Al Jarh Wa Ta'dil

Embed Size (px)

Citation preview

Al Jarh Wa Tadil(Konsep Urgensi: Obyek Kajian, Metode dan Contoh-contohnya) Makalah ini disusun untuk memenui tugas Matakuliah Studi Al Hadits: Teori dan Metodologi Dosen Pengampu: Dr. Hj. Marhumah, M. PdDisusun oleh: Rifai Kusuma Nurudin (1220411189)PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2012 1A. Pengertian Al Jarh secara etimologis merupakan bentuk mashdar,1 dari katayang berarti seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai denganmengalirnya darah dari luka itu.2 Al Jarh secara terminologis berarti munculnya suatu sifat dari dalam perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatannya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya.3 Dalam pengertian yang lain, lafadz Jarh menurut muhadditsin ialah riwayat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan kehafalannya.4 Dalam buku Metodologi Ilmu Rijalil Hadits karya Suryadi, scara terminologis al jarh didefinisikan oleh Muhammad Ajjaj Al Khathib sebagai:5 Munculnya sifat dari dalam perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatannya atau lemah atau bahkan tertolak riwayatnnya Sedang kata At Tajrh berarti:6 Mensifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan lemahnya periwayatan atau tidak diterimanya riwayat yang disampaikannya1 Ahmad Warson Munawwir, Al Mnawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 180 2 Muhammad Ajaj Al Khathib, Ushul Al Hadits, Penerjemah: H. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 233 3 Ibid..., hlm. 233 4 Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT Al Maarif, 1995), hlm. 268 5 Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadits, (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikamah, 2003), hlm. 27 6 Ibid..., hlm. 28Tadil berasal dari kata al adl, secara etimologis berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus, merupakan lawan dari lacur. Orang adil berarti yang diterima kesaksiannya. Tadil dalam diri seseorang berarti menilainya dengan positif.7 Dalam bukunya Metodologi Ilmu Rijalil Hadits, Suryadi menyebutkan arti etimologi al adl adalah:8 Sesuatu yang terdapat dalam jiwa, bahwa sesuatu itu lurus Sedangkan secara terminologis adalah:9 Orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan muruah (keperwiraanya), sehingga khabar dan kesaksiannya bisa diterima, apabila dipenuhi syarat-syarat yang lain Sedangkan secara terminologis bermakana:10 Mensifati perawi dengan sifat-sifat yang baik, sehingga tampak jelas keeadilannya dan karenanya riwayat yang disampaikan dapat diterima Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas, IlmuAl Jarh Wa Tadil berarti: Ilmu yang membahas hal ihwal para perawi hadits dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka117 Muhammad Ajaj Al Khathib, Ushul Al Hadits..., hlm. 233 8 Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadits, ....., hlm. 28 9 Ibid..., hlm. 29 10 Ibid..., hlm. 29 11 Ibid..., hlm. 303Ilmu ini merupakan ilmu hadits yang terpenting, teragung posisinya dan terluas pengaruhnya. Karena dengan ilmu ini, dapat dibedakan yang shahih dari yang cacat, yang diterima dari yang ditolak, karena masing-masing tingkatan jarh dan tadil memiliki akibat hukum yang berbeda-beda.12 Dengan kata lain, dengan ilmu inilah dapat diketahui apakah hadits itu dapat diterima atau tertolak.B. Faidah Ilmu Jarh dan Tadil Faedah dari ilmu ini secara garis besar adalah dapat diketahui ciri-ciri perawi yang hadits-hadits riwayatannya dapat di terima maupun ditolak. Fatchur Rahman 13 mengatakan bahwa faidah mengetahui ilmu al jarh wa tadil adalah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagai perawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang perawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatnnya diterima, selama syarat-syarat yang lainu ntuk menerima hadits