Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS YURIDIS ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA
(Skripsi)
Oleh: MIFTAH RAMADHAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2019
ABSTRAK
oleh
MIFTAH RAMADHAN
Polusi asap yang melintasi batas negara merupakan salah satu kondisi yang dapat merugikan lingkungan, khususnya lingkungan internasional. Pada dekade terkini Indonesia menjadi sorotan dunia karena kebakaran hutan yang terjadi dan menjadikan negara Indonesia sebagai aktor utama untuk bertanggung jawab. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) adalah gagasan yang dibentuk untuk secara bersama-sama dalam mencegah serta menghentikan kondisi polusi asap. Kegiatan pembakaran (Eleais) yang terjadi di Provinsi Riau menjadi predikat buruk bagi Indonesia di ASEAN. Kondisi ini membuat Malaysia dan Singapura mengajukan nota protes ke Indonesia. Indonesia telah memiliki Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebelum meratifikasi AATHP pada 14 September 2014 dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan AATHP. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan masalah perjanjian internasional dan pendekatan masalah peraturan nasional. Sumber data yang dipakai diambil dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, sedangkan pengumpulan data menggunakan studi pustaka. Data dianalisis dengan metode analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa AATHP menjadi guidance dalam penanganan polusi asap di ASEAN. Pengesahan AATHP dilakukan oleh Indonesia sebagai bentuk tanggung jawab Indonesia dalam menciptakan kondisi yang bebas asap. Hukum Nasional Indonesia diantaranya, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan MA Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi telah harmonis dan tidak bertentangan dengan AATHP. Hal ini dibuktikan dengan keputusan pengadilan PT PEKANBARU NOMOR 212/PID.SUS-LH/2017/PT PBR Tahun 2017 terhadap perkara pidana khusus lingkungan hidup.
Kata Kunci: Hutan, Transboundary Haze Pollution, AATHP.
ANALISIS YURIDIS ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA
ABSTRACT
Analysis of ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution and its Implementation in Indonesia
By
MIFTAH RAMADHAN
Transboundary Haze Pollution is one of the conditions that can harm the environment, especially the international environment. In the last decade Indonesia became the world spotlight because of the forest fires that have taken place and made the country of Indonesia as the main actor to be responsible. The ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) is an idea formed by ASEAN to jointly prevent and stop the conditions of haze pollution. The burning activity (Eleais) that occurred in Riau Province became the predicate of hernia for Indonesia in ASEAN. This condition made Malaysia and Singapore submit a protest note to Indonesia. Indonesia has the Law of the Republic of Indonesia Number 32 of 2009 concerning Protection and Management of the Environment before ratifying the AATHP on September 14, 2014 in Law Number 26 of 2014 concerning Ratification of AATHP. The writing of this thesis uses a normative juridical method with a legal problem approach, agreement approach, and a case approach. Sources of data used are taken from secondary data, primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials, while data collection uses literature study methods. Data were analyzed by qualitative analysis methods. The results of the study indicate that AATHP is a guidance in handling smoke pollution in ASEAN. Ratification of AATHP is carried out by Indonesia as a form of Indonesia's responsibility in creating smoke-free conditions. Indonesian National Law includes, Republic of Indonesia Law Number 32 of 2009 concerning Environmental Protection and Management and Republic of Indonesia MA Regulation Number 13 of 2016 concerning Procedures for Handling Criminal Cases by Corporations that are harmonious and do not conflict with AATHP. This is evidenced by the court decision of PT PEKANBARU NUMBER 212 / PID.SUS-LH/2017/PT PBR 2017 towards special environmental criminal cases.
Keywords: Forest, Transboundary Haze Pollution, AATHP.
ANALISIS YURIDIS ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE
POLLUTION DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA
Oleh:
MIFTAH RAMADHAN
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Jurusan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2019
RIWAYAT HIDUP
Miftah Ramadhan lahir di Bandar Lampung pada tanggal 04
Februari 1996 sebagai anak keenam dari enam bersaudara,
dari Bapak Sir Hamilton dan Ibu Risma. Penulis
menyelesaikan pendidikan formal di Taman Kanak-kanak Al-
Azhar 2 pada tahun 2002. Pada tahun 2002, Penulis
mengemban pendidikan Sekolah Dasar di SD Al-Kautsar dan menyelesaikan
Pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 2008, selanjutnya penulis mengemban
Sekolah Menengah Pertama di SMPI Nurul Fikri Boarding School dan selesai
pada tahun 2011 dan penulis mengemban Sekolah Menengah Atas di SMAI Nurul
Fikri Boarding School dan selesai pada tahun 2014.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung
pada tahun 2015. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi
Himpunan Mahasiswa Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas
Lampung tahun 2017-2018.
PERSEMBAHAN
Bismillahirrahmannirrahim..
Puji syukur kepada Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, maka
dengan ketulusan dan kerendahan hati serta perjuangan dan jerih payah yang telah
diberikan, penulis mempersembahkan karya ilmiah ini kepada :
Kedua orang tua, Ayah (Sir Hamilton) Mama (Risma) yang senantiasa
memberikan dukungan semangat dan limpahan cinta kasih, nasihat serta doa yang
selalu dipanjatkan sehingga menjadi kekuatan bagi penulis untuk menyelesaikan
karya ilmiah ini.
Keluarga dan sahabat yang senantiasa memberikan dukungan yang memotivasi
penulisan dan almamater ku yang tercinta....
Universitas Lampung
MOTTO
ةالصلاو ربصلاب اونیعتساو
“And seek help in patience and prayer”
(Q.S Al-Baqara: 2-45)
“It always seems impossible until it’s done”
(Nelson Mandela)
“When the why is clear, the how is easy”
(Penulis)
SANWACANA
Alhamdullillahirabbil’alamin.. Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya karya ilmiah ini dapat
diselesaikan dengan baik. Karya ilmiah berjudul “Analisis Yuridis ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution dan Implementasinya di
Indonesia” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas
Hukum Universitas Lampung.
Penyelesaian karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan, partisipasi, bimbingan,
kerja sama dan doa dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak
langsung, sehingga pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
2. Bapak Dr. Rudi Natamiharja, S.H., DEA., selaku Ketua Bagian Hukum
Internasional dan Bapak Bayu Sujadmiko, S.H., M.H., Ph.D., selaku
Sekretaris Jurusan Hukum Internasional;
3. Bapak Abdul Muthalib Tahar, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Utama,
terima kasih atas kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya
untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian
karya ilmiah ini sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan dengan sangat
baik;
4. Bapak Bayu Sujadmiko, S.H., M.H., Ph.D., selaku Pembimbing Kedua, terima
kasih atas kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk
memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian karya
ilmiah ini serta semangat dan motivasi sehingga karya ilmiah ini dapat
diselesaikan dengan sangat baik;
5. Ibu Rehulina, S.H., M.H., Ibu Ria Wierma Putri, S.H., M.Hum., dan Bapak
Naek Siregar, S.H., M.Hum. selaku Penguji, terima kasih atas kesediaannya
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan,
saran dan kritik dalam proses penyelesaian karya ilmiah ini;
6. Ibu Diane Eka Rusmawati, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik
yang telah membantu penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
7. Bapak/Ibu Dosen dan seluruh Staf Administrasi Fakultas Hukum khususnya
Bagian Hukum Internasional, terima kasih atas motivasi dan bimbingannya
dalam proses penyelesaian karya ilmiah ini dan memberikan banyak ilmu
pengetahuan selama menyelesaikan studi;
8. Mama dan papa yang menjadi orang tua terhebat dan tak tergantikan yang
tiada henti memberikan kasih sayang, doa, semangat serta dukungan untuk
kebahagiaan dan kesuksesanku, semoga kelak dapat kembali memberikan
kebahagiaan dan dapat selalu membanggakan;
9. Seluruh keluarga besar, terima kasih selalu memberikan dukungan dan
motivasi dalam penyelesaian karya ilmiah ini;
10. Dheka Ermelia Putri, someone who is always support me and my papaver
somniverum;
11. Sahabat-sahabatku pejuang skripsi yang kurang berjuang dalam
menyelesaikan skripsi, Christy, Ilham, Stefany, Hanna terima kasih atas
kebersamaan, bantuan, motivasi dan semangatnya selama ini, semoga kita
semua sukses seperti yang telah kita impikan;
12. Sehabat-sahabat karibku Faiz, Fathur, Adil, Fatih, dan Fakhry serta teman-
teman Zehnte, terima kasih telah memberikan dukungan dan motivasi, semoga
kita selalu sukses
13. Sehabat-sahabat panceku Arif, Bambang, Bismo, Chandra, Fajrin, Hadiyan,
terima kasih telah memberikan dukungan dan motivasi, semoga kita selalu
sukses;
14. Teman-teman dan adik-adik Pengurus HIMA HI 2018-2019, terima kasih atas
kebersamaan, bantuan dan motivasi dalam penyelesaian karya ilmiah ini,
semoga kita semua sukses;
15. Almamaterku tercinta serta seluruh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Lampung Angkatan 2015;
16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian karya ilmiah ini, terima kasih atas semuanya.
Akhir kata, meskipun karya ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna, semoga
karya ilmiah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Bandar Lampung, 11 Juli 2019
Penulis
Miftah Ramadhan
ii
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK JUDUL DALAM HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN RIWAYAT HIDUP PERSEMBAHAN MOTO SANWACANA DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii DAFTAR MATRIKS .......................................................................................... iv I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................. 8 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................................. 9
1. Tujuan Penelitin ............................................................................ 9 2. Manfaat Penelitian ......................................................................... 9
D. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................... 10 E. Sistematika Penulisan .......................................................................... 10
1. Pendahuluan .................................................................................. 11 2. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 11 3. Metodologi Penelitian ................................................................... 11 4. Hasil Penelitian dan Analisis Data ................................................ 12 5. Penutup .......................................................................................... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 13 A. Transboundary Haze Pollution ............................................................ 13 B. Perusahaan Korporasi ........................................................................... 15 C. Tanggung Jawab .................................................................................... 18 D. Rio Declaration on Environment and Development 1992 ................... 22 E. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution ....................... 23 F. Polluter Pays Principle ........................................................................ 26 G. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan ................................................................................ 30 H. Undang-undang republic Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
iii
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ................. 34 I. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan .................. 40 J. Peraturan MA Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi ............ 42
III. METODE PENELITIAN ......................................................................... 45 A. Jenis Penelitian ...................................................................................... 45 B. Pendekatan Masalah ............................................................................. 46 C. Sumber Data, Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ...................... 47
1. Sumber Data .................................................................................... 47 2. Metode Pengumpulan Data ............................................................ 48 3. Metode Pengolahan Data ................................................................ 49
D. Analisis Data ........................................................................................ 49
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................... 51 A. Kerangka Hukum Internasional pada Pengaturan Transboundary
Haze Pollution ...................................................................................... 51 1. Pengaturan tentang Transboundary Haze Pollution Berdasarkan
Rio Declaration on Envirotment and Development 1992 ............. 51 2. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution ............... 52 3. Analisis Yuridis antara Rio Declaration dan ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution dalam Perusakan Hutan dan Transboundary Haze Pollution .................................... 65
B. Penerapan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution dalam Kerangka Hukum Nasional ...................................................... 68
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan .......................................................................... 70
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ................. 73
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan ................. 78
4. Peraturan MA Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi ........... 82
5. Analisis Yuridis antara Undang-Undang dan Peraturan Mahkamah Agung tentang Perusakan Hutan, Transboundary Haze Pollution dan Kejahatan Korporasi ................................................................. 84
C. Studi Kasus Transboundary Haze Pollution Akibat Pembakaran Hutan ..... 89 V. PENUTUP .................................................................................................. 95
A. Kesimpulan ........................................................................................... 95 B. Saran ...................................................................................................... 97
iv
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 98
v
DAFTAR TABEL
Matriks 1 : Perbandingan Peraturan Internasional ...................................................... 67
Matriks 2 : Perbandingan Peraturan Nasional ……………………………….……...86
Matriks 3 : Perbandingan Peraturan Internasional dan Nasional …………………...88
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Isu global dalam hubungan internasional tidak hanya terkait masalah politik
dan keamanan, namun sudah mencakup permasalahan sosial, ekonomi,
kebudayaan dan lingkungan. Isu lingkungan saat ini menjadi salah satu
perhatian dunia internasional, hal ini dikarenakan lingkungan merupakan
suatu aset bagi masa depan agar dapat dinikmati oleh seluruh manusia dan
generasi berikutnya. Permasalahan lingkungan di wilayah ASEAN sudah
menjadi fokus bahasan utama yang mengharuskan setiap negara anggota
untuk dapat menjaganya. Salah satu permasalahan lingkungan yang menjadi
perhatian khususnya adalah kabut asap (transboundary haze pollution) yang
disebabkan oleh kebakaran hutan. Permasalahan lingkungan berupa kabut
asap di Indonesia sendiri bukanlah permasalahan yang bersifat awam. Hal ini
dilatarbelakangi oleh komposisi wilayah Indonesia memiliki hutan yang cukup
luas.
