31
1. NORMA-NORMA AKAD (KONTRAK) DALAM FIQH ISLAM A. Sekilas tentang Sejarah Akad Al-‘Aqd (akad/kontrak) berasal dari kata ‘aqada– ya’qidu–‘aqd[an]; jamaknya adalah al-‘uqûd. Secara bahasa al-’aqd bermakna ar-rabth (ikatan), asy-syadd (pengokohan), at-taqwiyah (penguatan). Jika dikatakan, ‘aqada al-habla (mengikat tali), maksudnya adalah mengikat tali satu dengan yang lain, mengencangkan dan menguatkan ikatannya. Al-‘aqdu juga bisa bermakna al-‘ahdu (janji) atau al-mîtsâq (perjanjian). Adapun al-’uqdah (jamaknya al-‘uqad) adalah obyek ikatan atau sebutan untuk sesuatu yang diikat. Di dalam al-Quran kata ’aqada disebutkan sebanyak tujuh kali dalam tujuh ayat: kata ’aqada bermakna sumpah (QS 4: 33; 5: 89); al-’uqûd bermakna al-’ahdu atau janji (QS 5: 1; 20: 27); ‘uqdah bermakna ikatan (QS 2: 235, 237) dan al-‘uqad bermakna simpul atau buhul (QS 113: 4). Menurut al-Jashash sumpah disebut ’aqd jika berupa sumpah untuk perkara yang akan datang. Pada awalnya kata ’aqada digunakan untuk benda padat seperti tali dan bangunan, namun kemudian dengan majaz isti‘ârah kata ini juga diterapkan untuk selainnya seperti: ’aqd al-bay’ (akad jual-beli), ‘aqd al-’ahd (akad perjanjian), ‘aqd an-nikâh (akad nikah), dsb. Dalam konteks ini, ’aqada dimaknai sebagai ilzâm (pengharusan) dan iltizâm (komitmen atau irtibâth/pertautan). Abu Bakar menyatakan, al-’aqd adalah apa yang diakadkan (diwajibkan) oleh orang yang berakad atas suatu perkara yang harus ia lakukan, atau ia akadkan terhadap orang lain untuk melakukannya, dalam bentuk mengharuskan atau mewajibkan perkara itu kepadanya. Al-’aqd, meski asalnya secara bahasa bermakna asy-syadd (pengencangan), ia kemudian mengalami transformasi makna, 1 | Akad Ekonomi Islam

Akad Dalam Islam

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Akad Dalam Islam

1. NORMA-NORMA AKAD (KONTRAK) DALAM FIQH ISLAM

A. Sekilas tentang Sejarah Akad

Al-‘Aqd (akad/kontrak) berasal dari kata ‘aqada–ya’qidu–‘aqd[an]; jamaknya adalah

al-‘uqûd. Secara bahasa al-’aqd bermakna ar-rabth (ikatan), asy-syadd (pengokohan), at-

taqwiyah (penguatan). Jika dikatakan, ‘aqada al-habla (mengikat tali), maksudnya adalah

mengikat tali satu dengan yang lain, mengencangkan dan menguatkan ikatannya.

Al-‘aqdu juga bisa bermakna al-‘ahdu (janji) atau al-mîtsâq (perjanjian). Adapun al-’uqdah

(jamaknya al-‘uqad) adalah obyek ikatan atau sebutan untuk sesuatu yang diikat. Di

dalam al-Quran kata ’aqada disebutkan sebanyak tujuh kali dalam tujuh ayat: kata ’aqada

bermakna sumpah (QS 4: 33; 5: 89); al-’uqûd bermakna al-’ahdu atau janji (QS 5: 1; 20:

27); ‘uqdah bermakna ikatan (QS 2: 235, 237) dan al-‘uqad bermakna simpul atau buhul

(QS 113: 4). Menurut al-Jashash sumpah disebut ’aqd jika berupa sumpah untuk perkara

yang akan datang.

Pada awalnya kata ’aqada digunakan untuk benda padat seperti tali dan bangunan,

namun kemudian dengan majaz isti‘ârah kata ini juga diterapkan untuk selainnya seperti:

’aqd al-bay’ (akad jual-beli), ‘aqd al-’ahd (akad perjanjian), ‘aqd an-nikâh (akad nikah),

dsb. Dalam konteks ini, ’aqada dimaknai sebagai ilzâm (pengharusan) dan iltizâm

(komitmen atau irtibâth/pertautan).

Abu Bakar menyatakan, al-’aqd adalah apa yang diakadkan (diwajibkan) oleh orang

yang berakad atas suatu perkara yang harus ia lakukan, atau ia akadkan terhadap orang

lain untuk melakukannya, dalam bentuk mengharuskan atau mewajibkan perkara itu

kepadanya.

Al-’aqd, meski asalnya secara bahasa bermakna asy-syadd (pengencangan), ia

kemudian mengalami transformasi makna, seperti sumpah dan akad; akad jual beli dan

sebagainya. Yang dimaksud tidak lain adalah kewajiban memenuhi apa yang disebutkan

dan ditawarkan. Ini tidak lain diimplementasikan pada sesuatu yang ditunggu

pemenuhannya ke depan. Jual-beli, nikah, ijârah dan seluruh akad dengan kompensasi

disebut sebagai akad karena masing-masing pihak telah mewajibkan diri untuk

memenuhinya.

Makna tersebut kemudian dalam penggunaannya lebih menonjol dan menjadi ’urf

(tradisi). Karena itu, secara ‘urf, al-’aqd adalah iltizâm al-jânibayn li syay’in wa

muqâbiluhu (komitmen dua pihak untuk suatu perkara berikut kompensasinya).

1 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 2: Akad Dalam Islam

Menurut Ibn Manzhur, “Jika Anda berkata. ’âqadtuhu, atau ’aqadtu ’alayhi, maka

takwilnya adalah: Anda mengikat (mengharuskan) dia atas hal itu dengan istîtsâq

(meminta janji/komitmen) dan membuat kontrak (kesepakatan) dan perjanjian.”

Dengan demikian, al-’aqd adalah transaksi dan kesepakatan, atau komitmen dengan

konotasi al-istîtsâq. Itu tentu tidak akan terjadi, kecuali di antara dua pihak yang saling

berakad. Adapun al-‘ahd (janji) bisa berlangsung dari satu pihak saja. Karenanya, al-‘ahd

lebih umum daripada al-‘aqd, karena tidak semua al-‘ahd (janji) merupakan al-‘aqd

(akad). Sebaliknya, semua al-‘aqd (akad) merupakan al-‘ahd (janji).

