148
RINGKASAN ILAH LADAMAY, Aspek-Aspek Konservasi Dalam Tradisi Perladangan Berpindah Di Sulawesi Tenggara. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari strategi adaptasi peladang yaitu dengan membandingkan komponen biofisik dan komponen sosial ekonomi peladang dengan usaha-usaha pertanian menetap dalam satu siklus ladang (tiga tahun) . Komponen biofisik yang diteliti meliputi sifat fisik dan kimia tanah, pertumbuhan gulma dan tingkat serangan hama tanaman. Penilaian terhadap sifat fisik dan kimia tanah dilakukan dengan cara membandingkan antara kriteria sifat fisik kimia tanah yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor (1983) dengan hasil pengukuran di ladang dan plot percobaan. Pengumpulan data gulma menggunakan metoda garis (line intersept) kemudian menghitung indeks nilai penting (INP). Dasar penilaian tingkat serangan hama tanaman menggunakan kriteria yang dikeluarkan oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan (1981). Komponen Sosial Ekonomi yang diteliti adalah perbandingan manfaat dan biaya antara ladang dengan plot percobaan dengan menggunakan analisis net benefit cost ratio (net B/C) serta sikap dan persepsi peladang

Aspek Aspek Edit

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Aspek Aspek Edit

RINGKASAN

ILAH LADAMAY, Aspek-Aspek Konservasi Dalam Tradisi Perladangan

Berpindah Di Sulawesi Tenggara. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari

strategi adaptasi peladang yaitu dengan membandingkan komponen biofisik dan

komponen sosial ekonomi peladang dengan usaha-usaha pertanian menetap dalam

satu siklus ladang (tiga tahun) . Komponen biofisik yang diteliti meliputi sifat

fisik dan kimia tanah, pertumbuhan gulma dan tingkat serangan hama tanaman.

Penilaian terhadap sifat fisik dan kimia tanah dilakukan dengan cara

membandingkan antara kriteria sifat fisik kimia tanah yang dikeluarkan oleh Pusat

Penelitian Tanah Bogor (1983) dengan hasil pengukuran di ladang dan plot

percobaan. Pengumpulan data gulma menggunakan metoda garis (line intersept)

kemudian menghitung indeks nilai penting (INP). Dasar penilaian tingkat

serangan hama tanaman menggunakan kriteria yang dikeluarkan oleh Direktorat

Perlindungan Tanaman Pangan (1981).

Komponen Sosial Ekonomi yang diteliti adalah perbandingan manfaat dan biaya

antara ladang dengan plot percobaan dengan menggunakan analisis net benefit

cost ratio (net B/C) serta sikap dan persepsi peladang terhadap iklim, tanah dan

hutan dengan menggunakan analisis Chi- kuadrat. Penelitian ini berlokasi di Desa

Aoma Kecamatan Konda Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara.

Hasil penelitian terhadap tanah menunjukkan bahwa baik pada ladang

maupun plot percobaan terjadi penurunan semua parameter seperti pH tanah

berubah dari agak masam menjadi masam sampai sangat masam, kandungan

bahan organik menurun dari sedang menjadi rendah sampai sangat rendah, KTK

berubah dari sedang menjadi rendah sampai sangat rendah, pori aerasi berubah

dari rendah menjadi sangat rendah dan permeabilitas berubah dari buruk menjadi

sangat buruk.

Page 2: Aspek Aspek Edit

Perubahan sifat kimia dan fisik tanah di ladang diikuti dengan perubahan

formasi gulma yang berada di atasnya. Walapun Euphatorium sp. tetap

memperlihatkan dominansi dari tanam pertama sampai tanam ketiga, tetapi INP-

nya terns menurun yaitu dari 92,32 pada tanam, pertama menjadi 85,56 pada

tanam kedua dan 68, 03 pada tanam ketiga. Di lain pihak Imperata cylindrica

sebagai salah satu gulma yang berbahaya memperlihatkan peningkatan,INP yaitu

dari 14,66 pada tanam pertama menjadi 27, 64 pada tanam kedua dan 42, 90 pada

tanam ketiga. Pertumbuhan gulma pada tanam ketiga di plot percobaan

didominasi oleh Ageratum sp. dengan INP 146,84 dan kemudian diikuti oleh

Euphatorium sp., Cynodon sp. dan Paspalum sp. Tidak diketemukan Imperata

cylindrica pada plot percobaan disebabkan oleh kegiatan penyiangan yang teratur.

Hama tanaman yang ditemukan adalah penggerek batang, walang sangit dan

ulat grayak. Pada tanam pertama dan kedua baik di ladang maupun di plot

percobaan jenis-jenis hama yang ditemukan masih berada di bawah ambang batas

ekonomi, sedang pada tanam ketiga semuanya telah berada di atas nilai ambang

batas ekonomi. Berdasarkan hasil pengukuran di atas, maka dapat dikatakan

bahwa komponen ekosistem merupakan pembatas yang kuat pada sistem

pertanian di lingkungan perladangan. Usaha-usaha manipulasi ekosistem dengan

pemberian input ternyata tidak memberikan perubahan yang baik pada kondisi

biofisik. Hal ini tidak saja terjadi pada plot percobaan tetapi juga pada sistem

pertanian yang lebih lugs dalam masyarakat tani di Sulawesi Tenggara, seperti

pada pertanian lahan keying dan sawah.

Pola tanam di ladang adalah --umpang sari padi dan jagung. Pada tanam

pertama padi ditanam dengan kepadatan populasi lebih tinggi dibanding jagung,

sedang tanam kedua populasi jagung lebih tinggi.

Biaya yang dikeluarkan oleh peladang terns menurun dari tanam pertama

hingga tanam ketiga yaitu Rp. 576.000,- pada tanam pertama, Rp. 422.000,- pada

Page 3: Aspek Aspek Edit

tanam kedua dan Rp. 351.000,- pada tanam ketiga. Penurunan biaya pada setiap

musim tanam karena adanya beberapa kegiatan seperti pembukaan lahan dan

pembuatan pagar yang memerlukan tenaga kerja yang banyak tidak lagi

dilaksanakan. Sedang biaya yang dikeluarkan pada plot percobaan adalah tetap

yaitu Rp. 599.950,-.

Rata-rata produksi padi pada ladang untuk tanam pertama adalah 2,684

ton/ha, 1,816 ton/ha pada tanam kedua atau turun 32,34% dan 1,160 ton/ha pada

tanam ketiga turun 56,78% terhadap tanam pertama dan 36,12% terhadap tanam

kedua. Sedang produksi jagung 2,693 ton/ha pada tanam pertama, 3,365 ton/ha

pada tanam kedua atau naik 24,95% terhadap tanam pertama dan 1,441 ton/ha

pada tanam ketiga, turun 46,49% dari produksi tanam pertama dan 133,5% dari

tanam kedua. Sebagai perbandingan rata-rata hasil padi gogo di Sulawesi

Tenggara adalah 1,690 ton/ha, padi sawah 3,922 ton/ha dan jagung 1,775 ton/ha.

Apabila dikonversikan ke dalam nilai kalori, dengan angka konversi 359

kalori/100 gr beras dan 355 kalori/100 gr jagung maka pada tanam pertama

jumlah kalori yang dihasilkan untuk padi dan jagung adalah 17.268.598 kal./ha

pada tanam kedua 17.161.302 kal./ha dan pada tanam ketiga 8.447.070 kal./ha.

Produksi plot percobaan pada tanam pertama hingga ketiga relatif tetap yaitu pada

tanam pertama 9.477.600 kal./ha. tanam kedua 9.563.760 kal./ha dan pada tanam

ketiga 8.630.360 kal./ha. Rata-rata lugs lahan yang dikerjakan adalah 0,7 ha per

kepala keluarga per tahun maka rata-rata produksi nyata adalah pada tanam

pertama 9.011.175,7 kalori, pada tanam kedua 12.012.911,4 kalori dan pada

tanam ketiga 5.912.949,0 kalori. Sedang hasil bersih setelah bagi hasil adalah

pada tanam pertama 6.307.822,9 kalori, pada tanam kedua 8.409.037,98 kalori

dan pada tanam ketiga 3.895.675,8 kalori. Hasil bersih yang diperoleh pada tanam

ketiga ini telah berada di bawah kebutuhan kalori untuk satu rumah tangga dengan

6 anggota keluarga yaitu 4.599.000 kalori. Kondisi seperti ini terjadi karena

Page 4: Aspek Aspek Edit

adanya kebiasaan beberapa rumah tangga tidak mengerjakan lahannya dan mereka

hanya mengharapkan bagi hasil.

Analisis net B/C menunjukkan bahwa selama satu siklus ladang memiliki

nilai net B/C = 2,77, lebih besar dibanding dengan plot percobaan yaitu nilai net

B/C = 1,58. Hal ini menunjukkan bahwa pengalokasian sumberdaya pada ladang

lebih baik. Atau dengan kata lain strategi yang dijalankan oleh peladang sudah

tepat untuk kondisi lingkungan seperti yang dihadapi dalam satu siklus.

Peladang lebih optimis dalam menghadapi musim kemarau karena menurut

mereka dengan kemarau yang cukup panjang akan memberikan hasil yang baik

pada produksi ladang pada tahun berikut dan juga hasil-hasil di luar ladangseperti

hasil hutan, rawa dan buah-buahan akan meningkat.

Hasil pengujian Chi-kuadrat antara persepsi dan sikap peladang terhadap

tanah menunjukkan nilai X2 hltnng = 7, 7. > X2 tabel 0.05 db=l = 3,84,

berdasarkan hipotesis berarti tidak ada hubungan antara persepsi dan sikap.

Perbedaan ini disebabkan karena adanya kesenjangan antara pengetahuan teori

yang dimiliki dengan keterampilannya, sehingga walaupun mereka mengetahui

bahwa cara-cara lama yang dikerjakan tidak menguntungkan, tetapi karena

terbatasnya keterampilan maka cara-cara seperti berpindah dan membakar di atas

lahan terns dilakukan.

Hasil pengujian Chi-kuadrat persepsi dan sikap peladang terhadap hutan

menunjukkan nilai X',,,tu., = 0,386 < dari X2 tabel 0,05 db=1 = 3,84, berdasarkan

hipotesis berarti ada hubungan antara persepsi dan sikap peladang terhadap tanah.

Tetapi nilai koefisien kontingensi c = 0,08, berarti hubungan antara persepsi dan

sikap sangat lemah. Hal ini dapat terjadi karena mereka menyadari hutan

memberikan kontribusi energi yang besar bagi rumah tangga peladang, tetapi

karena terbatasnya keterampilan untuk mempertahankan tingkat kesuburan ladang

maka mereka akan tetap merombak hutan untuk dijadikan ladang.

Page 5: Aspek Aspek Edit

Perladangan ditinjau dari komponen biofisik lahan menunjukkan bahwa

faktor-faktor ekologis merupakan pembatas yang kuat dalam pengembangannya.

Kondisi ini juga terjadi pada sistem pertanian menetap. Aspek-aspek konservasi

yang berkaitan dengan pengelolaan komponen biofisik seperti cara penanaman

dengankepadatan yang berbeda-beda cukup berhasil, hal ini ditandai dengan

peningkatan produksi kalori pada tanam kedua perlu diikuti dengan usaha-usaha

pengaturan jarak tanam dan cara menanam secara tandur jajar. Penanaman dengan

cara menugal berkaitan dengan minimum tillage, untuk mengurangi erosi tetapi

harus memenuhi persyaratan seperti penggunaan mulsa. Apabila penggunaan

mulsa jerami padi dan jagung diterapkan akan dapat memberikan keuntungan

ganda yaitu lahan tidak dibakar dan mulsa dapat memperkaya bahan organik dan

memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah.

Dari aspek sosial ekonomi strategi peladang dapat dikatakan tepat, karena

memiliki nilai net B/C yang lebih baik untuk satu siklus tanam selama tiga tahun.

Tetapi adanya kebiasaan-kebiasaan bagi hasil akibat beberapa rumah tangga tidak

membuka lahan mengakibatkan produksi yang seharusnya dapat memenuhi

kebutuhan kalori satu rumah tangga menjadi berkurang.

Penggunaan sumber-sumber energi yang berasal dari hutan, rawa, bunggu,

sagu dan ternak menggambarkan diversifikasi sumber energi dan penggunaan

secara lestari karena bersiklus. Tetapi sumber-sumber ini perlu ditingkatkan

produktivitasnya melalui usaha-usaha budidaya untuk menjaga

kesinambungannya.

Keterampilan peladang perlu ditingkatkan untuk menghindari persepsi dan

sikap yang berbeda terhadap sumberdaya, karena perbedaan pandangan dalam

masyarakat dan kecenderungan perbuatannya akan sangat sulit menetapkan

program yang tepat.

Page 6: Aspek Aspek Edit

Berkenaan dengan beberapa kendala dalam mengembangkan perladangan

yang bertumpu pada tradisi mereka maka subsidi pemerintah mutlak diperlukan

untuk meningkatkan keterampilan peladang dan memajukan usahatani yang

berkesinambungan yang berorientasi pada lingkungannya.

Page 7: Aspek Aspek Edit

KATA PENGANTAR

Atas berkat Rahmat Allah Subhanawataala, tulisan ini dapat diselesaikan.

Tulisan ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan tulus penulis sampaikan

dengan hormat kepada Bapak Ir. Syafii Manan M.Sc., Bapak Prof. Dr. S.M.P.

Tjondronegoro dan Bapak Dr. H. Suwardjo, selaku Komisi Pembimbing, atas

pembinaan dan fasilitas yang diberikan sejak persiapan penelitian sampai

selesainya penulisan Tesis ini.

Kepada Direktur Program Pascasarjana IPB, Pengelola TMPD, Ketua

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan Staf, penulis

mengucapkan terima kasih atas segala bantuan dan kerjasamanya. Terima kasih

yang mendalam penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Haluoleo Kendari,

Bapak Dr. Ir. Soleh Solahuddin, M.Sc., Dekan Fakultas Pertanian Universitas

Haluoleo Kendari Bapak Ir. Mahmud Hamundu M.Sc. atas bantuan dan

kesempatan yang diberikan untuk mengikuti Program Magister Sains di IPB.

Penulis panjatkan doa dan syukur kepada almarhum Ayah dan Bunda

tercinta atas keberhasilan ini. Kepada Bapak Drs. Suleman sekeluarga dan juga

seluruh keluarga penulis mengucapkan banyak terima kasih atas segala

bantuannya. Khusus kepada Istri tercinta Masyhura Ladamay dan anakanakku

tersayang Muhammad Rifai, Meryam Faradibah dan Mariana Filda Fadillah atas

dorongan, pengertian dan doa restu, yang senantiasa mengiringi penulis.

Akhirnya semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan Allah swt. senantiasa

melimpahkan rahmat kepada kita semua. Amin!

Page 8: Aspek Aspek Edit

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah anak ketujuh dari tiga belas bersaudara, dari Ayah O.M.N.

Ali Ladamay dan Ibu Rapidjah Laduani. Dilahirkan di Tanah-Merah (Digul) Irian

Jaya pada tanggal 18 November 1958.

Lulus Sekolah Dasar Khatolik Bambu Pemali Merauke tahun 1970, tahun

1973 lulus Sekolah Teknik Mesin di Merauke, Tahun 1979 lulus STM

Pembangunan di Ujung Pandang dan tahun 1980 lulus SMA Muhammadyah di

Kendari. Pada tahun 1980 melanjutkan pada Fakultas Pertanian Universitas

Haluoleo jurusan Sosial Ekonomi dan lulus pada tahun 1986.

Sejak tahun 1986 sampai sekarang menjadi dosen tetap pada Fakultas

Pertanian Universitas Haluoleo Kendari. Pada tahun 1990 mendapat tugas belajar

di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan mengambil program studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

Page 9: Aspek Aspek Edit

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perladangan berpindah memiliki sejarah yang panjang dalam peradaban

manusia, karena bentuk ini diidentifikasikan sebagai peral iihan dari berburu dan

meramu ke bentuk pertanian menetap yang telah berlangsung sejak ribuan tahun.

Berbagai bukti arkeologis menunjukkan bahwa pusat-pusat peradaban manusia

seperti di Asia Barat Daya dan Meksiko Timur Laut telah berkembang sejak

ribuan tahun sebelum masehi, (Wolf, 1983).

Dari pusat-pusat peradaban ini tata cara budidaya tanaman dan hewan

menyebar dengan berbagai kecepatan yang berbeda-beda ke pelbagai arch sesuai

dengan tuntutan iklim baru dan kebutuhan-kebutuhan sosial baru. Karena berbagai

kondisi tuntutan itu menyebabkan bentuk-bentuk budidaya ini menyebar tidak

merata dari satu tempat ke tempat lain juga dari satu sistem kemasyarakatan ke

sistem kemasyarakatan lainnya.

Perdebatan antara kendala ekologis yang menciptakan karakteristik sosial

tertentu atau kendala ekologis hanya memberikan sumbangan yang kecil terhadap

pembentukan karakteristik sosial, masing-masing memiliki alasan dan bukti-bukti

yang sama baiknya. Proses adaptasi manusia dengan lingkungan, menciptakan

berbagai ciri kebudayaan dan

Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah di Indonesia yang sebagian

besar penduduknya terutama penduduk setempat mempraktekkan cara

perladangan berpindah. Bentuk perladangan yang akan dibahas adalah

perladangan yang dilakukan oleh suku Tolaki yaitu salah satu dari empat suku

Page 10: Aspek Aspek Edit

yang berdomisili di Jazirah Sulawesi Tenggara.

Perladangan di kalangan suku Tolaki disebut mondau, dalam prakteknya

bentuk ini merupakan pertanian tebas bakar, seperti bentuk perladangan lazimnya.

Pembukaan hutan dilakukan dengan menebas semak-semak kemudian pohon-

pohon yang berukuran besar dan setelah hasil tebasan mengering lalu dibakar-

Penanaman dilakukan dengan cara menugal, tindakan pemeliharaan hanya dengan

membuat pagar untuk menghindari babi hutan dan setelah ditanam tiga sampai

empat musim lahan tersebut ditinggalkan. Siklus ini berlangsung dalam suatu

areal yang terbatas yang diistilahkan dengan areal subsisten yang luasnya dapat

mencapai 15 - 20 ha, tetapi yang dimanfaatkan setiap tahun rata-rata 0,7 ha.

Pertambahan penduduk berbarengan dengan kemajuan teknologi dewasa ini,

menyebabkan bentuk perladangan dirasakan tidak sesuai lagi, karena penggunaan

lahan yang boros. Tetapi masalahnya bukan hanya pada teknik agronomi saja, di

dalamnya terkait berbagai masalah ekologi, social ekonomi dan kebudayaan.

