30
1 Parallel Session IVA : Urban & Regional 13 Desember 2007, Jam 13.00-14.30 Wisma Makara, Kampus UI – Depok ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN KABUPATEN/ KOTA DI PROPINSI JAWA TENGAH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL Yoenanto Sinung Noegroho Bappenas Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi – FEUI Lana Soelistianingsih Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui disparitas pendapatan kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi regional selama periode 1993-2005. Dengan menghitung nilai entropi total Theil dari kelompok eks. karesidenan, BAKORLIN dan daerah kaya miskin yang kemudian didekomposisi ke dalam indeks ketidakmerataan antar dan intra kelompok serta analisa dinamis melalui pooled data ditemukan bahwa disparitas pendapatan kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah masih tergolong rendah yaitu berkisar antara 0,5995 - 0,6605 dan mempunyai kecenderungan yang terus naik dari tahun ke tahun. Indeks entropi Theil yang rendah tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pendapatan yang terlalu jauh antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dan laju pertumbuhan ekonomi masing-masing kabupaten/ kota masih dipandang relatif seimbang. Hasil estimasi dengan data panel melalui metode efek acak (random effect) menunjukkan bahwa faktor kesenjangan pendapatan, migrasi keluar dan pengeluaran pemerintah daerah mempunyai pengaruh yang positif signifikan bagi pertumbuhan ekonomi regional, sebaliknya inflasi regional mempunyai pengaruh yang negatif . Terdapat 14 kabupaten/ kota yang pertumbuhan ekonominya lebih besar dari rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah, sedang 21 kabupaten/ kota lainnya mempunyai rata-rata pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Kata Kunci : Disparitas Pendapatan, Entropi Total Theil, Indeks Ketidakmerataan Between dan Within, Pertumbuhan Ekonomi Regional, Jawa Tengah Panel Data, Random Effect. Klasifikasi JEL : C23, E25, R11

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN KABUPATEN KOTA DI PROPINSI JAWA TENGAH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL

Embed Size (px)

Citation preview

1

Parallel Session IVA : Urban & Regional 13 Desember 2007, Jam 13.00-14.30 Wisma Makara, Kampus UI – Depok

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN KABUPATEN/ KOTA DI PROPINSI JAWA

TENGAH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL

Yoenanto Sinung Noegroho

Bappenas Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi – FEUI

Lana Soelistianingsih

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui disparitas pendapatan kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi regional selama periode 1993-2005. Dengan menghitung nilai entropi total Theil dari kelompok eks. karesidenan, BAKORLIN dan daerah kaya miskin yang kemudian didekomposisi ke dalam indeks ketidakmerataan antar dan intra kelompok serta analisa dinamis melalui pooled data ditemukan bahwa disparitas pendapatan kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah masih tergolong rendah yaitu berkisar antara 0,5995 - 0,6605 dan mempunyai kecenderungan yang terus naik dari tahun ke tahun. Indeks entropi Theil yang rendah tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pendapatan yang terlalu jauh antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dan laju pertumbuhan ekonomi masing-masing kabupaten/ kota masih dipandang relatif seimbang. Hasil estimasi dengan data panel melalui metode efek acak (random effect) menunjukkan bahwa faktor kesenjangan pendapatan, migrasi keluar dan pengeluaran pemerintah daerah mempunyai pengaruh yang positif signifikan bagi pertumbuhan ekonomi regional, sebaliknya inflasi regional mempunyai pengaruh yang negatif . Terdapat 14 kabupaten/ kota yang pertumbuhan ekonominya lebih besar dari rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah, sedang 21 kabupaten/ kota lainnya mempunyai rata-rata pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Kata Kunci : Disparitas Pendapatan, Entropi Total Theil, Indeks Ketidakmerataan Between dan Within, Pertumbuhan Ekonomi Regional, Jawa Tengah Panel Data, Random Effect. Klasifikasi JEL : C23, E25, R11

2

LATAR BELAKANG Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang

semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Kebijaksanaan pembangunan dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan cara memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada. Namun hasil pembangunan kadang belum dirasakan merata dan masih terdapat kesenjangan antar daerah.

Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita merupakan masalah yang

berbeda dari masalah distribusi pendapatan. Apabila terjadi distribusi pendapatan yang sempurna (absolute equality) maka tiap orang akan menerima pendapatan yang sama besarnya. Angka pendapatan per kapita yang ada selama ini merupakan angka rata-rata yang tidak mencerminkan pendapatan yang diterima oleh tiap-tiap penduduk. Seberapa yang diterima oleh tiap penduduk sebenarnya sangat berkaitan dengan masalah merata atau tidak meratanya distribusi pendapatan tersebut. Oleh karenanya pemerataan pendapatan adalah masalah yang penting dalam pembangunan. Tambunan (2001) menyatakan bahwa pada dekade 1980-an sampai pertengahan dekade 1990-an Indonesia menikmati laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi dengan tingkat kesenjangan yang semakin besar.

Pendapatan per kapita dan disparitas merupakan fungsi dari waktu. Pada tahap awal

pembangunan, perbedaan laju pertumbuhan ekonomi regional yang cukup besar antar daerah telah mengakibatkan disparitas dalam distribusi pendapatan antar daerah. Namun dalam jangka panjang, ketika faktor-faktor produksi di daerah semakin dioptimalkan dalam pembangunan maka perbedaan laju pertumbuhan output antar daerah akan cenderung menurun. Hal itu ditandai dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita rata-rata di setiap daerah seiring dengan waktu yang berjalan (Etharina,2005). Kondisi tersebut sesuai dengan hipotesa Kuznet yang dikenal dengan hipotesa U terbalik (Interved U hypothesis Kuznets), yang menyatakan bahwa kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita mempunyai hubungan yang berbentuk U terbalik seiring waktu yang berjalan.

Pembangunan di Propinsi Jawa Tengah yang berlangsung secara menyeluruh dan berkesinambungan telah meningkatkan perekonomian masyarakat. Pencapaian hasil-hasil pembangunan yang sangat dirasakan masyarakat merupakan agregat pembangunan dari 35 kabupaten/ kota di Jawa Tengah yang tidak terlepas dari usaha keras secara bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat. Potensi daerah dan kekayaan alam dapat dilihat sebagai keunggulan komparatif bagi daerah, namun di sisi lain berbagai kendala seperti sumber daya manusia dan sumber modal untuk memanfaatkan potensi tersebut masih dihadapi oleh penentu kebijakan baik di tingkat propinsi maupun di tingkat daerah kabupaten/ kota. Akibatnya kondisi perekonomian masyarakat secara umum belum mencapai tingkat pemerataan pendapatan yang sama dan masih ditemui kekurangan, diantaranya kesenjangan antar wilayah kabupaten/ kota dalam pencapaian tingkat perekonomian.

Disparitas ekonomi dan sosial di Propinsi Jawa Tengah juga berdampak terhadap mobilitas

sosial yang kurang menguntungkan dengan adanya para migran. Arus migrasi bergerak dari daerah yang tingkat perekonomiannya lebih rendah menuju ke daerah yang tingkat perekonomiannya lebih tinggi. Masalah yang ditimbulkan oleh arus migrasi ini adalah pemukiman kumuh, kejahatan, penyediaan lapangan pekerjaan yang memadai, lingkungan dan lainnya. Masalah tersebut tentu tidak mudah diselesaikan dan dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu berbagai upaya untuk mengatasi disparitas ekonomi antar daerah kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah sudah saatnya dilakukan dengan intensif.

3

Kesenjangan pendapatan antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah haruslah menjadi

salah satu pertimbangan dalam perencanaan pembangunan. Isu kesenjangan perekonomian dan distribusi pendapatan antar daerah berkaitan dengan pengentasan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan harmonisasi sosial. Dengan tingkat pendapatan tertentu, kenaikan kesenjangan akan selalu berimplikasi pada kenaikan kemiskinan dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah. PERUMUSAN MASALAH

Data Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993-2004 menunjukkan bahwa Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita dari 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah sangatlah bervariasi. Hal itu berarti masih terdapat kesenjangan pendapatan yang ditunjang oleh perbedaan potensi antar daerah yang dimiliki baik potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia maupun infrastruktur yang ada. Dengan perbedaan potensi daerah tersebut, kesenjangan antar daerah juga semakin besar, baik kesenjangan dalam pertumbuhan ekonomi, investasi dan Pendapatan Asli Daerah. Demikian juga masih terdapat kesenjangan non ekonomi lainnya seperti pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, birokrasi dan jasa-jasa lainnya. Gambaran kesenjangan seperti ini sangat dibutuhkan oleh pemerintah kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah agar perencanaan pembangunan daerah dapat ditentukan prioritasnya, khususnya dalam era otonomi daerah saat ini dimana pemerintah kabupaten/ kota diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menentukan arah kebijaksanaan pembangunan agar tercapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi juga diikuti dengan semakin rendahnya kesenjangan pendapatan.

Adapun yang menjadi perumusan masalah adalah :

1. Seberapa besar kesenjangan pendapatan kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah, 2. Apakah terdapat pengaruh dari kesenjangan pendapatan kabupaten/ kota dan faktor-faktor

lainnya terhadap pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah. 3. Seberapa besar tingkat pertumbuhan ekonomi regional dari 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa

Tengah,

TINJAUAN PUSTAKA Ketimpangan Distribusi Pendapatan

Pendapatan penduduk tidak selalu merata, bahkan yang sering terjadi justru sebaliknya. Manakala pendapatan terbagikan secara merata kepada seluruh penduduk di wilayah tersebut, maka dikatakan distribusi pendapatannya merata, sebaliknya apabila pendapatan regional tersebut terbagi secara tidak merata (ada yang kecil, sedang dan besar) dikatakan ada ketimpangan dalam distribusi pendapatannya. Semakin besar perbedaan pembagian pendapatan regional tersebut berarti semakin besar pula ketimpangan distribusi pendapatan. Terdapat berbagai ukuran kesenjangan regional mulai dari yang paling sederhana hingga paling rumit.

Theil’s Coefficient of Concentration telah menjadi indeks yang sangat populer untuk

menganalisa distribusi spasial dan memiliki keunggulan dibanding dengan indeks kesenjangan lainnya. Indeks Theil merupakan suatu analisa statis yang digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dengan menggunakan ukuran entropi dari ketidak-merataan (Etharina, 2005). Koefisien Theil dapat diintepretasikan sebagai logaritma dari rata-rata geometri tertimbang dari pendapatan per kapita regional yang dideflasikan dengan rata-rata pendapatan per kapita nasional. Lebih lanjut Wibisono (2003) menyatakan bahwa untuk pendapatan per kapita yang merata sempurna, indeks Theil diberikan bobot nilai nol. Indeks Theil mempunyai beberapa keunggulan yaitu (1) sifatnya

4

yang tidak sensitif terhadap skala daerah dan tidak terpengaruh oleh nilai-nilai ekstrim. (2) indeks Theil independen terhadap jumlah daerah-daerah sehingga dapat digunakan sebagai pembanding disparitas dari sistem regional yang berbeda-beda. (3) indeks Theil dapat didekomposisi ke dalam indeks ketidakmerataan antar dan intra kelompok daerah menjadi disparitas between dan disparitas within wilayah kelompok atau grup secara simultan. Wibisono (2003) dalam studi empirisnya menemukan bahwa karena sifatnya yang bisa didekomposisi maka indeks Theil memberikan tambahan informasi bahwa kesenjangan dalam pendapatan per kapita regional lebih banyak diserap oleh kesenjangan di dalam kelompok wilayah (within inequality) daripada kesenjangan antar kelompok wilayah (between inequality).

