Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS PARADIGMA PENDIDIKAN TERHADAP MASYARAKAT DESA ITTERUNG KECAMATAN TELLU SIATTINGE KABUPATEN BONE
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
A MUTMAINNA NIM. 10538328915
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
2019
MOTTO
Penakut tak perna memulai.
Pecundang tak perna menyelesaikan.
Pemenang tak perna berhenti
-jack ma-
Apabila sesuatu yang kau senangi tidak terjadi,
maka senangilah apa yang tejadi
-Ali bin talib-
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, atas rahmat dan hidayah-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Karya sederhana ini kupersembahkan untuk:
Kedua orang tuaku, saudara dan sahabat yang telah memberiku semangat, motivasi serta doa dan keikhlasannya dalam mendukung penulisan mewujudkan harapan menjadi kenyataan.
ABSTRAK
Andi Mutmainah. 2019. Analisis Paradigma Masyarakat Terhadap Pendidikan Di Desa Itterung Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone. Pembimbing I: Nama Pembimbing I dan Pembimbing II: Nama Pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui paradigma masyarakat Desa Itterung Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone terhadap pendidikan formal; dan (2) mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi paradigma masyarakat Desa Itterung Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone terhadap pendidikan formal.
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif Penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik observasi dan wawancara. Informan penelitian Terhadap Pendidikan Formal antara lain: (1) kemiskinan; (2) tingkat pendidikan yang rendah; (3) orientasi pada harta benda saja; (4) minat ornagtua terhadap pendidikan yang kurang; dan (5) minat anak terhadap pendidikan yang kurang.
Kata kunci:
Paradigma Masyarakat, Pendidikan, Desa
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil’alamin. Untaian rasa syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat, hidayah dan anugerah-
Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam tak
lupa penulis kirimkan kepada Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam, beserta
orang-orang yang tetap setia meniti jalannya sampai akhir zaman.
Skripsi dengan judul Implikasi Lembaga Kemahasiswaan FKIP Terhadap
Iklim Akademik Universitas Muhammadiyah Makassar Pada Mahasiswa
Pendidikan Sosiologi, disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
program sarjana strata satu (S1) pada Prodi Pendidikan Sosiologi Fakultas
keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhamadiyah Makassar.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis mengalami banyak hambatan dan
kesulitan, namun atas bantuan dan bimbingan serta kerja sama yang ikhlas dari
berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat penulis rampungkan. Karenanya dari
lubuk hati terdalam perkenankanlah penulis menghanturkan rasa hormat dan
ucapan terima kasih yang setingi-tingginya kepada kedua orang tua saya
Ayahanda Andi Zainal dan Ibunda Andi St. Hasni kepada beliau sembah
sujudku yang tak terhingga atas segala jerih payahnya selama ini yang telah
membesarkan, mencurahkan, mendoakan dan berupaya membiayai pendidikan
penulis untuk menyelesaikan studinya. Semoga Allah Subhanahu
wa ta’ala selalu melindungi dan memberi kesehatan kepada Ayah dan Ibu, rasa
bangga kupersembahkan untuk kedua orang tuaku tercinta.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak akan terselesaikan
dengan baik tanpa adanya bantuan, bimbingan, dorongan serta saran-saran dari
berbagai pihak, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang
senantiasa memberikan dukungannya dari awal hingga akhir.
Ucapan terima kasih penulis haturkan dari lubuk hati terdalam kepada
bapak Drs. H.Nurdin M.Pd Pembimbing I dan Jamaluddin Arifin S.Pd.,
M.Pd. pembimbing II. Terima kasih karena telah membantu penulis dalam
memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan
dalam penyusunan skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih
kepada yang terhormat:
Prof. Dr. H. Abdul Rahman Rahim, SE.,MM., Rektor Universitas Muhammadiyah
Makassar, Erwin Akib M.Pd., Ph.D.,Dekan Fakultas Keguruan Dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah memberi
kesempatan kepada penyusun untuk menuntut ilmu di Fakultas Keguruan Dan
Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
Dr. H.Nurdin M.Pd Ketua Prodi Pendidikan Sosiologi dan Kaharuddin, S.Pd.,
M.Pd., Ph.D Sekretaris Prodi Pendidikan Sosiologi Fakultas keguruan Dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.Seluruh Bapak dan Ibu Dosen
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan yang telah mendidik penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.
Seluruh Staf Akademik Prodi Pendidikan Sosiologi yang telah
memberikan bantuan jasa dalam bidang keadministrasian kepada penulis selama
menjadi mahasiswa seluruh informan yang telah bersedia meluangkan waktunya
kepada penulis untuk memberikan informasi dan data sampai pada penyelesaian
skripsi ini.
Kepada sepupu saya Randi saya ucapkan terima kasih telah membantu
saya dalam proses penelitian.
Untuk teman saya Sidar, Omil, Hikma dan yang lainnya yang tidak mampu saya
sebutkan satu persatu terimakasih dorongan yang sudah diberikan kepada saya
selama ini hingga saya mampu bangkit kembali untuk semangat menjalankan
tugas kuliah.
HMJ Pendidikan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Makassar yang
telah memberi ruang dalam mengenal panggung keorganisasian meskipun penulis
sadar bahwa tak banyak jasa yang kami torehkan. Semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dan bantuan sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga amal baik yang diberikan kepada penyusun
mendapat imbalan dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Akhirnya dengan segala hormat dan kerendahan hati, penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam penulisan skripsi ini, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis
berharap semoga skripsi ini memiliki guna dan manfaat bagi penulis khususnnya
dan semua yang membutuhkan.
Makassar,14 September 2019
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iii
SURAT PERNYATAAN ..................................................................................... iv
SURAT PERJANJIAN ........................................................................................ v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ....................................................................... vi
ABSTRAK ........................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ x
DAFTAR ISI ................................................................................................... .... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 5
E. Definisi Operasional.......................................................................... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Konsep ................................................................................... 6
1. Pengertian Pendidikan Formal .................................................... 6
2. Kompenen Pendidikan ............................................................... 13
B. Dinamika Sosial ............................................................................... 18
C. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 20
D. Kerangka Pikir ................................................................................. 24
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ................................................................................. 25
B. Lokasi Penelitian .............................................................................. 25
C. Metode Pengumpulan Data .............................................................. 26
D. Instrumen Penelitian......................................................................... 28
E. Teknik Analisis Data ........................................................................ 28
F. Keabsahan Data ................................................................................ 31
G. Etika Penelitian ................................................................................ 36
BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Lokasi Penelitian ................................................................. 43
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian ................................................................................ .45
B. Kesimpulan dan Saran ..................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 73
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME,
berkahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Hukama, 2017).
Pendidikan sebagaimana tertera dalam UU Sistem Pendidikan Nasional
nomor 20 tahun 2003: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara” (UU
sisdiknas no 20 th 2003). Pengertian pendidikan menurut Riva‟i dan Murni, yang
dikutip oleh Syukur (2014), adalah proses secara sistematis untuk mengubah
tingkah laku seseorang ke arah yang lebih baik. sehingga untuk menunjang
keberhasilan seorang dalam dunia pendidikan maupun dunia kehidupan yang
layak, sudah seharusnya pendidikan diajarkan orang tuanya dimulai ketika anak
masih kecil.
Jadi, secara sederhana, pendidikan dapat diartikan sebagai proses
pembelajaran peserta didik dari yang tidak diketahui menjadi mengetahui yang
nantinya diharapkan agar peserta didik mewujudkan dan mengembangkan potensi
yang dimilikinya serta membentuk kepribadian yang sesuai.
Telah diketahui bahwa pendidikan dibagi menjadi tiga macam, yaitu
Pendidikan Formal, Pendidikan Non Formal, dan Pendidikan Informal. Dalam UU
Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa:
a) Pendidikan Formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang
yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi.
b) Pendidikan Non Formal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal
yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
c) Pendidikan Informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (UU
Sisdiknas No 20 Th 2003).
Melalui beberapa pengertian pendidikan diatas dapat disimpulkan bahwa:
a) Pendidikan Formal adalah pendidikan yang mengacu pada program yang
terencana, terstruktur, dan berjenjang mulai dari tingkat pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Di Indonesia, pendidikan ini
dimulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah
Atas, dan Perguruan Tinggi.
b) Pendidikan Non formal adalah pendidikan terstruktur dan berjenjang yang ada
diluar pendidikan formal. Pendidikan ini berfungsi sebagai penambah,
pengganti, dan pelengkap pendidikan formal, misalnya Pondok Pesantren, Les
Privat, Bimbingan Belajar, dan sebagainya.
c) Pendidikan informal adalah pendidikan yang terjadi di dalam keluarga dan
lingkungan. Ini adalah pendidikan tingkat pertama yang sangat mendasar yang
dialami oleh semua orang. Dimana dalam pendidikan informal ini karakter
anak akan terbentuk. Pola asuh orang tua sangat mempengaruhi baik buruknya
sikap anak. Oleh karena itu, pendidikan informal seharusnya menjadi
pendidikan yang sangat diperhatikan oleh orang tua.
Keyakinan bahwa pendidikan merupakan wahana ampuh untuk membawa
bangsa dan negara menjadi maju dan terpandang dalam pergaulan bangsa-bangsa
dan dunia Internasional, boleh dikatakan tidak ada keraguan lagi. Jhon Naisbitt
dan Patricia Aburdence dalam Megatrend 2000 sebagai dikutip Hukama (2017),
mengatakan, “tepi Asia Pasifik telah memperlihatkan, negara miskin pun bangkit,
tanpa sumber daya alam melimpah asalkan negara melakukan investasinya yang
cukup dalam hal sumber daya manusia”. Oleh karena itu katanya lebih lanjut,
“terobosan yang paling menggairahkan dari abad ke21 bukan karena teknologi,
melainkan karena konsep yang luas tentang apa artinya manusia itu.”
Tingkat pendidikan masyarakat pedesaan pada umumnya masih rendah
dimana mayoritas pendidikannya sampai tingkat Sekolah Mengah Pertama (SMP)
sehingga pengetahuan pendidikan yang mereka ketahui juga terbatas, karena
tingkat kesadaran masyarakat di komunitas pedesaan terhadap pendidikan formal
masih rendah. Hal ini tentunya dipengaruhi banyak faktor, salah satunya adalah
keadaan ekonomi. Fenomena seperti ini terjadi di Desa Itterung, Kecamatan Tellu
Siattinge, Kabupaten Bone, di mana mayoritas masyarakat di Desa ini memiliki
tingkat pendidikan yang masih rendah, pendidikan terakhir masyarakat disana
adalah mayoritas tingkat SLTA, sedangkan yang melanjutkan ke perguruan tinggi
sangatlah minim. Setelah tamat dari jenjang SLTA mereka membantu orang
tuanya bekerja di sawah, ada juga yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga
dan bekerja di perusahaan swasta. Setelah peneliti meninjau tingkat pendapatan
masyarakat di Desa Itterung ternyata tidak semua pendapatan mereka rendah,
terdapat warga yang berpendapatan tinggi namun mereka enggan menyekolahkan
putra putrinya sampai jenjang perguruan tinggi, hal ini disebabkan karena orientasi
mereka kepada pekerjaan, sehingga mereka berasumsi bahwa buat apa
menyekolahkan putra putrinya sampai ke perguruan tinggi jika pada akhirnya akan
melanjutkan pekerjaan atau profesi orang tua. Dari sinilah terlihat adanya
kesenjangan antar tingkat ekonomi dengan tingkat pendidikan masyarakat di Desa
Itterung.
Maka dari itu dibutuhkannya penjelasan atau sosialisasi tentang pendidikan
tinggi melalui tindakan sosial, dalam bentuk yang paling mendasar, sebuah tindak
sosial melibatkan sebuah hubungan dari tiga bagian: gerak tubuh awal dari salah
satu individu, respons dari orang lain terhadap gerak tubuh tersebut dan sebuah
hasil.
Berangkat dari fenomena dan konsep teori yang ada peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul: “Analisis Paradigma Masyarakat Terhadap
Pendidikan Di Desa Itterung Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana paradigma masyarakat Desa Itterung Kecamatan Tellu Siattinge
Kabupaten Bone terhadap pendidikan formal?
2. Faktor – faktor yang mempengaruhi paradigma masyarakat Desa Itterung
Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone terhadap pendidikan formal?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai beriku:
1. Untuk mengetahui paradigma masyarakat Desa Itterung Kecamatan Tellu
Siattinge Kabupaten Bone terhadap pendidikan formal.
2. Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi paradigma masyarakat
Desa Itterung Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone terhadap pendidikan
formal.
D. Manfaat Penelitian
1. Manafaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman ilmu sosiologi,
khusunya tentang paradigma masyarakat desa tentang pendidikan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti penelitian ini diharapkan menambah pengalaman peneliti
tentang hal – hal yang berkaitan dengan paradigma masyarakat terhadap
perguruan tinggi di Desa Itterung Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten
Bone.
b. Bagi masyarakat Desa Itterung diharapkan penelitian ini dapat menjadi
solusi untuk meningkatkan minat melanjutkan ke pendidikan tinggil.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Pendidikan Formal
1. Pengertian Pendidikan Formal
Seringkali masyarakat mendengar istilah pendidikan. Bahkan,
masyarakat yang tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali pun
mengetahui kata pendidikan. Bagi masyarakat awam, pendidikan
diidentikkan dengan sekolah. Akan tetapi, sebenarnya pendidikan tidak hanya
terbatas pada sekolah saja. Mengacu pada UU Sisdiknas nomor 20 tahun
2003 (UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003), pendidikan sendiri dapat
dikatakan sebagai “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”
Telah diketahui bahwa pendidikan dibagi menjadi tiga macam, yaitu
Pendidikan Formal, Pendidikan Nonformal, dan Pendidikan Informal. Tiga
macam pendidikan ini mencakup semua sektor bidang pendidikan.