dipenuhi.14C. Sejarah Perkembangan Ilmu Al jarh Wa Tadil Sama dengan ilmu tarih ar ruwah, sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu al jarh wa tadil seiring dan sejalan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan periwayatan hadits, karena bagaimanpun juga untuk memilah dan memilih hadits-hadits shahih melewati penelitian terhdap rawi-rawi dalam sanadnya, yang pada akhirnya memungkinkan untuk membedakan antara hadits yang maqbul dan dang yang mardud.15 Embrio praktek men-jarh dan men-tadil sudah tampak pada masa Rasulullah saw yang beliau contohkan sendiri secara langsung dengan mencela bisa akh al asyiroh dan pula pernah memuji shahabat Khalid bin Walid dengan sebutan:1612 Muhammad Ajaj Al Khathib, Ushul Al Hadits..., hlm. 233 13 Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits.., hlm. 268 14 Ibid., hlm 268 15 Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadits, ....., hlm. 30 16 Ibid..., hlm. 30 Sebaik-baik hamba Allah SWT adalah Khalid bin walid. Dia adalah pedang dari sekian banyak pedang Allah SWT. Selain dari riwayat-riwayat yang kit peroleh dari Rasulullah saw tentang al jarh wa tadil ini, banyak pula kita menemukan pandangan dan pendapat para shahabat. Kita dapat menemukan banyak kasus dimana shahabat yang satu memberikan penilaian terhadap shahabat lainnya dalam kaitannya sebagai perawi hadits. Keadaan demikian berlanjut dan dilanjtkan oleh tabiin, atba tabiin, serta para pakar ilmu Hadits selanjutnya. Dalam hal ini mereka menerangkan keadaan para rawi semata-mata dilandasi semangat religius dan mengharap keridhaan Allah SWT, maka apa yang mereka katakan tentang kebaikan maupun kejelekan seorang rawi akan mereka katakan dengan sebenarnya, tanpa tenggang rasa, meski yang dinilai negatif adalah keluarganya.17 Adapun contoh-contohnya yaitu Syubah bin Al Hajjaj (82-160 H) pernah ditanya tentang hadits yang diriwayatkan oleyh Hakim bin Jubair. Subah yang dikenal keras pada pendusta hadits berujar . Karena ketegasandan keteguhan inilah yangmenjadikan Asy Syafii berkomentar:18 Seandainya tidak ada syubah niscaya hadits tidak dikenal di Iraq Contoh berikutnya yakni, suatu kali pernah seorang laki-laki bertanya kepada Ali Al Madini tentang kualitas ayahnya. Ali hanya berujar: tanyalah kepada orang lain. Orang yang bertanya ternyata masih menginginkan jawaban Ali AlMadini sendiri, sehingga ia tetap mengulang-ulang pertanyaannya. Setelah menundukkan kepala sejenak lalu mengangkatnya kembali, Ali berujar:19 17 Ibid..., hlm. 31 18 Ibid..., hlm. 31 19 Ibid..., hlm. 325Ini masalah agama, Dia (ayah Ali Al Madini) itu dhaif (lemah).D. Kritikus-kritikus Terkemuka Dari kalangan tabiin, kritikus-kritikus terkemuka adalah Muhammad ibn Sirrin ( 110 H) dan Amr Asy Sayabiy (19 103 H). Sesudah mereka, yang terkemuka adalah Syubah ibn Al Hajjaj (82 160 H) dan Malik ibn Anas (93 179 H). Namun selain keduannya juga masih banyak. Setelah itu muncul generasi-generasi berikutnya. Di antara yang terkemuka adalah Sufyan ibn uyainah (107 198 H) dan Abdurrahman ibn Mahdiy (135 198 H). Setelah itu muncul tokoh terkemuka, sperti Yahya ibn Main (158 233 H) yang dikenal dengan Imam Al Jarh wa Tadil pada masanya, Imam Ahmad ibn Hanbal (164 241 H) dan Ali ibn Abdullah Al Madiniy (161 234 H). Selanjutnya muncul generasi-generasi berikutnya. Yang terkemuka antara lain Muhammad ibn Ismail Al Bukhari (194 256 H), Abu Hatim Muhammad ibn Idris Al Raziy (195 277 H), Abu Zurah Ubaidillah ibn Abdul karim Ar Raziy (200 264 H) dan lain-lain pada generasi selanjutnya.20E. Metode 1. Rawi yang jarh Muhammad Ajaj Al Khathib dalam bukunya yang berjudul Ushul Al Hadits, menyebutkan kriteria-kriteria rawi yang terkena Jarh, yaitu sebgai berikut: a. Rawi yang Tidak Dikenal (Al Majhul) Menurut Ahli Hadits Perawi yang tidak dikenal bahwa dirinya adalah seorang perawi, maka hadits riwayatannya tidak bisa diterima. Namun, bila ada dua atau lebih orang yang tsiqoh mengakui telah mengenal perawi tersebut maka riwayatan perawi hadits tersebut bisa diterima. Sedangkan menurut ibn Abdul Barr, setiap orang yang populer dalam selain hadits, seperti kezuhudannya atau yang sejenisnya,20 Muhammad Ajaj Al Khathib, Ushul Al Hadits..., hlm. 238maka dia tidak dikatakan majhul, sehingga hadits yang diriwayatkan darinya bisa diterima. 