Upload
dangnhu
View
234
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
26
AKANKAH INDONESIA KEHILANGAN PULAU?
BELAJAR DARI KASUS SIPADAN-LIGITAN, PULAU
BERHALA, MIANGAS HINGGA SEMAKAU I Made Andi Arsana
Abstrak
Kekhawatiran akan kehilangan pulau-pulau di kalangan masyarakat
Indonesia tampaknya cukup beralasan, terutama setelah terjadinya
kasus Sipadan dan Ligitan. Adalah lumrah bila media Indonesia
menyampaikan berita dimana negara-negara lain berusaha untuk
mengklaim pulau-pulau Indonesia yang pada akhirnya memicu
ketegangan. Artikel ini mencoba untuk menganalisis pembelajaran
mengenai kedaulatan atas pulau-pulau, khususnya pulau Sipadan dan
Ligitan. Kasus-kasus kecil lainnya mengenai pulau Berhala (2005),
Pulau Miangas (2009) dan Pulau Semakau (2013) juga dibahas yang
diarahkan untuk menjawab suatu pertanyaan kritis, yakni: “Apakah
Indonesia kehilangan lebih banyak pulau?”
Kata kunci: kedaulatan atas pulau, klaim wilayah, sengketa kedaulatan,
pulau-pulau terluar
Abstract
The fear of losing islands among Indonesian people seems reasonably obvious, especially in the aftermath of the case of Sipadan and Ligitan. It is not uncommon that Indonesian media deliver news where other countries attempt to claim Indonesian islands, which eventually sparks tension. This paper attempts to analyse lessons learned from several cases concerning sovereignty over islands particularly Sipadan and Ligitan. Other smaller issues concerning Berhala Island (2005), Miangas Island (2009) and Semakau Island (2013) are also discussed to lead to an answer of a critical question: “is Indonesia losing more islands?” Keywords: sovereignty over island, territorial claim, dispute on sovereignty, outermost islands
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
27
Pendahuluan
Perhatian para pengamat persoalan kedaulatan dan hubungan
internasional sempat tertuju pada isu Pulau Semakau yang menurut salah
satu portal berita diklaim oleh Singapura.2 Menurut portal berita tersebut,
Singapura telah memasukkan Pulau Semakau ke dalam peta nasionalnya.
Gubernur Kepulauan Riau, HM Sani menganggap ini sebagai usaha
Singapura untuk mengklaim Pulau Semakau. Sang gubernur bahkan
mengirimkan surat ke Menteri Luar Negeri, Dr. Marty Natalegawa, untuk
meminta klarifikasi dan tindak lanjut atas kasus tersebut. Rupanya,
Gubernur Sani, meyakini bahwa Pulau Semakau yang dimasukkan ke
dalam peta Singapura itu adalah milik Indonesia yang kini diklaim oleh
Singapura.
Pada saat makalah ini ditulis (akhir Januari 2013), isu Pulau Semakau
tersebut sudah diselesaikan dengan klarifikasi bahwa pulau yang
dimaksud sesungguhnya adalah Pulau Semakau milik Singapura.
Ternyata memang ada lebih dari satu pulau bernama Semakau di
perairan sekitar Selat Singapura dan salah satunya memang merupakan
wilayah Singapura. Klarifikasi terkait Pulau Semakau ini sudah
dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri3 dan pihak DPR. Ramadhan
Pohan, Wakil Ketua Komisi I DPR, bahkan menyampaikan klarifikasi
dilengkapi data rinci yang bersifat teknis bersumber dari Indonesia dan
2 Salah satu portal berita yang menyajikan kasus ini adalah OkeZone pada tanggal 19
Januari 2013. Lihat: Okezone. 2013. “Pulau Semakau Dicamplok Negara Singapura”,
diakses dari http://news.okezone.com/read/2013/01/19/340/748669/pulau-semakau-
dicaplok-negara-singapura tanggal 19 Januari 2013. 3 Sayang sekali, untuk kepentingan makalah ini, pernyataan resmi dari Kementerian Luar
Negeri tidak berhasil diperoleh dari sumber (website) resmi. Salah satu sumber adalah
berita yang dilansir OkeZone. Lihat: Okezone. 2013. “Kemlu: Pulau Semakau ada di
Indonesia dan Singapura”, diakses dari
http://international.okezone.com/read/2013/01/19/411/748659/kemlu-pulau-semakau-ada-
di-indonesia-singapura tanggal 19 Januari 2013.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
28
Singapura.4 Rupanya telah terjadi kesalahpahaman karena ada beberapa
pulau dengan nama sama di perairan sekitar Selat Singapura. Indonesia
memang memiliki pulau bernama Semakau Panjang (di Google Maps
disebut dengan Semakau Besar)5 dan Semakau Baru (di Google Maps
disebut dengan Semakau Kecil)6 sedangkan Singapura sendiri memiliki
pulau bernama Semakau.7 Yang dimasukkan ke dalam peta Singapura
adalah Pulau Semakau yang memang menjadi bagian dari wilayah
Singapura.8 Pelajaran penting dari kasus ini adalah bahwa Indonesia,
Malaysia dan Singapura memang bangsa yang mirip bahasanya sehingga
penamaan pulau juga bisa mirip atau bahkan sama. Gambar 1 berikut
mengilustrasikan lokasi ketika Pulau Semakau milik Indonesia maupun
Singapura.
4 Ramadhan Pohan menyatakan klarifikasi dengan menyajikan data rinci terkait posisi
(koordinat) pulau-pulau yang dimaksud didukung oleh data dari Badan Informasi
Geospasial dan institusi terkait lain. Pernyataan ini dilansir, salah satunya, oleh Jawa Post
tanggal 22 Januari 2012. Lihat: Jawa Pos National Network. 2013. “Ramadhan Pohan
Bantah Ada Pencaplokan Pulau Semakau”, diakses dari
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=155352 tanggal 22 Januari 2013. 5 Google Maps dijadikan salah satu referensi karena Google Maps merupakan domain
publik yang dijadikan acuan oleh berbagai pihak. Google Maps bukan dokumen hukum
tetapi menjadi titik awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Lihat: Google Maps.