B. Alat Akad

Alat akad bisa dalam bentuk tulisan atau secara lisan, berikut hal-hal yang dibutuhkan (di

sebutkan satu per satu) sehingga akad dapat dinyatakan sah.

C. Dasar-dasar dalam Hukum Islam

1) Makna Akad (Kontrak)

Akad berasal dari bahasa arab (العقد ) Al’Aqad yang berarti perikatan, perjanjian,

dan pemufakatan. Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan

menerima ikatan), sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada objek

perikatan.

Pengertian ialah umumnya yakni sesuatu yang di ikatkan seseorang bagi dirinya

sendiri atau bagi orang lain dengan kata harus. Akad atau perjanjian sendiri

mempunyai banyak arti yang keseluruhannya kembali pada bentuk ikatan atau

penghubungnnya terhadap dua hal.

Menurut musthofa as zawqa’, setiap akad adalah tindakan hukum yang dilakukan

dua atau lebih yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak atau

keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati,

sehingga untuk menyatakannya masing-masing diungkapkan dalam suatu pernyataan

ijab dan qobul.

- Pihak yang melakukan ijab disebut mujib ( جب ( مو

- Pihak yang melakukan qobul disebut qaabil ( بل .( قا

Biasanya pihak pertama yang menyatakan adalah mujib baru kemudian qaabil

seperti dalam akad nikah. Namun dalam muamalah boleh qaabil dulu baru mujib.

Keduanya mengucapkan ungkapan/pernyataan akad atau shighah al-aqd ( صیغة العقد

). Hukum akad adalah wajib bagi pihak-pihak yang terikat hingga akad selesai

ditunaikan ataupun akadnya batal.

2 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 3: Akad Dalam Islam

2) Macam-macam Akad

Menurut ulama fiqih, akad dapat dibagi dari beberapa segi. Apabila dilihat dasri

segi keabsahannya menurut syara’, maka akad dibagi dua, yaitu:

Akad sahih, yaitu akad yang telah memenuhi syarat dan rukun. Dengan demikian,

segala akibat hukum yang ditimbulkan oleh akad itu, berlaku kepada kedua belah

pihak. Ulama Mahzab Hanafi dan Mahzab Maliki, membagi lagi akad sahih ini

menjadi dua macam:

a. Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang

dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syarat dan tidak ada penghalang

untuk melaksanakannya.

b. Akad mauquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang mampu bertindak

atas kehendak hukum, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan untuk

melangsungkan dan melaksanakan. Akad tersebut seperti akad yang dilakukan

oleh anak kecil yang menjelang akil baligh (mumayyiz). Akad itu baru sah

secara sempurna dan memiliki akibat hukum setelah mendapat ijin dari wali

anak itu. Menurut Mahzab Syafi’i dan Mahzab Hambali, bahwa jual-beli yang

mauquf itu tidak sah.

Lebih lanjut jika dilihat dari sisi mengikat atau tidak jual-beli yang sahih itu, ulama

fiqih membaginya kepada dua macam:

a. Akad yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, sehingga salah satu

pihak tidak boleh membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain, seperti akad

jual-beli dan sewa-menyewa.

b. Akad yang tidak bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, seperti ariyah

(pinjam-meminjam) dan wadi’ah (barang titipan).

Akad yang tidak sahih yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau

syarat, sehingga akibat hukum tidak berlaku bagi kedua belah pihak yang

melakukan akad itu. Kemudian Mahzab Hanafi membagi lagi akad yang tidak sahih

ini kepada dua macam, yaitu: akad yang batil dan akad yang fasid.

Suatu akad dikatakan batil apabila akaad itu tidak memenuhi salah satu rukun

dan larangan langsung dari syara’. Umpamanya: objek akad (jual-beli) itu tidak jelas

seperti menjual ikan dalam empang (lautan), atau salah satu pihak tidak mampu

(belum pantas) bertindak atas nama hukum seperti anak kecil atau orang gila.

3 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 4: Akad Dalam Islam

Suatu akad dikatakan fasid, adalah suatu akad yang pada dasarnya

dibenarkan, tetapi sifat yang diakadkan tidak jelas, seperti menjual mobil tidak

disebutkan merknya, tahunnya dan sebagainya.

3) Prinsip Syariah tentang Cara Memahami Persyaratan Akad

1. Akad termasuk dalam lingkup hukum muamalah. Hukum asal muamalah ialah

segala sesuatu boleh kecuali ada ketentuan yang melarangnya.

2. Segala sesuatu yang menyangkut masalah akad seperti subjek, objek dan

pernyataan akan harus sesuai dengan prinsip syariah.

3. Adanya ketertbukaan, kejujuran, kepercayaan dan ketulusan antara pihak-pihak

yang melakukan akad.

4. Memandang adanya manfaat untuk akhirat.

5. Sebaiknya semua akad perjanjian ditulis dan dipersaksikan didepan saksi-saksi.

6. Akad yang ditulis bisa dengan tulisan tangan langsung ataupun dengan

mengajukan ke notaries seperti pada akad jual beli tanah sehingga akad yang

ada memiliki kekuatan hokum tetap.

4) Rukun-Rukun Akad / Kontrak

Menurut jumhur (mayoritas) lugaha, rukun akad terdiri atas:

1. Pihak-pihak yang melakukan akad (‘Aqid).

2. Objek yang dilakukan akad (maqud ‘alaih).

3. Pernyataan untuk mengikatkan diri (shighah al-aqd).

Menurut ulama Mahzab Hanafi, rukun akad hanya shighah al-aqd, sedangkan pihak

yang berakad dan objek akad adalah syaratnya. Ketentuan shighah al-aqd:

1. Tujuan akad harus jelas dan dapat dipahami.

2. antara ijab dan qabul harus ada kesesuaian.

3. Pernyataan ijab dan qabul itu harus sesuai dengan kehendak masing-masing,

dan tidak boleh ada yang meragukan.

5) Syarat-Syarat Akad

Disamping syarat-syarat khusus akad seperti dalam akad jual beli, akad sewa

maupun akad lainnya, terdapat beberapa syarat umum. Antara lain:

1. Pihak-pihak yang melakukan akad dipandang mampu bertindak menurut hukum

(mukallaf). Bila belum mampu dapat diwakilkan oleh walinya.