Indonesia pernah dikenal sebagai negara yang memiliki keasrian dan
keindahan hutan hijaunya, namun fakta yang ada saat ini keasrian tersebut
sudah lama menghilang. Luas hutan di Indonesia saat ini selalu berkurang
2
karena terjadi pembakaran hutan. Menurut data Kementrian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, pada tahun 2015 tercatat areal hutan di Indonesia
terbakar seluas 2.611.411 ha, pada tahun 2016 seluas 438.363 ha dan tahun
2017 seluas 165.484 ha (data per Januari 2018).1 Khususnya wilayah ASEAN
kasus transboundary haze pollution menjadi momok yang menakutkan bagi
negara yang terkena dampak kerusakannya. Penanggulanan dan pencegahan
untuk kebakaran hutan menjadi prioritas di wilayah ASEAN sehingga
dibentuk sebuah perjanjian antar negara yaitu ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution sebagai wadah untuk kerjasama antar negara
ASEAN dalam penanganan polusi akibat kebakaran hutan.
Pada tahun 2016, dua perusahaan perkebunan di Provinsi Riau, yaitu PT
Sontang Sawit Permai (Kabupaten Rokan Hulu) dan PT Wana Subur Sawit
Indah (Siak) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kejahatan lingkungan.
Berdasarkan kasus ini, selain korporasi yang menjadi tersangka, direktur PT
WSSI pun ditetapkan menjadi tersangka karena melakukan pembakaran hutan
yang mengakibatkan asap polusi lintas batas, namun dari pihak PT SSP baru
korporasi yang ditetapkan menjadi tersangka. Total luas hutan yang terbakar
dalam kasus ini adalah 120 ha, terdiri dari 80 ha yang terbakar di wilayah PT
WSSI dan 40 ha di wilayah PT SSP sehingga menimbulkan asap yang terbawa
oleh angin hingga memasuki yurisdiksi wilayah negara tetangga.2 Kabut asap
1Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Pencegahan Karhutla Berhasil Tekan Angka Defortasi”, Diakses dari http://www.menlhk.go.id/siaran-81-pencegahan-karhutla-berhasil-tekan-angka-deforestasi.html pada tanggal 16 Juni 2018 pukul 09.40 WIB. 2Syahnan Rangkuti, Regional Kompas “Kebakaran Hutan di Riau, Dua Perusahaan Sawit Jadi Tersangka”, diakses dari https://regional.kompas.com/read/2016/09/15/15573291/kebakaran.hu tan.di.riau.dua.perusahaan.sawit.jadi.tersangka pada tanggal 9 Agustus 2018 pukul 13.23 WIB.
3
akibat pembakaran hutan merupakan tindakan perusakan lingkungan dan tidak
sesuai dengan pembangunan lingkungan berkelanjutan yang diatur dalam Rio
Declaration on Environment and Development 1992.
Saat ini, kasus kebakaran hutan telah menjadi perhatian sebagai isu
lingkungan dan ekonomi internasional. Menurut Asdar dalam jurnalnya yang
berjudul Transboundary Haze Pollution Di Malaysia dan Singapura Akibat
Kebakaran Hutan di Provinsi Riau ditinjau dari Hukum Lingkungan
Internasional, kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi
pembangunan berkelanjutan karena berdampak secara langsung pada
ekosistem, kontribusi emisi karbon serta bagi keanekaragaman hayati dan
Provinsi Riau menjadi sumber transboundary haze pollution bagi negara
terdekat yaitu Malaysia dan Singapura.3
Terbakarnya hutan di Indonesia sering terjadi pada saat musim kemarau yaitu
memasuki bulan Mei-Juni. Pembakaran hutan di Indonesia biasanya dilakukan
oleh berbagai pihak secara ilegal, mulai dari individu yang terdiri dari petani
dan penduduk lokal, hingga perusahaan yang membutuhkan lahan untuk
melangsungkan kegiatan industrinya yang sebagian dari perusahaan tersebut
merupakan perusahaan asing, di antaranya berasal dari Malaysia dan Cina.4
3Asdar. Transboundary Haze Pollution Di Malaysia Dan Singapura Akibat Kebakaran Hutan Di Provinsi Riau Ditinjau Dari Hukum Lingkungan Internasional. Vol. 4 No. 3, 2015, Sulawesi: Universitas Tadulako. hlm. 1. 4Afra Monica Anindya. Transformasi Sekuritisasi Singapura terhadap Isu Transboundary Haze Pollution (THP) dari Indonesia Tahun 1997-2016. Vol. 6 No. 2 JAHI, 2017, Surabaya: Universitas Airlangga. hlm. 2.
4
Faktor anomali cuaca5 yang terjadi di wilayah Indonesia menyebabkan arah
angin yang berubah dari kondisi normal sehingga dapat dengan mudah
mencapai negara tetangga terdekat yaitu Singapura dan Malaysia.
Peristiwa kabut asap yang menyelimuti beberapa wilayah Indonesia hingga
melintasi batas negara yakni Singapura dan Malaysia, sudah berlangsung
dalam lima tahun terakhir yaitu 2014-2019.6 Isu kabut asap ini terus menjadi
polemik bukan hanya di dalam negeri melainkan juga melintasi batas negara
yang mengharuskan pemerintah melakukan tindakan penanggulangan secara
cepat dan tepat agar tidak menimbulkan dampak yang lebih luas. Pencemaran
lintas batas nasional (yang dimaksudkan dalam hal ini berupa asap) lazim
pula disebut sebagai transfrontier pollution. Adapun pengertian transfrontier
pollution adalah “Pollution of which the physical is wholly or in part situated
within the territory of one state and which has deleterious effects in the
territory of another state”. (Pencemaran yang secara fisik baik seluruhnya
atau sebagian terletak dalam wilayah suatu negara dan memiliki dampak
merusak bagi wilayah negara lain).7 Dalam perkembangannya, mengenai asap
kabut lintas batas ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
menjelaskan pengertian haze pollution adalah:
“smoke resulting from land and/or forest fire which causes deleterious effects of such a nature as to endanger human health, harm living resources and ecosystems and material property and impair or interfere with amenities and other legitimate uses of the environment”
5 Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penyimpangan cuaca dari keadaan normal. 6 Terdapat dalam http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran, diakses pada 19 Juni 2019 pukul 08.00 WIB 7M.Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung. 2001, Hlm. 187
5
(asap akibat dari kebakaran hutan atau lahan yang menimbulkan dampak
merusak seperti membahayakan kesehatan manusia, sumber daya hayati,
ekosistem, kekayaan alam dan merusak atau mengurangi nilai guna atas
sumber daya alam dan kegunaan atas lingkungan).
Kasus Transboundary Haze Pollution cenderung sering terjadi di daerah
ASEAN, kasus dengan tingkat asap tertinggi terjadi pada 21 Juni 2013 di
Singapura dengan indeks polutan mencapai 401 PSI (Pollutan Standars
Index8).9 Indeks polutan yang lebih dari 300 PSI dapat dikategorikan
membahayakan karena dapat berdampak buruk bagi kesehatan biota baik
hewan, tumbuhan maupun manusia yang ada dalam cakupan wilayah polusi
udara tersebut. Berdasarkan kasus ini, negara Singapura sangat dirugikan
karena efek dari kabut asap pembakaran hutan di Indonesia dapat
membahayakan kesehatan masyarakat terutama masyarakat yang sejak semula
tidak dalam kondisi yang sehat dan lansia.
Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan
berkelanjutan karena dampaknya secara langsung pada ekosistem, kontribusi
8Polutan Standar Indeks (PSI) merupakan index yang dipakai sebagai acuan dari Index Standar Pencemar Udara (ISPU). Polutan Standar Indeks (PSI) dipergunakan oleh beberapa Negara, di antaranya Amerika Serikat. Metode perhitungan yang dipergunakan dalam Polutan Standar Indeks berprinsip pada tingkat efek yang ditimbulkan terhadap manusia dan lingkungan oleh karena pemaparan suatu parameter polutan. Tingkat efek yang ditimbulkannya dianggap konstan untuk setiap konsentrasi pemaparan polutan tertentu. 9BBC. “Kabut Asap Singapura ‘mengancam jiwa’”. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/ dunia/2013/06/130621_singapura_haze, yang diakses pada tanggal 10 Agustus 2018 pukul 15.07 WIB.
6
emisi karbon serta bagi keanekaragaman hayati.10. Para pelaku pembakaran
hutan di Indonesia, didominasi oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab
dengan motif meraup keuntungan yang lebih besar meskipun mereka
menyadari bahwa tindakan tersebut dapat merusak lingkungan hidup yang
pada masanya akan merugikan semua pihak. Para pemangku kepentingan
sudah seharusnya menyadari bahwa lingkungan hidup merupakan salah satu
komponen yang memiliki potensi, fungsi dan manfaat bagi kehidupan
manusia.11 Selain menjadi tempat tinggal, lingkungan hidup juga menjadi
penyedia sumber daya alam yang menjadi penyokong kebutuhan manusia.
Saat ini kasus kebakaran hutan telah menjadi perhatian internasional sebagai
isu lingkungan dan ekonomi. Pembakaran hutan merupakan tindakan yang
dapat merusak lingkungan dan dapat mengganggu negara sekitar akibat
asap/polusi yang ditimbulkan. Pencemaran udara akibat kebakaran hutan
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional. Salah
satu prinsip internasional yang bertentangan yaitu “Sie utero tua ut alienum
non leades” yang menentukan bahwa suatu negara dilarang melakukan atau
mengizinkan dilakukannya kegiatan yang dapat merugikan negara lain.
Demikian juga prinsip good neigh bourliness yang pada intinya mengatakan
bahwa kedaulatan wilayah suatu negara tidak boleh diganggu oleh negara
10Suadela. Bentuk pertanggungjawaban Indonesia terhadap Malaysia dan singapura dalam masalah kabut asap di provinsi riau. Vol. 1 No. 1. 2009. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara. hlm.2. 11Ayu Nurul Alfia, dkk. Tanggung Jawab Perusahaan Transnasional Dalam Kebakaran Hutan Di Riau Dalam Perspektif Hukum Internasional. Vol. 5 No. 3. 2016. Semarang: Universitas Diponegoro. hlm.1.