2013. “Pulau Semakau Besar”, diakses dari http://goo.gl/maps/gni24 tanggal 19 Januari
2013. 6 Google Maps. 2013. “Pulau Semakau Kecil”, diakses dari http://goo.gl/maps/ekoKC
tanggal 19 Januari 2013. 7 Lihat catatan kaki 4
8 Lihat misalnya pembahasan tentang Pulau Semkau terkait Semakau Landfill dari
National Environment Agency Singpura yang bisa diakses dari
http://app2.nea.gov.sg/semakaulandfill.aspx
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
29
Gambar 1: Lokasi Pulau Pulau Semakau, Semakau Panjang (Besar) dan Semakau Baru
(Kecil) 9
Meskipun isu terkait Pulau Semakau sudah tuntas dan tidak lagi
menimbulkan perdebatan di Indonesia, ada satu fenomena penting untuk
dicatat. Isu kedaulatan atas pulau sangat sering muncul di Indonesia.
Berita tentang kemungkinan hilangnya pulau karena direbut oleh negara
lain sering disajikan oleh media massa dan menjadi konsumsi publik
yang mengundang perdebatan. Isu terkait Pulau Sipadan dan Ligitan
yang dipercaya banyak orang telah lepas dari Indonesia dan direbut
Malaysia menjadi semacam referensi umum yang selalu disebut jika ada
kasus terkait kedaulatan atas pulau. Tidak sedikit yang meyakini bahwa
9 Peta merupakan hasil kajian penulis dengan informasi lokasi Pulau Semakau diperoleh
dari pernyataan Ramadhan Pohan selaku Wakil Ketua Komisi I DPR.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
30
kasus Sipadan dan Ligitan akan terjadi lagi pada Indonesia. Pertanyaan
penting yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah “apakah Indonesia
akan kehilangan pulau?”
Makalah ini memulai pembahasan dengan pendefinisian pulau
dilanjutkan pembahasan beberapa kasus terkait kedaulatan atas pulau di
Indonesia. Kasus Sipadan dan Ligitan dibahas secara khusus mengingat
kasus ini dipahami secara kurang tepat oleh banyak pihak selama ini.
Salah satu bagian utama dari makalah ini adalah pembahasan mengenai
usaha menjaga pulau yang pada dasarnya adalah menjaga kedaulatan.
Makalah ini diakhiri dengan kesimpulan yang pada dasarnya untuk
menjawab pertanyaan penelitian utama makalah ini.
Mendefinisikan Pulau
Menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations
Convention on the Law of the Sea10 (selanjutnya disebut UNCLOS)11
10
Disepakati di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982, mulai berlaku
pada tanggal 16 November 1994. Sampai Januari 2013, UNCLOS diratifikasi oleh 164
negara dan 1 Uni Eropa. Lihat: United Nations. 2013. “Chronological lists of ratifications
of, accessions and successions to the Convention and the related Agreements as at 23
January 2013”, diakses dari
http://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.htm
tanggal 23 Januari 2013. 11
Istilah UNCLOS pada awalnya digunakan untuk menyingkat United Nations
Conference on the Law of the Sea, yaitu proses negosiasi yang menghasilkan konvensi
tersebut. Istilah UNCLOS juga dipakai untuk konvensi, salah satunya, karena singkat
untuk nama resmi konferensi dan konvensinya sama yaitu UNCLOS. Akademisi di
Australian National Centre for Ocean Resources and Security University of Wollongong,
misalnya, memilih menggunakan istilah Law of the Sea Convention (LOSC). Sementara
itu, akademisi dan pejabat publik di Amerika meyebut konvensi tersebut sebagai traktat
sehingga menggunakan LOST yang merupakan singkatan dari Law of the Sea Treaty.
Lihat tulisan: Edeson, W. R. 2000. “Law of the Sea Convention: Confusion over the Use
of ‘UNCLOS’, and References to other Recent Agreements”, The International Journal of
Marine and Coastal Law, Vol 15, Number 3.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
31
pulau adalah luasan tanah yang terbentuk alami, dikelilingi oleh air, yang
selalu muncul di atas permukaan air saat pasang.12 Sebuah pulau yang
memenuhi kriteria ini berhak atas laut teritorial (12 mil laut),13 zona
tambahan (24 mil laut),14 zona ekonomi ekslusif atau ZEE (200 mil laut)15
dan landas kontinen atau dasar laut (bisa mencapai 350 mil laut atau
lebih)16 seperti halnya daratan lain sesuai dengan yang diatur oleh
UNCLOS.17
Meski demikian, ada pengecualian untuk pulau yang berupa karang
dan tidak mampu mendukung kehidupan manusia dengan
kemampuannya sendiri. Karang hanya berhak atas laut teritorial, tidak
atas zona tambahan, ZEE maupun landas kontinen.18 Dengan kata lain,
hak atas kawasan laut sebuah karang jauh lebih kecil/sempit
dibandingkan dengan pulau.
Berdasarkan definisi yang diacu pada UNCLOS, tidak semua obyek
tanah yang menyembul di permukaan laut memenuhi syarat sebagai
pulau. Obyek yang muncul di permukaan air ketika air surut tetapi
tenggelam ketika air pasang bukanlah pulau, meskipun misalnya obyek
itu ditumbuhi tanaman atau bahkan digunakan untuk beraktivitas oleh
nelayan ketika berkunjung saat air surut. Obyek yang demikian disebut
dengan elevasi pasut atau low-tide elevation (LTE).19 LTE ini tidak berhak
atas kawasan laut kecuali jika lokasinya dalam laut teritorial yang diukur
12
UNCLOS, Pasal 121 (1) 13
UNCLOS, Pasal 3 14
UNCLOS, Pasal 33 (2) 15
UNCLOS, Pasal 57 16
UNCLOS, Pasal 76 17
UNCLOS, Pasal 121 (2) 18
UNCLOS, Pasal 121 (3) 19
UNLCOS, Pasal 13 (1)
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
32
dari daratan utama atau pulau terdekat.20 LTE juga tidak bisa digunakan
sebagai lokasi titik pangkal21 bagi garis pangkal22 lurus kecuali padanya
telah didirikan mercusuar yang secara permanen selalu berada di atas
permukaan laut.23
Pemahaman terhadap definisi pulau ini penting, terutama ketika
menentukan jumlah pulau. Bagi Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau,
keseragaman pemahaman ini penting agar tidak terjadi perbedaan
pandangan tentang jumlah pulau. Sensus dan penamaan pulau yang
melibatkan pemerintah daerah, misalnya, kadang menimbulkan
persoalan dalam menentukan jumlah pulau. Pemerintah daerah, di satu
sisi, memiliki kepentingan untuk menunjukkan bahwa daerahnya
memiliki area yang luas dalam rangka mendapatkan dana alokasi umum
(DAU) yang tinggi sehingga berusaha melaporkan sebanyak mungkin
pulau di wilayahnya. Usaha ini kadang menimbulkan pelaporan obyek
tertentu sebagai pulau padahal tidak memenuhi syarat sebagai pulau
menurut UNCLOS. Hal ini bisa menjadi salah satu penyebab perbedaan
data jumlah pulau di Indonesia.
