50
MINI C-EX ANASTESI PADA PASIEN ASMA Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anastesi dan Reanimasi Di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Diajukan Kepada Yth : dr. Ardi Pramono, Sp An., M.Kes Diajukan Oleh : Yanita Dikaningrum

anastesi pasien asma

Embed Size (px)

DESCRIPTION

anastesi pasien asma

Citation preview

MINI C-EX

ANASTESI PADA PASIEN ASMA

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anastesi dan Reanimasi

Di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada Yth :

dr. Ardi Pramono, Sp An., M.Kes

Diajukan Oleh :

Yanita Dikaningrum

20090310088

BAGIAN ILMU ANASTESI DAN REANIMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2014

LEMBAR PENGESAHAN

MINI C-EX

ANASTESI PADA PASIEN ASMA

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anastesi dan Reanimasi

Di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh :

Yanita Dikaningrum

20090310088

Mengetahui

Dosen Penguji Klinik

dr. Ardi Pramono, Sp An., M.Kes

BAB I

PENDAHULUAN

Pengelolaan pasien dengan penyakit asma selama pembedahan m

embutuhkan terapi khusus berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium yang

seksama untuk mengurangi komplikasi selama dan pasca operasi. Masalah paru adalah

penyebab umum morbiditas dan mortalitas selama pembedahan. Berdasarkan

frekuensinya, 1,2-4% pasien yang menjalani prosedur bedah mayor dilaporkan

mempunyai penyakit asma. Komplikasi pada pasien dengan penyakit paru telah

didokumentasikan, hanya 3% dari pasien dengan pra operasi normal fungsi paru yang

akan berkembang menjadi atelektasis atau pneumonia, sedangkan 70% dari pasien

dengan penyakit paru obstruktif kronik dengan perubahan fungsi paru akan menemui

beberapa kesulitan. Shnider melaporkan bahwa 6,5% pasien tanpa gejala asma

sebelumnya mengalami bronkospasme selama operasi. Gold dan Helrich menemukan

24% insiden dari operasi dan komplikasi pasca operasi pada populasi asma, sangat

berbeda kejadiannya dengan 14% dalam kelompok kontrol. Dalam sebuah penelitian

yang terbatas, gagal jantung lebih dari 20 kali lebih sering terjadi pada penderita asma

dibandingkan pada kelompok kontrol.

Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-

cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi

sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan reversibel, hal ini

menandakan suatu keadaan hiperreaktivitas bronkus. Perubahan jaringan pada asma tanpa

komplikasi terbatas pada bronkus dan terdiri spasme otot polos, edema paru-paru,

infiltrasi sel-sel radang dan hipersekresi mukus yang kental. Mobilisasi sekret pada lumen

dihambat oleh penyempitan dari saluran napas dan pengelupasan sel-sel epitel bersilia,

yang dalam keadaan normal membantu membersihkan mukus.1

Gejala-gejala asma yang umum terjadi seperti sesak napas, batuk, whezing, dan

sampai sulit bernapas. Penyebab klasik yang memicu terjadinya asma antara lain:

substansi udara seperti polutan, serbuk sari, debu, dan beberapa uap kimia. Stimulasi

psikologi (seperti emosi, stres, cemas), cuaca, penggunaan obat NSAID( seperti aspirin,

ibuprofen), olah raga. Infeksi saluran napas oleh karena virus.2

Berdasarkan penyebabnya asma dapat dibagi menjadi dua macam, asma ekstrinsik (asma

alergi), asma intrinsik (asma yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik). Pada

asma ekstrinsik biasanya pada anak-anak dan dipicu oleh alergen, asma intrinsik dipicu

oleh faktor-faktor non alergen seperti infeksi saluran napas oleh virus, emosi, iritasi

saluran napas, dan olah raga. Pada asma intrinsik umumnya pada orang dewasa.

Asma dapat timbul pada semua kelompok umur. Terdapat peningkatan prevalensi

asma baik pada negara maju ataupun pada negara berkembang. Meskipun angka kematian

karena asma rendah tetapi penykit ini mempunyai dampak yang cukup besar karena

penderita asma sering mengalami serangan sehingga mengganggu aktivitas kerja ataupun

kehilangan hari sekolah.11

Pada umumnya pasien dengan gangguan fungsi paru derajat tertentu yang

mengalami pembedahan masih memiliki kemampuan toleransi terhadap gangguan

pernapasan pasca bedah. Tetapi pasien dengan penyakit paru memiliki peluang resiko

yang lebih tinggi terjadinya komplikasi paru pasca bedah dibandingkan pasien yang

normal, oleh karena itu diperlukan pengelolaan perioperatif yang memadai untuk

mencegah komplikasi tersebut.

BAB II

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

1. Nama : Tn WD

2. Jenis Kelamin : Laki-laki

3. Umur : 28 tahun

4. Alamat : Temon, Kulonprogo

5. Agama : Islam

6. Pekerjaan : Swasta

7. No RM : 6123xx

8. Diagnosis pre operatif : Close Fraktur Colum Femur Sinistra

9. Diagnosis post operatif : Close Fraktur Colum Femur Sinistra

10. Tanggal Operasi : 18 Agustus 2014

11. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama

Nyeri pada kaki kiri

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang rujukan dari RSUD Wates datang dengan keluhan nyeri pada kaki

kiri post kecelakaan lalu lintas. Pasien merasakan kaki susah digerakan. Pasien

dibawa ke rumah sakit dan hasil foto Rontgen memberi kesimpulan bahwa pasien

mengalami patah tulang pada bagian paha, dan dokter pun menyarankan untuk

melakukan operasi. Pusing (-) , Mual (-) , Muntah (-) , BAB dan BAK dalam batas

normal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

a. Riwayat Hipertensi : disangkal

b. Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal

c. Riwayat Asma : (+)

d. Riwayat Alergi Obat : disangkal

e. Riwayat operasi sebelumnya : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga

a. Riwayat Hipertensi : disangkal

b. Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal

c. Riwayat Asma : (+)

d. Riwayat Alergi Obat : disangkal

5. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalis

Keadaan Umum : Baik

Gizi : Cukup

Kesadaran : Compos mentis

TB/BB : 170 cm/ 80 kg

2. Vital Sign

TD : 114/73 mmHg

N : 116 x/menit

RR : 24 x/menit

Suhu : 36,90C

3. Status Lokalis

1. Kepala dan leher

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-)

Mulut : sianosis (-), gigi goyah / palsu (-)

Telinga : sekret (-), pendengaran baik

Leher : glandula thyroid di tengah, pembesaran limfonodi (-),

JVP tidak meningkat, deviasi trakea (-)

2. Thorax

Pulmo I : Pengembangan paru kanan = kiri

P : Fremitus raba kanan = kiri

P : Sonor - Sonor

A: Suara dasar vesikuler (+/+)

Suara tambahan : wheezing (-)

Jantung I : Ictus cordis tidak tampak

P : Ictus cordis tidak kuat angkat

P : Batas jantung kesan tidak melebar

A : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising

(-)

Abdomen I : dinding perut = dinding dada, darm contur (-), darm

steifung (-)

A: Bising usus (+) normal

P : Nyeri tekan dan nyeri lepas Mc Burney, Rovsing sign

(-), Blumberg sign (-), massa (-)

P : Timpani, nyeri ketok kuadran kanan bawah (-)

3. Ekstremitas

Superior : edema (-/-), akral hangat (+/+), sianosis (-/-)

Inferior : edema (-/-), akral hangat (+/+), sianosis (-/-)

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan Darah

5. DIAGNOSA KERJA

Close Fraktur Colum Femur Sinistra

6. KESIMPULAN

Close Fraktur Colum Femur Sinistra. Berdasarkan status fisik, diklasifikasikan dalam

ASA II .

