itu dianggapnya SekaranS’ Tentang terkaan2 bahwa sur»

alat Pengikat, atau, terlihat mata- artinya ®eba^ngan tanah, alat mano a - • & untuk memindah’kan pertalian terkaan2 itu tidak sama s e ^ a in ^ 11- ^end.a (gematerialiseerd), *peristiwanya sendiri lahir ma slnSgung yang perlu deng;Lt,U tidak beralasan. Bila ™ ^ ^ = maka dari itu terkaa°akte itu dengan lemhatr ” a oranS hendak membandingkan sur3dipandang sebagai tanda n «sU akan seharusnya surat

ta k iy di Rejang d a „ t a t ^ ? " ^ tanda penge na l» . bukti. Lebih mudah “ • ' * M ^angkabau, ja d i sebagai :

^participerend” funksinya rUPa2nV^ dalam alam P * ’r3‘1 rakyat itu. Iaiah baht tanSanan surat akte oleh Peng

rusnyamengakui hubungan v a l 1,1 nyata b e rja n ji buat se*'° 7M g baru itu ^baga i hubungan h u * " *

Pendirian dusun atas perintah raja sebagai s y a r a t ^rluasan ke­kuasaan atau sebagai tanda kasih sayang yang di,tenma dan raja, sudah terkenal, misalnya di Jawa dan di Bah ; dusun itu kebanyak-an lamas mendapat kedudukan hukum yang is v tur_Buat pembukaan2 tanah di luar masyarakat-, maka atu- a t u y an hukum yang berlaku ialah aturan* ketertiban hukum raja attiran2 ketertiban hukum gubernemen (hal. Vo)-

at • •••, - , ' > hukum seffi dua dapat dikatakan padaMengenai perjanjian- hukum = kecil2 sudah lenyap atauumumnya, bahwa - di mana m ^ Ungsungtak pernah ada, sehingga hak p . euber-dikuasai oleh ketertiban _hukum ^ u ^ a ^ ^

nemen - di situ perjanjian- P6 fihak pengUndang-umlang aturan2 yang mungkin dikeluark < ^ - ^ -a k a t 2 yang melakukan (wetgever) . Oleh karena orang- i dengan lingkunganhaka tanah itu kebanyakan sel kembali ke masyarakatmasyarakat2 itu - dan kepentingan2nya di situ«u, mempunyai pertahan-nya ,pmestmYa bersambung denganPula - maka peraturan* itu sudal ^ diinginkan ayahukum a d a t y a n g terbentang di y men^apa peraturan Yogyadapat dimengertinya. Itulah sc a ny< reorganisasi dapatMengenai perjanjian2 tanah di 1 u o ada peraturan2nyadisebut suatu jasa yang besar. Sep J » kenyataan sosial me-maka dapat dikatakan dengan Past1’ . 2 adat2nya tentang^genai perdagangan tanah beserta e 1 masyarakat2 ; sehingga« » . ad alah ^ sesu ai d en gan ^ e r n e m e n d alam ling-^Putusan2 hakim2 kerajaan dan n ® len) yang sama

Ungan ini seharusnya mener it an . un rakyat itu. Makaengan kaidah2 yang berlaku a adanya reorganisasi, di

f n d a£ taran , d i L a seb elu m Ja w a " p u la pen-antor rijksbestuurders di daera kesemuanya uu adalah

^ftaran oleh pegawai2 kerajaan 1 L w angan .tadi. Pendaf-misap yang tepat daripada Peleng ***“ yang belum ada, tapi

saran SerUpa kU di IinStUnSanvg kota2 besar yang tidak ada lagi a°gat dibutuhkan ialah untuk llidup di luar masyarakatepala2 dusunnya dan untuk golongan ^ usaha setempat untuk

(Priyayi). Sekali tempo maka died a „Inlands notariaat”*®*edar mencukupi kebutuhan mi [ dicukupi dengan pen-

J ^ g Pandang); sampai di mana ■ yang suda] dibu.pada Praja buat daerah d * tanah (agrarische reg-

kemungkinannya untuk itu o P

lementen), maka soal ini cukup berguna untuk sengaja diseUdiki tersendiri.

Tentang m . e n a n g g a l k a n hak2 atas tanah sebagai perbuatan segi satu, agar supaya sebidang tanah pertanian m enjadi „vrij lands- domein” (tanah negeri yang sudah bebas) dan dengan demikian lantas mungkin dialihkannya kepada seorang bukan Pribumi, maka sebagai perbuatan hukum sedemikian itu sudah semestinya tepat berasal dan berada dalam ketertiban hukum gubernemen. Juga bagian itu daripada „hukum tanah” (agrarisch recht) membutuh- kan dengan mendesak peninjauan kembali se-daïam2nya.

BAB KEEM PAT. PERJANJIAN2 Y A N GB E R SA N G K U T-PA U T D E N G A N T A N A H .

Pokok pikiran perjanjian2 tanah segi dua ialah : „saya melepas- kan tanah seterimanya sejumlah uang yang tertentu,- tuan adalah (buat se-lama2nya, atau selama saya tak menebusnya, atau buat be­

berapa tahun) pemunya hak atas tanah itu”, maka dari itu sudah semestinya perjanjian sedemikian itu digolongkan dalam perjan­jian2 riil (reële overeenkomsten) atas tanah (dan atas obyek2 yang dalam hal ini dapat disamakan dengan itu) b e r h a d a p a n dengan perjanjian2 macam lain. Yaitu pertama kali berhadapan dengan perjanjian2 yang biasanya dilukiskan segolongan dengan perjanjian2 tanah (grondtransacties), di mana tanah adalah faktor penting tapi tak dapat disebut obyek perjanjian dan t i d a k bermaksud seperti pada perjanjian2 jual; dan selanjutnya ber­hadapan dengan perjanjian2, di mana tanah tak pegang peranan dan di mana tiada perbuatan tunai (kontante handeling), melainkan „perbuatan2 kredit” (crediet handelingen) ; hal terakhir ini akan dibicarakan di bab kelima.

1. PERJANJIAN PARU H HASH, T A N A M (DEELBOUW O VER EEN KO M ST).

Perjanjian berperangai tepat yang bersangkutan dengan tanah, tapi yang tidak dapat dikatakan berobyek tanah dalam arti kata hu­kum adat tekhnis, ialah perjanjian paruh hasil tanam (deelbouw transactie), yaitu suatu perjanjian yang terkenal dan lazim dalam- segala lingkungan2 hukum. Dasarnya perbuatan hukum dan funksi- nya tiada sama sekali perbandingahnya dengan perjanjian2 jual. D a s a r perjanjian paruh hasil tanam ialah : saja ada sebidang tanah tapi taik ada kesempatan atau kemauan mengusahakan sendiri sampai berhasilnya; tapi walaupun begitu saya hendak memungut hasil tanah itu dan saya membuat persetujuan dengan orang lain supaya ia mengerjakannya, menanaminya dan memberikan kepada saya sebagian hasil panennya; padahal dasar daripada perjan­jian jual ialah : saya ada sebidang tanah yang saya pergunakan untuk mencukupi kebutuhan saya akan wang yang mendadak (atau saya lebih suika (buat sementara) mempunyai wang; dari pada ta­nah). F u n k s i perjanjian paruh t o i l tanam ialah: mem­buat berhasilnya milik tanah tanpa pengusahaan tanall sendiri dan mempergunakan tenaga pekerjaan dari orang lain yang tanpa mi­lik tanah sendiri ; funksi daripada perjanjian jual, ialah mem-

pergunakan tanah untuk segala kebutuhan2 hidup, dan bahwa mi­lik wang dibikin berhasil (productief) dengan jalan milik tanah.

Dalam bahasa Belanda kebalikan antara perjanjian tanah se- jati dan perjanjian paruh hasil tanam paling tegas dapat dinya- takan dengan jalan demikian: di sajnping „menjual lepas . „menggadaikan" dan „menyewakan dengan pembayaran wang sewa lebih dulu” j a n g a n mengatakan „memberikan tanah untuk di- kerjaltan atas dasar paruh hasil tanam", tapi seharusnya perjan­jian terakhir ini dilukiskan dengan kata2 m e m b i a r k a n si- pemaruh ditanahnya pemilik tanah atau pemunya hak atas tanah itu, agar supaya si pemaruh itu di sana mengerjakan tanah, menana- minya dan memaneninya. O b y e k perjanjian bukannya tanah, tapi tenaga pekerjaan dan tanaman. Pelbagai corak2 bertalian de­ngan sifatnya perjanjian ini : pertama kali, bahwa pembantuan penghulu2 rakyat tidak pernah menjadi syarat untuk sahnya ; untuk berlakunya tak usah ada pengisaran (verschuiving) yang hairus tc- rang, perjanjian iitu terlaksana di antara kedua fihak saja ; selan- jutnya bahwa jarang dibuatnya surat akte daripada perbuatan hu­kum itu ; lebih2 baihwa perjanjian paruh hasil 'tanam itu diadakam buat satu tahun panen, dari musLm tanam saimpai musim panen — itupun bilamana tak ada hal lain yang ditetapkan karena ada sebab2 istimewa — dan kalau demikian bahkan menurut prinsipnya lama perjanjian hanya satu tahun panen itu ; kemudian : bahwa per­janjian semacam ini dapat dibuat oleh siapa saja yang menghaki tanah itu, ialah : si pemilik tanah .si pembeli gadai, si penyewa atas perjanjian jual taunan, dan malahain juga si pemakai ta­nah kerabat atau si pemunya hak pungut 'hasil karena jabatannya (ambtelijk profijt gereohtigde) ; betul ia tidak memiliki tanah, tapi ia •menjalankan suatu usaha — yang pada asasnya selalu diperbo- lehkan — mengenai mengerjakannfya tanah dan memperhaisilkan- nya. Juga tak pernah ada berlakunya „beschikkingsrecht” terhadap perbuatan hukum itu — bukan sesama anggauta2 selalu boleh men­jadi „pemaruh itu (bila mereka sudah diizinkan masuk daerah masyarakat, hal. 79), mereka toch tidak menaruh hubungan perse­orangan atas tanah, tapi hanya berada di tanahnya orang lain untuk bekerja di sana guna kepentingan kedua fihak. Perjanjian itu lebih mendekati „menyuruh mengerjakan tanah pertanian atas upah , daripada sesuatu perjanjian tanaih yang sesungguhnya. Le'tak perbedaan antara ke-dua2nya ialah ibaihwa si pemilik tan all sesudah terjadi perjanjian paruh ihasil tanam tidak campur tangan lagi dengan penggarapan tanahnya — ia menyerahkan peng­garapan tanahnya sepenuhnya kepada si pemaruh, menyerahkan bi­

bit padi dan lembu untuk membajak, itupun bila dijanjikan de­mikian, dan menerima seperdua, sepertiga atau sebagian lain dari­pada hasil tanaman yang ditanam oleh si pemaruh ; sedangkan bila ia menyuruh menggarap tanahnya dengan upah, ia memberikan perintahnya buat setiap tindakan, memungut hasil panen sepenuhnya buat dirinya sendiri dan membayarkan upahnya berupa apapun. juga.

Jadi perjanjian paruh hasil tanaman itu terlaksana dengan jalan mengizinkan orang lain masuk ke tanah pertanian di mana ia melakukan haknya dengan permufakatan bahwa orang yang diizin­kan masuk tadi — si pemaruh — akan menanam tumbuh2an dan akan menyerahkan sebagian hasil panennya kepada sipemunya hak atas tanah itu. Tentang permufakatan2 lebih lanjut mengenai bibit padi, lembu untuk membajak dan mengenai bagiannya tepat dari­pada hasil panen yang akan diserahkan kepada si pemunya hak atas tanah dan lain2nya lagi, maka hal2 ini biasanya disebutkan dengan tepatnya dalam perjanjian itu.

Di Minangkabau perjanjian itu disebut memperdnai, di Mina­hasa toyo. Di Sulawesi Selatan : tésang.' di Jawa Tengah maro (separuh lawan separuh) atau merlelu (satu lawan dua) di Pria- ngan nengah (setengah lawan setengah) dan jejuron (satu lawan dua) dan sebagainya.

P e r h u b u n g a n 2 p a r u h h a s i l t a n a m . Tentang buah pikiran, bahwa siapa yang mengerjakan tanahnya orang lain harus menyerahkan setengah dari hasilnya kepada si pemilik tanah, maka buah pikiran itu adalah asas umum dalam hukum adat ; hal mana 'tak terbatas sampai hubungan yang teratur oleh persetujuan saja, melain'kan juga berlaku atas tanah yang dipakai tidak sah (onrechtmatige occupatie) yang tidak hanya berlaku atas tanah per­tanian yang ditanami saja, melainkan juga atas kebun2 yang harus dipelihara, suatu asas yang juga berlaku atas penangkapan ikan dan atas peternakan.

S r a m a d a n p l a i s . Dua lembaga di samping, yang ter­dapat pada paruh hasil tanam, harus disebutkan di sini sebagai sam- bungannya. Yang pertama ialah pembayaran sedikit wang pada per- raulaan perjanjian. Ini se-mata2 terdapat di Jawa Tengah dan disebutnya srama atau mesi. Pembayaran ini mengandung arti suatu persemibahan yang disertai dengan permohonan (srama) atau me­ngandung pengakuan bahwa ia berada di tanahnya orang lain (mesi). Lembaga di samping yang kedua ialah perhubungan yang diletakkan orang di antara pinjaman wang dan perjanjian paruh hasil ta-

nam. Si pemilik tanah pinjam wang tanpa bunga dari pemaruhnya, dan untuk itu si pemaruh tetap boleh memegang haknya mengerja­kan tanah sebagai pemaruh selama wang pinjaman itu belum dilu- nasi (balango di Sulawesi Selatan, plais di B ali), atau lebih tepat : wangnya si pemaruh tak dapat dituntut kembalinya, selama dia diper- bolehkan sebagai pemaruh, tapi seketika dapat dituntutnya kembali bila ia dilarang terus mengerjakan tanahnya si peminjam wang. Kadang2 diadakan perhitungan daripada liutangnya dan keuntung- an2nya yang sudah terpungut, sedemikian, sehingga sesudah pemu­ngutan hasil setiap tahun wang pinjaman itu dikurangi dengan jumlah tertemu, adakalanya juga jumlah wang pinjaman itu tetap saja besarnya sampai dilunaskan penuh sekaligus.

K e i e n g a h an. Andaikata si pemaruh tak diperbolehkan me­ngerjakan tanah itu, maka ia berhak menuntut kerugian dari si pe­milik tanah, ia tak dapat menuntut mendapat tanahnya — sebagaima­na orang yang mendapat 'hak2 atas tanah atas suatu perjanjian jual; di sini pula ternyata 'bedanya perjanjian tanaih dan paruh hasil tanam ; yang terakhir ini berakhir atau dapat diakhiri sesudah se­tiap panen ; si pemaruh ada hak atas hasil tanaman (yang ia sebagian harus menyerahkannya) bukannya atas tanah ; ia dapat dianggap se­bagai pemilik tumbuh2an yang dkanamnya.

2. SEWA.

Adalah tetap janggal nampaknya — itupun dalam kebanyakan lingkungan2 hukum — tokoh daripada persewaan tanah2 pertanian dengan pembayaran wang sewanya di belakang, yaitu : „sewa”. Telah disadari, bahwa perkataan ,^ewa” itu menunjukkan suatu transaksi dengan o r a n g 2 l u a r a n . Rupa2nya cocok dengan maksud itu, bahwa misalnya di Tapanuli Selatan dipakainya perkataan mengasi baik buat persewaan tanah (sewa), maupun buat hak menikmati (genotrecht); bahwa di Sumatra Selatan perkataan }jew a” dalam istilah ,jewa bumi” terkenal juga, yaitu bermaksud pajak yang harus dibayar oleh orang luaran untuk pemungutan hasil dari daerah lingkungan „beschikkingsrecht” ; bahwa perkataan cu- kai di Kalimantan bermaksud baik pembayarannya orang luaran un­tuk pemungutan hasil dari daerah lingkungan „beschikkingsrecht”, maupun bermaksud pembayarannya orang yang menyewa tanah; bah* wa memperoleh hak mengumpulkan hasil hutan dalam lingkungan hak pertuanan negory di Ambon oleh orang2 luaran, disebut sewa ewang, dan bahwa di Bali menyewakan tanah pertanian disebut ngupeUnin, dan upeti itu adalah istilah buat pajak yang dibayarkan

oleh orang2 luaran (sewa bumi tersebut ta d i) , terpungut berdasar atas „beschikkingsrecht” .

Persewaan tanah oleh onderneming2, lebih2 onderneming2 gula, p ad a khususnya disebut „sewa” , „nyewa". T a p i b ila dalam pada itu diberikan „voorschot” atas wang sewa buat tempo yang lam a, m aka tim bul sangat banyak persamaannya dengan adol taunan. D alam pergaulan2 di antara Pribum i d i Jaw a rupa2nya dikatakan orang, bahwa sewa atas tanah2 pertanian tak ada terdapat, atau, bahwa „sewa” itu sam a sa ja dengan adol taunan. Persewaan tanah2 beng* kolt di Jaw a itu — bagaim anapun ju ga namanya — selalu diang* gap sebagai persewaan yang dapat diberhentikan setiap tahun dan wang yang terbayar lebih dulu (kepada kepala2 desa yang begitu se­ring kekurangan wang) itu dianggap sebagai „voorschot” (yang di- tuntut kem balinya bilam ana kepala desa itu karena diberheniikannya tak dapat m em berikan pemakaian tanahnya kepada orang yang se­wa) . M enyewakan pekarangan2 dan rumah2 sedemikian itu adalah bukan adat P r ib u m i; d i m ana itu sudah m enjadi kebiasaan m aka istilah sewa akan cocok dap at terpakai. Sewa sebagai m acam per­jan jian tersendiri karena itu seharusnya dapat diartlkan : mengi* zinkan orang lain berada di tanahnya yang ia berhak atasnya supaya orang itu m engerjakannya atau mendiaminya dengan keharusan membayax sejum lah wang tertentu sebagai wang sewa sesudah se* tiap bulan, setiap panen atau setiap tahun dan — seperti paruh hasil* tanah — setelah setiap pembayaran persewaan berakhir, atau se-ti- dak2nya, dap at diakhiri.

D alam bentuk itu m aka perjan jian ini dapat disebut se ja ja i dengan paruh hasil tanam , dan sebagai kebalikan daripada „per* jan jian 2 tanah” dalam arti kata yang se*benaxsnya.

3. B E R B A R E N G N Y A P A R U H H A SIL T A N A M D A N SEW A D E N G A N G A D A I T A N A H D AN „PER SEW A A N T A N A H D E N G A N PEM BA Y A R A N W A N G SEW A L E B IH D U L U ".

P erjan jian2 paruh hasil tanam (dan sewa) m endapat arti isti* mewa dari kenyataan, bahwa perjanjian2 tadi acapkali dikaitkan pada „gadai tanah” , yaitu sedemikian, bahwa seketika sesudah di- letakkan haknya si pem beli gadai atas tanah yang digadaikan, m aka ia, pem beli gadai, m em perbolehkan si penjual gadai berada d i tanah yang baru sa ja d iju a l gadai itu, sebagai pem aruh hasil tanam atau sebagai penyewa tanah itu. Sebagaim ana telah dibicarakan, m aka ia boleh bertindak sedem ikian itu, begitupun di Jaw a si penyewa yang telah m em bayar w ang sewanya lebih dulu juga boleh bertindak se-

rupa itu, dan terhadapnya uraian di atas tadi berlaku pula. Pembeli gadai itu tidak boleh membuat perjanjian jual atas tanah yang dibelinya gadai itu, juga tak boleh menjual (nya) taunan, oleh karena dengan demikian ia (buat sementara) melanggar haknya si- penjual gadai untuk menebusnya ; hanya diperbolehkannya untuk

' menggadaikan terus (doorverpanden). Tapi tentang mengizinkan orang2 lain masuk di tanah itu supaya mengerjakamnya atau men- diaminya atas -dasar kontrak yang dapat diputuskan bolehlah ia. Bilamana ia seketika mengizinkan si penjual gadai di tanah yang di- gadaikan itu, maka kombinasi kedua perjanjian ini menempati funksi ekonomis dalam kehidupan masyarakat, yaitu, bahwa dia yang menyerahkan tanahnya untuk mendapat uang, sekarang ada kele- bihan tenaga pekerjaan tapi tanpa memiliki tanah, maka selanjut­nya ia dapat mencurahkan tenaganya tadi kepada pengerjaan tanah, yang diterima oleh si pembeli gadai (yang tidak diperlukannya karena ia sudah punya kebanyakan tanah), sehingga tanah itu ke luar hasilnya. Juga bila ada pekarangan2 digadaikan, maka kekurangan tempat untuk berdiam yang disebabkan oleh perjanjian itu dapat dipenuhi pula karena tanah pekarangan itu ditawarkan kepada si penjual gadai itu, untuk tetap didiaminya. Di samping itu barang- kali lebih pentingnya lembaga itu dipandang dari sudut funksinya dalam masyarakat (dan sentimen) yaitu bahwa si pemilik yang man- ja kepada tanahnya dapat tetap bekerja atau berdiam di tanah yang dicintainya itu.

A k i b a t 2 h u k u m . Menurut hukum adat, maka akibat2nya hukum daripada perbuatan2 hukum gabungan tadi sudah jelas; paruh hasil tanam dan hubungan sewa dapat diakhiri dalam tem­po pendek; bila timbul kelengahan dari fihak pemaruh atau pem- beri paruh hasil tanam atau dari fihak penyewa atau pemberi sewa dalam arti kata perjanjian sewa, dapat timbul hak menuntut keru- gian, bukannya hak menuntut tertuju kepada tanah. Hubungan gadai itu hanya dapat diakhiri dengan cara yang terlukis di bab ketiga di bawah 3. A.

Menilik kejadian lahir maka kombinasi „gadai sawah” dengan „paruh hasil tanam , atau „gadai pekarangan” dengan „sewa” ba­nyak mirip perjanjian uang (geld transactie) dengan tanah seba­gai penjaminan (zekerheid). Karena dipandang dari sudut lahir terjadi hanya demikian, bahwa seorang memberi uang kepada orang Jain dan selama uang itu belum dikembalikan oleh orang lain itu, ia menerima dari dia sebagian dari hasil panen tanah pertanian- nya, atau pembayaran- Derkala. Perjanjian semacam itu d a p a t

I

juga diselenggarakan sebagai p e r j a n j i a n u a n g di mana tanah disangkutkan sebagai penjaminan, akan tetapi menurut hukum adat perjanjian sedemikian itu adalah lain tokohnya. Persewaan tanah dengan pembayaran uang sewa lebih dulu, digabungkan dengan „memperbolehkan si pemberi sewa sebagai penyewa di tanahnya sendiri” , adalah lahirnya mirip dengan „voorschot”, atas tanaman atau „pinjam uang” dengan menyicil saban tahun berupa padi (pa­ruh) atau berupa uang (sewa). Menurut hukum adat maka juga di sini sudah tentu ada perbedaan2 yang jauh sekali dalam artinya, antara perjanjian2 tanah (grond transacties) di satu fihak dan per­janjian2 uang (geld transacties) di lain fihak.

4. PENJAM INAN (ZEKERHEIDSTELLING)DENGAN T A N A H .

Mempergunakan tanah sebagai penjaminan adalah persetujuan ..accessoir” pada perjanjian pokok pinjaman uang; rupa2nya bersi- fat persiapan, dalam pengertian demikian, bahwa di waktu menerima uang pinjaman — jadi di waktu mencukupi kebutuhan uang dengan jalan perjanjian uang — seketika sudah ditetapkan sebidang tanah pertanian, yang bila perlu atau bila dikehendaki akan dipakai un­tuk perjanjian pelunas (delgingskontrakt), judi dengan demikian pinjaman uang diganti dengan perjanjian tanah (hal. 118); di be* berapa lingkungan2 hukum (Bali, daerah2 Batak) tanah yang ditun- juk sebagai penjamin itu — bilamana bunganya sudah meningkat sampai tingkatan tertentu, jadi hutangnya sudah bertambah — di- » g a d a i ”-kan kepada si pemberi pinjaman uang (atau haruskah digadaikan kepadanya ?) . Di Jawa maka „gadai” itu (sebagai per­buatan hukum) acapkali disusuli dengan penjaminan (zekerheid­stelling) . Titik inti perjanjian penjaminan ialah : saya berjanji, selama hutang saya belum lunas, tidak akan membuat perjanjian tanah atas tanah saya, kecuali. untuk kepentingan si berpiutang saya (perjanjian tanah dengan dia atau dengan orang lain). Perjanjian

sedemikian itu di mana2 ada namanya sendiri : tahan (Bat.), baba- ring (Dayak Ngaju) , makantah (Bali), tanggungan, jonggolaii (J.) dan seterusnya, dan di samping itu rupa2nya istilali petikan „borroh”, „ borg”, „borrot” terdapat sangat bertaburan.

P e n j a m i n a n di b a w a h t a n g a n (onderhandse zeker­heidstelling), Perjanjian ini - itupun di Jawa — sering diselengga­rakan di antara fihak2, tiada setahlinya kepala dusun atau lain peng­hulu rakyat ; oleh karenanya sama sekali tidak berlakil terhadap fihak ketiga. Ini berarti per-tama2, bahwa perjanjian jual ygng di-

selenggarakan dengan m e'ngakibatkan p erse tu ju an se lam a m asih ada hu tan g atas tanah yang d ijam in k an (di b aw ah tan gan ) tad i, adalah sah m enurut h u k u m ; d an kedua, bahw a tan ah y a n g d ib u a t pen- jam in tad i dap at d iju a l atas dasar vonnis h ak im u n tu k m em enuhi p in jam an 2 uang la in sedangkan si pem beri h u ta n g d en ga n penja­m inan d i baw ah tangan itu tak ad a h ak m en d ah u lu i (voorrecht) terhadap penagih2 hu tan g lainnya. In i tidak b erarti, bahw a penja­m inan di baw ah tangan in i o leh karenan ya terh apu s gu n an ya sam a sekali, sebagaim ana kadan g2 d ik atak an oran g — u n tu n gn y a penepat- an jan ji tersim pul dalam pen jam in an itu b erd asark an a lasan 2 yang la in dari pada keinginan „ ja n g a n sam p ai k a lah b ila terseret perkara ke depan hakim ” ; baginya kekalahan dalam perse lisih an d i m asyara­kat (tidak di depan hakim ) sa ja dalam praktekn ya ak an tid ak kurang beratnya buat d ira sa k a n ; nam un tidak d ap a t d iru m u sk an suatu k a i d a h h u k u m (rechtsregel) yang d a p a t d ip ak a i u n tu k melin- dungi si penerim a „pen jam in an di baw ah tan gan ” itu terh ad ap fihak ketiga.

P e n j a m i n a n d e n g a n s e t a h u n y a k e p a l a d u s u n . B ilam ana perjan jian itu diselenggarakan dengan setah unya penghulu2 rakyat — sebagaim ana se la lu terjad i m isalnya d i daerah 2 B a tak dan d i Bali — m aka dap at d ik atak an baihwa si pem ilik tan ah tid ak dapat dan tidak boleh m em indahkan tangan tanahnya a ta u m enggadai- kannya dengan tiad a m em peruntukkan h asil tan ah itu b u a t men- cicil hutangnya. Penghulu rakyat itu harus m em b eritah u k an perjan ­jian yang akan diselenggarakan itu kepada si pem beri hu tan g, an- daikata si pem injam u an g m elen gah kan n ya; b ilam an a d ia tak her- buat begitu m aka ada kecurangan d an si pen erim a pen jam inan m enurut hukum berhak atas p erlin d u n gan ; fak tor2 m asyarakat da­lam hal2 sedem ikian itu berlaku tentu sa ja leb ih k u a t d ar i pada penjam inan d i baw ah tangan. P erjan jian tahan B a tak , b eg itu ju ga mnkantah B a li m engakui hak m endahulu (voorrecht) u n tu k si pern* beri hu tan g dengan pen jam inan ini, b ilam an a tan ah n ya d iju a l um um atas perintah vonnis hakim . B agaim an akah d i Ja w a dalam hal2 d i m an a fihak2 d i waktu m em buat p er jan jian m em an g m enda­pat bantuannya kepala dusun dan p erjan jian itu tertu lis dalam surat akte (sebagaim ana selalu terjadi d i B ali) ? A d a terdapat ke- putusan2 dan penulis2 yang kesemuanya berpen dapat bahw a dalam haI2 itn toch tak dapat diakui hak m endahulu k aren a pendaftaran p ad a k ep a la dusun itu tidak (belum ) m erupakan su atu aturan, dari in a a a d ap a t tergantung berlakunya suatu transaksi dalam

^alw-lintas h u k u m ;. ad a ju g a keputusan2 d a n pen u lis2 y a n g meng- akui» bahw a pem beritahuan serupa itu kepada (dan pen daftaran

oleh) kepala dusun — bila ini semua terselenggara sukarela oleh fihak2 itu - sunggu'h m engakibatkan suatu hak m endahulu yang dapat diw ujudkan dengan jalan hukum positief. Penyelesaian secara wet dalam hal ini dulu sudah ada dalam persiapan, tap i ru p a2nya kandas di tengah jalan . Kemungkinan secara wet untuk „memegang- kan” tanah dengan cara c r e d i e t v e r b a n d — suatu aturan hypotheek ciptaan Barat — hanya berguna terhadap pin jam an2 yang diberikan oleh „volkscredietbank” dan beberapa badan2 lain (Stbl. 1908 No. 542).

P e r b e d a a n 2 m e n u r u t h u k u m a d a t d i a n t a r a : g a d a i t a n a h d i s u s u l d e n g a n p a r u h h a s i l t a - naim. d a n p i n j a m a n u a n g a t a s p e . n j a m i n a n . Peng­gadaian tanah, seketika disusuli dengan membiarkan si pen jual ga­dai d i tanahnya yang di gadai kan, sebagai pemaruh atau penyewa (sewa), w alaupun lahirnya dan ter-kadang2 m enurut berlakunya di masyarakat tidak berbeda banyaik dengan „penjam inan tanah buat pin jam an wang yang berbunga, tapi kenyataannya ialah bahwa gadai tanah” itu suatu „perjan jian juaV’ dan „pen jam inan ’' (zeker­heidstelling) bukan, m aka kenyataan ini m enurut hukum adat mengakibatkan beberapa titik2 perbedaan yang penting (dengan kata2 l a in : perbedaan dalain sistimnya d i antara kedua tokoh2 hu­kum itu, yang dapat dinyataikan dengan sebutan bahwa „gadai tanah” itu adalah perjanjian jual dan „penjam inan” itu bukan.. m aka perbedaan itu antara lain ternyata dari hal2 yang berikut ini) ; untuk gadai tanah m aka bantuan penghulu rakyat adalah selalu m enjadi syarat m u tlak ; b ila gadai tanah m aka uang gadai tidak dapat sam a sekali d ituntut kembali, sedangkan uang yang dipin- jam kan atas .penjaminan itu b ila tim bul kelengahan m em ang dapat dituntut k em balin ya; si pembeli gadai dapat m enggadaikar terus tanahnya, sedangkan si penerima penjam inan tak dapat berbuat apa2 terhadap tan ah n ya; b ila tim bul kelengahan — dan b ila dalam perjan jian sudah ditetapkan teraponya harus menebus — m aka si pembeli gadai d ap at taenuntut supaya tanah diserahkan kepada- nya untuk m en jadi m iliknya dengan ha!k m ilik, sedangkan -bila p in ­jam an uang atas penjam inan haityaiah uang yang d ap at d itu n tu t kem balin ya; b ila tim bul kelengahan tentang penyerahan separuh- nya-hasil panen atau penyerahan uang sewanya, m aka si pem beli ga­dai dap at m enolak si penjual gadai untuk terns m en jadi pem aruh atau penyewa, sedangkan b ila ada kelengahan m engenai pem bayaran bunganya uang pin jam an atas penjam inan, m aka biasanya p in jam ­an pokok lantas dapat d itu n tu t kem balinya. B ila tanahnya m usnali karena a ir bah m isalnya, m aka si pem beli gadai (yang m em berfkan

uang) tak ada hak menuntut sama sekali atas si penjual gadai, sedangkan si pemberi piutang atas penjaminan tetap haknya me­nuntut dengan se-utuh2nya. Di Bali dengan tegas memang ditaruh janji bahwa bila tanahnya musnah maka uang gadamya dapat di- tuntut kembalinya, di situ ternyata bahwa kalau tiada janji khusus ini, akibatnya ialah kebalikannya.

Sudah barang tentu titik2 perbedaan menurut hukum adat itu baru menjadi persoalan, sesudah ditetapkan senyatanya, tokoh hukum yang mana yang dihadap.i itu.

5. PERBUATAN PU R A2 (SC H IJN H A N D E L IN G ).

Tentang suatu kebiasaan yang banyak terdapat, dan menyuram- kan perjanjian (uang), pula saban2 mengkhawatirkan akan bercam* pur-aduknya perjanjian uang dengan perjanjian tanah, maka kebia­saan itu dalam hubungan ini membutuhkan ditinjaunya lebih lan- jut. Kebiasaan itu ialah, bahwa di samping pinjaman uang yang d is e m b u n y i ik a .n dimunculkan k e p a d a u m u m jual ta­nah (atau gadai tanah, atau sewa tanah dengan pembayaran uang sewa lebih dulu) yang seketika disusuli dengan paruh hasil tanam atau sewa; soal ini disebabkan oleli dua keadaan. Keadaan pertama ialah keseganan yang berdasar agama Islam untuk meminjamkan uang atas perjanjian bunga. Namun orang hendak mcmperhasilkan kekayaannya uang dan membelanjakannya pura2 buat perjanjian2 tanah, pada hal ia kenyataannya tak lain dan tak bukan memin­jamkan uang. Dalam praktek adalah ini suatu soal kenyataan yang sulit, ialah apakah ada perjanjian pura2 serupa itu apa tidak. Da- Pat juga duduknya perkara dulu sedemikian, bahwa si keku rangan uang minta pinjam uang, tapi si pemunya uang berdasarkan atas alasan- agama tidak mau meminjamkan uangnya, tapi bersedia untuk menyelenggarakan perjanjian tanah (dengan „paruh hasil tanam ) . Maka .bila demikian, tak lain dan tak bukan yang terse- Ienggara itu ialah suatu perjanjian tanah. Akan tetapi bila dulu si per,iunya uang itu berkata ; baik, saya kasih pioijam kepadamu seribu rupiah atas bunga sepuluh persen, tapi marilah 'kita simpul- kannya dalam surat akte jual-beli tanah yang disusuli dengan per­janjian sewa, karena saya hendak benpura2 kepada umum se-olah3 saya menaati larangan agama Islam mengenai meminjamkan uang dengan pungut bunganya, maka ‘bila demikian adalah dua permu- fa’katan, satu yang disembunyikan dan satu yang diumumkan, jadi semacam pura2 yang relatif (relatieve simulatie). Pada hernat saya, maka dalam hal ini hakim harus memutuskan berlakunya perjan-

jian yang sungguli2 di antara dua fihak itu, dengan tak menghirau- kan kesalehan yang hanya pura2 itu ; hanya bila ada orang2 lain sebagai fihak ketiga yang membela hak2nya berdasarkan atas adanya perjanjian yang diumumkan itu, maka adanya perjanjian terakhir ini harus menjadi bahan pertimbangan juga.

P e r b u a t a n p u r a 2 s e b a g a i p e n j a m i n a n . Suatu hal lain yang mendorong ke perbuatan pura2 relatif yaitu keinginan untuk memberikan sepucuk surat kepada si pemberi piutang yang — b i l a t i m ' b u l k e l e n g a h a n — memberikan kepada si pem­beri piutang itu suatu hak mendahulu terhadap penagih2 hutang lainnya, pula terhadap lain2 orang yang memperoleh sesuatu hak atas tanah itu. Jadi, suatu usaha untuk melengkapi sesuatu keku- rangan tertulis atas surat perjanjian, perlunya untuk dapat dipakai- nya buat membela haknya melawan fihak ketiga. Orang mau me- minjamkan uang kepada orang lain, tapi perjanjiannya disimpulkan dalam perjanjian „jual tanah” atau „gadai tanah’', perlunya supa­ya bila ada kelengahan dapat diperlakukan menurut hukum suatu penerkaman ke arah sebagian daripada kekayaannya si pemunya hutang yang berupa tanah. Kebanyakan perjanjian2 pura2 ini dapat dikenal dari cara memper/iitungkan uang kerugian (harus diartikan sebagai bunga, tidak sebagai uang sewa), pula kcntara dari seba.b sesudah „jual tanah”, si pembeli tak memperdulikan pemakaian tanah olehnya secara nyata, dan sebagainya. Perjanjian2 berlipat serupa itu mudah diminta dengan keras oleh pemberi* uang, karena memang orang yang mefnbutuhkan uang itu bertalbeat kurang tim- bang-menimbang dan dapat di-ramas2. Pada hemat saya -hakim tidak boleh sama sekali mengakui berlaikunya p e m b e l i a n pura2 itu, karena dengan demikian si peminjam uang akan terjerumus dalam rumus dalam genggaman si pemburu hutang sampai melewati batas. Bila perjanjian pura2 itu berupa „gadai tanah”, maka hakim yang memutuskan berlakunya itu dapat mendamaikan semua fihak yang bersangkutan dan fihak ketiga dengan cara yang memuaskan. Da­lam pada itu (ini terlepas dari kemungkinan mengusahakan supaya fihak2 berdamai sendiri atas tanggung-jawabnya sendiri) ia dalam menentukan akibat2nya hukum harus berpedoman pada perjanjian gadai sebagai perjanjian tanah, dan seharusnya ia hanya mengakui akibat2nya hukum „gadai tanah ditambah paruh hasil tanam atau sewa” dalam hubungan cmenurut susunan hukum adat — pembing- kaian yang tetap daripada lembaga2 serupa itu dalam keputusan2 adalah syarat nomor satu untuk kepastian hukum.

6. PEN U M PA N G R U M A H D AN P E N U M P A N G PEKA RA N G A N .

Serupa sifatnya dengan paruh hasil tanam dan sewa ialah perjan­jian yang banyak terdapat yaitu mengirinkan orang lain m endinkan dan mendiaminya sebuah rumah di atas pekarangannya, d i raana ter­letak rumahnya yang ia diam i sendiri; jad i m e n g i z i n k a n m a - s u k o r a n g l a i n d i p c k a r a n g a n n y a s e b a g a i p e n u m p a n g p e k a r a n g a n ( b i j w o n e r ) . B ila se- seorang secara demiikian diizinkan berdiam di pekarangan dalam ru­mahnya sendiri yang tidak ditinggal (oleh pem ilik tanah itu) sendiri (mengizinkan seseorang sebagai penum pang rum ah (opwoner) d i pe­karangannya) , m aka miripnya kepada sewa adalah lebih terang; pem­bayaran kerugian tidak ada, tapi penum pang pekarangan itu diharus- kan memberikan bantuannya. Ju g a izin m em unpang itu d ap at di- cabut kembali oleh si pem ilik tanah, w alaupun ia harus bayar wang kerugiannya untuk ongkos pindah (tukon tali, J . ) itu p u n b ila bu­kannya si penum pang pekarangan atau si penum pang rum ah sendiri yang •menimibulkan sebab pencabutan -kembali izin untuk m endiam i­nya pekarangan itu. Penum pang pekarangan dan penum pang rum ah itu disebut indung, lindung, magersari ( J . ) , numpang (ju ga In d .) .

7. M EM B E R IK A N T A N A H U N T U K D IP A K A I.

Perihal mengizinkan orang2 lain yang tak berhak untuk m em akai tznah selanjutnya agak sering terdapat terutam a karena d u a sebab. Pertam a kali orang yang buat sementara meninggalikan tem pat kedia- mannya ter-kadang2 mengizinkan kepada sanak-saudaranya atau sesama anggauta dusun lainnya — selama ia tidak ada — untuk me- nanam i tanah pertaniannya dan dengan dem ikian untuk „menyinfc* pannya” buat d ia (titip, J . ) .

K edua kalinya m aka kerabat2 atau golongan2 w aris m em berikan tanah kerabat atau tanah2 pertanian dari harta pen inggalan yang m asih tak terbagi, biasanya kepada sesama an ggauta2 kerabat atau kepadr sesama waris2 untuk dipakai. D i halam an 93 b ag ian a tas ber- h u b u n * dengan ini m aka hubungan si pem akai dengan tanah itu d isebu. hak p a k a i ; barangkali lebih tertib m enurut susunan hukum- adat, b ila dalam hal tersebut tadi per-tama2 cüpilihkan ru rau s : diizin­kan m asuk tanah orang la in dengan kem ungkinan izin itu d icabut kem bali, seketika b ila itu diïtehendakicya oleh si pem ilik tanah. D a­lam h u b u n g a n : -kerabat pem ilik dengan sesam a an ggau ta kerabat pem akai, m ak a nrnnis itu sudah baxang ten tu kelem ahan — karena

di sini si sesama anggauta kerabat itu m enurut kaidah2 hukum adat dapat m elindungi hak pakainya melawan se-wenang2 yang m ungkin timbul.

D i l u a r m a s y a r a k a t 2, yaitu d i kota2 ra ja8 dan d i ko­ta2 pantai yang besar, m aka hal diizinkan untuk m enum pang di pe­karangan, baik berdiam sendiri m aupun berdiam di sisi rumah si pe- m ilik tanah atau orang yang berhak atasnya karena jabatannya, (amSbtelijk profijigerechtigde) m aka hal yang sedemikian itu adalah suatu tokoh yang ber-ulang2 terdapat di sana. D i halam an 97 bagian atas, sedemikian itu telaih disebut sebagai suatu bentuk untuk me- nyimpulkan sesuatu hak atas tanah, perlunya supaya kelihatan umum bahwa hak m ilik ra ja (domein recht van de vorst) masih dihorm ati.

„Persewaan tanah Jakarta” (de Bataviasche grondhuur) terma­suk dalam golongan ini. G una m elindungi penumpang2 m aka timbul- lah daripadanya dengan jalan peraturan2 wet suatu m acam hak yang tertentu (Staatsblad- 1918 N o. 287).

Persewaan rum ah2 biasa (sewa) adalah sebetulnya hanya di kota2 besar lazim ju ga di kalangan orang2 Indonesia.

D i sana „m enjual pekarangan” dan „m enggadaikan pekarangan” disusuli dengan penyewaan oleh si penjual atau si penggadai sen­diri kebanyakan — lebih banyak bila dibanding dengan tempat2 lain— adalah perbuatan pura2 buat pem injam an wang atas pen­jaminan.

BAB KELIMA. HUKUM P E R H U TA N G A N (SCH U LD EN RECH T).

1. HAK2 ATAS R U M A H 2, T U M B U H 2AN YANG T E R T A N A M , TE R N A K , BENDA2.

Di waktu melukiskan hak2 atas tanah, maka hak masyarakatlah (gemeenschapsrecht) diterkemukakan, pada hal terhadap jenis2 benda yang tersebut di atas hak yang nomor satu dilakukan atasnya, ialah „ h a k m i l i k (he t I n l a n d s b e z i t s r e c h t ) ; suatu hak daripada masyarakat sebagai kesatuan susunan rakyat, ya­itu hak yang lebih tinggi, tidak terletak atas benda2 tersebut selainnya sebagai perkecualian saja ; di kalangan suku2 Dayak seperti suku Maanyan Siung tidaklah boleh barang2 pusaka diwariskan kepada orang2 di luar daerah suku, juga tidak boleh dibawanya ke luar, dan dalam republik dusun Tnganan Pagringsingan (Bali) rupa2nya ha­rus dikemukakan dahulu, bahwa segala milLk orang2 dusun, lembu2- nya, ayam2nya dan perkakas rumahnya, kesemuanya itu ada di bawah hak dusun, sedangkan di beberapa dusun lainnya di pulau situdapat- lah dusun itu menuntut sebagai ternak dan barang2 untuk keperluan masyarakat tanpa penggantian kerugian suatu apa.

Hak milik atas rumah dan atas Uunbufi2an tertanam adalah pada asasnya terpisah dari hak atas tanah, di mana benda- itu berada . se­seorang dapat menjadi pemilik pohon2 dan rumah2 yang berada di- atas pekarangan orang lain ; menanam pohon2 atas tanah geromfoo- lannya itu (misalnya di Ambon hal itu sering terjadi), maka mereka menjadi pemilik2 pohon2 itu ; terhadap hak untuk mempunyai ru- mah — hak mana dapat dicabut kembali — atas pekarangan orang lain di samping rumahnya si pemilik pekarangan itu sendiri, maka untuk itu adalah istilah2 hukumnya yang tersebut di halaman 125; is- tilah numpang (demikian juga terhadap orang luaran yang berdiam di tanah daerah hak pertuanan) menunjukkan bahwa oiang itu ti­dak ada sama sekali sangkut-pautnya dengan tanah dan berada ter- lepas di atasnya (hal. 80) walaupun ia ada rumah di atasnya, pohon2, buah2an dapat dijual dan digadaikan sendiri2.

Tapi pemisaihan yang principieel di antara hak atas tumbuh2an, rumah2 di sa'tu fihak dan hak atas tanah di lain fihak, ada juga pem- batasan2nya.

Pertama kali bila ada perjanjian2 (transacties) mengenai pe­karangan, maka dalam prakteknya selalu termasuk situ juga rumah2 dan tanaman2nya ; jadi dengan demikian maka rumah2 dan tana-

m an2 bersam a pekarangannya adalah obyek p e r ja n jia n jual, se­dangkan d i sam ping itu adalah m u n g k i n bahw a, ru m ah 2- dan pohon2 diperdagangkan terlepas dari tanahnya, ia lah secara orang m en jual benda2 ; nam un h a l terakhir in i, b ila m en gen ai rum ah, biasanya berarti bahwa rum ah itu d ip indahkannya. D em ik ian lah da­lam bahasa Jaw a di Sw apraja terdapat d u a istilah yang berhada­pan satu sam a lain, ialah adol ngebregi d an adol b e d o l : m en jual rumah supaya did iam i oleh si pem beli d i tem pat situ ju g a , berhada­pan dengan : m enjual rum ah supaya diangkutnya oleh si pem beli dari tempat situ.

K edua kalinya hak atas pohon2 (dan atas ru m ah 2) itu terkadang membawa serta hak atas tanah. Suatu m isal p a lin g tepat dalam hal ini ialah peristiwa, bahwa seseorang anggauta m asyarakat telah me- nanam pohon2 (buah2an) di tanah pertan ian cetakannya, m aka se­sudah dipanennya tanah itu terpaksa ditinggalkannya buat waktu yang lama, itupun karena gersangnya tanah. K arena itu p ad a umum- nya, dan berhadapan dengan hak pertuanan m utlak yang sedang pu- lih kembali, maka ia kehilangan haknya perseorangan atas tanah itu, tetapi ia tetap memegang hak m iliknya atas pohon2 yang dita- namnya itu, pula di beberapa lingkungan2 hulkum ditam bah hak atas sekian tanah seluas yang dinaungi oleh daun -an pohon2 itu. B ila­mana pohon2 itu tertanam sedemikian dekatnya satu sam a la in se-

di antaranya tak ada lagi sisa2 ruangain yang p atu t b u at ap a2 lain, maka hak m ilik atas tanah itu — atas kebun2, buah2a-n itu — tetaplah ada pada si pem ilik pohon2 itu ; ja d i dalam hal2 sedem ikian itu m aka hak atas tanah m engikuti hak atas tum buh2an yang lebih dari sa-tu tahun umurnya (ha-1. 76). K arib dengan tokoh in i ialah •bahwa hak menebus (hak m ilik) si pen jual gadai lenyap, karena d ia sudah mem-biarkan si pem beli gadai m enanam i tanah pertan ian yang tergadai itu dengan pohon2 (hal. 125).

Selanjutnya m aka hak atas tanali itu dengan tiada dap at terpu- tus bertalian dengan haJc atas sebuah rum ah batu, yang m em ang begitu, tak dapat dipindahkan (lain halnya dengan rum ah2 bam bu atau rumah2 kayu). M aka dari itu aturan2 hukum m engenai peka­rangan2 (juga aturan2 wet seperti larangan m em indahkan tangan tanah kepada orang2 bukan Pribum i ialah „vervreem dingsverbod” ) terpaksa harus juga berlaku atas rum ah2 batu (bersam a tanah yang iK*rkenaan dengan i t u ) ; tentamg ketidakpasrian2 berdasarkan ke- nyataan, yaitu apakah harus dianggap rum ah batu apa tidak, berapa luas tanah yang harus dianggap pekarangannya rum ah itu, m aka per- soalan2 ini adalah timbul, tap i tidak m engurangi sam a sekali pokok- pangkalnya.

Suatu kebiasaan aneh dalam hubungan antara hak atas rumah bersama tanaman3nya dan hak atas tanah, sudah pernah tersebut •dalam lain nasabah. Ialah kebiasaan dalam alam raja2 yang tetap menyebut liak atas tanah itu : liajk Raja, tanahnya disebut tanah- nya Raja (kagungan dalem, J .) , akan tetapï hak2 perseorangan atas tanah seperti se-nya>ta2nya diakui juga sedemikian rupa, •sehingga disebutnya ; hak atas rumah dan tanamannya ; di sini asal- Tiya istilah tersebut di atas tadi buat: menjual rumah dengan hak untuk pembelinya untuk mendiami pekarangannya sekali (ngedol ngebregi) . Tindakan2 dan pembatasan2 hak dari fihak pemerintahan, dalam hubungan2 mengenai hak pura2 daripada raja atas tanah ini, adalah pada hakekatnya berdasarkan atas kekuasaan besar daripada raja dalam menjalankan pemerintahannya (hal. 94).

Orang yang telah menanamnya, yaitu pemilik tumbuh-an yang di- tanamnya, dapat juga menjadi pokok pangkal daripada imba- ngan’ hukum yang timbul bilamana ia menanam padi atau hasil bumi serupa itu atas tanahnya lain orang. Si penanam yang melanggar hak itu dapat diwajibkan menyerahkan kepada si pemilik tanah itu se­bagai pembayaran kerugian baik seperduanya, maupun sebagian la- innya daripada panennya ; bedanya di antara mengei jakan tanah de­ngan melanggar hak „dengan itikad baik” (te goeder trouw) dan „dengan itikad jahat” (te kwader trouw) rupa’ nya dmyatakan se­demikian rupa, bahwa penanam beritikad baik dipeibolehkan memu­ngut sebagian yang pa tut sebagai pengganti usahanya dan biaya yang telah dibelanjakannya (biasanya separuh liasil panennya), dan bah­wa si penanam beritikad jahat diwajibkan nomor satu berusaha supaya si pemilik tanah tidak merugi - walaupun yang terakhir im tidak usali lantas mendapat keuntungan ber-lebih-an* enanam yang sah atas tanah orang lain yang telah dengan izinnya pemilik ada di situ menurut persetujuan, misalnya pemaruh hasil tanam menurut hukum adat dapat juga dianggap sebagai pemilik hasil panen yang sebagian harus ia menyerahkannya kepada pemilik tanah. Bila sebi­dang tanah pertanian yang ada tanamannya padi yang sedang meng- hïjau di Tnganan (Bali) harus dikembaïikan kepada dusun, maka hasil panen adalah untuk dusun (apakah ini suatu gambaran daripa­da suatu perkecualian ?).

Milik ternak ter-kadang2 terikat pada aturanS tersendiri mengenai menyembelihnya dan memindahkannya tangan, tapi tidak sedemikian sehingga haik atas ternak itu tidak dapat disebut hak milik. Di bebe­rapa daerah, ialah di daerah2 Batak, terdapatlah karena adanya pa­ruh hasil pelihara (deelwinning), banyak milik paruhan (deelbezit) atas terna'k; seseorang oleh karenanya adalah pemilik atas misalnya

seperempat lembu. Milik kapal2 (acapkali milik kerabat atas pera- hu2, misalnya di Sulawesi Selatan) dipandang dari sudut hukum- adat tidaik ada keistimewaannya suatu apa; bila fatsal 1 dari Staats­blad 1933 No. 49 ditafsirkan menurut suatu tafsiran yang tertentu, maka kewajiban untuk mendaftarkan menurut fatsal 1 dari Staats­blad 1933 No. 48 yang mengakibatkain berlakunya hukum bagi orang2 Eropah atas Pribumi, dapat mengakibatkan kesukaran2 besar.

Mengenai benda2 yang ada hubungan khasiatnya dengan pemilik- nya telah sedikit dibicarakan di halaman 98 ialah bahwa benda2 tadi hanya dengan perjanjian jual dapat diserahkan ke lain tangan. Pen­jualan benda2 dari tangan satu ke tangan lain, berlangsung biasa saja; juga istilah menjual yang dipakai untuk itu menunjukkan selalu penjualan (tunai), lain halnya dengan m e nggad ai ka n (ver­panden) atau „menyewakan" (verhuren). Menggadaikan benda2 (megangkan, Ind., nyekelakê, J.) itu berlangsung dengan jalan menyerahkan barang-nya ke tangan lain. Barang gadainya harus di- simpan sampai lama. Bila si pemberi gadai kelamaan lengahnya un­tuk menehusnya, maka barangnya dapat dijual untuk diperhitung- kan, atau dapat jatuh ke tangan si penerima gadai. Bila barang ga­dainya -hanya disimpan saja, maka biasanya harus dibayar .bunganyawang gadai itu ; bila barang dipakainya, maka tak usah dibayar bunganya.

a( a aIasannya (dan tidak mungkin dapat) untuk me- mu as u ungan2 hukum atas tanah dan benda2 yang telah dilukis-

311 ml f 3 suatu Pembagian dua (tweedeling) dengan jalan me-misah kan barang2 itu menjadi barang2 bergerak dan barang2 tetap apakah terpisah atau tidak terpisah hak atas tanah dengan a a as tanamannya, maka pertanyaan sedemikian itu — suatu ke-

balikan yang berpangkal pada susunan hukum asing - rupa2nya membmgungkan (bukankah tanal. dan tanaman ke-dua2nya dapat disebut „barang- tetap”, tapi walaupun b itu atas masjn^Iamlah yang mempunyai hak miliknya) . Bilamana orang .karena se­suatu aturan wet terpaksa mem-beda^kan barang* tetap dari ba­rang bergerak dalam suatu harta kekayaan yang dlmiliki orang me­nurut hukum adat seperti misalnya aturan2 Reglemen Bumiputera (Inlands Reglement) mengenai penyitaan, maka bila terjadi tumbuk-

an hukum tertulis (wettenreoht) dan hukum adat, maka lantas tim­bul pertanyaan bagaimanakal, tafsirannya yang menurut sesuatu cara yang past, (methodische interpretatie). Cara yang tepat untuk me- „afsirkan rupa-nya begini: tanah tidak syak lagi sebagai barang tetap dipasang berhadapan dengan ternak dan benda2 yang pasti barang2 bergerak ; tap, di antara keduanya harus diakui segolongan

„benda2 kesangsian” (twijfelgoederen) ; ruraah2 kayu, rumah2 bam- bu, pohon2, buah2an, padi yang masih beraxla di tanah pertanian, dar» sebagainya. Jenis barang2 ini karena itu seharusnya digolongkan dalam golongan barang tetap atau barang bergerak, tergantung dari maksud yang logis daripada peraturan yang ditafsirkan, dihubung- kan dengan sifat2 istimewa barang2 itu, jadi penggolongan itu tidak usah selalu secara sama buat masing2 barang. Tentang pertanyaan : „Apakah pohon kelapa itu menurut hukum adat barang tetap atau barang bergerak Y’ bilam&na dikemukakan dahulu dan selanjutnya diinginkan jawabannya yang bersifat umum, maka persoalan demi­kian itu pada hernat saya tidak masuk di akal.

Hak pencipta (auteursrecht) atas perhiasan perahu di kepulauan Kei adalah sejaik dahulukala asli Bumiputera; hak pencipta atas bunga2 di sarong2 Minangkabau adalah rupa2nya di zaman modern, ini timbulnya. .

2. PERBUATAN KREDIT, TO LO N G -M EN O LO N G A N T A R A SATU SAMA LAIN DAN BERTIMBAL-BALIK (CREDIET-

HA&DELING, ONDERLING EN W EDERKERIG HULPBETOON)

Bila pokok pikiran untuk perbuatan tunai (kontante handeling) adalah : saya hanya dapat melepaskan tanah, benda2 dan orang2 yang semuanya bertalian dengan saya, ke luar dari lingkaran hidup saya yang terikat, hanya bilamana pada saat saya melepaskannya itu de­ngan serentak ada taranya yang menggantinya (dalam arti magis, ekonomis dan hukum adat) - namun pokok pikiran untuk p e r ­b u a t a n k r e d i t adalah sama sekali laan, ialah ; sayamembe- rikan apa2 kepada orang lain atau saya bekerja buat orang lain , hal ini memberikan hak pada saya atas balasan budi pada waktu di belakangnya ; hal ini memberikan — hairus dikataikan di sini — ke­pada orang lain tadi suatu keharusan atas balasan budi (yang di inginkan olehnya dan pada waktu di belakangnya) dari fihaknya kepada saya ; perbuatan2 kita adalah suatu bagian dari pergaulan segolongan kita, atau pergaulan orang seorang, yang kesemuanya menu ju k e s e i m b a n g a n ( e v e n w i c h t ) , yang menyebabkan kemenangan kepada siapa yang memberi lebih dari pada menerima, sehingga memberikan kembali (mengembali'kan kelebihan) itu men- jadi suatu keinginan, suatu kewajiban, suatu aonalan untuk mem- pertahankan derajatnya, malahan untuk mempertahankan hidupnya sendiri (bivkankah itu menjaga jangan sampai ia dijadikan budak) (pandeling) karena tak dapat melunasi hutangnya. Tiada alasan-

nya untuk mempersoalkan pokok pikiran mengenai perbuatan tunai ini menurut waktunya mula2 terjadinya sebelum atau sesudahnya perbuatan kredit. Ke-dua2nya adalali bentuk2 dasar, tokoh2 asli se- jaik purbakala, yang terdapat di dasar peristiwa hukum ke Indonesia- an.

Juga soal p e m b eri”, „menerima” dan „member! kembali'1 ini berlaku ke dalam masyarakat dan berlaku ke luar sebagai halnya ju­ga dengan hubungan hukum mengenai tanah. Sesama anggauta me- nolong satu sama lain bertimbal-baliik; golongan2 ialali golongan2 kerabat, ke jurusan luar berhubungan secara tertib dengan jalan sa- ling tukar barang2, ihal mana digandengkan pada penukaran perem­puan ; dalam hal ini maka ter-kadang2 bagian2 clan exogaamlah yang menjadi pelaku2-nya.

T o l o n g - m e n o l o n g d i a n t a r a s a t u s a m a l a i n (onderling hulpbetoon). Tolong-menolong bertimbal-balik di dalam masyarakat dapat dibedaka-n dari pada tindakan ber-sama2 buat satu maksud untuk masyarakat, ialah tolong-menolong d i a n t a r a s a ­t u s a m a l a i n (onderling hulpbetoon). Kewajiban untuk ikut berbuat sedemikian itu, berdasarkan langsung atas kaidah hukum adat, bukannya atas dasar „-karena sudah menerima apa2”, atau „karena mgin menerima pembalasan budi nanti” . Batasnya adalah samar- akan tetapi tokohnya mudah dapat dikenal. Bila misalnya harus didirikan sebuah rumah masyarakat, atau harus dicetak suatu pekuburan untuk masyarakat, maka orang2 lelaki yang kuat me- nyumbang untuk iiu berupa tenaganya dan benda. Bila orang2 du­sun ber-sama2 membuka sebidang tanah hutan di bawah pirnpinan kepalanya, yang lantas oleh kepala itu di-bagi2kannya di antara me­reka sebagai tanah2 pertanian perseorangan, maka di sini dapat di­anggap adalah tokoh „tolong-menolong di antara satu sama lain". Bila tanah2nya terlebih dulu sudah dipilih dan di-bagi2kan, dan sesudah itu satu menolong yang Iain dalam pembukaan tanah itu, maka di sini harus disebut tolong-menolong bertimbal-balik (we-, derkeiig); perincian2 ini hanya berguna buat kepentingan susunan yang theoietis. Bila penghulu2 mendapat pertolongan dari segenap masyaiakat dalam hal mendirikan rumahnya dan menanami tanah2- nya jabatan, maka di sini da:pat dianggip pertolongan sesama ang- gota2 di antara satu sama lain untuk kepentingan penjabat peme­rintahan masyarakatnya, juga dapat dianggapnya pula pemberian tenaga sebagai penukaran pekerjaan2 penghulu tadi untuk kepen- tingan masyarakat. Pekerjaan2 untuk penghulu2 itu di sana-s-ini da­pat terkenal sebagai lembaga tersendiri: pancen (J .), resayo (Min.), kwarto. (A m b.).

D i Jawa dan di tempat2 lain maka tolong-menolong di antaxa satu sama lain ini masili 'berlangsung terus berupa pekerjaan2 desa; sebagai kebalikan pekerjaan2 untuk penghulu2, maka biasanya di- sebutnya dengan istilah yang sama dengan „tolong-menolong ber- timbal-balik”.

P e n u k a r a n b a r a n g 2 di a n t a r a g o l o n g a n 2 o r a n g 2. Penukaran barang2 berupa „jujur” (bruidschat) dan pemberian2 pada waiktu peristiwa2 penting dalam kehidupan, ter-kadang2 pada azasnya berlangsung menurut jalan yang sudah menjadi adat, hal mana mengakibatkan kepindahan tangan barang2 ke satu jurusan, dari satu bagian clan ke bagian clan lainnya; begitu juga halnya dengan perempuan (asymmetrisch connubium). Di kalangan orang2 Batak dan di bagian Timur daripada Nusantara (hal. 49, 52), maka banyak daripada adat ini masili terdapat di sana, walaupun hal ini baru akhir2 ini saja dikenal orang. Perjanjian berupa cara daripa­da orang2 Euri di Nias dulu mengandung persetujuan2 mengenai penetapan takaran Beras, ukuran berat untuk babi2, ukuran ikadar untuk campuran mas, persetujuan mana tentunya diadakan berhu- bung dengan faliam penukaran barang2 tersebut tadi; apa yang disebut „peralatan2”, upacara2 adat dan lebih2 upacara peralihan (overgangsriten) adalah terdiri dari „memberi dan menerima” itu, dan dari „jamuan2 dan pemborosan2” itu, kesemuanya sebagai sya­rat mutlak. Tentang artinya funksioneel, pula sebagai faktor da­lam penetapan aturan2 mengenai tingkah-laku di antara golongan2 satu sama lain ditepatL — tidak mengundang buat datang di suatu upacara, tidak datang di suatu peralatan yang diadakan pada waktu ada perselisihan tentang tingkah-laku mereka satu sama lain — maka arti funksioneel sedemikian itu tidak dapat diabaikan begitu saja. Masih amat sangat ktirangnya penyelidikan yang se-mata2 diadakan tentang berlakunya faktor2 lersebut tadi.

T o l o n g - m e n o l o n g b e r t i m b a 1 - b a 1 i k ( w e d e r ­k e r i g h u l p b e t o o n ) . Tolong-menolong bertimbal-balik di da­lam masyarakat, di dalam dusun, persekutuan wilayah, gerombolan genealogis, pula penukaran tenaga dan barang2 dari keluarga satu ke keluarga lainnya kesemuanya itu selalu terdapat di mana3 di Nusantara ini, hanya saja tidak sama nilainya. Untuk itu juga ma-ka sangat pentingnya: slamatarij peralatan2 khitanan dan perkawinart dan sokongan di waktu ada kelahiran dan kematiart. Siimbangan2 tamu2 (sumbang, J., panyambung, Sund. passoloq, Bug, dan sebagai­nya) itu terkadang benar2 ada di bawaili pengawasan tertib mengé- nai apakah sama nilainya atau tidak. Selanjutnya lebih2 peristiwa2 seperti mengerjakan tanah2 pertanian dan mendirikan rumah2, me-

nyebabkam. penukaran tenaga: adat ini disebut sambat-sinambat (J.) * resaya (Sund.), marsiadapari (Bat.), seraya (Ind.), tulung-me-

nulung (Ind .), masohi (Amb.) dan sebagainya. Mendekati „tolong- menolong bertimbal-bali'k’' ialah pemberian kecil2 yang sebegitu banyak kali di antara sanak-saudara dan tetangga baik satu sama lain, yang kesemuanya berdasarkan atas anggapan pada suatu waktu nanti si terberi akan membalas budi secara patut berhubung dengan sudah diterimanya pekerjaan atau barang dari orang lain itu ; pula mendekati itu, ialah hubungan2 satu sama lain, di mana diwajibkan mengamalkan kesabaran se-<banyak2nya, dan bila timbul perselisihan tidak lekas harus memberikan suatu ikeputusan yang dipaksakan kepada mereka tapi suatu perdamaian antara satu sama lain (rukun- an, J .) . Juga arti funksioneel daripadanya adalah besar; sesama anggauta2 dalam masyarakat2 terikat tidak dapat melepaskan diri dari apa yang diharapkan oleh masyarakat mengenai tingkah-laiku- nya ; perbuatan kredit perseorangan masih bersifat sangat terikat.

P e r t o l o n g a n k h u s u s ( g e s p e c i a l i s e e r d h u l p b e ­t o o n ) . Di samping itolong-menolong bertimbal-balik yang bercoraik umum dalam masyarakat, ma.ka pertolongan khusus yang diberikan oleh golongan2 khusus seperti : oleh pemuda2, pemudi2, pemotong* kayu, pemilik2 tanah adalah merupakan corak khusus dalam adat. toloivg-menolong bertimbal-balik oleh keluarga2, namun dalam pada itu tetaplah masyarakat, yaitu dusun, menjadi dasar daripada tolong- menolong itu.