Berbagai Kasus terkait Kedaulatan atas Pulau di Indonesia
Sengketa atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan kasus paling
fenomenal terkait kedaulatan atas pulau yang dialami oleh Indonesia.
Kasus ini dibahas pada bagian tersendiri dalam makalah ini.
20
UNCLOS, Pasal 13 (2) 21
Titik pangkal atau basepoint adalah titik pada daratan yang menjadi titik hubung/temu
penggal garis pangkal. Dalam UNCLOS istilah yang ditunakan adalah point, seperti pada
pasal 7. 22
Garis pangkal adalah referensi yang menjadi titik awal pengukuran zona maritim.
Misalnya, laut teritorial diukur sejauh 12 mil laut dari garis pangkal suatu negara pantai.
Garis pangkal bisa berupa garis pangkal normal (UNCLOS, Pasal 5), garis pangkal lurus
(UNCLOS, Pasal 7) atau garis pangkal kepulauan (UNCLOS, Pasal 47). 23
UNCLOS, Pasal 7 (4)
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
33
Kasus terkini yang melibatkan Pulau Semakau seperti yang dijelaskan
di pendahuluan mirip dengan kasus serupa di tahun 2005 ketika
beberapa pihak di Indonesia menuduh Malaysia mengklaim Pulau
Berhala. Waktu itu, Malaysia mengeluarkan suatu produk iklan yang
mempromosikan Pulau Berhala sebagai daerah tujuan wisata.24 Anggota
DPRD Sumatera Utara dan beberapa pihak yang yakin bahwa Indonesia
memiliki Pulau Berhala menganggap Malaysia telah melakukan klaim
sepihak atas pulau yang jelas-jelas menjadi bagian dari kedaulatan
Indonesia. Siaran Pers dari Kementerian Luar Negeri (waktu itu disebut
Departemen Luar Negeri) menegaskan bahwa ada lima Pulau Berhala
dengan rincian dua milik Indonesia dan tiga lainnya milik Malaysia. Yang
dipromosikan oleh Malaysia dalam iklan di tahun 2005 adalah Pulau
Berhala di Teluk Sandakan, dekat Pulau Borneo yang memang
merupakan wilayah Malaysia.25
Dari dua Pulau Berhala yang merupakan milik Indonesia, salah
satunya disengketakan oleh Propini Kepulauan Riau dan Propinsi Jambi.
Melalui keputusannya di awal 2012, Mahkamah Agung (MA)
menegaskan Pulau tersebut menjadi milik Kepulauan Riau. Rupanya
Jambi tidak menerima begitu saja dan kini meneruskan kasus itu dengan
mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).26 Saat
penulisan ini dilakukan, kasus Pulau Berhala ini belum diputuskan oleh
24
Arsana, I M.A. 2009. “Berhala: Is it Another Sipadan and Ligitan?” dalam Sutisna, S
(ed) Beyond Borders, Department of Geodetic Engineering, Yogyakarta. 25
Kemlu. 2005. “Siaran Pers: Mengenai Pulau Berhala: Perlu Pemahaman Mendalam
Terhadap Prinsip Hukum Negara Kepulauan”, diakses dari
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetail-
NewsLike.aspx?l=id&ItemID=67bb52d2-7619-4b09-b635-7e8b20060e36 tanggal 19
Januari 2013. 26
Lihat misalnya: Sumaryo. 2012. “Aspek Geospasial dalam Kasus Sengketa Pulau
Berhala”, Prosiding The 1st Conference on Geospatial Information Science and
Engineering, Yogyakarta, 20-22 November 2012
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
34
MK. Kasus yang berlangsung lama ini merupakan salah satu penyebab
Pulau Berhala menjadi pusat perhatian dan masyarakat secara umum
memahami bahwa Pulau Berhala merupakan wilayah Indonesia. Hal ini
bisa menjadi salah satu penyebab kesalahpahaman dan dugaan atau
tuduhan bahwa Malaysia telah melakukan klaim karena memiliki pulau
dengan nama yang sama.