Teori Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat menjadi meningkat. Jadi pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan oleh faktor-faktor produksi akan selalu mengalami pertambahan dalam jumlah dan kualitasnya. Investasi akan menambah barang modal dan teknologi yang digunakan juga berkembang. Di samping itu tenaga kerja bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk seiring pengalaman kerja dan pendidikan menambah ketrampilan mereka. Dalam analisis makro, tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara (Sukirno, 2002).

Terdapat dua periode dimana studi teori pertumbuhan dilakukan secara intensif, periode

pertama pada akhir 1950-an sampai 1960-an yang menghasilkan teori pertumbuhan neoklasik dan periode kedua pada akhir 1980-an sampai 1990-an yang menghasilkan teori pertumbuhan endogenous.

Konvergensi Pertumbuhan Ekonomi

Wibisono (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi regional didekati dengan hipotesa konvergensi, yang terbagi atas dua hal yaitu absolute convergence berdasarkan teori pertumbuhan neoklasik dan conditional convergence yang berdasarkan pada teori pertumbuhan endogenous. Kedua hipotesa konvergensi diatas termasuk dalam analisa dinamis. Absolute convergence diartikan sebagai konvergensi yang terjadi pada daerah dalam satu negara, yang walaupun terjadi perbedaan dalam teknologi, preferensi dan intuisi antar daerah, namun perbedaan itu relatif lebih kecil dibanding dengan perbedaan antar negara (bersifat lebih homogenitas). Konvergensi absolut digunakan untuk studi antar daerah dalam satu negara (Barro dan Sala-i-Martin, 1992). Hipotesis konvergensi absolut ini sulit diterima karena dalam kenyataan pertumbuhan ekonomi regional hanya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan per kapita awal saja. Bila kita melakukan hal ini, model akan rawan terhadap bias spesifikasi.

Konvergensi kondisional adalah konvergensi yang dilakukan dengan melihat perilaku dan

karakteristik antar negara atau antar daerah dalam suatu negara. Perbedaan antar negara adalah terbukti dan eksis. Wibisono (2003) menyatakan dengan melakukan tes hipotesis konvergensi kondisional maka akan mendapatkan manfaat yang lebih besar, yaitu dapat mengetahui faktor-faktor penentu apa saja yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi regional dalam jangka panjang,

5

dengan cara memasukkan variabel-variabel terpilih yang dianggap mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi regional ke dalam persamaan. Konvergensi dikatakan kondisional apabila tingkat pertumbuhan lebih tinggi pada propinsi yang memiliki level pendapatan yang lebih rendah Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi A. Disparitas Pendapatan

Konvergensi pendapatan regional per kapita dipelajari dengan dua pendekatan utama, yaitu menggunakan regresi cross section antara tingkat pertumbuhan dengan tingkat awal pendapatan per kapita dan menggunakan analisa disparitas pendapatan per kapita (Wibisono, 2003). Lebih lanjut dijelaskan bahwa referensi klasik dari penelitian jenis kedua ini adalah artikel dari J.G. Williamson (1965) dimana ia menjelaskan bahwa proses konvergensi regional terkait dengan proses pembangunan. Ia memprediksi bahwa disparitas pendapatan regional akan memudar (konvergen) setelah melalui tiga fase dari tahap awal pembangunan hingga tahap kematangan (maturity). Akita dan Lukman (1995) menemukan bahwa disparitas PDRB per kapita mengalami penurunan yang kontinu antara 1975-1992. Hal yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Garcia dan Soelistianingsih (1998) yang mendapatkan fakta bahwa antara 1975-1993 tendensi penurunan disparitas sempat terhenti pada 1983.

Wibisono (2003) menemukan bahwa kesenjangan terlihat menurun dengan cepat sejak

1975 sampai pertengahan 1980-an. Mulai periode 1985-1997, tren penurunan disparitas mengalami stagnasi, terlihat dari penurunan indeks yang melambat bahkan sempat mengalami kenaikan pada 1992. Indeks kembali mengalami kenaikan pada tahun 1997-1998. Secara singkat dapat dikatakan bahwa penurunan disparitas yang cepat terjadi pada pertengahan 1970-an hingga 1980-an. Setelah itu penurunan disparitas mengalami perlambatan pada pertengahan 1980-an hingga 1990-an. Pada tahun-tahun dimana perekonomian mengalami guncangan eksternal indeks entropi terlihat mengalami kenaikan.

Studi empirik disparitas pendapatan regional yang diukur dengan indeks Gini mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional (Puspita, 2006). B. Inflasi Regional

Inflasi adalah kenaikan dalam keseluruhan tingkat harga. Inflasi menjadi salah satu fenomena moneter yang menjadi perhatian utama para ekonom dan pembuat kebijakan (Mankiw, 2000). Sedangkan Puspita (2005) menyatakan bahwa inflasi adalah kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus menerus. Inflasi regional diukur oleh tingkat pertumbuhan dari deflator PDRB. Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang mempunyai dampak yang luas terhadap makro ekonomi, termasuk pertumbuhan ekonomi. Boediono (1982) menggolongkan inflasi berdasarkan lajunya per tahun menjadi empat bagian yaitu (1) infllasi ringan (dibawah 10% setahun), (2) inflasi sedang (10%-30% setahun), (3) inflasi berat (30%-100% setahun) dan (4) hiperinflasi (lebih 100% setahun).

Inflasi ditengarai memiliki efek negatif bagi perekonomian. Setyowati, dkk. (2000) menyatakan dampak inflasi antara lain (1) inflasi dapat mendorong penanaman modal spekulatif yang tidak berdampak terhadap pendapatan nasional, (2). inflasi menyebabkan tingkat bunga yang meningkat dan akan mengurangi tingkat investasi, (3) inflasi menimbulkan ketidakpastian keadaan ekonomi di masa yang akan datang, (4) inflasi menimbulkan masalah dalam neraca perdagangan, (5) inflasi memperburuk distribusi pendapatan, (6) inflasi menyebabkan pendapatan riil merosot. Secara umum rumah tangga dan perusahaan akan memiliki kinerja yang buruk ketika terjadi inflasi tinggi dan tidak dapat diprediksikan (hiperinflasi).

6

Studi empirik menunjukkan bahwa tingkat inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi (Wibisono, 2005). C. Migrasi keluar

Variabel migrasi mengacu pada data migrasi seumur hidup yaitu jumlah penduduk yang pada saat pencacahan bertempat tinggal di daerah yang berbeda dengan daerah tempat kelahirannya. Data migrasi diasumsikan sebagai jumlah penduduk transmigran yang berasal dari suatu daerah keluar menuju daerah tersebut. Migrasi pekerja dengan mutu modal manusia yang rendah dari daerah miskin ke daerah kaya akan memberikan efek positip pada tingkat pertumbuhan daerah asal migran dan efek negatif bagi daerah penerima.

Dalam hal ini migrasi memiliki arah yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu

daerah. Wibisono (2003) menemukan bahwa variabel migrasi/ urban ini mempunyai efek dan arah yang ambigu yang mengindikasikan fenomena brain drain. Kecenderungan migrasi di Indonesia adalah tenaga kerja terdidik dari luar jawa umumnya pindah ke Jawa. Sebaliknya, migran yang keluar dari Jawa umumnya adalah tenaga kerja yang berpendidikan rendah (seperti para transmigran). Angka migrasi keluar mengkonfirmasikan bahwa migran memainkan peranan yang tidak kecil bagi pertumbuhan ekonomi regional.

D. Konsumsi pengeluaran pemerintah daerah (government purchase)

Pengeluaran pemerintah diukur dari total belanja rutin dan belanja pembangunan dari pemerintah daerah. Variabel ini digunakan untuk mengukur pengeluaran pemerintah yang tidak memperbaiki produktivitas perekonomian. Semakin besar pengeluaran pemerintah daerah yang tidak produktif, semakin kecil tingkat pertumbuhan perekonomian daerah. Anaman (2004) menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi pemerintah yang terlalu kecil akan merugikan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang proporsional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran konsumsi pemerintah yang boros akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Tetapi pada umumnya pengeluaran pemerintah membawa dampak positip bagi pertumbuhan ekonomi. METODOLOGI PENELITIAN

Untuk mengukur besarnya kesenjangan pendapatan digunakan Indeks Theil sebagai alat analisis utama yang memakai ukuran entropi dari ketidakmerataan. Sedangkan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi regional kabupaten/ kota digunakan analisa dinamis melalui pooled data yang merupakan sebuah set data yang berisi data sampel individu dari 35 kabupaten/ kota dengan periode waktu antara tahun 1993-2005. Untuk menghitung indeks disparitas, pembagian grup dilakukan berdasarkan (1). Group wilayah eks.karesidenan di Jawa Tengah, yaitu Karesidenan Banyumas, Karesidenan Kedu, Karesidenan Surakarta, Karesidenan Semarang, Karesidenan Pati dan Karesidenan Pekalongan. (2). Group wilayah Badan Koordinasi Lintas (Bakorlin) di Propinsi Jawa Tengah, yaitu Bakorlin I, Bakorlin II dan Bakorlin III (3). Group daerah kaya dan miskin. Merujuk pada Etharina (2005), batasan daerah kaya dan miskin adalah dengan membandingkan rata-rata pendapatan per kapita daerah kabupaten/ kota sebagai prosentase dari rata-rata pendapatan per kapita propinsi pada kurun waktu tahun yang sama. Indeks pendapatan per kapita propinsi adalah 100. Daerah kabupaten/ kota yang mempunyai rata-rata pendapatan per kapita di atas rata-rata pendapatan per kapita propinsi dikelompokkan sebagai kabupaten/ kota yang kaya. Sebaliknya daerah kabupaten/ kota yang mempunyai rata-rata pendapatan per kapita di bawah rata-rata pendapatan per kapita propinsi dikelompokkan sebagai kabupaten/ kota yang miskin. Pembagian wilayah seperti ini digunakan untuk melihat apakah disparitas yang terjadi semakin mengecil atau bahkan semakin melebar.

7

Menurut Terrasi (1999), koefisien Theil diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

log iibrwr

i i

yICyICICx

==+

……………………………………… (1)

log rbrir

r r

YICYX

=

………………………………………………… (2)

/log/

iirwrr

ri rir

yyYICYYxX

=

∑∑

…………………………………….. (3)

Dimana :

IC = disparitas total (total koefisien Theil)

brIC = disparitas antar (between) wilayah atau grup kabupaten/ kota

wrIC = disparitas di dalam (within) wilayah atau grup kabupaten/ kota

iy dan

ix = pangsa pendapatan dan penduduk kabupaten/ kota terhadap pendapatan dan penduduk propinsi

rY dan

rX = pangsa pendapatan dan penduduk dalam kelompok (grup) kabupaten/ kota terhadap pendapatan dan penduduk propinsi

Wilayah yang diamati dalam penelitian ini adalah 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa

Tengah. Adapun analisa disparitas distribusi pendapatan memakai indeks entropi Theil dilakukan dengan tiga group wilayah yang berbeda, yaitu group wilayah eks.karesidenan (6 eks.karesidenan), group wilayah BAKORLIN (3 Bakorlin) dan group/ kelompok daerah kaya – miskin berdasarkan rata-rata PDRB per kapita terhadap rata-rata PDRB perkapita propinsi.

