30
. - . ANALISIS METABOLIT SEKUNDER EKSTRAK JAHE MERAH DARI DAERAH CIAMPEA, PURWOREJO, DAN PACITAN DENGAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI DIANA AGUSTINI RAHARJA PROGRAM KEAHLIAN ANALISIS KIMIA PROGRAM DIPLOMA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

Analisis Metabolit Sekunder Ekstrak Jahe Merah dari Daerah Ciampea, Purworejo, dan Pacitan dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Analisis Metabolit Sekunder Ekstrak Jahe Merah dari Daerah Ciampea, Purworejo, dan Pacitan dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Citation preview

  • . - .

    ANALISIS METABOLIT SEKUNDER EKSTRAK JAHE

    MERAH DARI DAERAH CIAMPEA, PURWOREJO,

    DAN PACITAN DENGAN KROMATOGRAFI

    CAIR KINERJA TINGGI

    DIANA AGUSTINI RAHARJA

    PROGRAM KEAHLIAN ANALISIS KIMIA

    PROGRAM DIPLOMA

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2015

  • PERNYATAAN MENGENAI LAPORAN TUGAS AKHIR DAN

    SUMBER INFORMASI

    Dengan ini saya menyatakan laporan tugas akhir berjudul Analisis Metabolit

    Sekunder Ekstrak Jahe Merah dari Daerah Ciampea, Purworejo, dan Pacitan

    dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi adalah benar karya saya dengan arahan

    dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan

    tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

    diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

    daftar pustaka di bagian akhir laporan ini.

    Bogor, Juni 2015

    Diana Agustini Raharja

    NIM J3L112168

  • ABSTRACT

    DIANA AGUSTINI RAHARJA. Analysis of Secondary Metabolites in Red

    Ginger Extract from Ciampea, Purworejo, and Pacitan by High Performance

    Liquid Chromatography. Supervised by INDA SETYAWATI and SITI

    SADIAH.

    Red ginger rhizome in industrial scales is used as herbal medicine. The

    substances which give functional benefits as herbal medicine are secondary

    metabolites (6-, 8-, 10-gingerol, and 6-shogaol). These metabolites are affected by

    different agroecological conditions where the red ginger is growing. Therefore,

    its very important to determine 6-, 8-, 10-gingerol, and 6-shogaol based on the location of red ginger growth. The method used in this study were maceration

    with 96% ethanol and quantification of 6-, 8-, 10-gingerol, and 6-shogaol by high

    performance liquid chromatography. The results showed that the best quality of

    red ginger sample based on the yield of extract and level of 6-, 8-, and 10-gingerol

    was the red ginger that cultivated in Ciampea. Its yield of extract was 12.90% and

    its level of 6-, 8-, 10-gingerol were 17.28, 3.93, and 5.56%, respectively.

    However, red ginger that cultivated in Purworejo had the highest level of 6-

    shogaol. Its level of 6-shogaol was 1.80%.

    Keywords: agroecology, gingerol, high performance liquid chromatography, red

    ginger rhizome, shogaol

  • RINGKASAN

    DIANA AGUSTINI RAHARJA. Analisis Metabolit Sekunder Ekstrak Jahe

    Merah dari Daerah Ciampea, Purworejo, dan Pacitan dengan Kromatografi Cair

    Kinerja Tinggi. Dibimbing oleh INDA SETYAWATI dan SITI SADIAH.

    Jahe merah terutama bagian rimpangnya dalam skala industri dimanfaatkan

    sebagai produk herbal. Manfaat jahe merah salah satunya ialah sebagai antitumor

    dan hepatoptotektif. Beberapa manfaat fungsional tersebut disebabkan oleh

    adanya metabolit sekunder dalam jahe merah, seperti gingerol dan shogaol. Mutu

    jahe merah berdasarkan kandungan metabolit sekunder tersebut dipengaruhi oleh

    adanya perbedaan kondisi agroekologi. Oleh karena itu, untuk menentukan jahe

    merah terbaik yang dapat digunakan dalam produksi produk herbal, rendemen

    ekstrak serta kadar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol dalam jahe merah dari

    daerah Ciampea, Purworejo, dan Pacitan perlu ditentukan.

    Pengoptimuman metode dan pelarut ekstraksi telah dilakukan pada

    penelitian sebelumnya. Maserasi dengan etanol 96% memberikan kadar 6-, 8-, 10-

    gingerol, dan 6-shogaol paling optimum. Analisis 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-

    shogaol dilakukan dengan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)

    dengan detektor photodiode array (PDA) pada panjang gelombang 280 nm. Hasil

    yang diperoleh menunjukkan bahwa jahe merah dengan mutu terbaik ialah jahe

    merah yang ditanam di daerah Ciampea dengan rendemen ekstrak sebesar 12.90%

    serta kadar 6-, 8-, dan 10-gingerol berturut-turut 17.28, 3.93, dan 5.56%

    berdasarkan bobot ekstrak. Akan tetapi, jahe merah yang ditanam di daerah

    Purworejo memiliki kadar 6-shogaol tertinggi, yaitu 1.80% berdasarkan bobot

    ekstrak.

    Kata kunci: agroekologi, gingerol, kromatografi cair kinerja tinggi, rimpang jahe

    merah, shogaol

  • Laporan Tugas Akhir

    sebagai salah satu syarat untuk memeroleh gelar

    Ahli Madya

    pada

    Program Keahlian Analisis Kimia

    ANALISIS METABOLIT SEKUNDER EKSTRAK JAHE

    MERAH DARI DAERAH CIAMPEA, PURWOREJO,

    DAN PACITAN DENGAN KROMATOGRAFI

    CAIR KINERJA TINGGI

    DIANA AGUSTINI RAHARJA

    PROGRAM KEAHLIAN ANALISIS KIMIA

    PROGRAM DIPLOMA

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2015

  • Ob JUL 201:i Tanggal Lulus:

    Direktur Ann~Si.MSi

    Koordinator Program Keahliau

    Dikctahui olch

    ~-q Inda Sctvawati. STP. MSi

    Pembimbing I

    Disetujui oleh

    .lahe Merah dari Pacitan dengan

    : Analisis Metabolit Seknnder Ekstrak Daerah Ciampca, Purworejo, dan Kromatograli Cair Kinerja Tinggi

    : Diana Agustini Rabarja : J3Lll2L68

    Nam a NIM

    Judul Tugas Akbir

  • PRAKATA

    Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

    karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir dengan

    judul Analisis Metabolit Sekunder Ekstrak Jahe Merah dari Daerah Ciampea, Purworejo, dan Pacitan dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Laporan ini disusun berdasarkan hasil praktik kerja lapangan (PKL) di Pusat Studi

    Biofarmaka, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut

    Pertanian Bogor (PSB LPPM IPB) yang berlokasi di Kampus IPB Taman

    Kencana nomor 3, Bogor 16128, dari tanggal 2 Februari sampai 1 Mei 2015.

    Dalam menyelesaikan laporan tugas akhir ini, penulis menyampaikan terima

    kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan dalam

    segala hal kepada penulis; Ibu Inda Setyawati selaku dosen pembimbing, Ibu Siti

    Sadiah selaku pembimbing lapangan, seluruh analis dan staf PSB, serta rekan PKL Tiara Aprina. Tidak lupa tentunya penulis menyampaikan terima kasih

    kepada kedua orang tua serta keluarga atas doa dan dukungannya yang tulus.

    Semoga laporan tugas akhir ini bermanfaat.

