78
HUBUNGAN INDONESIA JEPANG DALAM PERJANJIAN INDONESIA-JAPAN ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT DI BIDANG PERTANIAN SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana pada Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Oleh: NUTHAILA RAHMAH E13113001 DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN 2017

repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 26793... HUBUNGAN INDONESIA JEPANG DALAM …merupakan perjanjian perekonomian Indonesia dan Jepang yang berupa suatu

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

HUBUNGAN INDONESIA – JEPANG DALAM PERJANJIAN

INDONESIA-JAPAN ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT DI

BIDANG PERTANIAN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana pada

Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Hasanuddin

Oleh:

NUTHAILA RAHMAH

E13113001

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2017

ABSTRAK

Nuthaila Rahmah, E131 13 001. “Hubungan Indonesia-Jepang Dalam

Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement Di Bidang Pertanian”,

dibawah bimbingan Dr. H. Adi Suryadi B., MA, selaku Pembimbing I, dan Drs.

Munjin Syafik Asy’ari, M.Si, selaku Pembimbing II, pada Departemen Ilmu

Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Univesitas

Hasanuddin.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas hubungan kerjasama

Indonesia-Jepang dalam perjanjian Indonesia-Japan Economoic Partnership

Agreement atau IJEPA di bidang pertanian pada ekspor komoditi karet Indonesia

ke Jepang dalam kurun waktu 2011-2015. Serta untuk mengetahui tantangan

dalam ekspor karet Indonesia ke Jepang melalui kerangka IJEPA.

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode

deskriptif-analitik, yang bertujuan untuk memberikan gambaran terkait hubungan

Indonesia - Jepang dalam perjanjian IJEPA melalui ekspor komoditi karet

Indonesia ke Jepang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode

telaah pustaka (library research), dengan memanfaatkan berbagai literatur, seperti

buku-buku, jurnal-jurnal, surat kabar harian, serta artikel-artikel terkait yang

didapatkan melalui internet. Dalam penelitian ini, penulis juga menggunakan

teknik analisis data kualitatif, yang menganalisis efektivitas hubungan Indonesia-

Jepang dalam perjanjian IJEPA melalui ekspor komoditi karet Indonesia ke

Jepang dan tantangan dalam ekspor komoditi karet Indonesia ke Jepang melalui

perjanjian IJEPA.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan kerjasama Indonesia-Jepang

dalam perjanjian IJEPA melalui ekspor komoditi karet Indonesia ke Jepang

berjalan dengan efektif. Baik Indonesia dan Jepang sama-sama mendapatkan

keuntungan dalam perjanjian IJEPA khususnya dalam ekspor komoditi karet.

Indonesia mendapatkan keuntungan dengan meningkatnya ekspor karet Indonesia

ke Jepang khususnya pada tahun 2011-2015 dan Indonesia menjadi negara

produsen utama ekspor karet ke Jepang. Jepang mendapatkan keuntungan dengan

menjadi negara tujuan utama kedua untuk ekspor karet Indonesia dan Jepang

dapat memperkuat dan meningkatkan akses pasarnya di Indonesia. Tantangan

ekspor karet Indonesia ke Jepang adalah menurunnya harga karet dunia dan

kuatnya persaingan dengan negara lain dalam mengekspor karet.

Kata Kunci: Hubungan Indonesia-Jepang, IJEPA, Ekspor Karet

ABSTRACT

Nuthaila Rahmah, E131 13 001, “Indonesia-Japan Relations In The

Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement Within Agriculture

Sector”, under the guidance of Dr. H. Adi Suryadi B. MA as First Advisor, and

Drs. Munjin Syafik Asy’ari, M.Si as Second Advisor, Department of

International Relation, Faculty of Social and Political Science, Hasanuddin

University.

This research aims to understanding the efficiency of Indonesia-Japan relations as

it has in the Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement or IJEPA on

agriculture namely the export of rubber as commodity by Indonesia toward Japan

within the years of 2011-2015. As well as to indentifying the obstacles of those

rubber exporting from Indonesia to Japan on the frame of IJEPA.

Method of this research is an descriptive-analytical method, which aims to

describe portrayal related to Indonesia-Japan relations on the IJEPA agreement

through commodity export of rubber from Indonesia toward Japan. Data

collection technique used by the writer is library research, taken from various

literature such as books, journals, newspapers, and articles related to the topic on

the internet. In this research the writer used technique of analytical qualitative data

which analyses efficiency of Indonesia-Japan relations on IJEPA agreement

through exporting commodity of rubber and its obstacles within IJEPA

agreement.

The result of this research shows that Indonesia-Japan relations on IJEPA

agreement through exporting rubber commodity from Indonesia to Japan has been

running effectively. Both Indonesia and Japan have mutually obtained significant

profit out of IJEPA specifically on the exporting of rubber commodity. Indonesia

has gained profit by the increasing rate of rubber export from Indonesia to Japan

on the year of 2011-2015 which makes Indonesia become the main producer of

rubber to Japan. Japan itself gained profit for becoming the second main

destination of rubber export from Indonesia that leads the country to increase its

access to Indonesia market. The obstacle of Indonesia’s export of rubber to Japan

is the decreasing price of rubber on global market and competitiveness amongst

other rubber exporting countries.

Keywords: Indonesia-Japan Relations, IJEPA, Rubber export

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ………………………………………………………….…..…... i

HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………….……..….ii

HALAMAN PENERIMAAN TIM EVALUASI…………………………….………...iii

ABSTRAKSI……………………………………………………………………………..iv

ABSTRACT………………………………………………................................................v

KATA PENGANTAR………………………………………………………...…………vi

DAFTAR ISI………………………………………………………………...…………xiii

DAFTAR TABEL…………………………………………………………......……….xiv

DAFTAR GRAFIK………………………………………………………..…………....xv

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………...……………xvi

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………...…1

A. Latar Belakang……………………………………………………………………1

B. Batasan dan Rumusan Masalah…………………………………………………...5

C. Tujuan Penelitian………………………………………………………………….7

D. Manfaat Penelitian………………………………………………………………..8

E. Kerangka Konseptual……………………………………………………………..8

F. Metode Penelitian………………………………………………………………..16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………..……………………………19

A. Teori Kerjasama Internasional…………………………………………………..19

B. Konsep Hubungan Bilateral……………………………………………………..24

C. Teori Perdagangan Internasional………………………………………………...29

D. Penelitian-Penelitian Sebelumnya……………………………………………….36

BAB III HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA-JEPANG DALAM

KERANGKA INDONESIA-JAPAN ECONOMIC PARTNERSHIPAGREEMENT..41

A. Perjanjian Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement………………...41

B. Kondisi Karet Indonesia…………………………………………………………63

BAB IV KERJASAMA INDONESIA-JEPANG DALAM KERANGKA

INDONESIA-JAPAN ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT DI BIDANG

PERTANIAN STUDI KASUS EKSPOR KARET INDONESIA KE JEPANG …...81

A. Efektivitas Hubungan Kerjasama Indonesia-Jepang dalam Kerangka Indonesia-

Japan Economic Partnership Agreement dalam Ekspor Komoditi Karet Indonesia

Ke Jepang ……………………………………………………………………….81

B. Tantangan Ekspor Karet Indonesia ke Jepang dalam Kerangka Indonesia-Japan

Economic Partnership Agreement …...…………………………………………94

BAB V PENUTUP………………………………………………………...………….....97

A. Kesimpulan……………………………………………………………………...97

B. Saran……………………………………………………………………………..99

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...…..100

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Produksi Karet di Indonesia Menurut Pengusaha Tahun 2001-2015…………66

Tabel 3.2 Kondisi Karet Alam Indonesia, Tahun 2001-2015……………………………67

Tabel 3.3 Perkembangan Ekspor Karet Alam dan Karet Sintetis tahun 2007-2015 ……72

Tabel 3.4 Volume Ekspor Karet Indonesia ke negara tujuan tahun 2007-2015 ...............77

Tabel 4.1 Volume dan Nilai Ekspor Karet Indonesia ke Jepang tahun 2011-2015….…..86

Tabel 4.2 Neraca Perdagangan Indonesia denga Jepang tahun 2010-2014 …………......89

Tabel 4.3 Perkembangan Impor Non Migas Jepang……………………………………..92

DAFTAR GRAFIK

Grafik 3.1 Perkembangan Produksi Karet Indonesia menurut Status Pengusaha tahun

2015 ……………………………………………………………………………………...65

Grafik 3.2 Perkembangan Luas Areal Perkebunan Karet tahun 2015 …………………..70

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Peta 5 Provinsi Produsen Karet Tertinggi di Indonesia………...…………..69

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sumber daya alam

yang melimpah, baik sumber daya alam yang dapat diperbaharui seperti produk

pertanian dan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak

bumi, batu bara, dan permata. Hasil dari kekayaan sumber daya alam tersebut,

dapat menjadi sumber pendapatan negara. Oleh sebab itu, Indonesia perlu

melakukan pengelolaan sumber daya tersebut dengan baik dan benar secara

internal maupun eksternal dengan bekerja sama dengan negara lain.

Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang besar, terutama pada

sektor pertanian, perikanan, kehutanan, dan pertambangan. Investasi di sektor-

sektor tersebut juga terus tumbuh. Selama 2014 hingga triwulan I tahun 2015,

investasi di sektor pertambangan dan pertanian, perikanan tumbuh signifikan

(Rofiq, 2015). Dari keempat sektor tersebut dapat menjadi sumber potensial bagi

Indonesia untuk menopang laju perekonomian Indonesia. Ada optimisme bahwa

perekonomian Indonesia memiliki peluang untuk menjadi kekuatan ekonomi

dunia. Namun, yang lebih penting adalah mendayagunakan kemampuan dan

kapasitas bangsa dalam mengoptimalkan potensi dan peluang sumber daya yang

ada.

Pertanian sebagai salah satu sumber daya alam terbesar di Indonesia dapat

menjadi salah satu potensi yang besar untuk mendukung perekonomian Indonesia

terutama hasil pertanian dengan komoditi karet. Karet merupakan hasil pertanian

yang menjadi bahan baku paling penting di dunia pada era modern ini. Dengan

kualitas elastisnya menjadikan karet sebagai komoditi pertanian yang banyak

digunakan untuk peralatan disuluruh dunia, mulai dari produk-produk industri,

otomotif hingga untuk kebutuhan rumah tangga. Hasil produksi karet Indonesia

merupakan nomor dua terbesar di dunia. Oleh karena itu, banyak negara-negara

lain yang tertarik dengan produksi karet Indonesia, salah satunya adalah Jepang.

Sebagai salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia,

Jepang banyak menjalin kerjasama ekonomi dengan negara-negara lain khususnya

kerjasama di bidang perdagangan. Jepang merupakan salah satu negara yang

memiliki ketertarikan bekerjasama dengan Indonesia karena memiliki sumber

daya alam yang melimpah. Oleh karena itu, Jepang mulai membuka hubungan

luar negerinya dengan Indonesia. Hubungan luar negeri Indonesia dengan Jepang

telah terjalin sejak tahun 1958 dengan penandatanganan perjanjian perdamaian

antara Jepang dengan Indonesia (Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, 2016).

Hingga kini hubungan luar negeri Indonesia dengan Jepang masih terjalin dengan

baik bahkan hubungan mereka bertambah erat dengan dilakukannya perjanjian

perekonomian antar kedua negara.

Indonesia dan Jepang telah melakukan banyak perjanjian perekonomian

salah satunya adalah Economic Partnership Agreement atau disingkat EPA yang

merupakan sebuah perjanjian bilateral. Economic Partnership Agreement (EPA)

merupakan perjanjian perekonomian Indonesia dan Jepang yang berupa suatu

perjanjian perdagangan bebas dalam bingkai kesepakatan kerjasama ekonomi

secara bilateral yang pertama kali dilakukan Indonesia dengan negara lain.

Perjanjian ini merupakan perwujudan dari kerjasama bilateral yang dilakukan

Jepang dalam rangka perwujudan CEPs (Comprehensive Economic Partnership

Agreements) dengan negara-negara yang tergabung dalam Association South East

Asia Nation (ASEAN) (Firdaus, 2014).

EPA atau Economic Partnership Agreement berawal dari proposal

pembentukan FTA (Free Trade Area) secara bilateral yang coba ditawarkan oleh

Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi kepada Presiden Megawati ketika

Presiden Megawati berkunjung ke Tokyo pada tanggal 22-25 Juni 2003 (Firdaus,

2014). Pada bulan November 2004, disela-sela pertemuan APEC di Pnom Penh,

Kamboja, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi menyampaikan

kepada Perdana Menteri Jepang saat itu Junichiro Koizumi mengenai pentingnya

EPA sebagai alat untuk mempromosikan hubungan perekonomian yang lebih

dekat diantara kedua negara (Japan - Indonesia Economic Partnership Agreement

- Joint Study Group Report, 2005).

Pada tanggal 16 Desember 2004, Menteri Perekonomian Jepang Shoichi

Nakagawa dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Mari Elka Pangestu

melakukan pertemuan berbagi pandangan tentang perlunya membentuk sebuah

kelompok studi bersama yaitu Joint Study Group (JSG) yang bertugas mengkaji

dan memberikan penilaian menyeluruh (Full-Scale Assessment) tentang

kemungkinan pembentukan kesepakatan FTA (Free Trade Agreement), biaya dan

keuntungan yang akan dihasilkan oleh kerjasama ini serta sektor-sektor apa saja

yang akan dimasukkan ke dalam kerangka kerjasama tersebut (Japan - Indonesia

Economic Partnership Agreement - Joint Study Group Report, 2005). Setelah tiga

pertemuan Joint Study Group (JSG), kedua negara sepakat untuk melanjutkan

pembicaraan ke tingkat negosiasi.

Dari hasil JSG tersebut menghasilkan sebuah kerja sama yang disepakati

dalam kerangka Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA)

dengan ditopang tiga pilar utama yaitu mencakup di bidang Pengembangan

Sumber daya manusia (Capacity Building/Cooperation), Liberalisasi

(Liberalization) dan Fasilitas perdagangan barang, jasa dan investasi

(Facilitation) (Firdaus, 2014). Dan hal ini telah memberikan langkah baru dalam

memperkokoh hubungan Indonesia dan Jepang khususnya dalam hubungan

perdagangan di bidang pertanian. IJEPA sendiri mulai berlaku efektif pada tahun

2008 di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dengan diberlakukannya IJEPA diharapkan hubungan Indonesia dengan

Jepang khususnya dalam hubungan perdagangan di bidang pertanian dengan

komoditas karet dapat meningkat. Namun ketika IJEPA mulai diimplementasikan,

ternyata masih terdapat hal yang cukup bertolak belakang dengan keinginan awal

dari pemerintah Indonesia utamanya dalam perdagangan ekspor karet Indonesia

yang di ekpor ke Jepang mengalami fluktuatif atau naik turun.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik Indonesia, pada tahun 2005 sampai

dengan 2010 mempresentasikan volume dan nilai ekspor perdagangan Karet

Indonesia sebelum dan 2 tahun setelah diberlakukannya IJEPA, berturut-turut

sebagai berikut; Pada tahun 2005, volume ekspor perdagangan Karet Indonesia ke

jepang sebesar 172,0 ribu Ton dengan nilai US$ 216 juta, sedangkan pada tahun

2006, volume ekspor perdangan karet Indonesia ke Jepang sebesar 278,9 ribu ton

dengan nilai US $ 534,6 Juta. Selanjutnya pada tahun 2007, volume ekspor

perdagangan karet Indonesia ke jepang sebesar 325,2 ribu Ton dengan nilai US$

659 juta. Namun saat IJEPA diimplementasikan presentasi volume dan nilai

ekspor perdagangan Karet Indonesia ke Jepang mengalami penurunan seperti pada

tahun 2008 dengan presentasi volume ekpor Karet Indonesia ke Jepang sebesar

370,3 ribu ton dengan nilai sebesar US$ 974,1 juta. Mengalami penuruan kembali

di tahun 2009 dengan volume ekspor sebesar 266,9 ribu ton dan nilai ekspor

sebesar US$ 443,6 juta. Dan mengalaim kenaikan pada tahun 2010 dengan

volume ekspor Karet Indonesia ke Jepang sebesar 307,6 ribu ton dengan nilai US$

954,3 juta (Badan Pusat Statistik, 2017).

