9
JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1 JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang 1 ANALISIS ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT “ENYENG” DI DESA CIPANCAR SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA ARIP BUDIMAN Email: [email protected] Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia STKIP Sebelas April Sumedang Abstrak: Penelitian ini dilatarbelakangi oleh semakin derasnya arus teknologi informasi yang membuat cerita rakyat menghadapi tantangan untuk tetap tumbuh dan berkembang di masyarakat. Kurang menariknya penyajian materi cerita rakyat di sekolah membuat cerita rakyat semakin terabaikan. Untuk mendongkrak hal tersebut maka perlu adanya analisis terhadap karya sastra, agar karya sastra tersebut dapat digunakan sebagai pemilihan bahan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat aspek sosial dan budaya. Aspek sosial yang paling banyak muncul dalam cerita rakyat “Enyeng” adalah karakteristik masyarakat pedesaan yang mencerminkan jika diberi janji akan selalu diingat dengan frekuensi 3 buah. Hal ini membuktikan bahwa warga desa Cipancar sangat memegang teguh janji dan amanah dari leluhurnya. Sedangkan nilai budaya yang paling banyak muncul dalam cerita rakyat “Enyeng” adalah sistem religi dengan frekuensi 3 buah. Ini membuktikan bahwa mayarakat desa Cipancar masih memegang teguh ajaran tentang apa yang harus dipercayai, diyakini dan diimani oleh setiap orang Islam. Tradisi lisan untuk mengganti nama hewan kucing/ucing dengan ènyèng/emèng/mèong merupakan hasil budaya dari generasi-kegenerasi, kemudian mereka memegang teguh pada keyakinannya yang dikukuhkan oleh legenda dan mitos dalam bentuk tradisi lisan. Walaupun mereka menerima budaya luar yang datang dan mereka mengikuti kemajuan/budaya modern, namun mereka tetap memegang teguh keyakinannya, dimanapun mereka berada atau sekalipun dalam perantauan. Kata Kunci: Aspek Sosial, Aspek Budaya, dan Cerita rakyat. 1. Latar Belakang Bahasa dan sastra Indonesia merupakan salah satu karya seni (produk kreativitas) manusia yang mengandung nilai-nilai humaniora yang menggunakan bahasa sebagai media ekspresinya. Hal ini, kita bisa mengungkapkan pemikiran, perasaan, ide, semangat dan keyakinan yang sedang kita rasakan selama ini. Dikatakan demikian, karena sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita. Sumedang sebagai bagian dari daerah pedalaman yang ada di sekitar Tatar Sunda, memiliki sejumlah cerita rakyat yang beragam, misalnya “Sasakala Gunung Tampomas”, “Sumedang Larang”, “Asal-Usul Kampung Marongge”, dan lain-lain. Ada mitos yang berkembang di kalangan masyarakat desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan. Sampai saat ini, kepercayaan masyarakat desa Cipancar tidak berani untuk meyebutkan

ANALISIS ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT …

  • Upload
    others

  • View
    19

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANALISIS ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT …

JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1

JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang

1

ANALISIS ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT

“ENYENG” DI DESA CIPANCAR SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN

BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA

ARIP BUDIMAN

Email: [email protected] Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia STKIP Sebelas April Sumedang

Abstrak: Penelitian ini dilatarbelakangi oleh semakin derasnya arus teknologi informasi

yang membuat cerita rakyat menghadapi tantangan untuk tetap tumbuh dan berkembang

di masyarakat. Kurang menariknya penyajian materi cerita rakyat di sekolah membuat

cerita rakyat semakin terabaikan. Untuk mendongkrak hal tersebut maka perlu adanya

analisis terhadap karya sastra, agar karya sastra tersebut dapat digunakan sebagai

pemilihan bahan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Hasil yang diperoleh

dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat aspek sosial dan budaya. Aspek sosial

yang paling banyak muncul dalam cerita rakyat “Enyeng” adalah karakteristik

masyarakat pedesaan yang mencerminkan jika diberi janji akan selalu diingat dengan