Pendidikan formal dalam perspektif masyarakat biasanya sering disebut
dengan pendidikan yang ada di sekolah, pendidikan non formal meliputi
pendidikan di pondok pesantren, dan pendidikan informal mencakup
pendidikan dalam keluarga. Semua persepsi masyarakat tentang pendidikan
tidak sepenuhnya salah, karena jika melihat pada UU Sistem Pendidikan
Nasional No 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas No 20 Th 2003), telah disebutkan
bahwa:
a. Pendidikan Formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.
b. Pendidikan Nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal
yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
c. Pendidikan Informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Dilihat dari pengertian diatas, dapat diketahui bahwa pendidikan tidak
terbatas pada pendidikan di lingkungan sekolah saja, yang dalam bahasa
akademik disebut dengan pendidikan formal. Lingkungan keluarga pun bisa
dikategorikan sebagai tempat berlangsungnya pendidikan. Pondok-pondok
pesantren juga bisa dikategorikan sebagai tempat berlangsungya pendidikan.
Akan tetapi dalam skripsi ini yang lebih dibahas khususnya adalah
pendidikan formal yang berarti jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.
Pendidikan adalah sebenarnya proses pembudayaan. Tidak ada suatu
proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa masyarakat, dan sebaliknya
tidak ada suatu proses kebudayaan tanpa pendidikan. Proses pendidikan
hanya dapat terjadi di dalam hubungan antar manusia didalam suatu
masyarakat. Proses pendidikan merupakan suatu proses dan sekaligus suatu
kata benda. Pendidikan sebagai suatu proses merupakan suatu interaksi antara
pendidik dan peserta didik di dalam suatu masyarakat. Pendidikan adalah
suatu proses menaburkan benih-benih budaya dan peradaban manusia yang
hidup dan dihidupi oleh nilai-nilai atau visi yang berkembang dan
dikembangkan di dalam suatu masyarakat. Inilah pendidikan sebagai suatu
proses pembudayaan (Tilaar, 1999).
Proses pendidikan senantiasa berlangsung bagi setiap manusia, baik
yang masih bersekolah maupun tidak, yang berusia muda maupun tidak, yang
perempuan maupun tidak. Menurut Yustina Rostiawati (dalam Andriani,
2015) adalah suatu proses mendidik seseorang manusia menjadi manusia
yang dapat menghargai martabat setiap manusia baik perempuan maupun
laki-laki. Implikasinya, seseorang manusia yang terdidik akan berusaha untuk
senantiasa memperluas cakrawala wawasannya, memperdalam
pengetahuannya, dan berisikan adil terhadap manusia lain tanpa
memperhatikan jender, ras maupun etnis. Pendidikan bukan suatu proses
pengolahan masukan (input) menjadi luaran (output) yang efektif, efisien,
dan sikap pakai untuk dunia kerja dan kebutuhan pasar. Dengan kata lain,
sistem pendidikan dan proses pendidikan tidak sama dengan sistem dan
proses produksi dalam pabrik.
Pendidikan adalah suatu proses mendidik seseorang agar menjadi
pribadi yang lebih baik. Seseorang yang berpendidikan bukan hanya saja
lebih memperdalam ilmu pengetahuannya, akan tetapi juga harus lebih bisa
menghargai orang lain. Pendidikan tidak seperti pabrik produksi yang
mengolah dari barang mentah menjadi barang jadi/siap pakai. Pendidikan
belum tentu menjamin seseorang akan mendapatkan pekerjaan kalau tidak
diimbangi dengan keterampilan.
Pendidikan membantu dan memberdayakan manusia untuk
membangun daya kekuatan yang kreatif, dan mampu melakukan sesuatu.
Salah satu aspek individual dari pemberdayaan adalah agar manusia memiliki
kemampuan berpikir, menguasai ilmu penegetahuan dan tekhnologi,
mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan membangun berbagai
keterampilan. Pendidikan juga membantu dan memberdayakan manusia
untuk membangun kekuatan bersama, solidaritas atas dasar komitmen pada
tujuan dan pengertian yang sama, untuk memecahkan persoalan yang
dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan kata lain,
pendidikan juga memberdayakan manusia untuk membangun komunitas,
memperkuat hubungan antar manusia (Widiastono, 2004).
Pendidikan merupakan sarana paling strategis untuk meningkatkan
kualitas manusia. Artinya, melalui pendidikan, kualitas manusia dapat
ditingkatkan. Dengan kualitas meningkat, produktivitas individual manusia
pun akan meningkat pula. Selanjutnya, jika secara individual produktivitas
manusia meningkat maka secara komunal produktivitas bangsa akan
meningkat. Bahwa untuk meningkatkan produktivitas bangsa, diperlukan
dana besar memang demikian hukum ekonominya.
Sejalan dengan itu, kalangan antropolog dan ilmuwan sosial lainnya
melihat bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan dan
mensosialisasikan manusia sebagaimana yang kita kenal dengan proses
enkulturasi (pembudayaan) dan sosialisasi (proses membentuk kepribadian
dan perilaku seorang anak menjadi anggota masyarakat sehingga anak
tersebut diakui keberadaanya oleh masyarakat yang bersangkutan). Dalam
pengertian ini, pendidikan bertujuan membentuk agar manusia dapat
menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang mampu
bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik secara
pribadi, kelompok, maupun masyarakat secara keseluruhan.
Daoed Joesoef (dalam Andriani, 2015), memandang pendidikan
sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan
pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup
yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena
kehidupan adalah keseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang
kita lakukan sebagai manusia, yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus
dilakukan oleh setiap orang, menetapkan suatu pendirian dalam tatanan
kehidupan bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai
makhluk bio-sosial.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
susasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk meiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Selanjutnya menurut Poerbakawatja Harahap (1981) dalam
Muhibbinsyah (2010), pendidikan adalah usaha secara sengaja dari orang
dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan
yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari segala
perbuatannya…orang dewasa itu adalah orang tua si anak atau orang tua yang
atas dasar tugas dan kedudukannya mempunyai kewajiban untuk mendidik
misalnya guru sekolah, pendeta atau kiai dalam lingkungan keagamaan,
kepala-kepala asrama dan sebagainya.
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik,
luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan
pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap
kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap
kegiatan pendidikan (Tirtarahardja dan Sulo, 2005).
Makna dan tujuan dari pendidikan adalah untuk memerdekakan,
membudayakan, dan memanusiakan manusia termasuk di dalamnya proses
sosialisasi nilai-nilai transenden dan kultural yang diharapkan dapat
senantiasa membantu manusia dalam proses menjadi manusia (on the process
of becoming human), seperti diungkapkan oleh Sastrapratedja. Fuad Hassan
(dalam Andriani, 2015), lebih lanjut mengungkapkan, manusia tidak akan
pernah berhenti berproses melalui pendidikan yang bukan hanya terbatas
sebagai sistem persekolahan dalam pendidikan formal, melainkan juga di
dalam arti dan makna yang lebih luas.
Secara tradisional, pendidikan dipandang sebagai kegiatan yang
bertujuan, sebagai jalan menuju pencapaian tujuan yang terletak di luar
proses pendidikan adalah untuk membantu mencapai kehidupan yang baik,
kebahagiaan, keadaan yang final. Bukan hanya pendidikan yang menjadi
penopang upaya mencapai tujuan itu. Anggapan bahwa pendidikan adalah
cara atau alat menyebabkan diaturnya unsur-unsur pendidikan mengikuti arus
zaman dan tempat ini, seperti kini pendidikan dianggap sebagai cara
mencapai penyesuaian sosial, mencapai profesi yang memadai, atau
mencapai kepemimpinan dalam masyarakat (Freire, 1998).
Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan
informal. Pendidikan formal (PF) yang sering disebut pendidikan
persekolahan berupa jenjang pendidikan yang telah baku. Mulai dari jenjang
sekolah dasar (SD) sampai dengan perguruan tinggi (PT). Pendidikan taman
kanak-kanak masih dipandang sebagai pengelompokkan belajar yang
menjembatani anak dalam suasana hidup dalam keluarga dan di sekolah
dasar. Biasa juga disebut pendidikan prasekolah dasar (Pra-Elementary
School). Menurut UU No. 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional,
dinyatakan setiap warga Negara diwajibkan mengikuti pendidikan formal
minimal sampai tamat SMP (Tirtarahardja dan Sulo, 2005). Pendidikan
nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah
jalur keluarga dan lingkungan.
Sekolah adalah salah satu saluran atau media dari proses pembudayaan
media lainnya adalah keluarga dan institusi lainnya yang ada di masyarakat.
Sekolah adalah media sosialisasi yang lebih luas dari keluarga. Sekolah
mempunyai potensi yang pengaruhnya cukup besar dalam pembentukan
sikap dan perilaku seorang anak, serta mempersiapkannya untuk penguasaan
peranan-peranan baru di kemudian hari di kala anak atau orang tidak lagi
menggantungkan hidupnya pada orang tua atau keluarganya (Narwoko dan
Suyanto, 2010).
2. Komponen Pendidikan
Dalam pendidikan, baik formal, non formal, maupun informal
mempunyai komponen pendidikan. Adapun komponen pendidikan dalam
pendidikan formal meliputi:
a. Kurikulum
Kurikulum merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan
dengan tujuan dan bahan acuan interaksi. Teori yang dikembangkan
dalam komponen ini meliputi tujuan pendidikan, organisasi kurikulum,
isi kurikulum, dan modul pengembangan kurikulum.
b. Belajar
Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan
proses pelaksanaan interaksi ditinjau dari sudut peserta didik. Teori yang
dikembangan meliputi karakteristik peserta didik, jenis belajar, cara
belajar, hirarki, jenis, dan kondisi belajar.
c. Mendidik dan mengajar
Mendidik dan mengajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang
berkaitan dengan proses pelaksanaan interaksi ditinjau dari sudut pndang
pendidik. Teori yang dikembangkan dalam komponen ini meliputi
karakteristik pendidik, karakteristik kegiatan pendidikan dan mengajar,
metode dan teknik mengajar, sistem pengelolaan kelas.
d. Lingkungan pendidikan
Lingkungan pendidikan berkenaan dengan situasi ketika interaksi belajar
mengajar berlangsung, teori ini meliputi perencanaan pendidikan,
manajemen pendidikan, bimbingan konseling, kebijakan pendidikan, dan
ekonomi pendidikan.
e. Evaluasi pendidikan
Evaluasi berkenaan dengan prinsip, mental, teknik, dan prosedur dengan
cara-cara bagaimana pencapaian tujuan pendidikan. Teori yang
dikembangkan dalam komponen ini adalah model-model penilaian,
metode, teknik, instrumen penilaian (Mulyono, 2010).
Umar Tirtarahardja dan La Sula (2000), menyebutkan bahwa unsur
pendidikan mempunyai tujuh bagian, yaitu: Subjek yang dibimbing (peserta
didik), Orang yang membimbing (pendidik), Interaksi antara peserta didik
dengan pendidik (interaksi edukatif), Ke arah mana bimbingan ditujukan
(tujuan pendidik), Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi
pendidikan), Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode),
Tempat dimana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan).
a. Subjek yang dibimbing (Peserta didik)
Unsur ini merupakan unsur yang sangat vital dalam dunia pendidikan.
Peserta didik mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
keberhasilan dunia pendidikan. Kualitas dari pribadi peserta didik ini
yang akan menjadi tolok ukur pendidikan. Pendidikan dianggap gagal
jika apa yang dilakukan peserta didik tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh lembaga pendidikan.
b. Orang yang membimbing (Pendidik)
Pendidik juga mempunyai peran yang sangat penting dalam dunia
pendidikan. Keberhasilan peserta didik tergantung bagaimana cara
mendidik yang dilakukan oleh pendidik. Kepribadian seorang pendidik
juga tak lepas dari perhatian agar peserta didik mencapai keberhasilan
sesuai yang diinginkan. Oleh karena itu pantaslah bahwa pendidik harus
mempunyai syarat-syarat seperti kompetensi paedagogik, kompetensi
sosial, kompetensi profesional, dan kompetensi kepribadian.
c. Interaksi antara pendidik dan peserta didik (Interaksi Edukatif).
Pendidikan bisa dikatakan kondusif bila ada interaksi yang baik antara
pendidik dengan peserta didik. Interaksi antara peserta didik dengan
pendidik sangat diperlukan untuk menjaga hubungan yang harmonis
yang tentunya dalam hubungan ini harus ada batas-batas tertentu.
d. Ke arah mana bimbingan ditujukan (Tujuan Pendidik)
Setiap individu maupun organisasi pasti mempunyai tujuan tertentu.
Begitu juga dengan dunia pendidikan. Pendidik harus mempunyai tujuan
yang jelas dalam mendidik peserta didik. Mendidik dengan tanpa tujuan
bisa diibaratkan orang dengan berjalan ditengah hutan yang mana orang
tersebut tidak mengetahui arah mata angin. Jika pendidik tidak
mempunyai tujuan yang jelas, maka hampir bisa dipastikan bahwa apa
yang diajarkan pendidik kepada peserta didik tidak akan pernah
membekas di dalam diri peserta didik.
e. Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (Materi Pendidikan)
Materi pendidikan menyumbang peran yang besar terhadap keberhasilan
pendidikan. Jika pendidik tidak mempunyai ataupun menguasai materi
yang akan diberikan kepada peserta didik, maka tujuan dari pendidikan
tidak akan tercapai dalam kegiatan tersebut.
f. Cara yang digunakan dalam bimbingan (Alat dan Metode)
Alat dan metode dalam pendidikan mempunyai peran yang tak kalah
pentingnya dalam menunjang keberhasilan pendidikan. Metode dalam
pendidikan bisa sebagai solusi yang jitu bagaimana cara menghadapi
keanekaragaman peserta didik. Mengenai alat dalam pendidikan
memang sangat penting, tapi ada alat yang bisa dialihkan. Misalkan, jika
dalam sekolah tidak mempunyai ruang yang layak bisa dialihkan ke luar
ruangan yang dekat dengan pohon.
g. Tempat dimana peristiwa bimbingan berlangsung (Lingkungan
Pendidikan)
Lingkungan pendidikan sangat mempengaruhi keberhasilan pendidikan.
