51
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016 PENDAPAT HUKUM SAHABAT PENGADILAN (AMICUS CURIAE BRIEF) ATAS PUTUSAN NOMOR 24/PDT.G/2015/PN.Plg INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW (ICEL) JAKARTA, 2016 ANTARA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN V. PT BUMI HIJAU MEKAR (PT BMH)

AMICUS CURIAE BRIEF - icel.or.id€¦ · Argumentasi KLHK (Penggugat): a. Dasar hukum yang digunakan oleh KLHK adalah Pasal 1365 KUHPerdata karena tergugat telah membuka lahan dengan

Embed Size (px)

Citation preview

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

PENDAPAT HUKUM SAHABAT PENGADILAN

(AMICUS CURIAE BRIEF)

ATAS PUTUSAN NOMOR 24/PDT.G/2015/PN.Plg

INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW (ICEL)

JAKARTA, 2016

ANTARA

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN

KEHUTANAN

V.

PT BUMI HIJAU MEKAR (PT BMH)

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 1 dari 51 Halaman

Daftar Isi

Kepentingan Indonesian Center for Environmental Law ................................................ 2

Ringkasan Kasus Posisi Perkara .................................................................................. 3

Referensi Sumber Hukum 6

Argumentasi Sahabat Pengadilan ............................................................................. 11

Kesimpulan ............................................................................................................... 49

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 2 dari 51 Halaman

KESATU

Kepentingan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

ICEL merupakan organisasi yang bergerak dalam pengembangan hukum

lingkungan hidup di Indonesia melalui penelitian, pengembangan kapasitas,

dan advokasi. ICEL memiliki visi mewujudkan sistem hukum dan tata kelola

lingkungan hidup sesuai dengan prinsip keadilan, demokratis dan

keberlanjutan. Untuk mewujudkan visi tersebut ICEL memiliki 3 misi, yaitu:

1. Melakukan penelaahan, penelitian, dan advokasi terkait pengembangan

hukum lingkungan hidup dan tata kelola;

2. Memberdayakan dan meningkatkan kapasitas organisasi masyarakat

sipil dan lembaga non-pemerintah dalam mereformasi dan menegakkan

hukum lingkungan hidup; dan

3. Mendukung pemberdayaan korban/kelompok yang berpotensi menjadi

korban dalam rangka membela hak-hak mereka terhadap lingkungan

hidup.

Sebagai lembaga pengembangan hukum lingkungan hidup, saat ini ICEL

fokus dalam melakukan advokasi pembaharuan hukum pada 3 (tiga) isu

kunci, yaitu tata kelola hutan dan lahan (green issue), pengendalian

pencemaran (brown issue) dan tata kelola laut dan pesisir (blue issue).

Sesuai dengan mandat sebagai organisasi lingkungan hidup yang termaktub

dalam visi dan misi, ICEL memiliki tanggungjawab untuk turut serta dalam

proses pembaharuan hukum lingkungan hidup dan penegakan hukum

lingkungan hidup di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut dan untuk

mendukung terciptanya tata kelola lingkungan hidup yang baik termasuk

hutan dan lahan, maka disusunlah Pendapat Hukum Sahabat Pengadilan

(Amicus Curiae Brief) ini sebagai sarana informasi, referensi atau

sumbangsih pemikiran bagi hakim dalam memutuskan perkara kebakaran

hutan dan lahan.

Disusunnya Amicus Curiae Brief ini merupakan bentuk dari kepercayaan

dan dukungan ICEL kepada lembaga pengadilan dalam berkontribusi

mendukung terciptanya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

yang lebih baik, sesuai dengan asas in dubio pro natura.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 3 dari 51 Halaman

KEDUA

RINGKASAN KASUS POSISI

1. Para Pihak yang berperkara:

a. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (selanjutnya

disebut MenLHK) untuk kepentingan negera dalam melindungi lingkungan

hidup sebagai penggugat.

b. PT Bumi Mekar Hijau (selanjutnya disebut PT BMH) sebagai tergugat.

2. Pertanyaan hukum:

a. Dasar pertanggungjawaban apa (PMH atau strict liability) yang dapat

digunakan untuk perkara ini?

b. Alasan apa saja yang dapat membantah pembelaan dari Tergugat untuk

lepas dari pertanggungjawaban hukum?

3. Fakta:

a. Pada tanggal 13 April 2004 Keputusan Menteri Kehutanan No.

SK.104/Menhut-VI/2004 menetapkan pemenang penawaran dalam

pelelangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman Industri

Hutan Alam-Hutan Industri (IUPHHK HA-HTI) atas wilayah kawasan hutan

di mana PT BMH adalah pemenang pelelangan IUPHHK HTI tersebut. PT

BMH sudah memenuhi izin-izin untuk melakukan kegiatan/ usahan hutan

tanam industri.

b. Pada areal konsesi PT BMH telah terjadi kebakaran hutan dan lahan1 dari

tahun ke tahun.

c. Berita Acara Verifikasi Sengketa Lingkungan Hidup tertanggal 17 Desember

2014 di lapangan lokasi PT BMH menyatakan bahwa api pertama pada

tahun tersebut ditemukan pada tanggal 26 September 2014. Bagian terluar

dari tanaman yang terbakar di Distrik Simpang Tiga tidak berbatasan

langsung dengan perkampungan penduduk karena jaraknya sekitar 5 km.

d. Berdasarkan verifikasi lapangan pada bulan Oktober dan Desember

2014, sarana prasarana pengendalian kebakaran yang dimiliki PT BMH

berdasarkan ketentuan peraturan, sangat minim. Pengadilan melakukan

pemeriksaan lapangan pada Desember 2015 dan menyimpulkan bahwa

sarana dan prasarana kebakaran yang dimiliki PT BMH sudah memadai.

4. Argumentasi KLHK (Penggugat):

a. Dasar hukum yang digunakan oleh KLHK adalah Pasal 1365 KUHPerdata

karena tergugat telah membuka lahan dengan cara membakar.

1 Perlu dicermati bahwa dalam kasus ini, kebakaran meliputi kebakaran pada hutan tanaman industri

(tanaman Akasia) dan kebakaran pada lahan gambut. Kebakaran hutan yang terjadi pada lahan gambut

dikarenakan pengelolaan lahan gambut dengan sistem drainase yang menjadikan lahan semakin kering dan

semakin mudah terbakar.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 4 dari 51 Halaman

b. Berdasarkan verifikasi lapangan oleh KLHK, sarana dan prasarana yang

dimiliki oleh PT BMH sangat minim.

c. Kebakaran yang terjadi di areal konsesi PT BMH telah menimbulkan

kerugian:

(1) Ekologis;

(2) Kerugian akibat hilangnya keanekaragaman hayati;

(3) Kerugian akibat lepasnya karbon; dan

(4) Kerugian ekonomis.

c. KLHK juga telah meminta hakim untuk menerapkan precautionary principle

dalam mengadili perkara aquo. Pada saat pemberian keterangan ahli,

keterangan ahli dari KLHK juga telah menyampaikan mengenai prinsip strict

liability, perkembangan, dan penerapannya di Indonesia.

5. Argumentasi PT BMH (Tergugat):

a. PT BMH menyangkal tidak melakukan perbuatan melawan hukum.

b. Dalil yang digunakan oleh PT BMH untuk menyangkal dalil KLHK antara

lain:

(1) PT BMH tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;

(2) PT BMH sudah melakukan upaya untuk mencegah terjadinya

kebakaran;

(3) lahan yang dikelola PT BMH adalah lahan yang terdegradasi akibat

kebakaran pada tahun 1997/1998;

(4) tidak terjadi kerusakan pada lahan yang dikelola oleh PT BMH karena

tanah tersebut masih dapat ditanami Akasia dan tumbuh dengan baik;

(5) Metode penghitungan kerusakan yang digunakan oleh KLHK dianggap

tidak mewakili seluruh lahan terbakar yang didalilkan oleh PT BMH

(20.000 ha).

6. Pertimbangan hakim dalam pokok perkara atas kasus aquo adalah:

a. “.... PT BMH telah menyediakan perlengkapan penanggulangan kebakaran,

namun belum ada ketentuan baku/standar minimum jumlah tenaga

pemadam kebakaran berikut jenis peralatan dalam pengusahaan tanaman

industri”.

b. “....tidak ada indikasi bahwa tanah telah rusak, lahan masih berfungsi

dengan baik sesuai dengan peruntukannya sebagai lahan Hutan

Tanaman Industri, di atas bekas lahan yang terbakar tersebut tanaman

akasia dapat tumbuh kembali secara baik, sebagaimana penglihatan

Majelis sebagai fakta prosesuil ketika melakukan sidang pemeriksaan di

tempat”;

c. “....lingkup usaha Tergugat sebagai mana yang didalilkan oleh Tergugat

didasarkan pada ketentuan Pengelolaan Hutan Tanaman Industri dengan

tata kelola yang baik...”;

d. “....tidak ada hubungan kausalitas antara peristiwa kebakaran dengan

maksud “intent” Tergugat untuk membuka lahan dengan biaya murah,

karena dilokasi kebakaran tersebut sudah ditanam pohon akasia dan ada

yang sudah siap untuk dipanen ikut terbakar.....”;

e. “....kebakaran yang terjadi memang menurunkan kandungan organik

tanah dimana pada tanah mineral yang terbakar melebihi kandungan C-

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 5 dari 51 Halaman

organik, sebesar 12 – 16 % menurun menjadi 0,4-15.8 % disimpulkan

tidak terjadi kepunahan/ kerusakan sifat biologis tanah....”;

f. “....tidak dapat dibuktikan secara rinci dan jelas secara kuantitatif dari

mana dasar-dasar penghitungannya, demikian juga tentang kerugian

akibat terlepasnya karbon ke udara tidak bisa dibuktikan, dengan

demikian harus ditolak”;

g. “... karena Tergugat tidak melakukan perbuatan yang didalilkan oleh

Penggugat, maka tidak perlu menilai lebih lanjut tentang ganti rugi dalam

perkara a quo”.

7. Putusan majelis hakim pengadilan negeri Palembang pada 28 Desember

memutus:

a. menolak tuntutan provisi Penggugat;

b. menolak Eksepsi Tergugat;

c. menolak Gugatan Penggugat seluruhnya; dan

d. menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp

10.251.000 (sepuluh juta dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 6 dari 51 Halaman

KETIGA

Referensi Sumber Hukum

1. Peraturan Perundang-Undangan

NO PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN

KETERANGAN

1. Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945

(selanjutnya disebut UUD 1945)

Setiap orang berhak mendapatkan

lingkungan hidup yang baik (Pasal

28H ayat (1)).

2. Undang-Undang No 32 tahun 2009

tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup

(selanjutnya disebut UU PPLH)

- Asas-Asas dalam UU PPLH a. “asas tanggung jawab negara”,

dimana negara:

menjamin pemanfaatan sumber

daya alamakan memberikan

manfaat yang sebesar-besarnya

bagi kesejahteraan dan mutu

hidup rakyat, baik generasi

masa kini maupun generasi

masa depan.

menjamin hak warga negara

atas lingkungan hidup yang

baik dan sehat.

mencegah dilakukannya

kegiatan pemanfaatan sumber

daya alam yang menimbulkan

pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan hidup.

b. “asas kehati-hatian”, dimana

ketidakpastian mengenai dampak

suatu usaha dan/atau kegiatan

karena keterbatasan penguasaan

ilmu pengetahuan dan teknologi

bukan merupakan alasan untuk

menunda langkah-langkah

meminimalisasi atau menghindari

ancaman terhadap pencemaran

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 7 dari 51 Halaman

dan/atau kerusakan lingkungan

hidup.

c. “asas keadilan”, dimana

perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup harus

mencerminkan keadilan secara

proporsional bagi setiap warga

negara, baik lintas daerah, lintas

generasi, maupun lintas gender.

d. “asas pencemar membayar” adalah

bahwa setiap penanggung jawab

yang usaha dan/atau kegiatannya

menimbulkan pencemaran

dan/atau kerusakan

lingkungan hidup wajib

menanggung biaya pemulihan

lingkungan.

- Tanggung jawab atas kerugian

yang muncul tanpa pembuktian

unsur kesalahan (Ps 88)

Pasal 88

Setiap orang yang:

1. tindakannya, usahanya, dan/atau

kegiatannya menggunakan B3,

menghasilkan dan/atau mengelola

limbah B3; dan/atau

2. tindakannya, usahanya, dan/atau

kegiatannya yang menimbulkan

ancaman serius terhadap

lingkungan hidup

bertanggung jawab mutlak atas

kerugian yang terjadi tanpa perlu

pembuktian unsur kesalahan.

3. Undang-Undang No 41 tahun 1999

tentang Kehutanan (selanjutnya

disebut UU Kehutanan)

Pasal 48 ayat (3):

- Kewajiban pemegang izin untuk

melindungi areal konsesinya

Pasal 49:

- Pemegang hak atau izin

bertanggug jawab atas terjadinya

kebakaran hutan di areal

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 8 dari 51 Halaman

kerjanya.

4. Peraturan Pemerintah No 4 tahun

2001 tentang Pengendalian

Kerusakan dan/atau Pencemaran

Lingkungan Hidup yang Berkaitan

dengan Kebakaran Hutan

dan/atau Lahan (selanjutnya

disebut PP 4/2001)

a. Kewajiban penanggung jawab

usaha yang usahanya dapat

menimbulkan dampak besar dan

penting terhadap kerusakan dan

atau pencemaran lingkungan

hidup yang berkaitan dengan

kebakaran hutan dan atau lahan

untuk mencegah terjadinya

kebakaran lahan di lokasi

usahanya. (Ps 13)

b. Kewajiban penanggung jawab

usaha atas kebakaran lahan di

lokasi usahanya dan segera

melakukan penanggulangan

kebakaran hutan dan atau lahan

di lokasi usahanya. (Ps 18 ayat (1))

c. Kewajiban penanggung jawab

usaha untuk melakukan

pemulihan dampak lingkungan

hidup yang berkaitan dengan

kebakaran hutan dan/atau lahan

di lokasi usahanya. (Pasal 21 ayat

(1)).

5. Peraturan Pemerintah No. 45

Tahun 2004 tentang Perlindungan

Hutan

Pasal 10 Ayat (1)

Perlindungan hutan hak dilaksanakan

dan menjadi tanggung jawab

pemegang hak

Pasal 10 Ayat (2)

Perlindungan hutan meliputi kegiatan

antara lain

a. Pencegahan gangguan dari

pihak lain yang tidak berhak;

b. Pencegahan, pemadaman, dan

penanganan dampak

kebakaran;

c. Penyediaan personil dan

sarana prasarana

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 9 dari 51 Halaman

perlindungan hutan;

d. Mempertahankan dan

memelihara sumber air;

e. Melakukan kerja sama dengan

sesame pemilik hutan hak,

pengelola kawasan hutan,

pemegang izin pemanfaatan

hutan, pemegang izin

pemungutan, dan masyarakat.