Berdasarkan fluktuatifnya ekspor perdagangan Indonesia dengan Jepang

pada tahun 2008 sampai dengan 2010, maka dari itu, penulis tertarik untuk lebih

melihat bagaimana efektivitas hubungan kerjasama Indonesia dan Jepang dalam

perjanjian Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) di bidang

pertanian khususnya pada komoditi karet.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Hubungan kerjasama Indonesia dengan Jepang yang telah berlangsung sejak

lebih dari setengah abad dimulai sejak tahun 1958 dan bertambah erat dengan

diberlakukannya perjanjian ekonomi Indonesia-Japan Economic Partnership

Agreement (IJEPA) yang merupakan kesepakatan perdagangan bebas dalam

bingkai kesepakatan kerjasama ekonomi secara bilateral yang pertama kali

dilakukan Indonesia dengan negara lain.

Perjanjian ini telah berlangsung kurang lebih 9 tahun dimulai sejak tahun

2008, namun sejak diberlakukannya perjanjian ini ekspor karet Indonesia ke

Jepang mengalami naik turun atau fluktuatif, oleh karena itu peneliti

memfokuskan periode penelitian pada tahun 2011 sampai 2015. Yang mana pada

tahun 2012 Jepang mengalami pergantian Perdana Menteri dari Yoshihiko Noda

ke Shinzo Abe. Dan di tahun 2014 Indonesia mengalami pergantian Presiden dari

Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo.

IJEPA terukur melalui 3 pilar utama yakni liberalisasi akses pasar, fasilitasi,

dan kerjasama melalui pengembangan kapasitas untuk sektor-sektor industri

prioritas. Terdapat 11 bidang yang dicakup dalam kesepakatan IJEPA diantaranya

perdagangan barang, pengaturan terkait asal barang dan prosedur kepabeanan.

Namun dalam penelitian ini, peneliti membatasi pembahasan tentang kesepakatan

IJEPA dalam kerjasama perdagangan barang di bidang pertanian dengan komoditi

karet.

Karet merupakan salah satu produk hasil pertanian yang menjadi andalan

ekspor Indonesia. Selain itu, karet memegang peranan yang cukup tinggi bagi

kehidupan manusia baik dalam kebutuhan industri hingga untuk kebutuhan rumah

tangga. Dengan wilayah Indonesia yang luas dan iklim yang cocok untuk

pertumbuhan pohon karet sehingga karet banyak diproduksi di Indonesia. Bagi

Jepang yang merupakan negara penghasil barang-barang otomotif. Produk karet

menjadi kebutuhan dasar bagi Jepang dalam menunjang produk otomotif mereka

khususnya dalam pembuatan ban maupun onderdir karet lainnya. Maka dari itu

peneliti membatasi pembahasan dalam perdagangan ekspor karet Indonesia ke

Jepang.

Berdasarkan uraian permasalahan dan batasan yang telah dituliskan diatas,

maka dari itu penulis membatasi pembahasan dalam penelitian ini ke dalam

beberapa rumusan masalah dan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana efektivitas hubungan kerjasama Indonesia-Jepang dalam kerangka

Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement atau IJEPA (Ekspor

komoditi karet Indonesia ke Jepang)?

2. Apa saja tantangan ekspor karet Indonesia ke Jepang dalam kerangka

Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement atau IJEPA?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui efektivitas hubungan kerjasama Indonesia-Jepang dalam

kerangka Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement atau IJEPA di

bidang pertanian pada ekspor komoditi karet Indonesia ke Jepang.

2. Untuk mengetahui tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mengekspor Karet

ke Jepang dalam kerangka Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement

atau IJEPA.

D. Manfaat Penelitian

1. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi akademisi Ilmu

Hubungan Internasional, yaitu Dosen dan Mahasiswa dalam mengkaji dan

memahami hubungan kerjasama yang telah dilakukan oleh Indonesia-Jepang

dalam kerangka Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement atau

IJEPA di bidang pertanian pada ekspor komoditi Karet Indonesia ke Jepang.

Dan melihat tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mengekspor Karet ke

Jepang dalam perjanjian Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement

atau IJEPA.

2. Sebagai referensi tambahan bagi setiap Aktor Hubungan Internasional baik itu

individu, organisasi, pemerintah, maupun organisasi non-pemerintah baik

dalam tingkat nasional, regional maupun internasional tentang hubungan

kerjasama yang telah dilakukan oleh Indonesia dan Jepang dalam perjanjian

Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement atau IJEPA di bidang

pertanian pada ekspor komoditi Karet Indonesia. Dan tantangan yang dihadapi

Indonesia dalam mengekspor Karet ke Jepang dalam perjanjian Indonesia-

Japan Economic Partnership Agreement atau IJEPA.

E. Kerangka Konseptual

Untuk menjawab permasalahan pada penelitian ini, maka diperlukan suatu konsep

dan teori yang menjadi landasan pemikiran, dalam skripsi ini penulis

menggunakan beberapa konsep dan teori dalam hubungan internasional, yakni

Teori Kerjasama Internasional, Konsep Hubungan Bilateral, dan Teori

Perdagangan Internasional.

1. Teori Kerjasama Internasional

Dalam hubungan internasional, kerjasama internasional menjadi suatu

keharusan yang dilakukan oleh setiap negara untuk menjamin kelangsungan

hidup berbangsa dan bernegara. Dalam suatu kerjasama internasional bertemu

berbagai macam kepentingan nasional dari berbagai negara dan bangsa yang

tidak dapat dipenuhi di dalam negerinya sendiri (Perwita & Yani, 2005). Karena

dengan melakukan kerjasama berbagai macam kebutuhan yang tidak dimilikan

oleh satu negara dapat terpenuhi dengan melakukan kerjasama dengan negara

yang lain.

Isu utama dalam kerjasama internasional yaitu berdasarkan pada

sejauhmana keuntungan bersama yang diperoleh melalui kerjasama dapat

mendukung konsepsi dari kepentingan tindakan yang unilateral dan kompetitif

(Perwita & Yani, 2005). Artinya bahwa dengan melakukan kerjasama

internasional dapat terbentuk kehidupan internasional meliputi bidang seperti

ideology, politik, ekonomi, sosial, lingkungan hidup, kebudayaan, pertahanan,

dan keamanan. Hal tersebut memunculkan kepentingan yang beraneka ragam

sehingga mengakibatkan berbagai macam masalah sosial. Untuk mencari solusi

atas berbagai masalah tersebut maka beberapa negara membentuk suatu

kerjasama internasional (Perwita & Yani, 2005).

Berdasarkan penjelasan sebelumnya bahwa kerjasama internasional dapat

terbentuk berdasarkan bidangnya. Selain itu, kerjasama interanisonal juga dapat

terbentuk berdasarkan sifatnya. Kerjasama internasional berdasarkan bidangnya

terbentuk karena kebutuhan internasional yang meliputi bidang ideologi,

ekonomi, politik, sosial, lingkungan hidup, kebudayaan, pertahanan dan

keamanan (Perwita & Yani, 2005). Sedangkan, kerjasama internasional

berdasarkan sifatnya dapat berupa kerjasama bilateral atau kerjasama antar dua

pihak; kerjasama trilateral atau kerjasama antar tiga pihak; dan kerjasama

multilateral atau kerjasama antar dua atau lebih pihak. Dalam penelitian ini,

penulis memfokuskan kerjasama pada bidang ekonomi dan memfokuskan sifat

kerjasama berdasarkan kerjasama bilateral yang terjalin antara Indonesia dan

Jepang.

Dalam melakukan kerjasama internasional, terdapat motif yang menjadi

alasana aktor-aktor melakukan kerjasama internasional. Adapun motif yang

dilakukan suatu negara untuk melakukan kerjasama internasional dengan negara

lain adalah untuk memenuhi kebutuhan negaranya atau kepentingan nasional,

untuk mendorong perekonomian, dan untuk memelihara perdamaian. Selain itu,

kerjasama internasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama.

Karena dengan bekerjasama dapat mempercepat proses peningkatan

kesejahteraan dan penyelesaian masalah diantara dua atau lebih negara.

Kerjasama internasional juga dilakukan untuk meningkatkan hubungan bilateral

antara dua negara untuk mencapai tujuan nasionalnya. Untuk meningkatkan

hubungan bilateral antara negara maka diperlukan suatu kerjasama internasional

yang baik dan adanya saling pengertian dan dalam konstelansi hubungan

internasional.

Terkait dengan penjelasan dari kerjasama internasional tersebut, secara

sederhana dijelaskan bahwa kerjasama internasional dapat diartikan merupakan

upaya yang dilakukan oleh aktor-aktor internasional dalam melaksanakan suatu

kegiatan untuk saling membantu dan bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan

dan kesejahteraan bersama untuk menjaga perdamaian dan mempererat

hubungan satu sama lain.

2. Konsep Hubungan Bilateral

Dalam hubungan internasional, hubungan bilateral merupakan suatu konsep

yang mengandung makna yang kompleks dan beragam. Konsep hubungan

bilateral digunakan untuk memperkokoh hubungan kerjasama yang terjalin

diantara dua pihak dengan menggunakan segala potensi, kekuatan dan

pengaruhnya untuk mencapai kesejahteraan. Di mana kedua pihak ini bisa

menjadi dua aktor yang berperan, baik itu berupa negara, pihak swasta ataupun

instansi yang berada dalam naungan negara.

Pada dasarnya hubungan bilateral merupakan suatu hubungan yang tidak

dapat dihindari oleh suatu negara. Dalam menjamin eksistensi suatu negara

hubungan bilateral merupakan hal yang sangat penting mengingat tidak ada

negara yang dapat berdiri sendiri. Hubungan bilateral yang dilakukan oleh

negara pada dewasa ini adalah bukan lagi hanya hubungan politik atau militer.

Melainkan cara agar negara dapat membentuk tata pembangunan perekonomian

yang baik dengan melakukan kerjasama berupa perdagangan luar negeri.

Tujuannya adalah untuk mencapai keunggulan dan kesejahteraan.

Untuk mencapai keunggulan dan kesejahteraan negara dibutuhkan suatu

hubungan bilateral ekonomi. Dalam buku Kamus Hubungan Internasional Jack

C. Plano dan Roy Olton menjelaskan bahwa hubungan bilateral dalam bidang

ekonomi dapat juga disebut Bilateral Trade atau Perdagangan bilateral.

Perdagangan bilateral merupakan kerangka dua negara untuk mengembangkan

kerjasama dalam bidang perdagangan dan kegiatan ekonomi. Lebih lanjut dalam

buku tersebut Plano dan Olton menjelaskan bahwa hubungan bilateral ekonomi

yang paling umum digunakan oleh negara adalah dalam bentuk perjanjian

perdagangan dengan saling mengurangi bea tariff masuk dan rintangan

perdangan lainnya (Plano & Olton, 1999).

Sejak tahun 1958 Jepang dan Indonesia memulai hubungan diplomatic

bilateral secara resmi dengan menendatangani perjanjian perdamaian disertai

dengan perjanjian pampasan perang dengan kesepakatan Jepang harus

membayar kerugian akibat dari penjajahan yang telah dilakukannya pada pernag

dunia kedua. Dan hal ini menjadi salah satu contoh dari awal hubungan yang

saling mempengaruhi atau hubungan timbal balik di antara kedua negara

tersebut, sehingga melahirkan sebuah perjanjian ekonomi. Dari perjanjian

ekonomi tersebut Indonesia dan Jepang dapat menjalin kerjasama di bidang

ekonomi khususnya dari hasil sumber daya alam di bidang pertanian yakni

karet. Dari hasil sumber daya alam karet ini, Indonesia dan Jepang dapat saling

mendapatkan keuntungan yang mana Indonesia sebagai negara penghasil Karet

terbaik di dunia dan Jepang sebagai salah satu negara otomotif dunia terbesar

tentunya sangat membutuhkan karet dari Indonesia. Sehingga kedua negara

dapat memanfaatkan hubungan timbal balik ini untuk melancarkan hubungan

ekonomi diantara kedua negara.

3. Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan Internasional merupakan kegiatan pertukaran barang dan jasa

yang melintasi batas-batas teritorial suatu negara ke teritorial negara lain.

Perdagangan Internasional yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan

penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang

dimaksud dapat berupa individu dengan individu, antara individu dengan negara

atau negara dengan negara lain.

Kegiatan perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk

meningkatkan Gross Domestic Product atau disingkat GDP dan pertumbuhan

perekonomian, sosial, politik suatu negara. Meskipun perdagangan internasional

telah terjadi selama ribuan tahun melalui jalur sutra. Namun dampaknya

terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad

belakangan. Kebangkitan industri, transportasi, globalisasi, perusahaan

multinasional mempunyai arti yang sangat penting dalam era globalisasi dan

berdampak dalam peningkatan perdagangan internasional. Filosofi dan konsep

yang terkandung dalam perdagangan Internasional adalah, interpendensi atau

sifat saling ketergantungan antar negara satu dengan negara lainnya. Sifat ini

melahirkan hubungan dagang antar negara yang diatur dengan undang-undang

nasional masing-masing negara, atau kesepakatan bilateral/regional/multilateral

(Purwinto, 2010) .

Dalam hubungan internasional, perdagangan internasional merupakan salah

satu topik penting dalam disiplin ilmu Ekonomi Politik Internasional. Sejak

munculnya konsep negara-bangsa, aktivitas perdagangan sudah mewarnai

interaksi antarnegara. Robert Giplin mengatakan bahwa perdagangan dan

perang selalu menjadi pusat evolusi hubungan internasional. Perdagangan telah

menyebabkan perubahan-perubahan mendasar dalam hubungan antarbangsa

(Bakry, 2015). Ekonomi politik internasional pada intinya membahas tentang

siapa mendapatkan apa dalam sistem ekonomi dan politik internasional (Jackson

& Sorensen, 2005).

Setiap pemerintah suatu negara tertentu tentunya mempunyai kewajiban

untuk memperoleh dan meningkatkan kemakmuran ekonomi bagi warga

negaranya. Demi tujuan ini, maka untuk mencapai kemajuan ekonominya, suatu

negara melakukan kerjasama dengan negara lainnya, dengan harapan bahwa

kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sendiri dapat diperoleh dari hasil

interaksinya dengan negara lain yang mempunyai kelebihan akan hal itu, baik

itu secara bilateral ataupun multilateral.

Dalam perspektif ekonomi politik, masalah perdagangan internasional

selalu terkait dengan variabel politik. Artinya, perdagangan internasional

bukanlah suatu arena yang bersifat eksklusif. Setidaknya perdagangan

internasional selalu kait mengait dengan politik, meskipun keterkaitan itu

kadang sangat kuat dan tidak jarang agak longgar (Bakry, 2015).