2. objek akad diakui syara’ meliputi:

4 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 5: Akad Dalam Islam

a. Berbentuk harta

b. Dimiliki oleh seseorang

c. Bernilai harta menurut syara’ (misalnya bukan barang haram, najis)

d. Barang tersedia saat akad dan dapat diserahkan usai akad kecuali untuk

‘aqad salam (indent), istihna’(pesanan barang), musaaqah(transaksi

antara pemilik kebun dan pengelolanya). Pengecualian dibenarkan karena

akad-akad seperti itu sudah umum menjadi adat kebiasaan masyarakat.

3. Akad tidak dilarang oleh nash syara’.

4. Akad yang dilakukan memenuhi syarat-syarat khusus dengan akad yang

bersangkutan, disamping harus memenuhi syarat-syarat umum.

5. Akad itu bermanfaat.

6. Ijab tetap utuh sampai terjadi qabul.

7. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis atau waktu yang sama.

Jumhur ulama fiqih selain Mahzab Syafi’I membolehkan adanya tenggang waktu

antara ijab dan qabul. Bahkan Mahzab maliki membolehkan jika penerima meminta

tenggang waktu sebelum mengucapkan qabul. Mahzab Syafi’I mengharuskan setelah

ijab sesegera mungkin dijawab qabul.

a. Tujuan akad harus jelas dan diakui syara’.

b. Harus sama ridho dan iklas.

c. Ijab dan qabul harus jelas dan gamblang terhindar dari khiyar (penafsiran

ganda) yang dapat menimbulkan kesalhpahaman antar pihak yang bersepakat.

Dalam akad memiliki kebebasan mangajukan syarat, ada yang bersifat mutlak,

tanpa batas selama tidak ada larangan dalam Al Quran dan sunnah seperti yang

diutarakan uleh ulama Mahzab Hambali dan Mahzab Maliki. Sedangkan menurut

ulama Mahzqab Hanafi dan Mahzab Syafi’I syarat yang ada tetap ada batasannya

walaupun tidak ada dalil yang melarang seperti syarat jika sesudah menikah nanti

suami akan menafkahi istri. Syarat tersebut tidak boleh karena suami menafkahi istri

adalah kewajiban sehingga tidak bias menjadi syarat.

6) Syarat-Syarat Rukun Akad

Ada beberapa syarat yang harus terdapat dalam akad, namun dapat dibagi

menjadi dua macam. Pertama, syarat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna

wujudnya dalam segala macam akad. Kedua, syarat khusus, yaitu syarat-syarat yang

disyaratkan wujudnya dalam sebagian akad, tidak dalam sebagian yang lain. Syarat-

syarat ini biasa juga disebut syarat tambahan (syarat idhafiyah) yang harus ada di

5 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 6: Akad Dalam Islam

samping syarat-syarat umum, seperti adanya saksi, untuk terjadinya nikah, tidak boleh

adanya ta'liq dalam aqad muawadha dan aqad tamlik, seperti jual beli dan hibah . Ini

merupakan syarat-syarat idhafiyah. Sedangkan syarat-syarat yang harus terdapat

dalam segala macam akad adalah:

a. Ahliyatul 'aqidaini (kedua pihak yang melakukan akad cakap bertindak atau

ahli).

b. Qabiliyatul mahallil aqdi li hukmihi (yang dijadikan objek akad dapat menerima

hukuman).

c. Al-Wilyatus syar'iyah fi maudhu'il aqdi (akad itu diizinkan oleh syara dilakukan

oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya,

walaupun dia bukan si 'aqid sendiri).

d. Alla yakunal 'aqdu au madhu'uhu mamnu'an binashshin syar'iyin (janganlah

akad itu yang dilarang syara) seperti bai' munabadzah.

e. Kaunul 'aqdi mufidan (akad itu memberikan faedah).

f. Baqaul ijabi shalihan ila mauqu'il qabul (ijab berjalan terus, tidak dicabut,

sebelum terjadi qabul).

g. Ittihadu majalisil 'aqdi (bertemu di majelis akad). Maka ijab menjadi batal

apabila berpisah salah seorang dari yang lain dan belum terjadi qabul

2. JENIS-JENIS AKAD (TRANSAKSI)

A. Akad Pertukaran

Jual Beli

1) Berdasarkan perbandingan harga jual dan harga beli

Al Musawwamah

Yang dimaksud dengan Musawamah adalah Jual beli yang keuntungannya

hanya diketahui penjual.

Al Tauliah

Yang dimaksud dengan Tauliah adalah Jual beli yang tidak ada keuntungan

bagi penjual (komisi).

Al Muwadhaah

Yang dimaksud dengan Muwadhaah adalah Jual beli yang harganya dibawah

harga jual (diskon).

6 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 7: Akad Dalam Islam

Al Murabahah

Al Murabahah jual beli barang pda harga asal dengan tembahan keuntungan

yanng disepakati. Dalam istilah teknis perbankan syari’ah murabahah ini

diartikan sebagai suatu perjanjian yang disepakati antara Bank Syariah dengan

nasabah, dimana Bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku

atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali

oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank + margin keuntungan)

pada waktu yang ditetapkan.

Dalam bai' al murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang dia

beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.

Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian dengan sistem pemesanan.

Dalam al-Umm, Imam Syafi’i menamai transaksi ini dengan istilah al-amir bi al-

syira . Dalam hal ini calon pembeli atau pemesan dapan memesan kepada

sesorang (sebut saja pembeli) untuk membelikan suatu barang tertentu yang

diinginkannya. Kedua belah pihak membuat kesepakatan mengenai barang

tersebut serta kemungkinan harga asal pembelian yang masih sanggup

ditanggung pemesan. Setelah itu, kedua belah pihak juga harus menyepakati

beberapa tambahan yang harus dibayar pemesan. Jual beli kedua belah pihak

dilakukan setelah barang tersebut berada di tangan pemesan.

Dari Suhaib al-Rumi r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersabda : “Tiga hal yang

didalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhan

(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan

rumah, bukan untuk dijual” (HR. Ibn Majah)

Produk murabahah adalah pembiayaan perbankan syariah dengan memakai

prinsip jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang

disepakati, dengan pihak bank selaku penjual dan nasabah selaku pembeli, atau

sebagai dana talangan. Karakteristiknya adalah penjual harus memberi tahu

harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai

tambahannya. Pembayaran dapat dilakukan secara angsuran sesuai dengan

kesepakatan bersama.