3. PER KU M PU LAN2.

Suatu azas lain terdapat bilamana terjadi, bahwa lingkungan yang di dalamnya orang2 bertolong-menolong satu sama lain,, menjadi ter- Iepas. Dengan maksud untuk pertukaran tenaga dan barang2 ber- i timbal-balik, maka timbullah golongan2 yang bercenderung aikan I bertindak ke luar sebagai ikesatuain2 yang berdiri sendiri. Makin lema-h atau makin menjadi lemah dusun2 atau masyarakat2 lain itu karena sebab2 dari dalam atau dari luar, atau makin suka orang akan bertindak ke luar batas dusun, maka makin teranglah peristiwa ini menampakkan diri. Acapkali adalah kepentingan2 tertentu, yang sedang dipelihara orang dalam pelbagai macam kerjasama. Sebagai misal ialah cara pinjam uang — yang rupa2nya ditirunya dari orang2 Tionghoa — yang disebut hiue, yaitu di mana beberapa orang setiap bulan membayar sejumlah uang yang tertentu dan masing2 dari mereka ber-gilir- boleh memakai jumlah uang sekaligus seluruhnya (sarikat di Jakarta, jula-jula di Minangkabau, mohaqka di Salayar). Pula kongsi2 kecil untuk potong lembu2 di Aceh dan misalnya apa

yang disebut perkumpulan2 kematian yang sangat tersebar seluruh tanah Jawa. Di Minahasa namanya ialali perkumpulan2 ma- palus, dalam hal mana perkataan m a p a l u s berarti baik tolong- menolong bertimbal-balik, maupun gerombolan:2 yang dibentuik untuk beraneka tujuan, misalnya untuk memberikan bantuan di waktu mengerjakan tanah — tidak hanya oleh anggauta2nya saja dalam hubungan tolong-menolong bertimbal-balik, tapi juga ditu- jukan bantuannya kepada orang2 luaran dengan memungut upah ; juga untuk pemberian pinjaman (mapalus uang) dibentuk perkum­pulan2 serupa itu juga, yang paling terkenal dan paling meningikat ialah pembentukan gerombolan merdeka yang ditujukan kepada kepentingan benda di Bali. Di sana sakaha itu seperti di Minahasa dapat mengandung dua arti, ialah suatu gerombolan yang akan me* nunaikan suatu tugas dalam lingkungan ikatan desa dan karenanya ter-kadang2 — tapi tidak selalu begitu (seperti perkumpulan banjar, perkumpulan pemuda2) — memperoleh kepribadian sebagai „per­kumpulan”, atau artinya yang kedua ialah; suatu perkumpulan yang iterbentuk dengan sukarela juga di luar ikatan d e s a , yang bertujuan menggali tembusan2 bukit, memanen tanaman di tanah pertanian, menyelenggarakan permainan musik, meminjamkan uang.

Persekutuan2 pengairan yang tersohor iaïah subak Bali, dengan dasarnya benda (milik sawah) dan sifatnya dinas sedikit banyak te­lah disebut di halaman 58.

Demikianlah lembaga tolong-menolong bertimbal-balik di satu fihak dapat dianggap sebagai dasarnya perbuatan kredit; yaitu „memberi” agar supaya nanti dapat menerima penggantiannya yang senilai, hal mana dipribadikan (geindividualiseerd) dan dikhusus- kan menjadi „peminjaman uang” , „pembelian barang2 dengan kre­dit” dan sebagainya, m en jad i: titang-piutang, yang ditentukan sam­pai se-cermat2nya dan kebanyakan kurang cermatnya pula, terikat oleh tempo2nya, di lain fihak dapat diamggapnya sebagai dasar daripada kerjasama yang beraneka warna bentuknya, yang kesemua­nya timbul dari pelbagai kebutuhan masyarakat Pribumi.

Pada umumnya ini tidak berarti, bahwa segala bentuk2 kerjasa­ma yang tetap, berpangkal pada tokoh „tolong-menolong bertimbal- balik” itu. Suatu lembaga seperti apa yang disebut s a s i model baru di Ambon, yaitu kerjasama antara pemilik2 kebun kelapa untuk penjagaan dan penjualan hasilnya, berdiri sendiri terlepas dari- padanya, demikian juga perkumpulan2 yang mencontoh kooperasi Eropah, Koorram2 pribumi yang telah mendaftarkan diri adalah di bawah peraLuran^ wei iliciniinit Staatsblad 1927 Xo. 91.

P a r u h h a s i l t a n a m s e b a g a i k o n g s i . Dalam bab keempat maka paruh hasil tanam (deelbouw) dibe- rrkan sebagai suatu perjanjian yang bersangkut-paut dengan tanah, agar supaya perjanjian itu per-tama2 ditempatkan dalam hubungan menurut susunannya dengan perjanjian2 tanah. Paruh hasil ta­nam harus dibicarakan di sini juga karena perjanjian itu juga dapat dipandang sebagai suatu bentuk kerjasama — dikatakan orang juga semacam kongsi (maatschap) — antara pemilik tanah ■dan pekerja, di mana jasa si pemilik ialah mengizinkan sipekerja masuk di tanahnya dan jasa si pekerja terdiri dari mengerjakan, menanami dan memaneni tanah itu, sedangkan satu atau lainnya yang menyediakan padi bibit dan lembu pembajak, dan selanjutnya hasil kerjasama itu dibagi menjadi bagian2 yang ditetapkan atas persetujuan lebih dulu atau oleh kebiasaan.

P a r u h l a b a ( d e e l w i n n i n g ) . Kerjasama ber- bentuk serupa itu terdapat di seluruh Nusantara mengenai ternak. Pemilik ternak - karena beberapa sebab — menyerahkan ternaknya ke tangan orang iain yang memeliharanya dan memungut ber-sama2 si pemilik masing2 separuhnya dari hasil atau tambahnya liarga dari­pada hewan yang diserahkan itu. Perjainjian sedemikian itu dalam bahasa Belanda disebut „deelwinning van vee” . Dengan sangat ba- nyak cara sedemikian itu maka sapi2 dan kerbau2 diserahkan orang lain dan diperhasilkan; anak2nya dibagi menurut urutan tertentu antara si pemaruh laba dan si pemilik ternak, atau anak2nya dijual dan pendapatannya dibagi, atau hewannya sendiri pada permulaan perjanjian ditetapkan harganya kemudian dijualnya dan kelebihan* harganya dibagi, atau pada akhimya, anak2nya tetap dalam imbangan tertentu menjadi milik bersama (milik paruhan) daripada si pemi- Jik induk dan si pemelihara hewan2, itu. Maka di mana2 karena se- ringnya dijatuhkan .keputusan2, sudah timbul aturan3 yang pasti mengenai hak2 dan ikewajiban2 kedua fihak. Bilamana hewannya mati di tangan pemaruh laba, maka dialah yang memikul tanggung- jawabnya tentang kerugiannya, bila ia lalai dalam pemeliharaannya dan ma'tinya hewan itu disebabkan oleh kelalaian itu. Bilamana hewannya diambil kembali oleh pemiliknya sebelum beranak, pada hal si pemaruh laba tidak menyebabkan pengambilan kembali itu, maka dia, pemilik, harus mengembalikan segala biaya yang telah diperuntukkan pemeliharaan hewan itu, kecuali bila si pemaruh laba sampai saat itu sudah memungut hasil dari .tenaga hewan itu ; persetujuan2 beraneka warna pada umumnya tiap2 kali membubuhi corak setempat atau corak perseorangan pada perjanjian ini. Isti-

laih2 Pribumi untuk itu ter-ikadang2- sama dengan istilah* un'tuk pa­ruh hasil tanam. Tidak hanya temak besar, melairakan juga kam- bing, ayam dan itik dipelihara dan diperhasilkan dalam kerjasama satu sama lain secara demikian itu.

4. PERBUATAN2 KREDIT PERSEORANGAN (INDIVIDUELE C R ED IETH AND ELIN GEN ).

M e m i n j a m k a n wang dengan berbunga atau tidak, ada­lah sudah menjadi kelaziman di masyarakat Pribumi, tidak hanya sebagai perbuatan hukum dengan orang2 Arab, Tionghoa, India dan Eropah saja, melainkan juga sebagai pembuatan hukum orang2 Indonesia satu sama lain, dan tidak jarang untuk memenuhi kewa- jibannya membayar kepada pemerintah. Dalam pada itu memang benar terdapat sekedar daya penghambat karena larangan memungut buiiga dari agama Islam, tapi walaupun demikian jumlah pemin- jamkan wang dan perkumpulan2 peminjamkan wang Pribumi adalah banyak sekali. Orang Batak merabedakan manganahi — me- minjam dengan membayar bunga — dari morsali, ialah meminjam tanpa bayar bunga. Di samping itu maka „meminjam” (utang, me- minjam) barang2, barang2 toko, makanan dan sebagainya ber-ulang2 terdapat, begitu juga sebaliknya, ialah meminjam' wang dengan permufakatan mengembalikannya berwujud buah2an, tanaman, kulit- hewan dan barang perdagangan serupa itu.

Bilamana dalam bahasa Belanda faham2 „beli (dan jual) dengan harga tunai” dan „beli atas kredit" ke-dua^nya satu sama lain di- sambung dengan perkataan „beli (dan jual) ” sebagai pembagi persekutuan yang terbesar (grootste gemene deler), maka dalam bahasa hukum Indonesia kedua faham itu pada hakekatnya berlainan berhadapan satu sama lain, ialah sebagai membeli menjual berha­dapan dengan meminjam (meminjamkan). Karena meminjamkan wang dengan bunga itu sudah begitu lazimnya sehingga wang itu di- hargai sebagai bagian harta yang dapat menghasilkan bunga, maka hakim bila ada kelalaian membayar mungkin akan memutuskan su­paya yang lalai itu juga membayar bunga kepada si peminjamkan wang sebagai pembayaran kerugiannya, yaitu pembayaran „ b u n g a k a r e n a k e l a l a i a n ” ( m o r a t o i r e i n t e r e s s e n ) . Tapi di kalangan orang2 Batak penggantian bunga itu sama sekali tidak diizinkan oleh -hukum adat, malahan bunga buat tempo sejak jatuhnya vonnis sampai pelunasan hutangpun tidak diizinkan pula.

Menagih hutang harus dijalankan dengan kesopanan terhadap si pemmjam ; menagih seseorang begitu saja di jalan umum ada­lah tidak senonoh (di daerah2 Batak, Bali dan sebagainya) .

M e n a n g g u n g p r i b a d i buat hutangnya orang lain per-tama2 mungkin disebabkan karena adanya ikatan sekerabat ber- hadapan dengan dunia luar. Hutangnya seorang daripada sesama anggauta clan — lebih2 bila mengenai kewajiban adat yang harus dipenuhi — adalah hutangnya rombongan, penagihan dapat dituju- kan kepada masing2 dari anggauta rombongan itu : tanggung-me- nanggung. Seorang anggauta yang menyebabkan beban keharusan membayar yang sangat keberatan buat sesama anggauta2nya, dapat dikucilkan atau dibuang ke luar adat (sebagaimana sebagian tanah dari lingkungan beschikkingsrecht dapat ditanggalkan bila ummat semasyarakat situ tidak dapat atau tidak mau memenuhi pembayaran- adat karena ada terjadi kejahatan atau pelanggaran di situ sedang- kan yang berbuat itu tidak dapat diketemukan). Ini adalah soal ber­lakunya hubungan kredit ke luar (dipandang dari sudut golongan sekerabat). Tanggung-jawab ahli waris terhadap hutang2nya si mati — jika memang meninggalkannya hutang (hal. 252) — barangkali bertalian dengan faham tadi.

Menanggung pribadi buat hutangnya orang lain mungkin juga berdasarkan atas rasa kesatuan daripada sanak-saudara2, seperti misalnya di daerah2 Batak. Di kalangan orang2 Batak Karo maka se­seorang lelaki selalu bertindak ber-sama2 atau dengan penanggung- nya anak beru seninanya, yaitu sanak-saudaranya semenda dan kera- batnya sedarah, yang se-akan2 mewakili golongan2 mereka berdua yang bertanggung-jawab (hal. 52).

Ber-sama2 menanggung hutangpun ada juga, yaitu di antara sua- mi dan isteri, itupun bilamana kesatuan harta perkawinan ada ber­dasarkan atas adanya bekerja ber-sama2 untuk keluarganya.

Kemudian juga dalam hukum adat terdapat perjanjian, di mana seseorang menjadi penanggung hutangnya orang lain. Si penang- gung itu disebut dalam bahasa Indonesia jamin, perkataan borreg, ialah perkataan yang sudah berubah menjadi perkataan Pribumi, adalah penjaminan berupa tanah (hal. 131). Si penanggung dapat ditagili bila dapat dianggap bahwa pelunasan piutang tak mungkin lagi diperoleh dari si peminjam sendiri. Menurut susunannya maka dalam hukum adat tidak banyak kemungkinannya untuk perkemba- ngan tokoh perjanjian semacam ini. Tentang diperhambakan ke­pada si peminjamkan wang karena tak dapat mengembalikan wang

pinjamannya — sedemikian • rupa sehingga si peminjamkan wang berkuasa penuh atas diri sipeminjam — maka hal ini adalah lem- baga yang terkenal umum dalam hukum adat Indonesia: „perbuda- kan karena berhutang” (pandelingschap). Lebih2 bila hutang2 adat (wang perdamaian dan sebagainya) tidak dapat dilunasi oleh yang bersalah atau oleh golongan. kerabatnya, maika yang bersalali itu ke- hilangan pribadinya untuik keuntungan si penagih pinjaman, ialah sebagai satu2nya cara untuk memulihkan kembali kesetimbangan (evenwicht) yang telah dirusaknya. Siapa yang mencari pertolongan kepada seorang penghulu yang kaya dalam mengliadapi penagih2nya hutang yang memusuhi dia, maka dia menjadi budaknya (pande­ling) penghulu itu. Walaupun lembaga ini sudah terlarang, tapi bu­ah pikiran yang menjadi dasarnya masih terus berlaku dalam per­gaulan2 Pribumi, ter-kadang2 dalam bentuik yang tak terlarang yaitu melunasi hutang dengan jalan bekerja untuk si penagih hutang.

Sebagaimana meminjam wang dan barang sebagai penbuatan kredit perseorangan dapat dipandang dalam hubungan memben apa2 satu sama lain dalam tolong-menolong bertimbal-balik, pun per­janjian bekerja (arbeidsovereenkomst) dengan bekerja untuk satu sama lain bertimbal-baliknya dapat dihubungkan dengan bentuk perbuatan ikredit yang telah berkepribadian (geïndividualiseerd).

Tentang menumpang di rumah orang lain dengan mendapat makan cuma2 tapi harus bekerja untuk tuan rumah, maika tokoh sedemi­kian itu ber-ulang2 terdapat dan dengan bercampur-baur dengan memberikan penumpangan kepada sanak-saudara yang miskin de­ngan imbangan tenaga bantuannya di rumah dan di ladang (rayat,

J)-Perihal bekerja sebagai buruh dengan mendapat upah di ladang,

di pertenunan2, di pembatikan2 dan sebagainya juga banyak terdapat di Jawa dan di lain2 tempat, itupun bilamana tak dapat diselesaikan dengan caira tolong-menolong bertimbal-balik. Hubungan pekerja- an mulai berlaku dengan terbayarnya sedLkit wang pengikat (pari­jer, hal. 156), yang mungkin dijadikan persekot atas upah, seba­gaimana pembayaran di muka sebagian dari wang jujur ter->kadang2 dijadikan hadiah pertunangan. Suatu sisa dari zaman buta hukum adat dengan kebodohannya menyebabkan berlakunya formeel hukum perdata Belanda (Staatsblad 1879 No. 256) atas kebanyakan hu­bungan2 pekerjaan (tidaik atas pekerjaan yang bertingkatan lebih tinggi) .

Tidak kurang seringnya terdapat pengupahan untuk ber^macam2 pekerjaan (pekerjaan2 perantaraan, pertolongan, pengobatan, pe­kerjaan orang ahli sihir, dan sebagainya) .

Saksi2 yang didatangkan di waktu perjanjian dibuat biasanya di- beri sejumlah wang sedikit sebagai tanda sudah tersangkut-paut dengan urusan itu (di kalangan orang2 Dayaik disebutnya turns) atau sebagai „wang kenang2an” (orang2 Batak menyebutnya : ingot~ingol pula, di tempat2 lain juga terkenal sebagai wang saksi).

Beberapa perbuatan2 krediit rupa2nya sudah lazim (endemisch) di wilayah2 yang tertentu. Misalnya p e r j a n j i a n k o m i - s i ( c o m m i s s i e k o n t r a c t ) (k e m p i t a n) di Ja­wa, yaitu menyerahkan barang2 kepada orang2 lain untuk dijual dengan perjanjian bahwa sesudah Iewat tempo yang tertentu baik barang2nya, maupun harganya yang sudah ditetapkan sebelumnyar diterimak&n kepada pemiliknya. Orang harus ber-hati2 terhadap ang- gapan bahwa perjanjian2 serupa itu terdapat khusus dalam ling kungan2 hukum yang tertentu, karena anggapan sedemikian itu mungkin berdasarkan atas ketidaktahuam tentang soal serupa ini di daerah2 lain. Di Jawa terdapat wilayah2 di mana perjanjian ijon atau ijoan, penjualan tanaman padi yang masih muda, sama sekali tidak ada, melainikan di mana biasaniya hanya tanaman padi yang sudah tua dan sedang berada di sawah dijual (tebasan), se- dangkan di tempat2 lain kedua cara penjualan ini sudah lazim, dan sebagainya.

Mempunyai kedudukan istimewa dalam hukum kekayaan adat adalah p e r j a n j i a n p e l i h a r a ( v e r z o r g i n g s - k o n t r a c t ) Minaihasa. Nama „verzorgingskontrakt” ini asal- nya dari Van Vollenhoven, di Minahasa sendiri perjanjian ini di­sebut „adoptie”, tapi menurut isinya sesungguhnya ternyata bukannya perbuatan di lapangan hukum kesanak-saudaraan; istilah2 Pribumi antara lain ialah ngaranan dan tnengara anak. Isinya perjanjian ini ialah baihwa fihak yang satu — pemelihara — (zorggever) me- nanggung nafkahnya fihak yang Iain - terpelihara - (zorgtrekker) lebih2 selama masa tuanya, pula menanggung pemakamannya dan pengurusan harta peninggalannya, sedangkan sebagai imbangan si pemelihara mendapat sebagian dari harta peninggalannya si terpeli­hara ter-'kadang2 sebagian sama dengan seorang anak. Bilamana ti­dak ada anak, maka si pemelihara adalah satu2nya waris. Walau­pun perjanjian ini dapat diselenggarakan di antara orang2 dari se- barang umur dan malahan juga dengan orang yang tak berkawin. sebagai si terpelihara, namun sampai tingkat tertentu funksinya ialah funksi „adoptie” (ambil anak) di -mana lebih2 suami-isteri yang tak mempunyai anak dengan cara demikian mengikat orang2 muda sebagai pemelihara2nya hal mana lebih2 dalam bahasa Indonesia

disebutnya mengaku anak. Tapi hubungan menurut hukum kesanak saudaraan di antara anak dan orang2 tuanya sendiri oleh karenanya tidak terputus ; si terpelihara tidaik mewaris dari si pemelihara. Mes- kipun kesemuanya itu, namun rupa%ya kebalikan yang menyolok mata — yaitu perjanjian pelihara bersifat hukum kekayaan diban- dingkan dengan „adoptie” yang berdasar perbuatan hukum menurut hukum fcesanak-saudaraan — itu menguirangkan unsur kepribadian dalam hubungan si terpelihara dan si pemelihara dan oleh karena­nya hubungan ini tidak memuaskan hal mana dulu timbul di waktu pembicaraan tentang hukum perkawinan untuk orang2 Indonesia Kristen.

Dari dekat dapat dibandingkani dengan perjanjian pelihara Mina­hasa ini ialah suatu adat di Bali di mana seseorang menyerahkan dirinya bersama segala harta bendanya kepada orang Iain (makehi- dang raga). Orang yang menerima penyerahan sedemikiain itu wajib menyelenggarakan pemakamamnya dan pembaskaran mayatnya si penyerah, pula wajib memelihara sanak-saudaa-anya yang diting- gaUcan; untuk itu kesemuanya maka ia ada hak atas harta pening- galannya.

Suatu alamat bahwa di tempat2 lain juga terdapat hubungan3 pelihara: seperti di Minahasa itu, ialah misalnya khabar, bahwa di Ambon terdapat surat2 wasiat yang memberikan bagian juga kepa­da orang yang telah memelihara si peninggal warisan sampai pada saat ajalnya.

5. M ERUG IKAN PENAGIH2 H U TAN G .

Sampai di mana barang2 milik seseorang tetap dapat diperuntuk- kan guna membayar hutang3nya pemiliknya walaupun barang2 itu sudah dipindahkan tangan kepada fihak ketiga, maka soal ini harus- lah dijawab dengan tertibnya menurut hukum tak tertulis rakyat Pribumi. Dalam banyak hal maka pemecahannya soal pasti dapat diperoleh, jika orang berpedoonan pada syarat yang mutlak, ialah bahwa harus dibela -kepentingan mereka yang disangkut-pautnya da­lam lalu-lintas hukum dan bahwa harus ada kejujuran hati (goe­de 'trouw) dalam lalu-lintas hukum tadi. Tidak termasuk di sini per- cabaan2 akan merugikan penogih2 hutang dengan jalan perbuatan3 pura2 (schijnhandelingen) yang disengaja benar2 (absolute simula­tie) ; perbuatan2 itu dapat dituntut khusus sebagai perbuatan2 pura2 beia&a, Merugikan penagih2 hutang dengan jalan hibahan2 kepada bakal waris, pembagian halt a porkawhlïlft bevStUfla, pemberian3, ja d i; perbuaitan2 yang dapat dijauhi, dan karena sudah dijalankan-

nya, perbuatan2 itu hampir2 menyebabkan gagalnya tuntutan2 si penagih -hutang atas barang2 itu — maka oleh keputusan2 hakim2 gubernemen dianggap batal. Begitu juga tidak diakuinya sail per­buatan2 menjual atau menggadaikan barang dalam keadaan sede­mikian rupa sehingga fihak lainnya patut harus mengerti bahwa penagi.h2 hutang karena perbuatan2 itu akan menjadi korban, ialah merugi. Hal yang sudah diketahui umum bahwa telah ada masuk gugat penagilian terhadap si penjual itu, hal adanya hubungan ke- sanaik-saudaraan yang kairib di antara si pembeli dan si penjual, dan hal2 lain serupa itu, 'kesemuanya itu sudah ber-ulang2 dijadikan dasar untuk keputusan, yang bermaksud bahwa perbuatan hukum tadi tidak melenyapkan haknya si penagih hutang untuk menumtut haknya atas ibarang2 tadi. Tetapi bila fihak 'ketiga yang tersangkut dalam perjanjian dalam hal itu iberhati jujur, maka i harus dilin- dungi juga lawan si penagih hutang itu. Dalam hal2 serupa itu harus ada ikemungkinan pemecahan soal yang mempertahankan baik kepentingan si penagih hutang, maupun si fihak ketiga tadi wa­laupun tidak seluruhnya (misalnya hasil tanah buat selama tempo tertentu -diperuntukkan si penagih hutang yang patut dapat meng- harapkan hasilnsya setimbang dengan piutangnya — tapi hak atas tanah ditetapkan menjadi haknya si pembeli, ialah fihak ketiga tadi) . Boleh jadi pemecahan2 soal serupa itu dapat diselenggarakan dengan jalan perdamaian (minnelijke schikkingen).

Juga bilamana harta si peminjam dalam keadaan terjepit oleh „beschikkingsrecht ’ masyarakat, atau termasuk harta benda yang be­lum 'di-bagi2 atau karena sesuatu hal masiih terikat, maka dalam lial2 ini banyak timbul kesulitan2 karena peraturan executie yang masih mengandung -kekurangan2. Dalam keputusan2 harus diusaha- kan agax supaya kepentingan2 si penagih hutang dikawinkan secara patut dengan kepentingan2 mereka untuk guna siapa milik2 itu ja- tuh dalam keadaan terikat tadi. Ternyata- bahwa kebanyakan si pena­gih hutanglah yang kalah, tapi sebaliknya sekali tempo kepentingan2 fihak2 yang turut 'berhak juga dilanggar dengan kekerasan yang melampaui batas oleth penagih2 hutang itu.

6. A L A T PENGIKAT, T A N D A YA N G K E L IH A T A N (H ET BINDMIDDEL, H E T ZIC H TB AR E TEKEN )

Bedanya di antara perjanjian dengan wang pengikat dan perbuat- an tunai sudah terang — ke-dua2nya se-olah2 adalah kebalikannya saitu sama lain ; ke-di>a2nya dapat diharapkan satu lawan lain se­bagai : perjanjian „consensueel” lawan perjanjian „reëel”, yaitu yang

portama suatu perjanjian yang menimbulkan akibat2 karena perse­tujuan kemauan, lawan yang kedua yaitu suatu perjanjian yang terdiri dari perwujudan perobahan2 yaing memang dituju ; jadi de­ngan demikian tidak akan .timbul lagi kewajiban2 urnuk berbuat jasa2 (prestaties) nanti, tapi jasa2 i'tu sudali terselenggara pada saat dibuat perjanjian itu juga. Kedua macam perbuaitan- itu — per­buatan tunai dan perjanjian dengan wang pengikait — dapat juga, sebagaimana adakalamya terjadi, disebut „reëel1' karena dalam ke- duaenya itu ada barang dipindahkam tangan dari seorang ke seorang walaiupun diperjanjian pertama; aigar supaya serentaik terwujud ma-ksudnya dan diperjanjian kedua ; agar supaya masing2 teriikat secara nyata untuk mewujudkan apa yang dijanjikan, pada tempo yang akan datang. Maka dari itu pada hakekatnya perjanjian de­ngan memakai pengiikat itu lebih karib dengan perbuatan kredk. Bedanya di antara ke-dua2nya terletak di sini, ialah bahwa dalam hal perbuatan ikredit maka salah satu fihak sudah seketika mewu­judkan jasanya, jasa mama mempunyai daya akan mewaji;bkan fihaik lainnya untuk mewujudkan juga jasa imbangan nya (tegenprestatie) yang sudah dipersiskan lebih lanjut dalam perjanjian itu atau ti- da)k; sedangkan dalam hal perjanjian dengan memakai wang- pcng- ikat, jasa2 .kedua fihak yang sudah ditetapkan dalam persetujuan sama5 harus diwujudkan di masa datang dan kedua fihak itu ma­sing2 berjanji untuk melaksanakan itu.

Namun perjanjian2 dengan memakai wang pengiikat sudah semes- tinya tidak boleh disebut „consensueel” begitu saja, sebab dalam pada itu p e r m u f a k a t a n d e n g a n k a t a 2 s a j a belum me- wajibkan apa2. Pada saat sesudah terselenggara suatu hubungan — dalam mana persetujuan harus berlaku — di antara kedua fihak, ialah dengan jalan menerimakan di tangan sekeping mata wang kecil atau sebuah benda lain, baharulah terlahir kewajiban2 tertentu dari persetujuan itu ; amat acapkaili persetujuan itu mengenai suatu perbuatan tunai yang mereka akan menyelenggarakan : yang satu fihak a k a n membeli sawahnya, pekarangannya dan juga lembu- nya, dan fihak yang lain a k a n menjual tanahnya dan sebagainya kepadanya. Bila kedua fihak sudah mencapai kata sepakat, maka si calon pembeli memberikan kepada si calon penjual se- jumlah uang sebagai panjer, tanda. Bila tidak diterimakan pan- jernya itu, maka orangnya menganggap dirinya tidak terikat; bila sudah diTjerikail dan a panjernysL itu, (wis dipanjeri, be-gitulah disebutnya perjanjian iLii dalam bfthasa JïW?) m<*ka orang- nya merasa dirinya sudah terikat. Ini mengandung arti yang sebe- narnya dalam pergaulan se-hari2, ba/hwa orangnya j u m e n e p a t i

/ persetujuan itu — terdorong oleh rasa terikait oleh hubungan sihir dan oleh rasa kesopanan. Menurut hukum adait artinya hanyalah demikian, bahwa si calon .pembeli kehilangan panjenvys. bila ia se­sudah menerimakannya toch tidak menepati persetujuannya, atau dalam hal terakhir ini fihak lainnya diberinya suatu alas an yang patut untuk tidak menepati persetujuannya; sedangkan sebagai ke- balikannya, si calon penjual bila timbul kelengahan dari fihaknya sendiri wajib mengembalikan panjer itu dan biasanya diharuskan pula membayar sejumlah uang sebesar panjer itu sekali lagi. Dikha­barkan, bahwa di kalangan orang2 Toraja sesuatu perjanjian seke­tika mengikat setelah diucapkan dengan formil perkataan ,,ya”, hal mana berarti, bahwa ia menanggung kewajibannya untuk raemba- yar. Di tempat2 lain rupa2nya tidak terdapat hal serupa itu.

Tentang m em a k s a -untuk m e n e p a t i persetujuannya, ma­ka hal ini (hampir) tetap tak mungkin. Kerugian yang diderka (kebanyakan) dapat dituntut dari fihak yang bersala/h kelengahan.

Wang pengikat itu timbul tidaik hanya dalam persetujuan akan menyelenggarakan perbuaitan tunai di masa datang saja, melainkan juga misalnya bila jasa dari satu fihak, walaupun seketika dimu- lainya, penyelenggaraannya akan memakan tempo yang lama, se­dangkan jasa dari fihak lainnya harus diselenggarakan di masa da­tang; demikianlah halnya dengan perjanjian kerja (arbeidskon- trakt). Orang yang masuk kerja menerima panjer sejumlah kecil dari majiikannya yang membayarkan upahnya di .belaikang. Panjer itu dipotongkan dari pembayaran -upah, maka dari itu panjer itu mendapat sebutan ekonomis sebagai persekot (voorschot), dan oleh karena itu artinya menurut hukum adat, -pula menurut alam pikiran „serba berpasangan” (participerend) menghilang di belakang sebu­tan ini.

H a d z a h p e r t u n a n g a n . Suatu ikejadian yang benar2 seja- lan dengan itu dalam hukum perkawinan ialah ihadiah pertunangan (verlovingsgeschenk). Terikatnya bertimbal-balik memulai pada saat

menerimakan pemberian pertunangan aitau perianth pertunangan (verlovingspand). Di mana pertunangan itu merupakan pengantar

daripada perkawinan jujur dalam masyarakat berhukum bapa, maka hadiah pertunangn itu luliih menjadi satu dengan pembayaran di muka daripada sebagian dari jujur. Di Minangkabau dan d i tempat2 lain 'terdapat tukar-memikar tanda2 pertunangan (mempertimbang- kan tanda); namun kebanyakan lelakilah yang memberikan hadiah pertunangan - fyang ter-kadang3 lurusnya disebut ^pengilkat” juga (bandinglah dengan sebutan2 tercantum di halaman 189), dan pe-

rempuanlah yang menerimanya. Di Krinci tanda paletak itu adalah petaruh pertunangan (verlovingspand,) yang dikembalikan sesudah perkawinan. Terikatnya adalali sesuai dengan terikatnya dalam hu­kum kekayaan; siapa yang memutuskan atau menyebabkan alasan patut untuk memutuskan pertunangan, maka kehilanganlah ia ha- diah pertunangannya (kerabat fihak pemuda) atau harus mengem- balikannya secara berlipat (kerabat fihak pemudi) dan harus mem- bayar kerugiannya (karena sudah memberikan hadiah2 berhubung dengan perkawinan yang akan datang).

B e n t u k 2 l a i n . Di Minahasa ma'ka hubungan ikatan antara bapa, yang 'tak berkawin sah, dengan anaknya, diselenggarakan de- ngan jalan pemberian hadiah adat ikepada ibunya anak itu (lilikur); begitu juga pertalian antara si pemungut anak dan si terpu- ngut anak diselenggarakan dengan jalan pemberian hadiah tamah (paradé). Juga tanda2 yang kelihatan tadi rupa2nya dapat ditaf- sirkan artinya sebagai pernyataan dengan benda buat hubungan da­lam angan2, yang berlaku di masa datang.

Kebiasaan2 lain yang begitu banyak jumlahnya berdasaxkan atas buaJi pikiran, bahwa penyerahan sesuatu benda dari seorang ke se­orang lainnya itu, menyelenggarakan ikatan yang diinglnkan di waktu penyerahan benda itu. Sedikit pemberian, biasanya terdiri dari ma- kanan, yang disertakan dengan suatu permohonan kepada seseorang yang berkuasa atau berpengaruh (di mata Barat terlalu keseringan dianggap suapan); sedikit pemberian berupa daging, yang unenyer* tai undaugan; petaruh untuk pemeriksaan perkara (proces-pand), mungkin juga pemberian untuk pemeriksaan perkara (proces-ge- schenk) yang oleh si penggugat ditambahkan pada jumlah dalam gugatannya, maka kesemuanya. itu harus ditafsirkan secara semacam itu ju g a ; pemberian2 itu membuka jalan, sepanjang mana akan diletakkan hubungan sementara yang diinginkan, dan sepanjang •mana jawabannya — ialah keputusannya — dapat mendatang. Da­lam makna sedemikian itu juga dapatlah pemberian srama dalam paruh hasil tanam (hal. 127) kiranya dihubungkan dengan perjan­jian tersebut terakhir ini. Saya sudah menerima apa2 dari lain orang, saya sekarang wajib .memenuhi apa yang dikehendaki dari saya, mi­salnya memenuhi undangan, memberikan jawaban (walaupun juga jawaban menolak), memberikan keputusan (walaupun keptitusam menolak), mengizinkan dia mengerjakan tanaih saya. sebagai pe- maruh, dan sebagainya. Ini tidak seluruhnya sama dengan panjer, tapi sangat karib sekali padanya, dan rupa2m Ta dipandang dari su- dwt sihir (magisch) sama alamnya. Dalam hal panjer, dan paning*

set, maka persetujuannya disusuli dengan suatu tanda yang kelihat- an, dan memberi dan menerima itu menyebabkan persetujuan men­jadi mengikat bertimbal-balik; dalam hal suatu pembeiian yang menyertai suatu permohonan, maka orang yang diberi karena mene­rima pemberian itu mewajibkan dirinya untuk memberikan suatu jawaban ; ter-kadang2 juga wajib memenuhi permohonan itu (da­lam hal undangan, dalam hail srama?); „pemberian” itu merigan- dung sedikit banyak unsur paksaan (walaupun mungkin lemah) .

Orang dapat mengikat dirinya pada keputusan2 yang dij&tuhkan pada hal ia sendiri tidak hadir, ialah karena suatu „tanda yang ke­lihatan” juga, sebagai halnya dengan orang di Bali yang membawa- kan kerisnya kepada seorang penduduk inti dusun ke rapat desa, bilamana ia sama sekali berhalangan datang ; sebagai halnya janda di Bali yang mempergunakan keris suaminya yang mati sebagai wa- kilnya untuk mengambil anak (adopteren) buat almarhum ; atau me­ngikat dirinya pada perbuatan2 hukum yang terselenggara selama ia taik hadir, seperti halnya dengan raja (di Jawa) yang untuk per- kawLnannya dengan bini muda diwakilinya oleh seorang pegawai yang di'bawakannyL kerisnya; dapat juga orang — seperti tuan2 besar Mandar di Sulawesi Selatan — mengikat dalam a T t i kata sihir se­orang gadis pada dirinya dengan jalan mengirimkannya sepucuk keris, dan haruslah gadis tadi „ditebus kembali” dari pemberian ke­ris itu supaya dapat memperoleh kemerdekaannya kembali kalau ia menghendakinya.

T a n d a l a r a n g a n . Dengan jalan ini kentara karibnya di antara „tanda yang kelihatan” sebagai hubungan dari seorang dengan seorang, dengan tainda yang kelihatan sebagai hubungan dari seorang dengari tanah atau dengan pohon : tanda larangan (hal. 104) yang sudut positifnya menimbulkan hubungan hukum, sedang- kan sudut negatifnya yaitu mencegaih supaiya mereka lain orang te­tap menjauhkan diri dari padanya. Dengan jalan demikian — di- pandang dari sudut lebih umum — terdekatilah salaih saitu dari dasar2 hubungan hukum perseorangan atas benda yang sudah dikerjakan sendiri : sebidang itanah atau sebuah sungai kecil di Kalimantan yang telah dibersihkan sendiri, sebatang pohon yang sudah ditarah sen­diri, dan seterusnya. Menurut alam pikiram „serba berpasangan” (participerend), maika dengan jalan demikian iitu rupa2nya terse­

lenggara pertalian gaib (metajuridisch) yang menimbulkan pencer- minannya yuridis dalam hukum adat.

S u r a t a k t e . Surat ini sudah barang ten/tu adakalaaiya di­anggap sebagai „tanda yang kelihatan” serupa itu juga. Bukannya

surat akte perjanjian jual, karena anggapan serupa tadi menurut sistimnya tak dapat dipertanggung-jawabkan (hal. 121); juga tidak (dianggap sebagai tanda yang kelihatan) suatu surat tanda bukti dari sesuatu perbuatan kredit perseorangan, karena dalam hal ini daya yang mengikat itu berpancar dari jasa (prestatie) sen­diri yang sudah ditunaikain (jadi „prestatie” ini sendiri dalaan berla­kunya, ada karib dengan „.tanda yang kelihatan”) ; tapi benar da,pat dianggap sebagai „tanda yang kelihatan” ialah misalnya penandata- nganannya surat akte oleh kepala dusun, dengan mana ia memper- lihatkan umum hubungan masyarakat dengan kedudukan hukum yang baru ini buat masa datang; atau juga secarik surat yang oleh se­orang diberikan kepada seorang lainnya yang lantas berjanji (me­ngikat dirinya) untuk memberikan suaranya untuk si pemberi surat tadi, atau surat yang dipakai untuk mengambil orang lain sebagai pe- kerjanya, dan sebagainya.

Dalam a l a m r a j a 2, maka „tanda yang kelihatan” itu adalah suatu tokoh hukum yang di mana2 sudah lazim, sebagai per- nyataan dan perkuatan pertalian hukum antara raja dan raja ang- katan, antara raja dan penghulu rakyat. Buat maiksud itu maka di­berikan oleh raja2 kepada raja2 di bawah kekuasaannya satu setel pakaian, sepucuk senjata, sebatang tongkat, juga pernyataan pe- ngakuan yang digoreskan dalam logam (piagem), dan benda2 itu diterima oleh yang berkepentingan dengan kesadaran akan maksud- nya tadi. Boleh jadi diperkemankan juga menyamakannya seluruh- nya dengan „tanda2 yang kelihatan” serupa itu ialah : gelar2 yang oleh raja dikaruniakan kepada penghulu2 yang mengabdi padanya. Persembahan2 yang dihaturkan ke hadapan raja sebaliknya keba- nyakain bersifat persembahan'pengantar yang disusul dengan permo- honan ke arah pengaikuan.

BAB KEENAM. Y A Y A S A N 2 (S T IC H T IN G E N ).

l. W AKAP.

Suatu perbuatan hukum yang bersifat /tersendiri dan dipandang dari suatu sudut tertentu bersifat rangkap dan oleh karenarmya harus di sini dibicarakan tersendiri, ialah mexvakapkan tanah atau benda.

Maksud „bersifat rangkap” ialah bahwa perbuatan itu di satu fi­hak. adalah suatu perbuatan mengenai tanah atau benda, yang me- nyebabkan obyek itu mendapat kedudukan hukum yang kihusus (hal. 93), tetapi di lain fihak seraya itu, perbuatan tadi menimbülkan suatu badan dalam hukum adat, ialah suatu badan hukum (rechtspersoon) yang bersanggup ikut serta dalam kehidupan hukum sebagai subyek- hukum (rechtssubject) .

Lembaga hukum Islam waqf, yang telah terterima (gerecipieerd) di banyak daerah2 di Nusantara sini, dan yang disebut dengan istilah Belanda „vrome stichting”, sudah sering mengakibatkan kekacauan karena sebutan itu ; dikiranya, bahwa perbuatan serupa itu hanya di- perkenankan buat tujuan tertentu, yang bersifat ibadat -dan saleh ; menurut kenyataannya orang dapat mewakapkan tanah dan barang untuk sebarang tujuan, yang tidak menyalalii hukum suci. Nanurn dapat juga di-beda2kan dua macam wakap} yang paling seringkali terdapat; per-tama2 memperuntukkan tanah perumahan buat masjid atau surau (jika perlu ditambah dengan tanah pertanian yang ha­silnya diperuntukkan buat pemeliharaan mesjid itu dan buat naf- kah pegawainya, ditambah lagi dengan kitab2 Quran untuk dipakai di mesjid) ; kedua, memperuntukkan sebagian daripada ikekayaan- nya, bagian mana ta'k dapat dipindahkan tangan buat se-lama-nya, buat anak-cucu yang diperkenankan memungut hasilnya. Sebagai- mana dikatakan tadi, maka lembaga hukum ini terterima (gerecipi­eerd) oleh orang2 Indonesia Islam dari hukum Islam sefoagaimana tela'h diaturnya di situ. Artinya ; pembuat wakap harus mempunyai hak dan kuasa penuh (ditinjau menurut hukum adat) atas barang yang d'nuakapk.a.n.; barangnya harus ditunjuk dengan jelas dan tidak boleh dipakai ke arah larangan Islam ; tujuannya (yang halal itu) harus dilukiskan dengan kata2 yang terang, itupun bilamana tu­juan yang tidak dilahirkan, tidak kentara dengan sendirinya; tu­juannya itu sifatrrya harus tetap; orang2 yang diwakapi harus ditun- juk se-terang2nya dan seberapa mungkin mereka menyatakan me- nerima baik perwakapan itu (kabul), si pembuat wakap dapat me­netapkan pengurusannya dengan jalan mengangkat seorang pengu-

rus; bilamana pengurusnya'tidak ada maka kepala pegawai mesjid menurut hukum diharuskan mengurusnya, itupun di Jawa. Bilama­na pembuatan wakap itu sudah terlaksana sepenuhnya, (untuk itu kebanyakan dibuait surat akte) maka kedudukan hukum daripada barang itu diatur oleh hukum adait (óleh unsur2 agama dari pada- nya) ; segala sesuatu yang harus ditindaikkan untuk mencapai tu- juannya aidalah kewajiban si pengurus, termasuk juga menuntut perkara.

Anda.ika.ta wakap itu se-mata2 hanya bersangkutan dengan hu­kum tak tertulisnya orang2 Pribumi saja, maka akan cukuplah de­ngan tokoh hukum (rechtsfiguur) demikian, yaitu pada suatu benda yang tidak ada pemunyanya dan tujuannya ditentukan dengan Ieng- kap dan tujuan itu daipat dicapai sepenuhnya bila perlu dengan memaksa supaya aturan2 yang ditentukan oleh pembuat wakap itu dijalankan, aturan2 mana berlaku sebaigai hukumnya wakap itu. Tetapi pada saat bilamana wakap itu berstnggungain dengan sistim hukum tertulis, yang berdasarkan faham, bahwa semua baramg2 da­lam pergaulan hukum harus ada pemiliknya (ambillah sebagai m isal: Kitab Undang2 Hukum Pidana) maka haruslah dianggap, bahwa memang ada seorang pemilik atas barang yang diwakapkan itu,

1 f W\ü ^ mempu«yai seorang pengurus sebagai wakil- nya Oleh karenanya tokoh ku menjadi lebih Iengkap, perbuatan2 hukum mengenai wakap (misalnya menjual sesuatu „kepada ^

) dapat dilaksanakan juga dalam hukum taik tertulis dengan uada kesukaran. Dipandang dari sudut demikian, maka wakap itu

a am a erdiiinya sendiri (zelfstandigheid) menurut hukum adait sama dengan perkumpulan yang bertindaik sebagai badan hukum (rechtspersoon, hal. 165), hanya bedanya antara dua itu ialah bahwa wakap itu bukannya kebanyakan (veelheid) yang bertindak sebagai kesatuan, maka dari itu seharusnya dimasukkannya golongan ba­dan hukum Pribumi (Inlands rechtspersoon) .

2. YAYASAN (S T IC H T IN G ).

Demikianlah wakap yang ditaifsirkan seperti tadi benar2 dalam sistim hukum adat adalah suatu jembatan yang memungkinkan pencadangan tanah, benda, wang sebagai suatu badan hukum adat yang berdin sendin, ialah sebagai yayasan (stichting), terlepas dari pembatasan2 yang ada pada wakap menurut agama Islam oleh ka- renainya terïahulah suatu badan hukum (rechtspersoon) yang dapat lkut serta dalam pergaulan hukum dalam batas2 yang ditetapkan di waktu mendinkannya, yaku dalam surat a'ktenya. Sudah ber-

ulang2 ternyata, bahwa kemungkinan tadi dibutuhkan, misalnya bila orang ingin menyendirikan suatu dana (fonds) yang berbunga (yang karena melanggar hukum agama tak dapat dibuat wakap) dan yang hasilnya diperurotukkan anak-cucunya. Perbuatan sedemikian itu harus diitafsirkan sama sekali lepas dari aturan2 Islam ya.ng telah terterima (gerecipieerd), dan dipertimbangkan menurut kebutuhan- nya sendiri- ; adalah sebagai cara „methodisch” tidak tepat bilamana orang meletakkan perhubungan buatan dengan perkecualian2 anta- ra „yayasan dan lembaga wakap, sedemikian itu akan mengakibat- kan „pokrol2an” (juristerij) yang kosong belaka. Bilamana orang2 Indonesia Kristen andaikata melaksanakan perbuatan 'hukum serupa itu, maka hal ini seharusnya akan ditafsirkan menurut ukuran yang sama dengan orang2 Islam tadi.

Mengapakah tokoh hukum (rechtsfiguur) sedemikian itu, yang tumbuh dalam keadaan sosial yang nyata dan yang dapat diduikung oleh sistim hukum adat, tidak dapat dimasukkam dalam hukum tak tertulis dengan jalan keputusan2 ? Tetapi dalam keputusan2 itu ha­rus secara sistim disusun kaidah2 yang bertalian satu sama lain dan yang menyajikan bentuk hukum yang tepat untuk memenuhi kebu- tuhan2 masyarakat.

BAB KETUJUH. H U K U M P E R SE O R A N G A N (PE R SO N E N R E C H T).

Tentang kedudukan orang2 asing (lari masyarakat dan pengaruh- nya perbedaan2 kelas, maika kesemuanya itu telah dibicaraikan da­lam bab pertama ; mengenai yayasan2 sebagai badan hukum dalam bab keenam.

1. K EBADAN AN H U K U M (RECHTSPERSOONLIJKHEID) D ARIPADA PER KUM PULAN2.

Bagaimana kedudukannya hukum daripada gerombolan2 yang te­lah menggabungkan diri dalam perkumpulan2 (hal. 146, 147), maka karena kenyataannya yang bercorak beraneka warna, hal itu tak da­pat diitangkap dalam satu rumusan. Dalam sangat banyak hal maka suatu perkumpulan serupa itu merupakan kesatuan yang berdiri sendiri, atas nama siapa pengurusnya juga bertindak hukum, pula vang dapat mempunyai wang, sebuah gedung dan tanah2, dan se- bagai kesatuan sedemikian itu dalam pethubungaii liukum jugu di- akui oleh masing2 orang, yang tidak tahu-menahu akan persoalan2 kebadanan hukum Barat (hal teraikhir ini tak dapat dikatakan ter­hadap semua instansi2) . Diakui pula tanggung-jawab miliknya per­kumpulan terhadap kewajiban2 perkumpulan itu dan haknya per­kumpulan untuk menggugat dan membela diri sebagai kesatuan di muka hakim. Persoalan2 seperti : apakah ada tanggung-jawab „sub­sidiair” (sebagai penggarttii) (subsidiaire aansprakelijkheid) pada anggauta2 pengurus (yang bertindak hukum), atau pada anggauta2 perkumpulan, dan apakah anggauta2 bila ke luar dari perkumpulan dapait menuntut haknya atas sebagian daripada milik perkumpulan (hal ini sudah lazim di kalamgan orang2 Batak T o b a ), maka per­

soalan2 ini saban2 aikan dipecahkan oleh instansi2 yang berkuasa memutuskan dan saban2 akan tergantung pada faktor2 setempat yang nyata.

Dalam peraturan2 wet maka adanya badan2 hukum Pribumi ini sudaih sejak lama mendapat pengakuan (landsohap2, masyarakat2 wilayah, dusun2, jemaah2 Kristen, bagian2 berdiri sendiri daripada gereja, kerabat2 Minangkabau, perkumpulain2 koperasi). Suatu per- aturan (untungilah) sudah ada dalam persiapan (1938), yaitu yang akan bermaiksud mengakui perkumpulan2 dan 'kongsi2, asal saja me- menuhi syarat2nya yang bersifat materieel dan formeel. Peraturan2 yang sejajar dengan itu selanjutnya juga tentu akan disusun me- ngenai yayasan2 (stichtingen), untuk menjaga jangan sampai bentuk

„yayasam” itu dipakai untuk menghindarka/n diri dari syarat2 yang harus dipenuhi oleh sesuatu perkumpulan yang dapat di akui ber- dirinya sendiri, syarat2 mana diperlukan untuk pemeliharaan hu- kum. Di lapangan ini, maka demi susunan tertib daripada hukum, harus tidak mungkin ada pengaturan sebagian demi sebahagian.

2. PERSEORANGAN 2 M A N U SIA , K E C A K A P A N U N T U K BER- B U A T (N A T U U R L IJK E /P E R SO N E N , H A N D E L IN G S ­

B E K W A A M H E ID ).

Menurut hukum adat, maka yaing ca'kap untuk berbuat (hande- lingsbekwaam) ialah lelaki dewasa dan perempuan dewasa, itupun sudah barang tentu dalam batas ikatan m ilik kerabat dan milik keluarga, ikatan mana — sebagaimana acapkali sudah ternyata dalam -pelbagai lingkungan 'hukum tidak sama sifatnya dan tidak sama kekuatannya. Juga dalam suasana hukum bapa maka perem- puan yang sudah kawin biasanya dapat berbuat dengan bebas dalam lingkungannya sendiri, walaupun keunggulan (overwicht) suanii dalam perkawinan jujur (bruidsohathuwelijk) amat besar. Tapi dalam perkawinan ambil anak (inlijf huwelijk) keunggulan suaani tak ada sama sekali, .mal ah an sebaliknya. Halnya si suami diharus- kan memberi pembantuannya kepada perbuatan si isteri dalam urus- annya partikelir — misalniya dalam mengajukan perkara di muka pengadilan berhubung dengan perdagangannya yang dijalankan sen­diri — maka rupa^nya keharusan sedemikian itu hanya terdapat da­lam suatu wilayah belaka.

Menurut hukum adat masyarakat hukum kecil2 ibu, maka saat seseorang menjadi dewasa ialah, saat ia (lelaki atau perempuan) sebagai orang yang sudah berkawin meninggalkan rumah ibu-bapa- nya atau ibu-bapa mertuanya untuk benunah lain sebagai laki-bini muda yang merupakan keluarga yang berdiri-sendiri. Beruinah bebas berdiri sendiri da,pat juga 'terlaksana dengan jalan m enghuni bilik tersendiiri dalam rufmah kerabat atau menghuni sebuah rumah di pekarangannya ibu-bapanya atau menghuni sebuah rumah di peka- rangannya sendiri. Ter-kadang2 terganitung dari keadaan yang senya- tanya, apakah sesuatu cara penghunian rumah dapat dianggap siii memimpang ataukah sudah dapat disebut „berum ah sendiri" ; anggapan orang2 di lingkungan situ sudah barang tentu sangat pen- tingnya untuk penetapan ini. Anggapan o r a n g ? setempat situ justru dapat tei nyata dairi perlakuan mereka terhadapnya di waktu tolong- m enolong di antara satu sama lain bertimbal-balik dan di waktu selamatan2 dalam lingkungan dusun situ. Bukankah di situ kelihat-

an apakah orang2 itu masih bekerja untuk lain2 orang sebagai pen­duduk penumpang atau sudah sebagai orang2 yang 'berdiri sendiri dan bekerja umtu-k diri sendiri dan kelihatan juga apafeaih mereka dmndang sendiri untuk ikut serta pada sedekah atau slamatan. Ke­adaan belum sampai uimur menurut hukum adat berakhir dengan berakhirnya keadaannya sebagai anaik isi rumali; bukan asal sudah kawin begiitu saja. Dalam lebih dari satu lingkungan hukum pe- nganitin- baru selama 'tahun atau ‘tahun2 yang pertama tetap ter- golon-g keluarga orang tuanya, yang ditumpanginya dalam rumah- nya ; mereka selanju triya dididik -ke arah bakal berdiri nya sendiri dan mendapat milik sendiri di waiktu meninggalkan rumah orang tuareya itu umtuik beriHnah sendiri (mencar, J. manjaé, Bat.).

Bila ada stmpangan (afwijking) dari jalan yang normal (-kolot) dalam sesuatu, maika dapaitlah timbul pelbagai persoalan. Bagaima- na jiika dalam suatu keluarga ibu-bapa meninggal dunia dan anak laki2 tertua yang mengoper pimpinan, sedangkan ia tetap tak ber­kawin dalam tempo lebih lama dari pada lazimnya; bagaiimana ji’ka'ada pemuda diangkat menjadi pejabat desa, dan ia berdiam di rumah dan berdiri sendiri, tapi belum juga kawin ; bagaimana jiika ada pemuda2 yang mendapat dititkan <3i jaivh dari iceluar-gamya dan sebagai mahasiswa hidup berdiri sendiri daui sesudah itu sebagai -bujang ihidup berdiri semlivi dan dahm keadaan demi­kian menerima suatu jabatan?

Buat menjatuhkan keputusan2 dalam soal2 serupa ini maka orang harus menemukan patokan2 dan ciri2nya apa yang dapat dianggap

cakap berbuat" .(handelingsbekwaam) dan sampai di mana pem- batasa'n2rl'>'a- Bilamana batas itu diletakkan pada soal, bila masih ta'k catkap berbuat itu wajib segala perbuatannya dengan setahunya sana^-sau-dara2nya (waris), ma.ka baitas antara „caskap berbuat” dan Sta'k caikap berbuat" yang sedenuikian itu sudah barang tentu tidaik t eas Agar supaya dapat diliindarkan kesiikaran2, maka dalam hal2 yang masing3 boleh jadi akan -merupalkan soal2 yang me-ragu'kan maka kewajiban tadi dilaksanakan dengan setahunya lebih dulu daripada golongan sanak-saudaranya. Dalam pergaulan hukum yang sudah lepas dari masyarakat yang bersiFat „serba umum” (commuun) maka soal apa/kah seseorang „cakap berbuat” atau „tak cakap ber­buat” harus ditetapkan dengan pasbi. Dalam ILngkimgan yang sudah maju sedemikian itu — juga .berhubumg dengan pencatatan sipil atau burgerlijke stand — maka umurlah, yang dihitung tahunan (18 tahun), mulai menjadi pertiunbangan penting. Dengan ordonnan­tie (Staatsblad 1931 No. 54) sudah ditetapkan, bahwa perkataan

„minderjar” (belum cukup umur) yang terdapat dalam keterrtuan2 wet, berarti : belum mencapai penuh umur 2 1 tahun (kecuali bila sudah berkawin sebelum itu ). Mereka yang berada dalam perwalian (onder voogdij gestelden) atas keputusan landraad -di Jawa dapat

memohon vonnis kepada landraad di mana di'tetapkan bahwa .ke* adaan di bawah umur mereka sudah berakhir (fatsal 30 ayat 2 daripada ordonnantie tanggal 31 Januari 1931, Staatsblad N o . 53). Orang2 gila, selama mereka tidak membahayakan, dibiarkan saja ; namun terhadapnya dapat dituntut pernyataan gila, dan dengan sendiri nya pernyataan tak cakap berbuat. Hakim ada bertugas me­netapkan dalam keputusannya, apa akibat2nya hukum bilamana orang2 yang tak cakap berbuat, tapi walaupun begitu ternyata sudah berbuat apa2 sendiri. Akan menyesatkan belaka bila didahulukan dalam gambaran, bahwa perbuatan2 mereka tadi selalu akan diang- gap batal (nietig), hal mana diakiui juga oleh pengundang-undangdalam fatsal 29 ayait 2 dari Staatsblad 1931 N o. 53 tersebut. Perem- puan yang akan kawin diwakili oleh bapanya atau bila ia tidak ada, oleh 'karibnya lelaki dari 'keturunan garis lelaki (wali), dan mas- alah ini mempunyai sifat sendiri yang ditetapkan oleh hukum I s l a m yang sudah terterima (gerecipieerd) (hal. 209).

Orang yang berdasarkan hukum adait taimpil ke m uka untuik orang lainnya. disebut pada sangat umumnya wakilnya.; di Jawa misalnya juga disebut jugul. Tentang pemeliharaan oleh orang2 lain, yanë meliputi orang2 yang tak cakap berbuat, maka untuk pemeliharaan itu di Ambon ada istïlahnya, ialah perlindungan.

Keharusan (orang yang tak cakap berbuat) untuk diwakili me- nimbulkan perbuatan hukum m e w a » k i l k a n d i r i n y a (ke.pada orang yang cakap berbuat) . Dalam hal2, di mana kedatangan sen­diri ada suatu kehaa-usan, namun karena sebab2 yang saingat penting ter-kadang2 masih dapat juga mewaikïlkan buat dirinya ; ter-kadang2 kepada wakilnya itu (juga disebut : wakil) dibawakan suatu tanda yang kelihatan, yaitu sepucuk keris (hal. 158).

Aroat seringnya 'terjadi bahwa sanak-saudara2 menjadi wakilnya satu ïama lain, begiitu juga halnya dengan suami yang mewakili isterinya ; 'tidak ditanyakan apakah ada surat 'kuasanya atau a,pak,ah ada perbuatan pemberian perintah tegas untuk perwakilan itu ; ru- pa^nya hal2 'teraikhir inii hanya perlu, bila yang akan m enjadi wakil2 itu or*i.ng2 asing; maka hal terakhir ini di pengadilan daJam lebih dari satu lingkungan hukum adalah terlarang, tapi sebaliknya 'ter- kadang2 diharuskan. Di pengadilan gubernemen sudah barang tentu diharuskan oleh w e t; pemberian kuasa khusus yang tertuïis (bijzon­dere schrijftelijke volm acht).

Bila ada terjadi sekali tempo, bahwa seseorang buat menghadap pengadilan proatin mewakilkan untuk dirinya sendiri seorang peng­hulu raikyat di Lampung (dan di lain2 tempat), atau seseorang (yang patut yang dengan begitu saja menghadap untuk dia, maka

hal sedemikian itu diperbolehkan, sebagaimana juga di Jawa orang boleh mengiriiiïikam wakilnya ke rapat desa. Angkatan seorang wa.kil tetap (di Lampung disebutnya pegang penyambut) adalah suatu perbuatan liukum yang formeel, hal mana adakalanya ada hubung­annya dengan keseganan penghulu rakyat yang tidak suka menjadi alatnya perintah pangreh praja; suku Daiyak Ngaju menyebut alat sedemikian itu aso blanda, ialah anjing kecil kepunyaan Belanda.

Tentang wakil2 tetap (merangkap menjadi pembantu2) daripada pemegang2 pangkat adat (beudeul, Gay., tungkat. Min.) buat pe­kerjaan yang kurang penting, atau untuk menggantinya. di waktu mereka sendiri. tidak ada,- maka hal ini sudah. dikenal di mana2. Mengirimkan wakil bua/t naiik haji bilamana orangnya sendiri tak dapat pergi, adalah suatu perbuatan saleh.

BAB K ED ELA PAN . H U K U M K E SA N A K - S A U D A R A A N (V E R W A N T S C H A P S R E C H T ).

Sebagai acara mengenai hukum kesanak-saudaraan dapat diketmu- kakan lebih dulu, apakah alkibat-nya sosial daripada kesanak-satuda- raan biologis itu, dan seketika yang merayolak mata ialah bahwa di Nusantara ini kesanak-saudaraan biologis dari satu cmacam, mungkin juga amat ber-bagaii2 dalam akibat^nya 'hukum. Pada umumnya di mana2 terdapat suatu hubungan hukum yang berdasarkan atas ke- saniak-saudaraan orang tua terhadap anaik-nya, tapi isi daripada hubungan itu adalah ber-bagai2 dan dapat tergamtung dari macam perkawinan orang tuanya. Di mana2 terdapat akibat2 hukum yang disebabkan karena berasal dari keturunan sesama nenek moyang, akan tetapi sampai berapa jauh berlakunya, atau apakah berlakunya ke arah ke dua fiihak aitau hanya ke satu fihak, dan apakah ketunm­an dari satu fihak sama akibatanya hukum dengan keturunan dari fihak lainnya, hal2 serupa itu tidak dapat ditentukan terlebih dulu dan harus diselidiki tersendiri untuk suku bangsa masing2.

Bila disebuitkan semua macam perhubung-anS hnkttm di mana ke- sanak-saudaraftn arti bagimya, maka sedemikian itu akan meng- akibatnya ulangan2 daripada apa yattg W V ^ tak adagunanya di sini. Ikatan kesanak-saudaraan sebagai faktor daAani su- sunamnya masyarakat2 hukum telah dibicarakan dalam bab pertama ; mengenai hubungan2 kesanak-saudairaan yang mengakibaitkan perin- tang perkawinan atau kecenderungan perkawinan, maka hal ini ke­sanak-saudaraan sebagai dasarnya hukum waris seharusnya dibica- Takan dalam bab : hukum waris; tentang ikatan ikesanak-saudaraan sebagai dasar buat pertanggungan-jawab bersama terhadap suatu kejahatan atau pelanggaran, maka soal ini termasuk bab : hukum pelanggaran (delictenrecht) dan mengenai timtutan- hak daripada seorang waris benhubung dengan hak2nya salah seorang dari mereka atas sebidang tanah pertanian atau pekarangan, maka hal ini telah disinggung dalam bab : hukum tanah.

Di sini yang akan dibicarakan sendiri2 hanya soal2 :1 . kapan dan sampai di mana anak di waktu lahirnya terhadap se-

orang perempuan dan seorang lelaki berkeduduikan sebagai ke- cluêlukannya anak terhadap ibu dan bapa ;

2 . bagaimana kedudukan anak di waktu lahirnya terhadap golo­ngan2 sanak-saudara ibunya dan bapauya;

3. bagaimana caranya pemeli'haraa/n anak yang ditinggalkan mad kedua orang tuanya (atau salah seorang daripada orang tuanya);

4. bagaimana caranya orang dengan jalan suatu perbuatan huikunr dapat menimbulkan 'hubungan- hukum yang sama dengan hubu- ngan2 huikum kesanaJc-saudaraan biologis yang ditetapkan oloh keadaan sosial.

Pembicaxaan soal2 ini bertemu dengan ketegangan yang terdapat di kalangan banyaik steku2 bangsa Indonesia antara keluarga dan ke­rabat (suku; bagian c la n ), ketegangan m ana juga nanti ajkan ter­nyata di pembicaraan teratang hukum perkawinan, hukum k e k a j y a a m

perkawinan dan hukum waris ; yaiftu ketegangan yang sedari dulu selalu terdapat, tapi pada masa akhir2 ini m enjadi lebih kua-t karena keadaan penghidupan, dan pengembaraan yang m akin m eluas m eli­puti seluruh Nusantara dan m akin meningkatnya kesadaran akan kemerdeikaan di kalangan pemuda karena pendidi'kannya sekolah se­cara Ba rat. Oleh karena itu maka makin tambahlah arti keluarga* hal mana menyebabkan m akin merosotnya airti 'kerabat.

1. P E R H U B U N G A N A N A K D E N G A N O R A N G T U A N Y A

Dalam persoalan yang telah dirumuskan di atas tadi telah di-beda2- kan antara hubungan kesanak-saudaraan sebagai pengertian u a n t u n

dan hubungan khusus daripada anak terhadap orang tuanya. Ini ada- laJi perlu antara lain ikarena dalam susunan hukum bapa, sanak-sau- dara2 daii fihak ibu terhadap si anak berrailai lain dari pada ibu itu sendiri terhadap anaknya dan dalam susunan hukum ibu sanak-sau­dara2 bapa juga lain nilainya dari pada bapa itu sendiri terhadap anaknya itu. Pelbagai perhiubungan (kewajiban memelïJiara, haJc untuk dipelihara, wewenaing untuk mengawinkan, perhubungan2 berdasarkan hukum waris) timbul ber-sama2 ibunya sebagai ibu atau ber-sama2 bapamya sebagai bapa, jadi tidak sebagai mereka orang yang pahng karib di antara sesama angga.uta2nya kerabat.

