12
Bagan Evaluasi Trauma Abdomen 7 2.4. Indikasi Untuk Laparatomi Pada Orang Dewasa 2,8,9A 1. Indikasi berdasarkan evaluasi abdomen a. Trauma tumpul abdomen dengan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) positif atau Ultrasound. b. Trauma tumpul abdomen dengan hipotensi yang berulang walaupun diadakan resusitasi yang adekuat. c. Peritonitis dini atau yang menyusul. d. Perdarahan dari gaster, dubur, atau daerah genitourinari akibat trauma tembus. e. Luka tembak melintas rongga peritoneum atau retroperitoneum viseral/vaskular. f. Eviserasi (pengeluaran isi usus). 2. Indikasi Berdasarkan Pemeriksaan Rontgen a. Udara bebas, udara retroperitoneum, atau ruptur hemidiafragma setelah trauma tumpul. b. CT dengan kontras memperlihatkan ruptur traktus gastrointestinal, cedera kandung kemih intraperitoneal, cedera renal pedicle, atau cedera organ viseral yang parah setelah trauma tumpul atau tembus. 2.5. Problem Khusus 2

Abdomen 4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

aa

Citation preview

Bagan Evaluasi Trauma Abdomen72.4. Indikasi Untuk Laparatomi Pada Orang Dewasa2,8,9A1. Indikasi berdasarkan evaluasi abdomena. Trauma tumpul abdomen dengan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) positif atau Ultrasound.b. Trauma tumpul abdomen dengan hipotensi yang berulang walaupun diadakan resusitasi yang adekuat.c. Peritonitis dini atau yang menyusul.d. Perdarahan dari gaster, dubur, atau daerah genitourinari akibat trauma tembus.e. Luka tembak melintas rongga peritoneum atau retroperitoneum viseral/vaskular.f. Eviserasi (pengeluaran isi usus).

2. Indikasi Berdasarkan Pemeriksaan Rontgena. Udara bebas, udara retroperitoneum, atau ruptur hemidiafragma setelah trauma tumpul.b. CT dengan kontras memperlihatkan ruptur traktus gastrointestinal, cedera kandung kemih intraperitoneal, cedera renal pedicle, atau cedera organ viseral yang parah setelah trauma tumpul atau tembus.

2.5. Problem Khusus21. Trauma tumpulOrgan yang sering terkena pada trauma tumpul adalah hepar, lien, maupun ginjal. Walaupun demikian, dengan semakin banyaknya penggunaan seat-belt, semakin banyak ruptur organ berongga, truma spinal, dan ruptur uterus terjadi.

2. Specific injuriesA. DiafragmaRobekan diafragma dapat terjadi di bagian manapun pada kedua diafragma; yang paling sering mengalami cedera adalah diafragma kiri. Cedera biasanya 5-10 cm panjangnya dengan lokasi di posterolateral dari diafragma kiri. Pada pemeriksaan foto toraks awal akan terlihat diafragma yang lebih tinggi ataupun kabur, bisa berupa hemothoraks ataupun adanya bayangan udara yang membuat gambaran diafragma menjadi kabur, ataupun kelihatannya NGT yang terpasang didalam gaster terlihat di toraks.

B. DuodenumRuptur duodenum ditemukan pada pengendara yang tidak menggunakan sabuk pengaman pada kejadian tubrukan frontal dengan pukulan langsung pada abdomen, misalnya kena stang motor. Adanya aspirasi darah dari gaster ataupun adanya udara retroperiuneum pada rontgen foto abdomen menyebabkan kecurigaan akan terjadinya cedera duodenum. Untuk pasien yang dicurigai, bisa dilakukan pemeriksaan rontgen gastrointestinal atas maupun CT Scan dengan double-contrast.

C. PankreasUmumnya cedera pankreas terjadi pada pukulan langsung di epigastrum, dengan kolumna vertebralis sebagai alas. Adanya amilase yang normal pada awalnya tidak menyingkirkan kemungkinan cedera pankreas. Bisa juga sebaliknya, terjadi peninggian kadar amilase dengan sumber diluar pankreas. Kecuali bila secara konstan didapatkan peninggian kadar amilase, maka harus diperiksa kemungkinan adanya cedera pankreas ataupun viscera lainnya. Pada 8 jam pertama pasca trauma, pemeriksaan dengan CT dengan double contrast bisa saja belum menunjukkan cedera pankreas, dan sebaiknya dilakukan ulang pemeriksaannya. Bila pemeriksaan CT ulang tidak menunjukkan perbedaan, dianjurkan melakukan tindakan eksplorasi bedah atau alternatif lain yang mungkin bermanfaat seperti Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP).

