51
Penanggung Jawab : Lukman Hakim, SKM, M.Epid Pemimpin Umum : Pandji Wibawa Dhewantara, S.Si, M.IL Ketua Dewan Redaksi : Endang Puji Astuti, SKM, M.Si Anggota Dewan Redaksi : Roy Nusa RES, SKM, M.Si Mara Ipa, SKM, M.Sc Heni Prasetyowaty, S.Si, M.Sc Mitra Bestari : ????? Dr. Damar Tri Boewono, M.Si Dr. Dewi Susanna, M.Sc. Pelaksana Produksi : M. Umar Riandi, S.Si Sekretaris : Dani Arif Cahyadi, S.Sos Dian Yusmiadji, AMD Perwajahan : Setiazy Hasbullah, S.Si Usman Syarifuddin Penerbit : Loka Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (Loka Litbang P2B2) Depkes R.I. Ciamis Jl. Raya Km 3 Kampung Kamurang Desa Babakan Kesamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis Jawa Barat 46396 Telp/Fax. 0265639375 Email: [email protected] Aspirator Vol. 1 No. 1 Tahun 2012 ISSN : 2085 - 4102 ASPIRATOR Jurnal Penelitian Penyakit Tular Vektor (Journal of Vector Born Disease Studies) Dewan Redaksi/Editorial Board ASPIRATOR terbit 2 (dua) kali dalam setahun Redaksi menerima naskah artikel hasil penelitian atau tinjauan hasil penelitian (tinjauan kepustakaan) kesehatan yang berkaitan dengan penyakit tular vektor, untuk dimuat dalam ASPIRATOR. Sebelum diterbitkan, setiap naskah yang masuk, terlebih dahulu ditelaah oleh peer reviewer.

aspirator vol.1 2012

  • Upload
    boo105

  • View
    155

  • Download
    2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jurnal tular vektor

Citation preview

Page 1: aspirator vol.1 2012

Penanggung Jawab : Lukman Hakim, SKM, M.Epid

Pemimpin Umum : Pandji Wibawa Dhewantara, S.Si, M.IL

Ketua Dewan Redaksi : Endang Puji Astuti, SKM, M.Si

Anggota Dewan Redaksi : Roy Nusa RES, SKM, M.Si Mara Ipa, SKM, M.Sc Heni Prasetyowaty, S.Si, M.Sc Mitra Bestari : ????? Dr. Damar Tri Boewono, M.Si Dr. Dewi Susanna, M.Sc.

Pelaksana Produksi : M. Umar Riandi, S.Si

Sekretaris : Dani Arif Cahyadi, S.Sos Dian Yusmiadji, AMD

Perwajahan : Setiazy Hasbullah, S.Si Usman Syarifuddin

Penerbit : Loka Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (Loka Litbang P2B2) Depkes R.I. Ciamis

Jl. Raya Km 3 Kampung Kamurang Desa Babakan Kesamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis Jawa Barat 46396 Telp/Fax. 0265639375 Email: [email protected]

Aspirator Vol. 1 No. 1 Tahun 2012 ISSN : 2085 - 4102

ASPIRATORJurnal Penelitian Penyakit Tular Vektor

(Journal of Vector Born Disease Studies)

Dewan Redaksi/Editorial Board

ASPIRATOR terbit 2 (dua) kali dalam setahun

Redaksi menerima naskah artikel hasil penelitian atau tinjauan hasil penelitian (tinjauan kepustakaan) kesehatan yang berkaitan dengan penyakit tular vektor, untuk dimuat dalam ASPIRATOR. Sebelum diterbitkan, setiap naskah yang masuk, terlebih dahulu ditelaah oleh peer reviewer.

Page 2: aspirator vol.1 2012
Page 3: aspirator vol.1 2012
Page 4: aspirator vol.1 2012
Page 5: aspirator vol.1 2012

5

DETEKSI PROTEIN CIRCUMSPOROZOIT PADA SPESIES NYAMUK ANOPHELES BARBIROSTRIS TERSANGKA VEKTOR MALARIA DI WAIKABUBAK DENGAN UJI ENZYME-LINKED

IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)

Circumsporozoite Protein Detection in Mosquito Species Anopheles barbirostris as Malaria Vector Suspected in Waikabubak Subdistrict,

with Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (Elisa)

Mara Ipa1, Heni Prasetyowati1, Yuneu Yuliasih1

Naskah masuk: 23 Mei 2012 | Review 1: 5 Juni 2012 | Review 2: 17 Juni 2012 | Naskah layak terbit: 21 Juni 2012

1. Loka Penelitian dan Pengembangan Penyakit Bersumber Binatang. Pangandaran Kab. Ciamis 46396, Indonesia. Alamat koresponden: email: [email protected]

Abstract. Anopheles species decleared as malaria vector if the salivary gland contained sporozoites. One of the method to confirmed it was through an Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). The aim of this study was to investigate the presence of circumsporozoite protein (CSP) in the mosquito of Anopheles barbirostris with ELISA method. The study was conducted in malaria endemic area named Modu Waimaringu Village, Waikabubak District, Sumba Barat Regency in March 2011. The study design was cross-sectional study, mosquito for the ELISA test were collected only from animal bait. ELISA method examination used on An.barbirostris body parts (i.e. the head-thorax) where sporozoites of P. falciparum or P. Vivax possibly be found. The results showed that 40 samples of An. barbirostris mosquitoes which acquired from the mosquite bait in Modu Waimaringu Village was negative (100%). It means that there was no CSP found and An. barbirostris was not a malaria vector for the malaria endemic in the village.Keywords: Circumsporozoite Protein, Anophelesbarbirostris, ELISA

Abstrak. Nyamuk Anopheles sp dinyatakan sebagai vektor malaria apabila ditemukan sporozoit di kelenjar ludahnya dan salah satu metode yang dapat dilakukan adalah melalui uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Penelitian ini dilakukan untuk mendeteksi protein circumsporozoite pada tersangka vector malaria Anopheles barbirostris melalui metode ELISA. Penelitian ini dilakukan di daerah endemis malaria di Desa Modu Waimaringu Kecamatan Waikabubak Kabupaten Sumba Barat pada bulan Maret 2011. Desain studi penelitian ini adalah cross sectional, nyamuk uji diperoleh melalui penangkapan nyamuk sekitar kandang. Uji ELISA dilakukan pada bagian kepala dan dada nyamuk An. barbirostris yang potensial mengandung sporozoit Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax. Hasil penelitian menunjukkan dari 40 sampel An. barbirostris yang diuji di Desa Modu Waimaringu seluruhnya negatif (100%), hal ini berarti tidak ditemukannya protein circumsporozoite pada tersangka vektor An.barbirostris.Kata kunci : Protein Circumsporozoite, Anopheles barbirostris, ELISA

Page 6: aspirator vol.1 2012

6

Aspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

PENDAHULUAN

Malaria merupakan salah satu penyakit berbahaya yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium dan ditularkan oleh nyamuk betina dari genus Anopheles sebagai vektornya. Terdapat 4 jenis malaria pada manusia yaitu malaria tertiana yang disebabkan oleh P. vivax, malaria tropika disebabkan oleh P. falciparum, malaria kuartana yang disebabkan oleh P. malariae, dan malaria ovale yang disebabkan oleh P. ovale.

Berdasarkan data dari profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat pada tahun 2009, Kabupaten Sumba Barat merupakan daerah endemis malaria, yang setiap tahunnya mengalami peningkatan jumlah kasus. Data tahun 2007 sebesar 10.382 kasus dengan AMI 104% dan tahun 2008 mengalami kenaikan sebesar 14.879 kasus dengan AMI 143%. Apabila dilihat berdasarkan API tahun 2007 yaitu sebesar 15% dan mengalami kenaikan pada tahun 2008 sebesar 30%. Hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan kasus positif malaria yang ditemukan pada saat pemeriksaan mikroskop terhadap sediaan darah penderita malaria. Angka kematian penderita malaria yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Sumba Barat pada tahun 2007 sebanyak 20 penderita, tahun 2008 sebanyak 14 penderita, dan tahun 2009 sebanyak 4 penderita1.

Hasil penangkapan nyamuk dila-kukan pada Desa Weehura Kecamatan Wanokaka Kabupaten Sumba Barat diperoleh jenis nyamuk antara lain An. subpictus, An. anullaris, An. vagus dan

sebagai vektor penularnya An. subpictus dan An. aconitus. Sedangkan hasil penangkapan nyamuk di Desa Baliloku adalah An. subpictus, An. tesselauts, An. anullaris, An. idenfinicus dan An. barbirostris. Sebagai vektor penularnya adalah An. barbirostris dan An. subpictus.2

Spesies Anopheles dinyatakan seba-gai vektor malaria disuatu daerah apabila terbukti mengandung sporozoit di dalam kelenjar ludahnya. Spesies Anopheles vektor malaria disuatu daerah, belum tentu sebagai vektor malaria di daerah lain. Keberadaan sporozoit dapat diperiksa dengan cara pembedahan kelenjar ludah nyamuk dan dapat juga dengan cara Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA).2

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay telah digunakan sebagai salah satu cara epidemiologi untuk meng-identifikasi nyamuk terinfeksi malaria. Antibodi monoklonal dipakai sebagai fase padat dan dikonjugasikan dengan enzim, sebagai penanda terdapatnya protein circumsporozoite dalam homo-genat nyamuk yang diinkubasi pada sumur microplate. Penggunaan zat antibodi monoklonal terhadap sporozoit dengan ELISA bertujuan untuk mengetahui berbagai spesies vektor malaria di berbagai daerah endemik malaria, Immunofluorescent Assay (IFA) dan Immuno-radiometric Assay (IRA) merupakan tes imunologis yang bersifat spesifik spesies dari antibodi monoklonal

Page 7: aspirator vol.1 2012

7

Mara Ipa., Heni Prasetyowati., dan Yuneu Yuliasih., 2012. Deteksi Protein Circums Sporozoite....

yang dihasilkan terhadap antigen mem-bran permukaan sporozoit malaria.3

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya protein circum-sporozoite pada nyamuk An. barbirostris yang merupakan tersangka vektor di Desa Modu Waimaringu Kecamatan Kota Waikabubak Kabupaten Sumba Barat dengan uji ELISA dari potongan kepala-dada.

Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di desa Modu Waimaringu, Kecamatan Kota Waikabubak Kabupaten Sumba Barat. Penelitian merupakan penelitian cross-sectional, dilakukan sebagai survei lapangan. Jenis penelitian adalah eksploratif epidemiologis-analisis dengan menggunakan metode survei. Eksploratif artinya menggali informasi se-banyak-banyaknya dan seakurat mungkin.

BAHAN DAN CARA KERJA

Nyamuk An. barbirostris betina yang digunakan didapat dari hasil penangkapan spot survey menggunakan umpan orang dan penangkapan di kandang. Kemudian, dilakukan pembe-dahan ovarium untuk menentukan paritas nyamuk. An. barbirostris parous hasil tangkapan kemudian dipotong kaki-kaki dan perut nya. Selanjutnya, bagian kepala-dada digunakan dalam uji ELISA untuk konfirmasi keberadaan sporozoit P. falciparum atau P. vivax.

Nyamuk An. barbirostris betina parous hasil ko loni laboratorium yang tidak terinfeksi digunakan sebagai kontrol

negatif dalam pengujian ELISA. Bahan yang digunakan dalam pengujian ELISA, yaitu Phosphate Buffered Saline (PBS) pH 7,2; Blocking Buffer (BB), Casein, ABTS Peroxidase Substrate, Larutan Nonidet P-40, Larutan Tween 20, MAb Pf dan MAb Pv, serta Peroxidase-conjugated MAb Pf, dan Peroxidase-conjugated MAb Pv210.

Bagian kepala-dada nyamuk yang diuji dalam pool (dikumpulkan sebanyak 1-10 ekor) ke dalam vial eppendorf ditambahkan 100 µl grinding solution (blocking buffer ditambah NP-40). Selanjutnya, nyamuk digerus dengan electric grinder, setelah nyamuk hancur, dicuci dengan 2 x 75 µl grinding solution hingga volume akhir sampel 250 µl. Homogenat nyamuk disimpan pada suhu -20°C sampai saatnya untuk diuji. Coating microplate dengan PBS 50 µl ditambah capture monoclonal antibody P. falciparum 0.10 µg, capture monoclonal antibody P. vivax 210 0.025 µg dan capture monoclonal antibody P. vivax 247 0.05 µg. homogenisasi, diambil, dan dimasukkan dalam setiap sumuran microplate 50 µl. Microplate ditutup dengan aluminium foil dan diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit. Capture dalam sumuran dibuang, ditambahkan BB 200 µl tiap sumuran, inkubasi selama 60 menit (tertutup dengan aluminium foil). Blocking buffer dalam sumuran dibuang, 50 µl homogenat nyamuk Anopheles dimasukkan dalam sumuran, juga untuk kontrol positif (A1) dari P. falciparum, P. vivax dan kontrol negatif (dari nyamuk Anopheles sp hasil koloni laboratorium yang tidak terinfeksi).

Page 8: aspirator vol.1 2012

8

Aspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

Inkubasi selama 2 jam (tertutup dengan aluminium foil). Sumuran dicuci dengan PBS-Tween 20 sebanyak 2x. Konjugat peroksidase (peroksidase P. falciparum, P. vivax210 dan P. vivax 247 sebanyak 0.05 µg ditambahkan 50 µl BB) 5µl konjugat dengan 100 µl substrat ditambahkan dalam tiap sumuran. Inkubasi selama 1 jam dalam keadaan gelap (tertutup aluminium foil). Sumuran dicuci PBS-Tween 20 sebanyak 3x. Selanjutnya, 100 µl larutan substrat campuran ABTS (larutan A) dan H2O2 (larutan B) perbandingan 1:1 (20 ml : 20 ml) dimasukkan dalam tiap sumuran, ditutup aluminium foil, diinkubasi selama 30-60 menit pada panjang gelombang 405nm. Hasil positif secara visual terlihat warna hijau.

HASIL

Kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur memiliki 6 Kecamatan, salah satu yaitu Kecamatan Waikabubak. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat, di wilayah ini ditemukan kasus malaria. Tabel 1 menunjukkan hasil Uji ELISA negatif P. falciparum dan P. vivax dengan menggunakan ELISA reader sehingga diperoleh nilai absorben (OD) untuk kontrol positif dan negatif pada panjang gelombang 405 nm. Pada uji ELISA digunakan 1 microplate, keseluruhan lubang/sumuran pada uji ELISA ini (1 microplate ada 96 sumuran).

Tabel 1 Hasil Pemeriksaan Uji ELISA terhadap An.barbirostris yang Tertangkap Hinggap di Sekitar Kandang di Desa Modu Waimaringu Kecamatan Kota Waikabubak Kabupaten Sumba Barat

No Jumlah Nyamuk dalam Sumuran

Nilai Absorben

Kontrol +

Kontrol -

Kandang 1

Kandang 2

1234

P.f210

P.f247

Pv.210

P.v247

5555

1,9831,8580,7920,780

0,1630,1510,1620,137

0,1440,0950,1210,115

0,1390,1010,1270,124

Hasil Uji dinyatakan positif apabila nilai absorben lebih tinggi dari nilai absorben control positif, maka dari hasil Uji ELISA terhadap An.barbirostris di Desa Modu Waimaringu Kecamatan Kota Waikabubak Kabupaten Sumba Barat negatif.