Bila dilihat sekilas, terdapat persamaan jual beli murabahah dengan

pembiayaan konsumtif. Persamaannya antara lain, pembiayaan yang diberikan

adalah barang (motor, mobil, dll.)/bukan uang, dan pembayarannya secara

cicilan. Namun, jika diperhatikan lebih dalam sesuai dengan fatwa DSN MUI,

7 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 8: Akad Dalam Islam

karakteristiknya berbeda. Terdapat beberapa perbedaan utama antara jual beli

murabahah dengan pembiayaan konsumen.

Perbedaan pertama, harga jual pembiayaan konsumen biasanya memakai

tingkat bunga yang tergantung situasi pasar, sedangkan margin/tingkat

keuntungan murabahah (bila sudah terjadi ijab kabul) bersifat tetap, sehingga

harga jual tidak boleh berubah. Jadi, sejak awal perjanjian sampai dengan masa

pelunasan, bank syariah tidak diperbolehkankan mengubah harga yang telah

diperjanjikan/ diakadkan. Pada lembaga keuangan konvensional, dimungkinkan

membuat sebuah klausul untuk meningkatkan bunga seperti karena akibat

ketergantungan pada situasi pasar, krisis BBM, dan krisis nilai tukar. Keunggulan

dari sebuah produk jual beli murabahah adalah memberikan kepastian dan

kenyamanan kepada nasabah terhadap angsuran pembiayaan.

Perbedaan kedua, akad murabahah adalah akad jual beli, sehingga

diwajibkan adanya suatu barang yang diperjualbelikan. Barang yang

diperjualbelikan tersebut berupa harta yang jelas harganya, seperti mobil atau

motor. Sedangkan akad pembiayaan konsumen adalah akad pinjam meminjam.

Dalam hal ini belum tentu ada barangnya. Pada pembiayaan konsumen,

nasabah diberi uang yang akan dipergunakan untuk membeli barang yang

dibutuhkan. Dalam praktiknya, sering kali terjadi penyalahgunaan pemakaian.

Perbedaan ketiga, dalam hal utang nasabah. Dalam jual beli murabahah,

utang nasabah adalah sebesar harga jual. Harga jual adalah harga

perolehan/pembelian barang ditambah keuntungan yang disepakati. Apabila

nasabah mengangsur utangnya, utang nasabah itu akan berkurang sebesar

pembayaran angsuran yang dilakukan, jadi tidak membedakan lagi unsur pokok

dan keuntungan. Sedangkan pada pembiayaan konsumen, utang nasabah

adalah sebesar pokok kredit ditambah dengan bunga. Bila dibayar secara

angsuran, utang nasabah akan berkurang sebesar pembayaran angsuran pokok

kredit dan pembayaran bunga. Jadi, dalam pembiayaan konsumen dikenal

adanya utang pokok dan hutang bunga.

Dalam akad murabahah, apabila bank syariah mendapat diskon pemebelian

dari pemasok, harga perolehan/pembelian adalah harga setelah didiskon.

Diskon adalah hak nasabah. Namun, bila diskon dari pemasok diberikan setelah

akad murabahah, pembagian diskon antara bank syariah dengan nasabah

didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang sudah tercantum pada akad.

8 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 9: Akad Dalam Islam

Jika nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan pembayaran

tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang disepakati, bank syariah boleh

memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat

tidak diperjanjikan dalam akad, yang besarnya diserahkan pada kebijakan dan

pertimbangan bank syariah

2) Berdasarkan jenis barang pengganti

Al Mughayabah

Yang dimaksud dengan akad Al Mughayabah adalah tukar menukar

barang dengan barang.

Al Mutlaq

Yang dimaksud dengan akad Al Mutlaq adalah tukar menukar uang

dengan barang.

As Sharf

Penelusuran tentang transaksi mata uang ( As Sharf ) dalam kitab

fiqh sedikit dan terbatas, keterbatasan ini dapat dipahami, karena mungkin

pada masa lampau, ketika kitab fiqh sedang ditulis oleh fuqaha masalah jual

beli mata uang bukan masalah yang menonjol sebagaimana masalah

muamalat lainnya. Dengan demikian perhatian tidak cukup banyak terhadap

masalah ini. Masalah valuta muncul ke permukaan dan menjadi

perbincangan ulama baru ketika terjadi ketidakstabilan nilai tukar emas dan

perak pada masa kesultanan Mamluk, tepatnya masa Nasir Muhammad bin

Qalamun semasa Imam Ibnu Taimiyah6.

Kitab fiqh yang membicarakan bab transaksi valuta asing dikenal

dengan As Sharf, sering menempatkan pembahasannya sebagai bagian dari

bab jual beli, sub bab macam macam Jual Beli (Wahbah Az Zuhaili )

sedangkan As Sharf dalam Bidayatul Mujtahid Juz II pembahasan setelah bab

jual beli. Secara umum jual beli mata uang / As Sharf dalam kitab kitab fiqh

diidentikkan dengan tukar menukar antara emas dan emas atau perak

dengan perak. Oleh karena itu dalam kitab fiqh apa saja yang menjadi

ketentuan/ syarat rukun dalam transaksi berlaku juga dalam transaksi mata

uang ( As –Sharf ), hanya saja kategorinya lebih khusus. Transaksi Valuta

asing dari ketentuan tersebut sepanjang memenuhi ketentuan dalam

transaksi Islam adalah kegiatan yang ditolelir tetapi, meski boleh, perlu

dibuat semacam catatan karena pada dasarnya Islam memandang uang

9 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 10: Akad Dalam Islam

harta sebagai alat tukar bukan komoditas, untuk memenuhi permintaan dan

penawaran/ money demand for transaction bukan spekulasi.

Dalam Kamus al Munjid fi al Lugah7 disebutkan bahwa al sharf

berarti menjual uang dengan uang lainya. Istilah al sharf yang berarti jual

beli valuta dapat ditemukan dalam beberapa kamus. Muhammad al Adnani

mendefinisikan al sharf dengan tukar-menukar uang.8 Yang dalam istilah

Inggris adalah money changer. Menurut Istilah Syara’ Sharf adalah jual beli

satu mata uang dengan mata uang yang lain baik mata uang tersebut satu

jenis atau berlainan jenis.