frekuensi 3 buah. Hal ini membuktikan bahwa warga desa Cipancar sangat memegang

teguh janji dan amanah dari leluhurnya. Sedangkan nilai budaya yang paling banyak

muncul dalam cerita rakyat “Enyeng” adalah sistem religi dengan frekuensi 3 buah. Ini

membuktikan bahwa mayarakat desa Cipancar masih memegang teguh ajaran tentang apa

yang harus dipercayai, diyakini dan diimani oleh setiap orang Islam. Tradisi lisan untuk

mengganti nama hewan kucing/ucing dengan ènyèng/emèng/mèong merupakan hasil

budaya dari generasi-kegenerasi, kemudian mereka memegang teguh pada keyakinannya

yang dikukuhkan oleh legenda dan mitos dalam bentuk tradisi lisan. Walaupun mereka

menerima budaya luar yang datang dan mereka mengikuti kemajuan/budaya modern,

namun mereka tetap memegang teguh keyakinannya, dimanapun mereka berada atau

sekalipun dalam perantauan.

Kata Kunci: Aspek Sosial, Aspek Budaya, dan Cerita rakyat.

1. Latar Belakang

Bahasa dan sastra Indonesia

merupakan salah satu karya seni (produk

kreativitas) manusia yang mengandung

nilai-nilai humaniora yang menggunakan

bahasa sebagai media ekspresinya. Hal ini,

kita bisa mengungkapkan pemikiran,

perasaan, ide, semangat dan keyakinan

yang sedang kita rasakan selama ini.

Dikatakan demikian, karena sangat

berpengaruh terhadap kehidupan kita.

Sumedang sebagai bagian dari

daerah pedalaman yang ada di sekitar Tatar

Sunda, memiliki sejumlah cerita rakyat

yang beragam, misalnya “Sasakala

Gunung Tampomas”, “Sumedang Larang”,

“Asal-Usul Kampung Marongge”, dan

lain-lain. Ada mitos yang berkembang di

kalangan masyarakat desa Cipancar

Kecamatan Sumedang Selatan. Sampai

saat ini, kepercayaan masyarakat desa

Cipancar tidak berani untuk meyebutkan

Page 2: ANALISIS ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT …

JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1

JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang

2

nama binatang tertentu dalam bahasa

pergaulan sehari-hari. Di daerah ini

masyarakat setempat tidak berani dan

“pantang” untuk menyebutkan secara

langsung binatang “kucing”, nama itu

mereka ganti dengan “enyeng”. Mereka

percaya jika hal tersebut dilanggar akan

terjadi malapetaka. Budaya tersebut

merupakan warisan dari para leluhur yang

diturunkan kepada genarasi penerusnya

yang berwujud adat istiadat yang terdapat

dalam cerita rakyat “Enyeng” yang di

dalamnya mengandung unsur aspek sosial

budaya.

Aspek sosial budaya yang terdapat

dalam cerita rakyat “Enyeng” inilah yang

akan penulis gali dalam penelitian sebagai

bahan pembelajaran apresiasi sastra.

Karena sebuah karya sastra hadir

dipengaruhi oleh beberapa hal salah

satunya ialah latar sosial budaya

masyarakat yang membentuknya. Peranan

pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia

bagi kepentingan pendidikan pada

umumnya ialah agar siswa mampu

menikmati dan memanfaatkan karya sastra

untuk mengembangkan kepribadian,

memperluas wawasan kehidupan, serta

untuk meningkatkan kemampuan

berbahasa. Hal ini berarti karya sastra

sangat penting dipelajari oleh siswa. Oleh

karena itu, agar pembelajaran dapat

menyenangkan siswa, guru harus dapat

memilih bahan pembelajaran yang sesuai

untuk siswa.

2. Rumusan Masalah

Apakah bahan pembelajaran yang

dapat disusun dari cerita rakyat

“Enyeng” di desa Cipancar untuk

bahasa dan satra Indonesia di

SMA?

