Aspek Hukum Pert 5 - Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Rev 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

*Title: (Required field)*Description: (Required field)Tags:Category:

Citation preview

  • PENGADAAN TANAH BAGI KEPENTINGAN PEMBANGUNAN

    Ooleh : Prijambodo, ST.,MT

    1. Pendahuluan

    Tanah merupakan modal dasar pembangunan. Hampir tak ada kegiatan pembangunan (sektoral)

    yang tidak memerlukan tanah. Oleh karena itu tanah memegang peranan yang sangat penting,

    bahkan menentukan berhasil tidaknya suatu pembangunan (Departemen Penerangan RI, 1982)

    Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan baik untuk kepentingan umum maupun swasta selalu

    membutuhkan tanah sebagai wadah pembangunan. Saat ini pembangunan terus meningkat

    sedangkan persediaan tanah tidak berubah. Keadaaan ini berpotensi menimbulkan konflik

    karena kepentingan umum dan kepentingan perorangan saling berbenturan.

    Pengadaan tanah untuk pembangunan di Indonesia tidak jarang menghadapi masalah. Bahkan,

    menurut Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, kendala utama pembangunan infrastruktur

    adalah persoalan pertanahan. Berikut ini adalah ringkasan dari beberapa pengadaan tanah yang

    bermasalah (www.pu.go.id).

    Review terhadap beberapa negara, tidak ada negara yang tidak memiliki kewenangan untuk

    mengambil tanah untuk kepentingan pembangunan. Kecepatan pertumbuhan ekonomi di the

    new emerging market tidak terlepas dari proses pengambilan tanah untuk pembangunan

    infrastruktur dan wilayah perkotaan. Negara-negara seperti Cina, Korea Selatan, dan Singapura

    melakukan pembebasan tanah secara masif untuk kepentingan transportasi, perkantoran,

    fasilitas energi dan infrastruktur lainnya.

    Beberapa literatur juga menujukkan trend penurunan pengambilan tanah oleh pemerintah

    (Azuela, 2007). Pengambilan tanah oleh pemerintah bukan saja makin menurun tapi juga

    semakin sulit untuk dilakukan. Menurut Azuela, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan

    makin sulitnya pengambilan tanah oleh pemerintah yaitu:

    1) meluasnya ketidakpuasan masyarakat terhadap praktik-praktik pengambilan tanah oleh

    pemerintah,

    2) meningkatnya independensi lembaga peradilan,

    3) menguatnya tekanan dari pemberitaan media massa, dan

    4) dampak implementasi perjanjian internasional.

    Dari analisa terhadap masalah pengadaan tanah untuk pembangunan di berbagai negara, dapat

    disimpulkan:

    Pertama, hampir di seluruh negara pengadaan tanah untuk pembangunan menjadi semakin sulit

    dilakukan. Ketidakpuasan masyarakat, makin independennya lembaga peradilan, tekanan pers,

  • dan perjanjian internasional menjadi faktor-faktor sulitnya pembebasan tanah. Untuk Indonesia,

    diperkirakan trend ini juga akan terjadi.

    Kedua, tidak ada praktik pengadaan tanah untuk pembangunan yang benar-benar sempurna.

    Hampir di semua negara yang menjadi sampel mengalami permasalahan. Hanya saja, tingkat

    kerumitan permasalahan dan dampaknya pada penundaan proyek berbeda-beda. Untuk

    Indonesia, saat ini adalah momentum untuk perbaikan terhadap kebijakan, prosedur, dan

    praktik-praktik pengadaan tanah untuk pembangunan.

    Ketiga, pelaksanaan pembebasan tanah dapat dipermudah dengan dua pendekatan. Yaitu

    dengan meningkatkan keberpihakan dan penghormatan terhadap pemilik hak atas tanah.

    Pendekatan ini dilakukan dengan mengedepankan sosialisasi, negosiasi, dan pemberian

    kompensasi yang lebih komprehensif.

    Pendekatan yang mengedepankan sosialisasi, negosiasi, dan pemberian kompensasi yang lebih

    komprehensif memiliki konsekuensi pada ketersediaan anggaran. Pemberian kompensasi secara

    komprehensif membutuhkan dana yang besar. Dengan demikian, penetapan kebijakan terhadap

    komponen apa saja yang akan diperhitungkan dan bagaimana metode perhitungannya harus

    memperhatikan kemampuan keuangan negara.