Pasal 30 Ayat (1)

Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan,

Pemegang Izin Penggunaan Kawasan

Hutan atau Pemilik Hutan Hak

bertanggung jawab atas terjadinya

kebakaran hutan di areal kerjanya.

Pasal 30 Ayat (2)

Pertanggungjawaban sebagaimana

dimaksud pada Ayat (1) meliputi:

a. Tanggung jawab pidana;

b. Tanggung jawab perdata;

c. Membayar ganti rugi; dan/atau

d. Sanksi administrasi.

6. Peraturan Menteri Lingkungan

Hidup No 14 tahun 2012 tentang

Panduan Valuasi Ekonomi

Ekosistem Gambut.

Permen LH ini telah mengatur

mengenai metode penghitungan

valuasi ekonomi untuk ekosistem

gambut.

Ruang lingkup panduan valuasi

ekonomi ekosistem gambut terdiri

atas pendahuluan, ekosistem gambut,

metode valuasi ekonomi sumber daya

alam dan lingkungan hidup, tahapan

valuasi ekonomi ekosistem gambut,

kerangka dan prosedur valuasi

ekonomi ekosistem gambut, dan

contoh perhitungan.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 10 dari 51 Halaman

2. Selain itu, Mahkamah Agung RI juga telah mengeluarkan pedoman

penanganan kasus lingkungan hidup dalam Keputusan Ketua Mahkamah

Agung Indonesia No 36/KMA/SK/II/2013 yang diantaranya berisi pedoman

bahwa dalam memeriksa dan mengadili perkara lingkungan hidup, hakim

harus memahami asas-asas kebijakan lingkungan (principles of environmental

policy) yang meliputi:2

a. prinsip substansi hukum lingkungan;

b. prinsip-prinsip proses; dan

c. prinsip keadilan

3. Salah satu prinsip substansi hukum lingkungan adalah precautionary principle.

Penerapan prinsip ini dapat dilakukan dengan mendayagunakan berbagai

instrumen, misalnya dalam menentukan pertanggungjawaban (liability rule).

Hakim juga harus mempertimbangkan prinsip keadilan, seperti keadilan dalam

satu generasi dan antar-generasi dalam memeriksa dan mengadili perkara

lingkunganhidup.3

2 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Indonesia No 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan

Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.

3 Ibid

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 11 dari 51 Halaman

KEEMPAT

Argumentasi Sahabat Pengadilan

Amicus Curiae Brief ini hendak menjawab pertanyaan sebagai berikut:

1. Dasar pertanggungjawaban apa (PMH atau strict liability) yang dapat digunakan

untuk perkara ini?

2. Alasan apa saja yang dapat membantah pembelaan dari Tergugat untuk lepas

dari pertanggungjawaban hukum?

A. Argumentasi Terkait Tujuan Peradilan

Sebelum memberikan pendapat mengenai pertanyaan di atas, terlebih dahulu

kami menyampaikan pendapat mengenai tujuan peradilan:

1. Peradilan berperan untuk menegakan hukum dan peradilan

- Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan,

sehingga peradilan memiliki peran untuk menegakan hukum dan

keadilan. Dalam mewujudkan peran peradilan tersebut, Pasal 2 UU 48

tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU

Kekuasaan Kehakiman) juga menyatakan bahwa peradilan negara

menerapkan dan menegakan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila.

- Sebagai penegak hukum dan keadilan, hakim bukan sekedar corong

undang-undang (la bouche de la loi) yang hanya menerapkan peraturan

hukum, melainkan pejabat negara yang memiliki pengetahuan yang luas,

bermartabat, berwibawa, dan sebagai tempat mengadu bagi para pencari

keadilan (justitiabellen).

2. Pengadilan atau Hakim sebagai Pelaksana Penegak Hukum Memiliki

Fungsi sebagai Penjaga Kemerdekaan Anggota Masyarakat

Sebagai penjaga kemerdekaan anggota masyarakat, hakim berfungsi dan

berperan menjaga kemerdekaan anggota masyarakat (in guarding the

freedom of society) dalam arti luas mengembangkan nilai-nilai hak asasi

manusia dalam segala bidang sebagai ideologi universal atau ideologi

global.4 Oleh karena itu, hakim dituntut memahami dan menerapkan

semua nilai hak asasi manusia dalam berbagai generasi, termasuk nilai

hak asasi manusia dalam konteks lingkungan hidup.

3. Keadilan yang diwujudkan adalah Keadilan Lingkungan

- Berkaitan dengan sengketa lingkungan hidup, maka keadilan yang

hendak dilindungi adalah keadilan lingkungan. Di dalam UU PPLH,

4 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan

Putusan Pengadilan, (Jakarta:Sinar Grafika, 2008) , hlm 854.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 12 dari 51 Halaman

keadilan lingkungan diejawantahkan dalam asas keadilan. Penjelasan

Pasal 2 huruf g UU PPLH menjelaskan:

“yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender”.

- Kuehn mengategorikan keadilan lingkungan sebagai keadilan korektif,

keadilan lingkungan sebagai keadilan distributif, keadilan lingkungan

sebagai keadilan prosedural, dan keadilan lingkungan sebagai keadilan

sosial.5 Di dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable

development) sendiri, keadilan ditujukan untuk keadilan intragenerasi

dan keadilan antar generasi.6

- Andri G. Wibisana lebih lanjut menjelaskan elemen keadilan intragenerasi

berdasarkan pengelompokan Koehn sebagai berikut:7

1. Keadilan lingkungan sebagai keadilan distributif didefinisikan sebagai

hak atas persamaan perlakuan (equal treatment). Dalam konteks

lingkungan hidup, keadilan distributif terkait dengan persamaan atas

beban dan dampak lingkungan yang dihasilkan dari kegiatan yang

membahayakan lingkungan.

2. Keadilan lingkungan sebagai keadilan korektif merupakan bentuk

keadilan yang ditujukan sebagai upaya pemberian sanksi, pemulihan,

atau kompensasi bagi mereka yang menimbulkan kerugian pada

pihak lain. Dalam konteks ini, maka pihak yang menimbulkan

kerugian lingkungan, yang mana diartikan menyebabkan

ketidakadilan lingkungan, memikul tanggung jawab untuk

mengembalikan dampak akibat kerugian tersebut.

3. Keadilan lingkungan sebagai keadilan prosedural merupakan keadilan

untuk memperoleh perlakuan yang sama.

4. Keadilan lingkungan sebagai keadilan sosial merupakan cabang dari

keadilan yang mendorong dilakukannya upaya terbaik untuk

mencapai tatanan masyarakat yang adil.

- Elemen keadilan antar generasi dapat diartikan sebagai pengakuan

terhadap keseimbangan tersedianya kebutuhan generasi saat ini dengan

kebutuhan generasi berikutnya. Prinsip ini juga bermakna bahwa generasi

saat ini berkewajiban untuk menggunakan sumber daya alam dengan

hemat dan bijaksana, serta melaksanakan konservasi sumber daya alam.

Prof. Takdir Rahmadi berpendapat bahwa sangat tidak bijaksana jika

5 Indonesian Center for Environmental Law, Anotasi Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ed. Pertama, (Jakarta: 2014), hlm 50.

6 Indonesian Center for Environmental Law, Ibid., hlm 51.

7 Indonesian Center for Environmental Law, Ibid., hlm 51.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 13 dari 51 Halaman

generasi saat ini meninggalkan sumber-sumber air, tanah, dan udara yang

telah tercemar, sehingga generasi yang akan datang tidak lagi

mendapatkan sumber daya alam tersebut dengan layak dan sesuai

kebutuhannya.8

- Putusan terhadap perkara kebakaran hutan dan/atau lahan ini, tidak

hanya berdampak pada kepentingan para pihak saja, yakni Menteri

LHK dan PT. BMH, melainkan akan berdampak secara signifikan juga

pada generasi masa kini dan masa depan.

4. Hakim harus aktif mencari keadilan untuk mewujudkan tujuan

peradilan

- Dalam hukum acara perdata dan hukum acara pidana terdapat doktrin

yang menyatakan bahwa dalam perkara perdata hakim cukup

menemukan kebenaran formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana

barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materiel

yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam

peradilan pidana. Namun, Jimmly Asshiddiqie9 berpendapat bahwa:

“hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama”.

- Dalam menangani perkara lingkungan hidup, para hakim diharapkan

bersikap progresif karena perkara lingkungan hidup sifatnya rumit dan

banyak ditemui adanya bukti-bukti ilmiah (scientific evidence), oleh

karenanya hakim haruslah berani menerapkan prinsip-prinsip

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, seperti precautionary

principles, dan melakukan judicial activism.10

- Dalam mencari dan menemukan hukum untuk mewujudkan keadilan

tersebut, maka hakim dianggap mengetahui semua hukum (curia novit

jus). Berdasarkan prinsip curia novit jus atau jus curia novit, hakim

diwajibkan mencari dan menemukan hukum yang persis berlaku untuk

diterapkan dalam perkara yang bersangkutan. Pada saat ini, tuntutan

8 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Rajawali Press, 2015), hlm.

12.

9 Jimly Asshiddiqie, “Penegakan Hukum”, hlm. 2, diakses melalui

http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf. Lihat juga Yahya Harahap dalam bukunya

Hukum Acara Perdata yang menyatakan bahwa dalam menyelesaikan perkara melalui proses peradilan, hakim

tidak hanya berfungsi dan berperan memimpin jalannya persidangan, tetapi juga berfungsi bahkan berkewajiban

mencari dan menemukan hukum objektif atau materiil yang akan diterapkan dalam memutus perkara.

10 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Indonesia No 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan

Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 14 dari 51 Halaman

atas doktrin curia novit jus ini tidak hanya sebatas pada hukum positif

dan hukum objektif nasional yang berlaku, tapi pengetahuan hakim

harus menjangkau kebiasaan-kebiasaan maupun prinsip-prinsip yang

berkembang di negara lain maupun dalam hukum internasional.

- Prof. Takdir Rahmadi11 dalam artikelnya Perkembangan Hukum

Lingkungan di Indonesia menyatakan UUPPLH sebagai sumber formal

utama hukum lingkungan di Indonesia, selain memuat ketentuan-

ketentuan hukum dan instrumen-instrumen hukum seperti yang

terkandung dalam undang-undang sebelumnya, yaitu UU LH 1982 dan

UULH 1997, juga memuat norma-norma dan instrumen-instrumen

hukum-hukum baru, seperti pengadopsian asas-asas dalam Deklarasi

Rio 1992, yaitu asas-asas tanggung jawab negara, keterpaduan, kehati-

hatian, keadilan, pencemar membayar, partisipatif dan kearifan lokal.

Prof Takdir Rahmadi lebih lanjut menyatakan:12

“.........hakim dalam mengadili sebuah perkara dapat

menggunakan asas-asas itu untuk memberikan perhatian atas

kepentingan pengelolaan lingkungan hidup yang mungkin tidak

diperhatikan oleh pelaku usaha ataupun pejabat pemerintah

yang berwenang”.

Pandangan Prof Takdir Rahmadi tersebut memiliki makna bahwa hakim

dalam mengadili sebuah perkara harus menerapkan asas in dubio pro

natura.

B. Dasar Pertanggungjawaban dalam perkara Menteri LHK vs PT. BMH

Terdapat dua dasar pertanggungjawaban yang dapat digunakan dalam perkara

Menteri LHK vs PT. BMH, yakni: (a) pertanggungjawaban mutlak (strict liability);

dan (b) perbuatan melawan hukum (PMH). Bagian kedua tulisan ini akan

membahas dua pertanggungjawaban tersebut, dimulai dengan

pertanggungjawaban mutlak.

B.1 Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liability)

B.1.1 Dasar Hukum dan Praktik Pengadilan Berkaitan dengan

Pertanggungjawaban Mutlak

Kerangka peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup di

Indonesia mengakui adanya dasar pertanggungjawaban mutlak.

Pertanggungjawaban mutlak misalnya diatur di dalam Pasal 88 UU PPLH

yang berbunyi:

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya

menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,

11

Takdir Rahmadi, https://www.mahkamahagung.go.id/rbnews.asp?bid=4084, diakses terakhir 30

Januari 2016, Pk 21.58 WIB.

12 Ibid.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 15 dari 51 Halaman

dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan

hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa

perlu pembuktian unsur kesalahan.”

Dari rumusan tersebut, kita dapat melihat terdapat beberapa unsur dalam

pertanggungjawaban mutlak yang harus dibuktikan, meliputi: 1). Unsur

setiap orang; 2). Unsur tindakan, usaha, dan/atau kegiatannya; dan 3).

Menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau

yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Dari ketiga

unsur tersebut, Sahabat Pengadilan tidak membahas unsur kesatu dan

kedua, namun hanya memfokuskan pada pembahasan unsur ketiga.

Unsur ketiga: “…..menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola

limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap

lingkungan hidup” menggunakan rumusan alternatif. Dalam kaitannya

dengan perkara Menteri LHK vs PT. BMH, Sahabat Pengadilan berpendapat

bahwa usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan PT. BMH memenuhi

unsur “menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup.”

Terdapat dua sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam membuktikan

unsur tersebut.

Sumber yang pertama mengenai maksud dari unsur “menimbulkan

ancaman serius terhadap lingkungan hidup” terdapat di dalam SK KMA No.

36/KMA/SK/II/2013. Menurut SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013 yang

dimaksud dengan ancaman serius adalah terjadinya pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan hidup yang dampaknya berpotensi tidak dapat

dipulihkan kembali dan/atau komponen-komponen lingkungan hidup

yang terkena dampak sangat luas, seperti kesehatan manusia, air

permukaan, air bawah tanah, tanah, udara, tumbuhan, dan hewan.13

Mengacu pada definisi tersebut, Sahabat Pengadilan berpendapat bahwa

usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri yang dilakukan oleh PT.

BMH telah mengakibatkan terjadinya kebakaran lahan dengan dampak

yang berpotensi tidak dapat dipulihkan kembali. Hal ini terlihat misalnya

dari luasan lahan yang terbakar mencapai angka 20.000 Ha.14 Selain itu,

kebakaran tersebut telah menyebabkan terjadinya penurunan kedalaman

gambut yang mencapai rata-rata 20 – 30 cm.15 Menteri LHK dalam

gugatannya juga menyatakan bahwa upaya memulihkan lahan gambut yang

terbakar harus dilakukan meskipun mustahil mengembalikannya kepada

keadaan seperti semula sebelum terbakar.16

13

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Indonesia No 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan

Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, hal. 39.

14 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No.