Jual beli mata uang mendasarkan pada QS;2, 275 tentang

Kebolehan Jual beli; Allah Menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba.

Dan hadits tentang jual beli mata uang (As- Sharf) diantaranya

mendasarkan pada Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu

Majah dari Ubadah bin Shamit tentang tukar menukar emas dan perak.

Syarat Syarat jual beli mata uang ( As- Sharf ):

a) Serah terima dalam majlis kontrak

b) Jika dengan mata uang yg sama, jumlahnya harus sama

c) Tidak boleh ada khiyar syarat

d) Tidak boleh ditangguhkan, masing masing pihak yang bertransaksi

tidak boleh menangguhkan penyerahan barang untuk jangka waktu

tertentu karena barang tersebut harus diterima dan jatuh sebagai

hak milik masing masing pembeli sebelum mereka berpisah.

Dalam jual beli mata uang harus memenuhi syarat khusus; tiada penundaan,

yang berarti harus tunai dan tiada pelebihan yang berarti dengan syarat

keseimbangan. Dalam jual beli mata uang asing Ulama sepakat dengan

syarat tunai, tetapi mereka berbeda tentang waktu yang membatasi

pengertian tunai ini. Imam Hanafi dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa

jual beli mata uang terjadi secara tunai selama keduabelah pihak belum

berpisah, baik itu penerimaannya itu segera atau lambat. Jadi

penerimaannya bisa dengan perjanjian waktu tertentu. Berbeda dengan

Imam Malik yang berpendapat bahwa jika penerimaan pada majlis

terlambat, maka jual beli itu batal, meski kedua belah pihak belum berpisah.

Karena ia tidak menyukai janji janji didalamnya.

10 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 11: Akad Dalam Islam

Sementara itu ulama Kontemporer, seperti al Qardawi, dalam hal

memperjualbelikan mata valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai,

mengatakan tidak diperbolehkan. Selanjutnya beliau mengatakan tidak sah

jual beli uang dengan sistem penangguhan, bahkan harus dilakukan secara

tunai di tempat transaksi. Hanya saja yang menjadi kriteria tunainya sesuatu

itu menurut ukurannya sendiri-diri. Dalam hal ni menurut Yusuf al-Qardhawi

syara’ telah menyerahkan ukuran tersebut kepada adat kebiasaan yang

berlaku di suatu masyarakat. Walaupun demikian, realita tunai ini juga

mengikuti hukum darurat yang diukur sesuai dengan ukurannya. Justru itu

umat Islam tidak diperkenankan untuk menjual apa yang dibelinya kecuali

setelah diterimanya terlebih dahulu barang itu menurut adat kebiasaan yang

berlaku.

Merujuk uraian diatas, dapat ditarik benang merah bahwa semua

pendapat sepakat tentang dibolehkannya jual beli mata uang dengan

syarat syarat khusus, tunai dan kadarnya sama, hanya saja perbedaan

terletak pada interpretasi batasan istilah tunai dalam transaksi. Syafi’i dan

Hanafi berpendapat bahwa tenggang waktu bisa diundur selama kedua

belah pihak belum meninggalkan majlis, sedangkan Malik tidak ada

tenggang waktu antara terjadinya akad dengan terjadinya serah terima

barang.

Dalam keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional, secara umum

memberi justifikasi bahwa jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan

ketentuan:

a) Tidak untuk spekulasi (untung untungan);

b) Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga jaga (simpanan);

c) Jika mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai;

d) Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (Kurs)

yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.

Untuk jenis transaksi valuta asing, hukumnya boleh, karena dianggap tunai,

sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak

bisa dihindari dan merupakan transaksi Internasional. Sedangkan untuk

transaksi Forward, Swap dan Option hukumnya haram, karena didalamnya

ada unsur spekulasi (maisir).

3) Berdasarkan waktu penyerahan

11 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 12: Akad Dalam Islam

Bithaman Ajil

Ciri-ciri perjanjian pada pembiayaan Al Baiu Bithaman Ajil adalah :

a) Perjanjian campuran (sui generis) karena di satu sisi perjanjian

dilaksanakan atas negosiasi para pihak (perjanjian timbal balik) dan di sisi

lain ditetapkan oleh bank secara sepihak (perjanjian baku).

b) Janji menurut ketentuan Hukum Islam harus ditepati. Bila memungkiri

perjanjian (wan prestasi) bukan tanda-tanda orang beriman

Bai as Salam

Kata salam, huruf sin dan lam diberi harakat fathah, adalah semakna dengan

kata salaf. Sedangkan hakikat salam menurut syar’i adalah jual beli barang

secara ijon dengan menentukan jenisnya ketika akad dan harganya dibayar di

muka. (Fiqhus Sunnah III: 171). Allah swt berfirman : “Hai orang-orang yang

beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang

ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS al-Baqarah: 282).

Ibnu Abbas ra berkata, “Saya bersaksi bahwa jual beli secara ijon yang

jangka waktunya ditentukan sampai waktu tertentu, benar-benar telah

dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya, dan padanya Dia membolehkannya.”

Kemudian ia membaca ayat di atas. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1369, Mustadrak

Hakim II: 286 dan Baihaqi VI: 18).

Darinya (Ibnu Abbas) ra, ia berkata, “Nabi saw datang di Madinah, sedang

mereka biasa membeli kurma secara ijon, dua tahun dan tiga tahun, maka

tentukanlah dengan takaran tertentu, timbangan tertentu, buat satu masa

tertentu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IV: 429 no: 2240, Muslim III: 1226 no:

1604, Tirmidzi II: 387 no: 1325, ‘Aunul Ma’bud IX: 348 no: 3446, Ibnu Majah II:

765 no: 2280 dan Nasa’i VI: 290).

Dalam jual beli secara ijon tidak dipersyaratkan pihak penjual secara ijon

harus sebagai pemilik penuh. Dari Muhammad bin Abi al-Mujahid, ia berkata:

Saya pernah diutus oleh Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah untuk menemui

Abdullah bin Abi Aufa ra, maka mereka berdua berkata, “Tanyakanlah kepada

Abdullah bin Abi Aufa, apakah para sahabat Nabi saw pada masa Beliau saw

biasa membeli hinthah secara ijon?” (Setelah ditanya), Abdullah bin Abi Aufa

menjawab, “Dahulu kami biasa membeli hinthah, sya’ir dan minyak kepada

petani dari Syam secara ijon dengan takaran tertentu dan sampai waktu

tertentu (pula).” Saya bertanya, “Kepada orang yang punya modal pokok?”