PEMBAHASAN

Anopheles merupakan salah satu genera nyamuk dan terdapat 400 spesies dikelompok ini. Berbagai laporan penelitian menyebutkan bahwa nyamuk Anopheles merupakan vektor berbagai

Page 9: aspirator vol.1 2012

9

Mara Ipa., Heni Prasetyowati., dan Yuneu Yuliasih., 2012. Deteksi Protein Circums Sporozoite....

penyakit. Sekitar 30-40 spesies nyamuk Anopheles menyebarkan malaria secara alami. Di Indonesia Anopheles yang telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria sebanyak 20 spesies. Tiga spesies telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yaitu An.barbirostris, An.subpictus, dan An.sundaicus.4

Metode penentuan vektor malaria dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu pembedahan dan pemeriksaan kelenjar ludah, uji ELISA dan metode sediaan toraks. Teknologi ELISA mempunyai tiga terapan dalam penelitian malaria, yaitu deteksi antibodi (seroepidemiologi), deteksi antigen (diagnosis), dan deteksi an tigen (epidemiologi). Enzyme-Link-ed Immunosorbent Assay telah di-gunakan sebagai salah satu cara epidemiologi untuk mengidentifikasi nyamuk terinfeksi malaria. Burkot5 mengemukakan penggunaan antibodi monoklonal spesifik untuk protein circumsporozoite P. knowlesi. Antibodi monoklonal ini dipakai sebagai fase padat dan dikonjugasikan dengan enzim, sebagai penanda terdapatnya protein circumsporozoite dalam homogenat nyamuk yang diinkubasi pada sumuran microplate.

Circumsporozoite Protein (CSP) merupakan antigen terpenting yang terdapat pada permukaan sporozoit, memainkan peranan dalam memicu pembentukan antibodi ter hadap parasit.6

Antibodi monoklonal diproduksi dengan spesifisitas yang telah ditentukan. ELISA dengan penangkapan antigen merupakan metode yang bermanfaat untuk mendeteksi secara cepat antigen protein spesifik seperti halnya homogenat nyamuk (gerusan nyamuk). ELISA menggunakan enzim yang direaksikan dengan substrat, menghasilkan produk dengan intensitas warna sebanding dengan kadar homogenat nyamuk yang diperiksa. Produk yang dihasilkan pada uji ELISA dapat dibaca dengan ELISA reader berdasarkan kerapatan optik yang hasilnya dapat dicetak melalui komputer.7

Anopheles barbirostris, pernah ditemukan positif mengandung sporozoit di daerah Benteng (1938) dan Wonorejo (1939) Provinsi Sulawesi Selatan. Indeks sporozoit masing-masing tempat adalah 11 dan 13.15 %. 8

Hasil penelitian di Kabupaten Sikka Flores, berdasarkan pembedahan saliva dan uji ELISA terhadap An. barbirostris diperoleh hasil positif dengan metode penangkapan nyamuk uji dengan landing collection.9 Hasil tersebut berbeda dengan yang diperoleh di Kabupaten Sumba barat, meskipun An. barbirostris merupakan vektor yang potensial untuk malaria tetapi dalam penelitian ini tidak didapatkan An. barbirostris yang mengandung protein circumsporozoite. Hasil negatif ini disebabkan oleh pemilihan nyamuk uji bukan dari hasil penangkapan landing collection, namun nyamuk yang berasal dari sekitar kandang.

Page 10: aspirator vol.1 2012

10

Aspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

KESIMPULAN

Anopheles barbirostris hasil penang-kapan di Desa Modu Waimaringu tidak ditemukan positif mengandung protein circumsporozoite.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat tahun 2009. 2009. DKK Sumba Barat

2. Loka P2B2 Waikabubak. Studi Kebijakan Dinamika Penularan Malaria di Kecamatan Wanokaka Kabupaten Sumba Barat. JKPKBPPK. 2011

3 Dit.Jen P2M & PLP. 1987. Petunjuk melakukan macam-macam uji entomologi yang diperlukan untuk menunjang operasional program pemberantasan penyakit ditularkan serangga. Jakarta. 7 hal

4. Bangs, M.J.1989. The sporozoit Enzyme-Linked Immunosorbent Assay: application in malaria epidemiology. Buletin Penelitian Kesehatan 17(2): 197-205

5. Burkot, T.R., P.M.Graves, J.A. Cattan, R.A. Wirtz and F.D.Gibson. 1987. The efficiency of sporozoite transmission in the human malarias, P.falciparum and P.vivax. Bulletin of the WHO 65(3): 375-380

6. Dachlan, Y.P. 1997. Malaria dan penggunaan teknologi molekuler untuk kepentingan diagnostik dan kajian pola epidemiologik serta patofisiologi dalam Biologi Molekuler Kedokteran. Editor: Suhartono, T.P. Airlangga University Press. Surabaya. 40-42 hal

7. Wirtz, R.A., T.R.Burkot, P.M. Graves and R.G. Andre. 1987. Field evaluation of Enzyme-Linked Immunosorbent

Assays for P.falciparum and P.vivax sporozoites in mosquitoes (Diptera: Culicidae) from Papua New Guinea. Journal Medical Entomology 24 (4): 433-437

8. Van Hell JC. Lets Over d Anophelinen Fauna Van Zuid-Celebes met Vermeld.Ing van de malaria-overbrengsters in dit gebiet.Med.Maandbl.1950:379-394

9. Harijani A.M, Omposungu Sahat, Suyitno, Mursiatno. 1992. Penelitian Pemberantasan Malaria di Kabupaten Sikka-Flores. Cermin Dunia Kedokteran No 79.

Page 11: aspirator vol.1 2012

11

POTENSI DAUN DEWA (GYNURA PSEUDOCHINA [L] DC.) SEBAGAI LARVASIDA AEDES AEGYPTI (LINN.)

Potency of Gynura pseudochina (L.) DC. Extract as Aedes aegypti (Linn.) Larvacide

Hubullah Fuadzy1, Rina Marina1

Abstrac. Aedes aegypti is the main vector of dengue virus transmission for dengue fever. The effective method to reduce dengue cases is to used a biological insecticides such as Gynura pseudochina at larval stage of A.aegypti. The research was performed to find out the Gy. pseudochina leafs extracts potential as an Ae. aegypti larvacide. This experimental research conducted with completely randomized design that used seven different concentrations (0%,5%,6%,7%,8%,9%,10%). As the result, there were mean differences in the Ae. aegypti larvae mortality at each concentration of Gy. pseudochina group, except for the concentration 5% to 6% and 9% to 10%. After 24 hours treatment, LC50 was gained at 6.271% extract concentration with a lower limit at 5.322% and upper limit at 7.005%. This result shows, Gy. pseudochina leafs extracts has proved to be a potential Ae. aegypti larvacide.

Key Words: Aedes aegypti, Gynura pseudochina, larvacide, LC50.

Naskah masuk: 12 April 2012 | Review 1: 5 Juni 2012 | Review 2: 9 Juni 2012 | Naskah layak terbit: 20 Juni 2012

1. Loka Penelitian dan Pengembangan Penyakit Bersumber Binatang. Pangandaran Kab. Ciamis 46396, Indonesia. Alamat koresponden: email: [email protected]

Abstrak. Aedes aegypti merupakan vektor utama terjadinya penularan penyakit demam dengue. Pengendalian efektif untuk menurunkan kasus demam dengue adalah dengan menggunakan insektisida biologi seperti Gynura pseudochina pada stadium larva. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ekstrak daun Gy. pseudochina sebagai larvasida Ae. aegypti. Jenis penelitian ini adalah eksperimental dengan rancangan acak lengkap dan menggunakan tujuh konsentrasi yang berbeda (0%,5%,6%,7%,8%,9%,10%).Terdapat perbedaan rata-rata kematian larva Ae. aegypti pada kelompok konsentrasi Gy. pseudochina, kecuali pada konsentrasi 5% terhadap 6% dan 9% terhadap 10%. Pengujian setelah 24 jam, nilai LC50

adalah 6.271% dengan batas atas dan batas bawah adalah 5.322% dan 7.005%. Dengan demikian ekstrak daun Gy. pseudochina memiliki potensi sebagai larvasida Ae. aegypti.

Kata Kunci: Aedes aegypti, Gynura pseudochina, larvasida, Lethal Concentration

Page 12: aspirator vol.1 2012

12

Aspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan vektor nyamuk Ae. aegypti dan Ae. Albopictus. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan penularan DBD, akan tetapi setiap tahun diberbagai daerah di Indonesia sering terjadi lonjakan kasus. Pada tahun 2009, kasus DBD di Indonesia mencapai 158.912 kasus dengan 1.420 penderita meninggal dunia (case fatality rate 0.89%). Angka tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2008 dengan IR sebesar 59.02 per 100.000 penduduk dan case fatality rate (CFR) sebesar 0,861. Menurut WHO (2004) salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah memutus siklus hidup nyamuk pada stadium larva dengan menggunakan bahan-bahan alami yang mudah terurai di alam dan tidak meracuni lingkungan fisik, biologi, dan kimia disekitarnya2.

Di antara bahan alami yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai insektisida hayati adalah tanaman daun dewa (Gynura pseudochina [L.] DC.). Tanaman ini mengandung komposisi senyawa alkaloid, flavonoid, tanin galat, saponin, dan steroid/triterpenoid, serta 20 jenis minyak atsiri3. Semua senyawa tersebut bersifat toksik dan terbukti berkhasiat sebagai insektisida, ecdyson blocker, repelen, dan anti feedant pada serangga 4.

Berbagai penelitian mengenai bio-larvasida sebagai alternatif pe ngendalian vektor penyakit telah banyak dilakukan di Indonesia, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Susanna dkk (2003) menyimpulkan bahwa alkaloid, saponin dan flavonoid yang terkandung dalam ekstrak daun pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) bersifat insektisida terhadap Ae. aegyptidengan LC50 sebesar 2198,4655 ppm5.

Melihat komposisi senyawa kimiawi yang terdapat dalam daun dewa, maka daun dewa diduga memiliki potensi sebagai biolarvasida. Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dilakukan kajian sistematis untuk mengetahui efektivitas daun dewa sebagai larvasida Ae. aegypti.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada ta-hun 2010 yang bertempat di Laboratorium Entomologi Loka Litbang P2B2 Ciamis Kemenkes RI. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui potensi daun dewa sebagai larvasida Ae. aegypti. Jenis penelitian ini adalah eksperimental dan desain penelitian adalah rancangan acak lengkap.

Pembuatan ekstrak daun dewa menggunakan metode maserasi dengan pelarut akuades dengan perbandingan 2 mL pelarut dan 1 g ekstrak. Hasil maserasi disaring dengan menggunakan kain kasa dan dilanjutkan dengan kertas saring,

Page 13: aspirator vol.1 2012

13

Hubullah Fuadzy dan Rina Marina, 2012. Potensi Daun Dewa (Gynura pseudochina [L] DC.)....

kemudian maserat yang ada dipekatkan pada suhu 40oC – 50oC di dalam oven sehingga ekstrak daun dewa menjadi pekat. Selanjutnya ekstrak ditimbang dan didapatkan lautan stok sebanyak 440 g.

Banyaknya taraf konsentrasi dan pengulangan menggunakan aturan repli-kasi menurut Federer 6 yaitu :

t (r – 1) ≥15

t: Banyaknya konsentrasi yang digunakan

r: Jumlah pengulangan

Dari rumus tersebut didapatkan tujuh taraf konsentrasi dan tiga kali pengulangan. Digunakan sebanyak 450 larva nyamuk Ae. aegypti instar III yang dipelihara di Insektarium Loka Litbang P2B2 Ciamis. Pemilihan larva instar III dikarenakan memiliki kemampuan dalam menetralisir senyawa-senyawa toksik yang lebih tinggi dibandingkan larva instar I dan II, sedangkan instar IV lebih dekat untuk menjadi pupa sehingga penelitian dapat menjadi bias.

Uji pendahuluan dilakukan untuk menentukan interval konsentrasi daun dewa yang dapat membunuh larva 50% dari jumlah yang diamati, yaitu 25 ekor. Setelah didapatkan interval konsentrasi, dilanjutkan dengan uji eksperimen ekstrak daun dewa terhadap kematian larva Ae. aegypti, hingga mendapatkan konsentrasi efektif.

Pemeliharaan nyamuk dilakukan dengan tahapan pertama-tama telur nyamuk Ae. aegypti hasil rearing F2 di Insektarium ditetaskan pada nampan

yang telah terisi air jernih. Apabila tubuh larva telah berukuran 4-5 mm, kemudian memiliki ciri-ciri seperti duri-duri dada mulai jelas dan corong pernapasan berwarna cokelat kehitaman maka larva telah masuk pada instar III.

Setelah dilakukan uji pendahuluan, didapatkan hasil rentang konsentrasi untuk uji eksperimen, yaitu tujuh taraf konsentrasi (0%, 5%, 6%, 7%, 8%, 9%, 10%) dan tiga pengulangan. Kemudian disiapkan 21 buah plastik cup. Plastik cup tersebut diisi dengan ekstrak pekat daun dewa dan diencerkan dengan akuades hingga 100 mL sesuai dengan taraf konsentrasi. Pada setiap plastik cup dimasukkan larva dengan jumlah 25 ekor.Pengamatan kematian larva dilakukan pada selang waktu 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam, 6 jam, 12 jam, dan 24 jam. Setiap kali pengamatan, dihitung dan dicatat jumlah larva yang mati. Selain itu juga, dicatat kelembaban dan suhu lingkungan.

Data hasil pengamatan berupa jumlah larva yang mati akan dianalisis menggunakan uji One Way Analysis of Variance (ANOVA). Apabila hasil penelitian ini menunjukkan angka yang signifikan, maka akan dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD) pada taraf kepercayaan (α) 5% untuk mengetahui beda kelompok perlakuan. Dalam menentukan konsentrasi efektif LC50, dilakukan analisis nilai probit dengan meng gunakan aplikasi POLO-PC LeOra Software.

Page 14: aspirator vol.1 2012

14

Aspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

hampir semua pasangan kelompok data konsentrasi ekstrak air daun dewa mempunyai nilai probabilitas kurang dari 0,05 atau mempunyai rataan yang berbeda. Hanya dua pasangan kelompok data yang rataan tidak berbeda secara bermakna, yaitu konsentrasi antara 5% terhadap 6% dan 9% terhadap 10% dengan nilai p-value secara berturut-turut adalah 0,582 dan 1,000. Nilai LC50 pada pengujian selama 24 jam disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis probit menunjukkan bahwa nilai a adalah -2,79 dan nilai b adalah 9,77, sehingga persamaan regresi probit adalah y = -2,79 + 9,77 log c. Pada tingkat kepercayaan 95%, nilai g adalah 0,284 lebih kecil dari 0,4, hal ini menunjukkan bahwa untuk LC50 larvasida daun dewa dapat dianggap cukup teliti. Setelah dilakukan analisis probit didapatkan bahwa nilai LC50 setelah 24 jam perlakuan adalah 6.271 % dengan batas bawah 5.322 % dan batas atas 7.005 %.

HASIL

Selama pengamatan dilakukan pengukuran kelembaban dan suhu dengan menggunakan alat termohigrometer. Pada tahap uji pendahuluan, suhu berkisar antara 26oC hingga 26,5°C serta kelembaban 89%, sedangkan suhu untuk uji eksperimen adalah 26,5°C dan kelembaban 89% (Tabel 1).

Untuk menentukan pengaruh per-bedaan rata-rata konsentrasi ekstrak air daun dewa dalam membunuh larva Ae. aegypti instar III dilakukan analisis One Way Anova seperti disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis menunjukkan nilai probabilitas (p-value) adalah 0,000 (p < 0,05). Hal tersebut menunjukkan terdapat perbedaan nyata rata-rata kematian larva Ae. aegypti pada tiap kelompok taraf konsentrasi ekstrak daun dewa.

Hasil uji post hoc menggunakan uji LSD dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis menunjukkan bahwa

Tabel 1 Hasil Pengukuran Suhu dan Kelembaban di Laboratorium

Uji Tanggal Suhu (oC) Kelembaban (%)

Pendahuluan20 / 12 / 2010 26 8921 / 12 / 2010 26,5 89

Eksperimen23 / 12 / 2010 26,5 8924 / 12 / 2010 26,5 89

Tabel 2 Hasil Analisis One Way ANOVA Penelitian Daun Dewa sebagai Larvasida Aedes aegypti Linn di Laboratorium

Mean Square F Sig.