    Bogor, Juni 2015

    Diana Agustini Raharja

  • DAFTAR ISI

    DAFTAR TABEL vii

    DAFTAR GAMBAR vii

    DAFTAR LAMPIRAN viii

    1 PENDAHULUAN 1

    2 KEADAAN UMUM PUSAT STUDI BIOFARMAKA 2

    2.1 Sejarah Singkat dan Lokasi Institusi 2

    2.2 Visi dan Misi 3 2.3 Lingkup dan Kompetensi 3

    2.4 Struktur Organisasi 3 3 METODE 3

    3.1 Alat dan Bahan 3

    3.2 Analisis Kadar Air dan Kadar Abu (Standar Nasional Indonesia 01-2891-

    1992) 4

    3.3 Ekstraksi Simplisia Rimpang Jahe Merah (Modifikasi Shinde et al. 2012) 4 3.4 Analisis Kadar 6-, 8-, 10-Gingerol, dan 6-Shogaol dengan KCKT

    (Modifikasi Lee et al. 2007) 5 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 5

    4.1 Kadar Air dan Kadar Abu 5

    4.2 Rendemen Ekstrak 6 4.3 Kadar 6-, 8-, 10-Gingerol, dan 6-Shogaol 7

    5 SIMPULAN DAN SARAN 10

    5.1 Simpulan 10 5.2 Saran 10

    DAFTAR PUSTAKA 10

    LAMPIRAN 13

    DAFTAR TABEL

    1 Komposisi fase gerak untuk penentuan 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol 5

    2 Hasil penentuan kadar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol 8

    DAFTAR GAMBAR

    1 Struktur 3 jenis gingerol dan 6-shogaol 1

    2 Kadar air dan abu simplisia rimpang jahe merah 6 3 Rendemen ekstrak 7

    4 Kromatogram standar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol 8

  • DAFTAR LAMPIRAN

    1 Struktur organisasi Pusat Studi Biofarmaka 13

    2 Alur kerja 14 3 Penentuan kadar air dan kadar abu 15

    4 Penentuan rendemen ekstrak 16

    5 Kromatogram standar dan sampel jahe merah 16

    6 Penentuan kadar 6-,8-,10-gingerol, dan 6-shogaol dalam rimpang jahe

    merah 19

  • 1

    1 PENDAHULUAN

    Rimpang jahe merupakan salah satu jenis rempah yang banyak tumbuh di

    Indonesia. Rimpang jahe, terutama jahe merah (Zingiber officinale) (Farmakope

    Herbal Indonesia 2008) memiliki aroma yang harum dan berasa pedas. Aroma

    harum disebabkan oleh minyak atsiri, sedangkan rasa pedas disebabkan oleh

    oleoresin. Oleoresin terdiri atas metabolit sekunder pembentuk rasa pedas yang

    tidak menguap di antaranya gingerol dan shogaol (Gambar 1). Rimpang jahe

    merah selain mengandung minyak atsiri (4.0%), juga mengandung campuran

    hidrokarbon seskuiterpena (10.0-16.0%), protein (12.3%), pati (45.3%), lemak

    (4.5%), fosfolipid, sterol (0.5%), serat kasar (10.3%), vitamin (B1, C, A, E,

    riboflavin, niasin, dan piridoksin), gula pereduksi (glukosa, fruktosa, dan

    arabinosa), serta beberapa mineral (Ravindran dan Babu 2005). Berdasarkan

    kandungan senyawa tersebut, jahe merah digunakan dalam skala industri sebagai

    produk herbal. Khasiat rimpang jahe merah sebagai produk herbal telah

    dibuktikan secara ilmiah.

    (CH2)n CH3

    O OH

    H3CO

    OH

    (CH2)4 CH3

    O

    H3CO

    OH

    6-gingerol: n = 4

    8-gingerol: n = 6

    10-gingerol: n = 8

    6-shogaol

    Gambar 1 Struktur 3 jenis gingerol dan 6-shogaol

    Jahe merah dapat menjadi obat herbal alternatif untuk mencegah mabuk

    perjalanan, mual, sebagai antiradang (Grant dan Lutz 2000), antimikrob (Hasan et

    al. 2012), serta anti-Toxoplasma gondii (Choi et al. 2013). Senyawa gingerol yang

    merupakan metabolit sekunder jahe merah diketahui berperan aktif sebagai

    inhibitor tirosinase (Khanom et al. 2003). Senyawa 6-, 10-gingerol, dan shogaol

    juga diketahui dapat menghambat kanker kolon (Sarkar et al. 2011). Senyawa

    shogaol terutama 6-shogaol memiliki aktivitas sebagai antitumor (Rong et al.

    2012) dan dapat digunakan sebagai hepatoprotektif yang lebih baik dibandingkan

    dengan 6-gingerol (Alqasoumi et al. 2011). Senyawa 6-shogaol bahkan memiliki

    aktivitas antioksidan paling tinggi dibandingkan dengan gingerol dan senyawa

    shogaol lainnya (Guo et al. 2014). Berdasarkan manfaat fungsional tersebut,

    metabolit sekunder yang terkandung dalam jahe merah, seperti 6-, 8-, 10-gingerol,

    dan 6-shogaol dijadikan parameter mutu dari jahe merah.

    Mutu rimpang jahe merah berdasarkan kandungan metabolit sekunder

    tersebut dipengaruhi oleh adanya perbedaan kondisi agroekologi. Berdasarkan

    data produksi jahe tahun 2011, jahe di Indonesia berasal dari Provinsi Jawa

    Tengah (22%), Jawa Barat (21%), Jawa Timur (15%), Kalimantan Selatan (5.6%),

    Sumatera Utara (5.3%), Lampung (4.9%), Bengkulu (3.3%), dan sisanya sebesar

  • 2

    23% merupakan kontribusi dari provinsi lainnya (Pusdatin 2013). Oleh karena itu,

    sampel jahe merah yang digunakan untuk produksi ekstrak dalam kajian ini

    mewakili ketiga provinsi penghasil jahe terbesar, yaitu Jawa Tengah (Purworejo),

    Jawa Barat (Ciampea), dan Jawa Timur (Pacitan). Sampel rimpang jahe merah

    yang akan ditentukan kandungan metabolit sekundernya perlu diekstraksi terlebih

    dahulu.

    Pengoptimuman metode (maserasi dan soxhletasi) dan pelarut ekstraksi

    (etanol 96, 70, dan 30% dalam air) rimpang jahe merah telah dilakukan pada

    penelitian sebelumnya. Maserasi dengan etanol 96% memberikan kadar 6-, 8-, 10-

    gingerol, dan 6-shogaol yang optimum. Oleh karena itu, ekstraksi metabolit

    sekunder pada kajian ini dilakukan dengan cara maserasi menggunakan etanol

    96%. Menurut Lee et al. (2007), pelarut metanol memberikan kadar 6-, 8-, 10-

    gingerol, dan 6-shogaol lebih tinggi daripada etanol. Akan tetapi, metanol tidak

    digunakan dalam kajian ini, karena bersifat toksik jika dikonsumsi (non-food

    grade), dan untuk membuat produk herbal lazim digunakan pelarut etanol.

    Praktik kerja lapangan (PKL) ini bertujuan menentukan rendemen ekstrak

    serta kadar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol dalam rimpang jahe merah yang

    berasal dari daerah Ciampea, Purworejo, dan Pacitan. Penentuan kadar keempat

    metabolit sekunder tersebut dilakukan dengan menggunakan kromatografi cair

    kinerja tinggi (KCKT). Hal ini dilakukan untuk menentukan jahe merah terbaik

    yang dapat digunakan dalam produksi produk herbal berbasis jahe merah.