Isu lain terkait kedaulatan juga menimpa Pulau Miangas yang terjadi
tahun 2009. Tanpa konfirmasi yang pasti, beredar berita bahwa Filipina
memasukkan Pulau Miangas dalam s buah petanya. Sementara pelacakan
dan konfirmasi masih dilakukan, kekhawatiran ‘dicaploknya’ Pulau
Miangas oleh Filipina sudah tersebar di media massa. Terkait hal ini,
Gubernur Sulawesi Utara bahkan mengkhawatirkan Miangas akan
menjadi Sipadan dan Ligitan jilid II.27 Menurut sang Gubernur, Sipadan
dan Ligitan memang hilang dari kedaulatan Indonesia karena ‘direbut’
oleh Malaysia dan Miangas bisa bernasib sama. Merespon isu ini,
Kementerian Dalam Negeri menegaskan bahwa Pulau Miangas adalah
“bagian integral Indonesia.”28 Senada dengan itu, Kementerian Luar
Negeri juga menegaskan hal serupa bahwa Miangas secara tegas dan
meyakinkan merupakan bagian dari wilayah Indonesia.29
27
Kompas. 2009. “Miangas-Marore Bisa Jadi Sipadan-Ligitan Jilid II” diakses dari
http://lipsus.kompas.com/read/2009/01/12/20230463/Miangas-Marore.Bisa.Jadi.Sipadan-
Ligitan.Jilid.II tanggal 20 Januari 2013. 28
Hal ini disampaikan dalam siaran pers Juru Bicara Menteri Dalam Negeri, Saut
Situmorang tanggal 7 Februari 2009. Lihat: Media Indonesia. 2009. “Pulau Miangas
Bagian Integral Indonesia” diakes dari
http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTk2MzY= tanggal 15 Februari 2009 29
Pernyataan ini disampaikan oleh Meneri Hassan Wirrajuda yang dilansir The Jakarta
Post tanggal 14 Februari 2009. Lihat: The Jakarta Post. 2009. “Private mapmaker
suspected in border blunder” diakses dari
http://www.thejakartapost.com/news/2009/02/14/private-mapmaker-suspected-border-
blunder.html tanggal 20 Januari 2013.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
35
Dalam hukum internasional yang berlaku dewasa ini dikenal prinsip
“uti possidetis juris” yang secara sederhana berarti wilayah atau batas
suatu negara mengikuti wilayah atau batas wilayah kekuasaan penjajah
atau pendahulunya.30 Dalam hal ini, wilayah Indonesia sama dengan
wilayah yang dikuasai Belanda di Nusantara. Data dan informasi
terpercaya menunjukkan bahwa Miangas memang masuk dalam wilayah
Belanda ketika Belanda berkuasa di Nusantara. Pembuktian kedaulatan
Belanda atas Miangas ini bahkan melalui arbitrase internasional dengan
Max Huber sebagai arbitrator tunggal. Hingga kini, keputusan ini
dianggap sebagai keputusan arbitrase paling fenomenal.31
Melalui keputusan 4 April 1928, Belanda dipastikan menjadi pemilik
sah Miangas setelah memenangkan kasus melawan Amerika Serikat.32
Inilah yang menjadi dasar hukum bahwa Pulau Miangas adalah bagian
tak terpisahkan dari Indonesia, sebagai penerus (successor) Belanda. Selain
bukti hukum berupa keputusan arbitrase pada zaman Belanda,
kedaulatan Indonesia atas Miangas juga ditegaskan secara hukum pada
masa kemerdekaan. Pada tahun 1976, Indonesia dan Filipina
menandatangani perjanjian ekstradisi yang secara nasional disahkan
dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1976.33 Dalam perjanjian
ekstradisi tersebut, salah satu hal penting adalah pengakuan Filipina
pada kedaulatan Indonesia atas Miangas. Hal ini semakin menegaskan
bahwa kedaulatan Indonesia atas Miangas memang tidak terbantahkan.
30
Mak, JN. 2008. “Sovereignty in ASEAN and the Problems of Maritime Security in the
South China Sea”, S. Rajaratnam School of International Studies, Singapore. 31
Lihat analisis penulis atas kasus ini: Arsana, I M. A. 2009. “Miangas Island? No
Worries”, The Jakarta Post, 3 March 2009, Jakarta 32
Permanent Court Of Arbitration. 1924. “The Island Of Palmas Case (Or Miangas) -
United States Of America V. The Netherlands” Arbitrator M. Huber, The Hague 33
Lihat: Undang-Undagan Nomor 10 tahun 1976 tentang Pengesahan Perjanjian
Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Filipina serta Protokoler”
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
36
Dengan adanya dasar hukum yang kuat seperti yang disebutkan
sebelumnya, maka tindakan fisik oleh negara lain yang berupa
kunjungan, aktivitas bisnis, memasukkan dalam peta dan sejenisnya,
tidak akan mengubah status kedaulatan atas Miangas. Oleh karena itu,
meskipun kebenaran dan alasan Filipina dalam memasukkan Miangas
dalam petanya perlu ditegaskan, kekhawatiran akan kehilangan Miangas
tidak perlu ada. Juru bicara Menteri Luar Negeri saat itu, Teuku
Faizasyah, menegaskan adanya kemungkinan kesalahan pihak pembuat
peta swasta dan itu tidak merepresentasikan posisi resmi pemerintah
Filipina.34
Kesalahpahaman yang terjadi pada Pulau Berhala tahun 2005 ternyata
terjadi lagi terhadap Pulau Semakau, seperti yang disampaikan pada
pendahuluan. Pada intinya, kekurangpahaman pihak tertentu di
Indonesia terhadap konfigurasi geografis negeri sendiri dan juga negeri
tetangga telah menimbulkan tuduhan dan kecurigaan yang tidak perlu.
Berbagai kasus yang terjadi di Indonesia terkait kedaulatan atas pulau
perlu menjadi pelajaran bagi siapa saja, terlebih aparat pemerintah.
Memahami dan Belajar dari Kasus Sipadan dan Ligitan
Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau yang secara resmi telah
menjadi bagian dari kedaulatan Malaysia. Meski demikian, perlu diingat
kembali bahwa kedaulatan atas kedua pulau tersebut pernah
disengketakan oleh Indonesia dan Malaysia bahkah berujung pada
disidangkannya kasus itu di Mahkamah Internasional. Mahkamah
Internasional kemudian memutuskan pada tahun 2002 bahwa kedaulatan
34
Lihat catatan kaki 29
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
37
atas kedua pulau itu diberikan kepada Malaysia.35 Sejak keputusan
Mahkamah Internasional terhadap kasus tersebut, Sipadan dan Ligitan
telah menjadi jargon yang penting dan menyejarah bagi Indonesia,
terutama ketika membahas isu kedaulatan dan hak berdaulat. Indonesia
yang memiliki ribuan pulau sangat rawan dengan isu perebutan atau
klaim mengklaim pulau sehingga ingatan masyarakat atas kasus Sipadan
dan Ligitan menjadi mudah bangkit dan menjadi perdebatan. Kasus lain
terkait batas maritim di Laut Sulawesi yang diwarnai dengan sengketa
atas blok eksplorasi minyak bernama Ambalat, juga sering diasosiasikan
dengan kasus Sipadan dan Ligitan ini.36
Kasus Sipadan dan Ligitan bermula pada tahun 1969 ketika Indonesia
dan Malaysia merundingkan delimitasi batas maritim antara keduanya di
Laut Sulawesi. Usaha delimitasi batas maritim di kawasan tersebut
merupakan bagian dari proses delimitasi batas maritim antara kedua
negara di dua kawasan yaitu Selat Malaka dan Laut China Selatan.