    2. Tanah dan pembangunan

    Tanah adalah salah satu harta yang sangat berharga di muka bumi ini, yang dalam sepanjang

    sejarah peradaban umat manusia tak henti-hentinya memberikan problema- problema

    rumit. Indonesia, yang memiliki daratan (tanah) yang sangat luas, telah menjadikan

    persoalan tanah sebagai salah satu persoalan yang paling urgen diantara persoalan

    lainya. Maka tak heran, pasca Indonesia merdeka, hal pertama yang dilakukan oleh pemuka

    bangsa dikala itu adalah proyek landreform ditandai dengan diundangkannya UU No 5 Tahun

    1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, selanjutnya disingkat UUPA.1. Selanjutnya

    UUPA beserta ketentuan-ketentuan pelaksanaannya menjadi acuan bagi pengelolaan

    administrasi pertanahan di Indonesia, termasuk dalam kegiatan pengadaan tanah bagi

    pembangunan untuk kepentingan umum.

    Pembangunan fasilitas-fasilitas umum memerlukan tanah sebagai wadahnya.

    pembangunan fasilitas umum tersebut tidak menemui masalah apabila persediaan

    tanah masih luas. Namun, yang menjadi permasalahan adalah tanah merupakan

    sumber daya

    alam yang sifatnya terbatas, dan tidak pernah bertambah luasnya. Tanah yang

    tersedia saat ini telah banyak dilekati dengan hak (tanah hak), sementara tanah

    negara sudah sangat terbatas persediaannya.

    Pada masa sekarang ini adalah sangat sulit melakukan pembangunan untuk

    kepetingan umum di atas tanah negara, oleh karena itu jalan keluar yang ditempuh adalah

  • dengan mengambil tanah-tanah hak. Kegiatan mengambil tanah (oleh pemerintah

    dalamrangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian

    disebut dengan pengadaan tanah.

    UUPA sendiri memberikan landasan hukum bagi pengambilan tanah hak ini dengan menentukan

    : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan

    bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang

    layak menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.

    3. Dasar Hukum

    Dasar Hukum yang berkaitan dengan pengadaan tanah bagi pembbangunan untuk kepentingan

    Umum :

    1) Undang-undang dasar 1945

    2) Unddang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria

    3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah Dan Benda-

    Benda Yang Ada Diatasnya.

    4) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

    Untuk Kepentingan Umum

    5) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan

    Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

    6) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

    Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

    7) Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden

    Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

    Untuk Kepentingan Umum.

    8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.02/2008 Tentang Biaya Panitia Pengadaan

    Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

    9) Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksana

    Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi

    Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan

    Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden

    Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

    Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

    10) Peraturan Kepala BPN Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan

    Pengadaan Tanah

    4. Pengertian

    Berhubung per undang-undangan yang baru keluar, maka pengertian yang dipakai adalah sesuai

    dengan peraturaan tersbut :

  • 1) Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti

    kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.

    2) Pihak yang Berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah.

    3) Objek Pengadaan Tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan,

    tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.

    4) Hak atas Tanah adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

    Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan hak lain yang

    akan ditetapkan dengan undang-undang.

    5) Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus

    diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

    6) Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya

    sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.

    7) Konsultasi Publik adalah proses komunikasi dialogis atau musyawarah antarpihak yang

    berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan

    pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

    8) Pelepasan Hak adalah kegiatan pemutusan hubungan hukum dari pihak yang berhak

    kepada negara melalui Lembaga Pertanahan.

    9) Ganti Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam

    proses pengadaan tanah.

    10) Penilai Pertanahan, yang selanjutnya disebut Penilai, adalah orang perseorangan yang

    melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapat izin praktik

    penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan

    untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah.

    11) Penilai Pertanahan, yang selanjutnya disebut Penilai, adalah orang perseorangan

    yang melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapat

    izin praktik Penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari BPN

    untuk menghitung nilai/harga Objek Pengadaan Tanah.

    12) Penilai Publik adalah penilai yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan untuk

    memberikan jasa penilaian.

    5. Bentuk-Bentuk Pengadaan Tanah Menurut Hukum Agraria Indonesia

    Pada prinsipnya Hukum Agraria Indonesia mengenal 2 (dua) bentuk pengadaan tanah

    yaitu :

    1) Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah (pembebasan hak

    atas tanah) ;

  • 2) Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah

    Perbedaan yang menonjol antara pencabutan hak atas tanah dengan pembebasan tanah ialah,

    jika dalam pencabutan hak atas tanah dilakukan dengan cara paksa, maka dalam

    pembebasan tanah dilakukan dengan berdasar pada asas musyawarah.