Pertanyaannya kini adalah apakah tradisi berpindah setelah tanam ketiga

atau keempat merupakan strategi yang tepat dan apakah pada saat itu kondisi

biofisik ekosistem sebagai faktor pembatas tidak menunjang lagi untuk

berproduksi?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini akan mempelajari cara-cara peladang mengelola lahannya

yaitu dengan cara membandingkan kondisi biofisik dan produksi ladang dengan

usaha-usaha pertanian menetap, yang menerapkan teknologi pertanian.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kondisi

Page 11: Aspek Aspek Edit

biofisik lahan bekas perladangan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat ladang,

untuk usahausaha peningkatan kesejahteraannya.

Hipotesis Penelitian

1. Pada tanam ke tiga kondisi biofisik ekosistem ladang berada dalam keadaan

yang rapuh (fragile).

2. Tradisi peladang yang berpindah setelah tanam ke tiga merupakan strategi

yang tepat ditinjau dari segi produktivitas untuk kurun waktu tersebut,

sepanjang lahan masih cukup tersedia.

Page 12: Aspek Aspek Edit

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Perladangan

Bentuk pertanian yang dilaksanakan di atas lahan kering dan umumnya

tersebar di daerah tropic dikenal sebagai perladangan. Berdasarkan ciri aktivitas

dalam sistem ini, maka Bering disebut sebagai perladangan berpindah atau

pertanian tebas bakar. Suatu sebutan yang berkonotasi kurang baik dalam sistem

pertanian.

Berdasarkan lamanya daur penggunaan lahan bentuk pertanian dapat

dibedakan atas (1) sistem usahatani menetap, (2) sistem usahatani bera dan (3)

sistem perladangan (1-'.--syad, 1989). Klasifikasi ini didasarkan pada nilai indeks

penggunaan lahan (R) yang dihitung berdasarkan lamanya lahan dimanfaatkan (N)

dan lamanya lahan tidak ditanami (M). Rumus yang digunakan adalah:

.................... (1)

Bila nilai R berkisar antara 66 - 300 disebut sistem usahatani menetap, R

lebih kecil dari 66 dan lebih besar dari 33 disebut sistem usahatani bera, sedang

bila R sama dengan atau kurang dari 33 disebut perladangan.

Klasifikasi ini menarik bila dikaitkan dengan konsep regionalisms yang

secara sosiologis ditemukan keterpaduan antara manusia dengan alamnya. Sistem

kemasyarakatan yang manusia masih begitu tergantung pada alam, maka ruang

yang dibutuhkan lebih lugs dari pada suatu kondisi kemasyarakatan yang

ketergantungannya pada alam terbatas. semakin besar nilai R maka

ketergantungan manusia kepada alam semakin kecil yang berarti tingkat

pengelolaan ekosistem semakin intensif.

Page 13: Aspek Aspek Edit

Kendala dalam perladangan adalah ketersediaan air yang dibutuhkan untuk

pertumbuhan tanaman. Dengan demikian maka pengaturan waktu tanam sangat

tergantung pada musim hujan. Di lain pihak diketahui bahwa pada daerah-daerah

hutan hujan tropik-sebagian hara tersimpan dalam biomasa vegetasi (Manan,

1976), seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

Keterangan :Serasah Tanah [M. Da u n k',-I Y LJ

Gambar 1. Diagram dstribusi karbon organik 250 ton/ha yang tertimbun dalam komponen biotik (kayu, dawn) dan abiotik (tanah, serasah di daerah sedang (northern coniferus forest) dan di daerah tropika (tropical rain forest). Sumber: Ovington, 1962 dalam Manan,.1976.

Pembukaan hutan yang diikuti dengan pemanfaatan sebagai lahan pertanian

tanpa diikuti dengan upaya konservasi mengakibatkan, dalam beberapa musim

akan terjadi penurunan produksi dengan cepat. Penurunan produksi yang cepat

tidak dapat diatasi hanya dengan subsidi energi (pemberian pupuk), tetapi juga

Page 14: Aspek Aspek Edit

harus ditunjang dengan ketersediaan air yang cukup seperti melalui pembangunan

irigasi. Hal ini berarti memerlukan investasi yang besar.

Sistem yang telah dijalankan oleh masyarakat setempat mungkin sekali tepat

untuk kondisi dengan kendala seperti itu. Karena terbentuknya tradisi suatu

masyarakat adalah melalui suatu proses yang panjang, yang pada akhirnya dapat

teradaptasi.

Cara-cara penggunaan lahan yang bersifat ekstensif pada perladangan

memang rasanya kurang sesuai lagi untuk kondisi dewasa ini, disebabkan lahan

merupakan sumberdaya yang terbatas. Tetapi alasan ini perlu dihayati berkaitan

dengan berbagai kondisi sosial ekonomi masyarakat perladangan dan juga kondisi

elrologinya, yang pada akhirnya keputusan akan jatuh pada pengalokasian

sumberdaya yang paling menguntungkan.

Disamping mondau, suku Tolaki Di Sulawesi Tenggara membedakan sistem

pertanian atas, mepombahora dan megalu. Mondau merupakan sistem yang

paling sederhana dimana masyarakat masih bersifat sangat nomad sedang

mepombahora adalah sistem pertanian yang pemukiman penduduk telah

menetap, tetapi lahannya berpindah-pindah. Megalu, adalah bersawah, yang

dilakukan pada daerah genangan atau sekitar rawa, atau yang lebih dikenal dengan

sawah tadah hujan.

Dengan sekali membuka lahan yang berukuran antara 0,4 - 1,1 ha atau rata-

rata 0,7 ha. Hasan (1987) menyatakan mereka dapat berproduksi dengan hanya

mengandalkan input tenaga kerja. Input tenaga kerja itupun akan berkurang pada

Page 15: Aspek Aspek Edit

setiap musim tanam karena kegiatan yang harus dilakukan tidak sebanyak pada

saat membuka hutan dan memagar ladangnya. Walaupun produksi pada setiap

musim tanam berkurang, tetapi penurunan produksi juga diikuti dengan penurunan

input.

Steggerda (1941) mendapatkan bahwa produksi tahun kedua hanya mencapai

80% dari tahun pertama. Penurunan produksi juga bersamaan dengan penurunan

tingkat kesuburan tanah seperti yang dikemukakan oleh Cogwil (1962) yang

mempelajari masalah tanah di Peten Tenggah. Ia mendapatkan bahwa terjadi

penurunan pH 1,3%, bahan organik 6 - 8%, N total 5 - 9%, fospor 1,8%, potasium

19,6%, magnesium 30% dan kalsium 15%. Tetapi akibat pembakaran ternyata

menaikkan kandungan potasium dan mangan. Penurunan unsur-unsur ini

berimbang dengan penurunan produksi.

Pengaruh terbesar dari pH terhadap pertumbuhan tanaman adalah pada

ketersediaan unsur hara. Menurut Harjadi (1979) pH tanah yang cocok (6 - 7)

untuk pertumbuhan sangatlah vital. Nilai pH yang terlalu tinggi ( >9 ) atau terlalu

rendah (<4) sudah merupakan racun untuk akar-akar tanaman. Hubungan yang

umum antara pH tanah dan ketersediaan unsur hara tanaman dikemukakan oleh

Foth (1991) pada Gambar 2 berikut ini :

Page 16: Aspek Aspek Edit

Keasaman tinggiKeasaman sedang

Kea-samanrendah

Kea-samansangatrendah

Keba-saansangatrendah

Keba-saanrendah

Keba-saan

sedang

Kebasaan tinggi

Gambar 2. Hubungan antara pH Tanah dan Ketersediaan Unsur Hara Tanaman (Sumber : Foth, 1991)

Pada Gambar 2 terlihat bahwa ketersediaan unsur hara bervariasi menurut

pH tanah. Unsur-'unsur seperti aluminium, besi dan mangan akan memberikan

reaksi toksik pada tanaman untuk tanah-tanah masam.

Oleh karena itu Foth (1991) memberikan dua alternatif pendekatan untuk

menjamin tanaman akan tetap tumbuh tanpa hambatan pada tanah-tanah dengan

kendala derajat kemasaman tertentu yaitu 1) tanaman dapat dipilih (diseleksi)

yang akan tumbuh baik pada pH yang sudah ada atau 2) pH tanah dapat diubah

sesuai dengan keinginan tanaman.

Selanjutnya Steggerda (1941) juga melihat hubungan antara gulma dengan

perladangan. Dari pengamatan terhadap 86 jenis gulma yang berkompetisi dengan

jagung pada musim tanam kedua, ternyata bahwa perakaran jagung masih dapat

Page 17: Aspek Aspek Edit

berkembang 10 - 15% dibanding dengan tanam tahun pertama. Walaupun terlihat

perakaran jagung masih mampu berkembang, tetapi dengan bertambahnya

populasi gulma akan menurunkan kesuburan tanah dan bersama itu juga terjadi

penurunan produksi (Vine 1953) dalam Steggarda (1941).

Secara keseluruhan Walters (1971) mengatakan bahwa sifat-sifat tanah di

daerah tropik dan juga kendala iklim, terutama curah hujan menyebabkan tidak

memungkinkan suatu lahan diusahakan secara terns menerus tanpa diikuti oleh

pemberian input yang tinggi. Di samping itu masalahmasalah ekologi juga perlu

dipertimbangkan seperti perubahan ekosistem dari tingkat keanekaragaman yang

tinggi menjadi suatu lahan pertanian yang monokultur yang mana

keseimbangannya sangat terganggu.

Sehubungan dengan itu Greenland dan Nye (1959) dalam Jiriskoupy (1978),

telah melakukan penyelidikan terhadap bahan-bahan organik yang ada dalam

tanah pada lahan-lahan perladangan dan lahan bekas perladangan dan menemukan

bahwa satu tahun tanam wajib mengistirahatkan tanah empat tahun, dua tahun

tanam wajib mengistirahatkan tanah tujuh tahun dan tanah-tanah yang telah

ditanam tiga tahun berturut-turut wajib diistirahatkan 10 tahun. Untuk kriteria

yang terakhir yaitu bila lahan diistirahatkan selama ± 10 tahun, akan sejalan

dengan mekanisme suksesi sebagaimana yang digambarkan oleh Whitten (1987).

Suatu bagan suksesi hutan di Sulawesi dikemukakan oleh Steup (1931, 1933,

1939a,b), Bloembergen (1940), Wirawan (1981) dan Rerung (1983)dalam

Whitten (1987) seperti pada Gambar 3.

Page 18: Aspek Aspek Edit

BUMBU

Pertanian berpindah secara berulang dengan waktu istirahat singkat atau gangguan lain berulang-ulang

HUTANPENDEWASAAN

HUTAN PENGEMBANGAN

Penebangan pohon secara selektif

pembersihan pinggir jalan perusahaan kayu

pisang hutan jahe hutan dan Piper pisang hutan jahe hutan dan Piper anducus anducus

Macaranga Anthocepphalus Homalanthus Nauclea

Pertanian berpindah 2 tahun ditanami dan ditinggalkan 15-30 tahun

HUTAN TERGANGGU

Penebangan pohon secara keseluruhan

PENGOLAHAN TINGKAT I

ditinggalkan setelah beberapa tahun

Melastoma Eupatorium Ficus

masa istirahat pendek dan pembakaran sering

PENGOLAHAN TINGKAT II

pembakaran tidak sering terjadi

Imperata Melastoma Morinda Fragrea

Pembakaran berulang-ulang

Rumput Arundinella Themeda Axonopus

Pembakaran sekali-sekali

Pakis Dicranopteris pteridium

Pembakaran tidak sering terjadi

Page 19: Aspek Aspek Edit

Gambar 3. Bagan Suksesi Hutan di Sulawesi Sumber : Steup (1931, 1933, 1939a, b) Bloembergen (1940), Wirawan (1981) dan Rerung (1983) dalam Whitten (1987).

Menurut Whitten (1987), yang terpenting dari suatu ekosistem pertanian

adalah produktivitas, stabilitas dan pemulihan kembali (sustainabilitas).

Perladangan dari sudut pandang sosiologis dapat mencakup ketiganya. Dengan

lugs areal subsisten yang memadai maka ketiga aspek di atas dapat terjamin.

Bahkan mungkin secara ekonomi dan ekologi juga menguntungkan. Perladangan

sebagai suatu depot logistik bagi masyarakat ladang dengan cara usaha yang tidak

intensif memungkinkan mereka memiliki cukup kesempatan untuk memanfaatkan

berbagai sumberdaya yang tersedia di sekitar mereka. KEPAS (1990), membuat

suatu bagan alir input-output tentang sistem, perladangan di Irian Jaya dan

berdasarkan model ini dimodifikasi untuk melihat bagan alir input-output system

perladangan di Sulawesi Tenggara, seperti pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram Input-Output Sistem Perladangan di Sulawesi Tenggara.

(Sumber : KEPAS, 1990)

Page 20: Aspek Aspek Edit

Model input-output perladangan juga dikemukakan oleh Deshmukh (1988),

yang meneliti perladangan berpindah di daerah Tsembaga, Papua New Guinea.

Ditinjau dari subsidi energi manusia, sistem perladangan berpindah menunjukkan

tingkat efisiensi pemanfaatan energi dan nisbah output-input yang tinggi yaitu 15 :

1. Hal ini disebabkan karena di samping energi yang dihasilkan dalam bentuk

produksi pertanian tanaman pangan, para peladang juga mendapatkan output

energi berupa daging hewan (ternak babi), daging hewan buruan dan hasil hutan

lainnya. Model input output yang dikemukakan seperti pada Gambar 5.

Gambar 5. Arus Energi Dalam Sistem Perladangan Berpindah di Tsambaga, Daerah Pegunungan di Papua New Guinea. Angka-angka Menunjukkan Jumlah Unit Energi Dalam Kj /M2 /tahun (Sumter: Deshmukh 1988).

Page 21: Aspek Aspek Edit

Ekosistem Manusia

Konsep tentang produktivitas ekosistem dalam hubungannya dengan

relevansi dari teori perkembangan ekosistem terhadap ekologi manusia, akan

dipilih sebagai dasar dari kajian ekosistem manusia, sebagaimana yang

dikemukakan oleh Clapham (1976). Perbedaan antara strategi manusia dan alam

dalam perkembangan ekosistem sesuai konsep produktivitas adalah bahwa alam

memaksimalkan produksi kotor sedang manusia memaksimumkan produksi

bersih (Odum 1971).

Peningkatan produksi bersih oleh manusia dilakukan dengan memberikan

subsidi energy kedalam ekosistem yang dibudidayakan. Energi yang disubsidi

dapat berupa bahan bakar fosil, binatang, energi kerja manusia ataupun energi

kimia dalam bentuk pupuk buatan dan obat-obatan. Usaha-usaha ini ditunjukkan

untuk mencapai suatu efisiensi perbandingan antara produksi dan biomas yang

tinggi.

Usaha-usaha subsidi energi, bila dipandang dari sudut ekologi manusia,

maka tindakan itu tidak lain adalah merupakan suatu tindakan pengelolaan. Untuk

mempertahankan keadaan minimal dalam suatu masyarakat, diperlukan input

untuk mempertahankan kondisi ekosistem. Pemberian input terbatas sampai pada

tingkat tertentu dimana input yang berlebihan akan memperlihatkan sifat

kejenuhan (Watt, 1981). Untuk itu maka perlu tindakan pengawasan dalam

mempertahankan suatu ekosistem manusia yang produktif.

Dalam hubungannya dengan usaha-usaha mempertahankan suatu ekosistem

manusia yang produktif maka perlu diidentifikasi dan interpretasi secara

Page 22: Aspek Aspek Edit

berurutan pada batas-batas perkiraan mana suatu ekosistem dapat menunjang

pertumbuhan populasi manusia. Ciapham (1976), mengemukakan tiga

karakteristik ekosistem manusia yang secara kualitas membedakannya dengan

ekosistem alam. Pertama, distribusi dan fungsi dari ekosistem manusia lebih

dikontrol oleh ekonomi, social dan politik daripada oleh factor alam. Kedua,

sumberdaya yang didasarkan atas stabilitas ekosistem alam merupakan pembatas

dari ekosistem manusia. Ketiga laju inovasi dalam ekosistem alam dan ekosistem

manusia adalah secara toal berbeda.

Karakteristik pertama menunjukkan bahwa dalam pengelolaan ekosistem,

ada prioritas-prioritas yang berbeda dalam setiap masyarakat. Perbedaan ini

sangat tergantung kepada kemampuan masyarakat beradaptasi dengan

lingkungannya dan intensitas hubungan dengan masyarakat lainnya. Oleh karena

itu struktur dari dua ekosistem alam yang telah diidentifikasi iklim, tanah dan

topografi dapat berbeda penggunaannya jika masyarakat yang memanfaatkan

mempunyai prioritas-prioritas yang berbeda atau berbeda kemampuannya. Hal ini

sejala dengan apa yang digambarkan oleh Rambo (1982) mengenai lahan-lahan

pertanian orang Cina dan penduduk Melayu di Semananjung Malaysia.

Penekanan dari karakteristik kedua, bahwa factor alam merupakan pembatas

bagi usaha pengelolaan manusia. Keterbatasan itu terletak pada sumberdaya alam

yang tersedia, tingkat ekonomi, biaya-biaya social dan kepentingan-kepentingan

politik. Ini berarti berlaku prinsip penjenuhan yaitu untuk banyak fenomena sering

terjadi penghancuran disebabkan oleh pengeksploitasian sumberdaya yang

mendekati batas maksimum (Watt, 1973).

Page 23: Aspek Aspek Edit

Bila dikaitkan dengan karakteristik pertama, maka dapat dilihat bahwa

kemampuan manusia dalam memanipulasi ekosistemnya dari satu tempat ke

tempat yang lain akan berbeda. Seberapa jauh perbedaan itu, akan tetap dibatasi

oleh karakteristik kedua, yaitu kemampuan manusia akan tetap dibatasi oleh

ketersediaan sumber daya alam. Sehingga seberapa jauh kemampuan manusia

memanipulasi ekosistemnya akan sangat tergantung pada keputusan-keputusan

yang berhubungan dengan pertimbangan biaya manfaat, keinginan-keinginan

social dan kepentingan-kepentingan politiknya. Pertimbangan-pertimbangan ini

biasanya mengalahkan pertimbangan ekologi.

Oleh karena itu setiap usaha-usaha manusia itu ada batasnya, dimana pada

tingkat tertentu masukan yang diberikan tidak lagi memberikan respon. Artinya

ada suatu batas, dimana pada batas itu akan terjadi hokum kejenuhan atau

kenaikan hasil yang berkurang. Dengan demikian batas kepentingan ekosistem

dapat diperkirakan melalui tingkat masukan pengelolaan. Tetapi harus diikuti

dengan pengujian komponen biofisik ekosistem seperti tanah, flora dan fauna

yang berhubungan erat dengan usaha-usaha budidaya.