ACC

operasi dengan regional anastesi (anastesi spinal).

7. PENATALAKSANAAN

Terapi operatif: ORIF dengan regional anastesi pada pasien ASA II

8. TINDAKAN ANESTESI PADA PERI-OPERASI

1. Macam : ORIF

2. Jenis AN : Regional Anestesi

3. Teknik AN : Spinal Anastesi

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan

Lekosit 10100 4000-12000 /µL

Eritrosit 4,31 4.0-5.1 jt/ul

Hemoglobin 14,5 12.0-15.0 g/dL

Hematokrit 43 36-47 %

Trombosit 264000 15000-400000 /µL

PPT 15,7 Menit

APTT 32,8 Menit

Gol. Darah O

Imunoserologi

HbSAg Negative < 0.13 (negative) -

GDS 124

Anestesi mulai: 10.15 WIB Operasi mulai : 10.20 WIB

Anestesi selesai: 11.30 WIB Operasi selesai :11.30 WIB

1. Pre-operatif

Cek persetujuan operasi

Pasien puasa 6-8jam pre-operatif.

Cek obat-obatan dan alat anestesi (tersedia)

Keadaan umum dan vital sign baik (TD=130/80 mmHg, N=80/menit,

RR=20/menit, S=36,30C).

Dilakukan pemeriksaan fisik dan status mental pasien untuk

menentukan ASA dan rencana obat-obatan dan teknik anestesi

yang akan dilakukan, pada pasien ini di rencanakan regional

anastesi dengan spinal anastesi, ASA II.

Preloading cairan:

Cairan yang digunakan: Ringer Laktat 54 tpm.

Kebutuhan cairan 24 jam dewasa = 2 ml/ kgBB/ jam

= 2 ml x 80 kg = 160 ml/jam.

Pasien puasa 8 jam, pengganti cairan puasa: 1280 ml/8jam

2. Intra operatif

Pada tanggal 18 Agustus 2014 pasien masuk ke ruang OK, diposisikan di

atas meja operasi, pasang alat monitoring: monitor tensi, Heart Rate, SpO2,

untuk monitoring ulang vital sign pasien. (TD : 130/70 mmHg, N : 82

x/menit).

Pasien diminta untuk duduk kemudian dilakukan spinal anastesi dengan

Bupivacain 20 mg dan kemudian pasien diposisikan supine kembali. Selama

operasi obat yang diberikan adalah injeksi Ranitidin 1 amp IV, Remopain 10

mg, metil prednisone 60 mg, ceftroaxone 1 gr, asam tranexamat 100 mg.

Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan nadi senantiasa

dikontrol setiap 5 menit, sebagai berikut :

Menit ke- Sistole Diastole Nadi Sp O2

1 98 50 114 99 %

5 100 60 92 99 %

10 110 70 92 99 %

15 120 80 94 99 %

20 120 87 100 98%

25 122 90 99 99 %

30 122 88 99 99 %

35 122 88 96 99 %

40 125 85 96 99 %

45 125 80 96 98 %

50 125 88 99 98 %

55 128 88 99 98 %

60 128 88 99 98 %

65 130 85 98 99 %

70 128 85 100 99 %

75 125 80 99 99 %

Selama operasi diberikan cairan :

Cairan : FimaHES tetesan cepat

2. Post operatif

Operasi berakhir pukul 11.30 WIB.

Selesai operasi pasien dipindahkan ke Ruang Pemulihan (Recovery Room),

pasien segera diberi bantuan oksigenasi melalui Canul O2 3 lt/menit,

melanjutkan pemberian cairan, dan diobservasi terus dipantau setiap 15 menit

dinilai pernafasan, tekanan darah, dan nadi. Bromage score <2

Instruksi Post Operasi :

Pasien dirawat di RR dengan O2 2 lpm nasal. Awasi respirasi tiap 15 menit.

Bila tekanan darah turun dibawah 90/60 mmHg, berikan efedrin 5-10mgIV.

Bila muntah, berikan ondansentron 4-8 mg IV, jika kesakitan berikan

ketolorac 30 mg.

BAB III

PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan anastesi sebelumnya pasien sudah dilakukan kunjungan pra

anastesi. Dari kunjungan tersebut diketahui bahwa pasien memiliki riwayat asma yang

tidak kambuh sejak 2 tahun yang lalu. Dari anamnesis dapat ditentukan bahwa pasien ini

termasuk dalam klasifikasi ASA II. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA

(American Society Anesthesiology):

ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,

biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.

ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang

sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.

ASA III: Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian

terbatas. Angka mortalitas 38%.

ASA IV: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak

selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap.

Angka mortalitas 68%.

ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak

ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan

operasi. Angka mortalitas 98%.

ASA VI: Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)6

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan

otak, jantung, paru, ibu dan anak.

Dari anamnesis dapat disimpulkan bahwa pasien memiliki penyulit anastesi yaitu

penyakit asma. Sedangkan dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda asma.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien asma tidak dalam serangan. Premedikasi

diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah

dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang

akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status

fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat

hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap

jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang

akan digunakan.

Pada saat operasi pasien diberikan metal prednisone. Obat ini adalah golonngan

kortikosteroid. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inheler atau

kortikosteroid inheler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi. Dianjurkan

pemberian kortikosteroid parenteral ( Methilprednisolon 40-80 mg) 1-2 jam sebelum

induksi anestesi.6 Bronkodilator harus diberikan sampai proses pembedahan selesai,

pasien yang mendapatkan terapi lama glukokortikoid harus diberikan tambahan untuk

mengkompensasi supresi adrenal. Hidrokortison 50-100mg sebelum operasi dan 100mg/8

jam selama 1-3 hari post operasi.

Terapi cairan pada pasien ini adalah terapi cairan mantainance 2ml/ kgBB/ jam,

cairan pengganti puasa, cairan stress operatif berat 8 ml/ kgBB/jam.

Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu

dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Pada pasien

kasus tersebut menggunakan anastesi regional sehingga yang dipakai adalah system

penilaian skor Bromage.

BAB IV

TINJUAN PUSTAKA

1. SISTEM RESPIRASI

Respirasi adalah pertukaran gas antara mahluk hidup dengan lingkungan

sekitarnya. Pada serangga oxigen dibawa langsung ke sel-sel melalui suatu sistem

percabangan trachea yang cukup efisien.padakatak respirasi terjadi 50% melalui kulit,

dan sisanya melalui sistem sirkulasi pulmonal. Pertukaran gas pada manusia melalui

sistem sirkulasi pulmonal yang kompleks, dimana oksigen didistribusikan dan CO2

dikeluarkan dari seluruh sel-sel tubuh.

Respirasi pada manusia dibagi menjadi respirasi eksternal dan respirasi internal.