    Sebelumnya oleh Perpres No 36 Tahun 2005 ditentukan secara tegas bahwa bentuk pengadaan

    tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah dan dengan cara pencabutan hak atas

    tanah. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No 65 Tahun 2006, hanya ditegaskan bahwa

    pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan. Tidak dicantumkannya secara tegas cara

    pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres No. 65/2006 bukan berarti menghilangkan secara

    mutlak cara pencabutan tersebut, melainkan untuk memberikan kesan bahwa cara pencabutan

    adalah cara paling terakhir yang dapat ditempuh apabila jalur musyawarah gagal . Hal ini

    ditafsirkan secara imperatif dimana jalur pembebasan tanah harus ditempuh terlebih dahulu

    sebelum mengambil jalur pencabutan hak atas tanah.

    Tapi dengan adanya UU No. 2 tahun 2012 dan Perpres Peraturan Presiden Republik

    Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

    Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Kepala BPN Nomor 5 Tahun 2012 tentang

    Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah, bahwa bentuk pengadaan tanah dilakukan

    dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak, dengan cara

    menilai harga tanah dilakukan oleh Jasa penilai publik, Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh

    Penilai sebagaimana tersebu di atas merupakan nilai pada saat pengumuman Penetapan Lokasi

    pembangunan untuk Kepentingan Umum.

    Jika pada Perpres No. 65 Tahun 2006 terdapat kesan alternatif antara cara pembebasan dan

    pencabutan, maka pada UU No 2 th 2012 daan Perpres No.71 Tahun 2012 antara cara

    pembebasan dan pencabutan sifatnya prioritas-baku. Ini agar pemerintah tidak sewenang-

    wenang dan tidak dengan mudah saja dalam mengambil tindakan dalam kaitannya dengan

    pengadaan tanah. Artinya ditinjau dari segi Hak Asasi Manusia (HAM), UU No. 2- th.2012 dan

    Perpres No 71 Tahun 2012 dinilai lebih manusiawi jika dibandingkan peraturan-peraturan

    sebelumnya.

    6. Prinsip Dasar Pengaturan Pengadaan Tanah

    Prinsip dasar pengaturan pengadaan tanah yang diatur dalam Undang-Undang No 2 Tahun

    2012, Perpres No 71 Tahun 2012 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 (bagi yang

    sekarang sedang melaksanakan pembebasan tanah, dn paling lambat 31 Desember 2014), dan

    Peraturan Kepala BPN Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan

    Pengadaan Tanah (bagi yang akan melaksanakan pembebasan tanah berlaku (30 okteber 2012)

    yang yaitu :

    1). Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dipastikan tersedia tanahnya.

  • Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus

    ada alas atau landasan haknya

    Bahwa dalam rangka terpastikan untuk kepentingan umum tersedianya tanah, maka

    Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 mengatur :

    a. Kepastian Lokasi (Pasal 39 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);

    b. Adanya penitipan ganti rugi ke pengadilan (Pasal 37 dan 48 Peraturan Kepala BPN-RI

    Nomor 3 Tahun 2007);

    c. Penerapan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dengan

    Pemberian Ganti Rugi (Pasal 41 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007).

    2). Hak-hak dasar masyarakat atas tanah terlindungi.

    Dalam rangka memperhatikan hak-hak masyarakat terlindungi, Peraturan Kepala BPN-RI

    Nomor 3 Tahun 2007, mengatur :

    a. Sosialiasi lokasi (Pasal 8 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);

    b. Adanya penyuluhan tentang manfaat, maksud dan tujuan pembangunan kepada

    masyarakat (Pasal 19 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);

    c. Pengumuman hasil inventarisasi tanah, bangunan, tanaman, dan benda lain yang

    berkaitan dengan tanah guna memberi kesempatan kepada pihak yang berkepentingan

    untuk mengajukan keberatan (Pasal 23 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);

    d. Penilaian harga tanah dilakukan oleh Lembaga Penilai Harga yang professional dan

    independen (Pasal 27 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);

    e. Musyawarah penetapan ganti rugi dilakukan secara langsung antara Instansi Pemerintah

    yang memerlukan tanah dengan pemilik tanah (Pasal 31 dan 32 Peraturan Kepala BPN-RI

    Nomor 3 Tahun 2007), sedangkan Panitia Pengadaan Tanah hanya sebagai fasilitator

    dalam pelaksanaan musyawarah tersebut ;

    f. Adanya hak mengajukan keberatan terhadap bentuk dan besarnya ganti rugi yang

    ditetapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah kepada Bupati/Walikota, Gubernur atau

    Menteri Dalam Negeri (Pasal 41 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007).

    3). Menutup peluang lahirnya spekulasi tanah.