ANOVA 184.322 33.513 .000

Page 15: aspirator vol.1 2012

15

Hubullah Fuadzy dan Rina Marina, 2012. Potensi Daun Dewa (Gynura pseudochina [L] DC.)....

Nilai LC50 daun dewa sebesar 6.271% merupakan konsentrasi yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan nilai LC50 ekstrak air Piper betle L. yaitu 5%. Namun demikian, daun dewa memiliki kemampuan dalam membunuh larva Ae. aegypti dalam kurun waktu 24 jam perlakuan 7.

PEMBAHASAN

Suhu dan kelembapan tersebut merupakan keadaan ideal bagi kehidupan nyamuk. Suhu optimum bagi pertumbuhan dan perkembangan nyamuk adalah antara 25-270C. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali bila suhu kurang dari 100C atau lebih dari 40oC, sedangkan kelembapan relatif yang ideal bagi pertumbuhan nyamuk adalah 60% sampai dengan 90% 8.

Kematian larva yang terpapar oleh ekstrak daun dewa ini diduga disebabkan daun dewa mengandung senyawa kimia berupa metabolit sekunder yang bersifat toksik pada serangga. Kusmardiyani (2005) telah menyimpulkan bahwa hasil penapisan fitokimia menunjukkan daun dewa mengandung alkaloid, flavonoid, tanin galat, dan saponin.Senyawa-senyawa tersebut dapat menyebabkan larva keracunan dan akhirnya mati 9.

Saponin diduga mengandung hor-mon steroid yang berpengaruh dalam pertumbuhan larva nyamuk. Shashi dan Ashoke (1991) menjelaskan bahwa saponin dapat menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehingga dinding traktus digestivus menjadi korosif 10. Kerusakan salah satu organ nyamuk dapat menurunkan proses metabolisme dan penyimpangan dalam proses fisiologinya 11.

Alkaloid yang terdapat dalam daun dewa diduga dapat menyebabkan kegagalan dalam proses moulting larva. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aminah dkk (2001), bahwa nyamuk yang mati abnormal akibat terpapar oleh alkaloid menunjukkan sebagian tubuh nyamuk ada yang tersangkut selubung pupa sehingga terjadi kegagalan moulting 12. Hal ini terjadi karena senyawa alkaloid dapat merangsang dan mempercepat sel-sel neurosekretori untuk menyekresikan hormon ekdison dan hormon yuwana. Kelebihan hormon ekdison dapat menyebabkan kegagalan dalam proses moulting.

Sebagian besar flavonoid di alam dapat ditemukan dalam bentuk glikosida. Menurut Tarumingkeng (1992), glikosida dapat menghambat respirasi pada serangga sehingga serangga kekurangan oksigen.

Tabel 3 Hasil Analisis POLO-PC Leora Software LC50 Daun Dewa sebagai Larvasida Aedes aegypti Linn di Laboratorium

No LC Konsentrasi Efektif Batas Bawah Batas Atas

1 50 6,271 % 5,322 % 7,005 %

Page 16: aspirator vol.1 2012

16

Aspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

DAFTAR PUSTAKA1. Indonesia. Kementerian Kesehatan.

Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. Profil Kesehatan Indonesia 2009. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. 2010.

2. WHO. Situation of Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever In the South-East Asia Region: Prevention And Control Status In SEA Countries. South East Asia Regional Office. 2004.http://w3.whosea.org/en/Section10/Section332.htm.Diakses 3 Agustus 2011.

3. Sugihartina G, Iwang S, Soediro, dkk. Pemeriksaan Pendahuluan Senyawa Kimia Daun Dewa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.). ITB. Bandung. 1987. http://bahan-alam.fa.itb.ac.id.Diakses 3 Agustus 2011.

4. Kardinan A, Dhalimi A. Mimba (Azadirachta indica A. Juss) Tanaman Multi Manfaat. Perkembangan Teknologi TRO VOL. XV. No. 1. 2003. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 2003.

5. Susanna D, Rahmat A, Pawenang ET. Potensi Daun Pandan Wangi Untuk Membunuh Larva Nyamuk Aedes aegyti. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok. 1999.

6. Gomez KA, Gomez AA. Statistical Procedure for Agricultural Research. 2nd Edition. A. Wiley-Inter Science. Publ. Jhon Wiley & Sons. New York-Singapura. 1984.

7. Depkes. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2&PL) Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 2001.

Pada larva nyamuk kekurangan oksigen menyebabkan larva tidak mampu untuk bergerak ke permukaan untuk bernafas 13.

Tanin dapat memperkecil pori-pori lambung sehingga menyebabkan proses metabolisme sistem pencernaan menjadi terganggu 14. Penumpukan sari-sari ma-kanan pada organ pencernaan larva dapat menjadi racun dan secara perlahan-lahan larva akan mati.

KESIMPULAN DAN SARAN

Ekstrak air daun dewa dapat membunuh larva Ae. aegypti dengan nilai LC50 adalah 6.271%. Hasil tersebut membuktikan bahwa daun dewa ber-potensi sebagai larvasida Ae. aegypti Linn.

Diharapkan dapat dilakukan uji larvasida tanaman daun dewa terhadap spesies larva nyamuk yang lainnya serta menggunakan metode ekstraksi yang berbeda pula.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini, terutama penulis sampaikan kepada Yani Anjani dan M. Daris H.P.

Page 17: aspirator vol.1 2012

17

Hubullah Fuadzy dan Rina Marina, 2012. Potensi Daun Dewa (Gynura pseudochina [L] DC.)....

8. Kusmardiyani S, Ayuningsih W, Fidriyani I. Telaah Kandungan Kimia Umbi Daun Dewa (Gynura pseudochina (Lour.) Dc.). Farmasi ITB. 2007. http://bahan-alam.fa.itb.ac.id Diakses 3 Agustus 2011.

9. Shashi BM, Ashoke KN. Tripenoid Saponins Discovered Between 1987 and 1989. Phytochemistry 30: 5 : 85. 1991.

10. Ditjen P2&PL. Laporan mingguan status demam berdarah dengue. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Departemen Kesehat-an RI. 2009

11. Aminah, S. N. Evaluasi Tiga Jenis Tumbuhan Sebagai Insektisida dan Repelan Terhadap Nyamuk di Laboraturium. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 1995.

12. Tarumingkeng R. Insektisida: Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak Penggunaannya. Ukrida Press. Jakarta. 1992.

13. Wakhyulianto. Uji Daya Bunuh Ekstrak Cabai Rawit (Capsicum frutescens L) Terhadap Nyamuk Ae. aegypti. Skripsi Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. 2005.

Page 18: aspirator vol.1 2012

18

Aspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

PREVALENSI DAN KEBERADAAN VEKTOR MALARIA DI DESA TELUK LIMAU, KECAMATAN JEBUS, KABUPATEN

BANGKA BARAT PROVINSI BANGKA BELITUNG

Malaria Prevalence and Vector Presence in Teluk Limau Village Jebus District West Bangka Bangka Belitung

Roy Nusa R.E.S.1

Abstract. Malaria elimination in Indonesia need necessary data as a foundation for planning and implementation activities. The purpose of this study was to estimate the malaria prevalence and the presence of potential mosquito vectors. To find out malaria endemicity, blood of sampling group was examined in the study area on 24-30 November 2010. Suspected vector mosquitoes collection was carried out by human landing method on the inside and outside of the house for 12 hours from 18:00 until 06:00. Positive SD percentage from inspection reached 4.21% (18 of 428 SD). Gametocytes SD percentage reached 18.75%, where 3 of 18 positives SD has a gametocytes. Two mosquitoes Anopheles spp found were an An. sundaicus and An. letifer. The number of An. sundaicus trapped outdoors were five, An. letifer trapped in the house were three and An. letifer trapped outdoors were eight. This result showed malaria transmission potential in the study site and malaria surveillance should be done. It is recommended to distribute insecticide-treated nets and suggest the residents not to stayed outside the house at night to often.

Key Words: malaria, prevalence, vector, West Bangka District.

Naskah masuk: 10 Mei 2012 | Review 1: 28 Mei 2012 | Review 2: 04 Juni 2012 | Naskah layak terbit: 06 Juni 2012

1. Loka Penelitian dan Pengembangan Penyakit Bersumber Binatang. Pangandaran Kab. Ciamis 46396, Indonesia. Alamat koresponden: email: [email protected]

Abstrak. Eliminasi malaria di Indonesia perlu dukungan data sebagai dasar perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperkirakan prevalensi malaria dan keberadaan nyamuk vektor potensialnya. Untuk mengetahui endemisitas malaria dilakukan pemeriksaan sediaan darah (SD) pada kelompok masyarakat di daerah penelitian pada tanggal 24-30 November 2010. Pengumpulan nyamuk tersangka vektor dilakukan dengan metode human landing di dalam dan di luar rumah selama 12 jam mulai pukul 18.00 sampai 06.00. Persentase SD positif dibanding SD diperiksa mencapai 4,21% (18 dari 428 SD). Persentase gametosit dibanding SD positif mencapai 18,75 % dan dari 18 SD positif, 3 diantaranya terdapat gametosit. Dua spesies nyamuk Anopheles spp yang ditemukan adalah An. sundaicus dan An. letifer. Jumlah An. sundaicus tertangkap di luar rumah sebanyak 5 ekor, An. letifer di dalam rumah 3 ekor dan An. letifer di luar rumah sebanyak 8 ekor. Hal ini menunjukkan potensi transmisi malaria di lokasi penelitian dan perlunya dilakukan survailans malaria. Bila memungkinkan, dilakukan pembagian kelambu berinsektisida dan menganjurkan agar penduduk tidak terlalu sering berada di luar rumah pada malam hari.

Kata kunci: malaria, prevalensi, vektor, Bangka Barat.

Page 19: aspirator vol.1 2012

19

Roy Nusa R.E.S., 2012. Prevalensi Malaria dan Keberadaan Vektor....

PENDAHULUAN

Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi tingginya angka kematian bayi, balita, dan ibu hamil. Setiap tahun lebih dari 500 juta penduduk dunia terinfeksi malaria dan lebih dari satu juta orang meninggal dunia. Kasus terbanyak terdapat di Afrika, beberapa negara Asia, Amerika Latin, Timur Tengah, dan beberapa bagian negara Eropa1.

Indonesia merupakan salah satu negara yang masih berisiko terhadap malaria. Menurut perhitungan para ahli ekonomi kesehatan, dengan jumlah kasus malaria di Indonesia dapat menimbulkan kerugian ekonomi mencapai sekitar 3 triliun rupiah lebih setiap tahun.2 Kerugian ini sangat berpengaruh terhadap pendapatan daerah. Selanjutnya penularan malaria sangat terkait dengan iklim yang bersifat lokal spesifik. Pergantian musim berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap vektor pembawa penyakit. Kondisi lingkungan mempunyai dampak langsung pada reproduksi vektor, perkembangannya, umur relatif populasi dan perkembangan parasit dalam tubuh vektor dan pergantian vegetasi dan pola tanam pertanian juga mempengaruhi kepadatan populasi vektor 3.

Untuk mengatasi masalah malaria, dalam pertemuan WHO tanggal 18 Mei 2007 telah dihasilkan komitmen global tentang eliminasi malaria bagi setiap

negara4. Petunjuk pelaksanaan eliminasi malaria tersebut telah dirumuskan oleh WHO dalam Global Malaria Programme5. Sejalan dengan rencana eliminasi malaria, Presiden RI pada peringatan Hari Malaria Sedunia Pertama pada tanggal 25 April 2008 menginstruksikan untuk terus meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan terhadap malaria. Untuk merespon perkembangan yang ada dilakukan kebijakan sebagaimana tertuang dalam Kepmenkes 293/MENKES/SK/IV/2009 yaitu pedoman eliminasi malaria di Indonesia, bahwa tujuan eliminasi malaria yaitu terwujudnya masyarakat yang hidup sehat dan terbebas dari penularan malaria secara bertahap hingga tahun 2030 6.

Untuk mengetahui besaran masalah di daerah tersebut telah dilakukan pengukuran prevalensi malaria dan keberadaan vektornya untuk mendukung berbagai upaya telah dan sedang dilakukan, Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat prevalensi malaria sebagai indikator kegiatan intensifikasi pengendalian malaria.

BAHAN DAN METODE

Penentuan endemisitas malaria dilakukan dengan pemeriksaan sedian darah pada kelompok anak usia kurang dari umur 10 tahun7. Pemeriksaan sedian darah dilakukan pada tanggal 24-30 November 2010 yang dilakukan pada Seluruh penduduk di lokasi survai dilakukan pemeriksaan darah jari secara

Page 20: aspirator vol.1 2012

20

Aspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

mikroskopis berupa sediaan darah tebal. Pemeriksaan ini dilakukan oleh 1 orang tenaga mikroskopis yang berpengalaman, 1 orang pembantu mikroskopis, 1 orang paramedis dan 1 orang pembantu pengobatan.

Pengumpulan nyamuk tersangka vektor dilakukan dengan metode human landing di dalam dan di luar rumah selama 12 jam mulai pukul 18.00 sampai 06.00 selama tiga malam berturut-turut. Pengumpulan nyamuk di luar rumah dilakukan menjauhi pintu rumah dan tidak berada di dalam ruangan. Pengumpulan nyamuk di dalam rumah dilakukan di dalam ruangan pada bangunan rumah. Setiap jam penangkapan di dalam dan di luar rumah dilakukan masing-masing oleh tiga orang kolektor menggunakan alat penyedot nyamuk (aspirator). Nyamuk yang tertangkap diidentifikasi menggunakan kunci identifikasi nyamuk Anopheles spp. di Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI.8 Hasil pemeriksaan sediaan darah dianalisis untuk memperoleh informasi

mengenai angka Parasite Rate (PR%), proporsi sediaan darah (SD) positif, proporsi gametosit terhadap SD positif dan dugaan besaran prevalensi malarianya.

HASIL

Persentase SD diambil dibanding jumlah penduduk yang ada di desa/dusun/kampung mencapai 428 orang (16,9%) dari jumlah penduduk desa sebanyak 2.529 jiwa. Persentase penduduk yang diperiksa tampak rendah jika dibanding jumlah penduduk desa. Fakta yang diperoleh bahwa sudah semua penduduk yang ada sudah diperiksa. Namun diduga karena mobilitas warga, maka banyak warga sedang tidak berada di lokasi. Selanjutnya persentase SD positif dibanding SD diambil/diperiksa mencapai 4,21% dimana jumlah SD positif sebanyak 18 dari 428 SD. Persentase Gametosit dibanding SD positif mencapai 18,75 % dimana dari 18 SD positif 3 diantaranya terdapat gametosit. Hasil pemerisaan SD yang terperinci disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil Pemeriksaan Sedian Darah Tebal di Dusun Pala Desa Teluk Limau Kecamatan Jebus Kabupaten Bangka Barat pada November 2010

Golongan Umur

SD di-periksa Positif PR

(%) Pf & Mix PF.Pf (%)

Gametosit Positif

Gamet +SD +

0 – 9 tahun 143 7 4,90 7 100,00 2 0,28

10 – 14 tahun 58 4 6,90 4 100,00 1 0,25

≥ 15 tahun 227 7 3,08 6 85,71 0 0

Jumlah 428 18 4,21 16 88,89 3 0,18

Page 21: aspirator vol.1 2012

21

Roy Nusa R.E.S., 2012. Prevalensi Malaria dan Keberadaan Vektor....