21 b. Rawi yang Mastur (Tidak Dikenal Hal-hwalnya) Perawi yang tidak dikenal hal-ihwalnya, maka hadits riwayatnnya tidak bisa dinilai secara tegas diterima atau ditolak sampai ada kejelasan (hal-ihwal) dirinya. Pendapat ini menurut ibn Hajar dan merupakan pendapat yang baik.22 c. Rawi dari orang lain (yang belum jelas keaadilannya) Pendapat mengenai periwayatan seorang adil dari syeikh atau orang lain. Apakan periwayatnnya itu merupakan pentadilan terhadap syeikh tersebut? Ada tiga pendapat: pertama, periwayatan itu bukan pentadilan karena perawi yang adil kadang-kadang meriwayatkan dari perwai yang tidak adil. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama hadits. Kedua, periwayatan itu merupakan pentadilan sebab awi adil bila mengetahui jarh pada orang lain yang diambil haditsnya tentu akan menjelaskannya. Ketiga, bila kebiasaan perawi adil itu dari orang tsiqot saja maka merupakan pentadilan. Bila tidak maka bukan pentadilan. Inilah pendapat yang terpilih menurut ulama ushul dan sebagian Imam Hadits.23 d. Rawi Mubham (Tidak Disebut Namanya) Dalam menjelaskan perawi mubham ini dibagi menjadi dua: pertama, perawi yang menyebutkan perawi sebelumnya dengan tidak jelas dan tegas bahwa perawi sebelumnya itu sangat layak untuk diterima haditsnya, maka dia tidak bisa diterima riwayatan haditsnya. Kedua, bila disebutkan perawi sebelumnya dengan tegas dan percaya sehingga menjadikan pentadilannya sah, maka haditsnya menjadi diterima sebab pentadilannya itu. Yang shahih adalah pendapat yang pertama.24 Adapun pernyataan mujtahid seperti Imam Syafii, Imam Ahmad dan lain21 Lihat Muhammad Ajaj Al Khathib, Ushul Al Hadits, Penerjemah: H. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 242 22 Ibid..., hlm. 242 23 Ibid..., hlm. 243 24 Ibid..., hlm. 2437lain. Telah meriwayatkan kepadaku perawi yang tsiqat atau senada dengan itu, maka sudah cukup bagi penganut madzhab tersebut untuk menerima hadits sebagai dasar hujjah dalam madzhab tersebut saja dan tidak untuk madzhab ataupun orang selain penganut madzhab tersebut.25 e. Rawi yang Bidah1) Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa rawi yangbidah maka mutlak tidak bisa diterima periwayatannya. Pendapat ini dari Imam Malik.262) Meski telah melakukan bidah, periwayatan seorang rawimasih dapat diterima dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Pertama, bila bidahnya membuatnya kafir maka riwayatannya tidak bisa diterima. Kedua, bila bidahnya tidak membuatnya kafir maka riwayatannya bisa diterima dengan syarat dia tidak menyebar luaskan bidahnya atau tidak menghalalkan kedustaan dalam membela aliran (bidah) nya. Akan tetapi, bila dia menyebar luaskan bidahnya meskipun tidak membuatnya kafir, maka tetap tidak bisa diterima.27 f. Rawi fasiq yang bertaubat Perawi yang terkena jarh karena kefasiqannya meskipun telah bertaubat tetap tidak bisa diterima riwayatannya tersebut, pula dia wajib menggugurkan hadits-hadits yang telah diriwayatkan sebelum ia bertaubat.28 2. Rawi yang adil Dalam buku yang berjudul Ulumul Hadits karya Nuruddin, jumhur imam hadits dan fikih sepakat bahwa syarat orang yang dapat dipakai hujjah riwayatnya25 26 27 28 Ibid..., hlm. 243 Ibid..., hlm. 244 Ibid..., hlm. 244 Ibid..., hlm. 245hendaknya adil dan dhabith hadits yang diriwayatkannya. Adapun perincian keadilan dan ke-dhabith-an adalah sebagai berikut: a. Keadilan (al adalah) Faktor-faktor orang yang memiliki sifat al dalah yaitu:29 1) Beragama Islam. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: Dari saksi-saksi yang engkau ridhai (QS. Al Baqarah [2]: 2822) Baligh. Hal ini merupakan paradigma akan kesanggupanmemikul tanggung jawab mengemban kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang dilarang. 3) Berakal sehat. Sifat ini harus dimiliki oleh seorang periwayat agar dapat berlaku jujur dan berbicara tepat. 4) Takwa. Yaitu menjauhi dosa-dosa besar dan tidak membiasakan perbuatan dosa-dosa kecil.5) Berperilaku yang sejalan dengan muruah (harga diriyang agamis) serta meninggalkn hal-hal yang mengkin merusaknya, atau membersihkan diri dari perangaiperangai yang kurang baik.30b. Kuat hafalan (adh dhabith) Dengan sifat ini, seorang periwayat dapat meriwayatkan suatu hadits sesuai29 Nuruddin, Al Manhaj An Naqd Fii Umul Al Hadits, Penerjemah: Mujiyo, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 70 30 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra, 1998), hlm. 2059apa yang didengarnya. Yang dimaksud dhabith oleh muhadditsin adalahsikap penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat hafalan apabila hadits yang diriwayatkan berdasarkan hafalannya, benar tulisannya apabila hadits yang diriwayatkan berdasarkan tulisan, sementara apabila ia meriwayatkan hadits berdasarkan makna maka ia akan tahu persis kata-kata apa yang sesuai digunakan.31 3. Syarat-syarat dan tata-tertib ulama jarh wa tadil a. Syarat-syarat Seseorang ulama jarh wa tadil harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadikannya obyektif dalam upaya menguak karakteristik para periwayat. Syarat-syaratnya yakni sebagai berikut:32 1) Berilmu, bertakwa, wara, dan jujur. 2) Ia mengetahui sebab-sebab al jarh wa tadil. 3) Ia mengetahui penggunakan kata-kata bahasa Arab, sehingga suatu lafadz yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya, atau men-jarh dengan lafadz yang tidak sesuain dengan men-jarh. b. Tata-tata tertib Ada beberapa poin tata-tat tertib yang perlu diperhatikan oleh ulama al jarh wa tadil. Di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut:33 1) Bersikap adil dalm seorang tazkiyah, rawi sehingga ia tidak yangmeninggikandarimartabatsebenarnya dan tidak merendahan sebagaimana yang terjadi bagi kebanyakan manusia dewasa ini. 2) Tidak boleh jarh melebihi kebutuhan, karena jarh itu31 Nuruddin, Al Manhaj An Naqd Fii Umul Al Hadits ..., hlm. 71 32 Ibid...., hlm. 85 33 Ibid...., hlm. 87disyariatkan lantaran darurat, semntara darurat itu ada batasnya. 3) Tidak boleh hanya mengutip jarh saja sehubungan dengan orang yang dinilai jarh oleh sebagian kritikus tetapi dinilai adil oleh sebagian lainnya, karena sikap yang demikian merampas hak rawi yang bersangkutan dan para muhadditsin mencela sikap yang demikian.F. Pertentangan Jarh dan Tadil Suatu realitas yang benar-benar perlu digaris bawahi, bahwasanya dalam ilmu jarh wa tadil ini terdapat pertentangan. Yakni pertentangan antar ulama dalam menentukan jarh dan tadil terhadap para rawi. Dalam suatu keadaan terdapat ulama yang men-jarh rawi, namun adapula ulama yang men-tadil-nya, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, karena begitu urgennya masalah ini, perlulah penyelesaian yang bijaksana. Yang pada akhirnya lahirlah postulat-postulat jarh wa tadil yang disusun oleh ulama ulumu al hadits. Adapun kaidah-kaidahnya adalah sebagai berikut:34 1. Penilaian tadil didahulukan atas penilaian jarh Argumentasi yang dikemukakan adalah sifat terpuji mrupakan sifat dasar yang ada pada periwayatan hadits, sedang sifat tercela merupakan sifat yang muncul belakangan. Oleh karenanya, apabila terjadi pertentangan antara sifat dasar dan sifat berikutnya, maka harus dimenangkan sifat dasarnya. Postulat ini tidak diterima oleh sebagian ahli hadits, karena kritikus yang memuji hanya mengetahui sifat terpuji rawi dan dianggap tidak mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh rawi yang dinilainya.34 Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadits, ....., hlm. 40112. Penilaian jarh didahulukan atas penilaian tadil Posulat yang dikmukakan oelh Jumhur Ulama Hadits, Ulama Fiqh dan Ulama Ushul Fiqih atas dasar argumentasi bahwa kritikus yang menyatakan jarh dianggap lebih mengetahui pribadi periwayat yang dicelanya. Husnuzh zhon atau prasangka baik yang menjadi dasar kritikus men-tadil rawi, meski didukung jumhur harus dikalahkanbila diketemukan bukti kecacatan rawi tersebut. 