AEC 2015 dan Pengaruhnya terhadap penerimaan pajak indonesia dari PPN

Embed Size (px)

DESCRIPTION

seminar keuangan publik

Citation preview

SEMINAR KEUANGAN PUBLIK

AEC 2015 DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENERIMAAN PAJAK INDONESIA DARI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

AEC 2015 and Its Effect to Indonesias Tax Income from Value Added Tax

Nolaristi

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang Selatan, Banten 15222, Indonesia, [email protected]

Makalah diterima: 8 September 2014Disetujui diterbitkan: September 2014

Abstrak

Sebentar lagi Indonesia akan memasuki era hubungan kerjasama di kawasan ASEAN yaitu ASEAN Economic Community 2015 (AEC 2015). Kerjasama internasional ini akan mendorong frekuensi terjadinya perdagangan internasional antar anggota ASEAN yang melibatkan transaksi lintas batas antar negara. Fenomena ini mendorong semakin dipertimbangkannya implikasi pajak sebagai salah satu faktor pertimbangan utama dalam proses pengambilan keputusan usaha. Salah satu aspek perpajakan yang dimaksud adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penetapan kebijakan pemungutan bersama antara anggota AEC harus dilakukan melalui harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan pemungutan PPN. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan adanya pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan dari transaksi lintas negara.

Kata Kunci: AEC 2015, Pajak Pertambahan Nilai, Harmonisasi dan Sinkronisasi kebikan

AbstractSooner Indonesia will enter the era of cooperative relations in the ASEAN region in 2015, namely the ASEAN Economic Community (AEC 2015). This international collaboration will drive the frequency of occurrences international trading among ASEAN members that involve cross-border transactions between countries. This phenomenon encourages the consideration of the tax implications as one of the main considerations factor in the business decision making process. One of the aspects of the tax is a Value Added Tax (VAT). Determination of common policy among members of the AEC must be done together through policy harmonization and synchronization of VAT collection. This is done to avoid the possibility of the gainers and losers from transnational transactions

Keywords: Energy Subsidy, Fuel Subsidy, Electricity Subsidy, Po2

verty Rate

1. PENDAHULUANManusia sebagai makhluk sosial tidak bisa lepas dari interaksi dengan manusia lainnya untuk memnuhi kebutuhan hidupnya. Begitu pula dengan sebuah negara, untuk memenuhi kebutuhannya negara harus menjalin hubungan internal dengan masyarakat, menjalin hubungan dengan negara lain secara individu (bilateral), maupun menjalin hubungan dengan negara lain dalam suatu kelompok (multilateral). Hubungan ekonomi internasional mencakup setidaknya tiga hubungan yaitu hubungan ekonomi terkait pertukaran hasil output, hubungan ekonomi terkait perukaran sarana produksi atau faktor produksi serta hubungan hutang piutang. Salah satu bentuk kerjasama multilateral adalah Association of the South East Asian Nations (ASEAN). ASEAN telah muncul menjadi salah satu blok perdagangan yang tumbuh pesat setelah krisis keuangan Asia tahun 1997.Salah satu bentuk interaksi negara berupa kerjasama di bidang ekonomi internasional. Hubungan ekonomi ini bisa juga disebut sebagai perdagangan internasional. Perdagangan internasional akan semakin meningkat seiring dengan adanya globalisasi yang secara bertahap mengurangi batasan pergerakan modal yang artinya menyiratkan elastisitas penawaran yang lebih tinggi di setiap wilayah perpajakan (tax jurisdiction) atas faktor modal dan tenaga kerja. Perpajakan merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal yang dinamis. Penerapan perpajakan tersebut harus senantiasa mengikuti dinamika perekonomian, baik domestik dan internasional (Rosdiana, 2006). Maraknya kegiatan perdagangan internasional yang melibatkan transaksi lintas batas Negara, mendorong semakin dipertimbangkannya implikasi pajak sebagai salah satu faktor pertimbangan proses pengambilan keputusan usaha. Selain itu perdagangan internasional sebagai salah satu indikator globalisasi ekonomi mensyaratkan adanya harmonisasi kebijakan antara negara satu dengan negara lainnya. Salah satu kebijakan yang harus disamakan adalah penerapan kebijakan perpajakan. Negara-negara anggota ASEAN telah terintegrasi dalam satu pasar tunggal yang berarti perdagangan dan investasi sangat sensitif terhadap tarif pajak. Pergerakan perdagangan dan investasi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Modal dapat mendatangkan pekerjaan dan kemakmuran sehingga kebijakan untuk menarik dan melindungi modal harus menjadi perhatian para pembuat kebijakan.Penelitian ini menitikberatkan pada pentingnya penetapan kebijakan yang secara khusus mengatur tentang PPN atas transaksi lintas batas negera dengan adanya AEC di tahun 2015 serta pengaruhnya terhadap penerimaan perpajakan khususnya yang berasal dari PPN. Selain itu dibahas pula mengenai harmonisasi pajak tidak langsung terhadap konsumsi (PPN). Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengetahui pentingnya penetapan kebijakan PPN atas transaksi lintas batas negara AEC 2015 serta pengaruhnya terhadap penerimaan PPN di Indonesia dan (2) menganalisis alternatif harmonisasi pajak tidak langsung atas konsumsi di negara anggota ASEAN.