Noeramil Zhamri mengemukakan bahwa dalam perdagangan internasional

terdapat suatu pertukaran baik barang ataupun jasa yang berkaitan dengan

negara lain seperti yang dijelaskan dalam bukunya bahwa pengertian

perdagangan internasional yakni “Perdagangan internasional adalah pertukaran

barang dan jasa suatu barang (produknya) dengan negara lain. Perdagangan

internasional biasanya menyangkut transaksi-transaksi yang independen”

(Zhamri, 1985).

Dalam perdagangan internasional yang menjadi pelaku adalah pemerintah,

seperti yang diungkapkan Bob Sugeng Hadiwinata dalam bukunya Politik

Bisnis Internasional “ Ekonomi Internasional atau perdagangan internasional

menitikberatkan perhatiannya kepada hubungan ekonomi antar negara”

(Hadiwinata, 2002).

David Ricardo yang dikenal dengan teori keunggulan komparatif

(Comparative Advantage) meyakini bahwa perdagangan internasional itu

bersifat saling menguntungkan (mutual beneficial). Hukum keunggulan

komparatif Ricardo menyajikan dasar-dasar baru bagi teori perdagangan liberal

dan juga menjadi landasan bagi seluruh bangunan ekonomi liberal. Menurut

Ricardo perdagangan modern arus barang antarnegara ditentukan keunggulan

komparatif yang dimiliki masing-masing negara. Negara-negara yang

menghasilkan produk tertentu dengan biaya relatif rendah akan memiliki

keunggulan atas produk tersebut dalam perdagangan intenasional (Bakry, 2015).

Kerangka konseptual ini kemudian akan digunakan untuk mengetahui

efektivitas dari hubungan kerjasama antara Indonesia dan Jepang dalam

kerangka kerjasama IJEPA. Teori kerjasama internasional sebagai pengukur

efektivitas dalam kerjasama yang dilakukan oleh kedua negara melalui tujuan

dan kepentingan yang dibawa kedua negara dalam melakukan kerjasama akan

membawa keuntungan bersama. Konsep hubungan bilateral akan berfungsi

sebagai alat ukur untuk efektivitas hubungan kerjasama antara kedua negara

dalam melakukan kerjasama kesepakatan perjanjian IJEPA dengan mengukur

keuntungan yang akan diperoleh oleh kedua negara dengan melakukan

kerjasama kesepakan IJEPA. Dan teori perdagangan internasional akan

mengukur mekanisme dari kerangka IJEPA dalam kesepakatan perdagangan

ekspor karet Indonesia ke Jepang. IJEPA menjadi perjanjian bebas bilateral

pertama yang dibentuk oleh Jepang dengan Indonesia atas dasar prinsip EPA

(Economic Partnership Agreement) berdasarkkan pada Free Trade Agreement

New-Age dan bersifat WTO-plus (World Trade Organization-Plus).

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat Deskriptif-Analitik.

Yaitu penelitian yang menggunakan pola penggambaran keadaan fakta empiris

disertai argumen yang relevan secara deskriptif. Kemudian, hasil uraian tersebut

dilanjutkan dengan analisis untuk menarik kesimpulan yang bersifat analitik.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam teknik pengumpulan data, penulis menelaah sejumlah literatur untuk

mendapatkan data-data yang dibutuhkan. Data-data didapatkan melalui buku,

jurnal, artikel, dokumen yang berasal dari majalah, surat kabar harian, ataupun

dari media elektronik.

Adapun bahan-bahan tersebut diperoleh melalui:

a. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin.

b. Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia.

3. Jenis Data

Jenis data yang penulis gunakan adalah data sekunder. Data sekunder

merupakan data yang diperoleh melalui studi literatur seperti buku, jurnal,

artikel, katalog, website, surat kabar, dan berbagai data terkait lainnya. Data

yang dibutuhkan ialah data yang berkaitan langsung dengan penelitian penulis

yakni tentang hubungan kerjasama Indonesia dan Jepang dalam perjanjian

Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement atau IJEPA khususnya pada

bidang ekspor komoditi karet Indonesia ke Jepang, kemudian kondisi karet di

Indonesia dan data mengenai tantangan ekspor karet yang dihadapi oleh kedua

negara melalui perjanjian IJEPA serta data-data lain yang berhubungan dnegan

masalah penelitian.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan penulis adalah analisis secara

kualitatif namun tidak mengabaikan data-data kuantitatif, di mana data

kuantitatif digunakan sebagai pelangkap atau pendukung analisis kualitatif.

Untuk menganalisis permasalahan yang ada, penulis akan menghubungkan

fakta-fakta yang ada dengan fakta-fakta relevan lainnya sehingga akan

menghasilkan argumen yang tepat.

5. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan oleh penulis ialah metode deduktif,

yaitu dengan menggambarkan secara umum masalah yang diteliti, kemudian

menarik kesimpulan secara khusus dalam menganalisis data.

BAB III

HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA-JEPANG DALAM KERANGKA

INDONESIA-JAPAN ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT

A. Perjanjian Indonesia – Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA)

IJEPA atau Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement merupakan

perjanjian kerjasama ekonomi yang dilakukan oleh Indonesia dan Jepang yang

ditanda tangani pada tanggal 20 Agustus 2007 oleh Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono dan Perdana Menteri Shinzo Abe. Perjanjian ini merupakan perjanjian

kerjasama perdagangan bebas bilateral yang dilakukan Jepang dan Indonesia,

sekaligus menjadi perjanjian kerjasama perdagangan bebas bilateral yang pertama

kali dilakukan oleh Indonesia. Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement

atau IJEPA adalah perjanjian kerjasama yang terdiri dari 13 isu komprehensif dan

bersifat WTO Plus (World Trade Ogranization Plus) (melebihi kesepakatan-

kesepakatan yang sudah diatur oleh WTO) dan ditambah peningkatan kapasitas

(Capacity Building) sebagai bagian dari Partnership Agreement (kemitraan).

1. Latar Belakang IJEPA

Awal mula terbentuknya IJEPA atau Indonesia-Japan Partnership

Agreement dimulai dari kesepakatan kerjasama ekonomi bilateral yang didirikan

oleh Jepang pada tahun 2000 bernama Economic Partnership Agreement (EPA)

yang merupakan suatu konsep kerjasama ekonomi jepang dengan beberapa

negara. Jepang hingga saat ini telah melakukan kesepakatan EPA dengan 14

negara yakni Singapura, Meksiko, Malaysia, Chili, Thailand, Indonesia, Brunei

Darusalam, Philipina, Swiss, Vietnam, India, Peru, Australia, dan Mongolia,

ditambah dengan ASEAN dan TPP (Ministry of Foreign Affairs of Japan,

2017).

EPA atau Economic Partnership Agreement adalah perjanjian internasional

untuk mederegulasi peraturan-peraturan bagi penanaman modal dan

pengendalian imigrasi sebagai tambahan dari isi kesepakatan (Bahtiar, 2016).

EPA adalah kerangka kerjasama ekonomi yang mencakup dua isu utama: (1) isu

tradisional FTA, yakni liberalisasi perdagangan atas produk barang dan jasa; (2)

isu-isu baru atau sering disebut sebagai “WTO-Plus” yang terdiri atas dua

kategori yakni Isu Singapura (Singapore Issues) dan isu lainnya yang mencakup

kerjasama dalam berbagai bidang.

Isu tradisional FTA melibatkan kesepakatan penghapusan hambatan tariff

dan nontariff dalam perdagangan barang dan jasa. Isu ini disebut tradisional

karena merupakan elemen dasar dari negosiasi-negosiasi GATT dan WTO. Pada

pertemuan tingkat menteri di Singapura tahun 1996, WTO mendeklarasikan isu-

isu baru terkait dengan liberalisasi perdagangan yang kemudian dikenal sebagai

Isu Singapura. Isu ini merupakan klausul aturan-aturan baru yang terdiri dari

fasilitas perdagangan, government procurement, investasi dan kebijakan

kompetisi (Fatnilativia, 2008). Dengan memasukkan isu-isu ini ke dalam

kerangka, EPA menjadi kerangka kerjasama ekonomi yang lebih luas dari FTA

di mana EPA tidak hanya menyangkut liberalisasi perdagangan, tetapi juga

fasilitas dan kerjasama.

Dengan melakukan kerjasama dalam kerangka EPA, maka negara dapat

memproleh tariff yang lebih rendah dari pada negara lain. WTO sebagai

organisasi perdagangan dunia telah menetapkan prinsip Most Favored Nation

(MFN) sehingga perlakukan suatu negara terhadap semua negara di dunia harus

sama, namun jika dua negara menyepakati EPA maka negara tersebut dapat

menurunkan tariff lebih rendah dibandingkan dari pada tariff MFN. Hal tersebut

menjadi salah satu manfaat dalam melakukan EPA.

Penentuan tarif EPA digolongkan menjadi 3 tingkatan, yaitu (Bahtiar,

2016):

a. Sewaktu tarif EPA diimplementasikan tingkat tarif menjadi 0%.

Setelah EPA diimplementasikan tarif EPA menjadi 0%, sehingga terdapat

keuntungan memanfaatkan EPA kecuali tingkat MFN juga 0%

b. Penghapusan tarif secara bertahap dalam periode tertentu setelah

diimplementasikan.

Setelah EPA diimplementasikan, tingkat EPA berkurang secara bertahap

hingga akhir tingkat EPA menjadi 0%. Biasanya, setelah EPA berlaku,

tingkat tarif akan berkurang dalam 3,5, 7 atau 0 tahun, kemudian tingkat

EPA akan menjadi 0% setelah periode waktu tertentu.

c. Tidak ada penghapusan tarif atau pengurangan (tarif MFN yang berlaku).

Dalam kasus ini, EPA tidak melakukan penghapusan atau pengurangan tarif

sehingga tingkat MFN yang harus digunakan.

Dalam penerapan EPA, Ketentuan Asal barang merupakan suatu syarat

penting. Proses ini diperlukan karena target produk dalam EPA haruslah barang

yang berasal dari negara yang mengikat perjanjian. Sehingga eksportir harus

membuktikan kepada pejabat pemerintah yang berwenang bahwa barang yang

akan di ekspor benar-benar barang yang dibuat di negara eksportir agar dapat

memperoleh surat keterangan asal. Surat keterangan asal membuktikan bahwa

produk tersebut memenuhi syarat untuk memperoleh tariff EPA yang nantinya

surat tersebut dipergunakan oleh eksportir untuk diserahkan kepada importir

yang diserahkan kepada pegawai pabean di negara importir untuk pembuatan

pemberitahuan impor barang (Bahtiar, 2016). Oleh sebab itu, Jepang

menggunakan konsep EPA sebagai salah satu perjanjian kerjasama untuk

meningkatkan perekonomian negara dengan mendapatkan preferensi berupa

penurunan atau pembebasan tariff bea masuk dan untuk mempererat hubungan

bilateral dengan negara lain.

Demi terwujudnya EPA, Jepang menjalin kerjasama bilateral dengan

negara lain salah satunya dengan Indonesia. EPA antara Indonesia dan Jepang

terbentuk atas kesepakatan dua kepala negara untuk mempererat serta

meningkatkan hubungan bilateral yang telah terjalin lama diantara kedua negara

tersebut. Pada bulan Juni 2003 Perdana Menteri Jepang pada saat itu Junichiro

Koizumi menawarkan IJEPA yang berawal dari proposal pembentukan FTA

(Free Trade Area) secara bilateral kepada Presiden Megawati ketika Presiden

berkunjung ke Tokyo untuk Joint statement on Japan-Indonesia Summit

Meeting. Pada Konferensi tersebut Perdana Menteri Koizumi dan Presiden

Megawati mengumumkan bahwa adanya kemungkinan untuk pembentukan

EPA diantara kedua negara. Kedua kepala negara sepakat untuk melakukan

pertemuan pendahuluan untuk mendiskusikan kemungkinan pembentukan EPA.

Dan pertemuan pertama terjadi pada 8 September 2003 yang diadakan di Tokyo

dengan pembahasan pandangan masing-masing pihak terhadap FTA (Firdaus,

2014).

Pada tanggal 6 November 2004, Kepala Nippon Kaidaren (Japan Business

Federation), Hiroshi Okuda mengunjungi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

untuk meneruskan kembali pembicaraan mengenai FTA Indonesia dan Jepang.

Sebetulnya, inisiatif Jepang untuk membentuk EPA dengan Indonesia terkait

dengan pembentukan EPA dengan ASEAN. Hal ini ditegaskan oleh PM Jepang

Koizumi pada saat KTT ASEAN – Jepang di Phnom Penh pada tanggal 5

November 2002 (Bahtiar, 2016).

Pada pertemuan APEC di Pnom Penh, Kamboja tanggal 20-21 November

2004, Presiden Indonesia pada saat itu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

secara resmi menyampaikan kepada PM Jepang Junichiro Koizumi mengenai

pentinganya EPA sebagai alat untuk mempromosikan hubungan perekonomian

yang lebih dekat diantara kedua negara (Japan - Indonesia Economic Partnership

Agreement - Joint Study Group Report, 2005). Selanjutnya, pada 15 Desember

2004, Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang, Soichi Nakagawa

menemui Menteri Perekonomian Indonesia Aburizal Bakrie untuk

membicarakan rencana kesepakatan EPA tersebut (Firdaus, 2014).

Pada 16 Desember 2004, Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri

Shoichi Nakagawa menemui Menteri Perdagangan Republik Indonesia Mari

Elka Pangestu di Jakarta untuk menyepakati pembentukan sebuah kelompok

studi bersama atau Joint Study Group (JSG). Bertugas untuk mengkaji dan

memberikan penilaian menyeluruh (full-scale assessment) tentang kemungkinan

pembentukan kesepakatan FTA, biaya dan keuntungan yang akan dihasilkan

oleh kerjasama ini dan sektor-sektor yang akan dimasukkan ke dalam kerangka

kerjasama tersebut (Japan - Indonesia Economic Partnership Agreement - Joint

Study Group Report, 2005).

Pada tanggal 6 Januari 2005, Menteri Luar Negeri Jepang Nobutaka

Machimura dan Wakil Presiden Republik Indonesia H. Muhammad Jusuf Kalla

memutuskan untuk mengadakan tiga pertemuan JSG yang mulai dilakukan dari

bulan April 2005. Pertemuan ini bertujuan untuk menghasilkan rekomendasi

mengenai isu-isu termasuk membahas untuk memulai negosiasi EPA (Japan -

Indonesia Economic Partnership Agreement - Joint Study Group Report, 2005).

Pertemuan Joint Study Group (JSG) pertama dilakukan di Jakarta pada 31

Januari – 1 Februari 2005. Pertemuan kedua dilakukan di Bali pada 4-5 Maret

2005. Pertemuan ketiga dilakukan di Tokyo pada 11-12 April 2005. Pertemuan

tersebut dilakukan antara perwakilan kementrian dan lembaga terkait dari kedua

negara, dan juga melibatkan perwakilan sektor akademik dan swasta dari kedua

negara tersebut (Japan - Indonesia Economic Partnership Agreement - Joint

Study Group Report, 2005). Dari tiga kali pertemuan JSG tersebut

menghasilkan rekomendasi manfaat perlunya EPA diantara kedua negara berupa

Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), yang kemudian

diikuti dengan seri perundingan atau negosiasi sebanyak 6 putaran sejak Juli

2005 hingga November 2006 (Bahtiar, 2016).

Pada akhir negosiasi bulan November 2006 di Tokyo, kedua Chief

Negotiator Ambassador Soemadi DM Brotodiningrat dan Mr. Mitoji Yabunaka

menandatangani Record of Discussion yang mencakup persetujuan prinsip atas

bagian-bagian utama dari 13 kelompok negosiasi dan menyepakati untuk

melakukan finalisasi dari perjanjian sesegera mungkin. Pada tanggal 21-22 Juni

2007, dilakukan negosiasi akhir dalam kerangka wrap up meeting yang

disepakati oleh kedua Chief Negotiator menghasilkan Record of Discussion.