Dengan memasukkan pertimbangan ekonomi dan ekologi pada suatu

ekosistem maka ada dua fenomena yang terjadi yaitu suatu perkembangan

ekosistem alami melalui mekanisme suksesi dan usaha pemanfaatan ekosistem

yang bergerak invers mekanisme suksesi. Bila perkembangan ekosistem itu

mengikuti pertumbuhan eksponensial maka usaha-usaha pemanfaatan akan

bergerak mengikuti penurunan eksponensial. Secara grafis dapat digambarkan

pada gambar 6 dan 7.

Page 24: Aspek Aspek Edit

Gambar 6. Grafik pertumbuhan Eksponensial Ekosistem Alam. (Sumber : Clapham, 1976)

Gambar 7. Grafik Penurunan Eksponensial Ekosistem yang dibudidayakan. (Sumber : Ciapham, 1976)

Bila kedua grafik di atas dipadukan maka dapat dimengerti bahwa tindakan

pengelolaan identik dengan suksesi yang dimaksudkan disini adalah bahwa bila

tidak ada input maka lahan itu dapat dibiarkan sehingga pulih kembali. Untuk

pulih kembali ekosistem itu juga memerlukan energi. Persoalan disini adalah

bagaimana cara menyetarakan energi untuk pemulihan secara suksesi dengan

energi subsidi. Kondisi ini dapat ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Grafik Tekanan Balik Dari Suatu Ekosistem Yang Dimanfaatkan. (Sumber : Clapham, 1976)

Page 25: Aspek Aspek Edit

ta – tA adalah periode ekosistem dimanfaatkan sedang tA – ta adalah periode

suksesi (bera). Jika ekosistem itu dimanfaatkan secara terus-menerus maka ta-tA

adalah ekivalensi subsidi energi yang diperlukan sebagai tekanan balik dari t0-ta.

Menurut Odum (1936) dan Odum dan More (1938), sumbangan sosiologi

terhadap keterpaduan antara manusia dengan alam harus ditemukan dalam konsep

regionalisme. Sebagai suatu pendekatan untuk mengkaji suatu system

kemasyarakatan, perlu diperhatikan perbedaan-perbedaan nyata dalam dua cirri

utama yaitu cirri alam dan budaya masyarakat setempat.

Dengan demikian dapat dimengerti bagaimana suatu ciri dalam masyarakat

dapat terbentuk dan sesuai ciri itu kegiatan masyarakat dilakukan. Adaptasi

manusia terhadap lingkungannya tidak terbentuk begitu saja, tetapi banyak

dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungannya. Ketimpangan ekologi akan

muncul bila pertimbangan-pertimbangan ekologi didominasi oleh pertimbangan

social, ekonomi dan politik yang berasal dari luar system yang ada.

Konservasi

Konservasi didefinisikan sebagai perlindungan perbaikan dan pemakaian

sumber daya alam menurut prinsip yang akan menjamin keuntungan ekonomi atau

sosial yang tertinggi secara lestari (Siswomartono, 1989). Dalam hubungannya

dengan pertanian, maka pengertian konservasi akan berkaitan erat dengan

konservasi tanah dan air. Batasan yang diberikan untuk konservasi tanah adalah

usaha-usaha yang ditunjukkan untuk mencegah kerusakan tanah karena erosi,

memperbaiki tanah yang rusak dan memelihara serta meningkatkan produktivitas

tanah agar dapat dipergunakan secara lestari sedang konservasi air pada

Page 26: Aspek Aspek Edit

prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien

mungkin dan pengaturan waktu aliran, sehingga tidak terjadi banjir yang merusak

dan terdapat cukup air pada musim kemarau (Arsyad, 1991).

Pemanfaatan secara lestari dengan memberikan keuntungan secara ekonomi

dan social tidak lain adalah upaya-upaya pengalokasian sumberdaya secara

maksimal. Prinsip-prinsip pengalokasian sumberdaya secara maksimal adalah

pengalokasian intertemporal yaitu factor waktu ikut menentukan dalam melihat

manfaat-manfaat yang diberikan oleh suatu kegiatan (Randall, 1981). Dalam

pengalokasian dan pemanfaatan sumberdaya orang akan diperhadapkan dengan

berbagai pilihan penggunaan dan pilihan cara-carea penerapan teknologi yang

paling menguntungkan. Konsep ekonomi yang berguna untuk menyelesaikan

masalah ini adalah analisis biaya-manfaat (benefit cost analysis) dan analisis cost

effectiveness (Haeruman, 1979).

Pemanfaatan lahan dengan cara berpindah-pindah, yaitu tanah-tanah yang

telah menurun produktivitasnya dibiarkan untuk memulihkan kondisinya melalui

mekanisme suksesi, mungkin sekali merupakan alternative dari pengalokasian

sumberdaya yang sesuai dengan kondisi biofisik setempat. Atau mungkin dengan

penerapan teknologi, sehingga tanah tidak perlu diistirahatkan tetapi ada

penggantian unsur-unsur yang terpakai melalui subsidi energi. Pilihan-pilihan ini

dapat ditetapkan berdasarkan kriteria dalam analisis biaya manfaat dengan

menggunakan perhitungan analisis biaya manfaat bersih (net B/C).

Pertimbangan ekologi yang perlu diperhatikan sehubungan dengan kegiatan

pertanian adalah masalah gulma dan serangga penganggu. Hubungan yang

Page 27: Aspek Aspek Edit

terpenting adalah populasi ambang batas ekonomi yaitu suatu tingkat populasi

dimana sudah perlu dilakukan tindakan pengendalian (Headley, 1972). Dalam

system perladangan nilai-nilai ini dapat dijadikan suatu indicator yang

menggambarkan bagaimana kondisi gulma dan serangga pada saat ladang itu

ditinggalkan.

Page 28: Aspek Aspek Edit

METODE PENELITIAN

Pendekatan Penelitian

Suatu pandangan social ekonomi dan pandangan ekologi akan digunakan

untuk mengukur tradisi berpindah dalam system perladangan berpindah, baik

secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis biaya manfaat dalam hal ini net

benefit cost (net B/C) merupakan ukuran kuantitatif, sedang ukuran-ukuran

kualitatif dilihat dari tata kerja, kontribusi tenaga kerja, cara-cara pembagian hasil

dan kegiatan seremonial yang kesemuanya merupakan pandangan social ekonomi.

Sedang pandangan ekologi meliputi factor-faktor pembatas biofisik, yang meliputi

komponen tanah dalam hal ini sifat fisik kimia tanah, flora dalam hal ini gulma

dan fauna dalam hal ini serangga penganggu.

Berdasarkan pendekatan di atas maka akan dilihat apakah keputusan

berpindah yang dilakukan oleh peladang setelah tanam ketiga atau keempat

merupakan keputusan yang beralasan.

Obyek Penelitian

Areal perladangan berpindah yang terdapat di Desa Aoma Kecamatan Konda

Kabupaten Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan obyek dari penelitian

ini. Peta lokasi kawasan tersebut seperti pada lampiran 13.

Konsep Penjabaran Hipotesis

1. Hipotesis Pertama

Pada tanam ke tiga kondisi biofisik ekosistem ladang berada dalam

keadaan yang rapuh (fragile). Sebagai tolok ukur dari kondisi ekosistem

ladang pada saat tanam ketiga maka akan digunakan indicator dari kondisi

Page 29: Aspek Aspek Edit

fisik kimia tanah, populasi ambang ekonomi gulma dan populasi ambang

ekonomi hama pengganggu.

a. Tanah

Kondisi fisik kimia tanah sebelum lahan dibuka dan hingga tanam

ketiga berturut-turut akan diteliti. Berkaitan dengan keputusan pindah

yang dilakukan oleh para peladang, maka akan diperbandingkan kondisi

fisik kimia tanah setelah tanam ketiga dengan kondisi fisik kimia tanah

yang disyaratkan dalam TOR Survey Kapabilitas Tanah sebagai baku

mutu tanah yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat

Bogor, seperti pada tabel 1.

Tabel 1a. Penilaian Sifat Kimia Tanah’

Sifat Tanah Sangat rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

C (%) < 1,00 1,00-2,00 2,01-3,00 3,01-5,00 > 5,0N (%) < 0,10 0,10 -0,20 0,21 – 0,50 0,51-0,75 > 0,75C/N < 5 5-10 11 – 15 16-25 > 25P205 HCl 25% (mg/100 g) < 10 10-20 21-40 41-60 > 60P205 Bray I (ppm) < 10 10-15 16-25 26-35 > 35K20 HCl 25% (me/100 g) < 10 5-10 21 – 40 25-60 > 35Susunan Kation :K (me/100 g) < 0,1 0,1-0,2 0,3-0,5 0,6-0,1 > 1,0Na (me/100 g) < 0,1 0,1-0,2 0,3-0,5 0,6-0,1 > 1,0Mg (me/100 g) < 0,1 0,1-0,2 0,3-0,5 0,6-0,1 > 1,0Ca ( me/100 g) < 0,1 0,1-0,2 0,3-0,5 0,6-0,1 > 1,0Kejenuhan basah (%) < 0,1 0,1-0,2 0,3-0,5 0,6-0,1 > 1,0Kejenuhan Aluminium < 0,1 0,1-0,2 0,3-0,5 0,6-0,1 > 1,0Cadangan mineral (%) < 0,1 0,1-0,2 0,3-0,5 0,6-0,1 > 1,0Daya hantar listrikBC x 1000 (mahos/cm) < 1 1-2 2-3 3-4 > 4Sangat masam

Masam Agak masam Mineral Agak Alkalis Alkalis

pH (H20) < 4,5 4,5-5,5 5,6-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 > 8,5Tabel 1b. Penilaian Sifat Fisik TanahPori Aerasi (%)

Pori Pemegang Air Tersedia (%)

Erodibilitas (Nilai K)

Kelas

< 5 < 5 0 – 0,1 Sangat rendah5 – 10 5 – 10 0,11 – 0,2 Rendah11 – 15 11 – 15 0,21 – 0,32 Sedang

16 – 20 0,33 – 0,42 Agak tinggi> 15 > 20 0,56 – 0,64 Tinggi

Page 30: Aspek Aspek Edit

Permeabilitas (cm/jam)

Kelas

< 0,125 Sangat lambat0,126 – 0, 50 lambat0,51 – 2,00 agak lambat2,01 – 6,35 Sedang6,36 – 12,70 Agak cepat12,71 – 25,40 Cepat> 25,40 Sangat cepat

b. Gulma

Identifikasi dan analisis gulma ditunjukkan untuk mengetahui jenis

gulma dan pertumbuhan populasi gulma.

Metoda yang akan digunakan adalah metoda garis (line intercept).

Selanjutnya dilanjutkan dengan menghitung indeks nilai (INP) gulma.

c. Serangga Penganggu

Inventarisasi dan identifikasi serangan pengganggu dimaksudkan

untuk memberikan gambaran tentang jenis dan keadaan populasi serangga

pada tanam ke tiga dan menetapkan populasi ambang ekonominya. Ukuran

populasi ambang ekonomi ditentukan berdasarkan pedoman dari

Pengendalian Hama Tanaman Pangan, Direktorat Perlindungan Tanaman,

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian seperti pada

Tabel 2.

Tabel 2. Daftar Ambang Ekonomi atau Ambang Toleransi Beberapa Hama Tanaman Padi di Indonesia

Jenis Hama Ambang Ekonomi /Toleransi1. Penggerak batang padi (Tryporita

incertulas)2. Wereng coklat (Nilaparvata lugens)

Intensitas serangan sundep/beluk : 10% 1-2 kelompok telur/m2.Nima/imago 5 ekor/rumpun pada tanaman berumur 40 hari dan 20 ekor/rumpun pada tanaman berumur 40 hari setelah tanam.

Page 31: Aspek Aspek Edit

3. Wereng hijau (Nephottetix :4. spp.)5. Walang sangit (Leptocorisa spp)6. Ganjur (Orsello oryzae)

7. Kepinding tanah (Scotinophora spp)8. Hama putih palsu (Cnaphalacrasis

medinalis) Hama putih (Nyumphula depunctalis)

9. Ulat grayak (Spodoptera mauritia)

Nimfa/imagoes sebanyak 10 ekor per ayunan /jarring.Nimfa atau imago 2 ekor/m2

Intensitas serangan 5% pada tanaman berumur 40 hari setelah tanam.Satu ekor per rumpun

Intensitas serangan 10%

Intensitas serangan 10%

Dua ekor ular per m2

Sumber : Rekomendasi Pengendalian Hama Tanaman Pangan di Indonesia, Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan (1981)

Berdasarkan uraian diatas namakan kaidah pengujian hipotesis kedua

adalah sebagai berikut :

Terima Ho jika : Ttext > Ttext, G1 > Gme, S1 > Sam

Keterangan :

Ttext = kondisi sifat fisik dan Kimia tanah ladang Ttext = kondisi sifat fisik dan kimia yang disyaratkan dalam TORG1 = Populasi gulma ladangGme = Populasi gulma ambang ekonomiS1 = Populasi serangga ladangSme = Populasi serangga ambang ekonomi

2. Hipotesis Kedua

Tradisi peladang yang berpindah setelah tanam ketiga merupakan strategi

yang tepat Net B/C merupakan ukuran yang akan digunakan untuk mengukur

secara kuantitatif keputusan mereka untuk berpindah setelah tanam yang

ketiga. Ukuran ini dimaksudkan untuk melihat tingkat pengalokasian

sumberdaya yang paling menguntungkan.

Cara-cara membuka hutan untuk berproduksi mungkin merupakan cara

Page 32: Aspek Aspek Edit

yang menguntungkan untuk kondisi ekosistem dengan Pembatas biofisik

seperti tanah, iklim, flora, dan fauna yang ada di lingkungan masyarakat

peladang. Sebaliknya usaha-usaha pemberian input seperti pemupukkan dan

lainnya secara keseluruhan usaha-usaha itu kurang mendatangkan hasil.

Sebagai suatu strategi adaptasi, masyarakat lokasi umum telah

mengetahui berdasarkan pengalamannya bagaimana cara mereka untuk dapat

mempertahankan kelangsungan hidupnya. Strategi yang dilakukan harus dapat

memberikan nilai tambah atau paling tidak harus dapat memberikan nilai

tambah atau paling tidak harus seimbang dengan korbannya sehingga mereka

dapat tetap bertahan.

Hubungan antara komponen biotic dan antibiotic baik yang bersifat alami

ataupun artificial seperti upaya pemupukkan dan introduksi jenis-jenis baru

(eksotik), digambarkan oleh Clapham, (1976) sebagai hubungan timbale balik

yang dipengaruhi perjalanan waktu. Hubungan-hubungan antara independen

variable (IV) seperti iklim (temperature, curah hujan dan angin), variable

dependen biotic seperti biomasa, populasi dan lainnya digambarkan dalam

suatu diagram struktur umum dari ekosistem manusia. Hubungan-hubungan

ini diperlihatkan pada gambar 9.

Page 33: Aspek Aspek Edit

Gambar 9. Diagram Mekanisme Gambaran Umum Causal Stratum dari Suatu Ekosistem dari Suatu Ekosistem Manusia

Keterangan :Lingkaran oval = variabel-variabel ekosistemKotak persegi = mekanisme hubungan antar variabelIV = Independen variabel

Iklim mikro- Temperature- Curah hujan- Angin- KelembabanTopografi - KemiringanBatuan induk

DBA = Dependen Biotik VariabelKelimpahan spesies dalam komunitas- Biomasa

Page 34: Aspek Aspek Edit

- Kelimpahan- Kepadatan- Populasi’- Kepadatan ekologis PopulasiTingkat laku dan pertumbuhan populasi

DAV = Dependen Abiotik Variabel Sifat tanah- Tekstur- Komposisi humus- KTK- pH

DAA, DBB dan DAB = Hubungan variabel dalam system RDAA, RDBB dan RDAB = Hubungan antar variabel DAM dan DBM = pengelolaan abiotik dan biotic.

Hubungan-hubungan ini memperlihatkan upaya pengelolaan dalam bentuk

berbagai usaha manipulasi seperti adanya berbagai penambahan langsung

(subsidi) energi manusia. Secara ekonomi hubungan-hubungan ini dapat

tergambar dalam formulasi net benefit-cost (net B/C) yang merupakan suatu

kriteria penting dalam melihat pengalokasian sumberdaya. Disini makin jelas

terlihat bahwa net B/C dapat merupakan ukuran yang baik untuk melihat strategi

adaptasi manusia dalam ekosistem alam.

Untuk melihat sampai sejauh mana hasil yang diberikan maka akan

dilakukan suatu analisis net B/C dari system perladangan. Sedang sebagai

pembanding akan dilakukan pula analisis net B/C pada plot-plot pertanaman yang

diusahakan di lahan yang sama dengan menggunakan berbagai input berdasarkan

rekomendasi dari hasil penelitian tanah.

Berdasarkan uraian di atas maka pernyataan hipotesis pertama diuji dengan

menggunakan kaidah sebagai berikut :

Terima Ho jika : Net B/C ladang > Net B/Cplot

Hipotesis pertama ini juga berfungsi untuk melihat sampai sejauhmana

Page 35: Aspek Aspek Edit

tingkat manfaat yang dapat diberikan atas kedua system tersebut.

Pengumpulan Data

Data yang diperlukan terdiri dari data primer yang dikumpulkan secara

langsung melalui percobaan di lapangan dan wawancara serta data sekunder yang

bersumber dari instansi yang terkait. Parameter dan jenis data yang akan

dikumpulkan dilakukan sebagai berikut.

1. Data Ekosistem

a. Tanah

Data mengenal sifat fisik dan kimia tanah bersumber dari Pusat

Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, yang saat ini sedang melakukan

percobaan tentang pemanfaatan lahan alang-alang dan lahan bekas

perladangan di lokasi yang sama.

b. Gulma

Data mengenai jenis dan populasi gulma diukur secara langsung

dilapangan dengan menggunakan metoda garis (line intercept).

c. Serangga Penganggu

Data mengenai jenis dan populasi serangga penganggu

diidentifikasi secara langsung di lapangan dengan berpatokan pada

rekomendasi pengendalian hama tanaman pangan, yang dikeluarkan oleh

Direktorat Perlindungan Tanaman.