2. TINJAUAN PUSTAKA2.1 AEC 2015Menurut buku Menuju ASEAN Economic Community (AEC) 2015, AEC merupakan langkah lebih maju dan komprehensif dari kesepakan perdagangan bebas AFTA (ASEAN Free Trade Area). Terbentuknya AFTA menunjukkan komitmen anggota terhadap integrasi ekonomi, kemajuan perdagangan internasional, dan investasi, misalnya dengan menyusun perjanjian perlindungan investasi. Perkembangan signifikan terjadi ketika berhasil dirumuskan ASEAN Economic Community (AEC) pada Declaration of ASEAN Concord II di Bali, Oktober 2003, dengan tujuan membentuk kawasan ekonomi yang kompetitif berdasar liberalisasi aliran barang, jasa, investasi, tenaga terdidik, modal, pembangunan ekonomi berimbang, dan pengurangan kemiskinan serta ketimpangan sosial-ekonomi pada tahun 2020 (ASEAN Vision 2020).AEC blueprint mengemanatkan liberalisasi perdagangan barang yang lebih meaningfull dari Common Effective Prefential Tariff-AFTA (CEPT-AFTA). Komponen arus perdaganan bebas barang tersebut meliputi penuruan dan pengahpusan tariff secara signifikan maupun penghapusan hambatan non-tarif sesuai skema AFTA. Disamping itu, perlu dilakukan peningkatan fasilitas perdagangan yang diharapkan dapat meperlancar arus perdagangan ASEAN seperti prosedur kepabeanan, melalui pembentukan dan penerapan ASEAN Single Window (ASW), serta mengevaluasi skema CEPT Rules of Origin (ROO), maupun melakukan harmonisasi standard dan kesesuaian. 2.2 Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax) dalam Perdagangan InternasionalPajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam perdagangan internasional akan melibatkan transaksi lintas batas negara, sangat memungkinkan ternjadinya double taxation atau bahkan double non-taxation. Seperti pernyataan OECD (2013) The OECD is developing international VAT guidelines to address uncfertainty and risks of double taxation and unintended non-taxation that result from inconsistencies in the application of VAT to international trade.Bert Mesdom (2011) mengungkapkan bahwa penerapan yuridiksi yang berbeda antar negara dapat memungut PPN atas transaksi yang sama. Masalah utama dalam sistem pemungutan PPN atas transaksi lintas batas adalah mengenai bagaimana menentukan jangkauan yuridiksi pemajakan. PPN merupakan pajak yang dikenakan berdasarkan prinsip teritorial, sehingga ketika transaksi yang dilakukan ternyata melibatkan lebih dari satu teritorial negara, maka penentuan tempat terutangnya PPN menjadi rumit. Dalam menentukan yudiksi mana yang berhak mengenakan PPN atas transaksi lintas batas, Keith Kendall (2006) mengemukakan dua prinsip yaitu:1. Original principle : PPN akan dikenakan di mana suatu barang dan/atau jasa berasal/diproduksi. Sehingga pada sistem ini tidak melihat apakah barang dan atau jasa tersebut akan dikonsumsi di negara tersebut ataupun di ekspor.2. Destination principle : prinsip ini mengatur bahwa PPN dikenakan di tempat konsumsi dilakukan. Konsekuensinya, atas ekspor barang/jasa tidak dikenakan PPN, sedangkan untuk impor akan dikenakan PPN.2.3 Harmonisasi PajakHarmonisasi pajak merujuk pada proses penyelarasan sistem pajak pada suatu kawasan yurisdiksi pemajakan. Menurut OECD, harmonisasi pajak dapat terjadi dalam dua pendekatan apakah eksplisit atau implisit. Disebut harmonisasi eksplisit, apabila negara sekawasan setuju untuk memberlakukan tarif pajak yang sama uniform (standar) atau tarif minimum (dan maksimum). Sementara itu, akan disebut harmonisasi implisit (terutama dalam sistem pajak penghasilan) ketika suatu negara memungut pajak dari penduduknya berdasar penghasilan global (worldwide income) sehingga dapat menutup celah penghindaran pajak melalui pelarian modal ke negeri yang menerapkan tarif pajak lebih rendah. Menurut Velayos dkk. (2007), harmonisasi pajak dimulai dari kerjasama (cooperation), koordinasi (coordination), kompatibilitas (compatibility), dan standarisasi (standardization) sebagai bentuk tertinggi harmonisasi.