Hasil tersebut sebagai landasan bagi langkah selanjutnya yang akan

menyelesaikan Pending Issue dan merapikan Draft text dari segi bahasa dan

hukum (Japan - Indonesia Economic Partnership Agreement - Joint Study

Group Report, 2005).

Pada 20 Agustus 2007 Indonesia dan Jepang menandatangani kesepakatan

perjanjian kerjasama ekonomi Indonesia-Japan Economic Partnership

Agreement (IJEPA) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana

Menteri Shinzo Abe. Kesepakatan ini menjadi perjanjian perdagangan bebas

pertama yang dilakukan Indoneisa (Ardiyanti, 2015). Kesepakatan IJEPA juga

telah disahkan ke dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 36 tahun

2008 tentang Pengesahan Agreement Between The Republic of Indonesia And

Japan For Economic Partnership (Persetujuan Antara Republik Indonesia Dan

Jepang Mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi). Kesepakan ini diperkuat lagi

dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan nomor 94/PMK.011/2008

tentang Modalitas Penurunan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Persetujuan

Antara Republik Indonesia dan Jepang Mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 95/PMK.011/2008 tentang

Penetapan Tarif Bea Masuk dalam Rangka Persetujuan Antara Republik

Indonesia Dan Jepang Mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi menetapkan IJEPA

berlaku efektif sejak 1 Juli 2008. Dengan demikan, titik waktu 1 Juli 2008

sebagai tanggal efektif pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor

95/PMK,011/2008 digunakan untuk mengevaluasi pengaruh dari skema IJEPA

terhadap Indonesia dan Jepang dari sisi kontribusi ekspor bagi pendapatan

nasional dan peningkatan pertumbuhannya (Setiawan, 2012).

2. Tinjauan Umum IJEPA

Dalam dokumen perjanjian Japan-Indonesia Economic Partnership - Joint

Study Group Report menjabarkan 6 tinjauan umum dari IJEPA sebagai berikut

(Japan - Indonesia Economic Partnership Agreement - Joint Study Group

Report, 2005):

1. Jepang dan Indonesia telah menjalin hubungan ekonomi yang erat di

berbagai bidang.

2. Di bidang perdagangan, Jepang merupakan mitra dagang terbesar baik

dalam ekspor maupun impor untuk Indonesia.

3. Di bidang investasi, Jepang telah lama menjadi negara investor terbesar

di Indonesia. Walaupun pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi di Asia

dan karena hal tersebut investasi langsung Jepang ke Indonesia

mengalami penurunan. Namun Jepang tetap sebagai penanam modal

tertinggi di Indonesia.

4. Jepang merupakan pemberi bantuan terbesar atau Official Development

Assistance (ODA) ke Indonesia.

5. Hubungan ekonomi yang telah disebutkan sebelumnya, tidak akan

dipertahankan untuk selamanya tanpa upaya terus-menerus oleh kedua

negara. Dalam Joint Study Group, para peneliti dari kedua belah pihak

menunjukkan bahwa EPA bilateral antara kedua negara secara signifikan

bisa menguntungkan kedua belah pihak.

6. Dengan mempertimbangakan keadaan dan setelah melalui diskusi dalam

Joint Study Group memberikan pandangan untuk memajukan dan

memperkuat kemitraan ekonomi diantara kedua negara.

3. Tujuan IJEPA dan Manfaat IJEPA untuk Indonesia

Untuk meningkatan kerjasama diantara kedua negara, Indonesia dan Jepang

sepakat untuk bekerjasama melalui perjanjian kemitraan ekonomi atau

Economic Partnership Agreement (EPA). Dari EPA tersebut lahirlah IJEPA

yang merupakan perjanjian kerjasama ekonomi antara Indonesia dan Jepang.

Tujuan IJEPA adalah untuk meningkatkan kinerja ekonomi kedua pihak melalui

liberalisasi perdagangan barang, jasa, dan investasi, fasilitas dan kerja sama

ekonomi (Japan - Indonesia Economic Partnership Agreement - Joint Study

Group Report, 2005).

Kedua negara memiliki tujuan masing-masing dalam menjalin kerjasama

EPA. Jepang menjadikan EPA untuk memperkuat akses pasar di negara-negara

yang menjadi target produk industrinya. Sedangkan Indonesia menjadikan EPA

sebagai alat untuk mendapatkan perlakuan yang seimbang (proper balance),

khususnya menyangkut aspek kerjasama guna membangun kapasitas

ekonominya (Japan - Indonesia Economic Partnership Agreement - Joint Study

Group Report, 2005).

Di dalam perjanjian IJEPA, Jepang menyatakan komitmennya untuk

membantu pihak Indonesia dalam meningkatkan kapasitas industrinya (capacity

building) agar produk/jasanya bisa memenuhi persyaratan mutu yang dituntut

oleh pasar Jepang melalui elemen perjanjian atau Cooperation.

Hasil dari Joint Study Group melahirkan konsep utama atau pilar dasar dari

kerjasama IJEPA, yaitu:

a. Fasilitas Perdagangan dan Investasi:

Upaya bersama untuk memperbaiki iklim investasi dan meningkatkan

tingkat kepercayaan bagi investor Jepang;

Kerjasama di bidang prosedur kepabeanan, pelabuhan dan jasa-jasa

perdagangan, HAKI;

b. Liberalisasi, yaitu menghapuskan atau mengurangi hambatan perdagangan

dan investasi (bea masuk dan memberikan kepastian hukum);

c. Kerjasama, yaitu Kesepakatan untuk kerjasama dalam meningkatkan

kapasitas Indonesia sehingga lebih mampu bersaing dan memanfaatkan

secara optimal peluang pasar dari IJEPA.

4. Bidang Kerjasama IJEPA

Dari tiga pilar dasar kerjasama IJEPA, lahir 11 bidang kerjasama IJEPA,

yakni (Japan - Indonesia Economic Partnership Agreement - Joint Study Group

Report, 2005):

1. Perdagangan Barang atau Trade In Goods

Dalam bidang perdagangan, IJ-EPA mempunyai pandangan yang sama

bahwa penurunan biaya tarif adalah elemen penting untuk memperkuat

kemitraan ekonomi diantara kedua negara. Pihak Indonesia memberikan

perhatian penuh dalam hal penurunan tariff, khususnya peningkatan tarif baik

sebagai rintangan non tarif, termasuk minat produk dari kedua negara.

Dalam kerjasama di bidang perdagangan terdapat beberapa katergori untuk

semua produk yang diperdagangkan, yaitu:

o Kategori A: disebut Fast Track, produk yang tarifnya nol (0);

o Kategori B: disebut Normal Track, produk yang tariffnya diturunkan

secara bertahap dalam kurun waktu 3, 5, 7 dan 10 tahun setelah

implementasi EPA;

o Kategori C: disebut Special Arrangement, produk yang masuk negosiasi

tapi penurunan tarifnya diatas 10 tahun setelah implementasi EPA dan atas

persetujuan kedua belah pihak;

o Kategori X: disebut Exclusion List produk yang dikeluarkan dari negosiasi

karena tergolong sensitive product;

o Kategori Q; disebut Quota product yang mendapat Tariff Rate Quota dari

Jepang yaitu sorbitol, pisang dan nanas.

Pada sektor pertanian, kedua belah pihak sepakat akan menghapuskan tarif

untuk sebagian besar komoditi pertanian dalam jangka waktu 10 tahun.

Dalam laporan Joint Study Group, bidang kerjasama Trade in Goods

(Perdagangan) tebagi menjadi 3 bagian yakni; Industrial Goods (Barang-

barang Industri); Agriculture, Foresty, and Fisheries (Pertanian, Perkebunan,

dan Perikanan) (Japan - Indonesia Economic Partnership Agreement - Joint

Study Group Report, 2005):

o Barang-barang Industri (Industrial Goods)

1. Kedua pihak menekankan bahwa salah satu maksud utama IJ-EPA

adalah mengejar perluasan investasi dari Jepang ke Indonesia lewat

perbaikan iklim investasi di Indonesia. Pihak Jepang mengatakan

bahwa perbaikan akses market sebaiknya dibicarakan bersama dengan

perbaikan iklim investasi di Indonesia. Dengan alasan itu, dan

mengakui sifat struktur industri yang saling mengimbangi dari Jepang

dan Indonesia, pihak Jepang memberikan pandangan bahwa penurunan

tariff untuk semua barang adalah prinsip dasar dari kerjasama ini, dan

kedua pihak sebaiknya segera melakukan penurunan tariff segera dari

jadwal AFTA. Pihak Jepang juga memberikan keterangan menarik

dalam menyingkirkan tariffseperti, mobil dan bagian-bagian mobil,

listrik dan elektronik, baja, dan bahan tekstil, di mana Indonesia

memiliki tariff yang tinggi.

2. Mobil Jepang dan industri bagian mobil, menyebutkan bahwa

penyingkiran tariff secara prinsip perlu untuk memperkuat

kerjasamanya dengan mitra local Indonesia lewat kemitraan.

o Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan (Agriculture, Foresty, and

Fisheries)

a. Sisi Indonesia berpendapat bahwa EPA dapat berkontribusi pada

peningkatan pembangunan dan perdagangan di bidang pertanian,

kehutanan dan perikanan untuk kedua belah pihak dan menyatakan

kesediaannya untuk melanjutkan diskusi mengenai peningkatan akses

pasar di wilayah-wilayah ini.

b. Kedua belah pihak menjelaskan bahwa ada produk khusus dan / atau

sensitif di bidang pertanian, kehutanan dan perikanan untuk kedua

negara. Pihak Jepang mengacu pada produk sensitif seperti beras dan

produk beras, jelai, gandum, daging, nanas, pisang, pati, gula dan

produk gula, produk susu, kayu, tuna termasuk tuna cakalang, IQ-IQ

terkait perikanan, minyak dan lemak tertentu dan makanan olahan.

Pihak Indonesia mengacu pada produk khusus seperti beras, jagung,

kedelai dan gula. Kedua belah pihak menegaskan bahwa mereka akan

melakukan negosiasi mengenai EPA secara fleksibel dengan

pertimbangan mengenai produk khusus dan / atau sensitif. Fleksibilitas

seluruh produk, termasuk pengecualian produk dari cakupan liberalisasi

perdagangan di bawah EPA, akan ditentukan dengan

mempertimbangkan sensitivitas produk dari kedua belah pihak.

c. Pihak Jepang meminta agar subsidi ekspor, bea ekspor dan pembatasan

ekspor oleh Pemerintah Indonesia di bidang pertanian, kehutanan dan

perikanan harus dihilangkan. Sebuah organisasi pertanian Jepang

menekankan, bahwa manfaat dari EPA harus dimiliki oleh semua sektor

ekonomi, bahwa EPA harus sejalan dengan upaya untuk ketahanan

pangan dan peningkatan dalam tingkat swasembada, dan bahwa hal itu

harus memperhatikan dengan multifungsi pertanian. Pihak Indonesia

berbagi pandangan mengenai hal-hal ini karena keprihatinan mereka

terhadap pembangunan pedesaan dan perbaikan mata pencaharian

pedesaan.

d. Pihak Indonesia bersikukuh perlunya kerjasama teknis di wilayah

karantina. Pihak Indonesia menunjukkan bahwa EPA seharusnya tidak

menyakiti petani skala kecil di Indonesia dan juga di Jepang. Dalam hal

ini, pihak Indonesia meminta kerjasama dengan pihak Jepang mengenai

kegiatan koperasi pertanian dan organisasi petani.

e. Di bidang kehutanan, pihak Jepang menyatakan sensitivitas panel kayu

sektor manufaktur. Pihak Jepang meminta Pemerintah Indonesia untuk

melakukan kegiatan lebih lanjut melawan pembalakan liar dan

membahas pentingnya perlindungan hutan tropis. Pihak Indonesia

menyatakan bahwa upaya serius dan konsisten dilakukan dalam

memberantas pembalakan liar. Pihak Indonesia juga menunjukkan

bahwa perdagangan internasional ilegal di sektor ini harus ditangani

secara bersamaan.

f. Di bidang perikanan, kedua negara sepakat memperkuat lebih lanjut

hubungan kerjasama pengelolaan sumber daya perikanan. Sementara

kelompok industri perikanan Jepang menunjukkan bahwa industri

perikanan kedua negara bersaing dalam hal sumber daya perikanan

termasuk tuna dan tuna cakalang, kedua belah pihak menyadari

pentingnya mengambil langkah lebih lanjut menuju pengelolaan sumber

daya perikanan yang terorganisir, khususnya untuk menghilangkan

penangkapan ikan secara ilegal, tidak diatur dan tidak dilaporkan atau

IUU di sekitar perairan Indonesia. Kedua negara juga menginginkan

kemungkinan kerjasama lain dalam bidang perikanan bukan hanya

mengarah pada sektor ekonomi.

g. Pihak Indonesia meminta dukungan teknis untuk menghilangkan kapal

penangkap ikan illegal yang telah beroperasi di sekitar perairan

Indonesia dan untuk mengembangkan induk udang lokal. Kedua belah

pihak mengakui pentingnya kerjasama untuk menginvestigasi sumber

daya perikanan di perairan Indonesia sebagai peluang bisnis masa

depan di Indonesia.

2. Rule of Origin

Kedua negara berbagi pandangan bahwa peraturan mengenai ketentuan asal

(Rule of origin) didasarkan pada ASEAN-Japan Comperhensive Economic

Partnership Agreement dan IJEPA yang disatukan.

3. Prosedur Ekspor-Impor dan Bea Cukai (Costum Procedure)

Kedua negara akan berbagi informasi untuk memfasilitasi perdagangan.

Pihak Jepang menunjukkan keseimbangan antara fasilitas perdagangan dan

menjamin keamanan adalah hal yang sangat penting dalam bidang ekspor-

impor dan bea cukai. Industri Jepang meminta untuk meningkatkan

prediktabilitas prosedur ekspor impor dan bea cukai melalui peningkatan

transparansi dalam prosedur, fasilitasi prosedur, penerapan peraturan secara

seragam. Berdasarkan opini tersebut, pihak Jepang menekankan bahwa

sehubung dengan prosedur ekspor impor dan bea cukai, EPA harus mencakup

hal-hal berikut:

a. Memastikan transparansi;

b. Kerjasama pertukaran informasi antara pihak bea cukai untuk tujuan

memfasilitasi perdagangan melalui penyederhanaan dan harmonisasi

prosedur ekspor impor dan bea cukai indonesia, dan memastikan

penegakan hukum yang efektif terhadap perdagangan barang gelap;

c. Pembentukan mekanisme tindak lanjut dengan baik. Pihak Indonesia

memberikan Informasi mengenai ekspor-impor dan bea cukai yang

telah disederhanakan. Selain itu, pihak Indonesia menegaskan bahwa

Indonesia terus berusaha memperbaiki prosedur ekspor-impor dan bea

cukai. Pihak Indonesia mempunyai pandangan atas pentingnya

kerjasama antara kedua belah pihak yang berwenang dalam bidang

ekspor impor dan bea cukai.

4. Perdagangan Jasa (Trade In Service)

Pihak Jepang memberikan perhatiannya di bidang liberalisasi jasa yang

berhubungan dengan pembuatan jasa informasi dan pelayanan keuangan, serta

pelayanan hukum. Pihak Jepang menjelaskan bahwa pembuatan jasa pelayanan

dapat membantu perbaikan prasarana di Indonesia, dan jasa pelayanan yang

berhubungan dengan hal-hal seperti Industri Pabrik. Di mana pihak Jepang

sebagai salah satu penanam modal terbesar di Indonesia.