Model ekonometri yang diaplikasikan merupakan modifikasi model yang dihasilkan oleh Wibisono (2005) yang mengacu pada pendekatan klasik model konvergensi dari Barro dan Sala-i-Martin (1992). Tingkat konvergensi dari Barro dan Sala-i-Martin didapatkan dari model Ramsey (1928) dengan menggabungkan model pertumbuhan Solow-Swan (1956) dan optimisasi rumah tangga. Mengikuti Barro dan Sala-i-Martin, estimasi linier terhadap dinamika transisional model Solow-Swan didapatkan variabel X yang merupakan variabel-variabel yang mempengaruhi steady state perekonomian i. Selanjutnya model disesuaikan dengan data dan kondisi perekonomian kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah menjadi model analisa dinamis sebagai berikut :

()()ititititititGrowthTheilInflasiLnMigLnGOVTαι1234=+β+β+β+β+ε ...... (4) dimana :

Growth : pertumbuhan ekonomi regional

Theil : indeks entropi total Theil

Inflasi : inflasi regional

LnMig : migrasi keluar

LnGOVT : pengeluaran pemerintah daerah i = 1,…,N : banyaknya data kerat lintang, dalam hal ini kabupaten/ kota t = 1,…,T : banyaknya deret waktu

8

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, sedangkan sumber data berasal dari publikasi Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah. Selanjutnya data diolah dengan analisa entropi Theil untuk mencari tingkat disparitas dan estimasi data panel untuk mencari hubungan pertumbuhan ekonomi dengan variabel bebasnya.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pooling data, data panel atau longitudinal data, dimana data deret waktu (time series) dan data kerat lintang (cross section) digabungkan. Data time series adalah data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu, dalam hal ini data 13 tahun yaitu tahun 1993-2005. Sedangkan data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu, dalam hal ini 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah. Sehingga dalam data panel jumlah observasinya adalah deret waktu T > 1 dan jumlah observasi deret lintang N > 1.

HASIL Pengolahan data dilakukan melalui dua tahapan, yaitu pengolahan indeks disparitas memakai indeks Theil dan pengolahan data pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan software Eviews 4.1. Analisis Disparitas Distribusi Pendapatan Regional dengan Indeks Theil

Pengukuran disparitas dengan Indeks Theil dapat dilakukan dekomposisi faktor inter (between inequality

bT= ) atau intra (within inequalitywT= ). Indeks Theil menggambarkan tingkat

ketidakmerataan dan pola pembagian pendapatan penduduk suatu daerah. Semakin kecil nilai indeks koefisien Theil maka kesenjangan semakin rendah dan semakin merata distribusi pendapatannya. (1). Group/ Kelompok Eks.Karesidenan Berdasarkan kelompok Eks.Karesidenan, Jawa Tengah sejak tahun 1994 sampai tahun 1999 terbagi atas enam wilayah Karesidenan yaitu Eks.Karesidenan Banyumas, Eks.Karesidenan Kedu, Eks.Karesidenan Surakarta, Eks.Karesidenan Semarang, Eks.Karesidenan Pati dan Eks.Karesidenan Pekalongan. Hasil koefisien indeks disparitas Theil untuk masing-masing Eks.Karesidenan dalam Tabel 1.

Indeks total Theil dilakukan dekomposisi untuk mendapatkan nilai koefisien inter (between inequality) dan koefisien intra (within inequality) yang kemudian ditansformasikan dalam persentase terhadap total Theil (Tabel 2). Tabel 1 Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Eks.Karesidenan di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005

Tahun Total Theil

Between Karesidenan

Within Banyumas Kedu Surakarta Semarang Pati Pekalongan

1993 0.5995 0.0798 0.1437 0.0232 0.0521 0.1436 0.1172 0.0399 1994 0.6111 0.0874 0.1367 0.0221 0.0526 0.1460 0.1266 0.0398 1995 0.6238 0.0930 0.1226 0.0200 0.0548 0.1594 0.1308 0.0432 1996 0.6376 0.0994 0.1180 0.0203 0.0560 0.1671 0.1325 0.0444 1997 0.6353 0.0998 0.1060 0.0213 0.0560 0.1828 0.1241 0.0452 1998 0.6206 0.0940 0.1360 0.0225 0.0513 0.1583 0.1154 0.0430 1999 0.6283 0.0954 0.1412 0.0227 0.0499 0.1613 0.1132 0.0446 2000 0.6326 0.1060 0.1529 0.0225 0.0510 0.1590 0.1085 0.0327 2001 0.6225 0.1110 0.1473 0.0202 0.0545 0.1361 0.1174 0.0359 2002 0.6375 0.1190 0.1543 0.0197 0.0543 0.1387 0.1177 0.0338

9

2003 0.6392 0.1187 0.1617 0.0208 0.0556 0.1273 0.1229 0.0322 2004 0.6514 0.1176 0.1669 0.0208 0.0551 0.1303 0.1300 0.0308 2005 0.6605 0.1201 0.1734 0.0215 0.0541 0.1320 0.1295 0.0299

Sumber : Data diolah Tabel 2 Persentase Koefisien Total Theil, Between dan Within Group eks.Karesidenan di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005 .

Tahun Total Between (%) Within (%) Theil Karesidenan Banyumas Kedu Surakarta Semarang Pati Pekalongan

1993 100.00 13.31 23.97 3.86 8.69 23.95 19.55 6.65 1994 100.00 14.30 22.38 3.62 8.60 23.89 20.72 6.51 1995 100.00 14.91 19.66 3.21 8.78 25.55 20.98 6.93 1996 100.00 15.59 18.51 3.18 8.78 26.20 20.78 6.96 1997 100.00 15.71 16.69 3.35 8.82 28.78 19.54 7.11 1998 100.00 15.15 21.92 3.62 8.27 25.51 18.60 6.93 1999 100.00 15.19 22.47 3.61 7.95 25.67 18.02 7.09 2000 100.00 16.75 24.17 3.55 8.07 25.14 17.15 5.17 2001 100.00 17.83 23.67 3.25 8.76 21.87 18.87 5.76 2002 100.00 18.66 24.21 3.10 8.52 21.76 18.46 5.30 2003 100.00 18.58 25.29 3.25 8.69 19.92 19.23 5.04 2004 100.00 18.05 25.62 3.19 8.46 20.00 19.96 4.73 2005 100.00 18.19 26.25 3.26 8.20 19.98 19.60 4.53

Rata-rata 16,32 22,68 3,39 8,51 23.71 19,34 6.05 Sumber : Data diolah (2) Group Wilayah Bakorlin

Tabel 3 Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Bakorlin di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005

Tahun Total Between Within Theil Bakorlin Bakorlin I Bakorlin II Bakorlin III

1993 0.5995 0.0943 0.2630 0.0762 0.1660 1994 0.6111 0.0994 0.2737 0.0792 0.1589 1995 0.6238 0.0548 0.2923 0.0839 0.1928 1996 0.6376 0.0634 0.3024 0.0855 0.1864 1997 0.6353 0.0698 0.3121 0.0855 0.1679 1998 0.6206 0.0492 0.2772 0.0790 0.2152 1999 0.6283 0.0497 0.2784 0.0779 0.2223 2000 0.6326 0.0448 0.2714 0.0802 0.2362 2001 0.6225 0.0474 0.2570 0.0864 0.2316 2002 0.6375 0.0493 0.2607 0.0850 0.2425 2003 0.6392 0.0442 0.2553 0.0879 0.2518 2004 0.6514 0.0415 0.2607 0.0885 0.2607 2005 0.6605 0.0387 0.2621 0.0882 0.2716

Sumber : Data diolah

10

Tabel 4 Persentase Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Bakorlin di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005

Tahun Total Between Within Theil Bakorlin Bakorlin I Bakorlin II Bakorlin III

1993 100.00 15.73 43.86 12.72 27.69 1994 100.00 16.26 44.78 12.97 25.99 1995 100.00 8.78 46.86 13.45 30.91 1996 100.00 9.94 47.42 13.41 29.23 1997 100.00 10.99 49.12 13.46 26.43 1998 100.00 7.93 44.66 12.73 34.67 1999 100.00 7.91 44.31 12.40 35.37 2000 100.00 7.08 42.91 12.68 37.34 2001 100.00 7.62 41.29 13.88 37.20 2002 100.00 7.73 40.89 13.34 38.04 2003 100.00 6.91 39.94 13.75 39.40 2004 100.00 6.37 40.03 13.59 40.02 2005 100.00 5.86 39.68 13.35 41.12

Rata-rata 9.16 43.52 13.21 34.11 Sumber : Data diolah

Berdasarkan group wilayah Bakorlin, maka gambaran disparitas distribusi pendapatan

Propinsi Jawa Tengah dan tren penyebarannya sama seperti pada group eks.karesidenan, yaitu terlihat relatif masih rendah. (3). Kelompok Daerah Kaya - Miskin Tabel 5 Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Daerah Kaya - Miskin di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005

ahun

Total Between Within Theil Ky-Mskin Kaya Miskin

1993 0.5995 0.2897 0.2111 0.0987 1994 0.6111 0.3030 0.2117 0.0965 1995 0.6238 0.3233 0.2079 0.0925 1996 0.6376 0.3344 0.2089 0.0944 1997 0.6353 0.3353 0.2079 0.0922 1998 0.6206 0.3215 0.2089 0.0902 1999 0.6283 0.3236 0.2113 0.0934 2000 0.6326 0.3353 0.2114 0.0859 2001 0.6225 0.3433 0.1944 0.0847 2002 0.6375 0.3557 0.2007 0.0812 2003 0.6392 0.3563 0.2019 0.0810 2004 0.6514 0.3617 0.2131 0.0766 2005 0.6605 0.3634 0.2207 0.0764

Sumber : Data diolah

11

Selanjutnya indeks total Theil dilakukan dekomposisi untuk mendapatkan nilai koefisien inter (between inequality) dan koefisien intra (within inequality). Untuk mempermudah cara analisis maka koefisien between dan koefisien within dari group daerah kaya-miskin ditansformasikan dalam persentase terhadap total Theil. Tabel 6 Persentase Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Daerah Kaya- Miskin di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005

Tahun Total Between Within Theil Ky-Mskin Kaya Miskin

1993 100.00 48.33 35.21 16.47 1994 100.00 49.58 34.63 15.78 1995 100.00 51.83 33.33 14.83 1996 100.00 52.44 32.75 14.81 1997 100.00 52.78 32.72 14.51 1998 100.00 51.80 33.66 14.54 1999 100.00 51.50 33.64 14.86 2000 100.00 53.01 33.42 13.58 2001 100.00 55.15 31.23 13.61 2002 100.00 55.78 31.48 12.74 2003 100.00 55.75 31.59 12.67 2004 100.00 55.53 32.71 11.76 2005 100.00 55.02 33.41 11.57