1. Harmonisasi pajak yang pertama dimulai dari kerjasama (cooperation). Contoh lain yang agak berbeda dengan harmonisasi adalah kebutuhan akan pertukaran informasi antar yurisdiksi pajak (Velayos dkk., 2007). Konsekuensi dari kompetisi Financial Data Interchange (FDI) adalah keengganan suatu negara, dalam rangka mengamankan kepentingan nasionalnya, untuk terikat pada pertukaran data. Akses terhadap informasi menyebabkan kantor pajak tidak mengalami kesulitan untuk dapat menetapkan pajak sesuai dengan fakta dan data sebenarnya.2. Kecocokan (compatibility) berhubungan dengan lebih banyak tujuan integrasi selanjutnya untuk mengidentifikasi distorsi peraturan pajak berdasarkan prinsip hubungan timbal-balik secara global (Velayos dkk., 2007). Contohnya adalah perjanjian pajak berganda antara Malaysia dan Singapura. Beberapa kunci perubahan dalam peraturan perpajakan terhadap pajak transaksi perusahaan lintas batas yang selain mengurangi kelemahan, namun juga menekankan pada gerakan menuju arah kecocokan (Hayes, 2008).3. Standarisasi (standarization) merupakan level ter- tinggi dari harmonisasi yang setiap negara mempunyai beban pajak yang sama terhadap harga (Velayos dkk., 2007). Menurut klasifikasi harmonisasi Patterson dan Serrano (2000), dalam level ini termasuk penerapan tarif pajak minimum.2.4 Sinkronisasi Siklus BisnisSinkronisasi dari siklus bisnis menggambarkan kekuatan korelasi antara masing-masing siklus dari beberapa negara. Semakin tinggi korelasi, maka sinkronisasi dari siklus bisnis antara beberapa negara makin tinggi. Ada dua alasan penting mengapa sikronisasi siklus bisnis perlu dilakukan (Garcia-Herrero dan Ruiz 2008) :a) Semakin banyak siklus bisnis yang disinkronisasikan, semakin kuat dan cepat transmisi dan penyesuaian dari Shock antar negara. Proses tranmisi yang cepat akan membatu dalam membuat kebijakan kordinasi internasional.b) Sinkronisasi proses bisnis merupakan implikasi fungsi dan desain dari common currency area dan juga membantu untuk mengoptimalkan currency area Perkembangan dari kegiatan intra-ASEAN menunjukkan hasil yang positif. Keberlangsungan peningkatan inter dan intra integrasi regional bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan dari negara anggota. Sinkronisasi siklus bisnis akan mempengaruhi kemampuan dari kordinasi kebijakan yang berujung pada pencapaian kesatuan moneter (monetary union) di masa yang akan datang