7
lain.12 Kedua prinsip tersebut dapat diartikan sebagai dasar bagi negara yang
dirugikan untuk menuntut pertanggungjawaban negara yang merugikan atau
pelaku transboundary haze pollution.
Dampak dari transboundary haze pollution membuat negara yang terkena
polusi tersebut mengeluarkan nota protes dan meminta pertanggungjawaban
kepada negara yang mengahsilkan polusi. Berkaitan dengan hal tersebut,
Malaysia dan Singapura telah mengajukan protes keras kepada Indonesia
dengan dasar dan alasan bahwa kabut asap tersebut telah menimbulkan
gangguan terhadap kesehatan masyarakat, perekonomian serta pariwisata
mereka, bahkan Malaysia mengecam Indonesia karena tidak mampu
mengatasi masalah asap dan Indonesia harus membayar kompensasi akibat
asap tersebut. Kerugian sosial ekonomi dan ekologis yang timbul oleh
kebakaran hutan cukup besar, bahkan dalam beberapa hal sulit untuk diukur
dengan nilai rupiah.13
Pembakaran hutan dilakukan oleh korporasi baik korporasi nasional maupun
transnasional. Transnational Corporations (TNCs) atau perusahaan
transnasional adalah perusahaan yang kegiatan bisnisnya selain di negara
induk (home country) juga tersebar di beberapa negara lain yaitu negara
penerima (host country) yang mayoritas adalah negara-negara berkembang.14
Pembakaran hutan dilakukan dengan sengaja oleh pihak perusahaan untuk
12Asdar. Transboundary Haze Pollution Di Malaysia Dan Singapura Akibat Kebakaran Hutan Di Provinsi Riau Ditinjau Dari Hukum Lingkungan Internasional. Vol. 4 No. 3. 2015. Sulawesi: Universitas Tadulako. hlm. 3. 13Asdar. (2015). Loc. Cit. 14Ayu Nurul Alfia, dkk. (2016). Op. Cit. hlm. 7.
8
membuka lahan hutan yang baru. Hal tersebut dilakukan untuk mempersingkat
waktu dan menghemat pengeluaran untuk membuka lahan hutan. Masalah
kebakaran hutan akibat pembakaran hutan di Indonesia terjadi setiap tahun
yang rata-rata dilakukan oleh korporasi baik nasional maupun internasional.
Saat ini, hukum internasional belum mampu secara langsung membebankan
tanggung jawab hukum kepada korporasi, dan masih diperlukan kewenangan
negara dalam memberi sanksi hukum sebagai perantara. Dalam hal ini, hukum
internasional masih belum beranjak dari penggunaan teori klasik yang
menganut paham “negara-sentris”.15
Dalam hal ini hutan menjadi salah satu lingkungan yang dimanfaatkan sumber
daya alamnya untuk menghasilkan berbagai produksi yang dapat digunakan
untuk kehidupan manusia. Pemanfaatan yang dilakukan perusahaan korporasi
perlu adanya pengawasan oleh pemerintah, lembaga masyarakat, dan
masyarakat sekitar untuk mengurangi terjadinya kesalahan tindakan yang
dilakukan perusahaan dalam usahanya yang dapat merugikan masyarakat dan
negara tetangga.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah Hukum Internasional mengatur mengenai Transboundary
Haze Pollution? 15Ibid.
9
2. Bagaimanakah penerapan ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka yang akan menjadi tujuan utama
penelitian ini adalah:
1) Untuk menjelaskan ketentuan Hukum Internasional yang mengatur
mengenai Transboundary Haze Pollution.
2) Untuk menjelaskan bagaimana penerapan ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini terdiri dari dua aspek yaitu:
1) Manfaat Teoritis
Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran, pengetahuan dan wawasan dari penulis kepada pembaca pada
umumnya mengenai pertanggungjawaban dari korporasi baik nasional
maupun internasional dalam kasus pembakaran hutan yang sering terjadi
di negara Indonesia.
2) Manfaat Praktis
Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi
masyarakat pada umumnya, khususnya bagi para akademisi dalam
mengembangkan ilmu hukum internasional yang kemudian dapat
10
digunakan sebagai data dalam melakukan penelitian lebih lanjut terkait
dengan kasus pembakaran hutan yang dilakukan oleh korporasi baik
nasional maupun internasional dalam hal pertanggungjawabannya.
D. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian di bidang hukum internasional
yang akan memasukkan ketentuan internasional, meliputi Rio Declaration on
Environment and Development 1992 dan ASEAN Agreement On
Transboundary Haze Pollution. Selain itu, penelitian ini juga akan meneliti
peraturan perundang-undangan nasional yang dijadikan dasar hukum terkait
dengan tanggung jawab korporasi baik nasional maupun multinasional dalam
pembakaran hutan yaitu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara
Tindak Pidana Oleh Korporasi. Penelitian ini juga menggunakan beberapa
prinsip-prinsip dalam hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan
yaitu Polluter Pays.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan dan pengembangan penulisan skripsi ini, maka
sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas 5 bab yang terorganisir ke dalam
bab demi bab sebagai berikut:
11
1. Pendahuluan
Pada bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, identifikasi
masalah, ruang lingkup penelitian, tujuan dan manfaat penelitian serta
sistematika penulisan. Bab ini merupakan gambaran umum dari isi skripsi.
2. Tinjauan Pustaka
Pada bab ini akan dibahas mengenai pengertian umum mengenai pokok-
pokok pembahasan skripsi, yang meliputi tinjauan umum mengenai
sejarah dan pengertian Korporasi, pengertian Tanggung Jawab dan
Transboundary Haze Pollution, pengaturan mengenai Kebakaran Hutan
dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan
Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution, dan Rio Declaration on Environment and
Development 1992, serta prinsip Polluter Pays.
3. Metodologi Penelitian
Pada bab in membahas mengenai metode yang digunakan dalam penelitian
skripsi ini, yang terdiri dari jenis penelitian, pendekatan masalah, data dan
sumber data, prosedur pengumpulan data, prosedur pengolahan data dan
analisis data. Bab ini juga berisikan pembentukan gambaran secara jelas
12
tentang bagaimana penelitian ini akan dilakukan serta didukung dengan
metode penelitian ilmiah.
4. Hasil Penelitian dan Analisis Data
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai hasil penelitian dan uraian dari
pembahasannya. Pada awal paragraf, akan dipaparkan mengenai
penjelasan tentang bagaimanakah pengaturan mengenai transboundary
haze pollution dalam hukum internasional serta pertanggungjawaban
korporasi dalam tindak pidana yang dilakukannya, yaitu dalam hal ini
adalah pembakaran hutan yang menyebabkan asap polusi lintas batas yang
memasuki wilayah yurisdiksi negara tetangga dan bagaimana penyelesaian
masalahnya.
5. Penutup
Pada bab ini diuraikan mengenai penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran. Bagian ini menjelaskan kesimpulan yang merupakan inti dari
keseluruhan uraian yang dibuat pada bab IV atau pembahasan
permasalahan selesai dibahas, serta diikuti dengan saran sebagai masukan
dari apa yang telah diteliti dalam skripsi ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Transboundary Haze Pollution
Sebelum memaparkan konsep atau pengertian “transboundary haze
pollution” maka penulis terlebih dahulu menampilkan pengertian atau
definisi pencemaran udara lintas batas. Pencemaran udara dapat berasal dari
berbagai jenis pencemaran seperti pencemaran oleh asap pabrik perusahaan
atau asap efek kebakaran hutan. Pasal 1 Convention on Long-Range
Transboundary Air Pollution menyebutkan bahwa polusi udara adalah akibat
atas tindakan manusia, baik secara langsung atau tidak langsung, dari zat atau
energi ke udara yang mengakibatkan efek merusak dan membahayakan
kesehatan manusia, sumber daya hidup, ekosistem dan properti material serta
mengganggu fasilitas dan penggunaan lingkungan lainnya.
Polusi udara lintas batas dapat diartikan pencemaran udara yang asal fisiknya
terletak seluruhnya atau sebagian di dalam wilayah di bawah yurisdiksi
nasional suatu negara dan memberikan efek buruk atau polusi di wilayah
yurisdiksi negara lain pada jarak yang sedemikian rupa sehingga secara
umum tidak mungkin membedakan kontribusi sumber emisi individu atau
14
kelompok. 16 Berdasarkan ASEAN Agreement On Transboundary Haze
Pollution Article 1 Section 6, polusi kabut merupakan asap yang berasal dari
daratan dan/atau kebakaran hutan yang menyebabkan efek merusak dan
membahayakan kesehatan manusia, sumber daya hidup dan ekosistem dan
material properti dan merusak atau mengganggu fasilitas lainnya dari
pengguna lingkungan. Selanjutnya berdasarkan ASEAN Agreement On
Transboundary Haze Pollution Article 1 Number 13 Transboundary Haze
Pollution merupakan kabut asap yang berasal sebagian atau seluruhnya di
dalam yurisdiksi nasional atau suatu negara anggota dan masuk ke area
yurisdiksi negara anggota lainnya.
Transboundary Haze Pollution (THP) atau pencemaran udara lintas batas
dapat didefinisikan sebagai polusi yang berasal dari suatu negara tetap,
dengan menyeberangi perbatasan melalui jalur udara yang dapat
menyebabkan kerusakan lingkungan di negara lain.17 Permasalahan
pencemaran lintas batas yang biasa juga disebut sebagai Transfortier
Pollution dapat dijabarkan sebagai berikut:18 “Pollution of which the physical
is wholly or in part situated within the terriotory of one state and which has
deleterious effects in the territory of another state” (Pencemaran yang secara
fisik baik seluruhnya atau sebagian terletak dalam wilayah suatu negara dan
memiliki dampak merusak bagi wilayah negara lain). Menurut Gunawan 16UNECE. “Convention on long-range transboundary air pollution”. Diakses dari https://www. unece.org/fileadmin/DAM/env/lrtap/full%20text/1979.CLRTAP.e.pdf pada tanggal 24 Agustus 2018 Pukul 14.31 WIB. 17Dina S.T Manurung. Pengaturan Hukun Internasional Tentang Tanggungjawab Negara dalam Pencemaran Udara Lintas Batas. Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2014. Hlm.5. 18Daud Silalahi, Hukum Lingkungan (Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia). Bandung : PT. Alumni. 2001. Hlm.186.
15
Suratmo (1995) dalam jurnal Akbar Kurnia pencemaran udara diartikan
sebagai adanya satu atau lebih pencemaran yang masuk ke dalam udara di
atmosfer yang terbuka, baik dalam bentuk debu, uap, gas, kabut, bau, asap,
atau embun berdasarkan pada jumlah, sifat dan lamanya.19
B. Perusahaan Korporasi
Badan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban berdasarkan hukum yang
bukan manusia, yang dapat menuntut atau dapat dituntut oleh subjek hukum
lain di muka pengadilan. Ciri-ciri dari sebuah badan hukum adalah:20
1. Memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang
menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut;
2. Memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terpisah dari hak-hak
dan kewajiban-kewajiban orang-orang yang menjalankan kegiatan badan
hukum tersebut;
3. Memiliki tujuan tertentu;
4. Berkesinambungan (memiliki kontinuitas21) dalam arti keberadaannya
tidak terikat pada orang-orang tertentu, karena hak-hak dan kewajiban-
kewajibannya tetap ada meskipun orang-orang yang menjalankannya
berganti.