24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 12.

15 Ibid., hal. 62.

16 Ibid., hal. 19.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 16 dari 51 Halaman

Selain itu, kebakaran seluas 20.000 Ha di dalam konsesi PT. BMH juga

telah mengakibatkan dampak buruk terhadap komponen-komponen

lingkungan hidup yang sangat luas. Dari sisi kesehatan manusia dan ruang

udara, kebakaran tersebut telah berkontribusi terhadap terjadinya

pencemaran udara yang mengakibatkan puluhan ribu penduduk menderita

penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut.17 Lebih jauh lagi, kebakaran

tersebut juga telah menyebabkan terjadinya kerusakan fungsi air dari lahan

gambut, kerusakan tanah, dan juga kematian mikroorganisme yang menjadi

sumber daya genetik dari lahan gambut.18

Selain bersumber pada SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013, upaya

membuktikan suatu usaha dan/atau kegiatan memiliki risiko

“menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup” dapat

ditentukan juga melalui disyaratkan atau tidaknya Amdal terhadap suatu

usaha dan/atau kegiatan tersebut. Maksudnya adalah jika Amdal

merupakan syarat sebelum suatu usaha dan/atau kegiatan dilakukan,

maka dapat dikatakan bahwa usaha dan/atau kegiatan tersebut memiliki

risiko menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Logika ini

selaras dengan pengaturan Amdal di dalam UU PPLH, di mana salah satu

pasalnya menyebutkan bahwa “setiap usaha dan/atau kegiatan yang

berdampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki amdal.”19 Frase

“berdampak penting” di dalam pasal tersebut dapat dimaknai sama dengan

frase “ancaman serius” di dalam unsur dari pertanggungjawaban mutlak.

Selain itu, kriteria “dampak penting” di dalam Pasal 22 Ayat (2) UU PPLH

juga sama dengan maksud dari “ancaman serius” di dalam SK KMA No.

36/KMA/SK/II/2013, seperti tercantum di dalam daftar di bawah ini:20

a) Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana

usaha dan/atau kegiatan;

b) Luas wilayah penyebaran dampak;

c) Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;

d) Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena

dampak;

e) Sifat kumulatif dampak;

17

Harianterbit.com, “30.000 Warga Palembang Menderita ISPA Akibat Kabut Asap”,

http://entertainment.harianterbit.com/entertainment/2014/10/07/9364/0/29/30.000-Warga-Palembang-

Menderita-ISPA-Akibat-Kabut-Asap, diakses pada tanggal 12 Juni 2016.

18 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No.

24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 13 – 16.

19 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN

Tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059., Pasal 22 Ayat (1).

20 Ibid., Pasal 22 Ayat (2). Kriteria yang diberi penebalan merupakan kriteria dampak penting yang

serupa dengan maksud dari “ancaman serius” di dalam SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 17 dari 51 Halaman

f) Berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau

g) Kriteria lain sesuai dengan perkembangan teknologi.

Amdal termasuk salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum usaha

dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri dilakukan oleh PT. BMH. Hal

ini terbukti berdasarkan pada Keputusan Bupati Ogan Komering Ilir No.

195/KEP/K-PELH/2004 tanggal 8 Juli 2004 tentang Keputusan Kelayakan

Lingkungan Hidup Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Rencana

Pengelolahan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan

Lingkungan Hidup (RPL) Kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan hasil Hutan

Kayu Pada Hutan Tanam (IUPHHKHT) PT. Bumi Mekar Hijau Lokasi

Kecamatan Tulung Selapan dan Kecamatan Air Sugihan Kabupaten Ogan

Komering Ilir Luas 123.490 ha.21 Maka dari itu, dari sisi kewajiban

dilakukannya Amdal, usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri

yang dilakukan oleh PT. BMH telah memenuhi unsur “menimbulkan

ancaman serius terhadap lingkungan hidup”.

Selain berdasarkan UU PPLH, PP 4/2001 juga mengatur perihal dasar

pertanggungjawaban dalam peristiwa kebakaran hutan dan/atau lahan.

Pasal 51 Ayat (1) PP 4/2001 menyatakan, “Penanggung jawab usaha dan

atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar

dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan

berbahaya dan beracun, dan atau menghasilkan limbah bahan berbahaya

dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang

ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti kerugian secara

langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan atau

perusakan lingkungan hidup.”22 Hal ini semakin menguatkan dalil Sahabat

Pengadilan di awal bagian ini yang menyatakan bahwa kerangka peraturan

perundang-undangan bidang lingkungan hidup di Indonesia, khususnya

dalam peristiwa kebakaran hutan dan/atau lahan, mengakui adanya dasar

pertanggungjawaban mutlak atau pertanggungjawaban langsung dan

seketika.

Masih berkaitan dengan pertanggungjawaban mutlak, Menteri LHK dalam

gugatannya juga telah memohon kepada Majelis Hakim PN Palembang

untuk mempertimbangkan perihal penerapan asas kehati-hatian

(precautionary principle) di dalam memeriksa perkara antara Menteri LHK

melawan PT. BMH.23 Hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan yang

penting berkaitan dengan penggunaan dasar pertanggungjawaban mutlak

21

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No.

24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 29 - 30.

22 Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran

Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, LN Tahun 2001 No. 10, TLN No.

4076, Pasal 51 Ayat (1).

23 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No.

24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 12 - 13.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 18 dari 51 Halaman

dalam perkara Menteri LHK vs PT. BMH terutama dengan adanya Putusan

Mahkamah Agung No. 1794K/Pdt/2004 yang lebih populer dikenal dengan

perkara “Mandalawangi”. Putusan perkara “Mandalawangi” menjadi penting

karena Majelis Hakim dalam pertimbangannya mengkaitkan asas kehati-

hatian dengan dasar pertanggungjawaban mutlak, sebagaimana tergambar

di bawah ini:

(1) Menimbang, bahwa dalam keadaan kurangnya ilmu pengetahuan,

termasuk adanya pertentangan pendapat yang saling mengecualikan

sementara keadaan lingkungan sudah sangat rusak, maka pengadilan

dalam kasus ini harus memilih dan berpedoman kepada prinsip hukum

lingkungan yang dikenal dengan pencegahan dini “precautionary

principle”, Prinsip ke 15 yang terkandung dalam asas Pembangunan

Berkelanjutan pada Konperensi Rio tanggal 12 Juni 1992, walaupun

prinsip ini belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia,

tetapi karena Indonesia sebagai anggota dalam konperensi tersebut,

maka semangat dari prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat dalam

mengisi kekosongan hukum dalam praktek.24

(2) Menimbang, bahwa dalam menerapkan prinsip ini terdapat 3 hal yang

perlu dipertimbangkan untuk menentukan dimana precautionary

principle ini perlu ditempuh dan diterapkan, yaitu sebagai berikut:25

1. Ancaman kerusakan lingkungan sangat serius dan bersifat tidak

dapat dipulihkan (irreversible). Perlakuan yang serius diperlukan

dalam keadaan akibat atau implikasi bagi generasi sekarang dan

yang akan datang, atau dalam keadaan tidak terdapat substitusi dari

sumber daya yang digunakan;

2. Ketidakpastian pembuktian ilmiah (scientific evidence), keadaan

dimana akibat yang akan ditimbulkan dari suatu kegiatan tidak

dapat diperkirakan dengan pasti karena karakter dari persoalannya

itu sendiri (nature of problem), penyebab, maupun dampak potensal

dari kegiatan tersebut;

3. Upaya pencegahan kerusakan lingkungan tersebut meliputi upaya

pencegahan sampai dengan cost effectiveness.

(3) Menimbang, bahwa dapat disimpulkan dengan penerapan prinsip

pencegahan dini/ prinsip kehati-hatian ini mengandung makna, apabila

telah terjadi kerusakan lingkungan hidup, maka kekurangan/ lemahnya

pengetahuan tidak dapat dijadikan alasan menunda upaya-upaya

pemulihan terhadap lingkungan yang rusak tersebut;26

24

Dedi, dkk. vs Perhutani, dkk. Putusan PN Bandung No. 49/Pdt.G/2003/PN.Bdg, hal. 101.

25 Ibid., hal. 101 – 102.

26 Ibid., hal. 102.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 19 dari 51 Halaman

(4) Menimbang, bahwa bagaimana bentuk tanggung jawab terhadap

lingkungan serta siapa yang harus diberikan tanggung jawab, maka

dengan penerapan prinsip ini pembuktian unsur kesalahan (liability

base on fault) seperti dalil gugatan penggugat agar supaya Para

tergugat dinyatakan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukurn

menjadi tidak relevan karena dengan diterapkannya prinsip

"precautionary principle", pertanggung jawaban menjadi

ketat/mutlak „strict liability”27

Dengan Penggugat mendalilkan permohonan penerapan asas kehati-

hatian sebagaimana diterapkan di dalam Perkara Mandalawangi, maka

relevansi digunakannya dasar pertanggungjawaban mutlak dalam

perkara Menteri LHK melawan PT. BMH menjadi semakin kuat. Setelah

membahas dasar hukum pertanggungjawaban mutlak dan kemungkinan

penerapannya di dalam perkara Menteri LHK melawan PT. BMH, pada

bagian berikutnya Sahabat Pengadilan membahas hal-hal yang perlu

dibuktikan dalam pertanggungjawaban mutlak.

B.1.2 Hal yang Perlu Dibuktikan dalam Pertanggungjawaban Mutlak

Setelah memastikan bahwa dasar pertanggungjawaban perdata dapat

digunakan dalam perkara kebakaran hutan dan/atau lahan antara Menteri

LHK melawan PT. BMH, maka pembahasan berikutnya adalah merumusan

hal-hal apa saja yang perlu dibuktikan dalam skema pertanggungjawaban

mutlak. Ada tiga hal yang perlu dibuktikan di dalam skema

pertanggungjawaban mutlak, yaitu: 1). Kegiatan yang dilakukan oleh PT.

BMH merupakan kegiatan yang menimbulkan ancaman serius terhadap

lingkungan hidup; 2). Penggugat/Menteri LHK mengalami kerugian; dan 3).

Kerugian yang diderita oleh Penggugat/Menteri LHK disebabkan oleh

kegiatan yang dilakukan oleh Tergugat/PT. BMH (hubungan kausalitas).

Mengenai sifat kegiatan Tergugat/PT. BMH yang menimbulkan ancaman

serius terhadap lingkungan hidup sudah dibuktikan di dalam bagian B.1.1.

Maka dari itu, pada bagian ini akan dibuktikan perihal kerugian yang

dialami oleh Penggugat/Menteri LHK serta hubungan kausalitas antara

kegiatan Tergugat/PT. BMH dengan kerugian yang diderita

Penggugat/Menteri LHK.

Kerugian

Perihal kerugian yang dialami oleh Penggugat/Menteri LHK telah tergambar

di dalam putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg.

Penggugat/Menteri LHK mendalilkan bahwa terjadinya kebakaran seluas

27

Ibid.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 20 dari 51 Halaman

20.000 Ha di dalam konsesi Terggugat/PT. BMH telah mengakibatkan

dideritanya beberapa jenis kerugian, seperti:28

1. Kerugian Ekologis

Kerugian ekologis ini secara spesifik berkaitan dengan kerusakan

struktur lahan gambut yang berujung pada hilangnya fungsi gambut

sebagai penyimpan air. Hal ini berkaitan juga dengan kriteria umum

baku kerusakan tanah gambut yang terdapat di dalam Bagian B

Lampiran PP 4/2001. Salah satu parameter dari baku kerusakan

tanah gambut adalah kadar air tersedia.29 Terjadinya penurunan

kadar air merupakan contoh kerusakan dalam parameter kadar air

tersedia. Selain itu, subsidence juga menjadi parameter lainnya

dalam baku kerusakan tanah gambut. Di dalam parameter

subsidence, contoh kerusakan yang terjadi adalah ketika terjadi

penurunan permukaan tanah gambut. Dr. Basuki Wasis di dalam

keterangannya menjelaskan bahwa penurunan ketebalan gambut di

lahan gambut PT. BMH yang terbakar rata-rata mencapai 20 – 30

cm.30

2. Kerugian Hilangnya Keanekaragaman Hayati dan Sumber Daya

Genetika

Selain kerugian ekologis dari sisi struktur lahan gambut, kebakaran

seluas 20.000 Ha pada lahan PT. BMH juga telah menyebabkan

hilangnya sumber daya genetika seperti microorganism tanah.

Mikroorganisme tanah yang hilang ini ada yang peruntukannya

sampai saat ini belum diketahui dan/atau sudah diketahui tetapi

belum dimanfaatkan secara maksimal.

3. Kerugian Terlepasnya Karbon ke Udara

Kebakaran seluas 20.000 Ha pada lahan PT. BMH juga

mengakibatkan terlepasnya karbon ke udara yang berkontribusi pada

emisi gas rumah kaca di atmosfir. Jadi, kebakaran di lahan gambut

selain menyebabkan struktur gambut menjadi rusak juga

menyebabkan terjadinya kontribusi emisi gas rumah kaca di atmosfir

melalui karbon yang terlepas dari lahan gambut.

4. Kerugian Ekonomis

28

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No.

24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 13 - 18.

29 Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran

Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, LN Tahun 2001 No. 10, TLN No.

4076, Bagian Huruf B mengenai sifat fisika tanah.

30 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No.

24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 62.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 21 dari 51 Halaman

Dari sisi ekonomi, kebakaran seluas 20.000 Ha di lahan PT. BMH

juga telah menghilangkan umur pakai dari lahan itu sendiri. Setidak-

tidaknya umur pakai yang hilang akibat kebakaran tersebut

mencapai 11 tahun.

Berdasarkan empat uraian kerugian tersebut, Sahabat Pengadilan

berpendapat bahwa pembuktian kerugian yang diderita oleh Menteri LHK

sudah cukup kuat dan terlihat secara nyata. Berikutnya Sahabat

Pengadilan akan membuktikan bahwa kerugian yang diderita oleh Menteri

LHK terjadi disebabkan oleh usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman

Industri yang dilakukan oleh PT. BMH.

Hubungan Kausalitas antara Kerugian Menteri LHK dengan Usaha

dan/atau Kegiatan PT. BMH

Pembuktian kausalitas biasanya dilakukan berdasarkan pengujian terhadap

dua bentuk kausalitas, yakni dalam bentuk cause in fact dan dalam bentuk

proximate cause. Sahabat Pengadilan akan membahas perihal kausalitas

berdasarkan dua bentuk ini, dimulai dari cause in fact terlebih dahulu.