3. Tujuan Penelitian

Mendeskripsikan bahan

pembelajaran yang dapat disusun

dari cerita rakyat “Enyeng” di desa

Cipancar untuk bahasa dan satra

Indonesia di SMA.

4. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode deskriptif.

Melalui metode deskriptif ini penulis akan

mendeskripsikan aspek sosial budaya yang

terdapat dalam cerita rakyat “Enyeng” di

desa Cipancar, serta bahan pembelajaran

yang dapat disusun untuk apresiasi sastra

di SMA.

5. Kajian Teori

5.1 Pengertian Cerita Rakyat

Cerita rakyat adalah sebagian

kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki

bangsa Indonesia. Cerita rakyat yang

merupakan bagian dari sastra rakyat adalah

salah satu unsur kebudayaan yang perlu

Page 3: ANALISIS ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT …

JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1

JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang

3

dikembangkan karena mengandung nilai-

nilai budaya, norma-norma, dan nilai-nilai

etika serta nilai moral masyarakat

pendukungnya. Dengan mengetahui cerita

rakyat tersebut, kita dapat mengetahui

gambaran yang lebih banyak mengenai

berbagai aspek kehidupan masyarakat

tertentu dan dapat pula membina pergaulan

serta pengertian bersama sebagai suatu

bangsa yang memiliki aneka ragam

kebudayaan.

Menurut Kamus Bahasa

Indonesia, “Folklor adalah adat istiadat

tradisional dan cerita rakyat yang tidak

dibukukan” (2008: 418). Folklor adalah

sebagian kebudayaan suatu kolektif yang

tersebar dan diwariskan turun-temurun,

diantaranya kolektif macam apa saja,

secara tradisional dalam versi yang

berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun

contoh yang disertai dengan gerak isyarat

atau alat bantu pengingat (Danandjaja,

2007: 2). Dengan demikian, folklor

merupakan bagian dari warisan budaya

yang diwariskan secara turun temurun dan

biasanya disampaikan melalui lisan.

Danandjaja (2007: 3) berpendapat

bahwa,

Ada beberapa ciri folklore,

diantaranya adalah: (a) penyebaran

dan pewarisannya biasanya

dilakukan secara lisan, (b) bersifat

tradisional dalam bentuk yang

relatif tetap/standar, (c) ada dalam

versi-versi, bahkan varian-varian

yang berbeda, (d) bersifat anonim,

(e) berbentuk berumus, berpola, (f)

berkegunaan di dalam kehidupan

bersama suatu kolektif, (g) bersifat

pralogis, artinya memiliki logika

sendiri yang tidak sesuai dengan

logika umum, (h) menjadi milik

bersama dari kolektif tertentu, dan

(i) folklor pada umumnya bersifat

polos dan lugu sehingga sering

terkesan kasar, terlalu spontan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat

disimpulkan bahwa cerita rakyat

merupakan salah satu warisan budaya yang

disampaikan secara turun temurun dan

biasanya disampaikan melalui lisan oleh si

penutur kepada si pendengar. Folklore juga

mempunyai ciri-ciri tertentu yang dapat

membedakan dengan karya sastra lain.

5.2 Pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia

Tujuan pembelajaran bahasa dan

sastra Indonesia meliputi tujuan umum dan

tujuan khusus. Terdapat empat tujuan

umum. Dari keempat tujuan umum

tersebut, satu diantaranya yaitu berkenaan

dengan pembelajaran sastra. Tujuan

tersebut menyatakan bahwa, “Siswa harus

mampu menikmati, memahami, dan

memanfaatkan karya sastra untuk

mengembangkan kepribadian, memperluas

wawasan kehidupan, serta meningkatkan

pengetahuan dan kemampuan berbahasa”

(Depdikbud, 1995: 1). Sedangkan tujuan

khusus pembelajaran Bahasa dan Sastra

Page 4: ANALISIS ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT …

JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1

JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang

4

Indonesia meliputi tujuan kebahasaan,

pemahaman, dan penggunaan.