3. Apabila terjadi pertentangan antara kritikus yang memuji dan mencela, maka dimenangkan kritikan yang memuji, kecuali jika kritikan disertai alasan yang jelas Argumentasi Jumhur Ulama Hadits didasarkan kepada keyakinan bahwa kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan rawi yang dinilainya lebih mengetahui dari pada kritikus yang memujinya. Hal ini didasarkan pada syarat-syarat pen-jarh-an yang dilakukan kritikus merupakan penilaian yang ada relevansinya dengan penelitian sanad. Jika tidak demikian, maka kritikan yang mmuji harus didahulukan. 4. Apabila kritikus yang mencela itu lemah, maka tidak diterima penilaian jarhnya terhadap orang yang tsiqoh Kaidah yang dipegangi Jumhur Ulama Hadits ini berangkat dari pandangan bahwa kritikus yang tsiqah pada ghalib-nya lebih teliti, hatu-hati dan cermat dalam melakukan penilaian daripada kritikus yang dhaif.5. Penilaian jarh-tidak diterima karena adanya kesamaran rawi yang dicela, kecuali setelah ada kepastian Postulat ini menolak keragu-raguan karena kesamaran atau kemiripan nama antara rawi yang satu dengan rawi yang lain. Oleh karenanya sebelum ada kepastian tentang nama yang dimaksud, penilain jarh terhadap rawi yang bersangkutan tidak dapat diterima.6. Penilaian jarh yang muncuk karena permusuhan dalam masalah duniawi tidak perlu diperhitungkan Formulasi kaidah berangkat dari realitas pertentangan pribadi antara kritikus dan yang dikritik dapat melahirkan bentuk penilaian yang tidak jujur dan sangat subyektif karena didorong rasa kebencian dan permusuhan.G. Tingkatan-tingkatan Lafadz Al Jarh Wa Tadil Problem yang dihadapi yang berkaitan dengan keragaman lafadz yang dipergunakan kritikus dalam men-jarh sama dengan kasus men-tadil. Pertama, bahwa tidak ada kesepakatan di antara ulama kritikus tentang lafadz yang dipergunakan. Adanya lafadz yang sama dimasukakan dalam peringkat yang sama, dan ada pula yang dimasukan dalam peringkat yang berbeda. Bahkan ada ulama kritikus yang tidak menggunakan lafadz-lafadz tertentu.berikut ini akan dikemukakan lafadz-lafadz penilaian13jarh yang dipergunakan beberapa ulama hadits.35 Karena banyaknya versi lafadz jarh dari ulama kritikus ilmu Al Jarh Wa Tadil, penulis hanya memaparkan beberapa contoh saja lafadz jarh yang dikemukakan atau disepakati oleh Ibnu Hatim Ar Razi, Ibnu Ash Shalah dan An Nawawi yang diambil dari buku Metodologi Ilmu Rijalil Hadits karya Suryadi:36 1. Tajrih peringkat pertama, Seorang pendusta () Orang yang ditinggalakan haditsnya ( Orang yang hilang haditsnya ( 2. Tajrih peringkat kedua, Orang yang lemah haditsnya ( 3. Tajrih peringkat ketiga, Bukan orang yang kuat ())))4. Tajrih peringkat keempat, Orang yang lunak haditsnya ()H. Analisis Metodologi Ilmu Al jarh Wa Tadil Dalam makalah ini penulis hanya menyebutkan analisis metodologi ilmu al jarh wa tadil yang ditujukan kepada Ibnu Hatim Ar Razi beserta kitab karangannya yang bernama al jarh wa tadil. Dengan alasan bahwa dalam bidang ini kitab tersebut termasuk salah satu kitab yang sering dijadikan rujukan naqd as sanad oleh ulama hadits35 Ibid...., hlm. 56 36 Ibid...., hlm. 57berikutnya untuk menelitihal-ihwal rawi yang akhirnya untuk menentukan kualitas hadits yang belum di-takhrij. Kitab al jarh wa tadil yang terdiri dari 8 jilid ini merupakan kitab ringkasan