Respirasi eksternal adalah pertukaran gas antara darah dan udara di lingkungan sekitar,

terbagi dalam empat proses :

1. Ventilasi : Pergerakan massa udara dari luar ke dalam alveoli dan distribusinya di

dalam alveoli.

2. Mixing    : Distribusi intrapulmonal molekul gas (alveolar)

3. Diffusi     : Proses masuknya gas melewati membran alveoli-kapiler.

4. Perfusi alveolar-sirkulasi kapiler : pengambilan gas oleh aliran darah pulmonal

Respirasi internal adalah pertukaran gas antara darah dan jaringan, terdiri dari empat

proses :

1. Sirkulasi arteri dalam menghantarkan darah yang mengandung oksigen.

2. Distribusi kapiler

3. Difusi : Proses masuknya gas ke dalam ruang interstitial dan melewati melewati

membran sel.

4. Metabolisme seluler melibatkan enzim respirasi.

Pada diskusi ini akan dibahas mengenai respirasi eksterna. Pada dasarnya, ventilasi

bervariasi berdasarkan metabolisme individu dan reaksi kimia di darah. Ventilasi yang

efisien tergantung pada :

1. Struktur normal

2. Koordinasi kerja otot

3. Perbedaan tekanan gas

4. Integrasi neuromuskuler

  A.    Anatomi Sistem Respirasi

Sistem pulmonal memiliki dua bagian secara anatomis dengan fungsi berbeda, yaitu :

1. Saluran nafas mulai dari hidung dan mulut, pharink, larynx, trachea, bronkus,

hingga bronchiolus.

2. Pars respiratoar, terdiri dari bronchiolus respiratorik, duktus alveolaris, saccus

alveolaris, dan alveoli.

Mesoderm dari cabang bronchiolus berkembang membentuk pars respiratorik dari paru.

Luas permukaan alveoli keseluruhan mendekati 55 m2 pada dewasa, 25 kali lebih besar

dari luas permukaan kulit. Alveoli memiliki jaringan dan percabangan kapiler yang padat,

hingga saturasi oksigen 100% dapat tercapai di sini. Anatomi pulmonal di sisni sangat

penting bagi anestesiolog, seperti jarak dari bibir ke larynk 12 cm, puncak kartilago

thyroid ke dasar cricoid 4-5 cm, larynk ke carina 12-13 cm, diameter trachea dewasa rata-

rata 2,5 cm.

 

B.     Pembagian Udara Paru-paru

Total kapasitas udara paru-paru mendekati 5000ml (5L), atau kurang lebih 70 ml/KgBB.

Dengan menggunakan alat perekam volume sederhana dan spirometer, dapat ditentukan

pembagian dari udara paru-paru.

Volume paru-paru

1. Volume tidal

Adalah jumlah udara yang dihirup dan dikeluarkan pada kondisi biasa, pada dewasa

mendekati 500ml saat istirahat. Volume tidal dapat menggunakan + 6,0-7,5 ml/KgBB.

Pada neonatal aterm digunakan 6,0 ml/KgBB, setelah usia sebulan digunakan 7,0

ml/KgBB, dan pada dewasa digunakan 7,5 ml/KgBB.

2. Volume cadangan inspirasi

Adalah maksimal volume udara yang masih dapat di hirup setelah inspirasi normal,

jumlahnya mendekati 40-50% dari kapasitas total paru-paru, atau sekitar 2000-3000 ml

pada dewasa dengan BB 70 Kg. Pada dewasa muda sekitar 3000-3500 ml, pada >50

tahun 2500 ml.

3. Volume cadangan ekspirasi

Adalah maksimal volume udara yang masih dapat dikeluarkan setelah ekspirasi normal.

Volumenya mendekati 20% dari kapasitas total paru-paru, atau mendekati 1000-1200 ml.

4. Volume residual

Adalah volume udara yang masih tetap berada di paru-paru walaupun telah

ekspirasi maksimal. Jumlahnya sekitar 20% dari kapasitas total paru-paru, atau 1200 ml.

besarnya volume bervariasi seiring dengan usia, pada 20-30 tahun sekitar 1300 ml, pada

30-40 tahun sekitar 1500 ml, pada 40-60 tahun sekitar 2000 ml, pada usia lebih tua dapat

mencapai 2400 ml. Hal ini tidak dapat diukur dengan spirogram, namun dapat ditentukan

secara tidak langsung. Terdapat 2 metode : sirkuit terbuka dan sirkuit tertutup. Pada

sirkuit terbuka, semua nitrogen dalam paru  (  +  80% volume) di keluarkan dengan cara

inspirasi oksigen dan ekspirasi ke dalam spirometer. Volume gas ekspirasi diukur dan

kadar nitrogen diukur.

Pada sirkuit tertutup, digunakan helium yang telah diketahui volume dan

konsentrasinya ( 10% ), di inspirasi dari reservoar. Perubahan persentase dalam reservoar

digunakan untuk menghitung kapasitas paru.

Kapasitas paru-paru

Merupakan kombinasi dari beberapa jenis volume paru-paru, terdapat 4 macam kapasitas

paru, yaitu :

1. Kapasitas inspiratoar

Adalah volume maksimal udara yang dapat di inspirasi setelah ekspirasi normal,

merupakan kombinasi volume tidal dan volume cadangan inspirasi.

2. Kapasitas vital (VC)

Adalah total volume udara yang dapat diinspirasi setelah ekspirasi maksimal, merupakan

kombinasi dari volume cadangan inspirasi, volume tidal, dan volume cadangan ekspirasi.

3. Kapasitas residual fungsional (FRC)

Adalah volume udara yang masih terdapat di dalam paru-paru setelah ekspirasi normal,

merupakan kombinasi dari volume residual dan volume cadangan ekspirasi. Volumenya

mendekati 2500 ml. FRC menurun pada posisi supine bila dibandingkan pada posisi

duduk, karena perubahan posisi diaphragma. FRC juga biasanya menurun pada narkose

umum hingga 0,5 ml.

4. Kapasitas total paru-paru (TLC)

Adalah maksimal volume udara dalam paru-paru ketika mengembang maksimal.

  

2.      DEFINISI ASMA

Menurut GINA (Global Initiative for Asma) asma didefinisikan sebagai

gangguan inflamasi kronik saluran napas respiratorik dengan banyak sel yang berperan,

khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini

menyebabkan episode wheezing berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk,

khususnya malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan

penyempitan saluran respiratorik yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian

bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga

berhubungan dengan hiperaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan.8

Asma adalah penyakit saluran napas kronik akibat terjadinya peningkatan

kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Pada penderita yang peka hal ini

menyebabkan munculnya serangan batuk, bunyi mengi, banyak dahak, sesak napas, dan

tidak enak didada terutama pada malam hari atau pagi hari.15

Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensivitas cabang-

cabang tracheobronchial terhadap pelbagai jenis rangsang. Keadaan ini bermanifestasi

sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan reversibel akibat

bronkospasme. 15

 

3.      PATOFISIOLOGI ASMA

Pathofisiologi asma melibatkan pelepasan mediator kimiawi ke jalan napas dan

mungkin pula adanya aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf parasimpatis. Substansi

yang terhirup dapat menimbulkan bronkospasme melalui respon imun spencifik dan non

spencifik oleh daya degranulai sel mast bronkial. Pada asma alergi yang klasik antigen

berikatan dengan Ig E di permukaan sel mast dan menyebabkan degranulasi,

bronkokontriksi merupakan hasil dari pelepasan histamin berikutnya : bradiknin;

leukotrien C, D, dan E; platelet activating-factor, prostaglandin (PG), PGE2, PGF2 alfa,

dan PGD2; dan factor netrofil eosinofil kemotaktik.2 Sedikitnya ada 2 jenis T-helper (Th),

limpfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua

jenis lifosit T mensekresi IL-3 dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor

(GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF-γ dan TNF-β. Sedangkan Th2 terutama

memprodusi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16.

Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab atas terjadinya reaksi

hipersensivitas tipe lambat maupun yang cell mediated. Langkah pertama terbentuknya

respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel

aksesoris yaitu suatu proses yang melibatkan molekul MHC/major histocompatibility

complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada ael T CD8+). Sel

dendritik adalah merupakan antigen presenting cell yang utama dalam saluran napas. Sel

dendritik terbentuk perkusornya didalam sumsum tulang dan membentuk jaringan luas

dan sel-selnya saling berhubungan pada epitel saluran respiratorik. Kemudian sel-sel

tersebut bermigrasi kekumpulan sel-sel limfoid dibawah pengaruh GM-CSF yaitu sitokin

yang terbentuk oleh aktivitas sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag dan sel mast. Setelah

antigen ditangkap, sel dendritik berpindah menuju daerah yang banyak mengandung

limfosit. Dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai

antigen presenting cell (APC) yang efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi selT

naïve-Th0 menuju Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk pada

klaster kromosom 5q31-33 (IL-4 genecluster). 8

Pada asma baik dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki kelabilan bronkus

abnormal yang memudahkan penyempitan saluran napas oleh banyak faktor, saluran

napas ini seakan-akan merupakan persarafan β-adrenergik yang tidak kompeten, dan

banyak bukti memberikan paling tidak secara fungsional terdapat hambatan partial pada

reseptor β adrenergik pada penderita asma yang khas ini. Penyempitan saluran

respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab utama penyempitan

saluran respiratorik adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan

agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase,

prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast, neuropepetida dari saraf aferen

setempat dan asetilkolin dari saraf postganglionik. Kontraksi otot polos saluran

respirtorik diperkuat oleh penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, infiltrasi

sel-sel inflamasi dan remondeling, hiperplasia dan hipertropi kronis otot polos, vaskuler

dan sel-sel sekretori serta deposisi matrik pada diding saluran respiratorik. Selain itu

hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental,

dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui

mikrovaskuler bronkus dan debris seluler.16

Peran serotonin, suatu bronkokonstriktor, belum diketahui pada manusia. Sistim

saraf parasimpatik memainkan peran penting dalam menjaga tonus normal bronkial.

Aktifasi reflek vagal terjadi pada bronkokontriksi yang dimediasi oleh peningkatan siklik

guanosin monofosfat intraseluler (cGMP). 2

Selama serangan asma, bronkokontriksi, oedem mukosa, dan sekresi yang terjadi

akan meningkatkan tahanan aliran gas disetiap tempat jalan napas yang lebih rendah.

Tahanan jalan napas kembali normal pertama kali pada jalan napas yang lebih besar

(bronki utama, lobar, segmental dan sub segmental), kemudian baru perifer. Laju

ekspirasi menurun melampaui kapasitas vital paksa (force vital capacity) tetapi pada

pemulihan serangan laju rata-rata ekspirasi menurun hanya pada volume paru rendah.

Volume residu (RV), TLC, FRC semua menurun. PaCO2 normal atau tinggi

menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan kerja napas lagi dan hal ini

sering merupakan tanda adanya gagal napas (impending). Pulsus paradoksus dan

gambaran EKG renggangan ventrikel kanan (perubahan ST, deviasi aksis kanan, dan

RBBB) menunjukan obstruksi jalan napas berat.2

Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran

klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat

inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol

asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu

pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan

adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut

berat-ringannya asma yang sangat penting dalam penatalaksanaannya. Asma

diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).

 

4.      PEMBAGIAN ASMA

Berdasarkan sifat serangan, asma dibagi menjadi dua yaitu:

A. Asma Saat Tanpa Serangan

Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari:

1. Intermitten

2. Persisten ringan

3. Persisten sedang

4. Persisten berat

 

Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di

Indonesia, 2004

 

B. Asma Saat Serangan

Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan

sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global

Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan

gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan

menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan

ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat. Perlu dibedakan antara asma

(aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma

persisten berat dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada

pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat, bahkan serangan

ancaman henti napas yang dapatmenyebabkan kematian.8

 

5.      PENANGANAN ANESTESI PREOPERATIF

A. Evaluasi Preoperatif

Evalusi pasien asma sebelum tindakan anestesi dan pembedahan sangat penting

untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian asma attack, baik intraoperatif maupun

postoperatif. Maka diperlukan evaluasi yang meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan

fisik, laboratorium, pemeriksaan fungsi paru-paru, dan analisa gas darah, foto rontgen

thorax.16

1. Riwayat Penyakit

Meliputi lama penyakitnya, frekwensi serangan, lama serangan atau berat

serangan, faktor-faktor yang memperngaruhi serangan, riwayat penggunaan obat-obatan

dan hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit, riwayat alergi (makanan, obat, minuman),

Riwayat serangan terakhir, beratnya, dan pengobatannya.4 Bila baru-baru ini mendapat

infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan maka operasi elektif sebaiknya

ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas jalan napas.3

 

2. Pemeriksaan Fisik

Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas yang

terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis, ekspirasi memanjang,

Palpasi takicardi. Perkusi hipersonor, auscultasi whezing, ronchi.4 Tanda-tanda serangan

asma berat meliputi penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, tidak mampu berhenti

napas pada saat bicara, sianosis, sedikit atau tidak ada whezing (jalan napas tertutup,

sedikit gerakan udara, dan whezing menurun).5

 

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil ini

selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid dan dapat juga untuk

membedakan asma dengan bronchitis khronis. Pada pemeriksaan sputum selain

didapatkan eosinofil, juga dapat ditemukan adanya kristal charcat leyden, spiral

churschman dan mungkin juga miselium aspergilus fumigates.4

 

4. Pemeriksaan Rontgen Thorax

Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut umumnya

dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu atau adanya komplikasi

asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum, atelektasis, pneumonia. Kadang

didapatkan gambaran air trapping, diafragma datar karena hiperinflasi, jantung mengecil

dan lapang paru yang hiperluscen.5

 

5. Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)

Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan pengukuran aliran

udara ekspirasi yaitu volum ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan arus puncak

ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila dibandingkan dengan hasil pengukuran

sebelumnya. Normalnya nilai volum ekspirasi paksa (FEV1) untuk laki-laki adalah lebih

dari 3 liter dan lebih 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus puncak ekspirasi (PEFR)

adalah lebih dari 200 L/.mnt ( pada laki-laki dewasa muda lebih dari 500 L/mnt). Nilai