Moody (1988: 91) berpendapat

bahwa, “Tujuan pembelajaran sastra dapat

dibagi menjadi empat, yaitu: (1) informasi,

(2) konsep, (3) perspektif, dan (4)

apresiasi”.

Informasi yaitu tujuan yang

berkaitan dengan pemahaman pengetahuan

dasar tentang sastra. Tercapainya tujuan ini

dapat ditunjukkan oleh siswa dalam

menjawab pertanyaan yang berhubungan

dengan sastra. Herman J Waluyo (1987:

49) berpendapat bahwa, “Informasi yang

perlu ditanyakan dalam hal ini antara lain,

apa itu sastra; unsur-unsur yang

membangun karya sastra; siapa

pengarangnya; dimana karya itu

diciptakan; kapan waktunya; dan

sebagainya”.

Konsep yaitu tujuan yang

berkaitan dengan pemahaman terhadap

pengertian-pengertian pokok mengenai

suatu hal. Dalam hal ini, siswa dapat

mengenal terminologi dari setiap aspek.

Misalnya memahami konsep wilayah

kajian sastra, dengan berbagai genre, atau

wilayah jenis sastra, ciri-ciri pembeda, dan

unsur-unsur pembentuknya.

Perspektif yaitu tujuan yang

berkaitan dengan kemampuan untuk

memandang bagaimana sebuah karya

sastra itu diciptakan menurut perspektif

pikiran siswa. Baguskah imajinasi karya

yan dibacanya; menarikkah konflik yang

dikemas dan disajikan dalam cerita;

bagaimana karakter tokoh-tokohnya; dan

bagaimana penokohannya.

Bahasa dan sastra Indonesia

bertujuan yang berkaitan dengan

pemahaman, penghayatan, penikmat, dan

penghargaan terhadap karya sastra. Tujuan

pembelajaran yang lebih terperinci lagi ada

dalam bentuk silabus yang di dalamnya

terdapat komponen standar kompetensi

sebagai bahan kajian mata pelajaran

Bahasa dan Sastra Indonesia berorientasi

pada hakikat pembelajaran sastra, bahwa

belajar bahasa Indonesia adalah belajar

berkomunikasi dan belajar sastra adalah

belajar menghargai manusia dari nilai-nilai

kemanusiaanya. Oleh karena itu,

pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan

untuk meningkatkan kemampuan siswa

untuk berkomunikasi dalam berbahasa

indonesia.

6. Analisis Data

Bahan Pembelajaran Apresiasi Sastra

Cerita Rakyat “Enyeng”

Berdasarkan isi kriteria pemilihan

bahan pembelajaran sastra, disebutkan

bahwa tujuan umum pembelajaran sastra

diantaranya adalah siswa mampu

menikmati, memahami, dan memanfaatkan

karya sastra untuk mengembangkan

Page 5: ANALISIS ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT …

JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1

JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang

5

kepribadian, memperluas wawasan

kehidupan, serta meningkatkan

pengetahuan dan kemampuan berbahasa,

sedangkan tujuan khusus pembelajaran

sastra diantaranya siswa mampu

menikmati, menghayati, memahami, dan

menarik manfaat dari karya-karya tersebut.

Dari hasil penelitian penulis, isi

dari cerita rakyat “Enyeng” sesuai dengan

psikologis siswa SMA. Karena usia siswa

SMA sudah mulai memasuki usia dewasa,

sehingga ceritanya bisa menjadi cerminan

dan pedoman bagaimana seharusnya

menjaga amanah dan memegang teguh apa

yang kita yakini. Pembelajaran cerita

rakyat di SMA dapat digunakam untuk

salah satu cara pelestarian budaya. Dalam

cerita rakyat “Enyeng” ini mengandung

aspek sosial, dan aspek budaya yang dapat

di jadikan pembelajaran bagi siswa.

Berikut bahan pembelajaran

tentang aspek sosial dan budaya yang dapat

disusun dari hasil penelitian ini.