Artaik yajng lajhir dalam perkawinan beribu orang perempuan yang me n anniya dan berbapa orang laiki2 suami perempuan itu, yang

ai\ ^ a'*am uraian ini sudah termasuk simpangan2 (af- n8en) ari,pada keadaan biasa (normaal), yang m ungkin tear-

i y a n S l a h i r d i l u a r p e r k a w i n a n da-lam beberapa lingkungan hukum beribu serupa tadi, ialah orang jserempuan tak berkawin yang melahirkannya, sebagaimana seorang ana/k terla-hir dalam perkawinan beribu si perempuan yang melahir- kan dia. (Minahasa, A m bon, T im or, Mentawai). T ap i di tempat2 lain terdapat perlawanan -keras terliadap ibu yang tak berkawin beserta

anaikiirya, dulu pada awal-mulanya mereka ke-dua2nya (karena takut akan adanya kelahiran yang tidak didahului oleh upacara- pexkawin- an ?) diasingkan dari masyarakat, dibumih (dimatrkan lemas) atau di- persembah'kan kepada raja sebagai budak, jadi mereka itu dipin- ■dahikan ke golongan : orang2 asing buat masyarakat. Tapi berhubung dengan itu dulu dan sekaraing ada aturan2 untuk mencegah supaya ibu dan anaknya jangan tertimpa nasib yang malangku, yaitu : k a - ■wi n p . a k s a yang dipaksa-kain kepada si lelaiki, yang ditunjuk ■oleh si perempuan - yang memang tuinainganinya atau bukan - se­bagai yang menurunkan anaik yang masih ada dalam ikan ungannya itu dan lelaki itu dipa;ksa supaya kawin dengam perempuan itu (ra- pat anarga di Sumatra Selatan misalnya dalam hal mi masih saja meniatuihkan hukiimam supaya si lelaiki mengawini perempuan mikian itu, demi'kian juga hakim di Bali, yang meng u um si e bila ia tidak mau mengawini si perempuan, sedangkan kepala2 desa di Tawa pada liakekatnya dalam foal ini mencoba memaksakan per- few inan) , dan k a w i n d a r u r a t, ia la h perkawinan seba- rang lelaki (umpama : kepala desa) dengan perempuan >an h supaya narnti kelahirannya bayi jauh di data, perkawm*».(mkah tambelan, J. = laphuwelijk, pattongkoq sinq, Bug. P«™ui P malu = sohaamte^bedehking). Karena sekarang pembuangan ke luarmasyarakat itu sama sekali tidak atau jarang (Nias) a ’ m dan anak diluluskan, walaupun si anak tetap disebut dengan human sebagai anak di luar perkawinan atau astro. (Bali), haram ]adah (J.), kecuali bila ada alasan2 tertentu umbuik mengesahkan anak itu (Bali), ter'kadang2 perlu dilaksanakan pembaiyaran adat supaya diperbolehkan tetap tiraggal dalam masyarakat. Perhubungan an dengan ibunya yang talk berkawin, selamjutnya sama dengaml perhu­bungan anak terlahir dalam perkawinan, dengan ibunya. Di Bah ma­ka anaik2 yang terlaiiir dalam suatu masa berhidup kumpu se e um perkawinajn, adalah sah.

Di Miniahasa, maka perhubungan seorang anak dengam lelaki talk berkawin yang menurumkannya, samaa dengan perhubungan dengan bapanya. Bilamana si bapa ibuait dia sendiri menghendaki su paya perhubungan itu tidak di-ragu^kan maka ia memberikan kepa­da ibuinya anaik itu — bila ia (lelaki) 'tidak berhidup kumpul dia (perempuan) - suatu hadiali, yang disebut lilikur (hal. 157). Di tempat2 lain, maka anak terlahir di luar perkawinan menurut hu kum adat: tidak berbapa. Anak2 daripada Bumiputera Kristen ter k.adang2 (juga berdasarkan atas ordonnantie tahun 1933 Staats a no. 74) dapat disahkam di waktu perkawinan (dierken, Ambon).

Bilamana seorang anaik ditrururukan dalam perkawinan oleh seo­rang lelaki yang bukan suaminya si perempuan, maka menurut hu­kum adat ba;panya anak itu ialah lelaki suamircya perempuan itu, ke- cuali bila ia menolaik kebapaannya dengan alasan2 yang dapat di- terima, hal mana se-tidak2n/ya mungkin di Jawa ; lagi berlainan hal- nya di Minahasa, di mana dalam hal itu bapa di luar perkawinan tetap diaikui sebagai bapa, tentu saja sepanjang kebapaannya ini sudah dapait ditetapkan.

Menurut hukum adat rupa2rrya tidak menjadi soal tempo be- rapa lama s e s u d a h n y a p e r k a w i n a n anak itu Iahir; hukum Islam meruimtut lahirnya anak harus dalam tempo lebih dari enam bulan sesudah perkawinan supaya anak itu dapat dianggap sah ; aturan ini boleh jadi di sana-sini (tapi se-tidak-nya jarang) berpengaruh atas hukum adat ; naunun dengan pasti aturan tadi ti- daik memgubaih aturan kawin paiksa dan 'kawin dai'urat tersebut tadi.

Menurut hukum adat, maka anak yang lailiir s e s u d a h t e r -p u t u s perkawinan, berbapa lelaki bekas suami, itupun bilamanalahirnya itu dalam tempo lamanya orang ham.il ; tempo empat ta-hun yang ditetapkan oleh hukum Islam tidaik pernaJi diambil oper di manapun juga.

Anak2 keturunan bini2 selir adalah terbelakang dibanding dengan anak- keturunan bini tua, ialah mengenai haik atas warisan dan hak atas derajat bapanya.

,uAfcjbat hllkum daripa<la perhubungan a.na,k - bapa, dan anai. - i u, mana adalah laramgan perkawinan bapa dengan anaknya pe­rempuan dan ïbu dengan anaknya laki^ ; selanjutnya berdmbal-ba-

: kewaJlba/n memelihara dan hak terpelihara; namun daJam pada utu turaHUan2 hak daripada 'kerabat unilateraal dalam hal2 ter­tentu hal ini lebih Ianjut di halaman 181 — mengesampingkan-kewajiiban^ dan hak^ daripada ibu atau bapa ; bapa - kalau ada - se a u arus rtindak sebagan walmya (wakilnya) anaknya perem­puan pa a per awina.n-, yang diselenggarakan menurut ajaran aga­ma s am. u um waris tanpa wasiat (ab intesitato) an/taira orangtU , ^na berdasar atas susunan sainak-saudara daripada berdasar atas perhubungan: ibu/bapa - anak; -tapi prafctek-Iï^a * j lan (toesche^ ) menryebabkan secara prakitis ban/yakperubahan dalam hal ini, misalnya untuk menguntunigikan perhu­bungan antara seorang bapa Minangkabau dengan anaknya (hal.

Tentang pengh'apusan dan penanggalan perhubungan orang tua— anak2 dengan jalan suatu perbuatan hukum, pula pengusiran seorang anak lakr2 oleh bapanya maka kesemuanya itu secara for­med muingkiin juga di pelbagai lingkungan2 hukum : mangaliplip (Ang.kola), pegat mapianaq (Bali).

Mengenai menitipkan seorang anak kepada orang lain untuk dipe- liharanya sebagai anaq piara, maika untuk ini seorang tua di mana2 di- pe.rkenankan sebagai suatu caxa untuk memenuhi kewajibannya melihara anak. Ini adalah sama sekali bukannya menyerahkan anak untuk diambil anak (adoptie) oleh orang lain, masalah mana akan dibicarakan nanti, walaupun ter-kadang2 menurut kenyataannya su- untuk di-beda^kan apakah adoptie atau apakah penitipan saja. Anak yaing dititipkan dapat se-waktu2 diambil kembali oleh orang tuarnya dengan penggantian biaya2n>ya pelèhara.

2. PERH U BU N GAN A N AK TERH AD AP GO LO N G AN 2 s a n a k -s a u d a r a ^w . v

Masih kurang diselidiki orang, apakah anak terlahir di luar per­kawinan, yang ibunya tak berkawin itu bersama anaknya hampir2 ti­dak diperbolehkan dalam masyarakat, apakah anak sedemikian itu perhubungannya dengan golongan sanak-saudara fihak ibunya sama sekali seperti anak yang sah. Di Rejang tidak demikian, anak terla-

<li luar perkawinan tidak termasuk golongan sanak-saudara ; di j awa rupa^nya dalatm hal ini tidak ada bedanya antara anak ter­lahir di luar perkawinan. dan anak yang sah. Di mana perhubungan anak terlahir di luar perkawinan dengan bapanya diakui orang, maka pengaikuan ini berlaku juga atas perhubungannya dengan golongan - sanak-s auda r any a.

S e b a g a im a n a telah disebutkan sebagian dalam bab pertama, maka s u s u n a n sanak-saudara sosial (pernilaian sosial daripada perhubung­an kesanaik-saudaraan bialogis) adalah sangat ber-beda2nya. Di sini hanya beberapa soal2 pokok saja -dapa/t diulangi dan dibicarakan.

D alam beberapa lingkungan hukum maka periiubungan antara g o lo n g a n sainaik-saudaaa fihak b a p a dan anak, adalah sam a sekali sa­ma dengan perhubungan antara anak itu dan golongan sanak-sauda- ra fihak ibunya, inilah susunan sanak-saudara berhukum ibu-bapa (ouderrechtelijk) atau „parentaal” , atau juga „bilateraal” . Menge­nai larangan2 perkawinan, kecenderungan2 perkawinan, hukum wa­ris, kewajiban pelihara, maka perhubungan2 hukum kesemuanya itu

berlaku ke jurusan ke dua fihak. dengain mutu yang sama. Dala/m pa­da itu harus di-bedaakain dua tokoh satu sama lain. Pertama : suku2 misalnya di daerah2 pedalaman Kalimantan dan Sulawesi Tengaih, di mana dipertahanikan sistim iberhukum ibu-bapa (ouderreohtelijk) tadi, ialah karena „endogamie” (kebiasaan berkawin dalam lingkungan suku di daerah kediaman sendiri) dan karena terpencilnya suiku2 ini dari orang2 asing. Mungkin dalam lingkungan sirtu sudah menjadi kebiasaan bahwa suami2 berdiam ‘kumpud serumah dengan kerahat2 isterinya, sehingga anaknya itu lebih banyalk menampak kerabat ibu- nya dari pada kerabat bapajnya, tapi menurut hukum adat tidak ada perbedaan antara ke-dua2nya itu. Kedua : suku2 baingsa yang hidup- nya tidak dalam ikatan genealogis yang agak besar, melainkan secara sekeluarga demi sekeluarga susunannya di masyaraikat2 terrrtoriaJ seperti di Aceh, di Jawa dan sebagainya. Di sana sudah semestinya tidaik ada lagi „exogamie” atau „endogamie” berdasarkan atas peng- golongan2 sanak-saudara (tapi ter-kadang2 ada „endogamie” dusun2) ; larangan2 perkawinan, kecenderungan per-kawman, hukum waris, kewajiban pelihara adalah ke jurusan ke dua fihak ; sama. Hanya bila diamat-amati dengan saksama, maika terdapatlah kebiasaan2 yang mungkin berasal dari zaman susunan sanak-saudara yang segi satu (eenzijdig) atau dari zaman yang sudah dipengaruhi oleh susunan

* sanaksaudara segi satu, yang berasail dari dasar hukum Islam ; na­mun ugaan mengenai asal serupa itu adalah terlepas dari perta­nyaan . apa.kah funksi dan nilai menurut hukum daripada kebiasaan3. VU W3i.ktu sekarang. Di pulau2 Kalimantan dan Sulawesi ter-lihatlah dan pedalaman ke jurusan pantai2 peralihan dari sua*u susunan yang terikat dalam masyarakat2 suku, kaum dan kerabat

? anS berhukiim ibu-bapa ke arah suatu gerombolan berhukum ha°y a terdiri dari keluarga2 saja (dalam lingkungan

Dalam lingkungan2 hukum ladnntya maka susunan .sanak-saudara sosial butkannya segi dua (tweezijdig), melainkan segi satu (eenzij­dig) ialah unilateraal dan betrhu/kuim bapa atau berfnikum ibu.

Ini berarti pertama . bahwa golongan2 sanak-saudara (kerabat2, bagian- clan) yang dapat diikenal sebagai kesatuan2 sosial - ialah

arena susunannya ke dalam dan karena sebagai kesatuan tersang- kut pada tanah, rumah2 dan benda2 lainnya, pula pada nama, gelar, pangkat adat atau apapun juga - adalah terdiri atas dasar ketu- runain segi satu, dan oleh karenanya golongan2 itu hanya meliputi mereka yang berasal keturunan menurut garis lelaki dari sesaana bapa leluhur, atau, hanya meliputi mereka yang berasal keturunan

menurut garis perempuan dari sesama ibu leluhur. Bila dalam satu masyarakat kedua dasar susrunan yang segi satu itu menyebahkaji timibulnya kesatuan sosial yang nyata — ja d i; golongan2 sanak-sau- daira segi campuran — masing2 dengan penghulunya sendiri, namanya sendiri, milik2 dan kepentingan2 sendiri, jadi di cm ana masing* (de­ngan saudaTa2nya laki2 dan perempuan seibu-bapa) termasuk dua clan yaitu clan sanak-saudara seibu leluhur menurut garis perem­puan dan clan sanak-saudara (lain sekali) sebapa leluhur menurut garis lelaki, maika dalam hal ini dapatlah susunan ini diberi nama yang terkutip dari ilmu ethnologie, ialah susunan „dubbelunilate- raal” (segi saitu rangkap) . Betapa patutnya dan mudahnya susunan rangkap serupa itu buat anggauta2 yang bersangkutan, tapi mungkin sangat ruwetnya buat si peninjau dari luar; dalam ketertiban hu­kum masyarakat2 di N us antara sekarang ini, maka susunan sedemi­kian itu jarang terdapat. Hal menurut naluri diwariskannya barang2 tertentu dari bapa kepada anak2 dan di samping itu barang2 lainnya dari ibu kepada anak perempuan, adalah boleh jadi suatu corak „dubbelunilateraal” (Aceh, Savu).

Nam un di kalangan banyak suku2 bangsa Indonesia dasar susun­an segi satu belaka itu mengakibatkan penggolongan sosial yang ken- tara dan baik clan „matrilineaal” maupun clan „patrilineaal” ada­lah satu2nya dasar susunan sana'k-saudara; lebih2 dengan jalan ,exogaimie” dapaitlah dipertahankan kesegisatuannya itu.

Jadi ikesegisatuan susunan sanak-saudara itu berarti, kedua ; bahwa daL.-.: susunan serupa itu perhubungan sosial anak yang menurut susunar. termasuk golongan kesanak-saudaraan ibu berada dalam sur-ii perhubungan sosial lain terhadap golongan sanak-saudara dari frhak bapanya. Dalam susunan berhukum ibu maka golongan samvkisaudara. fihak ibu buat si anak adalah penting dalam sosial- nya, melebihi se-galaanya ; seketika anak itu dalam segala perhu- bunga/n2nya hidup m enjum pai; larangan perkawinan, begicu juga exogamie, berlalu di golongan situ ; dalam susunan berhukum bapa maka clannya bapalah sedemikian juga pentingnya. Tapi itu t i ­d a k berarti, bahwa dalam susunan berhukum ibu bagian clannya bapa (berhukum ibu) buat si anak se-akan2 t i d a k a d a artinya ; juga tak berarti, bahwa dalam susunan berhukum bapa bagian clannya ibu (berhukum bapa) buat si anak se akan2 tak berarti. Di Minangkabau misalnya golongan kerabat bapa (bako baki) di pelbagai upacara2 ada wakilnya, ter-kadang- golcngan tadi datang menolong untuk nafkah si anak, ada kecendvatng.ui teg as untuk perkawinan dengan golongan itu, dan mereka dipat dengan men-

dahului orang2 asing lainnya m engoper barang2nya suatu kerabat yang akan habis mati. D i daerah2 Batak di mana bagian clannya ibu (patrilineaal) per-tama2 adalah penting buat seorang pem udar kafrana dia cenderung akan memiliih bakal isterinya dari bagian clan situ, dan selanjutnya buat dia adalaih nilai sosialnya terleta/k di perhubungan hula-hula— bora (T oba) yang telah dibicarakan (hal. 50). Di Sumba maka sanak-saudara fihak perem puan (berhukum bapa) memberikan sumbangannya untuk pembayaran ,,ju ju r” nya anaknya dan seterusnya. Jadi walaupun hareya satu dari kedua go- longan sana'k-saudara (biologis) bersegi satu itu yang m enjadi penting dalam sosialnya di suatu masyarakat, nam un buat seorang anak, golongan2 (segi satu) daripada bapa' dan ibu keduanya m em - punyai arti sosial, biarpun golongan bapa artinya jau h lebi'h besar dalam suatu susunan berhukum bapa dan golongan ibu jau h lebih' besar dalam suatu susunan berhukum ibu. T a p i apa yang dikem u- kakan di sini ini hanya lengkap, bila di kalangan suku bangsa ber- susunan sanak-saudara segi satu (tunggaii) itu, hanya m em punyai satu macam cara perkawinan, seperti di M inangkabau dan d i kalang* an orang- Batak T ob a (hal. 195) . N am un ada juga suku2 bangsa Pribumi, di mana terdapa-t (paling sediikit) dua cara perkawinan,. ialah perkawinan jujur (bruidschathuwelijik) yang mengakiba-tikart si anak termasuk bagian clannya bapa (berhukum bapa) , dan per­kawinan ambil anak (inlijBhuwelijk) yang m engakibatkan si anak termasuk bagian clannya ibu (berhukum bapa) . D i sini ibu (ke- rabatnya) adalah penting seluruhnya dalam arti- sosial buat si anak. Bila perkawinan- ambil anak itu hanya merupakan perkecualian saja, maka susunan sanak-saudara itu tetap bersifat hukum bapa ; bila andaikata perkawinan2 ambil anak itu m enjadi aturan tetap- (Saparua ? ) , maka ini mau tidak mau akan m enim bulkan susunan

berh-u'kum ibu. Bilamana perkawinan2 „ju ju r” dain perkawinan2 „am bil anak sama seringnya terdapat (seperti di R ejang, hal. 31), maka golongan- sanak-saudara, yang sosial kentara nyata, (terdiri dari sanak-saudara keturunan dari sesama leluhur bapa atau sesama leluihur ibu dan tergantung dari bentuknya perkawinan orang tua­nya keturunannya itu diukur apakah m enurut garis lelaki atau menurut garis perempuan. Dengan demikian belum diperoleh su - sunan „parentaal \ belum pula susunan „du'bbehmilaiteraail” dan tidak dapat juga disebut segi bapa atau segi ibu, karena perkecua- liannya akan sama dengan ajturannya pokok yang toch dapat dite- tapka-n lebih dulu dengan sebarangajn saja (walaupun di R ejang terdapat alarmat2 ke arah patrilineaal) — akan tetapi di sini adalah golongan2 sanak-saudara (suku) yang tersusun segi satu, yang satu

berdampingan dengan yang lain, sedangkan garis yang menetapkan macam kesegisatuan itu saban2 meloncat dari segi bapa ke segi ibu (tergantung dari bentuk per kaw i nanny a) ; jadi dapat disebut­nya susunan sanak-saudara „ ber-ganti* (alternerend). Juga dalam pada itu maika sudah barang tentu kedua golongan- sanaVsaudara, dari fihak bapa dan dari fihak ibu, penting dalam sosialnya buat si anak, tapi selalu salah satu dari keduanya adalah primair, yang lain : sangat secundair. Suatu susunan „ber-ganti2” (alternerend) (di mana rupa2nya sebagai gejala pengantar (begeleidend verschijn­sel) : ialah lembaga penyerahan anak dari bagian clannya ibu ke­pada bagian clannya bapa) boleh jadi di sana-sini di kepulauan Timur Besar ada terdapat.

Suatu susunan sanak-saudara segi satu dapat memperoleli corak. hukum ibu-bapa yang tertentu, biiamana (seperti di Bali) exogamie tidak ada atau menjadi tak terpakai lagi (Mentawai) atau perka­winan di dalam lingkungn bagian clan diperkenankan untuk meng- hindari biaiya2 yang besar (Timor Tengah), atau bila ada perkawin- am unacaim ketiga yang mengakibatkan si anak kedudukamnya ter­hadap susunan2 sanak-saudaranya bapa dan ibu Jce-dua-nya sama saja (semendo rajo rajo, Rejang; tambik anak jurat duwa negen du- wa, Pasemah). Di kalangan orang2 Semendo dan Rejang di Sumat­ra Selatan yang susunannya berhukum ibu, maka anak yang tertua bersama inti kekayaannya kerabat atau kekayaan keluarganya mem- pemhankan hukum ibu dengan jalan bentuk perkawinan yang di- pilihnya (tunggu tubang), tapi buat lain2nya di s i t u susunannya berhukum ibu-bapa, kupun karena terjadinya perkawinan semen- da anaq tengah.

Suatu perkara yang penting tapi masih kurang diselidiki orang ialah soal sampai di mana penmtusan ikatan2 kesanak-saudaraan sebagai akibat pendirian dusun (hal. 35 103) ada pengaruhnya atas exogamie (pasti tidak „selalu” dan pasti tidak jtak pemah ) . Me­ngenai kemungkinan membelah golongan exogaam itu karena dia- dakan suatu perkawinan, maka hal ini sebagaimana di bawah inir di halaman 192. Soal di mana suatu keluarga berdiam, di kerabat- nya bapa (patrilokaal) ataukah di kerabatnya ibu (matrilokaal) adala h m e n u r u t k e n y a t a a n n y a penting sekali buat si anak, tapi perhubungan2 menurut hukum adat dengan (golongan2) sanak- saudara dapat juga menerobosnya; di Kalimantan misalnya maka walaupun di sana ada perhubungan2 menurut hukum ibu-bapa, tapi si isteri Jiarapir selalu, se-tidak^nya sesudah lahir anaknya )ang pertama, suka berdiam dalam lingkungannya sendiri.

Corak umum daripada susunan sanak-saudara Indonesia ialah apa yang disebut pernilaian sanak-saudara secara menurut „abu - nya (klassifikatorisch). Seluruh angkatan (generatie) dari fihak orang tuanya terhadap si anak dalam beberapa hal berkedudukan sama seperti bapanya atau ibunya sendiri terhadapnya. Perbedaan angkatan (generatie) menyebab-kan larangan perkawinan.

3. P E M E L IH A R A A N A N A K 2 P IA T U .

Bilamana dalam suatu keluarga tiada salaih seorang dari orang tuanya, pada hal di situ ada anak2nya yang belum dewasa, maka dalam sifatu wilayah yang susunan sanak-saudaranya b e r h u k u m i b u - b a p a seorang, orang tua yang masih ada itu meneruskan memegang kekuasaan ibu-bapa — melainkan bila anak2 itu diserah­kan kepada kerabat daripada yang mati itu, sebagai halnya di ka­langan suku Dayak Ngaju jiika suaminya iifcu adalaih orang asing. Bila mana dalam wilayah berihukum ibu-.bapa sedemi'kian itu kedua orang tuanya tidak. ada, maka wajiblah sanak-saudara2 (kerabat2) yang terdekat daripada salaih satu segi yang berkesempatan paling baik, memelihara anak2 pra/tiu itu. Justru dalam pada itu sudah ba­rang temitu sangat pentingnya soal dalam suasaina apa anak2 iitu terdidik dd masa orang tuamya masi'h (hidup. Juga soal .pembayaran di waiktu perkawinan orang tuarvya dulu b er pengaruh pula atas soal pemeliharaan tadi, sebagaimana halnya di kalangan beberapa suku2 Dayak di Kalimantan. Anak2 yang sudah agak besar meng­ambil keputusan sendiri menurut sukanya sendiri. Bagaimana saban2 penyelesaiaawiya yang concreet sebagai akibat kedua faktor tadi, ia lah : sanak-saudara terdekat dan soal kesempatan terbaik (terlepas dari kecenderungamnya anak2) , maka hal ini adalah urusan kerabat. Jika tentang hal ini ada timbul kesitkaran2 atau bilamana tiada seoraingpun yang tersedia ataupun yamg tersedia itu adalah seorang yang tak cakap, maka di Jawa dan Madura untuk iitu diangkat se- orang wali (voogd) oleh pengadilan landraad (bab II ordonnantie 31 Januari 1931, Stbl. no. 53).

Bila di kalangan suatu suku bangsa bersusunan sanak-saudara s e - g i s a t u salah. seorang orang tua meninggal durnia, yang t i d a k men/yera'hkan anak2nya di bawaih kekuasaan kepala2 kerabartnya sen­diri — jadi di Minangkabau yang maci itu bapanya dan di Batak, Lampung -dan Bali yang mati dan ibunya dalam perkawinan jujur— maka seorang orang tua yang masih hidup meneruska/n dengan seorang diri pegang kekuasaan kerabatnya. Bila dalam keadaan se demikian itu meninggal dunia juga seorang orang tua lainnya itu —

jadi dia yang menyerahkan anaknya dalam lingkungan kekuasaan kerabatnya sendiri — maka lantas nampaknya tegas ketegangan an­tara keluarga dan kerabat. Di Minangkabau anak2 itu 'tetap berada. di bawah kekuasaan kerabat ibunya (yang mati) ; bapanya akan perdulikan kepada mereka sedemikian rupa sepanjang keadaan2 senyatanya mengizinkannya. Di kalangan orang2 Batak, begitu juga di BaU maka ibunya anak2 sesudah matinya bapanya tetap sebagai pendidik anak2nya itu bertinggal dalam kerabat bapanya baik se­bagai isteri daripada adik lelaki bapanya anaik2 (perkawinan ipar = zwagerhuwelijk), maupun sebagai janda. Bila ia ingin akan kem­bali ke kerabatnya sendiri atau akan kawin dengan seorang lain, maka dapatlah ia bercerai dari 'kerabat suaminya, tapi anak2nya tetap berada di bawah kekuasaan kerabat bapanya tadi. Bila ter­jadi hidup kékeluargaan menjadi lebih kokoh dari pada apa yang biasa sebelum itu, ialah sebagai aklbat pengembaraan atau keadaan2 lainnya, maka keadaan2 yang sudah benuibah itu dapat melanggar aturan pokok tadi dengan jalan memperguaiaikaji aturan pej-kecuaJia/ï demikian : „kecuali bila kepenitlngan anak2 mengharuskan mereka sampai dewasanya bersama ibunya merupakan suatu keluarga di’ bawah kekuasaan orang tua yaitu ibunya, dan dalam suasana kehi­dupan di mana mereka sudah biasa” . Tapi barang-nya dapajt tetap diurus oleh kerabat fihak bapa itu, walaupun hasilnya harus di- peruratuikkan buat anak2 itu.

Bila kedua orang tua meninggal dunia, maka di susunan sanak- s a u d a r a segi satu kekuasaan atas anak2 — artinya baiik petmelihara- an dirinya maupun barang2nya — jatuh (tetap) pada 'kepala2 ke­r a b a t atau ter-t.ua2 'kerabat yang sudah menguasai keluarga itu selu­ruhnya (ialaih berhubung dengan perkawinan orang tuanya) .

M en gen a i ak ibat percera ïan perkaw inan b a g i anak2, hal. 220.

4. PENGAM BILAN A N A K .

0 j atas tadi sudah tersinggung, bahwa dengan jalan suatu per­buatan hukum dapatlah orang mempengaruhi adanya pergaulan2 yang berlaku sebagai ikatan"2 'kesanak-saudaraan biologis yang dalam sosialnya telah ditentukan. Yaitu pertama ; halnya kawin ambil anaik (irdijfhuwelijk). Dalam susunan berhukum bapa, di mana kepala2 kerabat berkuasa atas dan akan diganti oleh anggauta2 kerabatnya yang bersanak-saudara dengan mereka menurut garis keturunan le­laki, maka dalam hal ini dengan jalan perkawinan tanpa „jujur” kesanak-saudaraan biologis itu liwat si ibu dapat diberinya terus sedemikian rupa, sehingga anak2 yang akan lahir termasuk golong-

an kerabatnya si ibu (yang berhukum bapa) . Tentang masalah ini di belakang lebih lanjut di ruangan „hufkum perkawinan".

Tentang memungut seorang ana/k yang 'tak termasuk golongan ■kerabat, ke dalam kerabat, sedemikian sehingga timbul suatu hu­bungan yang sama -dengan hubungan yang telaih diitetapkan dalam sosialnya atas dasar kesanaik-saudaraan biologis, maka perbuatan sedemikian itu adalah sangat umum di Nusarutara sini ; perbuatan itu diseibuit dalam bajhasa Belanda : „kindsaanneming” ialali „adop­tie” (ambil anak).

Per-tama2 harus dikemukakan a m b i l a n a k o r a n g 2 a s i n g ke dalam suatu golongan sanak-saudara yang ‘kokoh ialah bagian clan, atau kerabat. Anaik itu dilepaskan dari Hngkunganinya lama dengan serentak di-berikan taranya, beru.pa benda2 berkhasiat (ma­gisch) , dan setelah pembayaran sedemikian itu anak dipungut ma- suk ke dalam keraibat yang mengambil anak ; inilah ambil anak sebagai perbuatan tunai (hal. 106). Alasannya ialah kekhawatiran akan habis mati 'keraibatnya; keluarga yang taik beranaik itu dalam j>ada itu berbuat dalam lingkungan kekuasaan kerabaitnya dam ber­sama kerabatnya ; si anak dipungut oleh sejodoli ibu-bapa, tapi perbuatan itu adalah urusan kerabat. Anak itu mendudwki seluruh- ■nya kedudukan anak kandung daripada ibujbapa yang mengambil anak dan ia adalah terlepas dari golongan sanak-saudaranya semula. Pengambilan anak itu dilaksanakan dengan upacara2 (rites de passage) dan dengan pembamtuannya penghulu2, hal ini harus te- ■rang, harus ditingka/tkan dalam keterdban hukum masyara/kat (Nias, Gayo, Lampung, juga Kalimantan). Di M in a n g k a b a u rupa2nya „adoptie” itu tidak ada, di daerah perbatasan antara M in a n g k a b a u dan Mandailing ter-kadang2 sekali tempo ada, di Angikola tidak ada.

Kedua: a d o p t i e d i B a l i , (nyentanayang) terselenggarahampir selalu d a l a m lingkungan clan besar daripada kaum ke­luarga, yang kari'b menurut naluri (punisa), walaupun di masa akhir2 ini lebih (lagi) diperbolehkan memungut anak2 berasal di luar lingkungan itu ; dalam be'berapa dusun juga sanak-saudaranya si- isteri (daripada pradana) diambil anak. Bila bini tua tak mempu­nyai anak, tapi bini selir mempunryainya, maka anak2 itu ter-ikadang2 dengan jatlan adoptie dijadiikan anak^nya si bini tua. Bila tidak ada sanak-saudara lelaki yang dapat diambil ana;k, maika dapat juga seorang anak perempuan dipungut sebagai sentana. Anak itu dipu­ngut dengan jalan perbuatan hukum rangkap, yaitu pertama dipi- saihkan dari kerabatnya sendiri (dengan jalan membakar seutas benang sampai putu6) dan dilepaskan dari ibu kandungnya dengan jalan pembayaran adat berupa seribu képéng beserta satu setel pa-

kaian perempuan, sesudah itu ia dihubung-kan dengan kerabat yang memungutnya : diperas. Suami yang mengambil anaik bertindak un­tuk itu dengan persetujuan kerabatnya ; diumumkannya dalam de­sa (siar), dari filiale raja harus dikeluarkan izin untuk itu, pegawai2 raja menyusun sepucuk surat akte (surat peras). Alasannya ialah kekhawatiran akan meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan a'kan kehilangan garis keturunannya sendiri. Hadiah diberikan ke­pada anaik itu sendiri, Anak itu sesudahnya dipungut se-bulat2nya karib dengan anggauta2 kerabatnya baru, pula mengenai hukum waris maka ia sudah terputus dari kerabatnya yang lama. Sesudah matinya si suami maka jandanya dapat mengambil anak atas nama dia (hal. 158).

K etiga : harus disebutkan bentuk pengambilan a n a k k e m e - n a k a n 2 I a k i 2 (dan k . e m e n a k a n 3 p e r e m p u - a n) di Sulawesi, Jawa dan di lain2 tempat, bentuk mana ter-ka- dang2 terdapat di samping pengambilan anak asing dan dapait di-be- da2kan satu sama lain karena perbedaan sebu/tannya dan karena cia- danya pembayaran (Gayo, Pasemah, golongan2 pepadon di Lam­pung) . Adoptie kemenakan2 ini adalah perkisaran dalam kerabat da­lam arti luas (dapat dibandingkan dengan perkisaran milik tanah karena -penghibahan); pembayaran2 biasanya -tidak ada. Tetapi ter­nyata di Jawa Tim ur masih terdapat suatu aturan yang menyatakan bahwa adoptie di sana itu adalaih perbuatan tunai (kontante hande- Kng) yaitu pembayaran mata wang (berkhasiat) sejumlah rong wang sagobang (17Vi sen) kepada orang tua kandung sebagai sen- jatta penghobat untuk memutuskan ikatan anak dengan orang tua- n<ya itu (pedot). Di Minahasa terdapat tanda yang kelihatan paradé (rupa2nya bukan : lilikur) yang diberikan kepada si anak untuk niemperkuat adoptie itu (hal. 157); mengenai apa yang di sana dise­but „adoptie” , pada hal sebetulnya adalah perjanjian pelihara (verzorgingskontrakt) terdapat di halaman 152. Keluarga tak ber- anak mengambil anak itu terutama untuk menjaga supaya mempu- nya anak-cucu yang meneruskan garis keturunannya sendiri, tapi juga ada maksud- lainnya (supaya memperoleh tenaga pekerja di rumah clan sebagainya) . Juga keluarga2 ber-anak2 m en ga m b il anak; seseorang mengambil anak juga dengan harapan supaya mendapat anak sendiri, pula ada juga karena kasihan terhadap anak laiki2 kecil yang menjadi anak piatu. Misalnya di Jawa dan di Sulawesi malka adoptie itu jarang dengan setahunya kepala2 dusun ; di tempat2 lain ter-kadang2 juga kepala2 kerabat dan peng- hulu2 rakyat diberitahukannya tentang pengambilan anak itu ; di Pa' semah tindakan itu dibikin terang dengan jalan diberitahukannya ke-

pada segenap penduduk dusun yang terkumpul untuk itu, ialali : laman dusun. Di Jawa terdapat juga adoptie anak2 asing, tapi adoptie kemenakan2 sangat meJebiihi lazimnya ; hal ini mempeiHkakoh ikatan kekarabatan. Anak yang telah dipungut itu diperlakukan sama sekali sama dengan anak kandung, perihal ia telaih diambil anak itu tidak di-sebut2 lagi. Namun jnengenai huikuim waris ia tetap berhaik atas warisannya orang tua kandungnya. Atas barang peninggalannya orang tuanya yang mengambilnya anak, maka ia ada juga liak yang tertentu, tapi boleh jadi (juatru karena di sini adoptie ini bukannya urusan kerabat dan perbuatan itu tidak dibikin terang) tidak ber­hak atas barang2 pusaika berasal dari warisan yang harus di.kemba^ liikan kepada kerabatnya si suarai sendiri atau -kerabatnya si isteri sendiri (hal. 247). Di Sulawesi Selatan terdapat juga dalam prak- teknya penghibahan (toescheiding) .kepada anak angkat itu, tapi rupa2nya ia tak ada haik sebagai seorang waris di mana tiada wasiat (abintes-taa t erfgenaam).

Pada akihirnya harus disebut juga aturan ambil ana'k oleh seorang suami yang tak beranak dan yang di „adopteer” ialah anak2nya ti- ri (analk2 isterimya), sebagaimana antara lain terdapat di Rejang (mulang jurai) dan di sana perbuatan ini tidak diperkenanikan se­lama bapanya anak2 tadi masih hiduip ; pula aturan itu terdapat di kalangan suku Dayak Maanyan Siung (ngukup anaq).

Pengangkatan anaknya la'ki2 bini selir menjadi anaknya laki2 bini tua membawa perubahan kedudukannya hulkum dan memberikan ke- padanya hak atas penggaratian bapanya dalam martabatnya (Lam- pung); di Bali, maka bila bini selir itu mempunyai tempait pemuja- an sendiri, pemindaihan anak itu harus dengan upacara ambil anak lengikap, sebagaimana diuraikan di atas tadi.

Di wilayah2 berhukum bapa sudah barang tentu anak2 la'ki2 yang: diambil anak, melainkan (seperti benar2 terjadi di kepulauan Kei); bila memungut analk perempuan untuk memberi kesempatan supaya seorang anak la'ki2 dapait menempuh perkawinan anak2 saudara bertianbal-balik (cross-cousin huwelijk) yang diharaipkan. Sama halnya dengan ini terjadi di Sumba ; adoptie anak perempuan ke dalam bagian clan berhukum bapa (kabisu) untuk kemungkinan suatu perkawinan dengan seorang pemuda dari kabisu lain yang ter­tentu ; dan rupa2nya dapat dibandingkan dengan ini ialali halnya pemungutan seorang perempuan calon isteri raja pendeta Batak Si Singamangaraja dimasuikkan ke dalam marga go)ong:»n Lontung, ka­rena Singamangaraja itu seharusnya kawin dengan pe* ^mpuan dari marga serupa itu. Mengenai pengambilan Oicrk0 pcrernpi.an oleili su- k11 Semendo di Sumatra Selatan atau ololi suku- DctyaV Larvdak dan

Dayak Tayan, agar supaya mompunyai seorang anak perempuan yang tetap dapat mengurusi kekayaannya inti (hal. 234), anak perem­puan mana mendapat kedudukan-di atasnya anak2 laki2, maka per­buatan sedemikian itu juga mudah dapat dimengerti.

Adoptie seorang laki2 yang lantas kawin dengan anaknya perem­puan si pengambil anak terdapat di Bali dan di Timur Besar (di samping perkawinan ambil anak tanpa adoptie) ; terlepas dari pada hal itu tadi, maka biasanya yang diambil anak itu ialah anak2 yang tak berkawin ; pada umumnya yang mengaimbil ana'k itu berkawin (di Bali sekali tempo yang mengambil anak itu juga mereka yang tidak berkawin) dan yang sekian lebih tua dari mereka yang diambil anak sehingga yang terakhir ini — menililk perbedaan umurnya — andaikata dapait disebutkan anak2 kandungnya sendiri.

Membatalkan adoptie itu pada asasnya mungkin daiam hal- di ma­na ada kemungkinan mengusir anak (hal. 174) ; di Bali itu mungkin, karena banya'k sebab2 lain lagi yang taik menyenangkan, begitu juga di Kalimantan, tapi di sini diharuskan pembayaran pelanggaran (de- liots-betaling) yang tinggi.

Suam perbuatan hukum yang harus disebutkan dalam hubungan ini ialah halnya seorang anaik perempuan yang dijadtkan „pelan- iut keluarga (sentana) di Bali. Hanya anaV- laVi- stpemnggal ba­panya dapat menerima harta peninggailannya dan dapat melanjut- kan kedudukannya sebagai kepala keluarga (hal. 234). Bilamana ti­dak a>da anak laki2- maka dapatlah seorang anak laki2 diambil anak, baik oleh si bapa, maupun oleh jandanya atas nama c ia, bila si ba-

Hu niati. T a P* a^an gantinya itu dapatlah si bapa mengangkat ^ak n ya perempuan menjadi sentana dan dengan demikian diberi-

nllya hak2 dan kewajiban2n<ya seseorang anak laki2 tertua. Anakg^xpuan sedemikian itu tidak dapat berkawin secara lain dari pa­

per ■jerkawinan ambil anak (inlijfliuwelijk), maka suatninya lalu dise-but sentana tarikan.

pada akhirnya mengenai perbuatan hukum yang mengubah kedu­dukan a n a k d a l a r n kesanak-saudaraan, di sini diingatkan akan pemin- dahan seorang atau dua orang anaik oleh bapanya dari bagian clan

kU)xfja ibunya — di mana mereka tergolong berdasarkan atas erkawinan ambil an aik ” orang tuanya — ke 5tt&u bapanya send iri;

pemindahan itu terjadi baik karena sudah ada pembayaran adat yang ditetapkan d i waktu dilangsungkan perkawinan, m aupun karena terlaksananya suatu pembaiyaran di belakang sesudah itu (pedant, R e j . ) ; hal ini termasuk perbuatan2 tunai (hal. 106).

f

B A B K E S E M B ILA N . H U K U M P E R K A W IN A N

1. B E N T U K 2 P E R K A W IN A N .

Dapat dikatakan, bahwa menurut hukum adat maka perkawinan itu adalah urusan ikerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, uru­san derajat dan urusan pribadi, satu sama lain dalam hubungan- nya yang sangat ber-beda2.

Buat golongan2 sanak-saudara, yang merupakan kesatuan2 atau masyarakat2 hukum (bagian2 dan, su/ku2, 'kerabat2) maka perkawi­nan anggauta2nya itu (perkawinan lelaki2nya, perkawinan wanita2- nya atau perkawinan ke-dua2nya) adalah suatu usaha yang menye- babkan terus berlangsungnya golongan dengan tertibnya, suatu sya- rat yang menyebabkan terlahirnya angkatan baru yang meneruskan golongannya itu. Namun dalam lingkungan masyarakat2 kerabat maka perkawinan itu juga selalu merupakan syarat untuk menerus- kaai (berharap meneruskan) silsilahnya sendiri -cli masa datang buat keluarga yang tertentu yang termasuk dalam jnasyarafc.?* -itu,jadi ini adalah urusan keluarga, urusan Jbu-bapa. Bilamana golong­an2 kerabat2 itu tidak merupakan nilai masyarakat2 hukum, tapi keluargalah yang primair (atau menjadi primair) dalam kehidupan hukum, maka perkawinam itu — walaupun pengaruh sanak-saudara dapat terus terasa — adalah per-tama2 urusan keluarga; anak- dan keluarga itu karena :perkawinannya, juga meneruskan garis hidup (sosial) orang >tuanya (atau salah seorang dari orang tuanya). Dalam hubungan2 'kerabat yang segi satu, maka perkawinan itu adalah ju­ga suatu syarat yang mengatur kesanak-saudaraan semenda (aanver­wantschap) daripada golongan2 itu ; perkawinan adalah suatu ba­gian daripada lalu-lintas clan, yang menyebabkan bagian2 dan mem- pertahankan atau merobah kedudukannya keseimbangan dalam su- kunya dan dalam lingkungan masyarakatnya seluruhnya, yang bersifat sudafh puas dengan seorang dirinya (zelfgenoegzaam). Dari sebab itulah perselisLhan2 hukum antara dua kerabat, perseteruan2 keraibat yang sudah berlangsung lama, ter-kadang2 diherotikan dengan jalan perkawinan lelaki dari kerabat yang satu dengan p e r e m p u a n dan kerabat yang lain (daerah2 Batak).

Dalam masyarakat2 hukum yang merupakan kesatuan2 susunan rakyat, ialah masyarakat2 dusun dan wilayah, maka perkawinan ang gau<taanya itu adalah suatu peristiwa penting dalam proses masuk nya menjadi inti sosial daripada masyarakat2 itu — itupun bilamana mereka ada kemungkinan masuk, mengmgait hal2 lainnya —, mereka

lalu mendapat hak2 dan kewajiban2 sepenuhnya dan sepenuhnya pula ber ta/nggung-jawab mereka atas keselamatan masyarakat da­lam arti kata kebendaan maupun 'kerakhanian.

Dengan jalan perkawinan (yang tepat) iitu juga maka kelas2 atau derajat2 di dalam dan di luar masyaraikat2 dipertaihankan ; de­ngan demikian maka perkawinan itu adalaih urusan derajat atau kelas.

Pelbagai funksi perkawinan itu kesemuanya ternyata dalam lia-1 bagaimana kepala2 «kerabat (kepala- clan), orang tuanya dan kepala2 dusunnya bercampur tangan dalam pemilihan perkawinan, dalam bentuknya perkawinan dan dalam pelalcsanaaimya perkawinan. Per­kawinan sebagai peristiwa hukum harus mendapat tempatnya dalam ketertiban huikum, perbuatan itu haruslah terang, penghulu2 masvara- kat yang bersangkutan dalam pada itu juga menerima pembayaran2 penetapannya.

Namun — walaupun urusan keluarga, urusan kerabat dan urusan masyarakat — penkawinan itu senantiasa tetap urusan hidup perse­orangan juga daripada fihak2 perseorangan yang kebetulan ber­sangkutan dengan itu, urusan yang diingirtkan atau disegankan. Ja- lannya segala sesuatu daripada perkawinan pinang (aanzoekhuwe- lijk ), lebih2 bentuk3nya perkawinan lari bersama (vluchfchuwelijk) dan perkawinan bawa lari (schaakhuwelijk) imencerminkan kete­gangan tadi antara golongan ummat manusia dan manusia sebagai perseorangan.

Upacara2 mengenai perkawinan itu di mana2 mengandung faham2 dan kebiasaan2 dari peribadatan „dynamisme” dan „animisme” ; te­tapi kesemuanya itu merupakan juga titik2 siinggung bagi agama2 wahyu Islam dan Kristen ke-dua2nya, yang mempengaruht adat2 per­kawinan dan hukum perkawinan, masing2 dengan caranya sendiri2.

A. Perkawinan2 pinang, — lari bersama, — bawa lari (aanzoek xvegloop — , schaakhuwelijk).

Menurut cara bagaimana perkawinan itu dilaksanakan, maka da­pat dipasang satudi samping yang lain dan satudi hadapan yang lain: p e r k a w i n a n p i n a n g ( a a n z o e k h u w e l i j k ) , p e r ­k a w i n a n l a r i b e r s a m a ( v l u c h t — o f w e g l o o p - h u w e 1 ij k) dan p e r k a w i n a n b a w a l a r i ( s c h a a k - h u w e 1 ij k ) .

P e r k a w i n a n p i n a n g {meminang, Ind., nglamar, J.) mempunyai corak2 Indonesia yang sangat umum.

Fihak kesatu — kebanyakan fihak pemuda — dengan menghi- dangkan sirih mengajak fihak lainnya mengadakan perkawinan yang tertentu. Peminangan sedemikian itu hampir selalu dijalankan oleh seorang utusan atau seorang wakil, biasanya dalam pada itu dipakainya banyak2 peribahasa2 kiaisain yang muluk2. Fihak yang bertindak adalah golongan sekerabat, atau orang-tuanya dengan per­setujuannya golongan sekerabatnya, atau juga orang tuanya sen­diri, kesemuanya kebanyakan sesudah perundingan dengan mereka yang bersangkutan, atau yang ibersangkutan sesudaih perundingan dengan mereka. Saban2 disebutkan, bahwa baikal suami-isteri itu berpengaruh yang menentiakan atas pemilihan baikal jodohnya itu. Terhadap kebanyakan lingkungan2 hukum maka bahan2 untuk soal ini adalah panjang lebar. Bila peminangannya itu diterima baik, maka ini bias'a-nya tidak sekaligus mengakibatkan perkawinan, me­lainkan mengaikibatkan p e r t u n a n g a n dulu, yaitu persetu- juan antara kedua fihak, di mana mereka satu sama lain bertimbal- balik berjanji mengadakan perkawinan yang tertentu ; ter-kadang2— ini bukannya suatu keharusan — ditetapkan pada saat pertuna­ngan itu hari bakal perkawinarinya, ditetapkan pula besar kecilnya pembayaran2 perkawinan, dan dibuat perjanjian mengenai pemba­yaran denda pelanggaran,' bilamana pertunangain dibaftalkan. Per­janjian ini .baru mengikat kedua fihak pada saat diterimakannya hadiaih pertunangan (verlovingsgesohenk) ialah alat pengikat atau tanda yang kelihatan, yang .ter-kadang2 diberikan oleh fihak lelaki kepada perempuan, ter-kadang2 dari kedua fihalk, satu kepada yang lain (Batak,- Minangkabau, kebanyakan suku Dayak, beberapa 9uku Toraja dan suku T o Mori) ; mengenai alat pengikat dalam hu­bungan umum lihatlah halaman 133. Di Miinahasa rupa2nva hal ini tidak terdapat. Di Aceh hadiah pertunangan itu. disebut tanda kong naritj ya-iitu tanda bahwa ,perjanjian -telah mengikat; di N ias: bobo mibu, pengikat ranubut; di kepulauan Men'tawai: sesere, berasal dari sere yang berarti mengikat; di Sulawesi Selatan: passikkoq berasal dari sikkoq yang berarti mengikat; di kalangan suku Tobelo di Halmahera : tapu, yang berarti: jangkar; di kepulauan K e i: mas aye, mas pengikat; dalam bahasa Jawa : panjer dan pa- ningset alat untuk mengikat (dari perkataan singset) , dalam bahasa Sunda: panyangcang, juga berarti alat pengikat, selanjutnya:tanda, cengkerem dan perkataan3 serupa itu. Hadiah rm menjadi milik kerabatnya, atau orang tuanya, atau si perempuan sendiri. Se­kali tempo rupa2nya hadiah pertunangan dan sebutannya ini dida- sarkan atas tujuan la in ; demikianlah di kalangan suku Toraja, yang menyebutnya pujonpo dan di Bali, di mana sirih peserta 'hadiah

itu disebut basé panglarang, perkataan2 mana berarti: alat untuk mencegah (orang2 lain jangan sampad mengawin pem udi itu) . Hadiah pertunangan selurilhnya di Bali biasanya disebuit paweweh begitu saja, artinya pem berian; di desa T nganan Pagringsingan pertunangan itu disebut masawen, artinya : menaruh tanda larangan (dengan jalan menghidangkan sirih) ; buah pikiran yang sama ter- kandimg juga dalaun perkataan pou gossi di kalangan T o Lainang di Sulawesi Tenggara. Sekali tempo perhiasan yang telah diterima- kan kepada orang tuanya pemudi itu sesudah pelaksainaan perkawi­nan dikembalikan, maka sedemikian itu disebut petaruh pertunangan (verlovmgspand) (Krinci). Tanda rasan orang2 R ejang adalah bagian pertama daripada hadiah pertunangan yang diterima oleh si- pemudi sebelum ia memberikan jawabannya dan harus dikembali- kaninya bila ia menolak peminangan, maika dari itu disebutnya juga gadai. Sudah barang tentu peraiSaan terhadap daya khasiatnya barang hadiah sedemikian itu sudah berkurang dan tanda itu berobah arti­nya menjadi b u k t i, bahwa pertunangan sungguh2 sudah ter­jadi ; tapi menurut pengalaman janganlah ldkas2 menganggap, bahwa kepercayaan 'terhadap daya2 khasiat itu sudah lenyap. Keper- cayaa-n itu di mana2 tetap ada artinya, bilamana pertunangan men­jadi batal dan karenanya harus diurus pembatalan itu.

Bilamana pertunangan itu untuk mereka yang belum akil baliq, maka sudah barang tentu yang berbuat ialaih orang tuanya atau ke­pala2 kerabatnya : dalam halnya mereka yang sudah akil baliq, maka biasanya mereka yang bersangkutan ada hak bersuara.

A 1 a s a n untuk bertunangan itu dapat amat ber-beda2. Orang dengan segera menghendaki sudah adanya kepastian akan perkawin­an yang diinginkan ; ter-kadang2 orang mendapait pertolongan dari ba'kal menantunya ; di mana pergaulan kelamin di kalangan pem udi- sebelum pertunangan ada bebas, maka dikehendaki supaya pemudi itu segera menjauhkan diri dari pergaulan itu, dan selanjutnya ka­rena pertimbangan2 lain2 lagi yang bertalian dengan keadaan sosial. Biasanya berhubungan dengan pertunangan ini diadakan perjamuan makan, di mana sanaik-saudara2 turut duduk berhadir, sedangkan per­tunangan diberitahukan kepada penghulu2 masyarakat agar supaya masyarakat turut mengikuti juga peristiwa hukum baru ini dan un­tuk mendapat jaminan perlindungan hukum dengan jalan pem- bantuannya penghulu2 tadi. Pertunangan itu, lebih2 orangnya yang bersangkutan, dalam bahasa Indonesia disebut tunangan, di Bali : buncing, dalam bahasa Jawa : pacangan dan seterusnya. Meman- cang anak peremuan yang masih muda umurnya untuk dipinangkan

(misek) dengan anak laki2 yang tertentu - semacam pertunangan di muka - di kalangan suku Dayak Ngaju disebut mamupuh.

Di beberapa lingkungan2 hukum mereka yang berkepentingan da­pat memaksa dengan jalan istimewa, yaitu dengan cara „memi- nang dengan paksa" sehingga dengan demikian hampir tak dapat disebut ,,meminang” lagi. Di kalangan suku Dayaik Ngaju misaJnya si pentnda naik tangga masuk rumah si pemudi dengan membawa hadiah yang berharga dan ia tidak pergi lagi daxi situ, sebelum dimu- fa'kati bakal perkawinannya, atau sebelum di'bayar denda yang harga- nya sama dengan hadiah tadi. Dalam hal ini perkawinan seketika di- adakan tanpa pertunangan. Sekali tempo pemudi juga dapat me­maksa supaya dikawin, ialah dengan jalan mengurung si pemuda dalam rumahnya dan membabairkan barang2 hadiah, itupun bilamana ia.sudah hamil. Sepasang anak muda memaksa ke arah perkawinan (antara lain di kalangan Toraja) dengan jalan terus tinggal ber- kumpul satu sama lain di waktu pagi2 dalam rumahnya si pemudi.

Sudah barang tentu pada saat terlaksananya pertunangan maka seketika berlaiku aturan2 mengenai larangan perkawinan dan kecen- derungan perkawinan : lairaragan berkawin dalam lingkungan (bagi­an) clannya sendiri (exogaimie), larangan untuk mengadakan hu­bungan perkawinan yang berttmbal-balik, larangan2 mengenai antara pupu2 kesanak-saudaraan mama yang tak boleh berkawin satu sama lain, larangan berkawin dengan bini yang sudah 'tercerai daripada sesama anggauta2 clan, kecenderungan ke arah anak perempuannya sa>udara laki2 ibunya, yaitu ke arah perkawinan „cross-cousin (per­kawinan anaik saudara laki2 dengan anaik saudara 'perempuan) se­gi satu, desaikan supaya berkawin dengan pemudi dari dusunnya sen­diri, dan seterusnya. -Tambahan pula di banyak wilayaih seorang sau­dara perempuan yang muda tidak boleh kawin sebelum saudaranya perempuan yang lebih tua sudah kawin. Larangan2 sedemikian itu adalah keras benar dan harus dijalamkan, atau dapat dicabut de­ngan jalan pembayaran adat, yang menjadikan tawarnya akibat2 buruk yang ditakuti itu. Demikianlah ter-kadang2 dengan mudah (dan ter-kadang2 tak mungkin) berkawin dengan seorang sanak-sau- dara dari lain cabang kerabat dalam sesama lingkungan bagian clannya yang exogaam, sedemikian rupa sehingga sejak saat itu hanyalah cabang kerabat itu saja yang exogaam, bukannya lagi bagian clan yang lebih besar itu ; untuk itu perlu diadakan pemba­yaran2 istimewa, dan perkawinan itu juga dengan terang2an disebut penkawinan dengan membelah golongan yang exogaam (pe- cah suku, Rej., mcrubuh sumbai, Pas. dan seterusnya).

A kibat pertunangan itu ialah per-tama2, bahwa satu fihak terikat perjanjian untuk berkawin dengan fihak lainnya ; tapi paksaan langsung untuk berkawin adalah jarang sekali terdapat. A k ib at2 hukum lainnya daripada pertunangan itu ialah : tim bulnya keharusan mem berikan hadiah2 yang am at .ber^beda2 m en uru t setempat, jadi : bilamana tidak ada pem berian hadiah maika pertunangan dibatal- kan ; perlindungan terhadap si perem puan su-paya terhindar dari pergaulan kelamin yang bebas, serupa caranya dengan terhadap pe­rempuan yang telah 'berkawin (tapi bersetubuh dengan pem udi yang bertunangan tidaik di m ana2 tempat disaimakan dengan zinah) ; m ulai tim bulnya (ter-kadang2) pergaulan segan2 antara m en antu lelaiki dan kedua mertua.

Pembatalan pertunangan dengan ja lan perm ufakatan satu sama lain adalah urusan kerabat dan urusan masyarakat.

Yang dianggap sebagai pem batalan pertunangan dari satu fihak (eenzijdig), m ungkir (Ind.) , ialah. baik m engurungkan perkawinan dengan jalan m emberikan alasan2 yang patut kepada fihak yang lain, m aupu n mengundurkan diri dengan tiiada sebab2nya yang di­anggap patut. Yang bersalaih karenanya kehilangan tandanya. atau ia harus mengembalikannya berlipat, atau harus m em bay air denda pe­langgaran lainnya. Jumlah wang pembayaran itu ditetapkan juga di waktu pertunangan. Ini disebut -dalam sebua'h buku kecil tentang M inangkabau : kecil tanda gedang ikatan : hadiah pertunangan se- kecil itu mengakibatkan (bila pertunangan batal) keharusan untuk membayar denda yang lebih besar. Bilamana kedua fiihak dianggap iaima salalinya, maka di mana2 sebanyak m ungkin dipulihkan ke araih keadaan semula (tanda dikem balikan begiftu saja, da-n sebagainya) .

Dalam hukum Islam tidak ada pertunangan sebagai aturan hu­kum, jadi hakim agaffna tak tahu-menahunya pula. A tu ran2 hukum untuik orang2 Indonesia Kris-ten biasanya m engandung juga suatu peraturan tentang pertunangan ; tapi undang-undang dalam Staats­blad 1933 no. 74 tidak.

Pada hari yang tertentu dilangsungkanlah perkawinan itu. D alam lingkungan hukum m anapun juga tidak dapat dengan saksama di- tunjuk saat manakah saat terjadinya perkawinan itu ; apakah pada saat menerimakan hadiah2 perkawinan yang tertentu (di Sulawesi Selatan) , apakah perarakan kemantin laki2 ke rumah kem antin pe­rempuan dengan diirm gi oleh banyak orang dan berr-bagai2 barang2 ; tentang pertemuan dengan upacara daripada kem antin laki2 dan perempuan, penyelenggaraan pujaan dan serapah2, m akan ber-sa- ma2 (pembaiharuan hubungan di antara daya2 yang hidup) , pembaya-

ran jujur, berkumpul sebagai suami dan isteri, itu semuanya adalah penstiwa2 yang di pelbagai wilayah2 ternyata termasuk sebagai saat pelaksanaan perkawinan. Sebaliknya hulkum Islam dan hukum Kris­ten ada satu saat tertentu yang dianggap sebagai saat pelaksanaan perkawinan itu.

P e r k a w i n a n l a r i b e r s a m a (w e g 1 o o p jj u w e - I ij k ) . Bakal sejodoh lari bersama dengan tiada peminangan atau pertunangan secara fomieel, ialah .penkawinan lari bersama atau sama2 melarikan diri (wegloophuwelijk of vluohthuweliik), maka hal mi, sudah cara umum dalam susunan 'kesanak-saudaraan yang berhukum bapa, dan juga terdapat dalam wilayah2 berhukum ibu-bapa, malaihan juga yang berhukum ibu. Maksudnya ialah untuk menghmdarkan diri dari ber-bagai2 keharusan2 sebagai akibat per kawinan pinang, lebih2 untuk menghindarkan diri dari rintan-an= dari fihak orang tua dan sanak-saudara2. Tapi perbuatan itu tidak selalu sungguh2 dicela oleh permilinya. Keduanya meninggalkan se pucuk surat atau suatu benda atau pula sejumlah wang d a b * rumahnya si pemudi (pemnggalan, Lampung), lalu menvelamatkan din di rumah seorang sanaJt-saudara atau di rumah seorang p c ^ uJ" masyarakat, dan perundingan* mengenai „jujur" dan sebagainya dimulai atas dasar kenyataan sudah adanya peukawinan itu (walau­pun .pergaulan suami-isteri ter4adang2 ditunda, dan perundingan2 mungkin menghasiLkan : „perkawinan ambil anaik" (mLijfhuwelijk) ). Sdkali tempo — misalnya di kalangan2 suku Rejang di Lampung dan di kalangan beberapa suku Dayalk — rupa2nya penkawinannya masiih juga dapat dicegah oleh kerabat si pemudi (di mana si pe­muda harus aikan menumpang dalam rumahnya). Karena perkawi- nan lari bersama ini, maika acapkali -pembayaran2 perkawinan (jujur, .pemberian perkawinan dan sebagainya) menjadi kurang; tapi 'ter-<kadang2 (di Bali misalnya jujurnrya tetap sama tingginya, atau ter-.kadang2 malahan diinginkan itambahan pembayaran lagi (Lampung). Di Sulawesi Selatan perbuatan lari bersama itu adalah pelanggaran adat (adat-deliot), penkawinannya baru dilaksanakan kalau sudah dan ,<li waktu diadaikan perdamaian. Walaupun demiki­an untuk kepentingan nnak"nya y;mg laliir scsudaK perkawinan, diakui juga akibat2nya hukum daripada pergaulan hidup si lelaki dan si perempuan dalam masa antara lari bersama disiisul dengan berkawinnya secara Islam, dan saat perdamaiannya dengan kerabat pemudi, masa mana dapat berlangsung agak lama.

Yang disebut p e r k a w i n a n b a w a l a r i ( s c haak- h u w e 1 ij k) ialah ter-kadang2 : lari dengan seorang perempuan yang sudah ditunangkan atau dikawinkan dengan orang lain, ter-ka-

dang2 raembawa lari perempuan dengan paksaan. Hal yang pertama ini khaibarnya lerda-pat misalnya di Kalimantan; si pembawa lari di- harusikan membayar denda kepada fill2k yang tersinggung, dan se­lanjutnya harus membayar pembayaran3 perkawinan biasa. Hal yang kedua ini adalah maksud „perkawinan bawa lari” misalnya di Lam­pung dan Bali. Acapkali bedanya dengan perkawinan lari bersama sangat sukarlah untuk ditentukan. Bilamana pemudi itu dibawa lari sungguh-, maka si pemuda itu dapat dibunuh sebelum ia sampai di tempat sembunyiannya atau di tempat perlindungannya. Sesudah sampai di tempat perlindungannya itu, maka sempa perkawinan lari bersama, diselenggarakan upacaranya, yaitu menerimakan jujur- nya, semuanya itupun bilamana sudah terjadi pergaulan secara su- ami-isteri. Jalannya penyelesaian adalah sama dengan halnya per­kawinan lari bersama ; dalam hal ini maka acapkali pembayaran- nya amat tinggi. Karena itu di Sulawesi Selaitan pelarian pemuda dan pemudi biasanya disebut „bawa lari” (schaking), dan kaiena perbuatan itu senantiasa menimbulkan perlawanan hebat dari fihak sanak-saudara si pemudi, yang lalu memperoleh hak untuk membu- mih si pemuda.

B. Perkawinan- jujur, — mengabdi, — bertukar, — mengganti, — meneruskan (bruidschat —, dien ruil —, vervang —, en vervolg­huwelijk); perkawinan dengan pembayaran2 lain atau tanpa pembayaran ; perkawinan ambil anak (inlijfhuwelijk).

Tentang hubungan bemtuk perkawinan dengan susunan sanak- saudara maka hal ini sudah dibicarakan dalam uraian yang sudah2,. di lebih dari satu ruangan ; berhubung dengan itu per-tama2 akan di- tinjau di sini beda2nya, macam2 perkawinan yang tercantum di atas. Tapi terlebih dulu 'harus di sini dipasang peringatan umum, ialah bahwa rupa2nya di seluiruh Nusantara karena upacara peralihan (overgangsrite) yang terpenting ini, terjadi pertukaran2 hadiah. vang tertentu. Di mana2 da/lam pada itu ada pembayaran2 menurut naluri di waktu perkawinan, terdiri dari wang atau benda ; arti isti­mewa daripada masing2 hadiah itu adalah jauh daxi pada di/ketahui orang, kebanyakan juga sudah menjadi samar2 dan lenyap dise* babkan oleh perobahan2 yang mendal&m dalam susunan sosial, tapi di tempat2 lain arti ini masih ada terang dan bening. Perkawinan tanpa pembayaran adat apapun juga adalah suatu bentuk istimewa seperti „perkawinan ambil anak”, atau, rupa2nya suatu perkecuali­an yang jarang sekali a d a ; yaitu suatu gejala daripada proses kepribadian yang kuat atau daripada pengaruh agama Kristen. Ju-

ga di sini oleh karenanya ada bahayanya menyama-ratakan, pula di sini dibutuihkan peristilahan yang hati2.

Di antara ber-bagai2 bentuk2 perkawinan adalah kebalfkan yang pa­ling luas artinya : di satu fihaik perkawinan untuk mempertahankan susunan sanak-saudara2 berhukum bapa yang konsekwen, yaitu si perempuan dilepaskan dari golongan sanak-saudaranya dan berpisah (sebagai anggauta keluarga semenda) ke golongan sanak-saudaranya si suaxni, anak2nya termasuk dalam clannya, cara perkawinan lain tidak ada, misalnya : di kalangan suiku Batak Toba ; berhadapan de­ngan itu (di lain fihak) perkawinan yang mempertahankan susunan sanak-saudara2 yang konsekwen berhukum ib u ; si isteri tetap tinggal dalam golongan penmiliroya (suaminya tetap tinggal di golongannya sendiri) anak2nya termasuk clannya si isteri, perkawinan secara lain tak ada, misalnya : orang2 Minangkabau. Perkawinan yang pertama itu selalu disertai dengan pembayaran2, sedangkan orang insyaf be- nar2 akan maksudnya itu, yaitu dengan demikian memiing-kmkan ber- alithnya si perempuan, dan melepaskannya beserta anak2nya nanti dari hubungan clannya, membebaskan dia dari kekuasaan dewa- rumahnya (B ali). Oleh karena itu boleh jadi sifcc rangkap azi-ip*- da perkawinan ini dapat dipandang demikian : dari s a t u sudut, pe­rempuan dan pembayaran2 lainnya itu adalah bagian ( an pusa daripada lalu-lintas clan, yaitu pertukaran nilai (waardenruil), yang menggerakkan segala sesuatu ; dari sudut lainnya, pembayaran de­ngan mata wang dan barang2 itu adalah syarat „magisci untu melepaskan perempuan itu dan mengalihkannya (bersama anak-nya) dengan üada mengganggu keseimbangan2 „.kosmisch dan sosial. Perkawinan yang tersebut di nomor dua nu (berhukum ibu) barang- kali juga disertai dengan pertukaran hadiah2 tapi si Pe™m'P“ * dalam pada itu bukannya bagian daripada pertukaran nilai, dia tidak dilepaskan dengan syarat barang2 yang dipindahkan tangan, per­tukaran hadiah2 dalam suatu perkawinan itu dalam masyarakat- yang tersusun berdasarkan hukum ibu adalah suatu urusan yang tak se­berapa artinya. P enyerah an wang dan barang- dari fi a suaini pada kerabatnya a isteri dengan maksud memasukkan m .sten ke dalam golongan si suami, sedemikian rupa sehingga anak-nya yang akan lahir sebagai angkatan mudanya bagian clannya s. suami untuk

meneruskan clannya, itulali j u j u r T U ' , „ h ayang se-itepat2nya (dalam arti tekhnis hukum adat). ^ r t u ta a n £ ' rang2 atau hadiah2 lainnya selain dari pada itu, yang diadakan k rena perkawinan, seharusnya diberi sebutan dengan istilah lain^ ja ­di perkawinan jujur itu (untuk mempertahankan susunan huk

bapa) adalah perbuatan tunai (kontante handeling) dalam arti ter­sebut di atas (hal. 106). Perkawinan untuk mempertahankan susunan hukum ibu dapat disebut (negatief) perkawinan tanpa pembayaran2 (dan tanpa lain2nya) ; si suami diizimkan masuk kepada (kerabat) isterinya, dengan tiada beralih m enjadi satu dengan golongannya , si perempuan dengan anak2nya tetap berada dalam lingkungannya sendiri, si suamipun begitu juga.