PEFR kurang dari 200 L/mnt pada pria ( < 150 L/mnt pada wanita) menunjukkan

gangguan efektivitas batuk dan akan meningkatkan komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1

atau PEFR < 50% menunjukan asma sedang sampai berat. Nilai PEFR < 120 l/mnt atau

FEV1 1 liter menujukan obstruksi berat. Pemeriksaan ini penting dilakukan karena sering

terjadi ketidaksesuaian gambaran klinis asma dengan fungsi paru. Penderita yang baru

sembuh dari serangan akut atau penderita asma kronik sering tidak mengeluh, tetapi

setelah diperiksa ternyata obstruksi saluran napas. Pemeriksaan ini diindikasikan pada

pasien-pasien yang menderita penyakit paru-paru sedang sampai berat yang menjalani

operasi yang berdampak pada sistem respirasi.Pemeriksaan ini juga dapat memprediksi

terhadap resiko komplikasi paru postoperatif dan memprediksi kebutuhan bantuan

ventilasi dan respon pengobatan (Bronkodilator).2

  

Hubungan asma dengan pemeriksaan spirometri :

 Keadaan Klinik % FEV/FVC

Normal 80-100

Asma Ringan 75-79

Asma Sedang 50-74

Asma Berat 35-49

Status Asmatikus <35

6. Pemeriksaan Analisa gas darah

Pemeriksaaan analisa gas darah biasanya dilakukan pada penderita dengan

serangan asma yang berat. Keadaaan ini bisa terjadi hipoksemia, hiperkapnia, dan

asidosis respiratorik. Kondisi yang berat akan meningkatkan resiko komplikasi paru-

paru.4

 

7. Fisioterapi dada.

Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan napas. Indikasi

fisoterapi dada dapat akut dan sebagai profilaksis. Keadaan akut untuk dilakukan

fisioterapi adalah pada pasien- pasien dengan retensi sputum yang berlebihan atau

abnormal akibat batuk yang terus menerus atau pada pasien yang batuknya sangat lemah.3

 

B. Pengelolaan Preoperatif

Langkah pertama persiapan penderita dengan gangguan pernapasan yang

menjalani pembedahan adalah menentukan reversibilitas kelainan. Proses obstruksi yang

reversible adalah bronkospasme, sekresi terkumpul dan proses inflamasi jalan napas.

Obstruksi yang tidak reversible dengan bronkodilator misalnya adalah empisema, tumor.3

Pasien dengan bronkospasme yang frekuen harus diobati dengan preparat bronkodilator

yang berisi β-adenergik agonis, dosis terapi teopilin dan kortikosteroid.2 Pada pasien

dengan serangan asma balans cairan dan elektrolit perlu dipelihara, pada kondisi ini

pasien sering mengalami dehidrasi.5

 1. Manajemen Asma

Preparat yang digunakan untuk asma sebagai berikut :

1. Sympathomimetik atau β agonis agen, menyebabkan brokodilator melalui Cyclic

adenosine monophosphate (cAMP) yang memediasi relaxasi otot polos bronkus.

Obat-obat ini juga menghambat antihistamin dan juga neurotransmiter kolinergik.

2. Selektif β-adrenergik, umumnya diberikan secara inhalasi dan sampai saat ini

merupakan preparat yang paling efektif. Misalnya albuterol(ventolin) 2 puffs atau

lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam.

Salmeterol(serevent) 2 puff dengan MDI setiap 12 jam dan

metaproterenol(Alupent) 2 atau lebih puffs dengan MDI setiap 3-4 jam atau

0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam. Pasien-pasien yang menggunakan terapi β-

bloker hendaknya β bloker yang tidak menimbulkan spasme bronkus seperti

atenolol atsumetropolol atau esmolol.3

3. Campuran β1 dan β2 adrenergik termasuk epinefrine (Adrenalin), isoproterenol

(Isuprel) dan isoetharin (Brokosol). Efek samping takikardi dan arithmogenik

membahayakan pada penderita penyakit jantung.

4. Terbutaline sulfate pemberiannya 0,25 mg SC, dapat diulangi 15 menit, tetapi

tidak lebih dari 0,5 mg dalam 4 jam.

5. Santin (teofilin)

Nama obat :

1)        Teofilin

Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara

kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling

memperkuat. Teofilin, sebagai bronkodilator, memiliki 2 mekanisme aksi utama di paru

yaitu dengan cara relaksasi otot polos dan menekan stimulan yang terdapat pada jalan

nafas (suppression of airway stimuli). Mekanisme aksi yang utama belum diketahui

secara pasti. Diduga efek bronkodilasi disebabkan oleh adanya penghambatan 2 isoenzim

yaitu phosphodiesterase (PDE III) dan PDE IV. Sedangkan efek selain bronkodilasi

berhubungan dengan aktivitas molekular yang lain. Teofilin juga dapat meningkatkan

kontraksi otot diafragma dengan cara peningkatan uptake Ca melalui Adenosin-mediated

Chanels

2)        Aminofilin

Pada serangan asma akut reversible berat yang berhubungan dengan bronkitis

kronis dan enfisema digunakan aminofilin. Aminofilin merupakan kompleks 2:1 dari

Teofilin dan etilendiamin. Teofilin sebagai z.a untuk antiasma. Etilendiamin digunakan

agar terbentuk kompleks aminofilin yang mudah larut dalam air. Bentuk pemberian

adalah injeksi iv yang digunakan dalam wadah dosis tunggal ampul. Tidak perlu

ditambahkan pengawet karena sediaan dalam wadah dosis tunggal. Sterilisasi akhir

dengan autoklaf karena za tetap stabil pada pemanasan tinggi. Pemberian aminofilin

dengan cara :

a. Bila pasien belum mendapatkan amonifilin sebelumnya, berikan

aminofilin dosis awal 6 mg/kgBB dalam dekstrosa atau NaCl sebanyak

20 ml dalam 20-30 menit

b. Bila pasien telah mendapatkan aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis

diberikan separuhnya.

c. Bila mungkin kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml

d. Selanjutnya berikan aminofilin dosis rumatan 0,5-1 mg/kgBB/jam

Pengunaan aminofilin tidak dianjurkan pada anak berusia < 12 tahun. Obat-obat

yang dapat meningkatkan kadar Teofilin: Propanolol, Allopurinol (>600mg/day),

Erythromycin, Cimetidin, Troleandomycin, Ciprofloxacin (golongan Quinolon yang

lain), kontrasepsi oral, Beta-Blocker, Calcium Channel Blocker, Kortikosteroid,

Disulfiram, Efedrin, Vaksin Influenza, Interferon, Makrolida, Mexiletine, Thiabendazole,

Hormon Thyroid, Carbamazepine, Isoniazid, Loop diuretics. Obat lain yang dapat

menghambat Cytochrome P450 1A2, seperti: Amiodaron, Fluxosamine, Ketoconazole,

Antibiotik Quinolon). Obat-obat yang dapat menurunkan kadar Teofilin: Phenytoin, obat-

obat yang dapat menginduksi CYP 1A2 (seperti: Aminoglutethimide, Phenobarbital,

Carbamazepine, Rifampin), Ritonavir, IV Isoproterenol, Barbiturate, Hydantoin,

Ketoconazole, Sulfinpyrazone, Isoniazid, Loop Diuretic, Sympathomimetics.

Kortikosteroid sering digunakan pada pasien yang tidak respon terhadap terapi

Dan antagonis β2 adrenergi. Terutama bentuk parental yang digunakan untuk terapi

serangan asma berat. Mekanisme kerja obat ini melalui pengurangan oedem mukosa,

stabilisasi membran mast sel. Sebagai anti inflamasi, kortikosteroid bekerja melalui

mekanisme antara lain12:

1) Menghambat metabolisme asam arakidonat sehingga mempengaruhi

leukotrien dan prostaglandin.