Pihak Indonesia juga memberikan perhatian dalam pelayanan di bidang

liberalisasi, termasuk pelayanan kepariwisataan, informasi dan komunikasi,

transportasi maritim, pendidikan, dan pelayanan yang berhubungan dengan

kesehatan. Pihak Indonesia juga menerangkan adanya kemajuan dalam bidang

liberalisasi yang sudah dilakukan di bawah WTO (World Trade Organization)

dalam bidang perdagangan dan pelayanan keuangan. Sejauh ini pelayanan

distribusi, pihak Indonesia menerangkan bahwa area ini sudah dibuka untuk

partisipasi asing.

5. Investasi (Investment)

IJEPA akan menyediakan mekanisme untuk perbaikan lingkungan

perusahaan dan promosi keyakinan perusahaan, dengan partisipsi kedua

pemerintah Indonesia dan Jepang, sektor pribadi masing-masing dan organisasi

relevan lainnya. Pihak Jepang memberikan perhatiannya di bidang liberalisasi

jasa yang berhubungan dengan pembuatan jasa, informasi dan pelayanan

keuangan, dan pelayanan hukum. Pihak Jepang menjelaskan bahwa pembuatan

pelayanan dapat membantu perbaikan prasarana di Indonesia, dan pelayanan

yang berhubungan dengan hal-hal seperti Industri Pabrik yang mana pihak

Jepang sebagai penanam modal terbesar.

Perwakilan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) menjelaskan

bahwa dalam proses liberalisasi yang stabil, Indonesia telah

mempertimbangkannya melalui Undang - Undang Penanaman Modal baru

yang sedang direvisi; Undang-undang penanaman modal yang baru ini

bertujuan untuk menyederhanakan prosedur terkait investasi termasuk dari

sistem lisensi ke sistem registrasi dan beberapa peraturan lainnya, selain itu,

undang-undang ini juga diubah untuk memberikan pembatasan tertentu pada

modal asing dalam beberapa kasus.

Pihak Jepang menyatakan minatnya dalam liberalisasi sektor jasa termasuk

layanan terkait manufaktur, jasa konstruksi, layanan informasi dan komunikasi,

jasa transportasi dan pariwisata, jasa distribusi, jasa keuangan, dan layanan

hukum. Pihak Jepang menjelaskan bahwa layanan konstruksi Jepang dapat

berkontribusi terhadap perbaikan infrastruktur di Indonesia, dan layanan terkait

manufaktur sangat penting bagi industri manufaktur di mana investor Jepang

merupakan salah satu penyumbang terbesar bagi perekonomian Indonesia.

Pihak Indonesia juga menyatakan ketertarikannya pada liberalisasi sektor

jasa, termasuk layanan pariwisata, informasi dan komunikasi, transportasi

maritim, konstruksi, pendidikan dan layanan kesehatan. Pihak Indonesia juga

menjelaskan beberapa kemajuan liberalisasi melampaui tingkat yang telah

dilakukan di bawah WTO dalam perdagangan jasa konstruksi dan keuangan.

Sejauh menyangkut layanan distribusi, pihak Indonesia menjelaskan bahwa

bagian ini telah dibuka untuk partisipasi asing.

6. Movement of Natural Person

Kedua belah pihak akan menyediakan kerangka ini, karena memudahkan

perpindahan manusia di berbagai kategori termasuk pengunjung perusahaan

jangka-pendek, intra-bisnis transfereces, penanam modal dan servis

profesional.

Pihak Indonesia menyatakan ketertarikannya untuk saling mengakui

kualifikasi di bidang pariwisata dan layanan hotel, layanan spa, layanan

makanan-minuman terkait makanan, pengasuh, pelaut dan perawat. Pihak

Indonesia meminta: (a) penerimaan pekerja terampil atau pekerja profesional di

bidang keperawatan, pengasuh, hotel dan industri pariwisata, dan (b)

pengakuan pelaut bersertifikat di kapal penangkap ikan tuna Jepang dan

mengizinkan perwira Indonesia untuk bertugas di kapal penangkap ikan tuna

Jepang. Pihak Jepang menjelaskan bahwa Jepang menerima tenaga profesional

atau teknis untuk masuk ke Jepang sebagai kebijakan Pemerintah.

7. Government Procurement

IJEPA menyediakan kerangka ini untuk pertukaran informasi dan

mekanisme untuk dialog dengan partisipasi kedua Pemerintah, sektor pribadi

masing-masing dan organisasi relevan lainnya. Kedua Pihak akan memajukan

kerjasama teknik di bidang ini dengan pandangan untuk meningkatkan

transparansi.

8. Intellectual Proverty Rights (Hak Kekayaan Intelektual (HAKI))

Pihak Jepang memandang hak kekayaan intelektual merupakan elemen

penting untuk memilih tujuan investasi bagi Jepang, dan perlunya perbaikan

lingkungan di Indonesia untuk perlindungan HAKI agar perusahaan Jepang

dapat melakukan promosi investasi. Pihak Jepang menegaskan pendapatnya

sebagai berikut:

a. Perbaikan dan perlindungan HAKI

b. Peningkatan Kerjasama Internasional

c. Meluruskan dan meningkatkan transparansi prosedur administrasi

d. Meningkatkan kesadaran umum atas perlindungan HAKI

e. Peningkatan pelaksaan HAKI

Kedua pihak akan menjamin perlindungan HAKI untuk memajukan

efisiensi dan transparansi di bidang administrasi HAKI, perlindungan sistem

dan memperhitungkan ukuran untuk pelaksanaan hak-hak kekayaan intelektual

melawan pelanggaran, pemalsuandan pembajakan. IJEPA akan menyediakan

kerjasama bagi Indonesia dan Jepang dalam kerangka ini.

9. Competition Policy (Kebijakan Persaingan Usaha)

Kedua belah pihak berbagi pandangan tentang pentingnya upaya kebijakan

persaingan di bawah IJEPA. Pihak Jepang menekankan bahwa tujuan diskusi

mengenai kebijakan persaingan di bawah EPA adalah untuk mencegah

aktivitas anticompetitive di antara kedua negara agar tidak menghalangi

manfaat liberalisasi dalam perdagangan dan investasi, sambil menunjukkan

bahwa upaya di bidang kebijakan persaingan ini akan dilakukan dengan

infrastruktur yang halus untuk investasi oleh perusahaan Jepang. Selain itu,

pihak Jepang menyarankan agar upaya standar yang tinggi termasuk kerjasama

penegakan hukum dan kerjasama teknis harus dilakukan di bawah IJEPA,

karena Indonesia adalah salah satu negara paling maju di antara negara-negara

ASEAN dalam hal upaya kebijakan persaingan. Pihak Jepang menekankan

bahwa pemberitahuan, kerjasama, koordinasi, dan komitmen positif dan negatif

secara khusus harus didiskusikan di bidang kerja sama penegakan hukum.

Pihak Indonesia berbagi pandangan mengenai pentingnya kerja sama

penegakan hukum di bawah IJEPA, sementara itu, Indonesia menyatakan

bahwa langkah pertama adalah dengan penerapan undang-undang persaingan

yang efektif dari kedua negara. Pihak Indonesia mengusulkan agar fokus kerja

sama di bidang ini harus mencakup: (i) pertukaran informasi, dan (ii)

pembangunan kapasitas. Pihak Indonesia menekankan bahwa kegiatan tersebut

dapat meliputi: a) mengkaji kebijakan dan hukum persaingan; b)

mengembangkan kebijakan persaingan dan perangkat hukum; c)

pengembangan kapasitas untuk lembaga penegakan hukum; d) meningkatkan

dukungan dan kesadaran multi-stakeholder; dan e) mengembangkan kapasitas

infrastruktur.

10. Energy and Mineral Resources (Sumber Daya Energi dan Mineral)

Pihak Jepang menyebutkan bahwa bidang sumber penghasilan barang

tambang dan energy adalah bidang penting untuk Jepang, dan sebaiknya

dibicarakan dalam IJEPA, yaitu : (a) perbaikan lingkungan investasi (b)

mendapatkan sumber barang tambang dan energi dalam keadaan darurat. Pihak

Jepang juga mengajak Indonesia untuk memperbaiki lingkungan investasi, dan

pentingnya sumber barang tambang dan energi serta sumber daya manusia

yang memadai dalam bidang ini.

Pihak Indonesia mengungkapkan bidang energy adalah satu bidang

penting dalam kerangka kerjasama IJEPA, dan kedua belah pihak akan

memperkuat dialog kebijkan dan kerjasama dalam bidang ini. Bagi Jepang,

posisi Indonesia sangat penting sebagai negara penyedia energi.

11. Cooperation (Kerjasama)

Kedua belah pihak akan meningkatkan kerjasama bilateral untuk

pembangunan di berbagai bidang, yaitu pembuatan Industri, pertanian,

perikanan, dan kehutanan, perdagangan dan investasi, perkembangan sumber

daya alam, pariwisata, informasi dan teknologi komunikasi, keuangan, usaha

pengadaan pemerintah, dan lingkungan. Dengan tujuan untuk memperkuat

kemitraan ekonomi di antara kedua negara.

B. Kondisi Karet Indonesia

Pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peran yang cukup

penting dalam perekonomian Indonesia, hal ini dapat dilihat dalam kontribusinya

terhadap PDB yang cukup besar yakni sekitar 13,7% pada tahun 2016. Selain itu,

sektor pertanian juga berkontribusi besar dalam memperkerjakan tenaga kerja

sekitar 32% dari jumlah penduduk angkatan kerja di Indonesia (CIA.gov, 2017).

Pada saat krisis ekonomi terjadi, sektor pertanian merupakan sektor yang cukup

kuat menghadapi goncangan ekonomi dan dapat diandalkan dalam pemulihan

perekonomian nasional.

Salah satu sub sektor pertanian yang memiliki pengaruh terhadap

perekonomian nasional adalah sub sektor perkebunan. Sub sektor ini merupakan

penyedia bahan baku untuk sektor industri, penyerap tenaga kerja dan penghasil

devisa (Rahmansyah, 2017). Karet merupakan salah satu hasil komoditi dari sub

sektor perkebunan yang memiliki peranan cukup penting dalam kegiatan

perekonomian Indonesia.

Karet adalah polimer hidrokarbon yang terbentuk dari emulsi kesusuan

(dikenal sebagai latex) yang diperoleh dari getah beberapa jenis tumbuhan pohon

karet tetapi digunakan secara sintetis. Sumber utama barang dagang dari latex

yang digunakan untuk menciptakan karet adalah pohon karet Hevea brasiliensis

(Euphorbiaceae). Ini dilakukan dengan cara melukai kulit pohon sehingga pohon

akan memberikan respons yang menghasilkan lebih banyak latex (Departemen

Perindustrian, 2007).

Indonesia merupakan negara penghasil dan pengekspor karet terbesar di

dunia. Sekitar 81,51% produksi karet alam Indonesia diekspor ke manca negara

dan hanya sebagian kecil yang dikonsumsi dalam negeri (Badan Pusat Statistik,

2012). Besarnya potensi karet di Indonesia membuat usaha perkebunan karet di

Indonesia terus berkembang. Adapun pengembang usaha karet di Indonesia

terbagi menurut status perusahaannya, yakni Smallholder (Perusahaan Rumahan

atau Rakyat), Government estate (Perusahaan Negara), dan Private estate

(Perusahaan Swasta) (Rahmansyah, 2017). Produksi karet terbesar di Indonesia

dihasilkan oleh produksi rumahan atau smallholder.

Pada tahun 2009, Produksi Karet yang dihasilkan smallholder Indonesia

sebesar 1.942.298 ton sedangkan, perusahan milik negara dan perusahaan swasta

hanya menghasilkan 238.656 ton dan 259.393 ton. Pada tahun 2015 Produksi

Karet yang dihasilkan dari smallholder Indonesia terus meningkat hingga

mencapai 2.617.113 ton begitu pula dengan perusahaan negara dan perusahaan

swasta yang masing-mamsing meningkat mencapai 260.829 ton dan 353.883 ton

(lihat taber 3.1).

Grafik 3.1 Perkembangan Produksi Karet Indonesia menurut Status

Pengusaha tahun 2015

Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia, Katalog Statistik Karet Indonesia tahun

2015, hal. 7, 2015.

Grafik diatas memperlihatkan bahwa persentase produksi karet yang

diusahakan oleh perkebunan rakyat lebih besar dibandingkan dengan yang

diusahakan oleh perkebunan besar negara ataupun perkebunan besar swasta. Hal

ini juga dikarenakan luas wilayah perkebunan rakyat lebih besar dibandingkan

dengan luas wilayah pekebunan negara ataupun swasta (lihat Grafik 3.2).

Diestimasikan pada tahun 2015, hasil produksi karet Indonesia mencapai

3.231.825 ton dengan perkebukanan rakyat sebesar 2.617.113 ton, perusahaan

negara sebesar 260.829 ton dan perusahaan swasta 353.883 ton.

Tabel 3.1 Produksi Karet di Indonesia Menurut Status Pengusaha Tahun 2001-

2015 (Ton)

Tahun

Perkebunan

Rakyat

Perusahaan

Negara

Perusahaan

Swasta TOTAL

2001 1.209.284 182.578 215.599 1.607.461

2002 1.226.647 186.535 217.177 1.630.359

2003 1.396.244 191.699 204.405 1.792.348

2004 1.662.016 196.088 207.713 2.065.817

2005 1.838.670 209.837 222.384 2.270.891

2006 2.082.597 265.813 288.821 2.637.231

2007 2.176.686 277.200 301.286 2.755.172

2008 2.176.686 276.809 300.861 2.754.356

2009 1.942.298 238.656 259.393 2.440.347

2010 2.179.061 266.326 289.467 2.734.854

2011 2.359.811 302.370 328.003 2.990.184

2012 2.377.228 304.602 330.424 3.012.254

2013 2.655.942 255.616 325.875 3.237.433

2014 2.583.439 227.783 341.964 3.153.186

2015 2.568.633 225.999 350.766 3.145.398

Sumber: Data diolah dari data sekunder yang diperoleh dari Direktoral Jenderal

Perkebunan Indonesia, Statistik Perkebunan Indonesia Tree Crop Estate Statistic

of Indonesia 2015-2017, hal. 3.

Peranan karet terhadap ekspor Indonesia tidak bisa dianggap kecil.

Indonesia adalah produsen karet terbesar kedua di dunia dengan produksi 2,5 juta

ton di tahun 2007, sedangakan Thailand memproduksi 2,9 juta ton pada tahun

yang sama. Di tahun 2013 produksi karet Indonesia mengalami kenaikan hingga

3,2 juta ton. Walaupun di tahun 2014 produksi karet Indonesia mengalami

penurunan menjadi 3,1 juta ton namun produksi karet di tahun 2015 diperkirakan

mengalami kenaikan menjadi 3,2 juta ton. Selain itu, luas lahan karet Indonesia

terbesar dengan luas mencapai 3,6 juta hektar pada tahun 2015 (lihat tabel 3.2).