Suatu kebali'kan dalam bentuk2 perkawinan dengan tidak sebegitu jauh maksudnya, ialah : di satu fihak .perkawinan ju ju r dan di lain fihak perkawinan tanpa jujur, ,pada hal 'ke-dua-nya d a l a m lingkungan susunan sanaik-saudara berhukum bapa, yaitu p e r k a ­w i n a n a m b i l a n a k (i n I ij f h u w e 1 ij k ) , yang (kadang2) bermaksud mengambil si suami itu sebagai anak laki2nya dan supaya (selailu) anak2nya si isteri yang akan lahir meneruskan clannya bapanya si isteri, yang berhukum bapa (hal. 178). Dalam pada itu sekali tempo orang dapat membaca, bahwa si lelaki dile- paskan dari clannya secara seperti apa yang terjadi diperkawinan jujur terhadap si perempuan (Bali, Sumba) , yaitu dengan pemba­yaran jujur untuk kemantin lelaki (bruidegomschat) ; kadang- juga dapat terbaca, bahwa si lelaki diam bil anak (adoptie) dan masuk. dalam clannya si perempuan (hal. 1 84 ); si lelaki (orang luaran atau orang sesama anggauta masyarakat) kebanyakan diizin- kan masuik ke kerabat si isteri (yang berhukum bapa) tanpa pemba­yaran suatu apa. Di halaman 178 bagian atas telah dibentangkan, bahwa bila perkawinan jujur ber-ulang2 terjadi sama seringnya dengan perkawinan am bil anak terjadi, maka -hal ini mengakibat- kan susunan sanak-saudara segi satu ber-ganti2 (alternerend een­zijdige verwantenorde) dan bila perkawinan am bil anak ini men­jadi lazim, maka hal ini pasti mengakibatkan susunan hukum ibu (yang tidak berarti ditetapkan di sini, bahwa susunan huikum ibu itu selalu secara demikian terjadinya, walaupun deng.in cara demiki- anlah timbulnya susunan hukum ibu di Saparua dan di kalangan suku Semenda di Palembang, suku mana berasal keturunan dari suku Pasemah, yang berhukum bapa) .

Kebalikan yang mengandung maksud paling sempit yaitu ; di satu fihak perkawinan jujur yang „tunai”, di lain fihak suatu perkawi­nan yang pembayarannya ditunda, atau, suatu perkawinan di mana suami dan isteri sudah memulai hidup berkumpul, tapi si suami be­kerja mengabdi kerabat .mertuanya sampai jujurnya terbayar lu- nas ( p e r k a w i n a n m e n g a b d i =* d i e n h u w e l i j k ) , atau di lain fihak suatu perkawinan dalam suatu susunan, di mana

diperbolelikan mengadakan hubungan2 perkawinan bertimbal-balik (jadi^dt mana tidak ada „asymmetrisch connubium"), di mana se- akan2 pembayaran2 jujur yang harus dipenuhi bertimbal-balik di- perhitungkan satu dengan yang lain sehingga menjadi hapus ke- duaanya ( p e r k a w i n a n b e r t u k a r — r u i l h u w e - 1 ij k) ; atau, pada akhirnya, bila seorang lelaiki dari sesama clan meneruskan perkawinannya saudaranya laki2 yang mati (sesama ang­gauta clan), atau, bila seorang perempuan mengganti perkawinannya saudaranya perempuan yang mati, kesemuanya tanpa pembayaran jujur baru ( p e r k a w i n a n m e n g g a n t i d a n p e r ­k a w i n a n m e n e r u s k a n = v e r v a n g - en v e r v o l ® , h u w e 1 ij k ). Dtia (tiga) jenis pokak bentuk perkawinan, yang telah dibicarakan sampai sekarang in i: perkawinan jujur (berhu­kum bapa), perkawinan tanpa atau dengan lain pembayaran (berhu­kum ibu) dan perkawinan aunbil anak (berhukum bapa), kesemua­nya ada pada susunan sanak-saudai'a segi'satu, dengan bagian clan- nya (kerabatnya) sebagai masyarakat hukum. Di mana bagian clan itu tidak (tidak lagi) merupakan masyarakat hukum, namun di situ dapat dikenal kembali suatu susunan sanak-saudara berhukum bapa, misalnya dalam hal larangan2 perkawinan dan dalam hal cara2 me- warisnya nama, kedudukan dan barang2 (Ambon, Bali), walaupun dalam pada itu ada corak2nya hukum ibu-bapa, misalnya persamaan hak si suami dan si isteri atas barang2 yang diperoleh dalam perka­winan ; dalam hal ini terdapat juga: perkawinan jujur beserta bentuk- yang termasuk situ, pula perkawinan ambil anak.

Bilamana dalam susunan berhukum bapa titiknya pangkal: dengan jalan >,jujur anak- (jadi sungguh2 semua anak2) beralih ke­pada kerabat si suami —, dengan jelasnya di Sulawesi Tengah titik­nya pangkal ialah : dengan jalan pembayaran jujur (yang juga perlu agar supaya anak2nya itu tidak menjadi pandir) maka si su­ami mendapat hak atas anak2 yang sama dengan haiknya si isteri atas mereka (jadi tergalang di sini susunan berhukum ibu-bapa) ; bila tiada pembayaran jujur, maka anaik2 tetap berada sama sekali di luar kerabat si suami. Itulah sebabnya mengapa misalnya sanak-saudara si suami sematinya suami itu dengan lekas2 melunasi jujurnya, bi* lamana jandanya akan kawin lagi, yaitu untuk menjaga jangan sampai suaminya nomor dua — dengan jalan seketika membayar penuh jujur tadi — mengambil untuk dirinya anak2nya suami per­tama itu.

Namun dalam kebanyaikan daerah2 yang berhukum ibu-bapa, ma­ka funiksi bentuk2 perkawinan yang dibicaraikan tadi, sudah lenyap dasarnya. Walaupun demikian hampir di mana2 terdapat aturan pem-

bayaran2 perkawinan, yang beberapa d> antaranya past, bers.fat ju ­jur, yaitu sisa daripada susunan hukum bapa d . zaman ampau ; atau terdapat penukaran hadiah* yang berasal dar, susunan clan dulu- kala ; kese^uanva itu dalam susunan hukum ibu-bapa yang berlaku pada sekarang s u d a h m e m p e r o l e h arti sendui dan t o lam, yang hanya dapat dimengerti dalam lingkungannya send.ri^ Pembayaran- itu seharusnya tidak d i s e b u t dengan istilah : jujur. Bilamana due- rimakannya kepada si perempuan pribadi, maka pembayaran- itu di­sebut p e m b e r i a n p e r k a w i n a n ( h u w e l i j k s g i f t ) , sebagaimana mas kawin b e r a s a l . d a r i hukum Islam, yang telah terte- rima (gerecipieerd) oleh orang2 Islam di mana* ; selanjutnya dapat disebutnya hadiah perkawinan atau pembayaran perkawinan, walau­pun dalam istilahnya Pribumi tetap mengandung kenangan akan „ ju ­jur” sebagai bagian daripada perbuatan tunai (tukon, J.) .

Mengenai beberapa dari bentuk2 perkawinan yang tersebut tadi perlulah diadakan peringatan2 lebih lanjut. Istilah2 untuk jujur dalam arti tekhnis ialah misalnya : beuli niha (Nias e atan) , unju (Gayo) , unjung, sinamot, pangoli, boli, tuhor (Batak), jujur (Tapam ili Selatan dan Sumatra Selatan), seroh (Lam pung), kule (Pasemah), wilin, beli (M aluku), belis (T im or), patukun luh (Bali) .

Sepanjang istilah2 tadi berasal dari a'karnya perkataan2 yang m e­ngandung m aksud: „beli” , „wang pem belian" (danpada tanah), maka sedemikian itu menunjukkan ciri yang bersama (yaitu ciri yang menyebabkan kedua perbuatan - perkawinan ju ju r dan per­janjian tanah - disebut perbuatan2 tunai) : ialah melepaskan se­suatu bagian dari suatu hubungan kehidupan, yaitu suatu lingkungan kehidupan, dengan jalan suatu perbuatan yang mencegah bakal kelemahan dan ba'kal kerusakan dalam keseimbangan (evenwichts- verstoring) sebagai akibat pelepasan bagian tadi.

Istilah2 „wang antaran” di daerah Melayu dan „tu k on " di Jawa adalah ter-kadang2 dalam arti pada masa sekarang bermaksud : pem­bayaran2 perkawinan yang tidak ada (tidak ada lagi) hubungannya dengan berlakunya „jujur” sesungguhnya. Pemberian2 pnam ee di Aceh, pekain di kalangan suku2 Dayak di Kapuas U dik, sunrang dan sompa di Sulawesi Selatan, hoko di Minahasa, kesemuanya itu rupa2nya adalah (menjadi) pemberian perkawinan (huwelijksgift) belaka.

Pembayaran2 perkawinan daripada orang2 Dayak pada umumnya bersifat pertukaran hadiah2 dan penguat bertimbal-balik, tanpa daya pelepas yang ada pada jujur ; malahan tali pusernya si suami

yang telah dipotong dan tersimpan, sesudah pembayaran2 perka­winan dikumpulkan jadi satu dengan potongan taili puser si isteri (dan ini perbuatan tidak terbalrk) untuk menyatakan kerukunaimya dengan jalan kebendaan ini. Barang2 yang dkerimakan sebagai pembayaran perkawinan harus juga disimpan jadi satu dengan benda-2 tersebut di atas. Juga di akhirat anak2 tetap'kuinpul ibunya, se-tidak2nya mereka ditaruh dalam peti penyimpanan tulang2 ibunya, melainfkan bila si suami menambah lagi dengan pembayaran isti- mewa (di suku Maanyan di-sebutnya pangidaran para) hal mana ber- akibat bahwa tulang-’ anak2nya dikumpulkan dalam peti penyim- pan tula*;g2 si bapa. Pembayaran i t u l a h barangkali sungguh2 harus disebut: jujur.

Pemberian perkawinan (huwelijksgift), begitupun jinamee di Aceh, sunrang di Sulawesi Selatan dan mas kawin di kalangan Is­lam ter-kadang- adalah syarat sahnya perkawinan, walaupun di Su­lawesi Selatan pembayaran itu dapat dilaksanakan dalam angan2 saja (fictief) dengan jalan meminjam sunrang (sunrang niin- rang) itu , dalam perkawinan jujur maika jujurnya itu sukar untuk dapat disebut syarat mutlak buat sahnya perkawinan, tanpa- jujur tidaik ada peikawinan jujur. Ttikon di Jawa itu tidak pernah se-kali- mengandung inaiksud lain dari pada suatu pertolo­ngan dari fihak lelaki dalam pengeluaran belanja untuk pesta per­kawinan, demi'kiarclah dianggapnya orang.

Jujur (dan pembayaran- pevkavanan lainnya) di mana2 mem­punyai cora'k setempat, yang disebabkan oleh'. perbedaan dalam su­sunan jujur, pengaruh bedanya kelas, caranya mengumpulkan dan mem-bagi2 jujur itu dan perbedaan dalam banyak keadaan2 lain lagi.

Acapkali jujur itu terdiri dari benda2 yang tinggi nilainya da­lam arti khasiat „magisch" (tengkoralk2 hasil pengayauan, budak2, tanah, porselein, tenunan, mas); ter-tkadang2 dan kemudian terdiri dari sejumlah wang. Karena benda2 yang dipergunakan untuk pembayaran jujur itu dinilai ekonomis (wang), maka jujur itu mendapat si fat yang memedihkan hati, yaitu jujur lantas disa- makan dengan wang pembelian dan perempuan disamakan dengan barang yang dibeli, walaupun anggapan kolot — ialah bahwa se- olaih2 perempuan dalam daerah2 berhukum bapa karena perkawinan- jujur itu sebagai „barang belian” berkedudukan rendah dalam masyarakat — di masa sekarang kenyataannya sudah lenyap. Usaha2 melarang dan mengesampingikan pembayaran jujur itu dalam ke- tertiban hukum gubernemen — usaha2 arana bertalian dengan ang-

ga,pan2 salah tadi - di mana* tak b e r i i a s i l dan tak menghapuskan aturan jujur itu dari ketertiban hukum di masyarakat- atau dt ke- 1»*» atasan. Apakah tarip= yang disusun oleh fihak raja- dan fihak gubernemen pernah ada pengaruhnya atau masih erpengaru 1 , m a a hal ini talk dapat diketahui dengan pasti. H am pir se a tl ao ia I1 tentu daripada jujur ada penguiitukannya sen iri , yaitu ai a rang2 itu diberikan se-mata2 untuk (golongan ) sana sau ara ter tentu daripada si pemudi (dengan ma'ksud menguraikan lepas pe mudi itu dari hubungan2nya satu demi satu, -dan dengan ja an demikian se-akan2 memulihkan >kerugian2nya sampai pada perinct annya), maupun seperti dikatakan bahwa pembayaran2 itu dicukup! untuk apa yang dikatakan „menaïk tangga , „alat pengikat kera­bat2” , „pengganti pisau pemotong tali puser si perempuan di wak­tu lahirnya” dan sebagainya.

Jumlah wangnya adalah di mana2 ber-beda2 m enurut derajat si- perempuan (hal. 38). Malahan di daerah yang perbedaan kelas ku- rang nampaknya, namun orang2 kebanya'kan tidak boleh membayai dan menerima jujur yang lebih dari pada yang sudah ditetapkan buat golongan mereka ; ini adalah dianggapnya pelanggaran terha­dap haik2nya orang2 besar secara tak halal, hal mana membahaya- kan ketenteraman masyaraikat. Ter-kadang2 jujur itu besar-kecilnya jumlahnya tergantung dari besar-kecilnya jujur yang dahulu di- bayarkan untuk ibunya si pemudi. Jujur untuk perawan adalah selalu lebih tinggi dari pada jujur untuk perempuan yang telah tercerai atau untuk janda. Dalam lingkungan hubungan2 perka­winan segi satu seperti di kalangan orang2 Bataik, di M aluku dan di kepulauan Tim or, maika dalam perkawinan yang diselenggaraikan tidak dalam lingkungan hubungan2 kesanafc-saudairaan semenda yang sudah ada — jadi mengafcibatikaTi hubungan sanak-saudara semen­da yang baru — maka dalam hal ini jumlaihnya ju ju r yang harus dibayarkan ada sangat lebih tinggi dari pada ju ju r biasa. Bila ke­adaan2 sosial berubah sedemi'kian sehingga bahan2 yang asli daii- pada suatu jujur tidak dapat dihasilkan lagi (tengkorak2 hasil pengayauan, budaik2 dan seterusnya) atau sehingga ju ju r itu m e­nurut perimbangan sudah menjadi ketinggian sampai tak dapat di- pertahankan dalam arti ekonomis, maka amat acapkali dipertahan- kanlah sampai lama jum lah2 dan bahan2 lama itu, tapi hanya da­lam p e r k a t a a n 2 saja, dan pada kenyataannya digantinya dengan 'benda2 yang kurang nilainya atau benda2 lain (barang2 ramban, Lampung) atau dengan w a n g : kebiasaan sedemikian itu dapat juga ada pertaliannya dengan penguntukan khusus daripada bagian2 tertentu daripada jujur itu.

Suatu jujur sesudah „pembawaan lari” adalah lebih tinggi, se­sudah „pelarian bersama” . seringkali lebih rendah, tapi juga ’ada- kalanya lebih tinggi, dibandingkan dengan jujur biasa.

Mengenai siapa yang berusa’ha mengumpulkan jujur dan siapa yang menerimanya, maka hal ini sudah barang tentu lagi ada hubu­ngannya erat dengan -keadaan masyarakatnya pada umumnya ; ter-ka- dang2 suatu golongan besar sanak-saudara2 (clan seluruhnya atau suku) memberikan sumbangannya untuk itu, tapi ter-kadang2 hanya orang tuanya si suami yang menghasiikan jujur itu seluruhnya. Di kalangan pelbagai suku2 bangsa terdapat pengaruh bertimbal-balik yang selalu berlaku dan dipelihara baik2, antara : ikut membayar jujur, hak atas ikut menikmati jujur dan hak atas meminta bantuan untuk pembayaran jujur; ini adalah juga : bagian dari­pada lalu-lintas clan.

Di samping akibat hukum daripada pembayaran jujur (kepin- dahan si isteri ke golongan sanaik-saudara2 si suaoni dan masuknya anak2nya ke golongan situ) timbullah akibatnya keuiasyajafkatau, fa- lah kewajiban akan pembayaran kembali jujurnya bila perkawi­nan terputus, hal mana menyebabkan kokohnya ïkatan perkawinan itu.'

Tentang pengembalian sebagian daripada pembayaran, (misalnya menurut khabar dari Pasemah dan Bali : sebagian daripada jujur, di Aceh menurut kebiasaan sebagian daripada hadiah perkawinan, hal mana juga terdapat di Minahasa dan di tempat2 lain, pula de­ngan sengaja tetap dipinjamnya sebagian daripada jujur atau hadiah perkawinan (misalnya di Pasemah, beberapa suku2 Dayak, Toraja, di Halmahera, Timor dari Jawa), ‘begitu juga pembe­rian kecil setiap tahun dari si isteri kepada kerabatnya asal (Am­bon) , maka kesemuanya itu berarti suatu pernyataan daripada suatu hubungan menerus sesudah perkawinan antara perempuan tadi de­ngan kerabatnya asal — makin mendalam diarti'kan demikian ju­jur itu, sudah barang tentu maikin mendalam pula funksirrya ; dapat juga jujur ku sudah menjadi naluri (traditie) yang kosong.

Hadiah pembalasan dari fihak perempuan, yang misalnya dikha- barkan dari Sumba (sepotong kain bereulamkan benang mas, seekor lembu, seefcor kuda) dan dari Roti (hewan2 dan kain2) barangkali berarti sebagai bagian daripada pertukaran barang3 dalam lalu-lin­tas, seperti juga ragi-ragi di kalangan suku Bataik Toba. Hadiah pembalasan yang ber-ulang2 terdapat di Kalimantan rupa2nya harus diartikan sebagai bersifat sama dengan pembayaran2 biasa dari fihak

lelaki, y a itu : memulihkan keseïmbangan sihir (magisch), pengaruh „m agis" yang menimpa anggauta kera a i a e a , rena ia menyentuh si perempuan.

Tentang barang2 yang dibawakan si perempuan di waktu perka winannya dan dalam lingkungan imbangan2 ber um apa kuat si suami mendapat hak atasnya, tapi di tempat ain tetap 1 si isteri sendiri dan juga adakalanya, tapi jarang, menjadi m ilik bersama - jadi : b a r a n g b a w a a n n r y a ( u i t z e t )dalam arti ekonomis ter-kadang2 merupakan suatu penggantian dar. pada jujur itu : dalam arti hukum adat maka barang bawaan 61 isteri itu sama sekali lain sifatnya dari pada jujur. Barang bawaan ini artinya hampir sama dengan sebagian kekayaan keluarga yang di- hibahkan kepada si pemudi, yang toch ikut mempunyai hak atasnya tapi karena perkawinannya, ia kehilangan hak2 atas kekayaan kelu- arga tadi (hal. 240) .

Sebagaimana telah dikatakan, maka p e r k a w i n a n m e n g a b d i (d i e n h u w e 1 ij k) itu adalah suatu ragam dan pada perkawinan jujur, suatu cara berkawin yang diluluskan ber­dasarkan atas sebab2 yang ipraktis bilamana orang tidak m ampu membayar jujurnya sekaligus (mandinding, Batak ; ering beli, di kalangan Paminggir di Lampung ; nunggonin di Bali, dan sebagai­nya) . Si suami tidak dipungut masuk dalam kerabatnya si isteri . anak2 yang terlahir dalam masa pengabdian itu biasanya termasu golongan sanak-saudara2 si isteri dan bukannya golongan si suami , tapi mereka di belakang pindah ke golongan si suami bila jujurnya kelak dibayar lunas. T api di kalangan Batak T oba, maka dalam per­kawinan mengabdï atau perkawinan menumpang rumah (inwoonliu- welijk) anak2 sekaligus termasuk dalam marga bapanya. Suatu ben­tuk daripada perkawinan mengabdi, ialah disebut ngisiq terdapat di kalangan Paminggir di Lampung, di sini maka jasa si suami terdiri dari pemberian nafaqaih kepada anggauta2 kerabat si isteri. Perka­winan mengabdi di Bali dapat mengandung isi semacam itu juga. Di Tapanuii Selatan terdapat kemungkinan bahwa salah seorang da­ripada anak2 perempuan diberikan kepada kerabat si isteri, bilamana perkawinan diputuskan sebelum jujurnya terbayar, itupun supaya jujur yang kelak akan dibayarkan untuk anak perempuan itu dapat dianggap sebagai jujur untuk ibunya. Dapat disamakan. dengan ini ialah aturan antara lain di kalangan salah satu dari suku2 kecil di Tim or, di mana seorang anak perempuan diberikan kepada kerabat si isteri, bila tiada pembayaran jujur. Di mana pada umumnya tim­bul suatu ketidakmampuan untuk menghasilkan jujur, maka ada-

kalanya perkawinan mengabdi itu dapat beralih menjadi perkawin­an yang lazim sebagai pengganti bentuk perkawinan jujur, dengan akibat2rrya yang mendalam terhadap hukum kesanak-saudaraan yang telah dibentangkan di atas (hal. 178, 196).

P e r k a w i n a n b e r t u k a r (r u i lih u we 1 ij-k) ada­lah lazim dalam lingkungan di mana hubungan2 perkawinan bertim- bal-balik sudah ada; sudah barang tentu hal itu tidak mungkin da- 3am lingkungan „asymmetrisch connubium”. Di mana bentuk tadi ter­larang atau ditakuti dalam lingkungan susunan sanak-saxidara berhu­kum ibu-bapa, maka haruslah orang menyadari bahwa ia di sini men- jumpai suatu bentuk perkawinan yang 'ie\ah tidak terpakai lagi, di mana larangan itu dulu ada artinya. Di Jawa misalnya hal itu tidak •diinginkan dan ditakuti, yaitu rentetan perkawinan2, yang menye- babkan orang tua kedua fihak jadi dua 'kali berhadapan satu sama lain sebagai: orang tuanya kemantin la!ki-perempuan ialah sebagai bésan; suatu kebésanan yang rangkap membawa .kecelakaan. Akan tetapi ter-kadang2 orang sangat cenderung kepada suatu petfka- winan yang menyebabkan bahwa orang tua kedua fihak dua kali menjadi bésannya. satu sama lain (Begelen) asal saja jangan sampai anak sulung berkawin dengan anaik bungsu dan anak bungsu dengan anak sulung. Di Ambon ada (menjadi ?) kecenderungan terhadap perkawinan berganti atau perkawinan bertukai (uisse of ruilhuwelijk) ini, sebagaimana juga halnya misalnya di ka angan T o Lainang di Sulawesi Selatan bagian Timur, di pulau a' u’Irian Barat dan di tempat2 lain lagi. M engenai perkawinan r tu * .

dalam artikata bahwa suami2 menukarkan isteri-nya, ma'a *a sefkali tempo pernah dikhabarkan orang dari K alim antan, a tapi rupa2nya tak penting untuk diindahkan.

Perkawinan seorang lelaki dengan saudara perempuan isterinya yang meninggal dunia, di mana isteri kedua ini tanpa pem jujur se-akan2 menduduki tempat isteri yang pertama, p e r k a w i n a n m e n e r u s k a n ( v e r v o l g h u W e »J )— di Pasemah misalnya disebut timgkat; di Jawa Tenga i Pei -winan dengan ipar perempuannya itu disebut karang widu-

Kebalikan dari pada itu, ialah p e r k a w i n a n me n g g an t i — ( l e v i r a a t h u w e l i j k atau v e r v a n g i u we 1 ij k) — (pareakhon di kalangan Batak Toba, ** j^i^ian anwin anggau di Palembang dan Bengkulen, nyemalang i ^da^se- golongan2 pepadon di Lampung, dan sebagainya) terJa 1 orang janda yang menetap dalam kerabat suaminya yang te Itawin dengan adik laki2 dalqm arti kata menurut „abunya

katori5oh) daripada suaminya yang meninggal unia tadi. Jems, perkawinan ini adalaJi perangai daripada lingkungan hukum apa dan sebagai penyiku (complement) daripada perkawinan jujur. m adalah ter-kadang2 ditujukan untuk mendapat seorang ana 1 terlahir dari janda itu sebagai pengganti menurut u um anpa a almarhum suami tadi (nyemalang negikan, Lampung) Barangka i istilah medun ranjang di Jawa adalah suatu kenangan an ma cam perkawinan itu. Perkawinan serupa ini dapat menja 1 em baga yang ama-t bermanfaat untuk si janda bersama ana nya, tapi juga dapat menjumpai keberatan2 perseorangan.

P e r k a w i n a n y a n g m e m p e r t a h a n k a n k e t e r ­t i b a n h u k u m i b u tidak disertai pembayaran* serupa ju ­jur atau hadiah kemantin. Si suami tetap berada dalam golongan sanak-saudaranya, tapi diluluskan bergaul dalam lingkungan kera at si isteri sebagai urang sumando (M in .), ialaih ipar. D i waktu pelak- sanaan perkawinan ia dijemput ke luar dari rumahnya (dijapuiq, dijemput) dengan sekedar diadatkan upacara untuk meluluskan dia pergi (alat melepas mempelai) dan setelah itu dibawanya „keru- mah”, yaitu ke rumahnya isterinya. Juga diadakan sekedar pemberi- an hadiah2 untuk memperkua* perhubungan perkawinan bertimbal- balik : bako, perhubungan mana diusahakan berlangsungnya terus sejauh mungkin dengan jalan perkawinan2 berikutnya.

Hal p e r k a w i n a n a i m b i l a n a k ( i n l i j f h u w e - 1 ij k ) , telah dibicarakan beberapa kali (hal. 39, 178, 181, 196). Hubungan kesanak-saudaraan biologis daripada anak terhadap ibunya oleh karenanya memperoleh ndlai sosial yang pada umumnya— menurut susunan — ada pada hubungan kesanak-saudaraan de­ngan si bapa. Perkawinan itu antara lain disebut: anggap (Gayo), semando ambil anaq, nangkon, cambur sumbai, dan sebagainya (Sumatera Selatan) , kawin ambil piara (Am bon), nyeburin (Bali). Di kalangan beberapa suku bangsa, maka seringkali si suami itu se- orang-orang dari lain tempat atau seorang-orang berasal dari kelas rendahan, di kalangan lainnya kebanyalkan seorang-orang sesama su­ku bangsa dan sesama kelas. Jarang sekali terdapat terbaca bahwa si lelaki dilepaskan dari golongan sanak-saudaranya dengan jalan sesuatu pembayaran, sebagaimana dalam beberapa hal terjadi di Bali (1000 duit atau satu bantal, dan padi sebagai jujur kemantin lelaki (bruidegomschat)), dan jarang pula terdapat terbaca adanya sesuatu pembayaran buat seorang lelaki yang beralih dari kabisu di Sumba ke kabisu isterinya (hal. 196). Di kalangan golongan2 pepa- don di Lampung, maka seorang penjabait kebesaran adat (penyim -

bang) yang bini tuanya (bini ratu) hanya mempunyai anak2 perem- puan, dapat mempertahankan kebesarannya (negikan) buat cabang kerabatnya sendiri (kxirung) dengan jalan mengawinkan anaknya perempuan secara Ikawin ambil anak itu. Ini dapat dengan jalan : (1) suatu perkawinan yang menyebabkan anak-saudaranya (kawin tegaq-tegi), — atau (2) seorang lain dipungut masuk dalam kerabat si bapa dan sebagai anak menantu laki2 memperoleh kebesaran dan warisanrrya, agar supaya kelak diwariskannya kepada anaknya laki2, tegasnya anak laki2 dari menantu dan anaknya perempuan si bapa tadi (kawin ambil anaq); <pula dapat juga dengan jalan: (3)suatu perkawinan yang menyebabkan si suauni betul beralih ke kera­bat isterinya, ta-pi da -hanya memelihara saja kebesaran dan warisan untuk isterinya dan anaknya laki2 kelak, ialah analk laki2 mereka (feng mirul) ; kemudian dapat dengan jalan : (4) suatu perkawinan yang menyebabkan si suami tidak beralih dari kerabaitnya sendiri ke kera­bat isterinya, tapi hanya diluluskan di situ sebagai penurun anak-cu- cu (menginjam jago). Hanya di kalangan satu golongan, ialah 8uku Sewo Mego, maka exogamie menolaik perkawinan analk sau­dara dengan anak saudara (neefjes-huwelijk). Di kalangan orang2 yang tidak tergolong kelas penghulu2, di mana soalnya hanya untuk meneruskan harta warisan, maka terdapat perkawinan2 serupa itu, tapi dengan naana2 lain; begitu juga di kalangan golongan2 Pa­minggir. Juga di Bali terdapat kedua bentuk ini .bila seorang bapa hanya mempunyai anak2 perempuan yaitu: si menantu laki2 dipu- ngutnya seluruhnya sebagai pendukung hak2, dan di samping itu : si menantu laki2 hanya diluluskan sebagai penurunan anak-cucu buat anaknya perempuan dan kerabatnya. Perubahan perkawinan ambil anak menjadi perkawinan jujur atau perkawinan hukum ibu- bapa (semendo rajo-rajo) adalah mungkin juga, misalnya di Su­m atra Selatan.

Mengenai memasuk'kan seorang gadis ke dalam kerabat suaminya dengan maksud supaya ia bersama suaminya memiliki harta pening- galan inti, yang mestinya kelak dimiliki terus oleh seorang anak pe­rempuan, maka hal ini disebut perkawinan — semendo ngangkit dan menurut khabar terdapatnya di wilayah Semendo di Sumatera Sela­tan ; perkawinan serupa itu rupa2nya juga terdapat di daerah per- batasan Minangkabau dan Mandailing, di mana seorang lelaki dari kerabat yang tak mempunyai perempuan2 lagi sebagai pelanjut2 Su- kunya <ter-kadang2 lantas kawin dengan perempuan Batak dengan pembayaran jujur untuk dengan jalan demikian memasukkan perempuan itu dalam kerabat Minangkabaunya.

Perkawinan2 yang baik kemantinnya perempuan m aupun keman- tinnya laki2 belum balig adalah diperbolehkan menurut hukum adat dalam kebanyakan lingkungan2 hukum ; tapi ternkadang- — seperti di Krinci, di suku Xoraja, di Roti — sedemikian itu -tidak terdapat : di Bali siapa kawin dengan seorang pemudi yang belum balig dapat dihukum. Agama Islam tidak merupakan halangan terhadap perka­winan2 anak2. Acapkali jalannya sedemikian, bahwa bila diingin- kan perkawinan anak2, ma'ka perkawinan secara Islam dilaksanakair lebih dulu (kawin gantung, Ind.) dan baru menyusul perkawinan secara adat seketika sesudah hidup berkuimpul secara suami-isteri telah mungkin. Sesudah segala sesuatunya yang 'telah dikaitakan me- ngenai betapa besar kemungkinan kepentingan2 buat golongan2 sa- nak-saudara yang timbul dari hubungan yang -terselenggara dengan perkawinan itu, maka dapat dimengerti, bahwa ter-kadang2 malahan anak2 yang belum lahir sudah dijanjikan akan dikawinkan dengan. fihak yang diinginkan dan bila sudah lahir dalam umur yang masih muda sudah dikawinkan. Tetapi agama Kristen yang dipeluknya me­netapkan bahwa perkawinan hanya mungkin bi'la kemantin2nya su­dah balig, begitu juga fatsal 4 „Ghristen-Inlainders-regeling buat Jawa, Am bon dan Minahasa, Staatsblad 1933 no. 74. Harus dibe- dakan dari perkawinan2 anak2 yang telah diuraikan di atas (kedua fihak belum ’akil-balig) ialah p e r k a w i n a n 2 k a n a k 2 p e r e m p u a n ( m e i s j e s - h u w e l i j k e n ) , di mana si suami sesudah terlaksana perkawinan terus menumpang di rumah mertuanya dan bekerja untuk mereka (hal mana acapkali m em ang menjadi alasan perkawinan serupa ini), tapi pergaulan suami-is­teri ditunda sampai ana*k perempuan itu — isterinya — sudah balig.

D . Permaduan.

Di kalangan sangat kebanyakan suku2 bangsa di Nusantara ini dan. buat sangat kebanyakan orang dari lapisan rakyat ma<ka perkawinan serentak dengan perempuan lebih dari seorang — walaupun diper­bolehkan — adalah amat tidak lazimnya. Di kelas2 atasan lebih ba­nyak sekali terdapat perkawinan dengan dua orang perempuan a£au lebih. Hanya jarang sekali terdapat larangan terhadap polygamie, seperti di Tnganan Pagringsingan di Bali. Memeluk agama Kristen berarti menerima kewajiban untuk bermonogamie, yang juga dibebankan dalam ordonnantie Staatsblad 1933 no. 7 4 ; m e­meluk agama Islam mengandung larangan dalam keadaan berkawin serentak dengan lebih dari empat orang perempuan.

Bila bini2 itu bukannya sederajat dengan si suami, maka ber- ulang2 mereka berkedudukan sebagai bini kedua, ialah selir. Bini yang sama derajaitnya adalah bini tua. Seorang laki2 dapat juga hanya berkawin dengan seorang selir dan di belakang tarnbah ber­kawin dengan bini tua. Biasanya hanya anak2nya bini tua atau yang dipungut anak olehnya (Lampung, Baili) berhak penuh atas warisan atau jabatan bapanya.

Di mana perkawinan permaduan ini masing2 bini dengan anak2- nya sendiri tinggal rumah sendiri2 dan masing2 merupakan satu ke­luarga dengan barang2nya keluarga sendiri3, maka keluarga2 itu teta>p terpisaih seluruhnya satu dari yang lain

E. Pengaruh agama Islam dan agama Kristen atas hukum perka­winan.

Setelaih agaima Islam atau agama Kristen dipeluk oleh suatu bang­sa yang berhukum tak tertulis, maka timbullah karenanya suatu ke- tegangan di lapangan hukum perkawinan. Tidak begitu karena, se­perti telaJi diutarakan tadi, ada pertentöïig&ïï anlara kepercayaan2 dan kebiasaan dari alam peribadatan s-ihir yang sudah mendarah da­ging di satu fihak dan ketentuan2 agama tentang perkawinan di lain fihak.; ini adalah lain soal, lambat-laun dapat ditetapikan a.pa yang dipertaharikan dari unsur2 lama di sisi atau di dalam agama dunia yang baru itu, pula bagaimana unsur2 dari kedua fihak bila perlu melengkapi atau mempengaruhi satu sama lain. Tapi letaknya kete- gangan itu ialah bahwa perkawinan menurut syarat2 Islam atau Kristen itu memberi kemungkinan kepada pemuda dan pemudi akan menghindarkan diri dari paksaan fihak2 kerabat dan masyarakat, paksaan mana mestinya dikenakan pada mereka bila perkawinannya menurut adat. Kemungkinan tadi dengan tiba2 memberikan keme- nangan ke arah kepribadian kemanusiaan, kemenangan mana diper- oleh tidak secara merebut apa2 dalam lingkungannya sendiri dengan jalan perjoangan melawan alam serba umum' (het commune) me- lainikan diperoleh dengan jalan m e n e r o b o s apa2 yang la­ma. Orang dapat kawin menurut aturan2 hukum agamanya sendiri di bawah perlindungan pemuka2 agamanya dengan tidak usali mem- perdulikan exogamie, kecenderungan perkawinan, endogamie dusun atau apa2 lain lagi. Di satu fihak dijumpai perlawanan benar2 oleh kekuatan yang dahsyat daripada alam pikiran tradisionil sendiri, pu­la oleh kekuatan penghulu2 raikyat dan teptua2 kerabat, kesemuanya berdasarkan adat naluri, dan oleh karenanya toch masih amat ba- nyak perkawinan2 terlaksana dalam batas2 hu'kum adat; dan mala-

han ter-kadang2 (misalnya di Tapanuli Selatan) harus disebut pene- rimaan (receptie) tak lêngkap daripada hu'kum perkawinan Islam, sedangkan pemuka2 agama, baik Islam maupun Kristen, terjkadang2 berusaha menjalankan tugasnya dalaan lingkungan hubungan adat, tetapi orang2 Kristen selalu dengan mudahnya sudah ibertubrukan dengan kekuasaan adat naluri, lantas mereka ditinggalkan di luar masyarakat lama yang serba umum (commuun) sifatnya dan ditak- lukkan kepada ketentuan2 hukum 'tertulis yang resmi atau setengah resmi mengenai hukum perkawinan Kristen ; dan buat orang2 Islam maka, di mana ada hakim2 agama, sah atau tidaknya sesuatu perka­winan diukur hanya menurut peraturan Islam se-mata2. Oleh karena itu kanm progresip dan kaum radikal mendapat senjata yang kua-t di tangannya, yang berdaya baik atau busuik menurut keyakinan pe- megangnya sendiri2. Kemungkinan menerobos apa yang lama itu adalah termasuk faktor2 yang semuanya melanggar kekuasaan peng­hulu2 adat. Cukup dikenal umum : peristiwa2 .pemuda2 Batak yang duluikala di luar tempat kediamannya dan bertentangan dengan hu­kum adat, mereka kawin secara Islam ; kesukaran2 serupa itu di Minangkabau ; perubahan pelanggaran ,/membawa lari perempuan” di Sulawesi Selatan dengan bantuan aturan Islam nikah menjadi suatu cara perkawinan yang diakui, walaupun ini mereka pandang lebih 'baik diatur lagi di kemudian hari, dan sebagainya. Perkawinan secara agama terjkadang2 menjumpai ti-tik singgung dalam 'bentuk2 perkawinan yang memungkinkan perkawinan secara tidak keras atau secara ra.mah-tamah di sampiing perkawinan resmi menurut hukum adat, ialah : porda diwipang di Tapanuli Selatan, dan baku piara di Minahasa, dan sebagainya. Bila perkawinan terputus maka tirnbul- lah pertikaian yang sama. Adalah buat maaing2 perigundang-undang suatu tugas yang genting (precair) akan memegang peranan dalam ttibmkan daya2 masyarakat ini, akan tetapi mungkin juga menjadi sama gentingnya, bilamana daya2 ini dibiarkan saja mencari penye- lesaiannya sendiri.

Sebagai sekedar percobaan untuk mengatur masalali ini adalah fatsal 4, ayat 26 Staatsblad 1932 no. 482 yang — buat Minangkabau dan daeraih2 Batak — melarang pegawai urusan perkawinan Mus­lim mem-berikan .bantuannya, bilamana perkawinan tidak memenuhi syarat2 hukum adat.

Adalah terdapat perbedaan umum di antara caranya agama Islam mempengaruhi hukum perkawinan dan caranya agama Kristen mem.pengaruhinya. Perkawinan Islam adalah suatu perjanjian (kontrakt) antara pengantin laki2 dan wakilnya (wali) pengantin pe-

rempuan, disaksikan oleh paling sedikit dua orane saj.si di m dengan kata* keramat diucapkan penawaran dan l !(,aab kabul) dan jumlah ,p L beri £ ^ ^ ( m T Z T j ditetapkan (sedang b^asanya pengantin laki3 menambahnya dengan mengucapkan talaq bergantung). Wali itu adalah bapanya keman tm perempuan dan bilamana ia tidak ada, sanak-saudaranyaTaS yang pa-Ung karib dan garis keturunan laki3 Hanya bapanyl /at u kakeknya) ben^ewenang mengawinkan anaknya perawan walaupun -bertentangan dengan kemauan pemudi itu (wali mudzjbir) BUa tiada seorang wali maka penguin, yaitu kepala pegawai* urusan agama, dapat bertindak sebagai wali darurat, atau fihak» yan, her kepentmgan dapat mengangkat seorang wali pembantu (haL m j" Saksi- itu 'harus memenuhi syarat* yang tertentu. Pemberian ner ka winan, kaiotn (mahr) adalah pembayaran sedikk jumlahnva ter-kadang- lima rupiah) dari si lelaki kepada si perempuan ada

kalanya juga digabungkan jadi satu dengan pembayaran? lain mT salnya di Jawa dengan tukon, di Sulawesi Selatan dengan sunrantr di Aceh dengan jinamec, sampai menjadi jumlah yans? lebih tinggi. Adalah seringkali suatu kelaziman mas kawin itu dipinia buat selamanya. Ordonansi perkawinan buat Jawa tahun 1929 Stbl. no. 348 dan ini buat luar Jawa tahun 1932, Stbl. no. 482 ada’ lah bukannya peraturan2 sipil (burgerrechtelijk), melainkan perat!' ran* administratif, yang mewajibkan supaya meminta pertolongan nya seorang pemuka agama yang telah ditetapkan dalam hal perkawin an-” yang terselenggara menurut pelajaran agama Islam ; itllpun untuk ikepastian hukum dan untuk ketertiban dengan ada ancaman nya hukuman terhadap siapa yang melalaikannya.

Di samping pelaksanaan perkawinan menurut pelajaran Islam dapat tetap bertahan perkawinan secara adat; hal terakhir ini me. rnang tetap masih bertahan dalam tingkatan2 „hampir lenyap sama sekali sampai „hampir masih utuh seluruhnya”. Di kalangan3 yang beragama kuat ter-kadang3 terdapat penolakan terhadap keadaan de­mikian itu, akan tetapi dalam kehidupan hukum di masyarakat2 maka pelaksanaan perkawinan Islam itu adalah suatu bagian daripada pe­laksanaan perkawinan seluruhnya, di samping unsur2 Pribumi asli dan ■dengan ter-kadang2 masih tetap memakai sifat Pribumi tadi. Demi- kianlah bahkan di Minangkabau tak dapat dikatakan bahwa bapa- nya si kemantin perempuan sebagai walinyz menurut peraturan Is­lam berkedudukan lebih penting dalam hal perkawinannya anak2 pe- xempuan itu daripada mamaq kepala u/omnya, — yaitu walinya me- nurut hukum adat, justru kebalikannya.

Tetapi hukum perkawinan daripada orang2 Indonesia Kristen ti- dak meluluskan disampingi oleh perkawinan ad at; hukum itu beru- saha mengatur perkawinan seluruhnya dan dalam pada itu membiar- kan berlangsung hanya unsur2 perkawinan Pribumi asli saja, yang: se-nyata2nya dapat dihubungkan dengan agama Kristen. Sejak orang telah menyadaxi betapa „jujur” itu berarti menghambat per­ceraian, maka pembayaran jujur itu terJkadang2 turut termasuk unsur2 yang dibiarkan berlangsung terus ; akan tetapi pengaruh aga­m a Kristen terhadap unsur2 dan *perangai Pribumi asli adalah lebih menghancurkan daripada pengaruh agama Islam terhadapnya. Me­ngenai perkawinan Bumiputera2 Kristen maka oleh orang2 Katholik dilangsungkannya oleh kedua fihak yang berkepentingan dalam ge- reja, di kalangan orang2 Protestan dilarigsungkan oleh seorang pe- muka agama. Perkawinan serupa ini biasanya didahului oleh pembe- ritahuan yang diharuskan. Buat mereka di Am bon, Minahasa dan Jawa maka oleh ordonnantie tanggal 15 Pebruari 1933, Staatsblad no. 74 diaturnya suatu perkawinan sipil ; di situ di antara lain- dite­tapkan secara hukum syarat2 perkawinan yang harus dipenuhi menu­rut agama Kristen, pula dirumuskan beberapa aturan yang bersam- bung pada hukum adat.

Perbedaan dalam bekerjanya pengaruh Islam dan pengaruh Kris­ten yang dibentangkan di sini ini terdapat juga di luar lingkungan hukum perkawinan ; misalnya di Am bon — yaitu baihkan di Hitu yang Islam — masih terdapat penjabat masyarakat yang bertalian dengan alam pikiran ibadat sihir seperti : paderi perkebunan (tuin­priester) dengan sebutan mauwin, penjabat mana tak terdapat lagi di Am bon bagian Kristen ; pula pada umumnya perbedaan termak- sud di atas terdapat bila dibandingkan satu sama lain : Ambon. bagi­an Kristen dan bagian Islam.

2. PER PU TU SAN P E R K A W IN A N .

A . Perceraian perkawinan menurut hukum adat.

Perkawinan sebagai urusan keluarga dan kerabat mempunyai funksi untuk memungkinkan pertumbuhan secara tertib daripada masyarakat2 kerabat ke arah angkatan2nya baru ; anak2 yang lahir dalam perkawinan itu meneruskan masyaraka-t sanaik-saudara itu, me- neruskan pula bagian clan, suku, kerabat dan keluarga. Selanjutnya perkawinan itu mempertahankan masyarakat2 dusun dan wilayah sebagai kesatuan2 susunan rakyat. Sebagaimana masing2 perbuatan tambahan baru dalam proses kehidupan di alam besar (cosmisch)

yang keramat dan tiada terduga maika perkawinanpun adalah suatu. upacara ibadat (tite) ; tentang kepindahan sejodoh yang baru ber- kawin ke kelas masyarakat baru dan ke masa -hidup yang baru, tiim- bukiya hubungan untuk menemukan -kedudukan keseimbangan ter­hadap masyarakatnya sendiri dan terhadap dunia luar, maka kese­muanya itu adalah peristiwa upacara ibadat; dalam pada itu ma­nusia dengan kemauannya dapat menentmkan jurusan proses per- tumbu'liannya dengan jalan pemili'hnya bentuk perkawinan, pula da­pat mendorong kebiakan yang diinginkan dengan jalan perbuatan2 sihir. Di samping itu maka perkawinan sebagai urusain kerabat dalam. beberapa lingkungan hu-kum mempertahankain hubungan golongan2 sanak-saudara satu sama lain, dan meneruskan hubungan yang ber- timbal-bali'k atau liubungan perkawinan yang segi satu (eenzijdige huwelijksbetrekking).

Terlepas dari kesemuanya itu, maka berkumpulnya dua orang un­tuk pergaulan suami-isteri dan untuk berumah kumpul buat selama» nya, adalah urusan yang sangat ibersifat perseorangan.

Berbagai3 funksi yang telah disebut dalam pembicaraan tadi di sini harus direnungkan fcembali, -karena fun'ksi2 itu ber.pengaruli pu­la atas alasan2 dan kemungkinan2 untu/k perceraian. Pada umum- nya kerabat dan masyarakat mengirnginkan agar supaya perkawin­an yang sekali telah dilangsungkan dapat bertahan buat se*Iama2nya. Tapi dapat timbul keadaan3, di mana kepentingan kerabat dan ma­syarakat «ïenghendaki perputusan perkawinan itu; di samping itu ada hal2 yang bersifat perseorangan oleh masyarakat dianggap sebagai alasan2 untiuk bercerai. Makin terdesaik ke belakang masyarakat (ba­ik kerabat maupun dusun) dalam hal ini sehingga juga kekuatan- nya sebagai pengikat menjadi berkurang, makin berubahlah fafctor2 lain bertalian dengan pentingnya 'kedudukan keluarga (dan berhu- bungan dengan peraturan2 agama2 wahyu) yang menguasai perihal perceraian perkawinan itu.

t Dalam susunan sanak-saudara berhu'kum bapa maka perputusanperkawinan „jujur” berarti kembalinya si isteri dan jujurnya. Alasan2 seperti majir (tak beranak laiki3) , cacat2 badan dan seba­gainya, yang menghalangi berlangsungnya funksi perkawinan seba­gai urusan masyarakat, dapat per-tama2 mengakrbackan perceraian itu ; bercerai dengan alasan2 sedemikian itu adalah suatu perkara yang sudah semestinya dianggap patut, dan yang diurus oleh ter-tua* kerabat dan penghulu2 masyarakat. Hubungan kesanak-saudaraan semenda dari golongan terhadap lainnya yang telah dikuatkan (atau bahkan telah ditimbuikan) karena perkawinan itu dapat dilangsung-

"kan terus dan. bila diinginkan dapat diperbaharui dengan jalan per­kawinan lainnya lagi. Mengenai perkawinan ambil anak maka sudah barang tentu alasan2 yang tersebut di atas itu sudah cukup untuk bercerai: perkawinannya ternyata gaga!, tidak mencapai tuju- annya. Bilamana perkawinan serupa itu menimbulkan kemungkinan ada harta perkawinan milik bersama, maka karena perceraian itu barang2nya lantas di'bagi antara lelaki dan perempuan.

Khusus dari Kalimantan dikhabankan bahwa di sana terdapat perceraian perkawinan yang bahkan dituntut denu kepentingan ma­syarakat, berdasarkan atas keadaan yang membahayakan dipandang dari sudut sihir (magie), hal terakhir ini khusus ternyata dari impi- an2 buruk daripada salah seorang suami-isteri itu ; di waktu berce­rai tidak diadakan pembayaran2 dan segala sesuatunya dapat pulih kembali bilamana sihir buruk itu telafi berialu.

Pada umiwnnya dianggap sebagai alasan untuk perceraian ialah : zinah daripada si isteri. Karena perbuatan sedemikian itu maka ia melanggar baiik kepentingan2 masyarakattnya maupun perasaan2 si suami yang di masing2 lingkungan hukum berhalk atas perlindungan. Hanya sekali tempo orang dapat tmeiribaca, bahwa bilamana den- danya sudah terbayar, maka perbuatan zinah itu Ialu tak mengandung alasan lagi untuk perceraian perkawinan (misalnya di ‘kalangan be­berapa suku Dayak). Tapi pada lunumtiya di masing2 susunan kera­bat si suami dengan alasan perbuatan zinah oleh fihak perempuan, dapat melangsungkan terus perputusan perkawinannya, yang dalam se-gala2nya merugikan fihak isteri itu : bilamana ia terpergok dan terbunuh, maka tak usah dibayar wang perdamaian (zoengeld) atas kemaitiannya itu ; bilamana ia tak terbunuh -maka haruslah ia (ke­rabatnya mengeluarkan pembayaran pelanggaran (delictsbetaling), (ter-kadang2 sebesar jumlah jujum ya), harus mengembalikan jujurnya (pemberian perkawinan di Sulawesi Selatan tidak usah dikembalikan) dan ia .kehilangan haknya atas harta perkawinan (huwelijksgoed). Buat peri9tiwa seorang perempuan yang „dilem- par ke luar perkawinan dengan tidak diperbolehkan membawa apa2” ada ipei<kataan2nya kiasan, misalnya : metu pinjungan (J.), balik taranjang (Sund.), turim kain sehelai sepinggang (Mei.), solari bainenna (Mak.).

Rupa2nya di mana2 menurut hukum adat mungkin juga diada­kan perputusan perkawinan atas permufakatan dan kemauan mereka satu sama lain. Benar juga kepala2 kerabat dan hakim2 — bila tiada alasan2 masyarakat seperti kemajiran, zinah dari fihak si- perempuan, dan irapian2 buruk — berusaha meniadaikan niat kedua

fihak itu, sehingga di beberapa wilayah perceraian serupa itu adalah jarang, ta>pi lama-kelamaan karena segala sesuatu dapat diselesai- kan dengan permufakatan satu sama lain — di mana akibat2 ke- uangan dan aki’bat2 bertalian dengan nasib anak2nya dapat ditetap­kan pula — maka cara penyelesaian secara itu toch dapat juga mengakibatkan perceraian. Tetapi cara ini sudah barang tentu sama sekali lain soalnya dari pada ‘bercerainya suami-isteri sebagai dua orang seorang masing2 karena kekerasan hatinya dan kemauannva sendiri2, hal mana dalam rangka wataik sosial daripada hukum adat sudah barang tentu tak dapat dibenarkan.

Kemudian kebanyakan adalah mungikin juga, 'bahwa salah se- oirang daripada suami-isteri — karena sebab2 yang bertalian dengan pergaulannjya perseorangan — meminta cerai dengan keras dengan jalan apapun juga. Perceraian tadi, justru karena urusan per­seorangan, selalu ada hubungannya dengan p e r s o a l a n s i a p a y a n g s a l a h ( s c h u l d v r a a g ) . Ter-kadang2 tentang apakah ia ada hak atau tidak untuk meramta cerai itu ter- gantung dari „schuldvraag” irii. Demikianlah di Pasemah dengan perkawinannya jujur si isteri dapat menuntut cerai hanya bila suaminya bersalah karena melanggar salah satu dari larangan2 adat (memotong abah-abah tenun, memotong rambut si isteri, dan seba- gainya, ialah : larangan kule). Di tempat2 lain dalam theorie tak mungkin seorang isteri menuntiut perceraian dari perkawinan ju­jur, walaupun ia dapat menimbulkan keadaan2 yang nyata, sehing­ga ia toch mendapat lulus -kehendaikniya. T api persoalan siapa yang salaih itu lebih2 meliputi a'kibat cmenurut 'hukum kekayaan daripada perceraian, yaitu siapa yang harus membayar wang pelanggaran (delictsbetaling) sebagai reaksi adat atas kelakuan ta'k senonoh, apakah jujumya harus dikembalikan (seluruhnya atau sebagian) ataukah tetap di tangan flcerabat si isteri (sebagai pembayaran pe- anggaran dari fihak si suami), apakah yang harus dikerjakan ter­

hadap harta benda perkawinan, dan sebagainya. Soalnya dalajn ke- semuanrya itu ialah bahwa suami isteri yang tidak rukun 'hidupnya, acapkali memaksa lawannya ke arah fiha'k yang bersalah (suami mem aks a dengan jalan : bepergian sampai sekian lamanya, si isteri memaksa dengan jalan bertingkah laku secara mengusi'k dia, dan sebagainya). Ter-*kadang2 perkara perceraian itu juga didahului dengan kepergian si isteri kepada orang tuanya dan ia tidalk kem­bali kepada suaminya, sehingga beraikibat mereka hidup tercerai satu sama lain dalam tempo lama. Para hakim dan para penghulu rakyat pada akhirnya bertugas menetapkan siapa yang salah (sesudah usaiia2 yang memakan tempo banyak untuk mempert ah a nk a n utuh-

nya perkawinan) dan memutuskan perkawinan. D. mana ada ke­mungkinan memaksa putusnya perkawinan atas dasar keseganan dari satu fihak saja dengan tiada alasan* lain yang sah - misalnya yang memaksa itu si suami dalam perkawinan jujur - maka fihak yang bertindak demikian ku terhadap akibat* mengenai harta benda- nya dianggap fihak yang salah. Buat si isteri yang dengan cara de­mikian memutus'kan perkawinan ambil anak maka perbuatannya itu toch tidak mengakibatkan kerugian apa3 baginya. Ter-kadang2 di­adakan perbuatan2 secara kiasan (syonbolisch) seperti menjatuh- kan ke tanah sepotong bambu tiga kali, memotong seutas rotan sam­pai putus, dan sebagainya, begitu juga di kalangan beberapa suku bangsa (Batak, Toraja Barat) diberikan suatu 'tanda yang kelihatan mata, kesemuanya benmaksud bahwa .perkawinan sudah putus de­

ngan se-nyata2nya.

B. Pengaruh agama2 besar.

Apa yang diutarakan di atas tadi mengenai perputusan perkawinan menurut hukum adat hanya terdapat jarang dalam perangainya utuh; ihampir selalu sudah dimasukinya aturan2 keaga-maan. Agama Islam dan agama Kristen dalam berlakunya atas soal perceraian itu mendapat kecocokan satu sama lain pada dua titik. Per^tama- kedua agama ini mencela se-keras2nya perceraian. Kedua, maka kedua agaima ini mompersoalkan sudut perseorangan daripada perputusan perkawinan, dan bukannya perkawinan sebagai urusan masyarakat. Oleh karena itu peraturan2 agama tadi menggali dari bawah (onder- mijnen) kekuatan pengaruh ter-tua2 kerabat dan kepala2 dusun, ke­kuatan mana bersifat mengatur dan memulihkan, itupun meskipun kedua penjabat tadi mendorong keras atas pribadi kemantin agar supaya mereka tetap berki'blat kepada mereka penjabat2 tadi. Wa­laupun titik pangkalnya sama, namun agama Islam dan agama Kris­ten itu atas perceraian perkawinan menurut hukuim adat berpenga- ruh berlawanan satu sama lain dalam tiga hal. Peraturan2 Kristen bila ditinjau pada umumnya memperkecii kemungkinan praktis unituik perceraian, sedangkan peraturan2 Islam momperbesar ke­mungkinan Lta; peraturan2 Kristen menempabkan suami dan isteri di kedudukan yang sama terhadap alasan2 untuk cerai dan terhadap tuntutan cerai, sedangkan peraturan2 Islam kepada suami membe­rikan kelonggaran yang lebih dari pada kepada isteri; peraturan2 Kristen selalu membutuhkan percampuran tangan pemerintah dan hampir selalu perceraian ditetapkan dengan keputusan hakim, se-

dangkan peraturan2 Islam ‘menimbülkan kemung'kinan' untuk mem- bikin poitus perkawinan di luar percampuran tangan penja-bat2 pe- merintah.

Tindakan penyusunan .peraturan dengan jalan undang-undang, peraturan mengenai perputusan perkawinan keduniawian buat Bu­miputera2 Kristen di Jawa, Am bon dan Minahasa, peraturan ten- tang pendaftaran adanya perceraian di kalangan orang2 Islam, ke- semuanya itu di samping adat dan peri'badatan merupakan unsur yang ketiga daripada gambaran 'huikuim yang ruwet tentang perputusan perkawinan di antara anak2 negeri.

Dengan pelbagai cara maka 'berkumpullah jadi satu ketentuan2 yang ber-jenis2 dan kemungkinan2 yang ber-beda2 ipula dalam ber- bagai2 lingkungan2 hukum dan kalangan2 (huikum. Hal ini per-tama2 ternyata dari caranya menjalankan aturan2 Islam mengenai perpu­tusan perkawinan dalam praktek ; kedua : ternyata dari kelongga- ran2 (consessies) yang di'beri'kan oleh aturan2 iperkawinan Kristen untuk menyesuaikan diri dengan ikeadaan2 yang nyata.

C . Perceraian perkawinan secara Islam.

Talaaq ialah pengusiran terhadap si isteri oleh si suami. Sesudah jatuh satu talaaq, maka mulailah masa iddah : tiga masa haid (10 0 hari) atau, bilamana si isteri hamil, sampai 40 liari sesudah mela- hirkan anak. Selama masa iddah perempuan itu tidak boleh kawin lagi, sedangkan si lelaki tidak 'boleh menaiwbah jumlah isterinya sampai lebih dari empat orang terhitung bininya yang ditalaaq itu, pula selama masa itu si perempuan ada hak atas kehidupan, ialah nafaqah dari bekas suaminya, dan suami ini dapat cabut kembali ta- laaqnya — rujuq — dan am’bil kembali isterinya. Sesudah talaaq kedua, maka aki-bat2 huikum yang sama dengan yang tersebut tadi mulai berlaiku, tapi sesudah talaaq ketiga ma'ka rujuq sudah tak mungkin lagi. Meskipun lelaki dapat memberikan talaaq itu sebagai perbuatan segi satu (eenzijdig) se-<bulat2nya — dan ribuan kali di- jalankannya sedemikian pula — namun ada terdapat wilayah2, di- mana bentuk perceraian perkawinan sudah menjadi sedemikian rupa, ialah sungguhpun terdiri dari pengusiran sebagai perbuatan segi satu dari si suami, tapi permufakatan dengan kerabat dan para penghulu dalam pada itu masih tetap lazim, 'bahkan pernah terjadi, bahwa si suami tidak mempergunakan talaaq secara Islam, melain­kan mengajukan tuntutan untuk perceraian perkawinan kepada hakim.

Chul’. Talaaq itu dapat juga diucapkan oleh suami atas permtn- taan isteri, ialah sesudah si isteri membawa hati suaminya ke situ de­ngan jalan suatu pembayaran kepadanya. Perputusan perkawinan demikian ku disebut chuV (kuluqj (membuka pakaian) ; pemba­yaran dari fihak isteri ini disebut penebus talaaq (Ind.), pemancal (J.), (penola'kan dengan sodokan kaki), pengiwal (J-). (tara), dan sebagainya. Pembayaran tadi dapat terdiri dari sejumlah wang, tapi juga dapat dengan jalan menanggalkan haknya atas sebagian dari harta benda hasil mereka bersama dalam perkawinan atau atas mas kawin yang masih „dipinjam" oleh suaminya itu. Aki-batnya ialah perkawinan putus dengan tiacla kemungkinan untuk iitjitq sesudahnya ; melainkan lantas berlangsung masa iddah, dalam tem­po mana suami masih berkewajiban memberi nafaqah kepadanya. Juga lembaga ini ter-kadang'-* adalah seperanggu pa-kaian Islam (yang tembus cahaya) untuk menutupi kemungkinan ke Indone- siaan yang telah dipermudah, yaitu ikemungkinan perceraian atas inisiatif si isteri tanpa ada kesalahan dari fihak suami, jadi harus fihak isteri mengembalïikan pembayaran2 perkawinan (jujur, ha­diah perkawinan). Demikian terdapatlah misalnya di Sulawesi Se­latan „membeli ketidakmauan” (—nya si isteri terhadap suaminya) pammali kateang (Mak.): si isteri imemperoleh perceraian atas pembayaran kembali olehnya (dalam keadaan2 biasa) pembelian perkawinannya sebagai „harta pengganti ke t id a km a u a n nya (si isteri) lagi terhadap suaminya”. Hubungan dengan p e m 'b e n a n pei- kawinan dan dengan jujur ada tersebut juga di lain tempat (se- bagaimana juga da-hulu chul’ berhubungan dengan mahr> yaitujujur)- ,

Adalah suatu corak ke Indonesiaan asli yang tegas ialah ke­mungkinan yang di sana-sini diperbolehkan, yaitu si isteri menga- duikan tuntutan di muka hakim bermaksud memaksa suaminya untuk menerima sejumlah wang (dalam pada itu justru sejumlah ju- jurnya) sebagai harga talaaq. Bila si suaimi tetap tak mau meneri- manya, maka hakim menetapkan bahwa dia dianggap sudah mengu- capkan talaaqnya, atau hakim dengan mudah bikin putus perka­winan tanpa talaaq ; jumlah wang yang dipandang sudah patut tetap atas kemauan si isteri tersimpan pada hakim untuk disediakaa akan dibayarkan kepada si suami. Pengaduan dari fihak isteri se­demikian itu di Solo disebut „rapaq lumuh”, yaitu pengaduan, bah­wa ia sudah enggan terhadap perkawinannya; mengadakan pemba­yaran yang bermaksud memaksa untuik perceraian perkawinan itu

di daerah2 pedalaman Bengkulen disebut : membeli talaaq, tapi di Salayar (Sulawesi Selatan) disebut : panggali kaiindaang, ialah harga pengganti ketidakmauan (-n y a si isteri terhadap suaminya).

Ta lieq. Bercorak ke Indonesiaan umum. ialah perceraian per­kawinan berdasarkan atas pengaduan si isteri, bahwa syarat2 untuk menalaaq yang dulu digantungkan oleh si suami, sudah dicukupi : taqléq. Kemungkinan untuk mencerai isteri dengan jalan meng- gantungkannya pada sudah atau belum dipenuhinya suatu syarat itu memang betul berdasar atas hukum Islam, akan tetapi aturan yang praktis mengharuskan masing2 orang Islam di waktu dilangsungkan perkawinannya mengucapkan sebuah ruraus, — bahwa bila ia me- ninggalkan isterinya sekian ibulan dengan tiada diberinya nafaqah- nya (atau bila ia memperlakukan isterinya secara kurang baik se­bagai tersebut dalam fatsal perjanjian) dan isterinya itu tidak te- rima, lalu mengadukannya kepada hakim (pemerintah) maka ia, is­terinya, dianggap sudah dkalaaqnya — aturan sedemikian itu ada­lah suatu penyesuaian hukum Islam dengan hukum adat, sepanjang menurut hukum -terakhir ini inisiatif untuik bercerai dapat diajukan dari fihak si isteri. Hakim agama di wilayah2 yang terdapat haikim serupa itu dan bila tidak terdapatnya ter-kadang2 'hakim Pribumi (inheemse rechter) atau (misalnya di Lampung, di Minahasa) se­orang pegawai urusan agama, adalah instansi pemerintah di mana isteri harus mengemukaikan pengaduannya (rapaq ga ib); fihak pe- rnerintah sebetulnya harus menyatakan saja (sesudah mendengar- kan aturannya dua orang saksi) baiiwa syarat talaaq yang digantung- kan dulu, sudah dicukupi dan oleh karenanya perkawinan dianggap sudah putus (karena talaaq dari fihak si suami). T api banyak hakim beranggapan lain tentang ini (dan inilah suatu 'bukti bahwa piaiktek peraturan ini berkedudukan di alam Pribumi asli) dan mem- bikin putus sendiri iperkawinan itu berdasarkan atas kelakuan si suami. Agar supaya dalam hal2 tadi dapat dicegah kemungkinan untuk ntjuq, maka ter-kadang2 wewenang untuk membuat rujuq itu dengan tegas disingkirkan ; pula ternkadang2 di dalam runius sen- diii ditetapkan, bahwa mas kawin yang dipinjam suami itu akan diperuntu'kkan sebagai wang pembeli talaaq, sehingga talaaq yang sudah dijatuhkan itu dengan sendirinya menjadi chuV di mana rujuq tidak diluluskan. Dalam bentuk ini ada terdapat sambungan- nya pada lembaga2 hukum adat dan letaknrya sarrabungan itu ada dalam isinya perjanjian2, tmisalnya : bila saya (suami) memotong abah2 tenun atau menggunting rambut isteri saya (Banyum as); bandingkanlah dengan larangan kule dari Pasemah, hal. 213.