1. Bahan pembelajaran tentang aspek

sosial.

Aspek sosial adalah hubungan

sosial yang dinamis, yang menyangkut

hubungan timbal balik antarindividu,

antarkelompok manusia, maupun antara

orang dengan kelompok manusia dan

masalah sosial ini tidaklah sama antara

masyarakat yang satu dengan masyarakat

yang lain karena adanya perbedaan dalam

tingkat perkembangan dan kebudayaannya,

sifat kependudukannya, dan keadaan

lingkungan alamnya.

1) Sederhana

Sebagian besar masyarakat desa

hidup dalam kesederhanaan.

Kesederhanaan ini terjadi karena dua hal:

1) secara ekonomi memang tidak mampu,

2) secara budaya memang tidak senang

menyombongkan diri.

a. Cara hidup yang sederhana

Saat Eyang Sutra Ngumbar hijrah

ke desa Cipancar, beliau hidup sebagai

seorang petani yang jauh dari kemewahan.

Meskipun beliau adalah anak seorang raja,

tetapi beliau lebih memilih hidup

sederhana dengan menjadi seorang petani

untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari,

meskipun sebenarnya secara ekonomi

beliau mampu.

b. Tidak menyombongkan diri

Eyang Sutra Ngumbar

menyembunyikan identitasnya sebagai

anak dari seorang raja Siliwangi. Beliau

tidak memanfaatkan kedudukannya

sebagai keturunan raja Siliwangi untuk

kepentingan hidupnya. Karena sikap

menyombongkan diri merupakan sikap

yang tidak terpuji.

2) Mudah curiga

Secara umum, masyarakat desa

akan menaruh curiga pada hal-hal baru di

Page 6: ANALISIS ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT …

JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1

JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang

6

luar dirinya yang belum dipahaminya,

seseorang/sekelompok yang bagi

komunitas mereka dianggap “asing”.

a. Karena karakteristik masyarakat desa

Cipancar yang mudah curiga terhadap hal-

hal baru maupun curiga terhadap orang

asing, saat itu Eyang Sutra Ngumbar

menyebarkan ajaran Islam dengan sangat

hati-hati agar tidak terjadi kesalahpahaman

serta dapat diterima masyarakat. Curiga

terhadap hal baru memang diperlukan, kita

perlu memahami sesuatu sebelum

menerimanya.

3) Menjunjung tinggi “unggah-ungguh”

Sebagai “orang Timur”, orang

desa sangat menjunjung tinggi kesopanan

atau “unggah-ungguh” apabila bertemu

dengan tetangga, berhadapan dengan

pejabat, berhadapan dengan orang yang

lebih tua/dituakan, berhadapan dengan

orang yang lebih mampu secara ekonomi,

dan berhadapan dengan orang yang tinggi

tingkat pendidikannya.

a. Masyarakat desa Cipancar sangat

menjunjung tinggi kesopanan. Mereka

menghormati leluhurnnya yaitu Eyang

Sutra Ngumbar sebagai sesepuh kabuyutan

di desa mereka. Karena mereka

menganggap Eyang Sutra Ngumbar

mempunyai ilmu yang tinggi. Sehingga

mereka menghargai jasa Eyang Sutra

Ngumbar yang telah menyebarkan agama

Islam di Cipancar.

4) Guyub, kekeluargaan

karakteristik khas bagi masyarakat

desa adalah suasana kekeluargaan dan

persaudaraannya telah “mendarah-daging”

dalam hati sanubari mereka.

a. Eyang Sutra Ngumbar bersama

masyarakat desa Cipancar selalu

berkumpul untuk melakukan kegiatan

keagamaan seperti shalawatan kepada Nabi

Muhammad SAW bersama-sama. Dengan

berkumpulnya Eyang Sutra gumbar dengan

masyarakat sekitar, maka terjalin suasana

kekeluargaan dan persaudaraan yang erat.