Selama proses delimitasi, Indonesia dan Malaysia menemukan bahwa
kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan belum diputuskan dan masih belum
jelas bagi kedua negara. Dengan kata lain, kedua pulau itu tidak bertuan
atau dalam istilah hukum disebut terra nullius ketika keduanya
ditemukan.37 Indonesia dan Malaysia sama-sama mengklaim kedaulatan
atas kedua pulau tesebut namun tidak berhasil mencapai kesepakatan
final terkait kedaulatan atasnya. Kedua negara kemudian bersepakat
untuk memberi status quo kepada Sipadan dan Ligitan pada tahun 1969
35
International Court of Justice. 2002. “Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau
Sipadan (Indonesia/Malaysia)”, The Hague. Lihat: http://www.icj-cij.org/
docket/files/102/7714.pdf. 36
Lihat: Arsana, I M. A. 2010. “Penyelesaian Sengketa Ambalat dengan Delimitasi
Maritim: Kajian Geospasial dan Yuridis”, Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010 37
International Court of Justice, 2002 para. 108
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
38
sehingga keberadaannya tidak berpengaruh pada usaha delimitasi batas
maritim yang sedang dilakukan oleh kedua negara.38
Indonesia dan Malaysia berusaha menyelesaikan masalah terkait
kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan pada tahun 1988 hingga 1997
melalui perundingan namun gagal mencapai kesepakatan. Negosiasi
tersebut berawal dari pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Soeharto
dari Indonesia dengan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad,
di Yogyakarta pada bulan Juni 1998.39 Setelah pertemuan tingkat tinggi
itu, serangkaian perundingan kemudian dilaksanakan dengan melibatkan
Joint Working Group Meetings, Senior Official Meetings, dan Joint Commission
Meetings. Sebelumnya pada tahun 1994, Indonesia dan Malaysia mencoba
membuat terobosan dengan menetapkan atau menunjuk perwakilan
masing-masing untuk negosiasi yang intensif. Indonesia menunjuk
Menteri Sekretaris Negara ketika itu, Moerdiono, dan Malaysia
menugaskan wakil perdana menterinya yaitu Anwar Ibrahim untuk
mewakili Malaysia dalam perundingan. Kedua perwakilan itu
melaksanakan empat pertemuan di Jakarta pada 17 Juli 1995 dan 16
September 1995, lalu di Kuala Lumpur pada 22 September 1995 dan 21
Juli 1996.40
Setelah melaksanakan perundingan yang intensif dan alot, kedua
perwakilan ini tidak melihat titik terang bahwa Indonesia dan Malaysia
akan mampu menyelesaikan sengketa kedaulatan atas Sipadan dan
Ligitan melalui jalur perundingan. Akhirnya, Presiden Soeharto dan PM
Mahatir Mohammad sepakat menyerahkan proses ajudikasi dengan
membawa kasus tersebut ke pihak ketiga. Pada tahun 1997, Indonesia
38
Wirajuda, Hassan. 2004. ”Memaknai Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan”. Dalam Sutisna, S. (ed) “Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia”. Jakarta: Pusat
Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal. 39
Wirajuda, H. 2004. p. 128 40
Lihat catatan kaki 39
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
39
dan Malaysia menandatanagani kesepakatan khusus untuk membawa
kasus Sipadan dan Ligitan ke Mahkamah Internasional yang disebut
dengan Special Agreement for the Submission to the ICJ the Dispute between
Indonesia and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau Sipadan and
Ligitan.41 Dengan kata lain, kedua pihak bersepakat untuk meminta
bantuan pihak ketiga dalam menyelesaikan kasus di antara mereka dan
kasus itu diserahkan kepada Mahkamah Internasional pada tahun 1997.
Kasus Sipadan dan Ligitan memakan waktu selama lima tahun dalam
penyelesaiannya di Mahkamah Internasional hingga akhirnya Mahkamah
mengumumkan keputusannya pada 17 Desember 2002.42 Mahkamah
Internasional memutuskan kedaulatan atas kedua pulau tersebut dengan
menerapkan prinsip effectivités atau penguasaan efektif. Mahkamah
Internasional memastikan bahwa Inggris, selaku penjajah atau pendahulu
Malaysia, terbukti telah melakukan penguasaan efektif terhadap kedua
pulau tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan penerapan dan pemberlakuan
aturan terkait pengumpulan telur penyu dan didirikannya cagar alam
untuk perlindungan burung. Dalam pendapatnya, Mahkamah
Internasional melihat bahwa tindakan ini bisa dipandang sebagai
penegasan administrasi dan hukum atas kekuasaan pada suatu wilayah
atau territory. Dalam keputusan Mahkamah Internasional hal ini
ditegaskan sebagai “regulatory and administrative assertions of authority over
territory”.43 Selain itu, Mahkamah Internasional juga memutuskan bahwa
pembangunan mercusuar oleh Inggris di pulau tersebut dianggap cukup
untuk mendukung klaim Malaysia terhadap kedaulatan atas Sipadan dan
Ligitan.44 Perlu juga diingat bahwa berdasarkan permintaan Indonesia
41
Wirajuda H. 2004. p. 129 42
International Court of Justice, 2002 43
International Court of Justice, 2002. Para 145 44
International Court of Justice, 2002. Para 147
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
40
dan Malaysia, Mahkamah utamanya menganalisa apa yang terjadi
sebelum tahun 1969, karena keduanya telah bersepakat menjadikan tahun
ini sebagai waktu kritis atau critical date dan pada tahun itulah kedua
negara menyatakan klaim atas kedua pulau tersebut.45 Dengan
memahami keputusah Mahkamah Internasional ini, pembangunan
fasilitas wisata pada kedua pulau itu yang dilakukan sebagian besar oleh
Malaysia setelah tahun 1969 secara hukum tidak turut memengaruhi
keputusan Mahkamah Internasional. Apa yang terjadi setelah tahun 1969,
sesuai kesepakatan Indonesia dan Malaysia, tidak berpengaruh pada
kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan.
Dengan memahami keputusan Mahkamah Internasional, terlihat
bahwa, kasus Sipadan dan Ligitan berbeda konteksnya dengan kasus
Pulau Berhala atau Pulau Semakau. Sipadan dan Ligitan adalah dua
pulau yang terra nullius ketika disengketakan oleh Indonesia dan
Malaysia. Jika mengikuti konsep uti possidetis juris, maka hal pertama
yang harus ditentukan adalah apakah Sipadan atau Ligitan masuk dalam
jajahan Inggris atau Belanda. Ternyata keduanya tidak terbukti secara
meyakinkan termasuk dalam wilayah jajahan Inggris maupun Belanda.