19Akbar Kurnia. Transboundary Haze Pollution Dalam Perspektif Hukum Lingkungan Internasional. Jurnal Ilmu Hukum. Vol.6. No.1. Jambi : Fakultas Hukum Universitas Jambi. 2015. Hlm.95. 20Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Lingkup Berlakunya Ilmu, Buku I, Bandung, Alumni, 2000, hlm.82 21Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kelangsungan, berkelanjutan, keadaan kontinu dan sebagainya.
16
Secara bahasa kata korporasi berasal dari kata corporatio dalam bahasa latin.
Corporare sendiri berasal dari kata “corpus” (Indonesia: badan), yang berarti
memberikan badan atau membadankan. Sehingga corporation adalah hasil
dari pekerjaan membadankan, dengan perkataan lain badan yang dijadikan
orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan
terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.22 Secara terminologi
korporasi mempunyai pengertian yang sudah banyak dirumuskan oleh
beberapa tokoh hukum. Semisal menurut Subekti dan Tjitrosudibo yang
dimaksud dengan corporatie atau korporasi adalah suatu perseorangan yang
merupakan badan hukum. Yan Pramadya Puspa menyatakan yang dimaksud
dengan korporasi adalah suatu perseorangan yang merupakan badan hukum.
Korporasi atau perseroan di sini yang dimaksud adalah suatu perkumpulan
atau organisasi yang oleh hukum diperlukan seperti seorang manusia
(persona) ialah sebagai pemilik hak dan kewajiban memiliki hak menggugat
ataupun digugat di muka pengadilan.23
Korporasi ialah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum yang
bertindak bersama-sama sebagai suatu subyek hukum tersendiri suatu
personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi
mempunyai hak kewajiban sendiri yang terpisah dari kewajiban anggota
22Muladi dan Dwidja Priyanto, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Kencana, 2010, hlm.23. 23Amrul Ritonga. Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Pada Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menurut Perspektif Fiqih Jinayah. UIN Sultan Syarif Riau. 2015. hlm. 22
17
masing-masing.24 Dalam hal ini setiap anggota memiliki hak dan kewajiban
masing-masing sesuai dengan kepentingan di tempatnya. Menurut Rudi
Prasetyo korporasi merupakan sebutan yang lazim dipergunakan di kalangan
pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum
lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau yang
dalam bahasa Belanda disebut sebagai rechtspersoon, atau dalam bahasa
Inggris disebut legal entities atau corporation.25
Perusahaan korporasi dibagi menjadi dua jenis yaitu korporasi nasional dan
korporasi transnasional atau dapat disebut juga multi national corporations.
Multi National Corporations atau MNCs dapat didefinisikan sebagai entitas
yang melakukan kegiatan perusahaannya di seluruh dunia terutama di negara-
negara berkembang. Pada hakikatnya perusahaan multi nasional merupakan
badan hukum (nasional) yang terdaftar di suatu negara, maka sebenarnya
perusahaan multi nasional hanya merupakan subyek hukum nasional, dan
bukan subyek hukum internasional.26 Perusahaan MNCs memiliki kantor
cabang di negara berkembang dan kantor pusat di negara-negara maju tempat
asal perusahaan itu berdiri. Menurut Mensch (2006) dalam Jurnal Iman
Prihandono menjelaskan bahwa alasan utama MNCs melakukan kegiatan
usaha di negara lain adalah untuk memungkinkan MNCs memproduksi sebuah
24Ali Chidir. Badan hukum. Alumni. Bandung. 1987. hlm. 64 25Priyatno Dwidja. Reorientasi dan Reformulasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kebijakan Kriminal dan Hukum Pidana. 2007. Universitas Islam Bandung, hlm. 204. 26 Abdul Muthalib, Hukum Internasional dan Perkembangannya, 2015. Bandar Lampung: BP Justice Publisher. hlm. 56.
18
produk dengan harga yang lebih murah.27 Konsep Multi National
Corporations atau MNCs diartikan sebagai perusahaan yang memiliki,
mengontrol, dan menjalankan operasional usaha produksinya di negara yang
berbeda dengan negara di mana perusahaan tersebut didirikan. Kontrol
terhadap kegiatan usaha bisa dalam bentuk kepemilikan saham ataupun
melalui penunjukan direktur dan manajer. Adanya kemampuan mengontrol
melalui manajemen inilah yang membedakan antara korporasi transnasional
dengan investasi portofolio dalam saham, obligasi, dan instrumen pasar modal
lainnya.28
C. Tanggung Jawab
Kasus kebakaran hutan yang terjadi di Indonesian dapat dikatakan serupa
dengan kasus Trail Smelter. Kasus Trail Smelter ialah kasus pencemaran
udara lintas batas yang disebabkan oleh sebuah pabrik peleburan (Smelter)
yang dibangun disuatu lembah yang terletak di wilayah British, Columbia, dan
Washington. Pemerintah Kanada dalam kasus Trail Smelter berkewajiban
serta bertanggung jawab untuk mengawasi setiap kegiatan tersebut sejalan
dengan hukum di wilayah Kanada dan hukum internasional. Kasus ini
menegaskan bahwa secara eksplisit pencemaran mengakibatkan kerugian
ekonomi, kesehatan, dan lingkungan di wilayah teritorial negara korban.
Permasalahan inilah yang melatarbelakangi timbulnya tanggung jawab negara
27Iman Prihandono. Status dan Tanggung Jawab Multi National Companies (MNCs) Dalam Hukum Internasional. Jurnal Global dan Strategis. Vol. 2. No. 1. 2008. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga. hlm. 71. 28Andi A. Khairunnisa dan Iman Prihandono, Tanggung Jawab Korporasi Multinasional dalam Hukum HAM Internasional. 2016. Surabaya: Airlangga University Press. hlm. 2.
19
untuk mengawasi setiap kegiatan perusahaan yang terdapat di wilayah
yurisdiksi suatu negara.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab
merupakan suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya atau jika
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dapat dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan. Tanggung jawab adalah konsekuensi yang harus diterima oleh
setiap subjek hukum atas setiap perbuatan yang dilakukan, baik berupa
kejahatan maupun pelanggaran. Dalam hukum pidana hal ini ada ketentuannya
tersendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
yang dimaksud tersebut. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia
hanya mengatur bentuk pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh
perorangan. Seperti ilmu bidang lainnya, perbuatan pidana juga sudah
berkembang menjadi lebih baik mengikuti perkembangan jaman. Perbuatan
pidana tidak lagi hanya dapat dilakukan oleh orang-perorangan tetapi badan
hukum juga dapat melakukan perbuatan pidana.29
Menurut Tom Cannon dalam jurnal Dewi Tuti Muryati, Tanggung jawab
perusahaan meliputi etika, kebijaksanaan perusahaan, ekonomi, hukum, ilmu
pengetahuan, perubahan teknologi, tujuan dan praktek manajemen, lingkungan
dan keadilan sosial.30 Menurut K. Bartens berdasarkan jurnal Dewi Tuti
29Muhammad Arif Sudariyanto. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Bidang Perindustrian. Mimbar Keadilan Jurnal Ilmu Hukum. Edisi Februari 2018. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945. 2018. Surabaya. hlm. 50. 30Dewi Tuti Muryati. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Kaitannya Dengan Kebijakan Lingkungan Hidup. Law Reform. Vol. 2. No. 2. 2007. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. hlm. 32.
20
Muryati salah dua contoh tanggung jawab perusahaan dalam kegiatan yang
dilakukannya adalah tanggung jawab legal dan sosial.
1. Tanggung jawab legal merupakan tanggung jawab perusahaan sebagai
badan hukum terhadap pemerintah setempat untuk mematuhi peraturan
hukum yang berlaku, terhadap pihak lain untuk melaksanakan hak dan
kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian, maupun terhadap
tuntutan dalam pengadilan.
2. Tanggung jawab sosial, merupakan tanggung jawab perusahaan atas
tindakan yang mempunyai pengaruh terhadap orang-orang tertentu,
masyarakat serta lingkungan di mana perusahaan beroperasi. Tanggung
jawab sosial adalah suatu keyakinan bahwa keputusan-keputusan bisnis
harus dibuat dan dilaksanakan dalam batasan pertimbangan sosial dan
ekonomi.31
Tanggung jawab negara menurut J.G Starke merupakan salah satu kewajiban
atas tindakan atau tindakan-tindakan yang melanggar hukum internasional.
Pada umumnya negara yang dirugikan akan berusaha untuk memperoleh
satisfaction (pelunasan) melalui perundingan-perundingan diplomatik, dan
apabila hanya menyangkut kehormatan, pada umumnya akan cukup dengan
suatu pernyataan maaf secara resmi dari negara yang bertanggung jawab atau
suatu jaminan bahwa persoalan yang diprotes tersebut tidak akan berulang
lagi. Menurut Rebecca M.M Wallace dalam skripsi Wepi Sundari tanggung
jawab Negara dalam hukum internasional diartikan sebagai kewajiban yang
31Ibid.
21
harus dilakukan oleh negara kepada negara lain berdasarkan perintah hukum
internasional.32 Timbulnya tanggung jawab negara atas lingkungan
didasarkan pada adanya tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang
dilakukan yang berada di wilayah suatu negara atau di bawah pengawasan
negara tersebut yang membawa akibat yang merugikan terhadap lingkungan
tanpa mengenal batas negara. Hukum lingkungan internasional mengatur
bahwa setiap negara mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan
lingkungan yang baik dan sehat bagi warga negaranya. Pasal 5 butir 1
Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) menyebutkan bahwa setiap orang
berhak atas lingkungan yang baik dan sehat. Demikian pula Deklarasi
Universal PBB mengenai Hak-hak Asasi Manusia 10 Desember 1948
menegaskan bahwa setiap orang berhak atas standar kehidupan yang
memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya.
Kewajiban dari tanggung jawab negara dapat dilakukan dengan berbagai
tindakan sebagai pertanggungjawabannya seperti memberikan jawaban yang
merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi, dan kewajiban untuk
memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.
Berdasarkan prinsip pertanggungjawaban negara (state responsibility)
Indonesia dapat dituntut negara lain untuk mengganti rugi yang terkena
32Wepi Sundari. Implementasi Prinsip International Responsibility (Tanggung Jawab Internasional) Dalam Kasus Dampak Kebakaran Hutan Di Indonesia Terhadap Negara-Negara Tetangga. Bandung. Fakultas Hukum Pasundan. 2016. Hlm.39
22
dampak asap akibat pembakaran hutan di Indonesia.33 Akan tetapi
pertanggungjawaban atas permintaan ganti rugi dapat juga ditolak dengan
membuktikan bahwa polusi kabut asap bukan sepenuhnya kesalahan
Indonesia dan Indonesia telah meratifikasi ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution sehingga dapat menjadi tumpuan Indonesia
untuk meminta bantuan atas kejadian kebakaran hutan pada negara lain.
D. Rio Declaration on Environment and Development 1992
Perkembangan mengenai hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari
gerakan sedunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan
hidup, mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah
yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup.34 Pengaturan
mengenai lingkungan internasional perlu diperjelas agar tidak terjadi
kesalahan dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkaitan dengan
lingkungan hidup sehingga tidak mengganggu negara tetangga. Salah satu
peraturan yang mengatur mengenai hukum lingkungan internasional adalah
Deklarasi Rio. Deklarasi Rio mengandung prinsip-prinsip mengenai
kesepakatan. Dalam Deklarasi Rio dinyatakan bahwa tujuan KTT Bumi
(United Nations Conference on Environtment and Deveploment) ialah untuk
mengembangkan kemitraan global baru yang adil. Deklarasi ini menyatakan
33Fadhlan Dini Hanif, et.al. Tanggung Jawab Negara (State Responsibility) Terhadap Pencemaran Udara Lintas Batas Negara Berdasarkan Asean Agreement On Transboundary Haze Pollution. 2013. Riau: Universitas Riau. hlm.8 34Koesnadi Hardjasoemantri. Hukum Tata Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 2001. Hlm.6
23
bahwa manusia adalah pusat perhatian pembangunan berkelanjutan. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan jelas pandangan antroposentris35 Deklarasi Rio.