    Kegiatan PKL dimulai tanggal 2 Februari sampai 1 Mei 2015 di Pusat Studi

    Biofarmaka, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut

    Pertanian Bogor (PSB LPPM IPB), di bagian unit Laboratorium Pusat Studi

    Biofarmaka (LPSB).

    2 KEADAAN UMUM PUSAT STUDI BIOFARMAKA

    2.1 Sejarah Singkat dan Lokasi Institusi

    Pusat Studi Biofarmaka (PSB) merupakan lembaga di bawah Lembaga

    Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (LPPM IPB)

    yang menghimpun dan melibatkan peneliti-peneliti yang memiliki keahlian dan

    pengalaman bekerja atau bekerja sama dalam melakukan penelitian biofarmaka

    mulai dari eksplorasi, konservasi, budi daya, ekstraksi, analisis komposisi,

    standardisasi, uji khasiat sampai pada uji praklinis. PSB didirikan oleh Prof Dr Ir

    Latifah K Darusman, MS; Prof Dr drh Dondin Sajuthi, MST; Prof Dr Ir Suminar

    Setiati Achmadi, MSc, PhD; Prof Dr drh Tony Ungerer, MS, PhD; dan Prof Dr Ir

    Dudung Darusman, MA pada tahun 1998. PSB dibentuk untuk mengkaji serta

    memanfaatkan pengetahuan dan kekayaan alam (sumber daya hayati) untuk

    meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia khususnya dan dunia umumnya.

    PSB mengkaji serta memanfaatkan pengetahuan dan kekayaan alam berbasis

    biofarmaka. Biofarmaka merupakan tumbuhan, hewan, maupun mikrob yang

    memiliki potensi sebagai obat dan nutrasetika, baik untuk manusia, hewan,

    maupun tumbuhan. PSB terletak di Kampus IPB Taman Kencana, Jalan Taman

    Kencana nomor 3, Bogor 16128.

  • 3

    2.2 Visi dan Misi

    Visi yang diemban Pusat Studi Biofarmaka ialah menjadi pusat studi yang

    terkemuka dalam bidang kajian biofarmaka yang memaksimalkan nilai tambah

    bahan hayati baik di dalam maupun di luar negeri. Adapun misi yang dilakukan

    untuk mencapai visi tersebut ialah menggalang, mensinergiskan, dan

    meningkatkan kerja sama di antara sumber daya manusia, unit-unit di IPB serta di

    luar IPB dalam mewujudkan upaya peningkatan nilai tambah keanekaragaman

    hayati yang berprospek biofarmaka; mengembangkan ilmu, teknologi, dan seni

    yang berorientasi ke depan dengan basis penelitian sehingga mampu

    menghasilkan luaran berupa ilmu pengetahuan dan teknologi, potensi, dan produk

    biofarmaka yang memenuhi syarat paten dan berorientasi hak kekayaan

    intelektual (HaKI) yang dapat mendukung kemandirian bangsa; serta mendukung

    peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan, pelatihan, dan pengabdian

    pada masyarakat.

    2.3 Lingkup dan Kompetensi

    Untuk menjamin tercapainya visi dan misi tersebut, PSB melakukan

    eksplorasi dan kajian bioprospeksi sumber daya alam serta pengembangan HaKI

    yang berasal dari pengetahuan lokal; standardisasi dan penelaahan mekanisme

    kerja kimia dan biologis bahan baku serta produk biofarmaka termasuk

    nutrasetika untuk manusia, hewan, dan tumbuhan dalam kerangka unggulan atau

    prioritas nasional; kajian aspek sosial dan ekonomi dalam pengembangan

    biofarmaka dan melakukan pemberdayaan masyarakat melalui demonstration plot

    (dem-plot) dan pendampingan; serta pengembangan produk berbasis HaKI untuk

    penyakit atau nutrasetika unggulan. PSB dalam kompetensinya melakukan

    penelitian dari hulu hingga hilir dalam bidang biofarmaka termasuk nutrasetika

    melalui pendekatan dan penerapan yang bersifat multidisiplin atau interdisiplin.

    2.4 Struktur Organisasi

    Pusat Studi Biofarmaka memiliki struktur organisasi yang terdiri atas kepala

    Pusat Studi Biofarmaka, sekretaris eksekutif, sekretaris teknis, empat divisi, dan

    lima unit pelaksana teknis (Lampiran 1).

    3 METODE

    3.1 Alat dan Bahan

    Alat-alat yang digunakan ialah kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)

    Shimadzu LC 20A dengan detektor photodiode array (PDA) dan kolom C18

    Shim-Pack VP-ODS (150 mm 4.6 mm), mesin gerus, pengayak, pisau, penguap

    putar Bchi, sonikator Bransonic, oven Memmert, tanur listrik Vulcan

    TM 3-

    550PD NEY, neraca analitik Sartorius, gegep besi, cawan porselen, pembakar

  • 4

    bunsen, dan alat-alat kaca yang lazim di laboratorium kimia. Bahan-bahan yang

    digunakan ialah rimpang jahe merah tahun 2015 dari Ciampea (Jawa Barat),

    Purworejo (Jawa Tengah), dan Pacitan (Jawa Timur), kertas saring Whatman no.

    41, kertas saring Whatman 0.45 m, metanol untuk KCKT, asetonitril untuk

    KCKT, akuabides, standar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol masing-masing

    dengan konsentrasi 50, 25, 50, dan 50 ppm, serta etanol teknis 96% (v/v).

    3.2 Analisis Kadar Air dan Kadar Abu (Standar Nasional Indonesia 01-

    2891-1992)

    Rimpang jahe merah diiris tipis-tipis, dipanaskan dengan oven pada suhu 50

    C hingga kering, dihaluskan dengan mesin gerus, kemudian diayak dengan pengayak. Kadar air ditentukan dengan cara simplisia jahe merah sebanyak 2 g

    ditimbang pada cawan porselen yang sudah diketahui bobotnya. Simplisia jahe

    merah dikeringkan pada oven suhu 105 C selama 3 jam, didinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang. Pekerjaan ini diulangi sampai diperoleh bobot

    tetap. Kadar abu ditentukan dengan cara simplisia jahe merah hasil penentuan

    kadar air diarangkan di atas pembakar bunsen. Setelah itu, arang diabukan dalam

    tanur listrik pada suhu 550 C sampai pengabuan sempurna, didinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang sampai bobot tetap. Percobaan diulangi 3 kali.

    Kadar air = Bobot air g

    Bobot sampel basah g 100

    = Bobot sampel basah bobot cawan dan sampel keringbobot cawan kosong g

    Bobot sampel basah g 100

    Kadar abu =Bobot abu g

    Bobot sampel kering g 100

    =(Bobot cawan dan abubobot cawan kosong) g

    (Bobot cawan dan sampel keringbobot cawan kosong) g 100

    3.3 Ekstraksi Simplisia Rimpang Jahe Merah (Modifikasi Shinde et al. 2012)

    Simplisia jahe merah yang berasal dari Ciampea, Purworejo, dan Pacitan

    sebanyak 50 g ditimbang dan diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan

    pelarut etanol teknis dengan konsentrasi 96% selama 48 jam masing-masing

    sebanyak 250 mL. Filtrat yang diperoleh disaring menggunakan kertas saring

    Whatman no. 41. Filtrat dipekatkan dengan menggunakan penguap putar. Ekstrak

    yang diperoleh dimasukkan ke dalam botol kosong yang telah diketahui bobotnya,

    kemudian ditimbang. Percobaan diulangi 2 kali.