III METODOLOGIMakalah ini disusun dengan metode kualitatif. Menurut Saryono (dalam Luthfiyah, 2013) penelitian lualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari pengaruh sosial yang tidak dapat dijelaskan, diukur, atau digambarkan melalui pendekatan kuantitatif. Teori tidak menjadi titik tolak utama pada penelitian kualitatif karena kuncinya terletak pada data yang diperoleh di lapangan yang akan disandingkan dengan teori untuk membangun sebuah penafsiran umum komprehensif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan kajian pustaka. Peneliti berupaya mengumpulkan data sekunder untuk mendukung penelitian, melalui buku, jurnal, artikel, ketentuan perpajakan dari masing-masing Negara, dan lainnya yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Studi kepustakaan, menurut Nazir (dalam Airha, 2012) adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya denan masalah yang dipecahkan.

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN4.1 Pentingnya Kebijakan Pengaturan PPN atas Transaksi Lintas Batas Negara pada AEC 2015 serta Pengaruhnya terhadap penerimaan PPN di Indonesia

Grafik : Inside tax, edisi 17 tahun 2013 AEC 2015 akan mendorong meningkatnya arus barang masuk maupun arus barang keluar di kawasan ASEAN, hal ini pasti akan mempengaruhi bagaimana perlakuan perpajakan terhadap PPN yang harus diterapkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya double taxation/ double non-taxation. Bagi Indonesia sendiri proporsi pendapatan PPN merupakan penyumbang pajak terbesar kedua setelah PPh. Seperti yang terlihat pada grafik di atas, proporsi penerimaan Negara yang berasal dari PPN dari tahun 2007 hinga tahun 2012 terus mengalami peningkatan.Pada landasan teori sebelumnya telah dibahas mengenai prinsip pengenaan PPN di beberapa Negara. Prinsip tujuan banyak digunakan dalam menentukan pemungutan PPN untuk transaksi lintas batas, karena dianggap lebih netral. Namun Karena tidak adanya kesepakan internasional maka tidak menutup kemungkinan masing-masing Negara memiliki justifikasi sendiri dalam menentukan yuridiksi pemungutan PPN. Secara konsep double taxation / double non-taxation seharusnya tidak terjadi, karena PPN adalah pajak atas konsumsi akhir sehingga jelas PPN seharusnya dipungut hanya di Negara dilakukannya konsumsi. Pentingnya kebijakan bersama tentang pemungutan PPN bertujuan untuk menghindari :a. Untuk menangani pengenaaan pajak berganda dikarenakan masing-masing Negara menerapkan prinsip pemungutan PPN yang berbeda, misalnya Negara A menerapkan prinsip pemungutan PPN berdasarkan asal, sedangkan Negara B menerapkan berdasarkan prinsip tujuan.b. Untuk menghindari double non-taxation c. Penerapan prinsip pemungutan PPN yang sama antara satu degara dengan Negara lain juga dapat menyebabkan double taxation / double non-taxation. Hal ini dapat terjadi apabila di Negara asal PPN dikenakan karena yang melakukan ekspor adalah konsumen yang belum terdaftar (unregistered consumer), sedangkan PPN yang dibayar untuk Negara asala tidak dapat dibiayakan di Negara tujuan.d. Perbedaan persepsi masing-masing Negara mengenai tempat terjadinya konsumsi.Ketentuan penetapan PPN di Indonesia seharusnya tidak berpengaruh pada penerimaan PPN itu sendiri. Konsep dasar PPN harusnya menganut prinsip netralitas. Menurut OECD netralitas dalam pemungutan PPN, adalah suatu keharusan. Prinsip netralitas di sini maksudnya adalah efek dari pengenaan PPN harus bersifat netral dalam dunia perdagangan, baik domestik maupun internasional. Artinya, sistem pemungutan PPN tidak mempengaruhi kompetisi dalam dunia usaha dan tidak menciptakan distorsi dalam kompetisi perekonomian. Pajak dikatakan netral apabila pajak tersebut tidak mendistorsi pilihan ekonomi. 