Pada umumnya lokasi endemis malaria adalah desa-desa terpencil, sarana transportasi dan komunikasi sulit, akses pelayanan kesehatan kurang, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi masyarakat yang rendah, serta perilaku hidup sehat yang kurang. Kiranya kondisi ini tidak selalu identik dengan keadaan lokasi penelitian yang merupakan daerah tujuan pekerja musiman dari banyak daerah lain di Indonesia, sehingga berpotensi sebagai sumber agen. Demikianlah kondisi lokasi kegiatan dilaksanakan di Dusun Pala Desa Teluk Limau Kecamatan Jebus Kabupaten Bangka Barat Provinsi Bangka Belitung. Lokasi survai berjarak kurang lebih 200 km dari ibu kota provinsi dan sekitar 100 km dari ibu kota kabupaten. Dusun Pala merupakan kawasan pantai yang sebagian penduduknya adalah pendatang dengan mata pencaharian sebagai penambang timah. Penduduk yang menetap selain beraktifitas terkait tambang timah juga sebagai nelayan dan berkebun, terutama kelapa.9

PEMBAHASAN

Gambaran masalah yang tampak adalah angka parasite rate (PR) semua umur hasil pemeriksaan SD mencapai 4,21%. Sedangkan parasit formula (PF) P. falciparum tetap dominan, yaitu mencapai 88,89%. Ditemukan juga gametosit po-sitif pada 3 SD dari 18 SD yang positif, sehingga gametosit rate mencapai 18,75%.

Berdasarkan pendekatan kapasitas vektor dari Onori dan Grab (1980), dijelaskan semakin besar angka gametosit rate mampu memperbesar peluang adanya penularan malaria di suatu wilayah.10

Selanjutnya untuk menentukan angka prevalensi mengacu kepada parasit rate usia 0-9 tahun yang mencapai 4,9%. Angka ini tergolong endemis malaria rendah jika di bandingkan hasil Simon dkk (2007) yang menjelaskan wilayah stabil transmisi P. falsiparum di kawasan Asia Tengah dan Tenggara memiliki sifat endemisitas malaria rendah pada PR≤5%.11

Selama penangkapan nyamuk dite-mukan dua spesies nyamuk Anopheles spp., yaitu An. sundaicus dan An. letifer. Spesies yang relatif sama pada lingkungan pantai ini juga ditemukan di Lampung.12 Jumlah nyamuk yang ditemukan selama 12 jam penangkapan relatif sedikit, masing-masing An. sundaicus di dalam rumah tidak ada, An. sundaicus di luar rumah 5 ekor, An. letifer di dalam rumah 3 ekor dan An. letifer di luar rumah sebanyak 8 ekor. Secara umum terlihat bahwa nyamuk paling banyak tertangkap pada pukul 01.00–02.00 yang terdiri dari 0,17 nyamuk/orang/jam dari An. sundaicus di luar rumah, 0,17 nyamuk/orang/jam dari An. letifer di dalam rumah dan 0,50 nyamuk/orang/jam dari An. letifer di luar rumah. Selanjutnya besaran kepadatan nyamuk tertangkap antarspesies, metode dan waktu penangkapan disajikan pada Tabel 2.

Page 22: aspirator vol.1 2012

22

Aspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

Tabel 2 Besaran Kepadatan Nyamuk Tertangkap Antarspesies, Metode, dan Waktu Penangkapan di Dusun Pala Desa Teluk Limau Kecamatan Jebus Kabupaten Bangka Barat pada November 2010

Waktu An. sundaicus An. letiferDalam Luar Dalam Luar

18.00 – 19.00 - - - -19.00 – 20.00 - - - 0,1720.00 – 21.00 - - 0,17 -21.00 – 22.00 - 0,17 0,17 0,1722.00 – 23.00 - - - -23.00 – 24.00 - 0,17 - 0,3324.00 – 01.00 - - - -01.00 – 02.00 - 0,17 0,17 0,5002.00 – 03.00 - 0,33 - -03.00 - 04.00 - - - 0,1704.00 - 05.00 - - - -05.00 – 06.00 - - - -

Total - 0,07 0,04 0,11

Ada kemungkinan saat pengumpulan data dilakukan kondisi lingkungan se-dang tidak mendukung berkembangnya populasi Anopheles spp. yang ada ditempat tersebut. Menurut Yotopranoto et al. (1995) keberadaan spesies antara areal geografis dan musim yang satu dengan lainnya adalah berbeda-beda.13 Keberadaan An. Sundaicus di lokasi ini kiranya perlu mendapat perhatian khusus, karena ditempat lain spesies telah dinyatakan sebagai vektor malaria.14,15,16

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari kegiatan survai ini adalah masih terdapat potensi transmisi malaria di lokasi survai. Hal ini diindikasikan oleh keberadaan tersangka vektor dan

gametosit pada manusia. Meskipun saat survai nyamuk yang berpotensi sebagai vektor sangat sedikit ditemukan, namun terdapat kemungkinan jika kondisi sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan vektor maka jumlahnya akan melimpah. Mencermati kondisi diatas dan riwayat kejadian malaria dimasa yang lalu, kiranya perlu selalu dilakukan pemantauan yang sistematis dan berkelanjutan untuk kewaspadaan peningkatan kasus malaria agar tidak mengarah kepada out break malaria atau kondisi yang lebih berat.

Untuk menurunkan angka perlu dilakukan upaya antara lain dilakukan kegiatan penemuan dan pengobatan penderita yang lebih intensif di unit pelayanan kesehatan yang ada, serta memperluas cakupan kegiatan tersebut

Page 23: aspirator vol.1 2012

23

Roy Nusa R.E.S., 2012. Prevalensi Malaria dan Keberadaan Vektor....

dengan melibatkan bidan desa, balai pengobatan swasta, dan tenaga kader yang terlatih. Selanjutnya, bila memungkinkan, dilakukan pembagian kelambu ber-insektisida secara masal, sehingga semua penduduk di lokasi dapat tidur malam hari dalam kelambu berinsektisida dan anjuran agar penduduk tidak terlalu sering berada di luar rumah malam hari.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pelaksanaan penelitian ini sangat tergantung kepada kemurahan hati dari banyak pihak mulai dari Global Fund sebagai lembaga donor melalui Departemen Kesehatan RI sampai para tenaga pengumpul data masyarakat Desa Teluk Limau pada umumnya. Dua nama yang harus disebut adalah Indra AMK. dan dra. Marvel Renny yang senantiasa seiring sejalan mendukung dan membantu tiada lelah kegiatan selama pengumpulan

data.

DAFTAR PUSTAKA1. ______. Bersama Kita Berantas

Malaria. http://www.dinkesjambikota.go.id. Tanggak akses 10/11/2010.

2. ______. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 293/Menkes/SK/IV/2009 Tentang Eliminasi Malaria di Indonesia. Jakarta 2009.

3. Eli Winandi, Faktor-faktor yang Berhu-bungan dengan Kejadian Malaria di Kecamatan Selebar Kota Bengkulu, Tesis, Universitas Indonesia, 2004.

4. ______. Resolutions and Decisions Annexes. Sixtieth World Health Assembly. Geneva, 14–23 MAY 2007. Geneva. 2007

5. ______. Malaria Case Management Operations Manual. World Health Organization 2009

6. ______. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 293/Menkes/SK/IV/2009 Tentang Eliminasi Malaria di Indonesia. Jakarta 2009.

7 Utami, B.S., Sururi, M., tuti, S., dkk. Penggunaan imunochromatographic test (ICT NOW ®) sebagai peringkat diagnosis malaria di Kabupaten Purworejo. Media penelitian dan pengembangan kesehatan. 2006. XVI. 1-7.

8. O’Connor, CT, Soepanto A. 1979. Kunci bergambar Anopheles di Indonesia, Departemen Kesehatan RI. 2000.

9. Komunikasi pribadi dengan Kepala Dusun Pala. November 2010. Karena data demografi Dusun Pala yang kurang memadai.

10. Onori E. dan B. Grab. 1980. Indicators for the forcasting of malaria epidemics. Bulletin WHO, 58 (1) : 91-98.

11. Simon I.H., Carlos A.G., Peter W.G., dkk. Peta Malaria Dunia: Endemisitas Plasmodium falsiparum tahun 2007.

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CFQQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.plosmedicine.org%2Farticle%2FfetchSingleRepresentation.action%3Furi%3Dinfo%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pmed.1000048.s d 0 0 3 & e i = P L - o T 7 P n C c f w r Q e _XdAQ&usg=AFQjCNGdFgzVt0-q l x O 2 -dmCdjWPX3AyZA&sig2=eOnr_duah9wsmTOAiz2lZQ.

Page 24: aspirator vol.1 2012

24

Aspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

12. Idram-Idris NS., Sudomo M, Sujitno. 1999. Fauna Anopheles di derah Pantai Hutan Mangrove Kec. Padang Cermin Lampung Selatan. Bul. Penel. Kes. 26 (1):3-14.

13. Yotopranoto S, Bendryman SS, Mahfudz, Dachlan YP. 1995 Fauna Nyamuk Anopheles di Daerah Endemik Malaria di Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. NTB. Maj. Kedok. Trop. Indon. 8 (1– 2): 15-35.

14. Hiswani. Gambaran Penyakit dan Vektor Malaria di Indonesia. 2004

Digitized by USU digital library. Hal-4. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3760/1/fkm-hiswani11.pdf. diakses 15 mei 2012.

15. Loka P2B2 Waikabubak. Studi Kebijakan Dinamika Penularan Malaria di kecamatan Wanokaka Kabupaten Sumba Barat. JKPKBPPK. 2011

16. Depkes RI (1985). Vektor Malaria di Indonesia. Ditjen PPM & PL.

Page 25: aspirator vol.1 2012

25

DAYA LARVASIDA EKSTRAK BIJI SRIKAYA (ANNONA SQUAMOSA) DENGAN RENTANG WAKTU

PENYIMPANAN YANG BERBEDA TERHADAP LARVA CULEX QUINQUEFASCIATUS

Effectivity of Sugar-Apple (Annona squamosa) Seed Extract with a Different Length of Storage Against Culex quinquefasciatus Larvae

Wisnu Satria A.K1, Heni Prasetyowati2

Abstract. Synthetic insecticide have been used to control Culex quinquiefasciatus, but the prolonged usage of synthetic insecticide has a bad impact on the environment and may caused resistance. Sugar apple’s (Annona squamosa) seeds which contain alkaloid can be used as an alternative insecticide that was safe for environment. This research aims is to know the effect of sugar apple’s seeds with different length of storage as C. quinquefasciatus larvacide. This research was an experimental study with a randomized controlled trial group design approach. The test material was an extract of sugar apple’s seeds which have been kept for 0, 1, 2, and 3 week with LC50 (0,47 ppm) was used. Each treatment used 25 C. quinquefasciatus larvae from third instar larvae stage and replicated five times. After exposed for 24 hours, dead larvae counted. The result confirmed that the extract of sugar apple’s seeds which has been stored in 0, 1, 2, and 3 week did not showed any significant different on larvae mortality. Extract of sugar apple’s seeds which have been stored in 0, 1, 2, and 3 week have an equal activity as Culex quinquefasciatus larvicide.

Key Word: Sugar apple (Annona squamosa), seeds, larvicide, Culex quinquefasciatus, length of storage

Abstrak. Insektisida sintetik telah banyak digunakan untuk mengontrol Culex quinquiefasciatus, tetapi penggunaan insektisida sinteti terus menerus berdampak buruk terhadap lingkungan dan mengakibatkan resistensi. Fakta ini menjadi alasan biji srikaya (Annona squamosa) yang mengandung alkaloid digunakan sebagai insektisida alternatif yang aman bagi lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh biji srikaya dengan perbedaan lama penyimpanan terhadap larva C. quinquefasciatus. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain rancangan acak kelompok. Bahan uji adalah ekstrak biji srikaya yang telah disimpan selama 0,1,2, dan 3 minggu. Sampel penelitian ini adalah larva instar ketiga C. quinquefasciatus, dan setiap perlakuan menggunakan 25 ekor larva. Sampel dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan perbedaan lama penyimpanan dan satu kelompok kontrol, dengan 5 ulangan untuk masing-masing kelompok. Konsentrasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,47 ppm (LC50). Setelah 24 jam, larva yang mati dihitung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak biji srikaya yang yang telah disimpan dalam 0, 1, 2, dan 3 minggu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam mortalitas larva. Ekstrak srikaya yang telah disimpan dalam 0, 1, 2, dan 3 minggu memiliki aktivitas yang sama sebagai larvisida terhadap larva C. quinquefasciatus.

Kata kunci : Srikaya (Annona squamosa), biji, larvasida, Culex quinquefasciatus, lama penyimpanan

Naskah masuk: 19 Maret 2012 | Review 1: 5 Juni 2012 | Review 2: 20 Juni 2012 | Naskah layak terbit: 25 Juni 2012

1. Fakultas Kedokteran, Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto Indonesia. Alamat koresponden: Email: [email protected]

2. Loka Penelitian dan Pengembangan Penyakit Bersumber Binatang. Pangandaran Kab. Ciamis 46396, Indonesia. Alamat koresponden: Email: [email protected]

Page 26: aspirator vol.1 2012

26

Wisnu Satria A.K. dan Heni Prasetyowati., 2012. Daya Larvasida Ekstrak Biji Srikaya....Aspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

insektisida6. Alkaloid merupakan metabolit sekunder tanaman yang mampu menyebabkan kematian serangga melalui mekanisme racun kontak dan racun perut dan mudah mengalami penguraian jika disimpan dalam waktu lama7.

Kriteria insektisida yang baik selain aman, selektif, mudah didegradasi juga harus ekonomis. Insektisida yang dapat disimpan lama tanpa mengalami penurunan efektifitas akan memiliki nilai ekonomis8. Ekstrak biji srikaya yang disimpan dengan rentang waktu yang berbeda tidak menunjukkan perubahan daya larvasida pada larva A. aegypti 9, namun penelitian yang serupa belum dilakukan pada larva C. quinquefasciatus yang merupakan vektor filariasis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui daya larvasida ekstrak biji srikaya (Annona squamosa) dengan rentang waktu penyimpanan yang berbeda terhadap larva Culex quinquefasciatus.

Sebelumnya, Angkat 9 melakukan uji daya larvasida ekstrak biji Annona squamosa Linn (Srikaya) terhadap Aedes aegypti dengan beda rentang waktu penyimpanan ekstrak. Berdasarkan pe-nelitian tersebut, kisaran lama waktu penyimpanan bahan uji yang diteliti adalah 0 minggu, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu dengan jumlah 25 sampel. Setiap sampel berisi 25 ekor larva. Sampel tersebut terbagi secara random menjadi 4 kelompok lama waktu penyimpanan dan 1 kelompok kontrol. Setiap kelompok dilakukan 5 kali replikasi. Besar konsentrasi yang

PENDAHULUAN

Nyamuk Culex quinquefasciatus merupakan vektor utama filariasis dan memiliki peran besar dalam penyebaran penyakit tersebut di Indonesia. Filariasis dapat mengganggu produktivitas kerja karena menyebabkan kecacatan. Daerah endemis filariasis di Indonesia antara lain Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku dan Irian Jaya1. Banyaknya daerah di Indonesia yang endemik filariasis mendorong pemerintah Indonesia untuk mengadakan program eliminasi filariasis dan menetapkannya sebagai salah satu prioritas dalam program kesehatan pada tahun 20022.

Upaya pengendalian vektor nyamuk telah lama dilakukan, dan hampir semuanya menggunakan insektisida sin-tetis semenjak diperkenalkannya DDT pada tahun 19403. Penggunaan insektisida sintetis yang semakin meningkat beberapa dekade terakhir mengakibatkan kerugian seperti efek letal terhadap populasi non target, timbulnya resistensi pada insekta sasaran, serta residu sisa insektisida yang dapat mencemari lingkungan4. Hal ini mendorong para peneliti untuk mencari alternatif pengendalian vektor menggunakan bahan alami dari tumbuhan yang dinilai tidak mudah menyebabkan resisten pada nyamuk dan lebih berwawasan lingkungan5.