Berdasarkan Pasal 3 Deklarasi Rio mengatur bahwa hak untuk pembangunan
harus memenuhi kebutuhan yang adil untuk kebutuhan lingkungan generasi
sekarang dan masa depan. Kebutuhan lingkungan yang baik merupakan
tanggung jawab seluruh masyarakat di dunia, Pasal 10 Deklarasi Rio
mengatur bahwa masalah lingkungan sebaiknya ditangani dengan partisipasi
seluruh warga yang peduli pada tingkat yang relevan. Di tingkat nasional,
setiap individu harus memiliki akses yang tepat terhadap informasi mengenai
lingkungan yang dipegang oleh otoritas publik, termasuk informasi tentang
bahan berbahaya dan kegiatan komunikasi mereka, dan kesempatan untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Negara harus
memfasilitasi dan mendorong kesadaran dan partisipasi publik dengan
menyediakan informasi secara luas. Akses efektif ke proses peradilan dan
administrasi, termasuk ganti rugi dan pemulihan harus disediakan.
E. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
Asia merupakan kawasan yang terletak di daerah tropis yang memiliki musim
panas yang cukup panjang di beberapa kawasan negaranya. Negara-negara di
Asia juga merupakan salah satu kawasan yang cukup luas perhutanannya dan
35Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Antroposentrisme juga merupakan teori filsafat yang mengatakan bahwa nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia dan bahwa kebutuhan dan kepentingan manusia mempunyai nilai paling tinggi dan paling penting. Bagi teori ini, etika hanya berlaku pada manusia. Maka, segala tuntutan mengenai perlunya kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan, tidak relevan, dan tidak pada tempatnya.
24
menjadi penyokong oksigen terbesar di dunia. Luasnya kawasan hutan di
Asia membuat negara-negara di Asia menjadi kawasan industri perkebunan
dan kayu untuk di ekspor ke negara-negara lain. Industri perkebunan dan
kayu yang dilakukan di kawasan hutan di Asia, khususnya di negara
Indonesia dalam hal ini sering mengakibatkan kebakaran yang asap polusinya
sampai ke negara tetangga dan mengganggu kegiatan di sana. Kebakaran
hutan dilakukan oleh perusahaan yang menjalankan kegiatan perkebunan.
Lazimnya kebakaran terjadi disebabkan oleh penyiapan atau pembersihan
atau pembukaan lahan oleh perusahaan yang dilakukan dengan cara
membakar kawasan hutan atau dapat disebut dengan metode land clearing.
Metode ini dilakukan oleh perusahaan dengan alasan paling murah dan
efisien dalam pembukaan atau pembersihan lahan.36
Pembakaran hutan yang dilakukan untuk pembukaan atau pembersihan lahan
untuk perkebunan dapat menyebabkan asap polusi yang berbahaya bagi
negara Indonesia maupun negara tetangga. Dampak pembakaran hutan sangat
berbahaya bagi kesehatan, berkurangnya efisiensi bekerja karena asap,
terganggunya berbagai transportasi umum, dan dapat menimbulkan kerugian
materiil. Dampak tersebut membuat negara-negara ASEAN membentuk
perjanjian ASEAN Agreement On Transboundary Haze Pollution pada tahun
2002 yang bertujuan untuk merumuskan peraturan-peraturan dalam
permasalahan transboundary haze pollution yang terjadi di Asia. Dalam
perjanjian ini dijelaskan mengenai pihak penolong “assisting party” yaitu 36 Anih Sri Suryani. Penanganan Kabut Akibat Kebakaran Hutan Di Wilayah Perbatasan Indonesia. Vol. 3 No. 1. 2012. Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI . hlm. 70.
25
siapa saja baik negara, organisasi internasional, dan pihak manapun dapat
memberikan bantuan dalam menangani permasalahan kebakaran hutan atau
polusi kabut. Tujuan pembentukan perjanjian ini adalah untuk mencegah dan
memantau polusi asap lintas batas “transboundary haze pollution” dan
melakukan kerja sama baik regional maupun internasional agar dapat bekerja
sama dengan baik dan semakin intensif dalam menangani permasalahan
polusi asap kebakaran.
Berdasarkan perjanjian ini dalam Pasal 4 mengenai kewajiban umum
mengatur bahwa apabila asap polusi berasal dari suatu wilayah negara harus
segera memberikan informasi atau konsultasi kepada negara yang terkena
dampak dari polusi asap agar dapat meminimalkan efek dari polusi asap serta
memberikan pertanggungjawaban. Pasal 7 AATHP mengatur bahwa setiap
pihak harus mengambil tindakan yang tepat untuk memantau:
a. Semua daerah yang rawan kebakaran;
b. Semua kebakaran hutan dan/atau lahan;
c. Kondisi lingkungan yang kondusif untuk kebakaran hutan
dan/atau lahan; dan
d. Asap polusi yang berasal dari kebakaran hutan dan/atau lahan.
Pasal 9 mengenai pencegahan mengatur bahwa setiap pihak melakukan
tindakan untuk mengendalikan dan mencegah kegiatan yang berkaitan dengan
kebakaran lahan dan/ atau yang mungkin mengarah ke “transboundary haze
pollution” yang meliputi:
26
a. Mengembangkan dan mengimplementasikan langkah-langkah
pengaturan dan legislatif lainnya, serta mempromosikan
program dan strategi kebijakan zero burning untuk menangani
lahan dan/atau kebakaran hutan yang mengakibatkan
“transboundary haze pollution”;
b. Mengidentifikasi dan memantau area rawan kebakaran;
c. Memperkuat manajemen kemampuan dan koordinasi
pemadam kebakaran lokal untuk mencegah terjadinya
kebakaran hutan/lahan;
d. Memberikan pendidikan mengenai kesadaran masyarakat
terkait polusi yang diakibatkan oleh kebakaran hutan;
Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa berdasarkan AATHP ini diatur
di Pasal 27 mengenai penyelesaian sengketa. Pasal 27 mengatur bahwa setiap
perselisihan anta pihak yang terkait interpretasi atau aplikasi dari perjanjian
ini atau segala protokol di dalamnya, akan diselesaikan secara damai melalui
konsultasi atau negosiasi.
F. Polluter Pays Principle
Pertumbuhan mengenai tata pengaturan secara hukum lingkungan modern
diawali setelah lahirnya deklarasi tentang lingkungan hidup tahun 1972
sebagai hasil dari konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia di
Stockholm yang merupakan wujud nyata dari pembangunan kesadaran umat
27
manusia terhadap masalah lingkungan hidup.37 Asas-asas pelestarian dan
pengembangan lingkungan hidup dihasilkan dari Deklarasi Stockholm.
Berdasarkan asas ke 22 Deklarasi Stockholm38 mengatur bahwa negara-
negara akan bekerja sama dalam mengembangkan lebih lanjut hukum
internasional mengenai tanggung jawab hukum dan ganti rugi terhadap para
korban pencemaran atau kerusakan lingkungan akibat kegiatan dalam wilayah
kewenangan atau pengawasan negara yang bersangkutan kepada wilayah di
luar kewenangannya. Dalam polluter pays principle hal yang lebih
ditekankan adalah segi ekonomi dibandingkan segi hukum karena untuk
mengatur mengenai kebijaksanaan atas perhitungan nilai kerusakan dan
pembebanannya. Definisi dari polluter pays principle adalah:39
“The principle to be used for allocating costs of pollution prevention and control measures to encourage rational use of scarce environmental resources and to avoid distortions in international trade and investment is the so-called "Polluter-Pays Principle". This principle means that the polluter should bear the expenses of carrying out the above-mentioned measures decided by public authorities to ensure that the environment is in an acceptable state. In other words, the cost of these measures should be reflected in the cost of goods and services which cause pollution in production and/or consumption. Such measures should not be accompanied by subsidies that would create significant distortions in international trade and investment.” (Prinsip yang akan digunakan untuk mengalokasikan biaya
pencegahan polusi dan tindakan pengendalian untuk mendorong
penggunaan sumber daya lingkungan yang langka secara rasional dan
untuk menghindari distorsi dalam perdagangan internasional dan 37Tegar Khaerul Huda, Penerapan Asas Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle) Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Diluar Pengadilan Sebagai Upaya Penegakan Hukum Lingkungan Di Kota Semarang. FH Universitas Negri Semarang. 2013. Hlm.37. 38Deklarasi Stockholm. 39OECD. “Recomendation of the Council on Guiding Principles concerning Internasional Economic Aspects of Environmental Policies”. Diakses dari https://legalinstruments.oecd.org/en/instruments/OECD-LEGAL-0102 pada tanggal 24 Agustus 2018 pukul 11.45 WIB
28
investasi adalah “polluter pays principle”. Prinsip ini berarti bahwa
pencemar harus menanggung biaya untuk melaksanakan tindakan yang
disebutkan di atas yang diputuskan oleh otoritas publik untuk
memastikan bahwa lingkungan berada dalam keadaan yang baik.
Dengan kata lain, biaya langkah-langkah ini harus tercermin dalam
biaya barang dan jasa yang menyebabkan polusi dalam produksi
dan/atau penggunaannya. Langkah-langkah tersebut tidak seharusnya
disertai dengan subsidi yang akan menciptakan distorsi signifikan
dalam perdagangan dan investasi internasional.)
Prinsip polluter pays adalah praktik yang diterima umum bahwa
mereka yang menghasilkan polusi harus menanggung biaya
pengelolaannya untuk mencegah kerusakan pada kesehatan manusia
atau lingkungan. Misalnya dalam sebuah pabrik yang memproduksi zat
beracun sebagai produk sampingan dari kegiatannya biasanya
bertanggung jawab atas pembuangan yang aman dari racun tersebut.
Prinsip ini adalah bagian dari seperangkat prinsip yang lebih luas
untuk memandu pembangunan berkelanjutan di seluruh dunia (secara
resmi dikenal sebagai Deklarasi Rio). Prinsip ini mendukung sebagian
besar regulasi polusi yang mempengaruhi tanah, air, dan udara.40
Polluter Pays Principle (PPP) memberi arah dalam pengaturan hukum
lingkungan terkait peristiwa pencemaran. Asas ini menunjuk pada
40LSE. “What is Polluter Pays Principle”. Diakses dari http://www.lse.ac.uk/GranthamInstitute/faqs/what-is-the-polluter-pays-principle/ pada tanggal 24 Agustus 2018 pukul 13.45 WIB
29
suatu kewajiban atau pembebanan kepada pencemar untuk membayar
kerugian yang dialami korban.41
Prinsip polluter pays dalam perkembangannya telah berkembang di
hukum Indonesia, prinsip ini telah diadopsi dalam perundang-
undangan di Indonesia salah satunya adalah Undang-undang Nomor 32
Tahun 2009 dalam Pasal 2. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Tanggung jawab negara;
b. Kelestarian dan keberlanjutan;
c. Keserasian dan keseimbangan;
d. Keterpaduan;
e. Manfaat;
f. Kehati-hatian;
g. Keadilan;
h. Ekoregion;
i. Keanekaragaman hayati;
j. Pencemar membayar;
k. Kearifan lokal;
l. Tata kelola pemerintahan yang baik; dan
m. Otonomi daerah.