2. Data Sosial Ekonomi

a. Data yang diperlukan untuk menghitung net B/C ladang meliputi (1) data

produksi yang dikumpulkan secara langsung dengan membuat ubinan

Page 36: Aspek Aspek Edit

berukuran 10 x 10 meter . Jumlah ubinan Sembilan buah, yang tersebar

sebanyak tiga buah pada masing-masing kelas tanah yang ada, (2) data

mengenal biaya-biaya yang dikeluarkan, dikumpulkan dengan cara

wawancara, yang terdiri dari biaya tenaga kerja dan pengeluaran lainnya.

b. Data yang diperlukan untuk menghitung net B/C plot pertanaman terdiri

dari (1) data produksi yang diukur secara langsung dari plot yang

berukuran 5 x 20 m, dengan berbagai perlakuan, seperti ditunjukkan pada

denah percobaan di lapangan (Lampiran 14), dan (2) data mengenai

biaya-biaya yang dikeluarkan dihitung berdasarkan input yang

direkomendasikan dan tenaga kerja yng diperlukan untuk itu.

c. Data mengenai tradisi masyarakat perladangan meliputi tata kerja,

kontribusi tenaga kerja, kontribusi tenaga kerja, persepsi dan sikap

terhadap lingkungan serta kegiatan seremonial. Pengumpulan data

dilakukan dengan cara wawancara.

Analisis Data

Data yang terkumpul diolah dan dihitung dengan menggunakan rumus dan

patokan yang berlaku.

1. Komponen Biofisik

a. Tanah

Analisis mengenal kondisi tanah yaitu sifat fisik dan kimia tanah

dilakukan dengan cara membandingkan contoh tanah yang diambil pada

ladang dan kriteria tanah yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah

Bogor tahun 1983.

Page 37: Aspek Aspek Edit

b. Gulma

Data gulma yang terkumpul akan dihitung Indeks Nilai Pentingnya

(INP), INP dihitung dengan menjumlahkan nilai kerapatan nisbih (KN),

frekuensi nisbih (FN) dan dominasi nisbih (DN) Tjitrosoedirjo (1984).

KN =

FN =

DN =

c. Hama

Analisis mengenai keadaan serangga pengganggu dilakukan

dengan membandingkan antara data yang terkumpul dengan kriteria

ambang ekonomi yang dikeluarkan oleh Direktorat Perlindungan Tanaman

Pangan tahun 1981.

2. Komponen Sosial Ekonomi

a. Benefit Cost Ratio (B/C)

Formula yang dipergunakan untuk menghitung net B/C adalah :

Net B/C =

Keterangan : Bt = benefit pada tahun t

Ct = cost pada tahun t

i = tingkat bunga yang berlaku

Page 38: Aspek Aspek Edit

b. Persepsi dan Sikap

Analisis mengenai sikap dan persepsi dilakukan dengan

menghitung proporsi kedua parameter tersebut, kemudian

dilanjutkan dengan uji Chi-kuadrat dilakukan dengan

menggunakan formula pengamatan 2 x 2.

X2 =

Hipotesis : Terima H0 bila X2 < X2, α = 0,1 db=1Tolak H0 bila X2 > X2, α = 0,1 db=1

Uji korelasi dengan menggunakan koefisien contingensi (c),

dengan formula :

C =

Konsep Operasional

Beberapa pengertian yang perlu dijelaskan dalam hubungannya dengan

penelitian ini adalah :

1. Konservasi yang dimaksud disini adalah dalam konteks ekonomi sumberdaya

yaitu suatu pola distribusi waktu penggunaan yang menghasilkan nilai kini

(present value) dari manfaat harapan yang maksimum

2. Ekosistem yang dibudidayakan adalah pemanfaatan ekosistem alam untuk

keperluan produksi bagi manusia

3. Biofisik adalah istilah yang digunakan dalam konteks ekosistem yang

Page 39: Aspek Aspek Edit

dibudidaya. Untuk itu maka komponen yang dimaksudkan adalah tanah/lahan

pertanian (dalam hal ini ladang), tanaman, gulma dan serangga penganggu

atau hama.

4. Tradisi perladangan berpindah yaitu kebiasaan-kebiasaan masyarakat ladang

dalam membudidayakan tanaman, dimana pada kurun waktu tertentu, mereka

meninggalkan lahannya dan berpindah untuk membuka lahan yang baru lagi.

5. Perladangan berpindah yang diteliti adalah system perlindungan yaitu

usahataninya yang berpindah-pindah sedang pemukimannya menetap.

6. Tanam ketiga dalam perladangan sama dengan tahun ketiga, karena dalam

perladangan dalam satu tahun hanya satu kali tanam

7. Yang dimaksud dengan tanah tidak diolah yaitu tanah tidak dicangkul atau

dibajak, tetapi cukup dengan pembabatan rumput dan semak kemudian ditugal

lain ditanami.

Page 40: Aspek Aspek Edit

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekosistem Perladangan

Kendala yang dihadapi system perladangan adalah keterbatasan air,

penurunan kesuburan tanah, penurunan kesuburan tanah, gulma dan hama

tanaman dan ketersediaan lahan untuk berpindah yang makin terbatas. Kendala-

kendala itu merupakan factor pembatas, karena sifat dan proses kejadiannnya

bersifat tetap. Hujan sebagai satu-satunya sumber air, merupakan suatu siklus

iklim yang bersifat tetap. Begitu juga dengan tanah pada suatu tempat dapat

dikatakan bersifat tetap. Gulma dan ham berkembang akibat suatu tindakan

pengubahan ekosistem, yaitu perubahan dari ekosistem hutan (ekosistem alam)

menjadi ekosistem yang dibudidayakan (lahan pertanian).

1. Iklim

Klasifikasi iklim yang dikemukakan oleh Oldeman dan Darmiyati (1977)

menunjukkan bahwa wilayah Sulawesi Tenggara secara keseluruhan termasuk

pada tipe iklim C dan D dengan 5 – 6 bulan basah dan 3 – 5 bulan kering. Daerah

penelitian termasuk pada iklim D, dengan bulan 3 – 4 bulan basah dan 3 – 5 bulan

kering. Curah hujan bulan basah > 200 mm/bulan dan bulan kering < 100

mm/bulan. Curah hujan tertinggi terjadi pada akhir bulan Desember hingga awal

Februari. Bulan-bulan berikutnya curah hujan terbatas.

Keadaan neraca air di Sulawesi Tenggara disajikan gambar 10

Page 41: Aspek Aspek Edit

Gambar 10. Grafik Neraca Air di Sulawesi Tenggara (sumber : PT. Andal Agrikarya Prima, 1991)

Gambar 10, menunjukkan bahwa air tersedia sangat terbatas pada bulan

Agustus, September dan Oktober, dimana saat itu lahan diberakan oleh peladang

hingga akhir bulan November sampai Desember akibat terjadi devisit air tanah.

2. Tanah

Criteria yang dipakai menilai kondisi tanah adalah baku mutu penelitian

tanah dikeluarkan oleh Pusat penelitian Tanah dan Agroklimat, tahun 1983.

Pembahasan factor tanah sebagai media tumbuh pada ekosistem perladangan

dibatasi pada parameter-parameter : 1) kimia meliputi : pH, KTK dan C/N rasio,

2) fisik tanah meliputi : pori aerasi dan permeabilitas.

a. Sifat kimia tanah

Hasil penelitian sifat kimia tanah baik pada ladang maupun pada plot

percobaan menunjukkan bahwa semua parameter terukur termasuk dalam kategori

sangat rendah hingga sedang pH tanah berkisar antara 5,0 – 6,5 N-total berkisar

antara 0,04% - 0,1%, C-organik berkisar antara 0,4% - 1,37%, p-tersedia antara

0,2 ppm – 3,6 ppm, C/N rasio berkisar antara 12 – 15 dan KTK berkisar antara 4,5

me/100 gr – 8,2 me/100 gr. Hasil analisis sifat kimia tanah pada lading dan plot

percobaan disajikan pada Lampiran 8 dan 9.

Rendahnya tingkat kesuburan tanah pada kondisi awal merupakan ciri dari

sebagian besar tanah-tanah di Sulawesi Tenggara khususnya dan kawasan hutan

Page 42: Aspek Aspek Edit

tropis pada umumnya. Ini merupakan kondisi lingkungan yang dapat dikatakan

sebagai suatu factor pembatas dalam usaha-usaha pembangunan pertanian.

Rendahnya pH tanah berkaitan erat dengan ketersediaan unsure hara dan

juga kapasitas tukar kation (KTK) yang kesemuanya menunjukkan terbatasnya

produktivitas tanah dan perlunya berbagai perlakuan seperti pengapuran untuk

menaikkan pH tanah. Secara ekologi kondisi seperti ini berkaitan juga dengan

berbagai aktivitas sejumlah organisme tanah yang peka terhadap pH tanah,

dimana organisme ini mempunyai peranan penting dalam penyediaan unsur hara

bagi tanaman.

Dalam memanfaatkan lahan peladang menggunakan beberapa indicator

vegetasi untuk menentukan apakah suatu lahan yang akan dibuka cukup subur

atau tidak. Euphatorium sp, yang dikenal dengan sebutan rumput Jepang dan

Melastoma, sp yang disebut rumput Wollo (Button), merupakan jenis-jenis alang-

alang, paku-pakuan dan Lantana camara.

Tingkat kesuburan tanah di bawah vegetasi Euphatorium dan Melastoma,

memang lebih baik dari kesuburan tanah di bawah vegetasi alang-alang, atau

dengan kata lain pada kesuburan tanah yang lebih tinggi Euphatorium sp, dan

Melastoma sp, tumbuh lebih dominan disbanding alang-alang, (Sudharto,

dkk.,1991). Hasil penelitian sifat kimia tanah di bawah vegetasi Euphatorium sp..

Melastoma sp, dan alang-alang, disajikan pada Tabel 11.

Page 43: Aspek Aspek Edit

Tabel 11. Sifat Kimia Tanah di Bawah Vegetasi Euphatorium sp, Melastoma sp dan Alang-alangVegetasi pH Bahan

OrganikEkstrak

HCl 25%

Kation Tukar Jumlah

H2

OKCl

C N C/N

P2

O5

K2

0Ca Mg K Na Katio

n. . . % … gr/100g ……… me/100 gr ………

Euphatorium

7,7 6,8 2,77

0,16

17 34 68 48,26

1,53

0,64

0,15

50,58

Melastoma+

6,1 4,7 2,36

0,28

8,5 63,5

46 9,4 1,90

0,2 0,2 12,16

Alang-alang

5,2 4,2 2,12

0,17

12 18,5

12 1,0 0,3 0,2 0,1 1,4

Sumber : Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, 1991Data Tahun 1979

Penanaman kedua dilakukan setelah melewati masa bera yaitu 5 – 6 bulan

setelah panen. Pembersihan lahan dilakukan dengan cara pembakaran. Hasil

analisis pH tanah menunjukkan bahwa setelah pembakaran terjadi perubahan yaitu

dari 5,5 menjadi 5,0 dan pada tanam ketiga pH tanah turun menjadi 4,5.

Penurunan ini diikuti sejalan dengan penurunan unsur-unsur yang lain. Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dikemukakan oleh Cogwil (1962), yang

menunjukkan bahwa pembakaran pada tanah ladang mengakibatkan terjadinya

penurunan 6 – 8% bahan organic, 5 – 9 % N total, fosfor 1,8%, kalsium 15%

unsur ini berimbang dengan penurunan produksi.

Pemberian pupuk nitrogen pada tanaman padi lahan kering ternyata mampu

memberikan pertumbuhan vegetasi yang baik, tetapi tidak diikuti dengan produksi

yang tinggi (Silvana, 1992). Hal ini diperkirakan berhubungan dengan terbatasnya

keterampilan air. Vigor yang besar dan jumlah anakan yang banyak menyebabkan

Page 44: Aspek Aspek Edit

tingginya evapotranspirasi, suatu keadaan pada saat phase generatif (+ tiga

bulan) setelah menanam, curah hujan saat itu terbatas.

b. Sifat Fisik Tanah

Hasil analisis terhadap sifat fisik tanah disajikan pada beberapa tempat di

sekitar lokasi perladangan yaitu pada daerah perbukitan, daerah lembah, sekitar

hutan dan pada lahan yang bervegetasi alang-alang. Hasil analisis fisika tanah

disajikan pada Tabel 12.

Table 12. Hasil Analisis Sifat Fisika Tanah pada Beberapa Tempat di Lokasi Penelitian

Tempat Pengambilan

contoh

B.D (Gr/cc)

Ruang pori total (%vol)

Kadar air (% vol) Pori Drainase (% vol.)

Air tersedia (% vol.)

Permeabilitas (cm/jam)

10 cm (pF1)

100 cm

(pF2)

1/3 atm (pF2,54)

15 atm (pF2,54)

Cepat Lambat

Perbukitan 1 1,10 58,5 36,4 31,4 27,0 12,2 27,2 4,4 14,8 4,27Perbukitan 2 1,33 49,8 41,8 36,2 31,4 14,5 13,6 4,8 16,9 0,40Sekitar hutan 1 1,39 47,5 47,1 42,2 38,1 30,5 5,3 4,2 7,6 1,91Sekitar hutan 2 1,32 50,2 37,7 34,9 25,1 12,5 2,8 9,8 18,1 1,77Lembah 1 1,36 48,7 48,0 43,5 39,9 21,8 5,2 3,6 18,1 0,37Lembah 2 1,57 40,8 40,2 36,3 31,9 19,0 4,5 4,4 12,9 0,68

Sumber : Hasil Analisis Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, Tahun 1992.

Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa sifat fisik tanah pada lahan yang

bervegetasi semak (sekit hutan 1 dan 2) dan pada lahan bervegetasi alang-alang,

lebih buruk disbanding dengan lahan yang bervegetasi pohon (perbukitan 1 dan

2). Berarti perubahan formasi vegetasi dari hutan menjadi semak juga

mempengaruhi sifat fisik tanah, hal yang sama terjadi pula pada sifat kimia tanah

seperti telah diuraikan terdahulu.

3. Gulma

Jenis-jenis gulma yang ditemukan di lokasi penelitian adalah Ageratum

conyzoides (Wedusan), Paspalum conyugatum (Rumput pahit), Portulaca

Page 45: Aspek Aspek Edit

oleracea (Krokot), Cynodon dactylon (Griting), Euphatorium odoratum

(Krinyuk), Imperata cylindrical (Alang-alang), Boreria alata, Mimosa pudica

(Putri malu) dan Enchinochloa colonum (Tuton). Hasil analisis kerapatan nisbih

(KN), frekuensi nisbih (FN), dominasi nisbih (DN) dan indeks nilai penting (INP)

gulma pada lokasi penelitian pada tiga tahun berturut-turut menunjukkan bahwa

pada perbedaan formasi yang ditunjukkan dengan adanya perubahan INP.

Jenis-jenis gulam penting pada lahan kering yang dapat dijadikan sebagai

indicator biologi dari system perladangan seperti Euphaatorium dan Imperata

cylindrical, menunjukkan perubahan indeks nilai penting yang cukup menyolok.

INP Euphatorium odoratum berubah dari 92,32 pada tanam pertama, menjadi

85,56 pada tanam kedua dan 68,03 pada tanam ketiga. Sedang dilain pihak INP

Imperata cylindrical memperlihatkan kenaikan yaitu 14,66 pada tanam pertama

menjadi 21,78 pada tanam kedua dan 42,83 pada tanam ketiga. Secara biologi dari

kedua jenis gulma ini dapat terlihat bahwa telah terjadi perubahan tingkat

kesuburan tanah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian tanah yang dikemukakan

oleh Sudharto, dkk (1992), yang menunjukkan bahwa sifat kimia tanah di bawah

vegetasi Euphatorium sp, dan Melastoma sp, lebih baik disbanding dengan tanah

di bawah vegetasi alang-alang.

Hasil analisis gulma untuk pertama, kedua dan ketiga, disajikan pada table

13,14 dan 15.

Tabel 13. Kerapatan Nisbih, Frekuensi Nisbih, Dominasi Nisbih dan Indeks Nilai Penting Gulma di Ladang pada Tanam Pertama

Jenis gulma KN FN DN INPAgeratum conyzoides 20,12 25,18 16,49 61,79Euphatorium dactylon 30,03 25,18 37,11 92,32Cynodon cylindrical 15,65 16,44 6,74 38,83

Page 46: Aspek Aspek Edit

Imperata cylindrical 6,27 6,60 1,79 14,66Paspalum conyugatum 6,27 6,60 6,07 18,94Portulaca oleracea 21,83 20,00 31,80 73,63

Sumber : Hasil analisis, tahun 1990Tabel 14. Kerapatan Nisbih, Frekuensi Nisbih, Dominasi Nisbih dan Indeks

Nilai Penting Gulma di Lokasi Penelitian pada Tanam Kedua.Jenis gulma KN FN DN INP

Ageratum conyzoides 9,14 13,37 5,93 28,44Euphatorium odoratum 31,78 19,96 33,82 85,56Cynodon cylindrical 13,64 19,96 6,39 39,99Imperata cylindrical 4,78 14,35 8,51 27,64Paspalum conyugatum 9,50 7,07 4,10 20,67Portulaca oleracea 11,93 14,35 2,64 28,92Boreria alata 19,23 10,94 38,97 69,14

Sumber : Hasil analisis, tahun 1991.Tabel 15 : Kerapatan Nisbih, Frekuensi Nisbih, Dominasi Nisbih dan Indeks

Nilai Penting Gulma di Lokasi Penelitian pada Tanam Ketiga.Jenis gulma KN FN DN INP

Ageratum conyzoides 23,17 25,18 16,49 64,84Euphatorium odoratum 21,83 20,00 26,20 68,03Cynodon cylindrical 9,90 12,41 10,30 32,83Imperata cylindrical 20,12 12,41 10,30 42,90Paspalum conyugatum 9,90 17,43 22,34 49,67Boreria alata 15,08 12,59 14,37 42,04

Sumber : Hasil analisis, tahun 1992

Jenis gulma yang tumbuh pada plot percobaan, adalah

Euphatorium sp, Ageratum conyzoides, Cynodon dactylon, dan Paspalum

conyugatum. Jenis Euphatorium sp menunjukkan pertumbuhan yang cepat

dan sangat dominan disbanding dengan jenis-jenis lainnya. Pertumbuhan

gulma yang tinggi pada plot-plot percobaan dimungkinkan karena adanya

pemberian pupuk yang cukup tinggi. Pada plot percobaan tidak terdapat

alang-alang, hal ini mungkin terjadi karena adanya perlakuan yang intensif

terhadap tanah seperti pengolahan tanah.

Page 47: Aspek Aspek Edit

Tabel 16 : Kerapatan Nisbih, Frekuensi Nisbih, Dominasi Nisbih dan Indeks Nilai Penting Gulma pada Tanam Ketiga di Plot Percobaan

Jenis gulma KN FN DN INPAgeratum conyzoides 49,17 46,18 51,49 146,84Euphatorium odoratum 31,83 34,15 30,20 96,18Cynodon cylindrical 10,90 12,41 10,30 33,61Paspalum conyugatum 8,10 7,26 8,01 23,37

Sumber : Hasil analisis, tahun 1992

2. Hama Tanaman

Jenis-jenis hama tanaman yang ditemukan pada tanaman padi ladang

pada tanam pertama sampai tanam ke tiga adalah Penggerek batang

(Tryporyza sp.), Walang sangit (Leptocorisa sp) . Hama utama yang

menyerang tanaman padi ladang adalah Rattus sp. (Tikus) dan Sus vitatus

(Babi hutan).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat serangan hama pada

tanam pertama dan kedua masih berada di bawah nilai ambang ekonomi

sedang pada tanam ketiga telah melampaui nilai ambang ekonomi

sebagaimana disyaratkan dalam rekomendasi pengendalian hama tanaman

pangan di Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktorat Perlindungan Tanaman

Pangan tahun 1981.