Sumber : data diolah Hasil Pengujian Model

Pengujian model dilakukan dengan menggunakan data panel. Penelitian meliputi 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dari tahun 1993 sampai tahun 2005. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Eviews 4.1 dengan metode random effect untuk data panel di atas. Hasil pengujian model terdiri dari pengujian dengan uji Chow atau uji

statF yang kemudian

dilanjutkan dengan uji Hausmann. (1) Uji Chow

Untuk mengetahui ada tidaknya efek individual dari 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dalam pertumbuhan ekonomi regional, maka dilakukan uji statistik dengan membandingkan nilai 2R dari model pooled dan model variabel dummy (fixed) atau dilakukan dengan uji Chows atau uji

statF setelah dilakukan penghitungan dengan pilihan common dan fixed effect. Hasilnya sebagai

berikut : Tabel 7 Hasil Uji

statF (pooled vs fixed) atau uji Chow

Model

2

pooledR

2fixedR

statF

(0.05)tabF 0H diterima /

ditolak Pertumbuhan Ekonomi

0,430122 0,983606 N = 35 T = 13 1,(,) NNTNfinvkα −− −α = 0,05 0H ditolak

12

k = 5 statF = 412,104

(0.05)tabF = 1,457

Kesimpulan - statF > (0.05)tabF , sehingga tolak 0H - terdapat efek individual dalam model yang dibuat - Dilanjutkan dengan uji Hausmann

Sumber : Data diolah Dari hasil pengujian melalui

statF (pooled vs fixed) atau uji Chow terlihat bahwa ada terjadi efek individual dalam model pertumbuhan ekonomi dengan beberapa variabel bebasnya. Dengan demikian spesifikasi model yang dibuat akan mempunyai intersep yang bervariasi terhadap individu namun tetap mengasumsikan bahwa slope koefisien adalah konstan antar individu kabupaten/ kota, sehingga model yang digunakan dalam analisis ini adalah model fixed effect atau random effect. Adapun hasil estimasi dari model fixed effect dan random effect disajikan pada Tabel 8 berikut : Tabel 8 Estimasi fixed effect dan random effect

No Variabel Fixed Effect Random Effect Koefisien Standar Error Koefisien Standar Error

1 2 3 4 5 6

C Theil Inflasi Migrasi Govt

2R

- 3,590932

-0,000713 0,017089 0,080602

- 0,543468 0,000196 0,002879 0,004126

12,76853 4,159880

-0,000709 0,016808 0,080000

0,131483 0,534245 0,000203 0,002970 0,004256

0,983606 0,981111 Sumber : Data diolah (2) Uji Hausmann

Untuk menentukan secara tepat spesisifasi model yang akan digunakan apakah model fixed effect atau random effect maka dilakukan uji Hausmann untuk menguji model yang paling baik yang digunakan dalam mengestimasi pertumbuhan ekonomi regional. Uji Hausmann akan memberikan penilaian dengan menggunakan Chi-square statistics sehingga keputusan pemilihan model dapat ditentukan secara benar. Hasil uji Hausmann disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Hasil Uji Hausmann Terhadap Model Pertumbuhan Ekonomi Regional

Model Uji Hausmann

2hitungχ

2(0.05,5)tabelχ 0H diterima/

ditolak Kesimpulan

Pertumbuhan Ekonomi

0,398784 9,487728 22hittabelχχ < maka

0H diterima Random effect

Sumber : Data diolah Berdasarkan hasil uji Hausmann dapat disimpulkan bahwa estimasi model pertumbuhan

ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah adalah menggunakan model random effect. Dalam random effect diasumsikan bahwa komponen error individual tidak berkorelasi satu sama lain dan

13

tidak ada otokorelasi baik cross section maupun time series (Pindyck dan Rubenfield, 1998). Kedua variabel random tersebut yaitu variabel cross section dan variabel time series diasumsikan berdistribusi normal dengan derajad bebas yang tidak berkurang. Model random effect dapat diestimasi sebagai regresi GLS (Generalized Least-Square) yang akan menghasilkan penduga yang memenuhi sifat Best Linier Unbiased Estimation (BLUE). Dengan demikian adanya gangguan asumsi klasik dalam model ini telah terdistribusi secara normal, sehingga tidak diperlukan lagi treatment terhadap model bagi pelanggaran asumsi klasik, yaitu asumsi adanya autokorelasi, multikolinearitas dan heterokedastik. (3) Uji Hipotesa Dan Signifikansi Tabel 10 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi Regional

Variabel Terikat : Laju Pertumbuhan Ekonomi (Growth) No Variabel Bebas Koefisien Standar error statt Probabilitas 1. 2. 3. 4. 5.

C Entropi Theil Inflasi Migrasi keluar Govt spending

12,76853 4,159880

-0,000709 0,016808 0,080000

0,131483 0,534245 0,000203 0,002970 0,004256

97,11194 7,786471

-3,500268 5,658968 18,79680

0,0000 0,0000 0,0005 0,0000 0,0000

R-square = 0,981111 Sumber : Data diolah (3.1) Uji secara parsial (uji t)

Tabel 10 menunjukkan bahwa hasil estimasi terhadap faktor-faktor yang mem-pengaruhi pertumbuhan regional menunjukkan hasil yang signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 99% untuk semua variabel yaitu entropi Theil, inflasi, migrasi keluar, pengeluaran pemerintah. Sedang variabel dummy krisis (DK) hanya mampu menunjukkan signifikansi pada tingkat kepercayaan yang sangat rendah dibawah 50% saja. Tanda minus (-) pada koefisien regresi variabel Inflasi menunjukkan arah hubungan yang terjadi yaitu negatif/ berlawanan arah, berarti akan menghambat pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

(3.2) Uji secara serempak

Karena model yang paling baik yang didapat berdasarkan uji Hausmann adalah random effect maka berarti komponen error individual tidak berkorelasi satu sama lain dan tidak ada otokorelasi baik cross section maupun time series sehingga diasumsikan berdistribusi normal dengan derajad bebas yang tidak berkurang. Model diestimasi dengan random effect dan uji secara serempak ini ditunjukkan oleh nilai uji Hausmann ( 2

hitungχ = 0,340978) yang ternyata lebih kecil dibanding dengan 2

(0.05,)kχ (11,070483).

(3.3) Uji Kesesuaian ( 2R) Tabel 10 menunjukkan bahwa hasil estimasi pertumbuhan ekonomi regional memiliki 2R

yang sangat tinggi, yaitu sebesar 0,981111. Nilai ini menunjukkan bahwa model memiliki kemampuan menjelaskan variasi pertumbuhan ekonomi regional sebesar 98,1111% sedangkan sisanya sebesar 1,8889% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ikut disertakan dalam model. Hal ini menunjukkan

14

bahwa model estimasi yang dihasilkan sangatlah representatif dan dapat dipercaya. Dari hasil estimasi diatas juga terlihat bahwa tanpa adanya pengaruh dari variabel bebas yang dimodelkan, pertumbuhan ekonomi regional tetap akan terjadi pada kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dan masing-masing kabupaten/ kota mempunyai pengaruh yang bervariasi. PEMABAHASAN Disparitas Koefisien Entropi Theil

Masalah ketimpangan distribusi pendapatan tidak hanya tampak pada wajah ketimpangan antara pulau Jawa dan luar Jawa saja melainkan juga antara wilayah di dalam Pulau Jawa itu sendiri. Bahkan ketimpangan juga sering terjadi secara nyata antara daerah kabupaten/ kota di dalam wilayah propinsi itu sendiri (Alisjahbana, 2005). Lebih lanjut dikatakan bahwa kesenjangan antar daerah terjadi sebagai konsekuensi dari pembangunan yang terkonsentrasi. Berbagai program yang dikembangkan untuk menjembatani kesenjangan baik kesenjangan distribusi pendapatan maupun kesenjangan wilayah belum banyak membawa hasil yang signifikan. Bahkan yang sering terjadi adalah kebijakan pembangunan yang dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi justru dapat menambah kesenjangan baik terhadap distribusi pendapatan maupun kesenjangan wilayah, termasuk kondisi di Propinsi Jawa Tengah.

Analisis kesenjangan pendapatan memakai koefisien entropi total menghasilkan koefisien

entropi total yang berkisar antara 0,5995 hingga 0,6605 baik dianalisis berdasarkan group eks.karesidenan, group BAKORLIN maupun group daerah kabupaten/ kota kaya–miskin (Tabel 1, Tabel 3 dan Tabel 5). Nilai entropi total tersebut sebenarnya memberikan indikasi bahwa kesenjangan yang terjadi antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah masih relatif rendah dalam kurun waktu tahun 1993 sampai tahun 2005. Hal itu sesuai pengukuran kesenjangan pendapatan di Propinsi Jawa Tengah dengan menggunakan angka Gini yang menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir (tahun 2000 sampai tahun 2005) ketimpangan pendapatan di Jawa Tengah masih termasuk dalam kategori rendah (BPS, 2005).Demikian juga sejalan dengan studi empiris yang dilakukan Theil (1992) terhadap lebih dari 100 negara di Amerika Serikat, Eropa Barat, Afrika, Amerika Latin dan Asia Selatan selama periode 1980 - 1985 yang menemukan nilai entropi kesenjangan yang rendah berkisar antara 0,53 hingga 0,65. Sebagai gambaran Kuncoro (2004) menemukan bahwa koefisien entropi total di Indonesia terhadap konsentrasi spasial distribusi geografis dalam kegiatan industri selama periode 1976 -1999 mencapai angka yang jauh lebih tinggi yaitu mencapai 2,5.

Wibisono (2003) menyatakan bahwa untuk pendapatan per kapita yang merata sempurna,

koefisien Theil diberikan bobot nilai nol. Koefisien entropi Theil hanya menggambarkan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang berdasarkan rataan pendapatan, tanpa melihat pengaruh faktor demografi seperti kelahiran, kematian ataupun migrasi. Kondisi kesenjangan distribusi pendapatan yang antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah, meskipun relatif rendah banyak disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : laju pertumbuhan PDRB per kapita yang berbeda-beda, perbedaan keunggulan komparatif masing-masing kabupaten/ kota yang meliputi keunggulan komparatif atas sumber daya alam ataupun sumber daya manusia (human resources), demikian juga adanya perbedaan dalam pengambilan pola kebijakan dan prioritas pembangunan yang dilakukan terhadap sektor ekonomi pada era otonomi daerah ini.

Gambar 1 Tren Kesenjangan Pendapatan Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 – 2005

15

0.5800

0.6100

0.6400

0.6700

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

tahun

koef

. The

il

Indeks Theil

Sumber : data Tabel 1 Pada periode tahun 1993 - 1996 koefisien entropi total meningkat, yang berarti

kesenjangan yang terjadi semakin besar. Hal itu disebabkan pola kebijakan yang masih terjebak pada nalar sentralistis dan top down birokrasi. Pola itu mengindikasikan pada gagalnya Pemerintah Pusat dan Propinsi untuk merespon dinamika sosial dan politik di level lokal sehingga kebijakan level atas tidak bisa diimplementasikan secara maksimal di daerah. Kebijakan yang ada lebih merupakan blue print yang berlaku secara menyeluruh bagi daerah kabupaten/ kota, meski kurang memberi kesempatan partisipasi dari bawah yang lebih membuka peluang bagi kekhasan daerah. Padahal setiap daerah memiliki dinamika sosial, budaya, ekonomi, politik yang berbeda dan membutuhkan pemahaman dan penanganan yang kontekstual. Hal ini justeru hanya akan menimbulkan rendahnya responsibilitas terhadap kebijakan yang dibuat dan juga mematikan inisiatif lokal dalam menumbuhkan gagasan dan praktek yang otentik untuk memajukan ekonomi di wilayahnya masing-masing.