Jika lingkungan mendukung pendidikan, maka kualitas peserta didik
akan lebih baik. Tingkat pendidikan peserta didik juga lebih tinggi
dibandingkan dengan yang lainnya. Apalagi jika membahas tentang
kepribadian individu. Lingkungan akan sangat mempengaruhi
kepribadian dari individu tersebut. Semakin masyarakat sadar akan
pentingnya pendidikan, maka biasanya kualitas lingkungan semakin
baik. Pemikiran masyarakat juga semakin beragam. Selain itu,
keterbukaan serta toleransi masyarakat juga akan semakin besar.
3. Dampak Pendidikan
Dampak yang sangat kelihatan dari tingkat pendidikan seseorang
adalah (Hukuma, 2017):
1) Pengetahuan secara Intelektual
Secara umum, tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi tingkat
intelektual manusia dalam masing-masing bidang yang dipelajarinya.
Hal ini dikarenakan semakin tinggi pendidikan, maka semakin dalam
pula materi yang disampaikan. Misalnya, lulusan SMA dengan lulusan
SMP tentunya akan berbeda dalam menguasai pelajaran dengan materi
yang sama.
2) Moral secara Umum
Secara umum, tingkat pendidikan akan mempengaruhi moral seseorang.
Misalnya, dalam hal sopan santun, anak yang hanya lulus SD dengan
anak yang lulus SMP lebih sopan anak yang lulus SMP. Hal ini bisa
dimungkinkan hanya karena ketidaktahuan penerapan anak yang lulus
SD tersebut.
3) Kedewasaan dalam menghadapi masalah
Secara umum, tingkat pendidikan juga mempengaruhi seseorang dalam
menghadapi masalah. Seseorang yang mempunyai pendidikan yang
lebih tinggi mempunyai solusi yang lebih baik dan lebih matang
dibandingkan seseorang yang tingkat pendidikannya rendah.
B. Dinamika Sosial Budaya Masyarakat Desa
Masyarakat dan pedesaan atau desa, menurut Shadily (1993) dalam
Huzaini (2014), memiliki dua kata yang mempunya arti tersendiri. Untuk
mendapatkan pengertian dari dua kata ini harus diartikan terlebih dahulu kata
perkata. Misalnya, Masyarakat diartikan golongan besar atau kecil yang terdiri
dari beberapa manusia dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan
dan pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Sementara menurut Koentjaraningrat
(2009), masyarakat dapat juga diartikan sebagai sekumpulan manusia yang saling
berinteraksi.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul” atau
dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”. Ciri-ciri masyarakat adalah (1)
interaksi antar warga-warganya; (2) adat-istiadat, norma, hukum, dan aturan-
aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah laku warga Negara kota atau
desa; (3) kontinuitas waktu; (4) dan rasa identitas kuat yang mengikat semua
warga. Dengan memeperhatikan ciri-ciri tersebut maka secara khusus dapat
dirumuskan definisi mengenai masyarakat yaitu masyarakat adalah kesatuan
hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang
bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama
(Koentjaraningrat, 2009).
Dari pemaparan diatas sudah di jelaskan bahwasanya masyarakat
pedesaan adalah dua kata yang terpisah atau mempunyai arti tersendiri, untuk bisa
mendapatkan pengertian dari dua kata tersebut maka harus diartikan terlebih
dahulu dari kata perkata sehingga dari dua kata tersebut bisa di jadikan satu arti
yang seperti di harapkan.
Paul H. Landis seorang sarjana sosiologi perdesaan dari Amerika Serikat,
sebagaimana dikutip Huzaini (2014), mengemukakan definisi tentang desa dengan
cara membuat tiga pemilahan berdasarkan pada tujuan analisis. Untuk tujuan
analisis statistik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya
kurang dari 2500 orang. Untuk tujuan analisa sosial psikologi, desa didefinisikan
sebagai suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan yang akrab dan
serba informal di antara sesama warganya. Sedangkan untuk tujuan analisa
ekonomi, desa di definisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya
tergantung kepada pertanian.
Pandangan tentang kedua kata diatas yaitu masyarakat pedesaan atau
desa dapat diartikan sebagai masyarakat yang memiliki hubungan yang lebih
mendalam dan erat dan sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar
kekeluargaan. Sebagian besar warga masyarakat hidup dari pertanian. Masyarakat
tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat-istiadat dan
sebagainya. Dengan kata lain masyarakat pedesaan identik dengan istilah gotong
royong yang merupakan kerja sama untuk mencapai kepentingan kepentingan
mereka.
Masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup
bermasyarakat, biasanya tanpak dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasi
dan kondisi tertentu, sebagian karakteristik dapat digeneralisasikan pada
kehidupan masyarakat desa di daerah tertentu. Masyarakat desa juga ditandai
dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu
perasaan setiap warga/anggota masyarakat yang amat kuat dan pada hakekatnya
bahwa seseorang merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat itu sendiri dimanapun ia hidup dicintainya serta mempunyai perasaan
bersedia untuk berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota
masyarakat, karena beranggapan sama-sama sebgai masyarakat yang saling
mencintai saling menghormati, mempunyai hak tanggung jawab yang sama
terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama di dalam masyarakat.
C. Penelitian Terdahulu
Penelitian Makhsus (2013), dengan judul Persepsi Masyarakat Tentang
Pentingnya Pendidikan Formal 12 Tahun (Studi Kasus Kampung Pejamuran,
Desa Pasilian, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang), memperoleh temuan
di lapangan melalui observasi memperlihatkan bahwa masyarakat pejamuran
memiliki kehidupan yang membudaya dan memiliki alam yang asri, serta
memiliki keadaan ekonomi dengan hirarki yang beragam. Selain itu dari hasil
wawancara ditemukan terdapat persepsi negatif yang ditunjukan oleh masyarakat
kampung pejamuran. Bahkan lebih beragam lagi hasil temuannya ketika
dilapangan setelah menyebar angket yang menunjukan bahwa terdapat 47,5%
persepsi positif, 52,5% persepsi negatif yang ditunjukan oleh masyarakat
kampung pejamuran. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat persepsi
persepsi negatif 52,5% dan persepsi positif 47,5% yang berkembang didalam
persepsi dan polapikir masyarakat kampung pejamuran. Diindikasi terdapat
persepsi negatif dan positif yang ditemukan oleh peneliti didalam pola pikir
masyarakat kampung pejamuran tentang pentingnya pendidikan formal 12 tahun
dikampung pejamuran, desa pasilian, kecamatan kronjo.
Penelitian Gustian (2016), dengan judul Persepsi Masyarakat Terhadap
Pendidikan Perguruan Tinggi (Studi Deskriptif Tentang Kurangnya Minat
Pendidikan Ke Jenjang Perguruan Tinggi Pada Pemuda dan Pemudi Kampung
Pungkur Loji Desa Cicalengka Kulon Kecamatan Cicalengka Kabupaten
Bandung), menemukan bahwa kurangnya minat terhadap pendidikan perguruan
tinggi pada pemuda dan pemudi dikarenakan oleh himpitan ekonomi, serta faktor
lingkungan yang dimana banyaknya pengangguran, penggunaan minuman keras
di kalangan masyarakat dan pemuda, dan banyaknya pernikahan diusia dini yang
mengharuskan masyarakat untuk bekerja sehingga lupa akan kewajibannya untuk
terus belajar. Untuk peran pemerintah penulis merasa bahwa pemerintah kurang
dalam penanggunangan terhadap permasalahan pendidikan, Pemerintah desa
khususnya tidak menyikapi permasalahan di pungkur loji dengan sungguh-
sungguh.
Penelitian Irwan (2017), dengan judul Persepsi Keluarga Petani Terhadap
Pendidikan Formal Anak Di Desa Sungai Toman Kecamatan Salatiga Kabupaten
Sambas, menemukan bahwa: (1) keluarga petani di Desa Sungai Toman masih
memiliki persepsi/pandangan yang terbelakang terhadap pendidikan. Banyak
keluarga petani memiliki persepsi bahwa pendidikan kurang penting, banyak dari
mereka menganggap pendidikan yang didapatkan sudah cukup serta lebih
menginginkan anaknya bekerja mencari uang dan kurang mementingkan
pendidikan. (2) banyak anak-anak petani yang tidak meneruskan pendidikan
mereka ke tingkat disebabkan oleh beberapa faktor yang melatar belakangi
pendidikan mereka sehingga menyebabkan mereka berhenti sekolah dan lebih
memilih untuk bekerja. Adapun faktor yang melatar belakangi anak di Desa
Sungai Toman putus/tidak sekolah yaitu: Latar belakang pendidikan orangtua,
lemahnya ekonomi keluarga, kurangnya perhatian orangtua terhadap pendidikan,
kurangnya minat anak untuk sekolah dan Kondisi tempat tinggal.
Penelitian Andriani (2017), dengan judul Persepsi Masyarakat Desa
Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi
Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar
Maligas Kab. Simalungun), menemukan bahwa masalah ekonomi adalah satu
penghambat untuk anak Parbutaran bisa sekolah. Selain masalah ekonomi, faktor
yang lain yang menyebabkan banyaknya anak tidak melanjutkan sekolah ke
jenjang yang lebih tinggi lagi adalah pandangan orang tua yang menganggap
pendidikan bukanlah sesuatu yang di nomorsatukan. Menurut sebagian orang tua
pendidikan itu belum tentu bisa menjamin masa depan dalam arti mendapat
pekerjaan dan gaji yang sesuai nantinya.
Penelitian Hukuma (2017), dengan judul Persepsi Masyarakat Pedesaa
terhadap Pendidikan Tinggi di Kabupaten Nganjuk (Studi Analsisi Teori George
herbert Mead), menemukan bahwa: (1) tingkat pendidikan formal masyarakat
Desa Banjarsari masih rendah, dimana pendidikan SD sebanyak 612 orang dengan
prosentase 22,18%, SMP sebanyak 739 orang dengan prosentase 26,78%, SMA
sebanyak 1094 orang dengan prosentase 39,65%, Perguruan Tinggi sebanyak 142
orang dengan prosentase 5,14%, dan tidak sekolah sebanyak 172 dengan
prosentase 6,23%. (2) persepi masyarakat pedesaan di Desa Banjarsari terhadap
pendidikan tinggi cukup baik, namun untuk merealisasikan anaknya melanjutkan
ke perguruan tinggi kurang. (3) keterkaitan makna persepsi masyarakat pedesaan
pada pendidikan tinggi dan konsep teori George Herbert Mead, dapat di lihat dari
faktor internal yaitu tingkat ekonomi dan latar belakang pendidikan orang tua,
sedangkan faktor eksternal yaitu lingkungan.
D. Kerangka Pikir
Gambar.1 Kerangka Pikir
Desa
Dinamika Pendidikan
Pendidikan Informal
Pendidikan Formal Pendidikan Nonformal
Paradigma Masyarakat
Tingkat Pendidikan Masyarakat
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
deskriptif. Sementara jenis penelitian ini adalah
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada
manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang- orang
tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (Moleong, 2010).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Desa Itterung Kecamatan Tellu Siattinge
Kabupaten Bone. Waktu penelitian dimulai pada Mei 2019 sampai dengan Juli
2019.
C. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua yaitu, data primer dan
data sekunder.
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung (dari
tangan pertama). Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil
wawancara dengan informan penelitian terntang permasalahan penelitian.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang
sudah ada. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari hasil
dokumentasi. Dalam penelitian ini data sekunder seperti profil desa, data
jumlah anak yang bersekolah, dan lain sebagainya.
D. Metode Pengumpulan Data
1. Observasi
Menurut Joko Subagyo dalam Hukama (2017), observasi adalah
pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena
social dengan gejala-gejala psikis untuk kemmudian dilakukan pencatatan.
Observasi sebagai alat pengumpulan data dapat dilakukan secara
spontan dapat pula dengan daftar isian yang telah disiapkan sebelumnya. Pada
dasarnya teknik observasi digunakan untuk melihat atau mengamati
perubahan fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang yang kemudia
dapat dilakukan penilaian atau perubahan tersebut. Dalam melakukan
observasi terhadap fenomena atau peristiwa yang terjadi dalam situasi sosial,
penelitian melakukan pencatatan data menjadi database kualitatif. Dalam hal
ini, seorang dituntut untuk sebanyak-banyaknya mengumpulkan informasi
yang berhubungan dengan fokus masalah yang diteliti (Iskandar, 2009).
Observasi akan dilakukan di desa Itterung Kecamatan Tellu Siattinge
Kabupaten Bone.
2. Wawancara
Menurut Joko Subagyo dalam Hukama (2017), wawancara adalah suatu
kegiatan dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan
mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada responden. Wawancara
bermakna berhadapan langsung antara interviewer dengan responden,
kegiatannya dilakukan secara lisan. Adapun model wawancara yang dapat
digunakan oleh peneliti kualitatif dalam melakukan penelitian, sebagai
berikut:
a. Wawancara terstruktur
Wawancara terstruktur adalah seseorang pewawancara atau peneliti
telah menentukan format masalah yang akan diwawancarai, yang
berdasarkan masalah yang akan diteliti.
b. Wawancara tidak terstruktur
Wawancara tidak terstruktur merupakan seseorang peneliti bebas
menentukan fokus masalah wawancara, kegiatan wawancara mengalir
seperti dalam percakapan biasa, yaitu mengikuti dan menyelesaikan
dengan situasi dan kondisi responden (Iskandar, 2009).