Ini bisa dilihat dari peta-peta zaman penjajahan. Oleh karena itulah,
kedua pulau itu tidak bisa secara otomatis diakui oleh Indonesia maupun
Malaysia.46 Untuk kasus pulau-pulau yang terra nullius seperti ini maka
prinsip effectivités atau penguasaan efektif menjadi berlaku dalam
menentukan kedaulatannya. Dengan kata lain, pertanyaan “siapa yang
telah mengelola, siapa yang sudah mengembangkan, dan siapa yang
menduduki” penting untuk menentukan kedaulatan atas sebuah pulau
45
International Court of Justice, 2002. Para 135 46
Lihat juga Pidato Kenegaraan Presiden Megawati pada tanggal 15 Agustus 2003 yang
salah satu isinya adalah merespon keputusan Mahkamah Internasional terkait Sipadan dan
Ligitan, bisa diakses dari http://kepustakaan-
presiden.pnri.go.id/uploaded_files/pdf/speech/normal/megawati11.pdf
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
41
jika pulau itu tidak ada yang memiliki. Sebaliknya, jika pulau tersebut
sudah resmi menjadi bagian dari suatu negara maka penguasaan dan
pengelolaan atasnya tidak akan mengubah status kedaulatan
terhadapnya.
Dalam pernyataan tidak resmi seorang pejabat negara yang
menjelaskan kasus ini dengan cukup cerdas, Indonesia tidak kehilangan
pulau, hanya saja memang gagal menambah dua pulau. Pernyataan ini
mungkin terdengar seperti kelakar tetapi secara cerdas dan sederhana
dapat menjelaskan apa yang terjadi dengan Sipadan dan Ligitan. Dengan
kata lain, dapat disimpulkan bahwa Indonesia tidak pernah kehilangan
pulau secara hukum karena memang tidak pernah memiliki pulau
tersebut. Penjelasan tentang kasus Sipadan dan Ligitan ini bisa disimak
dengan rinci pada putusan Mahkamah Internasional.47
Meski keputusan Mahkamah Internasional sudah sedemikian jelas,
anggapan masyarakat bahwa Sipadan dan Ligitan lepas dari Indonesia
tetap ada. Ada setidaknya dua penyebabnya. Yang pertama adalah
pemberitaan media massa yang tidak sesuai kondisi sebenarnya. Media
cukup mudah menyalahartikan istilah penguasaan efektif yang menjadi
dasar keputusan, terutama terkait waktu krits tahun 1969 yang
digunakan sebagai dasar. Tidak sedikit media yang menyampaikan
bahwa penguasaan efektif tersebut termasuk tindakan Malaysia
mengelola pulau itu sejak tahun 1969. Dengan demikian muncul
pemahaman bahwa Indonesia kalah dalam kasus itu karena Malaysia
sudah merawat pulau itu dengan mendirikan resor dan membangun
fasilitas wisata lainnya.
Sebab kedua adalah kenyataan bahwa pada Pulau Sipadan dan
Ligitan memang pernah ditetapkan titik pangkal (basepoints) yang
47
Lihat catatan kaki 35.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
42
membentuk garis pangkal kepulauan Indonesia. Dalam Peraturan
Pemerintah (PP) nomor 38 tahun 2002,48 ada titik pangkal yang berlokasi
di kedua pulau tersebut seakan-akan keduanya sudah merupakan bagian
dari Indonesia. Mereka yang memiliki kepedulian pada masalah hukum
tentu akan menganggap ini sebagai tindakan Indonesia yang menyatakan
bahwa kedua pulau itu memang pernah diakui sebagai bagian dari
Indonesia. Dengan keputusan Mahkamah Internasional tahun 2002, PP
ini kemudian direvisi dengan PP nomor 37 nomor 2008.49 Revisi ini
bertujuan untuk mengubah konfigurasi garis pangkal kepulauan
Indonesia secara umum sehingga kini menggunakan pulau terluar yang
resmi menjadi milik Indonesia serta menjamin garis pangkal yang
tertutup, melingkupi seluruh wilayah Indonesia.50
Menyimak pemaparan sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa
Indonesia memang tidak kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan karena
tidak pernah memilikinya secara hukum. Meski demikian, istilah
“Indonesia kalah oleh Malaysia” ada benarnya yaitu kalah dalam hal
memperebutkan dua pulau tidak bertuan untuk menjadi bagian dari
kedaulatan negara masing-masing. Kekalahan ini tidak saja ditentukan
oleh tindakan Indonesia dan Malaysia tetapi juga oleh Belanda dan
Inggris sebagai pendahulu kedua negara.
48
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 71 (2002) Peraturan Pemerintah No.
38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia. Diakses dari http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009. 49
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 77 (2008) Peraturan Pemerintah No.
37/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang
Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Diakses dari
http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009. 50
Lihat pembahasan tentang revisi garis pangkal kepulauan Indonesia pada Schofield, C.
and Arsana, I MA. (2009) Closing the Loop: Indonesia’s revised archipelagic baselines
system, Australian Journal of Maritime and Ocean Affairs; Volume 1, Issue 2; 2009; 57-
62.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
43
Menjaga Pulau, Menjaga Kedaulatan
Kekhawatiran kehilangan pulau tidak seharusnya terjadi pada
Indonesia. Meski demikian, menjaga pulau-pulau terluar merupakan
kewajiban. Ada beberapa hal pening yang harus dilakukan dan dipahami
oleh masyarakat, terutama pejabat pemerintah terkait persoalan pulau
dan kedaulatan. Hal pertama dan utama adalah pemahaman yang cukup
baik akan konfigurasi geografis Indonesia. Penduduk dan terutama
pejabat negara sebaiknya paham akan informasi geografis dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Tentu memerlukan usaha yang serius
untuk memahami Indonesia yang terdiri dari 17 ribu lebih pulau,
beragam suku bangsa dan bahasa. Selain itu, informasi geografis negara
tetangga juga perlu dipahami. Dalam kasus Pulau Semakau dan Pulau
Berhala misalnya, terlihat betapa pentingnya memahami bahwa negara
tetangga juga memiliki pulau dengan nama yang sama dengan pulau
yang dimiliki Indonesia. Tentu tidak baik jika ada pihak yang menjadi
geram dan emosional menuduh negara tetangga melakukan tindakan
tidak terpuji hanya karena pemahaman geografis terhadap pulau-pulau
yang tidak memadai. Ini harus menjadi motivasi bagi masyarakat dan
pejabat negara untuk belajar aspek geospasial51 dari bangsa sendiri dan
negara tetangga.