Pengujian cause in fact atau sebab faktual biasa dikenal dengan istilah “but

for test”.31 Suatu perbuatan bisa dikatakan sebagai sebab faktual dari suatu

kerugian apabila kerugian tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya

perbuatan tersebut. Akan tetapi pembuktian sebab faktual saja tidak cukup

untuk menetapkan bahwa seseorang bertanggungjawab atas suatu kerugian

tertentu. Dibutuhkan pembuktian lainnya dari sisi aspek-aspek non faktual

yang mungkin akan berpengaruh terhadap pertanggungjawaban Tergugat.

Pembuktian dari sisi aspek-aspek non faktual ini-lah yang disebut sebagai

proximate cause.

Menurut Owen, sebagaimana dikutip oleh Wibisana, proximate cause sering

juga disebut sebagai legal cause atau the scope of liability.32 Proximate cause

berperan dalam menentukan pihak mana yang harus bertanggung jawab

atas kerugian yang diderita oleh Penggugat, mengingat terjadinya suatu

kerugian bisa disebabkan oleh beberapa perbuatan yang saling

mengintervensi. Dalam konteks ini, pihak yang perbuatannya merupakan

sebab paling “dekat” dengan kerugian Penggugat dapat diputuskan sebagai

pihak yang bertanggungjawab.33

31

Terminologi “but for test” bisa diartikan dengan “jika bukan karena”. Diamond, dkk. menyatakan

perihal “but for test” seperti ini: for the defendant to be held liable, the plaintiff must establish that but for the

defendant’s culpable conduct or activity the plaintiff would not have been injured”. Lihat dalam John L.

Diamond, et. al., Understanding Torts, (New York: Matthew Bender & Co. Inc, 1996), hal. 192.

32 Andri G. Wibisana, “Beberapa Catatan Penting Terkait Aspek Prosedural Gugatan,

Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian”, Pelatihan Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup, Pusdiklat MA,

2016 hal. 46.

33 Ibid. Diamond memberikan contoh peristiwa mengenai proximate cause sebagaimana tergambar di

bawah ini: Asumsikan bahwa A telah lalai dalam membuat dan menjual pil kontrasepsi kepada B dan pil

tersebut telah gagal mencegah lahirnya X. X tumbuh besar dan melahirkan Y yang juga tumbuh besar dan

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 22 dari 51 Halaman

Terdapat dua doktrin yang dapat memudahkan dalam menentukan

proximate cause. Doktrin yang pertama adalah “the direct-consequences

doctrine”. Doktrin ini berkaitan dengan sebab-sebab lain yang

mengintervensi di antara perbuatan Tergugat dengan kerugian yang dialami

oleh Penggugat. Di dalam keadaan tersebut, pihak yang menjadi penyebab

yang paling akhir atau dekat yang akan bertanggung jawab atas kerugian

yang diderita Penggugat. Doktrin kedua mengenai proximate cause adalah

“the reasonable-foresight doctrine”. Menurut doktrin ini, seseorang tidak

akan bertanggung jawab atas kerugian yang secara wajar tidak dapat

diperkirakan sebelumnya. Dengan kata lain, seseorang dapat diputuskan

sebagai pihak yang bertanggung jawab jika kerugian yang terjadi termasuk

ke dalam risiko yang selayaknya sudah dapat diperkirakan akan terjadi

akibat dari kesalahan (jika dasar pertanggungjawaban berdasarkan

kesalahan) atau dari kegiatan (jika dasar pertanggungjawaban mutlak

digunakan) pihak tersebut.34

Kedua pembahasan mengenai cause in fact dan proximate cause di atas

merupakan pembahasan dalam dasar pertanggungjawaban berdasarkan

kesalahan atau yang lazim dikenal dengan frase “Perbuatan Melawan

Hukum” di dalam hukum Indonesia. Di sisi lain, sebenarnya terdapat

perbedaan pembuktian cause in fact dan proximate cause khusus untuk

dasar pertanggungjawaban mutlak (strict liability) jika dibandingkan dengan

pembuktian kedua bentuk kausalitas tersebut dalam dasar

pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan atau Perbuatan Melawan

Hukum (PMH). Berikut ini perbedaan pembuktian dua bentuk kausalitas

tersebut di dalam dasar pertanggungjawaban mutlak.

Menurut Palmer, sebagaimana dikutip oleh Wibisana, pembuktian cause in

fact di dalam dasar pertanggungjawaban mutlak cukup dibuktikan dengan

pembuktian penyebab faktual secara sederhana. Maksud dari pembuktian

penyebab faktual secara sederhana adalah pengadilan tidak perlu

membuktikan penyebab faktual dengan cara yang hipotetis atau

counterfactual.35 Pertanyaan apa yang seharusnya dilakukan atau tidak

melahirkan Z. Z pada saat umur ke-16 tahun telah secara lalai menyebabkan kecelakaan mobil yang

mencederai C. Kelalaian A di awal dalam membuat pil kontrasepsi adalah sebab faktual bagi cedera yang

dialami oleh C, karena Z tidak mungkin hidup jika pil kontrasepsi tersebut tidak gagal mencegah kelahiran X.

Akan tetapi, A tidak akan diputuskan sebagai pihak yang bertanggung jawab karena kelalaian A merupakan

penyebab yang terlalu jauh dengan cedera yang dialami C, sehingga tidak bisa pula ditetapkan sebagai

proximate cause dari terjadinya kecelakaan mobil yang mencederai C. Lihat dalam John L. Diamond, et. al., op.

cit., hal. 204 -205.

34 Andri G. Wibisana, loc. cit. Diamond berpendapat bahwa dalam menentukan adanya proximate

cause melalui foreseeable harm test, maka ada dua hal yang harus dipenuhi: 1). A reasonably foreseeable

result or type of harm; dan 2). No superseding intervening force. Diamond menilai bahwa suatu intervening

force dapat dikatakan sebagai sesuatu yang superseding hanya ketika terjadinya intervening force tersebut

terlihat luar biasa (extraordinary). Lihat dalam John L. Diamond, et. al., op. cit., hal. 206.

35 Maksud dari hipotetis adalah pengujian kausalitas dengan mengajukan pertanyaan seperti: apakah

kerugian akan tetap terjadi seandainya tergugat melakukan perbuatan yang berbeda denga perbuatan yang ia

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 23 dari 51 Halaman

dilakukan oleh tergugat menjadi tidak relevan dalam konteks

pertanggungjawaban mutlak karena pertanyaan tersebut merupakan

pertanyaan dalam konteks pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan

atau PMH. Jadi, di dalam dasar pertanggungjawaban mutlak, pembuktian

penyebab faktual difokuskan pada pertanyaan sederhana: apakah kerugian

yang terjadi disebabkan secara faktual oleh kegiatan yang dilakukan oleh

Tergugat?

Pembuktian proximate cause juga berbeda di dalam konteks

pertanggungjawaban mutlak. Dua hal yang harus dibuktikan di dalam

proximate cause, yakni scope of liability dan juga ada atau tidaknya

intervening atau superseding cause, telah berpindah letaknya dalam konteks

pertanggungjawaban mutlak. Scope of liability dalam konteks

pertanggungjawaban mutlak telah berpindah pada pembuktian ruang

lingkup usaha dan/atau kegiatan seperti apa yang dapat dimintakan

pertanggungjawabannya secara mutlak.36 Dengan kata lain, pembuktian

scope of liability dalam dasar pertanggungjawaban mutlak terletak pada

pembuktian apakah usaha dan/atau kegiatan Tergugat “menimbulkan

dampak yang serius terhadap lingkungan hidup”. Lalu pembuktian ada

atau tidaknya intervening cause atau superseding cause dalam dasar

pertangggungjawaban mutlak telah berpindah pada ranah pembelaan

(defense) bagi Tergugat.37 Dengan kata lain, pembuktian adanya intervening

cause atau superseding cause dalam konteks pertanggungjawaban mutlak

bukan lagi menjadi beban pembuktian dari Penggugat.

Satu hal lagi yang berbeda dari pembuktian proximate cause dalam konteks

pertanggungjawaban mutlak adalah mengenai foreseeability dari resiko

usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh Tergugat. Menurut MacAyeal,

sebagaimana dikutip oleh Andri, ukuran foreseeability resiko usaha

dan/atau kegiatan Tergugat dalam konteks pertanggungjawaban mutlak

telah berubah menjadi objektif, tidak lagi berdasarkan ukuran pengetahuan

subjektif dari Tergugat. Maksudnya dalam konteks pertanggungjawaban

mutlak, pengetahuan subjektif Tergugat mengenai resiko usaha dan/atau

kegiatan yang ia lakukan tidak lagi dipertimbangkan. Hal ini dikarenakan

pengetahuan Tergugat mengenai resiko usaha dan/atau kegiatannya

diperlukan untuk melihat apakah Tergugat telah melakukan upaya yang

hati-hati dalam melakukan usaha dan/atau kegiatannya. Namun, di dalam

konteks pertanggungjawaban mutlak, dilakukan atau tidak dilakukannya

upaya hati-hati oleh Tergugat dalam melakukan usaha dan/atau

lakukan? Atau apakah penggugat akan tetap menderita kerugian seandainya tergugat tidak melakukan

perbuatan yang ia lakukan? Kedua pertanyaan tersebut merupakan pengujian yang hipotetis karena

pertanyaannya bersifat menduga-duga dan juga dapat dikatakan counterfactual karena pada kenyataannya

tergugat tidak melakukan perbuatan yang berbeda dengan perbuatan yang ia lakukan. Lihat: Andri G.

Wibisana, op. cit., hal. 48.

36 Andri G. Wibisana, op. cit., hal. 49.

37 Ibid.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 24 dari 51 Halaman

kegiatannya bukan merupakan hal yang dipertimbangkan. Maka dari itu,

ukuran yang digunakan untuk mengetahui foreseeability resiko usaha

dan/atau kegiatan Tergugat adalah pengetahuan umum/luas yang ada di

masyarakat, bukan lagi pengetahuan subjektif Tergugat.38

Jadi, penggunaan dasar pertanggungjawaban mutlak di dalam perkara

Menteri LHK melawan PT. BMH akan menimbulkan konsekuensi terhadap

pembuktian cause in fact dan proximate cause. Konsekuensinya adalah

pembuktian cause in fact dan proximate cause menjadi lebih longgar dalam

dasar pertanggungjawaban mutlak dibandingkan dengan pembuktian dalam

dasar pertanggungjawaban PMH.

Berdasarkan penjelasan pada paragraf di atas, Sahabat Pengadilan

berpendapat bahwa pembuktian cause in fact dalam perkara Menteri LHK

melawan PT. BMH cukup dilakukan dengan cara pembuktian faktual yang

sederhana. Maka dari itu, pembuktian penyebab faktual secara sederhana

dalam perkara Menteri LHK melawan PT. BMH cukup dilakukan dengan

menjawab pertanyaan ini: Apakah kerugian berupa terjadinya degradasi

lahan disebabkan secara faktual oleh usaha dan/atau kegiatan yang

dilakukan oleh Tergugat? Terdapat tiga bukti dalam menjawab pertanyaan

penyebab faktual dari kerugian tersebut.

Bukti pertama adalah adanya fakta bahwa kebakaran lahan terjadi di dalam

konsesi PT. BMH. Fakta tersebut tidak dapat dipungkiri sebagaimana dapat

dilihat di dalam Putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg. Hal ini

menunjukan bahwa kebakaran terjadi di dalam areal yang menjadi

tanggung jawab dari PT. BMH. Bukti yang kedua adalah kebakaran yang

terjadi di dalam konsesi PT. BMH telah menyebabkan terjadinya degradasi

lahan, baik lahan gambut maupun mineral. Bukti ini terlihat sebagaimana

Sahabat Pengadilan telah jelaskan di awal bagian B.1.2 ini, di mana

menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr. Basuki Wasis, kebakaran

seluas 20.000 Ha di dalam konsesi PT. BMH telah menyebabkan terjadinya

kerusakan struktur gambut.

Bukti yang ketiga, yang juga tidak kalah penting, adalah peristiwa

kebakaran lahan merupakan resiko yang inheren di dalam usaha dan/atau

kegiatan Hutan Tanaman Industri. Kegiatan membuka lahan gambut untuk

dijadikan usaha Hutan Tanaman Industri merupakan kegiatan dengan

resiko tinggi. Dengan karakteristik seperti itu, dengan dasar

pertanggungjawaban mutlak, maka apa yang sudah dilakukan PT. BMH

38

Wibisana memberikan contoh hipotetis yang cukup relevan dalam melihat perbedaan pembuktian

kausalitas dalam konteks pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan atau PMH dengan pembuktian

kausalitas dalam konteks pertanggungjawaban mutlak. Lihat dalam: Andri G. Wibisana, op. cit., hal. 51.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 25 dari 51 Halaman

untuk mencegah terjadinya kebakaran menjadi tidak relevan.39 Maka

Sahabat Pengadilan berkesimpulan bahwa usaha dan/atau kegiatan Hutan

Tanaman Industri yang dilakukan oleh PT. BMH merupakan penyebab

faktual terjadinya kerugian degradasi lahan yang diderita oleh Menteri LHK.

Dari sisi pembuktian proximate cause, Sahabat Pengadilan akan fokus

dalam pembuktian foreseeability dari resiko terjadinya kebakaran lahan

dalam usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri yang dilakukan

oleh PT. BMH. Pembuktian scope of liability dari PT. BMH telah dibuktikan

dengan menguji apakah kerugian yang terjadi termasuk dalam ruang

lingkup dasar pertanggungjawaban mutlak atau tidak. Pengujian tersebut

telah dilakukan di bagian huruf B.1.1. Lalu pembuktian adanya intervening

cause dan juga superseding cause tidak akan dibahas di sini mengingat

kedua hal tersebut dalam dasar pertanggungjawaban mutlak telah

dikanalisasi menjadi bagian dari pembelaan (defense) bagi PT. BMH. Maka

dari itu, paragraf berikutnya akan fokus pada pembuktian proximate cause

khususnya dari sisi foreseeability resiko menurut pandangan umum.

Setidaknya ada tiga hal yang saling berkaitan dalam membuktikan

foreseeability terjadinya kebakaran lahan dalam usaha dan/atau kegiatan

Hutan Tanaman Industri yang dilakukan oleh PT. BMH. Hal yang pertama

adalah kegiatan membuka lahan gambut untuk dijadikan Hutan Tanaman

Industri. Resiko terjadinya kebakaran setidaknya telah meningkat dalam

kondisi lahan gambut yang sudah dibuka. Hal yang kedua adalah kondisi

iklim pada saat melakukan kegiatan pembukaan lahan gambut. Kondisi

iklim yang dimaksud adalah situasi musim kemarau dan juga adanya

fenomena El Nino ketika kegiatan pembukaan lahan gambut untuk Hutan

Tanaman Industri dilakukan. Fenomena El Nino sendiri telah dapat

diprediksi keberadaannya.