dan penyempurnaan terhadap kitab at tarikh al kabir karya Imam Bukhori dengan menambahkan penilaian ulama tentang kualitas rawinya secara ringkas dan menjelaskan hal-hal yang dianggap perlu dengan ijtihad beliau.37 Paparan rawi dalam kitab ini sangat ringkas, yakni sekitar satu sampai lima baris, dengan urutan alfabetis huruf hijaiyyah. Dalam setiap memaparkan rawi, disebutkan nama lengkapnya, nama bapaknya, kunyah, dan nama nisbah-nya, nama guru dan muridnya yang terkenal, negara asal, perlawatnnya, terkadang tahun wafatnya dan penilaian kualitas rawi yang bersangkutan yang disandarkan kepada pandangan ulama hadits yang lain.38I. Kitab-kitab terpopuler dalam bidang Al Jarh Wa Tadil Karya begitu banyaknya kitab-kitab tentang al jarh wa tadil, maka penulis hanya memaparkan beberapa saja, berikut kitab-kitab al jarh beserta karangannya:39 1. Kitab Ath Thobaqat Al Kubra karya Abu Abdullah Muhammad bin Saad Katib Al Katibi (w. 230 H) yang menghimpun para rawi dari kalangan shahabat, tabiin, dan orang-orang setelahnya dampai pada masa beliau sendiri. 2. Tadzkirah Al Huffadz karya Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz Dzahabi (w. 748 H) ini memuat catatan nama para rawi penilai keadilan rawi hadits dan orang-orang yang mereka nilai tsiqah, ataupun dhaiif. 3. Kitab At Tarikh Al Kabir karangan Al Bukhari ini memuat 12.30537 Ibid...., hlm. 116 38 Ibid...., hlm. 116 39 Lihat Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadits, (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikamah, 2003), hlm. 68-8015rawi, sebagaiman dalam nasakh yang telah dicetak dengan nomor urut. Kitab Al Bukhari tersebut tersusun dengan urutan huruf mujam dengan memperhatikan huruf pertama dari nama rawi dan nama bapaknya. 4. Kitab Al Jarhu Wa Tadil karya Ibnu Hatim Ar Razi yang terdiri dari 8 jilid ini merupakan ringkasan Kitab At Tarikh Al Kabir yang disusun dengan menyebutkan pendapat ulama tentang jarh wa tadil rawi, meringkasnya dan memperbaiki susunannya. 5. Kitab Tahdzib At Tahdzib buah karya dari Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H) yang merupakan ringkasan dan perbaikan serta penyempurnaan terhadap kitab tahdzib al kamal karya Al Mizzi.J. KESIMPULAN Paradigma untuk membedakan rawi yang diiterima atau ditolak riwayatnnya merupakan paradigma tematis yang luas, bahwasanya muhadditsin dalam menilainya idak cukup dengan melihat aspek ibadah ritual keagamaan kesehariannya saja. Adapun faktorfaktor yang yang digunakan untuk menentukan kualitas seorang rawi sungguhlah banyak, mulai dari cara berfikir rawi tersebut dalam hal ajaran yang benar maupun bidah hingga sampai pada pengamalannya, kemudian menjaga muruah yang meliputi rasa keadilan, ketelitian, kehati-hatian, pengendalian nafsu, zuhud, wara dan seterusnya. Dalam mempertimbangkan kualitas rawi baik dari sisi intelektual maupun moralnya, sungguhlah hal yang urgen karena ini menyangkut ke-dhabith-an rawi tersebut sebagai seorang periwayat hadits. Oleh karena itu, dasar penilaian ini haruslah benarbenar teliti, obyektif, dan netral. Semua hal tersebut dapat dilihat dengan terperincinya hal-ihwal rawi yang jarh dan tadil. Hingga pada akhirnya dapat diketahui kualitas rawi yang haditsnya layak untuk dijadikan sebagai hujjah yang terhimpun dari buah fikir keilmuan yang berupa kitab-kitab hadits.DAFTAR PUSTAKAAjaj Al Khathib, Muhammad, Ushul Al Hadits, Penerjemah: H. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007 Nuruddin, Al Manhaj An Naqd Fii Umul Al Hadits, Penerjemah: Mujiyo, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqi, Teungku, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra, 1998 Warson Munawwir, Ahmad, Al Mnawwir Kamus Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung: PT Al Maarif, 1995 Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadits, Yogyakarta: Madani Pustaka Hikamah, 200317