Hal-hal yang hendak diungkapkan dalam penelitian ini akan sulit
dicapai bila keterangan-keterangan yang akan dikumpulkan hanya
melalui survei. Oleh karena itu, teknik pengumpulan data yang akan
digunakan adalah wawancara mendalam. Dalam hal ini peneliti akan
menggunakan pedoman wawancara, sehingga para masyarakat pedesaan
yang akan bersedia membuka diri dan menyampaikan berbagai
informasi. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini ditujukan
kepada informan, dengan kriteria: seorang masyarakat Desa yang sudah
berkeluarga dan mempunyai anak yang sudah lulus SD. Informan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Kepala Desa Itterung Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone
2) Masyarakat desa yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak yang
sudah lulus SD
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan penelaahan terhadap refrensi-refrensi yang
berhubungan dengan fokus permasalahan penelitian. Dokumen- dokumen
yang di maksud adalah dokumen pribadi, dokumen resmi, referensi-referensi,
foto-foto, rekaman kaset. Data ini dapat bermanfaat bagi peneliti untuk
penguji, menafsirkan bahkan utnuk meramalkan jawaban dari fokus
permasalahan penelitian (Iskandar, 2009).
Metode atau teknik dokumenter adalah teknik pengumpulan data dan
informasi melalui pencarian dan penemuan bukti-bukti. Metode dokumenter
ini merupakan metode pengumpulan data yang berasal dari sumber non
manusia. Sumber-sumber informasi non manusia ini seringkali di abaikan
dalam penelitian kualitatif, padahal sumber ini kebanyakan sudah tersedia
akan siap pakai. Dokumen berguna karena dapat memberikan latar belakang
yang lebih luas mengenai pokok penelitian (Sofa dalam Hukuma, 2017).
E. Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif menurut Miles dan Hiberman dalam Sugiyono,
(2012), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan
secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga
datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data
display, dan consclusion drawing/verification.
Gambar 2 Model Analisis Data
Proses analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan empat tahap yaitu:
1. Pengumpulan Data
Data yang didapat dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi dicatat
pada catatan lapangan yang terdiri atas 2 bagian yaitu bagian deskriptif dan
bagian reflektif. Pengertian catatan deskriptif yaitu catatan alami, (merupakan
catatan mengenai apa yang disaksikan, didengar, dilihat dan dialammmi
sendiri oleh peneliti tanpa adanya penafsiran dan pendapat dari peneliti
terhadap fenomena yang dialaminya). Catatan reflektif adalah catatan yang
isinya kesan, pendapat, komentar serta tafsiran peneliti mengenai apa
penemuan yang dijumpai. Selain itu merupakan bahan rencana pengumpulan
data untuk tahap selanjutnya.
2. Reduksi Data
Selanjutnya sesudah data terkumpul dibuat reduksi data, untuk menentukan
data yang relevan dan mempunyai maka, memfokuskan data yang mengarah
pada pemecahan masalah, penemuan, pemaknaan atau untuk menjawab
pertanyaan penelitian. Selanjutnya melakukan penyederhanaan serta
menyususn secara sistematis dan menjabarkan hal-hal penting mengenai hasil
penemuan dan maknanya. Dalam proses reduksi data, hanya temuan data atau
temuan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian yang direduksi.
Sedangkan untuk data yang tidak ada kaitannya dengan masalah penelitian
dibuang. Atau dengan kata lain reduksi data dipakai untuk analisis yang
mengarahkan, menggolongkan, menajamkan dan membuang yang tidak
penting danmengorganisasikan data. Dengan begitu maka akan
mempermudahkan peneliti untuk menarik sebuah kesimpulan.
3. Penyajian Data
Penyajian data bisa berbentuk tulisan, gambar, tabel dan grafik. Tujuan
penyajian data untuk menggabungkan informasi sehingga bisa memberikan
gambaran terhadap keadaan yang terjadi. Dalam hal ini, supaya peneliti tidak
mengalami kesulitan dalam penguasaan informasi secara baik dan menyeluruh
dan juga bagian-bagian tertentu dari hasil peneltian. Maka dari itulah peneliti
harus membuat naratif, grafik atau matrik untuk mempermudah penguasaan
data atau informasi tersebut. Dengan cara seperti itu maka peneliti bisa tetap
menguasai data dan tidak tenggelam dalam kesimpulan informasi yang bisa
membosankan. Hal seperti ini dilakukan karena data yang tersususun kurang
baik dapat mempengaruhi peneliti dalam mengambil kesimpulan yang
memihak dan dalam bertindak secara ceroboh, dan tidak mendasar. Mengenai
display data harus dissadari sebagai bagian di dalam analisis data.
4. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan dilakukan selama berlangsungnya penelitian, seperti
halnya proses reduksi data, sesudah data telah terkummpul memadai maka
akan dapat diperoleh kesimpulan sementara, dan sesudah data benar-benar
lengkap maka dapat diperoleh kesimpulan akhir.
F. Teknik Keabsahan Data
Pemeriksaan terhadap keabsahan data pada dasarnya, selain digunakan
untuk menyanggah balik yang dituduhkan kepada penelitian kualitatif yang
mengatakan tidak ilmiah, juga merupakan sebagai unsur yang tidak terpisahkan
dari tubuh pengetahuan penelitian kualitatif (Moleong, 2010). Keabsahan data
dilakukan untuk membuktikan apakah penelitian yang dilakukan benar-benar
merupakan penelitian ilmiah sekaligus untuk menguji data yang diperoleh. Uji
keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji, credibility, transferability,
dependability, dan confirmability (Sugiyono, 2012).
Agar data dalam penelitian kualitatif dapat dipertanggungjawabkan
sebagai penelitian ilmiah perlu dilakukan uji keabsahan data. Adapun uji
keabsahan data yang dapat dilaksanakan.
1. Credibility
Uji credibility (kredibilitas) atau uji kepercayaan terhadap data hasil
penelitian yang disajikan oleh peneliti agar hasil penelitian yang dilakukan
tidak meragukan sebagai sebuah karya ilmiah dilakukan.
a. Perpanjangan Pengamatan
Perpanjangan pengamatan dapat meningkatkan kredibilitas/
kepercayaan data. Dengan perpanjangan pengamatan berarti peneliti
kembali ke lapangan, melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan
sumber data yang ditemui maupun sumber data yang lebih baru.
Perpanjangan pengamatan berarti hubungan antara peneliti dengan
sumber akan semakin terjalin, semakin akrab, semakin terbuka, saling
timbul kepercayaan, sehingga informasi yang diperoleh semakin banyak
dan lengkap.
Perpanjangan pengamatan untuk menguji kredibilitas data
penelitian difokuskan pada pengujian terhadap data yang telah diperoleh.
Data yang diperoleh setelah dicek kembali ke lapangan benar atau tidak,
ada perubahan atau masih tetap. Setelah dicek kembali ke lapangan data
yang telah diperoleh sudah dapat dipertanggungjawabkan/benar berarti
kredibel, maka perpanjangan pengamatan perlu diakhiri.
b. Meningkatkan kecermatan dalam penelitian
Meningkatkan kecermatan atau ketekunan secara berkelanjutan
maka kepastian data dan urutan kronologis peristiwa dapat dicatat atau
direkam dengan baik, sistematis. Meningkatkan kecermatan merupakan
salah satu cara mengontrol/mengecek pekerjaan apakah data yang telah
dikumpulkan, dibuat, dan disajikan sudah benar atau belum.
Untuk meningkatkan ketekunan peneliti dapat dilakukan dengan
cara membaca berbagai referensi, buku, hasil penelitian terdahulu, dan
dokumen-dokumen terkait dengan membandingkan hasil penelitian yang
telah diperoleh. Dengan cara demikian, maka peneliti akan semakin
cermat dalam membuat laporan yang pada akhirnya laporan yang dibuat
akan smakin berkualitas.
c. Triangulasi
Wiliam Wiersma (1986) mengatakan triangulasi dalam pengujian
kredibilitas diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber
dengan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber,
triangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu (Sugiyono, 2007:273).
1) Triangulasi Sumber Untuk menguji kredibilitas data dilakukan
dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa
sumber. Data yang diperoleh dianalisis oleh peneliti sehingga
menghasilkan suatu kesimpulan selanjutnya dimintakan kesepakatan
(member check) dengan tiga sumber data (Sugiyono, 2012).
2) Triangulasi Teknik Untuk menguji kredibilitas data dilakukan
dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik
yang berbeda. Misalnya untuk mengecek data bisa melalui
wawancara, observasi, dokumentasi. Bila dengan teknik pengujian
kredibilitas data tersebut menghasilkan data yang berbeda, maka
peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang
bersangkutan untuk memastikan data mana yang dianggap benar
(Sugiyono, 2012).
3) Triangulasi Waktu Data yang dikumpulkan dengan teknik
wawancara di pagi hari pada saat narasumber masih segar, akan
memberikan data lebih valid sehingga lebih kredibel. Selanjutnya
dapat dilakukan dengan pengecekan dengan wawancara, observasi
atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda. Bila hasil uji
menghasilkan data yang berbeda, maka dilakukan secara berulang-
ulang sehingga sampai ditemukan kepastian datanya (Sugiyono,
2012).
d. Analisis Kasus Negatif
Melakukan analisis kasus negatif berarti peneliti mencari data
yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan data yang telah
ditemukan. Bila tidak ada lagi data yang berbeda atau bertentangan
dengan temuan, berarti masih mendapatkan data-data yang bertentangan
dengan data yang ditemukan, maka peneliti mungkin akan mengubah
temuannya (Sugiyono, 2012).
e. Menggunakan Bahan Referensi
Yang dimaksud referensi adalah pendukung untuk membuktikan
data yang telah ditemukan oleh peneliti. Dalam laporan penelitian,
sebaiknya data-data yang dikemukakan perlu dilengkapi dengan foto-foto
atau dokumen autentik, sehingga menjadi lebih dapat dipercaya
(Sugiyono, 2012).
f. Mengadakan Membercheck
Tujuan membercheck adalah untuk mengetahui seberapa jauh data
yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Jadi
tujuan membercheck adalah agar informasi yang diperoleh dan akan
digunakan dalam penulisan laporan sesuai dengan apa yang dimaksud
sumber data atau informan (Sugiyono, 2012).
2. Transferability
Transferability merupakan validitas eksternal dalam penelitian
kualitatif. Validitas eksternal menunjukkan derajat ketepatan atau dapat
diterapkannya hasil penelitian ke populasi di mana sampel tersebut diambil
(Sugiyono, 2012).
Pertanyaan yang berkaitan dengan nilai transfer sampai saat ini masih
dapat diterapkan/dipakai dalam situasi lain. Bagi peneliti nilai transfer sangat
bergantung pada si pemakai, sehingga ketika penelitian dapat digunakan
dalam konteks yang berbeda di situasi sosial yang berbeda validitas nilai
transfer masih dapat dipertanggungjawabkan.
3. Dependability
Reliabilitas atau penelitian yang dapat dipercaya, dengan kata lain
beberapa percobaan yang dilakukan selalu mendapatkan hasil yang sama.
Penelitian yang dependability atau reliabilitas adalah penelitian apabila
penelitian yang dilakukan oleh orang lain dengan proses penelitian yang sama
akan memperoleh hasil yang sama pula.
Pengujian dependability dilakukan dengan cara melakukan audit
terhadap keseluruhan proses penelitian. Dengan cara auditor yang independen
atau pembimbing yang independen mengaudit keseluruhan aktivitas yang
dilakukan oleh peneliti dalam melakukan penelitian. Misalnya bisa dimulai
ketika bagaimana peneliti mulai menentukan masalah, terjun ke lapangan,
memilih sumber data, melaksanakan analisis data, melakukan uji keabsahan
data, sampai pada pembuatan laporan hasil pengamatan.
4. Confirmability
Objektivitas pengujian kualitatif disebut juga dengan uji
confirmability penelitian. Penelitian bisa dikatakan objektif apabila hasil
penelitian telah disepakati oleh lebih banyak orang. Penelitian kualitatif uji
confirmability berarti menguji hasil penelitian yang dikaitkan dengan proses
yang telah dilakukan. Apabila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses
penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar
confirmability.
Validitas atau keabsahan data adalah data yang tidak berbeda antara
data yang diperoleh oleh peneliti dengan data yang terjadi sesungguhnya pada
objek penelitian sehingga keabsahan data yang telah disajikan dapat
dipertanggungjawabkan.
G. Etika Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan rekomendasi dari institusi
tempat penelitian. Penelitian menggunakan etika sebagai berikut (Loiselle et al.,
(2004) dalam Sanyoto (2012):
1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
Peneliti mempertimbangkan hak-hak subyek untuk mendapatkan
informasi yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta memiliki
kebebasan menentukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk berpartisipasi
dalam kegiatan penelitian (autonomy). Beberapa tindakan yang terkait dengan
prinsip menghormati harkat dan martabat manusia, adalah: peneliti
mempersiapkan formulir persetujuan subyek (informed consent).
2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect for privacy
and confidentiality)
Pada dasarnya penelitian akan memberikan akibat terbukanya
informasi individu termasuk informasi yang bersifat pribadi, sehingga peneliti
memperhatikan hak-hak dasar individu tersebut.
3. Keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness)
Penelitian dilakukan secara jujur, hati-hati, profesional,
berperikemanusiaan, dan memperhatikan faktor-faktor ketepatan,
keseksamaan, kecermatan, intimitas, psikologis serta perasaan religius subyek
penelitian. Menekankan kebijakan penelitian, membagikan keuntungan dan
beban secara merata atau menurut kebutuhan, kemampuan, kontribusi dan
pilihan bebas masyarakat. Peneliti mempertimbangkan aspek keadilan gender
dan hak subyek untuk mendapatkan perlakuan yang sama baik sebelum,
selama, maupun sesudah berpartisipasi dalam penelitian.
4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms
and benefits)
Peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian
guna mendapatkan hasil yang bennanfaat semaksimal mungkin bagi subyek
penelitian dan dapat digeneralisasikan di tingkat populasi (beneficence).
Peneliti meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subyek
(nonmaleficence).
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kecamatan Tellu Siatingge
Kecamatan Tellusiattinge merupakan salah satu dari 27 kecamatan yang
ada di Kabupaten Bone dan merupakan salah satu kecamatan yang memiliki
banyak Desa dengan jumlah 17 dengan luas wilayah 146,88 Km. Kecamatan
Tellusiattinge berjarak 16 km dari ibukota Kabupaten, sedangkan jarak dengan
ibukota provinsi 173 km. Adapun batas-batas wilayah kecamatan Tellusiatinge
sebagai berikut:
Sebelah utara : Berbatasan dengan Kecamatan Cenrana dan Teluk Bone
Sebelah timur : Berbatasan dengan Kecamatan Awangpone dan Palakka
Sebelah barat : Berbatasan dengan Kecamatan Amali dan Dua Boccoe
Sebelah selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Ulaweng
Luas wilayah yang dimiliki suatu daerah merupakan salah satu faktor
penentu dalam meningkatkan produksi dan produktivitas dari wilayah tersebut.
Adanya lahan yang luas serta di dukung oleh kondisi tanah yang subur merupakan
faktor pendukung dalam pengembangan serta peningkatan produksi disekitar
pertanian/peternakan. Adapun luas wilayah kecamatan Tellusiattinge per Desanya
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1
Luas Wilayah Desa di Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone Kelurahan/Desa Luas (km2)
Tokaseng 4,92 km2 Otting 7,00 km2 Sijelling 8,39 km2 Ajjalireng 5,00 km2 Waji 15,32 km2 Patanga 7,00 km2 Mattoanging 7,30 km2 Pongka 4,00 km2 Lea 7,00 km2 Itterung 14,02 km2 Padaidi 7,00 km2 Lanca 6,82 km2 Lappae 6,00 km2 Ulo 12,00 km2 Tajong 11,00 km2 Palongki 14,50 km2 Lamuru 9,61 km2
Sumber: BPS Kab. Bone, 2013
Penduduk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan
suatu daerah, penduduk dengan jumlah tinggi disuatu daerah padat, diimbangi
dengan kualitas sumber daya manusia yang handal diberbagai bidang akan
mempercepat kemajuan suatu daerah dan sebaliknya, tak terkecuali di Kecamatan
Tellusiattinge. Oleh karena itu pengembangan dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia sangat penting untuk dapat meningkatkan persaingan hingga
menjadi sumber daya yang handal dalam pembangunan daerah. Adapun kondisi
penduduk kecamatan Tellusiattinge Kabupaten Bone berdasarkan data sensus
2012 dan penyebarannya di 17 kelurahan/desa yaitu sebanyak 49.236 jiwa dengan
jumlah kepala keluarga yakni 10.075.
Tabel 2
Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga per Desa di Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone
Kelurahan/Desa Penduduk Kepala Keluarga Tokaseng 2.365 jiwa 495 Otting 2.632 jiwa 502 Sijelling 3.594 jiwa 776 Ajjalireng 1.744 jiwa 412 Waji 3.574 jiwa 877 Patanga 2.158 jiwa 426 Mattoanging 2.540jiwa 516 Pongka 1.840 jiwa 501 Lea 2.228 jiwa 480 Itterung 3.367 jiwa 604 Padaidi 1.788 jiwa 351 Lanca 2.375 jiwa 510 Lappae 1.386 jiwa 332 Ulo 6.302 jiwa 1.078 Tajong 2.420 jiwa 459 Palongki 2.457 jiwa 522 Lamuru 6.464 jiwa 1234 Jumlah 49.236 jiwa 10.075
Sumber: BPS Kab. Bone, 2013
Ketersediaan sarana pendidikan dallam suatu wilayah sangat diperlukan.
Hal ini bertujuan dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sarana
pendidikan berupa sekolah akan membantu masyarakat dalam menuntut ilmu serta
memperlancar proses belajar mengajar dalam upaya peningkatan kecerdasan
bangsa dan negara. pendapat ini senada dengan pendapat Mubyarto (1986) bahwa
tingkat pendidikan peternak akan mempengaruhi pola berpikir, kemampuan
belajar, dan taraf intelektual. Dengan pendidikan formal maupun informal maka
peternak akan memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas sehingga lebih
mudah merespon suatu inovasi yang menguntungkan bagi usahanya.
Tabel 3
Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone Sarana Pendidikan Jumlah (Unit) Persentase (%)
TK 12 22% SD/Sederajat 34 63% SMP/Sederajat 6/ 11% SMA/Sederajat 2 4% Jumlah 54 100%
Sumber: BPS Kab. Bone, 2013
Tabel di atas menunjukkan bahwa sarana pendidikan yang terdapat di
Kecamatan Tellusiattinge Kabupaten Bone sudah cukup tersedia. Hal ini dapat
dilihat dari sarana pendidikan yang tersedia yaitu ada taman kanak-kanak (TK)
sampai dengan sekolah menengah atas (SMA). Jumlah sarana pendidikan yang
terbanyak yaitu sekolah dasar (SD)/ sederajat sebanyak 34 buah dengan
persentase 63% sedangkan yang paling sedikit yaitu sekolah menengah atas
(SMA)/ sederajat sebanyak 2 buah dengan persentase 4%.
Demi kelancaran masyarakat dalam beribadah, maka ketersedian sarana
dan prasarana ibadah sangat diperlukan. Sarana peribadatan yang terdapat di
Kecamatan Tellusiattinge Kabupaten Bone dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 4 Jumlah Sarana Peribadatan di Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone
Sarana Peribadatan Jumlah (Unit) Persentase (%) Masjid 23 45% Mushollah 28 55% Jumlah 51 100%
Sumber: BPS Kab. Bone, 2013
Tabel di atas menunjukkan bahwa total sarana peribadatan yang terdapat
di Kecamatan Tellusiattinge Kabupaten Bone yaitu sebanyak 51 buah yang
dimana dari 51 buah sarana peribadatan itu semuanya tempat ibadah bagi orang
muslim yaitu berupa mesjid dan mushollah, masing masing sebanyak 23 mesjid
dengan persentase 45% dan mushollah 28 buah dengan persentase 55%. Hal ini
disebabkan karena sebagian besar masyarakat di Kecamatan Tellusiattinge
Kabupaten Bone beragama Islam.
Untuk menjaga dan meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat maka
ketersediaan sarana kesehatan sangat diperlukan. Pelayanan kesehatan pada
masyarakat akan membantu menciptakan masyarakat yang sehat dan berkualitas.
Adapun sarana kesehatan yang terdapat di Kecamatan Tellusiattinge Kabupaten
Bone dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 5
Jumlah Sarana Kesehatan di Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone Sarana Kesehatan Jumlah (Unit) Persentase (%)
Puskesmas 1 6% Puskesmas Pembantu (Pustu) 6 33% Puskesdes 11 61% Jumlah 18 100% Sumber: BPS Kab. Bone, 2013
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah sarana kesehatan yang terdapat
di Kecamatan Tellusiattinge Kabupaten Bone sudah cukup tersedia hampir setiap
desa memiliki sarana kesehatan. Hal ini terlihat pada sarana kesehatan yang
tersedia mulai dari puskesmas sampai puskesdes.
B. Gambaran Umum Desa Itterung
Desa Itterung adalah salah satu desa Itterung Kecamatan Tellu Siattinge
Kabupaten Bone dengan luas wilayah 14,02km2 dan berada di ketinggian 35
mdpl. Desa Itterung memiliki 4 dusun. Desa Itterung memiliki jumlah penduduk
sebanyak 2.568 jiwa. 1.157 jiwa di antaranya adalah laki – laki dan 1.411 jiwa
adalah perempuan. Berikut akan disajikan data pendidikan di desa Itterung.
Tabel 6 Data Rasio Murid dan Guru di Desa Itterung Kecamatan Tellu Siattinge
Kabupaten Bone Jenjang Jumlah Murid Guru Rasio
L P L P SD 1 64 63 5 2 18,14 MI 1 59 75 1 10 12,18
SMP - - - - - -
MTs 1 30 27 12 - 4,75 SMA - - - - - -
SMK - - - - - -
MA - - - - - -
Sumber: BPS Kab. Bone, 2017
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa di desa Itterung terdapat 3
unit sekolah yaitu SD, MI dan MTs. Di desa Itterung tidak terdapat SMP,
SMA, SMK dan MA.
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Desa Itterung merupakan sebuah desa yang secara umum masyarakat masih
belum begitu menganggap penting akan dunia pendidikan. Ini diketahui dari
kesadaran masyarakat akan dunia pendidikan, yang mana masih banyak
ditemukan anak yang hanya sekedar lulus Sekolah Dasar, dan sangat sedikit yang
meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi. Fakta ini didapat dari hasil survey ke
sekolah dasar berdasarkan lulusan lima tahun yang lalu sebagaimana tabel
dibawah ini.
Tabel 3 Jumlah Anak SD yang Melanjutkan Sekolah
Tahun Jumlah Lulusan Jumlah yang Melanjutkan Sekolah 2013 24 7
2014 27 12 2015 25 10
2016 23 8
2017 25 11
Sumber: data primer diolah
Data diatas menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat terhadap
pendidikan formal masih minim. Terbukti dari 124 siswa kelas enam selama lima
tahun lalu hanya 48 siswa yang melanjutkan sekolah ke sekolah menengah
pertama. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya minat masyarakat dalam
pendidikan formal. Masyarakat pun kurang begitu mengetahui.
Dalam penelitian yang dilakukan kurang lebih 14 hari bisa diambil
kesimpulan dalam penemuan data bahwa masyarakat masih kurang peduli
terhadap pendidikan formal. Masyarakat belum sepenuhnya mengerti akan arti
dari pendidikan, utamanya pendidikan formal. Ini dibuktikan dengan hasil
wawancara peneliti dengan beberapa warga yang umumnya mereka mengatakan
bahwa:
Nama Inisial Pak (AY), kepala desa Itterung mengatakan bahwa:
“begini nak, masyarakat di desa Itterung ini, masih banyak yang ndak teruskang sekolahna ke jenjang yang lebih tinggi. Kebanyakan masyarakat di sini hanya lulusan SD saja. Habis SD bantu orang tua di sawah. Orang tua di sini pikirannya kalua lulusan SMP atau SMA belum tentu dapat pekerjaan, jadi untuk apa lanjut tinggi tinggi, cukup SD saja, atau untungmi kalua sampai SMP, setelah itu jadi petani.”
Nama Inisial (AR), warga desa Itterung mengatakan bahwa:
“Anak anak di sini yang kulihat mereka mauji sekolah tinggi tinggi, tapi kembali lagi ke orang tuana. Yang kulihat itu anak anak di sini kalua pulang langsung langsung dikasih kerjaan, jadi waktu untuk belajar tidak ada. Ada juga karena masalah ekonomi to, biaya kurang.” Nama Inisial (ZR), warga desa Itterung mengatakan bahwa:
“karena saya tidak punya sapi dan sawah yang saya kelola jadi tidak bisa menyekolahkan anakku sampai ke perguruan tinggi
Melalui perbincangan diatas dapat diambil gambaran bahwa dalam
mendidik anak, masyarakat desa Itterung masih kurang mempedulikan pola
pendidikan anak. Anak terlalu dibiarkan bebas ketika waktu siang hari, sehingga
untuk masalah kebersihan dirinya sendiri pun anak kurang memperhatikan,
bahkan, banyak ditemukan setelah sekolah anak hanya berganti pakaian,
kemudian bermain sampai terlalu larut sore. Semua ini mempengaruhi minat
inisial nama (ZL) warga desa itterung mengatakan bahwa : bahwa pendidikan itu
tidak penting karna dia berpendapat buat apa kuliah mengabiskan uang dan
belum tentu juga mendapatkan pekerjaan sesuai dengan ke inginan cukup SD
atau SMP itu sudah cukup karna cukup pintar membaca menerutnya sudah
.cukup belajar anak. Selain itu juga minat anak sendiri untuk melanjutkan ke
jenjang sekolah yang lebih tinggi juga masih minim. Terbukti dari lima tahun
berlalu yang meneruskan sekolah ke Sekolah Menengah Pertama selama lima
tahun lalu selalu kurang dari 50%. Hal ini menunjukkan semangat dan kesadaran
akan pendidikan formal dari anak maupun orang tua masih sangat kurang.
Sementara itu, banyak persepsi anak dalam memandang dunia
pendidikan. Untuk saat ini, kebanyakan anak masih ingin melanjutkan pendidikan
minimal sampai SMP. Setelah SMP banyak dari mereka yang ingin ke pondok
pesantren, ada juga yang ingin bekerja membantu orang tua mereka. Pemikiran
anak-anak desa Itterung tentang pentingnya pendidikan formal sedikit banya
dipengaruhi oleh pemikiran orang tua yang masih memandang bahwa pendidikan
formal tidak begitu penting. Bisa membaca, menulis, dan menghitung bagi
masyarakat desa Itterung sudah dianggap cukup untuk bekal hidup dalam
masyarakat. Ada kemungkinan pemikiran seperti inilah yang membuat anak-anak
desa Itterung kurang bersemangat dalam belajar di sekolah. Hal ini terlihat saat
peneliti mengajar anak-anak desa Itterung, ketika peneliti bertanya tentang
sekolah, apakah mereka suka sekolah atau tidak, banyak jawaban mereka tentang
hal ini.