Sahabat Pengadilan berpandangan bahwa resiko terjadinya kebakaran

lahan sudah dapat diperkirakan ketika PT. BMH melakukan kegiatan

pembukaan lahan gambut untuk Hutan Tanaman Industri di saat musim

kemarau dan juga fenomena El Nino sedang berlangsung. Waktu

berlangsungnya musim kemarau dan juga fenomena El Nino sudah menjadi

hal yang diketahui oleh umum mengingat informasi tersebut sudah

diumumkan oleh lembaga pemerintah.40 Maka dapat dikatakan bahwa

39

Resiko terjadinya kebakaran lahan dalam usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri diakui

juga oleh PT. BMH, sebagaimana terlihat dalam surat Jawabannya pada Bagian Huruf C, nomor 8. Pada bagian

tersebut, PT. BMH mendalilkan bahwa PT. BMH senantiasa mengupayakan sistem pengelolaan lingkungan

termasuk antisipasi dan penanganan kebakaran. Namun seperti yang sudah dijelaskan oleh Sahabat

Pengadilan, dalam dasar pertanggungjawaban mutlak, upaya antisipasi dan/atau pencegahan yang dilakukan

oleh PT. BMH menjadi tidak relevan untuk dipertimbangkan mengingat tingginya resiko kebakaran lahan di

dalam usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri. Lihat dalam Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 34.

40 Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika pada bulan Juni 2014 menyatakan bahwa fenomena

El Nino akan terjadi di Indonesia mulai bulan Juli 2014. Supari, Analis di Kedeputian Klimatologi BMKG

menyatakan bahwa fenomena El Nino bukan kejadian yang terjadi secara tiba-tiba. Lihat dalam: Supari,

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 26 dari 51 Halaman

resiko terjadinya kebakaran lahan di dalam konsesi PT. BMH merupakan

resiko yang sudah dapat diperkirakan (foresseable) sebelumnya

(berdasarkan pada pandangan umum).

Sahabat Pengadilan telah membuktikan empat hal di dalam bagian huruf

B.1 ini, meliputi:

1. Dasar pertanggungjawaban mutlak diakui di dalam kerangka hukum

lingkungan di Indonesia, bahkan lebih spesifik lagi di dalam kerangka

hukum perlindungan hutan dan lahan dari peristiwa kebakaran

hutan dan/atau lahan;

2. Usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh PT. BMH memenuhi

unsur “menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup”

sehingga dasar pertanggungjawaban mutlak dapat digunakan dalam

perkara Menteri LHK melawan PT. BMH;

3. Menteri LHK sebagai Penggugat telah mengalami kerugian yang

nyata, meliputi kerugian ekologis, kerugian rusaknya

keanekaragaman hayati dan sumber daya genetik, kerugian

terlepasnya karbon ke udara, dan juga kerugian ekonomis. Kerugian

tersebut berhubungan dengan fungsi dan tugasnya dalam melakukan

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan

4. Hubungan kausalitas antara kerugian yang diderita Menteri LHK

dengan kegiatan yang dilakukan oleh PT. BMH :

a. Kerugian yang diderita oleh Menteri LHK disebabkan secara

faktual oleh kebakaran yang terjadi akibat kegiatan

pembukaan lahan gambut oleh PT. BMH (penyebab

faktual/cause in fact);

b. Terjadinya kebakaran lahan di dalam konsesi PT. BMH

merupakan resiko yang sudah dapat diperkirakan sebelumnya.

Terlebih karena periode berlangsungnya musim kemarau dan

juga fenomena El Nino merupakan informasi yang dapat

diketahui oleh masyarakat umum.

Berdasarkan pada pembuktian empat hal tersebut, Sahabat Pengadilan

berpendapat bahwa PT. BMH harus bertanggung jawab secara mutlak

atas kerugian yang diderita Menteri LHK akibat kebakaran lahan yang

terjadi di dalam konsesi PT. BMH.

B.2 Perbuatan Melawan Hukum (PMH)

Sejarah Dampak El Nino di Indonesia,

(http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Publikasi/Artikel/Sejarah_Dampak_El_Nino_di_Indonesia.bmkg),

diakses pada 14 Juni 2016.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 27 dari 51 Halaman

a. Dasar Hukum Perbuatan Melawan Hukum sebagai Dasar

Pertanggungjawaban PT BMH dalam Perkara Menteri LHK v. PT

BMH.

- Dasar hukum yang digunakan oleh MenLHK untuk

pertanggungjawaban berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum dalam

kasus MenLHK v. PT BMH adalah Pasal 1365 KUHPer. Unsur-unsur

Perbuatan Melawan Hukum berdasarkan Pasal 1365 terdiri atas

unsur perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian, dan

kausalitas antara perbuatan dengan kerugian. Dalam kasus

kebakaran hutan dan/atau lahan, dasar hukum perbuatan melawan

hukum sebagai dasar pertanggungjawaban adalah Pasal 87 UU PPLH

dan Pasal 49 PP 4/2001.

- Pasal 87 UU PPLH menyatakan bahwa setiap penanggung jawab

usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar

hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup

yang menimbulkan kerugian orang lain atau lingkungan hidup wajib

membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.

- Lebih lanjut dalam Pasal 49 PP 4/2001 dinyatakan bahwa setiap

perbuatan yang melanggar ketentuan mengenai:

1) Larangan melakukan kegiatan pembakaran hutan dan/atau

lahan.41

2) Kewajiban setiap orang untuk mencegah terjadinya kerusakan

dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan

kebakaran hutan dan/atau lahan.42

3) Kewajiban mencegah kebakaran bagi penanggungjawab usaha

yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting

terhadap kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup

yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan di

lokasi usahanya.43

4) Kewajiban penanggung jawab usaha untuk memiliki sarana

dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya

kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya.44

41

Pasal 11 Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran

Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

42 Pasal 12 PP 4/2001 Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau

Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

43 Pasal 13 PP 4/2001 Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau

Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

44 Pasal 14 PP 4/2001 Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau

Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 28 dari 51 Halaman

5) Kewajiban penanggung jawab usaha melakukan pemantauan

untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan

di lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala

sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali yang dilengkapi

dengan data penginderaan jauh dari satelit kepada

Gubernur/Bupati/Walikota dengan tembusan kepada instansi

teknis dan instansi yang bertanggung jawab.45

6) Kewajiban setiap orang untuk menanggulangi kebakaran hutan

dan/atau lahan di lokasi kegiatannya46

7) Kewajiban penanggung jawab usaha untuk bertanggung jawab

atas terjadinya kebakaran di lokasi usahanya dan kewajiban

untuk segera melakukan penanggulangan kebakaran hutan

dan/atau lahan di lokasi usahanya.47

8) Kewajiban penanggung jawab usaha untuk melakukan

pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan

kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya.48

wajib membayar ganti kerugian dan/atau melakukan tindakan

tertentu.

b. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum PT BMH

Berdasarkan Pasal 1365 KUHPer dan Pasal 87 UUPLH, maka unsur-

unsur Perbuatan Melawan Hukum PT BMH atas kebakaran yang

terjadi di area konsesinya diuraikan sebagai berikut:

1. Unsur perbuatan melawan hukum

- Dalam Kasus MenLHK v. PT BMH, PT BMH telah melanggar

kewajiban hukumnya sebagai penanggung jawab usaha yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu

PT BMH sudah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum.

- Unsur perbuatan melawan hukum sebagai suatu konsep diartikan

sebagai melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang

bertentangan dengan undang-undang, melanggar hak orang lain atau

45

Pasal 15 PP 4/2001 Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau

Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

46 Pasal 17 PP 4/2001 Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau

Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

47 Pasal 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau

Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

48 Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau

Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 29 dari 51 Halaman

bertentangan dengan kewajiban hukum, dan/ atau bertentangan

dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati sebagaimana patutnya

dalam lalu lintas masyarakat. Dalam pembuktian perbuatan

melawan hukum, membuktikan adanya kewajiban hukum yang

dilanggar oleh PT BMH terkait dengan kebakaran yang terjadi di

areal konsesinya sudah dapat dikualifikasikan sebagai suatu

perbuatan melawan hukum.

- Pelanggaran atas peraturan perundang-undangan dan kewajiban

hukum PT BMH yang timbul sebagai akibat dari perikatan melalui

undang-undang merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Di

antara lingkup unsur perbuatan melawan hukum adalah berbuat

atau tidak berbuat yang bertentangan dengan undang-undang dan

juga kewajiban hukum. UU Kehutanan dan PP 4/2001 sendiri telah

melahirkan perikatan terhadap PT BMH sebagai pemegang izin

kegiatan/usaha. Dari perikatan tersebut, PT BMH memiliki kewajiban

untuk melindungi hutan dalam areal kerjanya49, mencegah

kebakaran hutan dan/ atau lahan di lokasi usahanya,50 dan juga

bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi di areal kerjanya.51

Dengan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di areal konsesi PT.

BMH, PT BMH telah melanggar peraturan perundang-undangan yang

berlaku dan melanggar kewajiban hukumnya untuk mencegah

terjadinya kebakaran dan melindungi hutan yang ada dalam areal

kerjanya, yang mana hal ini merupakan (unsur) perbuatan melawan

hukum.

- Berikut adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur

kewajiban hukum oleh PT BMH sebagai penanggung jawab usaha:

Dasar Hukum Kewajiban Hukum

UU 41/1999 1. Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan,

diwajibkan melindungi hutan dalam areal

kerjanya. Perlindungan hutan dan kawasan

hutan didefinisikan sebagai (1) usaha untuk

mencegah dan membatasi kerusakan hutan,

kawasan hutan, dan hasil hutan yang

disebabkan oleh perbuatan manusia dan

kebakaran, dan (2) mempertahankan dan ejaga

hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan

atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, dan

49

Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

50 Pasal 13 Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran

Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

51 Pasal 49 Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 30 dari 51 Halaman

ivestasi, serta perangkat yang berhubungan

dengan pengelolaan hutan.52

2. Kewajiban pemegang hak atau izin untuk

bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran

hutan di areal kerjanya.

PP 4/2001 1. mencegah timbulnya kebakaran hutan dan/atau

lahan,

2. melakukan pemantauan untuk mencegah

terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di

lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara

berkala sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan

sekali yang dilengkapi dengan data penginderaan

jauh dari satelit kepada

Gubernur/Bupati/Walikota dengan tembusan

kepada instansi teknis dan instansi yang

bertanggung jawab, Kewajiban penanggung

jawab usaha untuk bertanggung jawab atas

terjadinya kebakaran di lokasi usahanya

3. kewajiban untuk segera melakukan

penanggulangan kebakaran hutan dan/atau

lahan di lokasi usahanya,

4. Kewajiban penanggung jawab usaha untuk

melakukan pemulihan dampak lingkungan

hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan

dan/atau lahan di lokasi usahanya.

Keputusan

Direktur

Jenderal

Perlindungan

Hutan dan

Pelestarian

Alam Nomor

243/Kpts/DJ-

VI/1994

tentang

Petunjuk Teknis

Pencegahan

dan

Penanggulangan

Kebakaran

Hutan di Areal

Kepdirjen PHPA No 243/1994 merupakan

penjabaran lebih lanjut mengenai aturan teknis

terkait kewajiban perusahaan untuk melakukan

upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran

di areal pengusahaan hutan atau areal penggunaan

lainnya. Kewajiban pencegahan dan

penanggulangan kebakaran di areal konsesi lebih

lanjut dijabarkan sebagai berikut:

1. Rencana kegiatan Pencegahan dan

Penanggulangan Kebakaran setiap tahun untuk

seluruh areal pengusahaan hutan yang

sedikitnya memuat:

a. Regu pemadam kebakaran

Regu/Satuan Tugas Pemadam Kebakaran

disingkat Regu SATGASDAMKAHUT adalah

52

Lihat Pasal 48 ayat (3) dan Pasal 47 Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 31 dari 51 Halaman

Pengusahaan

Hutan dan Areal

Penggunaan

Lainnya.

(Kepdirjen PHPA

243/1994)

karyawan perusahaan pemegang Hak

Pengusahaan Hutan atau Hak Pengusahaan

Tanaman Industri baik yang tergabung

dengan SATPAM Pengusahaan Hutan berdiri

sendiri, yang diangkat oleh Direksi

Perusahaan, yang ditugaskan dan diberi

wewenang untuk melakukan perlindungan

dan pengamanan hutan di areal Pengusahaan

Hutannya.

b. Sarana operasi yang digunakan c. Biaya yang diperlukan d. Prasarana yang dibangun e. Memanfaatkan teknologi pembakaran

terkendali f. Program kegiatan pengendalian kebakaran

2. Perencanaan pencegahan kebakaran:

a. Membuat peta kerawanan kebakaran

b. Penyusunan data statistik

c. Membentuk regu pemadam kebakaran

d. Menyediakan tenaga dan peralatan

pemadaman

e. Memantau cuaca, akumulasi bahan bakar,

dan gejala rawan kebakaran.

f. Membuat sekat bakar, waduk serba guna,

sarana transportasi dan komunikasi.

g. Memasang rambu-rambu peringatan bahaya

kebakaran pada lokasi yang rawan kebakaran

dan mudah dilihat masyarakat

h. Mengikutsertakan pendidikan dan latihan

pemadam kebakaran hutan.

i. Koordinasi dengan instansi yang berwenang

atau aparat pemerintah setempat.

3. Melakukan kegiatan deteksi dini kebakaran,

antara lain:

a. Mendirikan menara pengawas kebakaran

dengan jangkauan pandang cukup jauh,

dilengkapi dengan sarana deteksi (teropong

dan range finder), serta sarana komunikasi.

b. Patroli periodik, dengan frekuensi lebih

meningkat pada saat musim kemarau.

c. Membangun dan mendayagunakan pos-pos

jaga pada jalan masuk, jalan pengawasan

areal tanaman dan sekitar kawasan yang

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 32 dari 51 Halaman

berbatasan dengan desa atau lahan usaha

pertanian.

d. Memanfaatkan informasi penerbangan, data

cuaca, dan data satelit pada areal

pengusahaannya.

e. Rehabilitasi/ penanaman kembali areal bekas

kebakaran

f. Evaluasi pelaksana pemadaman kebakaran.