5) Perasaan minder terhadap orang kota

Satu fenomena yang ditampakkan

oleh masayarakat desa, baik secara

langsung ataupun tidak langsung ketika

bertemu/bergaul dengan orang kota adalah

perasaan mindernya yang cukup besar.

Biasanya mereka cenderung untuk

diam/tidak banyak bicara.

a. Saat Dalem Sumedang meminjam

seperangkat gamelan yang dibuat oleh

Eyang Sutra Ngumbar, tetapi tidak pernah

dikembalikan. Eyang Sutra Ngumbar tidak

meminta untuk dikembalikan lagi dan

tidak bertanya alasan gamelannya tidak

dikembalikan. Beliau cenderung diam dan

tidak banyak bicara.

6) Menghargai ngajeni orang lain

Masyarakat desa benar-benar

memperhitungkan kebaikan orang lain

yang pernah diterimanya sebagai

Page 7: ANALISIS ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT …

JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1

JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang

7

“patokan” untuk membalas budi sebesar-

besarnya. Balas budi ini tidak selalu dalam

wujud material tetapi juga dalam bentuk

penghargaan sosial atau dalam bahasa

Jawa biasa disebut dengan “ngajeni”.

a. Masyarakat desa Cipancar sampai saat

ini masih menjaga amah dan melestarikan

tradisi lisan yang diberikan leluhurnya

yaitu untuk menyebutkan kata enyeng

sebagai pengganti nama hewan berkaki

emapat kucing. Di manapun mereka berada

sekalipun di perantauan mereka tetap

menjaga tradisi lisan tersebut. Dan juga

sampai saat ini mereka tidak memainkan

atau menabuh gamelan yang terbuat dari

perunggu di Cipancar. hal tersebut mereka

lakukan karena mereka sangat menghargai

jasa Eyang Sutra Ngumbar yang telah

menyebarkan agama Islam di Cipancar.

7) Jika diberi janji akan selalu diingat

a. Raja Siliwangi sangat memegang

teguh ajarannya, karena ia telah bersumpah

untuk setia terhadap ajaran Purbatisti

Purbadjati Sunda maka dengan berat hati

beliau tidak bersedia untuk memeluk

Islam. Memegang teguh pada janji inilah

yang patut kita contoh.

b. Sampai saat ini masyarakat desa

Cipancar tetap memegang amanah yang

diberikan oleh leluhurnya. Mereka mnjaga

dan melestarikan tradisi lisan untuk

menyebutkan kata enyeng sebagai kata

ganti hewan berkaki empat kucing. Mereka

juga sampai saat ini tidak memainkan dan

menabuh gamelan yang terbuat dari

perunggu, karena Eyang Sutra Ngumbar

melarang siapapun untuk memainkan alat

tersebut di desa Cipancar.

7. Simpulan dan Saran

7.1 Simpulan

1. Aspek budaya yang terdapat dalam

cerita rakyat “Enyeng” terdapat tujuh

data. Unsur kebudayaan sistem religi

yang mengacu pada sistem

kepercayaan, sistem nilai dan

pandangan hidup, komunikasi

keagamaan, upacara keagamaan adalah

yang paling banyak muncul yaitu

sebanyak tiga data. Ini membuktikan

bahwa perkembangan Islam padasaat

itu sangat pesat. Kegiatan religi dalam

cerita rakyat tersebut diantaranya

Eyang Sutra Ngumbar belajar dan

mendalami agama Islam di Gunung

Djati dan mengajar gama Islam di

Demak serta menyebarkan ajarannya

di desa Cipancar, selanjutnya eyang

Sutra Ngumbar bersama masyarakat

desa Cipancara bershalawat kepada

Nabi Muhammad SAW.

2. Setelah diteliti, penulis menyimpulkan

bahwa cerita rakyat “Enyeng” tidak

hanya bersifat menghibur tetapi juga

memiliki nilai-nilai pendidikan dan

juga dapat dijadikan alat untuk

Page 8: ANALISIS ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT …

JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1

JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang

8

memelihara dan menurunkan suatu

suku atau bangsa pemilik sastra itu.