    Dalam rangka menutup peluang terjadinya spekulasi tanah Undang-Undang No 2 Tahun

    2012, Perpres No 71 Tahun 2012 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007,

    mengatur sebagai berikut :

    Jika lokasi tanah telah ditetapkan sebagai lokasi pembangunan untuk kepentingan umum,

    maka pihak ketiga yang bermaksud untuk memperoleh tanah dilokasi tersebut wajib

    mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada Gubernur. Gubernur menetapkan lokasi

    waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan

    permohonan penetapan oleh Instansi yang memerlukan tanah.

  • (Undang-Undang No 2 Tahun 2012 dan Pasal 19 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun

    2007).

    7. Tata Cara Pengadaan Tanah

    1). Persiapan Pelaksanaan

    a. Sesuai dengan dengan peraturan perundangan yang baru, setelah Gubernur

    menetapkan dan mengeluarkan Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan

    Umum, Instansi yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan Pengadaan Tanah

    kepada Lembaga Pertanahan atau BPN.

    b. Kemudian gubernur membentuk Tim Persiapan dalam waktu paling lama 10

    (sepuluh) hari kerja. Tim Persiapan beranggotakan bupati/walikota, satuan kerja

    perangkat daerah provinsi terkait, Instansi yang memerlukan tanah, dan Instansi terkait

    lainnya.

    c. Tim Persiapan bertugas:

    a) melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan;

    b) melakukan pendataan awal lokasi rencana pembangunan;

    c) melaksanakan Konsultasi Publik rencana pembangunan;

    d) menyiapkan Penetapan Lokasi pembangunan;

    e) mengumumkan Penetapan Lokasi pembangunan untuk kepentingan umum;

    f) melaksanakan tugas lain yang terkait persiapan Pengadaan Tanah bagi

    pembangunan untuk Kepentingan Umum yang ditugaskan oleh gubernur. Seperti :

    Penyuluhan kepada masyarakat;

    Inventarisasi bidang tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman;

    Penelitian status hak tanah;

    Pengumuman hasil inventarisasi;

    Menerima hasil penilaian harga tanah dari Lembaga atau Tim Penilai Harga Tanah;

    Memfasilitasi pelaksanaan musyawarah antara Pemilik dengan Instansi

    Pemerintah yang memerlukan tanah;

    Penetapan besarnya ganti rugi atas dasar kesepakatan harga yang telah dicapai

    antara pemilik dengan instansi Pemerintah yang memerlukan tanah

    Menyaksikan penyerahan ganti rugi;

    Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak;

    Mengadministrasikan dan mendokumentasikan berkas pengadaan tanah;

    Menyampaikan permasalahan disertai pertimbangan penyelesaian pengadaan

    tanah kepadaGubernur apabila musyawarah tidak tercapai kesepakatan untuk

    pengambilan keputusan.

    d. Pemberitahuan rencana pembangunan oleh Tim Persiapan disampaikan secara

    langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat pada rencana lokasi

    pembangunan.

    a). Secara langsung dengan cara sosialisasi, tatap muka, atau surat pemberitahuan.

  • b). Secara tidk langsung dengan cara melalui media cetak atau media elektronik.

    Panitia Pengadaan Tanah dalam melaksanakan tugasnya diberikan sejumlah dana yang

    disebut sebagai biaya operasional dalam rangka membantu pengadaan tanah bagi

    pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Biaya Panitia Pengadaan Tanah

    tersebut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.02/2008 tanggal 23

    April 2008 tentang Biaya Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

    Kepentingan Umum. Biaya operasional tersebut digunakan untuk pembayaran honorarium,

    pengadaan bahan, alat tulis kantor, cetak/stensil, fotocopy/penggandaan, penunjang

    musyawarah, sosialisasi, sidang-sidang yang berkaitan dengan proses pengadaan tanah,

    satuan tugas (satgas), biaya keamanan, dan biaya perjalanan dalam rangka pengadaan

    tanah.

    Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang Luasnya tidak Lebih dari 1 (Satu)

    Hektar dan Pengadaan Tanah Selain untuk Kepentingan Umum

    Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum adalah

    pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan Instansi Pemerintah,

    yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

    Khusus untuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 1

    (satu) hektar dan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum :

    Dilaksanakan secara langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan

    para pemegang hak atas tanah melalui proses jual beli, tukar menukar, atau cara lain

    yang disepakati para pihak.

    Dapat juga menggunakan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota dengan

    mempergunakan tata cara pengadaan tanah yang sama dengan tata cara pengadaan

    tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1 (satu) hektar.

    Bentuk dan besarnya ganti rugi ditentukan dari kesepakatan dalam musyawarah antara

    Instansi Pemerintah dengan pemegang hak atas tanah (Pemilik tanah).

    Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas :

    a. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan

    Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai

    Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia;

    b. nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di

    bidang bangunan;

    c. nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di

    bidang pertanian

    2) Penilaian

    Penilaian harga tanah yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan oleh

    Lembaga Penilai Harga Tanah/Tim Penilai Harga Tanah. Lembaga Penilai Harga Tanah saat ini

  • dipercayakan kepada Lembaga Penilai Independen yaitu Lembaga Appraisal yang mendapat

    lisensi dari Menteri Keuangan dan BPN. Sedangkan untuk harga bangunan dan/atau

    tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dilakukan oleh Kepala

    Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang membidangi bangunan dan/atau benda lain

    yang berkaitan dengan tanah tersebut.

    Tim Penilai Harga Tanah melakukan penilaian harga tanah berdasarkan NJOP atau nilai

    nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, dan dapat berpedoman

    pada variable-variabel sebagai berikut :

    a. Lokasi dan letak tanah;

    b. Status tanah;

    c. Peruntukan tanah;

    d. Kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan

    wilayah atau tata kota yang telah ada;

    e. Sarana dan prasarana yang tersedia; dan

    f. Faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah.

    3) Ganti Kerugian

    Permasalahan pokok dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

    kepentingan umum adalah mengenai penetapan besarnya ganti rugi. Ketentuan

    mengenai pemberian ganti rugi ini telah diatur dalam ketentuan hukum tanah di Negara

    kita. UUPA mengatur bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa

    dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut,

    dengan member ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan

    undang-undang.

    Ganti rugi yang layak didasarkan atas nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang

    bersangkutan. Pola penetapan ganti rugi atas tanah dinegara kita ditetapkan melalui

    musyawarah dengan memperhatikan harga umum setempat disamping faktor-faktor lain

    yang mempengaruhi tanah. Ganti kerugian yang diberikan dapat berupa :

    a. Uang;

    b. Tanah pengganti;

    c. Pemukiman kembali;

    d. Gabungan dari dua atau lebih ganti kerugian a, b, dan c;

    e. Bentuk lain yang disetujui para pihak.

    Sedangkan Perpres No 71 Tahun 2012 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007

    menyebutkan makna ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik

    sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman,

    dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan

  • kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena

    pengadaan tanah.

    Penentuan besarnya ganti rugi didasarkan pada hasil kesepakatan pemilik tanah dengan

    Instan si Pemerintah yang memerlukan tanah. Hasil kesepakatan tersebut kemudian oleh

    Panitia Pengadaan Tanah sesuai dengan tugasnya dituangkan dalam Berita Acara Hasil

    Musyawarah, dan selanjutnya menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Besarnya Ganti Rugi.

    Musyawarah antara pemilik tanah dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah

    tersebut berpedoman pada penilaian harga tanah yang dilakukan oleh Lembaga/Tim Penilai

    Harga Tanah.

    Ganti kerugian menurut Hukum Tanah Nasional ditetapkan menurut nilai pengganti

    (replacement value) yang berarti bahwa ganti rugi yang diterima dapat dimanfaatkan untuk

    memperoleh penggantian terhadap tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman semula

    dalam kualitas yang minimal setara dengan yang sebelum terkena pengadaan tanah.

    Sesuai dengan Konsepsi Hukum Tanah Nasional yaitu adanya keseimbangan antara

    kepentingan umum dan kepentingan perseorangan maka prinsip pengadaan tanah adalah

    mewujudkan pengadaan tanah yang memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat yang

    terkena pengadaan tanah dengan diberi ganti kerugian yang dapat menjamin kelangsungan

    hidupnya dan bagi Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah untuk dapat memperoleh

    tanah serta perlindungan maupun kepastian hukum.

    Guna mewujudkan hal tersebut di atas maka pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

    kepentingan umum dengan cara pembebasan hak-hak atas tanah masyarakat haruslah

    diatur dalam suatu undang-undang, yang mencerminkan pengakuan dan penghormatan

    terhadap hak asasi manusia khususnya hak-hak keperdataan dan hak- hak ekonomi yang

    dimilikinya. Hal tersebut sampai saat ini belum juga dapat diwujudkan di negara kita.

    Sampai saat ini Negara kita belum juga memiliki Undang-Undang yang mengatur secara

    khusus tentang Pengadaan Tanah, melainkan diatur dengan Peraturan Presiden. Namun,

    dengan dikeluarkannya Undang-undang No 2 tahun 2012 dn Peraturan Presiden Nomor 71

    Tahun 2012 tersebut, dinilai telah sedikit memberikan kepastian hukum dan aturan-aturan

    pengadaan tanah yang lebih demokratis, dan adil bagi masyarakat.