Tabel 3.2. Kondisi Karet Alam Indonesia, Tahun 2001-2015

Tahun Produksi (Ton) Luas Areal (Ha)

Produktivitas

(000Kg/Ha)

2001 1.607.461 3.344.767 686

2002 1.630.359 3.318.359 696

2003 1.792.348 3.290.112 765

2004 2.065.817 3.262.267 839

2005 2.270.891 3.279.391 862

2006 2.637.231 3.346.427 967

2007 2.755.172 3.413.717 993

2008 2.751.286 3.424.217 994

2009 2.440.347 3.435.270 901

2010 2.734.854 3.445.415 986

2011 2.990.184 3.456.128 1.071

2012 3.012.254 3.506.201 1.073

2013 3.237.433 3.555.946 1.083

2014 3.153.186 3.606.245 1.053

2015 3.145.398 3.621.102 1.036

Sumber : Data diolah dari data sekunder yang diperoleh dari Kementrian

Pertanian Republik Indonesia (http://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/newkom.asp),

2014. Direktoral Jenderal Perkebunan Indonesia, Statistik Perkebunan Indonesia

Tree Crop Estate Statistic of Indonesia 2014-2016, hal. 6. Direktoral Jenderal

Perkebunan Indonesia, Statistik Perkebunan Indonesia Tree Crop Estate Statistic

of Indonesia 2015-2017, hal. 6.

Selain dari produksinya Indonesia juga memiliki luas areal tanam karet

paling luas di dunia. Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang

cocok untuk penanaman karet, khususnya di wilayah Kalimantan dan Sumatera.

Luas area perkebunan karet pada tahun 2005 tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta

hektar yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Areal perkebunan karet di

Indonesia berasal dari 85% perkebunan rakyat dan sisanya berasal dari

perkebunan besar milik negara sebesar 7% dan 8% perkebunan milik swasta

(Departemen Perindustrian, 2007). Besarnya perkebunan karet milik rakyat

menjadikan karet sebagai mata pencaharian utama bagi petani karet khususnya di

wilayah Sumatera Selatan yang menjadi wilayah produksi karet terbesar di

Indonesia.

Perkembangan luas areal karet periode tahun 2013-2015 diperkirakan

mengalami peningkatan yakni berkisar 1,38% sampai dengan 1,42%. Di tahun

2013 lahan perkebunan karet Indonesia tercatat seluas 3,56 juta hektar. Sedangkan

tahun 2014 diperkirakan luas areal perkebunan karet Indonesia terus meningkat

sebesar 1,41% atau luas areal menjadi 3,61 juta hektar. Luas areal perkebunan

karet diperkirakan menigkat kembali pada tahun 2015 sebesar 1,38% atau luas

areal menjadi 3.66 juta hektar (Badan Pusat Statistik, 2014). Perkembangan luas

areal perkebunan karet dapat dilihat pada tabel 3.2.

Pada tahun 2014 hingga tahun 2015, luas area perkebunan karet di Indonesia

tersebar di 26 provinsi, yakni seluruh provinsi di Pulau Sumatera, Pulau

Kalimantan, dan Pulau Jawa kecuali DKI Jakarta, Sulawesi Tengah, Sulawesi

Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Dari ke-26 provinsi tersebut,

Provinsi Sumatera Selatan merupakan provinsi dengan area perkebunan karet

terluas dengan catatan pada tahun 2014 seluas 835,34 ribu hektar atau 23,16%

dari luas area total perkebunan karet Indonesia. Pada tahun 2015, diperkirakan

Sumatera Selatan masih menempati posisi teratas dengan luas 837,496 hektar.

Sedangakan provinsi Sumatera Utara menempati posisi kedua sebagai wilayah

dengan luas areal perkebunan karet di Indonesia seluas 427,086 hektar. Provinsi

Kalimantan barat memeliki luas areal perkebunan karet terbesar di pulau

Kalimantan sebesar 365,589 hektar, Untuk pulau Jawa, provinsi Jawa Barat

memiliki luas terbesar di pulau tersebut sebesar 63.767 hekta. Di wilayah

Sulawesi, provinsi Sulawesi Selatan memiliki luas areal karet sebesar 7.837 hektar

sedangkan wilayah Sulawesi Tengah sebesar 5.105 hektar (Badan Pusat Statistik,

2015).

Gambar 3.1. Peta 5 Provinsi Produsen Karet Tertinggi di Indonesia

Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia, Statistik Karet Indonesia, hal.xvi, 2015.

Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk

penanaman karet, dengan penghasil utama berasal dari Pulau Sumatera dan

Kalimantan, yaitu Provinsi Sumatera Utara (0,41 juta ton), Riau (0,32 juta ton),

Jambi (0,26 juta ton), Sumatera Selatan (0,93 juta ton), dan Kalimantan Barat

(0,23 juta ton) (Badan Pusat Statistik, 2015). Berdasarkan data tersebut, dapat

diketahui bahwa sebagian besar pulau di Indonesia memiliki perkebunan karet

yang luas, hal tersebut juga menjadikan Indonesia sebagai negara dengan luas

areal perkebunan karet terluas di dunia.

Grafik 3.2 Perkembangan Luas Areal Perkebunan Karet tahun 2015

Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia, Statistik Karet Indonesia tahun 2015,

hal. 6, 2015.

Berdasarkan status pengusahaannya, sebagian besar perkebunan karet pada

tahun 2014 diusahakan oleh perkebunan rakyat yaitu sekitar 85,06% atau 3,07 juta

hektar, perkebunan swasta mengusahakan sebesar 8,75% atau 0,31 juta hektar dan

hanya 6,38% atau 0,23 juta hektar yang diusahakan oleh perkebunan besar negara.

Sedangkan di tahun 2015 sebagian perkebunan karet diusahakan oleh perkebunan

rakyat (PR) yakni sekitar 84,78% atau 3,07 juta hektar, perkebunan besar swasta

(PBS) mengusahakan sebesar 8,84% atau 0,32 juta hektar dan hanya 6,38% atau

0,23 juta hektar yang diusahakan oleh perkebunan besar negara (PBN) (Badan

Pusat Statistik, 2015).

Ekspor karet Indonesia secara umum dibagi dalam dua jenis yaitu karet

alam dan karet sintetis. Selama periode tahun 2007-2015 produksi karet yang di

ekspor sebagian besar dalam bentuk karet alam. Dalam perkembangannya ekspor

kedua jenis karet tersebut selama delapan tahun terakhir ekspor karet alam

mengalami fluktuasi. Ekspor karet alam tahun dari 2007 sampai tahun 2009

mengalami penurunan, di mana pada tahun 2007 volume ekspor karet alam

Indonesia mencapai 2,41 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 4,870,51 juta

dan pada tahun 2008 volume ekspor karet alam tersebut mengalami penurunan

sekitar 4,67% yakni menjadi 2,30 juta ton dan nilainya mencapai US$ 6,056,57

juta sedangkan, hingga pada tahun 2009 volume ekspor karet alam terus

mengalami penurunan hingga 13,25% yakni menjadi 1,99 juta ton dengan nilai

mencapai sebesar US$ 3,241,36 juta (Badan Pusat Statistik, 2009). Pada tahun

2010 volume ekspor karet alam mengalami kenaikan sekitar 18,05% yakni

menjadi 2,35 juta ton dengan nilai mencapai US$ 7,322,55 juta. Namun, di tahun

2010 volume ekspor karet alam mengalami peningkatan sebesar 18,05% dan pada

tahun 2011 volume ekspor karet alam mengalami peningkatan sebesar 8,73%

yakni menjadi 2,56 juta ton dengan nilai mencapai sebesar US$ 11,762,32 juta

(Badan Pusat Statistik, 2011).

Periode tahun 2012 sampai tahun 2015 ekspor karet alam Indonesia juga

mengalami fluktuasi. Pada tahun 2012 volume ekspor karet alam Indonesia

mengalami penurunan sekitar 4,35% yakni menjadi 2,44 juta ton dan nilainya

mencapai US$ 7,861,38 juta. Pada tahun 2013 volume ekspor karet mengalami

kenaikan sebesar 10,54% yakni menjadi 2,70 ton dengan nilai sebesar US$

6,906,95 juta (Badan Pusat Statistik, 2013). Sedangakan di tahun 2014 volume

ekspor karet alam mengalami penurunan 2,91% menjadi 2,6 juta ton dengan nilai

US$ 4,741,49 juta (Badan Pusat Statistik, 2014). Tahun 2015 volume ekspor karet

mengalami peningkatan kembali namun hanya 0,26% atau menjadi 2,63 juta ton

dengan nilai US$3,699 juta (Badan Pusat Statistik, 2015). Perkembangan Ekspor

karet alam Indonesia dapat dilihat pada tabel 3.3.

Tabel 3.3 Perkembangan Ekspor Karet Alam dan Karet Sintetis tahun 2007-2015

Tahun

Karet Alam Karet Sintetis

Volume (ton) Nilai (000 US$) Volume (ton) Nilai (000 US$)

2007 2.407.849 4.870.514 44.089 56.584

2008 2.295.456 6.056.574 22.625 41.286

2009 1.991.263 3.241.364 22.309 29.273

2010 2.350.640 7.322.550 17.949 24.732

2011 2.555.739 11.762.317 35.441 63.014

2012 2.444.438 7.861.378 33.816 61.5

2013 2.701.995 6.906.952 39.216 64.717

2014 2.623.425 4.741.489 45.6 66.71

2015 2.630.313 3.699.055 51.35 61.004

Sumber: Data diolah dari data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik

Indonesia, Katalog BPS tahun 2009-2015.

Berdasarkan paparan data diatas, dapat dianalisis bahwa ekspor karet alam

Indonesia selalu mengalami fluktuasi. Ada beberapa faktor yang menyababkan

fluktuasinya ekspor karet Indonesia, salah satunya karena naik turunnya harga

karet dunia. Jika melihat tabel 3.3, volume ekspor karet alam pada tahun 2008

mengalami penurunan, namun nilai ekspor karet pada tahun 2008 lebih tinggi

dibandingkan dengan nilai ekspor karet pada tahun 2007, padalah ekspor karet

pada tahun 2007 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2008. Hal ini terjadi

karena harga karet dunia pada bulan Juli 2008 mencapai level tertinggi yakni US$

3,15/kg atau Rp 28.914/kg. Namun, dilansir pada berita harian online Kompas

harga karet dunia terus merosot menjadi US$ 1,35/kg atau Rp 12.285/kg pada

bulan Desember 2008 (Kompas.com, 2008).

Pada tahun 2009 harga karet kualitas ekspor mencapai 18.750/kg namun

jumlah produksi karet di tahun ini mengalami penurunan karena pengaruh musim

kemarau (Kompas.com, 2009). Selain penurunan produksi karet karena pengaruh

musim kemarau, pada tahun 2009 ekspor karet alam Indonesia mengalami

penurunan seperti yang terlihat pada tabel 3.3. Hal ini terjadi karena kebijakan

yang dikeluarkan oleh ITRC (International Tripartite Rubber Council ) dengan

mengurangi ekspor karet sebesar 116 ribu ton dari 270 ribu ton total volume

ekspor komoditi karet yang dihasilkan oleh 3 negara penghasil utama karet dunia

yakni Thailand, Indonesia, dan Malaysia (Wibisoni, 2008). Kebijakan ini

dikeluarkan untuk menguatkan kembali harga karet di pasar intenasional yang

turun pada tahun akhir tahun 2008.

Menurut Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia

(Gapkindo), Suharto Honggokusomo, menurunnya harga karet pada akhir tahun

2008 terjadi karena krisis global serta karena harga minyak bumi. Hal ini juga

berimbas pada konsumsi karet alam dunia yang turun sekitar 10% atau sebanyak

satu juta ton pada tahun 2009 (Wibisoni, 2008). Jadi menurunnya volume ekspor

karet dan harga keret Indonesia pada tahun 2009 selain karena pengaruh musim

kemarau dan kebijakan ITRC yang menurunkan ekspor karet juga karena

turunnya harga karet di akhir tahun 2008 dan krisis global. Namun berkat

kebijakan pengurangan ekspor karet yang dilakukan oleh ITRC, harga karet di

pasar dunia yang sebelumnya US$ 1,35/kg pada tanggal 30 Desember 2008 naik

menjadi US$ 2,87/kg pada 30 Desember 2009 (GAPKINDO, 2010). Karena

keberhasilan dari kebijakan tersebut, harga karet dunia pada tahun 2010

mengalami kenaikan. Begitu juga dengan volume ekspor karet Indonesia yang

mengalami kenaikan.

Kenaikan harga karet pada tahun 2010 terus meningkat hingga tahun 2011

dengan harga karet sebesar US$ 4,9/kg atau Rp 59.800/kg. Seperti yang terlihat

pada tabel 3.3 volume dan nilai ekspor karet di tahun 2011 mengalami

peningkatan. Akan tetapi kenaikan harga tersebut hanya berlangsung pada tahun

2011 karena di tahun 2012 harga karet turun sebesar US$ 2,5/kg, dan pada tahun

2013 menurun sebesar US$ 2,14/kg dan terus menurun pada tahun 2014 sebesar

US$ 1,66/kg. Hal tersebut menyebabkan nilai ekspor karet Indonesia yang terus

menurun selama tiga periode tahun 2012 sampai than 2014. Penurunan harga

karet harga terus terjadi hingga tahun 2015 dengan harga US$ 1,2/kg.

Fluktuatifnya harga karet ini terjadi karena lonjakan harga karet alam yang

menurun di pasar bersamaan dengan lonjakan harga minyak dunia yang naik. Hal

ini menyebabkan nilai ekspor karet alam mengalami penurunan yang cukup

signifikan.

Untuk perkembangan ekspor karet sintetis pada tahun 2007-2009 mengalami

penurunan, tahun 2007 volume ekspor karet sintetis mencapai 44,09 ribu ton

dengan nilai sebesar US$ 56,58 juta, dan pada tahun 2008 mengalami penurunan

sekitar 48,68% yakni menjadi 22,63 ribu ton dengan nilai US$ 41,29 juta ton.

Pada tahun 2009 ekspor karet sintetis mengalami penurunan sebesar 1,40 %

dengan volume sebesar 22,31 ribu ton dengan nilai sebesar US$ 29,27 juta (Badan

Pusat Statistik, 2009).

Pada tahun 2010-2015 ekspor karet sintetis terus mengalami fluktuasi. Pada

tahun 2010 volume ekspor karet sintetis mencapai 17,95 ribu ton dan nilai sebesar

US$ 24,73 juta, pada tahun 2011 mengalami peningkatan sekitar 97,45% yakni

menjadi 35,44 ribu ton dengan nilai US$ 63,01 juta. Selanjutnya pada tahun 2012

ekspor karet sintetis mengalami penurunan sebesar 4,59% dengan volume sebesar

33,82 ribu ton dan nilai sebesar US$ 61,50 juta (Badan Pusat Statistik, 2012).

Selanjutnya pada tahun 2013 ekspor karet sintetis mengalami peningkatan

mencapai 39,22 ribu ton dengan nilai sebesar US$ 64,70 juta. Tahun 2014 volume

ekspor karet sintetis mengalami penigkatan sekita 0,04% atau menjadi 45,6 ribu

ton dengan nilai sebesar US$ 66,70 juta. Volume ekspor tahun 2015 kembali

meningkat menjadi 51,35 ribu ton atau naik sekitar 12,6% dan nilainya sebesar

US$ 61,004 juta (Badan Pusat Statistik, 2015). Perkembangan Ekspor karet

sintetis Indonesia dapat dilihat pada tabel 3.3.

Pada tahun 2011 harga minyak sebesar US$ 91,39/barrel dan naiknya harga

minyak berpengaruh pada pembuatan karet sintetis yang menggunakan minyak

sebagai bahan bakunya. Sehingga jika harga minyak bumi naik maka harga karet

sintetis juga akan ikut naik. Hal ini juga berdampak pada ekspor karet sintetis

(detikFinance.com, 2015). Oleh karena itu, berdasarkan tabel 3.4 dapat diketahui

bahwa bahwa pada tahun 2011 nilai ekspor karet sintetis Indonesia meningkatan

bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2012 harga

karet sintetis menurun, hal ini terjadi karena turunnya harga minyak menjadi US$

88,95/barrel dan berpengaruh pada turunnya harga karet sintetis.