Tabel 17. Rata-rata Pengamatan Jumlah Hama Tanaman pada Setiap Musim Tanam Pertanaman

PertanamanJenis Hama

Penggerek batang (klp telur/m2)

Walang sangit (imago/m2)

Ulat grayak(Ulat / m2)

Pertama 0 1 0Kedua 1 1 0Ketiga 3 3 4

Page 48: Aspek Aspek Edit

Sumber : Hasil Analisis, tahun 1992

Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 17 diketahui bahwa pada

pertanaman pertama dan kedua keadaan hama tanaman masih berada di

bawah nilai ambang ekonomi, tetapi pada tanam ketiga telah berada di atas

nilai ambang ekonomi.

Jenis hama tanaman yang ditemukan pada plot percobaan adalah

Penggerek batang (Tryporiza incertulas), Walang sangit (Leptocoriza sp.)

dan Ulat grayak (Spodoptera sp.) serta hama tikus. Hasil penelitian terhadap

hama tanaman yang digunakan sebagai indikator disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18. Rata-rata Jumlah Hama Tanaman yang Terjaring pada Setiap Musim Tanam

PertanamanJenis Hama

Penggerek batang (klp telur/m2)

Walang sangit (imago/m2)

Ulat grayak(Ulat / m2)

Pertama 0 1 0Kedua 1 1 1Ketiga 3 3 2

Sumber : Hasil Analisis, tahun 1992

Sistem Sosial Ekonomi Perladangan

Di Sulawesi Tenggara dikenal tiga istilah dalam perladangan yang

menggambarkan tingkat kemajuan dari sistem perladangan yaitu mondau,

mepombahora dan mengalu.

Mondau adalah bentuk perladangan yang paling lama dikenal oleh

masyarakat suku Tolaki. Pada tahap ini masyarakatnya sangat nomad, hidup

berkelompok (4 - 5 KK) dan dapat berpindah setiap tahun. Keputusan untuk

berpindah sangat tergantung pada pemuka adatnya yang disebut tono motuo.

Page 49: Aspek Aspek Edit

Bentuk kedua adalah mepombahora, merupakan bentuk yang dikenal

kemudian setelah mondau. Mepombahora sifatnya lebih maju dibanding dengan

mondau. Pada tahap ini jumlah anggota kelompok lebih besar (sampai 30 KK).

Pemukimannya relatif menetap sedang ladangnya yang berpindah-pindah. Radius

perladangan ± 7,5 km di sekitar pemukiman, lebih dari radius tersebut,

biasanya*pemukiman telah ikut berpindah.

Bentuk ini telah dikelola lebih intensif. Ladang di pagar untuk dimanfaatkan

hingga tiga kali tanam atau empat kali tanam. Dalam pemeliharaan tanaman,

mereka juga telah mengenal kegiatan-kegiatan penyiangan (mosaira), metanggali

dan penanggulangan hama tanaman dengan tumbuhan yang disebut sila.

Bentuk ketiga yaitu megalu merupakan bentuk yang diperkenalkan kepada

masyarakat tani di Sulawesi Tenggara, khususnya di jazirah Sulawesi Tenggara.

Megalu atau bersawah yang dikenal adalah sawah tadah hujan. Padi ditanam pada

lahan-lahan yang tergenang air pada musim hujan. Genangan-genangan air

dimanfaatkan untuk menanam padi yang sebelumnya telah disemai. Bentuk

megalu, lebih bersifat monokultur dibanding dengan dua bentuk terdahulu, tetapi

iklim dalam hal ini curah hujan tetap sebagai pembatas dalam pengolahan tanah.

Walaupun ada perbedaan di antara ketiga bentuk ini, tetapi ada ciri yang

kuat sebagai suatu sistem pertanian yang dijalankan di atas lahan keying, yaitu

bahwa ketiga bentuk ini hanya dapat dikerjakan satu tahun sekali karena dibatasi

oleh ketersediaan air

.

Page 50: Aspek Aspek Edit

1. Tradisi Dalam Bercocok Tanam

Kegiatan perladangan dimulai dengan kegiatan pembukaan lahan, yang

secara berturut-turut meliputi pekerjaan persiapan yang meliputi tahapan

penjajakan terhadap lahan yang akan dibuka atau moala owuta atau monggikii

owuta. Selang beberapa hari barn memberikan tanda-tanda lahan akan dibuka atau

mohoto owuta. Sampai pada kegiatan pemberian tanda, maka pekerjaan persiapan

telah selesai.

Pembukaan lahan diawali dengan mosalei yaitu merambas tumbuhan muda

(anakan), liliana dan tanaman lainnya yang berada di bawah pohon-pohon besar.

Bila semak-semak telah mengiring (1-2 hari) pekerjaan dilanjutkan dengan

menebang pohon-pohon besar (diameter > 20 cm) yang disebut dengan

mombodoi. Pohon-pohon akan dibiarkan hingga daun-daunnya menjadi keying

(10 -14 hari) kemudian dilanjutkan dengan pembakaran atau humunu. Hasil

pembakaran yang baik dapat dilakukan cukup sekali, hal ini bila selama 7 - 10

hari matahari bersinar secara penuh. Bila pembakaran berlangsung sempurna,

maka cukup dilakukan sekali saja.

Penanaman atau motasu, dilakukan setelah sisa-sisa bakaran dibersihkan,

atau bila pembakaran tidak mungkin dilakukan karena hujan telah turun. Kondisi

seperti ini menyebabkan tanaman utama padi dan jagung tumbuh di antara batang-

batang kayu yang tumbang.

Penanaman dilakukan setelah beberapa kali turun hujan. Menurut tradisi

perladangan di Sulawesi Tenggara lahan yang baru dibakar tidak dapat langsung

ditanam pada saat turun hujan. Lebih-lebih bila lahan dicangkul. Lahan harus

Page 51: Aspek Aspek Edit

dibiarkan beberapa waktu hingga dua, atau tiga kali turun hujan, baru ditanam.

Penanaman yang dilakukan pada tanah-tanah yang baru sekali disirami hujan,

mengakibatkan sebagian besar benih akan coati.

Penyiangan dilakukan dua kali yaitu mosaira dan metanggali. Mosaira

adalah penyiangan pertama yang dilakukan dengan alat yang disebut saira.

Penyiangan kedua disebut metanggali, dilakukan setelah penyiangan pertama,

yaitu sebelum masa generatif (padi bunting).

Setelah padi berumur 5 - 6 bulan, padi siap dipanen. Panen dilakukan secara

bergotong-royong, tidak saja sesama peladang yang berada di lingkungannya,

tetapi juga dengan penduduk pada desa-desa tetangga. Panen dilakukan satu

sampai dua minggu dan selama itu warga setempat tidak dibenarkan untuk

melakukan kegiatan lainnya.

Ada kebiasaan dalam tradisi bercocok tanam peladang di Sulawesi

Tenggara, khususnya di kalangan masyarakat ladang suku Tolaki, bahwa ada

beberapa rumah tangga yang tidak mengusahakan ladangnya pada salah satu

musim tanam. Untuk musim tanam saat mereka tidak membuka lahannya, maka

sepenuhnya mereka akan tergantung pada bagi hasil dari panen peladang lainnya.

Tradisi seperti ini pada dasarnya akan semakin memperkecil kontribusi hasil bagi

peladang yang mengolah lahannya pada musim tanam tersebut.

2. Pola Tanam

Pola tanam perladangan di Sulawesi Tenggara untuk tahun pertama sampai

tahun ketiga sama yaitu padi + jagung kemudian lahan diberakan seperti pada

Gambar 11.

Page 52: Aspek Aspek Edit

Gambar 11. .Pola Tanam Perladangan di Sulawesi Tenggara.

Tetapi bukan berarti pola tanam tersebut tidak bervariasi. Secara tradisional

pada tahun pertama mereka akan menanam padi dengan jarak tanam yang lebih

rapat (20 - 30 cm), sedang jagung ditanam dengan jarak lebih renggang (100 cm -

120 cm) . Sedang pada tanam kedua jagung lebih diutamakan, yaitu dengan

menanamnya lebih rapat (60 - 70 cm), sedang padi ditanam dengan jarak tanam

50 - 70 cm. Pengalaman secara turun-temurun mereka mengetahui bahwa

menanam padi dengan kepadatan yang sama secara berturut-turut (tahun pertama

dan kedua), tidak akan memberikan hasil yang baik. Tetapi bila padi ditanam

lebih jarang dan jagung lebih rapat, maka jagung akan memberikan hasil lebih

baik. Sedang pada tanaman ketiga padi dan jagung ditanam secara berimbang,

dengan jarak tanam masing- masing antara 40 - 50 cm dan 60 - 80 cm.

Secara teknis agronomi cara-cara demikian merupakan salah satu cara

manajemen pertanaman untuk mengatur siklus hara dalam tanah. Penanaman padi

Page 53: Aspek Aspek Edit

secara berturut-turut akan menyebabkan defisiensi unsur tertentu. Berdasarkan

pengalaman peladang mengetahui bahwa penanaman padi berturut-turut dengan

kepadatan yang sama tidak akan memberikan hasil yang baik.

Di samping menanam padi dan jagung sebagai tanaman utama, peladang

biasanya menanam tanaman lainnya seperti lombok, terung, pepaya, pisang,

tomat, labu secara tersebar dalam ladangnya. Tanaman-tanaman ini tidak

dipelihara dan dimanfaatkan sebagai subtitusi pada konsumsi keluarga. Di

samping tanaman-tanaman yang ditanam seperti yang disebutkan di atas, pada

saat bera terdapat beberapa tumbuhan yang tumbuh secara liar yang juga

dikonsumsi oleh peladang.

Dengan demikian maka di samping padi dan jagung sebagai tanaman utama

yang diusahakan oleh peladang, terdapat juga tanaman dan tumbuhan lain yang

merupakan sumber energi bagi peladang. Atau dengan kata lain pcAdi yang

selama ini menjadi ukuran ketersediaan pangan bukanlah merupakan satu-satunya

sumber energi bagi peladang, sebagaimana yang disajikan pada Gambar 5,_

3. Biaya

Biaya yang dikeluarkan oleh peladang terdiri atas biaya pembukaan lahan,

pemagaran, penanaman, penyiangan, panen dan biaya untuk bibit. Perhitungan

biaya untuk kegiatan tersebut di atas, dilakukan berdasarkan nilai konversi tenaga

kerja ke dalam satuan hari kerja prig (HKP), kemudian dikonversikan ke dalam

nilai uang berdasarkan upah setempat yang berlaku.

Perhitungan biaya pada plot percobaan dilakukan dengan menghitung

semua input yang diberikan yaitu bibit, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja,

kemudian dikonversikan kedalam nilai uang. Perhitungan terhadap tenaga kerja

Page 54: Aspek Aspek Edit

yang dibutuhkan untuk pengolahan tanah menggunakan upah setempat yang

berlaku.

Hasil penelitian terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pembukaan

satu hektar menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja turun secara menyolok

pada tanam kedua dan ketiga dibanding dengan tanam pertama, yaitu dari 162,5

HKP menjadi 110,6 HKP dan menjadi 86,2 HKP pada tanam ketiga. Ini berarti

terjadi penurunan sebesar 31,94% tanam kedua terhadap tanam pertama dan turun

46,95% tanam ketiga terhadap tanam pertama.

Apabila dikonversikan kedalam nilai uang dengan standar upah Rp.

3.000,-/HKP maka biaya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk tanam pertama,

kedua dan ketiga masing-masing Rp. 487.500,- , Rp. 331.800,- dan Rp. 258.600,-.

Penggunaan bibit padi terns menurun dari tanam pertama sampai tanam

ketiga, karena jarak tanam yang dilakukan semakin renggang. Sebaliknya

penggunaan bibit jagung meningkat pada tanam kedua dibanding tanam pertama,

karena pada tanam kedua jarak tanamnya lebih rapat dibanding dengan tanam

pertama dan tanam ketiga. Biaya bibit padi dan jagung yang dikeluarkan pada

tanam pertama, kedua dan ketiga adalah Rp.88.500,-

Rp.90.900,- dan Rp. 57.000,-

Penggunaan biaya pada plot percobaan baik pada tanam pertama, kedua dan

ketiga adalah sama. Penggunaan biaya yang konstan juga terjadi pada usahatani

lahan kering yang direkomendasi oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tk. I

Sulawesi Tenggara. Biaya input yang terdiri dari pupuk, obat-obatan, bibit dan

tenaga kerja dalam satu tahun adalah Rp. 599.950,-. Biaya yang dikeluarkan pada

ladang dan plot percobaan disajikan pada Tabel 19.

Page 55: Aspek Aspek Edit

Tabel 19. Biaya-biaya yang Dikeluarkan untuk Perladangan dan Plot Percobaan

Tanam Ladang (Rp) Plot Percobaan (Rp)PertamaKeduaKetiga

576.000,-422,700,-351.000,-

599.950,-599.950,-599.950,-

4. Produksi

Pengukuran terhadap produksi padi dan jagung secara sendiri-sendiri

memperlihatkan adanya fluktuasi. Hal ini sejalan dengan cara penanaman yang

dilakukan. Pada tanam pertama rata-rata hasil padi 2,684 ton/ha dan pada tanaman

kedua 1,816 ton/ha, turun 32,34% sedang pada tanam ketiga 1,16 ton/ha, turun

56,78% dari tanam pertama dan 36,12% dari tanam kedua. Pada tanam pertama

rata-rata hasil jagung 2,693 ton/ha dan pada tanam kedua 3,365 ton/ha naik

24,95%, pada tanam ketiga 1,441 ton/ha yang berarti turun 46,49% dari produksi

pertama dan turun 133,5% dari produksi kedua. Sebagai perbandingan

dikemukakan rata-rata hasil padi gogo yang dicapai di Sulawesi Tenggara yaitu

1,690 ton/ha dengan pemberian input tertentu dan rata-rata hasil jagung 1,775

ton/ha.

Pengujian pada plot percontohan dilakukan di Kecamatan Lambuya suatu

lahan dengan klasifikasi agroklimat dan jenis tanah yang sama. Percobaan

dilakukan dengan beberapa perlakuan pemupukan N, P, K dan ZA, hasil

pengukuran terlampir pada lampiran 8. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa

rata-rata produksi gabah kering (kadar air 14%), 3,30 ton/ha hingga 3,33 ton/ha,

dengan dosis pemupukan per hektar 740 kg kapur, 133 kg urea, 130 kg TSP dan

100 kg KC1 (Hadi 1991). Hasil yang relatif sama juga ditunjukkan oleh Silvana

Page 56: Aspek Aspek Edit

(1991) pada lokasi yang sama dengan menitik beratkan pada pemberian pupuk

fosfat yang berasal dari TSP dan fosfat alam. Hasil rata-rata yang dicapai adalah

3,206 ton/ha. Hasil rata-rata yang dicapai oleh petani padi sawah di Propinsi

Sulawesi Tenggara adalah 3,992 ton/ha, dengan dosis pemupukan per hektar 200

kg urea, 150 kg TSP, 75 kg KC1 dan 50 kg ZA, (Dings Tanaman Pangan Tahun

Sultra 1991).

Untuk mendapatkan satuan pembanding yang sama, maka produksi ladang

yang terdiri dari padi dan jagung dan produksi plot percobaan yang hanya terdiri

dari padi akan dikonversikan ke dalam nilai kalori. Untuk itu produksi gabah akan

dikonversi ke dalam besar dengan nilai konversi 0,8. Selanjutnya produksi bergs

dikonversikan kedalam nilai kalori dengan angka konversi 359 kalori/100 gr

beras. Angka konversi untuk jagung adalah 355 kalori/100 gr. Produksi yang

diperoleh pada ladang dan plot percobaan, disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20. Rata-rata Produktivitas pada Ladang dan Plot Percobaan (Kal/ha)

Tanam Ladang Plot PercobaanPertamaKeduaKetiga

17.268.59817.161.3028.447.070

9.477.6009.563.7608.630.360

Hasil pengukuran pada Tabel 17 menunjukkan bahwa pada tanam pertama

dan kedua produksi ladang lebih besar dibanding dengan pada plot percobaan.

Tetapi pada tanam ketiga produksi ladang menurun dengan sangat besar.

Penurunan ini sejalan dengan penurunan tingkat kesuburan tanah dan juga sejalan

dengan meningkatnya populasi gulma serta serangan hama. Penurunan tingkat

kesuburan tanah dan peningkatan populasi gulma serta serangan hama juga terjadi

pada plot percobaan.

Page 57: Aspek Aspek Edit

Untuk mengatasi hal ini, peladang akan meninggalkan lahannya dan

membuka ladang baru, sedang pada plot percobaan atau pertanian menetap akan

menaikkan input, berupa penambahan dosis pemupukan dan obat-obatan serta

kegiatan penyiangan. Suatu kenyataan yang perlu dikaji lebih mendalam

perimbangan energi yang dibutuhkan untuk kedua tindakan tersebut.

Apabila dihubungkan dengan tradisi peladang, produksi peladang dapat

dibedakan atas rata-rata produksi konversi, rata-rata produksi nyata dan rata- rata

produksi bersih. Rata-rata produksi konversi adalah rata-rata produksi yang diukur

dalam ton/ha yaitu nilai yang dapat menunjukkan produktivitas lahan. Rata-rata

produksi nyata adalah produksi yang diperoleh peladang berdasarkan kemampuan

mengelola lahannya. Ukuran yang digunakan adalah rata-rata luas lahan yang

dimanfaatkan oleh peladang yaitu 0,7 ha. Rata-rata produksi bersih adalah

produksi setelah bagi hasil, yaitu duapertiga bagi pemilik dan sepertiga bagi

pekerja. Angka konversi gabah kering ke beras adalah 0,8.

Rata-rata produktivitas lahan, rata-rata produksi nyata dan rata-rata produksi

bersih disajikan pada Tabel 21 dan Tabel 22.

Tabel 21. Rata-rata Produktivitas Ladang di Lokasi Penelitian

Rata-rata produktivitas

Pertanaman Beras Jagung Jumlah(Kalori)

Kg Kalori Kg Kalori

Pertama 2. 147,2 7.708.448 2.693 9.560.150 17.268.598Kedua 1.425,8 5.215.552 3.365 11.945.750 17.161.302Ketiga 928,0 3.331.520 1.441 5.115.550 8.447.070

Sumber : Hasil Analisis, tahun 1992

Page 58: Aspek Aspek Edit

Tabel 22. Rata-rata Hasil Nyata dan Hasil Bersih Ladang di Lokasi Penelitian Hasil Nyata (Kal.) Hasil Bersih (Kal Pertanaman)

PertanianHasil Nyata (Kal.) Hasil Bersih (Kal.)