Informan Nama (YK)
YK Merupakan kepala di desa itterung YK mempunyai anak 3 dan semuanya melanjutkan sekolah keperguruan tinggi.
Wawancara: pendidikan menurut saya itu sangat penting karena pendidikan merupakan salah satu cara untuk mengubah status sosial dan keluar dari kemiskinan.
Informan Nama Inisial: VD
VD merupakan aparat desa mempunyai anak 2 semuanya juga melanjutkan sekolah
Wawancara: kalau berbicara soal hambatan hambatan yang saya hadapi hanya faktor ekonomi makanya saya selalu bekerja keras bagaimana bisa menyekolahkan anak saya sampai selesai, walaupun itu berat tapi saya sebagai orang tua harus tetap berusaha agar anak saya bisa jauh lebih baik masa depannya.
Wawancara dengan P iswa kelas 6, mengatakan “Kalau saya ingin
meneruskan sekolah lagi ke SMP, tapi setelah itu ndak tahu kah.” Memang si
anak mengatakan akan ke SMP, akan tetapi setelahnya belum mempunyai tujuan
yang pasti. Hal ini dikarenakan orang tua si anak tidak begitu memberikan
perhatian tentang pendidikan anaknya, sehingga, anak tidak begitu mengetahui
apa yang akan dilakukannya. Sikap orang tua yang seperti itu juga mempengaruhi
pola belajar anak. Anak menjadi tidak mengetahui cara belajar yang efektif.
Keadaan seperti ini menjadikan anak tidak begitu bersemangat dalam mengikuti
pembelajaran, ketika anak kurang bersemangat dalam belajar secara otomatis apa
yang diajarkan guru juga kurang begitu terserap dalam pikiran anak. Jika hal ini
terjadi terus-menerus, maka pandangan anak tentang dunia pendidikan tidak akan
berkembang. Anak akan selalu menganggap bahwa pendidikan formal hanya
pelajaran pelajaran yang hanya butuh pemikiran yang menggunakan kecerdasan
otak saja. Keadaan ini akan berlanjut pada pemikiran negatif tentang pendidikan
formal yang menganggap bahwa pendidikan formal tidak begitu penting.
Pandangan AF mengatakan bahwa: “Kan saya masih kecil, jadi sekolahka dulu.” Pandangan seperti itu bagus. Ketika anak masih kecil, yang dilakukan adalah belajar untuk masa depan. Pandangan seperti ini terjadi karena dalam hal sekolah mendapat dukungan dari orang tuanya.
Pandangan siswa tentang dunia sekolah yang patut ditiru adalah IS.
Meskipun kurang mendapat dukungan dari orang tua, tetapi tetap mempunyai
prinsip akan melanjutkan sekolah. “orang tua saya mau saya bantu mereka di
sawah, tapi saya ingin sekolah dulu”. Prinsip untuk maju kedepan menghadapi
tantangan ini jarang dimiliki oleh anak usia SD, dimana kebanyakan anak usia SD
biasanya lebih cenderung pada menuruti segala perintah orang tua, termasuk
dalam hal pendidikan yang akan dilakukan dimasa yang akan datang. Prinsip ini
yang akan dapat merubah pandangan masyarakat tentang pendidikan formal.
Prinsip yang sejalan dengan pemikiran kepala desa Itterung adalah AM.
Dia berpikiran, kelak jika sekolah akan dibutuhkan oleh siapapun, “karena kalo
sekolah maka bisa jadi orang yang dibutuhkan.” Pemikiran seperti ini memang
seperti apa yang digambarkan Pak S, selaku guru SD, bahwa implikasi dari
pendidikan di Sekolah yaitu anak mempunyai kepercayaan diri ketika bertemu
dengan orang yang penting, seperti pejabat. Dan juga ketika bermusyawarah antar
warga bisa menyampaikan ide-ide yang berguna bagi masyarakat desa. Pemikiran
umum masyarakat tentang pendidikan formal yang masih belum menganggap
penting juga tercermin juga pada informan Inisial (KB).
“Saya ingin bekerja membantu orang tua saya.” “Kalau orang tua saya lebih suka bahwa saya di rumah saja, lalu membantu orang tua bekerja.”
Pemikiran ini masih banyak dimiliki masyarakat yang secara umum
“mendewakan” harta merupakan segala galanya. Pandangan Informan KB bukan
tanpa alasan, orang tuanya juga lebih suka anaknya dirumah membantu orang tua,
sebagaimana ungkapnya Pandangan seperti inilah yang memerlukan waktu yang
tidak singkat untuk merubahnya. Pandangan yang cenderung apatis dalam hal
pendidikan formal juga ada di dalam masyarakat desa Itterung. Salah satunya
adalah tercermin pada Informan (FR), yang bahkan dia sendiri tidak mengetahui
apa yang akan dilakukan.
“ndak tahu mau kerja atau sekolah, karena orang tua saya juga ndak paksakan kerja atau sekolah.”
Jika orang tuanya membiarkan terus-menerus, dan anak juga tidak
mempuyai inisiatif sendiri, maka yang terjadi adalah anak hanya di rumah, tidak
melanjutka sekolah, tidak juga ke pondok pesantren. Ini sangat mengkhawatirkan,
mengingat masa-masa setelah usia SD sudah memasuki masa puber yangmana
anak memiliki gejolak yang sangat besar. Dan jika tidak segera ada perubahan
sikap orang tua, besar kemungkinan anak akan menjadi “remaja nakal” yang
hanya akan menjadi perbincangan buruk di masyarakat.
informan Nama Inisial: (SK)
SK merupakan warga desa itterung yang mempunyai anak 2 yang tidak melanjutkan sekolah
Wawancara: karena anak saya tidak melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi karena melanjutkan ke perguruan tinggi menghabiskan biaya dan belum tentu menjamin masih depan karena menurut saya sudah pintar membaca dan menulis sudah cukup jadi anak saya semua hanya lulusan SMP lebih baik pergi berkebun.
Informan Nama Inisial : (ID)
ID merupakan warga desa itterung yang bekerja sebagai tukang masak dan dia mempunyai anak 3 dia sendiri menjadi tulang punggung keluarga
Wawancara: Adapun Informan ID menambahkan bahwa saya tidak bisa melanjutkan sekolah anakku karna saya tidak puny aka uang kasihan baru saya sendiriji yang biayai anakku jadi saya suruh anakku pergi merantau supaya bisa membantu prekonomian keluargaku.
Persepsi anak yang menganggap pendidikan formal tidak penting adalah
DS, meski orang tuanya mendukung ke pendidikan, anaknya juga tetap tidak mau
melanjutkan sekolah, dan memilih bekerja, sebagaimana ucapannya “mau kerja
saja karena sudah malas sekolah.” Keinginan anak untuk tidak melanjutkan
sekolah ini merupakan hal yang sangat perlu diperhatikan sekolah, mengingat
masa-masa setelah SD belum masanya untuk bekerja sebagaimana orang tuanya.
1. Paradigma Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal Di Desa Itterung
Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone.
Pendidikan membantu dan memberdayakan manusia untuk membangun daya
kekuatan yang kreatif, dan mampu melakukan sesuatu. Salah satu aspek
individual dari pemberdayaan adalah agar manusia memiliki kemampuan berpikir,
menguasai ilmu penegetahuan dan tekhnologi, mengambil keputusan,
memecahkan masalah, dan membangun berbagai keterampilan. Pendidikan juga
membantu dan memberdayakan manusia untuk membangun kekuatan bersama,
solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan dan pengertian yang sama, untuk
memecahkan persoalan yang dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama.
Dengan kata lain, pendidikan juga memberdayakan manusia untuk membangun
komunitas, memperkuat hubungan antar manusia (Widiastono, 2004).
Pendidikan merupakan sarana paling strategis untuk meningkatkan kualitas
manusia. Artinya, melalui pendidikan, kualitas manusia dapat ditingkatkan.
Dengan kualitas meningkat, produktivitas individual manusia pun akan meningkat
pula. Selanjutnya, jika secara individual produktivitas manusia meningkat maka
secara komunal produktivitas bangsa akan meningkat. Bahwa untuk
meningkatkan produktivitas bangsa, diperlukan dana besar memang demikian
hukum ekonominya.
Sejalan dengan itu, kalangan antropolog dan ilmuwan sosial lainnya melihat
bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan dan mensosialisasikan
manusia sebagaimana yang kita kenal dengan proses enkulturasi (pembudayaan)
dan sosialisasi (proses membentuk kepribadian dan perilaku seorang anak menjadi
anggota masyarakat sehingga anak tersebut diakui keberadaanya oleh masyarakat
yang bersangkutan). Dalam pengertian ini, pendidikan bertujuan membentuk agar
manusia dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang
mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik secara
pribadi, kelompok, maupun masyarakat secara keseluruhan.
Daoed Joesoef (dalam Andriani, 2015), memandang pendidikan sebagai
bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan
pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup
yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena
kehidupan adalah keseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang kita
lakukan sebagai manusia, yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus dilakukan oleh
setiap orang, menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat
yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai makhluk bio-sosial.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan susasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk meiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Selanjutnya menurut Poerbakawatja Harahap (1981) dalam Muhibbinsyah
(2010), pendidikan adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk dengan
pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan yang selalu diartikan mampu
menimbulkan tanggung jawab moril dari segala perbuatannya…orang dewasa itu
adalah orang tua si anak atau orang tua yang atas dasar tugas dan kedudukannya
mempunyai kewajiban untuk mendidik misalnya guru sekolah, pendeta atau kiai
dalam lingkungan keagamaan, kepala-kepala asrama dan sebagainya.
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur,
pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan memiliki
dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan
merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan
(Tirtarahardja dan Sulo, 2005).
Makna dan tujuan dari pendidikan adalah untuk memerdekakan,
membudayakan, dan memanusiakan manusia termasuk di dalamnya proses
sosialisasi nilai-nilai transenden dan kultural yang diharapkan dapat senantiasa
membantu manusia dalam proses menjadi manusia (on the process of becoming
human), seperti diungkapkan oleh Sastrapratedja. Fuad Hassan (dalam Andriani,
2015), lebih lanjut mengungkapkan, manusia tidak akan pernah berhenti berproses
melalui pendidikan yang bukan hanya terbatas sebagai sistem persekolahan dalam
pendidikan formal, melainkan juga di dalam arti dan makna yang lebih luas.
Masyarakat desa Itterung pada dasarnya sadar bahwa pendidikan berdampak
pada kontribusi masyarakat ketika dihadapkan pada permasalahan-permasalahan
yang ada di masyarakat, serta kedewasaan anak dalam kehidupan sehari-hari.
Hanya saja tidak sedikit juga warga masyarakat masih banyak yang mengeluhkan
masalah-masalah dalam pendidikan. Ini dikarenakan pemikiran masyarakat desa
Itterung yang masih bisa dibilang terbelakang dalam memahami pendidikan
formal.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi paradigm masyarakat desa itterung
kecamatan tellusiattinge kabupaten Bone Terhadap pendidikan formal
1) Kemiskinan
Kendala utama masyarakat dalam hal pendidikan secara umum adalah
karena kemiskinan. Sebagian masyarakat miskin desa secara umum mampu
membiayai kegiatan pembiayaan pendidikan yang dalam hal pembayaran
dilakukan secara berkala, seperti membayar LKS, pembelian alat tulis,
pembelian alat sekolah. Akan tetapi kebanyakan dari para orang tua
mengeluhkan masalah pembiayaan sehari-hari anak mereka, seperti uang
saku, uang transportasi, dan lain-lain. Pembiayaan sehari-hari inilah yang
seringkali menjadi kendala masyarakat di desa Itterung.karna sekolah di Desa
itterung itu jarak nya lumayan jauh dan kendaraan umum pun masih kurang
sekali jadi itu juga salah satu kurang anak yang kurang .
2) Tingkat pendidikan yang rendah
Kebanyakan tingkat pendidikan masyarakat desa Itterung masih sebatas
sekolah dasar, sedikit orang tua dari masyarakat desa Itterung yang sampai
sekolah menengah. Rendahnya pendidikan ini yang kadang dari setiap
menusia mempunyai pemikiran bahwa sekolah hanya membuat beban bagi
keluarga saja, dan menganggap bahwa sekolah tidak terlalu penting, yang
penting bisa membaca,menutulis, dan menghitung. Itu sudah sangat bagus,
sehingga sebagian warga dalam membeli sepatu untuk anak saja kadang
ditangguhkan iya karna sekolah itu menurutnya sangat banyak mengeluarkan
biaya sehingga masyrakat desa kurang melanjutkan pendidikan
3) Orientasi pada harta benda saja
Sikap masyarakat yang hanya berorientasi pada kekayaan secara materi
juga menghambat kemajuan pendidikan di desa Itterung. Banyak warga desa
Itterung yang beranggapan bahwa harta kekayaan seperti sawah, tegal, hewan
ternak, dijadikan ukuran kekayaan bagi warga desa Itterung. Masyarakat
menganggap seorang warga dianggap kaya jika ia memiliki sapi yang
banyak, atau sawah yang luas. Mereka menganggap hanya orang yang seperti
itulah orang yang bisa menyekolahkan anak ke tingkat yang setinggi-
tingginya. Adapun orang yang memiliki sawah, sapi yang banyak biasanya
juga beranggapan bahwa sekolah tidak penting.