Pada masa krisis ekonomi tahun 1997 sampai tahun 1999, koefisien entropi total

cenderung mengalami penurunan. Penurunan ketimpangan tersebut dan semakin meratanya distribusi pendapatan bukan semata-mata disebabkan karena meningkatnya pendapatan masyarakat golongan menengah ke bawah, tetapi lebih disebabkan berkurangnya pendapatan masyarakat golongan menengah ke atas. Hal ini bisa dilihat dari penurunan PDRB Kabupaten/ kota pada saat krisis ekonomi terjadi (lihat Gambar 4.5). Adapun faktor-faktor yang menyebabkan relatif meratanya distribusi pendapatan tersebut antara lain :

(1) Jatuhnya investasi yang sangat besar dalam proyek-proyek yang padat modal.

Pada saat krisis ekonomi, proyek-proyek padat modal sebagian besar jatuh dan ambruk. Maka persentase pendapatan modal dari investasi yang dimiliki oleh kelompok kaya menurun drastic dan menyebabkan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan menurun.

(2) Terdapatnya sektor informal yang dijalankan oleh mayoritas masyarakat golongan ke bawah

yang semakin besar, sedangkan sektor informal adalah salah satu sektor yang mendapat pengaruh kecil dari krisi ekonomi sehingga pendapatan masyarakat menengah ke bawah yang bergerak dalam sektor informal juga tidak menurun pendapatannya secara drastis.

(3) Terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran pada masa krisis ekonomi

yang menimpa tenaga kerja yang berpendidikan, yang termasuk dalam golongan menengah ke atas, sehingga jurang ketimpangan pendapatan semakin menurun.

16

(4) Pola konsumsi yang tinggi nilai impornya bagi penduduk yang berpendapatan tinggi. Padahal

pada masa krisis ekonomi, nilai tukar memburuk sehingga berdampak negatif bagi pendapatan masyarakat golongan kaya. Tingkat konsumsi mereka menjadi melambung tinggi.

(5) Kebijakan harga yang diterapkan oleh pemerintah pada masa krisis ekonomi dimana terjadi

kebijakan inflasi yang sangat tinggi menyebabkan jatuhnya beberapa badan usaha yang sebagian besar dimiliki oleh masyarakat golongan kaya, karena harga-harga bahan baku yang diperlukan dalam berproduksi semakin tinggi.

(6) memburuknya nilai tukar dalam perdagangan yang diakibatkan oleh ketidakelastisan

permintaan Negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor dalam negeri seperti industri besar.

(7) Terjadinya kontraksi dalam sektor industri yang mengakibatkan peranan sektor industri dalam

pembentukan PDRB di kabupaten/ kota di Jawa Tengah menjadi menurun, sehingga tingkat kekayaan relatif masyarakat golongan kaya juga menjadi menurun.

Pada periode sesudah krisis ekonomi tahun 2001 sampai sekarang kecenderungan

koefisien entropi mengikuti pola sebelum krisis yang meningkat. Periode ini adalah masa diberlakukannya otonomi daerah (otda) dimana daerah otonom diberikan kewenangan dan kesempatan untuk mengembangkan gagasan dan mengaplikasikan di daerahnya masing-masing dengan segala sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dipunyainya. Hal ini mengakibatkan daerah yang mempunyai natural resources dan human resources yang tinggi akan mampu menciptakan nilai tambah produksi yang lebih baik bagi daerah dibandingkan dengan daerah yang minim natural resources dan human resources. Minimnya natural resources dan human resources menjadikan produktivitas daerah juga turut menjadi rendah. Dengan demikian kesenjangan pendapatan yang terjadi cenderung semakin membesar antar daerah kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah, mesti tidak signifikan terhadap kesenjangan itu sendiri. Koefisien Disparitas Between dan Within (1). Group/ Kelompok Eks.Karesidenan

Persentase koefisien Theil between group eks.karesidenan terhadap total disparitas regional di Propinsi Jawa Tengah dari tahun 1993 sampai tahun 2005 adalah rendah, yaitu berkisar antara 13,31 persen sampai 18,19 persen dengan rata-rata 16,32 persen. Sedangkan sisanya sebesar 83,68 persen merupakan koefisien within dari enam eks.karesidenan yang ada. Hal itu sangat penting dan menunjukkan fenomena bahwa disparitas justru terjadi di dalam kelompok atau group eks.karesidenan, bukan antar wilayah atau antar group eks.karesidenan. Group eks.Karesidenan Semarang mempunyai rata-rata koefisien within tertinggi dibanding lima eks.karesidenan lainnya yaitu sebesar 23,71 persen. Sedangkan eks.Karesidenan Kedu memberikan kontribusi rata-rata koefisien within yang paling kecil sebesar 3,39 persen. Hal ini berarti bahwa group eks.Karesidenan Semarang mempunyai tingkat kesenjangan pendapatan yang paling tinggi dan eks.Karesidenan Kedu mempunyai tingkat kesenjangan yang paling rendah.

Hal itu dapat dipahami bahwa Semarang sebagai daerah ibu kota propinsi dan sekitarnya telah menjadi tujuan urbanisasi yang menyebabkan banyaknya aglomerasi (konsentrasi/ pemusatan) baik tenaga kerja maupun modal yang menyatu dalam kegiatan industri. Ketika industrialisasi dijalankan, maka faktor produksi yang paling berkuasa adalah modal dan dianggap sebagai instrument penting yang mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Akibat dominasi modal dibanding faktor produksi yang lain maka pemilik modal akan mendapatkan bagian yang paling besar

17

terhadap hasil proses produksi. Sedangkan tenaga kerja dan pemilik tanah menikmati sewa dan upah yang kecil. Hal itu yang semakin menyebabkan ketimpangan pandapatan antar masyarakat ditinjau dari pijakan pembagian keuntungan antar faktor produksi yang tidak adil. Demikian juga lebih bervariasinya tingkat sosial dan ekonomi masyarakat dalam wilayah eks.Karesidenan Semarang menambah kontribusi ketimpangan yang semakin besar di Propinsi Jawa Tengah. Namun demikian dari Gambar 2 terlihat tren koefisien entropi eks.Karesidenan Semarang yang semakin menurun. Gambar 2 Tren Koefisien Within Enam Eks.Karesidenan Tahun 1993 – 2005

-

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

tahun

pers

en in

deks

with

in

bymaskedusolosmgpatipkl

Sumber : Data Tabel 2 Gambar 2 memperlihatkan kontribusi masing-masing koefisien within dari enam group

wilayah eks.karesidenan yang masih cukup tinggi bagi kondisi kesenjangan distribusi pendapatan yang terjadi di Propinsi Jawa Tengah, meskipun menunjukkan kecenderungan dengan pola yang semakin menurun. Untuk group wilayah eks.Karesidenan Kedu dan Surakarta fluktuasi koefisien within dari tahun 1993 sampai tahun 2005 cenderung mempunyai pola yang relatif stabil. Eks.Karesidenan Pekalongan dan Pati mempunyai fluktuasi sedang dan eks.Karesidenan Banyumas dan Semarang mempunyai fluktuasi yang sangat tajam.

(2). Group/ Kelompok BAKORLIN

Persentase koefisien between group BAKORLIN terhadap total disparitas regional di Propinsi Jawa Tengah dari tahun 1993 sampai tahun 2005 adalah sangat rendah, yaitu berkisar antara 5,86 persen sampai 16,26 persen dengan rata-rata 9,16 persen. Sedangkan sisanya sebesar 90,84 persen merupakan koefisien within dari tiga group BAKORLIN yang ada. Hal itu sangat penting dan menunjukkan bahwa disparitas justru terjadi di dalam wilayah atau group BAKORLIN, bukan antar wilayah atau antar group BAKORLIN. Group wilayah BAKORLIN I mempunyai rata-rata koefisien within tertinggi dibanding dua group wilayah BAKORLIN lainnya yaitu sebesar 43,52 persen, disusul BAKORLIN III dengan 34,11 persen. Sedangkan BAKORLIN II mempunyai kontribusi rata-rata koefisien within yang paling kecil sebesar 13,21 persen.

Dari data lapangan terlihat bahwa BAKORLIN I meliputi kabupaten/ kota yang mempunyai

industri-industri besar yang padat modal maupun padat tenaga kerja, antara lain Kota Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Kendal. Dengan adanya proses industrialisasi mendorong aglomerasi baik modal dan tenaga kerja dan dimulailah ketimpangan pendapatan yang semakin meningkat apabila terjadi praktik pembagian pendapatan yang tidak adil

18

antar faktor-faktor produksi. Demikian pula proses aglomerasi yang semakin padat menimbulkan berbagai varian dalam distribusi pendapatan yang tidak merata.

Gambar 2 memperlihatkan kontribusi masing-masing koefisien within dari tiga group wilayah

BAKORLIN yang masih relatif rendah bagi kondisi kesenjangan distribusi pendapatan yang terjadi di Jawa Tengah, dan menunjukkan kecenderungan dengan pola yang semakin menurun, kecuali untuk wilayah BAKORLIN III yang mempunyai tren meningkat sejak masa krisis ekonomi tahun 1997. Untuk group wilayah BAKORLIN II fluktuasi koefisien within dari tahun 1993 sampai tahun 2005 cenderung mempunyai pola yang relatif stabil. Sedangkan wilayah BAKORLIN I mempunyai fluktuasi penurunan yang cukup tajam dibanding sebelum masa krisis ekonomi. Gambar 3 Tren Koefisien Within dari 3 BAKORLIN di Jawa Tengah Tahun 1993 – 2005

-

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

inde

ks w

ithin

(%)

bakorlin1bakorlin 2bakorlin 3

Sumber : Data Tabel 2 (3). Kelompok Daerah Kaya - Miskin

Persentase koefisien between group daerah kaya-miskin terhadap total disparitas regional di Propinsi Jawa Tengah dari tahun 1993 sampai tahun 2005 adalah relatif lebih tinggi, yaitu berkisar antara 48,33 persen sampai 55,78 persen dengan rata-rata 55,02 persen. Sedangkan sisanya sebesar 44,98 persen merupakan koefisien within dari daerah kaya dan miskin. Hal itu menjadi sangat penting dan menunjukkan perbedaan dengan dua group terdahulu dimana disparitas justru terjadi lebih dominan pada antar group kaya-miskin (between inequality, bukan dalam group kaya-miskin (within inequality) seperti yang terjadi dari group eks.karesidenan dan group BAKORLIN. Hal ini berarti kesenjangan lebih dominant disebabkan oleh perbedaan antar group kabupaten/ kota yang kaya-dan miskin, sedangkan kesenjangan yang terjadi dalam group lebih kecil.

Kabupaten/ kota yang kaya mempunyai rata-rata koefisien within lebih tinggi dibandingkan

dengan group kabupaten/ kota miskin yaitu sebesar 33,41 persen dibandingkan dengan 11,57 persen. Hal itu berarti bahwa dalam group kabupaten/ kota yang kaya mempunyai kesenjangan yang lebih besar. Besaran PDRB sebagai alat penentu suatu daerah disebut kaya-miskin hanya mengasumsikan besarnya pertumbuhan ekonomi tanpa melihat pemerataan pendapatan itu sendiri. Kemakmuran masyarakat suatu daerah selain tergantung pada besar kecilnya pendapatan daerah

19

(PDRB) juga tergantung dari pemerataan pendapatan yang diterima oleh penduduknya. Pendapatan per kapita hanyalah sebagai patokan sederhana yang dihitung dari total pendapatan dibagi dengan jumlah penduduknya, dengan asumsi terjadi pemerataan pendapatan yang sempurna bagi setiap orang di daerah tersebut. Padahal nilai pendapatan per kapita yang dipublikasikan selama ini hanyalah rata-rata statistik yang masih jauh dari kenyataan terjadinya distribusi pendapatan yang merata sempurna.