, , „ . Tciam yaitu faskh (pasah) dilakukanFaskh. Lam aturan agama Islam, y I [r /ju-a secara yang menyimpang dengan pelajaran agama Islam Lurni, tap; lebih menyesuaikan lembaga Islam dengan bukum adat. Pasah adalah perceraian perkawinan oleh hakim berdasarkan atas cacat’ yang sudah ada di waktu di- langsungkan perkawinan, misalnya ketidaksanggupan s. suam. un­tuk memberi nafaqah isterinya. Tetapi seringkali di Indones.a ter­dapat tuntutan pasah yang diajukan oleh seorang perempuan de- ngan alasan kenyataan, bahwa suaminya pada saat men^a u i u tidak memberikan k e h id u p a n kepadanya (meninggalkan dia) Lalu suami it?u dipanggil dan (walaupun dia tak datang) dibennya esem patan dalam tempo tiga hari supaya membuktiikan, ibahwa ia apat memeliharakan isterinya. Bila si isteri datang menghadap agi e ngan bukti bahwa suaminya belum saja memberi nafaikah ^epa a nya, maka perkawinan lalu dinyatakan putus karena pasa . Ja i inilah juga suatu bentuk daripada perceraian perkawinan Pribumi atas permintaan si isteri.

Perbuatan murtad terhadap agamanya tidak memberikan hak 'ke pada orang perempuan yang murtad itu untuk memakai alasan ba 1 wa menjadi putuslah perkawinannya karena murtadnya itu. Boleh jadi buat ha'kim - dalam keadaan2 yang tertentu yang membukti- kan cukup ba'hwa peristiwa itu benar2 berdasar kesungguhannya dalam peribadatan — perbuatan murtad itu dipandang sebagai su­atu alasan cukup untuik membikin putus perkawinannya atas per­mintaan dari sala'h satu fi-hak. Lembaga2 lainnya daripada agama Islam tidak begitu pentingnya buat kehidupan huikum Pribuimi untuk dituturkan di sini. Mengenai lembaga huikum terdiri dari wasit- yang keputusannya mengikat, ialah hakam, bilamana dmbul percederaan yang tak dapat diserukunkan lagi (syiqaaq), ma'ka pemakaian lem­baga ini oleh maihkamah urusan agama Islam telah disahkan ; se­belum itu usaha serupa itu hanya dibenarkan oleh suatu aliran kecil.

Aki'bat sosial yang mendalam daripada pengaitan perceraian per­kawinan pada lembaga2 Islam ialah, bahwa penyelesaian2 yang me­nurut hukum adat melalui penghulu2 rakyat — yang dengan per- mufakatan kerabat2 mempertimbangkan mencegah atau mengatur perceraian — maka cara penyelesaian itu tercantum berlangsungnya dan terhapus oleh karenanya. Hal ini menyebabkan suatu ketegang* an serupa dengan apa yang tersebut di atas, hal. 207 terhadap pe­laksanaan perkawinan : kemungkinan terbuka untuk secara me-lom* pat2 memenangkan keinginan2 dan pendapat2 perseorangan — yang bertalian dengan peribadatannya pribadi sendiri — dengan menga-

t

lahkan syarat2 daripada masyarakat yang serba umum (commune samenleving). Misalnya talaaq yang diucapkan oleh seorang laki2 yang berkawin secara perkawinan ambil anak adalah suatu misal yang tegas daripada gangguan2 sosial serupa tadi.

Kemudian ma>ka oleh pengundang-undang diwajibkan supaya di-laporkan kepada pegawai urusan perkawinan adanya talaaq2 yangsudah terjadi, dengan ancaman hukuman atas kelalaian melapor- kannya itu.

D . Htikitm Kristen tenlang perputusan perkawinan.

Buat orang- Indonesia yang beragama Katholik maka percerai­an perkawinan itu menurut hukum gereja tidak. mungkin. Apakah buat mereka harus dianggap ada kemungkinan untuk memutuskan perkawinan kedumawian menurut hukum tak tertulis (sebagaimana kemungkinan ini betul2 ada dalaan banyak pergaulan2 hutkum ber­dasarkan atas aturan2 hukum tak tertulis) maka soal ini adalah su­atu pertanyaan (yang menurut pendapat saya harus dijawab de- ngan : ya). Orang- Indonesia yang beragama Protestan biasanya mengaikui beberapa perkara yang berat sebagai alasan2 buat perce­raian : zinah (oleh lelaki dan oleh perempuan), penganiayaan berat, peninggalan dengan niat jahat, ter-kadang2 juga kemajiran. Di Minahasa perceraian dinyatakan atas dasar permohonan bersama untuk itu oleh suami-isteri, di Am bon atas dasar -keadaan bercerai satu samia lain dalam tempo yang agak lama. Biasanya badan yang dianggap beiwewenang untuk memeriksa tuntutan2 perceraian ialah Iandiaad atau lialum Pribumi (inheemse rechter); dulu di Jawa sampai masa lama yang berwewenang untuk itu ialah dewan gereja (kerkeraad).

Dengan ordonnantie tertanggal 15 Pebruari 1933, Staatsblad no. 74, maka diadakan peraturan2 wet mengenai perceraian perkawin­an (keduniawian) di kalangan (semua) Bumiputera2 Kristen di Jawa dan Madura, di Am'bon dan di Minahasa. Di antara enam alasan untuk perceraian terdapat percederaan yang ta'k dapat dipu- lilikan kembali — bukannya kemajiran — dengan kata2 lain : hanya kemajiran yang menimbulkan percederaan yang tak dapat dipulih- kan kembali. Telah diusahakan supaya bersambung pada hukum adat ialah dengan jalan diperintahikan dengan peraturan agar su­paya ha'kim meyakinkan diri dari adanya kemustahilan pulihnya per­cederaan i-tu dengan jalan menanyai sana:k-saudara2 dan orang2 yang biasa bergaul dengan suami-isteri itu.

Akibat2nya perceraian perkawinan buat sebagian telah dibicara­kan. Sesudah perceraian si perempuan bebas untuk kawin lagi. Bark menurut hukum adat, maupun menurut hukum Islam ia tidak dapat menuntut nafaqahnya dari bekas suaminya, tapi menurut hukum Kristen dapat, ialah berdasarkan atas fatsal 62 dari ordonnantie tahun 1933. Anaik2 yang masih menyusu (di bawah 2 a 3 tahun) se­lalu mengïkuti ibunya. Sesudah itu mereka tetap berada dalam kera­bat yang semestinya menurut susunan kesanaik-saudajraan, atau bi lamana susunan kesanak-saudaraan itu tidak mengizinkan sedemi­kian itu - mereka berkumpul pada salah seorang dari ibu-bapanya yang diserahinya atas keputusan di waktu pefrkawinan dinyatakan ce­rai. Kesalahan daripada salah seorang laki-bini menyebabkan se­orang lafki-bini lainnya yang tak bersalah memperoleh hak lebih atas ana'k2 itu ; pili'hannya anak2 sendiri adalah seringkali penting pen­ting juga siapa dari laki-bini yang memberi nafaqah anak itu. Mengenai pemberian nafaqah ini maka bapalah (juga dalam tem­po anak2 itu masih menyusu) yang berwajib. Tapi dalam susunan berhukum ibu-bapa maka dapatlah si ibu yang mendidik anak2 dan mampu untuk memberi nafaqah kepada mereka, diwajibkan untuk itu di samping si bapa. Bila ada perselïsihan tentang 'hal ini dan dalam pada itu harus diambil keputusan, maka kepentingan anak- lah yang menjadi faktor yang berat. Pengaruh daripada kesalahan atas akibat2 yang timbul menurut hukum kekayaan perkawinan su­dah disebutkan tadi; akibat2 perceraian perkawinan mengenai ba­rang2 daripada kekayaan itu saban2 akan disebutkan dalam hukum harta perkawinan (huwelijksgoederenrecht).

3. HUKUM HARTA PERKAWINAN. (HUWELIJKSGOEDERENRECHT).

Keluarga2 yang timbul karena perkawinan membutu'hkan dasar ke- bendaan ; suami dan isteri (bersama anak2nya) sebagai kesatuan keluarga yang terwujud 'karena perkawinan, harus hidup ber-sama2 dan untuk itu harus memiliki barang2. Di mana -kesatuan kerabat se­bagai masyarakat berarti sosial yang penting, maika kekayaan keluar­ga tertampak tegas terhadap kekayaan ; keraibat; ter-kadang2 batas2- nya tipis2 dan samar2, ter-kadang2 terang kelihatan benar2. Di mana 'kerabat2 tidaik timbul sebagai kesatuan2 yang tersusun, maka keluarga2 dengan kekayaan2nya merupakan inti2 masyarakat yang terbatas dengan tegas, tetapi walaupun demikian, ikatan kerabat masih meliputi keluarga2 itu, dan mempengaruhi keadaan hukum da-

ripada m ilik keluarga. Terhadap kerabat2 sebagai masyarakat2, maka keluarga itu meloloskan diri untuk berdiri sendiri, dengan golongan2 yang lebih besar itu -maka keluarga setiap hari berada dalam kese- imbangan, tapi juga berada dalam ketegangan yang tertentu ; da- lam pergaulan2 yang sudah m aju, maka keluarga itu sedang mele- paskan diri atau sudah melepaskan diri dari i'katan kerabat yang mengurungnya ; tapi terhadap keluarga2 yang berdiri sendiri seba- li'knya kerabat2 sebagai golongan sanak-saudara tak tersusun saban2 mengemukakan tuntu>tan2 hak2nya. Dengan jalan hukum harta perkawinan itu <maka harta keluarga itu terpaku pada tempat- nya antara kedua kutu'b yang tidak .sama kuatnya, ialah kerabat dan keluarga.

Dapat dikatakan pada mmimnya bahwa kekayaan keluarga dapat di-beda2kan dalam empat bagian : A. harta hibahan atau warisan yang diikutkan kepada salah seorang suami-isteri oleh kerabatnya ; B. harta yang oleh salah seorang suami-isteri tadi masing2 diperoleh atas usahanya sendiri sebelum atau selama perkawinan ; C . harta yang diperoleh oleh suami-isteri dalam masa perkawinan atas usaha­nya bersama ; D. harta yang di waktu perkawinan dihadiahkan ke­pada suami-isteri bersama.

A . Harta xvdrisan.

Suatu asas yang sangat umum berlakunya daripada hukum adat Indonesia ialah bahwa mengenai hartanya kerabatnya sendiri yang berasal dari warisan atau hibahan, maka harta itu tetap menjadi miliiknya salah seorang dari suami-isteri yang kerabatnya menghibali- kan atau mewariskan barang2 itu kepadanya. Harta serupa itu dise­but pimbit (Dayak Ngaju), sisila (Mak.) babaktan (Bal.) asal, asli, pusaka (J., Ind.), gana, gawan (J.) dan sebagainya. Bila terjadi perputusan perkawinan karena perceraian maka harta itu tetap mengikuti si suami atau si isteri yang memilikinya semula, dan sesudah matinya si pemilik maka harta itu tida'k pindah tangan di luar kerabatnya, artinya tidak jatuh sebagai harta warisan ke tangan se­orang daripada suami-isteri yang masih hidup dan barangkali di Jawa oleh karena itu juga tidak diwaris oleh anak2 angkat, agar supaya barang2 itu jangan sampai hilang, kata orang. Di Minang­kabau harta benda ikerabat tidak mungkin dapat di'hibahkan dan tak dapat diwaris oleh anggauta kerabat orang seorang. Dalam soal ini maka di sana keluarga atau cabang kerabat tidak begitu tertampak tampil'ke muka, ialah karena mereka mempunyai hak pakai atas har­ta benda kerabat, yaitu mereka mempunyai ganggam bauntuiq atas

harta pusaka (hal. 93, 137),.sama dengan hak keluarga atas barang- pusaka di Ambon. Akan tetapi hampir di semua tempat- lamxi)a iar ta benda kerabat yang sudah dijadiikan harta benda keluarga itu nampak terpisaJi lebih terang. Harta yang diikutikan kepada pengan- tin perempuan sebagai „bekal” (uitzet) dalam susunan beihukum bapa (di Pasemah misalnya) ter-kadang2 tetap menjadi miliknya si isteri dan diwaris oleh anak-nya dan bila ia mati tidak meninggal kan anak2, diwaris oleh suaminya, walaupun bila terjadi percerai an barang2 itu dibawanya kembali ke keraibat tempat asalnya. Ta nah2 yang di kalangan su'ku Batak diberikan kepada pengantin perem­puan sebagai harta pemberian kemantin perempuan (bruidsgift) di- milikï oleh si suami (dan oleh si isteri) dengan hak mïli'k, walaupun setiap tindakan untuk menguasainya (beschikking) ‘harus dida'hului dengan permufakatan dengan kerabat si isteri. Bila ada anak-nya, maka mereka ini adalah pelanjut2 sewajarnya dalam angikatan berikutnya mengenai barang2nya orang tuanya yang berasal dan wa­risan atau hibahan (hal. 241, 253). Anak2 itu adalah tempat di ma­na pelbagai macam harta benda 'keluarga kepunyaan orang tuanya berkumpul jadi satu sebagai satu macam harta benda (ialah yang dise'but barang asal), dan begitulah seterusnya. Di 'kalangan Dayak arti pusaka itu di samping barang2 warisan juga meliputi 'barang- (berkhasiat) yang diterimanya di tangan misalnya sebagai pemba­yaran perkawinan atau pembayaran denda dan barang2 mana diper- untukkan buat diwariskan kepada ahli waris. Berhadapan dengan pusaka dalatm pengertian umum sebagai „milik yang keramat ter* dapat harta yang diperoleh atas usaha sendiri — buat pengusaha sendiri harta itu jauh dari pada ,,keramat” — ialah harta benda yang di 'kalangan Dayak Ngaju disebut dengan istilah „ nu kar dan yang di tempat2 lain juga disebut (dalam arti kata umum) : pen- carian.

B. Harta yang dipcroleh sendiri.

Kemungkinan buat seorang lelaki berkawin atau seorang perem- puan berkawin untu'k mempunyai harta sendiri buat diri sendiri, ada­lah tergantung di satu fihak dari daya serap (absorberende kraoht) daripada (harta benda) kerabatnya (kerabat fihak lelaki atau fihak perempuan), di lain fihak juga tergantung dari daya serap kekayaan umum daripada keluarga. Di mana ikatan kekerabatan masih kuat, maka harta yang baru dapat di<peroleh itu sejafk. pada permulaannya diperuntukkan buat si pemeroleh dan buat setengah daripada sanak- saudara2nya yang dengan dia merupakan kesatuan sosial, itupun bila­mana ia tidak dapat meninggalkan harta itu sebagai warisan kepada

anak2nya sendiri yang termasuk dalam ikatan kekerabatan situ ju ­ga. Seorang lainnya daripada suami-isteri yang bukan si pemeroleh me­nurut hukum adat tetap di luar milik harta serupa itu, sudah barang tentu ia sebagai satu bagian daripada keluarga turut merasakan buah hasil harta itu bila ada ; untuk menguasainya se-bulat2nya ha- lus ada persetujuannya, se-tidak2nya setahu warisnya, yaitu sesama anggauta kerabat. Bark harta yang diperoleh sebelum per­kawinan, maupun selama perkawinan, dapat berkedudukan hukxuu sebagaimana yang di'bentangkan tadi.

Demikianlah misalnya harta yang diperoleh oleh suatu keluarga Batak menjadi miiiknya si suami dalam ikatan kerabatnya, artinya,. bahwa si isteri atau kerabatnya tidak mungkin mendaipat hak sedi- kitpun untuk dirinya sendiri atas sebagian harta, walaupun si isteri itu selama perkawinan ikut merasakan hasilnya kekayaan 'keluai-ga itu. Perempuan Batak dapat juga meimiliki harta bendanya sendiri misalnya sebidang tanah yang dulu oleh bapanya dthadiahkan kepa­danya sebagai gadis (tano atau saba bangunan), akan tetapi ba­rang2 itu termasuik dalam ruang „liarta hibahan” , yang tetap terikat (walaupun dengan pengikat yang dapat direnggangkan) pada ke­kayaan kerabat aslinya. Demikianlah di satu fihak terikatnya pada kerabat sendiri dari fihak suami atau isteri membatasi milik atas ke­kayaan sendiri ; di lain fi'hak justru karena terikatnya pada golongan kerabat- itu dapat dicegah jangan sampai ada barang2 jatuh campur jadi sa-tu menjadi milik dalam harta benda keluarga umum. Di Minangikabau maka harta pencarian — barang2 yang di­peroleh atas usahanya sendiri — baik daripada si isteri, maupun da- lipada si suami, kena daya penarik (coliaesie) nya harta benda ke­rabat, dan menghadapi itu maka daya penarik (adhesie) nya harta- benda ikeluarga umum dapat bertalian, bilamana suami dan isteri ke-dua2nya ikut berjasa dalam memperoleh harta benda tadi, itu­pun kecuali perkisaran2 dalam hukum adat yang akan disebutkan beri'kut ini.

Terlepas dari berlakunya ikatan kerabat yang bersifat memba­tasi, maka barang yang sebelum perkawinan dipei'oleh oleh si lelaki atau si perempuan sendiri, tetap ada miiiknya' suami atau isteri sen­diri, sebagaimana juga pinjaman2 sebelum perkawinan 'tetap ada­lah pinjaman perseorangan2. Di Sumatera Selatan barang2 serupa itu disebut harta pembujangan (dari si suami) dan harta pcnan- tian (dari si isteri), di Bali baik dari si isteri maupun si suami : guna kaya.

Tapi barang- yang diperoleh pada masa perkawinan serupa itu— lagi terlepas dari berlakunya ika'tan kerabat yang telah dibemang- kan di atas tadi — tergolong dalam gabungan harta daripada suami dan isteri yang akan disebutkan berikut ini, walaupun ada keadaan- yang menyebabkan barang- yang diperoleh di masa perkawinan itu menjadi miliknya suami atau isteri sendiri; misalnya di Aceh peng- hasilan suami menjadi miliknya sendiri, bilamana si isteri dulu tidaJk memberikan dasar materieel kepada keluarga beruipa tanali halaman atau kebun, atau tidak memberikan si suami bakal untuk perjalanannya (atau apaikah ini bukannya usaha masyarakat untuk membenaitkan adatnya terhadap pelajaran agama Islam yang tak mengenai aturan sedemikian itu ? ); di Jawa Barat misalnya maka penghasilan2 yang diperoleh di masa perkawinan menjadi miliiknya si isteri sendiri, itupun bila isteri tadi di waktu perkawinan adalah kaya dan lakinya miskin ; rupa2nya misalnya di kalangan priyayi di Jawa dapat dianggap (bahwa penghasilan si suami menjadi mi­liknya sendiri. Kemudian tetap menjadi miliknya si isteri sendiri ter-<kadang2 barang2 atau wang, yang dihadiahkan ikepadanya priba- di karena perkawinannya itu (kecuali bila pemberian itu bukannya penghibahan, pembekalan barang2 kepada kemantin perempuan (uitzet), dan sebagainya oleh fihali orang tuanya si isteri, barang2 dan wang mana kebanyaikan memang mili'k si isteri (dalam ikatan kerabat), akan tetapi tergolong jenis barang asal, yang telah dibi- carakan di atas tadi). Di mana di antara pembayaran2 perkawinan itu terdapat suatu pemberian perkawinan (huwelijksgift) kepada si perempuan seperti jinamèe di Aceh, hoko di Minahasa dan se­perti sunrang di bagian terbesar di Sulawesi Selatan, maka barang- atau wang itu — demikian juga mas kawin dan di lain3 tempat sega- la pembayaran2 yang menjadi satu dengan mas .kawin — tetap ada­lah miliknya si isteri pribadi. Juga hadiah2 yang diterima oleh si- perempuan dari calon suaminya atau dari kerabatnya karena perka­winannya itu, 'kebanyakan tetap adalah miliknya sendiri (di Aceh tetap miliknya sendiri hanya „pemberian pembukaan keperawanan” („ontmaagdingsgave”) dan hadiah hari ketujxrh (zevende-dags- geschenk), begitu denda yang (misalnya di Kalimantan) harus dibayar oleh salah seorang dari suami-isteri kepada lainnya karena sesuatu pelanggaran (delict).

C. Harta perkaivinan bersama antara suami dan isteri.

Begitu lazimnya aturan tentang barang asal sebagai yang diben- tang'kan di atas, yang tetap terikat pada kerabatnya asli, begitu la­zimnya pula aturan bahwa harta benda yang diperoleh di masa per-

kawinan menjadi 'harta -bersama antara suami dan isteri, sehingga merupakan 'harta benda (sebagian daripada kekayaan keluarga) di mana kalau timbul keperluannya (terutama -bilaperkawinan putus) suami dan isteri (masing2 buat sebagian) ada hak atasnya. Adalah suatu perkecualian besar, bila ada terdapat aturan yang tidak. lulus- kan kesempatan untuk mewujudkan harta bersama serupa tersebut di atas itu. Hanya di mana terdapat masyarakat2 yang tersusun menu­rut hulkum bapa, maJka kekayaan kerabat dari fihak suami (dalam perkawinan jujur) atau kekayaan kerabat fihak isteri (dalam perkawinan ambil anak) tidaik meluluskan kesempatan untuk me­wujudkan harta bersama berdasarkan hiïkum, walau sedi)kitpun juga. Tapi dalam pada itu dapat diperhatikan suatu kecende- rungan, bahwa makin berkurangnya pengurungan oleh kerabat, ber- akibat makin bertambah terikatnya harta benda kepada keluarga. Dan hanya di mana (terlepas dari pengaruhnya kerabat) terdapat suatu keunggulan (overwicht) yang besar pada sala'h seorang dari pada suami-dsteri — seperti yang telah dituturkan di atas tadi tentang perkawinan2 di wilayah Sunda daripada perempuan >kaya dengan le­laki miskin (nyalindung ka gelung) atau seibaliknya (manggih kaya) dan sebagainya — maka keunggulan pribadi itulah mencegaih ter- wujudnya harta bersama.

Lain daripada itu praktisnya di mana2 masing2 kekayaan keluarga sebagian terdiri dari harta suarang (Min.), barang perpantangan (Kalimantan), cakkara (Bug. dan Mak.), druwé gabro (Bal.), ba- rang gini, gana-gini (J.), guna kaya (Sund.) dan sebagainya.

Ter-kadang2 daya penariknya barang kerabat itu tergantung dari besar-kecilnya harta bersama itu. Mengenai harta bersama dalam perkawinan ini yang paling terbatas maiknanya ialah terdapat di Mi­nangkabau. Di sana rupa2nya yang dianggap harta suarang hanya barang2 yang diperoleh 'benar2 karena pekerjaannya suami dan isteri ber-sama2. Akan tetapi juga di sana perubahan sosial — yang berwujud penggantian rumah kerabat menjadi rumah keluarga — membawa pengaruh sedemikian rupa sehingga batasnya sebutan har­ta bersama ini menjadi lebih luas.

Biasa yang digolongkan dalam harta bersama di antara suami dan isteri iala'h barang2 yang diperoleh selama perkawinan dan dalam pada itu keduanya, suami dan isteri, dalam artikata umum, beker­ja untuk kepentingan keluarga sehingaa memperolehnya itu ; juga syarat yang terakhir ini — yaitu bekerja untuk kepentingan keluar­ga — dapat diaibaikan, sehingga barang2 yang diperoleh dalaim per­kawinan, selalu adalah kekayaan bersama keluarga; sekali tempo

terdapat suatu peralihan dalam hal ini, seperti di Bali, di mana ba­rang2 yang diperoleh selaku perseorangan (di sana „guna kaya’’) sesudah tiga tahun dianggap harta bersama di antara suami dan iste­ri (druwé gabro). Demikianlah di lapangan milik atas barang2 ter­nyata ada perkisaran titik berat, ialah dari kerabat ke keluarga. Ha­diah2 kepada kedua pengantin karena perkawinannya (lembaga mo­dern) menjadi milik bersama di antara suami dan isteri.

Timbullah ber-bagai2 persoalan hu/kum yang istimewa. Bua'h hasil daripada harta benda perseorangan ter-kadang2 disebut harta bersa­ma bila seorang daripada suami-isteri yang tak mempunyai barang- asal itu turut bekerja untuk memperhasilkannya (turut memeli- hara ternak asal daripada isterinya atau 9uaminya, misalnya di Ja­wa), terjkadang2 buah hasil itu selalu ada miliknya pemilik barang asal itu. Pendapatan daripada barang asal yang dijual atau ditukarkan adalah barang asal. Bila barang-barang asal diper- guna>kan buat mencuikupi keluarga, maka pemiliknya, si suami atau si isteri, 'biasanya tak berhak menuntut penggantinya, juga tak berhak sedemi'kian itu bila perkawinan putus.

Ter-kadang2 terdapat pemberitaan2 tentang harta perkawinan da- iam istilah2 yang seraya mengandung petunjuk siapa yang harus membuktikan (bewijsrisico) bila timbul perselisihan : barang2 itu adalah harta bersama, kecuali bila diibnktrkan, bahwa si isteri tida-k memegang rumah tangganya. Sedemikian itu dapat membingung- kan : buat menetapkan siapa yang harus membuktikan dulu (verde­ling van de bewijsrisico) yang menjadi soal ialah bagaimana kea- daannya yang normaal dan oleh karenanya dengan sendirinya sudah dapat dianggap benar dan bila yang jadi perkara itu menyimpang dari keadaan normaal, simpangan mana terutama yang harus dibuk- tikan : tapi soalnya sendiri semestinya termasuk soal hukum madi (materieel recht). Selama masa perkawinan maka suami-isteri ber­buat dengan harta bersama itu dengan permufakatan yang layak, terang2an atau diaom2, masing2 dalam lingkungan kekuasaannya sendiri2 yang Iayak. Bila diada'kan perjanjian2 (transacties) yang penting, maka ter-kadang2 kedua orang tampil ke muka, akan tetapi bilamana si suami yang bertindak maka dianggap dahulu, bahwa isterinya sudah rnufakat tindakannya itu dan perbuatan si suami itu sudah sah walaupun ia untuk itu tidak berbicara dengan isterinya. Tapi andaikata si isteri tetap menentang secara terang2an, maka si suami tak berkuasa bertindak sendiri, kecuali dalam keadaan me- maksa ; fihak ketiga hendaknya mempertimbangkan kemungkinan ini. Sama halnya dengan membuat pinjaman; 'kewajiban2 mem- bayar yang telah dijanji'kan oleh suami atau isteri harus ditunaikan

dengan mempergunakan harta bersama sebagai kewajiban2 keluar­ga. Hutang2 sedemikian itu harus dibayar dengan harta bersama, bila tak cukup, dengan barang asal milik suami atau isteri yang su­dah bertindak memrbuat hutang tadi ; malahan di Makasar dapatlah barang- asal (atau barang2 sisila) dijual untuik melunasi hutang2 bersama sebelum dijual harta bersama untuk itu ; tetapi barang2 asal dari.pada seorang yang telah mati tidak dapat diperlakukan de­mikian. Andaikata si suami atau si isteri mempunyai hutang sendiri— misalnya hutang yang terjadi sdbelum dia kawin — maka hutang itu per-tama2 harus di'bayar dengan barang asalnya. si jodoh yang bersangkutan dan nomor dua : dengan harta bersama seluruhnya. Selama perkawinan tak dapat dikatakan adanya suatu bahagian suami atau isteri daripada harta bersama yang tak ter-bagi2, dan pe- nyitaan atas suatu bahagian dari seluruhnya yang tak ter-bagi2 untuk membayar hutang adalah (dan praktisnya) suatu kemustahilan, ka­rena harta benda itu selama perkawinan tak daipat di4bagi2 bila tidaik dikehendakinya oleh siapa yang berkepentingan.

Pembagian barang2 perkawinan itu terjadi bila perkawinan putus karena perceraian hidup. Bilamana tidaik ada peristiwa, bahwa sa­lah seorang dari suami-isteri berkelakuan begitu buruk sampai ke- hilangan segala haknya atas sebagian harta perkawinan oleh karena­nya, atau bahwa si isteri meninggalkan bagiannya sebagai pemba­yaran kerugian atas talaq yang dijatuhkan atasnya (hal. 229, 233), maika biasanya masing2 dari suami-isteri mengambil kembali ba- rang2nya asal, mungkin ditambah juga dengan barang milik yang diperolehnya pribadi dan bagiannya dari harta benda dalaim perka­winan. Selanjutnya harta bersama itu dibagi dua sama bagiannya atau kalau tidak, dalam 'perimbangan dua bagian buat si suami dan satu bagian buat si isteri. Perimbangan pembagian yang terakhir ini rupa2nya adalah patokan Indonesia untuk menilai berapa tenaga si suami yang dianggap sudah disumbangkan buat harta bersama tadi dan berapa sumbangan tenaga si isteri; dikatakannya orang: sapi- kul sagéndong (J.) susuhun sarembat (Bal.). Tentang anggapan bahwa pembagian itu berasal dari huikum Islam, maka anggapan sedemikian itu talk dapat dipertahankan karena ada wilayah2 di ma­na agama Islam tak berpengaruh sedikitpun tapi toch patokan pem­bagian yang sama dengan tadi sudah lazim di antara Pribumi. Mengenai anggapan bahwa patokan pembagian serupa itu juga harus diperlakukan atas peristiwa2 lainnya (misalnya bila ada pem­bagian harta peninggalan), maka anggapan sedemikian itu menga- bai-kan adanya perbedaan dalam dasar2 pembagian, ialah dasar pem­bagian harta perkawinan dan dasar pembagian menurut hukum

waris. Di lapangan hokum waris maka pernilaian : lelaki dua bagian terhadap perempuan satu bagian, adalah barangkali berasal dari hukum Islam, barangkali juga karena rakyat meniru cara pemba- giannya harta perkawinan, tapi jarang sekali menurut suatu kai- dah hukum adat setempat. Bila perkawinan menjadi putus karena matinya suami atau isteri maka jodoh yang masih tinggal hidup itu menguasai harta bersama secara seperti sebelum terputusnya perka­winan ; jodoh yang ditinggal mati itu berhak atas harta bersama itu untuk nafaqahnya sendiri; bilamana nafaqah ini telah dipenuht secara patut, maka dapat di-bagi2nya harta tadi antara dia dan alili warisnya jodoh yang m ati; 'bilamana ada anak2 yang Ialhir dari per­kawinan tadi, maka pada akhirnya mereka mewaris harta bersama itu sebagai barang asal; bilamana tidak ada anaik2, maka rupa2nya sematinya jodoh yang terlama hidup ini, harta bersama tadi di-bagiJ di antara sanak-saudara si suami di satu fihak dan sanak-saudara si isteri di lain fihalk dengan memakai patokan yang akan dipakai andai- kata suami dan isteri dulu di waktu hidupnya membagikannya di an­tara mereka satu sama lain. Bilamana di waktu hidupnya si jodoh yang ditinggalkan mati suami atau isterinya itu diadakan pembagian harta, maka di Jawa misalnya, tidak diadakan perhitungan yang saksama, ialah anak2 bersama ibunya atau bapanya mendapat -bagian sama ma-sing2 dari harta selurulhnya, yang terdiri dari jumlah se- mua barang2 dijadikan satu ; di Sulawesi Selatan si isteri di sam­ping bagiannya daripada harta bersama mendapat juga porsinya sebagai janda (weduwe-portie), si suami mendapat bahagiannya sebagai janda laki2 (weduwnaarsdeel) (tawa kabaluang).

Sedang pembagian harta bersama semasa suami dan isteri masih hidup secara paksa di mana2 menurut hukum adat tak m u n g k in sama sekali, namun pembagian barang2 itu dengan permufakatan satu sama lain ada juga terdapat, dan pembagian serupa itu berlaku di antara suami dan isteri bersama ahli warisnya. Pelaksanaannya pembagian ialah menurut patokan yang dikehendaki mereka sendiri, kalau tidalk begitu, dengan jalan penghibahan oleh mereka bersama kepada salah seorang daripada ahli warisnya. Alasannya untuk itu mungkin misalnya karena si suami akan naik haji dengan seorang diri saja. Dalam pada itu terhadap penuntut2 pinjaman lama (bila kepentingannya dirugikan) pembagian semacam tadi akibat- nya tidak berlaku atas mereka, dan terhadap penuntut2 pinjaman baru pembagian itu hanya berlaku aikibatnya atas mereka bilamana pembagian harta dalam lingkungan keluarga sendiri itu sudah cu- kup diumumkan sepatutnya, sebelum timbul hutang baru itu.

Mengenai perbuatan menolak hak untuk ikut memiliiki harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan (uitsluiten van de gemeen­schap van goederen) pada mulanya, maka perbuatan sedemikian itu — sebagai perbuatan hukum — tidak terdapat dalam hukum adat. Sebaliknya karena pengaru'h Kristen (Kaoholik) rupa-nya ter-kadang2 terdapat juga kejadian, bahwa sejak mulanya sudah ditetapkan — ini adalah satu2nya perkecualian yang jarajig ada — ba'hwa juga barang2 asal akan menjadi harta bersama di antara suami-isteri (fatsal 50 daripada ordonnantie tanggal 15 Pebrtiari 1933 Stbl. no. 74).

D. Harta benda yang dihadiahkan kepada suami-isteri bersama.

Di Madura ada terdapat, bahwa di sana di waktu perkawinan di- langsungkan, 'kepada suami-isteri diberikan hadiah barang2 (barang pembawaan) yang pembagiannya di antara mereka berdua ada ber- lainan caranya daripada pembagiannya harta benda yang diperoleh di masa perkawinan (ghuna ghana). Sedang barang2 yang tersebut terakhir ini pembagiannya : dua bagian untuk suami, satu bagian untuk isteri, namun barang pembawaan ini pembagiannya: suami dan i-steri mendapat bagian sama, yaitu masing2 separuh.

BAB KESEPULUH. H U KU M W A R IS .

Dalam hubungan yang sangat eratnya dengan apa yang telah di- bicarakan dalam ba/b2 lainnya maka hukum waris adat itu meliputi aturan2 hukum yang bertalian dengan prosés dari abad ke ajbad yang menari’k perfiatian, ialah proses penerusan dan peralihan kekayaan materieel dan immaterieel dari turunan ke turunan. Hanya tinggal ditunjukkan saja sampai di mana berlakunya pengaruh lain2 atur­an2 hukum atas lapangan hukum waris dalam masing2 lingkungan hukum. Hak pertuanan (beschikkingsrecht) membatasi pewarisan tanah ; perjanjian2 tanaih seperti penggadaian tanaih harus dilan- juukan oleti ahli waris ; kewajiban2 dari hak2 yang ti-mbul dari per­buatan2 kredit tetap berlaku terus sesudah matinya orang yang su­dah berbuat itu ; bangunnya susunan sanalk-saudara2, begitu juga bentuknya perkawinan, kesemuanya ada pentingnya dalam hukum waris. Perbuatan2 hukum seperti ambil anaik (adoptie), perkawinan ambil anak (inlijf-huwelijk), pemberian bekal kepada pengantin pe­rempuan (uitzet-verstrekking), kesemuanya itu dapat juga dipan­dang sebagai tindakan2 dalam lingk-ungan huikum waris -> ialah hu­kum waris dalam arti luas tersebut di atas ialah; penyelenggaraan pemindaihan tangan dan peralihan kekayaan 'kepada turunan berik.ut- nya.

Bilajnana proses termaksud di atas itu di-gunting2 menjadi po- tongan2 kecil2 dengan jalan : menempatkan „penghibahan (toe- scheiding) di samping „wasiat” (uiterste wilsbeschikking) dan di samping „pewarisan tanpa ada wasiat" (abintestaatvererving) — menempatikan „harta peninggalan yang tetap tak ter-bagi2 di ha- dapan „pem'bagian harta peninggalan” — pula dengan ja lan : memibandingkan bagian2 warisan menurut undang-undang (legi­tieme porties) dengan „wewenang untuk menolak seseorang waris dari warisan” (ontervingsbevoegheid), — maka penyaringan dan pemisahan sedemikian itu di sini juga talk dapat dihindarkan untuk mendapat ikhtisar dan pengertian yang seJbaik2nya, — tapi peng- guntingan dalam artikata di atas tadi adalah juga suatu penye- rangan atas pengertian tentang keseluruhan peristiwa hidup tadi. Dalam kenyataannya orang tidaik cukup dengan bertanya saja ba­gaimana suatu kekayaan tertentu sudah diperlakukan semestinya oleh pemiliknya, dengan jalan demikian itu orang akan 'memperoleh gam­baran yang pincang; namun dalam pada' itu orang dapat dan ha­rus memisahkan tokoh hukum „kepindahan milik kekayaan di waktu mati” dari tokoh hukum „penghibahan (toescheiding) di waiktu hidup”, dan sebagainya.

Di lapangan hukum waris dapat mudah ditunjukkan adanya kesa­tuan dan ber-jenis2an dalam hukum adat Indonesia. Dapat disu- sun aturan2 pokok dan asas2, yang sangat umum -berlakunya, tapi tak dapat disusun satu aturan, yang di semua lingkungan hukum ber- perangai lahiryang sama. Kaidah : „bila seorang pemilik Bumiputera mati maka per-tama2 ana/k2nya mewaris dari dia” adalah hanya se­tengah betul terhadap daerah2 Batak, ialah „benar” hanya terhadap anak2 laki2 (walaupun dalam pada itu barang2 yang telaih dibawakan kepada anak2 perempuan tidak boleh diabai/kan begitu saja); di Minangkabau kaidah itu setengah betul, artinya „betul” bila yang mati itu ibunya ; bila yang mati itu bapanya, maka yang mewaris dari dia ialah angkatan muda keturunan saudara2 perempuan si mati, bukannya angkatan muda keturunan (dia 'bersama) isterinya (wa­laupun dalam pada itu penghiibahan2 berkala dari bapa kepada anak2nya tida/k boleh diabai'kan ibegitu saja) ; di daerah2 Lampung kaidah itu seterigaih betul, dalam pengertian ba'hwa di sana hanya ana/k yang tertua mewaris — tapi dengan dibebani kewajiban mem- perlaikukan keluarganya bapanya seperti keluarganya sendiri. Me­ngenai kaidah yang menyebutkan bahwa harta peninggalan sesudah matinya pemiliknya dalam keadaan2 tertentu masih tetap tidak di-ba- gi2, maka aturan ini di Minahasa mengalkibatkan keadaan yang lain dari pada di Minangkabau, lain pula dari pada di Bali atau di Ja­wa, dan sebagainya.

Aturan2 hukum waris tidak hanya mengalami pengaruh peru- baihan2 sosial dan semakin eratnya pertalian keluarga yang beraiki- bat semakin longgarnya pertalian clan dan suku saja, melainkan, juga mengalami pengaruhnya sistim2 huikum asing, yang mendapat kekuasaan berdasarkan atais agama ikaxena ada 'hubungannya lahir yang tertentu dengan agama itu : dan kekuasaan tadi misalnya di- praktekikan atas soal2 yang concreet oleh hakim2 agama, wailau.pun pengarulh itu atas hukum waris tidak ibegitu kentara seperti atas hukum perkawinan ; adalah tergantung dari ikekuatan bentuk2nya hukum waris sendiri apakah ia dapat tetap menolak pengaruh itu, ataukah pengaruh itu dapat menyebabkan perubahan2 yang menda- lam atasnya.

Per-tama2 di sini akan dibicarakan hal harta peninggalan yang tetap tidak di-bagi2; sesudah itu ; hal perbuatan2 hukum yang meng- aki'batkan atau mempengaruhi pembagiannya; selanjutnya hal aihli waris di mana tiada wasiat (abintestaat) dan kemudian h a l : diwarisnya bagian2 yang tertentu daripada harta peninggalan dan hutang2. Mengenai kebiasaan membawakan kepada si mati barang2

ke liang kuburnya — barang2 mana menurut alam pikiran „serba berpasangan” (participerend) sedemikian erat hubungannya dengan pribadinya si mati, sehingga orang lain tak dapat memilikinya tanpa mendapat ba'haya oleh karenanya — maka hal itu harus dianggap sebagai suatu kebiasaan yang sudah lenyap atau sedang menjadi lenyap.

1. DARI H AL TETAP T A K TER-BAG FNYA H A R T A PEN1NGGALAN.

Adanya harta peninggalan tetap tinggal tak di-bagi2 itu dalam be­berapa lingkungan hukum ada hubungannya dengan aturan bahwa harta benda yang ditinggalkan oleh kakek2 (dan nenek2) itu tidak mungkin dimiliki, melainkan secara milik bersama beserta waris la­innya, yang satu dengan lain merupakan suatu kebulata.n yang tak da­pat ter-bagi2. Harta keraibat di Minangkabau ialah harta pusaka, dan tana'h2 kerabat dati di jazirah Hitu di pulau Ambon ke­semuanya itu dapat dipakai sebagai contoh. Masing2 anak yang lahir adalah peserta dalam gabungan perseorangan2 yang memiliiki barang2 kerabat, tanah2 pertanian, pekarangan dengan rumah dan ternaiknya, tkeris2 dan perliiasan2 mas intan ; masing2 lela­ki atau perempuan yang meninggal dunia meninggalkan gaibungan perseorangan2 (personen-complex) tadi untuk berlangsung terus dengan tiada gangguannya. Sepanjang seseorang di waktu liidup nya telah memperoleh harta benda atas usahanya sendiri (harta pen- carian) raaka bila ia mati barang2 itu jatuh ke tangan anak-cucu- nya yang berhak atasnya sebagai warisan yang bulat dan tak ter-ba­gi2, anak-cucu mana sewaktu hidupnya dulu juga sudah ada hubungannya terhadap barang2 tadi sebagai waris (hal. 205). Bila­mana misalnya di Minangkabau ada seorang perempuan mati yang mempunyai sawaih sebagai milik perseorangan, maka sawah itu men­jadi milik bersama yang tak ter-bagi2 daripada anak2nya ; itu dise­but harta pusaka angkatan pertama (oleh karena rupa2nya ju- ga disebut harta saka, atau harta pusaka rendah). Dengan cara serupa itu juga maka harta pencariannyz seorang laki2 menjadi harta (pn)saka daripada saudara2nya laki2 dan perempuan dan anak- cucunya saudara2nya perempuan, kesemuanya menurut garis ketu­runan perempuan. Demikianlah ada pada harta pusaka itu s e n d i2 nya ( g e l e d i n g e n ) . Harta benda terkuno berasal dari banyak angkatan2 leluhur yang lampau, yaitu dari nenek2 yang dulu mem- bantu pembentukan nagari, ialah disebut harta pusaka tinggi, di bawah pengurusannya kepala daripada kesatuan kerabat yang ter- besar, ialah pengulu andiko, dan harta benda yang termuda berasal

dari seseorang lelaki atau perempuan dari angikatan yang baru lalu yang meninggal dunia ; di antara dua2nya terdapat gabungan2 harta benda berasal dari leluhur2 dari beberapa angkatan yang lalu. Kese­muanya itu dalam prakteknya menjadi lebih gampangdari pada nam- paknya, ialah karena adanya golongan2 yang 'habis mati, dan perga- bungan harta2 menjadi satu oleh karenanya, dan sebagainya. Bila­mana suatu gabungan kerabat menjadi kebesaran, maka lantas membe- laihlah juga kekayaan yang tadinya tak ter-<bagi2 itu (gadang ma- nyimpang). Di mana — seperti di jazirah Hitu di pulau Ambon — kekayaan2 kerabat tak. ter-bagai2 (dati) serupa itu ada di tangan ba­gian clan berhukum bapa maka ana!k2nya si suami (dan si isteri) dan anak-cucunya anak2 laki2 adalah pelanjut2nya. Jadi tanda ciri daripada keadaan tetap talk ter-bagi2nya kekayaan per-tama2 ia- laili karena ta k m u n g k i n nyamem-,bagi2nya, dan ikenyataan bahwa sesuatu golongan ber-saana2 mempunyai hak atasnya, ter-dca- dang3 di bawah pimpinan seorang kepala kerabat, ialah mamak kepala waris, kepala dati. Bilamana harta kerabat sedemikian itu jatuh terlantar dengan tiada yang mengurusnya, guntung (Min), linyap (Amib.) karena kerabat habis mati, punah (Min.), maka bisa lantas jatuh ke tangan kerabat2 yang karib atau — bila ini tidak ada — lte tangan masyarakat.

Cara lain daripada keadaan tetap tak ter-hagi2nya harta pening­galan ialalh karena hanya seorang anak - anaik laki2 yang tertua- (seperti di 'kalangan sebagian penduduk Lampung, dan 6eperti dulu selalu dan sekarang ter-kadang2 masih di Bali) yang berhak untuk mewaris; pula karena berhak mewaris hanya anak perempu­an yang tertua (sebagian) dan bila tidak ada anak2 perempuan, anak laJki2 yang termuda di kalangan suku Semendo di Sumatera Se­latan, di kalangan suku2 Dayak Sandak dan Dayak Tayan di Kali­mantan Barat. Anak laki2 tertua sematinya bapanya beralih mendu­duki tempatnya ; ia menjadi pemilik kekayaan, tapi sekalian ia ber- kewajihan memberi nafaikah kepada saudara2nya laki2 dan perem­puan, mengawinkannya dan menyokongnya dalam perjoangan kehi- dupannya. Di Bali ia harus tetap memperuntukkan sebagian daripada kekayaan itu — „bagian kuil rumah” — buat peribadatan. Saudara2 laki2 yang tidak suka secara demikian tetap tinggal seruimah dengan saudaranya laki2 tertua, mereka mengembara — misalnya di Lam­pung - dengan keluarga2nya ke tempat2 lain ; dengan jalan de­mikian maka rupa2nya seluruh marga sekarang diduduki orang. Tapi harta peninggalan si bapa tetap turun-temururi dalam keadaan ke­satuan yang taik ter-bagi2, dimili'ki oleh penyimbang, anak laki2 tertua daripada anak laki2 tertua, dan sebagainya ; bilamana ia tak ada lagi

dan tak diusahakan gantinya dengan jalan negikan, yang berarti : mendirikan caibang, maka cabang itu mati habis (mupus) dan har­ta peninggalan jatuh ke tangan cabang yang paling karib dengan- nya. Kemungkinan bahwa anak2 yang lebih muda minta biaya na- faqah untuk dirinya berupa sebagian harta sekaligus — ialah baihwa mereka untuk itu ingin mendapat sebagian dari harta tadi sekaligus (zich laten uitboedelen) — dapat mengakibatkan timbulnya suatu liak atas sebagian 'harta dan dapat mengakibatkan hapusnya hukum waris berdasar anak yang tertua (majoraatserfreoht). Di Bali proses pengfiapusan sedemikian itu rupa2nya makin mendapat kemajuan. T en tan g kedudukan istimewa daripada anak perempuan tertua di Ttalangan suku Semendo, yaitu tunggu tubang (di bawah pengawasan anak laCki2 tertua, ialah payung jurai) dan kedudukan anak perem­puan tertua di kalangan suku3 Dayak Sandak dan Dayak Tayan : anaq pangkalan, kesemuanya juga mengandung maksud dan mem- beri kekuatan untuk memegang bagian2 pokok daripada harta itu menjadi satu sebagai kebulatan yang tak ter-bagi2, terdiri dari satu daripada masing2 jenis ; sebidang tanah pertanian, sebidang tanah pekarangan, seekor kerbau, sebatang pohon kelapa ; sekumpulan harta ini buat sekalian anak2 tetap menjadi „pangkalan” mereka pergi mengembara dan juga „pangkalan” mereka pulang untuk memperoleh perlindungan. Secara semacaan itulah rupa2nya harus ditaEsirkan kedudukan yang dilebifokan dalam hukum waris daripa­da anak laki2 termuda di kalangan sebagian rakyat Batak ; dia yang paling laima tinggal di rumah mendapat sebagian dari budel yang Tnasi-h dalam keadaan tak ter-bagi2 yang dulu ada di tangan si pening- gal warisan agar supaya dipertahankannya terus (buat dirinya). Ke- wajiban2nya terhadap saudara2nya perempuan yang belum kawin (kewajiban2 mana dipikulnya bersama dengan kakak2nya laki2) adalah seimbang dengan kedudukannya yang dilebihkan itu.

Harta2 kerabat tak ter-bagi2 yang terkenal di Minahasa ialah barang kalakéran, berbeda dengan harta kerabat Minangkabau — ini terlepas dari tata-susunan rakyat Minahasa yang berhukum ibu- ba-pa dengan kelebihan di fihak bapa — dalam pengertian, bahwa harta tadi mungkin dan boleh di-bagi2 asalkan semua orang yang berhak menyetujuinya. Mengenai keadaan tetap taik ter-.bagi2nya barang yang diperoleh atas usa'ha perseorangan, yaitu barang pasini, misalnya : tanaman3 di atas tanahi kalakéran, maka bila pemiliknya itu mati lantas diwaris sebagai harta bersama daripada golongan anak-cucunya orang yang meninggal dunia itu — jadi golongan anak-cucu yang merupakan sebagian kecil dari kerabat seluruhnya, yang memiliki harta kalakéran — maka keadaan itu juga menye-

babkan timbulnya semacam sendi2 dalam susunan kerabat seperti di Minangkabau, hanya saja urusan ini menjadi amat lebih ruwet disebabkan oleh perkawinan2 endogamie di sana. Di sinilah letaknya kekacauan dalam hal hulkum tanah di Minahasa, dan orang berke- hendak mengatasinya dengan jalan memungkinkan dan menge- sahkan pembagian2 harta peninggalan itu tanpa persetujuan bu* lat daripada anggauta2 kerabat (yang tidak selalu bisa didapatnya hubungan). Penyelesaian masalah ini buat sementara tidak mung­kin karena kurang baiknya organisasi peradilan (gubernemen), ku­rang tepatnya pengertian tentang funiksi yang mau tidak mau harus dimiliki oleh peradilan untuk mengadili perkara serupa itu dan oleh karenanya timbul usaiha yang kurang tepat pula untuk memperbaiki peradilan tadi.

Di Ambon maka tanah2 di luar golongan tanah2 dati diwaris oleh anak-cucu peninggal2 warisan dalam arti hukum ibu-bapa ; warisan itu menjadi milik pusaka yang tetap tak ter-bagi2, walaupun dapat juga diusahakan untuk di-bagi2nya. Juga sekitar milik ini timbul sendi2 di antara gerombolan2 kecil daripada mereka yang berhak atas pusaka ini (anak-cucu anggauta kerabat yang sudah memper­oleh milik — perusahaan — sendiri, ialah karena ia telah membuka tanah sendiri atau menaimbah jumlah tanaman sendiri) dalam ling- kungan golongan kerabat yang lebih besar dan yang memilitki tana- man) yang lebih tua ; juga di sana timbul permudahan yang praiktis mengenai penggolongan para ikut berhak, penggolongan mana se- mula teoritis menjadi sangat ruwet sekali nampaknya.

Di luar bentuk2 daripada keadaan tetap tak ter-bagi2nya harta pe- ninggalan yang tersebut di atas itu, maka adalah perangai ke Indo- nesiaan umum, bahwa harta peninggalan itu sematinya si pening­gal tetap diteruskan sebagai kebulatan harta yang tak ter-bagi2 dan sebagai kekayaan keluarga ; dasar daripada tak terjbagai2nya itu ada- Iah pokok pikiran, bahwa harta yang diperoleh itu memang tersedia untuk mencukupi kebutuhan2 dan keinginan2 materieel daripada k e l u a r g a nya. Adalah disadari sebagai perkara yang sudah se- mestinya, bahwa — bila pemimpin daripada keluarga itu meninggal dunia - harta bendanya (harta benda keluarganya) tetap berlang­sung dalam keadaan tak ter-bagi2 di bawah pimpinan orang lain (yaitu anak laki2 yang tertua, jandanya) untuk kepentingan keluarga, sam­pai pada siiatu waktu kelak di-*bagi%iya di antara anggauta2 keluarga perseorangan untu'k dipakai lagi sebagai dasar daripada keluarga2 yang dibentuk oleh mereka. Juga dalam pada itu harus selalu di- ingat, bahwa pembagian itu tidak perlu dan acapkali tidak terdiri

dari satu perbuatan sekaligus pada satu saat, melainkan pembagian itu terdiri dari satu proses ber-angsur2 daripada pemberian tanah2 pertanian, pekarangan2, rumah2 kepada anak2 yang pergi raenyiar (berkawin), dan sisanya jatuh ke tangan anak yang termuda — yang terlama tinggal di rumah — ialah sesudah kedua orang tuanya meninggal dunia. Dalam proses ini maka kematian orang tua mungkin merupakan suatu insiden yang taik berpengaruh nyata atas jalannya urusan menurut hukum adat; mungkin juga kematian itu menjadi alasan untuk mem-bagi2 harta benda itu sam­pai habis secara pasti. Dalam hubungan ini maka pertanyaan yang menjadi soal dalam hukum adat ialah, apakah — bila seseorang yang dianggap sebagai pemilik harta benda itu meninggal dunia — seorang warisnya, limpama anaknya yang sudah dewasa, dapat m e - n u n t u t pembagian sekaligus dan pasti daripada harta peningga­lan itu. Jawaban atas pertanyaan ini ialah, bahwa: bilamana keadaan tak ter-bagi2nya dan kumpulan jadi satu daripada harta peninggalan itu perlu dan dibutuhkan untuk mencapai tujuan harta itu sebagai kekayaan keluarga — bilamana misalnya seorang janda atau anak2 yang belum dewasa harus mendapat nafaqahnya daripa­danya dan pemberian nafaqah ini akan kurang dapat terlaksana andaikata diadakan pembagian — maka pembagian itu tidak (be­lum) boleh dituntut oleh seorang waris itu. Tentang sampai di mana orang dengan permufakatan satu sama lain segera atau tidaik sege- ra mem-bagi2 harta peninggalan itu, maka hal ini tergantung dari banyak faktor2 ekonomis dan peribatan sihir (magisoh-religieuze factoren). Putera2 Batak yang bapanya sudah mendapat sukses ba­nyak, dengan secepat mungkin memiliki bagiannya dalam harta benda yang berasal dan diperoleh sendiri oleh si m ati; bagiannya itu seraya akan memberkahi dia juga dengan keuntungan- yang ada pada .barang2 itu sebagai kekuatan gaib ; tapi mereka akan mem- biarkan misalnya ladang2 yang diwarisinya dari kakek2 leluhurnya dalam keadaan tak ter-bagi2 di antara mereka satu sama lain seumur hidupnya. Sebaliknya orang2 Dayak membiarkan dalam keadaan- tak ter-bagi2 di antara golongan2 ahli waris : barang" yang mengandung banyak khasiat „magis” seperti gong2, senjata2 kuno dan pakaian2 kuno; orang2 ahli waris yang pegang pimpinan adalah hanya pemakai2 atau pengurus2 (beheerders) barang2 itu. Di kalangan su­ku Toraja Barat maka sekumpulan harta benda kerabat tak di- singgung2 dan berada dalam keadaan tak ter-bagi2 di bawah pengu- rusan salah seorang dari perempuan2 yang tertua ; si lelaki bila ia "kawin pindah ke rumah isterinya dengan tidak membawa barang apa2 yang berharga. Di Jawa pembagian harta peninggalan itu

dapat segera dilaiksanakan karena misalnya kebutuhan akan wang dan berttiubung dengan ini, karena keharusan untuk memiliki tanah2 pertanian sendiri agar supaya dapat dipakai jaminan pinjaman kepada „volkscredietbanlk” ; andaikata soal ini tidak ada,' maka. pembagiannya harta itu sampai lama akan tak terlaksana.

Di lain fihaik, maka dalam alam pikiran „serba berpasangan” (par­ticiperend) adanya milik bersama atas kekayaan tak ter-bagi2 itu — misalnya sebidang tanah yang tak ter-bagi2 — adalah juga suatu. syarat yang riil untuk memegang jadi satu pertalian kerabat sendiri.. Juga oleh' karena itulah maka orang dengan sengaja membiarkam harta peninggalan sampai lama dalam keadaan tak ter-bagi2 dan oleh sebab itu, maka — bila toch diadakan pembagian — dibiarkan se- jengkal tanah yang praktis tak ada harganya di luar pembagian se­bagai sauh yang konkrit yang mengekalkan rapatnya pertalian kera­bat (misalnya : tanah wawakes un teranak di Minahasa, terjemah- annya Jurus: alat pengikat kerabat). Adalah menurut hukum adat mustahil andaikata ada seorang waris yang tak rela lantas diper- bo'lehrkan menuntut pembagiannya sejengkal tanah tersebut; juga tak mungkin sama sekali dikurangi sedikitpun berlakunya aturan2 adat yang telah diuraïkan tadi, bilamana ada orang meminta berlaku­nya aturan hukum Barat yang menetapkan „bahwa seseorang tak dapat dipaksa tetap ikut memiliki harta peninggalan yang berada dalam fceadaan tak ter-bagi2”, ataupun bila ia meminta berlakunya ilmu f&ih (plichtenleer) agama Islam, yang meluluskan pembagian harta peninggalan dengan seketika.

Pemakaian dan pengurusan harta peninggalan tak ter-bagai? itu ter-kadang- terlaksana ber-grlir2 di tangan salah satu dari keluarga* yang berhak (giliran, }.), ter-kadang2 di tangan masing2 dari mere­ka sebagian2 dan ter-kadang2 di tangan salah satu dari mereka. Bila­mana tidak ada perjanjian, maka tidak ada kewajiban untuk membagi atau menyeralh'kan hasil daripada harta itu, dan sudah ba- rang tentu di kemudian hari (bila diadakan pembagian harta) tidak dapat dituntut oleh ahli waris bersama penggantian daripada hasil harta peninggalan yang sudah dipungut oleh si waris yang meme- gangnya untuk dirinya sendiri itu, tuntutan mana, seperti telah ke- jadian, sekali tempo dicobanya diajukan ke muka Landraad2 di Jawa.

2. PENGHIBAHAN2 DAN WASIAT2 (TOESCHELDINGEN EN UITERSTE WILSBESCHIKKINGEN).

Kebalikan benar- daripada tetap tak ter-bagi2nya harta peninggal­an, tetapi walaupun demikian berdasarkan atas pokok pikiran yang;

sama ('kekayaan sebagai kekayaan keluarga, diperuntukkan buat da­sar kehidupan materieel anggauta2 keluarga dalam keturunan2 be- rikutnya), adalah pembagian2 harta peninggalan di waktu masih hi- dupnya pemitiknya. Di waktu anak menjadi dewasa, dan pergi me* ninggalkan rumah orang tua untuk menyiar, dan memulai berumah tangga dan membentuk keluarga yang berdiri sendiri (mencar, J., manjaé, Bat. hal. 167) maka sangat acapkali anak2 itu sudah di- bekali sebidang tanah pertanian, sebidang tanah pekarangan de­ngan rumahnya, dan beberapa ekor ternak, harta benda mana per-ta­m a2 merupakan dasar materieel buat 'keluarga baru itu, dan barang2 itu sudah merupakan bahagiannya dalam harta benda keluarga, yang kelak diperhitungkan pada pembagian harta peninggalan sesudah matinya kedua orang tuanya. Mengingat keadaan biasa daripada peninggalannya orang tani keoil, maka apa yang diterima itu juga tetap sama dengan bahagiannya di kemudian hari ; hanya di kalangan yang ’-ada^sedikit mampu, sesudah anatinya orang tua masih ada ke- tinggalan barang untu'k di-bagi2, walaupun semua anak- itu dengan cara^ tersebut di atas sudah mendapat bahagian masing2. Seorang lakia yang naik 'haji acapkali di waktu hidupnya mem-bagi2 harta bendanya/M engenai sering atau tidaknya penghibahan sewaktu hi­dup (imarisaké, papassang, Sulawesi Selatan) tidak laan hanyadapat dituturkan bahwa itu acapkali ada terjadi dan acapkali juga tidak. Penghibahan tanah kepada seorang anak laki2 atau anak perempuan di waktu ia kawin adalah suatu perjanjian tanah (grondtransactie), tapi suatu perjanjian tana'h d i a a m lingkungan sanaik-saudara, jadi : suatu perkisaran (verschuiving), suatu kepindahan tangan menerus sebagaimana mustinya dari se­orang ke seorang lainnya di dalam lingkungan sanak-saudara yang sudah ada, lingkungan mana meliputi si pemberi dan si terberi ke- dua2nya (hal. 120) . Oleh karenanya ia bukannya perjanjian jual, di mana pembayaran sejumlah wang dengan tunai adalah jasa pembalasan (tegenprestatie) sebagai syarat mutlak untuk me- lepaskan tanahnya. Pemberian bantuan dari penghulu- rakyat adalah perlu sekali buat berlakunya ke luar, terhadap masyarakat dan terha­dap fihak2 ketiga lainnya. Juga penghibahan ini 'haruslah „teiang supaya mendapat perlindungan lalu-lintas hukum di luar lingkungan kerabat, misalnya terhadap penagih2 hutangnya si penghibah menge­nai pinjaman2nya sesudah penghibahan. Tapi sebagai perbuatan berdasarkan hukum waris penghibahan itu berlaiku dalam lingkung­an kerabat tanpa di „terang” kan sedemikian itu dan di sini pem­berian bantuan dari fihak penghulu yang dibutuhkan tadi dapat di- ganti dengan pelaksanaan dan pengakuan menurut kenyataannya

(feitelijke vestiging en erkenning) daripada hubungan hukum yang baru ini selama waktu yang tertentu (hal. 107); pembantuan atau dengan setahunya golongan kerabat yang berkepentingan, ialah warisnya, ter-kadang- adalah syarat untuk sahnya perbuatan penghi­bahan itu, dengan pengertian bahwa masing2 waris dapat menuntut haknya dengan berhasil atas alasan bahwa penghibahan itu terjadi dengan tidak setahunya dan merugi'kan dia — kecuali bila tempo yang lama dan berhubung dengan apa yang kejadian dalam tempo itu membenarkan keadaan penghibahan itu.

Perbuatan penghibahan itu juga dikenakan pembatasan yang di- adakan karena hak pertuanan (beschikkingsrecht) masyarakat (ha­nya sesama anggauta masyarakat dapat memiliki tanah, tidaik boleh dua bidang tanah pertanian di tangan seorang sesama anggauta, dan sebagainya).

Terhadap semua perbuatan lainnya yang berdasarkan hukum wa­ris, maka penghibahan itu tanda cirinya ialah, bahwa penyerahan barangnya berlaku dengan seketika.

Perbuatan penghibahan yang paling sederhana ialah penyerahan tanah kepada seorang anak yang berhak ata$ warisan ; dalam pada itu orang tua itu terikat pada aturan, bahwa semua anak harus men­dapat bahagian yang patut daripada harta peninggalan (bahwa me- ncria'k dari warisan (onterven) adalah terlarang menurut hukum adat), akan tetapi selain dari pada itu ia bebas dalam hal caranya membagi dan menentukan besar-kecilnya bahagian masing2. Namun ' perbuatan penghibahan itu mempunyai funksi lain di luar perkisaran dalam lingkungan aturan2 hukum waris di mana tiada wasiat (abin- testaat erfrecht) ; karena dengan jalan penghibahan ini, maka tim­bul kemungkinan untuk sedikit banyaik membetulkan (korrektie) aturan- hukum waris tanpa ada wasiat yang sudah tepat dipandang dari sudut struktureel atau traditioneel atau saleh (religieus), tapi yang tidak atau tidak lagi memberikan kepuasan. Demikianlah ‘ aturan hukum waris Batak Toba — ialah bahwa hanya anak2 la'ki2 yang dapat bagian harta peninggalan bapanya — diperlunak dengan jalan penghibahan tanah pertanian atau ternak oleh bapa kepada anak2nya perempuan yang belum kawin atau selagi kawin, pula ke­pada ana'k daripada anak perempuan ini, yang nomor satu lahirnya (saba bangunan, pauséang, indahan arian) ; demikianlah aturan hu­kum iVfinangkabau, bahwa seorang lela'ki hanya mewariskan kepada keturunan ibunya, dapat tetap diterima baik, ialah karena dalam prakteknya hampir masing2 bapa menghibahkan kepada anak2nya sendiri sebagian sedikit atau semua harta benda hasil usahanya sen-

diri; demikianlah di Ambon yang berhukum bapa, bapanya kemantin perempuan biasanya menghibahkan sebuah kebun buah2an (dusun lélépéello) kepada keluarga baru itu ; demikianlah dulu di Jawa orang dapat membela diri melawan liakim2 agama yang tak menga- kui liak2nya „anak angkat” atas warisan, ialah dengan jalan menghibahkan harta bendanya atau sebagian daripadanya kepada anak angkatnya itu (hal mana memang terjadi juga dengan ier- tibnya). Orang2 yang tidak beranak dapat memiliki dan menguasai harta bendanya sendiri dengan tiada pembatasan2nya menurut hu­kum waris, itupun kecuali bila pertalian kerabat sebegitu kuatnya, sehingga harta benda itu semua atau sebagian harus diwariskan ke­pada golongan ahli waris yang lebih besar; untuk menjamin kedu­dukan materieel daripada isteri acapkali juga diadakan 'penglilba- han. Akhirnya apa yang dinamakan pembekalan kemantin perempuan (uitzet) yang diberikan untuk dibawa oleh anak- perempuan yang baru kawin (ter-kadang2 dengan upacara besar2an seperti peung- klèh di Aceh) dapat juga dipandang sebagai (semacam) penghi­bahan. Jujur yang dibayarkan kepada kerabat fihak perempuan untuk kepentingan anak2 laki2 yang baru kawin itu memang betul berarti pemakaian kekayaan keluarga atau kerabat untuk bentukan "keluarga salah seorang dari anak2, akan tetapi meskipun begitu — sebagaimana ternyata dari uraian di atas tadi — menurut hukum adat hal itu tidak karib dengan penghibahan.