    Rendemen ekstrak =Bobot ekstrak (g)

    Bobot simplisia kering(g)100

    = Bobot botol dan ekstrakbobot botol kosong (g)

    [Bobot simplisia basah(bobot simplisia basah kadar air)] (g)100

  • 5

    3.4 Analisis Kadar 6-, 8-, 10-Gingerol, dan 6-Shogaol dengan KCKT

    (Modifikasi Lee et al. 2007)

    Ekstrak rimpang jahe merah yang berasal dari Ciampea, Purworejo, dan

    Pacitan sebanyak 100 mg dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 100 mL,

    ditambahkan metanol untuk KCKT sebanyak 80 mL, kemudian disonikasi sampai

    larut. Larutan tersebut disaring dengan kertas saring Whatman no. 41 ke dalam

    labu takar 100 mL, kemudian diimpitkan sampai tanda tera dengan metanol untuk

    KCKT. Larutan dalam labu takar 100 mL disaring dengan menggunakan kertas

    saring Whatman 0.45 m. Larutan sampel dan standar 6-, 8-, 10-gingerol, serta 6-

    shogaol dianalisis dengan KCKT Shimadzu LC 20A. Fase gerak yang digunakan

    ialah gradien asetonitril dengan akuabides (Tabel 1). Laju alirnya 1 mL/menit.

    Panjang gelombang yang digunakan untuk deteksi ialah 280 nm. Percobaan

    diulangi 2 kali.

    Tabel 1 Komposisi fase gerak untuk penentuan 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol

    Waktu (menit) Akuabides (%) Asetonitril (%)

    0 60 40

    10 60 40

    40 10 90

    40.5 0 100

    45 0 100

    Kadar senyawa ppm =Luas puncak senyawa dalam sampel kadar senyawa dalam standar (ppm)

    Luas puncak senyawa dalam standar

    Rendemen senyawa (% b/b ekstrak) = Kadar senyawa ppm volume larutan (L)

    Bobot ekstrak (mg)100

    Rendemen senyawa (% b/b simplisia kering) =

    Rendemen senyawa (% b/b ekstrak) bobot ekstrak (g)

    [Bobot simplisia basah(bobot simplisia basah kadar air)] (g)

    100

    4 HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Kadar Air dan Kadar Abu

    Bagian rimpang jahe merah dibuat dalam bentuk simplisia. Dalam bentuk

    simplisia, volume jahe merah akan lebih kecil dibandingkan dalam keadaan masih

    segar, sehingga memudahkan penyimpanan dan transportasi. Bentuk simplisia

    juga lebih tahan lama, cita rasanya lebih menonjol, serta lebih menjamin mutu

    produk akhir, karena dapat distandardisasi (Yuliani dan Kailaku 2009). Rimpang

    jahe merah yang dibuat menjadi simplisia perlu dianalisis kadar airnya. Simplisia

    rimpang jahe merah yang berasal dari Ciampea (Jawa Barat), Purworejo (Jawa

    Tengah), dan Pacitan (Jawa Timur) memiliki kadar air berturut-turut 13.60, 12.39,

    dan 14.19% (Gambar 2; Lampiran 3). Menurut Ishartani dan Praseptiangga (2013),

  • 6

    salah satu syarat mutu jahe kering sesuai dengan Standar Nasional Indonesia

    (SNI) 01-3393-1994 ialah memiliki kadar air maksimal 12.00%. Sampel dari

    ketiga lokasi tersebut memiliki kadar air di atas 12.00%, sehingga tidak memenuhi

    salah satu syarat mutu jahe kering.

    Gambar 2 Kadar air ( ) dan abu ( ) simplisia rimpang jahe merah

    Simplisia jahe merah dengan kadar air melebihi syarat mutu memiliki masa

    simpan yang pendek. Dengan kadar air di atas 12.00%, simplisia memiliki kondisi

    yang lembap, sehingga dapat diserang oleh jamur dan hama gudang (serangga)

    yang dapat menurunkan mutu simplisia tersebut. Kadar air dalam simplisia dapat

    diturunkan dengan cara dikeringkan lagi sampai diperoleh kadar air di bawah

    12.00%. Menurut Yuliani dan Kailaku (2009), simplisia sebaiknya disimpan

    dalam wadah atau kemasan yang kering, bersih, dan tertutup rapat. Jika simplisia

    dibiarkan di udara terbuka, kadar air simplisia dapat meningkat kembali akibat

    menyerap air dari lingkungan.

    Simplisia jahe merah yang berasal dari Purworejo dan Pacitan memiliki

    kadar abu berturut-turut 9.95 dan 12.84% (Gambar 2; Lampiran 2). Menurut

    Ishartani dan Praseptiangga (2013), salah satu syarat mutu jahe kering sesuai

    dengan SNI 01-3393-1994 ialah memiliki kadar abu tidak lebih dari 8.00%. Hal

    ini menunjukkan bahwa kadar abu simplisia yang berasal dari Purworejo dan

    Pacitan tidak memenuhi salah satu syarat mutu jahe kering. Simplisia jahe merah

    dari Ciampea memiliki kadar abu sesuai dengan syarat mutu jahe kering, yaitu

    7.05%. Kadar abu menunjukkan banyaknya bahan-bahan anorganik atau mineral

    yang terkandung dalam simplisia. Menurut Latona et al. (2012), jahe mengandung

    mineral utama seperti zink (Zn) sebanyak 64.0 ppm, mangan (Mn) 5.90 ppm, besi

    (Fe) 279.7 ppm, tembaga (Cu) 8.80 ppm, kalsium (Ca) 280.0 ppm, dan fosforus

    (P) 8068.0 ppm.

    4.2 Rendemen Ekstrak

    Rimpang jahe merah dari Ciampea memiliki rendemen ekstrak tertinggi

    dibandingkan dengan sampel dari Purworejo dan Pacitan, yaitu 14.92% (Gambar

    3; Lampiran 4). Menurut Farmakope Herbal Indonesia (2008), rendemen ekstrak

    rimpang jahe merah tidak kurang dari 6.60%. Rendemen ekstrak rerata yang

    diperoleh dari ketiga lokasi tersebut di atas 6.60%. Oleh karena itu, proses

    13.6012.39

    14.19

    7.05

    9.95

    12.84

    0.00

    2.00

    4.00

    6.00

    8.00

    10.00

    12.00

    14.00

    16.00

    Ciampea Purworejo Pacitan

    Kad

    ar (

    %)

    Daerah asal sampel

  • 7

    ekstraksi yang dilakukan telah memberikan rendemen ekstrak yang baik. Proses

    ekstraksi rimpang jahe merah pada kajian ini dilakukan pada simplisia. Menurut

    Harvey (2000), mengurangi ukuran partikel dapat memperbesar luas permukaan.

    Oleh karena itu, proses ekstraksi dapat berlangsung secara optimum pada

    simplisia, sebab kontak yang terjadi antara sampel dan pelarut lebih luas.

    Gambar 3 Rendemen ekstrak

    Ekstrak yang diperoleh merupakan hasil pengoptimuman metode ekstraksi

    (maserasi dan soxhletasi) serta pelarut ekstraksi (etanol 96, 70, dan 30% dalam

    air) yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Maserasi dengan etanol

    96% memberikan kadar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol yang optimum. Oleh

    karena itu, ekstraksi pada kajian ini menggunakan maserasi dengan etanol 96%.

    Jika simplisia jahe merah diekstraksi pada suhu tinggi (di atas 60 C), senyawa 6-shogaol yang dihasilkan akan lebih tinggi dibandingkan dengan metode maserasi.