Alisjahbana (2005) menyatakan bahwa di samping antar kabupaten/ kota (between

inequality), maka kesenjangan juga terjadi antara daerah perkotaan dan pedesaan. Daerah perkotaan lebih berkembang dari segi ekonomi, karena terdapat investasi Negara dan swasta, dan fasilitas infrastruktur yang terkonsentrasi tinggi. Peluang ekonomi dan fasilitas infrastruktur yang terdapat di sebuah kota telah menarik lebih banyak orang dari pedesaan dan menambah masalah urbanisasi. Jika kota-kota gagal dalam mengatasi masalah yang diakibatkan oleh urbanisasi, maka hal ini akan menciptakan masalah sosioekonomi yang lebih kompleks di perkotaan. Di sisi lain kota yang mampu mengelola masalah urbanisasi dapat lebih banyak berperan sebagai pusat pertumbuhan bagi daerah-daerah di sekitarnya (daerah penyangga) dan mengurangi masalah akibat kesenjangan yang tajam antara perkotaan dan perdesaan.

Gambar 4 di bawah memperlihatkan kontribusi masing-masing koefisien within dari dua daerah kabupaten/ kota yang kaya-miskin yang masih tinggi bagi kondisi kesenjangan distribusi pendapatan yang terjadi, meskipun menunjukkan kecenderungan dengan pola yang semakin menurun. Dalam periode tahun 1993 – 2005 ternyata proporsi yang diberikan oleh daerah kaya dan daerah miskin terhadap koefisien entropi total relatif stabil dan konstan sepanjang tahunnya.

Gambar 4 Tren Koefisien Within dari 3 Daerah Kaya-Miskin di Jawa Tengah Tahun 1993 – 2005

-

10.00

20.00

30.00

40.00

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

indek

s with

in (%

)

kaya miskin

Sumber : Data Tabel 2

Alisjahbana (2005) menyatakan kesenjangan intra daerah (within inequality) terjadi karena adanya beberapa kabupaten atau kota yang kaya dengan jumlah penduduk yang terbatas dalam sebuah propinsi. Kabupaten atau kota ini akan menonjol dalam hal PDRB per kapita relatif terhadap kabupaten/ kota lainnya dalam propinsi yang sama.Propinsi yang tidak mempunyai kabupaten/ kota yang menonjol cenderung memiliki kesenjangan yang lebih kecil. Sedangkan faktor-faktor yang

20

mempengaruhi kesenjangan wilayah disebutkan antara lain kepemilikan sember daya alam yang tidak merata antar daerah, sumber daya manusia (human resources), disparitas gender dalam pendidikan di sekolah, distribusi asset yang tidak merata dan prioritas kebijakan (policity priorities). Hasil Pengujian Model

Berdasarkan Tabel 10 tentang Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi Regional dengan menggunakan model random effect. maka dihasilkan regresi data panel dari variabel-variabel bebasnya terhadap variabel pertumbuhan ekonomi regional sebagai variabel terikat sebagai berikut : Tabel 11 Hasil Regresi Data Panel No Intercept dan Variabel

Bebas Notasi Koefisien Probabilitas Signifikansi

1 Intercept C 12,76853 0,0000 signifikan 2 Entropi Theil Theil 4,159880 0,0000 signifikan 3 Inflasi regional Inflasi -0,000709 0,0005 signifikan 4 Migrasi keluar LnMig 0,016808 0,0000 signifikan 5 Pengeluaran Pemda LnGOVT 0,080000 0,0000 signifikan

2R = 0,981111 Sumber : Data diolah sehingga bentuk umum persamaan dari model estimasi signifikan adalah :

Growth = 12,76853 + 4,159880 Theil - 0,000709 Inflasi + 0,016808 LnMig + 0,080000

LnGOVT ................................................................ (5) Adapun intepretasi hasil estimasi disajikan dalam Tabel 12 di bawah. Tabel 12 Intepretasi Hasil Estimasi

Notasi Deskripsi

1 2R Model memiliki kemampuan untuk menjelaskan variasi pertumbuhan ekonomi

regional akibat variabel-variabel bebas sebesar 98,1111% 2 Entropi

Theil Mempunyai pengaruh positip dan signifikan sebesar 4,159880 pada tingkat kepercayaan 99%. Setiap kenaikan 1% dari indeks entropi Theil akan menaikkan pertumbuhan ekonomi regional sebesar 4,159880%, sedangkan variabel lain diasumsikan ceteris paribus.

3 Inflasi Mempunyai pengaruh negatif sebesar -0,000709. Setiap kenaikan 1% dari inflasi akan menurunkan pertumbuhan ekonomi regional sebesar 0,000709%, sedangkan variabel lain diasumsikan ceteris paribus.

4 LnMig Mempunyai pengaruh positip dan signifikan sebesar 0,016808 pada tingkat kepercayaan 99%. Setiap kenaikan 1% dari migrasi keluar akan menaikkan pertumbuhan ekonomi regional sebesar 0,016808%, sedangkan variabel lain diasumsikan ceteris paribus.

5 LnGovt Mempunyai pengaruh positip dan signifikan sebesar 0,08 pada tingkat kepercayaan 99%. Setiap kenaikan 1% dari pengeluaran pemerintah daerah akan menaikkan pertumbuhan ekonomi regional sebesar 0,08%, sedangkan variabel lain diasumsikan ceteris paribus.

Sumber : Data diolah

21

Berdasarkan Tabel 11 koefisien entropi Theil, Inflasi, migrasi keluar- LnMig dan pengeluaran pemerintah daerah- LnGOVT dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi regional. Adapun tanda koefisien yang dihasilkan adalah positif untuk entropi Theil, migrasi keluar dan pengeluaran pemerintah sedang Inflasi adalah negatif.

(1). Tingkat ketimpangan (koefisien entropi Theil) Terdapat keterkaitan yang sangat erat antara pertumbuhan ekonomi dengan distribusi pendapatan. Hipotesis awal yang menyatakan kesenjangan pendapatan kabupaten/ kota di Jawa Tengah berpengaruh secara positif atau negatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional didapatkan hasil yang positif signifikan. Sedangkan nilai entropi total dari semua kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah masih relatif rendah dan boleh dikatakan tidak terjadi kesenjangan yang berarti. Hasil tersebut sesuai dengan Garcia dan Soelistianingsih (1998) yang menemukan bahwa kesenjangan regional periode 1975-1993 ternyata cukup rendah pada awal-awal periode pertumbuhan.

Sama seperti nilai koefisien Gini yang menyatakan bahwa semakin mendekati nilai nol berarti berarti semakin tidak ada ketimpangan pendapatan secara sempurna dan semakin nilai koefisiennya lebih tinggi berarti semakin mendekati ketimpangan pendapatan sempurna, maka koefisien entropi Theil juga demikian. Semakin tinggi koefisien entropi Theil maka semakin terjadi kesenjangan pendapatan yang makin parah.

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan distribusi pendapatan yang

bertanda positif sesuai dengan hipotesa Kuznets bahwa pada tahap-tahap awal pembangunan, semakin baik distribusi pendapatan akan diikuti dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Gambar 5 Kurva Kuznets

Barro (1999) menyatakan bahwa data panel yang meliputi banyak negara menunjukkan adanya hubungan yang lemah antara laju pertumbuhan dan ketimpangan pendapatan. Untuk pertumbuhan ekonomi, terdapat indikasi bahwa ketimpangan memperlambat pertumbuhan di negara miskin, tetapi mendorong pertumbuhan di negara kaya (Barro, 1999). Penelitian Kristin J. Forbes (2000) dengan menggunakan data panel yang cukup besar menemukan bahwa ketimpangan pendapatan dengan pertumbuhan mempunyai hubungan yang positif.

Indeks entropi Theil yang rendah di Propinsi Jawa Tengah, berkisar antara 0,5995-0,6605 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pendapatan yang terlalu jauh antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah. Laju pertumbuhan ekonomi masing-masing kabupaten/ kota masih dipandang relatif seimbang meski menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Hanya terdapat 11 kabupaten/ kota yang pendapatan per kapitanya di atas pendapatan per kapita rata-rata, sedangkan 24 kabupaten/ kota lainnya masih tergolong dibawah pendapatan per kapita rata-rata. Hal tersebut mengakibatkan pencapaian hasil pembangunan ekonomi kabupaten/ kota menjadi berbeda-beda

indeks ketimpangan

GNP per kapita

22

pula. Kabupaten/ kota Propinsi Jawa Tengah dikelompokkan menjadi empat kuadran menurut PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonominya. Kuadran (I) dengan PDRB perkapita yang rendah tetapi pertumbuhan ekonomi tinggi (Kabupaten Kebumen, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Tegal dan Kota Tegal). Kuadran (II) mempunyai PDRB per kapita yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi tinggi (Kabupaten Cilacap dan Kota Surakarta). Kuadran (III) dengan PDRB per kapita yang tinggi tetapi pertumbuhan ekonomi rendah (Kabupaten Kudus, Kabupaten Kendal, Kota Magelang, Kota Salatiga, Kota Semarang dan Kota Pekalongan). Sedangkan kuadran (IV) adalah PDRB per kapita rendah dan pertumbuhan ekonomi rendah (Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang dan Kabupaten Brebes). (2). Inflasi Regional Koefisien dari variabel bebas inflasi hasil regresi mempunyai tanda negatif signifikan dan sesuai dengan salah hipotesa awal.

Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang mempunyai dampak yang luas terhadap makro ekonomi, termasuk pertumbuhan ekonomi. Mankiw (2000) menyatakan bahwa inflasi merupakan kenaikan dalam keseluruhan tingkat harga, sedangkan Dornbusch et.al (2004) menyatakan bahwa inflasi adalah persentase kenaikan harga tingkat umum.

Laju inflasi menunjukkan stabilitas harga yang merupakan ukuran keberhasilan ekonomi

makro suatu negara. Inflasi yang tinggi biasanya ditengarai memiliki efek negatif bagi perekonomian sebab inflasi yang tinggi akan mengganggu mobilisasi dana domestik dan tingkat investasi. Prospek pembangunan ekonomi jangka panjang akan memburuk jika terjadi inflasi yang tinggi yang tidak dikendalikan, sebab akan mengurangi investasi produktif, mengurangi eksport dan menaikkan impor barang sehingga akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Secara umum rumah tangga dan perusahaan akan memiliki kinerja yang buruk ketika terjadi inflasi tinggi (hiperinflasi) dan tidak dapat diprediksikan.