Tentang tanah hibahan jatuh kembali kepada si penghibah bila­mana orang yang dihibahi itu meninggal dunia dengan tak mening- galkan anak, maka hal ini bukannya suatu aturan yang tersendiri, -akan tetapi berdasar atas berlakunya aturan2 hukum waris atas ba- rang asal.

W a s i a t 2 ( u i t e r s t e w i l s b e s c h i k k i n g e n ) . Pemilik harta benda sewaktu hidupnya dapat juga dengan cara lain mempengaruhi dan oleh karenanya menyebabkan pembagian harta itu. Per-tama2 dengan jalan perbuatan yang bertujuan agar supaya sebagian tertentu daripada kekavaannya diperuntukkan bagi salah seorang dari ahli waris seja.k saat matinya si peninggal wa­risan kelak. Pada salah satu kesempatan di hadapan para waris, maka tanah pertanian atau pekarangan disebut olehnya bahwa di- peruntu-kkannya buat anaknya yang diiunjuk dengan namanya pula. Bilamana si peninggal warisan tidak mencabut kembali wasiatnya itu, maka orang yang diwasiati ada hak atas bahagian kekayaan da­ripada harta peninggalan yang diperuntukkan buat dia, itupun se- panjang keadaan harta peninggalan itu raengizinkannya mengi-

ngat pinjaman2 yang harus dibayar dari padanya, pula mengingat larangan menolak dari warisan (ontervingsverbod). Di mana per­buatan ini ada terdapat, maka rupa2nya disebutnya dengan istilah Islam : hibah wasiat.

Wasiat secara lain, yang sangat lebih lazimnya dan di mana2 di Nusantara sini terkenal dan dipraktekkan, ialah pada saat terakhir di waktu sakitnya atau se-tidak2nya pada waktu pendek sebelum ajalnya maka peninggal warisan itu menjumlah harta bendanya dan menyatakan keinginan2nya terhadapnya. Di Jawa maka wasiat serupa itu disebut wekas (bahasa tinggi : weling), di Minangka­bau : umanat; di lain2 tempat juga disebutnya dengan istilalinya sendiri2. Maksudnya setengah ialah memberikan pernyataan yang mengi:kat terhadap sifat daripada barang2 Jiarta peninggalan (ba­rang berasal dari warisan, barang yang diperoleh sendiri, barang yang diperoleh selama perkawinan, dan sebagainya) setengah lainnya maksudnya ialah untuk memaksakan kepada ahli waris pembagian yang oleh si peninggal warisan dianggap adil, dan untuk mencegah perselisihan tentang harta peninggalan itu. Juga umanat itu ter- gantung dari aturan2 tentang pembayaran pinjaman si mati dan tentang menolak dari warisan (onterving) dan sebagainya.

Rupa2nya dalam kebanyakan lingkungan2 hukum di kalangan go­longan yang termampu mirlai menjadi kelaziman menyuratkan wasiat si peninggal warisan itu dalam testament. Juga terhadap soal ini berlaku sudah barang tentu pembatasan2, berdasarkan hukum madi (materieel recht) . p i mana testament itu masi'h lembaga yang baru, maka haruslah diluluskan masuk menjadi hukum dengan jalan pembentukan hukum dalam tokoh yang sudah di mana2 sesuai de­ngan susunan hukum adat; masalah ini sudah ada titik2 sambung- annya berupa hibah wasiyat dan umanat. Hanya sekali tempo ter­dapat larangan tegas untuk membikin wasiat3 seperti di Tnganan Pagringsingan di Bali, di mana masyarakatnya masih sangat berse- mangat serba umum dalam segala hal (commune samenleving). Pe- nyusunan testament itu menurut hukum adat tidak usaii memakai perantaraan seorang notaris, dan bila toch memakainya perantaraan- sedemikian itu untuk kepastian hukum hanya ada baiknya, bila notaris itu berpendidikan hukum adat.

3. PEMBAGIAN H A R T A PENINGGALAN.

Bilamana si peninggal warisan sewaktu hidupnya tidak memberi­kan semtia harta bendanya dengan jalan penghibahan, dan bila­mana — sesudah dipotong hutang2nya, hal mana di bawah ini akan

dibicarakan — masih ada sisanya, maka harta peninggalan itu lan­tas dapat dibiarkan dalam keadaan tak ter-bagi2 secara yang diurai­kan di atas atau bila tidak demikian, pada suatu waktu kemudian da­pat di-bagi2. Pembagian ini adalah suatu perbuatan daripada ahli waris bersama, biasanya tidak menurut aturan2 yang keras apalagi menurut tuntutan2 keinginan, melainkan biasanya terselenggara da­lam suasana kebaikan hati, pemberian bantuan dan pemberian ke- lebihan kepada siapa2 yang paling kurang untung nasibnya. Karena perbuatan itu maka terletaklah liak2nya perseorangan daripada waris; bila menurut liukum tanah diharuskan, maka pembagian ini diberitahukan kepada penghulu2 rakyat, itupun bilamana mereka du­lu tak hadir pada waktu ada pembagian harta peninggalan itu : di Jawa hadirnya itu adalah suatu perkecualian.

Bilamana salah seorang waris atau beberapa orang waris meng- hendaki mem-bagi2 harta peninggalan, sedangkan waris2 lainnya tak mau menurutinya, maka lantas timbullah perkara — itupun bila pa­ra waris tak dapat didamaikan satu sama lain — perkara mana mem- butuhkan keputusan hakim, ialah hakim dusun (dorpsrechter) atau hakim jabatan (beroepsrechter). Bilamana tak ada alasan2 menga>- pa mereka berkeberatan tentang pembagian ini, maka mereka yang berkeberatan ®tadi dapat dipaksa untuk turut me-misah2kan dan mem-bagi2kan harta benda itu. Sayang sekali pekerjaan hakim2 gubernemen mengenai pembagian harta peninggalan ini menurut hukum acara adalah salah satu daripada bagian2 hukum acara yang paling tak memuaskan. Bila tetap adanya pembandelan, maka vonnis itu disusul dengan penjualan paksa kepada umum, malahan ter-ka- dang2 (tapi ini tidak tepat) disusul dengan campur tangan oleh instansi2 yang pada umumnya justru harus dijauhkan dari pemba- ^ian harta peninggalan itu. Perlu dan mendesak sekali diadakannya perbaikan dalam masalah ini.

4. AH LI WARIS.

lernyata dari apa yang telah diuraikan tadi, bahwa pada umum­nya mereka yang paling karib dengan generasi berikutnya, ialah me­reka yang menjadi besar dalam keluarga si peninggal warisan, me­reka itulah ahli waris; per-tama2 anak-lah yang mewaris. Sebagai- mana juga telah tercatat tadi, maka ikatan keluarga dalam bebe­rapa lingkungan2 hukum diterobos oleh ikatan golongan kerabat yang segi satu susunannya. Di kalangan kerabat2 yang merupakan ba­gian2 clan (segi bapa atau segi ibu) maka dalam hal ini menjadi tertampaklah ketegangan di antara hak2 daripada ikatan keluarga

dan hak2 daripada ikatan kerabat. Seketika sesudah keadaan2 sosial berubah yang misalnya menyebabkan meninggalnya pengembaraan yang mengakibatkan pula kehidupan kekeluargaan yang berdiri sen­diri, atau perubahan tadi menyebabkan tak terpakainya lagi rumah2 kerabat yang sangat berharga itu, yang berarti tambahnya rumah2 keluarga dan oleh karenanya pula tambah kokohnya kehidupan ke- keluargaan yang berdiri sendiri, maka oleh karenanya ikatan hukum yang berdasarkan hubungan kekeluargaan (harta perkawinan bersa­ma, berhaknya anak2 atas warisan dari k e d u a orang tua) lebih kokoh dari pada ikatan liukum yang berdasarkan ikatan kekerabatan (hal. 224). Dengan jalan prakteknya penghibahan maka terjadi- lah dalam hukum waris tanpa ada wasiat berhaknya anak2 atas harta benda keluarga se-bulat2nya.

Hanya anak2 berhak atas warisannya kedua orang tuanya ada­lah suatu tanda daripada susunan kesanak-saudaraan yang berhu­kum ibu-bapa, susunan mana baik berdasarkan atas susunan suku yang bersegi dua (Dayak dan Toraja) , maupun susunan yang ter­jadi sebagai akibat terpecahnya susunan kerabat menjadi ikatan2 keluarga, seperti misalnya di Jawa.

Dalam susunan sanak-saudara yang bersegi satu, sebagaimana telah tercatat di atas, adala'h terdapat dua halangan terhadap me- warisnya anak2 dari (kedua) orang tuanya. Per-tama2 anak2 tidak mewaris dari salah seorang orang tuanya yang dengan seorang diri­nya tetap tergolong lingkungan kerabatnya sendiri, di mana anak2- nya itu tidak termasuk, misalnya : Minangkabau, di mana anak2 ter­masuk bagian clan ibunya sedangkan si bapa tidak turut tergolong di situ melainkan tetap terikat dalam golongan kerabatnya sendiri ; hak warisnya anak2 menurut hukum waris tanpa ada wasiat atas harta peninggalan bapanya dalam pada itu menurut sistimnya sama sekali tidak mungkin ; prakteknya penghibahan mengoreksi ketidak- mungkinan itu ; perkisaran2 dalam keadaan2 sosial dapat mengha- puskannya buat sebagian atau seluruhnya. Di mana anak2 perempuan mewaris harta ibunya dan anak2 laki2 mewaris harta bapanya, seperti di Savu, maka halangan sementara itu juga dapat diatasi dengan jalan penghibahan ; walaupun demikian maka si bapa dari harta benda pusakanya yang anak perempuannya tak mungkin akan dapat hak waris atasnya, dapat menghibahkan sebidang kebun misalnya kepada anaknya perempuan (dan iketurunan- nya perempuan) itu (haru kaballa). Kedua : yang merupakan ha* langan lain sama sekali untuk anak2 yang akan mewarisi harta dari kedua orang tuanya dalam lingkungan susunan sanak-sajidara

segi satu, ialah bentuknya perkawinan, yang mengakibatkan anak yang baru 'kawin itu terlepas dari golongan sanak-saudaranya; yaitu perkawinan „jujur” dalam arti yang se-bulat2nya, dan per­kawinan ambil anak (inlijfhuwelijk) dalam bentuk2nya yang terten­tu : misalnya golongan2 pepadon di Lampung dan di kalangan Batak. Toba, dan di kalangan terakhir ini anak perempuan karena perka­winannya ke luar dari kerabat. bapanya, sehingga ia ta'k dapat hak su­atu apa sebagai waris di mana tiada wasiat (seperti juga seorang anak perempuan di Bali misalnya yang sudah kawin tiada berhak. atas sebagian daripada harta peninggalan bapanya). Suatu praktek daripada penghibahan2 di waktu dan sesudah perkawinannya mem­beri 'koreksi atas pengucilan in i ; dan bahwa di kalangan Batak (T o­ba) anak perempuan — walaupun ia bukannya waris yang berfaak — dengan menyajikan makanan dan memakai sopan-santun adat yang sudah menjadi aturan, sesudah matinya bapanya meminta sekedar bagian dari harta peninggalan bapanya, permintaan mana bila masih ada dalam batas kepatutan anak2 laki2 dan sanak-saudara2 yang ber­hak itu tak dapat menolaknya.

Dalam golongan anak2 yang berhak atas warisan di beberapa ling­kungan hukum timbullah suatu perbedaan yang berhubungan dengan keadaan tetap tak ter-bagi2nya harta (inti) orang tua yang berupa hak milik (Inlands bezit) daripada anak laki2 yang tertua (beberapa kalangan Batak, Lampung, Pasemah, Bali) daripada anak perem­puan yang tertua (Semendo, Dayak Sandak dan Dayak Tayan), da­ripada anak laki2 yang termuda (kalangan Batak lainnya, di lain- tempat di Bali), daripada anak laki2 yang tertua dan yang termuda, dan sebagainya (hal. 234). Perbedaan di wilayah2 yang berhukum ibu-bapa di antara anak2 laki2 dan anak2 perempuan, dalam penger- tian bahwa anak2 laki2 berhak sebesar dua kali dari bagiannya anak2 perempuan, rupa2nya di mana-manapun tidak berasal dari Pribumi asli ; aturan sapikul sagèndong (dua lawan satu) sebagai patokan Pribumi untuk pembagian, se-mata2 berlaku atas perimbangan da­lam harta bersama dalam perkawinan (huwelijksgemeenschap), walaupun rupa2nya secara kiasnya rakyat — dan diperkuat oleh hukum agama Islam — di sana-sini (tapi jarang) sudah mendapat tempat untuk berlaku atas hukum waris setempat (hal. 228).

Titik pangkal: kekayaan keluarga sejak awal mulanya diperun- tukkan buat dasar kehidupan materieel daripada mereka yang mun- cul terlahir dari keluarga itu, ternyata ditetapkan dengan adanya aturan hukum adat p e n g g a n t i a n t e m p a t (plaatsver­vulling). Anak2 daripada anak2 yang mati lebih dulu sebelum mati-

nya si peninggal warisan mendapat bahagiannya orang tuanya dari. harta peninggalan kakeknya. Hanya peradilan agama ter-kadang2 tnenerobos pokok pikiran ini.

Tentang kedudukan j a n d a terhadap harta peninggalan maka titik pangkal hukum adat ialah bahwa perempuan itu sebagai o r a n g a s i n g tak berhak atas warisan tapi sebagai i s t e r i ia ikut memili’ki harta benda yang diperoleh selama perkawinan, dalam batas2 yang telah ditetapkan sebagaimana dibentangkan di atas (hal. 228); ditambah pula bahwa ia di mana2 ada hak atas nafaqahnya dari harta peninggalan itu seumur hidupnya, kecuali di mana aturan sedemikian itu tidak diperlukan lagi berhubung dengan susunan ber­hukum ibu. Di Bali, maka selama anaknya laki2 di hadapan jenazah bapanya belum diresmikan sebagai penggantinya, maka janda itu menurut hukum adalah penguasa atas harta peninggalan, m e - n u r u t k e n y a t a a n n y a i adi lain2 tempat acapkali juga bertindak sebagai penguasa sedemikian itu juga. Jadi janda itu sebagai waris tidak mendapat bagian dari barang2 suaminya yang b e r a s a l d a r i w a r i s a n tapi, di mana perlu, ia dapat te­tap memungut hasilnya harta benda itu (sebagai harta dalam keada- an tak ter-bagi2) seumur hidupnya, atau ia dapat menerima sebagian daripadanya sebagai pemberian nafaqahnya sekaligus. Bilamana ia dalam susunan berhukum bapa dipungut masuk dalam kerabat si suami, maka dapatlah ia tetap tinggal di sana dengan mendapat na­faqahnya, ter-kadang2 juga mendapat sebagian dari harta peninggal­an buat dirinya sendiri (Bali). Tapi bila ia memisahkan diri dari ke­rabat suaminya yang mati tadi, maka ia tidak pernah membawa untuk dirinya sesuatu barang daripada suaminya, se-akan2 ia sudah menda- patnya sebagai barang warisan. Juga suami tidak mewaris dari is­terinya ; ada beberapa perkecualiannya, misalnya bahwa di wilayah2 berhukum bapa seperti Pasemah, yaitu bahwa barang pembakalannya (uitzet) perempuan yang didapatnya dari orang'tuanya di waktu dia kawin jujur dan yang dia tetap memilikinya bila ia bercerai dari lakinya, maka barang2 itulah jatuh ke tangan suaminya sebagai wa­risan bila ia — si isteri — meninggal dunia ; atau, bahwa — seperti di Bali — bahagiannya daripada harta perkawinan, begitu juga barang2 yang diperolehnya sendiri atau barang2nya sendiri yang diba- wanya di waktu kawin, bila ia mati, diwaris oleh suaminya.

Mengenai harta perkawinan bersama (gemene huwelijksboedel), i di mana ini ada, maka bilamana tiada anak2, seorang jodoh semati-

nya jodoh lainnya mewaris harta warisan seluruhnya, dan sematinyajodoh tepakhir harta tadi menjadi harta warisan, yaitu separoh

jatuh kepada sanak-saudaranya jodoh yang seorang dan separoh kepada sanak-saudaranya jodoh lainnya, atau, dua per tiga kepada sanak-saudaranya si suami, satu per tiga kepada sanak-saudaranya si isteri (sapikul sagendong). Pembagian sedemikian itu dapat juga diselenggarakan sebelum -matinya jodoh yang hidup terlama dan barangkali ter-kadang2 juga dapat dipaksakan untuk diselenggara kannya bila ia kawin lagi atau karena sebab2 'lain, pada waktu sebe­lum itu. Banyak terjadi (dalam wilayah2 berhukum ibu-bapa), bah­wa haknya janda atas nafakah dan atas bahagiannya dari barang2 yang diperoleh bersama dalam perkawinan, — bilamana ada anak2 nya — di waktu pembagian dinilai hak2 itu dan diwujudkan, ialah dengan jalan diberikan kepadanya bahagian yang kira2 seharga de­ngan itu, sedangkan — sebagaimana telah dituturkan — juga sua­m i itu sendiri ber-ulang2 menjamin nafaqah isterinya dengan jalan penghibahan. Juga adakalanya terdengar (Sulawesi Selatan, Ja­wa Tengah), bahwa di samping bahagiannya dari harta perkawinan bersama, ada porsi (portie) janda atau porsi janda laki2 (yang sebagai demikian diselesaikan tersendiri). Barangkali pengaruh hu­kum Islam yang berlaku di sini.

Anak angkat berhak atas warisan sebagai anak, bukannya seba­gai orang asing. Sepanjang perbuatan ambil anak (adoptie) telah menghapuskan perangainya sebagai „orang asing dan menjadi- kannya perangai „anak”, maka anak angkat berhak atas warisan se­bagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat. Namun bo­leh jadi, bahwa t e r h a d a p k e r a b a t n y a kedua orang tua yang mengambil anak itu anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat apa2 dari barang2 asal daripada bapa atau ibu ang- katnya — atas barang2 mana kerabat2 sendiri tetap mempunyai hak­nya yang tertentu —, tapi ia mendapat barang2 (semua) yang diper­oleh dalam perkawinan, hal. 183. Demikianlah misalnya di Purwo- rejo (Jawa) — masalah ini masih kurang diselidikinya dan masih tiada kepastian. Di Pasemah maka berhaknya anak angkat atas wa­risan itu dibicarakan pada waktu ambil anak dengan sesama ang­gauta2 dusun. Dalam hal ambil anak kemenakan2 (neefjes-adoptie) anak angkat itu tetap berhak atas warisannya orang tuanya sekan- dung, sedangkan di lain2 tempat (misalnya di Sumatra Selatan) ma­ka segala hubungan hukum waris dengan orang tuanya dan kerabat­nya sekandung karena pengambilan anak ini terputus. Ambil anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan. Keinginan agar supaya dapat memberikan terus harta bendanya . kepada si anak angkat (mempertahankan garis ketu- runannya sendiri dalam proses umum daripada penggantian ke-

turunan3) itulah biasanya yang menjadi alasannya pengambilan anak itu. Tentang pengaruh yang bersifat mengganggu2 daripada ha­kim2 yan^ mengadili menurut hukum Islam, juga hal ini dulu (dan sekarang) ditiadakan dengan jalan penghibahan2. Hal diwarisnya harta peninggalan bilamana tiada anak — ini terlepas dari hak2nya jodoh yang terlama hidupnya, begitu juga haknya anak angkat — adalah mudah, Harta benda itu kembali satu langkah di silsilahnya si mati dan menjadi warisan untuk anak-cucunya dia yang terda­pat di silsilah itu ; bila keturunan termaksud tadi tidak ada, maka te­rus kembali satu langkah lagi dan begitulah seterusnya. Yang dimak- sudkan dengan perkataan silsilah ini sudah barang tentu silsilah segi bapa (vaderzijdig) atau segi ibu (moederzijdig) atau pula ,,ber- ganti2” (alternerend), kesemuanya tergantung dari wataknya susu­nan sanak-saudara, dan sekali tempo (di Tim ur Besar) malahan : mengenai beberapa barang2 tertentu ialah silsilah segi bapa, menge­nai barang2 lainnya : silsilah segi ibu. Generasi yang tertua umurnya dan yang masih hidup mengecualikan (uitsluiten) generasi2 yasg le­bih muda umurnya, kecuali bila di sini juga berlaku penggantian tempat (plaatsvervulling) yang telah dibentangkan tadi. Di mana anak2 karena berlakunya ikatan kerabat dikecuali'kan dari warisan — seperti bila ada seorang laki2 mati di Minangkabau — maka liarta- peninggalan diwaris secara demikian juga : per-tama2 ibunya lelaki itu beserta anak-cucunya (saudara2 laki2 dan perempuan daripada si peninggal warisan itu) ; bila mereka tidak ada, neneknya si mati beserta anak-cucunya (jadi praktis : saudara2 s e p u p u n y a si pe- ninggal warisan laki2 dan perempuan, yang dilahirkan oleh bibi2nya dari garis keturunan ibunya), dan demikianlah seterusnya. Bilamana sama sekali tiada ahli warisnya, maka harta peninggalan jatuh ke­pada masyarakat territoriaalnya si mati dan jatuh di bawah pengu- rusan penghulu masyarakat.

5. B A H A G IA N 2N YA H A R T A PEN IN GG ALAN.

Dan apa yang telah dibicarakan sudah ber-ulang2 ternyata, bahwa harta benda yang ditinggalkan oleh si mati itu ta'k boleh dipandang sebagai kesatuan yang bulat dan yang diwaris secara yang sama. Da­lam harta peninggalan itu mungkin ada barang2nya yang masih ter- kait pada ikatan kerabat, berhadapan dengan barang2 yang masih terkait pada ikatan keluarga, atau barang2 yang termasuk golongan martabat kebesaran (waardigheid) yang tertentu. Dalam harta pe­ninggalan mungkin ada barang2nya yang masih terkait pada ikatan tertentu daripada masyarakat hukum, pada kesatuannya susu­nan rakyat; dan terhadapnya, maka sematinya orang seorang yang

berliak, hak pertuanan (beschikkingsrecht) di masyarakatlah berlaku dengan cara tertentu. Dalam harta peninggalan itu mungkin ada hutangnya (schulden) di samping labanya (baten). Tapi di samping perbedaan dalam kedudukan hukum barang2 itu, adalah keadaan menurut 'kenyataannya daripada bahagian harta peninggalan itu acapkali berpengaruh atas jalannya perwarisannya. Pekarangan orang tuanya misalnya, di Aceh terutama diwaris oleh anak perem­puan (yang tertua), di daerah2 Batak terutama oleh anak laki2 yang termuda atau tertua. Buat daerah2 Batak sudah pernah disebutkan di sini perbedaan di antara barang2 yang mengandung daya khasiat daripada si mati berhadapan dengan barang2 biasa — perbedaan serupa itu terdapat juga di tempat2 lain (di Kalimantan misalnya), tapi dengan akibat2 lain.

B . a r a n g 2 k e r a b a t . Perbedaan dalam hal diwarisnya barang2 berasal dari ikerabat (barang2 berasal dari warisan) dan barang2 diperoleh sendiri dalam keluarga, lebih2 keHhatan bilama­na si peninggal harta tidak mempunyai anak; barang asal lantas kembali kepada kerabatnya sendiri (agar supaya jangan menjadi „hilang”) sedangkan barang2 keluarga jatuh kepada jodoh yang terlama hidupnya. Telah pernah dituturkan, bahwa dalam beberapa lingkungan2 hukum hal diwarisnya barang2 yang diperoleh dalam keluarga itu juga dapat dipengariihi oleh ikatan kerabat yang kuat (hal. 222). Tanah2 yang di kalangan Batak Toba dihadiahkan se­bagai pemberian kepada kemantin perempuan (beserta suaminya), bila si isteri mati betul tetap ada di tangan suaminya dan kerabatnya, tapi secara demikian rupa, sehingga sampai beberapa turunan la- manya tidak diperbolehkan memindah tangan (besdhikken) tanah2 itu oleh kerabat mertua (boru) dengan tiada setahunya fihak si isteri (hula-hula) dan dengan tiada memberi kesempatan kepada yang ter­akhir ini untuk mendahului membelinya (naastingsrecht).

B a r a n g 2 m a r t a b a t k e b e s a r a n . Benda2 yang keramat dalam lingkungan sesuatu kerabat mungkin terkait pada ke- dudukannya orang yang memakainya, misalnya barang2 pusaka kra­ton dari kasepuhan Cirebon dapat terkait dengan siapa yang menda­pat (mewaris) martabat Sultan Sepuh. Dengan cara demikian rupa juga dapatlah suatu nama diwaris hanya oleh seorang waris yang berkedudukan cocok dengan nama itu. Dapat dikatakan juga, bahwa waris yang mewaris barang inti kerabat itu menjadi peme- gangnya yang sah.

B a r a n g 2 k e l u a r g a . Perbedaan dalam jalan diwarisinya barang2 ini dapat timbul berhubung dengan perkawinan kedua. Anak2 dari perkawinan pertama mewaris barang2 yang diperoleh selama perkawinan itu, anak2 dari perkawinan kedua tidak menda­pat bahagian apa2 dari padanya (Kalimantan). Maka sesuai dengan itu di Muna di Sulawesi Selatan dikatakan, bahwa barang2 dari ru­mah yang satu tidak boleh beralih ke ruimah yang lain; di lain2 tempat dalam lingkungan situ terdapat peribahasa hukum adat yang bermak­sud sama dengan itu. Di Jawa biasanya kesukaran2 yang timbul bi­la ada lebih dari satu perkawinan dicegah secara demikian juga, ialah dengan jalan prakteknya penghibahan2. Bilamana misalnya anak2nya dari perkawinan pertama sudah dikawinkan sehingga me­reka sudah tidak termasuk lagi sebagai anggauta2 keluarga yang ter- bentuk oleh perkawinan noraor dua, maka mereka sematinya bapa­nya tidak mewaris harta peninggalannya yang terdiri dari barang2 di­peroleh dalam perkawinan nomor dua, — artinya „tidak” di sini ialah bilamana mereka itu sudah mendapat bahagiannya barang2 keluarga dari perkawinan pertama ; mereka tetap berhak atas barang2 asal bapanya. Bilamana dua orang isteri daripada seorang suami dengan anak2nya merupakan keluarga2 tersendiri, maka harta benda kelu­arga2 itu tetap terpisah satu sama lain (hal. 207). Makin ruwet im- 4>angan2nya dalam sesuatu keadaan yang istimewa, akan makin te- *pat penyelesaiannya dengan jalan perdamaian (schikking); tapi penyelesaian2 dengan jalan perdamaian sedemikian itu hanya me-

-muaskan, bilamana bernada dasar dan berasas kaida'h2 bentuknya hukum waris yang berlaku.

B a r a n g 2 m i l i k m a s y a r a k a t . Hak pertuanan (be­schikkingsrecht) masyarakat atas tanah dalam berlakunya ke dalam ter-kadang2 menghalangi diwarisnya tanah2 pertanian, oleh karena sematinya penduduk inti dusun maka tanahnya (se-tidak2nya baha­giannya tanah menurut patokan berhubung dengan kedudukannya sebagai penduduk inti) jatuh kembali ke hak pertuanan se-bulat2- nya daripada dusun dan oleh dusun itu lantas diserahkannya kepada sesama anggauta dusun kelas dua yang sudah tiba gilirannya untuk itu ; bilamana tanah semacam itu biasanya diserahkan kepada seo­rang warisnya si mati, maka ini menimbulkan — itupun bila keada­an2 sosial tidak menghalanginya — hak mewaris atas tanah milik penduduk inti dusun ; namun ter-kadang2 hak mewaris tanah sede- mikian itu tetap menghadapi berlakunya ke dalam daripada „beschik­kingsrecht”, yaitu di mana berdasarkan „beschikkisgsrecht” hak perseorangan atas tanah pertanian hanya dapat diperbolehkan sam­pai suatu keluasan yang tertentu, tidak boleh lebih dan tidak boleh

kurang. Ini berarti (di beberapa desa di Jawa dan di beberapa desa di Bali) bahwa tanah si peninggal warisan tidak boleh dengan ja­lan mewaris ini ditambahkan pada tanah yang sudah ada semula pa­da waris itu, dan sebaliknya, tidak boleh tana'h daripada si pening- gal warisan di-bagi2 di antara para ahli waris sampai menjadi bi- dang2 tanah yang lebih kecil. Larangan penggabungan dan larangan pembagian bahagian tanah menurut patokan yang ada pada masya­rakat berdasarkan atas hak pertuanannya adalah suatu tanda ke- nyataan daripada berlakunya hak pertuanan ke dalam. Dalam pada itu dapat timbul banyak keadaan2 yang tanggung2 sebagai akibat mempertahankan pada 'lahirnya pokok2 kaidah itu karena salah satu sebab, tapi dalam batinnya membiarkan pelanggaran2 terhadapnya. Misalnya : waris yang sudah mempunyai bahagian tanah pertanian se­bagai penduduk inti dusun membalik nama tanafoi itu atas nama iste­rinya atau anaknya laki2 yang tertua dan dia sendiri menerima tanah- pertanian tinggalan bapanya yang m ati; atau : dua orang saudara mendaftarkan tanah pertanian tinggalan bapanya atas nama sau­dara yang tertua, tapi selanjutnya seumur hidupnya keduauya berlaku sebagai orang2 yang berhak atas tanah itu, masing2 atas separohnya ; pembesar2 dusun memang membantu tindakan itu dengan jalan mendaftarkan tanah itu atas nama laki2 yang tertua „c.s." — cum- suis — perkataan Latin imana sudah memasuki banyak desa, tapi tak lain dan tak bukan 'hanya sebagai séès.

Hak waris atas tanah itu ter-kadang2 bertemu dengan berlakunya ^beschikkingsrecht” -ke luar, ialah karena yang terakhir ini mengha- langi diwarisnya tana'h pertanian bahagiannya penduduk inti dusun oleh waris2 yang tidak bertempat tinggal dalam dusun situ. Juga di sini keadaan2 peralihan : mengangkat seorang .kuasa buat pekerja­an2 desa, mendaftarkan tanah itu atas nama seorang sanak-saudara, dan sebagainya. Bilamana timbul perselisi'han haruslah keputusan- nya itu menghormati juga arti yang dalam daripada keadaan per- alihan sedemikian itu.

B a r a n g 2 y a n g t e r t e n t u k a r e n a k e n y a t a - a n k e a d a a n n. y a . Pengaruhnya keadaan yang senyatanya daripada bahagian2 harta itu tidak berwujud suatu larangan atau anjuran, tapi berwujud suatu cara yang dicenderungi untuk mem- baginya. Harus disesalkan, bahwa bila ada ketidakmauan dari­pada seorang waris atau lebih — karena jalannya segala sesuatu seperti biasa saja menurut yang sudah2 — tidak dapat diperguna­kan pengaruhnya hakim gubernemen untuk menuruti kecenderungan

tadi, walhasil harta peninggalan seluruhnya dilelang dan wang pen- dapatannya di-bagi2 ; ini adalah tindakan yang merusak, pada hal mestinya : membangun (constructief), hal. 243.

H u t a n g 2. Kewajiban2 untuk membayar hutang yang ada atau yang timbul di waktu matinya atau karena matinya si peninggal warisan itu akhirnya termasuk juga bahagian2 daripada harta pe­ninggalan, walaupun sebagai bahagian2 negatif.

Laba, (baten) yang ada pada harta peninggalan si mati boleh dan harus per-tama2 dipergunakan untuk memeli'hara jenazah dan untuk menguburnya. Bila seorang waris yang atas tanggung-jawab- nya sendiri dan dalam batas2 kepatutan menjual sesuatu bahagian tertentu daripada harta peninggalan untuk keperluan itu, maka tin- dakannya itu adalah sah menurut hukumnya. Biaya2 pemakaman itu mendapat hak terdahulu (preferent). Aturan ini berlaku di mana2. Selanjutnya dibiayai dari harta peninggalan itu pesta2 kematian, selamatan2, pembakaran2 mayat atau upacara2 mayat atau upacara2 apa saja yang lazimnya harus diselenggarakan untuk orang yang meninggal dunia di waktu sesudah matinya. Tapi pembelanjaan un­tuk ini tidak ada hak mendahului atas pembayaran hutang2nya si peninggal warisan, pengeluaran2 wang itu jadi bukannya hutangnya harta peninggalan yang berhak terdahulu (preferente boedelschul­den) , melainkan dapat dibayar dari sisanya harta peninggalan — laba dipotong hutang — sebelum sisa itu di-bagi2nya. Selamatan2 juga adakalanya dibiayai oleh waris2 sendiri dengan atau tiada diperhitungkan dengan harta peninggalan kelak. Dari Sulawesi di- katakan, bahwa siapa yang turut membiayai perongkosan2 pemaka­man dan pesta2 kematian, oleh karenanya lantas menjadi waris.

Tentang persoalan, apakah hutang2nya si peninggal warisan juga diwaris oleh ahli waris (atau — sama soalnya — sampai di mana ahli waris bertanggung-jawab atas hutang2nya si peninggal warisan yang pada saat matinya masih belum terbayar lunas), maka dalam hal ini harus di-beda3kan : per-tama2 dari lebih dari satu ling­kungan hukum terdapat sebagai titik pangkal untuk menjawab pertanyaan ini, dengan tiada perkecualiannya, ialah pokok kaidah demikian : ahli waris adalah bertanggung-jawab atas hutang2nya peninggal warisan (Batak Toba, Dayak, Bali). Tapi dalam pada itu kekuasaan si penagih hutang diperlunak karena penagih2 hutang itu diwajibkan (dengan ancaman hapusnya haknya untuk menuntut pembayaran) dalam tempo 40 hari sesudah matinya si peninggal warisan atau sebelum selamatan yang akan diselenggarakan untuk si mati (nyekoh di Bali) mengajukan penagihannya kepada para

ahli waris, se-tidak2nya memberitahukannya kepada mereka; pula dalam hal ini memperlunak kekuasaan penagih2 hutang juga, bah­wa terhadap ahli waris dalam keadaan demikian dianggap sungguh2 ada alasan yang istimewa supaya sabar dalam penagihannya atau su paya diluluskan membayar pinjaman itu tidak buat seluruhnya. Ten­tang bagaimana hubungannya pada ahli waris satu sama Iain bila ada perselisihan mengenai pembayaran hutang si mati ini, maka soal ini tak ada terdapat di-sebut2.

Titik pangkal lainnya — lebih sempit dari pada yang disebutkan tadi tapi rupa2nya lebih umum — ialah, bahwa hanya harta pening­galan yang tinggal tak ter*bagi2lah yang harus dipergunakan untuk membayar hutang2nya si peninggal warisan. Titik pangkal ini meng­akibatkan perumusan kaidah hukum adat: hanya sisa harta pening­galan dapat.diwaris. Dalam pada itu bukannya saat matinya si pe­ninggal warisan, melainkan saat pembagian harta peninggalan diang­gap sebagai saat diwarisnya harta itu. Pembagian (jadi : diwarisnya harta) tidak dija'lankan sebelum semua hutang dibayar lunas. Ja- lannya penyelesaian sedemikian itu memang boleh disebut bentuk dasar daripada diwarisnya harta peninggalan menurut hukum adat. Dalam lingkungan rakyat di-masjarakat2 hukum kecil maka si pe­ninggal warisan sebelum matinya acapkali tentunya sudah men- jumlah hutang2nya, bilamana itu memang ada, atau dalam tempo empatpuluh hari sesudah matinya, penagih2 hutangnya akan mene- mui ahli waris untuk mendapat pelunasan dari harta peninggalan yang tak terbagi itu. Juga dalam hubungan ini dapat terbaca pula, bahwa penagih2 ftutang yang dalam tempo empatpuluh hari tidak muncul, akan kehilangan haknya untuk menuntut kembali wang- nya dari harta peninggalan. Di mana aturan sedemikian itu tidak ada dan titik pangkal „waris bertanggung-jawab penuh atas seluruh hutangnya si mati” tidak ada pula, maka patut di sini dikemukakan pertanyaan : bagaimanakah hukumnya, bilamana ada penagih hutang daripada si peninggal warisan muncul sesudahnya harta pening­galan itu ter-bagi2 habis ? Dalam kebanyakan lingkungan hukum, di sini misalnya di Jawa, liaruslah pertanyaan itu dijawab : ahli wa­ris itu bertanggung-j-awab atas hutang^nya si peninggal warisan sepanjang mereka sudah mendapat laba dari pembagian harta pe* ninggalan itu. Di sini harus ditambah : pada prinsipnya atas per- imbangan yang sama dengan perimbangan yang dipakai mem-bagi2 warisan di antara ahli waris itu satu sama lain. Bilamana laba2nya harta peninggalan itu tidak mencukupi, maka hutang itu untuk se­bagian tetap tak terbayar. Penghibahan2 (toescheidingen) dari wa­risan sesudaih terjadinya hutang2 rupa2nya dapat dituntut untuk

pelunasan hutang. Penghibahan- sebelum itu : tidak. Dalam prak- teknya ternyata acapkali hal ini diurus sedemikian sehingga seorang waris menanggung beres tentang pelunasan hutang2 yang di waktu diadakan pembagian warisan belum terbayar dan oleh karenanya ia : lalu mendapat bahagian yang seimbang dengan itu ; atau ia menda­pat segala laba2nya dan melunasi segala 'hutang2nya (atau seba­gian hutang-nya bila terdapat banyak selisihnya yang tak mengun- tungkan).

Sudah barang tentu pembagian warisan yang se-nyata2nya itu ter- gantung dari ber-macam2 watak dan pertimbangan2 — kebaikan ha­ti, loba, kasihan — ; bila timbul perselisihan per-tama2 dicoba oleh semua instansi untuk mendamaikannya, dan diusahakan supaya fi­hak2 yang berselisi'han itu mendapat penyelesaian secara damai atas tanggung-jawabnya sendiri2 ; tapi bilamana usaha2 ini gagal, maka harus perkara ini diputus atas dasar kaidah2 dan sistim hukum wa­ris adat Indonesia.

BAB KESEBELAS. H UKUM PE LA N G G A R A N (D E LICTEN RECH T).

Dalam ketertiban hukum di masyarakat2 hukum kecil rupa2nya yang dianggap suatu pelanggaran (delict) ialah setiap gangguan se- gi satu (eenzijdig) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang2 kehidupannya materieel dan imaterieel orang-seorang, atau daripada orang2 banyak yang merupakan satu kesatuan (segerombolan) ; tindakan sedemikian itu menimbülkan suatu reaksi — yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat — ialah r e a k s i a d a t (a d a t r e a c t i e ) , karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kem bali (kebanyakan dengan jalan pembayaran pelanggaran berupa barang2 atau uang).

Lukisan tersebut di atas mengemukakan terdahulu kemungkinan orang untuk dapat menggambarkan dalam angan2nya suatu masya­rakat di mana ada hubungan di antara manusia, kekuatan2 gaib, ta­nah, barang2 dan lain2nya lagi yang berada di dunia ini — hubung­an mana dalam alam pikiran di masyarakat situ dianggap sebagai biasa (normaal), dan sebagai syarat mutlak untuk kehidupan yang bahagia dan harmonis, pula hubungan mana dapat disebut „kese­imbangan” (evenwicht). Oleh karena baik umat manusia, maupun masyarakat itu masing2 adalah pusat daripada gabungan hubungan)— sehingga orang dapat mengatakan lingkaran hidupnya manusia (levenskring) atau lingkungan hidupnya masyarakat — maka kea­daan yang „biasa” (normaal) itu ialah keadaan keseimbangan di antara lingkungan2 hidup tadi satu sama lain. Benar juga isi dari­pada lingkaran hidup orang-seorang boleh jadi tak sebegitu ber- daan yang „biasa” (normaal) itu ialah keadaan keseimbangan di mana2 lingkaran hidupnya perseorangan ada isinya juga, walau­pun sedikit; tentang proses memperkuat dan memperbesar lingka­ran hidup perseorangan atas kerugiannya lingkaran hidup masyara­kat, ma'ka soal ini telah disebut beberapa kali (proses kepribadian = individualiseringsproces). Gabungan2 yang di sini disebut ling­karan2 hidup itu meliputi lingkaran termaksud di halaman 106 dari­pada hubungan2 manusia tanah barang2, ditambah apa saja yang ada hubungannya dengan manusia secara lain dari apa yang terse­but tadi; atas setiap kemerajalelaan dari luar dan atas setiap pe­langgaran yang tak senonoh, penyinggungan, bahkan pembicaraan secara tak patut, mengenai lingkaran hidup tadi beserta apa yang berhubungan dengan itu, maka reaksi daripada manusia ialah bah­wa ia lantas merasa malu dan lantas berkehendak menghilangkan

malunya (atau sebab2 daripada malunya itu). Taimbahan pula luki- san di atas itu mengemukakan terdahulu bahwa apa saja yang men­jadi subyeknya hubungan2 tadi oleh alam pikiran masyarakat di- junjung-tinggi, sehingga oleh karenanya ada nilainya yang dapat di- samakan dengan nilai2 lainnya ; maka dari itu benda2 materieel dan benda2 immaterieel dapat digantikan satu dengan yang lain untuk pemulihan kembali keseimbangan yang diinginkan.

Yang dimaksudkan dengan „alam pikiran dalam masyarakat ialah paduan daripada alam pikiran „serba berpasangan” (partici­perend) (mengalami) dan alam pikiran akalJbudi (analyserend), sebagaimana alam pi'kiran itu dalam setiap masyarakat menguasai anggapan umum daripada gerombolan ummat manusia (represen­tations collectives) itu.

Kemudian lukisan tadi mengemukakan terdahulu adanya suatu kesadaran, bahwa mempertahankan diri itu tidak hanya suatu ke­mungkinan saja, melainkan juga suatu k e h a r u s a n , bila lingkaran hidup itu terlanggar, dan untuk mengganti nilai yang ter­langgar itu dengan cara yang sama (reprociteitsidee).

Bila dipandang dari sudut situ, maka penuntutan pembayaran- pelanggaran (delictsbetalingen) itu termasuk tugas untuk mengem- balikan keseimbangan „kosmisch” yang dalam masyarakat yang hi­dup sudah barang tentu saban2 harus ditentukan ; dari keseimbang­an mana tergantung kebaliagiaan manusia dan ummat manusia. Gangguan tetap daripada keseimbangan itu akan melemalikan ti­dak hanya obyek yang terlanggar saja, melainkan juga masyarakat selurulmya. Maka dari itu pembayaran delik itu — bila yang dilang- gar itu obyek2 daripada hubungan „magisch” —- sangat karibnya dengan pembayaran untuk „perbuatan tunai” (hal. 106); yang per­tama itu memulihkan kembali, sedang yang kedua mencegah gang­guan keseimbangan (evenwiditsverstoring). Pembayaran delik itu buat sebagian ada hubungannya juga dengan pembayaran untuik perbuatan kredit (crediethandeling), yang menyebabkan terpelLha- ranya „memberikan, mengambil dan mengembalikan” sebagai seba­gian daripada pi'oses keseimbangan.

Jadi perkataan „ p e l a n g g a r a n ” ( d e l i c t ) itu bermaksud suatu perbuatan segi satu — yang oleh fihak yang lain tidak dibenarkan secara terang2an atau diam2 — menuju ke arah gangguan keseimbangan (evenwichtsverstoring).

Tapi alaszfn2 untuk gangguan2 keseimbangan (yang obyektif) dan pemulihan kembali keseimbangan itu, juga di waktu ada pe-

langgaran, dijelajahi oleh suatu unsur yang sangat pribadi sifat- nya ialah unsur „dibikin malu” yang telaih dituturkan tadi, atau un­sur ,,disinggung perasaannya sehingga menjadi malu” (in een ma- Zu-complex) ; unsur : rasa tidak enak, kemarahan atau balas den- dam daripada orang yang terkena di satu fihak dan unsur : kelalaian dan maksud sengaja daripada si penyinggung di lain fihak. Perseli­sihan, permus.uhan dan rasa benci antara dua orang sesaima ang- gauta (penyinggung dan tersinggung) itu melemabkan gerombo­lan — hubungan yang baik harus dipulihkan kembali, rasa dendam harus dilenyapkan demi kepentingan masyarakat, si tersinggung menuntut ganti maka di sini alasan2 perseorangan dan alasan2 masyarakat bercampur-aduk satu sama lain dan bergabung men­jadi satu.

Pada bentuk dasarnya maka hukum pelanggaran itu sama, serba samanya (homogeen) dengan hukum adat bagian2 lainnya ; karena perbedaan dalam pernilaiannya barang2 materieel dan immaterieel dan perbedaan dalam imbangan2 nilai satu sama lain, maka hukum pelanggaran itu dalam berlakunya sangat ber-jenis2nya. Kehormat- an dan kesopanan, hidupnya anggauta2 keluarga dan kerabat, tu- buhnya sendiri, kesehatan dan syarat2 hidup „magisch”, milik ba­rang2, hubungan dengan anak2 dan bini, kesemuanya itu termasuk lingkaran hidupnya perseorangan2, yang harus dilindungi terhadap pelanggaran ; penyinggungan terhadapnya menyebabkan gangguan keseimbangan, menimbulkan rasa malu, kemarahan dan dendam, pula melemahkan perseorangannya, golongan sanak-saudaranya dan masyarakatnya sekali. Penyinggungan2 itu yang mempunyai nama2- nya yang tersendiri, • acapkali juga meliputi sejumlah perbuatan2 yang mirip satu sama lain — misalnya membuat ber-macam2 pen- curian, walaupun sebutan Pribumi daripada delik itu dapat mengandung maksud2 yang dapat meregang, seperti dago-dagi (Min.) terhadap pembandelan melawan pemegang2 kekuasaan adat ka- gau-gau (Bug.) terhadap perbuatan a;pa2 yang buruk.

Pembayaran2 pelanggaran itu mempunyai hubungan yang khas — yang tak dapat dijelaskan lebih lanjut — dengan apa yang dilang- gar, misalnya : tiga piring buat pelanggaran „penghinaan biasa” , tiga piring dan seekor babi buat „penghinaan berat”, sepuluh piring buat „penghinaan terhadap seorang penghulu rakyat”. (di kalangan Dayak Lawangan), inilah sebuah sembarang misal daripada hubung­an pelanggaran dan pembayarannya, misal mana terambil dari ri- buan dan ribuan misal2 lainnya, yang kesemuanya juga tak dapat diterangkan seperti misal yang tersebut tadi.

Pembayaran2 pelanggaran itu acapkali menandakan sifatnya yang „magisch” , ialah ternyata dari kegemaran a'kan menyebutkan nama2- nya barang2 yang harus diberikan sebagai pembayaran oleh si pe- langgar (misalnya sekian ekor lem'bu, sekian orang budak), pula ternyata dari halnya mereka dengan tiada keberatan meluluskannya, bahwa barang2 tadi pada kenyataannya diganti dengan benda- yang sedikit harganya dalam nilai wang, atau dengan sejaimlah wang. Pembayaran2 delik itu dalam beberapa lingkungan hukum mengan- dung petunjuk yang khusus, misalnya bosi sebelas kepala tajau (Kalimantan Barat), yang artinya : sebuah periuk seharga 10 susun mangkok dan 12 mangkok lepas, pembayaran delik mana ditetap kan bukannya buat suatu jenis pelanggaran2, melainkan buat se- kumpulan ber-macam2 pelanggaran2 (yang menurut nilainya rupa2- nya sederajat satu sama lain). Suku Toraja mem-beda2kan : buat kejahatan dengan mulut suatu pembayaran dengan memakai se- ekor ayam sebagai dasar, buat kejahatan dengan tangan suatu pem­bayaran delik dengan memakai seekor ka.mbing sebagai dasar, buat kejahatan2 dengan badan seluruhnya suatu pembayaran dengan memakai seekor Iembu sebagai dasar. Tergantung dari berat atau tidaknya kejahatan yang diperbuat maka pembayaran delik yang sebenarnya adalah misalnya : seekor ayam ditambah tiga benda, atau seekor lembu ditambah lima benda, dan seterusnya. Di desa Bali banyak kesalahan2 dihukum dengan denda wang. Demikianlah ma­sing2 lingkungan hukum mempunyai peta pelanggarannya dan reak- sinya yang khas. Rupa^nya adalah suatu corak umum, bahwa untuk pencurian (dan delik2 kekayaan lainnya) psmbayarannya deliknya adalah dua kali atau beberapa kali lipat harganya benda yang ter- curi. . .

Bilamana si tersinggung dan si penyinggung tergolong dalam se­sama masyarakat, maka kebaliagiaan masyarakat itu menuntut penye­lesaian, baik hanya atas permintaan si tersinggung (karena main?), maupun terlepas dari itu ; penghulu2 bergerak menuju ke pemulihan kembali pelemahan -masyarakat itu dan untuk .mencegah jangan sampai menjadi keterlaluan, pula mencegah malapetaka dan men­cegah kebinasaan seluruhnya. Kelakuan sesama anggauta masyara­kat yang melanggar nilai2 materieel dan immaterieel daripada masya­rakat sendiri dengan tiada menyinggung orang-seorangnya, misal­nya : pergaulan kelamin di antara orang2 yang perkawinannya satu sama lain akan dapat niengganggu ketertiban susunan daripada masyarakat, melahirkan anak dengan tiada perkawinan lebih dulu, melanggar bagian2 tanah pertuanan (beschikkingsrecht) yang diper- untuk'kan kepentingan2 masyarakat, tidak datang di suatu kumpulan

dusun, dan sebagainya, meilggerakkan penghulu2 (—masyarakat) yang lantas berusaha melindungi nilai yang -terlanggar itu. Pemba­yaran2 delik untuk penyelesaian peristiwanya itu diterima oleh si- tersinggung sendiri atau bersama masyarakat (atau hanya oleh ma­syarakat saja). Oleh karena daya hidup yang „magisch” dalam ma­syarakat itu dengan jalan istimewa berpusat di penghulunya dan olehnya dipancarkannya kepada masyarakat, maka dari itu pemba? yaran kepada penghulu2 adalah suatu syarat untuk memperkuat ma­syarakat yang sudah menjadi 'lemah (dan dipandang dari sudut situ maka pembayaran denda kepada pemerintah atau kepada sesu- at>u kas, di kalangan banyak suku2 bangsa, tidak ada gunanya). Di­pandang dari sudut ekonomis maka denda2 serupa itu adalah peng- hasilan yang dihargakan sekali oleh penghulu2. Tentang member- sihkan masyarakat (dengan jeritk) yang sudah dibikin kotor, me- nyajikan selamatan kepada si tersinggung dan kepada penghulu2 masyarakat dan di situ mengakui salah dan minta maaf, menjanji-

- kan dengan kata2 akan memulihkan kembali segala sesuatu sebagai reaksi daripada tindakan yang menyebabkan seseorang mendapat kemenangan untuk dirinya dengan cara, tidak sah, kesemuanya itu adalah cara2 kc Indonesiaan umum untuk ményatakan reaksi2 atas delik2, cara2 mana rupa2nya, sangat serasinya untuk mengembali- kan rasa harga diri dariipada orang yang sudah dibikin malu itu. Juga di sini terdapat cara2nya yang khusus, seperti : memberi ma- kan dari tangan, tarian dengan diiringi bunyi-an di waktu meneri- makan pembayaran pelanggaran di kalangan Batak, dan sebagainya. Si sesama anggauta yang tetap berkepala batu, oleh karena itu de­ngan sendirinya berada di luar adat atau dibuang ke luar adat. Ia di- persukar dalam hidupnya di masyarakat sampai ia tak tahan lagi. Bila keterlaluan diusirla'h dia.

Bilamana penyinggungan dari luar masyarakat dilujukan kepada sesama anggauta masyarakat maka terlanggarlah keseimbangan da­ripada masyarakat2 ito (daripada si tersinggung dan si penying- gung), masyarakat itu merasa terkena dan dalam penuntntan penye- lesaiannya timbullah reaksi dari masyarakat lawan masyarakat. Re­aksi ini berlaku baik terhadap golongan sanak-saudara, bagian clan, maupun terhadap masyarakat dusun. Bilamana kepentingan masya­rakat dilanggar dari fihak luar (pelanggaran atas tanah yang terma­suk lingkungan „beschikkingsrecht” misalnya) maka sudah barang tentu penghulu2 daripada masyarakat yang merugilah yang membuat reaksi terhadapnya. Bila perselisihan ini tidak menjadi perang dusun (seperti dulu) maka diusahakan penyelesaiannya dengan syarat2 yang sama dan atas dasar2 pernilaian yang sama, seperti penyelesaian di

dalam masyarakat. Di mana ada kekuasaan yang melingkupinya, baik berwujud gabungan dusun2 (dorpenbond), maupun pengadilan ra­ja atau pengadilan gubernemen, maka penyelesaiannya dapat di- paksa:kan dengan. vonnis : perseorangan2 dari pelbagai masyarakat lalu berhadapan satu sama lain sebagai orang-seorang.

Orang tak usah membuat gambaran yang ber-lebi'h2an daripada reaksi masyarakat yang timbul dengan sendirinya (spontaan); ba­nyak hal yang tak „direaksi”, melainkan terserah kepadanya sendiri, terserah juga kepada berlakunya celaan sesama anggauta-, bahkan biarpun keburukan tidak dapat lenyap oleli karenanya. Demikianlah misalnya dulu masing2 orang tahu (di jazirah Tenggara Sula­wesi), -bahwa sudah ber-tahun2 lamanya ada hubungan2 sumbang (bloedschennige verhoudingen) yang berat dalam suatu masyarakat dan orang tahu sejak dahulukala apa seharusnya reaksi adat terha- dapnya, akan tetapi para penghulu membiarkannya saja. Di lain fi- hak terdengar lagi reaksi- yang timbul dengan sendirinya (spon­taan) dari masyarakat dan penghulu2, tapi lantas dihubungkan

orang’ dengan pembayaran denda yang menguntungkan penghulu2

itu- .Uiika. dari itu sukarlah untuk ditunjukkan pada umumnya sam-

p5,i di mana arti daripada unsur perseorangan itu dalam proses: pcmuhhan keseimbangan, pem elih araan nilai- iperseorangan dan pe­meliharaan nilai2 masyarakat. Ter-kadang2 pelanggaran2 tetap tidak diusut, bilamana si tersinggung menahan perasaannya dan tinggal diam. T er-k a d an g2 sebagiai) daripada gabungan pembayaran- pe­langgaran (samengestelde delictsbetaliu^y aVau suatu pe*

o\eYv penyinggung ditujukan se-mata2 untuk melenyapkan kesusahan si tersinggung, ter-kadang2 pembayaran tunggal (enkel­voudig) berakibat majemuk (meervoudig). D i lain fihak ter-kadang2 hanya orang yang berbuat itu sendiri diiharuskan mengadakan re­aksi adat, bilamana kesalahan ada padanya ; ter-kadang- reaksinya lebih berat bilamana kesalahan ada padanya dibanding dengan bila­mana tiada kesaladian padanya.

Suatu keruwetan yang penuh kesulitan2 yang tak dapat disele- saikan timbul, bilamana hukum pelanggaran daripada masyarakat hukum ikecil2 itu bjertetnu dengan hukum pelanggaran (hukum pi- dana) daripada lingkungan raja2 dan daripada lingkungan guber­nemen. Raja melindungi nilai2 materieel dan immaterieel dalam lingkungannya dengan jalan ancaman hukuman. Pelanggaran2 dan hukuman2 itu (yang ter-kadang2 lain dari pada yang dikenal di masya­rakat2 tersebut tadi) adalah tertulis dalam buku undang-undang.

Akan tetapi pengadilan raja= menghadapi delik yang t e r j S P l antara sesama anggauta2 masyarakat satu sama lain, atau mengha­dapi delik- yang terjadi melawan anggauta2 dari masyarakat Iain, sehingga juga ketertiban hukum pusat terlanggar karenanya. Peng­adilan- itu dalam menjalankan piagam2 raja sebagai reaksi atas delik- itu memakai pernilaian2 daripada lingkungan raja2, yang dalam ketertiban hukum di masyarakat2 kecil2 itu tidak cocok. Lebih tak cocok lagi halnya dengan peradilan pidana dalam ketertiban- hu'kum gubernemen yang dijalankan dengan pengaruh nya pegawai2 pangreh praja atau pegawai2 kehakiman. Gubernemen sama ju ­ga m elindungi nilai2nya sendiri dengan jalan menjatuhkan hu- kum an2, tetapi seraya itu ia mencampuri tangan sampai mendalam dalam ketertiban hukum daripada masyarakat2, ialah karena pelang­garan2 yang menurut hukum pidana Barat termasuk perbuatan yang dapat dihukiïni lantas diperintahkan untuk dihukumnya dengan tu­juan2 m enurut asa-s2 dan pernilaian2 hukum pidana Barat., Dengan kecil2 itu tidak sama sekali dipadukan dengan hubungannya yang or- ganis. Seluruh „ilm u pernilaian” („waardeleer”) daripada masya­rakat2 kecil2 itu tetap tidak dimengerti ; sebagai gantinya disorong- kan ke dalam sebuah kitab undang-undang hukum pidana dari luar yang berdasar „ilm u pernilaian” perimbangan2 Barat dan hukum pidana Barat. Pertemuan ini adalah suatu tubrukan, kekuasaan gu­bernemen meneruskan caranya, walaupun cara itu merusak bagian2 penting daripada apa yang hendak dipertahankannya (ialah masya­rakat kecil2 itu sendiri).

Hakim hukum pidana gubernemen boleh dikatakan tidak berdaya untuk berbuat apa2 buat kepentingan hukum pelanggaran adat ; di waktu ak'hir2 ini ditunjukkan sebagai pintu darurat akan kemung- kinan menjatuhkan hukuman bérsyarat (voorwaardelijke veroorde­ling), di mana syaratnya itu terdiri dari reaksi ad at; hakim dalam perkara sipil tidak berkesempatan berbuat apa2 di Iapangan hukum delik ini.

H akim dusun (dorpsrechter) sejak tahun 1935 menurut wet da,pat menjatuhkan hukuman berupa reaksi2 adat yang bukannya hukuman menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana, akan teta­pi dalam hal ini ia terbatas hanya sampai reaksi2 adat tambahan (bij­komende adatreactie) meminta maaf, mengadakan selamatan dan sebagainya), bilamana oleh hakim gubernemen sudah dijatuhkan hukuman.

Dalam lingkungan peradilan Pribumi (Inheemse rechtspraak) delik2 adat itu dapat seluruhnya diadili menurut hukum adat (ja-

di : baik misalnya pembunuhan dengan direncanakan lebih dulu, pembunuhan biasa, pencurian dan zinah, maupun menyentuh tangan seorang perempuan, sumbang, makan apa2 dari pinggan kuningan berka'ki (di kalangan suku Batak Karo) di hadapan kalimbuhunya. (seseorang dari marga yang menghasilkan pengantin perempuan) dan ribuan perkara semacam itu. Baik reaksi2 untuk kepentingan masyarakat, maupun reaksi untuk kepentingan perseorangan dapat keduanyi dijalankan ber-sama2. Tapi kebanyakan dijatuhkan hu­kuman2 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, jadi dikenakan hukuman secara Barat, yang drkehendaki oleh lingkungan guber­nemen ; mengenai sampai di mana sedemikian itu tak dapat dihin- darkan lagi maka soal ini sangat sukarnya untuk dikirakan. Kebia­saan2 yang sejalan dengan itu diikuti pula oleh hakim landschap (landschapsrechter). Maka dari itu juga buat hakim2 Pribumi dan hakim2 landschap timbüllah persoalan tersendiri, hukuman2 apa yang mungkin dapat dibarengkan dengan hukuman dari undang-undang hukum pidana yang telah dijatuhkan itu, agar supaya di samping „menghukum” („straffen”) sebagai kehendak ketertiban hukum Barat, juga memuaskan. hati orang-seotang yang bevtujuan akau pemulih-an kembali kesetimbangan atas dasar pernilaiannya, pun juga membantu masyarakat2 kecil itu untuk mempertahankan ke- terti'bannya hukum dengan caranya sendiri. Tapi ancanian hukuman (sanctie) atas dipenuhinya usaha2 perdamaian dan pemulihan kem­bali ini (menyelenggarakan selamatan, meminta maaf dari penghu­lu2 dan orang2 terkemuka, dan sebagainya) ter-kadang- nanti akan terdiri lagi dari hukuman Barat, oleh karena sanksi adat — di- buang ke luar masyarakat, dikeluarkan dari lingkungan bantu-mem- bantu satu sama lain dan ditaruhkan di luar adat — kurang dapat dijalankan ialah karena makin longgarnya hubungan dan karena banyaknya jalan2 ke luar yang disajikan oleh laiu-lintas dan oleh kota yang besar. Tapanuli dan Amboina sudah pernah mencoba mengadakan sanksi adat serupa itu dengan jalan peraturan „keur” .

Penuntutan ganti rugi beruipa wang, karena kerugian yang di- perbuat dari sebab kelalaiannya terhadap kepentingan orang lain (atau karena disengaja lalai) menurut huikum adat seharusnya di mana2 dimungkinkan. Bila didapat kerugian karena perbuatan bi- natang ternak yang terlepas misalnya, maka di banyak wilayah orang boleh membunuh ternak itu. Bila ia tidak membunuhnya, tapi ia min- ta ganti kerugian, maka permintaan sedemikian itu dapat juga diluluskan. Kerugian yang disebabkan di luar salahnya seseorang —

itupun bila kerugian itu bersifat ekonomis dan bukannya „magis”— tak dapat menyebabkan baliwa orang itu dihukum untuk meng- gantinya.

Persoalan, siapakah yang bertanggung-j:nvab atas kerugian yang telah ditimbulkan — apakah pengemudinya kendaraan, ai '*j (juga) pemiliknya Bumiputera — sudah pernah dua, ’■iga kali. timbul ber- hubung dengan terjadinya kecelakaan2 mobil. Pemilik Bumiputera daripada mobil di Jawa menurut beberapa keputusan dipertang- gung-jawabkan untuk itu, hal mana rupa2nya secara sistim sesuai dengan misalnya pertanggungan-jawab pemilik ternaik terhadap kerugian2 yang disebabkan oleh lembu2 yang dilepaskan oleh anak2 penggembalanya yang ada di bawah pemeliharaannya, akan tetapi keputusan sedemikian itu tidak di mana2 sesuai dengan keinsyafan- hukum Pribumi.

Tanggung-jawaib daripada masyarakat yang ber „beschikkings­recht'’ atas delik2 yang terjadi di lingkungan „beschikkingsrecht”- nya itu, tapi tak dapat diketemukan pelanggar2nya, adalah suatu misal daripada kewajiban untuk pemulihan kesetimbangan - de­ngan jalan pembayaran delik — dengan sedikitpun tiada unsurnya perseorangan, melainkan hanya atas dasar pertalian „ummat manu­sia dan tanah” saja.

BAB KEDUABELAS. PEN GARU H L A M A N Y A W A K T U (IN V LO E D V A N TIJDSVERLOO P).Baik hak2 atas tanah, maupun hubungan2 hukum di antara per­

seorangan2 adalah menurut hukum adat tergantung dari pengaruh lamanya waktu. Jangka waktu yang ditetapkan dengan tahunan se­sudah mana sesuatu hak dapat diperoleh atau menjadi lenyap, ha­nya terdapat di mana penetapan jangka waktu sedemiikian itu sung- guh2 terjadi, ialah oleh perundangan desa (Bali), oleh peraturan raja2, oleh pengaruh pangreh praja, atau oleh keputusan2 hakim2 kerajaan atau hakim2 gubernemen. Dalam hukum tak tertulis dari­pada masyarakat2 liukum, maka yang menyebabkan seseorang tak dapat melakuikan hak2 yang ia katakan ada padanya — dan yang se- baliknya menyebabkan fihak lainnya menjadi aman oleh karenanya— ialah : perubahan2 yang nyata disebabkan karena lamanya waktu, misalnya perubahan keadaannya tanah, atau kalau tidak demikian : karena sudah tak teringatnya lagi letaknya peristiwa2 sebenarnya yang terjadi pada waktu yang sudah „lama” lampaunya.

Hak2 perseorangan atas tanah tidak dapat dipertahankan terha­dap hak2nya sesama anggauta2 atas tanah itu yang berakar dalam hak masyarakat, dan hak2 itu lenyap, bilamana bekas2nya pengo- lahan tanah sudah hilangdan bilamana tanah ketunibuhan lagi oleh semak2 sampai menutupinya. Hak atas pohon-pohonan yang tumbuh di rimba menjadi lenyap bilamana tanda2 yang diparangkan padanya itu telah tertutup kembali oleh kulit kayunya yang baru tumbuh kem­bali. Hak terdahulu (voorkeursrecht) daripada si pembuka tanah dapat menjadi lenyap bilamana tanda larangannya (verbodsteken) sudah hilang. Bilamana hak pertuanan (beschikkingsrecht) itu menjadi hak perseorangan, maka pernah terjadi, bahwa penghu­lu2 rakyat yang lalim lantas menentukan jangka waktu yang pendek, dalam tempo mana hak2 perseorarigan itu tidak laiku lagi bilamana tanah itu ditinggalkannya (agar supaya dapat diserahkannya lagi kepada orang lain atas pembayaran kepadanya).