    Hal ini dikarenakan sebagian gingerol terdehidrasi menjadi shogaol pada suhu 60

    C (Hargono et al. 2013). Senyawa 6-shogaol merupakan senyawa minor dalam jahe yang lebih berpotensi bioaktif daripada 6-gingerol. Produksi 6-shogaol dapat

    ditingkatkan dengan menaikkan suhu pengeringan dan ekstraksi. Selain itu,

    penyesuaian pH pelarut yang digunakan untuk ekstraksi dengan asam kuat juga

    membantu meningkatkan produksi 6-shogaol. Produksi 6-shogaol secara efisien

    diperoleh pada kondisi sangat asam, yaitu pada pH 1 (Seon dan Woo 2012).

    4.3 Kadar 6-, 8-, 10-Gingerol, dan 6-Shogaol

    Berdasarkan bobot ekstrak, kadar 6-, 8-, dan 10-gingerol paling tinggi pada

    jahe merah dari Ciampea berturut-turut 17.28, 3.93, dan 5.56%, sedangkan

    berdasarkan bobot simplisia kering, jahe merah dari Pacitan memiliki kadar paling

    tinggi beturut-turut 2.29, 0.50, dan 0.76% (Tabel 2; Lampiran 6). Untuk 6-shogaol,

    jahe merah yang berasal dari Purworejo memiliki kadar paling tinggi, yaitu 1.80%

    berdasarkan bobot ekstrak atau 0.30% berdasarkan bobot simplisia kering. Hal ini

    menunjukkan bahwa berdasarkan bobot ekstrak, jahe merah dari Ciampea paling

    baik untuk pertumbuhan tanaman jahe merah dengan kadar gingerol yang tinggi.

    14.92

    13.55 13.52

    12.50

    13.00

    13.50

    14.00

    14.50

    15.00

    15.50

    Ciampea Purworejo Pacitan

    Ren

    dem

    en e

    kst

    rak

    (%

    )

    Daerah asal sampel

  • 10

    25000

    1--1L--==~~~::::=~3;0 ~~- 35 0 ----'""'v--- ----- 25 merut 15 20 0

    uV

    8

    Tabel 2 Hasil penentuan kadar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol

    Lokasi sampel Kadar senyawa (%*)

    *Berdasarkan bobot ekstrak

    6-Gingerol 8-Gingerol 6-Shogaol 10-Gingerol

    Ciampea 17.28 3.93 1.50 5.56

    Purworejo 6.93 1.29 1.80 2.41

    Pacitan 16.19 3.51 0.77 5.40

    *Berdasarkan bobot simplisia kering

    6-Gingerol 8-Gingerol 6-Shogaol 10-Gingerol

    Ciampea 1.31 0.30 0.11 0.42

    Purworejo 1.16 0.22 0.30 0.40

    Pacitan 2.29 0.50 0.13 0.76

    Senyawa 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol dianalisis dengan menggunakan

    KCKT (Guo et al. 2014), karena KCKT dapat menganalisis senyawa-senyawa

    yang bersifat tidak mudah menguap. Pemisahan terjadi disebabkan oleh perbedaan

    interaksi komponen dengan fase gerak dan fase diam, yang ditentukan oleh

    tingkat kepolaran senyawa (Harvey 2000). Analisis kualitatif dilakukan

    berdasarkan waktu retensi, sedangkan analisis kuantitatif dilakukan berdasarkan

    luas puncak yang dibandingkan dengan standar. Urutan waktu retensi senyawa

    dari yang keluar terlebih dahulu ialah 6-gingerol (12.855 menit), 8-gingerol

    (24.245 menit), 6-shogaol (25.772 menit), kemudian 10-gingerol (31.372 menit)

    (Gambar 4; Lampiran 5). Panjang gelombang deteksi yang dapat digunakan ialah

    225 sampai 284 nm. Panjang gelombang yang digunakan pada kajian ini ialah 280

    nm.

    Gambar 4 Kromatogram standar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol

    Pelarut serta metode ekstraksi yang digunakan memengaruhi banyaknya

    metabolit sekunder jahe merah yang terekstraksi. Lee et al. (2007) telah

    mengoptimumkan pelarut ekstraksi untuk mengekstraksi jahe asal Beijing (Cina)

    secara ultrasonikasi. Kadar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol dalam pelarut

    metanol berturut-turut 9.7, 1.7, 2.4, dan 2.2 mg/g, sedangkan dalam metanol-air

    50:50 berturut-turut 9.5, 1.5, 2.3, dan 2.0 mg/g. Dalam pelarut etanol, kadar 6-, 8-,

    10-gingerol, dan 6-shogaol yang diperoleh berturut-turut 8.9, 1.6, 2.2, dan 2.0

    mg/g; dalam pelarut heksana berturut-turut 7.7, 1.4, 1.9, dan 1.7 mg/g; sedangkan

    dalam pelarut air berturut-turut 2.6, 0.0, 0.0, dan 0.0 mg/g. Berdasarkan hasil

    pengoptimuman Lee et al. (2007), pelarut metanol memberikan kadar 6-, 8-, 10-

    gingerol, dan 6-shogaol paling tinggi dibandingkan dengan metanol-air 50:50,

  • 9

    etanol, heksana, maupun air. Akan tetapi, pelarut metanol tidak digunakan dalam

    kajian ini.

    Pelarut metanol tidak digunakan karena bersifat toksik jika dikonsumsi

    (non-food grade), sehingga tidak dapat diaplikasikan untuk memproduksi produk

    herbal. Metanol dalam tubuh dimetabolisme secara lambat menjadi formaldehida,

    kemudian formaldehida secara cepat dimetabolisme menjadi asam format.

    Metabolit tersebut berperan besar terhadap toksisitas yang dimiliki oleh metanol

    (Jacobsen dan McMartin 2012). Metanol dapat menyebabkan asidosis,

    hiperosmolalitas, kebutaan akibat rusaknya retina, dan disfungsi neurologis akibat

    kerusakan putaminal (Kraut dan Kurtz 2008).

    Pelarut air lebih aman digunakan, tetapi metabolit sekunder yang

    terekstraksi paling sedikit dibandingkan dengan pelarut-pelarut lainnya (Lee et al.

    2007). Selain itu, jika air digunakan sebagai pelarut, diperlukan suhu penguapan

    yang cukup tinggi untuk menghilangkan sebagian besar air dalam ekstrak. Oleh

    karena itu, senyawa-senyawa yang labil terhadap panas tidak cocok menggunakan

    pelarut air. Etanol diketahui sebagai pelarut yang lazim digunakan dalam bidang

    farmasi serta dapat diberikan secara intravena ataupun secara oral (Kraut dan

    Kurtz 2008), maka dipilih untuk membuat produk herbal ekstrak rimpang jahe

    merah.

    Lee et al. (2007) juga telah mengoptimumkan metode ekstraksi jahe di

    antaranya refluks, ultrasonikasi, dan soxhletasi dengan metanol sebagai pelarut

    ekstraksinya. Kadar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol berturut-turut 9.6, 1.3, 2.0,

    dan 1.7 mg/g dengan metode ultrasonikasi; 9.6, 1.3, 1.9, dan 1.7 mg/g dengan

    metode refluks; serta 8.0, 1.2, 1.6, dan 1.8 mg/g dengan metode soxhletasi.

    Berdasarkan hasil ini, metode ekstraksi ultrasonikasi memberikan kadar 6-, 8-,

    dan 10-gingerol paling tinggi.