Sukirno (1994) menggolongkan inflasi atas dasar sebab terjadinya menjadi dua macam, yaitu

inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) dan inflasi desakan biaya (cost push inflation). Demand pull inflation yaitu inflasi yang timbul karena adanya permintaan masyarakat (demand side) akan berbagai barang terlalu kuat dimana permintaan masyarakat ini tidak bisa diimbangi dengan tersedianya barang yang disediakan oleh perekonomian, sehingga akan mengakibatkan perpindahan kurva permintaan agregat (agregat demand=AD) naik dan mendorong kenaikan harga-harga. Perusahaan-perusahaan akan beroperasi pada kapasitas yang maksimal sehingga berdampak positif dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Sebaliknya cost push inflation adalah inflasi yang timbul karena adanya kenaikan biaya

produksi (suplai side). Pertambahan biaya produksi akan mendorong perusahaan-perusahaan untuk menaikkan harga atas barang yang diproduksi walaupun mereka menghadapi ancaman resiko pengurangan permintaan atas barang-barang yang diproduksi tersebut. Tindakan ini akan mengakibatkan perpindahan kurva penawaran agregat (agregat suplai=AS) ke atas sehingga mengakibatkan harga-harga naik tetapi outputnya justru menurun dan berdampak negatif.

23

Badan Pusat Statistik (2005) menyatakan bahwa tingkat inflasi yang berfluktuasi tinggi menggambarkan besarnya ketidakpastian nilai uang, tingkat produksi, distribusi dan arah perkembangan ekonomi sehingga dapat menimbulkan ekspetasi keliru dan manipulasi yang dapat membahayakan perekonomian secara keseluruhan. Sebaliknya inflasi yang rendah juga tidak menguntungkan perekonomian karena menggambarkan rendahnya daya beli dan permintaan masyarakat akan barang dan jasa yang pada gilirannya memperlambat pertumbuhan ekonomi. Sukirno (1994) mengatakan bahwa inflasi yang sangat lambat berlakunya dipandang sebagai stimulator dan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu kenaikan harga-harga yang tidak segera diikuti oleh kenaikan upah pekerja sehingga keuntungan akan bertambah. Pertambahan keuntungan akan menggalakkan investasi di masa mendatang dan ini akan mewujudkan percepatan dalam pertumbuhan ekonomi.

Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah telah mengindentifikasi laju inflasi pada empat

lokasi kota terpilih sebagai gambaran umum laju inflasi yang terjadi setiap saat. Dari keempat kota tersebut dapat digeneralisasikan laju inflasi yang terjadi di sebuah kabupaten/ kota yang berdekatan regionnya. Keempat kota tersebut adalah Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Purwokerto dan Kota Tegal. Dari data yang diperoleh di lapangan dibuat gambaran tren inflasi dari empat kota pada kurun waktu tahun 1993 sampai tahun 2005 yang hasilnya disajikan dalam gambar 5.6 di bawah.

Gambar 6 Trend Laju Inflasi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 – 2005

(5.00)

20.00

45.00

70.00

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

tahun

laju

infla

si (%

)

semarang surakarta purwokerto tegal

Terlihat bahwa tren inflasi di empat kota relatif sama. Keadaaan menyolok terjadi pada tahun

1998 ketika terjadi krisis ekonomi. Inflasi empat kota mencapai angka yang tinggi antara 66,38% di Kota Surakarta sampai 80,39% di Kota Purwokerto. Selebihnya di luar tahun tersebut laju inflasi kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah berfluktuasi stabil dan dapat dikendalikan. Laju inflasi yang terjadi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2004 sebesar 5,98% dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 16,46%, namun masih lebih rendah dibanding laju inflasi nasional yang mencapai 17,11% (BPS, 2005). Laju inflasi tersebut termasuk dalam tingkat inflasi sedang (Boediono, 1982).

(3). Migrasi Keluar

Migrasi keluar merupakan migrasi pekerja dengan mutu modal manusia yang rendah dari daerah miskin ke daerah kaya akan memberikan efek positif bagi tingkat pertumbuhan ekonomi daerah asal migran dan memberikan efek negatif bagi penerimanya (Wibisono, 2003). Dalam

24

penelitian ini migrasi keluar (transmigrasi) diprediksi memiliki arah positip, dan hasilnya adalah positif signifikan juga.

Kecenderungan migrasi yang terjadi di Indonesia adalah tenaga kerja terdidik dari luar Jawa

umumnya pindah ke Pulau Jawa, sebaliknya migran yang keluar dari Jawa adalah tenaga kerja yang berpendidikan rendah para transmigran. Angka koefisien migrasi yang positif menunjukkan bahwa migrasi keluar dengan nyata ikut memainkan peranan bagi pertumbuhan ekonomi regional. (4). Pengeluaran Pemerintah Daerah

Pengeluaran pemerintah relatif penting berperan dalam sektor perekonomian dan pertumbuhan ekonomi (Dar and Amir Khalkhali, 2002). Pengeluaran pemerintah daerah yang tidak efisien tidak akan memperbaiki produktivitas perekonomian daerah. Semakin besar pengeluaran pemerintah yang tidak produktif, maka semakin besar tingkat pertumbuhan ekonomi yang akan berkurang (Wibisono,2003).

Konsumsi pemerintah daerah dalam penelitian ini terlihat memiliki efek positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kepercayaan lebih dari 99%.

.Sukirno (1994) menyatakan bahwa dalam setiap perekonomian terdapat beberapa jenis pendapatan dan pengeluaran yang akan secara otomatik menciptakan kestabilan pada perekonomian yang disebut kebijakan fiskal penstabilan otomatik (automatic stabilizer). Tanpa adanya automatic stabilizer perubahan akan menjadi lebih besar atau bahkan menjadi lebih kecil. Dengan adanya penstabil otomatik maka gerak naik turun perekonomian diperkecil sehingga mengurangi konjungtur perekonomian yang terjadi dari waktu ke waktu. Automatic stabilizer terkait nilai pertambahan output () Y∆ akibat adanya pengeluaran pemerintah sehingga besarnya menjadi lebih kecil dari pertambahan output () Y∆ yang diharapkan.

Gambar 7 Rata-Rata Proporsi Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota

Propinsi Jawa Tengah Periode 1993-2005.

0

2

4

6

8

10

12

rera

ta p

ropo

rsi g

ovt (

%)

Kab.Cilac

apKab

.Purbalin

gga

Kab.Keb

umen

Kab.W

onos

obo

Kab.Te

mangg

ung

Kab.Boyo

laliKab

.Sukoha

rjo

Kab.Kara

ngan

yarKota

Suraka

rtaKab

.Demak

Kab.Ken

dal

Kota Sem

arang

Kab.Rem

bang

Kab.Kud

usKab

.Batang

Kab.Pem

alang

Kab.Breb

esKota

Tegal

Gambar 7 memperlihatkan rata-rata proporsi pengeluaran pemerintah daerah kabupaten/

kota periode 1993-2005. Apabila dilihat proporsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB-nya selama kurun waktu tahun 1993–2005 menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran pemerintah daerah mempunyai rata-rata sebesar 1,3 persen (Kabupaten Cilacap) sampai 11,0 persen (Kota Tegal) serta

25

rata-rata keseluruhan sebesar 6,4 persen, masih dibawah 12 persen seperti yang dikatakan Anaman (2004). Anaman (2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa pengeluaran konsumsi pemerintah yang terlalu kecil proporsinya akan merugikan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang proporsional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah yang terlalu boros akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Dampak negatif oleh pengeluaran pemerintah dihasilkan oleh daerah-daerah yang memiliki proporsi pengeluaran pemerintah terhadap GDP-nya di atas 12 persen, sedang dampak positif dihasilkan oleh daerah-daerah yang memiliki proporsi pengeluaran pemerintah terhadap GDP-nya di bawah 12 persen. Gambar 8 Rata-rata Laju Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota

Propinsi Jawa Tengah Periode 1993-2005.

0

10

20

30

40

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

rera

ta la

ju g

ovt (

%)

Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu kebijakan fiskal selain pajak yang kedua-

duanya dapat bersifat ekspansif atau kontraktif. Perubahan kebijakan fiskal yang ditetapkan pemerintah mempengaruhi level output melalui perubahan kurva IS melalui peningkatan permintaan agregat. Dikatakan ekspansif apabila membuat kurva IS bergeser ke kanan sehingga akan meningkatkan output perekonomian, antara lain melalui peningkatan pengeluaran pemerintah atau pemotongan pajak. Gambar 8 menunjukkan rata-rata laju pengeluaran pemerintah daerah dari kabupaten/ kota periode 1993-2005. Terlihat bahwa laju pengeluaran konsumsi pemerintah terendah terjadi pada tahun 2004 sebesar 7,4 persen sedangkan laju pengeluaran pemerintah daerah tertinggi dicapai tahun 1998 ketika terjadi krisis ekonomi sebesar hampir 40,1 persen.

5.2.2. Efek Individu Kabupaten/ Kota

Apabila variabel-variabel bebas tidak mengalami perubahan, maka masing-masing kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda. Tingkat pertumbuhan yang berbeda tersebut merupakan selisih dari pertumbuhan masing-masing kabupaten/ kota dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi semua kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah. Tabel 13 Efek Individu Kabupaten/ Kota

Selisih thd Selisih thd No Kab/ Kota Rata-Rata No Kab/ Kota Rata-Rata

Pertumbuhan Pertumbuhan

26

1 Kabupaten Kudus 1.054296 19 Kabupaten Pati -0.104860 2 Kota Magelang 0.831472 20 Kabupaten Rembang -0.118597 3 Kota Pekalongan 0.706991 21 Kabupaten Banjarnegara -0.187519 4 Kota Surakarta 0.654384 22 Kabupaten Klaten -0.192163 5 Kota Semarang 0.625065 23 Kabupaten Magelang -0.200478 6 Kabupaten Cilacap 0.575258 24 Kabupaten Demak -0.211244 7 Kota Salatiga 0.484475 25 Kabupaten Sragen -0.286732 8 Kabupaten Semarang 0.391075 26 Kabupaten Blora -0.428441 9 Kabupaten Karanganyar 0.376238 27 Kabupaten Wonosobo -0.432079 10 Kabupaten Kendal 0.357562 28 Kabupaten Brebes -0.437826 11 Kabupaten Sukoharjo 0.304179 29 Kabupaten Wonogiri -0.438863 12 Kota Tegal 0.128808 30 Kabupaten Purbalingga -0.485490 13 Kabupaten Boyolali 0.089607 31 Kabupaten Banyumas -0.513791 14 Kabupaten Jepara 0.022940 32 Kabupaten Pemalang -0.531056 15 Kabupaten Pekalongan -0.006583 33 Kabupaten Kebumen -0.573961 16 Kabupaten Batang -0.047061 34 Kabupaten Tegal -0.611992 17 Kabupaten Purworejo -0.060300 35 Kabupaten Grobogan -0.655229 18 Kabupaten Temanggung -0.078088

Sumber : Data diolah Dari tabel 13 di atas terlihat bahwa Kabupaten Kudus memiliki selisih terbesar positip dengan

rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota se-Propinsi Jawa Tengah. Periode tahun 1993–2005 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kudus paling tinggi, sedang Kabupaten Grobogan mempunyai pertumbuhan ekonomi yang paling rendah. Terdapat 14 kabupaten/ kota yang pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota, ditandai dengan nilai koefisien yang positif, antara lain Kabupaten Kudus, Kota Magelang, Kota Pekalongan, Kota Surakarta, Kota Semarang, Kabupaten Cilacap, Kota Salatiga, Kabupaten Semarang, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kendal, Kabupaten Sukoharjo, Kota Tegal, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Jepara. Sisanya sebanyak 21 daerah kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah mempunyai pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi semua kabupaten/ kota di Jawa Tengah.