4. Sarana dan prasarana yang harus disediakan:

a. Ilaran api, Jalan pemeriksaan, waduk

penyimpanan air, dan tanaman penyangga,

sesuai dengan satuan luas dan lokasi hutan

b. Personil regu/SATGASDAMKARHUT dengan

ketentuan:

1) Minimal pendidikan Sekolah

Lanjutan Pertama (SLTP/SMP) yang

dibekali pendidikan dan latihan

yang diselenggaran oleh instansi

kehutanan

2) Jumlah personil

regu/SATGASDAMKARHUT

disesuaikan berdasarkan tingkat

kerawanan, keluasan, dan

aksesibilitas dengan rasio 1 (satu)

orang untuk setiap 1.000 s/d 2.000

hektar areal Hak Pengusahaan

Hutan

Keputusan

Direktur

Jenderal

Perlindungan

Hutan dan

Pelestarian

Alam No

247/Kpts/DJ-

VI/1994

tentang

Petunjuk

Standarisasi

Sarana

Pencegahan dan

Penanggulangan

1. Sarana Standarisasi pencegahan dan

penanggulangan kebakaran dapat dibagi menjadi

3 kelompok, yaitu:

a. Perangkat lunak dan regu kerja (personil)

b. Sarana pencegahan

c. Sarana penanggulangan

2. Perangkat lunak:

a. Laporan kejadian

b. Laporan resmi kejadian kebakaran, waktu

dan penyebab kebakaran.

c. Pemetaan kejadian kebakaran yang

merupakan pemetaan detail kejadian

kebakaran hutan berdasarkan laporan dan

diplotkan di atas peta dasar berskala besar

(1:5.000- 1:25.000)

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 33 dari 51 Halaman

Kebakaran

Hutan

(Kepdirjen PHPA

247/1994)

3. Sarana Pencegahan Kebakaran:

a. Sarana penyuluhan

b. Sarana komunikasi dan informasi

c. Sarana patroli

d. Sarana deteksi dan peringatan dini untuk

memberi peringatan akan adanya bahaya

kebakaran hutan secara dini.

Sarana deteksi dini standar berupa menara

pengintai (menara api) dengan ketinggian

minimum 30 M yang terbuat dari bahan yang

kuat dan tahan terhadap cuaca. Di dalamnya

dilengkapi dengan teropong (binokuler), alat

penemu jarak (range finder), kompas, serta

alat pemetaan sederhana besera peta

dasarnya berskala besar (1:25.000).

Selain itu juga dilakukan pembuatan tingkat

kemungkinan terjadinya bahaya kebakaran

berdsarkan hasil penelitian ataupun

pengalaman jangka panjang.

4. Sarana Penanggulangan Pemadaman

a. Perlengkapan Perorangan, terdiri dari

pakaian yang cukup kuat tapi tidak berat,

tahan api, tas punggung, kantin tempat

minum, sepatu boot, sarung tangan dari

kulit, helm, dan penutup mata.

b. Kebakaran Permukaan Kecil

Untuk penanggulangan kebakaran yang

sifatnya kecil, yaitu ketinggian kurang dari 1

meter, diperlukan sarana:

1) Alat potong untuk membuat ilaran:

cangkul, kapak dua muka, kapak satu

muka, parang/golok dengan pegangan

panjang, serta alat lain yang dapat

berfungsi sebagai alat potong.

2) Alat garuk untuk membuat ilaran: rake,

Mc Leod, dan sebagainya

3) Alat bantu pemadaman: Flapper

(pemukul) yang terbuat dari bahan tahan

api, pompa punggung, pompa portabel.

4) Alat untuk membuat pembakaran balik:

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 34 dari 51 Halaman

Fusee, drip torch, dan sebagainya.

c. Kebakaran Tajuk:

1) Alat potong untuk membuat ilaran:

cangkul, kampak mata dua, kapak satu

muka, parang/golok, gergaji mesin, serta

alat lain yang dapat berfungsi sebagai alat

potong.

2) Alat garuk untuk membuat ilaran: rake,

Mc Leod, dan sebagainya.

3) Alat bantu pembuatan ilaran dan

pemadaman: Flapper (pemukul) yang

terbuat dari bahan tahan api, untuk

menjaga jika ada api loncat, pompa

punggung, pompa portabel, tangki air

atau truk yang dimodifikasi untuk

mengangkut air beserta selang karetnya,

traktor/buldozer untuk membuat ilaran.

4) Alat untuk membuat pembakaran balik:

fusee, drip torch, dan sebagainya.

d. Pembakaran Bawah Permukaan memerlukan

alat gali (cangkul dan skop), alat berat seperti

Ditch Digger, dan tangki atau alat untuk

mengalirkan air dari sungai atau danau (bila

tersedia).

e. Alat angkut, seperti truk atau kendaraan

roda empat lain yang memadai. Jika api di

lokasi yang sulit dengan kebakaran cukup

besar, maka diperlukan alat angkut seperti

helikopter.

Keputusan

Direktur

Jenderal

Perlindungan

Hutan dan

Pelestarian

Alam No

248/Kpts/DJ-

VI/1994

tentang Prosedu

Tetap

Pencegahan dan

Penanggulangan

Kebakaran

1. Prosedur Penjagaan dan Patroli

2. Sekat Bakar/ Jalur Hijau

Sekat bakar adalah daerah yang tidak

terbakar atau tidak terjadi kebakaran hutan

yang berfungsi untuk melokalisir api agar

tidak merambat ke tempat lain yang lebih

luas.

Cara pembuatan sekat bakar:

a. Membersihkan jalur/alur pemisah antara

kemungkinan datangnya sumber api

dengan akumulasi bahan bakar.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 35 dari 51 Halaman

Hutan

(KepDirjen

PHPA

248/1994)

b. Panjang sekat bakar adalah sepanjang

daerah rawan kebakaran hutan.

c. Lebar sekat bakar adalah:

1) Pada kebakaran permukaan, maka

taksiran lebar sekat adalah selebar

tiga kali lidah api

2) Pada kebakaran tajuk, maka taksiran

lebar sekat adalah selebar tiga kali

tinggi pohon yang paling tinggi di

daerah tersebut.

3) Pada kebakaran di bawah permukaan,

maka taksiran dalamnya galian sekat

bakar se dalam areal yang terbakar

Modifikasi dari sekat bakar adalah jalur

hijau, yaitu dengan cara menanam pohon

tahan api, yakni berkulit kayu tebal dan

selalu hijau sepanjang tahun, meskipun

pada saat musim kemarau.

3. Menara pemantau

Menara pemantau api dapat terbuat dari

kayu atau besi.

Penempatan menara pemantau api harus

dapat menjangkau areal yang cukup luas.

Pada ketinggian tersebut, menara api dapat

menjangkau pandangan pada radius 5 KM.

2. Unsur kesalahan

- Kedua, Pembuktian Unsur Kesalahan tidak berbeda dengan

pembuktian tentang adanya perbuatan melawan hukum sendiri.

Artinya, sama seperti dalam negligence, kesalahan tidaklah

menjadi unsur yang harus dibuktikan secara tersendiri. Dalam hal

ini dapat merujuk pada salah satu penafsiran makna kesalahan yang

dikemukakan oleh Djojodirdjo yang berpendapat bahwa pembuat

undang-undang membuka kemungkinan untuk mengartiken

“kesalahan” sebagai melawan hukum itu sendiri. Sehingga dalam hal

ini, seseorang yang telah melakukan sesuatu secara keliru sudah

tentu melakukannya karena salahnya.53

53

Andri G. Wibisana, Aspek Prosedural, Pertanggungjawaban, dan Pembuktian Perdata, hlm 15,

disampaikan dalam Pelatihan Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup, PUSDIKLAT MA, Bogor, 8 April 2016.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 36 dari 51 Halaman

- Kedua, pembuktian unsur kesalahan dalam konsep Perbuatan

Melawan Hukum dapat dibuktikan dengan adanya pelanggaran

unsur perbuatan melawan hukum secara objektif, yaitu

pelanggaran (lalai/sengaja) atas kewajiban yang ada dalam

peraturan perundang-undangan. Suatu perbuatan dianggap sebagai

kelalaian (sebagai salah satu bentuk kesalahan) jika:54

a. Adanya perbuatan yang tidak semestinya dilakukan atau

mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan;

b. Adanya kewajiban kehati-hatian (duty of care);

c. Tidak dijalankannya kewajiban kehati-hatian;

d. Adanya kerugian bagi orang lain;

e. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak

melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul.

- Areal konsesi PT BMH adalah areal yang telah diketahui PT BMH

sebagai tanah gambut (atau setidak-tidaknya sebagian besar adalah

tanah gambut dan sebagian kecil tanah mineral) yang terdegradasi

sebagai akibat kebakaran pada tahun 1997/1998. Kebakaran yang

terjadi di areal konsesi PT BMH juga telah terjadi hampir setiap

tahunnya. Dari kondisi tanah dan riwayat kebakaran yang terjadi

hampir setiap tahunnya (memiliki risiko lingkungan yang sangat

tinggi), PT BMH seharusnya dapat menduga bahwa potensi

kebakaran pada tahun-tahun berikutnya akan semakin besar karena

tanah gambut yang dikelola untuk hutan tanam industri PT BMH

semakin mengering akibat kebakaran (dari tahun-tahun sebelumnya)

dan penerapan sistem drainase pada tanah gambut. Oleh karena

usaha/ kegiatan PT BMH memiliki resiko yang tinggi, maka PT BMH

kewajiban untuk berhati-hati dalam mengelola areal konsesinya dan

melindungi areal konsesinya dari kemungkinan kebakaran yang

terjadi. Berdasarkan berita acara verifikasi lapangan pada tanggal 22-

23 Oktober 2014 dan 17 Desember 2014, PT BMH tidak

menyediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah

dan menanggulangi kebakaran hutan dan/lahan. Sedangkan untuk

mengetahui apakah PT BMH mengetahui bahwa areal konsensinya

sebagai tanah gambut dan riwayatnya, maka dapat dilihat dalam

Amdal di mana Amdal yang bersangkutan telah memuat keterangan

tentang bahwasannya lahannya adalah tanah gambut dan resikonya.

- Berikut adalah kewajiban kelengkapan sarana dan prasarana

pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan yang dilanggar oleh

PT BMH atau setidaknya terdapat pertentangan keterangan yang

diberikan terkait ketersediaan sarana dan prasarana:

Lihat juga Moegni A.M. Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1979), hlm 65-

73.

54 Munir Fuadi, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm 270

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 37 dari 51 Halaman

Dasar

pengaturan

Kewajiban Penanggung

jawab usaha/kegiatan

Keterangan

Keputusan

Direktur

Jenderal

Perlindungan

Hutan dan

Pelestarian

Alam Nomor

243/Kpts/DJ-

VI/1994

tentang

Petunjuk Teknis

Pencegahan

dan

Penanggulangan

Kebakaran

Hutan di Areal

Pengusahaan

Hutan dan Areal

Penggunaan

Lainnya.

(Kepdirjen PHPA

243/1994)

Regu pemadam

kebakaran dengan

ketentuan jumlah

personil regu

disesuaikan berdasarkan

tingkat kerawanan,

keluasan, dan

aksesibilitas dengan

rasio 1: 1.000 s.d 2.000

hektar areal

Terdapat keterangan yang

berbeda mengenai

ketersediaan regu

pemadam yang untuk

kasus kebakaran tahun

2014:

Jumlah personel

berdasarkan:

a. Berita Acara (berdasarkan pemeriksaan 22-23 Oktober 2014 dan 17 Desember 2014): 1 tim dengan anggota 6 orang

b. Keterangan Ahli Penggugat: 6 orang pemantau api.

c. Keterangan pegawai PT BMH: tidak menyebutkan jumlah anggota regu, tapi menyebutkan 80 orang pegawai distrik turun ikut ke lapangan memadamkan api.

d. Keterangan Pegawai Dinas Provinsi Sumatera Selatan: 244 orang.

Luas areal konsesi PT BMH kurang lebih 250.370 hektar, maka setidaknya dibutuhkan minimal 125- 250 personil pemadam kebakaran. Jumlah ini tidak sesuai dengan jumlah yang dinyatakan oleh pegawai PT BMH dan jumlah yang ditemukan saat verifikasi lapanga pada tanggal 22-23 Oktober 2014 dan 17

Desember 2014.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 38 dari 51 Halaman

Memasang rambu-rambu

peringatan bahaya

kebakaran pada lokasi

rawan kebakaran dan

mudah dilihat

masyarakat

Sudah ada.

Ilaran api, jalan

pemeriksaan, waduk

penyimpanan air, dan

tanaman penyangga

Tidak ditemukan

keterangan mengenai

ketersediaan sarana ini.

Alat bantu pemadaman:

Flapper (pemukul) yang

terbuat dari bahan tahan

api, pompa punggung,

pompa portabel.

Hanya disebutkan tersedia

pompa air. Terdapat

informasi yang berbeda

mengenai jumlah

ketersediaan pompa untuk

areal konsesi PT BMH.

Kepdirjen PHPA

247/1994

Pembakaran Bawah

Permukaan memerlukan

alat gali (cangkul dan

skop), alat berat seperti

Ditch Digger, dan tangki

atau alat untuk

mengalirkan air dari

sungai atau danau (bila

tersedia).

Tidak ditemukan

keterangan mengenai

ketersediaan sarana yang

dimaksud.

Mendirikan menara

pengawas dengan

ketinggian minimum 30

meter dan jarak pandang

untuk radius 5 KM.

Terdapat pertentangan

informasi, dimana pada

berita acara pemeriksaan

tahun 2014 tidak

ditemukan menara

pengawas, sedangkan

keterangan dari pegawai PT

BMH dan petugas Dinas

Kehutanan Provinsi

Sumatera Selatan,

menyatakan ada menara

pengawas. Antara

keterangan pegawai PT

BMH dan petugas Dinas

Kehutanan Provinsi

Sumatera Selatan juga

tidak memberikan

informasi yang sama

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 39 dari 51 Halaman

mengenai jumlah menara

api yang ada.

a. Berita Acara (berdasarkan pemeriksaan 22-23 Oktober 2014 dan 17 Desember 2014): tidak ada menara pemantau api.

b. Keterangan Ahli Penggugat: tidak ada menara pemantau api

c. Keterangan pegawai PT BMH: 1 menara pengawas untuk Distrik Sungai Biyuku dan 6 menara pengawas untuk keseluruhan luas areal PT BMH.

d. Keterangan Pegawai Dinas Provinsi Sumatera Selatan: 4 menara api untuk masing-masing distrik.

Luas areal konsesi PT

BMH adalah 250.370 hektar atau 2503.7 kilometer, sehingga jumlah menara api pengawas yang dimiliki adalah 500. Jumlah ini memadai baik dari berita acara verifikasi lapangan ataupun berdasarkan keterangan dari PT BMH dan pegawai Dinas Kehutanan Provinsi

Sumatera Selatan.

KepDirjen PHPA

248/1994

Sekat Bakar/jalur hijau Tidak ditemukan

keterangan mengenai

ketersediaan sekat

bakar/jalur hijau.