Dalam pasal ini penjelasan mengenai asas polluter pays principle
(prinsip pencemar membayar) adalah bahwa setiap penanggung jawab 41Muhamad Muhdar. Eksistensi Polluter Pays Principle Dalam Pengaturan Hukum Lingkungan di Indonesia. Vol. 21. No. 1 Mimbar Hukum. 2009. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Hlm.71.
30
dari usaha atau kegiatan usaha yang menimbulkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib untuk bertanggung jawab
menanggung biaya dari kerugian yang dialami oleh korban dan
pemulihan dari lingkungan tersebut.
G. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-undang mengenai kehutanan salah satu pokok bahasannya yaitu
mengenai pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Hal ini bertujuan
untuk memberikan kepastian hukum dalam pemanfaatan dan penggunaan
kawasan hutan agar dapat dimanfaatkan dengan baik. Dalam undang-undang
ini menyatakan hutan berdasarkan fungsinya dibagi menjadi tiga yaitu hutan
produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Hutan produksi yaitu hutan
yang memiliki fungsi pokok yang dapat memproduksi hasil hutan, hutan
lindung yaitu suatu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara
kesuburan tanah, sedangkan hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan
ciri tertentu yaitu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistem. Pembagian jenis hutan ini ditujukan
untuk membagi hutan dengan berbagai jenis dan manfaat agar dapat
dibedakan berdasarkan tujuan tertentu untuk menghindari kesalahan yang
dapat menyebabkan kerusakan hutan.
31
Hutan telah dibagi sesuai jenis dan fungsinya, kendati begitu kerusakan hutan
selalu terjadi dan mencapai tahap yang memprihatinkan. Data citra satelit
LANDSAT 8 dan HS Terra Aqua menunjukkan hingga 5 Oktober 2017, luas
kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di seluruh wilayah Indonesia mencapai
124.743 hektare. Angka ini turun dibanding 2016 yang luas areal
kebakarannya sekitar 438.363 hektare dan 2015 yang mencapai 2.611.411
hektare. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah
melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan karhutla. Di 2015
misalnya, KLHK menginisiasi pembuatan bangunan fisik tata air berupa
sekat kanal, embung, dan sumur bor. Saat ini telah terbangun sekat kanal
sebanyak 15.636 unit, embung 2.581 unit, dan sumur bor 1.527 unit.42
Kebakaran di hutan tidak hanya menyebabkan berkurangnya jumlah kayu
yang diproduksi oleh hutan tetapi diikuti dengan penurunan kualitas
ekosistem hutan di seluruh Indonesia. Untuk menghindari penurunan
kualitas ekosistem perlu dibentuk pembuatan peraturan mengenai pemisahan
dalam pembagian hutan dan pembuatan izin dalam pemanfaatan hutan. Pasal
23 Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur bahwa
pemanfaatan hutan memiliki tujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal
bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap
menjaga kelestariannya. Menjaga kelestarian hutan sangat penting agar tidak
menimbulkan masalah atau bencana yang dapat terjadi apabila salah dalam
mengambil tindakan untuk pemanfaatan hutan. Pemanfaatan dalam hal ini 42Tempo.co. “Luas Kebakaran Hutan dan Lahan Turun di 2017”. Diakses dari https://nasional.tempo.co/read/1022567/luas-kebakaran-hutan-dan-lahan-turun-di-2017 pada 29 Juli 2018 pukul 08.52 WIB
32
hutan dapat dilakukan di semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam
serta zona inti dan rimba pada taman nasional. Pasal 26 Undang-undang 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur bahwa apabila dalam pemanfaatan
hutan lindung dilaksanakan melalui izin usaha pemanfaatan kawasan, izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan izin pemungutan hasil bukan hutan
bukan kayu.
Subjek yang dapat diberikan izin dalam pemanfaatan hutan diatur dalam
pasal 27 Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu dalam ayat
(1)(2)(3), yaitu dalam ayat satu dijelaskan izin usaha pemanfaatan kawasan
dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi. Pasal 27 Ayat 2 mengatur
bahwa izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dapat diberikan kepada
perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia dan badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah. Pasal 27 Ayat 3 mengatur bahwa
izin pemungutan hasil hutan bukan kayu dapat diberikan kepada perorangan
dan koperasi. Mengenai hutan produksi diatur dalam Pasal 28 Ayat (2)
Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur bahwa
pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha
pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu,
izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan
kayu. Pemanfaatan hutan produksi harus memperhatikan mengenai
pemberdayaan masyarakat sekitar dengan cara bekerja sama dengan koperasi
masyarakat setempat.
33
Dalam Pasal 27 dan 29 Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
mengenai pemegang izin untuk pemanfaatan hutan harus memperhatikan dan
wajib menjaga serta memelihara kelestarian hutan tempat usaha. Kelestarian
hutan wajib dijaga oleh pengelola hutan yang memanfaatkan hutan sebagai
tempat produksi suatu usaha. Pengelola usaha atau pemegang hak atau izin
dari hutan memiliki tanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal
kerja, hal ini diatur dalam Pasal 49 Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan. Dalam Pasal 50 Ayat (3) bagian d Undang-undang 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan mengatur bahwa setiap orang dilarang membakar hutan,
hal ini menjelaskan bahwa setiap orang atau pemegang izin dari usaha yang
melakukan kegiatan usaha pemanfaatan hutan dilarang untuk melakukan
tindakan pembakaran hutan. Kegiatan pembakaran hutan yang terjadi perlu
diperhatikan dan adanya pengawasan dalam hal tersebut agar tidak terjadi
kelalaian yang mengakibatkan kerugian. Pengawasan kehutanan dimaksudkan
untuk mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan hutan
sehingga dapat tercapai tingkat maksimal dalam pengurusan hutan. Pasal 60
Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur bahwa yang
dapat bertugas sebagai pengawasan adalah Pemerintah dan Pemerintah Daerah
yang wajib untuk melakukan pengawasan kehutanan, sedangkan masyarakat
dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan hutan.
Peran serta masyarakat dalam pengawasan juga dapat berupa pengajuan
gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum
34
terhadap kerusakan hutan yang merugikan masyarakat. Berkaitan dengan
rangka pelaksanaan tanggung jawab mengenai pengelolaan hutan, organisasi
bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan
pelestarian fungsi hutan. Organisasi yang berhak mengajukan gugatan yaitu
harus berbentuk badan hukum, memiliki anggaran dasar yang jelas dan tegas
menyebutkan bahwa tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan
pelestarian fungsi hutan dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan
anggaran dasar.
H. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan kehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain. Hutan termasuk dalam bagian lingkungan
hidup yang memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia
seperti perekonomian, kesehatan, dan menjaga ekosistem di daratan. Menjaga
kelestarian hutan menjadi tugas utama setiap manusia agar lingkungan hidup
di sekitarnya dapat menjalankan fungsi dan peran masing-masing yang harus
dijaga. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk hutan
adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan, dan penegakan hukum. Berdasarkan Pasal 1 ayat 4 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
35
Pengelolaan Lingkungan Hidup, rencana perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang
memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan
pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. Pasal 2 mengatur mengenai
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan
asas:
a. Tanggung jawab negara;
b. Kelestarian dan keberlanjutan;
c. Keserasian dan keseimbangan;
d. Keterpaduan;
e. Manfaat;
f. Kehati-hatian;
g. Keadilan;
h. Ekoregion;
i. Keanekaragaman hayati;
j. Pencemar membayar;
k. Kearifan lokal;
l. Tata kelola pemerintahan yang baik; dan
m. Otonomi daerah.
Asas-asas tersebut merupakan pengaturan untuk melindungi dan mengelola
lingkungan hidup agar tidak terjadi kerusakan dan kehancuran lingkungan
hidup sehingga dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dan dapat bertahan
hingga ke depannya. Salah satu asas yang menarik adalah pencemar
36
membayar, dalam asas ini dapat diartikan bahwa setiap subjek yang
menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup wajib
bertanggung jawab untuk membayar kerugian pihak korban yang terkena
dampak polusi. Perlindungan lingkungan hidup dalam hal ini hutan sangat
penting karena maraknya kasus perusakan hutan yang dapat berbahaya bagi
lingkungan hidup dan mencemari lingkungan sekitarnya. Kerusakan
lingkungan hidup merupakan suatu kejadian yang merusak lingkungan yang
mengakibatkan perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup.
Kerusakan ini diakibatkan oleh tindakan orang yang menimbulkan perubahan
langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup sehingga merusak lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 3
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk:
a. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
b. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem;
c. Menjamin terpenuhinya, keadilan generasi masa kini dan generasi
masa depan;
d. Mengantisipasi isu lingkungan global.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ini meliputi perencanaan,
pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum untuk para pihak yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan yang dapat membahayakan
lingkungan hidup. Pengendalian mengenai pencemaran dan/atau kerusakan
37
lingkungan hidup dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah,
penanggung jawab usaha, dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran,
dan tanggung jawab masing-masing. Salah satu pelaksanaan untuk
meningkatkan kelestarian lingkungan hidup adalah penerapan instrumen
ekonomi lingkungan hidup. Instrumen ekonomi lingkungan hidup salah
satunya adalah instrumen pendanaan lingkungan yaitu dana jaminan pemulihan
lingkungan hidup, penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan
pemulihan lingkungan hidup serta dana untuk konservasi. Pasal 53 Ayat (1)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur bahwa setiap
orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib
melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 53 Ayat (2) mengatur bahwa penanggulangan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan:
(a) Pemberian informasi peringatan dan/atau kerusakan lingkungan
hidup kepada masyarakat;
(b) Pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
(c) Penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup;
(d) Cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pasal 54 Ayat (1) UU PPLH mengatur bahwa setiap orang yang melakukan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan
38
fungsi lingkungan hidup. Pemulihan fungsi lingkungan hidup berdasarkan ayat
(2) dilakukan dengan tahapan:
(a) Penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur
pencemaran;
(b) Remediasi;
(c) Rehabilitasi;
(d) Restorasi; dan/atau
(e) Cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Hak, kewajiban, dan larangan yang diatur dalam UU PPLH terdapat dalam
BAB X yang terdiri dari:
Pasal 65:
(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai
bagian dari hak asasi manusia.
(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses
informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana
usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak
terhadap lingkungan hidup.
(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.
39
Pasal 67 mengatur bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian
fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
Pasal 68:
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
a. Memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b. Menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup.
Larangan pencemaran udara yang disebabkan oleh pembakaran hutan diatur
dalam Pasal 69 UU PPLH
(a). setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
(h). setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara
membakar;
(j). setiap orang dilarang memberikan informasi palsu, menyesatkan,
menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan
yang tidak benar.
Permasalahan ganti kerugian dan pemulihan lingkungan diatur dalam Pasal 87
Ayat 1 bahwa setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib
membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Pasal 108 UU
40
PPLH mengatur bahwa Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 119 UU
PPLH mengatur bahwa Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau
tindakan tata tertib berupa:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga)
tahun.
I. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Perusakan hutan merupakan proses, cara atau perbuatan merusak hutan
melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau
penggunaan izin bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di
dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang
sedang diproses penetapannya oleh pemerintah. Perusakan hutan dalam hal ini
dapat dilakukan subjek atau pemegang izin yang telah diberikan izin untuk
melakukan kegiatan di hutan yang tujuannya adalah pemanfaatan hutan untuk
dikelola dengan memanfaatkan beberapa sumber daya alamnya.