Meskipun Kabupaten Cilacap atau Kota Semarang mempunyai nilai PDRB per kapita yang paling besar dibanding dengan PDRB per kapita kabupaten/ kota lainnya, namun terlihat bahwa kota Magelang dan Kota Surakarta mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dibanding Kabupaten Cilacap dan Kota Semarang. Hal itu sesuai dengan temuan Garcia dan Soelistianingsih (1998) yang menyatakan bahwa daerah dengan pendapatan per kapita yang lebih kecil justeru memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dalam rangka mengejar (catch up) ketertinggalannya dengan daerah lain sehingga akan terjadi konvergensi . KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Berbagai analisis disparitas pendapatan regional menggunakan indeks entropi Theil baik

pembagian atas group eks.karesidenan, group BAKORLIN maupun group daerah kaya-miskin menemukan bahwa koefisien entropi total kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah berkisar antara 0,5995 – 0,6605. Hal itu berarti kesenjangan yang terjadi masih relatif rendah. Sedangkan indeks kesenjangan kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah pada periode tahun 1993 – 2005 terus mengalami peningkatan dan mempunyai tren yang naik. Indeks entropi Theil yang rendah di Propinsi Jawa Tengah, berkisar antara 0,5995-0,6605 menunjukkan bahwa

27

tidak terdapat perbedaan pendapatan yang terlalu jauh antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah. Laju pertumbuhan ekonomi masing-masing kabupaten/ kota masih dipandang relatif seimbang meski menunjukkan kecenderungan yang meningkat.

2. Group eks.karesidenan dan group BAKORLIN mempunyai koefisien entropi within yang lebih

tinggi dibanding koefisien between, artinya bahwa kondisi kesenjangan yang terjadi di antar wilayah eks.karesidenan dan BAKORLIN ternyata lebih kecil dibanding kesenjangan yang terjadi di dalam wilayah eks.karesidenan dan BAKORLIN itu sendiri. Sebaliknya group daerah kaya-miskin mempunyai koefisien between yang lebih tinggi dari koefisien within yang artinya bahwa kondisi kesenjangan yang terjadi di antar derah kaya-miskin ternyata lebih besar dibanding kesenjangan yang terjadi di dalam daerah kaya-miskin itu sendiri.

3. Koefisien entropi Theil memiliki pengaruh positif signifikan sebesar 4,15988 pada tingkat

kepercayaan 99%. Hal itu berarti bahwa setiap kenaikan 1% indeks entropi akan menaikkan pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah sebesar 4,15988%.

4. Tingkat inflasi regional memiliki pengaruh negatif sebesar -0,000709 pada tingkat kepercayaan

99%. Hal itu berarti bahwa setiap kenaikan 1% tingkat inflasi akan menurunkan pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah sebesar 0,000709%. Dampak inflasi tersebut menunjukkan terjadinya cost push inflation yaitu inflasi yang timbul karena adanya kenaikan biaya produksi (suplai side). Pertambahan biaya produksi akan mendorong perusahaan-perusahaan untuk menaikkan harga atas barang yang diproduksi walaupun mereka menghadapi ancaman resiko pengurangan permintaan atas barang-barang yang diproduksi tersebut. Tindakan ini akan mengakibatkan perpindahan kurva penawaran agregat ke atas sehingga mengakibatkan harga-harga naik tetapi outputnya justru menurun dan berdampak negatif.

5. Migrasi keluar memiliki pengaruh positif signifikan sebesar 0,016808 pada tingkat kepercayaan

99%. Hal itu berarti bahwa setiap kenaikan 1% migrasi keluar akan menaikkan pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah sebesar 0,016808%. Migrasi keluar oleh para pekerja dengan mutu modal manusia yang rendah dari kabupaten/ kota memberikan efek positif bagi tingkat pertumbuhan ekonomi regional kabupaten/ kota yang ditinggalkan, terkait dengan kinerja dan produktivitas migran keluar.

6. Pengeluaran pemerintah kabupaten/ kota memiliki pengaruh positif signifikan sebesar 0,08

pada tingkat kepercayaan 99%. Hal itu berarti setiap kenaikan 1% pengeluaran pemerintah kabupaten/ kota akan menaikkan pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah sebesar 0,08%. Dalam hal ini pengeluaran pemerintah menjadi fungsi fiskal stimulus yang cukup optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

7. Terdapat 14 kabupaten/ kota yang pertumbuhan ekonominya lebih besar dari rata-rata

pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah, sedang 21 kabupaten/ kota lainnya mempunyai rata-rata yang lebih rendah.

Keterbatasan Studi 1. Pengukuran entropi kesenjangan yang dilakukan penulis hanya dengan indeks Theil,

sedangkan masih banyak indeks entropi kesenjangan lain. Oleh karenanya perlu mengadakan komparasi dengan melakukan pengukuran disparitas melalui indeks kesenjangan selain Theil.

28

2. Masih banyak faktor/ variabel lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sehingga

apabila ditambahkan menjadi variabel bebas maka akan kemungkinan akan memberikan hasil yang lebih baik dan dapat menghasilkan model estimasi yang lebih mencerminkan keadaan yang sebenarnya.

3. Model estimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model linier, sehingga perlu

dilakukan dengan model lain yang tidak linier untuk mendapatkan gambaran pertumbuhan ekonomi yang lebih tepat.

4.1 Saran 1. Pemerintah kabupaten/ kota diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional

tanpa harus memperbesar kesenjangan distribusi pendapatan. Demikian juga selalu mengadakan pengkajian terhadap besaran kesenjangan yang terjadi di daerahnya untuk pengambilan kebijakan yang lebih komprehensif.

2. Pemerintah kabupaten/ kota diharapkan mampu mempertahankan tingkat inflasi yang rendah,

stabil dan dapat dikendalikan, karena semakin tidak stabilnya laju inflasi akan mengurangi kepercayaan pasar untuk berinvestasi sehingga dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi regional.

3. Pemerintah kabupaten/ kota diharapkan mampu mengalokasikan anggaran untuk belanja

pemerintah yang proporsional sehingga mampu memberikan efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional, suatu alokasi anggaran belanja pemerintah yang tidak terkesan boros ataupun pelit.

4. Pemerintah kabupaten/ kota diharapkan mampu menumbuhkan dan memelihara sikap

kompetitif dan kooperatif antar daerah, sehingga pada saat perekonomian sedang sulit seperti krisis ekonomi maka dapat saling bahu membahu mengatasinya secara bersama-sama.

DAFTAR PUSTAKA Achjar Nuzul. 2006. “ Diktat Kuliah Ekonomi Regional : Disparitas Regional. Pascasarjana Fakultas

Ekonomi Universitas Diponegoro. Akita, Takahiro dan Rizal A. Lukman. “Interregional Inequalities in Indonesia : A Sektoral

Decomposition Analysis for 1975 – 1992” Bulletin of Indonesia Economic Studies, 1995. Vol.31(2).

Akita, Takahiro dan Rizal A. Lukman. “Spatial Patterns of Expenditure Inequalities in Indonesia :

1987, 1990 and 1993” Bulletin of Indonesia Economic Studies, August 1999. Vol.35(2). Anaman, K.A., 2004. Determinant of Economic Growth in Brunei Darussalam, Journal of Asian

Economics 15, 777-796.

29

Bappenas. 2006. Bappenas Official Website : Perkembangan Ekonomi Indonesia. Barro, R.J. 1999. Inequality, Growth and Investment . NBER Working Paper (online) 7038. Available :

http:\//www.nber.org/papers/w708. Barro, Robert J and Xavier Sala-i-Martin. “Convergence” The Journal of Political Economiy, April

1992. Vol.100, pp.223-251. Boediono, 1982. Ekonomi Makro. BPFE-UGM, Yogyakarta. BPS dan Bappeda Kabupaten Kebumen, 2003. Studi Ketimpangan Distribusi Penduduk Tahun 2003. BPS dan Bapeda Propinsi Jawa Tengah. 2005. Jawa Tengah Dalam Angka. Semarang Dar, A.A. and S. Amir Khakhali, 2002. Government size, factor accumulation, ang economis growth :

evidence from OECD countries, Journal of Policy Modeling 24, 679 - 692. Dornbusch R, Stanley Fischer dan Richard Startz, 2000. Makroekonomi, edisi keempat. PT. Media

Global Edukasi, Jakarta. Etharina. ”Disparitas Pendapatan Antardaerah di Indonesia” Jurnal Kebijakan Ekonomi, Agustus

2005, I(1), hal.59-74. Forbes, Kristin J. 2000. A Reassessment of The Relationship Between Inequality and Growth, The

American Economic Review. Garcia, Jorge Garcia and Lana Soelistianigsih “Why Do Differences in Provincial Income Persist in

Indonesia?” Bulletin of Indonesia Economic Studies, 1998. Vol.34(2) pp.95-102. Kuncoro, 2004. Adakah Perubahan Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur di Indonesia, 1976-

2001?. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol.19 No.4, Oktober 2004. Mankiw. 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Penerbit Erlangga, Jakarta. Nachrowi , Nachrowi J. dan Usman, Hardius. 2002. Penggunaan Teknik Ekonometri. : Pendekatan

Populer dan Praktis dilengkapi Teknik Analisis dan Pengolahan Data dengan Menggunakan Paket Program SPSS Ed-1, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Puspita, Klarawidya. “Pengaruh Distribusi Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Propinsi di

Indonesia 1993-2002”. Depok, Universitas Indonesia, 2006. Santoso, Bambang H. “ The Role of The Government in Provincial Economic Growth in Indonesia :

Some Evidence from Cross Section and Time Series Data. Setyowati, E., Rianasari Damayanti, Subagyo, Rudi Badrudin, Suryawati K, Algifari, Haryono

Subiyakto, Sri Fatmasari, Astuti Purnamawati. 2000. Ekonomi Makro : Pengantar. STIE Yayasan Keluarga Pahlawan Negara. Yogyakarta.

30

Sigit, H. 1990. Masalah Penghitungan Distribusi Pendapatan Indonesia, Prisma. Jakarta, Januari. Sukirno, S. 1994. Pengantar Teori Makroekonomi edisi kedua. PT. rajawali Grasindo Persada.

Jakarta. Syaparuddin. 2003. Advance Makroeconomics : Intisari dari Buku Advanced Macroeconomis David

Romer. Program Pasca sarjana Universitas Padjajaran Bandung. Tambunan, Tulus. 2001, Perekonomian Indonesia : Teori dan Temuan Empiris. Penerbit PT. Ghalia

Indonesi, Jakarta. Tasrif, M.A. 2006. Determinan Struktur Parsial. Bahan Asistensi Ekonomi Regional PPS IE FEUI

Program Bappenas. Terrasi, Marinella. “Convergence and Divergence Across Italian Regions, The Annals of Regional

Science, Spinger Verlag. Wibisono, Yusuf. ”Konvergensi di Indonesia: Beberapa Temuan Awal dan Implikasinya” Jurnal

Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Januari 2003, Vol.51, hal.53-82. Wibisono, Yusuf. ”Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Regional : Studi Empiris Antar Propinsi di

Indonesia, 1984-2000” Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Januari 2005, Vol.02, hal.91-120