12 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 13: Akad Dalam Islam

Jawab Abdullah, “Pada waktu itu, kami tidak menanyakan hal itu kepada

mereka.” Kemudian saya diutus oleh Abu Burdah menemui Abdurrahman bin

Abza, “Adalah para sahabat Nabi saw biasa membeli barang secara ijon pada

masa Beliau saw namun kami tidak pernah bertanya kepada mereka, apakah

mereka punya ladang ataukah tidak.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1370, Fathul

Bari IV: 430 no: 2244 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, ‘Aunul Ma’bud IX: 349

no: 3447, Nasa’I VII: 290 dan Ibnu Majah II: 766 no: 2282).

Bai’ as salam berarti pemesanan barang dengan persyaratan yang telah

ditentukan dan diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan

sebelum barang diterima. Dengan kata lain, barang yang diperjualbelikan belum

ada wujudnya. Pada bank konvensional konsep ini dikenal dengan sebagai

bridging financing.

Dalam transaksi Bai’ as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang

mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan

(sighot).

Bai’ as Salam berbeda dengan ijon, sebab pada ijon, barang yang dibeli tidak

diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli sangat

tergantung kepada keputusan si tengkulak yang mempunyai posisi lebih kuat.

Aplikasi Bai’ as Salam pada Lembaga Keuangan Syariah biasanya dipergunakan

pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-

6 bulan. Lembaga Keuangan dapat menjual kembali barang yang dibeli kepada

pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, Pedagang Pasar Induk, atau Grosir.

Penjualan kembali kepada pembeli kedua ini dikenal dengan istilah “Salam

Paralel”.

Bai u Al Istisna

Transaksi Bai’ al Istishna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan

pembuat barang melalui pesanan, pembuat barang berkewajiban memenuhi

pesanan pembeli sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati. Pembayaran

dapat dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai batas waktu

yang telah ditentukan.

Dalam sebuah kontrak Bai’ al Istishna, pembeli dapat mengizinkan pembuat

barang menggunakan sub kontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut.

Dengan demikian, pembuat barang dapat membuat kontrak istishna kedua

13 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 14: Akad Dalam Islam

untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak seperti ini

dikenal sebagai “Istishna’ Paralel”

Bai u Al Istijrar

Istijrar secara bahasa artinya menarik atau menyeret. Secara terminologis

ilmu fiqih: Mengambil kebutuhan yang perlu dibeli sedikit demi sedikit, lalu

membayarnya sesudah itu.

Para ahli fiqih berbeda pendapat juga tentang jual beli ini. Pemicu

perbedaan pendapat mereka adalah karena si pembeli tidak tahu harga barang

ketika mengambilnya, bukan karena pembayarannya yang ditunda sampai

waktu penghitungannya. Berdasarkan hal ini, apabila harganya telah diketahui

secara pasti, maka jual beli ini sah menurut seluruh ulama. Karena dalam kon-

disi demikian, jual beli ini tidak akan keluar dari bentuk jual beli nasiah, sehingga

termasuk dalam keumuman dalil-dalil yang menetapkan disyariatkannya jual beli

tersebut. Namun kalau harga-nya tidak diketahui, inilah yang menjadi

perdebatan di antara para ulama.

Mayoritas ulama menetapkan tidak disyariatkannya jual beli ini karena tidak

diketahuinya harga pembayaran. Kalangan Hambaliyah dalam salah satu riwayat

dari mereka menjelaskan bahwa hal itu dibolehkan. Itulah pendapat yang dipilih

oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Hal itu menurut mereka sama dengan

sahnya nikah tanpa menyebutkan jumlah mahar. Jumlah mahar itu dikembalikan

dengan standar mahar secara umum. Dan harga barang dalam jual beli ini pun

dikembalikan kepada harga standar. Kemungkinan di antara dalil yang paling

jelas yang menjelaskan disyariatkannya jual beli ini adalah karena bentuk jual

beli ini sudah demikian populer di berbagai negeri dan belahan dunia, sampai di

kalangan mereka yang mela-rangnya sekalipun. Dan tak seorangpun di antara

mereka yang berani menyatakan bahwa jual beli itu batal.

Abu Daud menjelaskan dalam al-Masail bab: Membeli Tanpa Mengetahui

Harga, "Aku pernah mendengar Ahmad ditanya tentang seorang lelaki yang

mengirim orang ke tukang sayur dan mengambil kebutuhannya satu demi satu,

baru di kemudian hari ia menghitung semua pembeliannya. Beliau menjawab,

'Saya harap jual beli semacam itu tidak ada apa-apa.' Beliau ditanya, 'Apakah

saat itu juga disebut sebagai jual beli?' Beliau menjawab, 'Tidak'." Ibnul Qayyim

menyebutkan dalam I'lamul Muwaqqi'in: "Para ulama berbeda pendapat

tentang bolehnya jual beli tersebut karena harga diputuskan tanpa perkiraan

14 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 15: Akad Dalam Islam

harga barang sesungguhnya pada saat transaksi. Bentuk aplikatifnya: Jual beli

yang dilakukan dengan rekan bisnis, seperti tukang roti, tukang daging atau

penjual minyak samin, atau yang lainnya. Ia mengambil kebutuhannya dari

mereka dan menghitung seluruhnya di awal bulan atau awal tahun, lalu

membayarnya. Namun sebagian besar ulama melarangnya. Mereka

menganggap serah terima barang itu tidak memindahkan kepemilikan. Itu

adalah serah terima rusak seperti halnya serah terima barang rampasan. Karena

serah terima itu dilakukan dengan transaksi yang rusak. Namun mereka semua

juga melakukan jual beli tersebut, selain orang yang bersikap ekstrim. Karena

mereka tidak menemukan jalan lain, meskipun mereka menyebutkan fatwa

bahwa jual beli semacam itu batil, dan bahwa barang itu masih dalam

kepemilikan oleh si penjual. Ia tidak bisa melepaskan diri dari jual beli itu, dalam

arti mereka tidak mungkin menawar setiap kali ia membutuhkan sesuatu yang

diambil, murah atau mahal. Kalau serah terima barang harus dilakukan dengan

pelafalan, maka tawar menawar itupun harus dilakukan dengan pelafalan ijab

dan qabul (serah terima).