2) Mengurangi kebocoran mikrovaskuler

3) Mencegah migrasi langsung sel-sel inflamasi

4) Menhambat produksi cytokins

5) Meningkatkan kepekaan reseptor beta pada otot polos bronkus.

Kortikosteroid yang diberikan jangka panjang dapat menimbulkan efek samping

oleh karena itu dianjurkan pemberian melalui inhalasi (misalnya budesonide,

beclometason) digunakan dengan dosis maximal 2000 mcg, sangat efektif dalam

mengendalikan gejala asma dan mengendalikan ekserbasi.4Bila pemberian kortikosteroid

secara inhalasi belum bisa mengontrol serangan asma maka dianjurkan pemberian

parenteral. Koortikosteroid yang biasa digunakan parenteral adalah 1-2 mg/kgBB

Hydrocortyson atau100mg IV per 8 jam dan methylprednisolon 40-80 mg IV per 4-6 jam

atau 0,8 mg/kgBB.3

Sodium Cromolyn dan sodium nedokromil adalah preparat inhalasi yang

digunakan sebagai profilaksis pada asma. Mekanisme kerja obat ini melalui stabilisasi

membrane mast sel dan anti inflamasi.

Mucolytics

1) Acetylcysteine melalui inhalasi(Nebulizer) dapat menurunkan viscositas mukur

dengan memecah disulfida bonds yang terdapt di mucoproteins.

2) Hypertonik saline dapat digunakan untuk menurunkan viscositas mukus melalui

nebulizer

3) Recombinant deoxyribonukleaese(Dnase atau pulmozyme) 10 sampai 40 mg

perhari dengan inhaler. Digunakan pada pasien dengan fibrosis cystic untuk

menurunkan viscositas sekret bronkus.

4) Antileukotrien obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim yang

mensintesa leukotrien atau mempengaruhiikatan pada reseptor. Termasuk

antagonis reseptor leukotrien antara lain zafirlukast, pranlukast dan montelukast,

zafirlukast dapat digunakan sebagai kortikosteroid inhalasi termasuk inhibitor 5-

lipooxygenase adalah zilueton obat-obat antileukotrin biasa digunakan untuk

terapi asma kronik

 2. Premedikasi 7

1. Sedatif ( Benzodiazepin) adalah efektif untuk anxiolitik tetapi pada pasien dengan

asma berat dapat menyebabkan depresi pernapasan. Sedasi ini penting diberikan

pada pasien dengan riwayat asma yang dipicu oleh emosional.

2. Narcotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya dipilih

yang tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya fentanil, sufentanil14

3. Anticholinergik pemberian dilakukan jika terdapat sekresi berlebihan atau

penggunaan ketamin sebagai agen induksi Antikolinergik tidak efektif untuk

mencegah reflek bronkospasme oleh karena tindakan intubasi.2

4. H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2 secara teori

dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 sera normal akan menyebabkan

bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamin, aktivitas H1 yang tanpa

hambatan dengan blokade H2 dapat menimbulkan bronkokonstriksi.2

5. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inheler atau

kortikosteroid inheler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi.

Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral ( Methilprednisolon 40-80 mg) 1-

2 jam sebelum induksi anestesi.6 Bronkodilator harus diberikan sampai proses

pembedahan selesai, pasien yang mendapatkan terapi lama glukokortikoid harus

diberikan tambahan untuk mengkompensasi supresi adrenal. Hidrokortison 50-

100mg sebelum operasi dan 100mg/8 jam selama 1-3 hari post operasi.2,9

6. Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB atau

Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT.

Pemberian anestesi inhalasi menggunakan halothan/enfluran pada stadium dalam

dapat mengatasi spasme bronkial berat yang refrakter.9,10

 

2.6.      PENANGANAN ANESTESI INTRAOPERATIF

Sesuai dengan bidang kecabangan anestesi, suatu pemahaman masalah

pathofisiologi yang mendasar adalah lebih penting pada pilihan tehnik anestesi khusus

atau obat. Pilihan tekhnik bisa regional anestesi saja, dengan pasien tetap sadar, mampu

mengontrol sistem napasnya sendiri, dan pada situasi lain diperlukan kombinasi general

anestesi dengan regional anestesi, karena pertimbangan atau untuk mengendalian nyeri

postoperatif.

 

A. Regional Anestesi

Spinal anestesi atau epidural adalah pilihan pada pembedah ektrimitas bawah.

Pada pasien asma pernapasannya tergantung pada penggunaan otot-otot tambahan

(intercostal untuk inspirasi, otot perut untuk ekspirasi paksa). Spinal anestesi dapat

memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunkan FRC, mengurangi kemampuan

untuk batuk dan membersihkan lendir atau memicu gangguan respirasi atau bahkan

terjadi gagal napas. Spinal tinggi atau epidural anestesi dapat memperburuk

bronkokontriksi karena terhambatnya tonus simpatis pada jalan napas bawah(T1-T4) dan

menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak terhambat. Kombinasi tehnik epidural dan

anestesi umum dapat menjamin kontrol jalan napas, ventilasi adekuat, dapat mencegah

hypoxemia dan atelectasi. Pada prosedur pembedahan perifer yang panjang sebaiknya

dilakukan dengan general anestesi. Faktor-faktor penting yang menghalangi keberhasilan

penggunaan regional anestesi seperti pasien tidak tahan berbaring lama dimeja operasi

dalam waktu lama, batuk spontan dan tidak terkendali dapat membahayakan yaitu pada

tahap kritis pembedahan.

 

B. Anestesi Umum

Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama

instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama anestesi

dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang sering dihubungkan

dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium, mivacurium, morfin, meperidin)

harus dicegah atau diberikan dengan sangat lambat jika digunakan. Tujuan dari anestesi

umum adalah smooth induction dan kedalaman anestesi disesuaikan dengan stimulasi.

Pemilihan agen anestesi tidak sepenting dalam pencapaian anestesi yang dalam sebelum

intubasi dan stimulasi pembedahan.

1. Agent Inhalasi

Agent inhalasi anestesi seperti halothan akan menyebabkan bronkodilatasi dan

dapat digunakan untuk mencegah terjadinya bronkospasme. Halothan berpengaruh pada

diameter airway dengan cara memblok reflek airway dan efek langsung relaksasi otot

polos airway. Namun hati-hati dalam penggunaannya pada pasien dengan gangguan

jantung karena efek depresi miokardial dan efek aritmianya. Isofluran dan desfluran dapat

pula menimbulkan bronkodilator dengan derajat yang setara tetapi harus dinaikkan secara

lambat karena sifatrnya iritasi ringan di jalan napas. Sevofluran tidak terlalu berbau (tidak

menusuk) dan memiliki efek bronkodilator serta sifatnya tidak iritasi di jalan napas.