41
Perusakan hutan perlu dicegah dan diberantas untuk meningkatkan kualitas
lingkungan hidup masyarakat sekitar dan negara tetangga. Pasal 3 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan mengatur bahwa tujuan pemberantasan
perusakan hutan adalah untuk memberikan efek jera para pelaku perusakan
hutan, menjamin dan menjaga kelestarian lingkungan hutan, mengoptimalkan
pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan dengan memperhatikan
keseimbangan fungsi hutan guna terwujudnya masyarakat sejahtera, dan
meningkatnya kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan pihak-
pihak terkait dalam menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan
hutan. Perkara perusakan hutan harus didahulukan dalam persidangan dari
perkara lain guna penyelesaian secepatnya. Pasal 11 Ayat 2 dan 3 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan mengatur bahwa perbuatan perusakan hutan
secara terorganisasi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok
yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih dan yang bertindak
secara bersama- sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan
perusakan hutan. Kelompok terstruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak termasuk kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam
dan/atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional
dan/atau melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan
hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.
42
J. Peraturan MA Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi
Korporasi merupakan suatu entitas atau subjek hukum yang keberadaannya
memberikan kontribusi yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan nasional, namun dalam kenyataannya korporasi
ada kalanya juga melakukan pelbagai tindak pidana (corporate crime) yang
membawa dampak kerugian terhadap negara dan masyarakat. Pada
kenyataannya korporasi dapat menjadi tempat untuk menyembunyikan harta
kekayaan hasil tindak pidana yang tidak tersentuh proses hukum dalam
pertanggungjawaban pidana (criminal liability). Beberapa undang-undang di
Indonesia menyebutkan bahwa korporasi sudah menjadi subjek tindak pidana
yang dapat diminta pertanggungjawabannya. Korporasi merupakan suatu
perkumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum. Berdasarkan kategori
permasalahan pidana, tindak pidana korporasi merupakan tindak pidana yang
dapat diminta pertanggungjawaban pidananya kepada korporasi sesuai
dengan undang-undang yang mengatur tentang korporasi.
Berdasarkan tindak pidana korporasi, pembentukan Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi dimaksudkan untuk
menjadi pedoman bagi para penegak hukum dalam menangani perkara tindak
pidana dengan pelaku korporasi atau pengurusnya. Peraturan ini dibentuk
dengan tujuan mengisi kekosongan hukum acara pidana untuk penanganan
perkara pidana dengan pelaku korporasi dan/atau pengurusnya. Tindak pidana
43
oleh korporasi merupakan tindakan yang dilakukan oleh orang berdasarkan
hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama korporasi di dalam
maupun di luar lingkungan korporasi.
Permasalahan pertanggungjawaban dalam tindak pidana korporasi dapat
diminta pertanggungjawabannya sesuai dalam pasal 4 Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi yang mengatur bahwa
korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan
ketentuan pidana korporasi dalam undang-undang yang mengatur mengenai
korporasi. Salah satu penjatuhan pidana terhadap kejahatan korporasi, hakim
dapat menilai kesalahan korporasi yaitu korporasi membiarkan terjadinya
tindakan pidana atau korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang
diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar
dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku untuk
menghindari terjadinya tindak pidana. Pertanggungjawaban korporasi tidak
dapat berhenti sekalipun para pengurus korporasi berhenti atau meninggal
dunia. Pertanggungjawaban terhadap korporasi yang telah bubar atau berhenti
setelah terjadinya tindak pidana tidak dapat dipidana, akan tetapi, terhadap
aset milik korporasi yang diduga untuk melakukan kejahatan dan/atau
merupakan hasil kejahatan, maka penegakan hukumnya dilaksanakan sesuai
dengan mekanisme sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Gugatan yang dimaksud dapat diajukan terhadap mantan pengurus,
44
ahli waris atau pihak ketiga yang menguasai aset milik korporasi yang telah
bubar tersebut.
Penanganan mengenai pertanggungjawaban korporasi yang bisa melarikan
diri dari tanggung jawab dengan membubarkan diri sehingga terhindar dari
pemidanaan baik yang dilakukan setelah maupun sebelum penyidikan, Ketua
Pengadilan atas permintaan penyidik dapat mengeluarkan penetapan yang
dapat menunda segala upaya atau proses pembubaran korporasi yang sedang
dalam proses hukum sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum.
Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud hanya dapat diberikan sebelum
permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang atau setelah
permohonan pailit didaftarkan. Penetapan tidak dapat diajukan apabila
korporasi bubar karena berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditentukan
dalam dokumen pendirian.
Korporasi dapat dikenakan pertanggungjawaban dan pemidanaan yang
dijatuhkan oleh hakim terhadap korporasi atau pengurus, atau pengurus dan
korporasi. Pemidanaan terhadap korporasi dan/atau pengurus tidak menutup
kemungkinan penjatuhan pidana terhadap pelaku lain yang berdasarkan
ketentuan undang-undang terbukti terlibat dalam tindak pidana tersebut.
Dalam hal tindak pidana kejahatan korporasi, korporasi dan pengurus
diajukan bersama-sama sebagai terdakwa sedangkan masalah putusan
pemidanaan dan bukan pemidanaan mengikuti ketentuan yang telah diatur.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penyusunan skripsi berjudul “Analisis Yuridis ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution dan Implementasinya di Indonesia” agar dapat
terarah dan sistematis, penulisan skripsi ini dibuat berdasarkan metode-metode
tertentu. Hal ini dikarenakan, suatu penelitian merupakan usaha untuk
menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.43
Skripsi ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif (Normative Legal
Research) yaitu penelitian hukum kepustakaan yang mengacu pada norma
hukum yang terdapat dalam peraturan internasional dan peraturan perundang-
undangan.44 Kemudian juga mendasar pada karakteristik yang berbeda dengan
penelitian ilmu sosial pada umumnya.45 Normatif sering kali disebut dengan
penelitian doctrinal yaitu objek penelitiannya adalah dokumen perundang-
undangan dan bahan pustaka.46
Hal paling mendasar dalam penelitian ilmu hukum normatif, adalah
bagaimana seorang peneliti menyusun, merumuskan masalah penelitiannya
43Ronny Hanitijo Soemitro. Metodelogi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia; 1982. hlm.2. 44Soedjono Soekanto & Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Cet.9. Jakarta: Rajawali Press. 2006. Hlm.23. 45Asri Wijayanti & Lilik Sofyan Achmad, Strategi Penulisan Hukum, Bandung : CV Lubuk Agung, 2011, hlm.43. 46Soedjono & Abdurahman, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, hlm. 56.
46
secara tepat dan tajam dan bagaimana seorang peneliti memilih metode untuk
menentukan langkah-langkahnya serta bagaimana ia melakukan perumusan
dalam membangun teorinya.47 Penelitian ini merupakan suatu penelitian
hukum yang pendekatannya dilakukan berdasarkan bahan pustaka atau data
sekunder, menelaah hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas
hukum, pandangan dan doktrin-doktrin hukum, peraturan dan sistem hukum.48
Fokus penelitian ini adalah hukum positif, di mana hukum positif adalah
hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, yaitu suatu aturan
atau norma tertulis yang secara resmi dibentuk dan diundangkan oleh
penguasa, di samping hukum yang tertulis tersebut terdapat norma di dalam
masyarakat yang tidak tertulis secara efektif mengatur perilaku anggota
masyarakat.49
B. Pendekatan Masalah
Dalam penulisan skripsi pendekatan masalah diperlukan untuk lebih
menjelaskan dan mencapai maksud serta tujuan penelitian. Pendekatan
masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui
tahap-tahap yang telah ditentukan sehingga mencapai tujuan. Pendekatan
tersebut dimaksudkan agar pembahasan dapat terfokus pada permasalahan.
Penelitian menggunakan pendekatan masalah ini dilakukan dengan cara
menginventaris bahan-bahan hukum, kemudian penelitian dilakukan dengan
cara meneliti dan mengkaji seluruh bahan pustaka atau data sekunder berupa 47Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju 2008, hlm. 80. 48Soejono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada; 2003. hlm.13. 49Asri Wijayanti dan Lilik Sofyan Achmad. Strategi Penulisan Hukum. Bandung: CV Lubuk Agung; 2011. hlm.43.
47
peraturan internasional dan nasional lalu melakukan analisis pribadi mengenai
permasalahan.
C. Sumber Data, Pengumpulan Data dan Pengolahan Data
1. Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian hukum normatif adalah data
sekunder. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, data primer
adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka.50 Sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan hasil
telaah data primer dan disajikan oleh pihak pengumpul data primer atau
oleh pihak lain.51 Sumber data terdiri dari:
1) Bahan hukum primer :
a. Rio Declaration on Environment and Development 1992
b. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
c. Polluter Pays Principle
d. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan
e. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
f. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
50Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009, hlm.13-14. 51Husein Umar. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: Raja Grafindo Persada; 2005. hlm.42.
48
g. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh
Korporasi
2) Bahan hukum sekunder yang terdiri dari beberapa buku, skripsi,
artikel, jurnal, surat kabar, internet, hasil-hasil penelitian, pendapat
para ahli atau sarjana hukum uang dapat mendukung dalam pemecahan
masalah yang diteliti dalam penelitian ini.
3) Bahan hukum tersier yang terdiri dari bahan-bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, yaitu kamus dan ensiklopedia serta bahan-bahan lainnya
yang menunjang data penelitian.
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang akan diolah dalam penulisan skripsi ini
adalah menggunakan teknik studi kepustakaan yaitu dengan
mengumpulkan berbagai ketentuan perundang-undangan, dokumentasi,
literatur, serta mengakses internet yang berkaitan dengan permasalahan
dalam lingkup hukum internasional maupun lingkup hukum nasional.52
52Soejono Soekanto dan Sri Mamudji. Op.Cit; hlm.41.
49
3. Metode Pengolahan Data
Data yang diperoleh dan telah terkumpul langkah berikutnya yang
dilakukan adalah data tersebut diolah agar dapat memberikan gambaran
mengenai masalah yang diajukan. Tahapan pengelolaan data dalam
penulisan skripsi ini meliputi tahapan sebagai berikut:53
1) Identifikasi data atau seleksi data yaitu mencari data yang diperoleh
untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan
menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan
permasalahan dan sesuai dengan keperluan penelitian.
2) Klasifikasi data yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya
diklasifikasi atau di kelompokan sehingga diperoleh data yang benar-
benar objektif.
3) Penyusunan data atau sistematika data yaitu menyusun data menurut
sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga
memudahkan peneliti dalam menginterpretasikan data.
D. Analisis Data
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan bahan-bahan yang diperoleh
dari tinjauan kepustakaan yang bersumber dari buku-buku dan literatur lain.
Data yang telah diperoleh akan dianalisis secara normatif, yaitu
membandingkan data yang diperoleh dengan aturan hukum. Metode yang
digunakan dalam analisis data adalah analisis kualitatif yaitu memberikan arti
dari setiap data yang diperoleh dengan cara menggambarkan atau
53Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti; 2004. hlm.122.
50
menguraikan data hasil penelitian dalam bentuk uraian kalimat secara
terperinci, teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif yang
bertujuan untuk memudahkan interpretasi data dan analisis54 serta kemudian
ditariklah beberapa kesimpulan sebagai jawaban dari masalah yang diangkat
dalam penulisan ini.
54Ibid; hlm.127.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis uraikan dalam bab
sebelumnya, maka kesimpulan dari tulisan ini adalah:
1. Hukum Internasional telah mengatur mengenai kesehatan lingkungan
yang wajib di jaga khususnya dalam hal ini adalah masalah polusi
asap lintas batas (transboundary haze pollution). Berdsarkan Rio
Declaration on Environment and Development 1992, mengamanahkan
bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup di lingkungan yang
baik dan tidak tercemar. Manusia juga harus menghargai manusia lain
antar negara dengan tidak melakukan kegiatan yang dapat
menimbulkan kerugian bagi negaranya sendiri maupun negara lain.