3. Unsur kerugian

- Pertama, telah terjadi kerugian lingkungan hidup akibat

kebakaran yang terjadi di tanah gambut. Kerugian lingkungan

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 40 dari 51 Halaman

hidup adalah kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau

perusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik

privat.55 Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 1 angka 10 PP 4/2001

bahwa Pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan

kebakaran hutan dan/atau lahan adalah masuknya makhluk

hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan

hidup akibat kebakaran hutan dan/atau lahan sehingga kualitas

lingkungan hidup menjadi turun sampai ke tingkat tertentu yang

menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai

dengan peruntukannya. Sedangkan kerusakan lingkungan hidup

berdasarkan Pasal 1 angka 9 PP 4/2001 didefinisikan sebagai

perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan

atau hayatinya yang mengakibatkan hutan dan/atau lahan tidak

berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang

berkelanjutan. Kemudian pada Lampiran PP 4/2001 dijelaskan

pula kriteria baku kerusakan tanah mineral maupun gambut

akibat kebakaran yang dapat dijadikan acuan dalam membuktikan

keberadaan kerusakan.

- Persoalan metode dan kerugian yang telah muncul tidak

meniadakan fakta bahwa kebakaran di areal konsesi PT BMH

telah menimbulkan kerugian lingkungan hidup. Dalil kerugian

dari kebakaran yang digunakan oleh KLHK, meliputi kerugian

ekologis, kerugian akibat hilangnya keanekaragaman hayati,

kerugian akibat lepasnya karbon, dan kerugian ekonomis.

Pertimbangan hakim tingkat pertama pada pokoknya

mempersoalkan mengenai metode sampling yang dilakukan oleh

KLHK dan metode perhitungan ganti kerugian atas kerugian yang

didalilkan PT BMH.

Sementara itu, dalam penentuan ganti kerugian pada sengketa

perdata, biasanya hakim tidak terikat pada peraturan perundang-

undangan, melainkan diserahkan kepada kebijaksanaan hakim

menurut keadilan (ex aequo et bono; naar redelijkheid en billijkheid

atau in goede justice). Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung

Indonesia dalam putusan R. Soegijono v. Walikota Kepala Daerah

Tingkat II Kota Madya Blitar No 610K/Sip/1968 tanggal 23 Mei

1970, memuat pertimbangan sebagai berikut:56

“ meskipun tuntutan ganti kerugian jumlahnya dianggap tidak

pantas, sedang penggugat mutlak menuntut sejumlah itu, hakim

55

Penjelasan Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

56 Chidir Ali, Yurisprudensi Indonesia tentang Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Mahkamah

Agung, 1970) hlm. 21 sebagaimana dikutip oleh Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta:

Pascasarjana FHUI, 2003), hlm. 73

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 41 dari 51 Halaman

berwenang untuk menetapkan berapa sepantasnya harus

dibayar, hal ini tidak melanggar pasal 178 ayat (3) HIR.”

Namun, untuk sengketa lingkungan hidup, telah ada pedoman

untuk penghitungan ganti kerugian, yakni di dalam Peraturan

Menteri Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014 tentang Kerugian

Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan

Lingkungan Hidup (Peraturan Menteri LH No. 7 Tahun 2014).

4. Unsur kausalitas antara kesalahan dengan kerugian.

- Pertimbangan majelis hakim dengan menjadikan kausalitas antara

perbuatan dengan niat yang kemudian disimpulkan sebagai

kausalitas antara kesalahan dan kerugian sebagai unsur dari

perbuatan melawan hukum adalah keliru karena baik dalam Pasal

1365 KUHPer maupun Pasal 87 UU PPLH, unsur kausalitas yang

dimaksud adalah kausalitas antara kesalahan dengan kerugian

yang timbul.

- Kausalitas antara kesalahan dengan kerugian yang muncul akibat

kebakaran dapat dilihat dari:

a. Pengetahuan atas Resiko Kegiatan

Pada jawaban PT BMH dalam kasus aquo diakui bahwa areal

konsesi yang dikelolanya adalah lahan gambut yang sudah

terdegradasi sebagai akibat kebakaran pada tahun 1997/1998,

yang juga seharusnya disadari memiliki risiko sangat tinggi

terhadap lingkungan hidup. Sebagaimana selayaknya diketahui

oleh PT BMH bahwa areal konsesi yang dikelola oleh PT BMH

adalah lahan gambut (setidaknya sebagian besar lahan gambut

dan sebagian kecil lahan mineral) memiliki risiko tinggi terhadap

lingkungan hidup. PT BMH seharusnya dapat menduga bahwa

potensi kebakaran pada tahun-tahun berikutnya akan semakin

besar karena lahan gambut yang dikelola untuk hutan tanam

industri PT BMH semakin mengering karena kebakaran (dari

tahun-tahun sebelumnya) dan penerapan sistem drainase pada

lahan gambut berupa kanalisasi yang tujuannya memang untuk

mengurangi kadar air pada lahan tersebut.

b. Terjadinya Kebakaran di Areal Konsesi Tergugat

Kasus kebakaran aquo menunjukan kegagalan penerapan

kehati-hatian dalam pengelolaan di atas lahan gambut (atau

setidak-tidaknya sebagian besar adalah lahan gambut dan

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 42 dari 51 Halaman

sebagian kecil adalah lahan mineral). Gambut yang terbakar

menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang

yang terbakar, sulit dipadamkan, dan apinya dapat merambat di

bawah permukaan sehingga menyebabkan kebakaran lahan

meluas tidak terkendali.57

Kegagalan penerapan prinsip kehati-hatian ini dapat dilihat dari

adanya kesalahan oleh PT BMH sehingga melanggar

kewajibannya untuk melindungi hutan, yaitu kewajiban untuk

melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran seperti

tidak tersedianya sarana dan prasarana sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Kebakaran

Kelalaian PT BMH dalam menjaga hutan telah menyebabkan

kebakaran hutan. Kebakaran hutan terjadi di tanah gambut

(atau sebagian besar di tanah gambut dan sebagian kecil di

tanah mineral). Kebakaran yang terjadi di tanah gambut telah

menimbulkan kerugian lingkungan hidup, seperti kerugian

akibat lepasnya karbon, hilangnya mikroorganisme yang

terkandung dalam tanah gambut, dan kerusakan tanah gambut.

Berdasarkan ketiga poin di atas (a-c), kausalitas antara perbuatan

dengan kerugian lingkungan terlihat dari kerugian lingkungan hidup

terjadi akibat kebakaran hutan yang terjadi di atas tanah gambut.

Sedangkan kebakaran hutan/ kemungkinan resiko terjadinya kebakaran

hutan adalah resiko yang mungkin timbul akibat dari kegiatan/ usaha

yang dilakukan oleh PT BMH di atas tanah gambut.

C. Bantahan terhadap Pembelaan yang Disampaikan oleh PT. BMH

Pada bagian huruf C ini, Sahabat Pengadilan akan menunjukan bahwa PT.

BMH dalam perkaranya melawan Menteri LHK telah menyampaikan

pembelaan-pembelaannya untuk menghindar dari pertanggungjawaban.

Sahabat Pengadilan setidaknya menemukan enam pembelaan yang

disampaikan oleh PT. BMH. Sahabat Pengadilan akan menyampaikan

bantahan terhadap enam pembelaan dari PT. BMH tersebut.

1. PT BMH Sudah Cukup Melakukan Usaha Pencegahan Kebakaran

Hutan dan Lahan Tidak Relevan dengan Dasar Pertanggungjawaban

Strict Liability.

57

Fahmudin Agus, I Made Subiksa, Lahan Gambut: Potensi Untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan,

(Bogor: Balai Penelitian Tanah dan World Agro Forestery Center, 2008)

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 43 dari 51 Halaman

Pembelaan ini disampaikan oleh PT. BMH dalam surat jawabannya

terhadap gugatan Menteri LHK.58 PT. BMH menyadari bahwa resiko di

dalam usaha Hutan Tanaman Industri adalah terjadinya kebakaran.

Menyadari adanya resiko tersebut, PT. BMH menyatakan telah

melakukan upaya-upaya seperti:

mempersiapkan alat-alat pemadam kebakaran;

membangung menara pemantau api;

membentuk tim pengendalian kebakaran hutan;

menerapkan peringatan dini dan deteksi dini;

menerapkan tata kelola air guna menjaga kelembaban gambut;

pemantauan lalu lintas dan aktifitas masyarakat di dalam dan

sekitar konsesi;

menerapkan Standard Operating Procedures Pengendalian

Kebakaran Hutan dan Lahan; dan

memberikan pelatihan pemadaman kebakaran secara berkala.

Daftar upaya di atas merupakan upaya pencegahan kebakaran lahan

yang didalilkan oleh Tergugat. Sahabat Pengadilan berpendapat bahwa

dalil tersebut tidak relevan dalam konteks pertanggungjawaban

mutlak. Pendapat Hakim Baldwin dalam kasus Michael Caporale et. al.

vs C. W. Blakeslee and Sons, Inc. (1961) bisa menjadi rujukan yang tepat

berkaitan dengan hal tersebut:59

“To impose liability without fault, certain factors must be present:

an instrumentality capable of producing harm; circumstances and

conditions in its use which, irrespective of a lawful purpose or

due care, involve a risk of probable injury to such a degree that the

activity fairly can be said to De intrinsically dangerous to the person

or property of others; and a causal relation between the activity and

the injury for which damages ari claimed.”

Bagian pendapat Hakim Baldwin yang Sahabat Pengadilan berikan

penebalan menunjukan bahwa apakah usaha dan/atau kegiatan

dilakukan selaras dengan hukum atau tidak bukanlah hal yang

dipertimbangkan dalam konteks pertanggungjawaban mutlak. Perihal

usaha dan/atau kegiatan dilakukan dengan hati-hati atau tidak, bukan

juga hal yang dipertimbangkan di dalam konteks pertanggungjawaban

mutlak. Dalam konteks pertanggungjawaban mutlak, meskipun tergugat

telah melakukan usaha dan/atau kegiatannya dengan hati-hati, tergugat

tetap bertanggung jawab karena telah melakukan kegiatan yang

menimbulkan ancaman serius dan oleh karenanya menimbulkan

kerugian lingkungan hidup.

58

Hal ini misalnya terlihat di dalam poin huruf C dari surat jawaban Tergugat. Di dalam poin huruf C

tersebut Tergugat mendalilkan bahwa “Tergugat Senantiasa Mengupayakan Sistem Pengelolaan Lingkungan

Termasuk Antisipasi dan Penanganan Kebakaran”. Lihat dalam: Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs

PT. BMH, Putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 34.

59 Andri G. Wibisana, op. cit., hal. 44.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 44 dari 51 Halaman

Dalam konteks PMH, Sahabat Pengadilan menyarankan agar Majelis

Hakim mempertimbangkan hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan

oleh Tim Lapangan bersama dengan PT. BMH pada tanggal 22 – 23

Oktober dan 17 Desember 2014. Berdasarkan pada hasil pemeriksaan

lapangan tersebut, diketahui bahwa sarana dan prasarana pengendalian

kebakaran di Distrik Simpang Tiga (salah satu distrik PT. BMH) sangat

minim atau tidak memadai untuk mengantisipasi kebakaran secara

wajar. Dalam distrik tersebut tidak ditemukan adanya menara pengawas

api, papan peringatan sangat terbatas, alat pompa pemadam Shibaura

hanya berjumlah empat buah, alat pompa pemadam Tohatsu hanya ada

dua buah, Ministriker dua buah, dan gudang penyimpanan peralatan

yang tidak memadai.

Hasil pemeriksaan lapangan tersebut cukup untuk membantah

pembelaan PT. BMH terkait upayanya melakukan pencegahan terjadinya

kebakaran lahan. Hasil pemeriksaan lapangan tersebut cukup kuat

dikarenakan dua hal: Pertama, pemeriksaan lapangan dilakukan

berdekatan dengan waktu terjadinya kebakaran lahan, sehingga cukup

valid untuk mengetahui keadaan sarana dan prasarana pada saat

terjadinya kebakaran lahan; kedua, pemeriksaan lapangan dilakukan

bersama dengan pihak dari PT. BMH sehingga cukup beralasan untuk

menilai bahwa pemeriksaan lapangan tersebut dilakukan dengan

objektif. Maka dari itu, baik dari sisi pertanggungjawaban mutlak

maupun PMH, pembelaan telah dilakukannya upaya pencegahan

kebakaran lahan oleh PT. BMH telah terbantahkan.

2. Pembelaan PT BMH yang telah Memiliki Sertifikat PHPL yang

Menyatakan Pengelolaan Usahanya Telah Baik Belum Tentu Relevan

PT. BMH di dalam surat jawabannya menyampaikan juga pembelaannya

dengan mendalilkan bahwa PT. BMH merupakan pemegang sertifikat

Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL).60 Hal tersebut menunjukan

bahwa PT. BMH dalam melaksanakan usahanya senantiasa

memperhatikan panduan usaha yang baik (sesuai best practice

kehutanan).61 Lebih jauh lagi, PT. BMH mendalilkan bahwa sertifikat

tersebut menunjukan adanya pengakuan bahwa PT. BMH melakukan

usaha dan/atau kegiatannya secara tertib hukum.62

Sahabat Pengadilan memiliki argumen yang membantah pembelaan

tersebut. Sertifikat PHPL yang dimiliki oleh PT. BMH tidak menjamin

bahwa PT. BMH telah memiliki sarana dan prasarana yang memenuhi

60

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No.

24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 31.

61 Ibid.

62 Ibid.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 45 dari 51 Halaman

standar pada saat kebakaran lahan terjadi. Hal ini dikarenakan

pemberian sertifikat PHPL tidak dilakukan setiap tahun sehingga

perkembangan sarana dan prasarana pencegahan kebakaran lahan

tidak terekam dalam rentang waktu yang ketat.

Hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh Tim Lapangan dari

KLHK bersama dengan ahli, Polri, dan PT. BMH sendiri lebih

memberikan fakta yang relevan dengan waktu terjadinya kebakaran

lahan dibandingkan dengan sertifikat PHPL yang dimiliki oleh PT. BMH.

Maka dari itu, sertifikat PHPL yang dimiliki oleh PT. BMH menjadi tidak

relevan dan terbantahkan sebagai pembelaan yang disampaikan oleh PT.

BMH.

3. Alasan PT BMH Mengeluarkan Biaya Pembukaan Lahan Tanpa Bakar

Tidak Relevan dalam Konteks Pertanggungjawaban Berdasarkan

Perbuatan Melawan Hukum

PT. BMH juga menyampaikan pembelaannya dengan menunjukan

bahwa PT. BMH telah mengeluarkan biaya yang besar untuk melakukan

Persiapan Lahan Tanpa Bakar (PLTB).63 Selain itu, PT BMH mendalilkan

juga bahwa PT. BMH telah mengeluarkan biaya yang besar untuk

pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang ditujukan untuk

menanggulangi terjadinya kebakaran.64

Sahabat Pengadilan berpendapat bahwa pembelaan tersebut jika

diletakkan dalam konteks PMH tetap dapat terbantahkan. Hal ini

mengingat dalam konteks PMH dikenal adanya unsur kesalahan secara

objektif. Kesalahan secara objektif bisa berarti pelanggaran yang

dilakukan oleh Tergugat baik terhadap kewajiban maupun larangan.