Beras Jagung Jumlah Beras Jagung JumlahPertamaKeduaKetiga

5.395.913,63.650.886,42.332.064,0

6.692.1058.362.0253.580.885

9.011.175,712.012.911,45.912.949,0

3.615.262,12.446.903,91.562.482,9

4.483.710,45.602.556,82.399.192,9

8.098.972,58.048.650,73.895.675,8

Sumber : Hasil Analisis, tahun 1992

Keterangan : Nilai beras 359 kalori/100 grNilai jagung 355 kalori/100 gr

Rata-rata kebutuhan kalori per orang per hari adalah 2.100 kalori. Satu

rumah tangga peladang dengan enam anggota keluarga memerlukan 4.599.000

kalori/tahun. Produksi nyata pada tanam ke tiga masih berada di atas kebutuhan

kalori per tahun, tetapi produksi bersih berada di bawah kebutuhan kalori per

tahun. Berarti pada tanam ketiga produksi yang diperoleh masih cukup, tetapi

karena adanya sistem bagi hasil maka Jumlah yang dapat disediakan untuk

kebutuhan keluarga menjadi berkurang.

5. Analisis Perbandingan Manfaat dan Biaya

Hasil analisis perbandingan manfaat dan biaya (analisis B/C) perladangan

dihitung dengan menetapkan jangka waktu satu siklus tanam yaitu selama tiga

tahun. Jangka waktu tersebut ditetapkan berdasarkan pertimbangan siklus

perladangan yaitu selama tiga tahun kemudian berpindah. Sedang untuk

percobaan plot, juga dihitung dengan menggunakan jangka waktu yang sama.

Parameter biaya yang dimasukkan dalam perhitungan adalah (1) semua

kebutuhan tenaga kerja yang dipergunakan dalam kegiatan perladangan, meliputi

tenaga kerja untuk pembersihan lahan, pemagaran, penanaman, pemeliharaan dan

Page 59: Aspek Aspek Edit

panen dan (2) input produksi meliputi bibit. Demikian pula halnya dengan

parameter biaya pada plot percobaan. Sedang manfaatnya adalah semua hasil

berupa produksi padi dan jagung dan hasil-hasil lainnya yang dapat diperoleh dari

ladang. Baik biaya maupun manfaat dikonversikan kedalam nilai uang dengan

perhitungan harga setempat.

Tabel 23. Manfaat (Benefit) dan Biaya (Cost) Ladang di Desa Aoma Tahun keCost Benefit Disc. Rate (12%)

Tahun ke Cost Benefit Disc. Rate (12%)123

576.000422.700351.600

2.144.6941.941.7501.174.872

0,89290,79720,7118

Tabel 24. Manfaat (Benefit) dan Biaya (Cost) Plot Percobaan.Tahun ke Cost Benefit Disc. Rate (12%)

123

599.950599.950599.950

1.584.0001.598.4001.440.240

0,89290,79720,7118

Walapun nilai net B/C sama-sama lebih besar dari satu, tetapi cara-cara

yang ditempuh oleh peladang memperlihatkan adanya keunggulan-keunggulan

ekonomi, karena nilai B/C ladang (2,77) lebih besar dari nilai net B/C plot (1,58).

Penggunaan pupuk memberikan hasil yang lebih tinggi, tetapi kenaikan hasil tidak

sebanding dengan pemberian input.

5. Persepsi Peladang Terhadap Iklim, Hutan dan Tanah

Dalam sistem perladangan suku Tolaki, pemanfaatan tanah untuk dijadikan

ladang melalui tahap-tahap moala tewuta atau monggikii wuta, yaitu suatu tahap

persiapan yang dilakukan oleh seorang pemuka adat (tono motuo) untuk

Page 60: Aspek Aspek Edit

menentukan apakah tanah itu dapat dijadikan ladang atau tidak. Tanah adalah

sumber penghidupan bagi mereka, yang akan menentukan keberhasilan dalam

berusaha tani. Oleh karena itu dimana sebenarnya ladang harus dibuka dan berapa

lama lahan harus dibuka sangat tergantung dari tanda-tanda alam yang mereka

dapatkan apakah melalui jenis pohon yang ada pada calon lokasi, satwa dan juga

melalui mimpi seorang pemuka adat. Untuk tanah dan hutan di samping penelitian

terhadap persepsi peladang, juga diteliti sikap mereka terhadap tanah dan hutan. -

a. Persepsi Terhadap Iklim

Penelitian persepsi peladang terhadap iklim dilakukan dengan

mengajukan pertanyaan tentang kondisi iklim yang bagaimana yang sangat

menguntungkan bagi peladang. Menurut pandangan peladang prakondisi iklim

yang baik sebagai indikator akan keberhasilan pada tanam berikutnya adalah

adanya kemarau yang panjang. Alasan yang dikemukakan adalah (1) bila

kemarau panjang maka pembakaran akan berlangsung sempurna, lahan bersih

dari sisa-sisa kayu dan ukuran yang dibuka lebih lugs. Pembakaran yang

sempurna juga merupakan indikator akan melimpahnya hasil yang diperoleh

dari ladang, hal ini diduga berhubungan dengan ketersediaan unsur hara akibat

pembakaran yang sempurna. (2) Kemarau yang panjang juga merupakan

indikator akan berlimpah buah-buahan dan hasil hujan lainnya seperti madu

dan juga mereka dapat memanen ikan pada rawa-rawa yang mengering.

Dengan demikian mereka mempunyai pandangan yang positif terhadap

kemarau panjang untuk keberhasilan panen ditahun yang akan datang.

Page 61: Aspek Aspek Edit

Dalam satu musim bercocok tanam, peladang mengklasifikasikan hujan

sesuai dengan pertumbuhan tanaman yaitu (1) hujan penanaman adalah hujan

yang urun pada awal musim tanam, berlangsung selama 4 - 7 hari. Setelah

turun hujan ± 3 - 4, baru mulai mereka mulai menugal dan menanam benih

padi, (2) hujan saat padi mulai bunting, adalah hujan yang turun pada saat padi

memasuki pertumbuhan generatif, berlangsung 3 - 4 hari. Pada prinsipnya

peladang tidak menghendaki hujan yang turun terusmenerus sepanjang satu

musim. Tetapi cukup pada saat tanaman padi betul-betul memerlukan air,

yaitu pada awal penanaman dan pada saat memasuki pertumbuhan generatif.

Untuk mendapatkan waktu-waktu hujan yang sesuai dengan kebutuhan

tanaman mereka, maka penentuan waktu persiapan lahan dan waktu tanaman

harus betul-betul tepat. Untuk itu mereka sangat peka dalam memperhatikan

tanda-tanda alam. Persepsi peladang terhadap iklim pada dasarnya semuanya

sama.

b. Persepsi Terhadap Tanah

Menurut pandangan peladang tanah merupakan media tumbuh bagi

tanaman dan dipergunakan selama tanah masih dapat memberikan hasil yang

baik. Bila tanah tidak lagi dapat memberikan hasil yang baik, maka harus

ditinggalkan dan mencari lahan-lahan yang baru yang dapat menunjang

kehidupan mereka. Dengan mengistirahatkan tanah beberapa waktu, biasanya

lebih dari 15 tahun, maka lahan tersebut dapat dipergunakan kembali.

Indikator yang digunakan untuk menentukan lahan telah dapat dibuka, bila

telah ditumbuhi pohon-pohon dengan diameter + 15 cm.

Page 62: Aspek Aspek Edit

Penelitian terhadap persepsi dilakukan dengan mengajukan pertanyaan

mengenai pandangan peladang terhadap ketersediaan tanah yang dapat

dijadikan ladang, kemungkinan akan terus berpindah-pindah, kesuburan tanah

dan pembakaran. Penelitian terhadap sikap dilakukan dengan mengajukan

pertanyaan tentang pembatasan luas lahan yang akan dibuka, pemupukan,

kemungkinan terus berpindah-pindah, ukuran lahan yang dibagikan dan

pembakaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 83,9s atau 47 responden

dari 56 responden memiliki persepsi yang baik terhadap tanah sedang

selebihnya tidak.. Di samping itu 28% responden menyatakan setuju dari

pertanyaan- pertanyaan yang diajukan dan 71,4% menyatakan tidak setuju.

Hasil penelitian terhadap sikap dan persepsi peladang terhadap tanah disajikan

pada Tabel 25.

Tabel 25. Persepsi dan Sikap Peladang Terhadap Tanah

PersepsiSikap

JumlahSetuju Tidak Setuju

BaikTidak baik

106

373

479

16 40 56

Hubungan antara persepsi dan sikap peladang terhadap tanah diuji

dengan menggunakan uji chikuadrat. Hasil uji Chi-kuadrat menunjukkan nilai

X2 = 7,7 lebih besar dari X2 tabel,05 db.1 . Berdasarkan hipotesa maka tidak ada

hubungan antara persepsi dan sikap peladang terhadap tanah. Sedang koefisien

contingensi (c) = 0,34. Berarti antara persepsi dan sikap peladang tidak terjadi

korelasi yang signifikan. Hasil perhitungan terlampirpada lampiran 12.

Persepsi adalah cara pandang seseorang terhadap suatu obyek

Page 63: Aspek Aspek Edit

berdasarkan pengetahuan/ pengalaman yang dimilikinya. Oleh karena itu

persepsi masih bersifat abstrak. Sedang sikap adalah kecenderungan

kecenderungan yang menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuan, yang

mengarah kepada tindakan. Melalui berbagai informasi, baik penyuluhan-

penyuluhan secaralangsung atau yang berasal dari berbagai media massa,

menyebabkan peladang dapat mengetahui pentingnya arti tanah sebagai lahan

dewasa ini. Tetapi pengetahuan yang dimiliki tidak ditunjang oleh

keterampilan yang memadai, di samping itu juga masih kuatnya keterikatan

terhadap kebiasaan- kebiasaan mereka yang lama. Dengan demikian maka

walaupun pandangan-pandangan mereka cukup baik terhadap tanah, tetapi

mereka belum mampu untuk mengubah cara-cara yang selam ini dilakukan.

Oleh karena itu walaupun persepsi mereka cukup baik tetapi belum sampai

terjadi perubahan sikap.

c. Persepsi Terhadap Hutan

Penelitian persepsi peladang terhadap hutan dilakukan dengan

mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan pandangan mereka

terhadap hutan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi pandangan terhadap

cara-cara yang dilakukan yaitu merombak hutan untuk dijadikan ladang,

apakah cara demikian tidak merusak hutan dan hubungan antara hutan dengan

sumber-sumber air.

Penelitian sikap peladang terhadap hutan dilakukan dengan mengajukan

pertanyaan- pertanyaan yang berhubungan dengan pendapat mereka terhadap

batas-batas hutan dewasa ini seperti hak pengusahaan hutan (HPH), hutan

Page 64: Aspek Aspek Edit

tanaman industri (HTI), pelarangan terhadap perambahan hutan dan anjuran

untuk bertani secara menetap.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 62,5% responden mempunyai

persepsi yang baik terhadap hutan, sedang 37,5% kurang baik. di samping itu

48,2% ,menyatakan setuju atas pertanyaan yang diajukan atau bersikap setuju,

sedang 51,8% menyatakan tidak setuju. Data penelitian mengenai persepsi dan

sikap responden terhadap hutan

Tabel 26. Persepsi dan Sikap Peladang Terhadap Hutan

PersepsiSikap

JumlahSetuju Tidak Setuju

BaikTidak baik

106

373

479

16 40 56

Hubungan antara persepsi dan sikap peladang terhadap hutan diuji

dengan menggunakan uji chikuadrat. Hasil uji Chi-kuadrat menunjukkan nilai

X2 = 0,386lebih besardari X2 tabelo.05 lb=l . Berdasarkan hipotesismaka ada

hubungan antara persepsi dan sikap peladang terhadap tanah. Sedang koefisien

contingensi (c) = 0, 08. Berarti antara persepsi dan sikap peladang walaupun

terdapat hubungan antara keduanya, tetapi tidak memiliki hubungan yang erat.

Ketergantungan peladang terhadap hutan lebih besar dibanding dengan

tanah. Hutan di samping merupakan cadangan lahan bagi peladang, juga

merupakan cumber energi lainnya berupa hasil hutan. Walaupun

ketergantungan terhadap hutan cukup tinggi ditinjau dari sumbangan energi

kepada rumah tangga peladang, namun mereka akan tetap membuka hutan

Page 65: Aspek Aspek Edit

untuk keperluan membuat ladang. Disinilah sebenarnya walaupun ada

hubungan antara persepsi dan sikap peladang terhadap hutan tetapi hubungan

itu kurang erat. Artinya walaupun menurut pandangan mereka bahwa hutan itu

penting, tetapi mereka tidak berusaha untuk mempertahankannya.

Seperti pembahasan pada persepsi dan sikap mereka terhadap tanah,

maka faktor pembatasan yang kuat adalah terbatasnya keterampilan yang

dimiliki untuk mewujudkan pandangan-pandangan mereka.

Aspek-Aspek Konservasi Dalam Tradisi Perladangan

1. Kondisi Biofisik Ladang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi biofisik ladang sesudah

tanam ketiga berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan lagi untuk

dimanfaatkan.

Perbandingan antara hasil-hasil pengukuran di lapangan dengan nilai

ambang batas disajikan pada Tabel 27.

Angka-angka pada Tabel 27 memperlihatkan bahwa bukan saja kondisi

biofisik ladang yang mengalami penurunan, tetapi juga pada plot percobaan.

Pada komponen tanah dan hama tanaman perbandingan antara pengukuran

dan kriteria ambang batas cukup jelas. Sedang gulma, walaupun Imperata

cylindrica tidak menunjukkan pertumbuhan yang dominan, tetapi INPnya

menunjukkan peningkatan yang berarti pada setiap tahun penanaman. Sesuai

dengan bagan suksesi yang dikemukakan oleh Whitten (1987), pada

pembakaran yang berulang-ulang atau setelah lahan ditinggalkan, maka alang-

alang akan mendominasi vegetasi lainnya. Hal ini karena alang-alang

Page 66: Aspek Aspek Edit

memiliki daya adaptasi yang kuat dan juga mengeluarkan beberapa zat alelo

kimia.

Tabel 27. Kondisi Biofisik Ladang dan Plot Percobaan Setelah Tanam Ketiga

ParameterHasil Pengukuran Kriteria

NilaiAmbang

KeteranganLadang Plot

Tanah :pHC/NKTKPori drainase(% Vol.)Permeabilitas(cm/jam)Gulma (INP) :I. cylindricaAgeratum sp.Euphatorium spCynodon sp.Paspalum sp.Boreria sp.Hama TanamanPenggerek batang (klp telur/m2)Walang sangit(ekor/m2)Ulat grayak(ekor/m2)

4,5121,4

4,50,68

42,9064,8468,0332,8349,6742,04

3

3

4

4,010-

146,8496,1833,6123,37

-

2

3

2

R/SRR

SR

SRSR

1-2

2

2

Melewatinilai ambang.

Keterangan : R = RendahSR = Sangat Rendah

Berdasarkan data di atas maka hipotesis untuk kondisi biofisik diterima,

berarti pada tanam ketiga kondisi biofisik lahan berada dalam keadaan rapuh

(fragile). Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa faktor-

faktor ekologi merupakan pembatas yang kuat dari kosistem terhadap kegiatan

budidaya yang dilakukan.

Page 67: Aspek Aspek Edit

Usaha-usaha pemberian input secara tetap setiap tahun

untuk mempertahankan tingkat kesuburan tanah juga ternyata memperlihatkan

kondisi biofisik yang semakin enurun yang juga diikuti dengan penurunan

produksi.

Atau dengan kata lain untuk mempertahankan kondisi

biofisik, maka input yang diberikan (pupuk dan obat-obatan) harus terns

meningkat. Kondisi seperti ini ecara lugs juga terjadi pada pengembangan,

pertanian anaman pangan di Sulawesi Tenggara yang dilakukan

melalui paket usahatani. Perubahan dari intensifikasi mum menjadi

intensifikasi khusus dan kini supra insus, idak memperlihatkan peningkatan

produski yang setara dengan input yang diberikan. Sedang di lain pihak

laporan dari sub Dinas Perlindungan Tanaman (1992) bahwa beberapa jenis

serangga telah menunjukkan resistensi terhadap obat-obat yang dipergunakan

untuk penanggulangan. Penggantian terhadap unsur hara yang

hilang seyogyanya sepadan dengan kondisi semula saat lahan berada pada

phase hutan mencapai tahap klimaks (klimatik klimaks). Kellog (1963) dalam

Foth (1991) meneliti tentang akumulasi hara lahan bekas perladangan

yang ditinggalkan di Kongo, mendapatkan bahwa vegetasi hutan yang

ditinggalkan 18 - 19 tahun memiliki hara 4 kali lebih besar dari yang

ditinggalka- Selama 4 tahun. Hubungan antara Akumulasi hara den-ca--

lamanya hutan yang ditinggalkan disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28. Akumulasi Hara (atau immobolisasi) Dalam Hutan yang Ditinggalkan di Kongo

Page 68: Aspek Aspek Edit

Lamanya hutan yang ditinggalkan

Immobilisasi Hara Dalam Vegetasi (kg/ha)N P S K Ca + Mg

2 tahun 5 tahun8 tahun18 – 19 tahun

188566578701

223335108

37103101196

185455839600

160420677820

Sumber : C.E. Kellog, "Shiffting cultivation' dalam Foth (1991).

Untuk mengatasi masalah pembatas ekosistem peladang menempuhnya

dengan cara berpindah-pindah, pengaturan waktu tanam dan pengaturan

kepadatan tanaman pada setiap kali tanam secara berbeda-beda. Cara ini

memang belum sempurna untuk itu perlu ditingkatkan misalnya dengan cara

pengaturan kepadata;i tanaman masih perlu ditingkatkan dengan penentuan

jarak tanam dan penanaman secara tandur jajar, untuk meningkatkan populasi

tanaman dalam satu satuan luasan. Selain itu cara-cara penanaman dengan

menugal, juga dapat menekan terjadinya erosi yang berlebihan. Cara-cara ini

identik dengan pengolahan tanah minimum (minimum tillage) seperti yang

dianjurkan dalam upaya-upaya konservasi, tetapi masih

Perlu ditingkatkan. Suwardjo (1981) mengemukakan bahwa salah satu

persyaratan penting dalam minimun tillage .-.arus diikuti dengan penggunaam

mulsa. Perlakuan ini zidak terjadi pada peladang karena sisa-sisa tanaman -

vaitu jerami padi dan jagung tidak dipergunakan sebagai mulsa tetapi dibakar.