Srikaya (Annona squamosa) meru-pakan tanaman yang memiliki daya insektisida. Tanaman ini mengandung alkaloid yang berfungsi sebagai

Page 27: aspirator vol.1 2012

27

Wisnu Satria A.K. dan Heni Prasetyowati., 2012. Daya Larvasida Ekstrak Biji Srikaya....

dicobakan dalam penelitian ini sebesar 0,47 ppm, yang didapatkan dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Indrawati 10. Konsentasi sebesar 0,47 ppm ini merupakan konsentrasi 50% (LC50) pada 24 jam setelah perlakuan. Mortalitas larva Culex quinquefasciatus dihitung 24 jam setelah perlakuan untuk mengamati toksisitas akut biji srikaya11.

BAHAN DAN CARA KERJA

Penelitian yang dilakukan meru-pakan penelitian eksperimental labora-torium dengan mengamati secara langsung dan menghitung jumlah larva instar III C. quinquefasciatus yang mati setelah 24 jam dipapar dengan ekstrak biji srikaya yang telah disimpan dalam rentang waktu penyimpanan 0 minggu, 1 minggu, 2 minggu, dan 3 minggu. Rancangan penelitian mengguna-kan Rancangan Acak Lengkap.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Larva C. quinquefasciatus instar III hasil kolonisasi Laboratorium Entomologi P2B2 Ciamis. Selain itu digunakan ekstrak biji srikaya yang telah disimpan dengan lama waktu penyimpanan 0 minggu, 1 minggu, 2 minggu, dan 3 minggu. Tindakan ekstraksi biji srikaya dilakukan di LPPT UGM Yogyakarta.

Ekstrak biji srikaya hasil ekstraksi LPPT UGM Yogyakarta dengan konsentrasi 235 ppm (konsentrasi induk) yang sudah disimpan selama 0 minggu

(A), 1 minggu (B), 2 minggu (C), dan 3 minggu (D) dimasukkan ke masing-masing mangkuk yang berisi 249 ml air sumur sehingga konsentrasi menjadi 0,47 ppm (LC50). Mangkuk kontrol (E) diisikan akuades. Selanjutnya sebanyak 25 larva C. quinquefasciatus instar III dimasukkan ke masing-masing mangkuk. Masing-masing perlakuan memiliki 5 replikat. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam untuk menghitung jumlah larva C. quinquefasciatus yang mati. Mortalitas larva dihitung 24 jam setelah perlakuan.Persentase mortalitas larva dihitung dengan cara membagi jumlah larva yang mati pada saat diperiksa dengan jumlah larva yang hidup sebelum perlakuan dan dikalikan 100%. Jika angka kematian pada kelompok kontrol sebesar 5% - 9%11 persentase mortalitas larva dihitung dengan formula Abbot.

HASIL

Hasil pengujian efektifitas ekstrak biji srikaya dengan rentang waktu penyimpanan yang berbeda, didapatkan rerata kematian larva C. quinquefasciatus setelah 24 jam paparan sebagai berikut: pemberian ekstrak biji srikaya yang disimpan selama 0 minggu diperoleh rerata kematian larva sebesar 12,8 ekor; 1 minggu sebesar 12 ekor; 2 minggu sebesar 11,6 ekor; dan 3 minggu sebesar 11,6 ekor. Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan rerata kematian larva C. quinquefasciatus. Kematian

Page 28: aspirator vol.1 2012

28

Wisnu Satria A.K. dan Heni Prasetyowati., 2012. Daya Larvasida Ekstrak Biji Srikaya....Aspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

larva yang terjadi adalah berkisar 50%, hasil ini sesuai karena konsentrasi ekstrak biji srikaya yang digunakan adalah LC50.

Pemberian ekstrak biji srikaya yang disimpan selama 0 minggu diperoleh persentase kematian larva sebesar 51,2%; 1 minggu sebesar 48%; 2 minggu sebesar 46,4%; dan 3 minggu sebesar 46,4%. Terhadap hasil penelitian ini selanjutnya dilakukan analisis data menggunakan analisis variansi satu jalan. Dari hasil analisis variansi satu jalan didapatkan nilai P (probabilitas) sebesar 0,068 (P>0,05). Hal ini mengandung arti bahwa ekstrak yang disimpan selama 0, 1, 2 dan 3 minggu tidak mengakibatkan perbedaan kematian larva Culex quinquefasciatus secara bermakna. Pada kelompok kontrol diperoleh kematian kurang dari 5% sehingga tidak perlu dikoreksi dengan

formula Abbot. Hal ini menunjukkan kematian yang terjadi pada kelompok perlakuan adalah akibat dari perlakuan yang diberikan dan bukan dari faktor lain di luar perlakuan.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian didapatkan bahwa tidak ada perbedaan daya larvasida ekstrak biji A. squamosa yang disimpan 0 minggu, 1 minggu, 2 minggu, dan 3 minggu terhadap kematian larva C. quinquefasciatus instar III. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Angkat 9 tentang efektifitas ekstrak biji srikaya terhadap A. aegypti dalam

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Persentase rerata kematian larva C. quinquefasciatus setelah 24 jam dipapar eks-trak biji A. squamosa dengan rentang waktu penyimpanan yang berbeda

Page 29: aspirator vol.1 2012

29

Wisnu Satria A.K. dan Heni Prasetyowati., 2012. Daya Larvasida Ekstrak Biji Srikaya....

beda rentang waktu penyimpanan ekstrak. Pernyataan dari Lenny 12, pada penelitiannya didapatkan hasil bahwa faktor lama waktu penyimpanan tidak mempengaruhi daya larvasida ekstrak biji srikaya. Hal ini mungkin disebabkan karena faktor-faktor yang dapat menyebabkan kerusakan alkaloid dapat diminimalisir selama proses penyimpanan dalam ruang pendingin, sehingga selama ekstrak disimpan tidak terjadi dekomposisi oleh faktor-faktor tersebut. Hasil ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa penurunan suhu suatu zat dapat mempertahankan kestabilan zat tersebut13. Penyimpanan dalam ruang pendingin dapat meminimalisir paparan sinar dan panas terhadap ekstrak biji srikaya sehingga dapat mencegah atau mengurangi terjadinya dekomposisi komponen alkaloid dari biji srikaya.

Kestabilan ekstrak biji srikaya selama penyimpanan pada penelitian ini menyebabkan kadar zat-zat dalam ekstrak termasuk juga alkaloid dalam keadaan terjaga. Alkaloid yang dipaparkan pada larva C. quinquefasciatus dalam keadaan stabil sehingga mampu masuk ke dalam tubuh larva melalui kulit maupun melalui jalur pencernaan. Zat ini kemudian melalui kulit dan perut masuk ke dalam tubuh larva dan kemudian mengganggu kerja sistem saraf. Alkaloid bekerja sebagai penghambat asetilkolinesterase. Alkaloid menyebabkan asetilkolin gagal dipecah sehingga terjadi penumpukan asetilkolin dalam tubuh larva C. quinquefasciatus.

Penumpukan asetilkolin ini menyebabkan larva C. quinquefasciatus mengalami kematian. Alkaloid dalam ekstrak biji srikaya yang disimpan selama 0, 1, 2, dan 3 minggu pada penelitian ini tidak mengalami kerusakan sehingga memiliki daya bunuh yang sama terhadap larva instar III C. quinquefasciatus.7

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ekstrak biji srikaya yang disimpan dalam ruang pendingin bersuhu 150C selama 0, 1, 2, dan 3 minggu menunjukkan kandungan alkaloid dalam ekstrak biji srikaya dalam keadaan stabil. Akibatnya meskipun ekstrak biji srikaya disimpan dalam lama waktu penyimpanan yang berbeda yaitu 0, 1, 2 ,dan 3 minggu tetap memiliki daya bunuh yang sama terhadap larva instar III Culex quinquefasciatus.

KESIMPULAN DAN SARAN

Ekstrak biji srikaya (Annona squamosa) yang disimpan dalam ruang pendingin bersuhu 150C selama 0, 1, 2, dan 3 minggu serta tetap memiliki daya larvasida yang sama terhadap larva Culex quinquefasciatus. Mengingat lama penyimpanan sampai 3 minggu tidak berpengaruh besar terhadap daya larvasida Ekstrak biji srikaya (Annona squamosa) maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui berapa minggu ekstrak biji srikaya (Annona squamosa) yang masih efektif sebagai larvasida.

Page 30: aspirator vol.1 2012

30

Aspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

DAFTAR PUSTAKA1. Oemijati, S. dan A. Kurniawan. 2003.

Epidemiologi Filariasis. Dalam: S. Gandahusada, H.H. Illahude, dan W. Pribadi (Eds). Parasitologi Kedokteran. 3rd ed. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hal. 42-43.

2. Ambarita, L. P. dan H. Sitorus. 2006. Studi Komunitas Nyamuk di Desa Sebubus (Daerah Endemis Filariasis), Sumatera Selatan Tahun 2004. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 5 (1): 368-375

3. Tren R., and R. Bate. 2004. South Africa’s War against Malaria Lessons for the Developing World. Policy Analisis Vol. 513 : 16.

4. Singh, R. N., M. Maheshwari dan B. Saratchandra. 2004. Sampling, Surveillance and Forecasting of Insect Population for Integrated Pest Manage-ment in Sericulture. International Journal of Industrial Entomology Vol. 8: 17 –26.

5. Widyastuti, Umi, Riyani Setiyaningsih, dan Mujiyono. 2004. Efikasi Bacillus sphaericus (Veltolex WDG) Terhadap Jentik Anopheles maculatus Dan Dampak Perkembangan Stadium Dewasanya. Buletin Penelitian Kesehatan Vol. 32 (4) : 150-162..

6. Mittal, P.K. 2003. Prospect of Using Herbal Products in The Control of Mosquito Vectors. Indian Council of Medical Research Bulletin Vol. 33 (1): 1-12.

7. Cloyd, R. A. 2004. Natural Indeed: Are Natural Insecticides Safer and Better Than Conventional Insecticides? Illinois Pesticide Review Vol. 17 (3) : 1-8.

8. Siregar, A. Z. 2008. Insektisida ... Perlukah?. USU Repository. 7 Hal.

9. Angkat, M. S. 1997. Uji Laboratorium Daya Larvasida Ekstrak Biji Annona squamosa Linn (Srikaya) Terhadap Aedes aegypti Dalam Beda Rentang Waktu Penyimpanan Ekstrak. Skripsi. Fakultas Kedokteran. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 40 hal. (Tidak dipublikasikan).

10. Indrawati, N. R. 1997. Daya Larvasida Ekstrak Biji Annona squamosa (Srikaya) Terhadap Culex quinquefasciatus Di Laboratorium. Skripsi. Fakultas Kedokteran. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 42 hal. (Tidak dipublikasikan).

11. Umniyati, S. R. 1990. Analisis Probit Secara Aritmatis untuk Pengujian Toksisitas Insektisida terhadap Serangga. Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 12 hal.

12. Lenny, S. 2006. Senyawa Flavonoid, Fenilpropanoida dan Alkaloida. Skripsi. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Selatan, Medan. 25 hal. (Tidak dipublikasikan).

13. Connors, K.A, G. Amidon, V.J. Stella. 1992. Stabilitas Kimiawi Sediaan Farmasi. Edisi 2. IKIP Semarang Press, Semarang. 189 hal.

Page 31: aspirator vol.1 2012

31

UJI EFEKTIVITAS DAN TINGKAT PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP SERBUK LADA (PIPER NIGRUM L.) UNTUK MENURUNKAN KEPADATAN LARVA ANOPHELES SPP. (STUDI KASUS DI BLOK KARANGTIRTA DUSUN CIPARI DESA SUKARESIK KECAMATAN SIDAMULIH KABUPATEN CIAMIS)

Effectiveness and Public Acceptance Rate of Powder Pepper (Piper nigrum L.) to Decrease Density of Anopheles spp. Larvae

(Case Studies In Block Karangtirta Cipari Hamlet Village District Sukaresik Sidamulih Ciamis District)

Fauziani Octoriani S1, Andri Ruliansyah2

Abstracts. Pepper fruit (Piper nigrum L) is one of several pesticides from plant that can be used as insecticide. The purpose of this study was to identify the effectiveness and public acceptance of pepper fruit powder (Piper nigrum L.) on reducing Anopheles spp. larvae density. The experiment was a quasi-experimental study which includes a pre-post test design with both treatment group and a control group. Pepper powder with a dose of 0.75 g in one litre of water kills 59.91% larvae in average through 24 hours treatment. Wilcoxon test results obtained from the pepper powder treatment was proved effective in decreasing the density of Anopheles spp. larvae since there was significant difference between before and after treatment. The result of public acceptance for pepper powder out of 20 respondents are 75% respondents accepted it well, 15% respondents accepted it fairly well, and 10 % respondents accepted it poorly. These results showed pepper fruit powder potency as a good and accepted larvacide.

Key Words: Anopheles spp., Pepper Powder (Piper nigrum L.), Larvicide

Intisari. Buah lada (Piper nigrum L.) merupakan satu pestisida tumbuhan yang bisa digunakan sebagai insektisida. Tujuan dari penelitian ini adalah menguji efektivitas serbuk lada dan mengetahui penerimaan masyarakat terhadap serbuk lada (Piper nigrum L.) untuk menurunkan kepadatan larva nyamuk Anopheles spp. Jenis penelitian yang dilakukan adalah kuasi-eksperimen dengan pre and post test with control design. Hasil pengujian serbuk lada dengan dosis 0,75 g/lt air dapat membunuh larva rata – rata sebesar 59,91 % selama 24 jam perlakuan. Dari hasil uji Wilcoxon didapat bahwa serbuk lada ini efektif dalam menurunkan kepadatan larva Anopheles spp. karena terdapat perbedaan yang nyata antara sebelum dan sesudah perlakuan. Berdasarkan analisis statistik uji khi-kuadrat pada tingkat penerimaan masyarakat terhadap serbuk lada ini, tidak semua masyarakat menerima (H0 ditolak, p-value < 0,05). Dari 20 responden, terdapat 15 responden (75%) menerima baik terhadap serbuk lada ini, 3 responden (15%) menerima dengan kriteria cukup baik, dan 2 responden (10%) menerima dengan kriteria tidak baik. Hasil ini menunjukkan potensi serbuk lada sebagai larvasida yang baik dan diterima masyarakat.

Kata Kunci : Anopheles spp., Serbuk Lada (Piper nigrum L.), Larvasida

Naskah masuk: 15 Mei 2012 | Review 1: 5 Juni 2012 | Review 2: 20 Juni 2012 | Naskah layak terbit: 25 Juni 2012

1. Jurusan Epidemiologi Penyakit Tropis Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Siliwangi Tasikmalaya, Indonesia. Alamat koresponden : email : [email protected]

2. Loka Penelitian dan Pengembangan Penyakit Bersumber Binatang. Pangandaran Kab. Ciamis 46396, Indonesia. Alamat koresponden: email : [email protected]

Page 32: aspirator vol.1 2012

32

Fauziani Octoriani S. dan Andri Ruliansyah., 2012. Uji Efektivitas Serbuk Lada....Aspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

PENDAHULUAN

Penyakit malaria adalah salah satu penyakit menular yang di sebabkan oleh parasit, penularannya melalui gigitan nyamuk Anopheles spp. betina. Penyakit malaria ini akan mengakibatkan kesakitan menahun karena kambuh dan ada juga yang berakibat kematian. Bahkan menurut dr. Arlan di dunia hampir 2 juta orang pertahun meninggal dikarenakan malaria.

Tujuan pemberantasan malaria di banyak negara endemis adalah mencegah kematian karena malaria dan menurunkan kesakitan malaria. Selain penemuan dan pengobatan penderita, pemberantasan malaria juga dilaksanakan dengan pemberantasan vektor yang bertujuan menekan populasi vektor salah satunya adalah membunuh jentik/kegiatan anti larva1.