Menurut Agustina, kesalahan secara objektif dianggap ada apabila

pelaku melakukan perbuatan secara lain dari apa yang seharusnya ia

lakukan.65

PT. BMH dalam konteks PMH telah melakukan kesalahan objektif

dengan melanggar kewajiban pemenuhan sarana dan prasarana

pencegahan kebarakan hutan dan lahan yang sesuai dengan standar

yang berlaku. Standar sarana dan prasarana tersebut berperan sebagai

reasonable care yang harus dipenuhi oleh PT. BMH sebagai pemenuhan

kewajibannya. Fakta bahwa PT. BMH telah mengeluarkan biaya untuk

Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) menjadi tidak relevan untuk

63

Dalil ini disampaikan PT. BMH dalam surat jawabannya di bagian huruf E yang diberi subjudul:

“Kebakaran pada Areal Konsesi Tergugat Menimbulkan Kerugian Bagi Pihak Tergugat”. Lihat dalam: Ibid. hal.

36.

64 Ibid., hal. 37.

65 Rosa Agustina, op. cit., hal. 47

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 46 dari 51 Halaman

dijadikan pembelaan mengingat di sisi lain PT. BMH melakukan

pelanggaran kewajiban juga. Jadi pembelaan tersebut menjadi

terbantahkan.

4. Alasan PT BMH yang Menyatakan bahwa Upaya Pencegahan Sudah

Dilakukan Namun Sulit Dilakukan Pengendalian/ Pencegahan

Karena Faktor El-Nino Tidak Dapat Dijadikan Pembelaan karena

terdapat Kontribusi dari PT BMH.

- Pembelaan melalu faktor alam harus memenuhi kriteria:

a. tidak dapat diperkirakan (Unforeseeable)

b. bencana alam yang luar biasa (Extraordinary/Grave)

c. tidak ada kontribusi dari manusia

Berdasarkan KepDirjen No 243 tahun 1994 dan KepDirjen

247/1994, PT BMH memiliki kewajiban untuk memanfaatkan

informasi penerbangan, data cuaca, dan data satelit pada areal

pengusahaannya. Tingkat kemungkinan terjadinya bahaya kebakaran

berdasarkan hasil penelitian ataupun pengalaman jangka panjang.

BMKG telah memberitakan informasi perkiraan terjadinya El-Nino

pada tahun 2014 yang dapat diakses melalui link berikut:

<http://www.bmkg.go.id/bmkg_pusat/lain_lain/artikel/Sejarah_Dam

pak_El_Nino_di_Indonesia.bmkg>

- Dalih bencana alam pernah diuji secara baik oleh pengadilan di

Indonesia. Dalam hal ini, pengadilan menolak dalih bencana alam

apabila tergugat berkontribusi dalam terjadinya kerugian. Dalam

Kasus Mandalawangi (2003), dalih bencana alam yang diajukan oleh

tergugat telah ditolak oleh pengadilan. Salah satu alasan pengadilan

adalah bahwa wilayah hutan dengan kemiringan Gunung

Mandalawangi seharusnya tetapkan hutan lindung, dan tidak bisa

diubah menjadi kawasan pemanfaatan. Secara khusus, pengadilan

menyatakan bahwa longsor penyebab kerugian penggugat terjadi

antara lain adanya “kerusakan/pencemaran lingungan…pemanfaatan

tanah tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukannya sebagai

kawasan lindung...”66 Dengan demikian, kegiatan tergugat dalam

mengelola hutan, dianggap telah berkontribusi dalam terjadinya

kerugian (longsor), sehingga menghapuskan faktor alam, berupa

curah hujan yang tinggi dan banjir bandang sebagai penyebab

terjadinya kerugian.67

5. Alasan PT BMH yang Menyatakan bahwa Pemerintah Tidak Membuat

Peraturan Perihal Sarana dan Prasarana Pencegahan Kebakaran

66

PN Bandung, Putusan No 49/Pdt.G/2003/PN.Bdg, Dedi, dkk, vs. Direksi Perum Perhutani cq. Kepala

Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, skk (2003), hlm. 94

67 Andri G Wibisana, Op.Cit., hlm 60

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 47 dari 51 Halaman

Hutan dan Lahan Tidak Dapat Dijadikan Pembelaan untuk Lepas dari

Tanggung Jawab.

Alasan PT BMH yang menyatakan bahwa Pemerintah tidak membuat

pengaturan/standar perihal sarana dan prasarana pencegahan

kebakaran hutan dan/atau lahan tidak dapat dijadikan pembelaan

karena:

- Syarat yang dapat dijadikan alasan bahwa adanya kontribusi

Pemerintah dalam kebakaran hutan dan/atau lahan tidak terpenuhi

karena:

a. PT BMH adalah pihak yang memiliki kontrol aktual terhadap

usaha dan/atau kegiatan di atas areal konsesi; dan68

b. Pemerintah telah membuat peraturan teknis untuk pencegahan

dan penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan.

- Pemerintah sudah memiliki peraturan teknis mengenai

pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan/atau

lahan. Peraturan teknis yang mengatur mengenai kewajiban

penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terdapat dalam

Keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian

Alam No. 243/Kpts/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan

dan Penanggulangan Kebakaran Hutan di Areal Pengusahaan Hutan

dan Areal Penggunaan Lainnya, Keputusan Direktorat Jenderal

Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Pelestarian Alam No

247/Kpts/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Standarisasi Sarana

Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan, dan Keputusan

Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No.

248/Kpts/DJ-VI/1994 tentang Prosedur Tetap Pencegahan dan

Penanggulangan Kebakaran Hutan.

6. Alasan PT BMH bahwa Kerugian Yang Terjadi Disebabkan oleh Pihak

Ketiga Tidak Dapat Dijadikan Pembelaan karena adanya Kewajiban

PT BMH untuk Mencegah Terjadinya Perbuatan Pihak Ketiga dan

Usaha/Kegiatan PT BMH adalah kegiatan yang sangat berbahaya

- Terkait pembelaan perbuatan pihak ketiga sebagai alasan untuk

melepaskan diri dari pertanggungjawaban, Von Bar menyatakan

bahwa dalih perbuatan pihak ketiga hanya akan diterima oleh

pengadilan apabila tergugat tidak berada dalam kewajiban untuk

68

Lihat juga tata hubungan kerja dalam Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan

Pelestarian Alam No 243/Kpts/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan dan Penanggulangan

Kebakaran Hutan di Areal Pengusahaan Hutan dan Areal Penggunaan Lainnya . Dalam melaksanakan tugas di

lapangan regu/SATGASDAMKARHUT berada di bawah perintah Manager Camp Hak Pengusahaan Hutan

Tanaman Industri yang bersangkutan.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 48 dari 51 Halaman

mencegah terjadinya kerugian, termasuk kemungkinan munculnya

kerugian karena perbuatan pihak ketiga.69

- PT BMH berdasarkan UU 41/1999, PP 45/2004, PP 4/2001, memiliki

kewajiban untuk (1) melindungi hutan yang ada di areal konsesinya

dan (2) menjaga arealnya dari kebakaran/ kemungkinan terjadinya

kebakaran. Oleh karena PT BMH memiliki kewajiban untuk

mencegah terjadinya kebakaran akibat perbuatan pihak ketiga, maka

dalih perbuatan pihak ketiga akan ditolak dan tergugat tetap harus

bertanggung jawab.

- Selain itu, Koch mengaitkan dalih perbuatan pihak ketiga dengan

sifat dan resiko sebuah kegiatan. Menurutnya, dalih perbuatan pihak

ketiga tidak dapat diterima, jika usaha atau kegiatan pelaku usaha

adalah kegiatan yang sangat berbahaya atau menimbulkan ancaman

serius, kecuali perbuatan pihak ketiga telah mengubah kerugian

menjadi sesuatu yang berbeda di luar resiko kegiatan/usaha

Tergugat.70

Usaha/kegiatan PT BMH di atas tanah gambut tergolong memiliki

resiko tinggi atau ancaman yang serius sehingga usaha/kegiatan PT

BMH termasuk dalam kegiatan wajib yang memiliki AMDAL. Pasal 22

ayat (2) UU PPLH mengategorikan kegiatan yang wajib memiliki

AMDAL sebagai usaha/kegiatan yang berdampak penting

berdasarkan kriteria:

1. Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana

usaha dan/atau kegiatan;

2. Luas wilayah penyebaran dampak;

3. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;

4. Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena

dampak;

5. Sifat kumulatif dampak; dan

6. Berbalik atau tidak berbaliknya dampak.

69

Andri G. Wibisana, Ibid, hlm 62

70 Andri G. Wibisana, hlm 62-63. Lihat Bernhard A. Koch, “Chapter 7: Defences in General”, dalam:

European Group on Tort Law, Principles of European Tort Law: Text and Commentary (Wina: Springer, 2005),

hal. 129.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 49 dari 51 Halaman

KELIMA

Kesimpulan

1. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dalam memeriksa dan

mengadili sengketa lingkungan hidup, hendaknya menerapkan

precautionary principle dan asas in dubio pro natura.

2. Terkait dengan tanggung jawab hukum PT BMH:

a. PT. BMH dapat ditetapkan sebagai pihak yang bertanggungjawab

dengan dasar pertanggungjawaban mutlak. Usaha dan/atau kegiatan

Hutan Tanaman Industri yang dilakukan oleh PT. BMH telah

memenuhi unsur “menimbulkan dampak serius terhadap lingkungan

hidup sehingga dasar pertanggungjawaban mutlak dapat digunakan.

Unsur “kerugian” dan juga unsur “hubungan kausalitas antara

kerugian dengan usaha dan/atau kegiatan Tergugat” juga telah

terpenuhi.

b. PT BMH dapat dikenakan tanggung jawab berdasarkan Perbuatan

Melawan Hukum. Unsur perbuatan melawan hukum itu sendiri

adalah dengan adanya kelalaian PT BMH untuk melaksanakan

kewajibannya (breach of duty) untuk melindungi hutan dari

kebakaran hutan. Unsur kesalahan sendiri sudah terpenuhi dengan

terpenuhinya unsur melawan hukum, yaitu pelanggaran atas

peraturan perundang-undangan. Unsur kausalitas antara perbuatan

dengan kerugian lingkungan sendiri terlihat dari kerugian lingkungan

hidup terjadi akibat kebakaran hutan yang di atas tanah gambut.

Sedangkan kebakaran hutan/ kemungkinan resiko terjadinya

kebakaran hutan adalah resiko yang memiliki kemungkinan besar

timbul akibat dari kegiatan/ usaha yang dilakukan oleh PT BMH di

atas tanah gambut. Meskipun demikian, usaha/ kegiatan di atas

tanah gambut adalah usaha dengan resiko tinggi untuk kembalinya

terjadi kebakaran, sehingga dalam peraturan perundang-undangan

sendiri mengarahkan pertanggungjawaban pada strict liability.

3. Enam pembelaan yang disampaikan oleh PT. BMH dalam pengadilan

tingkat pertama merupakan pembelaan yang tidak relevan untuk

menghindarkan PT. BMH dari pertanggungjawaban. Enam pembelaan

tersebut bisa dipisahkan menjadi dua bagian. Pertama, pembelaan yang

berasal dari upaya PT. BMH sendiri yaitu:

a. Tergugat sudah cukup melakukan usaha pencegahan kebakaran

hutan dan lahan. Pembelaan ini tidak relevan baik dari sisi dasar

pertanggungjawaban mutlak maupun dari sisi dasar

pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan atau PMH;

b. Tergugat telah memiliki sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari

(PHPL) yang menyatakan pengelolaan usahanya telah baik.

Pembelaan ini tidak relevan mengingat bukan fakta yang

berhubungan dengan peristiwa kebakaran. Selain itu, pemberian

sertifikat PHPL tidak dilakukan setiap tahun, sehingga tidak dapat

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2016

Halaman 50 dari 51 Halaman

merekam keadaan sarana dan prarana pencegahan kebakaran hutan

dan/atau lahan pada saat terjadinya kebakaran hutan dan/atau

lahan pada tahun 2014;

c. Tergugat telah mengeluarkan biaya pembukaan lahan tanpa bakar.

Pembelaan ini tidak relevan juga mengingat unsur kesalahan di

dalam PMH bisa dalam bentuk kesalahan objektif. Dari sisi

kesalahan objektif, PT. BMH tetap melakukan kesalahan objektif

dengan melanggar kewajiban pemenuhan sarana dan prasarana

pencegahan kebakaran hutan dan/lahan yang sesuai dengan standar

yang berlaku. Fakta PT. BMH telah mengeluarkan biaya untuk

melakukan pembukaan lahan tanpa bakar tidak menghapus bentuk

kesalahan objektif tersebut. Sehingga pembelaan ini tidak relevan

untuk melepaskan PT. BMH dari pertanggungjawaban.

Kedua, pembelaan PT. BMH dengan cara melemparkan kesalahan

kepada pihak lain, yang terdiri dari:

a. Upaya pencegahan sudah dilakukan namun sulit karena adanya

faktor El Nino;

b. PT. BMH menyatakan bahwa Pemerintah tidak membuat peraturan

perihal sarana dan prasarana pencegaan karhutla;

c. PT. BMH menyatakan bahwa terjadinya kerugian disebabkan oleh

pihak ketiga (sumber kebakaran berasal dari luar konsesi PT. BMH)

tidak memenuhi persyaratan untuk lepas dari tanggung jawab

hukum karena:

1. Kegiatan/ usaha di atas tanah gambut memiliki resiko tinggi (dan

sudah diketahui oleh PT BMH mengenai resiko tersebut), sehingga

PT BMH berkontribusi kebakaran hutan dan/atau lahan yang

terjadi.

2. PT BMH merupakan pihak yang memiliki kontrol aktual atas area

kebakaran hutan.

3. Perkiraan El Nino sudah diinformasikan oleh BMKG dan sudah

ada sejarah dan pengetahuan umum bahwa kemungkinan

terjadinya kebakaran sangat besar, sehingga PT BMH seharusnya

menyadari resiko terjadinya kebakaran yang sangat besar.

4. Pemerintah telah memiliki aturan teknis mengenai pengendalian

dan penanggulangan kebakaran hutan sebagai turunan dari

kewajiban hukum PT BMH untuk melindungi hutan dan

melindungi areal konsesinya dari kebakaran hutan dan/atau

lahan.

==//==