Di camping itu masih ada beberapa kegiatan peladang yang berkaitan dengan

aspek-aspek -%onservasi seperti rotasi tanaman, menanami benih setelah

tanah dalam keadaan lembab atau basah, merupakan tradisi yang adaptip

dengan kondisi ekosistem setempat.

Page 69: Aspek Aspek Edit

2. Strategi Adaptasi

Hasil analisis net B/C menunjukkan bahwa nilai net B/C ladang (2,77) >

nilai net B/C plot (1,58). Berdasarkan hipotesis ini berarti bahwa strategi yang

dijalankan oleh peladang adalah tepat. Tetapi berdasarkan berbagai uraian

tentang kondisi ekologi dan social ekonomi, makes strategi yang ditempuh ini

perlu ditingkatkan karena tidak sesuai lagi dengan pandangan-pandangan

terhadap sumberdaya dewasa ini. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah lahan

terbatas, sedang kebutuhan akan lahan tidak terbatas. Oleh karena itu

sepanjang lahan masih tersedia, untuk melakukan perpindahan (rotasi) cares-

cares ini merupakan strategi yang tepat, tetapi bila lahan tidak cukup tersedia

maka strategi yang dilakukan dengan cara berpindah perlu dirubah.

Perubahan terhadap strategi peladang selama ini perlu

mempertimbangkan faktor-faktor ekologi. Karena faktor ekologi merupakan

faktor pembatas yang kuat pada lingkungan biofisik peladang. Secara ekonomi

strategi yang ditempuh peladang memberikan keuntungan untuk suatu periode

tertentu. Keuntungan yang diperoleh dengan hanya mengandalkan faktor alam

inilah yang perlu dikembangkan, karena usaha-usaha pertanian yang

diterapkan pada sistem pertanian sawah, yaitu dengan pemupukan dan bersifat

monokultur ternya--a tidak memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini tidak

raja terjadi pada plot percobaan, tetapi juga pada pertanian rakyat baik di lahan

kering maupun persawahan.

Sebagai perbandingan produksi pad_ yang dicapai pada irigasi teknis

Wawotobi di Sulawesi Tenggara dengan program intensifikasi khusus adalah

Page 70: Aspek Aspek Edit

4,629 ton/ha (ubinan), sedang rata-rata produksi Sulawesi Tenggara 3,922

ton/ha (Dinar Pertanian Tana-man Pangan Tk.I Sulawesi Tenggara 1992).

Sedang pada lokasi-lokasi transmigrasi di Sulawesi Tenggara produksi padi

yang dicapai lebih rendah lagi yaitu rata-rata 2,3 ton/ha, untuk tanam pertama.

Ini berarti lingkungan biofisik tetap merupakan pembatas yang kuat, dimana

pemberian input yang terus meningkat akan diperhadapkan dengan hukum

kenaikan hasil yang berkurang (The Law of Deminishing Return).

Apabila sumber-sumber energi yang diserap oleh peladang selama ini

dapat terus dipertahankan maka mereka mempunyai potensi produksi yang

besar. Dalam masyarakat perladangan sebagaimana yang ditunjukkan dalam

diagram input-output sistem perladangan (Gambar 5), ladang bukan satu-

satunya sumber energi yang dimanfaatkan oleh satu rumah tangga peladang.

Di samping ladang juga terdapat sumber-sumber energi lainnya seperti yang

berasal dari (1) hutan berupa madu, rotan, kayu dan binatang buruan, (2) rawa

berupa ikan dan tanaman akuatik lainnya, (3) sagu berupa bahan makanan

pokok, (4) peternakan berupa daging dan telur, bunggu (istilah suku Tolaki

yang berarti kebun di belakang rumah) berupa kopi, lada, kelapa, kakao dan

pasar berupa kebutuhan pokok lainnya.

Sumber-sumber energi tersebut bersiklus dan dimanfaatkan dalam

waktu yang berbeda-beda sesuai dengan perputaran musim. Berdasarkan

Gambar 4, dapat disusun lingkaran bahan pangan dari suatu agrosistem

peladang seperti pada Gambar 12.

LadangHutan Rawa

Page 71: Aspek Aspek Edit

Sagu Bunggu

Ternak PasaRKeterangan :

___________________ Siklus Alamiah /Primer __________________ Siklus Sekunder-------------Siklus Bebas

Gambar 12. Lingkaran Bahan Pangan D-=--F- Agrosistem Peladang Di Sulawesi Tenggara

Pada akhir musim kemarau yaitu pertengahan bulan November hingga

awal bulan Desember peladang akan memanfaatkan ikan yang berasal dari

rawa-rawa di sekitarnya yang telah menyusut airnya (mmengering). Di

camping menangkap ikan di rawa-rawa, mereka juga mulai

membuka/membersihkan lahan untuk bercocok tanam. Kegiatan.ini

dilaksakan hingga akhir bulan Desember. Setelah penanaman yaitu awal

musim hujan (akhir Desember hingga awal Januari) mereka akan mengambil

hasil hutan seperti madu dan rotan. Pembuatan tepung sagu dilakukan pada

pertengahan musim hujan, karena memerlukan banyak air, waktu yang

diperlukan untuk ini 2 - 3 minggu. Pada.saat ini tanaman di ladang telah

imbuh dan juga hasil hutan seperti madu telah selesai asa pengambilannya.

Setelah itu peladang akan memanfaatkan hasil .anaman yang berada di

belakang rumahnya atau yang Jisebut bunggu. Pengawasan terhadap ternak

peliharaannya dilakukan setiap hari, sedang kegiatan pasar berlangsung pada

hari Sabtu. Pada hari pasar peladang menjual hasil bumf atau hasil hutannya

dan membeli keperluan pokok seperti gula, sabun, garam dan lain-lain dari

pasar.

Bila faktor-faktor ekologi merupakan pembatas yang kuat dalam usaha-

Page 72: Aspek Aspek Edit

usaha pengembangan social ekonomi suatu masyarakat, maka konsep

pelestarian hendaknya berjalan diatas kaidah-kaidah clam yang ada. Pada

pembahasan komponen biofisik, hasil-hasil penelitian sifat fisik dan kimia

tanah, gulma dan tingkat serangan hama baik pada ladang maupun plot

percobaan memperlihatkan kondisi yang sama. Ini berarti dengan perlakuan

apapun akan tetap diperhadapkan dengan masalah yang sama seperti produksi

yang tidak sebanding dengan input karena baik secara ekologi maupun

ekonomi memiliki titik jenuh, artinya secara ekologi ada batas kelentingan

(resiliency) sedang secara ekonomi akan berkenaan dengan hukum kenaikan

hasil yang berkurang.

Dengan demikian faktor-faktor meneje-.;--n akan sangat berperan dalam

memanfaatkan kondisi ekologi untuk peningkatan sistem sosial ekonomi yang

ada. Pemanfaatan pengetahuan peladang terhadap faktor---"aktor alam seperti

penentuan waktu tanam, cara-cara bercocok tanam, ada yang perlu

dipertahankan di samping ditingkatkan untuk mendapatkan hasil yang

optimal. Karena perlu disadari bahwa penggunaan teknologi pemupukan yang

dilakukan baik pada pertanian lahan keying maupun pada persawahan yang

lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ternyata tidak dapat

memberikan hasil yang optimal

Dilain pihak sistem sosial ekon----.-* masyarakat ladang perlu mendapat

perhatian karena tradisi tidak membuka lahan pada waktu-waktu tertentu dan

berlakunya sistem bagi hasil tidak dapat menunjang pembangunan sosial

ekonomi masyarakat ladang. Tradisi ini tidak memberikan manfaat yang

Page 73: Aspek Aspek Edit

berarti, sebaliknya mengakibatkan berkurangnya jumlah yang sebenarnya

dapat dikonsumsi atau disimpan oleh peladang yang mengusahakan lahan.

Walaupun Whitten (1987) menggambarkan tradisi ini sebagai suatu bentuk

pemerataan dan keadilan, tetapi jelas tidak sesuai lagi dengan konsep

pembangunan dewasa ini, dimana pemerataan dan keadilan yang perlu diikuti

dengan peningkatan kondisi sosial ekonomi.

Adanya perbedaan persepsi dan sikap peladang terhadap tanah,

merupakan indikator bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh peladang tidak

didukung oleh keterampilannya. Demikian pula persepsinya terhadap hutan,

lebih banyak dipengaruhi oleh keterikatannya terhadap pemanfaatan hutan

sumberdaya hutan dalam jangka pendek. Hutan akan tetap dirombak bila

ladangnya tidak lagi memberikan hasil yang memadai.

Page 74: Aspek Aspek Edit

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

a. Kondisi Biofisik

Pengujian sifat fisik dari kimia tanah menunjukkan bahwa pada tanam

ketiga baik pada perladangan maupun pada plot percobaan menunjukkan

penurunan kualitas. Tingkat kemasaman tanah (pH) pada ladang turun dari

6,5 menjadi 4,5 sedang pada plot percobaan turun dari 6,5 menjadi 4,G.

Berarti kemasaman tanah berubah dari agak masam menjadi masam bahkan

pada plot percobaa- :--:--jadi sangat masam. Bahan organik berubah menjat-

sangat rendah dari rendah, begitu juga dengan Ini berarti tanah pada ladang

dan plot percobaan menurun tingkat kesuburannya.

Gulma pada ladang menunjukkan perubahan formasi dari jenis-jenis

yang termasuk dalam indikator kesuburan seperti Euphatorium sp menjadi

formasi gulma berbahaya seperti. Cyperus sp dan Imperata cylindrica.

Perubahan ini ditunjukkan oleh indeks nilai penting (INP). INP Euphatorium

sp. berubah dari 92,32 pada tanam pertama menjadi 85,56 pada tanam kedua

dan 68,03 pada tanam ketiga. Sebaliknya INP Imperata cylindrica sebagai

salah satu gulma yang berbahaya meningkat dari 14,66 pada tanam pertama

menjadi 27,67 pada tanam kedua dan 42,90 pada tanam ketiga. Walaupun

Imperata cylindrica belum merupakan gulma yang dominan tetapi

perubahan INP lebih cepat dibanding jenis gulma lainnya. Sedang pada plot

percobaan walaupun tidak terdapat Imperata cylindrica, tetapi gulma penting

lainnya seperti Cyperus sp. cukup dominan.

Page 75: Aspek Aspek Edit

Populasi ketiga jenis hama tersebut pada ladang masing-masing

penggerek batang ditemukan 3 kelompok telur/m2 dari nilai ambang batas 1

- 2 kelompok telur /M2 , walang sangit ditemukan 3 imago /M2 sedang nilai

ambang batas 2 imago/m2 dan ulat grayak ditemukan 4 ulat /M2 sedang

nilai ambang batas 2 ekor/m2. Pada plot percobaan ditemukan penggerek

batang 2 kelompok telur/m2, walang sangit 3 imago /M2 dan ulat grayak 2

ekor/m2. Populasi hama tanaman yang ditemukan baik pada ladang semua di

atas nilai ambang batas ekonomi sedang pada plot percobaan juga telah

berada pada nilai ambang batas ekonomi. Perubahan populasi hama tanaman

pada tanam ketiga ini, sejalan dengan perubahan gulma dan kondisi biofisik

ladang dan plot percobaan pada umumnya.

Perbandingan angka kriteria nilai ambang batas dan hasil pengukuran

baik pada lad--= maupun plot percobaan menunjukkan bahwa faktor-faktor

ekologi merupakan pembatas yang kuat pada usaha memanipulasi

komponen ekosistem alarm.

b. Komponen Sosial Ekonomi

Secara ekonomi pengalokasian sumberdaya dalam satu siklus

penggunaan lahan untuk ladang dalam tiga kali tanam menguntungkan. Nilai

net B/C ladang untuk satu siklus adalah 2,77 lebih besar dibanding dengan

net B/C plot percobaan yaitu sebesar 1,58. Nilai net B/C ladang lebih baik

dibanding dengan plot percobaan karena penggunaan input yang besar pada

ladang hanya terjadi pada tanam pertama yaitu Rp.576.000,- menurun

menjadi Rp. 422.000,- pada tanam kedua dan Rp.351.000,- pada tanam

ketiga, atau masing-masing penurunan sebesar 26,74% tanam kedua

Page 76: Aspek Aspek Edit

terhadap tanam pertama, 16,82% tanam ketiga terhadap tanam tanam kedua

dan 39,06% tanam ketiga terhadap tanam pertama. Presentase penurunan

produksi adalah 9,46% tanam kedua terhadap tanam pertama, 39,49% tanam

ketiga terhadap tanam kedua dan 45,22% tanam ketiga terhadap tanam

pertama. Presentase penurunan produksi dalam satu siklus pada ladang tetap

dapat diimbangi, karena prosentase penurunan produksi ladang dari tanam

pertama ke tanam kedua sangat kecil dibanding dengan penurunan

pengunaan input.

Penggunaan input pada plot percobaan dan juga pertanian menetap

secara umum tidak demikian adanya. Penggunaan input senantiasa tetap

bahkan terns meningkat, tetapi kenaikan input tidak diikuti dengan kenaikan

hasil yang berarti. Pada plot percobaan penggunaan input yang diberikan

senantiasa tetap yaitu Rp. 599.950,- sedang hasil yang diperoleh adalah Rp.

1.584.000,- pada tanam pertama, Rp. 1.598.400,- pada tanam kedua dan Rp.

1.440,240 pada tanam ketiga.

Apabi la dikaitkan dengan kebutuhan kalori, maka baik produksi nyata

pada tanam pertama kedua dan ketiga masing-masing 9.011,175,7 kalori,

12.012.911,4 kalori dan 5.912.949 kalori masih berada di atas kebutuhan

kalori bagi satu rumah tangga peladang. Tetapi tidak demikian halnya

dengan produksi bersih. Pada tanam pertama dan kedua masing-masing

6.307.822,99 kalori dan 8.409.037,98 kalori masih berada diatas kebutuhan

kalori bagi satu rumah tangga, tetapi pada tanam ketiga produksi bersih yang

diperoleh 3.941.966 kalori berada di bawah kebutuhan bagi satu rumah

Page 77: Aspek Aspek Edit

tangga peladang.

Kekurangan yang terjadi karena adanya tradisi dalam masyarakat

ladang, dimana dalam satu musim tanam ada keluarga peladang yang tidak

membuka lahan, tetapi akan mendapatkan bagi hasil sebesar sepertiga dari

produksi. Bagi hasil ini tidak secara dengan kontribusi kerja yang diberikan.

Pemanfaatan sumber-sumber energi diluar ladang seperti dari hutan,

rawa, sagu dan bunggu yang merupakan siklus primer memberikan

kontribusi yang besar dalam usaha subtitusi terhadap hasil yang diperoleh

ladang. Hasil- hasil yang dipanen secara bergilir menggambarkan

beragamnya sumber energi yang dapat dimanfaatkan oleh peladang, dan

memungkinkan sumber-sumber energi ini dapat digunakan secara lestari.

Pemanfaatan secara lestari berkaitan dengan konservasi dalam ekonomi

sumberdaya yaitu pemanfaatan- pemanfaatan secara intertemporal.

Adanya perbedaan persepsi dan sikap masyarakat ladang terhadap

tanah, menggambarkan bahwa ada kesenjangan yang besar antara

pandangan-pandangan dan keterampilan yang dimiliki. Peranan penyuluhan

baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan salah satu penyebab

adanya kesenjangan ini. Secara teori melalui penyuluhan mereka dapat

menambah pengetahuannya tetapi hal ini tidak diikuti dengan praktek

sehingga pengetahuan ini tidak didukung oleh keterampilan. Akibatnya cara-

cara lama terns dilakukan seperti pembakaran. Walaupun nilai x2 persepsi

dan sikap berhubungan, tetapi hubungan yang ada tidak erat.

Hal ini ditunjukkan dalam nilai koefisien kontingensinya. Nilai

Page 78: Aspek Aspek Edit

korelasi yang rendah terjadi karena walaupun persepsi dan sikap mereka

terhadap hutan lebih baik, tetapi hutan tetap merupakan cadangan lahan

untuk ladang. Persepsi dan sikap yang baik juga terhadap hutan karena hutan

memberikan kontribusi yang besar terhadap kebutuhan rumah tangga

peladang. Tetapi karena terbatasnya keterampilan untuk pengembangan

sumberdaya di luar ladang seperti budidaya lebah madu, rotan, dan jenis

kayu tertentu menyebabkan sumberdaya ini tidak berkembang , malah

sebaliknya walaupun hutan merupakan sumberdaya penting, tetapi mereka

harus merusaknya untuk membuka ladang.

c. Interaksi Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi.

Penurunan kondisi biofisik pada tanam ketiga terjadi baik di ladang

maupun di plot percobaan yang menggunakan input. Hal ini menunjukkan

bahwa faktor-faktor ekologi menjadi pembatas yang kuat dalam suatu

ekosistem. Atau dengan kata lain pengubahan ekosistem alam memiliki

batas kePentingan (resiliency), dimana pengusahaan ekosistem yang

melampaui batas-batas ini akan mengakibatkan hilangnya kemampuan untuk

kembali ke keadaan semula. Kondisi demikian itu berarti ekosistem telah

berada dalam keadaan rapuh (fragile).

Penurunan kondisi biofisik berpengaruh pada penurunan produksi

ladang dan juga plot percobaan pada tanam ketiga. Pemberian input pada

plot percobaan ternyata tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding

dengan cara- cara yang ditempuh oleh peladang selama satu siklus. Dengan

demikian maka pada prinsip strategi yang dijalankan peladang dalam

Page 79: Aspek Aspek Edit

menghadapi kondisi lingkungannya cukup akurat. Artinya dalam kondisi

yang serba terbatas mereka masih mampu memanfaatkan sumberdaya

tersebut semaksimal mungkin untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

2. S a r a n

1. Upaya-upaya peningkatan kondisi biofisik 1 ingkungan perladangan perlu

dilakukan melalui pendekatan ekologis. Untuk itu usaha-usaha konservasi

tanah perlu memperhatikan faktor- faktor ekologi seperti mempertahankan

tingkat keragaman hayati, menjaga siklus hara dan menekan laju erosi

dengan cara-cara vegetatif.

2. Memanfaatkan dan mengembangkan pengetahuan peladang, karena

bagaimanapun pengetahuan yang ada pada mereka sangat adaptip dengan

kondisi lingkungannya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengurangi

cara-cara yang meruaikan baik ditinjau dari aspek ekologi seperti

pembakaran maupun dari aspek sosial ekonomi seperti bagi hasil yang tidak

berimbang.