Kegiatan anti larva dapat di lakukan dengan penggunaan pestisida berupa insektisida yang sering disebut dengan larvasida. Penggunaan larvasida saat ini menggunakan zat kimia yaitu solar, fention, altosid dan lain-lain1. Tetapi kenyataan yang ada sekarang, bahwa pestisida sintesis saat ini mulai kehilangan efektifitasnya, sampai saat ini ratusan spesies serangga telah berkembang menjadi resisten terhadap paling tidak satu jenis pestisida, dalam hal ini pestisida alami yang memiliki cara kerja yang sangat berbeda dengan pestisida sintesis bisa diandalkan untuk mengatasi serangga yang telah kebal terhadap pestisida sintesis. Selain itu dampak negatif dari

pestisida sintesis, yaitu pencemaran air dan tanah, matinya musuh alami dari serangga2.

Buah lada merupakan satu dari beberapa pestisida alami berupa pestisida botani yang bisa di gunakan sebagai insektisida, biji lada bisa digunakan sebagai insektisida yang efektif untuk pengendalian hama gudang2. Berdasarkan hasil penelitian awal yang peneliti lakukan serbuk lada juga efektif digunakan sebagai larvasida nyamuk Anopheles spp., yaitu dosis 0,75 gram dapat mematikan larva nyamuk 50 %.

Buah lada mengandung minyak atsiri sebesar 1% sampai 4% 3. Minyak atsiri dapat bertindak sebagai penolak nyamuk, antibakteri, antijamur, fungisida, antiseptik 1. Selain itu telah ada penelitian-penelitian lain tentang minyak atsiri ini di antaranya penelitian untuk mengetahui sifat larvasida dari minyak atsiri daun jukut terhadap larva Aedes aegypti 4.

Pengaruh minyak yang penting adalah kemampuannya menyumbat lubang masuk udara (spirakel) untuk pernafasan serangga. Serangga akan mati karena gas-gas beracun hasil metabolisme dari dalam tubuhnya tidak dapat dikeluarkan. Arthropoda sangat sensitif terhadap sesuatu yang mengganggu proses respirasi walaupun untuk waktu singkat 2.

Pembuatan larvasida dari lada akan mudah dilakukan oleh masyarakat umum yaitu dengan meracik biji lada ke dalam bentuk serbuk karena tanaman penghasil

Page 33: aspirator vol.1 2012

33

Fauziani Octoriani S. dan Andri Ruliansyah., 2012. Uji Efektivitas Serbuk Lada....

pestisida botani sebenarnya tidak selalu harus diekstraksi tetapi juga bisa diolah menjadi cairan atau dalam bentuk serbuk 2. Hal ini akan menjadi alternatif yang lebih aplikatif jika dilakukan oleh masyarakat. Dalam pelaksanaan pemberantasan vektor dengan membunuh jentik/larva, masyarakat hanya perlu menaburkan serbuk lada tersebut pada tempat perindukan larva.

Penggunaan serbuk lada sebagai larvasida memerlukan partisipasi mas-yarakat untuk keberhasilan program pemberantasan malaria khususnya dae-rah Karangtirta. Daerah ini merupakan daerah dengan banyak kolam-kolam yang terbengkalai sebagai tempat perindukan nyamuk. Selain itu banyak terdapat tempat yang dijadikan tempat perinduk-an nyamuk lainnya, yaitu genangan-genangan air yang pada penelitian ini dijadikan sebagai sampel atau sasaran penelitian. Karena keterbatasan kemampuan dari peneliti maka peneliti mengambil sasaran penelitian hanya pada genangan-genangan air yang dijadikan sebagai tempat perindukan. Tempat perindukan dari vektor penyakit malaria (nyamuk) merupakan faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan kasus malaria.

Masyarakat berperan sebagai sa-rana sekaligus juga sebagai pelaku pembangunan, mempunyai peran pen-ting dalam menentukan upaya kesehatan. Begitu juga dengan penerimaan ma-syarakat terhadap penggunaan serbuk lada sebagai larvasida nyamuk Anopheles

spp. sangat di harapkan, karena dengan diterimanya serbuk lada sebagai larvasida, masyarakat akan mengaplikasikannya secara berkelanjutan sehingga dapat menurunkan kepadatan larva. Diharapkan usaha pemberantasan vektor berupa anti larva ini dapat tercapai sehingga usaha ini akan memicu penurunan angka kesakitan malaria.

BAHAN DAN METODE

Tujuan dari penelitian ini adalah menguji efektivitas serbuk lada dan mengetahui penerimaan masyarakat terhadap serbuk lada (Piper nigrum L.) untuk menurunkan kepadatan larva nyamuk Anopheles spp. di Blok Karangtirta Dusun Cipari Desa Suka-resik Kecamatan Sidamulih Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat.

Kecamatan Sidamulih Kabupaten Ciamis, tepatnya Blok Karangtirta Dusun Cipari merupakan satu daerah endemis yang banyak terdapat tempat-tempat yang dijadikan sebagai tempat perindukan nyamuk. Lada yang dibuat dalam bentuk serbuk dapat dijadikan sebagai larvasida karena lada mengandung minyak atsiri yang dapat menyumbat spirakel serangga. Dosis serbuk lada yang sudah teruji dari penelitian awal yaitu 0,75 gram untuk volume 1 lt air dapat mematikan 50 % larva uji. Akan tetapi, masyarakat belum mengetahui manfaat dari lada sebagai larvasida ini. Lokasi penelitian berada di Blok Karangtirta Dusun Cipari Desa Sukaresik Kecamatan Sidamulih

Page 34: aspirator vol.1 2012

34

Fauziani Octoriani S. dan Andri Ruliansyah., 2012. Uji Efektivitas Serbuk Lada....Aspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat.Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen semu pre and post test with control design.

Populasi dari penelitian ini adalah populasi genangan air yang terdapat di Blok Karangtirta. Adapun sampel adalah 9 tempat perindukan (genangan air) sebagai perlakuan, 1 genangan air untuk kontrol, dan ibu-ibu PKK di Blok Karangtirta Dusun Cipari Desa Sukaresik Kecamatan Sidamulih Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat.

Adapun instrumen penelitian yang digunakan berupa: Gayung sebagai alat Bantu dalam pencidukan larva, Alat penumbukan untuk menumbuk lada, Thermometer untuk mengukur suhu, Indicator universal untuk mengukur PH air, Sling hydrometer sebagai alat untuk mengukur kelembaban serta Kuesioner untuk memperoleh data mengenai aplikasi dan penerimaan masyarakat terhadap serbuk lada (Piper nigrum L.) sebagai larvasida nyamuk Anopheles sp.

Prosedur penelitian meliputi 2 tahap yaitu tahap 1 merupakan tahap persiapan berupa pengurusan surat izin penelitian dari fakultas untuk desa, dusun dan instansi yang terkait dalam penelitian ini. Tahap 2 merupakan tahap pelaksanaan penelitian yang meliputi survei kepa datan larva sebelum dan sesudah uji coba serbuk lada, pembuatan racikan dari lada yang dibuat dalam bentuk serbuk, pemilihan tempat perindukan (genangan air)

sebagai sampel, sosialisasi kepada ibu-ibu PKK Blok Karangtirta Dusun Cipari, pelaksanaan intervensi serbuk lada, Pengamatan efektivitas, serta wawancara dengan responden dengan menggunakan alat bantu kuesioner dan analisis data.

Data yang diperoleh dianalisa menggunakan analisis univariat yaitu dilakukan untuk mendeskripsikan ke-padatan larva sebelum dan sesudah pembubuhan serbuk lada dan meng-gunakan analisis bivariat untuk mendeskripsikan penerimaan masyarakat terhadap serbuk lada.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Uji Efektivitas Serbuk Lada Hasil pengujian serbuk lada dengan dosis 0,75 gr/lt air untuk membunuh larva Anopheles spp. selama 24 jam menunjukkan bahwa dengan dosis 0,75 gr serbuk lada perliter air dapat mematikan larva rata – rata sebesar 59,91 %. Kematian tertinggi dari 9 genangan air yang diberi perlakuan adalah sebesar 76,92 %, didapat dari 10 kali cidukan. Kematian larva ini dapat terjadi karena beberapa faktor, dalam hal ini yaitu pembubuhan serbuk lada yang dapat mematikan larva Anopheles spp. Hal ini dikarenakan lada mengandung minyak atsiri yang berpengaruh pada kematian larva. Minyak atsiri dapat menyumbat pernafasan larva sehingga terjadi penyumbatan spirakel dan pada akhirnya akan terjadi kematian larva.

Page 35: aspirator vol.1 2012

35

Fauziani Octoriani S. dan Andri Ruliansyah., 2012. Uji Efektivitas Serbuk Lada....

Tabel 1 Kebutuhan Serbuk Lada yang Dibubuhkan untuk Sembilan Genangan Air Perlakuan di Blok Karangtirta Dusun Cipari Desa Sukaresik Kecamatan Sidamulih Kabupaten Ciamis.

No Genangan Air Volume (liter) Serbuk Lada (gram)

1 9 6.75

2 192 144

3 693 369,75

4 86.6 64,95

5 75 56,25

6 125 93,75

7 100,0 75

8 160 120

9 372 279

10 (kontrol) 2550 0

Jumlah 4362.6 1209,45

Tabel 2 Kepadatan Larva dari Sepuluh Cidukan Sebelum dan Sesudah Perlakuan Pembubuhan Serbuk Lada di Blok Karangtirta Dusun Cipari Desa Sukaresik Kecamatan Sidamulih Kabupaten Ciamis

No Genangan AirKepadatan Larva per 10 Cidukan Penurunana Jumlah

Larva (%)Sebelum Sesudah

1 27 12 55,55

2 16 5 68,75

3 13 3 76,92

4 11 3 72,72

5 9 4 55,55

6 7 3 57,14

7 14 5 64,29

8 14 4 76,47

9 21 7 66,67

10 (kontrol) 20 19 5,00

Page 36: aspirator vol.1 2012

36

Fauziani Octoriani S. dan Andri Ruliansyah., 2012. Uji Efektivitas Serbuk Lada....Aspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

Dari hasil uji Wilcoxon dida-pat bahwa serbuk lada ini efektif dalam menurunkan kepadatan larva Anopheles spp. karena ada perbedaan yang nyata antara sebelum dan sesudah pembubuhan larva.

2. Penerimaan Masyarakat Problem kesehatan yang muncul pada masyarakat, dalam hal ini penyakit malaria, mendasari perlunya model tingkat kepercayaan atau penerimaan masyarakat. Problem kesehatan ini ditandai oleh kegagalan ma syarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan suatu penyakit. Begitu juga dengan uji efektivitas serbuk lada yang pada akhirnya bertujuan untuk pencegahan penyakit malaria. Penelitian ini juga melihat bagaimana penerimaan masyarakat terhadap larvasida alami yaitu serbuk lada untuk menurunkan kepadatan larva Anopheles spp.

Penerimaan masyarakat ini akan bergantung pada beberapa hal yaitu kerentanan yang dirasakan dengan adanya penyakit malaria, tingkat keparahan penyakit malaria yang dirasakan, manfaat dan rintangan yang dirasakan dengan penggunaan serbuk lada. Beberapa faktor eksternal yang dapat mempengaruhi penerimaan seseorang, misalnya anjuran dari keluarga, teman, dan media juga diamati.

Berdasarkan analisis statistik uji khi-kuadrat, tingkat penerimaan masyarakat terhadap serbuk lada ini tidak semua masyarakat menerima, dengan Ho

ditolak karena p-value < 0,05. Dari 20 responden, 15 responden (75%) menerima baik terhadap serbuk lada ini, 3 responden (15%) menerima dengan kriteria cukup baik, dan 2 responden (10%) menerima dengan kriteria tidak baik.

KESIMPULAN

Hasil pengujian serbuk lada dengan dosis 0,75 gr/lt air untuk mematikan larva Anopheles spp. selama 24 jam menunjukkan bahwa dengan dosis 0,75 gr serbuk lada perliter air dapat mematikan larva rata-rata sebesar 59,91 %. Dari hasil uji wilcoxon didapat bahwa serbuk lada ini efektif dalam menurunkan kepadatan larva Anopheles spp karena ada perbedaan yang nyata antara sebelum dan sesudah pembubuhan larva. Berdasarkan analisis statistik uji chi – square tingkat penerimaan masyarakat terhadap serbuk lada ini tidak semua masyarakat menerima, dengan Ho ditolak karena p-value < 0,05 dan kriteria dari penerimaan 20 responden yaitu 15 responden (75%) menerima baik terhadap serbuk lada ini, 3 responden (15%) menerima dengan kriteria cukup baik dan 2 responden (10%) menerima dengan kriteria tidak baik.

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam kesempatan ini, kami sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya penelitian ini, mulai dari penyusunan

Page 37: aspirator vol.1 2012

37

Fauziani Octoriani S. dan Andri Ruliansyah., 2012. Uji Efektivitas Serbuk Lada....

rencana penelitian, pelaksanaan serta penyusunan naskah artikelnya.

Ucapan terima kasih ini terutama kami sampaikan kepada pihak labo-ratorium Loka Litbang P2B2 Ciamis yang telah memberikan fasilitas dan bimbingannya, civitas academica FKM Universitas Siliwangi serta pihak lain yang telah membantu dan tidak bisa kami sebut satu persatu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Frank, Toksikologi dasar, Asas, organ sasaran, dan penilaian resiko, Universitas Indonesia, Jakarta, 1995.

2. Novizan, Membuat dan memanfaatkan Pestisida Lingkungan, Agrimedia Pustaka, Jakarta, 2002.

3. Prabowo, Malaria mencegah dan mengatasinya, Puspa Swara, Jakarta, 2004.

4. Bubuk abate palsu beredar di Malang, http:// Sinarharapan. co. id.

5. Murti, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1997

6. Agusta, Minyak atsiri tumbuhan tropika Indonesia, ITB, Bandung, 2000.

7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan

Penyahatan Lingkungan Pemukiman (DIT. JEN. PPM dan PLP), Ekologi Vektor dan Beberapa Aspek Perilaku, Jakarta, 1987.

8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Malaria, Program pemberantasan, Jakarta, 1995.

9. Hanafiah, Rancangan percobaan, Teori dan aplikasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

10. Rismunandar, Lada budidaya dan tata niaganya, Penebar Swadaya, Jakarta, 1997.

11. Wirawan, Pestisida dalam program pengendalian hama pemukiman peringkat instar I, Bogor, 10-12 september 2003.

Page 38: aspirator vol.1 2012

Lukman Hakim. dan Asep Jajang Kusnandar., 2012. Hubungan Status Gizi dan Kelompok Umur

38

Aspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

Page 39: aspirator vol.1 2012

39

Lukman Hakim. dan Asep Jajang Kusnandar., 2012. Hubungan Status Gizi dan Kelompok Umur

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN KELOMPOK UMUR DENGAN STATUS INFEKSI VIRUS DENGUE

Lukman Hakim, Asep Jajang Kusnandar

ABSTRACT

Introduction: Transmission of dengue virus is uncertain causing dengue fever in humans because it still depends

on other factors, one of which is the body’s immune system is affected by nutritional status and age. This study

aims to determine the relationship of nutritional status and age of the status of dengue virus infection..

Methods: The study was conducted in Cirebon regency with cross sectional design. The height and weight

was measured and calculated body mass index (BMI), then compared to the BMI table to determine the

nutritional status, the results are grouped into two categories, abnormal and normal. Age groups are

determined based on the interview, then grouped in the <5 years and> 5 years age groups. Further, be

conducted examination of blood samples using a rapid diagnostic test to find out the status of dengue virus

infection. The resulting data, be analyzed to determine the relationship between independent variables

(nutritional status and age group) with the dependent variable (the status of dengue virus infection).