Cerita rakyat yang sarat akan nilai-

nilai moral dan kearifan lokal yang

bisa menjadi sarana komunikasi untuk

mengajarkan nilai-nilai tentang

kehidupan kepada anak-anak. Hal ini

sangat berguna bagi pengembangan

kepribadian siswa, sehingga kelak

menjadi orang yang arif dan waspada

dalam menghadapi masalah

kehidupan.

7.2 Saran

1. Penulis mengharapkan cerita rakyat

yang berkembang di masyarakat desa

Cipancar yaitu cerita rakyat

“Enyeng” terlebih dahulu dikenalkan

oleh guru mata pelajaran

bersangkutan sebagai salah satu

alternatif bahan pembelajaran bahasa

dan sastra Indonesia di sekolah

khususnya di daerah Sumedang.

2. Agar pembelajaran bahasa dan sastra

Indonesia , khususnya cerita rakyat

mendapat respon yang baik dari siswa,

hendaknya guru membuatnya menjadi

lebih menarik dengan menggunakan

pendekatan, teknik, dan metode yang

terkini agar siswa tidak merasa bosan

dan mendapat tantangan baru.

8. Daftar Pustaka

Abdurachman, A. (2009). Pantun Melayu:

Titik Temu Islam dan Budaya

Lokal Nusantara. Yogyakarta:

LKis.

Djajasudarma, F. T. (1999). Semantik 2:

Pemahaman Ilmu Makna.

Bandung: PT Refika Aditama.

Endarswara, S. (2005). Metodologi

Penelitian Sastra (Epistomologi,

Model, Teori, dan Aplikasi).

Yogyakarta: Media Pressindo.

Hidayat, K. (1991). Perencanaan

Pengajaran Bahasa Indonesia.

Bandung: Bina Cipta

Koentjaraningrat. (2000). Kebudayaan

Mentalitas Dan Pembangunan.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Kosasih. (2012). Dasar-dasar Ketrampilan

bersastra. Bandung:Yrama Widya.

Lipsey, Richard, G. dan Steiner, Peter, O.

(1991). Pengantar Ilmu Ekonomi I

Edisi Keenam. Jakarta: Rineka

Cipta.

Luxemburg, J V. dkk. 1984. Pengantar

Ilmu Sastra. Terjemahan Dick

Hartoko. Jakarta: PT Gramedia.

Nasution. (1998). Metodologi Penelitian

Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Nurgiyantoro, B. (2005). Sastra Anak.

Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Ratna, N. K. (2011). Antropologi Sastra:

Peranan Unsur-unsur Kebudayaan

dalam Proses Kreatif. Yogyakarta:

PT Pustaka Pelajar.

Ritonga, M. T dan Firdaus, Y. (2007).

Ekonomi untuk SMA kelas X.

Jakarta: Phibeta.

Rusyana, Y. (1984). Bahasa dan Sastra

dalam Gamitan Pendidikan.

Bandung: CV. Diponegoro.

Soetardjo. (1984). Desa. Yogyakarta: PN

Balai Pustaka.

Stanton, R. (2012). Teori Fiksi Robert

Stanton. Yogyakarta: Pustaka

Belajar.

Sudjiman, P. (1988). Memahami Cerita

Rekaan. Jakarta : Pustaka Jaya.

Page 9: ANALISIS ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT …

JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1

JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang

9

Teeuw. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra:

Pengantar Teori Sastra. Jakarta:

Erlangga.

Untara, W. (2014). Kamus Bahasa

Indonesia. Yogyakarta: Indonesia

Tera.

Waluyo, Herman, J. (1987). Teori dan

Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

Wellek, R, dan Warren, A. (1989). Teori

Kesusastraan. Diterjemahkan oleh

Melani Budianta. Jakarta:

Gramedia.

Zulkarnaen dan Beni, A. S. (2012). Hukum

Konstitusi. Bandung: Pustaka

Setia.