D. GenitourinariaPukulan langsung pada bagian punggung ataupun flank bisa menyebabkan kontusio, hematoma, ataupun ekimosis yang merupakan tanda adanya kerusakan ginjal dibawahnya, dan sehingga perlu dilakukan pemeriksaan traktus urinarius dengan CT scan ataupun IVP. Indikasi tambahan untuk perlunya pemeriksaan traktus urinarius adalah gross-hematuria maupun hematuria mikroskopis pada pasien dengan: Luka tusuk tembus abdomen. Pasien trauma tumpul dengan serangan hipotensi. Adanya cedera intraabdominal lain pada trauma tumpul abdomen.Pada pasien dengan cedera uretra biasanya dijumpai fraktur pelvis bagian depan. Cedera uretra dibedakan atas cedera diatas (posterior) ataupun dibawah (anterior) diafragma urogenitalis. Ruptur uretra posterior biasanya merupakan cedera pada pasien dengan cedera multisistem dan fraktur pelvis, sedangkan ruptur uretra anterior biasanya disebabkan straddle injury dan biasanya cedera yang terisolir.

E. Usus halusTrauma tumpul usus halus biasanya terjadi karena adanya deselerasi tiba-tiba dengan efek robeknya pada bagian yang terfiksir, terutama bila pemakaian seat-belt yang tidak tepat. Adanya jejas yang transversal, linear pada dinding perut (seat-belt sign) ataupun adanya fraktur distraksi lumbar (chance fracture) pada x-ray harus dicurigai kemungkinan adanya cedera pada usus. Pada sebagian pasien ada sakit perut yang hebat dengan nyeri tekan. Pada sebagian lagi diagnosa agak sulit karena perdarahan yang minimal terjadi pada organ yang tertarik.

F. Cedera organ padatCedera pada hepar, lien, ataupun ginjal yang mengakibatkan syok, instabilitas hemodinamik maupun bukti klinis adanya perdarahan yang masih berlangsung menjadi indikasi perlunya dilakukan laparotomi. Cedera organ padat dengan hemodinamik yang normal sering berhasil ditangani secara konservatif; pasien seperti ini harus dirawat untuk observasi yang ketat.

3. Fraktur pelvis dan cedera yang berhubunganTulang sakrum dan tulang-tulang innominate (ilium, ischium, dan pubis) beserta struktur ligamen akan membentuk pelvis. Bila terjadi fraktur tulang maupun cedera ligamen, maka dapat disangkakan bahwa pasien telah mengalami pukulan yang cukup kuat. Fraktur pelvis erat hubungannya dengan cedera intraperitoneal maupun retroperitoneal, baik organ visera maupun pembuluh darahnya. Insidensi robeknya aorta abdominalis cukup tinggi pada pasien dengan fraktur pelvis, terutama yang jenisnya anteroposterior.

A. Mekanik trauma dan klasifikasiAda 4 pola pukulan yang menyebabkan fraktur pelvis: (1) kompresi antero-posterior, (2) kompresi lateral, (3) tarikan lateral, dan (4) pola kombinasi/kompleks. Kompresi antero-posterior dapat terjadi pada pejalan kaki yang ditabrak mobil maupun tabrakan motor, pukulan langsung pada pelvis maupun jatuh dari ketinggian lebih dari 3,6 m. Bila terjadi simfisiolisis, maka akan terjadi robekan ligamen posterior sakroiliaka, sakrospinosum, sakrotuberositas ataupun lantai fibromuskuler dari pelvis, yang terlihat sebagai fraktur sakroiliaka dengan/tanpa dislokasi ataupun fraktur sakrum. Dengan terbukanya pelvic ring, dapat terjadi perdarahan dari pleksus vena pelvis, dan (kadang-kadang) perdarahan dari cabang arteri iliaka interna.