Kedua, perlu dipahami bahwa kedaulatan atas sebuah pulau yang
sudah pasti menjadi bagian wilayah suatu negara tidak akan dengan
mudah berpindah ke negara lain hanya karena negara lain
mengklaimnya. Dengan kata lain, kedaulatan atas pulau yang sudah
51
Istilah “geospasial” digunakan untuk segala hal yang terkait aspek keruangan/posisi
(space) yang terkait dengan bumi (geo). Dalam konteks ini, aspek geospasial adalah
aspek lokasi dan deskripsi geografis wilayah NKRI dan posisinya relatif terhadap negara-
negara tetangga. Pemahaman geospasial ini juga sangat penting untuk memahami konteks
geopolitik suatu negara.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
44
resmi menjadi milik Indonesia tidak akan berpindah dengan mudah ke
negara tetangga, misalnya Singapura, hanya karena Singapura
mengajukan klaim kepemilikan. Hal ini berbeda halnya dengan pulau
yang memang belum jelas kepemilikannya. Pulau yang demikian disebut
terra nullius yaitu pulau tidak bertuan sehingga usaha klaim aktif dan
pendudukan efektif akan berpengaruh pada kepemilikan terhadapnya.
Dalam kasus Indonesia, sudah tidak ada lagi pulau dengan status terra
nullius sehingga usaha penguasaan efektif untuk tujuan membuktikan
kedaulatan tidak perlu dilakukan.
Ketiga, dari kasus Sipadan dan Ligitan bisa dipahami bahwa untuk
pulau yang belum jelas kepemilikannya maka klaim dan penguasaan
efektif memang penting dilakukan dan itu menentukan kedaulatan.
Meski demikian, hal ini tidak berlaku pada pulau yang sudah jelas
kepemilikannya. Penguasaan atau perhatian terhadap sebuah pulau
terluar perlu dilakukan untuk alasan kesejahteraan penduduk di sekitar
atau untuk alasan kelestarian lingkungan, bukan untuk melindungi pulau
itu agar tidak direbut negara lain. Untuk pulau kecil terluar yang
dijadikan lokasi titik pangkal (basepoints) kehadiran negara diperlukan
untuk menjaganya sehingga terlindungi secara fisik dan sedapat mungkin
tidak terabrasi/tenggelam sehingga dapat mengganggu konfirgurasi titik
pangkal dan garis pangkal.
Hukum internasional tidak membenarkan suatu negara mengklaim
kedaulatan atas suatu pulau yang sudah resmi menjadi milik suatu
negara. Sekali lagi kehadiran negara di pulau-pulau kecil atau terluar
sangatlah penting dalam segala manifestasi yang mungkin. Hal ini untuk
alasan yang lebih pragmatis terkait kesejahteraan masyarakat. Kehadiran
negara perlu untuk menjamin masyarakat secara ekonomi, menyediakan
fasilitas kesehatan serta infrastruktur yang memadai. Mengirimkan
sejumlah besar orang dari ibukota negara untuk melakukan upacara
bendera di sebuah pulau terpencil bisa jadi merupakan gagasan yang baik
tetapi harus tetap diperhatikan bahwa masyarakat memerlukan lebih dari
sekedar kesenangan sesaat di hari-hari penting seperti hari kemerdekaan.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
45
Pada akhirnya kesetiaan masyarakat terhadap negaranya ditentukan juga
oleh manfaat pragmatis yang mereka peroleh.
Keempat, sangat penting untuk memiliki pemahaman dasar
kartografis,52 bagaimana peta menggambarkan wilayah dan kedaulatan
suatu negara. Hal ini terkait dengan kasus Pulau Semakau dan Pulau
Miangas yang dijelaskan sebelumnya. Pemilihan warna, intensitas,
ketebalan garis dan terutama legenda peta akan menunjukkan pada
pembaca maksud dari masing-masing obyek di peta tersebut. Penting
untuk dipahami bahwa dimasukkannya suatu pulau milik negara A pada
peta nasional negara B tidak selalu berarti pulau itu diklaim oleh negara
B. Dalam peta Indonesia yang lengkap, misalnya, tidak mungkin tidak
memasukkan keseluruhan Singapura atau sebagian Malaysia yang sama
sekali tidak menunjukkan klaim Indonesia atas kedua negara itu.53
Kesimpulan
Dari analisis pada bagian sebelumnya dari makalah ini bisa
disimpulkan bahwa Indonesia tidak pernah kehilangan dan tidak akan
kehilangan pulau karena status kedaulatan atas pulau-pulau Indonesia
sudah jelas. Pemahaman terhadap kasus Sipadan dan Ligitan perlu
52
Secara sederhana, kartografi merupakan ilmu dan seni pembuatan peta. Peta adalah
representasi permukaan bumi yang diusahakan sedekat mungkin dengan aslinya. Meski
demikian, peta tetaplah hanya representasi sehingga pasti ada hal yang tidak sama dengan
kenyataannya di permukaan bumi. Oleh kerena itulah perlu pengetahuan kartografis dasar
dalam membaca peta sehingga tidak salah dalam menyerap informasi yang
ditampilkannya. Lihat misalnya: Arsana, I M.A. 2010. “Maps mark borders, and yet
always lies”, The Jakarta Post, 22 November 2010, Jakarta; Arsana, I M.A. 2011. “Urgent
use of cartohypnosis in border dispute settlement”, The Jakarta Post, 26 October 2011,
Jakarta 53
Untuk analisis penulis terkait kasus Pulau Semakau dan pelajaran yang bisa diambil,
lihat: Arsana, I M.A. 2013, Are we losing more islands after Sipadan-Ligitan dispute?
The Jakarta Post, 30 January 2013.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
46
diluruskan bahwa Indonesia tidak kehilangan tetapi kalah
memperjuangkan kedaulatan yang memang tadinya belum pasti.