 

2. Obat-Obat Induksi Intravena

Untuk induksi anestesi dapat digunakan obat-obat yang mempunyai onset kerja

yang cepat. Contoh obat induksi yang dapat digunakan adalah thiopenton, propofol, dan

ketamin. Tiopenton paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi kadang-kadang

dapat menimbulkan bronkospasme karena adanya pelepasan histamin, beberapa hasil

penelitian menyebutkan bahwa thiopenton dapat menyebabkan bronkokonstriksi melalui

reseptor μ2, menimbulkan kontraksi dan mengaktifkan mekanisme umpan balik negatif

dengan membatasi pelepasan ACH lebih lanjut akibat stimulasi yang terus berlangsung.

Oleh karena itu blok reseptor μ2 dapat menghambat ACH dan potensiasi

bronkokonstriksi yang disebabkan aktivitas vagal (biasanya karena iritan)14 propofol dan

ethomidat dapat sebagai alternatif. Ketamin dan propofol dapat digunakan untuk

mencegah dan mereverse bronkokonstriksi melalui mekanisme utama penekanan neural

dan melalui penekanan langsung aktivitas otot polos airway. Dari hasil suatu penelitian,

walaupun keduanya terbukti dapat digunakan untuk terapi bronkokonstriksi, ketamin

dikatakan lebih poten daripada propofol.16 Propofol dengan dosis 2,5 mg/kgBB dapat

menurunkan insidensi whezing setelah intubasi dibanding dengan penggunaan

metohexital dengan dosis setara yaitu 6 mg/kgBB. Dibandingkan dengan benzodiazepin,

propofol lebih menguntungkan karena faktor onset yang cepat dan akhit cepat

pula.16Ketamin mempunyai efek bronkodilatasi selain efek analgesik untuk menghindari

efek depresi respirasi, ketamin diberikan dengan pelan-pelan, ketamin juga mempunyai

efek meningkatkan sekresi kelenjar saliva dan tracheobronchial. Efek ini dapat dicegah

dengan menggunakan antisialogogue seperti atropin ataupun gycopyrrolate.17 Reflek

brokospasme dapat dicegah sebelum intubasi dengan pemberian tambahan tiopenton 1-2

mg/kgBB, pasien diventilasi dengan 2-3 MAC agen volatil selama 5 menit atau diberikan

lidocain intravena atau intratracheal 1-2 mg/kgBB. Tetapi perlu di ingat lidocain sendiri

dapat memicu bronkospasme jika dosis tiopenton tidak adekuat. Dapat juga dengan

antikolinergic (atropin 2 mg atau glikoperolat 1 mg) tetapi dapat menyebabkan takikardi.

 

3. Muscle Relaxant

Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggunan muscle relaxan adalah

perlu tidaknya mereverse kerjanya. Dengan menghambat penghancuran ACH endogen,

inhibitor cholinesterase seperti neostigmin dapat meningkatkan sekresi jalan napas dan

dapat menimbulkan bronkospasme. Efek ini dapat dicegah dengan penggunaan antagonis

muscarinik seperti atropin 1 mg atau glycopyrrolate 0,5 mg untuk meminimalkan efek

samping muskarinik. Alternatif lain dapat digunakan muscle relaxan short acting.

Meskipun suksinilkolin dapat menyebabkan pelepasan histamin tetapi secara umum

dapat  digunakan dengan aman pada kebanyakan pasien asma.

  C.      Terapi Bronkospasme Intraoperatif

Bronkospasme pada intraoperatif ditunjukan dengan wheezing, munculnya

penurunan volume tidal ekshalasi atau munculnya suatu kenaikan pelan dari gelombang

dicapnograf, hal ini dapat diatasi dengan mendalamkan anestesinya. Jika tidak hilang

maka perlu dipikirkan hal lain seperti sumbatan tube endotracheal dari kekakuan, balon

yang terlalu keras, intubasi endobronchial, tarikan aktif karena anestesi dangkal, oedem

pulmo atau emboli dan pneumothorak semua dapat menyebabkan

bronkospasme.2 Bronkospasme harus ditangani dengan suatu beta adrenergik agonist baik

secara aerosol atau inheler kedalam jalur inspirasi dari sirkuit napas (gas pembawa yang

menggunakan dosis terukur dapat berinterferensi dengan pembacaan massa

spectrometer).2 Tehnik pemberian ini adalah secara matered dose inheler, berikan 5-10

puff obat tersebut kedalam jalan napas bagian bawah. Asma sedang sampai berat perlu

diterapi dengan aminopillin intravena, terbutalin(0,25 mg) atau keduanya. Pasien yang

tidak menerima aminopillin preoperatif perlu diberikan aminopillin bolus 5-6 mg/kgBB

intravena lebih dari 20 menit diberikan pemeliharaan 0,5-0,9 mg/kgBB. Pasien asma

dengan serangan asma berat sebaiknya diberikan ventilasi bantuan untuk

mempertahankan PaO2 dan PCO2 pada level normal, kecepatan ventilasi yang rendah (6-

10 napas/menit) volume tidal yang rendah dan waktu ekshalasi yang panjang.9

Penurunan diameter airway yang disebabkan bronkokontriksi yang berat dapat

mempengaruhi distribusi gas dalam paru. Dampak akibat penurunan ventilasi pada

beberapa unit paru-paru dengan rasio ventilasi dan perfusi yang lebih rendah dapat

menyebabkan hipoksemia arterial. Vasodilatasi pulmoner akibat pemberian beberapa

bronkodilator dapat memperberat rasio ventilasi perfusi yang sudah rendah ini. Oleh

karena itu pada pasien-pasien yang teranestesi, yang penting adalah meningkatkan

konsentrasi gas oksigen inspirasi menjadi 100% pada saat terjadi bronbkospasme. Hal ini

tidak hanya meminimalkan derajat hipoksia arteial tetapi juga meyakinkan tekanan partial

oksigen dalam alveoli.14

Pada akhir pembedahan sebaiknya pasien sudah bebas wheezing, aksi pelemas

otot nondepolarisasi perlu direvese dengan anticholin esterase yang tidak memacu

terjadinya bronkospasme, bila sebelumnya diberikan antikolinergik dengan dosis sesuai.

Ekstubasi dalam perlu dilakukan sebelum terjadi pulihnya reflek jalan napas normal

untuk mencegah brokospasme atau setelah pasien asma sadar penuh. Lidocain bolus 1,5-2

mg/ kgBB diberikan intravena atau dengan kontinue dosis 1-2 mg/ mnt dapat menekan

reflek jalan napas.2

 7.      PENANGANAN POST OPERATIF

Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian bronkodilator dilanjutkan lagi

sesegera mungkin pada pasca pembedahan. Pemberian bronkodilator melalui nebulator

atau sungkup muka. Sampai pasien mampu menggunakan MDI (Meteroid Dose Inheler)

sendiri secara benar.3,13

1. Buka penutup dan pegang inheler tegak

2. Kocok inhaler

3. Angkat sedikit kepala kebelakang dan ekshalasi sampai frc

4. Tempatkan inheler memakai spacer (pemisah) antar aktuator dan mulut

5. Tekan kebawah (on) inheler sementara sambil menarik napas pelan dan dalam 3-5

detik

6. Tahan inspirasi paling sedikit 5-10 detik bila mungkin agar obat mencapai paru-

paru

7. Ulangi inhalasi sebagai berikut tunggu 1 menit setelah inhalasi, bronkodilator bisa

membuat inhalasi berikutnya masuk lebih dalam ke paru-paru dan ini perlu untuk

memberikan dosis yang benar

8. Bilas mulut dan keluarkan setelah memakai inhaler

Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI specer bila memenuhi kriteria