    Kandungan metabolit sekunder jahe merah serta hasil rimpang jahe merah

    juga dipengaruhi oleh perbedaan kondisi agroekologi, seperti keberadaan hama

    dan keadaan tanah pada waktu jahe ditanam. Jenis jahe, perlakuan atas hasil

    rimpang setelah dipanen, dan cara budi daya juga memengaruhi kandungan

    metabolit sekunder jahe merah. Lingkungan yang memiliki banyak hama

    meningkatkan kandungan minyak atsiri dan gingerol dalam jahe merah. Dengan

    adanya banyak hama, kandungan minyak atsiri dalam jahe merah meningkat

    sebanyak 37% dibandingkan dengan tanaman yang tidak terinfeksi hama,

    sedangkan kandungan gingerol meningkat hampir tiga kali lipatnya (Yusron

    2009). Konsentrasi senyawa fenolik dalam rimpang jahe merah juga meningkat

    6.2 kali pada tanaman yang tumbuh di ladang dibandingkan dengan tanaman yang

    tumbuh secara hidroponik (Pedneault et al. 2002).

    Menurut Sudiarto dan Gusmaini (2004), kandungan bahan organik dalam

    tanah berperan penting dalam pertumbuhan rimpang jahe merah. Tekstur tanah

    dengan fraksi pasir yang tinggi menyebabkan agregasi tanah semakin longgar.

    Rimpang jahe merah biasanya tumbuh dan berkembang secara optimum di tanah

    yang longgar (Yusron 2009). Tanaman jahe yang ditanam terutama pada tanah liat

    merah berpasir juga memberikan hasil panen yang tinggi (Ravindran dan Babu

    2005). Selain itu, penggunaan pupuk hayati dan fosfat alam dapat meningkatkan

    kadar senyawa-senyawa yang terkandung di dalam rimpang jahe merah (Yusron

    2009).

  • 10

    Fosfat alam dengan pupuk hayati yang mengandung beberapa bakteri yang

    menguntungkan, salah satunya bakteri pelarut fosfat dapat meningkatkan

    ketersediaan fosforus dan zat hara lainnya seperti nitrogen dan kalium (Yusron

    2009). Beberapa mikroorganisme aktif yang terdapat dalam pupuk hayati adalah

    Azospirillum lipoferum, Azotobacter vinelandii, Aeromonas punctata, dan

    Aspergillus niger (Ruhnayat 2011). Pupuk hayati dan fosfat alam tergolong pupuk

    yang proses pelepasannya lambat, sehingga zat hara yang diberikan tidak dapat

    diambil secara optimum oleh tanaman. Sebaliknya, pupuk kimia merupakan

    pupuk yang proses pelepasannya cepat, sehingga zat hara dapat digunakan oleh

    tanaman secara efisien (Yusron 2009).

    Berdasarkan jenis jahe, jahe merah memiliki kandungan total fenol dan total

    flavonoid lebih tinggi dibandingkan dengan jahe putih, tetapi jahe putih memiliki

    aktivitas inhibitor -amilase dan -glukosidase lebih tinggi. Oleh karena itu, jahe putih merupakan jenis jahe yang lebih efektif untuk mengatur atau mengontrol

    hiperglikemia yang terjadi pada penderita diabetes tipe 2 (Oboh et al. 2010).

    Berdasarkan perlakuannya setelah dipanen, rimpang jahe yang diolah

    menggunakan suhu tinggi akan menyebabkan terjadinya dehidrasi senyawa

    gingerol menjadi shogaol (Hargono et al. 2013). Selain itu, tanaman jahe yang

    ditanam secara konvensional memiliki kadar 6-gingerol, total fenol, dan total

    flavonoid lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman jahe yang ditumbuhkan

    dengan cara kultur kalus maupun dengan teknik mikropropagasi (Pawar et al.

    2015).

    5 SIMPULAN DAN SARAN

    5.1 Simpulan

    Jahe merah dengan mutu terbaik ialah jahe merah yang ditanam di daerah

    Ciampea dengan rendemen ekstrak sebesar 12.90% serta kadar 6-, 8-, dan 10-

    gingerol berturut-turut 17.28, 3.93, dan 5.56% berdasarkan bobot ekstrak. Akan

    tetapi, jahe merah yang ditanam di daerah Purworejo memiliki kadar 6-shogaol

    tertinggi, yaitu 1.80% berdasarkan bobot ekstrak.

    5.2 Saran

    Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan faktor-faktor

    agroekologi yang menyebabkan adanya perbedaan kandungan 6-, 8-, 10-gingerol,

    dan 6-shogaol dalam rimpang jahe merah.

    DAFTAR PUSTAKA

    Alqasoumi S, Yusufoglu H, Farraj A, Alam A. 2011. Effect of 6-shogaol and 6-

    gingerol on diclofenac sodium induced liver injury. Int J Pharmacol. 7(8):868-

    873.

  • 11

    [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891-1992. Cara Uji

    Makanan dan Minuman. Jakarta (ID): BSN.

    Choi WH, Jiang MH, Chu JP. 2013. Antiparasitic effects of Zingiber officinale

    (ginger) extract against Toxoplasma gondii. J Appl Biomed. 11(1):15-26.

    [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Farmakope

    Herbal Indonesia. Ed ke-1. Jakarta (ID): Depkes RI.

    Grant KL, Lutz RB. 2000. Alternative therapies: ginger. Am J Health Syst Pharm.

    57(10):945-947.

    Guo J, Wu H, Du L, Zhang W, Yang J. 2014. Comparative antioxidant properties

    of some gingerols and shogaols, and the relationship of their contents with the

    antioxidant potencies of fresh and dried ginger (Zingiber officinale Roscoe). J

    Agr Sci Tech. 16:1063-1072.

    Hargono, Pradhita F, Aulia MP. 2013. Pemisahan gingerol dari rimpang jahe

    segar melalui proses ekstraksi secara batch. Momentum. 9(2):16-21.

    Harvey D. 2000. Modern Analytical Chemistry. Ed ke-1. Amerika (US): The

    McGraw-Hill Companies, Inc.

    Hasan HA, Raauf AMR, Razik BMA, Hassan BAR. 2012. Chemical composition

    and antimicrobial activity of the crude extracts isolated from Zingiber

    officinale by different solvents. Pharmaceut Anal Acta. 3(9):1-5.

    Ishartani D, Praseptiangga D. 2013. Introduksi alat penanganan pasca panen

    empon-empon dan alat produksi serbuk simplisia kepada kelompok tani

    biofarmaka di Sinduharjo, Jatiharjo, Jatipuro, Karanganyar, Jawa Tengah. J

    Semar. 1(2):98-111.

    Jacobsen D, McMartin KE. 2012. Methanol and ethylene glycol poisonings

    mechanism of toxicity, clinical course, diagnosis, and treatment. Med Toxicol.

    1(5):309-334.

    Khanom F, Kayahara H, Hirota M, Tadasa K. 2003. Superoxide scavenging and

    tyrosinase inhibitor active compound in ginger (Zingiber officinale Roscoe).

    Pak J Biol Sci. 6(24):1996-2000.

    Kraut JA, Kurtz I. 2008. Toxic alcohol ingestions: clinical features, diagnosis, and

    management. Clin J Am Soc Nephrol. 3(1):208-225.

    Latona DF, Oyeleke GO, Olayiwola OA. 2012. Chemical analysis of ginger root.

    IOSRJAC. 1(1):47-49.

    Lee S, Khoo C, Halstead CW, Huynh T, Bensoussan A. 2007. Liquid

    chromatographic determination of 6-, 8-, 10-gingerol, and 6-shogaol in ginger

    (Zingiber officinale) as the raw herb and dried aqueous extract. J AOAC Int.