Dalam pelbagai lingkungan hukum terdapat istilah2 hukum Pri­bumi, yang menunjukkan pengertian : sudah kelamaan lampaunya, sudah menjadi kabur karena lamanya, sehingga sudah lampau, ia lah : ranan kotor (Batak Karo), prakara lama (Batak Toba) kada- luwarsa (J.). Tentang perihal penggadaian tanah ter-kadang2 me­nurut yurisprudensi Pribumi (daerah2 Batak, Gorontalo) dan yu- risprudensi gubernemen ada terdapat diputuskan, bahwa karena sangat lamanya di-tunda2 penebusan tanah yang digadaikan itu, ma­ka hak si penjual gadai dikatakan sudah menjadi hapus. Tapi

menurut hukum adat justru hak menebus itu tidak dapat dilanggar karena ditundanya sampai lama ; sebelum h'a'kim da'Iam 'hal ini me- nentuikan bahwa ada pengaruh lamanya waktu yang melenyapkan hak menebus itu, maika ia barang sepuluh kali mempertimbangkan- nya lebih dulu hendaknya. Demi-kian juga halnya dengan hak2 per­seorangan atas harta peninggalan yang tak ter-bagi2. Hal mem'biar- kan harta peninggalan dalam keadaan tak ter-bagi2 telah dilukiskan dalam bentuk2nya menurut hukum adat (hal. 233) ; dalam waktu yang sangat lama beberapa waris dapat diluluskan menikmati terus ba'hagian2 harta itu, yang tida'k ter-bagi2 dan oleh karenanya tidak ada hak2 perseorangan atasnya ; akan teta'pi mungkin keadaan yang senyatanya itu lama-kelamaan dengan diam2 diakui oleh para sesa­ma waris sebagai suatu pengaturan yang definitif. Bilamana tim­bul perselisihan karena segolongan waris menolak melawan tin- dadcan mengehaki sebahagian harta itu dengan ha’k perseorangan, dengan alasan bahwa harta itu masih dalam keadaan belum ter-ba­gi2 — atau karena perkawinan yang tak diinginkan atau karena per- tikaian kerabat lainnya yang menyebabkan orang membongkar-bang- klr keadaan „yang sebenarnya” di antara anggauta2 kerabat — maka apa yang telah terjadi dengan se-nyata2nya toch harus dinilai juga dalam hukum. Adalah suatu pekerjaan yang halus serta sukar buat mencari apa yang harus dipandang penting untuk di'berlakukan atas perimbangan hukum, dan apa yang tidak, halus dan sukar pula buat mencari batasnya antara : membiarkan sebagaimana kenyataannya dengan membiarkan ma,sih tetap dipegang 'ha'k2nya di satu fihak dan „rechtsverwerking” (penghilangan hak sendiri) di lain fihaik. Dalam pada itu maka suatu vonnis daripada landraad Tulungagung pada tahun 1923 (adatrechtbundel X X II hal. 27) memiberi tauladannya secara mahir.

Mengenai penagihan hutang2 terhadap sesama anggota dusun dan kenalan2 di lingkungan rakyat Pribumi, maka hak menagih tidak lenyap karena ketiadaan menagih dalam jangka waktu yang ditentu- ■kan dengan tegas, karena sedemikian itu akan menyalahi kewajiban pertama daripada setiap penagih hutang: yaitu ia waj-ib sabar, panjang hati dan lemah-Iembut (sabar, J.) ; di sini terdapat buntut pengaruh 'tolong-menolong bertimbal-balik. Tapi di luar suatu batas yang tertentu dan dalam hubungan2 di luar situ — lebih2 juga ter­hadap pembayaran2 berkala — maka memang terdapat ada pengaruh­nya siikap diam2 dan sikap dingïn daripada si periagih hutang; aturan2 hukum yang berlaiku dalam pada itu seharusnya lebih lanjut ditentukan dalam keputusan2.

Telah ber-ulang2 terjadi -dalam lingkungan raja2 — dan seba­gai akibat pengaruh pegawai pemerintah bangsa Eropah — bahwa diadakan tindakan2 (Batak, Kalimantan, Bali, Jawa) yang menye­babkan dibatalkannya dan tak dapat diterimanya (onontvangkelijk) perkara2 yang berasal dari masa tidak ada kepastian hukum (meng- liadapi pecah perang, menghadapi pendudukan sesuatu daerah).

Dalam keputusan2 hakim2 (yang karena kewajibannya untuk me- melihara kepastian yang patut daripada hak-nya subyektif sese- orang, dan yang di mana2 mereka memperhatikan — walaupun de­ngan perhatian yang kurang bersistimnya — lembaga : penghilangan liak sendiri (rechtsverwerking), dikenakan (aantasting) lamanya waktu), orang harus mem-beda2kan adanya tiga garis. Per-tamae memang dianggap benar, bahwa hak2 madi (materiële rechten) atas tanah dapat menjadi lenyap misalnya karena dilalaikannya da­lam waktu yang lama, atau hak2 itu dapat terbit karena berlangsung- nya j>ampai lama keadaan yang senyatanya, keadaan mana sesuai de­ngan pelaksanaan sesuatu hak ; juga, bahwa hutang2 tidak dapat ditagïh lagi karena si penagih hutang kelamaan berdiamkan dïri. Dalam hukum adat selalu akan diperhitungkan lamanya waktu dan apa yang telah terjadi dalam waktti itu — setelah dipertimbangkan menurut kepatutan - ; dan tidak diperhitungkan jumlahuya tahun yang pasti, walaupun tidak mustahil bahwa di kalangan yang:pendu- duknya makin lama makin banyak menghitung dengan almanak dan tahun2, keputusan2 atas soal terakhir ini akan dianut orang ju­ga. Di mana dalam hal perjanjian2 tanah diharuSkan adanya pem- bantuan dari penghulu rakyat agar supaya diperoleh hak mendapat perlindungan hukum dari fihak masyarakat, maka bilamana permin- taan bantuan ini dilalaikan, rupa2nya kelalaian serupa itu dapat dipermaaf bila berdasarkan atas lamanya waktu dan atas perbuatan2 pengaikuan langsung atau tidak langsung daripada penghulu tadi dalam jangka waktu itu (hal. 109, 239). Begitu juga lamanya waktu itu dapat melenyaipkan haknya seorang waris, yang mustinya diminta setahunya dalam sesuatu .perjanjian (transactie), pada hal tidak, tapi ia juga tidak melawannya dalam jangka waktu yang patut (hal. 107). Hakim dapat menghindarkan diri dari bahaya yang sangat riilnya sebagai akibat daripada ter-gesa2nya menganggap adanya berlaku lamanya waktu, ialah dengan jalan memaksa dirmya untuk memberi alasan panjang-lebar pada dasar sistim keputusan itu.

Kedua, acapkali pengaruh lamanya waktu itu dipakai sebagai persangkaan (vermoeden) tentang adanya atau lenyapnya suatu pe-

ristiwa hukum (rechtsfeit) atau suatu hak. Pada asasnya bu'kti pe- nyangkal (tegenbewijs) masih mungkin, selama bukti penyang- kal itu tidak berhasil, maka dalam perkara sengketa dan kemudian dalam keputusan, dianggap sudah terang adanya atau lenyapnya „reohtsfeit” atau hak itu.

Ketiga, liajkim dalam pemeriksaan perkara dapat menganggap ti­dak perlu lagi si penggugat sampai membuktikan gugatnya, ialah berdasarkan hanya atas satu-satunya pendirian si penggugat sendiri, bahwa ia dalam perkara itu menuntut suatu hak yang timbul dari suatu peristiwa di masa yang sudah amat lama lampau ; hakim dalam pada itu dapat menolak memeriksa perkaranya itu karena prakara lama, karena kadaluivarsa.

Adalah menyebabkan kebingungan belaka bilamana masalah ini dibicarakan dengan memaikai istilah „verjaring” (lewat waktu). Anggapan : „verjaring itu memang ada dalam hukum adat” menye­babkan kesalah-fahaman se-akan2 tempo „verjaring” tigapuluh, atau sepuluh atau lima tahun sudah dikenal sebagai lembaga umum di kalangan rakyat Indonesia di sesuatu lingkungan hukum ; angga­pan : „verjaring itu tidak ada” menyebabkan salah pengertian, se- akan- menurut hukum adat tiada sama sekali atau tak mungkin sa­ma sekali ada pengaruh lamanya waktu atas hubungan2 hukum. Maka kedua anggapan ini salah. Maka dari itu dalam hal ini yang menjadi soal tak Iain dan tak bukan ialah soal umum yang di fat­sal2 berikutnya dikupas lebih lanjut, yaitu : bahwa hakim yang ber- pendidikan a'kademis harus secara patut berusaha (dalam perumu- san pertimbangannya dan dalam ikeputusannya) menyadari apa yang diberlakukan, dulu dan sekarang, oleh hakim rakyat dengan intuisi- nya (intuïtief) untuk menciptakan keputusan2nya ; dalam pada itu nilai daripada perubahan2 sosial harus diperhitungkan juga se- baik2nya.

BAB KETIGABELAS. BAH ASA HUKUM .

Sebuah lukisan hukum adat dalam bahasa Belanda harus dengan susah payah menempuh kesukaran yang disebabkan karena bahasa Belanda adalah satu-satunya bahasa yang „memang” cocok buat hu­kum Belanda saja. Suatu pembangunan lanjutan secara keilmuan daripada susunan hukum Belanda yang berdasarkan atas pengertian2 tentang hukum Belanda, dalam pada itu dengan sendirinya musti bertujuan membersihkan bahasa hukum Belanda. Lebih tegas lagi (karena keduanya ini adalah satu) : untuk selalu menyadarkan diri lebih dalam dan untu'k membuat dirinya sadar tentang bagian2 umumnya dan bagian2 khususnya kesatuan hukum Belanda (sebagai sudut khusus daripada liukum dalam arti kata yang umum) yangdy- namis dan yang berlaku, maka orang harus mempergunakan baha­sa hukum Belanda yang oleh karena itu selalu menuju ke kemurni- annya. Pekerjaan ini dijalankan dalam hubungan bertimbal-balik oleh rakyat dan oleh para ahli hukum (yang termasuk golongan rak­yat) sebagai bahasa hukum rakyat dan bahasa hukum teknis, yang di Nederland menimbülkan bahasa undang-undang dalam susunan­nya yang istimewa dan yang ber tak kebebasan yang nisbi (betrek­kelijkheid) di samping berkemerdoka:m yang nisbi (b&tnekkel-jjk-c zelfstandigheid) pula. Suatu bahasa hukum yang murni itu bukan­nya suatu barang yang dapat diperoleh dan dipertahankan sebagai milik tetap sekaligus pada suatu hari, melainkan adalah ia suatu proses yang berlangsung terus dan tak pernah berakhir. Apa yang dalam bahasa rakyat sebagai keinginan hukum dan yang dalam ke* putusan2 hakim rakyat sebagai hukum yang berlaku dinyatakan de­ngan bahasa yang tak sempurna dipikirnya itu, dipikirkan lebih lan­jut, difahami dan ditentukan lebih lanjut dalam bahasa yang telah disaring oleh ahli hukum, oleh hakim jabatan, Oleh pengundang- undang (bila ia ada seorang ahli hukum) dan oleh ilmu pengetahu- an. Apa yang disumbangkan kepada hukum yang berlaku oleh para ahli hukum, -hakim2 dan para pengundang-undang, adalah sumbang- an berupa bahasa hukum yang telah disaring, itupun sepanjang pengertian mereka mengizinkannya. Tentang adnnya ketidak- ■cermatan sebagai akihat sifat ber-ubah2 daripada hukum, di samping banyak ketidak-cermatan karena pengertian yang kurang sem­purna (dari fihak rakyat dan fihak yurist (semua)) maka hal ini da­pat dimengerti, di mana2 dan selalu akan terus begitu keadaannya. Oleh karena itu istilah2 hukum Belanda yang ada pada waktu se­karang ini penting artinya per-tama2 clalam. proses yang tersebut tadi.

Demi pekerjaan pikiran seorang ahli hukum (jurist) Belanda di- tujukan kepada hukum asing — kepada hu'kumnya bangsa Indone­sia — maka timbullah persoalan baru. Istilah2 hukum dalam mak- na Belanda tak dapat dialpakan dan juga tak dapat dioper olehnya- Ia tidak dapat mengopernya, karena dalam suatu hukum yang ber- pengertian2 begitu „asing” dan dalam suatu lingkungan sosial yang begitu „asing” pule, makna Belanda tidak dapat berlaku seba­gai makna Belanda ; dengan demikian istilah itu nanti akan mema- sukkan suatu unsur „asing” dalam hukum adat; ia tidak dapat mengalpakannya, oleh karena ia dapat melahirkan pikirannya secara. yang dimengerti orang hanya dengan mempergunakan istilah2 hukum. Belanda, atau dengan kesadaran dengan jalan menyingkirkan isti­lah2 tadi. Ia harus mema'hami hakeikatnya 'hukum adat (pada akhir- nya selalu dengan mempergunakan bahasa hukum rakyat Pribumi) dan untuk melukiskannya itu ia harus memakai perkataan2, kalimat2,. halaman2 dan kitab2, yang menunjukkan makna yang tepat terha­dap pengartian yang telah dïperolehnya itu. Jadi istilah2 yang ter- pilih itu per-tama2 dalam hubungannya satu sama lain dan batas2nya satu sama lain harus serasi buat susunan hukum adat, seraya harus- dibata&i yang tetap dari makna. istilah2 hukum Belanda. Beginilah cara mengerjakanrrya : dari pengartian hukum yang khusus (ko- pen, eigendom, vruchtgebruik, pand) orang melangkah ke suatu pe­ngartian yang lebih umum ; ,,'kopen” (beli) dan seterusnya ; pengar­tian umum tadi selanjutnya dikhususkan lagi sampai ke pengartian mengenai perbuatan2 hukum tertentu atau hubungan2 hukum dalam hukum adat. Baik terhadap pengartian umum, maupun terhadap pengartfian Belanda, maka yang khusus itu (het bijzondere) dapat di- nyatakan dengan jalan ditambahnya sepatah kata nama sïfait (bij­voeglijk naamwoord) atau dengan jalan uraian (omschrijving) r misalniya dïnyatakan : „beli” (kopen) adalah menurut hukum adat bukan perjanjian „consensueel” melainkan perjanjian „reëel” . Betapa banyak kesalah-fahaman dan pokroI2an (juristerijen) sudah timbul hanya dari perkataan itu saja, maka di sini hanya diperingat- kan saja akan itu ; khusus mengenai „sifat reëel daripada perjan­jian jual-beli itu oleh yuris2 sudah dikemukakan kebodohan2 yang tak terbilang banyaknya, yang merupakan sekian banyak lintang2 an* tara hukum adat dan perumusan pengartiannya dalam bahasa Be­landa ; apa yang terbentang di atas ini sama juga berlakunya atas : „eigendom , „bezit , „communaal bezit” , „pand”, „koop met bening; van wederinkoop , „verloving”, „koophuwelijk”, bruidschat”,, „voorschot , „vrome stichting, „ihuur”, „roerend goed”, „verja­ring-”, dan sebagainya.

Pemakaian bahasa Belanda untuk melukiskan hukum adat Indo­nesia secara berfikir dengan kesadaran dan ketenangan, mengaki­batkan pekerjaan „menterjemahkan’’ bahasa hukum Pribumi ke­pada bahasa Belanda itu menjadi pekerjaan yang bersusah-payah— pekerjaan mana oleh Van Vollenhoven dengan sekaligus telah diangkat sampai ke tingkatan keilmuan — hal mana lambat-laun menyebabkan banyak perbaikan, tapi selalu terserang dan terancam (secara lebih hebat daripada dalam pembentukan 'bahasa hukum baru) oleh perkisaran hukum sendiri dan oleh keserampangan2 kuasa2 perkara (zaakwaarnemers) yang berbicara dan berpikir da­lam sama bahasanya rakyat ialah fihak2 yang berkepentingan; pula diserang dan diancam — ini sayang — ’pula oleh keserampangan- dan kesementaraan2 — yang tidak dapat dielakkan juga — da­ripada bahasa yurist.

Peringatan2 tentang ba'hasa Belanda sebagai bahasa hukum untuk hukum adat sekarang disusul dengan dua peringatan tentang ba­hasa hukum Pribumi.

Per-tama2 : perkembangan tekhnis secara sadar daripada bahasa yang dipakai untuk menyebutkan hubungan2 hukum dan per­buatan2 hukum adalah memang di sana-sini (Bat*k, Minangkabau, Sunda) sudah berlangsung dengan caranya sendiri2 tapi di mana= ada ketinggalan dibanding dengan pem'bentukan kelas ahli hukum (juristenstand) anak2 negeri pada masa sekarang, itupun, sudah barang tentu, karena bentukan itu berlangsung dalam bahasa Be­landa dan inisiatif untuk menyadur bahasa sendiri sampai sekarang tidak ada. Untuk ini maka buah tangan Vergouwen tentang Batak Toba yang berisi kata2 buat bagian2 hukum yang penting lebih ber- jasa dari pada lain orang, dan Kom minta perhatian untuk bahasa hukum Bali yang sudah berkembang sampai suatu tingkatan terten­tu, pula ia minta perhatian untuk pengaruh yang merusak daripada bahasa Melayu sekaTang yang terpakai di 'pengadilan2 Pribumi. Pada suatu saat maka para ahli hukum Indonesia akan harus mengerti bahasa Pribumi tadi dan mereka akan harus berusaha mempelajari* nya apa yang perlu untuk dapat lebih memahami cara pembedaan2- nya Pribumi dan faham2 hukum Pribumi. Diperingatkan kiranya misalnya akan sekian banyak sebutan2 mengenai delik2 dan pem­bayaran2 delik, yang orang2 Belanda yang mempelajari hukum adat masih sedikit dapat mempergunakannya.

Selanjutnya: semustinya (hampir selalu) ada pertalian yang sungguh („wezenlijk”) di antara lembaga2, hubungan2 atau per­buatan2 yang disebut dengan istilah2 yang sama, dan ada perbedaan

yang sungguh di antara iembaga2, hubungan2 atau perbuatan2 yang disebut dengan istilah2 yang ber-beda2 ; mestinya dapat dipungut makna yang lebih dari istilah2 mengenai .tanah dan benda2, ialah foer- hubung <lengan kedudukannya hukum ; mestinya mungkin juga akan me-misah2kan „istilah2 yang perlu” dan „istilah2 yang kebe- tulan” satu dari yang lain. Inilah sebabnya betapa besar sekali gu- nanya penyebutan istilah2 Pribumi itu (hal mana sebagai persiapan sangat dipergiat oleh Van VoilenJioven). Mallinckrodt menyaji- kan beberapa tauladan yang menonjol daripada usaha untu'k men- cari pengartian inti daripada istilah2 hukum yang pada lahirnya ber-beda2 satu dari yang lain. Perhatiannya sebagaimana juga perhatian Korn dan Vergouwen terhadap persoalan bahasa hukum berada di bawah pengaruh buah tangan Van Vollenhoven „Indone­sische rechtstaal” dari tahun 1922, di mana persoalan2 yang berhu- bungan dengan itu buat pertama kalinya dikemukakan. Pekerjaan pengusutan dan penyaringan arti2 kata2 itu adalah suatu usaha yang amat halus. Misalnya di sini ditunjukkan persoalan2 yang paling ter- kenal; apakah maksudnya pemafcaian istilah adol, jual, txiku, beli — dan kata2 yang etymologis bertalian dengan itu — terhadap pengar­tian2 hukum yang dinyatakan -dengan kata2 itu ? Mengenai perkataan „ tukon’ sebagai pembayaran di waktu perkawinan Jawa ada ter­dapat sedikit kesusasteraannya hukum adat, tapi tiada kata sepakat terhadapnya, demikian juga halnya mengenai perkataan „adol”. Apakah artinya, bahwa oleh suatu suku Dayak persiapan pembuka­an tanah oleh seorang sesama anggauta masyarakat (bukannya pem­bukaan oleh orang asing) disebut dengan perkataan yang sama de­ngan perkataan untuk : suatu perjanjian yang telah diperkuat de­ngan suatu tanda yang kelihatan, dan untuk „pertunangan di muka” (voorverloving) (mamupuh) (hal. 191)? Apakah ketiganya itu sa­ma2 mengandung maksud : -menaruhkan suatu hak terdahulu (voor­keursrecht) ? Dan apakah ini terjumpa kembali dalam halnya suku Batak di bagian Selatan, di mana suatu tanda yang kelihatan atas tanah yang disediakan untuk dibuka disebut dengan istilah yang sa­ma dengan istilah untuk hadiah pertunangan (toto)? Bagaimana- kah imbangannya yang tepat daripada istilah mamïli — dan perka­taan Dayak Ngaju untuk : „beli" — dan perkataan2 nya : manjawi (menguasai sesuatu buat se-lama2nya dengan jalan memberikan pembayaran yang „magis”) dan mamèkat (menguasai sesuatu buat sementara dengan jalan memberikan pembayaran yang „magis”). Mengandung apakah perkataan „sanda" yang terdapat baik dalam perjanjian2 tanah, maupun dalam perkawinan2 ; apakah yang ter- kandung dalam „tuan” : tuan lanah, tuan xvang? Apakah funksinvn

yang dipetik dari perkataan2 Arab seperti ,,milik”, „haq”, atau dari kata2 Belanda seperti : „borrch” ? Apakah riilainya (dan maksudnya) pepatah hukum seperti : „haq bamilieq, harato bapunya” dan sete­rusnya dan seterusnya ? Hanya menyebut obyek2 hukum, dengan is­tilah2 adat yang bersangkutan dengan obyek2 itu, adalah lebih dari terkenal : patuanan, ulayat, panyampéto, nuru, prabumian dan seba­gainya terhadap lingkungan hak pertuanan (beschikkingskring) ; harta pusaka untuk harta benda kerabat: harta pencarian, pasini untuk harta benda perseorangan; barang kalakéran untuk harta benda yang menjadi haknya orang banyak (kerabat, dusun, atau masyarakat manapun ju ga); harta saka, harta pusaka rendah, har- ta suarangt barang gana, gi'ni, gana-gini dan ratusan lain2nya lagi.

Dalam setiap lingkungan hukum adalah di hadapan kita soal2 : pernilaian istilah2 hukum rakyat serupa yang tersebut tadi menurut nilainya yang sejati, ,pemakaian istilah2 itu dalam bahasa hukum adat Pribumi yang sudah disaring, dan penemuan kata2 yang paling cocok dengan istilah2 hukum adat tadi dalam bahasa Belanda, ke­semuanya itu ada di hadapan kita sebagai sebidang tanah lapang pe­kerjaan, yang tidak (seperti ladang) menjadi habis sesudah be­berapa tahun dan tak menghasilkan apa2 lagi, melainkan (seperti sawah) — bila dikerjnkannya terus-menerus — setiap tahun meng- -hasilkan panennya juga.

BAB KEEM PATBELAS. PEM BENTUKAN H U K U M A D A T.

Tiada suatu alasanpun jua untuk menyebut barang sesuatu de­ngan nama „hukum” selainnya apa yang diputuskan sebagai „hu­kum ’ oleh penjabat2 masyarakat yang bertugas menetapkan dalam keputusan-'nya bagaimana hukumnya — kira2 dengan kata2 demiki­an itu orang Inggris Gray pada hemat saya, juga terhadap hukum adat, memberi jawaban yang tepat atas pertanyaan, bilamanakah

.. secara theoritis orang dapat menamakan h u k u m adat yang berlaku (geldend adat r e c h t) (berhadapan dengan adat ) , dan kaidah2 h u k- u m tak tertulis yang berlaku (geldende ongeschre­ven r e c h t s - normen) (berhadapan dengan kaidah2 tak tertulis macam lain) (ongeschreven normen van anderen aard). Keputusan2 yang diambil oleh pendukung2 kekuasaan, ialah penghulu2 rakyat,— keputusan2 mana selalu dapat dan harus ditafsirkan tidak hanya sebagai keputusan yang kongkrit, melainkan juga sebagai suatu kaidah untuk perkara2 yang „sama” (yaitu perkara2 yang mengan- dung kejadian2 yang bersangkutan dengan itu, jadi perkara2,, yang s e b e r a p a j a u h sama) — menunjukkan adanya kaidah2 hukumnya yant berlaku tlai.-mi masyarafcac ; y . 3&n>>ssAr'- hukum daripada nilai2 dan pernilaiaiv* masyarakat, bentuk- hukum mana timbul dari beraneka gejala2 hidup yang bebas. Tapi kaidah3 hukum serupa itu tidak semua sama padatnya ; bertanibah dan ber- kurang padatnya itu tergantung dari : apakah disokongnya oleh soal ada pertaliannya atau tiada pertaliannya secara sistim dengan kai­dah2 lainnya (karena sistimnya), apakah disokong oleli penghargaan baik atau kurang baik oleh kenyataan sosial (sociale werkelijkheid) dan oleli syarat2 perikemanusiaan, atau apakah disokong oleh kepu­tusan2 yang sama sejumlah besar atau sejumlah kecil, faktor2 ma­na kesemuanya dapat memperkuat atau memperlemah satu sama lain. Barang siapa yang bertugas memberi keputusan oleh karena itu ha­rus benar2 sadar akan tanggung-jawabnya bahwa dia adalah un­sur dalam hal pembentukan hukum. Karena funksinya haruslah ia, d a r i s e b a b ia adalah pcmbesar masyarakat, memberi kepu­tusan sedemikian rupa sehingga dapat disalurkan dari padanya : kaidah (keputusan yang ditafsirkan sebagai kaidah) yang menurut keyakinannya akan berlaku dalam lingkungan di mana ia mengadili itu, yaitu per-tama2 untuk perkara yang kongkrit itu, tapi juga un­tuk semua perkara2 lainnya yang seberapa jauh mengandung ke­jadian- yang sama dan yang bersangkutan (relevant) (dalam ke­adaan2 sosial yang sama dan yang bersangkutan pula). Masing2

pembesar yang bertugas memberi 'keputusan — ialah masing2 hakim— oleh karena itu harus mema,klumi keputusan2 yang dahulu dalam perkara2 yang sama, yang belkwaliteit istimewa karena tanggung- jawab istimewa dari orang yang dahulu memberi keputusannya itu. Tambahan pula karena perkara itu oleh keputusan dan dalam kepu­tusan selalu dilukiskan dengan ‘t e p a t h e t u 1 ( p r e s i e - s e r i n g ) dan d i r u r a u s k a n ( f o r m u l e r i n g ) , maka dari itu akibatnya ialah, bahwa setiap keputusan memberi se- dikit-banyak suiribangan pengertian terhadap apa yang harus „berla­ku” (gelden). Jadi secara psykhologis dan secara functioneel se­tiap keputusan mengakibat'kan suatu daya pengaruh yang tertentu. T api juga hanya suatu d a y a p e n g a r u h y a n g t e r t e n - t u. Karena justru tanggung-jawab terhadap masyarakat yang diberikan kepada hakim (atau pemegang kekuasaan lainnya) karena funksi memutuskan itu, menyebabkan ; bahwa dia (untungnya karena ia tidak terikat formeel pada sesuatu keputusan yang dahulu atau „precedent”) dalam perkara2 yang sama baru boleh (tapi juga lan- tas 'harus) memperkuat -keputusan2 yang dahulu2 itu hanya bilamana keputusan itu ternyata dapat dipertahankan ; yaitu dapat dipertahan- kan sesudahnya diujinya atas seluruh sistimfiya hukum adat seba­gaimana yang bersambung dengan kenyataan sosial (sociale werke­lijkheid), sehingga hukum adat itu adalah perwujudan sendiri dari­pada kenyataan sosial-itu, yang tak ada hentinya ber-ubah2 dan yang dalam keputusan dahulu2 mungkin mendapat tafsiran yang „salah” ; selanjutnya diuji atas syarat2 perikemarbusiaan yang harus dipe- nuhi bila hakim berkehendak memberi keputusan yang dia dapat mempertanggung-jawabkannya. Penghargaan secara kritis terha- •dap keputusan2 yang dahulu2 itu sudah barang tentu tak dapat di- pisah-kan dari penghargaan secara kritis daripada hakim yang mem­beri keputusan dulu, yaitu bagaimana dia pada umumnya dan apakah ia terkenal sebagai cakap apa tidak dalam menunaikan tugasnya. Jadi peradilan menurut hukum adat itu adalah per-tama2 : memba- ngun terus mewujudkan hukum dalam masyarakat. Bilamana hakim tidak mendapatkan keputusan dari tempo dahulu dalam perkara •sama yang mengandung kejadian2 yang bersangkutan, ataii bila­mana keputusan2 itu ternyata tak tahan oiji, maka ia toch harus memberi keputusan juga yang menurut keyakinannya harus berlaku sebagai keputusan hukum, jadi juga sebagai kaidah hukum, da­lam lingkungan tempat ia mengadili. Untuk mendapatkan keputusan itu haruslah ia melantas ke dalam susunan hukum selunlhnya, harus- lah ia mengenai kenyataan sosial dan mengerti syarat2 perikemanu- siaan. Oleh karena itu kewajiban untuk mengadili iüenurut hukum

adat berarti : memberikan bentuk kepada apa yang dibutuhkan se­bagai keputusan «hukum yang berlaku (kaidah hukum) dengan se­bagai bahan ialah faktor- tadi (sistim hukum, kenyataan sosial dan syarat2 perikemanusiaan), kesemuanya dengan cara yang da.pat di- pertanggung-jawabkan pada waktu sekarang; bila dikatakan se­cara subyektif : memberi bentuk kepada apa yang dibutuhkan me­nurut kèinsyafan keadilan rakyat Pribumi sebagai keputusan hukum (kaidah hukum) yang berlaku, kèinsyafan hukum mana dengan ke- insyafan hukum hakim sendiri pengaruh-mempengaruhi satu sama lain.

Kedua bagian daripada tugas hakim yang telah di-beda2kan tadi, dalam prakteknya peradilan yang selalu beraneka-warna, tidak mun- cul sebagai dua kc-mungkinan yang tegas hatasnya aptara satu de­ngan yang laio, melainkan kadang2 hanya muncul sebagai unsur2 yang setengah dikenal dan yang bercampur-baur satu sama lain, daripada pekerjaan kehakiman.

Demikianlah tugas hakim menurut hukum adat; baik tugas ha-• ki-m rakyat, maupun tugas hakim pemerintah. Pada hakekatnya tiada

perbedaan dalam fuirksi mereka — bagaimana bes&i-nys» mungkin pei bedaaiinya dalam kesadaran mereka mengenai apa yang ditindak- kan (yang harus ditindakkan). Penghulu rakyaP-hakim masyarakat yang tumbuh dari dalamnya — bertindak (kalau dikatakan dengan tajam) menurut intuisi (intuitief) ke arah kaidah2 yang dirumuskan di atas tadi ; hakim pemerintah yang datang dari luar dan yang ber- pendidikan akademis (kalau dikatakan dengan tajam) menjadi sa- dar akan kaidah2 yang berlaku untuk dia karena insyaf akan t'ugasnya secara theoritis. Kekuatan struktureel daripada hukum adat, pertaha- nan diri yang ulet daripada hukum adat terhadap pengingkaran dan pelanggaran bahkan dari pihak peng-undang2 pusat, hakim2 dan pen- jabat2 pemerintah, kesemuanya itu tidak dapat diterangkan sebab apa, selainnya oleh karena adanya ketertiban hukum masyarakat2 ke­cil2, yang dipelihara dengan jalan keputusan2 penghulu2 rakyat dan pendukung2 kekuasaan adat dalam prakteknya se-hari2 bila. ada suatu perbuatan hukum atau bila timbul perselisihan. Kewajiban yang di- bebankan atas pundak hakim pemerintah untuk mengadili menurut hukum adat berarti kewajiban untuk melakukan apa yang d a l a m k e t e r t i b a n h u k u m P r i b u m i sudah menjadi „hu­kum yang berlaku" dengan sendirinya, yang olehnya difahami me­nurut sistimnya dan olehnya dibangun terus menurut sistimnya pu­la ; berarti juga dalam menyelidiki dapat bertahan atau tidaknya suatu kaidah yang sudah diketemukan — begitu juga dalam hal

membuatnya keputusan sepanjang belum ada pembentukan hukum- nva — memakai sebagai titik pangkal : kenyataan sosial daripada p e n d u d u k r a k y a t P r i b u m i . Oleh karena ahli hukum yang berpendidikan terlalu ke Baratan belum cukup siap untuk tu- gas °itu, oleh karena organisasi daripada kekuasaan kehakmian ku- rang menyokong terlaksananya tugas itu (walaupun dalam hal ini sudah ada perbaikan banyak), maka dari itu akibatnya ialah : ku- rangnya pengtiargaan dan ketiada-pengakuannya nilai hukum yang sebenarnya daripada keputusan2 hakim (lebih2 keputusan- Land­raad2) hal mana walaupun demikian tak mengurangi sedikitpun arti keputusan2 itu vang principieel. Harus dipikirkan, bahwa hakim gubernemenpun nomor satu juga h a r u s memutuskan (dalam rangka wewenangnya) i) itupun baik berdasarkan hakiki funksinya» maupun berdasarkan peraturan undang-undang. Ia dilarang enggan- mengadili (rechtsweigering) . la harus memutus - m e n u r u t h u k u m, ia liarus memberi keputusan hukum dalam perhubu- 1 ngan, di mana ia menjalankan tugasnya. Kewajiban tersebut, ialah memberi keputusan hukum, membuat keputusannya menjadi (kai­dah—) hukum dan menuntut dari padanya cara bekerja yang diurai­kan di atas tadi.

Dari uraian ini Lak dapat sama sekali diambil kias — jangankan diambil kias secara patut — suatu dalil, bahwa hakim itu cukup hanya meninjau keputusan2 dahulu2 saja, cukup mengambil kum- pulannya yurisprudensi saja untuk dibacanya.

Juga tidak dikatakan dalam uraian itu, bahwa se-akan2 tugas hakim itu se-mata2 hanya terdiri dari pembikinan keputusan2 hukum, dan tidak terdiri dari mengusahakan (dengan segala daya-upaya) tercapainya penyelesaian2 perdamaian (schikkingen) ; hal itu adalah di luar acara pembicaraan dalam soal ini.

Bila orang membantah, bahwa hakim harus memasuki desa untuk menemukan hukum adat di sana berupa kaidah2 yang dilengkapi de­ngan ancaman hukuman (sanctie) dan bahwa hakim itu bila memu­tus sering sekali cukup memutus peristiwa2nya (feiten) saja, ma­ka ia tak dapat menegaskan apa yang dima-ksudkan dengan : „mene- nuikan”, „kaidah2” dan „yang dilengkapi dengan ancaman huku­man” itu ; pembantah itu juga tidak memikirkan dalam2, apakah funksinya setiap keputusan itu (ialah — selainnya mengusahakan perdamaian, bila peristiwa2nya tidak terang — selalu per-tama2 un­tuk menetapkan hubungan hukum (rechtsbetrekking) dan bantah-

1 ) . dan molam paui batas wewenangnya.

an itu bila dijelaskan lebih lanjut pada hemat saya jatuhnya sama saja dengan uraian yang dibantah tersebut di atas. Adalah buat peradilan yang dijalankan oleh ahli2 hukum penjabat (be- roepjuristen) syarat nomor satu untuk menginsyafi perhubungan yang ada di antara „hukum adat” dan tugasnya hakim; perhatian .tidak boleh oleh perumpamaan (beeldspraak) lantas dibelokkan dari nilai fuijctionoel keputusan itu dan dari tanggung-jawab hakim yang bertalian dengan itu.

Adalah tak mungkin untuk mendidik „yurist” sebagai hakim pen­jabat untuk mengadili Bumiputera, seraya membela semboyan; .„jangan melakukan hukum yurist („juristenrecht”) atas Bumipute- ra” . Pertentangan yang tak terdamaikan ini sudah herakibat tidak baik dan akan terus berakibat tidak baik, selama pertentangan itu tidak di atasi. Semboyan Van Vollenhoven dari tahun 1905 tersebut sebagai suatu unsur dalam perjoangan melawan penyatuan hukum (unificatie) dan melawan penyodoran hukum Barat adalah dalam maknanya yang terbatas itu cukup dapat dimengerti dan cukup serasi pula. Semboyan tadi, yang dalam suasana yang sekarang sudah men­jadi jernih berkat Van Vollenhoven, harus diganti dengan : buat -orang Indonesia hukum yurist (juristenrecht) ynng baik <fa« yjug bersambung pula pada hukum Pribumi.

Huhungan yang hidup dengan pergaulan hukum yang dilingkupi ■oleh peradilannya, ialah „memasuki desa” adalah buat masing- ha- Tdm hukum adat satu2nya jalan untuk dapat menguji keputusan2 yang dulu2, pula untuk dapat membuat keputusan2 baru secara yang dapat dipertanggung-jawabkan; dengan kata2 lain, untuk belajar ikut mengalami secara subyektif unsur2 yang terpenting daripada -susunan. hukum itu, pula untuk belajar melantas terus ke dalam ke- insyafan keadilan Indonesia. Akan tetapi „di dalam desa situ ia mendapatkan jauh dari pada semua yang dibutuhkannya.

Usalia dengan jalan usul2 penyelesaian secara perdamaian (schikkingsvoorstellen) agar supaya fihak2 yang berkepentingan meng- -adakan aturan2 penyelesaian atas tanggung-jawab sendiri se­hingga tidak perlu lagi'ada keputusan2 hukum, adalah tugas yang sa­ngat pentingnya daripada hakim2 dalam mengabdi masyarakat. Ia ha* rus berusaha mendapat sambungan pada prakteknya rukunan orang2 Indonesia, dalam pada itu makin banyak, makin baik. Dalam peran- annya yang aktif dalam pada itu, ia juga dapat (dan harus) mem­pergunakan pengetahuannya, bagaimana ia akan membuat keputus- annya hukum, andaikata fihak2 yang ber"kepentingan tidak mau pe- Jiyelesaian secara perdamaian. Bila fihak2 yang berkepentingan tidak

Tnau begitu, maka hakim, liar us memutus sendiri aUis unv»§ui\§*ja\\'ab sendiri, dan berlakulah apa yang terbentang di atas ladi mengenai cara membuat keputusan hukum.

Adalah praktisnya tidak mungkin bahwa hakim berhubungan (contact), dengan tertibnya dengan lingkaran hukum (rechtsmil- lieu) untuk setiap keputusan hukum : buat sebagian sebabnya itu ter­letak pada sifatnya perkara dan sifatnya persoalan- yang timbul (mi­salnya : kebadanan hukum (rechtspersoonlijkheid) daripada suatu perkumpulan dan akibat2nya terhadap tanggung-jawabnya pengu- rus atau anggauta-nya ; tanggung-jawabnya buat seperdua atau buat seluruhnya bagi seorang saksi yang menuliskan kcterangannya. atas surat tanda kedatangan surat „tercaiat" (aangetekend), surat tanda mana ternyata ditan-datangani oleh seorang bukan yang di- alamati ; pengejaran2 penggantian kerugian yang disebabkan ka- karena perbuatan2' yang merugikan penagih2 hutang; akibat2 penju­alan lelang yang diselenggarakan oleh seseorang yang tak berhak, dan sebagainya dan sebagainya). Buat sebagian pula ketidak-mung- kinan tadi juga terletak pada : kekurangan tempo, kekurangant pengetahuan tentang bahasa dan keadaan2 serupa itu lainnya. S e - p a n j a n g hubungan (contact) tadi tak mungkin dan oleh ka­renanya hakim tak memperoleh bahan pengujian dari padanya, ma­ka h a r u s 1 a h ia menuruti keputusan2 yang dulu2 yang tahan uji atas sistim dan syarat2 perikemanusiaan, hal2 mana didapatnya tahu dari buku2. Bila timbul kesangsian atau bila ada kurang leng- kap pengertian, maka kaidah2 yang lebih padat (dichtheid) dan. yang disokong oleh keputusan2 yang banyak, ada lebih bertahan ter­hadap simpangan2nya dari pada kaidah2 yang sedikit padatnya (mi­salnya "kaidah itu hanya terdapat dalam satu keputusan saja pada tempo yang baru lalu).

Lebih panjang-lebar tentang masalah ini : De rechtspraak van de landraden naar ongeschreven recht (Peradilan landrad2 menurut hukum tak tertulis), pidato Jakarta 1930 d an : Het adatredit en de volkenkunde in wetenschap, praktijk en onderwijs (Hukum adat dan ilmu bangsa2 dalam ilmu pengetahuan, praktek dan pelajar­an), pidato Jakarta 1937; Holleman, W .P .N .R . 3557 (1938).Ind. Tijdschrift van het Reoht, jilid 147 (1938) hal. 428 ; Loge- mann, Ind. Tijdschrift van het Recht, jilid 148 (1938) hal. 27 de­ngan kata menyusul dari Holleman di hal. 36 ; Van Hattum dalam W .P .N .R . 3587 dengan kata menyusul dari Holleman. Lihatlah ju­ga : Adaterfrecht op Java (Hukum waris adat di Jawa) Ind. T ijd ­schrift van het Recht, jilid 148 (1938) hal. 201.

Dalam buku ini telaïl dicoha untuk melukiskan susunan (stelsel) hukum adat Indonesia. Lukisan susunan itu saban2 diperkuat de­ngan jalan penyebutan kaidah2 hukum adat sebagai kaidah2 yang -

* berlaku. Hanya buat sebagian dapat disebutkan keputusan2 yang menjadi dasar kaidah2 itu ; buat bagian terbesar maka pemberitaan kaidah2 hukum adat itu berdasarkan atas pengetahuan dari kesu- sasteraan, jadi dari tangan kedua dan ke berikutnya, yang sudali ba­rang tentu setelah saya saring dan saya pilih hanya pemberitaan2 yang pada hemat saya tahan uji terhadap dapat atau tidak dapat di- terimanya, itupun berhubung dengan susunan hukum, kenyataan so­sial dan syarat2 perikemanusiaan, sebagaimana kesemuanya itu nam- pak pada saya dan menimbulkan penghargaan saya terhadapnya. Adalah sudah semestinya termasuk tugasnya pelukisan hukum adat secara keilmuan, ialah untuk memilih dan untuk menyatakan apa yang harus berlaku menurut pendapatnya penulis, bilamana harus diambil keputusan2. Hakim yang bertanggung-jawab pada kong- kritnya harus selalu bertanya lagi pada dirinya apakah pendapatnya itu tahan uji dan apakah kaidahnya hukum adat itu sudah dirumus- kan dengan tepatnya.

BAB KELIMABELAS. KESUSASTERAAN HUKUM A D A T.

Pusat kesusasteraan hukum adat — buku penutup daripada masa lampau, pondamen buat masa depan — adalah akan tetap buat se- lamanya buah tangan yang agung daripada VAN VO LLEN H O : VE N : „H et adatrecht van Nederlandsch-Indië jilid I 1906 — 1918. Untuk setiap lingkungan hukum terdapatlah kesusasteraannva (literatuur), dari mana bahan2nya diambilnya buat lukisan lingkung­an itu yang disusun secara ikhtisar dan menurut sistim : dalam kitab itu di bagian belakang terdapat waktunya membahas setiap lingkungan hukum itu, ialah dalam tahun berapa di antara tahun 1906 — tahun 1918 itu. Ilmu ethnologie hukum dari masa sebelum tahun itu dan yang hanya sekali tempo saja pada waktu itu men- dekati ilmu hukum adat, dalam kitabnya Van Vollenhoven ternyata sudah ada tafsirannya menurut hukum adat. Tidak dapat sama se­kali dikatakan tidak penting — berhubung dengan kemajuan ilmu hukum adat dalam tempo 20 — 30 tahun sejak itu — untuk me- ninjau sekali lagi bahan2 (gegevens) yang lebih tua (SNOUCK. HUR- GRONJE, W ILK EN , LIEFERINCK, KOOREMAN, DE ROOY, het „Eindresumé” dan sebagainya), tapi dapat dikatakan pada umumnya, bahwa bahan2 dari tahun2 sebelum 1906 — 1918 sudah termasuk dalam kitab baku Van Vollenhoven tadi; hanya beberapa saja dari tulisan2 itu nanti akan disebut lagi di sini. Bila ditinjau ke arah lainnya maka jilid pertama daripada kitabnya Van Vollen­hoven itu tetap dapat disebut pusatnya pelukisan hukum adat dan kesusasteraan hukum adat, karena kesusasteraan yang terbit sesudah itu seluruhnya berdasarkan atas uraiannya yang secara sistim itu ; peristiwa2 dan pengelihatan2 baru yang mendatang benar juga memperluas sistimnya, menambahnya, di sana-sini sekedar memper- tegaknya, akan tetapi pada hakekatnya tidak sedikitpun dapat merombaknya.

Jilid II daripada „Adatrecht van Nederlandsch-Indië''nya Van Vollenhoven 1918 — 1931 membahas hukum adatnya golongan T i­mur Asing (Vreemde Oosterlingen), hukum agama, dan terutama „pemeliharaan dan pembentukan hukum adat oleh hakim”, dan „pembingkaian” („inlijsting”) daripada hukum adat, dan nasabah2 yang tak terbilang banyaknya daripada hukum adat dengan hukum (undang-undang) gubernemen.

Di samping itu terdapatlah sekumpulan karangan2 dalam jilid III (1904 — 1931) (di antara mana „Indonesische rechtstaal” 1922), dan empat buku2 kecil yang tak termasuk jilid itu : „Miskenningen van het adatrecht” (1909) 1. Inlandsche gemeente, 2. beschikkings­recht, 3. adatrechtsystematiek, 4. adatrecht van Java ; „Een adat- wetboekje voor heel Nederlandsch-Indië 1910; „De Indonesiër en zijn grond” ; „De ontdekking van het adatrecht” 1928. Dalam pi- datonya dalam bulan Agustus 1932 di aula gedung „rechtshoge­school” ; „De poëzie in het Indisch recht” dibicarakan juga bebe­rapa lembaga hukum adat. Bersandar atas dan disokong oleh pe- kerjaannya yang keilmuan itu maka di antara kitab2nya Van Vollen­hoven yang kecil2 itu terdapat banyak tulisan2 persoalan (strijd­schriften) ; empat garis2 pokok menjadi tanda-ciri perjoangannya, ialah : 1. menentang penyatuan hukum (unificatie) dan menentang desakan secara lain terhadap hukum adat oleh hukum Barat; 2. membela agar supaya arti peradilan adat diakui ; 3. menentang per- ingkaran (miskenning) hak2 masyarakat hukum Pribumi dan hak2 perseorangan atas tanah ; 4. menentang .peringkaran terhadap wa- tak masyarakat2 Pribumi sendiri. Di ke-empat2nya front ini sudah dapat didudukinya banyak medan, walaupun apa yang telah direbut secara keilmuan itu belum seluru-hnya berlaku dalam prakteknya pe­merintahan, peradilan dan perundang-undangan.

Suatu kumpulan daripada bahan2 yang senyatanya ada (feitelijke gegevens) dalam surat2 arsip, keputusan2 daripada hakim2 ma­cam apa saja di seluruh Nusantara, beberapa karangan2 asli me­ngenai hukum adat, kesemuanya itu dengan pimpinan Van Vollen­hoven sejak tahun 1910 (sejak 1933 dengan pimpinannya Van Ossenbruggen) dihimpun jadi satu dalam „adatrechtbundels”, yang diselenggarakan oleh „commissie voor het adatrecht” (panitya mana sejak 1917 mengurus „Adatrechtstichting), dan diterbitkan oleh Koninklijk Instituut voor Taal - Land - en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië- Sudah terbit empatpuluh berkas (1938) ; ber- kas yang penghabisan memuat pelukisan secara panjang-lebar (260 'halaman) isi2nya berkas2 lainnya, yang disusun oleh Mr. Van Ossenbruggen ; daftar2 daripada istilah2 hukum Pribumi terdapat dalam berkas X X X buat 29 berkas2 yang pertama dan dalam berkas X L buat berkas2 yang berikutnya.

Sejak tahun 1914 maka dengan pimpinan Van Vollenhoven dan dalam 9 jilid (10 buku) bahagian2 dari kesusasteraan ethnologie (hukum) dihimpun jadi satu secara hukum adat dalam ruangan yang beracara sama dengan masalah2 yang terbahas oleh bahagian2

kesusasteraan tadi. Rangkaian itu disebut: „Pandecten van het adatrecht” dan meliputi : Het beschikkingsrecht over grond en wa­ter (hak pertuanan atas anah dan air) (1), het voorkeursrecht op grond en het genotrecht van grond (hak terdahulu atas tanah dan hak menikmati tanah) (2), het inlands bezitsrecht van grond en het bewerkingsreoht van grond (hak milik atas tanah dan hak me- ngerjakan tanah) (3), de overige rechten op grond en water (hak2 lain2nya atas tanah dan air) (4), het erfrecht (hukum waris) (5), het recht om te huwen en het recht inzake verloving (hak untuk ka- . win dan hukum mengenai pertunangan) (6), het recht inzake hu­welijkssluiting (hukum tentang kelangsungan perkawinan) (7), het recht inzake gezinsleven en huwelijks-ontbinding (hukum me­ngenai kehidupan dalam keluarga dan perceraian perkawinan) ■(8), schuldenrecht (hukum perhutangan) (9), ditambah dalam ta­hun 1936 dengan pimpinannya IDEMA, dengan : het adatstrafrecht (hukum pidana adat) (10).

Dalam tahun 1927 terbitlah cetakan kedua daripada „Literatuur­lijst voor het adatrccht 'van Indonesië"» yang saban tahun dileng- kapkan dengan jalan tambahan-, yang sekarang (sampai' ï Sep­tember 1937) sebagai iklnisar drhimpun dalam supplement-lijst oleh Mr. H O LLEM AN dan dicetak kembali dalam adatreclubundel XI.

Dalam tahun 1923 (cetakan ke 3 dalam tahun 1934) dengan pimpinannya Van Vollenhoven dihimpunlah segala peraturan2 wet mengenai hukum sipil Pribumi, yan£ bersambung pada hukum adat : «Verordeningen inlandsch privaatrecht”.

Dalam tahun 1932 maka atas desakan Van Vollenhoven tersu- sunlah oleh V A N HINLOOPEN LABBERTON „Dictionaire des ter- roes du droit indonesien” yang diterbi-tkan oleh „Koninklijke akade- roie voor wetenschappen” di Amsterdam.

Keputusan2 menurut hukum adat yang terdapat dalam het Indisch Tijdschrift van het Recht (dulu : het Recht in Nederlandsch Indië) (sejak 1849), dalam Indisch weekblad van het Recht (dari 1864— 1914), dalam W et en adat (1897 — 1899) dan dalam Adat- rechcbundels (sejak 1911) barulah dalam tahun 1912 diikhtisarkan dalam disertasinya Mr. K.L.J. ENTHOVEN (dengan pimpinan Van Vollenhoven) „Het adatrecht der Inlanders in de jurisprudentie” 1849 - 1912, diteruskan oleh Mr. J.C. VAN DER MEULEN (1912- 1923) dan oleh Dr. E.A. BOERENBEKER 1923 - 1933. Sejak 1929 maka vonis2 daripada hakim2 pengadilan untuk Bumiputera terhimpun oleh : het Indisch tijdschrift van het Recht, sebagai pe-

nerbitan2 tersendiri yang disebut „landraadsnummers , nomor yang ke 18 terbit dalam bulan Agustus 1938 (lihatlah Van Vollenhoven. Adatrecht I. hal. 83 (1907) : „Pembagian daripada kedua majalah hukum yang tersebut itu dalam ruangan „wettenrecht" dan dalam ruangan tetap adatrecht” mungkin akan menambah kebaikannya (mengumumkan bahan* pembangun yang mungkin dapat ditambah- kan oleh peradilan gubernemen) yang sudah ada itu. Bagian „In- landsch recht” daripada daftar kartu2 (kaartregister) nederlands- indïsche jurisprudentie sejak tahun 1937 memudahkan orang untuk mengaji keputusan2 yang ada sejak tahun 1929. Sebuah himpunan „Indonesische dorpsakten” disusun dan disalin oleh Dr. Mr. TIRTA- W IN ATA dan Mr. W.A. MULLER (atas saran Van Vollenhoven) ter­bit dalam tahun 1933 di Jakarta.

Barang siapa melihat sekitar ini semua dan dalam pada itu mengingat pula duapuluh buah disertasi tentang soal2 hukum adat (buat sebagian buah tangan pegawai2 pangreh praja yang ber- praktek sendiri) yang disusun dengan pimpinannya Van Vollenho­ven, maka orang dapat sekedar menggairibarkan betapa arti peker­jaan beliau itu untuk ilmu hukum adat. Barang siapa telah kenal pada beliau tahu bahwa penjumlahan tulisan2 ini hanya merupakan gambaran yang jauh dari sempurna dari apa yang telah diamalkan beliau dengan lisan dan perbuatan.

Daftar kesusasteraan 1927 tersebut di atas dan tambahannya sam­pai 1 September 1937 dalam adatrechtbundel X I yang disusun baik secara sistim maupun secara abjad, memungkinkan dalam seke jap mata untuk menyelidiki buat setiap lingkungan hukum (ana lingkungan ‘hukum) apa saja yang sudah terbit mengenai hukum adat sesudahnya (dan sebelumnya) tahun di waktu „peitingga („legger”) membicarakan lingkungan itu. Juga sebagai penun jukan sumber2 yang terutama yang sudah ditim'ba untuk „Pen a huluan” ini, menyusul di sini sebuah ikhtisar menurut sistim daripada buku2 tadi. Mengingat arti daripada kesusasteraan hukum adat da­patlah lingkungan2 hukum (dan anak2 lingkungan hukum) sekira- nya dibagi menjadi tiga golongan.

1. Per-tama2 wilayah2 yang sudah ada pembahasannya secara de­ngan sengaja dan menurut sistim seluruh hukum adat atas dasar keadaan sekarang daripada ilmu hukum adat; sebagai demikian maka haruslah disebut:

A. anak lingkungan hukum (recKtsgouw) Batak Toba oleh bu kunya J.C. VERGOUWEN „Het rechtsleven der töba-bataks”, 1933

ialah sebuah buku yang di sini ditaruh paling atas, karena lin.sf- ungan-- hukum selalu disebut dalam urutan yang tetap (Aceh,

daerah2 Gayo, A las dan Batak, dan sebagainya sampai Jawa Ba­rat), tapi anak lingkungan hukum tadi juga tentu akan dapat tem­pat paling atas seandainya urutan tersebut digantungkan pada baik atau tidaknya cara melukiskan suasana hukum adat sampai menda- lam dengan disertai pembahasan persoalan- hukum adat ; savang sekali buku itu mengenai hukum tanah tidak lengkap dan hanya me- nunjuk kepada buah tangan YPES yang terbit pada tahun 1932 dan yang nanti akan disinggung di sini ;

B . lingkungan hukum Kalimantan oleh disertasinya J. M A I,- L I N C K R O D T „H et adatrecht van Borneo” , dua jilid, 1928, ialah sebuah buku yang lebih memberi penerangan mengenai suasananya daripada mengenai persoalan2 hukum yang khusus ;

G. anak lingkungan hukum Bali dan lingkungan Bali dan Lom­bok oleh disertasinya, kemudian bukunya Dr. V.E. K O R N „H et adat­recht van Bali, tweede druk” . 1932, ialah sehuah buku yang mengan- dung bahan2 yang sudah dikerjakan secara ikhtisar dan dalam jum lah yang mengagutnkan banyaknya : mengenai suasana hukum adat Bali dinyatakannya lebih tepat betul luki^nnya fic) pcm ilis itVi : ,,I)e dorpsrepubliek ”1 nganan Pagi ingsingan1933 ;

D . lingkungan hukum jawa Barat, oleh bukunya Rd. Mr. SOE- P O M O „H et adatprivaatrecht van Wcst-Java” , 1933, di mana per­soalan2 hukum dan jawabannya, yang disimpulkan dalam kaidah2, dititik-beratkan sepenuhnya, sedangkan suasananya menjadi terasa, karena saban2 diberitakan juga pengalaman2 daripada penyelidikan di medan mengenai keinsypfan luikum di lingkungan (milieu) situ.

B uku- yang tersebut tadi kesemuanya juga berdasarkan atas pe­nyelidikan penulis2nya sendiri tentang hukum di tempat situ.

2. .Selanjutnya wilayah2, yang pembahasannya hukum adat di situ meliputi persoalannya seluruhnya, tapi pembahasan itu hanya meru­pakan satu bahagian daripada pelukisan mengenai tanah dan bangsa (land - en volksbeschrijving) oleh seorang penulis yang tidak khusus berpendidikan hukum adat ; mengenai itu harus disebutkan di sini :

A . lingkungan hukum Aceh oleh bukunya Dr. C. S N O U C K H U R - G R O N J E „D e Atjehers”, 1893, jadi terbitnya sebelum „legger” , akan tetapi walaupun demikian tidak boleh tiada ada. Bukunya J-J. K R E E M E R „A ceh”, 1922 tidak mendatangkan bahan baru sesu­dah terbitnya buku2nya Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven ;

B. anak lingkungan hukum Gayo, oleh bukunya Dr. SN O U C K HURGRONJE „Het Gayoland”, 1930 ialah catatan2 dari p e m b e n ia - ;-

an2 orang2 Gayo yang mengembara ;C. anaknlingkungan hukum Batak Toba dan Batak Dairv terha

dap apa yang mengenai susunan rakyat dan hukum adat, oleh bu kunya W.K.H. YPES, „Bijdrage tot de kennis van de s tam verw an t­schap, de inheemsche rechtsgemeenschappen en het grondenrecht der Toba - en Dairi Bataks”, 1932 (daftar mengenai ini dalam A d.B. X X X VIII hal. 467);

D. anak lingkungan hukum Nias, oleh bukunya E .E .W .G .

SGHRÖDER „Nias”, dua jilid, 1917 ;E. lingkungan hukum daerah Toraja oleh bukunya Dr. N. ADRI-

ANI dan ALB. C. KRUYT „De Barèe-sprekende Toraja'’, tiga jilid 1912 dan bukunya Dr. ALB. C. KRUYT „De West Toraja op M»d- den-Celebes”, empat jilid 1938.

3. Pada akhirnya wilayah2 yang ada pembahasannya secara de­ngan sengaja mengenai bahagian-* daripada hukum adat, ditulis oleh tenaga2 yang berpendidikan hukum adat:

A. anak lingkungan Batak, terhadap apa yang mengenai : susu­nan rakyat oleh „Nota omtrent de inlanclsche rechtgemeenschappen in liet gewest Tapanuli”, buah tangan Dr. B.J. HAGA 1930, Lands­drukkerij, dan hukum tanah, oleh disertasinya A. ENDABOEMI „Het grondenrecht in de Bataklanden”, 1925 ;

B. lingkungan hukum daerah Minangkabau, mengenai : gadai tanah, oleh disertasinya Mr. H. GUYT „Grondverpanding in Mi­nangkabau”, 1936, Jakarta ;

C. lingkungan hukum Sumatra Selatan mengenai : Hukum ke- sanak-saudaraan Pasemah, oleh disertasinya W . HOVEN „De Pase­mah en haar verwantschaps —, huwelijks — en erfrecht”, 1927, Leiden;

Susunan rakyat dan hukum kerabat Rejang, oleh disertasinya Mr. HAZAIRlN „De Rejang”, 1936, Jakarta ;

Susunan rakyat dan hukum tanah Palembang, oleh disertasinya Dr. J.W. VAN ROYEN „De Palembangsche marga en haar grond — en waterrechten”, 1927, Leiden;

Susunan rakyat di Lampung, oleh „Nota over Lampoengsche mar- ga's" buali tangan Dr. J.W. VAN ROYEN, 1930, Landsdrukkerij ;

D. lingkungan hukum daerah Melayu, mengenai : susunan rakyat Riouw, oleh nota : „Erkenning en vorming van de rechtsge­meenschappen in het gewest Riouw en onderhoorigheden”, buah tangan P. WINK, 1929, Landsdrukkerij ;

£. lingkungan hukum Minahasa, mengenai : hukum tanah, oleh Verslag van een ondercoek inzake adatgrondenrecht in de Minaha-

"•> o leh Mr. F .D . HOLLEMAN, 1930S 3 ' 9

f . lingkungan hukum Sulawesi Selatan mengenai : susunan rakyat oIeIi disertasinya H.J. FRIEDERICY „De standen Vi'} ö.e 'Rosgmee- zefi en Makassaren", 1933, Leiden ;

0 . lingkungan hukum Amboina, mengenai : hukum tanah Am- to n , o leh b u k u n y a M r. F .D . H O L L E M A N , „ H e t ad a tg ro n d en rech t van A m b o n en d e O e lia sse rs” , 1933 ;

H- a n a k lin g k u n g a n h u k u m L om b ok , m e n g e n a i: hukum adat ora^ë' Sasak, oleh d isertasin y a T h . N IE W E N H U Y Z E N „S a sa k sch adatrecht” , 1932 ;

1. lin g k u n g a n h u k u m Ja w a T e n g a h d a n Ja w a T im u r b ersam a ^jadura, m engenai :

p erja n jia n - tanah dan hukum perhutangan, o leh b u k u n y a M r. f .D . H O L L E M A N „H e t adatrecht van de afdeeling T o e lo en g- agoeng” , 1927 ;

H u ku m adatnya u ju n g y * » g T im ur daripada Jawa, oleh disertasi­nya J-W . D E S T O P P E L A A K *<l*trechr1*, Ï&&Kdan :

Susunan rakyat, oleh „E in d v erslag over het desa-autonom ie-on- derzoek o p J a v a en M ad o e ra” oleh F .A .E . L A C E U L L E , 1 9 2 9 ;

K . se b a g a i ta ittb ah an u n tu k lin gk u n gan h u k u m Ja w a B a ra t a ta s bukunya M r. S o ep o m o d a p a tla h d iseb u t d isertasi d a r ip a d a D r. A . K N O T T E N B E L T ,,V e rp a n d in g en zekerh eidstelling in d en O ost- P rean ger” , 1924, J a k a r t a .

I,. M e n g e n a i hukum raja? d ap atlah k iran ya d iseb u t d i sin i : D r. P .H .S. V A N R O N K E L „ H e t m aleische adatw etboek v an K o e ta i” (M ed. K o n . A k .) 1935 ; M r. L . J . J . C A R O N „ H e t H andels- en Zee­recht in de ad a trech tsreg e len van den rechtskring Z uid-C elebes” , d i­sertasi, U tre c h t , 1937 ; R d , M r. SO E P O M O „D e reo rg an isa tie v a n het a g ra r isc h ste lse l in h e t gew est So erak arta” , d isertasi. L e id e n , 1927 ; R .A . K E R N „ Ja v a a n sc h e rech tsbedeelin g” , 1927 d an R d . M . M r. S O E R I P T O „O n tw ik k e lin g sg a n g d er vorsten landsche w etb oeken ” , d isertasi, L e id e n , 1929.

K a ra n g a n 2 m a ja la h d an r isa lah 2 d a lam ad a trech tb u n d e ls tad i ti­dak d ise b u t ; u n tu k itu d ip e rsilah k an m en carin ya d i d a fta r2 kesu sas­teraan y a n g b er-u lan g 2 te rseb u t t a d i ; te rh ad ap e m p a t b u a h d arip a- danya d ia d a k a n p e rk e c u a lia n di sin i, ia lah o leh k a re n a p en tin g n y a sebagai p e n g is i d a r ip a d a k ek u ran gan n y a k esu saste raan h u k u m adat,

jadi : sebagai sumber dari buku pendahuluan ini : „Hobfdlijnen van het huwelijksrecht in de Lampungs”, oleh Mr. H. G U Y T dalam „Ind. Tijdschrift van het Recht”, jilid 145 (1937)

„Uit en over de Minahasa” oleh Dr. L. ADAM dalam. Bijdragen Koninklijk Instituut”, jilid 81 (1925);

„Huwelijk en Huwelijksrecht in Zuid-Celebes” oleh Mr. C.T- BERTLING dalam „Ind. Tijdschrift van het recht”, jilid 147 (1938) dan :

„Ponré, bijdrage tot de kennis van adat en adatrecht van Zuid- Celebes”, oleh H.J. FRIEDERICY dalam „Bijdragen Koninklijk Insti­tuut”, jilid. 89 (1932).

Dari tulisan2 yang bersifat mengikhtisarkan harus disebutkan lagi di sini:

Disertasi2 Leiden :„Indonesisch waterrecht” oleh W .G. JOUSTRA 1922 ;„De autonomie van het indonesisch dorp”, oleh L. AD AM 1924 ;„Indonesische en Indische democratie” oleh B.J. H AG A ;„Indonesische sawahverpanding”, oleh SOEBROTO, 1925 ;„De rechtstoestand van de getrouwde vrouw volgens het adat-

recht van Ned. Indië", oleh S.R. BOOMGAARD 1926 ;„De Indonesische Bruidschat”, oleh L.B. VAN STR A TE N 1927 ;„De vrouw in het indonesisch adatrecht” , oleh E .A . B O E R E N U E -

KER 1931 ;„Het gewas in Indonesië, religieus adatrechtelijk beschouwd’ »

oleh SOEKANTO, 1933 ;„Het adatdelictenrecht in de magishe wereldbeschouwing”, oleh

N.W . LESQUILLIER, 1934;„Inlandsche gemeente en indonesisch dorp”, oleh W.P. VAN DAN ,

1937, di mana pada khususnya harus disebut di sini apa yang dike- mukakan dalam buku itu mengenai faktor genealogis dan te r r i t o r ia l dalam susunan rakyat, dan apa yang mengenai dusun Sunda (dalam kata2 istilah lain dari pada yang dipakai dalam pendahuluan ini).

Disertasi Wageningen :„Deelbouw in Nederlandsch-Indië”, oleh A.M.P.A. SCHELTEM A,

1931.

Buku kecilnya Dr. J.H. BOEKE „Dorp en desa”, 1934, dipelopori oleh „Dorpsherstel” (dalam Ind. Gen.) 1931 dan disusul dengan „De grenzen van het indonesisch dorp”, dalam T . Aardr. Gen. 1937 yang terutama membahas soal ummat manusia dalam masyarakat2 territorial.

Mengenai T im ur Besar dan kepulauan Tim or maka kesusasteraan hukum adat dalam arti kata~*sempit, adalah jarang. Kesusasteraan ilmu bangsa2 yang memuat aneka warna tentang hukum adat adalah hampir semuanya se-mata2 tercantum dalam karangan2 majalah, ke- cuali bukunya pater H. GEURTJENS „Uit een vreemde wereld” , tentang pulau Kei, dan beberapa buku lainnya.