sebagai berikut;3

1. Frekuensi pernapasan < 25 kali/menit

2. Mampu menahan naps selama 5 detik atau lebih

3. Kapasitas vital > 15 ml/kgbb

4. Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi

5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai

6. PEFR ≥ 150 Lt/menit untuk wanita dan > 200 Lt/menit untuk pria

Pada akhir pembedahan pasien harus bebas whezing, Reversal pemblok

neuromuskular nondepolarising dengan antikolinesterase tidak menimbulkan

brokospasme jika diberikan dosis antikolinergik yang tepat. Pasien yang teridentifikasi

resiko tinggi perlu dimasukkan ke unit monitoring post operatif, dimana fisioterapi dada

dan suction dapat dilakukan. Penanganan nyeri post operatif adalah hal yang penting

menurunkan bronkospasme.17 Masalah berikut yang terjadi pasca bedah adalah penurunan

volume paru akibat anestesi dan pembedahan. Secara fisiologi hal tersebut oleh karena

terjadi penurunan VA (Ventilasi Alveolar) dan FRC (Functional Residual Capacity).

Penurunan VA diaebabkan oleh penurunan volume semenit atau VE atau oleh peningkatn

dead speace (VD). Penurunan VE pada pasca bedah disebabkan pengaruh anestesi,

narkotik, sedasi, pelemas otot atau penyakit neuromuskuler, atau myesthenia gravis,

Guillain Barre, lesi pada medula spinalis servikalis, cedera pada neervus phrenicus.

Peningkatan VD terjadi oleh emboli paru, penurunan curah jantung, bronkospasme.

Penurunan FRC biasanya disebabkan oleh atelektasis, edema paru, dan pneumonia.

Penyebab atelektasis oleh karena ventilasi tidak adekuat,intubasi endobronkhial,

penekanan atau traksi pembedahan, pelemas otot, efusi pleura, cedera nervus phrenicus.

Penurunan FRC pada posisi tegak ke posisi terlentang merupakan predisposisi timbulnya

atelektasis sehingga mobilisasi dini akan menurunkan angka kejadian komplikasi ini.

Latihan napas dalam dan incentive spirometry merupakan cara yang sama

efektifnya untuk mengembangkan paru dan mempertahankan FRC atau dengan continous

positive airway pressure (CPAP) dapat menghindarkan atelektasis sama baiknya dengan

latihan napas dalam. Disamping itu pengendalian nyeri secara adekuat sejak awal pasca

bedah akan mengurangi hambatan batuk dan napas dalam serta mempermudah

mobilisasi.3

Adapun Kriteria untuk perawatan di ICU  :

1. Pasien yang butuh bantuan Ventilatory Support

2. FEV atau PEV < 50%

3. PCO2 > 50 mmHg

4. PO2 < 50 mmHg

5. Pasien nampak bingung dan lemah

6. Pasien yang membutuhkan monitoring terapi, cairan dan farmakologis

7. Pasien dengan major trauma , multitrauma, dan luka bakar berat apalagi disertai

instabilitas hemodinamika

8. Pasien major  trauma yang  dilakukan prosedur Damage Control Surgery

9. Pasien yang menjalani  major surgery

 

 

 

BAB V

KESIMPULAN

1. Asma adalah satu keadaan klinis yang ditandai dengan episode berulang

penyempitan  bronkus yang reversible, biasanya diantara episode terdapat

pernapasan yang lebih normal.

2. Penilaian terhadap reversibilitas penyakit penting dilakukan evaluasi pasien

dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan

radiologi,pemeriksaan AGD dan pemeriksaan tes fungsi paru-paru.

3. Pasien dengan riwayat asma frekuen atau kronis perlu dilakukan pengobatan

sampai tercapai kondisi yang optimal untuk dilakukan operasi atau kondisi dimana

gejala -gejala asma sudah minimal.

4. Pencegahan bronkospasme pada saat operasi penting dilakukan terutama pada saat

manipulasi jalan napas.

5. Pemilihan obat-obatan dan tindakan anestesi perlu dipertimbangkan untuk

menghindari penggunaan obat-obatan dan tindakan yang merangsang terjadinya

bronkospasme atau serangan asma.

6. Rencana tindakan atau obat-obat untuk mengatasi serangan asma atau

bronkospasme harus disiapkan agar jika terjadi serangan bronkospasme kondisi

reversibel dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

1. William R. Solomon, 1995 : Pathofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit

hal : 149-161

2. Morgan G.E, 2006 : Anestesi for patients with Respiratory Disease in Clinical

Anaesthesiology third edition, page : 571-576.

3. Indro Mulyono, 2000 : Pengelolaan Perioperatif pada penderita gangguan

Pernapasan dalam PIB X IDSAI diBandung, hal : 111-133.

4. Karnen B, 1999 : Asma Bronchial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit

FKUI, Jakarta, hal : 21-39.

5. Oberoi G, Phillip G, 2000 : Management of some Medical Emergency Situation,

Mc. Graw Hill, page : 315-318

6. Stoelting R.K, 1999 : Pharmacology in Pharmacology and Physiology in

Anaesthetic Practice, Fourth edition, Lippincott William & Wilkins, page : 253-

418.

7. Kevin C. Dennehy and Kenneth E. Shepherd, 2002 : Specifik Consideration with

Pulmonary Disease in Clinical Anaesthesia Prosedures of the Massachusetts

General Hospital, six edition Lippincott Williams & Wilkins page : 33-41

8. Lenfant C, Khaltaev N. GINA. NHLBI/WHO Workshop Report 2002.

9. Mark R. Ezekeil, MD,MS. Pulmonary disease, Handbook of Anesthesiology,

Current Clinical Strategies, 2004-2005 edition page : 34-35

10. St. Mulyata.2004 : Clinical Problem Solving In Postanesthesia Care Unit dalam

Konggres Nasional VII IDSAI di Makasar, hal : 305-306.

11. Faisal Y, 2002 : Terapi Controller pada Asma dalam Pertemuan Ilmiah Paru

Milenium 2002, Surabaya hal : 1-6.

12. Taib S, 2002 : Peran Kortikosteroid pada Serangan Asma dalam Pertemuan Ilmiah

Paru Milenium Surabaya, hal : 1-16.

13. William R. Solomon, 2002 : Pathologi, Konsep Klinis Proses-prose Penyakit hal:

171-186.

14. Gal, TJ, 2002, Reactive airway Disease: Anesthetic Perspective, IARS 2002

Review Course Lectures, USA.

15. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2004, Pedoman Diagnosis dan

penatalaksanaan Asma di Indonesia. Penerbit FKUI, Jakarta.

16. Bouquet J, Jeffery PK. Busse WW, Jhonson M, Vignola AM, Asthma. From

bronchocontriction to airwy remondelling. Am J Respir Crit Care Med, 2000

; 161:1720-45.

17. Epstein L,L,1999 : Spesific Consideration With Pulmonary Disaeae in Clinical

Anaesthesia Prosedure Of Massechusetts General Hospital,6 ed, LippinCott

Wlliam & Wilkins, page: 6, 33-41, 259-261.

18. Shirly Murphy, MD, October 1997 : Practical Guide for the Management of

Asthma, University of NewMaxico. Page 32, 35.