    90(5):1219-1226.

    Oboh G, Akinyemi AJ, Ademiluyi AO, Adefegha SA. 2010. Inhibitory effects of

    aqueous extract of two varieties of ginger on some key enzymes linked to type-

    2 diabetes in vitro. J Food Nutr Res. 49(1):14-20.

    Pawar N, Pai S, Nimbalkar M, Dixit G. 2015. RP-HPLC analysis of phenolic

    antioxidant compound 6-gingerol from in vitro cultures of Zingiber officinale

    Roscoe. Plant Sci Today. 2(1):24-28.

    Pedneault K, Lonhart S, Gosselin A. 2002. Variations in concentration of active

    compounds in four hydroponically- and filed-grown medicinal plant species.

    ISHS Acta Hort 580. 255-262.

    [Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013. Informasi Komoditas

    Holtikultura No. 04/02/I. Jahe. Jakarta (ID): Pusdatin.

  • 12

    Ravindran PN, Babu KN. 2005. Ginger: The Genus Zingiber. New York (US):

    CRC Press.

    Rong H, Ping Z, Yong BP, Xiaojun X, Jiang M, Qun L, Lei Z, Xiao DW, Lian

    WQ, Ning G, et al. 2012. 6-Shogaol induces apoptosis in human hepatocellular

    carcinoma cells and exhibits anti-tumor activity in vivo through endoplasmic

    reticulum stress. Plos One. 7(6):1-11.

    Ruhnayat A. 2011. Kebutuhan unsur hara beberapa tanaman obat berimpang dan

    responsnya terhadap pemberian pupuk organik, pupuk bio dan pupuk alam. Bul

    Littro. 19(23):109-120.

    Sarkar P, Mahmud MAK, Mahmud MAK. 2011. Gingerol might be a sword to

    defeat colon cancer. Int J Pharm and Bio Sci. 2(1):816-827.

    Seon O, Woo SJ. 2012. Optimization of extraction conditions for the 6-shogaol-

    rich extract from ginger (Zingiber officinale Roscoe). Prev Nutr Food Sci.

    17:166-171.

    Shinde SK, Grampurohit ND, Banerjee SK, Jadhav SL, Gaikwad DD. 2012.

    Development and validation of UV spectroscopic method for the quick

    estimation of gingerol from Zingiber officinale rhizome extract. IRJP.

    3(5):234-237.

    Sudiarto, Gusmaini. 2004. Pemanfaatan bahan organik in situ untuk efisiensi

    budidaya jahe yang berkelanjutan. J Litbang Pertanian. 23(2):37-45.

    Yuliani S, Kailaku SI. 2009. Pengembangan produk jahe kering dalam berbagai

    jenis industri. Buletin Teknologi Pascapacen Pertanian. 5(2):61-68.

    Yusron M. 2009. Response of three promosing lines of Zingiber officinale var

    rubrum L to application of biofertilizer and rock phosphate under different

    agroecological conditions. Bul Littro. 20(2):113-120.

  • 1 ..... I

    I I

    1--1 1--1 LI LI I I I I I

    1

    LAMPIRAN

    Lampiran 1 Struktur organisasi Pusat Studi Biofarmaka

    Kepala Pusat Studi

    Biofarmaka

    Sekretaris Eksekutif

    Sekretaris Teknis 1

    Sekretaris Teknis 2

    PT Biofarindo

    Peneliti dan Stake

    Holders Peneliti dan Stake

    Holders

    Divisi Jejaring dan

    Kerja Sama

    Divisi Pengembangan

    Sumber Daya Alam dan

    Budidaya Biofarmaka

    Divisi Pemberdayaan

    Masyarakat dan

    Pengembangan Pasar

    Biofarmaka

    Divisi Pengembangan

    Produk Biofarmaka

    Unit Konservasi Kebun

    Biofarmaka

    Unit Pilot Plant dan

    Bengkel

    Unit Laboratorium

    Pusat Studi Biofarmaka

    Unit Kandang Hewan

    Percobaan

    Unit Informasi dan

    Humas

  • 15

    Diiris, dikeringkan, dihaluskan, dan diayak

    Maserasi dengan

    etanol 96% (v/v)

    Dianalisis

    dengan KCKT

    Penentuan kadar

    air dan abu

    Penentuan

    rendemen ekstrak

    Lampiran 2 Alur kerja

    Rimpang jahe merah

    Simplisia

    Kadar

    air

    Kadar

    abu

    Ekstrak Rendemen

    ekstrak

    Kadar 6-gingerol

    Kadar 8-gingerol Kadar 10-gingerol

    Kadar 6-shogaol

  • 15

    Lampiran 3 Penentuan kadar air dan kadar abu

    Contoh perhitungan kadar air dan kadar abu sampel jahe merah Ciampea ulangan 1

    Kadar air =Bobot air g

    Bobot sampel basah g 100 =

    Bobot sampel basah bobot cawan dan sampel keringbobot cawan kosong g

    Bobot sampel basah g 100

    Kadar air =[2.0006 g 28.7552 g27.0321 g ]

    2.0006 g100 = 13.87%

    Kadar abu = Bobot abu g

    Bobot sampel kering g 100 =

    (Bobot cawan dan abubobot cawan kosong) g

    (Bobot cawan dan sampel keringbobot cawan kosong) g 100

    Kadar abu = (27.1539 g27.0321 g)

    (28.7552 g27.0321 g)100 = 7.07%

    Lokasi

    sampel Ulangan

    Bobot sampel

    basah (g)

    Bobot cawan

    kosong (g)

    Bobot cawan dan

    sampel kering (g) Kadar air (%)

    Bobot cawan dan

    abu (g) Kadar abu (%)

    Ciampea 1 2.0006 27.0321 28.7552 13.87 27.1539 7.07

    2 2.0005 25.5784 27.3111 13.39 25.7009 7.07

    3 2.0006 29.2387 30.9684 13.54 29.3600 7.01 Rerata 13.60 7.05

    Purworejo 1 2.0004 24.9118 26.6619 12.51 25.0860 9.95

    2 2.0006 25.5810 27.3340 12.38 25.7562 9.99

    3 2.0006 25.6977 27.4527 12.28 25.8717 9.91 Rerata 12.39 9.95

    Pacitan 1 2.0009 27.0341 28.7494 14.27 27.2539 12.81

    2 2.0004 24.4983 26.2136 14.25 24.7177 12.79 3 2.0002 26.9959 28.7153 14.04 27.2179 12.91

    Rerata 14.19 12.84

  • menit 35

    menit35

    30

    I 30

    25 20

    I 25

    I

    20

    15 10 5 0

    uV

    5 0 I

    10

    I I

    15

    .,.. cc

    )

    A

    25000-

    uV

    17

    Lampiran 4 Penentuan rendemen ekstrak

    Lokasi

    sampel Ulangan

    Kode

    sampel

    Bobot simplisia

    basah (g)

    Bobot

    botol

    kosong

    (g)

    Bobot

    botol dan

    ekstrak

    (g)

    Rendemen ekstrak

    (%)

    Ciampea 1 CU1 50.1689 36.8480 40.1438 7.60

    2 CU2 50.0639 38.1922 47.8140 22.24

    Rerata 14.92

    Purworejo 1 PWJU1 50.0124 37.5082 42.0393 10.34

    2 PWJU2 50.0113 37.0329 44.3779 16.76

    Rerata 13.55

    Pacitan 1 PCNU1 50.0069 37.4094 43.4832 14.15 2 PCNU2 50.0696 38.4984 44.0312 12.88