Bila dibandingkan dengan negara-negara penghasil karet alam seperti

Thailand dan Malaysia, berbagai produk karet yang diproduksi dan diekspor oleh

Indonesia masih terbatas, dan pada umumnya masih didominasi oleh produk

primer (bahan baku) dan produk setengah jadi. Karena itu, karet alam mempunyai

volume dan nilai ekspor lebih besar dibandingkan dengan karet sintetis. Namun

hal tersebut juga dapat membuat nilai ekspornya bisa sampai jauh di bawah

negara yang sudah memproduksi dan mengekspor berbagai produk olahan karet

(Rosmerya, 2009). Untuk itu, bila membandingkan tabel 3.3 dengan tabel 3.4,

volume dan nilai ekspor karet alam Indonesia lebih besar dibandingkan volume

dan nilai ekspor karet sintetis Indonesia. Karena Indonesia lebih unggul dalam

produksi produk bahan baku atau produk setengah jadi dari karet alam.

Karena keunggulan karet alamnya yang telah diketahui oleh seluruh dunia

menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor karet terbesar kedua di dunia.

Selain itu Indonesia memili luas areal perkebunan karet. Karena kedua hal

tersebut menjadi ketertarikan bagi negara-negara lain untuk mengekspor karet dari

Indonesia. Negara tujuan ekspor karet Indonesia adalah Amerika Serikat, Jepang

dan Tiongkok, Korea Selatan, Brazil dan India. Amerika Serikat telah menjadi

konsumen utama karet Indonesia disusul oleh Tiongkok dan Jepang.

Tabel 3.4. Volume Ekspor Karet Indonesia ke Negara Tujuan tahun 2007-2015

(000 Ton)

Tahun

Negara Tujuan

Amerika

Serikat Jepang Tiongkok Singapura

Korea

Selatan India Brazil

2007 644,3 397,8 341,8 161,2 93,1 51,1 65,7

2008 622,1 400,6 318,8 151,2 106,4 26,6 77,1

2009 394,3 272,8 457,1 100,1 99,5 83,3 58,5

2010 546,1 312,9 418,1 117,5 91,5 99,3 110,1

2011 607,8 387,6 409,3 104,2 120,0 68,7 94,4

2012 572,2 389,2 437,7 63,5 142,9 107,8 71,1

2013 609,7 425,8 511,7 21,7 147,3 144,5 87,7

2014 597,8 409,0 367,0 18,3 158,7 195,8 103,5

2015 624,7 425,0 289,4 31,5 182,8 204,6 95,5

Sumber: Data diolah dari data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik

Indonesia, Katalog BPS, Statistik Karet Indonesia, tahun 2008-2015.

Berdasarkan tabel 3.4 dapat diketahui bahwa terdapat tiga negara yang

menempati urutan tertinggi dalam ekspor karet Indonesia yakni Amerika Serikat,

Tiongkok, dan Jepang. Amerika Serikat menjadi negara tujuan ekspor terbesar

untuk karet Indonesia, diikuti oleh Tiongkok diurutan kedua sebagai negara

pengekspor karet Indonesia. Tiongkok adalah negara dengan lanju pertumbuhan

ekonomi yang besar dan mulai melakukan ekpor karet dari Indonesia untuk

industri otomotifnya. Namun, di tahun 2014 ekspor karet Indonesia ke Tiongkok

mengalami penurunan. Dilansir dari berita harian online ekonomi Neraca, pada

tahun 2014 Tiongkok merupakan salah satu negara konsumen karet yang memiliki

persedianaan karet yang banyak (Neraca.co.id, 2014). Oleh sebeb itu, ekspor karet

Indonesia ke Tiongkok menurun. Hal ini juga berdampak pada harga karet dunia

pada tahun 2013 yang mengalami penurunan.

Sebaliknya, perkembangan ekspor karet Indonesia ke Jepang terus

meningkat sejak tahun 2010. Jepang mulai melirik produksi karet Indonesia

karena harga karet Indonesia lebih murah dibandingkan harga karet Malaysia dan

Thailand. Diperkuat juga dengan hasil produk karet Indonesia memiliki tekstur

yang lebih baik untuk diolah kembali bagi industri Jepang bila dibandingkan

dengan hasil karet dari Malaysia dan Thailand. Dan pada tahun 2011

pemberlakukan bea tariff masuk 0% dari IJEPA telah berlaku. Itu berarti

Indonesia dapat mengekspor karet ke Jepang tanpa harus dibebankan dengan tariff

bea masuk atau hambatan-hambatan lain dalam pasar Jepang.

Berdasarkan tabel 3.4 perkembangan volume ekspor karet Indonesia ke

Tiongkok pada tahun 2014 mengalami penurunan yang sangat drastic. Sebaliknya,

volume ekspor karet alam Indonesia ke Jepang mengalami kenaikan di tahun

2011. Meningkatnya ekspor karet Indonesia ke Jepang ini menggeser posisi

Tiongkok sebagai negara tujuan ekspor karet kedua Indonesia. Hal ini juga terjadi

pada pertumbuhan ekspor karet alam Indonesia ke India dan Brazil.

Naik turunnya pertumbuhan ekspor karet Indonesia terjadi karena adanya

beberapa faktor penghambat yang mengurangi hasil produksi karet yakni faktor

iklim dan cuaca, faktor tanaman dan pohon karet yang sudah tua, dan faktor dari

fluktuasi harga karet dunia. Fluktuatifnya harga karet menjadi hambatan utama

dalam perkembangan ekspor karet indonesia. Menurut Ketua Asosiasi Petani

Karet Indonesia (APKARINDO) Lukman Zakaria, kondisi karet dunia sedang

menghadapi tantangan berat dengan menurunnya harga karet mencapai

US$1,64/kg. Tekanan dari pembeli dan berkembangnya isu tingginya tingkat

persediaan karet di negara konsumen terutama di Tiongkok menjadi dampak

menurunnya harga pasaran karet di dunia pada tahun 2015 (Atika & Afifuddin,

2015).

Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya untuk mengurangi hambatan

dalam perkembangan ekspor karet antara lain dengan membuat kebijakan tentang

kelembagaan karet yang pengembangannya diarahkan pada upaya konsolidasi dan

optimalisasi pendayagunaan dan pemanfaatan potensi sumbur daya infrastruktur

yang ada. Pemerintah bekerja sama dengan lembaga atau organisasi pertanian di

tingkat wilayah yang terbentuk yakni Asosiasi Petani Karet Indonesia

(APKARINDO) yang telah berada di bawah naungan Gabungan Asosiasi Petani

Perkebunan Indonesia (GAPPERINDO) dalam upaya meningkatkan produksi

karet Indonesia, dan lembaga riset/penelitian Pusat Penelitian (Puslit) Karet yang

mempunyai mandat untuk melakukan penelitian dan pengembangan yang

berkaitan dengan teknologi industri perkaretan (Atika & Afifuddin, 2015).

Lembaga-lembaga tersebut diarahkan untuk dapat berkonsolidasi dan dapat

mengoptimalisasi kinerja keorganisasiannya untuk dapat mengembangkan ekspor

karet indonesia

Kebijakan pemerintah yang kedua dalam upaya untuk mengurangi hambatan

dalam perkembangan ekspor karet yakni kebijakan dalam produksi karet alam

Indonesia. Salah satunya dengan membuat kebijakan umum subsistem usaha tani

yang meliputi diantaranya yang pertama adalah upaya peningkatan pelayanan dan

pengembangan penyediaan bahan tanaman bermutu dengan harga terjangkau; lalu

yang kedua percepatan peningkatan produktivitas dan mutu panen melalui

pendayagunaan sumber daya alam dan sumber daya manusia; kemudian yang

ketiga adalah upaya untuk merealisasikan nilai tambah, yang keempat

memfasilitasi pengembangan jejaringan dan kerjasama yang solid antar

stakeholder di bidang pertanian, dan lembaga penyangga internasional ITRC

(Atika & Afifuddin, 2015).

Kebijakan ketiga adalah kebijakan perdagangan karet Indonesia ke negara-

negara lain. Termasuk kebijakan perdagangan yang telah disepakati oleh

Indonesia dengan AFTA (Asean Free Trade Area), WTO (World Trade

Oreganization), dan APEC (Asia Pasific Economic Coorperation) hingga

kebijakan ITRC yang merupakan kerjasama antara Thailand, Indonesia dan

Malaysia (Atika & Afifuddin, 2015). ITRC memiliki tujuan untuk menstabilkan

harga karet di pasar internasional sehingga ekspor karet di ketiga negara tersebut

dapat meningkat dan produsen karet di negara – negara anggota ITRC yang

sebagian besar merupakan produksi rumahan mendapatkan penghasilan yang

layak. Sehingga setiap kebijakan perdagangan yang dikeluarkan akan berpengaruh

kepada kebijakan perdagangan karet Indonesia.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada penelitian ini, dapat ditarik beberapa

kesimpulan antara lain:

1. Bahwa kedua negara yakni Indonesia dan Jepang telah mejalin hubungan

kerjasama dalam kerangka Indonesia-Japan Economic Partnership

Agreement atau IJEPA sejak tahun 2008. Dalam kerangka IJEPA kedua

negara sepakat untuk menghapus hambatan tariff masuk untuk sebagian

besar ekspor komodiri pertanian. Khusus untuk ekspor karet, Indonesia

dan Jepang telah sepakat untuk menghapus bea tariff masuk karet pada

tahun 2011.

2. Hubungan kerjasama antara Indonesia dan Jepang dalam kerangka

perjanjian IJEPA pada ekspor komoditi karet Indonesia ke Jepang berjalan

dengan efektif. Bahkan kedua negara dapat mengalami interdependen

khusunya untuk perdagangan pertanian komoditi karet.

3. Bagi Indonesia, kerjasama dalam kerangka IJEPA memberikan

keuntungan yakni meningkatnya ekspor karet Indonesia ke Jepang

khususnya di tahun 2011-2015. Dan Indonesia menjadi negara produsen

utama ekspor karet ke Jepang serta produksi komoditi karet Indonesia

telah meningkat menjadi produk yang siap bersaing di pasar Jepang. Itu

berarti Indonesia telah mendapatkan pangsa pasar khususnya untuk hasil

produksi karet di Jepang.

4. Bagi Jepang, kerjasama dalam kerangka IJEPA memberikan keuntungan

di mana Jepang dapat memperkuat bahkan meningkatkan akses pasarnya

di Indonesia dengan menjadi negara tujuan utama ekspor karet Indonesia

yang berada diurutan kedua mengalahkan Tiongkok. Hal ini sesuai dengan

tujuan Jepang dalam melakukan kerjasama dengan Indonesia melalui

kerangka IJEPA. Selain itu, dari penerapan IJEPA, Jepang juga

medapatkan harga bahan baku karet yang lebih murah dari Indonesia.

Jepang juga dapat menjual bahan jadi karetnya ke Indonesia Di mana

Jepang mendapatkan pangsa pasar untuk industri karetnya di Indonesia.

5. Efektifnya hubungan kerjasama Indonesia dengan Jepang melalui

kerangka IJEPA di ekspor karet Indonesia ke Jepang ini akan mempererat

hubungan Indonesia dengan Jepang untuk lebih memanfaatkan IJEPA

dalam melakukan kerjasama perdagangan di bidang lain selain pertanian.

6. Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mengekspor karet ke Jepang

adalah menurunnya harga karet dunia yang menyebabkan rendahnya nilai

ekspokr karet Indonesia ke Jepang. Hal ini menyebabkan rendahnya

keuntungan yang didapatkan Indonesia dalam mengekspor karet ke

Jepang.

7. Tantangan lain yang dihadapi Indonesia adalah persaingan dengan negara

lain dalam mengekspor karet Indonesia. Walaupun Indonesia dan Jepang

telah menyepakati penghapusan hambatan tariff masuk untuk komoditi

karet, namun hal tersebut tidak mengurangi persaingan Indonesia dengan

negara Thailand dan Vietnam dalam mengekspor karet ke Jepang.

B. Saran

1. Penulis menyarankan agar pemerintah kedua negara lebih mempererat

kerjasama dalam memanfaatkan kerangka perjanjian IJEPA.

2. Kedua negara semestinya dapat meningkatkan setiap 11 bidang kerjasama

IJEPA yang telah disepakati. Bukan hanya di bidang perdagangan dan

investasi namun juga dapat meningkatkan kerjasama yang lainnya yang

telah disepakati dalam bidang kerjasama IJEPA.

3. Perlu lebih ditingkatkannya sosialisasi kepada pelaku usaha baik pelaku

usaha dalam industri karet terkait kerjasama IJEPA, khususnya dalam

pelaksanaan aturan-aturan dan prosedur dalam ekspor-impor dan bea cukai

yang telah disepakati oleh kedua negara melalu kerangka IJEPA. Agar

pelaku usaha dapat melakukan prosedur dan aturan-aturan tersebut

sebelum melakukan ekspor industrinya ke Jepang.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Bakry, U. S. (2015). Ekonomi Politik Internasional Suatu Pengantar .

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Barnawi, & M., A. (2015). Teknik Penulisan Karya Ilmiah. Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media.

Djelantik, S. (2015). Jepang Sebagai Raksasa Ekonomi Dunia. In S. Djelantik,

Asia-Pasifik Konflik, Kerja Sama, dan Relasi Antarkawasan (pp. 53-72).

Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Hadiwinata, B. S. (2002). Politik Bisnis Internasional. Jakarta: Refika.

Holsti, K. J. (1988). Politik Internasional, Jilid 2 : Kerangka untuk Analisis; alih

bahasa M. Tahir Azhary. In K. Holsti, Politik Internasional, Jilid 2 :

Kerangka untuk Analisis; alih bahasa M. Tahir Azhary (pp. 652-653).

Jakarta: Erlangga.

Jackson, R., & Sorensen, G. (2005). Pengantar Studi Hubungan Internasional.

New York: Pustaka Pelajar.

Krisna, D. (1993). Kamus Politik Internasional. Jakarta: Gramedia Widiasarana

Indonesia.

Kusumohamidjojo, B. (1987). Hubungan Internasional: Kerangka Suatu Analisis.

Jakarta: Bina Cipta.

Perwita, A. A., & Yani, Y. M. (2005). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Plano, J. C., & Olton, R. (1999). Kamus Hubungan Internasional. Bandung: CV.

Abardin.

Purwinto, M. A. (2010). Reformasi Kepabeaan. Yogyakarta: Delta Buku.

Tambunan, T. T. (2004). Globalisasi dan Perdagangan Internasional. Bogor:

Ghalia Indonesia.

Toma, P. A., & Gorman, R. F. (1991). International Relation: Understanding

Global Issues. Baltimore: Brooks/Cole.

Zhamri, N. (1985). Pemasaran Internasional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Jurnal, Buletin, Katalog, Tesis, dan Skripsi

Ardiyanti, S. T. (2015). “Dampak Perjanjian Perdagangan Indonesia-Jepang

(IJEPA) Terhadap Kinerja Perdagangan Bilateral” dalam Buletin Ilmiah

Litbang Perdagangan, Vol. 9 No. 2 , 131.

Atika, S., & Afifuddin, S. (2015). “Analisis Prospek Ekspor Karet Indonesia ke

Jepang” dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol.3 No.1 , 29-42.

Bahtiar, H. (2016). Kerjasama Ekonomi Indonesia - Japan Economic Partnership

Agreement (IJEPA) dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Industri di

Indonesia. Skripsi pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan Bandung: tidak

diterbitkan.