B. PenilaianPada trauma abdomen, harus segera diperiksa pinggang, skrotum, dan daerah perianal apakah terdapat jejas, pembengkakan ataupun darah pada meatus; juga laserasi pada perineum, vagina, rektum, dan glutea yang menunjukkan kemungkinan adanya fraktur terbuka pelvis, di samping colok dubur yang menunjukkan prostat yang letaknya tinggi.Lalu kemudian dilakukan pemeriksaan stabilitas pelvis. Indikasi awal adanya instabilitas pelvis adalah adanya panjang tungkai yang berbeda ataupun deformitas berupa eksorotasi tanpa adanya fraktur tungkai. Karena pelvis yang instabil dapat mengalami eksorotasi, karena itu pelvis dapat ditutup dengan menekan kedua krista iliaka pada SIAS. Dapat dirasakan adanya gerakan dengan memegang krista iliaka dan pelvis yang instabil itu sambil ditekan kedalam dan keluar (maneuver kompresi-distraksi). Dengan kerusakan di bagian posterior, sisi pelvis yang terkena dapat didorong ke arah kranial atau ditarik ke arah kaudal. Gerakan ini bisa dirasakan pada perabaan di daerah spina iliaka posterior sambil mendorong-menarik hemipelvis yang instabil tersebut.

C. PenangananAda beberapa teknik sederhana yang dapat dipergunakan sebelum mentransfer pasien dan selama resusitasi dengan kristaloid ataupun darah. Teknik itu antara lain: (1) diikatnya angkin ke sekitar pelvis sebagai sling, yang mengakibatkan endorotasi tungkai, (2) penggunaan vaccum-type long sping splinting device (bean bag) atau (3) penggunaan Pneumatic Antishock Garment (PASG). Juga dapat dilakukan reduksi terhadap fraktur asetabulumnya dengan menggunakan traksi longitudinal.

BAB 3KESIMPULAN

Semua pasien trauma tumpul dengan hemodinamik yang tidak stabil harus segera dinilai kemungkinan perdarahan intrabdominal maupun kontaminasi traktus gastrointestinal dengan melakukan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage), ataupun FAST (Focused Assessment Sonography in Trauma). Pasien peritonitis dengan hemodinamik normal bisa dinilai dengan CT scan, dengan keputusan operasi didasarkan pada organ yang terkena dan beratnya trauma.Semua pasien luka tusuk abdomen dan sekitarnya yang mengalami hipotensi, peritonitis ataupun eviscerasi organ memerlukan laparotomi segera. Semua luka tembak yang menyeberang rongga peritoneum ataupun bagian retroperitoneum dengan bagian pembuluh darah harus segera di laparotomi. Pasien luka tusuk abdomen depan dengan gejala yang ringan, bila eksplorasi lokal menunjukkan tembusnya peritoneum, dievaluasi dengan pemeriksaan fisik diagnostik berulang ataupun DPL. Penanganan trauma tumpul dan tajam pada abdomen antara lain mengembalikan fungsi vital dan optimalisasi oksigenasi dan perfusi jaringan, menentukan mekanisme trauma, pemeriksaan fisik yang hati-hati dan diulang berkala, menentukan cara diagnostik yang khusus bila diperlukan, tetap curiga bila ada cedera vaskular maupun retroperitoneal yang tersembunyi, dan segera menentukan bila diperlukan operasi.

DAFTAR PUSTAKA1. Pusponegoro, A.D. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011, Bab 6; Trauma dan Bencana.2. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter Edisi 7. Jakarta: IKABI, 2004, Bab 5; Trauma Abdomen.3. Ahmadsyah, I. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher, 2009, Bab 2; Digestive.4. Fabian, Timothy C. Infection in Penetrating Abdominal Trauma: Risk Factors and Preventive Antibiotics. The American Surgeon 2002; 68: 29-355. Udeani, J., Geibel, J., 2011. Blunt Abdominal Trauma. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1980980-workup#aw2aab6b5b3. [Accessed 8th January 2012]6. Eastern Association for the Surgery of Trauma. Practice Management Guidelines for The Evaluation of Blunt Abdominal Trauma. EAST Practice Management Guidelines Work Group: Brandywine Hospital, 2001, p; 2-277. American College of Surgeons, 2003. Evaluation of Abdominal Trauma. Committee on Trauma: Subcommittee on Publications. Available from:8. Demetriades, D., Velmahos, G. Technology-Driven Triage of Abdominal Trauma: The Emerging Era of Nonoperative Management. Annu Rev Med 2003; 54: 1-159. Sivit, C.J. Abdominal Trauma Imaging: Imaging Choices and Appropriateness. Pediatr Radiol 2009; 39: S158-S160