Perlindungan serta pembangunan akan lingkungan diperlukan untuk
tetap dapat dinikmati di masa depan. Rio Declaration on Environment
and Development 1992 hanya sebagai dasar untuk pembentukan
hukum lingkungan internasional kedepannya karena belum membahas
mengenai sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran hukum
lingkungan internasional. Secara regional penanganan
96
penanggulangan asap diatur pad ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution.
2. Menurut ASEAN Indonesia telah menjadikan asap lintas batas sebagai
masalah yang serius, maka langkah ratifikasi ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution melalui Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution merupakan suatu
keuntungan dan keharusan bagi Indonesia. Tindakan ratifikasi tersebut
menandakan bahwa Indonesia telah serius dan fokus untuk
penanganan masalah transboundary haze pollution. Indonesia
memiliki beberapa perangkat aturan hukum untuk menangani masalah
kebakaran hutan dan lingkungan hidup. Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi dasar
untuk melindungi dan menangani permasalahan dalam perusakan
hutan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai
peraturan yang menjaga lingkungan hidup dan kriteria perusakan
lingkungan hidup baik air, daratan, maupun di udara. Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan dibentuk untuk lebih fokus dalam
menangani permasalahan yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan
dan memidanakan setiap subjek yang melakukan kegiatan di hutan
sehingga menyebabkan kerusakan hutan. Lalu Peraturan MA Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan
97
Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi ditujukan untuk korporasi yang
dalam pelaksanaan kegiatannya menyebabkan kerusakan baik pada
lingkungan dan masyarakat sekitar sehingga pihak korporasi dapaat
dikenakan pidana.
B. Saran
ASEAN Agreement on Tranboundary Haze Pollution belum mengatur
secara rinci mengenai transboundary haze pollution. Tidak adanya sanksi
bagi pelanggar merupakan kekurangan dalam AATHP. Tantangan yang
dihadapi oleh ASEAN adalah adanya prinsip Non-Interference sehingga
mengakibatkan tidak ada yang dapat mencampuri urusan serta mengadili
negara anggota. Menurut penulis apabila tidak dapat dilakukan pengadilan
di regional ASEAN maka dapat dibentuk tim pencari fakta untuk
pembuatan annual report dari kasus transboundary haze pollution di
ASEAN. Dalam lingkup nasional, pemerintah Indonesia dapat membentuk
atau merevisi peraturan perundang-undangan untuk tidak melakukan
segala tindak pembakaran hutan, melakukan pencabutan izin usaha dari
pihak pelaku yang terbukti melakukan pembakaran hutan, dan
memberikan sanksi denda untuk melakukan ganti rugi atau memperbaiki
hutan yang rusak akibat pembakaran hutan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Ali Chidir. (1987), Badan hukum. Bandung : Alumni. Andi A. Khairunnisa dan Iman Prihandono, (2016), Tanggung Jawab
Korporasi Multinasional dalam Hukum HAM Internasional. Surabaya: Airlangga University Press.
Bahder Johan Nasution, (2008), Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju.
Elli Louka. (2006). International Environmental Law, Fairness, Effectiveness, and World Order. United Kingdom : Cambridge University Press.
Hardjasoemantri, Koesnadi. (2001), Hukum Tata Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Laode M Syarif dan Andri G Wibisana. (2010). Hukum Lingkungan Teori, Legislasi dan Studi Kasus. Jakarta: USAID.
Muhammad, Abdulkadir, (2004), Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Muladi dan Dwidja Priyanto, (2010), Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Kencana.
Muthalib, Abdul. (2015), Hukum Internasional dan Perkembangannya, Bandar Lampung: BP Justice Publisher.
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, (2000), Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Lingkup Berlakunya Ilmu, Buku I, Bandung, Alumni.
Mochtar Kusumaatmaatmadja dan Etty R. Agoes. (2015). Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Alumni.
N.H.T. Siahaan. (2014). Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga.
Rangkuti, Sundari. (2000). Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Surabaa: Airlangga University Press.
Silalahi , Daud, (2001), Hukum Lingkungan (Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia). Bandung : PT. Alumni.
Soemitro , Ronny Hanitijo. (1982). Metodelogi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soedjono & Abdurahman, (2003), Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, (2009), Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
99
Umar , Husein. (2005). Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wijayanti, Asri & Lilik Sofyan Achmad, (2011), Strategi Penulisan Hukum, Bandung : CV Lubuk Agung.
B. Artikel, Jurnal. Skripsi Anindya, Afra Monica. (2017). Transformasi Sekuritisasi Singapura
terhadap Isu Transboundary Haze Pollution (THP) dari Indonesia Tahun 1997-2016. Vol. 6 No. 2 JAHI, Surabaya: Universitas Airlangga.
Asdar. (2015). Transboundary Haze Pollution Di Malaysia Dan Singapura Akibat Kebakaran Hutan Di Provinsi Riau Ditinjau Dari Hukum Lingkungan Internasional. Vol. 4 No. 3. Sulawesi: Universitas Tadulako.
Ayu Nurul Alfia, dkk. (2016). Tanggung Jawab Perusahaan Transnasional Dalam Kebakaran Hutan Di Riau Dalam Perspektif Hukum Internasional. Vol. 5 No. 3. Semarang: Universitas Diponegoro.
Dwidja, Priyatno. (2007). Reorientasi dan Reformulasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kebijakan Kriminal dan Hukum Pidana. Universitas Islam Bandung.
Fadhlan Dini Hanif, et.al. (2013). Tanggung Jawab Negara (State Responsibility) Terhadap Pencemaran Udara Lintas Batas Negara Berdasarkan Asean Agreement On Transboundary Haze Pollution. Riau: Universitas Riau.
Huda, Tegar Khaerul, (2013). Penerapan Asas Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle) Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Diluar Pengadilan Sebagai Upaya Penegakan Hukum Lingkungan Di Kota Semarang. FH Universitas Negri Semarang.
Kurnia, Akbar. (2015). Transboundary Haze Pollution Dalam Perspektif Hukum Lingkungan Internasional. Jurnal Ilmu Hukum. Vol.6. No.1. Jambi : Fakultas Hukum Universitas Jambi.
Malvin Edi Darma dan Ahmad Redi. (2018). Jurnal : “Penerapan Asas Polluter Pay Principle dan Strict Liability Terhadap Pelaku Pembakaran Hutan”. Vol. 1 No. 1. Jakarta: Universitas Tarumanegara.
Manurung, Dina S.T. (2014). Pengaturan Hukun Internasional Tentang Tanggung jawab Negara dalam Pencemaran Udara Lintas Batas. Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Muhdar, Muhamad. (2009). Eksistensi Polluter Pays Principle Dalam Pengaturan Hukum Lingkungan di Indonesia. Vol. 21. No. 1 Mimbar Hukum. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.
Muryati, Dewi Tuti. (2007). Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Kaitannya Dengan Kebijakan Lingkungan Hidup. Law Reform. Vol. 2. No. 2. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Prihandono, Iman. (2008). Status dan Tanggung Jawab Multi National Companies (MNCs) Dalam Hukum Internasional. Jurnal Global dan
100
Strategis. Vol. 2. No. 1. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Raisa Rafina. (2013). Kerjasama Negara-Negara Asean Dalam Pengendalian Pencemaran Udara Lintas Batas Negara Di Lihat Dari Hukum Internasional. Journal of International Law. Vol. 1. No. 2. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Ritonga, Amrul. (2015). Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Pada Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menurut Perspektif Fiqih Jinayah. UIN Sultan Syarif Riau.
Siciliya Mardian yo’el. (2016). Efektifitas ASEAN Agreement On Transboundary Haze Pollution Dalam Penanggulangan Pencemaran Asap Lintas Batas di ASEAN. Arena Hukum . Vol.9. No.3. Kediri: Universitas Islam Kediri
Sudariyanto, Muhammad Arif. (2018). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Bidang Perindustrian. Mimbar Keadilan Jurnal Ilmu Hukum. Edisi Februari 2018. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945. Surabaya.
Suadela. (2009). Bentuk pertanggungjawaban Indonesia terhadap Malaysia dan singapura dalam masalah kabut asap di provinsi riau. Vol. 1 No. 1. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara.
Sundari, Wepi. (2016). Implementasi Prinsip International Responsibility (Tanggung Jawab Internasional) Dalam Kasus Dampak Kebakaran Hutan Di Indonesia Terhadap Negara-Negara Tetangga. Bandung. Fakultas Hukum Pasundan.
Tegar Khaerul Huda. (2013). Skripsi: “Penerapan Asas Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle) dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Diluar Pengadilan Sebagai Upaya Penegakan Hukum Lingkungan di Kota Semarang”. Semarang: Universitas Neger Semarang.
Yeni Widowaty. (2017). Prosiding Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pencemaran Dalam Pengelolaan Sampah Berdasar Polluter Pays Principle. Yogyakarta: UMY.
C. Dokumen
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution Deklarasi Stockholm. London Protocol, (International Maritime Organization), 1972/1996. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016
Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Rio Declaration on Environment and Development 1992
101
D. Website
BBC. “Kabut Asap Singapura ‘mengancam jiwa’”. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2013/06/130621_singapura_haze. LSE. “What is Polluter Pays Principle”. Diakses dari http://www.lse.ac.uk/GranthamInstitute/faqs/what-is-the-polluter-pays-principle/.
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. “Maritim Indonesia, Kemewahan yang Luar Biasa”. Diakses dari http://kkp.go.id/artikel/2233-maritim-indonesia-kemewahan-yang-luar-biasa.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Pencegahan Karhutla Berhasil Tekan Angka Defortasi”. Diakses dari http://www.menlhk.go.id/siaran-81-pencegahan-karhutla-berhasil-tekan-angka-deforestasi.html.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 258. Kementerian lingkungan hidup Republik indonesia, “Indonesia Meratifikasi Undang-Undang tentang Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas”, http://www.menlh.go.id/indonesia-meratifikasi-undang-undang-tentang-pengesahan-asean-agreement-on-transboundary-haze-pollution-persetujuan-asean-tentang-pencemaran-asap-lintas-batas/.
Melda Kamil A. Ariadhno. (1999). Majalah :“Prinsip-Prinsip dalam Hukum LIngkungan Internasional”. Diakses dalam http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/553/487.
Menlhk “Rekapitulasi Luas Kebakaran Hutan dan Lahan (Ha) Per Provinsi di Indonesia Tahun 2014-2019”. Diakses dalam http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran pada Rabu 19 Juni 2019 08.00 WIB
OECD. “Recomendation of the Council on Guiding Principles concerning Internasional Economic Aspects of Environmental Policies”. Diakses dari https://legalinstruments.oecd.org/en/instruments/OECD-LEGAL-0102.
Syahnan Rangkuti, regional kompas “Kebakaran Hutan di Riau, Dua Perusahaan Sawit Jadi Tersangka”, diakses dari https://regional.kompas.com/read/2016/09/15/15573291/kebakaran.hutan.di.riau.dua.perusahaan.sawit.jadi.tersangka.
Tempo.co. “Luas Kebakaran Hutan dan Lahan Turun di 2017”. Diakses dari https://nasional.tempo.co/read/1022567/luas-kebakaran-hutan-dan-lahan-turun-di-2017.
UNECE. “Convention on long-range transboundary air pollution”. Diakses dari https://www.unece.org/fileadmin/DAM/env/lrtap/full%20text/1979.CLRTAP.e.pdf.