4) Minat orangtua terhadap pendidikan yang kurang
Minat orang tua dalam masalah pendidikan juga masih bisa dibilang
rendah. Ini terbukti dalam keseharian anak-anak yang ada di desa Itterung.
Setiap pagi, terutama bagi anak yang masih kecil, jarang mandi sebelum
berangkat sekolah karena setiap pagi seringkali orang tua mereka sudah
berangkat ke sawah. Setelah pulang sekolah, anak mulai kelas empat banyak
yang ke sawah membantu orang tua mereka, ada yang membantu membawa
pupuk kandang, ada yang membantu menanam cabai, ada juga juga yang
mencari rumput untuk sapi-sapi yang mereka pelihara. Ketika peneliti
menanyakan, kebanyakan dari mereka mengaku disuruh oleh kedua orang
tuanya. Ada juga yang mengaku dimarahi jika sepulang sekolah tidak
membantu orang tua ke sawah. Selain itu ada juga orang tua yang sekan-akan
“tidak mau tahu” dengan anaknya. Anaknya dibiarkan bermain sepuasnya,
jika waktu dzuhur disuruh makan, setelah itu bermain lagi sampai sore.
Kegiatan terlalu banyak bermain bagi anak juga tidak baik. Ini berdampak
pada kegiatan pembelajaran anak di sekolah. Anak yang kesehariannya
bermain saja ketika di sekolah cenderung lebih sulit diatur. Sedangkan anak
yang kesehariannya terlalu banyak di sawah dalam pembelajaran di sekolah
cenderung pasif dalam pelajaran. Mereka hanya diam memperhatikan, tidak
banyak inisiatif dengan pertanyaan yang ia belum mengetahuinya.
5) Minat anak terhadap pendidikan yang kurang
Factor ini disebabkan oleh factor sebelumnya, yaitu kurnagnya minat
orang tua terhadap pendidikan. Hal tersebut mengakibatkan para orang tua
tidak terlalu menaruh perhatian kepada anak. Kurangnya perhatian orang tua
dalam hal pendidikan bisa menyebabkan minat anak dalam belajar juga
berkurang. Karna orang tua sekarang di kampung ingin menyamakan dirinya
yang duluh tidak sekolah karna sekolah iu menurutnya menghabiskan uang
dan waktu jadi dia juga ingin anak nya kayak nya tidak sekolah dan langsung
kerja atau menika cepat karna fikiran orang tua yang sekarang di kampong
kasih menikah anaknya adalah jalan satu-satunya menyelesaikan masalah
karna sudah ada biaya iii Anaknya jadi itu lah kurang sekarang orang Desa
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karna pemekiran orang tua
masih pemekiran duluh yang dia terapkan jadi tingakt pendidikan di
masyrakat desa masih kurang sekali.
1) Paradigma masyarakat Desa Itterung
Masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup
bermasyarakat, biasanya tanpak dalam perilaku keseharian mereka. Pada
situasi dan kondisi tertentu, sebagian karakteristik dapat digeneralisasikan
pada kehidupan masyarakat desa di daerah tertentu. Masyarakat desa juga
ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga
desa, yaitu perasaan setiap warga/anggota masyarakat yang amat kuat dan
pada hakekatnya bahwa seseorang merasa merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat itu sendiri dimanapun ia hidup
dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap
waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat, karena
beranggapan sama-sama sebgai masyarakat yang saling mencintai saling
menghormati, mempunyai hak tanggung jawab yang sama terhadap
keselamatan dan kebahagiaan bersama di dalam masyarakat.
Tingkat pendidikan masyarakat pedesaan pada umumnya masih rendah
dimana mayoritas pendidikannya sampai tingkat Sekolah Mengah Pertama (SMP)
sehingga pengetahuan pendidikan yang mereka ketahui juga terbatas, karena
tingkat kesadaran masyarakat di komunitas pedesaan terhadap pendidikan formal
masih rendah. Hal ini tentunya dipengaruhi banyak faktor, salah satunya adalah
keadaan ekonomi. Fenomena seperti ini terjadi di Desa Itterung, Kecamatan Tellu
Siattinge, Kabupaten Bone, di mana mayoritas masyarakat di Desa ini memiliki
tingkat pendidikan yang masih rendah, pendidikan terakhir masyarakat disana
adalah mayoritas tingkat SLTA, sedangkan yang melanjutkan ke perguruan tinggi
sangatlah minim. Setelah tamat dari jenjang SLTA mereka membantu orang
tuanya bekerja di sawah, ada juga yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga
dan bekerja di perusahaan swasta. Setelah peneliti meninjau tingkat pendapatan
masyarakat di Desa Itterung ternyata tidak semua pendapatan mereka rendah,
terdapat warga yang berpendapatan tinggi namun mereka enggan menyekolahkan
putra putrinya sampai jenjang perguruan tinggi,di tamba lagi dorongan dari teman
sebaya yang mayoritas setelah SLTA langsyng mencari pekerjaan di luar kota hal
itu di sebabkan melanjutkan putra-putrinya sampai pada tingkat SLTA dan tidak
mampu masyrakat sudah banyak yang menyuruh anak nya ke luar kota untuk
mencari pekerjaan karna menerut masyrakat pekerjaan di luar kota lebih
menjamin dari pada melenjutkan ke perguruan tinggi menurut masyarakat desa
karna masyrakat ,masih masih kurang pengatauan tentang pendidikan masih
kurang karna masyrakat mementingkan pekerjaan daripada pendidikan. hal ini
disebabkan karena orientasi mereka kepada pekerjaan, sehingga mereka berasumsi
bahwa buat apa menyekolahkan putra putrinya sampai ke perguruan tinggi jika
pada akhirnya akan melanjutkan pekerjaan atau profesi orang tua. Dari sinilah
terlihat adanya kesenjangan antar tingkat ekonomi dengan tingkat pendidikan
masyarakat di Desa Itterung..
Persepsi suatu masyarakat di pengaruhi dari latar belakang keadaan atau
lingkungan yang ada di daerah tersebut. Seperti halnya desa itterung sebagian
masyarakatnya mayoritas berpendidikan di tingkat SLTA dan ada tak banyak
sampai lulusan perguruan tinggi sedangkan mata pencaharian mereka hanya
bersumber pada hasil tani akan tetapi juga sebagai guru, TNI, Swasta dan dsb.
Alat teknologi juga dapat masuk ke desa misalnya telepone, televisi,
antenaparabola, kendaraan bermotor dan alat transportasi jadi persepsi masyrakat
desa itterung terhadap pendidikan tinggi pada dasarnya persepsi mereka baik
namun karena adanya faktor –faktor yang mempengaruhi misalnya anggapan
negatif terhadap pada lulusan pernguruan tinggi dan kurang nya biaya yang di
miliki menyebabkan minat anakmelanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi juga
mudah di peroleh. Pandangan masyarakat pedesaan terhadap pendidikan tinggi
dan mereka tidak memiliki kesamaan pandangan antara keluarga satu dengan
keluarga lainnya dalam menghadapi masalah tentang pendidikan tinggi
Persepsi atau pandangan masyarakat pedesaan yang bermata pencaharian
petani, wirausaha,swasta pegawai negeri terhadap pendidikan formal bagi
putra putri mereka mempunyai persepsi yang berbeda-beda. Semua
tergantung factor-faktor yang melatarbelakangi persepsi mereka sehingga
nantinya akan membentuk image positif ataupun ngatif terhadap pendidikan
tinggi. Jika dilihat dari pernyataan diatas maka ekonomi merupakan factor
dominan dalam merubah atau mejadi pembeda terhadap persepsi atau
paradigm merek selain itu pengaruh dari luar atau masyarakat sekitar juga
yang menjadi faktor pendorong dalam membentuk persepsi masyarakat
pedesaan tersebut.
Persepsi secara umum di berlakukan sebagai satu variable campur tangan
(iterening variable) bergantung pada factor-faktor perangsang. Cara
belajar,perangkat dan keadaaan jiwa atau suasana hati dan factor-faktor
motuvasional untuk itu persepsi mengenai dunia oleh pribadi-pribadi yang
berbeda. Karna setiap individu menanggapinya berkenaan dengan aspek-
aspek situasi yang mengundang arti khusus sekali dengan dirinya pertanyaan
diatas sesuai dengan hasil peneliti terhadap masyarakat pedesaan bahwa
persepsi masyarakat desa itterung latar belakang pendidikan keluarga ada
beberapa warga yang menyatakan bahwa persepsi mereka kurang baik
terhadap tinggi. Hal ini disebabkan karena pendidikan tinggi belum
menjamin pekerjaan untuk mahasiswa ke perguruan tinggi tujuannya untuk
mencari pekerjaan bukan untuk mencari ilmu hal inilah yang menjadi
kesalahpahaman persepsi masyarakat terhadap pendidikan tinggi yang tejadi
selama ini pada dasarnya peranan perguruan tinggi menciptakan sumber
daya manusia berkualitas, di pandang potensial dan sangat mementukan
masalah yag perlu di cermati adalah sudah sejauhmana perguruan tinggi
dapat di ukur atau lebih di tentukan oleh kemampuan menciptakan
mahasiswa sebagai pencari kerja.
Menanggapi masalah persepsi masyarakat desa itterung terhadap pendidikan
tinggi pada dasarnya persepsi mereka baik,namun karna adanya factor-faktor
yang mempengaruhi misalnya anggapan negative terhadap para lulusan
perguruan tinggi dan kurangnya biaya yang dimiliki menyebabkan minat
anak untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi kurang,
sehingga mereka memilih untuk langsung terjun dalam dunia pekerjaan
ketimbang melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di tambah lagi dengan
dorongan dari teman sebaya yang mayoritas setelah lulus SLTA.
B. Pembahasan
Tingkat pendidikan masyarakat pedesaan pada umumnya masih rendah
dimana mayoritas pendidikannya sampai tingkat Sekolah Mengah Pertama (SMP)
sehingga pengetahuan pendidikan yang mereka ketahui juga terbatas, karena
tingkat kesadaran masyarakat di komunitas pedesaan terhadap pendidikan formal
masih rendah. Hal ini tentunya dipengaruhi banyak faktor, salah satunya adalah
keadaan ekonomi. Fenomena seperti ini terjadi di Desa Itterung, Kecamatan Tellu
Siattinge, Kabupaten Bone, di mana mayoritas masyarakat di Desa ini memiliki
tingkat pendidikan yang masih rendah, pendidikan terakhir masyarakat disana
adalah mayoritas tingkat SLTA, sedangkan yang melanjutkan ke perguruan tinggi
sangatlah minim. Setelah tamat dari jenjang SLTA mereka membantu orang
tuanya bekerja di sawah, ada juga yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga
dan bekerja di perusahaan swasta. Setelah peneliti meninjau tingkat pendapatan
masyarakat di Desa Itterung ternyata tidak semua pendapatan mereka rendah,
terdapat warga yang berpendapatan tinggi namun mereka enggan menyekolahkan
putra putrinya sampai jenjang perguruan tinggi, hal ini disebabkan karena orientasi
mereka kepada pekerjaan, sehingga mereka berasumsi bahwa buat apa
menyekolahkan putra putrinya sampai ke perguruan tinggi jika pada akhirnya akan
melanjutkan pekerjaan atau profesi orang tua. Dari sinilah terlihat adanya
kesenjangan antar tingkat ekonomi dengan tingkat pendidikan masyarakat di Desa
Itterung.
Maka dari itu dibutuhkannya penjelasan atau sosialisasi tentang
pendidikan tinggi melalui tindakan sosial, dalam bentuk yang paling
mendasar, sebuah tindak sosial melibatkan sebuah hubungan dari tiga bagian:
g Telah diketahui bahwa pendidikan dibagi menjadi tiga macam, yaitu
Pendidikan Formal, Pendidikan Nonformal, dan Pendidikan Informal. Tiga
macam pendidikan ini mencakup semua sektor bidang pendidikan.
Pendidikan formal dalam perspektif masyarakat biasanya sering disebut
dengan pendidikan yang ada di sekolah, pendidikan non formal meliputi
pendidikan di pondok pesantren, dan pendidikan informal mencakup
pendidikan dalam keluarga. Semua persepsi masyarakat tentang pendidikan
tidak sepenuhnya salah, karena jika melihat pada UU Sistem Pendidikan
Nasional No 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas No 20 Th 2003), telah disebutkan
bahwa:
a. Pendidikan Formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.
b. Pendidikan Nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal
yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
c. Pendidikan Informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Dilihat dari pengertian diatas, dapat diketahui bahwa pendidikan tidak
terbatas pada pendidikan di lingkungan sekolah saja, yang dalam bahasa
akademik disebut dengan pendidikan formal. Lingkungan keluarga pun bisa
dikategorikan sebagai tempat berlangsungnya pendidikan. Pondok-pondok
pesantren juga bisa dikategorikan sebagai tempat berlangsungya pendidikan.
Akan tetapi dalam skripsi ini yang lebih dibahas khususnya adalah
pendidikan formal yang berarti jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.
Pendidikan adalah sebenarnya proses pembudayaan. Tidak ada suatu
proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa masyarakat, dan sebaliknya
tidak ada suatu proses kebudayaan tanpa pendidikan. Proses pendidikan
hanya dapat terjadi di dalam hubungan antar manusia didalam suatu
masyarakat. Proses pendidikan merupakan suatu proses dan sekaligus suatu
kata benda. Pendidikan sebagai suatu proses merupakan suatu interaksi antara
pendidik dan peserta didik di dalam suatu masyarakat. Pendidikan adalah
suatu proses menaburkan benih-benih budaya dan peradaban manusia yang
hidup dan dihidupi oleh nilai-nilai atau visi yang berkembang dan
dikembangkan di dalam suatu masyarakat. Inilah pendidikan sebagai suatu
proses pembudayaan (Tilaar, 1999).