Meski tidak perlu ada kekhawatiran akan kehilangan pulau,
perhatian dan kehadiran negara di semua wilayah Indonesia tanpa
kecuali tetaplah suatu keharusan. Semua itu dilakukan untuk alasan
pragmatis terkait kesejahteraan dan alasan lingkungan, bukan karena
ketakutan bahwa pulau itu akan direbut oleh negara lain.
Daftar Pustaka
Arsana, I M.A. 2009. “Berhala: Is it Another Sipadan and Ligitan?” dalam Sutisna, S
(ed) Beyond Borders, Department of Geodetic Engineering, Yogyakarta.
Arsana, I M.A. 2009. “Miangas Island? No Worries”, The Jakarta Post, 3 Maret 2009,
Jakarta
Arsana, I M.A. 2010. “Penyelesaian Sengketa Ambalat dengan Delimitasi Maritim:
Kajian Geospasial dan Yuridis”, Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010
Arsana, I M.A. 2010. “Maps mark borders, and yet always lies”, The Jakarta Post, 22
November 2010, Jakarta.
Arsana, I M.A. 2011. “Urgent use of cartohypnosis in border dispute settlement”, The
Jakarta Post, 26 October 2011, Jakarta
Arsana, I M.A. 2013, “Are we losing more islands after Sipadan-Ligitan dispute?” The
Jakarta Post, 30 January 2013.
Edeson, W. R. 2000. “Law of the Sea Convention: Confusion over the Use of ‘UNCLOS’,
and References to other Recent Agreements”, The International Journal of Marine
and Coastal Law, Vol 15, Number 3.
Google Maps. 2013. “Pulau Semakau Besar”, diakses dari http://goo.gl/maps/gni24
tanggal 19 Januari 2013.
Google Maps. 2013. “Pulau Semakau Kecil”, diakses dari http://goo.gl/maps/ekoKC
tanggal 19 Januari 2013.
International Court of Justice, 2002. “Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan
(Indonesia/Malaysia)”, diakes dari Lihat: http://www.icj-cij.org/
docket/files/102/7714.pdf tanggal 20 Januari 2013.
Jawa Pos National Network. 2013. “Ramadhan Pohan Bantah Ada Pencaplokan Pulau
Semakau”, diakses dari
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=155352 tanggal 22 Januari
2013.
Kemlu. 2005. “Siaran Pers: Mengenai Pulau Berhala: Perlu Pemahaman Mendalam
Terhadap Prinsip Hukum Negara Kepulauan”, diakses dari
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetail-
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
47
NewsLike.aspx?l=id&ItemID=67bb52d2-7619-4b09-b635-7e8b20060e36 tanggal
19 Januari 2013.
Kompas. 2009. “Miangas-Marore Bisa Jadi Sipadan-Ligitan Jilid II” diakses dari
http://lipsus.kompas.com/read/2009/01/12/20230463/Miangas-
Marore.Bisa.Jadi.Sipadan-Ligitan.Jilid.II tanggal 20 Januari 2013.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 71. 2002. “Peraturan Pemerintah No.
38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia”, diakses dari http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 77. 2008. “Peraturan Pemerintah No.
37/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002
tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia”, diakses dari http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009.
Mak, JN. 2008. “Sovereignty in ASEAN and the Problems of Maritime Security in the
South China Sea”, S. Rajaratnam School of International Studies, Singapore.
Media Indonesia. 2009. “Pulau Miangas Bagian Integral Indonesia” diakes dari
http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTk2MzY= tanggal 15
Februari 2009
National Environgment Agency of Singapore. 2013. “Semakau Landfill”, diakses dari
http://app2.nea.gov.sg/semakaulandfill.aspx tanggal 26 Januari 2013.
Okezone. 2013. “Kemlu: Pulau Semakau ada di Indonesia dan Singapura”, diakses dari
http://international.okezone.com/read/2013/01/19/411/748659/kemlu-pulau-
semakau-ada-di-indonesia-singapura tanggal 19 Januari 2013.
Okezone. 2013. “Pulau Semakau Dicamplok Negara Singapura”, diakses dari
http://news.okezone.com/read/2013/01/19/340/748669/pulau-semakau-dicaplok-
negara-singapura tanggal 19 Januari 2013.
Permanent Court Of Arbitration. 1928. “The Island Of Palmas Case (Or Miangas) -
United States Of America V. The Netherlands” Arbitrator M. Huber, The Hague
Schofield, C. and Arsana, I MA. 2009. “Closing the Loop: Indonesia’s revised
archipelagic baselines system”, Australian Journal of Maritime and Ocean Affairs;
Volume 1, Issue 2; 2009; 57-62.
Soekarnoputri, M. 2003. “Pidato Kenegaraan Presiden R.I. Dan Keterangan Pemerintah
Atas Ruu Tentang RAPBN 2004 Serta Nota Keuangannya di Depan Sidang DPR
RI, Jakarta, 15 Agustus 2003”, Kepustakaan Presiden-Presiden Republik
Indonesia, Jakarta. Diakses dari http://kepustakaan-
presiden.pnri.go.id/uploaded_files/pdf/speech/normal/megawati11.pdf tanggal 31
Januari 2013.
Sumaryo. 2012. “Aspek Geospasial dalam Kasus Sengketa Pulau Berhala”, Prosiding
The 1st Conference on Geospatial Information Science and Engineering,
Yogyakarta, 20-22 November 2012.
The Jakarta Post. 2009. “Private mapmaker suspected in border blunder” diakses dari
http://www.thejakartapost.com/news/2009/02/14/private-mapmaker-suspected-
border-blunder.html tanggal 20 Januari 2013.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013
48
United Nations. 1982. “United Nations Convention on the Law of the Sea”, diakses dari
<http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/tets/unclos/ unclos_e.pdf>
tanggal 30 Januari 2013.
United Nations. 2013. “Chronological lists of ratifications of, accessions and successions
to the Convention and the related Agreements as at 23 January 2013”, diakses dari
http://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.ht
m tanggal 23 Januari 2013.
Wirajuda, H. 2004. ”Memaknai Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan”. Dalam Sutisna, S. (ed) “Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia”.
Jakarta: Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal.
Law and order exist for the purpose of establishing justice and when
they fail in this purpose they become the dangerously structured
dams that block the flow of social progress.
- Martin Luther King Jr. - ”
“