Fatnilativia, D. (2008, Desember). Kepentingan Jepang Dalam Kesepakatan

Kemitraan Ekonomi (Economic Partnership Agreement) Dengan

Indonesia Tahun 2007. Skripsi pada Program Studi Ilmu Hubungan

Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia:

tidak diterbitkan.

Firdaus, R. W. (2014). “Implemetasi Indonesia-Jepang Economic Partnership

Agreement terhadap Defisitnya Neraca Perdagangan Sektor Non-Migas

Indonesia-Jepang 2008-2012” dalam Jurnal Analisis Hubungan

Internasional Vol. 3 , 597-613.

Hakim, R. (2012). Hubungan Ekspor, Impor Dan Produk Domestik Bruto (PDB)

Sektor Keuangan Perbankan Indonesia Periode Tahun 2000:Q1 -

2011:Q4 : Suatu Pendekatan Dengan Model Analisis Vector

Autoregression (VAR). Tesis pada Departemen Ilmu Administrasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Jakarta: tidak

diterbitkan.

Julivanto, V. (2009). Dinamika Ekspor Karet Alam Indonesia. Skripsi pada

Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut

Pertanian Bogor: tidak diterbitkan.

Kementerian Perdagangan. (2015). Laporan Akhir Analisis Review Indonesia

Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) Dalam Perdagangan

Barang. Jakarta: Kementerian Perdagangan.

Larasati, S. D. (2005). “Dinamika Hubungan Indonesia dan Jepang Dalam

Indonesia Japan Economic Partnership Agreement Studi Kasus: Evaluasi

Kebijakan Terhadap Eksploitasi Ikan Tuna Di Wilayah Perairan

Indonesia” dalam Journal of International Relation, Volume 1, Nomor 2 ,

70-78.

Rahmansyah, T. (2017). Peranan International Tripartite Rubber Council. Skripsi

pada Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar: tidak diterbitkan.

Ramlin, I. S. (2016). Analisis Kebijakan Penurunan Tarif Bea Masuk Impor Tuna

Ke Jepang Terhadap Neraca Perdagangan Indonesia Terkait Indonesia-

Japan Economic Partnership Agreement. Skripsi pada Hukum

Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar: tidak

diterbitkan.

Rosmerya, D. (2009). Assessing Indonesia Natural Rubber Competitiveness. Tesis

pada Faculty of Economic Universitas Indonesia Jakarta: tidak diterbitkan.

Setiawan, S. (2012). “Analisis Dampak IJEPA Terhadap Indonesia dan Jepang”

dalam Jurnal Ilmiah Ekonomi Bisnis Volume 17 nomor 2 , 99-112.

Zulkifli. (2012). Kerjasama Internasional Sebagai Solusi Pengelolaan Kawasan

Perbatasan Negara (Studi Kasus Indonesia). Tesis pada Fakultas Hukum

Universitas Indonesia Jakarta: tidak diterbitkan.

Dokumen dari website

Badan Pusat Statistik. (2017, Januari). Ekspor Karet Menurut Negara Tujuan

Utama, 2000-2015. Di akses pada 14 Februari 2017, dari Badan Pusat

Statistik: https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1025

Badan Pusat Statistik. (2012, Juli). Statistik Karet Indonesia 2012. Di akses pada

24 September 2017, dari Badan Pusat Statistik :

https://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/watermark%20_Statistik%20

Karet%20Indonesia%202012.pdf

Badan Pusat Statistik. (2008, November). Statistik Karet Indonesia tahun 2008.

Di akses pada 25 September 2017, dari Badan Pusat Statistik:

https://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Stat-Karet-Indonesia-

2008.pdf

Badan Pusat Statistik. (2009). Statistik Karet Indonesia tahun 2009. Di akses pada

26 September 2017, dari Badan Pusat Statistik:

https://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Karet-Indonesia-

2009.PDF

Badan Pusat Statistik. (2010). Statistik Karet Indonesia Tahun 2010. Di akses

pada 25 September 2017, dari Badan Pusat Statistik Indonesia:

https://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Karet-Indonesia-

2010.pdf

Badan Pusat Statistik. (2011). Statistik Karet Indonesia tahun 2011. Di akses pada

26 September 2017, dari Badan Pusat Statistik:

https://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/watermark%20_Statistik%20

Karet%20Indonesia%202011.pdf

Badan Pusat Statistik. (2012). Statistik Karet Indonesia tahun 2012. Di akses pada

22 September 2017, dari Badan Pusat Statistik:

https://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/watermark%20_Statistik%20

Karet%20Indonesia%202012.pdf

Badan Pusat Statistik. (2013). Statistik Karet Indonesia tahun 2013. Di akses pada

26 September 2017, dari Badan Pusat Statistik:

https://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/watermark%20_Statistik_Ka

ret_Indonesia_2013.pdf

Badan Pusat Statistik. (2014). Statistik Karet Indonesia tahun 2014. Di akses pada

6 September 2017, dari Badan Pusat Statistik:

https://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Karet-Indonesia-

2014.pdf

Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Karet Indonesia tahun 2015. Di akses pada

22 September 2017, dari Badan Pusat Statistik:

https://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Karet-Indonesia-

2015--.pdf

Burfisher, M., Robinson, S., & Thierfelder, K. (2004, Februari). Regionalism: Old

and New Theory and Practice. Di akses pada 11 November 2017, dari

International Food Policy Research Institute:

https://ageconsearch.umn.edu/bitstream/16137/1/mt040065.pdf

Departemen Perindustrian. (2007). Gambaran Sekilas Industri Karet. Di akses

pada 18 Agustus 2017, dari Kementrian Perindustrian:

https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1

&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwj6-

Liw8MXWAhVKKJQKHbBVCRMQFgglMAA&url=http%3A%2F%2F

www.kemenperin.go.id%2Fdownload%2F288%2FPaket-Informasi-

Komoditi-Karet&usg=AFQjCNH2M0PVfXflP9wO3qNwyyTwsrlL-Q

Hermanto. (2015). Kementerian Luar Nergeri Indoneisia. Di akses pada 13

Oktober 2017, dari Slideshare.net:

https://www.slideshare.net/Hermanto71/peluang-dan-tantangan-

kerjasama-di-bidang-pertanian-dalam-kkerangka-indonesia-japan-

economic-partnership-agreement-ijepa

ITPC Osaka, Jepang. (2015). Perkembangan Perdagangan Indonesia-Jepang. Di

akses pada 13 Oktober 2017, dari Kementerian Perdagangan Website:

http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2015/04/30/report-1430385478.pdf

Japan - Indonesia Economic Partnership Agreement - Joint Study Group Report.

(2005, Mei). Japan - Indonesia Economic Partnership Agreement. Di

akses pada 4 Februari 2017, dari Ministry of Foreign Affairs of Japan:

http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/indonesia/summit0506/joint-3-

2.pdf

The World Bank. (2006). Making the New Indonesia Work for the Poor. Di akses

pada Agustus 15, 2017, dari The World Bank Website:

http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publicatio

n/280016-1152870963030/2753486-

1165385030085/Overview_standalone_en.pdf

UNESCAP.org. (2004). Official Statistics and its Develepment in Indonesia. Di

akses pada Agustus 16, 2017, dari Economic and Social Commission for

Asia & the Pacific Website:

http://www.unescap.org/stat/sos1/sos1_indonesia.pdf

Wikisource.org. (2008, Oktober 7). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5

Tahun 1974. Di akses pada 13 Agustus 2017, dari Wikisource:

https://id.wikisource.org/wiki/Undang-

Undang_Republik_Indonesia_Nomor_5_Tahun_1974

Website

Agustinus, M. (2015, Desember 4). Harga Karet Merosot Hingga 75% Dalam 4

Tahun Terakhir. Di akses pada Oktober 12, 2017, dari Finance.detik.com:

https://finance.detik.com/industri/3087770/harga-karet-merosot-hingga-

75-dalam-4-tahun-terakhir

Ansori, M. (2014, Mei 12). Pengusaha Sebut Kinerja Ekspor Karet Makin Berat -

Harga Anjlok Hingga US$ 1,64% Per Kg. Di akses pada Oktober 12,

2017, dari neraca.co.id: http://www.neraca.co.id/article/41375/harga-

anjlok-hingga-us-164-per-kg-pengusaha-sebut-kinerja-ekspor-karet-

makin-berat

CIA.gov. (2017, Mei 30). The World Factbook of Indonesia. Di akses pada Juni

11, 2017, dari Central Intelligence Agency Website:

https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html

detikFinance.com. (2015, Desember 4). Berita Harga Karet Merosot hingga 75%

Dalam 4 Tahun terakhir. Di akses pada Oktober 5, 2017, dari

detikFinance.com: https://finance.detik.com/industri/3087770/harga-karet-

merosot-hingga-75-dalam-4-tahun-terakhir

GAPKINDO. (2010, Januari 19). Joint Media Release Meeting Of The Ministerial

Committee Of The International Tripartite Rubber Council Between The

Kingdom Of Thailand, The Republic Of Indonesia And Malaysia. Di akses

pada 2 November 2017, dari GAPKINDO (Gabungan Perusahaan Karet

Indonesia) Rubber Association of Indonesia Website:

http://www.gapkindo.org/index.php?option=com_content&view=article&id=

120&Itemid=122

Ika, A. (2016, Februari 4). AS Jadi Pasar Ekspor Karet Alam Terbesar Indonesia

Sejak 2010. Di akses pada Oktober 11, 2017, dari Kompas.com:

http://ekonomi.kompas.com/read/2016/02/04/174209426/AS.Jadi.Pasar.Ek

spor.Karet.Alam.Terbesar.Indonesia.Sejak.2010

IMF.org. (2015, Oktober 6). World Economic Outlook Database, April 2016 -

Report for Selected Countries and Subjects. Di akses pada September 14,

2017, dari International Monetary Fund Website:

http://www.imf.org/external/pubs/ft/weo/2016/01/weodata/weorept.aspx?pr.x

=51&pr.y=3&sy=2016&ey=2020&scsm=1&ssd=1&sort=country&ds=.&br=

1&c=158&s=NGDPD%2CNGDPDPC%2CPPPGDP%2CPPPPC&grp=0&a=

Julaikah, N. (2014, Agustus 24). Harga Karet Dunia Anjlok. Retrieved November 4, 2017,

from Merdeka.com: https://www.merdeka.com/uang/harga-karet-dunia-

anjlok.html

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). (2017, Maret 4). Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI). Di akses pada Maret 14, 2017, dari Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus versi Online:

http://kbbi.web.id/kooperasi#main

Kedutaan Besar Jepang di Indonesia. (2016, 10 6). Hubungan Bilateral Indonesia

- Jepang. Di akses pada 10 12, 2016, dari Kedutaan Besar Jepang di

Indonesia: http://www.id.emb-japan.go.jp/birel_id.html

Kompas.com. (2009, September 26). Ekonomi, Bisnis dan Keuangan Harga Karet

Ekspor Turun. Di akses pada Oktober 6, 2017, dari Kompas.com:

http://ekonomi.kompas.com/read/2009/09/26/09475838/harga.karet.ekspor

.turun

Kompas.com. (2017, Desember 22). Harga Karet Melorot. Di akses pada Oktober

13, 2017, dari Kompas.com:

http://regional.kompas.com/read/2011/12/22/03162838/Harga.Karet.Melor

ot

Kompas.com. (2008, Desember 21). Harga Karet Terus Menurun, Batasi Ekspor.

Di akses pada Oktober 6, 2017, dari Kompas.com:

http://tekno.kompas.com/read/2008/12/21/2259303/harga.karet.terus.menu

run.batasi.ekspor

Lah, K. (2011, Februari 14). Japan: Economy Slips to Third in World. Di akses

pada September 14, 2017, dari CNN.com:

http://edition.cnn.com/2011/BUSINESS/02/13/japan.economy.third/index.

html

Miller, M. A. (2004). Ingenta Connect Asian Etnicity, Volume 5, Number 3. Di

akses pada Agustus 13, 2017, dari Ingenta Connect:

http://www.ingentaconnect.com/content/routledg/caet/2004/00000005/000

00003/art00005

Ministry of Foreign Affairs of Japan. (2017). Foreign Policy Economic

Diplomacy. Di akses pada Juli 12, 2017, dari Ministry of Foreign Affairs

of Japan: http://www.mofa.go.jp/policy/economy/fta/index.html

Neraca.co.id. (2014, Mei 12). Pengusaha Sebur Kinerja Ekspor Karet Makin

Berat - Harga Anjlok Hingga US$ 1,6% Per Kg. Di akses pada Oktober 8,

2017, dari Harian Ekonomi Neraca Berita Bisnis dan Ekonomi Indonesia

Terkini: http://www.neraca.co.id/article/41375/harga-anjlok-hingga-us-

164-per-kg-pengusaha-sebut-kinerja-ekspor-karet-makin-berat

Oxford University Press. (2017). English Oxford Living Dictionaries. Di akses

pada Maret 14, 2017, dari English Oxford Living Dictionaries:

https://en.oxforddictionaries.com/definition/cooperation

Rofiq, A. (2015, Juni 10). Potensi Indonesia menjadi Kekuatan Ekonomi Global.

Di akses pada Februari 10, 2017, dari SINDONEWS.COM:

https://nasional.sindonews.com/read/1010858/18/potensi-indonesia-

menjadi-kekuatan-ekonomi-global-1433899211

Supriyanto, B. (2013, Juli 16). Harga Karet di Tingkat Petani Anjlok. Retrieved

November 4, 2017, from Bisnis Indonesia: http://market.bisnis.com/read/20130716/94/151059/harga-karet-di-tingkat-

petani-anjlok

The Economist. (2006, September 14). The Economist: Poverty in Indonesia . Di

akses pada Agustus 15, 2017, dari The Economist Website:

http://www.economist.com/node/7925064

The World Bank. (2017). The World Bank Data Population. Di akses pada

Agustus 8, 2017, dari The World Bank Group:

https://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL?end=2016&start=2000

The World Bank. (2017). The World Bank in Indonesia: Overview. Di akses pada

Agustus 14, 2017, dari The World Bank:

http://www.worldbank.org/en/country/indonesia/overview

Wibisoni, B. K. (2008, Desember 18). Indonesia Tahun 2009 Kurangi Kuota

Ekspor Karet 116 Ribu Ton. Retrieved November 2, 2017, from

AntaraNews.com: http://www.antaranews.com/berita/127320/indonesia-

tahun-2009-kurangi-kuota-ekspor-karet-116-ribu-ton

Wicaksono, P. E. (2015, April 9). Ini Penyebab Harga Karet Dunia Terus Anjlok.

Retrieved November 4, 2017, from Liputan6.com:

http://bisnis.liputan6.com/read/2210730/ini-penyebab-harga-karet-dunia-

terus-anjlok

World Integrated Trade Solution. (2015). Japan Plastic or Rubber Imports By

Country and Region 2015. Retrieved November 9, 2017, from World

Integrated Trade Solution Website:

https://wits.worldbank.org/CountryProfile/en/Country/JPN/Year/2015/Tra

deFlow/Import/Partner/all/Product/39-40_PlastiRub

World Intergrated Trade Solution. (2015). Thailand Plastic or Rubber Exports By

Country and Region 2015. Di akses pada Oktober 13, 2017, dari

wits.worldbank.org:

http://wits.worldbank.org/CountryProfile/en/Country/THA/Year/2015/TradeF

low/Export/Partner/all/Product/39-40_PlastiRub

WorldInfoZone.com. (2006). World Info Zone Japan Information. Di akses pada

September 9, 2017, dari World Info Zone Website:

http://www.worldinfozone.com/country.php?country=Japan