Kemudian Ibnul Qayyim melanjutkan: "Pendapat kedua: –dan inilah

pendapat yang tepat– yakni yang selalu diamalkan oleh umat Islam di segala

masa dan di segala tempat, yakni dibolehkannya jual beli itu sampai batas harga

termahal. Itulah pendapat yang dinyatakan oleh Ahmad dan dipilih oleh guru

kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Aku pernah mendengarnya berkata, "Itu

lebih menyenangkan hati pembeli daripada tawar menawar. Dalam hal ini saya

juga memi-liki panutan. Saya hanya memilih pendapat yang telah diambil oleh

ulama selain saya." Kemudian beliau melanjutkan, "Orang-orang yang melarang

jual beli semacam itu tetap tidak mungkin meninggalkan jual beli tersebut.

Bahkan mereka turut melakukan-nya juga. Sementara dalam Kitabullah maupun

Sunnah Rasulullah bahkan juga ijma' kaum muslimin, atau sekedar pendapat

seorang sahabat maupun qiyas yang sah, tidak ada yang menjelaskan

keharamannya. Di sisi lain umat Islam telah bersepakat mengang-gap sah nikah

tanpa mengetahui jumlah mahar dengan memberikan mahar standar. Bahkan

kebanyakan ulama juga membolehkan perjanjian sewa menyewa dengan

pembayaran standar, seperti me-nyewa tukang cuci, tukang roti, nelayan,

tukang membersihkan dan dapur. Namun setidaknya jual beli tersebut dengan

meng-gunakan harga standar. Jual beli semacam itu dibolehkan, sebagai-mana

15 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 16: Akad Dalam Islam

halnya membayar dengan harga standar baik dalam jual beli ini ataupun jual beli

lainnya. Inilah qiyas yang tepat, yang hanya dengan analogi inilah kepentingan

umat dapat ditegakkan

B. Akad Titipan / Al Wadiah

Wadi’ah adalah perjanjian antara pihak yang memiliki barang (termasuk uang) untuk

menyimpan barangnya dengan pihak lain (termasuk Bank) dengan tujuan supaya barang

itu disimpan dan dijaga keselamatannya.

Wadiah yang dilakukan tanpa satu syarat pun disebut Amanah (Yad Amanah). Dalam

hal ini, pihak yang menyimpan tidak bertanggungjawab atas kerusakan atau kehilangan

barang yang disimpan, kecuali jika kerusakan atau kehilangan itu disengajanya.

Jika pihak yang menyimpan meminta izin dari pihak pemilik barang untuk untuk

menggunakan barang itu atau tetap menggunakan barang itu tanpa izin, maka Wadiah

seperti itu adalah Jaminan (Yad Dhamanah). Dalam hal ini, pihak yang menyimpan

bertanggungjawab atas kerusakan atau kehilangan barang yang disimpan itu. Dalam

Wadiah yang berbentuk Jaminan (Yad Dhamanah), semua manfaat dan keuntungan yang

diperoleh dari penggunaan barang itu menjadi hak pihak yang menyimpan.

C. Akad Bersyarikat

1) Al Musyarakah

Musyarakah adalah perjanjian perkongsian antara dua atau lebih pemilik modal

untuk menjalankan suatu proyek perniagaan, di mana mereka semua setuju untuk

menyumbangkan modal dan berkongsi bagi hasil.

Modal yang disumbangkan hendaklah berupa uang atau harta benda lainnya yang

bisa dinilai dengan uang. Semua modal yang disumbangkan hendaklah dicampur, supaya

semua modal itu akan menjadi hak proyek tersebut dan sudah bukan hak milik

perseorangan para pemilik modal.

Pengurusan proyek boleh dilakukan oleh semua pemilik modal atau beberapa orang

dari mereka. Jika hanya dilakukan oleh beberapa pemilik modal, maka perlu mendapat

izin dari pemilik modal yang lain.

Pembagian keuntungan antara para pemilik modal dilakukan menurut nisbah yang

telah mereka setujui. Nisbah pembagian keuntungan antara para pemilik modal tidak

harus sejumlah dengan sumbangan modal mereka masing-masing dalam proyek

tersebut. Jika ada kerugian, hendaklah ditanggung bersama oleh para pemilik modal

menurut nisbah sumbangan modal masing-masing. Al Musyarakah dalam aplikasi

lembaga keuangan Syariah dapat berbentuk:

16 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 17: Akad Dalam Islam

a) Pembiayaan Proyek, yaitu pelaku usaha dan Lembaga Keuangan Syariah (selaku

pemodal) sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut.

Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana yang digunakan beserta

bagi hasil yang telah disepakati di awal perjanjian (ijab-kabul).

b) Modal Ventura, yakni penanaman modal dilakukan oleh lembaga keuangan

Syariah untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu lembaga keuangan

tersebut melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya kepada pemegang

saham perusahaan.

2) Al Mudharabah

Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu

melakukan perjalanan untuk berniaga. Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang

berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (QS Al-Muzzammil : 20).

Mudharabah disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong),

karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia

berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.

Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah

pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya

dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan

ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah III: 212).

Bagi hasil antara pemilik modal dengan pengusaha adalah secara nisbah, seperti 50 :

50, 40 : 60 atau 30 : 70 menurut perundingan dan persetujuan antara kedua belah pihak.

Penentuan nisbah ini hendaklah dipastikan dalam perjanjian.

Jika ada kerugian, semuanya ditanggung oleh pemilik modal, kecuali jika kerugian itu

disebabkan oleh kecurangan, penyelewengan atau penyalah-gunaan pengusaha.Produk

dengan akad Mudharabah biasanya digunakan untuk produk tabungan dan deposito.

Mudharabah hukumnya jaiz, boleh baik secara mutlak maupun muqayyad

(terikat/bersyarat), dan pihak pengembang modal tidak mesti menanggung kerugian

kecuali karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir

menegaskan, “Para ulama’ sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengembang

modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara kredit, maka

ia harus menanggung resikonya.” (al-Ijma’ hal. 125).

Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah saw, bahwa Beliau pernah

mempersyaratkan atas orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi

hasil (dengan berkata), “Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang

17 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 18: Akad Dalam Islam

bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan

ia di lembah yang rawan banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut,

maka engkau harus mengganti hartaku.” (Shahih Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293, Daruquthni

II: 63 no: 242, Baihaqi VI: 111).

Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada pihak penyimpan dana, akad

Mudharabah dibagi 2, yaitu :

Mudharabah Mutlaqah

Pihak bank bebas dalam menggunakan dana yang dihimpun

Mudharabah Muqayyadah

Pemilik dana dapat menetapkan syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh pihak

bank. Akad Mudharabah Muqayyadah dibagi menjadi dua, yaitu Mudharabah

Muqayyadah on balance sheet yang berarti bank ikut serta dalam proyek tersebut

dan mendapat bagi hasil; sedangkan Mudharabah Muqayyadah of balance sheet

bank hanya sebagai konsultan yang akan mendapat komisi karena telah

mempertemukan pemilik dana dengan pelaksana usaha.

3) Muzara’ah

Menurut bahasa, kata muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan

mendapat sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah

memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau

semisalnya.

Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar ra, bahwa ia pernah mengabarkan kepada Nafi’ ra

pernah memperkejakan penduduk Khaibar dengan syarat bagi dua hasil kurmanya atau

tanaman lainnya. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari VI: 13 no: 2329, Muslim XCIII: 1186 no:

1551, ‘Aunul Ma’bud IX: 272 no: 3391, Ibnu Majah II: 824 no: 2467, Tirmidzi II: 421 no:

1401). Imam Bukhari menulis, Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia

berkata, “Seluruh Ahli Bait yang hijrah ke Madinah adalah petani dengan cara bagi hasil

sepertiga dan seperempat. Di antaranya lagi yang telah melaksanakan muzara’ah adalah

Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, al-Qasim, Urwah,

Keluarga Abu Bakar, Keluarga Umar, Keluarga Ali dan Ibnu Sirin.” (Fathul Bari V: 10).

Tidak mengapa modal mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh

petani yang mengelolanya, atau ditanggung kedua belah pihak. Dalam Fathul Bari V: 10,

Imam Bukhari menuturkan, “Umar pernah mempekerjakan orang-orang untuk

menggarap tanah dengan ketentuan; jika Umar yang memiliki benih, maka ia mendapat

separuh dari hasilnya dan jika mereka yang menanggung benihnya maka mereka

18 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 19: Akad Dalam Islam

mendapatkan begitu juga.” Lebih lanjut Imam Bukhari mengatakan, “al-Hasan

menegaskan, tidak mengapa jika tanah yang digarap adalah milik salah seorang di antara

mereka, lalu mereka berdua menanggung bersama modal yang diperlukan, kemudian

hasilnya dibagi dua. Ini juga menjadi pendapat az-Zuhri.”

Dalam muzara’ah, tidak boleh mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini untuk si

pemilik tanah dan sebidang tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik

tanah tidak boleh mengatakan, “Bagianku sekian wasaq”. Dari Hanzhalah bin Qais dari

Rafi’ bin Khadij, ia bercerita, “Telah mengabarkan kepadaku dua orang pamanku, bahwa

mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil yang

tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan oleh si pemilik

tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu.” Kemudian saya (Hanzhalah bin Qais) bertanya

kepada Rafi’, “Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?” Maka jawab Rafi’, “Tidak

mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits berkata, “Yang dilarang dari hal

tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai pengetahuan perihal halal dan

haram memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka tidak membolehkannya karena di

dalamnya terkandung bahaya.” (Shahih: irwa-ul Ghalil V: 299, Fathul Bari V: 25 no: 2347

dan 46, Nasa’i VII: 43 tanpa perkataan al-Laits).

Dari Hanzhalah juga, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij

perihal menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa.

Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan

(sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (gailengan), tepi-tepi parit, dan

beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat

sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan

ini, oleh sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti

dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 302, Muslim III: 1183

no: 116 dan 1547, ‘Aunul Ma’bud IX: 250 no: 3376 dan Nasa’i VII : 43)

D. Akad Memberi Kepercayaan

1) Al Kafalah

Merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk

memenuhi kewajiban pihak kedua/yang ditanggung. Ada 5 jenis Kafalah, yaitu :

Kafalah bin Nafs, yaitu akad yang memberikan jaminan atas diri seseorang yang

dihormati dan disegani

Kafalah bin Maal, yaitu jaminan pembayran barang/pelunasan barang

19 | A k a d E k o n o m i I s l a m

Page 20: Akad Dalam Islam

Kafalah bin Taslim, yaitu akad yang biasa dilakukan untuk menjamin

pengembalian atas barang yang disewa pada masa sewa berakhir

Kafalah Al Munjazah, yaitu jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu

dan untuk kepentingan atau tujuan tertentu

Kafalah Al Muallaqoh, yaitu penyederhanaan dari kafalah Al Munjazah baik oleh

industri perbankan asuransi.

2) Al Hawalah

Kata hawalah, huruf haa’ dibaca fathah atau kadang-kadang dibaca kasrah, berasal

dari kata tahwil (pemindahan) atau dari kata ha’aul (perubahan). Orang Arab biasa

mengatakan haala ’anil ’ahdi, yaitu berlepas diri dari tanggung jawab. Sedang

menurut fuqaha, para pakar fiqih, hawalah adalah pemindahan kewajiban melunasi

hutang kepada orang lain.

Barangsiapa yang mempunyai hutang namun dia mempunyai piutang pada orang

lain yang mampu, kemudian dia memindahkan kewajiban membayar hutangnya

kepada orang lain yang mampu itu, maka orang yang mampu tersebut wajib

menerima kewajiban itu.

Rasulullah saw bersabda: “Penundaan orang yang mampu (melunasi hutang) itu

adalah zhalim, dan apabila seorang di antara kamu menyerahkan (kewajiban

pembayaran hutangnya) kepada orang kaya, maka terimalah.” (Shahih: Shahihul

Jami’us Shaghir no: 5876).

3) Al Jualah

Ju’alah ialah pemberian fee (hadiah) kepada pihak yang berhasil memenangkan

(melaksanakan) suatu pekerjaan atau prestasi tertentu.

E. Akad Memberi Ijin / AL Wakalah

Merupakan pelimahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama kepada orang

lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan. Pihak kedua hanya melaksankan

sesuatu sebatas kuasa/wewenang yang diberikan oleh pihak pertama.

20 | A k a d E k o n o m i I s l a m