3. Subsidi kepada peladang mutlak diperlukan untuk mengembangkan potensi

yang ada, karena pada prinsipnya cara-cara yang ditempuh memberikan

hasil yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Subsidi ini ditujukan

untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peladang dalam

lingkungan teknik konservasi dan menejemen.

Page 80: Aspek Aspek Edit

DAFTAR PUSTAKA

Bennett, H. 1945. Soil conservation in Latin America. In Verdorn, F. et. al. Plant and plant science in Latin America. Waltham, Mass, Chronica Botanica.

Clapham, W.B. Jr. 1976. An Approach to quantifying the exploitability of human ecosystem. Pleneum Publishing Corporation, New York.

Cowgil, U.M. 1962. An agriculture study of the southern Malaya lowlands. American Anthropologist, 64 273- 286.

Dove, M.R. 1988. Sistem perladangan di Indonesia, Suatu study kasus di Kalimantan Barat. Gajah Mada University Press.

Foth, Henry, D. 1991 Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Edisi ke 7. Diterjemahkan oleh Ir. Endang Pubayanti, MS. dkk. Editor Ir. Sri Andani B. Hudoyo, MS. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Gajah Mada University Press.

Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian, proses perubahan ekologi di Indonesia. Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor dan Yayasan Obor. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

Gittinger, W.P. 1973. Economic Analysis of Agriculture Project. Development Digest Vol. No. 3.

Hasan, E. Djuhumria. 1988. Analisis Tenaga Kerja Petani Ladang Berpindah Di Kabupaten Kendari. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo.

Hadi, Bambang. 1991. Pengaruh Pengapuran dan Cara Penempatan Pupuk P Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Gogo (Oryza sativa. L), Pada Tanah Podsolik Merah Kuning. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari.

Headley, J.C. 1972. Defining The Economic Thershold, in Pest Control Strtegies for the Future, NAS Washington D.C., 100 - 108.

rman Haeruman Js. 1979. Perencanaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sekolah Pascasarjana, Jurusan Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, IPB.

--.-:fschmidt, M.M. at. al. 1987. Lingkungan, Sistem Alam dan Pembangunan. Pedoman Penilaian Ekonomis. Sugeng Martopo ed. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

E,hemat Soerianegara. 1978. Pengelolaan Sumberdaya Alam Sekolah Pascasarjana, Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB.

--riskoupy. 1978. Shifting Cultivation With Special Regard to Southheast Asia. Silvaecultura Tropics Et Subtropics. 6. Science Institut, University Of Agriculture, Prague, Czechoslovakia.

-alompok Peneliti Agro-ekosistem (KEPAS) . 1990. Analisis Agro-ekosistem

Page 81: Aspek Aspek Edit

untuk pembangunan masyarakat pedesaan Irian Jaya. Baden Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan PSL. Universitas Cenderawasih Berta The Ford Foundation.

.anan, S. 1976. Pengaruh Hutan dan Managemen Daerah Aliran Sungai. Proyek P3T IPB.

3dum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology, 3rd ed., Philadephia, Saunders.Rambo, A.T. 1983. Conceptual Approaches to Human Ecology Research Report

No.14 Honolulu: Eas-West Center, Borneo of American Ethnology Bulletin 120.

Randall. 1981. Resource Economics. An Economic Approach to Natural Resource and Environmental Policy. University of Kentucky. Grid Publishing, Inc., Columbus, Ohio.

Schoorl, J.W. 1982. Moderenisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang. PT. Gramedia Jakarta.

Silvana M. 1991. Pengaruh Pupuk TSP dan Pospat Alam Terhadap Pertumbuhan Hasil Tanaman Padi Gogo (Orysa sativa L.) Pada Tanah Podsolik Merah Kuning. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari.

Sitanala Arsyad. 1991. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press.

Tato Sudharto, H. Suwardjo, D. Ervandi dan T. Budhyastoro. 1992. Permasalahan dan Penanggulangan Alang-Alang, Seminar Alang-Alang, Bogor.

Tjitrosoedirdjo, Sukisman., Utomo, I.H., Wiroatmodjo, J. 1984. Pengelolaan Gulma Di Perkebunan. Pt. Gramedia, Jakarta.

Tjondronegoro, SMP. 1983. Ekologi Manusia Beberapa Sendi Pokok. Training Analisis Dampak Lingkungan, KLH - PUSDI - PSL IPB Bogor.

Steggerda, M. 1941. Maya Indians of Yukatan. Washington D.C. Carnegie Institute of Washington Publication No.351

Siswomartono, 1989. Ensiklopedia Konservasi, CV. Rajawali, Jakarta.

Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air pada Lahan Usahatani Tanaman Semusim. Desertasi. Fakultas Pascasarjana IPB.

Suwardjo, H. dan Ai Dariah. 1992. Peluang dan Kendala Pengembangan Pertanian Lahan Kering di Sulawesi Tenggara. Seminar Pengembangan Teknik-Teknik Pengelolaan Lahan Kering di Kendari.

Waat, Kenneth, E.F. 1973. Principles of Environmental Science, Departement of

Page 82: Aspek Aspek Edit

Zoology and Institute of Ecology, University of California, Davis.

Whitten, A.J. et. al. 1987. Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada University Press.

Wolf, E .R. 1983. Petani, Suatu Tinjauan Antropologi, CV. Rajawali, Jakarta.

Page 83: Aspek Aspek Edit

LAMPIRAN

Page 84: Aspek Aspek Edit

Foto 1. Tumpangsari di Ladang Padi dan Jagung

Foto 2. Kondisi Saat Padi Matang

Page 85: Aspek Aspek Edit

Foto 3. Kondisi Pemukiman

Foto 4. Kondisi Ladang Saat Bera

Lampiran 2.I. INPUT PERLADANGAN

Page 86: Aspek Aspek Edit

A. Tenaga Kerja1. Tanam Pertama

KegiatanJumlah Orang

Hari Kerja Konservasi HKP

L P APembersihan- Penebangan - Pembakaran 1- Pengumpulan- Pembakaran 2

Pemagaran- Pengumpulan- Pembuatan

Penanaman- Penugalan- Penanaman

Penyiagaan Pemanenan - Panen- Penyimpanan Hasil

2121

22

4

121

2

161

6

14

8121

314

22

1562

16141

628

87,6

34,552,83,6

41 162,5

Sumber :Catatan : 1 HKP = 1 orang pria dewasa

1 orang wanita dewasa = 0,8 HKP1 orang anak-anak (15 thn) = 0,5 HKP

2. Tanam KeduaKegiatan Jumlah

OrangHari Kerja Konservasi HKP

Page 87: Aspek Aspek Edit

L P APembersihan- PembakaranPenanaman - Penugalan- PenanamanPemeliharaan- PenyianganPemanenan - Panen- Penyimpanan hasil

1

42

1

21

6

2

61

2

4

1

22

12

52

1,0

8,010,8

43,2

44,03,6

24 110,6

3. Tanam Ketiga

KegiatanJumlah Orang

Hari Kerja Konservasi HKP

L P APembersihan- PembakaranPenanaman - Penugalan- PenanamanPemeliharaan- PenyianganPemanenan - Panen- Penyimpanan hasil

1

2

1

21

1

2

41

4

2

4

1

22

10

52

1,0

4,05,6

36,0

36,03,6

24 86,2

B. Benih Untuk 1 Ha1. Tanam Pertama

Jenis Benih Satuan Jumlah Harga STN Jumlah HargaPadi LadangJagung local

kg/hakg/ha

90102

Rp. 500,-Rp.450,-

Rp. 52.500,-Rp. 36.000,-Rp. 85.500,-

2. Tanam KeduaJenis Benih Satuan Jumlah Harga STN Jumlah Harga

Padi Ladang kg/ha 90 Rp. 500,- Rp. 45.000,-

Page 88: Aspek Aspek Edit

Jagung local kg/ha 102 Rp.450,- Rp. 45.900,-Rp. 90.900,-

3. Tanam KetigaJenis Benih Satuan Jumlah Harga STN Jumlah Harga

Padi LadangJagung local

kg/hakg/ha

6060

Rp. 500,-Rp.450,-

Rp. 30.000,-Rp. 27.000,-Rp. 90.900,-

Lampiran 3.

II. PRODUKSI1. Tanam Pertama

Page 89: Aspek Aspek Edit

Hasil UbinanProduksi (kg/100 m2) Konversi (ton/ha)

Padi Ladang Jagung Padi Ladang Jagung123456789

24,522,626,328,230,829,729,824,625,1

27,324,228,530,629,728,126,223,224,6

2,452,262,632,823,082,972,982,462,51

2,732,422,853,062,972,812,612,322,46

Rata-rata 26,84 26,93 2,684 2,693

2. Tanam Kedua

Hasil UbinanProduksi (kg/100 m2) Konversi (ton/ha)

Padi Ladang Jagung Padi Ladang Jagung123456789

18,819,120,417,219,216,217,718,816,1

31,734,632,133,735,430,737,436,131,2

1,881,912,041,721,921,621,771,881,61

3,173,463,213,313,543,073,743,613,12

Rata-rata 18,16 33,65 1,816 3,365

3. Tanam Ketiga

Hasil UbinanProduksi (kg/100 m2) Konversi (ton/ha)

Padi Ladang Jagung Padi Ladang Jagung12

13,411,2

15,716,3

1,341,12

1,571,63

Page 90: Aspek Aspek Edit

3456789

10,412,811,710,710,29,810,2

14,412,114,215,113,714,513,7

1,041,281,171,071,020,981,02

1,441,211,421,511,371,451,37

Rata-rata 11,16 14,41 1, 16 1,441

Lampiran 4. REKAPITULASII. INPUT PERLADANGAN

1. Tenaga Kerja- Tanam Pertama 162,5 HKP x Rp. 3000,- = 487.500,-- Tanam Pertama 110,6 HKP x Rp. 3000,- = 331.800,-

Page 91: Aspek Aspek Edit

- Tanam Pertama 86,2 HKP x Rp. 3000,- = 258.600,- Total 359,3 HKP x Rp. 3000,- = 1.077.900,-

2. BenihPadi Ladang- Tanam Pertama 105 HKP x Rp. 500,- = 52.500,-- Tanam Pertama 90 HKP x Rp. 500,- = 45.000,-- Tanam Pertama 60 HKP x Rp. 500,- = 30.000,- Total 255 HKP x Rp. 3000,- = 127.500,-

3. Jagung- Tanam Pertama 80 HKP x Rp. 450,- = 36.000,-- Tanam Pertama 102 HKP x Rp. 450,- = 45.000,-- Tanam Pertama 60 HKP x Rp. 450,- = 27.000,- Total 242 HKP x Rp. 450,- = 1.314.300,-

II. PRODUKSI :Padi Ladang Tahun I = 2.684 X Rp. 480,- = 1.288.320

II = 1.816 x Rp. 480,- = 871.680III = 1.493 x Rp. 480,- = 716.640

Total = 5.993 x Rp. 480,- = 2.876.640

Jagung Tahun I = 2.693 x Rp. 318,- = 856.374II = 1.816 x Rp. 318,- = 1.070.070

III = 1.493 x Rp. 318,- = 458.232Total = 7.499 x Rp. 318,- = 2.384.682

5.261.322

Lampiran 5.Data hasil DemplotHasil Gabah Kering dengan Kadar Air 14%

PerlakuanKelompok Total Rata-rata

AP I II IIIK0 P1 2,79 2,35 2,49 7,63 2,54

Page 92: Aspek Aspek Edit

P2P3P4P5P6

3,033,182,884,313,57

3,133,603,683,283,63

3,543,103,474,213,36

9,709,8810,0311,8010,56

3,233,293,343,933,52

Sub total 19,76 19,67 20,60 59,60 3,30P1P2P3P4P5P6

2,302,033,673,814,123,80

2,363,193,163,323,973,96

2,503,503,253,783,883,69

7,168,7210,0810,9111,9711,45

2,392,913,363,643,993,82

Sub total 19,73 19,96 20,60 60,29 3,35Total 39,49 39,63 40,77 119,89 3,33Sumber : Sub Balai Penelitian Tanaman Pangan Waotobi, Tahun 1991

Lampiran 6Perlakuan pada Demplot :Perlakuan Kapur Urea TSP KCl Cara Penempatan Pupuk P

K0 P1P2

P3

--

-

133133

133

130130

130

100100

100

Disebar lalu diaduk sedalam 15 cmDiaduk dibarisan tanaman selebar 10 cm dan sedalam 15 cmDalam alur 5 cm disamping barisan

Page 93: Aspek Aspek Edit

P4

P5

P6

-

-

-

133

133

133

130

130

130

100

100

100

tanaman selebar 5 cm sedalam 10 cm cm kemudian ditutup dengan tanahDalam alur selebar 5 cm di bawah barisan tanaman sedalam 10 cmDitugal disamping benih sedalam 7 cmDitugal disamping benih sedalam 15 cm.

K1 P1P2

P3

P4

P5

P6

740740

740

740

740

740

133133

133

133

133

133

130130

130

130

130

130

100100

100

100

100

100

Disebar lalu diaduk sedalam 15 cmDiaduk dibarisan tanaman selebar 10 cm dan sedalam 15 cmDalam alur 5 cm disamping barisan tanaman selebar 5 cm sedalam 10 cm kemudian ditutup dengan tanah.Dalam alur selebar 5 cm di bawah barisan tanaman sedalam 10 cmDitunggal disamping benih sedalam 7 cmDitunggal disamping benih sedalam 15 cm

Lampiran 7.Hasil Gabah Kering Kadar Air 14% (ton/ha)

Perlakuan Kelompok Total Rata-rataI II III

P0PP1

0,1501,843

0,4382,881

0,8122,148

1,4006,872

0,4672,291

Page 94: Aspek Aspek Edit

P2P3P4P5P6P7P8

1,9212,2502,8842,9403,1882,1562,905

2,9012,2882,0862,4233,2563,0273,121

2,6081,7813,2323,2683,1372,3882,053

7,4306,3198,2028,6319,6177,5718,079

2,4772,1062,7342,8773,2062,5242,693

Sumber : Sub Balai Penelitian Tanaman Pangan Wawotobi, Tahun 1991

Keterangan :P0 = Tanpa perlakuanP1 = Dipupuk 90 kg/ha P2O5 dalam bentuk TSP diberi sekaligus pada

pertanaman pertamaP2 = Dipupuk 180 kg P2O5 dalam bentuk TSP diberikan sekaligus pada

pertanaman pertama P3 = Dipupuk 90 kg/hau P2O5 dalam bentuk TSP diberi tiga kali pada masing-

masing pertama, kedua, ketigaP4 = Dipupuk 180 kg/.ha P2O5 dalam bentuk TSP diberi tiga kali masing-

masing 60 kg pada pertanaman pertama, kedua dan ketigaP5 = Dipupuk 90 kg/ha P2O5 dalam bentuk pospat alam reaksi lambat (RP-LR)

diberikan sekaligusP6 = Dipupuk 180 kg/ha P2O5 dalam bentuk pospat alam reaksi lambat (RP-

LR) diberikan sekaligusP7 = Dipupuk 90 kg/ha P2O5 dalam bentuk pospat alam reaksi cepat (RP-HR)

diberikan sekaligusP8 = Dipupuk 180 kg/ha P2O5 dalam bentuk pospat alam reaksi cepat (RP-

HR) diberikan sekaligus.

Lampiran 8Tabel Hasil Analisis Tanah Sebelum Tanam Pertama Padi Gogo pada Demplot

Parameter NilaipH H2O

KCl4,54,3

Page 95: Aspek Aspek Edit

Bahan Organik (%)

N total (%)

P Bray I (ppm)

Kation dapat ditukar (me/100 gr) :KCaMgNa

KTK (me /100 gr)

Tekstur (%) :LiatPasirDebu

5,59

0,16

4,96

0,211,090,880,04

14,00

57,6223,3619,02

Sumber : Laboratorium Tanah dan Tanaman, Balai Penelitian Tanaman Maros, tahun 1991

Lampiran 9.Hasil Analisis Tanah Setelah Tanam KetigaParameter Petak Percobaan

PP0 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8

pH :H20KCl

3,83,3

4,93,9

4,53,8

3,22,8

4,43,7

4,43,6

4,63,8

4,73,0

4,73,9

Page 96: Aspek Aspek Edit

BahanOrganic (%)N total (%)

1,760,11

1,990,11

1,950,11

1,630,11

2,400,13

1,700,11

2,040,12

1,530,10

2,070,11

P Bray I(ppm) 1,32 2,32 1,81 2,69 1,83 2,25 2,70 2,11 2,29

Kation dapat ditukar (me/100 gr)KCaMg

0,183,421,21

0,194,831,61

0,213,501,24

0,182,611,61

0,333,742,91

0,202,841,4

0,263,631,21

0,163,201,40

0,353,101,24

KTK(me/100 gr) 1,49 1,27 1,52 1,61 2,20 1,56 1,42 1,66 1,64Sumber : Laboratorium Tanah dan Tanaman, Balai Penelitian Tanaman Pangan

Maros, tahun 1992

Lampiran 10.

Analisis Chi-kuadrat Persepsi dan sikap Terhadap Tanah

PersepsiSikap JumlahSetuju Tidak Setuju

BaikKurang baik

106

373

479

Page 97: Aspek Aspek Edit

Jumlah 16 40 56

Ho = Ada hubungan antara Persepsi dan Sikap Peladang terhadap Tanah

Hipotesis :Terima Ho bila X2 < X2 a = 0,1, db = 1Tolak Ho bila X2 > X2 a = 0,1, db = 1

X2 a = 0,1, db = 2,706

X2 =

=

= 7,6

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa :

X2 > X2 a = 0,1 db = 1 berarti tolak Ho.

Jadi tidak ada hubungan antara Persepsi dan Sikap Peladang terhadap tanah.Tingkat keeratan hubungan dihitung dengan menggunakan koefisien contingensi (c)

C =

Berarti korelasi antara persepsi dan sikap peladang terhadap tanah kurang erat.

Lampiran 11.

Analisis Chi-kuadrat Persepsi dan sikap Terhadap Tanah

PersepsiSikap JumlahSetuju Tidak Setuju

BaikKurang baik

189

1712

3521

Page 98: Aspek Aspek Edit

Jumlah 27 29 56

Ho = Ada hubungan antara Persepsi dan Sikap Peladang terhadap Tanah

Hipotesis :Terima Ho bila X2 < X2 a = 0,1, db = 1Tolak Ho bila X2 > X2 a = 0,1, db = 1

X2 a = 0,1, db = 2,706

X2 =

=

= 0,386

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa :

X2 > X2 a = 0,1 db = 1 berarti tolak Ho.

Jadi tidak ada hubungan antara Persepsi dan Sikap Peladang terhadap tanah.Tingkat keeratan hubungan dihitung dengan menggunakan koefisien contingensi (c)

C =

Berarti korelasi antara persepsi dan sikap peladang terhadap tanah kurang erat.