Results: The number of respondents was 200 persons consisting of 86 men and 114 women. Known, respondents

with not mormal nutritional status is 68 respondents (34%) and normal categories was 132 (66%); in age

group <5 years is 193 respondents (96.50%) and age group <5 years is 7 respondents (3.5%). The results of

examination of blood samples showed, positive of dengue virus antibody was 39 respondents (19.50%) and

161 respondents (80.50%) is negative. Bivariate analysis showed the nutritional status and age groups are each

associated with dengue virus infection status, the most influential is the age group.

Conclusion: It was concluded, nutritional status and age group shown to be associated with dengue virus

infection status. Abnormal nutritional status and age group <5 years are a risk factor for the transmission

of dengue virus

Key Words: dengue hemorrhagic fever, nutritional status, age group, the status of dengue virus infection

ABSTRAK

Pendahuluan: Penularan virus dengue tidak pasti menyebabkan DBD pada manusia karena masih tergantung

faktor lain, salah satunya adalah sistem imunitas tubuh yang dipengaruhi oleh status gizi dan umur. Penelitian ini

bertujuan mengetahui hubungan status gizi dan umur terhadap status infeksi virus dengue.

Naskah masuk : 3 mei 2012 ; Review 1 : 6 mei 2012 ; Review 2 : 20 mei 2012 ; Naskah layak terbit : 28 mei 2012

1. Jurusan ???, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Siliwangi Tasikmalaya (kodepos), Indonesia alamat koresponden : Email : [email protected]

2. Loka Penelitian dan Pengembangan Penyakit Bersumber Binatang. Ciamis (kodepos), Indonesia alamat koresponden : Email : [email protected]

Page 40: aspirator vol.1 2012

40

Lukman Hakim. dan Asep Jajang Kusnandar., 2012. Hubungan Status Gizi dan Kelompok UmurAspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

Metode: Penelitian dilakukan di kabupaten Cirebon dengan desain cross sectional. Tinggi dan berat

badan diukur serta dihitung indeks massa tubuh (IMT), selanjutnya dibandingkan dengan tabel IMT untuk

mengetahui status gizi, hasilnya dikelompokkan menjadi dua kategori, tidak normal dan normal. Kelompok

umur ditentukan berdasarkan hasil wawancara, kemudian dikelompokkan pada kelompok umur <5 tahun

dan >5 tahun. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan sampel darah menggunakan rapid diagnostic test untuk

mengetahui status infeksi virus dengue. Data yang dihasilkan, dianalisis untuk mengetahui hubungan

antara variabel independent (status gizi dan kelompok umur) dengan variabel dependent (status infeksi

virus dengue).

Hasil: Jumlah responden adalah 200 orang terdiri dari 86 orang laki-laki dan 114 orang perempuan.

Diketahui responden dengan status gizi tidak normal adalah 68 orang (34%) dan kategori normal adalah

132 orang (66%); dalam kelompok umur <5 tahun adalah 193 orang (96,50%) dan kelompok umur <5 tahun

adalah 7 orang (3,5%). Sedangkan hasil pemeriksaan sampel darah menunjukan responden positif antibodi

virus dengue adalah 39 orang (19,50%) dan 161 orang (80,50%) negatif. Analisis bivariat menunjukkan

status gizi dan kelompok umur masing-masing berhubungan dengan status infeksi virus dengue, yang

paling besar pengaruhnya adalah kelompok umur.

Kesimpulan: Disimpulkan, status gizi dan kelompok umur terbukti berhubungan dengan status infeksi

virus dengue. Status gizi tidak normal dan kelompok umur <5 tahun, menjadi faktor risiko untuk terjadinya

penularan virus dengue.

Kata kunci: demam berdarah dengue, status gizi, kelompok umur, status infeksi virus dengue

PENDAHULUAN

Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk subgenus Stegomya yaitu nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus sebagai vektor primer, sedangkan Ae. polynesiensis, Ae. scutellaris dan Ae. (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder, selain itu terdapat penularan transexsual dari nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan1, juga penularan transovarial dari induk nyamuk ke keturunannya2, juga melalui transfusi darah seperti terjadi di Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari penderita asimptomatik3.

Masa inkubasi extrinsic (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung 8-10 hari, sedangkan inkubasi intrinsic (dalam tubuh manusia) berkisar 4-6 hari dan diikuti dengan respon imun4.

Penelitian di Jepara dan Ujungpandang menunjukkan bahwa nyamuk Aedes spp. berhubungan dengan tinggi rendahnya penularan virus dengue di masyarakat; tetapi penularan tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia karena masih tergantung faktor lain seperti vector capacity, virulensi virus dengue dan imunitas host5. Sistem

Page 41: aspirator vol.1 2012

41

Lukman Hakim. dan Asep Jajang Kusnandar., 2012. Hubungan Status Gizi dan Kelompok Umur

mungkin memberikan gejala demam dengue dengan pathogenesis yang masih belum jelas11. Hipotesis reaksi sekunder heterologous mengatakan bahwa penularan pertama virus dengue (infeksi primer) akan menimbulkan reaksi imunitas, selanjutnya bila mendapat penularan ulang (infeksi sekunder) virus dengue dengan serotipe berbeda, dalam beberapa hari akan mengakibatkan proliferasi limposit dengan menghasilkan immunoglobulin G (IgG) anti virus dengue dan mengakibatkan DBD12.

Kabupaten Cirebon merupakan daerah di Provinsi Jawa Barat dengan angka kesakitan DBD tinggi dan sering mengalami KLB. Jumlah kasus tahun 2007 sebanyak 1.535 orang dengan incidence rate (IR) 0,732‰, tahun 2008 sebanyak 1.523 orang (IR 0,712‰) dan tahun 2009 sebanyak 1.411 orang (IR 0,523‰)13. Hasil penelitian tahun 2008 menunjukkan 10,10% penduduk Kabupaten Cirebon yang dijadikan sampel penelitian, telah tertular virus dengue (positif IgG atau IgG dan IgM)14. Data ini menunjukkan bahwa DBD masih merupakan masalah di Kabupaten Cirebon sehingga perlu dilakukan pengendalian dengan metode yang akurat berdasarkan data faktor penularan. Untuk mengetahui hubungan status gizi dengan penularan virus dengue telah dilakukan penelitian dengan tujuan mengetahui hubungan status gizi dengan keberadaan IgM anti virus dengue.

METODE

Penelitian dilaksanakan di desa

imunitas tubuh memiliki fungsi membantu perbaikan DNA manusia; mencegah penularan penyakit yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, dan organisme lain; juga menghasilkan antibodi (sejenis protein yang disebut immunoglobulin) untuk memerangi serangan bakteri dan virus asing yang masuk ke dalam tubuh6. Imunitas pejamu terhadap penyakit infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah umur dan status gizi6, sedangkan status gizi dipengaruhi oleh keseimbangan asupan dan penyerapan gizi, khususnya zat gizi makro yang berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh7.

Penelitian di Queen Sirikit National Institute of Child Health Thailand menunjukkan, anak-anak kekurangan gizi memiliki risiko lebih rendah untuk tertular virus dengue, tetapi jika mendapatkan penularan berada pada risiko yang lebih tinggi mendapatkan DSS bahkan kematian. Sebaliknya, anak-anak obesitas memiliki risiko lebih tinggi tertular DBD dibandingkan yang status gizi normal8. Laporan lain menyebutkan bahwa orang obesitas mempunyai risiko lebih tinggi mendapatkan DBD dengan komplikasi atau kematian9. Selain itu, telah dikonfirmasi bahwa penderita DBD dengan status gizi baik dan kurang, jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan yang obesitas10.

Ketika virus dengue masuk ke dalam tubuh untuk pertama kalinya, bisa terjadi infeksi pertama yang

Page 42: aspirator vol.1 2012

42

Lukman Hakim. dan Asep Jajang Kusnandar., 2012. Hubungan Status Gizi dan Kelompok UmurAspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

Klayan kecamatan Gunungjati kabupaten Cirebon Jawa Barat pada bulan Mei 2011, yang merupakan penelitian explanatory yang didesain sebagai penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel dalam dihitung menggunakan rumus proporsi binomunal (binomunal proportions), jumlah populasi termasuk kategori bisa dihitung, maka besarnya sampel adalah15:

n =Z2

1-α/2 p (1-p) N

d2(N-1) + Z21-α/2 p (1-p)

dimana : n = jumlah sampel minimal yang diperlukan, α = derajat kepercayaan, ditetapkan 0,05, p = proporsi populasi dengan IgM positif = 10,10% atau 0,101 (berdasarkan hasil penelitian terdahulu)13, q = 1-p = 1 – 0,101 = 0,899, d = limit dari error atau precisi absolut, ditetapkan 0,05, Z2

1-α/2 ditetapkan 1,96 atau Z21-α/2 = 1,962

= 3,8416, dan N = populasi = 10.102. Sampel dikelompokkan dalam klaster (rumah tinggal), setiap individu dalam klaster yang memenuhi criteria inklusi dan ekslusi, dijadikan sampel penelitian. Penentuan klsater terpilih dilakukan dengan sistem interval random sample.

Dilakukan pengumpulan data varibel independent yaitu status gizi dan kelompok umur, serta variabel dependent yaitu status infeksi virus dengue. Data status gizi dikumpulkan pengukuran anthropometry yaitu tinggi dan berat bedan pada seluruh sampel, selanjutnya

dihitung indeks massa tubuh (IMT) serta dibandingkan dengan Tabel IMT16 untuk dinilai status gizinya. Hasil penilaian dibuat dua kategori status gizi yaitu tidak normal dan normal. Kategori normal adalah gabungan status gizi kurang (IMT <17,0-18,5) dengan status gizi lebih (IMT >25,00), sedangkan kategori normal bila IMH >18,5-25,0. Selanjutnya kategori tidak normal diberi kode 0 dan kategori normal diberi kode 1. Data kelompok umur dilakukan dengan dengan wawancara tentang umur responden, selanjutnya dibuat menjadi dua kelompok umur (KU) yaitu KU <5 tahun yang diberi kode 0 dan KU >5 tahun yang diberi kode 1. Kategori KU <5 tahun diberi nilai 0 karena mempunyai risiko lebih tinggi terjadinya infeksi virus dengue dibandingkan dengan KU >5 tahun karena pada umumnya tingkat imunitasnya lebih rendah17. Sedangkan data status infeksi virus dengue dikumpulkan dengan pemeriksaan antibodi IgM dan IgG anti virus dengue menggunakan rapid diagnostic test (RDT). Terdapat empat hasil pemeriksaan yaitu negativ, positif IgM yang menandakan infeksi akut virus dengue, positif IgG yang menandakan infeksi kronis virus dengue dan positif IgM + IgG yang menandakan sudah mendapatkan infeksi sekunder virus dengue. Hasil pemeriksaan RDT dibuat dua kategori yaitu positif dan diberi kode 0 apabila hasil pemeriksaannya adalah positif IgM atau positif TgG atao positif IgM+IgG, serta kategori negatif yang

Page 43: aspirator vol.1 2012

43

Lukman Hakim. dan Asep Jajang Kusnandar., 2012. Hubungan Status Gizi dan Kelompok Umur

diberi 1 untuk hasil pemeriksaan negatif.

Untuk mengetahui hubungan masing-masing variabel independent dengan variabel dependent, dilakukan analisis chi square dengan tabel 2X2 antara status gizi dan kelompok umur dengan status infeksi virus dengue; selanjutnya dihitung besarnya odd ratio pada masing-masing hubungan. Sedangkan untuk mengetahui variabel independent yang dominan pengaruhnya terhadap variabel independent, dilakukan analisis multivariat dengan regresi logistik binary.

HASIL

Sampel penelitian Jumlah penderita DBD di desa Klayan selama periode tahun 2008 sampai dengan Maret 2011 adalah 89 orang, distribusinya tidak merata dan terdapat disvaritas yang tajam. Wilayah dengan kasus DBD paling tinggi adalah RW 05 yaitu 56 kasus (62,92%) dan terrendah di RW 06 yaitu 4 kasus (4,49%) (Tabel 5.3.), karena itu sampel penelitian seluruhnya diambil dari RW 05.

Jumlah klaster yang dikunjungi adalah 75 keluarga, 6 keluarga di antaranya tidak bersedia berperan serta sehingga diganti dengan keluarga lain. Jumlah responden sebanyak 213 orang pada 69 keluarga, yaitu 45 orang dari RT 16, 47 orang dari RT 17, 24 orang dari RT 18, 44 orang dari RT 19, 20 orang dari RT 20, dan 33 orang dari RT 21. Berdasarkan jenis kelaminnya, terdiri dari perempuan 122 orang (57,28%) dan laki-laki 91 orang (42,72%); responden paling tua adalah 67 tahun dan paling muda adalah 1 tahun.

Tidak semua responden datanya lengkap, karena ada 5 orang yang tidak berhasil dikumpulkan variabel status gizi, dan 8 orang yang tidak berhasil dikumpulkan variabel status infeksi virus dengue, sehingga jumlah responden yang dianalisis sebanyak 200 orang (Tabel 1).

Tabel 1 Jumlah dan persentase responden berdasarkan alamat (RT) dan jenis kelamin di RW 05 desa Klayan kecamatan Gunungjati kabupaten Cirebon.

No Alamat (RT)

Jumlah klaster

Keseluruhan responden Responden data lengkap

L P Jml L P Jml %

1 RT 16 14 23 22 45 23 21 44 22

2 RT 17 14 21 26 47 20 26 46 23

Page 44: aspirator vol.1 2012

44

Lukman Hakim. dan Asep Jajang Kusnandar., 2012. Hubungan Status Gizi dan Kelompok UmurAspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

3 RT 18 10 8 16 24 8 15 23 11.5

4 RT 19 12 15 29 44 13 27 40 20

5 RT 20 8 5 15 20 4 12 16 8

6 RT 21 11 19 14 33 18 13 31 15.5

Jumlah 69 91 122 213 86 114 200 100

Status gizi Hasil perhitungan IMT menun-jukkan nilai maksimum data variabel status gizi adalah

adalah 39,50, minimum adalah 13,0, mean adalah 21,06, median adalah 20,75 dan mode adalah 19,80. Hasil membandingkan dengan Tabel IMT untuk dibuat tiga kategori, didapatkan 42 orang (12%) status gizi kurang terdiri dari laki-laki dan perempuan masing-masing 21 orang, 132 orang (66%) kategori normal terdiri

dari laki-laki 58 orang dan perempuan 74 orang, dan kategori gizi lebih adalah 23 orang (5,5%) terdiri dari laki-laki 7 orang dan perempuan 19 orang (Tabel 2).

Tabel 2 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status gizi berdasarkan

pengukuran anthropometry per jenis kelamin.

No Status giziJenis kelamin

Jumlah % L P

1 Kurang (<18,5) 21 21 42 21,00

2 Normal (18,5-25) 58 74 132 66,00

3 Lebih (>25) 7 19 26 13,00

Jumlah 86 114 200 100,00

Hasil pembuatan kategori status gizi, diketahui 68 (34%) responden termasuk kategori tidak

normal terdiri dari 28 orang laki-laki dan 40 orang perempuan, serta 132 orang (66%) termasuk kategori normal yang terdiri dari 58 orang laki-laki dan 74 orang perempuan

Kelompok umur

Nilai maksimum (paling tua) data variabel umur adalah 67 tahun dan minimum (paling muda) adalah 1 tahun. Sedangkan nilai mean adalah 26,93 tahun, median adalah 21,50 tahun dan yang paling banyak (mode) adalah 10 tahun. Setelah dilakukan pengelompokan dan

Page 45: aspirator vol.1 2012

45

Lukman Hakim. dan Asep Jajang Kusnandar., 2012. Hubungan Status Gizi dan Kelompok Umur

dibuat kategori dan penilaian, diketahui responden yang termasuk kelompok umur >5 tahun adalah 193 orang (96,50%) terdiri dari 82 orang laki-laki dan 111 orang perempuan, sedangkan yang

termasuk kelompok umur <5 tahun adalah 7 orang (3,5%) terdiri dari 4 orang laki-laki dan 3 orang perempuan (Tabel 3).