4.2 Alternatif Harmonisasi Pajak Tidak Langsung atas Konsumsi (PPN) di Negara Anggota ASEANNegara-negara anggota ASEAN pada umumnya belum memiliki kerangka teknis harmonisasi pajak tidak langsung. Pada saat ini kebijakan untuk memperlancar arus barang dan jasa dalam kawasan baru sebatas penetapan tarif standar atau pembebasan bea masuk. Penyelarasan ketentuan taxable base berdampak material terhadap perekonomian negara bersangkutan, yakni pengaruh terhadap penerimaan dan kemampuan belanja negara, serta jumlah agregat permintaan dan penawaran atas barang/jasa sebagai akibat perubahan harga karena faktor pajak, dan aktivitas administrasi pajak dan prosedur kepabeanan tiap negara anggota. Oleh karena itu, diperlukan political-will dari negara anggota ASEAN untuk melakukan harmonisasi dimaksud.Dengan semakin terintegrasinya ekonomi di kawasan ASEAN, lalu lintas barang dan jasa akan semakin intensif. Bagi negara pengekspor barang, peningkatan jumlah ekspor barang mengakibatkan makin banyaknya beban administrasi dan pengawasan, yakni meningkatnya jumlah klaim atas restitusi pajak berarti semakin banyak modal pengusaha yang sementara tertahan di kas negara dan pengawasan apakah bukan ekspor fiktif. Sedangkan negara pengimpor, selain kesibukan bertambah untuk memungut pajak atas impor juga harus meningkatkan pengawasan atas impor, jangan sampai meningkatkan penyelundupan, terutama bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Permasalahan lebih besar dijumpai dalam international service karena wujud ekspor jasa dan tempat penyerahan jasa sulit diawasi sehingga amat potensial dipakai sebagai sarana penggangsiran uang negara. Mengawasi ekspor barang yang jelas lalu lintas fisik dan dokumennya saja tidak mudah, apalagi mengawasi ekspor jasa yang bersifat maya tanpa lalu lintas fisik dan dokumen.Terkait dengan masalah lalu lintas barang dan jasa antar yuridiksi, terdapat beberapa alternative yang dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan efisiensi administrasi pajak. Ebrill dkk (2001) memperkenalkan apa yang disebut destination-based VAT without zero-rating. Pada pendekatan ini, penyerahan barang antar yuridiksi diperlakukan sebagai penyerahan dalam negeri. PKP eksportir Indonesia memungut pajak atas penyerahannya pada importer Singapura dan menyetorkan pajak atas penyerahannya ke kantor pajak Indonesia. Sementara, PKP importer Singapura, walaupun membayar pajak memlalui eksportir Indonesia dapat mengkreditkan pajak tersebut atas penyerahan yang dilakukan di Singapura dan sebaliknya. Selanjutnya pendekatan ini dapat dilakukan dengan empat cara:a. Clearinghouse yaitu ekspor-impor barang diperlakukan sama seperti penyerahan dalam negerib. Model Israel West Bank and Gaza Strip yaitu untuk mekanisme clearing pajak bulanan antar Negara, dalam melakukan transaksi penyerahan barang para PKP tiap Negara akan memberikan suatu kode misalnya INA untuk Indonesia. Pada tiap akhir bulan administrasi masing-masing Negara membuat perhitungan utang-piutang pajak antar Negara berdasarkan jumlah faktur berkode.c. Viable Integrated VAT (VIVAT) adalah mengenakan pajak sebesar tarif standar atas PKP sekawasan, termasuk transaksi antar yuridiksi. Penjualan kepada konsumen termasuk non-PKP dikenakan pajak sesuai dengan tarif di Negara setempat.d. Compensating VAT (CVAT) adalah sistem yang serupa dengan clearing house, selain memberlakukan tariff 0% atas ekpor, dalam CVAT importer berhak mengklaim atas compensating pajak masukan yang telah dibayarkan kepada eksportir