    Rerata 13.52

    Contoh perhitungan rendemen ekstrak jahe merah dengan kode sampel CU1

    Rendemen ekstrak =Bobot ekstrak (g)

    Bobot simplisia kering (g)100

    = Bobot botol dan ekstrakbobot botol kosong (g)

    [Bobot simplisia basah (bobot simplisia basah kadar air )] (g)100

    =(40.1438 g36.8480 g)

    [50.1689 g(50.1689 g 13.60 g air

    100 g simplisia basah)]

    100

    Rendemen ekstrak = 7.60%

    Lampiran 5 Kromatogram standar dan sampel jahe merah

    Kromatogram standar untuk kode sampel CU1-analisis pertama (A1)

    Kromatogram kode sampel CU1-A1

  • uV M

    20000 .,.. 00 C'i ~ s r- "? ~ 00 ;(i M .... "": "I

    10000 ... "'

    0 I 0 5 10 15 20 25 30 me nit 35

    25000 M

    ~ 0-, ..., ~

    .,.. ;;; "' ;z

    0 0 5 10 15 20 25 30 menit 35

    uV

    30 menit 35

    25000

    !::: 00 C'i

    s "! ~

    0 ;;:; M e- re ~ 00 "'

    0 5 10 15 20 25

    50000

    uV

    menit 35 30 25 20 15 10 5

    o ~~~~~~___;\......~LJ.~~~~~~~~~~A'---'- ............... ~~~~A~~~~~

    0

    .,.. .,.. 00 C'i 25000

    uV

    18

    Lanjutan lampiran 5 Kromatogram standar dan sampel jahe merah

    Kromatogram standar untuk kode sampel CU1-A2, PWJU2-A1, PWJU2-A2,

    PCNU1-A1, dan PCNU1-A2

    Kromatogram kode sampel CU1-A2

    Kromatogram kode sampel PWJU2-A1

    Kromatogram kode sampel PWJU2-A2

  • ~

    0 -,: .... ;;; "' ... M

    s ::!: N ~ .... 00 00 ... ~ 00 00 ~ "'

    5 10 15 20 25 30 me nit 35

    ~ 00 ('i

    ' ij ~ ;;; ~

    ' "' ' ' 00 ~ 00 C"; ..,

    "l .., 00 00 ' M

    N

    10 15 20 25 30 me nit 35 5

    0

    uV

    0

    25000

    50000

    uV

    19

    Lanjutan lampiran 5 Kromatogram standar dan sampel jahe merah

    Kromatogram kode sampel PCNU1-A1

    Kromatogram kode sampel PCNU1-A2

  • 36

    Lampiran 6 Penentuan kadar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol dalam rimpang jahe merah

    Kode sampel

    Bobot ekstrak

    (g)

    Volume

    labu takar

    (mL)

    Senyawa

    Luas puncak Konsentrasi senyawa

    Standar Sampel

    Standar (ppm)

    Sampel

    ppm

    Rendemen (%)

    Berdasarkan bobot ekstrak

    Berdasarkan bobot simplisia kering

    CU1-A1 0.1017 100 6-Gingerol 441527 1494572 50 169.2504 16.64 1.26

    8-Gingerol 236230 354632 25 37.5304 3.69 0.28

    6-Shogaol 503456 140388 50 13.9424 1.37 0.10

    10-Gingerol 405502 446829 50 55.0958 5.42 0.41

    CU1-A2 0.1003 100 6-Gingerol 473702 1703169 50 179.7722 17.92 1.36

    8-Gingerol 253835 424178 25 41.7769 4.17 0.32

    6-Shogaol 542585 177631 50 16.3690 1.63 0.12

    10-Gingerol 438796 501717 50 57.1697 5.70 0.43

    Rerata 6-Gingerol 174.5113 17.28 1.31

    8-Gingerol 39.6536 3.93 0.30

    6-Shogaol 15.1557 1.50 0.11 10-Gingerol 56.1327 5.56 0.42

    PWJU2-A1 0.1009 100 6-Gingerol 473702 714885 50 75.4572 7.48 1.25

    8-Gingerol 253835 144069 25 14.1892 1.41 0.24

    6-Shogaol 542585 214732 50 19.7879 1.96 0.33

    10-Gingerol 438796 227512 50 25.9246 2.57 0.43

    PWJU2-A2 0.1002 100 6-Gingerol 473702 606901 50 64.0594 6.39 1.07

    8-Gingerol 253835 118711 25 11.6917 1.17 0.20

    6-Shogaol 542585 179094 50 16.5038 1.65 0.28

    10-Gingerol 438796 198275 50 22.5931 2.25 0.38

    Rerata 6-Gingerol 69.7583 6.93 1.16

    8-Gingerol 12.9404 1.29 0.22

    6-Shogaol 18.1458 1.80 0.30 10-Gingerol 24.2588 2.41 0.40

    PCNU1-A1 0.1002 100 6-Gingerol 473702 1641769 50 173.2913 17.29 2.45

    8-Gingerol 253835 385199 25 37.9379 3.79 0.54

    6-Shogaol 542585 89383 50 8.2368 0.82 0.17

  • 21

    Lanjutan lampiran 6 Penentuan kadar 6-,8-,10-gingerol, dan 6-shogaol dalam rimpang jahe merah

    Kode sampel

    Bobot

    ekstrak

    (g)

    Volume

    labu

    takar

    (mL)

    Senyawa

    Luas puncak Konsentrasi senyawa

    Standar Sampel

    Standar

    (ppm)

    Sampel

    ppm

    Rendemen (%)

    Berdasarkan

    bobot ekstrak

    Berdasarkan bobot

    simplisia kering

    PCNU1-A1 0.1002 100 10-Gingerol 438796 510667 50 58.1896 5.81 0.82

    PCNU1-A2 0.1000 100 6-Gingerol 473702 1429404 50 150.8759 15.09 2.14

    8-Gingerol 253835 328580 25 32.3616 3.24 0.46

    6-Shogaol 542585 78762 50 7.2580 0.73 0.10

    10-Gingerol 438796 438930 50 50.0153 5.00 0.71

    Rerata 6-Gingerol 162.0836 16.19 2.29

    8-Gingerol 35.1497 3.51 0.50

    6-Shogaol 7.7474 0.77 0.13

    10-Gingerol 54.1024 5.40 0.76

    Contoh perhitungan konsentrasi 6-gingerol yang terkandung dalam PCNU1-A2

    Kadar 6-gingerol = Luas puncak 6-gingerol dalam sampel

    Luas puncak 6-gingerol dalam standar kadar 6-gingerol dalam standar (ppm)

    Kadar 6-gingerol = 1429404

    47370350 ppm = 150.8759 ppm

    Rendemen 6-gingerol = Kadar 6-gingerol ppm volume larutan (L)

    Bobot ekstrak (mg)100

    Rendemen 6-gingerol =150.8759 mg 6-gingerol

    1 L100 mL

    1 L

    1000 mL

    1

    0.1000 g ekstrak

    1 g

    1000 mg100 = 15.09% (b/b ekstrak)

    Rendemen 6-gingerol = Rendemen 6-gingerol % b/b ekstrak Bobot ekstrak (g)

    [Bobot simplisia basah(bobot simplisia basah kadar air)] (g)100

  • 22

    =15.09 g 6-gingerol

    100 g ekstrak

    (43.4832 g botol dan ekstrak37.4094 g botol kosong)

    [50.0069 g 50.0069 g 14.19 g air

    100 g simplisia basah ]100

    Rendemen 6-gingerol = 2.14% (b/b simplisia kering )