Tabel 3 Jumlah dan persentase responden berdasarkan

kelompok umur per dan jenis kelamin.

No KategoriJenis Kelamin

Jumlah %L P

1 <5 tahun 4 3 7 3,502 >5 tahun 82 111 193 96,50

Jumlah 86 114 200

Status infeksi virus dengue Hasil pemeriksaan RDT anti dengue menunjukkan dari 200 orang responden yang

diperiksa sampel darahnya, didapatkan 161 sampel (80,50%) negatif, 33 sampel (16,50%) positif IgM, 4 sampel (2,00%) positif IgG, dan 2 sampel (4,00%) positif

IgM + IgG (Tabel 4).

Tabel 4 Hasil dan persentase responden berdasarkan pemeriksaan status infeksi

virus dengue menggunakan RDT per jenis kelamin.

No Hasil Pemeriksaan RDTJenis Kelamin

Jumlah %L P

1 Negatif 68 93 161 80,5

2 Positif IgM 14 19 33 16,50

3 Positif IgG 2 2 4 2,00

4 Positif IgM + IgG 2 0 2 1,00

Jumlah 86 114 200

Setelah dibuat kategori dan dilakukan penilaian, diketahui responden dengan status

infeksi virus dengue positif adalah 39 orang (19,50%) terdiri dari 18 orang laki-laki dan 21 orang perempuan; sedangkan yang termasuk kategori negatif adalah 161 orang (80,50%) terdiri dari 68 orang

laki-laki dan 93 orang perempuan.

Hubungan status gizi dan kelompok umur dengan status infeksi virus dengue

Page 46: aspirator vol.1 2012

46

Lukman Hakim. dan Asep Jajang Kusnandar., 2012. Hubungan Status Gizi dan Kelompok UmurAspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

Tabulasi silang antara variabel status gizi dengan variabel infeksi virus dengue, menunjukkan dari 68 responden dengan

square) menunjukan status gizi signifikan berhubungan dengan infeksi virus dengue (p value = 0,004).

Tabel 5 Hubungan variabel status gizi dengan variabel status infeksi virus dengue.

Variabel KategoriStatus infeksi virus dengue

JumlahPositif (0) Negatif (0)

Status gizi Tdk Normal (1) 21 47 68

Normal (0) 18 114 132

Jumlah 39 161 200

Tabulasi silang antara variabel kelompok umur dengan variabel infeksi virus dengue,

menunjukkan dari 7 responden pada KU<5 tahun, terdapat 4 orang negatif dan 3 orang positif virus dengue. Sedangkan dari 193 responden pada KU >5 tahun, terdapat 35 orang negatif dan 158 orang positif virus dengue (Tabel 6). Uji bivariat

pada α 0,05 (chi square) menunjukan kelompok umur signifikan berhubungan dengan infeksi virus dengue (p value = 0,004).

Tabel 6 Hubungan kelompok umur dengan status infeksi virus

dengue.

Variabel KategoriStatus infeksi virus dengue

JumlahPositif (0) Negatif (0)

Kelompok umur<5 tahun (1) 4 3 7>5 tahun (0) 35 158 193

Jumlah 39 161 200

status gizi tidak normal, terdapat 47 orang negatif dan 21 orang positif virus dengue. Sedangkan dari 132 responden dengan status gizi normal, terdapat 114 orang negatif dan 18 orang positif virus dengue (Tabel 5), Uji bivariat pada α 0,05 (chi

Analisis faktor risiko menunjukan odd ratio kelompok responden dengan status gizi tidak normal terhadap status gizi normal adalah 1,250 dengan 95% confidence

interval (CI) antara 1,297-3,955. Hal ini menunjukkan status gizi merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan infeksi virus dengue, dan responden

Page 47: aspirator vol.1 2012

47

Lukman Hakim. dan Asep Jajang Kusnandar., 2012. Hubungan Status Gizi dan Kelompok Umur

dengan status gizi tidak normal berisiko 1,250 kali lebih tinggi untuk tertular virus dengue dibandingkan responden dengan status gizi normal. Sedangkan ood ratio KU <5 tahun terhadap KU >5 tahun adalah 3,151 dengan 95% CI antara 1,552-6,397. Hal ini menunjukkan

kelompok umur merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan infeksi virus dengue, dan responden pada KU <5 tahun berisiko 3,151 kali lebih tinggi untuk tertular virus dengue dibandingkan responden pada KU >5 tahun (Tabel 7).

Tabel 7 Hasil analisis faktor risiko

antara variable status gizi dan kelompok umur dengan variable status infeksi virus dengue.

No Hubungan antar variable P value chi square

Odd ratio

95% confidence interval

Lower Upper

1 Status gizi dengan status infeksi virus dengue 0,004 2,265 1,297 3,955

2 Kelompok umur dengan status infeksi virus dengue 0,028 3,151 1,552 6,397

Analisis multivariat menunjukan, secara bersama-sama variabel yang paling dominan hubungannya dengan infeksi virus dengue adalah kelompok umur dengan komponen β = 1,322 (p value 0,016) dan odd ratio 3,750. Sedangkan variable status gizi menghasilkan

komponen β = 0,405 (p value 0,028) dan odd ratio 1,500. Hasil ini juga menunjukkan, tidak terjadi interaksi antara status gizi dengan kelompok umur dalam memberikan pengaruh terhadap status infeksi virus dengue (p value 0,740) (Tabel 8),

Tabel 8 Hasil analisis multivariat antara variable independent (status gizi, kelompok umur dan interaksi status gizi dan kelompok umur) dengan variable dependent (status infeksi virus dengue).

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1(a)

Gizi 0,405 1,683 0,058 1 0,028 1,500

Umur 1,322 0,955 1,917 1 0,016 3,750

Gizi by Uumur 0,572 1,726 0,110 1 0,740 1,773

Constant -0,405 0,913 0,197 1 0,657 0,667

BAHASAN

Page 48: aspirator vol.1 2012

48

Lukman Hakim. dan Asep Jajang Kusnandar., 2012. Hubungan Status Gizi dan Kelompok UmurAspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

Analisis bivariat menunjukkan

status gizi berhubungan dengan status infeksi virus dengue (p value =0,004) dan odd ratio 1,250 (95% CI antara 1,297-3,955). Hal ini menunjukkan orang dengan status gizi tidak normal akan lebih mudah mendapatkan infeksi virus dengue dan terjadi penularan dibanding orang dengan status gizi normal. Hal ini dimungkinkan karena orang dengan status gizi kurang, mempunyai tingkat imunitas yang lebih rendah dibandingkan orang dengan status gizi normal karena sistem imunitas salah satunya dipengaruhi oleh status gizi6. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, misalnya hasil penelitian yang dilakukan Maron GM di El Salvador dengan mengamati status gizi orang sakit DBD dibandingkan dengan orang sehat. Penelitian ini menunjukkan, persentase sakit DBD pada orang dengan status gizi normal (0,6%), lebih rendah dibandingkan dengan orang dengan status gizi kurang (5,7%) atau gizi lebih (5,1%), meskipun secara statistik perbedaan ini tidak signifikan berbeda9. Hasil ini menunjukkan, orang dengan status gizi tidak normal (gizi kurang atau lebih), lebih rentan terhadap infeksi virus dengue dibandingkan dengan orang dengan status gizi normal. Penelitian lain yang dilakukan di Thailand menunjukkan bahwa orang dengan status gizi lebih, 1,01 kali lebih besar peluangnya untuk terinfeksi virus dengue dibandingkan orang dengan status gizi normal8. Sedangkan Egger JR membuktikan bahwa kelompok umur

berpengaruh terhadap penularan virus dengue karena kelompok umur berkaitan dengan aktivitas dan pekerjaan, selain itu kelompok umur juga berpengaruh terhadap manifestasi klinis penderita DBD18.

Analisis bivariat pada variabel kelompok umur juga menunjukkan hal yang sama yaitu berhubungan dengan status infeksi virus dengue (p value = 0,028) dan odd ratio 3,151 (95% CI antara 1,552-6,397). Hasil ini menunjukkan orang pada KU <5 tahun akan lebih mudah mendapatkan infeksi virus dengue dibandingkan pada KU >5 tahun. Hal ini dimungkinkan karena orang pada kelompok umur <5 tahun lebih berpeluang mendapatkan infeksi virus dengue kaitannya dengan aktivitas pada siang hari lebih banyak dilakukan di rumah. Lokasi penelitian (desa Klayan) merupakan desa dengan IR DBD paling tinggi di kabupaten Cirebon selama tiga tahun berturut-turut sehingga tingkat endemisitasnya lebih tinggi dibandingkan desa lainnya sehingga tingkat penularannya lebih tinggi13.

Virus dengue terutama ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti yang merupakan nyamuk domestik atau hidup di dalam rumah bersama manusia19, karena itu penularan virus dengue lebih banyak terjadi di dalam rumah. Dalam penelitian ini, variabel yang berkaitan dengan keberadaan responden di dalam atau luar rumah adalah kelompok umur, terbukti berhubungan secara signifikan dengan

Page 49: aspirator vol.1 2012

49

Lukman Hakim. dan Asep Jajang Kusnandar., 2012. Hubungan Status Gizi dan Kelompok Umur

status infeksi virus dengue (OR = 3,151). Responden pada kelompok umur <5 tahun, berisiko lebih tinggi untuk tertular virus dengue karena pada umumnya hanya beraktivitas di dalam rumah atau lingkungan sekitarnya, kecuali kalau dibawa pergi oleh orang dewasa.

Umur dan status gizi juga berpengaruh terhadap sitem imunitas tubuh yang berfungsi membantu perbaikan DNA manusia; mencegah infeksi yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, dan organisme lain; serta menghasilkan antibodi untuk memerangi serangan bakteri dan virus asing yang masuk ke dalam tubuh6, menurunnya fungsi sistem imun tubuh akan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit20. Dengan demikian, responden yang memiliki status gizi baik (normal) dan berada dalam kelompok usia tidak rentan (>5 tahun), memiliki tingkat proteksi yang lebih tinggi dibandingkan yang berada pada kelompok sebaliknya, sehingga lebih terhindar dari infeksi virus dengue.

Analisis multivariat menunjukkan kelompok umur lebih dominan pengaruh terhadap status infeksi virus dengue (Tabel 8), dengan demikian orang pada KU <5 tahun perlu mendapatkan prioritas mendapatkan perlindungan dari penularan virus dengue. Misalnya, kegiatan pemberantasan vektor diuta-makan pada rumah yang di dalamnya terdapat orang dalam KU <5 tahun.

KESIMPULAN DAN SARAN

Disimpulkan, status gizi dan

kelompok umur terbukti berhubungan dengan status infeksi virus dengue. Status gizi tidak normal dan kelompok umur <5 tahun, menjadi faktor risiko untuk terjadinya penularan virus dengue. Di antara kedua variabel tersebut, yang paling besar pengaruhnya terhadap infeksi virus dengue adalah variabel kelompok umur. Selanjutnya, disarankan program pemberantasan DBD dilakukan secara terpadu (di lokasi yang sama) dengan program gizi masyarakat dan promosi kesehata Selain itu, penduduk atau anggota keluarga dengan status gizi tidak normal datan KU <5 tahun, perlu mendapatkan prioritas perlindungan supaya terhindar dari penularan virus dengue. dari gigitan nyamuk Aedes spp

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam kesempatan ini, kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penelitian ini, dari awal sampai selesai. Terutama kami sampaikan kepada Kepala Loka Litbang P2B2 Ciamis, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Kepala Puskesmas Gunungjati Kabupaten Cirebon, serta Kepala Desa dan seluruh masyarakat desa Klayan Kabupaten Cirebon.

DAFTAR PUSTAKA1. Weissenbock H, Hubalek Z, Bakonyi T,

Noowotny K. Zoonotic Mosquito-borne Flaviviruses: Worldwide Presence of Agent with Proven Pathogenesis and Potential candidates of Future Emerging Diseases.

Page 50: aspirator vol.1 2012

50

Lukman Hakim. dan Asep Jajang Kusnandar., 2012. Hubungan Status Gizi dan Kelompok UmurAspirator Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

Vet. Microbiol. 2010;Vol 140:271-280.

University Press. Hal 41-59.; 2006.

12. Recker M, Blyuss KB, Simmons CP, et al. Immunological Serotype Interactions and Their Effect on The Epidemiological Pattern of Dengue. Proc. R. Soc. B. 2009; Vol. 276:2541-2548.

13. Hakim L, Superiyatna H. Analisa Situasi Kesakitan Demam Berdarah Dengue Kabupaten Cirebon PeriodeTahun 2006-2008. Aspirator. 2009; Vol. 1 No. 2:63-72.

14. Hakim L, Boewono, D.T. Peluang Terjadinya Immunoglobulin M Berdasarkan Analisis Binary Logistic Faktor Penularan Virus Dengue. Aspirator. 2011; Vol. 3 No. 1:58-66.

15. Atmaja. Populasi dan sampling. Jakarta: Binarupa Aksara; 2003.

16. Supariyasa IDN, Bakri B, Fajar I. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC; 2001.

17. Gubler DJ. Epidemic Dengue Hemorrhagic Fever as a Public Health, Sosial and Economic Problem in Tha 21st Century. Trends Microbiol. 2002; Vol. 10: p. 100-113.

18. Egger JR, Coleman PG. Age and Clinical Dengue Illness. Emerging Infectious Diseases. 2007;Vol. 13, No. 6:924-927.

19. Knowlton K, Solomon G, Rotkin-Ellman M, Pitch F. Mosquito-Borne Dengue Fever Threat Spreading in the Americas. New York: Natural Resources Defense Council Issue Paper; 2009.

20. Fatmah. Respons imunitas yang rendah pada tubuh manusia usia lanjut. Makara. 2006;Vol 10 No. 1:47-53.

2. Rohani A, Zamree I, Lee HL, I M. Detection of Transovarian Dengue for Field Caught Aedes aegypti and Aedes albopictus Mosquitoes Using C6/36 Cool Line Culture and RT-PCR: Institue for Medical Research press. Kuala Lumpur; 2005.

3. Tambyah PA, Koay ESC, Poon MLM, Lin RVTP, Ong BKC. Dengue Hemorrhagic Fever Transmitted by Blood Transfusion. The England Journal of Medicine. 2008; Vol. 359: p. 1526-1527.

4. Kristina, Ismaniah, Wulandari L. Kajian Masalah Kesehatan : Demam Berdarah Dengue. In: Balitbangkes, editor.: Tri Djoko Wahono. 2004:hal 1-9.

5. Lubis I. Peranan Nyamuk Aedes dan Babi Dalam Penyebaran DHF dan JE di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. 1990; Vol. 60.

6. Aspinall R. Ageing and the Immune System in vivo: Commentary on the 16th session of British Society for Immunology Annual Congress Harrogate December 2004. Immunity and Ageing 2005;Vol 2:5-10.

7. Depkes RI. Pedoman Tatalaksana Gizi Usia Lanjut untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: Ditjen Binkesmas; 2003.

8. Kalayanarooj S, Nimmannitya S. Guidelines for diagnosis and management of dengue infection. Bangkok: Ministry of Public Health, Thailand; 2003.

9. Maron GM, Clara AW, Diddle JW, et al. Assosiation between Nutritional Status and Severrity of Dengue Infection in Children El Salvador. Am. J Trop. Med Hyg. 2010;Vol 82 (2).(pp. 324-329).

10. Nimmannitya S. Dengue hemorrhagic fever: current issues and future research. Asian-Oceanian J Pediar Child Health. 2002;Vol 1:1-20. .

11. Soegijanto S. Aspek Imunologi Penyakit Demam Berdarah, dalam Demam Berdarah Dengue Edisi 2. Surabaya: Airlangga

Page 51: aspirator vol.1 2012

51

Lukman Hakim. dan Asep Jajang Kusnandar., 2012. Hubungan Status Gizi dan Kelompok Umur