V. KESIMPULAN Harmonisasi penetapan kebijakan pajak tidak langung atas konsumsi (PPN) harus dilakukan pada negara-negara yang melakukan transaksi lintas batas pada perdagangan internasional. AEC 2015 sebagai salah satu wadah yang memfasilitasi terjadinya perdagangan internasional wajib mensinkronisasikan kebijakan atas pemungutan PPN hal ini dikarenakan untuk menhindari adanya double taxation, double non-taxation, perbedaan persepsi tentang tempat terjadinya konsumsi akhir suatu barang dan jasa, serta adanya kepentingan dari masing-masing negara untuk menerapkan peraturan yang merugikan bagi para pelaku ekonomi internasional dalam AEC 2015. Secara prinsip penerapan pemungutan PPN didasarkan pada prinsip pemungutan berdasarkan asal dan juga berdasarkan prinsip tujuan. Sedangkan OECD mengatur bahwa pada prinsipnya pemungutan PPN harus menganut asas netralitas, yaitu bahwa pemungutan pajak tidak mendistorsi pilihan ekonomi. Pilihan untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan dapat diprioritaskan untuk menangani transaksi penyerahan barang dan jasa antar negara, sehingga sistem yang berlaku dapat lebihefektif. Terdapat empat metode yang dapat diterapkan, yaitu clearinghouse, model Israel WBG, VIVAT dan CVAT. Keempat pendekatan dapat berlaku secara efektif untuk mengoptimalkan penerimaan negara, efisiensi administrasi pemungutan pajak, dan pengawasan lalu lintas barang antar negara.

DAFTAR PUSTAKA

Mesdom, Bert. 2011. VAT and Cross-Border Trade: Do Border Adjusments Make VAT a Fair Tax? Tax Analysts: 192.Kendall, Keith. 2006. Using Destination and Origin Principle in Developing VAT Legislation. Tax Note International: 988.OECD. 2013. International VAT?GST Guidelines.Rosdiana, Haula, 2006. Implikasi Perluasaan Definisi Royalti Terhadap kondisi telematika. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis Birokrasi, Vol.14 No 3(September)Schenk, Alan and Oliver Oldman. 2007. Value Added Tax: A Comparative Approach. New York. Cambridge University Press.Republik Indonesia, Undang-Undang nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Nilai Barang dan Jasa dan Pakal Penjualan Atas barang Mewah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150.Gunadi. 2010. Harmonisasi Pajak Tidak Langsung atas Konsumsi di Negara-Negara Anggota ASEAN. Jurnal Ilmu administrasi dan Organisasi: hal 127-137. Luthfiyah, Fitwi (2013). Metode Penelitian Kualitatif (Sistematika Penelitian Kualitatif). Diakses tanggal 5 September 2014 dari http://fitwiethayalisyi.wordpress.com/teknologi-pendidikan/metode-penelitian-kualitaif-sistematika-penelitian-kualitatif/Departemen Perdagangan RI. 2012. Menuju ASEAN Economic Community 2015.Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi RI. 2013. Kondisi dan Upaya Peningkatan Daya Ketenagakerjaan Indonesia dalam Menhadapi AEC 2015. Tinjauan Ekonomi dan Keuangan: Vol. 3 no. 06. Kurniati, Yati & Aida S. Budiman. 2011. Embracing ASEA Economic Integration 2015: A Quest for ASEAN Business Cycle from Indonesias Point of View. ISEAS Publishing Institute of Southeast Asian Studies.Insite tax. 2013. Edisi 17