Tapi sangat pentingnya untuk pengetahuan tentang susunan rakyat, hukum, kesanak-saudaraan dan hukum perkawinan di daerah situ (yang mengenai pulau Seran) ialah disertasinya J.P.H. DUYVEN- D AK „H et kakeangenootschap van Seran”, 1926 ; lebih2 disertasinyaF.A.E. V A N W O U D E N „Sociale structuur-typen in de Groote Oost”, 1935 dan apa yang ditulis oleh Mr. F.D.E. VA N OSSENBRUGGEN tentang itu dalam „H et economisch-magisch element in Tobasche verwantschapsverhoudingen” . Kon. Ak. 1935 yaitu catatan 29, ka­rangan mana sudah barang tentu terutama penting buat anak ling­kungan hukum Batak Toba. Mengenai susunan kesanak-saudaraan parentaal (dalam Kol. Tijdschrift 1934), kesanak-saudaraan semen- da (dalam Mensch en Maatschappij 1935), perkawinan cross-cousin yang asymmetrisch (dalnm Tijdschrift Bat, Gen. 1936) maka Dr.H .T .H . FISCHER lah yang mcnulisnya.

Mengenai hubungan antara hukum adat dan alam pikiran „serba berpasangan” (participerend) maka Mr. F.D. HOLLEMAN meng- uraikannya dalam pidatonya perguruan tinggi Leiden „De commune trek in het Indonesisch rechtsleven”, 1935.

Tulisan2 Pribumi yang penting untuk pengetahuan hukum adat adalah antara lain :

Untuk anak lingkungan hukum Batak „Patik Dohot Uhum ni Halak Batak” , 1899, disalin oleh Vergouwen dalam adatrechtbun- del X X X V , hal. 1 dstnya ;

Untuk lingkungan hukum daerah Minangkabau : buku2 kecil da­ripada D. SAN GGOENOD IR ADJO, „Kitab coerai paparan adat lem­baga alam Minangkabau”, 1919 dan „Kitab atoeran adat lembaga alam Minangkabau”, 1924 (tentang ini : Ind. T.v.h.R., jilid 140 (1934) hal. 152);

Untuk lingkungan hukum Jawa Barat : HADJI HASAN MOES- T A P A : „Balb adat-adat oerang Priangan jeung oeraiig Soenda lian ti eta” , 19l3, permulaan terjemahan dalam „Jawa” , 1931.

Hasil negatief daripada penjumlahan ini ialah, bahwa beberapa lingkungan2 hukum sangat membutuhkan pelukisan secara ikhtisar

daripada hukum adatnya, pula suatu penguraian daripada apa yang tersebut dalam pertinggal (legger-) tentang masalah2 tadi. Juga bila ada karangan2 secara bahagian demi bahagian yang melukis- kan hanya bahagian2 daripada hukum adat, maka timbullah suatu kekurangan yang dapat terasa se-hari2 : ialah suatu penguraian se­cara sistimnya daripada masalah seluruhnya dalam hubungannya satu sama lain.

Untuk anak lingkungan hukum Jawa Tengah adalah sebuah buku tentang hukum sipil adat hampir selesai ; naskahnya sebagian besar telah dapat saya baca untuk saya pungut hasilnya; di Tapa- nuli Selatan, Minangkabau, Lampung, Minahasa dan Sulawesi Se­latan — di sini sekedar disebutkan hanya lingkungan2 yang ada per- adilannya gubernemen atas penduduk Pribumi — tidak kurang ke- butuhannya akan kitab serupa tadi. Adalah pekerjaan cukup ba­nyak untuk kaum yuris hukum adat.

Penyusunan daftar „kesusasteraan tambahan” yang sekarang be- rikut ini pada garis besarnya didasarkan atas pembagian dan aturan yang telah dipakai oleh Ter Haar tadi. Kesusasteraan sesudah pe-

karena alasan2 praktis di sini dinyatakan dengan lebih pan- jarig-lebax daripada kesusasteraan sebelum perang.

Adatrechtbundels no. 41 dan 42 terbit di waktu perang ; no. 43 dapat diharap terbitnya sedikit waktu lagi.

Dua „pemberitaan kesusasteraan untuk hukum adat” telah diter- bitkan yang ke-dua2nya meliputi masa 1 September 1937 sampai akhir bulan April 1943, jadi bersambung dengan daftar kesusaste­raan yang termuat dalam adatreohtbundel no. 40.

Dalam kata pengantar landraadnummer ke 24, T . 154 hal. 85 dan seterusnya diberitakan oleh redaksi „Indisch Tijdschrift van het Recht”, bahwa ini adalah landraadnummer yang penghabisan dan bahwa selanjutnya keputusan2 yang penting buat hukum adat akan dimuat dalam nomor3 biasa di samping vonnis2 hukum sipil Eropah, hukum pidana dan lain2nya. Orang berpendapat, bahwa landraad- nummers itu sudah selesai menjalankan tugasnya yaitu . membang- kitkan minat terhadap hukum adat.

Dalam pertengahan tahun yang pertama pada tahun 1947 di Yogya terbitlah nomor pertama daripada „Hoekoem”, ialah maja- lahnya para ahli hukum Republik.

Dalam tahun 1940 maka Jawa Tengah memperoleh „pemba- hasannya secara dengan sengaja dan menurut sistimnya hukum

adat seluruh nya" berupa „H et adatrecht van M iddei-Java” oleh Mrs. D J O J O D I G O E N O dan T I R T A W I N A T A .

Jumlah „pelukisan2 secara dengan sengaja daripada bahagian2 hukum adat oleh para ahli yang berpendidikan hukum adat”, ber- tambah sebagai berikut, yaitu mengenai:

A. anak lingkungan hukum Batak:1. J. K E U N IN G „Verwantschapsrecht en volksordening, huwe­

lijksrecht en erfrecht in het Koeriagebied van Tapanoeli”, disertasi Leiden, 1948.

2. M .H . N A SO E TIO N , G ELAR SOETAN OLOAN „De plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij” , disertasi Utrecht 1945.

B. daerah Minangkabau:V.E. K O R N „De vrouwelijke mama’ in de Minangkabause familie ,

Bijdragen, jilid 100.

C. lingkungan hukum Sumatra Selatan :1- W .F . LU B LIN K W EDD IK , „A d atd e licten rech t in d e Rapat- .

marga-rechtspraak van P a i e n i *3iser<tasi Jakarta 1939.2. H .H . MOR1SON, „De Mend^po Hiang K w fr

e i”, d ise rta s i J a k a r t a 1940

E. lingkungan hukum Minahasa: >J.J. D O R M EIER , „Banggaisch Adatrecht” , disertasi Leiden m a .

Tentang hukum Islam terbitlah buah tangan :1. V.E. K O R N , „Mohammedaansch recht en adatrecht in Britsch

en Nederlandsch-Indië”, Bijdragen, jilid 104.2. J. PRINS, „Adat en Islam itiesche P lichtenleer in Indonesië” .

disertasi Leiden, 1948.

Hukum tanah dibahas oleh :1. E.H.s’ JACOB, „L an d sd om ein en adatrecht” , disertasi Utrecht,

1945.2. V.E. K OR N dan R. VAN DIJK, „A datgron denrech t en Domein­

fictie” , Gorinchem 1946.3. M . SONIUS, „Over de keuze van het recht op de grond”, T .

1947 p. 152.

Dari tulisan2 yang bersifat ikhtisar haruslah disebut di sini :1. H . KAMPEN, „De regeling van het rechtswezen in deBuitenge-

westen” , disertasi Leiden 1939.2. R. V A N DIJK, „Samenleving en adatrechtsvorming”, disertasi

Leiden 1948.

Pada tahun2 yang akhir2 sebelum perang maka menjadi tambah pentingnya buat hukum adat ialah siaran2 daripada Mrs. SOEK-^-S NO, SOENARIO dan lain2nya berhubung dengan ,,de schuldbevrij' dingsactie op Java” (usaha pembebasan dari hutang di Jawa), dal^111 „Volkscredietwezen”.

Mereka yang berkehendak mengetahui politik pemerintah ine' ngenai hukum adat, yang dijalankan sebelum perang, dipersilahkan membaca tulisannya B. T E R H AAR „Halverwege de nieuwe adat- rechtpolitiek”, Kol. Studiën 1939. Ini adalah uraian lanjutan dari' pada „Een keerpunt in de adatrecbtpolitiek”, ialah buah tangan pe' nulis itu juga dalam Kol. Studiën 1928.

Bahan2 lebih lanjut tentang soal ini dapat diperoleh dari prae' advies2 dalam Juristen Congres ke V tahun 1939 daripada Mrs. H* G U Y T dan M. SLAMET. mengenai „De betekenis van de term adat­recht in de wetgeving”.

Pedoman2 di masa sesudah perang terdapat dalam kedua pidato SOEPOMO, yang diucapkan dalam tempo singkat ber*turut2 :

1. „Soal2 politik hukum dalam pembangunan negara Indonesia - vang terbit dalam nomor pertanïa daripada majalah „Hoekoem •

2. „Kedudukan hukum adat di kemudian hari” , termuat dalam „Hoekoem”, nomor 2, April 1947 dan sebagian dalam terjemahan dimuat dalam T . 1948 hal. 43 ; dan dalam tujuh buah dalil2 SOE­POMO mengenai „Hoekoem sipil Indonesia di kemudian hari dalam „Hoekoem”, April 1947.

Bahan2 menurut kenyataan sesudah masa perang mengenai susu­nan kehakiman dan mengenai hukum acara terdapat dalam tulisan .

1. R. OERIP KARTODIRDJO, „De rechtspraak op Java en Ma- doera tijdens de Japansche bezetting 1944 — 1945”, T . 1947, hal. 8.

2. H.K.J. CO W AN, „De indische rechtsbedeling na de bevrij- ding”, „Indonesië”, th. ke 2 hal. 64.

Sebuah sumbangan dari fihak ilmu bangsa2 yang penting untuk lebih memahamkan istilah hukum adat adalah buah tangan J.P.B. DE JOSSELIN DE JONG, „Customary law, a confusing fiction”, pe- nerbitan „Indisch Instituut” 1948 (Mededeling No. L X X X . Afd. Volkenkunde no. 29).

Tentang hubungan antara hukum adat dan alam pikiran-„serba berpasangan” (participerend), maka masalah ini dibahas oleh :

1. B. T E R HAAR, „De betekenis van de tegenstelling participe- rendkritisch denken en rechtspraak naar adatrecht” . Mededelingen

der Nederlandsohe Akademie van Wetenschappen, Afd. Letterkun* de, Amsterdam 1941.

2. R. SOEPOMO dalam pidatonya pengantar, „De verhouding van individu en gemeenschap in het adatrecht”, Jakarta 1941.

Pada akhirnya harus disebutkan di sini suatu minat yang ma-kin bertambah dari fihak Amerika terhadap hukum adat:

1. R . KENNEDY menyiarkan sebuah „Bibliography of Indone­sian peoples and cultures”, Yale University Press, New Haven 1945.

2. A .A . SCHILLER dalam Congres „Institute of Pacific Relations” ke 9 tahun 1945, melaporkan tentang „Legal and administrative problems of the Netherlands Indies” ; ber-sama2 E.A. HOEBEL maka ia menyalin buah tangan B. T E R H AAR „Bèginselen en stelsel van het adatrecht” ke dalam bahasa Inggris dengan memakai judul „Adatlaw in Indonesia”, Institute of Pacific Relations 1948.

SINGKATAN-SINGKATAN

IJntuk menunjukkan asalnya istilah2 Indonesia maka ter-kadang2 nama daripada suku bangsa atau bahasa disingkat sebagaimana ter- cantum di bawah in i;

amb. • = ambons ( terj. : Ami). = Ambon )bal. = balies ('terj. : Bal. = Bali)bat. = bataks (terj.: Bat. === Batak)boeg. = boeginees ( terj.: Bug. = Bugis)day. = dayak (terj. : Day. = Dayak)gay. — gayoos ( terj. : Gay. = Gayo)yav. = yavaans ( terj. : J. =» Jawa )mak. = makassaars (terj.: Mak. = Makasar)mal. = maleis ( terj. Mel. = Melayu)min. = minangkabaus ( terj. : Min = Minangkabau)pas. = pasemahs ( terj. : Pas. = Pasemah)rej. = rejangs (terj.: Rej. = Rejang)soend. = soendaas (terj. : Sund. = Sunda).

D A FTA R DARIPADA LINGKUNGAN2 HUKUM. AN AK - LINGKUNGAN HUKUM DAN LAIN2 W IL A Y A H 2. TE M PA T2 ATAU SUKU2 BANGSA.Abung (suku bangsa di Lampung)

38, 55.Agam (di Minangkabau) 47.Alasland (Daerah Alas). 44.Ambon 23, 24, 29, 39, 40, 48, 56,

63, 67, 77, 82, 84, 86, 89, 139,144, 146, 147, 153, 172, 173, 197,201, 203, 204, 206, 210, 215, 219,222, 234, 236, 241, 262.

Anak lakitan (suku bangsa di Suma­tra Selatan) 55.

Angkola (di Tapanuli Selatan) 32, 79, 85, 175, 182.

Aru-eilanden = kepulauan Aru (di Maluku) 28.

Aceh 24, 29, 40, 54, 60, 65, 66 , 79,117, 119, 146, 176, 177, 189, 198,199, 201, 209, 224, 241, 249.

Bali 28, 30, 32, 37, 40, 42, 57, 62,64, 65, 66 , 67, 78, 79, 82, 84, 90,118, 123, 128, 131, 132, 147, 150,153, '158, 173, 175, 179, 180, 182,184, 189, 190, 194, 195, 197, 198,201, 202, 204, 206, 221, 223, 226,227, 232, 234, 245, 246, 250, 252,258, 265, 267, 271.

Baligè (di Tapanuli) 51.Banda (Maluku) 23.Banjarezen (orang2 Banjar) 42.Banggai archipel = kepulauan Bang-

gai (sebelah Timur Sulawesi) 60, 72.

Bangka 29, 60.Banten 59, 67, 118.Barè sprekende Toraja = suku To-

raja yang berbahasa barèe 38, 53. Barus (daerah* Batak) 51, 52.Batak 28, 30, 32, 34, 37, 49, 78, 80,

85, 86 , 86 , 88 , 93, 108, 112, 117, 120, 131, 132, 141, 1'45, 146, J49,150, 152, 167, 180, 184, 187, 189,198, 200, 202, 214, 222, 223, 232,237, 239, 240, 245, 249, 259, 265,

267, 271.Batavia = Jakarta 67, 137, 146.Batin-bevolking = penduduk Batin

(di Jambi) 42, 48.Belitung 29, 60.Bengkulen 23, 35, 55, 203.Bima (di Sumbawa) 65.Boalemo (di lengan Utara Sulawesi)

92.Boeginezen = orang* Bugis 42, 145

173, 257.Buleleng (di Bali) 57.Buru (Maluku) 34, 45, 85.Bolaang Mongondow (di lengan Uta­

ra Sulawesi)" 60, 85.Bone (di Sulawesi Selatan) 66.Borneo = Kalimaniaa ^4, 2&. 30,

31, 36, 37, 52, 60, 63, SO, 85,S6, 92, 95, 97, 105, 128, 158, 176,179, 180, 185, 201, 203, 212, 224, 225, 240, 267.

Boven-Kapuas = Kapuas Udik (Ka­limantan) 198.

Boven-Mahakam = Mahakam Hulu (Kalimantan) 23.

Celebes = Sulawesi 31, 37, 65, 97, 120, 176, 183, 252.

Dayak 78, 87, 91, 139, 152, 189,\ 193, 198, 201, 212, 222, 237, 244,

252, 272.Jambi 23, 24, 42, 65, 66 .Jelma daya (suku bangsa di Sumatra

Selatan) 55Jembrana (di Bali) 57.Enggano (di Barat Sumatra) 45, 85.Flores 45.Gayo Lueus 43, 61.Gayoland = daerah Gayo 29, 30, 43,

51, 169, 182, 198, 204.Gedongtataan (di Lampung) 42.Gorontalo 23, 60, *63, 265.Gowa (di Sulawesi Selatan) 66.Groot Aceh = Aceh Raya 23.

Grote Oost = Timut Besar 30, 43,52, 179, 185, 248.

Halmahera 201.Hitu (jazirah daripada Ambon) 48,

210, 234.Indragiri (Sumatra Tengah) 42, 84.Java = Jawa 24, 29, 32, 37, 40, 54,

58, 63, 66, 76, 78, 79, 82, 84,86, 89, 90, 98, 101, 106, 107, 111, 118, 119, 123, 129, 131, 132,136, 142, 144, 145. 147;. 151, 155,158, 167, 168, 169, 173, 175, 183,184, 189, 190, 198. 199, 201, 203,

204, 206, 209, 210, 212, 215, 216, 219, 221, 224, 228, 237, 244, 247,250, 253, 263, 264 , 267, 272.

Kaili (Toraja Barat) 96.Kampar-streek = wilayah Kampaf

(di Minangkabau) 86.Karangasem (di Bali) 57, 64, 67.Karo Batak = Batak Karo 51, 52,

150, 262, 265.Kastala (Bali) 79.Kedu 77.Kei-eiianden = kepulauan Kei (Ma­

luku) 28, 39, 143, 184, 189.Kenya-dayak = Dayak Kenya 52.Kisar (kepulauan Barat Daya) 26.Klemanten-dayak = Dayak Kleman-

ten 52.Kodi (suku bangsa di Sumba) 31.Kubu (suku bangsa di Sumatra Se­

latan) 55.Korinci, Krinci (Pantai Barat Suma­

tra) 23, 30, 48, 157, 190, 206.Laguboti (di Tapanuli) 51.Laikang (Sulawesi Selatan) 23.Lampungs = Lampung 28, 30, 38,

44, 67, 169, 180, 182, 184, 193,194, 198, 200, 202, 203, 204, 207,217, 232, 234, 245.

Landak — en Tayan dayak = Dayak Landak dan Dayak Tayan 184, 234, 245.

Lawangan-dayak = Dayak Lawangan 42, 52, 257.

Lepo alim (suku bangsa di Kaliman­tan) 53.

Lepo timei (suku bangsa di Kaliman­tan) 53.

Lima-puluh-kota (d i M in an gk aba u )48.

Lingga-Riouw 23, 45.Lombok 23, 42, 58, 65, 85.Long glatt (suku bangsa di Kalim311*

tan) 53.Maanyan-patai-dayak = Dayak Maa-

nyan Patai 53.Maanyan-siung-dayak = Dayak Maa-

nyan siung 42, 52, 105, 199. Madura 24, 29, 33, 59, 180, 219- Makasar 123, 227.Manado 24, 90.Mandailing (di Tapanuli Selatan) 32,

117, 182, 205.Mandar (di Sulawesi Selatan) 56,

158.Mentawai 23, 30, 172, 179, 189. Middel-Celebes = Sulawesi Tengah

36, 176, 197.Middel-Java = Jawa Tengah 76,

127, 247.Middel-Sumba = Sumba Tengah 35. Middel-Timor = Timor Tengah 179. Minahasa 29, 39, 40, 54, 73, 75,

84, 86, 91, 93, 120, 127, 147, 152, 157, 172, 173, 174, 189, 198,201, 206, 208, 210, 215, 219, 224, 232, 235, 238.

Minangkabau 30, 33, 34, 35, 37,39, 42, 45, 46, 47, 48, 51, 54, 80, 84, 90, 93, 107, 117. 118,119,122, 127, 143, 144, 146, 156, 169,177, 178, 180, 182, 189, 192,195, 204, 205, 209,221, 223, 225, 232, 234, 235, 242, 244, 248, 257, 271.

Muna (Tenggara Sulawesi) 250.Molo (di Timor) 31.Molukken = Maluku 23. 28, 30, 54,

198, 200.Ngada (suku bangsa di Fiores) 61,

72.Ngaju-dayak = Dayak Ngaju 28. 53,

131, 169, 191. 221, 222.

Ngayogyakarta 63, 95, 97, 123.Nias 2 } , 30, 34, 48, 51; 145, 173,

182, 189.Nieuw Guinee = Irian Barat 45,

, 203.Noord-Java = Jawa Utara 90. Noord-Tapanuli = Tapanuli Utara

23.de Oeliasers = kepulauan Uliaser

23, 39, 56.Oost-Java = Jawa Timur 76, 183. Oost-Sumba = Sumba Timur 35, 75. Ot-danum-dayak = Dayak Ot Da-

num 53.Padang 24, 65.Padang Lawas (daerah2 Batak) 23,

44, 50.Pagaiers = orang2 Pagai (Mentawai)

28.Pak-pak-gebied = daerah Pak-pak

(di daerah2 Batak) 52.Palembang 23, 24, 55, 65, 66 , 67,

78, 203.Pasemah (Palembang) 37, 86, 179,

183, 191, 196, 198, 201, 203,213, 217, 245, 246, 247.

Pasir (Kalimantan) 23.Peminggir (suku bangsa di Lampung)

55,. 202.Pengulu-bevolking = penduduk Pe­

ngulu (Jambi) 42.Penyabung (suku bangsa di Kaliman­

tan) 52.Pubian (suku bangsa di Lampung)

44.Punan-dayak = Dayak Punan 52. Purworejo (Jawa Tengah) 247.Ponré (di Sulawesi Selatan) 55. Preanger = Priangan 59, 127. Rebang (suku bangsa di Lampung

Utara) 193.Rejang (Bengkulen) 31, 34, 35, 55,

80, 102, 106, 119, 122, 175,178, 179, 184, 185, 190, 191.

Riouw 23, 45, 95.Roti (kepulauan Timor) 44, 201, 206. Sadan-toraja — Toraja Sadan (Sula­

wesi Tengah) 53.

Sayurmatinggi (Tapanuli Selatan) 42.Salaiar (sebelah Tenggara Sulawesi)

146.Samosir (pulau di danau Toba) 51.Saparua V7S, 1%.Savu (kepulauan Timor) 86, 177,

203, 244.Semendo (Palembang) 30, 196, 205,

235, 245.Seram (Maluku) 45.Sigi (Toraja Barat) 96.Simelungun (daerah2 Batak) 51, 88.Simeuleé (sebelah Barat Aceh) 44,

65.Singkel (Aceh) 23.Sula-eilanden = Pulau2 Sula 67.Sumba (kepulauan Timor) 28, 178,

184, 196, 201, 204.Sumban Julu (Tapanuli) 51.Sumbawa 65.Sundalanden = daerah2 Sunda 29,

107, 120, 145, 189, 212, 225, 271.Surabaya 67.Solo 216.Sumatra 37, 97-Sumatra’s Oostkust = Sumatra Ti­

mur 60, 66, 95.Tanah datar (di Minangkabau) 48.Tano sepanjang (di Padanglawas) 44.Tapanuli 262.Tawaili (Sulawesi Barat) 63.Ternate 24, 65, 66, 67, 97.Tidore 65, 66.Timor 37, 172, 198, 201, 202.de Timorgroep = kepulauan Timor

30, 31, 65.Cirebon 76, 249.Tnganan Pagringsingan ( di B a li)

64, 69, 76, 79, 84, 139, 141, 190,206.

Toba-batak = Batak Toba 35, 42, 51, 110, 178, 195, 201, 203, 240, 245, 249, 252, 271.

Tobelo (di Halmahera) 189.Tulungagung (Kediri, Jawa) 266.Tulungbawang (Lampung) 55.Tolainang (di lengan Timur Sulawesi)

190, 203.

Tomori (suku bangsa di Sulawesi Tengah) 53, 189.

Toraja (Sulawesi Tengah) 28, 30,53, 156, 189, 201, 206, 244, 258.

Vorstenlanden = daerah swapraja di Jawa) 24, 89, 95, 96, 97, 123,140.

Westerafdeling van Borneo = Kali­mantan Barat 23, 24, 258.

West-Java = Jawa Barat 117, 224.Westkust van Aceh = Pantai Barat

Aceh 42.West-toraja (Toraja Barat) 65, 87,

96, 214, 237.Zuid-Celebes = Sulawesi Selatan 24,

28, 29, 38, 40, 54, 56, 62, 64, 66 , 77, 78, 85, 90, 120, 127, 142, 184, 189, 192, 194, 198, 199, 208, 209, 212, 217, 224, 228, 239, 247.

Zuid-Nias' = Nias Selatan 198.Zuid-Oost-Borneo = Kalimantan

Tenggara 25.Zuid-Oost-Celebes = Sulawesi Teng­

gara 190, 260.Zuid-Sumatra = Sumatra Selatan 29,

30, 32, 40, 41, 44, 54, 65, 92, 128,173, 179, 198, 204, 205, 223, 247.

Zuid-Tapanuli = Tapanuli Selatan 42, 51, 65, 73, 76, 82, 128, 198,202, 208, 272.

Ikhtisar daripada lingkungan- hukum dalam urutannya yang lazira dengan nama anak* lingkungan hukum, suku bangsa, tempat dan wilayah , yang terdapat dalam daftar tersebut di atas.

1. A ceb (Aceh Besar, Pantai Barat Aceh, Singkel, Semeuluë)2. Daerah Gayo, Alas dan Batak.

A. Daerah Gayo (Gayo Luëus).B. Daerah Alas. 'C. Daerah Batak (Tapanuli).

I. Tapanuli Utara.a. Batak Pak-pak (Rarus).b. Batak Karo.c. Batak Simelungun.d. Batak Toba (Samosir, Baligé, Laguboti, Lumban Julu).

II. Tapanuli Selatan.a. Padang Lawas (Tano sapanjang).b. Angkola.c. Mandailing (Sayurmatinggi).

2a. Nias (Nias Selatan).3. Daerah Minangkabau (Padang, Agaro, Tanahdatar, Limapuluh kota, wilayah2

Kampar, Korinci).3a. Mentawai (orang- Pagai).4. Sumatra Selatan.

A'. Bengkulcn (Rejang).B. Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulüng

Bawang).C. Palembang (Anak-Lakitan, Yelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo).D. Jambi (penduduk Batin dan penduduk Pengulu).

4a. Enggano.5. Daerah Melaytt (Lingga-Riouw, Indragiri, Sumatra Timur, orang2 Banjar).6. Bangka dan Belitung.7. Kalimantan (Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas Hulu, Kalimantan Tenggara,

Mahakam Hulu, Pasir (Dayak Kenya, Dayak Kleroanten, Dayak Landak dan Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyabung Punan).

8 . Minahasa (Menado).9. Gorontalo (Bolaang Mongondouw, Boalemo).

10. Daerah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja berbahasa barée, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, kepulauan Banggai).

11. Sulawesi Selatan (orang2 Bugis, Bone, Gowa, Laikang, Ponré, Mandar, Makassar, Salaiar, Muna).

12. Kepulauan Ternate (Temate, Tidore, Halmahera, Tobclo, pulau Sula),

13. Maluku Ambon (Ambon, Hint, Banda, pulau2 Uliaser, Sapurua, Buru, De­rain, pulau- Kci. pulau2 Aru. Kisar).

14. Irian Baru/.15. Kepulauan Timor (kepulauan Timor, Timor. Timor Tengah, Mollo, Sumba,

Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Savu. Bima)-16. Bali dan Lombok, (Bali, Tnganan Pagringsingan, Kastala, Kurangascm. I5u-

léléng, Jambrana, Lombok, Sumbawa).17. Jawa Tengab dan Jawa Timur beserta Madura (Ja\ra Tengah, Kcdu,

Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madina).18. Daerah1 Sw.ipraja di Jawa (Solo, Yogyakarta).19. Jawa Barat (Priangan, daerah2 Sunda, Jakarta, Banten).

D AFTAR SOAL

aansprakelijkheid beschikkingsgerech- tigde gemeenschap — tanggung-ja­wab masyarakat yang ber „hak pertuanan” 79, 87, 150.

aansprakelijkheid voor handelingen van anderen = tanggung-jawab terhadap perbuatan2 lain orang 150, 262.

aansprakelijkheid voor schade door vee = tanggung-jawab terhadap kerugian disebabkan oleh ternak 263.

absolute simulatie = pura2 yang disengaja benar2 153.

adatjuristen = para ahli hukum adat 268, 292.

adatreaktie = reaksi adat dst. 213, 255.

adel = bangsawan 37, 62, 63. adoptie = ambil anak 182. advocaten = adpokat2 65. agrarische commissie 98 noot. agrarisch eigendom 99. agrarische reglementen = peraturan2

tanah 124. agrarische wetgeving = perundang-

undangan tanah 84, 99, 123. akte 122, 159.alternerende verwantenorde = susu­

nan sanak*saudara secara „ber- ganti2” 32, 179, 196, 248.

ambstvelden = tanah2 bengkok 77, 89, 92, 129.

animistische gebruiken = kebiasaan2 animistis 188.

apanage (gebied) = lungguh (daerah) 55, 57 , 65, 66, 67, 89, 96, 97.

arbeidskontrakt = perjanjian kerja151, 156.

asymmetrisch connubium 50, 52, 145, 197, 203, 291.

bataviase grondhuur = persewaan ta­nah Jakarta 137.

begeleidingsgave = pemberian peng- hantar 127, 157.

begrafeniskosten = biaya pemakam- an 252.

begrafenisvereniging = perkumpulan kematian 147.

beheer (van een boedel) = . penguru- san (harta peninggalan^ 238.

bemiddelen = menyelesaikan secara damai 250,’ 254, 279.

beschikkingsgebied = daerah ber­hak pertuanan 51, 72, 89, 101, 103, 104, 139, 240, 250.

beslissingen = keputusan2 28, 61,108, 123, 146, 163, 243, 254, 263, 270, 275.

bevestigingsgeschenk = hadiah peng- akuan 155, 156, 188.

bewerkingsrecht = hak mengerjakantanah 99.

boete (deliktsbetaling) = denda (pembayaran pelanggaran) 212, 224, 258, 260.

borgtocht = penjaminan 150. bruidegomschat = wang jujur yang

dibayar oleh fihak perempuan 195, 202.

bruidschat = jujur 106, 120, 166,178, 180, 181, 193, 195, 210, 211,213, 216, 225, 241, 245.

buitenechtelijk kind = anak terlahir di luar perkawinan 172, 175.

bijvrouwen = bini2 selir 174, 184, 207.

christendom (werking van het —) — agama Kristen (daya daripada —) 60, 173, 188, 193, 206, 207, 214, 229.

christengemeenten = jemaah2 Kris­ten 60, 165.

clan, clan-gedeelte = clan, bagian- clan 29, 34, 35, 36, 42, 50, 105, 145, 172, 176.

commissie-kontrakt = perjanjian komisi 152.

„communaal bezit” = hak yayasan kominal 71, 77.

corps adat-juristen = kaum ahli hu­kum adat 292.

cross-cousinhuwelijk = perkawinan anak saudara laki2 dengan anak saudara perempuan 184, 191.

cum suis (c.s) = dengan lairAiya251.

deelbezit = milik paruhan 141, 148. deelbouw verhoudingen = perim-

bangan2 paruh hasil tanam 127, 148.

deelwinning — paruh laba 148. delictsbetaling (boete) = pembayaran

pelanggaran (denda) 212, 224 255 dsb. * '

desadiensten = pekerjaan? dinas buat desa 145.

desaoudsten = ter-nia2 desa 60. dienhuwelijk = perkawinan mengab-

di 196, 202. jatibos (Iandsdomein) = hutan jati

(tanah milik negeri) 89. jual transactie = perjanjian jual

106, 125, 128, 133, 142, 159, 239. doorbreking = penerobosan 88, 207,

208.dorpenbond = gabungan dusun2 32,

33, 84, 260. dorpsgemeenschap = masyarakat du­

sun 29, 32, 33, 37, 40, 184, 211. dorpsgodsdienstbeambten = pegawai2

urusan agama dusun 61. dorpsjustitie = pengadilan dusun 23,

57, 68, 262, 277. dorpsofferplaats = tempat pemujaan

dusun 74.dorpsregelingen = peraturan2 dusun

68, 265.dubbele beschikkingskring = ling­

kungan hak pertuanan rangkap 83 dubbelunilateraal orde = susunan

„dubbelunilateraal” 31, 177, 178. dynamistische (magische) gebruiken

= adat2 yang dinamistis (sihir) 188, 191, 195, 199.

eenheid van Indonesisch adatrecht = kesatuan hukum adat Indonesia 231.

endogamie 31, 38, 39 , 207, 236.„erfelijk individueel bezit” = hak

milik perseorangan yang dapat di- wariskan 77.

erkenningsgeschenk = hadiah penga- kuan 157.

ethnologie 27, 177, 283, 284. evenwicht = kesetimbangan - 143,

187, 195, 198, 211, 221, 255. excommunicering — dibuang ke luar

adat 145, 174. exogamie 31,-34, 176, 177 191, 205,

207.familiebeschikkingsrecht = hak per­

tuanan daripada kerabat 84. familiebezit = milik kerabat 93, 105,

136, 221, 233, 250. fictieve waardering van goederen =

pernilaian dalam angan2 daripada harta benda 200, 257.

gebruiksrecht = hak pakai 93 126,140.

gedwongen huwelijk = perkawinan paksaan 173.

geldlening = pinjcman wang 109, 131, 133, 149.

geldlening en deelbouw = pinjaman wang dan paruh hasil tanam 127.

geledingen in familiebezit = sendi2 dalam milik kerabat 233, 236.

gemeenschapshuizen = rumah2 ma­syarakat 28.

gemeenschapsvreemden = orang2 lu­aran masyarakat 36, 39, 40, 41, 53, 55, 65, 79, 80, 85, 88, 104, 108, 126, 128, 139, 173.

„gemengd bezit” = milik campuran 77, 83.

genealogische faktor der volks-orde- ning = faktor genealogis daripada susunan rakyat 29, 30.

genotrecht = hak menikmati 75, 79 ,90.

geslacht = kerabat 36, 37, 52. gewas = tanaman 75, 116, 139, 140,

141, 143. gezinsgoederen = harta benda ke­

luarga 250.'

godsdienstige reschtspraak = peradil­an agama 24, 64, 193, 207 , 217,218, 233, 241., 246.

gouvcmementsrcchtorde = ketertiban hukum gubernemen 21, 65, 67, 68, 84, 89, 94, 98, 105, 123, 168,199, 236, 243, 261, 265.

grantrechten = hak2 izin 95. grenswachters = penjaga2 batas 84. grondverhuur met vooruitbètaalde

huurschat = persewaan tanah de­ngan pembayaran wang sewa lebih dulu 107, 117, 119.

gtondvcrkoop — penjualan tanah 106, 118, 135.

grondverpanding — gadai tanah 106,113, 131, 133, 135.

grondvoogd = wali tanah 76, 81, 85. grondwichelaar = kahin tanah 85,

105.heersende (regerende) marga = mar­

ga yang merajaï (memcmifai») 35, 37, 49, 51, 80.

heffingen = pungutan2 63, 64, 67, 76, 88.

herinneringsgeld = wang kenang2an152.

heilige voorwerpen (der gemeenschap) = barang2 keraroat (daripada ma­syarakat) 27, 28.

heilige voorwerpen (in de vorsten sfeer) = barang2 keramat(di alam raja2) 62, 64.

heilmaaltijden (slametan) = slametan 64, 145, 167, 190, 192, 245, 252.

hoofdendiensten = pekerjaan2 dinas untuk penghulu 144.

hoofdenstand = kelas penghulu 35,37, 38.

hoofdplaatsen = ibu2 kota 62, 67, 95, 97, 123, 137.

huiskind = anak isi rumah 167. huur van diensten = pemakaian te-

naga2 atas upah 151. huwelijksgift = pemberian di waktu

perkawinan 120, 193, 198, 212.

huwelijksvoorkeur = kecenderungan perkawinan 49, 177, 190, 208.

huwverbod = larangan petkareriaan174, 177, 180, 191, 197.

inheemse rechtspraak = peradilan Pribumi 23, 217, 219, 261, 262, 265.

inkomsten der godsdienstbeambten = penghasilan2 pegawai2 urusan aga­ma 61.

inkomsten der hoofden = penghasil­an2 penghulu2 63, 80, 107, 145.

' inlands bezitsrecht — hak yasan 90. inlandse-gemeente-ordonnantie = un­

dang2 haminte Bumiputera 68. inlijfhuwelijk = perkawinan ambil

anak 39, 178, 182, 185, 196, 204,205, 212, 214, 219, 225, 231, 245.

islam (werking van den—) = Islam (berlakunya—) 134, 149, 161, 174,176, 188, 192, 206, 207, 214, 218,224, 227, 238, 241, 247.

iskmistiscfi at&awJwirt = hukum fikh Islam 24.

Kapungutan (di Palembang) 55. kasten-adel (op Ball) = bangsawan

kasta (di Bali) 62. katholieken = Kaum Katholik 210

219, 229. kinderen = anak2 167, 172, 220. kinderloosheid als reden voor adop­

tie = kemajiran sebagai alasan ambil anak 182, 183.

kinderloosheid als reden voor huwe- lijksontbinding = kemajiran seba­gai alasan untuk perceraian 2 l i 212, 220.

klassifikatie — pembeda^n 27, 3g klassifikatorische verwantschaps ‘waar

dering = pernilaian kesanak-sau­daraan menurut „abu”-nya 32180, 203.

koffietuinen (O-Java) = kebun2 ko- pi (Jawa Timur) 75.

kolonisatie 41.Kontante handeling = perbuatan tu­

nai 106, 125, 143, 156, 183 18*196, 198, 247, 256. ‘ A

kooperative verenigingen (inlandse) = perkumpulan2 koperasi (Bumi- putera) 147, 165.

koo^ci te gbedei txauv = pembeli dengan hati jujur 118.

krankzinnigen = orang2 gila 168. credietfiandeling tegenover kontante

handeling = perbuatan kredit ber­hadapan perbuatan tunai 143.

landschappen = landschap2 33, 165. landschapsrechtspraak = peradilan

landschap 23, 63, 67, 84, 261, 266. leviraat-huwelijk = kawin menerus

dengan adik marhum suaminya 203. magische (dynamistische) gebruiken

= kebiasaan2 yang magis (dynamis- tis) 188, 190, 199, 201, 207, 212,.214, 237, 256, 257.

majoraat-erfrecht = hukum waris berdasar atas haknya anak laki2 yang tertua 234.

malu zijn = menjadi malu 255, dst. massaklacht =pengaduan rakyat de­

ngan jalan menghadap ber-sama264.

matrilokaal = kediaman keluarga di- kerabat ibu 179.

minderjarig = belum cukup umur 168.

meisjes-huwelijk = perkawinan pe­mudi2 yang masih muda 206.

monografieë = lukisan2 68. moratoire interessen =s bunga karena

kelalaian 149. naastingsrecht = hak terdahulu un­

tuk beli (tanah tetangga) 76, 92. navelstreng = tali puser 199, 200. neefjes-adoptie = pengambilan anak

kemenakan2 182.„nietigheid” van handelingen = „ba-

talnya” perbuatan2 168. noodhuwelijk = kawin darurat 173, notariaat (inlands) 123. notaris 65, 243.offer = pujaan 51, 74, 104, 192. onderhoudsplicht = kewajiban me-

melihara 174, 175.

onheelbare tweespalt = percederaan yang tak dapat dipulihkan kembali218, 219.

tetap dan barang goyang 142. ontginningsrecht = hak membuka ta­

nah 74, 103, 104, 123. openbare verkoop = penjualan lc-

lang 119, 243, 252. opzet = sengaja 257, 262. ornamentschap (in Zuid-Celebes) =

persekutuan perhiasan (di Sulawe­si Selatan) 56.

overeenkomst in woorden = perjan­jian lisan 155.

overgangsriten = upacara2 peralihan145, 1.65, 182, 183, 194.

overschot (van den boedel) = sisa (daripada harta peninggalan) 253.

overspel = zinah 212. pandelingschap = pembudakan kare­

na hutang 143, 151. parentele orde = susunan menurut

hukum ibu-bapa 31, 36, 175, 176,179.

participerend denken = alam pikiran„serba berpasangan” 122, 158, 233,

238, 256. particuliere landerijen = tanah2 par-

tikelir 96. patrilokaal = kediaman keluarga di

kerabat bapa 179. pleegkind = anak piara 175, 176. prauwen = perahu2 142. protestanten = kaum Protestan 210,

219.recht op grond en gewas (samenhang

van) = hak atas tanah dan tana­man (hubungannya dengan) 75, 117, 126, 139, 140, 141.

rechtsgemeenschap = masyarakat hu­kum 27, 28, 29, 33, 34, 165, 176, 187, 197.

rechtspersoon = badan hukum 162,165.

rectsverwerking = penghilangan hak sendiri 266.

rechtsweigering = enggan mengadili 278, 279.

reprociteit = pembalasan 256; registratie van grond transacties =

pendaftaran perjanjian^ t&ft&h 123. rente = bunga 149, 150. reorganisatie der Vorstenlanden =

perubahan organisasi di daerah2 Swapraja di Jawa 66 , 97.

roerend en onroeroend goed = ba­rang goyang dan barang tetap 143.

ruilhuwelijk — perkawinan bertukar197, 203.

rijkssieraden = perhiasan2 kerajaan 62, 64.

samenvoeging dorpen — pengga- bungan dusun2 33, 68 , 66 .

schaamte verhouding = perhubungan yang mengandung keseganan 192.

schenken van grond = memberi ha­diah tanah 120.

schepen = kapal2 142. schikken — menyelesaikan secara da-

mai 250, 254, 268, 279. schuld = hutang 192, 213. schuld (onachtzaamheid) = salah

(kelalaian) 149, 256, 262. schulden (vererving, van) = hutang2

(diwarisnya) 252. schuldig blijven van huwelijksgift =

tetap masih meminjam pemberian perkawinan 199, 201.

sewa vergeleken met retributie = se­wa dibanding dengan pungutan biaya 128.

slavenstand = kelas budak 38, 53. sociale werkelijkheid — kenyataan

sosial 69, 278. solidaire aansprakelijkheid = tang-

gung-menanggung 150. stam = suku 35, 36, 52. stand = kelas, martabat 35, 36, 37,

38, 58, 59, 62, 188, 200. stenen huizen = rumah2 tembok

97, 140.stichters (van een dorp) = pendiri2

(dusun) 35, 37, 46, 50, 101.

streekgemeenschap = masyarakat wi­layah 32, 33, 187, 210.

streken zonder gemeenschapsvorming = wilayah2 tanpa bentukan ma- syarakat 61, 72.

s u i k e r -industrie = perincfasman ga­la 76, 96.

symbolische handeling — perbuatan simbolis 214.

taak der volkshoofden = tugasnya penghulu2 rakyat 61, 81, 104, 107,117, 118, 126, 132, 133, 144, 169,173, 182, 183, 188, 190, 193, 207,212, 213, 218, 243, 258, 260.

tegengeschenk = hadiah pembalasan 201.

territoriale faktor (der volksordemng)= faktor territorial (daripada su­sunan rakyat) 28, 31.

territorialisering = menjadi territoria!36, 44, 53, 54.

teruggeven van deel van bruidschat of huwelijksgift = mengembalikan se- bagian daripada jujur atau dari­pada pemberian pcrkaxrir& n 3ül.

testament 241, 242. titel = gelar 159. 176. toelaicn to t grondgebruik = TTx iiJns-

kan untuk pemakaian tanah 126 dst.

toenemend gezinsleven = kehidupan kekeluargaan yang makin mening- kat 172, 181.

toescheiding = penghibahan 121174.

trouw-marga — marga perkawinan35, 50.

tijdsverloop = lamanya waktu 109 240, 265, dst.

uitzet = pembekalan kemantin pe­rempuan 202, 223, 241, 245, 246

uitzwerming = pengembaraan 4 i102, 181.

verbodsteken = tanda larangan 104 158, 190.

verdeling van huwelijksgoed = pem­bagian harta perkawinan 227, 228

vergoeding van vruchten = pehg- gantian daripada hasil yang telah dipakai habis 238.

verjaring = kelewat waktu 268. verloving = pertunangan 190. verlovingsgeschenk = hadiah pertu­

nangan 156, 189. verpersoonlijking _yan het beschik­

kingsrecht = menjadinya perse­orangan daripada hak pertuanan87, 265.

verscheidenheid van indonesisch adat recht — beraneka warnanya hu­kum adat Indonesia 231.

vervanghuwelijk = perkawinan mengganti 197, 203.

verstoting van een kind = pengu- siran seorang anak 175, 185.

vertegenwoordiging = perwakilan 168.

vervolghuwelijk = perkawinan me- nerus 197, 203.

verzorgingskontrakt = perjanjian pelihara 152.

volkshoofden : z ie : taak der — = penghulu2 rakyat : lihatlah : tu-gasnya —.

volkshoofden versus génoten = peng­hulu2 rakyat lawan sesama ang­gauta 68, 88.

volwassen worden = menjadi de- wasa 166.

voogdij = perwalian 180, 181.

D A FT A R ISTILAH2

adol 106, 277 adol bedol 140. adol ngebregi 140. adol oyodan 107, 119 adol pati bogor 107. adol plas 107. adol run tumurun 107. adol séndé 107. adol taunan 119, 129.

voorkeursrecht = hak terdahulu75, 92.

voorwaardelijk verstoting = ta’lieq217.

vorstendomein = tanah milik raja295, 97, 98, 137, 141.

vorstenverering = penghormatan ter- hadap raja2 62, 95.

vrome stichting = yayasan saleh 93, 119, 161.

vrije desa = desa meraeka 60. 88 . waardigheidsgoederen = barang2 tan­

da kebesaran 249. weduwe = janda 225, 246. welvaarstzorg = pemeliharaan ke-

makmuran 68 . wetgeving (van het governement) =

perundang-undangan (daripada gu­bernemen) 84, 208, 214, 284.

wetgeving (in de vorstensfeer) = perundang-undangan (dalam alamraja2) 64, 265-

zamelrecht = hak mengumpulkan (hasil hutan) 73.

zekerheidstelling vergeleken met grondverpanding plus deelbouw = penjaminan dib?nding dengan ga-

'dai tanah, ditambah paruh hasil tanam 133.

zelfstandige pasar = pasar yang berdiri sendiri 65

zoengeld = pembayaran wang untuk perdamaian 212.

HUKUM PRIBUMI

adol trowongan 119. akuan 90.alat melepas mempelai 204. alim 59. aman 56. ampian 59.anaq beru senina 150. anaq pangkalan 235. anaq piara 152.

anaq samang 39. anawanua 56. anggap 204.

/ aur 51. apar 91. apél 59. arajang 56. aru 57.asal 221, 224, 226, 241, 247, 250.asli 221 .aso blanda 169.astra 173.atan 39.babaktan 221 .babaring 131.bagasan adat 107.bahu 59.baileo 28.bayo-bayo na godang 50, 51. bako 204. bako-baki 177. baku 58.baku piara 208. balai 28, 47. balango 128. balé 28.balik taranjang 212. bandaria 67. banjar 58, 147. bang mégo 35. bangunan 120. banua 56. bantai 42, 87. barang asal 222, 224, 249. barang gana 273. barang gana-gini 225. barang gini 225. barang-kalakeran 235, 273. barang pembawaan 229. barang perpantangan 225. barang raja 89. basé panglarang 190. bekel 59, 96. bélan 28. beli 198, 272. belis 198.bengkoq 77. <beru 52.

beru sanina 52. beudeul 169. beuli niha 198. bésan 203. bini ratu 204. bius 51.Bodi Caniago adat 47.buah 53.bukti 78.bunga kayu 80.buncing 190.buruh 151.burukan 92.busuran 75.boli 198.borg 131.boru 50, 178, 249.borreg 150.borrot 131.borreh 150, 273.bosi sebelas kepala tajau 258.khul’ 216, 217.dadal 76.dago-dagi 257.dati 56, 77, 83, 84, 89, 234, 236. datuq parauncaq 45. déo rai 86. depati 55. -désa 37, 57, 58, 59, 62, 147 258

265.désa 29, 32, 33, 58, 59, 66 , 77 86

88, 94, 96, 167, 251, 278. ’ *désa mijen 96. dijapuiq 264. dijemput 204. dièrkèn 173. diperas 183. jadah 173. jakat 61. jamin 150. jaring 84. jaro 59. jejuron 127. jeng mirul 205. jinamée 198, 199, 209, 224. jual 106, 109, 110, 113, 125, 130

133, 140, 159, 239, 272. jual sèndé 113.

jual taunan 126. jujur 198. jugul 168. jula-jula 146. jurai tua 86. jurutulis 59. jonggolan 131. dubalang 48.dusun 30, 32, 35, 47, 48, 55, 56, 78,

247.dusun dati raja 78. dusun Ièlépèello 241. dusun pusaka 83. dondon 110.dondon susut 117, 119. druwé désa 90. druwé gabro 225. fasch 218. édikio 85. ékor tanah 92. ering beli 202. euri 30, 48, 122. gadai 190.gadang manyimpang 234.gaduh 78.galarang 57.galènggang 47.galung arajang 78.gampong 29, 60.gana 48, 221.gana-gini 273.ganggam bauntuiq 93, 221.gangsur 111.ganti tikar 203.gaukang 56.gawan 221.gelap 107.ghuna-ghana 229.giliran 238.gini 225, 273.guhangia 60.guna kaya 223, 226.guntung 234.gogol 58.golat 85.hadat 57.

'hakam 209, 218. hakim 217. hapuan 92. haq 273.hak bamilieq harato bapunya 273.haq ulayat 85.haru kaballa 244.harta pembujangan 223.harta penantian 223harta pencarian 223, 233, 273.harta pusaka 90, 222, 233, 273.harta pusaka rendah 233, 273.harta pusaka tinggi '233.harta saka 233, 273.harta suarang 225, 273.héna 56.hibah wasiyat 242. hukum tua 54. hula-hula 50, 178, 249. huta 30, 32, 51, 86 . huta na ro 79. . hoko 198, 224. horja 51. hwé 146. iddah 215.ijaab kabul 117, 119, 209.ijoan 152.ijon 152.imeum 43, 60.indahan arian 120.jndo buah 53.indung 136.induq semang 39.ingot-ingot 152.iriri 39.isi ni huta 37, 49. yali yalilio 92. kabisu 184, 204. kabuaian 44.kabul 117, 119, 161, 209. kadaluwarsa 265, 268. kagau-gau 257. kagungan dalem 141. kahanggi ni raja 51- kalakéran 235. kalimbuhu 262.

kalompoan 56. kamitua 59. kampong mèji 59. kampuang 48, 84. kampong 43, 44, 59. kanöman 57. karaèng 57. kasepuhan 249. kasuwiyang 64. kawak 91.kawin ambil anaq 205. kawin ambil piara 204. kawin anggau 203. kawin gantung 20ó. kawin tegaq tegi 205. kawom 60. kebayan 59. kejuron 43.kejuron pctiambang 43. kelebu 48.kemenakan di bawah lutuiq 47.kempitan 152.kepala dati 234.kepala désa 59.kepala juga 54.kepala kcwang K4.kepala soa 49, 56.kerapatun nagari 48.kèrèt 45.kesain 51, 52.ketib 59.kecil tanda gedans ikatan 192.keujmèn 43.keuciq 60.kimelaha 60.kintal kalakcran 90.klèbun (kalébtin) 59.klian 58.kule 198.kuli 58.kuluq 216.kuria 30, 32. 50. 51, 73. 79.kurung 205.kuta 51.kutai 55.kuwu 59.

kokolot 59. korano 45. kota 47, 67.Kota Piliang adat 48. krajan 59. krama désa 58. kria 55.kwarto 68, 78, 89. 144. laman 28.laman dusun 37, 184.larangan kule 213, 217.laras 33.lebé 59.lelèpccllo 241.lelipi slem bukit 84.lembaga dituang adat diisi 80lembur 59.lepas 113.limpo 85.lindung 136.lingkungan 85.linyap 234.lurah 48, 59.mado 48.mn&ersari 136.mahr 209, 216.makantah 131, 132.makehidang raga 153...malim 48.malu 255, 257, 258.mamaq kepala waris 47., 209,mamupuh 272.mamékat 272.mamili 272.mandinding 202.manjaé 167, 239.manjawi 87, 272.mandor 59,mangaliplip 175.manganahi 149.manggadai 107. 121.manggih kaya 225.mangku 55.manggu tanah 86.manti 48.mancanagara 67.

mauwin 210. mapalus 147. mapalus wang 147. maradia 57. maramba 86. marapu 28.marga 30, 32, 35, 37, 49, 50, 51, 54,

55, 67, 78, 79. marga tanah 49, 51, 52. marisaké 239. mama 39. maro 127. marsaolèh 60. marsiadapari 146. mas aye 189.mas kawin 198, 199, 209, 217, 224. masawèn 190. medun ranjang 204 megangkan 142.meJetakkan suatu pada tempatnya 61. mèlinèl 39.^membeli 149. membeli talaaq 217. merninang 188. meminjam 149. memupuh (mamupuh) 191. memperduai 127. memperrimbangkan tanda 156. mendapo 48. menjual 106, 121, 149. menjual jaja 107. menjual gadai 121. menjual lepas 107. menjual taunan 107. mengaku anaq 153. mengara anaq 152. mengasi 128. menginjem jago 205. menyusuq 102. mencar 167, 239. merga 44.merubuh sumbai 191. mertelu 127. mesi 79, 127. metu pinjungan 212. meunasah 29, 60.

mewètèng 54. mijèn 60, 88. miliq 90, 273 misek 191. modin 59. mulang jurai 184. mungkir 192. mupus 235- raohaqka 146. mora 50. morsali 149. nafaqah 215, 218. nagaragung 66.nagari 30,. 33, 35, 44, 46, 47, 50,

84, 85. nagari baimpèq suku 47. nangkon 204. natoras 51. nawala 63. ndalami gadé 118. negari 50. negikan 205.negory 29, 54, 56, 67, 78, 84, 86.negory dusun 78.nengah 127.ngajual akad 107.ngajual gadé 107.ngajual paéh duwit 120.ngajual tutung 117, 120.ngaranan 152.ngedol ngebregi 141.ngisiq 202.nglamar 188.ngukup anaq 184.ngupetènin 128.nikah 208.nikah tambelan 173nyalindung kagelung 225.nyeburin 204.nyekelakè 142.nyekoh 252.nyemalang 203.nyentanayang 182.nukar 222.numpang 59, 136.nunggonin 202.

nuru 85, 273. pareakhon 203.nusup 59. parékor-ékor 52.ulayat 85, 273. uléebalang 60.

parisang-isang 52. parèngé 53.

uli 56. parripé 49.ulu-ulu 59. partulan tengah 52.uma 30. pasah 218.umanat 242. pasar 65.undang-undang 63. pasek 57.unjuk 198. pasini 235, 273.unjung 198. pasirah 55.upah 151. pasikkoq 189.upacara 62. passoloq 145.upeti 128. paswara (peswara) 63.upu aman 86. patinggi 59.urang ampèq jinih 48 pacangan 190.urang sumando 204. patuanan 85, 273.ureung tua 60. patukuh n luh 198.urung 50, 52. pattongkoq siriq 173.utang 149. pawatasan 85.utang-piutang 147. pawèwèh 190.orang asal 8Q. pedaut 106, 185.orang dagang 65. pedot 183.orang kaya 49. pegang penyambut 169orang menumpang 80. pegat mapianaq 198.padukuan 59. pekain 198.paèr 85. pekuncèn 60.pago-pago 108. pemangku 55.payar 85. pemancal 216.payung jurai 235. pembarep 55paksi 44. penanian 53.palau 91. penebus talaaq 216.pammali katcang 216. penggawa 55.p anjer 151, 155, 157, 189. pengiwal 216.pangaUi kaandaang 217. pengulu 52, 86.pangcran 55, 62. pengulu andiko 46, 47, 48, 86 117

233.pangidaran para 199pangoli 198. pengulu yang memegang adat 61.paningset 157, 189. pengulu suku 48.panyambung 145. peninggalan 193.panyampéto 85, 273. penyimbang (panyimbang) 38, 44, 234pancen 144. pencarian 222paung asal 37, 53, 80. pepadon 38.pauséang 120. pèpé 64.papasang 239. perdika 60.parade 157, 183. perlindungan 168.

perusahaan 236. pc rut 48. persekot 156. pesantrèn 60.peteng 107. penyimbang 44. pecah suku 191 petuéu 43. peungklèh 241 peutua 60.piagem 67, 84, 159pikukuh 95, 97.pimbit 221.pindah gade 120. ,pindah séwa 120.pitungguh gadai 118, 120.pitrah 61.plais 127.pujonpo 189.pue tampo 87.punah 234.punduh 59.punèn 28.pupuh 91.purusa 182.pusaka 28, 93, 117, 222, 236.pusaka laman 28.pucuq nagari 48.politie (polisi) 59.porda dumpang 208.portahian 50.pou gossi 190.prabumian 85, 273.pradana 182.prakara lama 265, 268.pranatan 63.priyayi 40, 58, 123.pribumi 58.proatin 55, 169.raja 51, 159.raja doli 52.raja panusunan 51.raja parjolo 52.raja portahi 52.raja sioban ripé 79.ragi-ragi 201.

ramban 200.ranan kotor 265.rapaq gaib 217.rapaq lumuh 216.reksabumi 84.rènrèn 39.resaya 146.resayo 144.reujeu 43.rejeu mudeu 43.rujuq 215, 217.rukunan 146, 279rumatau 49, 56.rong wang sagobang 183.saba bangunan 223, 240.saba indahan arian 240.saba na bolak 78.saba pauséang 240.sabar 266.sabuah paruiq 46.sadé 106.sakaha 147.saksi 111, 122.salipi na tartar 73, 76.sambat-sinambat 146.sampingan 58.sanda 272.saniri raja pati 56.sapikul sagèndong 227, 245, 24sarikat 146.sasi 78, 147.sasuhun sarembat 227saudeureu 43.sawah gogolan 83.sawah yasa 83.sawah pekulèn 83.sedekah 167.sekato 118.sembarur 51.semendo ambil anaq 204.semendo anaq tengah 179.semendo ngangkit 205.semendo rajo rajo 179, 205.sentana 182, 185.sentana tarikan 185.sepuluh satu 80.seraya 146.

scroh 198.*esat 28. sesfctfc 189.séwa 128 — 131, 134, 136, 137. séwa bumi 80, 108, 128. séwa èwang 128.• « 183.

tikep 38. sikep-marga 67 sinamot 198. sindor 110. siruan 91. sisila 221, 227. syiqaaq 218. slametan 167. soa 56.subak 58, 147.suku 35, 44, 47, 48, 50, 55, 65, 84,

106, 178, 185, suku dagang 65. suku „nan ampeq” 48. suksara 78. sumbang 145.sunrang 198, 199, 209, 224.Sunrang niinrang 199.sunrang sanra 120.surat keterangan 122.surat peras 183.solari bainenna 212.sompa 198.sopo 28.srama 127, 157tahan 131, 132.takal aur 52.talaaq 215, 219.ta’Iieq 217.tambiq anaq 179.tambiq anaq jurai duwa ncgeri duwa

179.tanah pei pamoya 120.tanah wawakes un ter anak 238.tanam batu 119.tanda 155, 189, 192.tanda kong narit 189.tanda paletak 157.tanda rasan 190. ^taneh kauhi 105.

tanggung 107 — 116.tanggung-menanggung 150.tanggungan 131.taao 223.tapian 47.tapu 189.taqléq 217.tawa kabaluang 228.tebasan 159.tegi (negikan) 235.teleng 90.tenggol 60.terang 107, 108, 122, 126, 159, 182

184, 188, 239. tésang 127. teterusan 84 teungku 60 tiuh 44. titisara' 78. cakkara 225. cambur sumbai 204 carik 59. cengkerem 189. cèq 43. d q 60. cukai 128. cuké 99. dosor 59.tua un teranak 54. tuan 272.tuan tanah 86, 272. tuan wang 272. tuhor 198. tuku 272.tukon 198, 199, 209, 272. tukon tali 136. tulung-jnermlung 146. tumenggung 62. tunangan 190. tunggaq biuto 119. tunggu tubang 179, 235. tungganai 47. tungkat 169, 203. tuo ulayat 86. tuo suku 55.turun kaïn sehelal sepinggacg 212 turus 152. tuwa-tuwa 45.

toyo 127. tomakaka 53. torluk 85. totabuan 85. toto 272. tratraq 47. truka 102. van 54.wakap 93, 161, 162, 163. wakèl 43. wakil 168. walak 54.wali 168, 174, 209. wali mudzybir -209 wanua 56.

wang adat 40. wang antaran 198. wang pemasuqan 79. wang saksi 108, 152. waqf 161.waris 105, 107, 111, 121, 122, 167,

171, 233, 240, 243, 266. wekas 242. weling 242. wewenang 90. - wewengkong 85. wilin 198. wis dipanjeri 155. wuhru 39. wong akèh 37.

BUKU-BUKU HUKUM

keluaran PRADNYA PARAMITA

Ny. E tty Agoes, SH — Anthony Lewis. PERANAN MAHKAMAH AGUNG D I A.S ..................................... . 152 him.

M r SJM. A m ir.HUKUM ACARA PENGADILAN NEGERI. ........... 280 99

P rof Mr D r L .J . van Apeldoorn.PENGANTAR ILMU HUKUM ..................................... 492 99

B asaruddin N asution SH.PENYELEW ENGAN TERHADAP UUD 1945;........... 36 f t

D rs G.W. Baw engan, SH.PSYCHOLOGI K RIM IN IL ............................................ 212 f f

D rs G.W. Baw engan, SH.PENYIDIKAN PERKARA PIDANA dan

118 M

Prof. B u sh ar M uham m ad, SH. A SA S-ASA S HUKUM ADAT.

240

Mr B . ter H aar & K . Ng. Soebakti Fusponoto. A SA S-A SA S DAN SUSUNAN HUKUM ADAT 320 f t

H arief H arahap , SH.HIMPUNAN PERATURAN-PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN RI.

B uku ke I ; ; ...................................................B uku ke I I ; ; ( A dan B ) ..........................

376352358

f f

f f

232

A chm ad Ich san , SH. 527

Iraw an Su jito .T E K N IK MEMBUAT UNDANG-UNDANG.............. 200 tf

K artono , SH. 52*

K a rto n o , SH .K E P A IL IT A N DAN PENGUNDURAN PEM BA ­YARAN ;..................................................................................... 112

K arto n o , SH .P E R SE T U JU A N JU A L B E L I M EN U RUT K U H PER D A TA ; ............................................................................. 48

P rof. K ran en b u rg — Tk. B . Sabaru dd in , SH.ILM U NEGARA UM UM ; ................................................... 280

M r W. P rin s & R . K osim A dlsapoetra.PEN G AN TA R ILM U HUKUM AJDMINTSTRASI NEGARA. ; ............................................................................... 154

P rof. R . Su bekti SH . & R . T jitrosudib io .KXTAB UNDANG-UNDANG H UKUM PERD A TA ;■.............................................. .................. ................................... 472

P ro f. R- Subekti, SH . & R . T jitrosudib io .K 1TA B UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG DAN K EPA ILITA N ................................................................ 292

P rof. R. Subekti, SH .H UKUM FEM BU K TIA N ; ................................................. 64

P rof. R . Subekti, SH .PERBAND INGAN H UKUM PERDATA

............................................................................................. .......... 68

F ro f. D r Ism a il Su n n y & R udioro R o ch m at 6 H T IN JA U A N DAN PEM BAHASAN UN D AN G-U N ­D A N G PENANAM AN MODAL A SIN G DAN K R E - D IT L U A R NEGERT ; ....................................................... 16Q

P ro f. Im am Supom o, SH .H U K U M PER BU R U H A N — BID A N G K ESEH A T A N K E R JA ; ........................... ....................................* * M8

' Prof* Im an Supom o, SH .H U K U M PER BU R U H A N — BID A N G ANItv a P U T U SA N (P 4) ; ............................

.................................... 212Prof. R- Supomo, SH.HUKUM ACARA PERDATA PENGADILAN NE

K arto n o , SH .KEPAILITAN DAN PENGUNDURAN PEMBA- YARAN ;..................................................................... 112K arto n o , SH .P E R SE T U JU A N JU A L B E L I M EN U RU T KUH- PERDATA ; .............................................................................. 48

P rof. K ra n en b u rg — T k . B . Sab aru d d in , SH .ILM U NEGA RA UM UM ; ................................................... 280

M r W. P rin s & R. K o sim A disapoetra.PEN G A N TA R ILM U H UKUM A ,DM INISTRASI N EGA RA . ’ ....................................... ........................................

P ro f. R . Su b ek ti SH . & R. T jitrosudib io .K IT A B UNDANG-UNDANG H UKUM FERD A TA ;1........................................................................................................ 472P ro f. R . Subekti, SH . & R . T jitrosu d ib io .K IT A B UNDANG-UNDANG H UKUM DAGANG DAN K E P A ILIT A N ................................................................ 292

P ro f. R. Subekti, SH.HUKUM PEMBUKTIAN ; ........................................ 64

P rof. R. Subekti, SH.PERBA N D IN GA N H UKUM PERDATA

............................................................................. ........ 68

F ro f. D r Ism ail Su n n y & R udioro R och m at, tSH. T IN JA U A N DAN PEM BAH ASAN UN D AN G-U N ­D AN G PENAN AM AN M ODAL A SIN G DAN K R E - D IT L U A R N E G E R I ; ......................................................... 160

P rof. Im am Su pom o, SH .H U K U M P ER BU R U H A N — BID A N G K E SE H A T A N K E R JA ; ........................... .................................... "

P ro f. Im an Su pom o, SH .H U K U M P ER BU R U H A N - - BID A N G ANEKA P U T U SA N (P 4 ) ; ...............................................

............... .P rof. R . Supom o, SH .H U K U M ACARA PER D A TA PENGADILAN N F

GERI:......................................................... 156

him.

I f

11

11

11

11

11

1f

f t

11

Perpustakaan Ul

01-10-09017949

M«,-... ’*

1

4

*v?>-« M p . t . p « r ( |