Proses pendidikan senantiasa berlangsung bagi setiap manusia, baik
yang masih bersekolah maupun tidak, yang berusia muda maupun tidak, yang
perempuan maupun tidak. Menurut Yustina Rostiawati (dalam Andriani,
2015) adalah suatu proses mendidik seseorang manusia menjadi manusia
yang dapat menghargai martabat setiap manusia baik perempuan maupun
laki-laki. Implikasinya, seseorang manusia yang terdidik akan berusaha untuk
senantiasa memperluas cakrawala wawasannya, memperdalam
pengetahuannya, dan berisikan adil terhadap manusia lain tanpa
memperhatikan jender, ras maupun etnis. Pendidikan bukan suatu proses
pengolahan masukan (input) menjadi luaran (output) yang efektif, efisien,
dan sikap pakai untuk dunia kerja dan kebutuhan pasar. Dengan kata lain,
sistem pendidikan dan proses pendidikan tidak sama dengan sistem dan
proses produksi dalam pabrik.
Pendidikan adalah suatu proses mendidik seseorang agar menjadi
pribadi yang lebih baik. Seseorang yang berpendidikan bukan hanya saja
lebih memperdalam ilmu pengetahuannya, akan tetapi juga harus lebih bisa
menghargai orang lain. Pendidikan tidak seperti pabrik produksi yang
mengolah dari barang mentah menjadi barang jadi/siap pakai. Pendidikan
belum tentu menjamin seseorang akan mendapatkan pekerjaan kalau tidak
diimbangi dengan keterampilan.
Pendidikan membantu dan memberdayakan manusia untuk
membangun daya kekuatan yang kreatif, dan mampu melakukan sesuatu.
Salah satu aspek individual dari pemberdayaan adalah agar manusia memiliki
kemampuan berpikir, menguasai ilmu penegetahuan dan tekhnologi,
mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan membangun berbagai
keterampilan. Pendidikan juga membantu dan memberdayakan manusia
untuk membangun kekuatan bersama, solidaritas atas dasar komitmen pada
tujuan dan pengertian yang sama, untuk memecahkan persoalan yang
dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan kata lain,
pendidikan juga memberdayakan manusia untuk membangun komunitas,
memperkuat hubungan antar manusia (Widiastono, 2004).
Pendidikan merupakan sarana paling strategis untuk meningkatkan
kualitas manusia. Artinya, melalui pendidikan, kualitas manusia dapat
ditingkatkan. Dengan kualitas meningkat, produktivitas individual manusia
pun akan meningkat pula. Selanjutnya, jika secara individual produktivitas
manusia meningkat maka secara komunal produktivitas bangsa akan
meningkat. Bahwa untuk meningkatkan produktivitas bangsa, diperlukan
dana besar memang demikian hukum ekonominya.
Sejalan dengan itu, kalangan antropolog dan ilmuwan sosial lainnya
melihat bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan dan
mensosialisasikan manusia sebagaimana yang kita kenal dengan proses
enkulturasi (pembudayaan) dan sosialisasi (proses membentuk kepribadian
dan perilaku seorang anak menjadi anggota masyarakat sehingga anak
tersebut diakui keberadaanya oleh masyarakat yang bersangkutan). Dalam
pengertian ini, pendidikan bertujuan membentuk agar manusia dapat
menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang mampu
bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik secara
pribadi, kelompok, maupun masyarakat secara keseluruhan.
Daoed Joesoef (dalam Andriani, 2015), memandang pendidikan
sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan
pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup
yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena
kehidupan adalah keseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang
kita lakukan sebagai manusia, yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus
dilakukan oleh setiap orang, menetapkan suatu pendirian dalam tatanan
kehidupan bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai
makhluk bio-sosial.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
susasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk meiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Selanjutnya menurut Poerbakawatja Harahap (1981) dalam
Muhibbinsyah (2010), pendidikan adalah usaha secara sengaja dari orang
dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan
yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari segala
perbuatannya…orang dewasa itu adalah orang tua si anak atau orang tua yang
atas dasar tugas dan kedudukannya mempunyai kewajiban untuk mendidik
misalnya guru sekolah, pendeta atau kiai dalam lingkungan keagamaan,
kepala-kepala asrama dan sebagainya.
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik,
luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan
pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap
kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap
kegiatan pendidikan (Tirtarahardja dan Sulo, 2005).
Makna dan tujuan dari pendidikan adalah untuk memerdekakan,
membudayakan, dan memanusiakan manusia termasuk di dalamnya proses
sosialisasi nilai-nilai transenden dan kultural yang diharapkan dapat
senantiasa membantu manusia dalam proses menjadi manusia (on the process
of becoming human), seperti diungkapkan oleh Sastrapratedja. Fuad Hassan
(dalam Andriani, 2015), lebih lanjut mengungkapkan, manusia tidak akan
pernah berhenti berproses melalui pendidikan yang bukan hanya terbatas
sebagai sistem persekolahan dalam pendidikan formal, melainkan juga di
dalam arti dan makna yang lebih luas.
erak tubuh awal dari salah satu individu, respons dari orang lain terhadap
gerak tubuh tersebut dan sebuah hasil.
Berangkat dari fenomena dan konsep teori yang ada peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul: “Analisis Paradigma Masyarakat
Terhadap Pendidikan Di Desa Itterung Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten
Bone.
Interpretasi Hasil Penelitian
Teknik Interpretasi data dapat dilakukan dengan cara memperluas hasil
analisis dengan mengajukan pertanyaan berkenan dengan hubungan
perbedaan antara hasil analisi sebelumnnya hubungan teman dan
pengalaman pribadi berilah pandangan kritis dan hasil analisis yang
dilakukan,hubungan hasil-hasil analisis dengan teori-teori pada Bab
sebelumnya, hubungan dan tinjaulah sari teori yang relevan dengan
permasalahan yang di hadapi.
Nama Inisial (AY)
Wawancara: “begini nak, masyarakat di desa Itterung ini, masih
banyak yang ndak teruskan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Kebanyakan masyarakat di sini hanya lulusan SD saja. Habis SD bantu orang tua di sawah. Orang tua di sini pikirannya kalau lulusan SMP atau SMA belum tentu dapat pekerjaan, jadi untuk apa lanjut tinggi tinggi, cukup SD saja, atau untungmi kalau sampai SMP, setelah itu jadi petani.”
Interpretasi: menurut (AY) di desa itterung tidak perlu sekolah tinggi-
tinggi karna setelah lulus SMP atau SMA tetap susah untuk dapat
pekerjaan jadi menurutnya kalau sudah tamat SD SMP sudah lumayan
karna setelah lulus langsung jadi petani karena menurutnya melanjutkan
keperguruan tinggi itu tidak penting karena belum menjamin
mendapatkan pekerjaan layak
Teori: Teori Interaksi George Hebert Mead ketika anak memiliki dalam
dirinya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi namun dalam
dirinya memberikan arahan kepada untuk mengendalikan dirinya
memberikan arahan melihat kondisi orang tuanya yang kurang dalam faktor ekonomi.
Nama Inisial (YK)
Wawancara: pendidikan menurut saya itu sangat penting karena pendidikan merupakan salah satu cara untuk mengubah status sosial dan keluar dari kemiskinan.
Interpretasi: faktor pendorong yang membuat anak semangat untuk melanjutkan pendidikan adalah dorongan dari orang tua.
Teori: Interaksi Simbolik George Hebert Mead.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya maka
keismpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
1. Paradigma masyarakat Desa Itterung Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten
Bone memandang pendidikan formal penting. Hanya saja, kepedulian
masyarakat akan pendidikan formal masih kurang. Masyarakat juga sadar
bahwa pendidikan berdampak pada kontribusi masyarakat ketika dihadapkan
pada permasalahan permasalahan yang ada di masyarakat, serta kedewasaan
anak dalam kehidupan sehari-hari. Hanya saja tidak sedikit juga warga
masyarakat masih banyak yang mengeluhkan masalah-masalah dalam
pendidikan. Ini dikarenakan pemikiran masyarakat desa Itterung yang masih
bisa dibilang terbelakang.
2. Faktor – faktor yang mempengaruhi paradigma masyarakat Desa Itterung
Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone Terhadap Pendidikan Formal
antara lain: (1) kemiskinan; (2) tingkat pendidikan yang rendah; (3) orientasi
pada harta benda saja; (4) minat ornagtua terhadap pendidikan yang kurang;
dan (5) minat anak terhadap pendidikan yang kurang
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas maka saran dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagi masyarakat desa Itterung, perlu diadakannya penyuluhan tentang
pentingnya pendidikan formal bagi anak, sehingga kedepan ada kemajuan di
desa Itterung.
2. Perlu adanya perhatian pada anak dalam hal pendidikan formal, misalnya
dalam hal belajar anak perlu didampingi, sehingga orang tua mengetahui
perkembangan belajar anak.
3. Perlu adanya pemberian kesempatan dan keseimbangan pola belajar anak
dengan membantu orang tua ataupun bermain anak, sehingga, anak selain
bisa membantu orang tua juga bisa belajar dengan maksimal.
4. Bagi anak-anak desa Itterung, perlu diadakan kegiatan belajar kelompok di
desa, sehingga anak-anak lain yang belum pandai bias mengikuti pelajaran di
sekolah.
5. Diperlukan pengaturan waktu sendiri agar antara membantu orang tua dan
belajar seimbang, sehingga, selain bisa meringankan beban orang tua juga
bisa tetap belajar dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Andriani, Shelly. 2017. Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun). Skripsi. USU. Medan.
Baran, J. Stanley dan Davis, K. Dennis, 2010.Teori Komunikasi Massa: Dasar, Pergolakan, Dan MasaDepan. Jakarta: SalembaHumanika.
Berger, Artur Asa. 2004. Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer, trans. M. Dwi Mariyanto and Sunarto, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Daniel, Fachrial. 2013. Konsep Diri dalam Iklan A Mild. Skripsi. USU. Medan.
Gustian, Deni. 2016. Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Perguruan Tinggi (Studi Deskriptif Tentang Kurangnya Minat Pendidikan Ke Jenjang Perguruan Tinggi Pada Pemuda dan Pemudi Kampung Pungkur Loji Desa Cicalengka Kulon Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung). Skripsi. UIN Sunan Gunung Djati. Bandung.
Haryanto, Sindung. 2012. SPEKTRUM Teori Sosial Dari Klasik Hingga Postmodern, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Hukama, Ardika Fateh. 2017. Persepsi Masyarakat Pedesaa terhadap Pendidikan Tinggi di Kabupaten Nganjuk (Studi Analsisi Teori George herbert Mead). Skripsi. Uin Maulana Malik Ibrahim, Malang.
Huzaini, Ali. 2014. Interaksi Sosial Masyarakat Dalam Perspektif Sosiologi Pedesaan Pasca Konflik Sunny Syiah Di Desa Lar-Lar Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang. Undergraduate thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya.
Irwan. 2017. Persepsi Keluarga Petani Terhadap Pendidikan Formal Anak Di Desa Sungai Toman Kecamatan Salatiga Kabupaten Sambas. Skripsi. Universitas Tanjungpura. Pontianak.
Iskandar. 2009. Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial (kuantitatif dan kualitatif) Jakarta: Gaung Persada Press
Koentjaraningrat, 2009. Pengantar Ilmu Antropologi: Edisi revisi 2009. Jakarta: Rineka Cipta
Littlejohn, Stepehen dan Karen A. Foss. 2009. Teori Komunikasi (Theories of Human Communication, Jakarta: Salemba Humanika.
Makhsus. 2013. Persepsi Masyarakat Tentang Pentingnya Pendidikan Formal 12 Tahun (Studi Kasus Kampung Pejamuran, Desa Pasilian, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang). Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Moleong, J, Lexy. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Muhibbinsyah, 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Rosdakarya
Mulyana, Dedi. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya
Narwoko, Dwi dan Bagong Suyanto, 2010. Sosiologi Teks Pengantar dan terapan. Jakarta: Kencana.
Ritzer, George. 2011. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda, Jakarta: CV. Rajawali.
Sanyoto, Iman. 2012. Perbedaan Kepuasan Dan Persepsi Terhadap Kualitas Pelayanan Rawat Inap Pasien Jamkesmas Dan Non Jamkesmas Di Bangsal Mina Kelas Iii Rs. Pku. Muhammadiyah Karanganyar. Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah, Bandung: CV Pustaka Setia.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.
Tilaar, H.A.R. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta
Tirtarahardja, Umar dan S. L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan: Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta.
Upe, Ambo. 2010. Tradisi Aliran Dalam Sosiologi Dari Filosofi Positivistik Ke Post Positivistik, Jakarta: Rajagrafindo Persada
Widiastono, Tonny. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Kompas. 2004.
Wirawan, Ida Bagus. 2014. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial, & Perilaku Sosial), Jakarta: Kencana
RIWAYAT HIDUP
A Mutmainna. Lahir pada tanggal 21 April 1996, di Itterung
Kabupaten Bone. Penulis merupakan anak pertama dari empat
bersaudara, dari pasangan A. Zaenal dan A. Siti Hasni. Penulis
pertama kali masuk pendidikan Formal di SDN 12/79 Itterung
pada tahun 2003 dan tamat pada tahun 2009. Pada tahun yang
sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Tellu Siatingge
Kabupaten Bone dan tamat pada tahun 20012. Setelah tamat di SMP, penulis
melanjutkan ke SMA Negeri 1 Tellusiatinnge Kabupaten Bone dan tamat pada
tahun 2015. Pada tahun yang sama (2015), penulis melanjutkan pendidikan pada
program Strata Satu (S1) sebagai Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah
Makassar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Pendidikan
Sosisologi melalaui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).