Upload
diah-permata
View
48
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
Skenario Tn. Fatris
BS FP
Jenazah Tn. Fatris, laki-laki, 35 tahun, dibawa ke Departemen Kedokteran Forensik oleh
menajemen perusahaan pabrik gula di daerah untuk dilakukan autopsi guna mengetahui
penyebab kematian. Dr. BS menganjurkan lapor ke penyidik untuk dibuat permintaan visum et
repertum, pihak manajemen mengatakan tidak usah karena tidak menuntut dan hanya untuk
kepentingan perusahaan.
Tn. Fatris meninggal dunia setelah makan siang di pabrik tersebut, ±1 jam setelah makan
mengalami mual, muntah, kepala pusing, perut terasa sakit, sesak napas, dan badan lemah, lalu
dibawa ke emergensi. Dalam perjalanan ke emergensi, sesak napas bertambah. Di emergensi,
timbul kejang, dan belum sempat mendapatkan pengobatan apapun di emergensi Tn. Fatris
meninggal dunia.
Pemeriksaan luar (PL)
Kulit :sawo matang, sianosis pada ujung-ujung jari tangan dan kaki, terlihat penonjolan
pembuluh darah pada leher
Mata : bola mata bening, terdapat bintik perdarahan pada kedua bola mata
Lebam mayat : warna merah keunguan, agak lebih terang, sukar hilang pada penekanan
Kaku mayat : terdapat pada mulut, leher, kedua lengan agak sukar dilawanm kedua tungkai
agak mudah dilawan
Luka-luka : tidak ada
1
Pemeriksaan dalam (PD)
1. Pada pengirisan, darah berwarna merahm agak gelap, kental
2. Alat-alat dalam (paru-paru, limpa, ginjal) distended, warna merah agak gelap, pada
pengirisan darah berwarna merah gelap dan kental
3. Lambung berisi makanan yang dicerna dan permukaan dalam dinding lambung hiperemis
4. Darah dan organ-organ (lambung beserta isinya, usus halus 60 cm, ginjal, limpa, otak)
diambil untuk dilakukan pemeriksaan laboratoris guna mengetahui penyebab
kematiannya.
2
Klarifikasi istilah
1. Autopsi : pemeriksaan terhadap tubuh jenazah yang meliputi
pemeriksaan luar dan dalam dengan tujuan menemukan proses
penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi,
menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab
akibat
2. Departemen kedokteran forensik
3. Penyidik : polisi/ pejabat negara yang diatur oleh undang-undang untuk
mencari dan mengumpulkan bukti atas pelaku tindak pidana
4. Visum et repertum : surat keterangan yang dibuat oleh dokter atas apa yang dilihat
dan ditemukan berdasarkan pemintaan dari pihak penyidik, pada
barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan atas
pemeriksaan tersbut guna kepentingan peradilan
5. Lebam mayat : pengumpulan sel-sel darah (eritrosit) pada pembuluh darah
kapiler/ vena karena adanya gaya gravitasi pada bgian tubuh
terendah setelah kematian klinis.
6. Kaku mayat : kekakuan pada otot yang kadang-kadang disertai dengan
pemendekan serabut otot yang terjadi setelah oeriode pelemasan
yang terjadi karena perubahan kimiawi pada protein dalam serabut
otot.
7. Pemeriksaan luar
8. Pemeriksaan dalam
3
Identifikasi masalah
1. Jenazah Tn. Fatris, laki-laki, 35 tahun, dibawa ke Departemen Kedokteran Forensik oleh
menajemen perusahaan pabrik gula di daerah untuk dilakukan autopsi , Dr. BS
menganjurkan lapor ke penyidik untuk dibuat permintaan visum et repertum,namun
pihak manajemen perusahaan menolak
2. Tn. Fatris meninggal dunia setelah makan siang di pabrik tersebut, ±1 jam setelah makan
mengalami mual, muntah, kepala pusing, perut terasa sakit, sesak napas, dan badan
lemah, lalu dibawa ke emergensi.
3. Timbul kejang di emergensi, dan belum sempat mendapatkan pengobatan apapun, Tn.
Fatris meninggal dunia.
4. Hasil pemeriksaan luar a. Kulit :sawo matang, sianosis pada ujung-ujung jari tangan dan kaki,
terlihat penonjolan pembuluh darah pada leherb. Mata : terdapat bintik perdarahan pada kedua bola matac. Lebam mayat : warna merah keunguan, agak lebnih terang, sukar hilang pada
penekanand. Kaku mayat : terdapat pada mulut, leher, kedua lengan agak sukar dilawan
kedua tungkai agak mudah dilawan
5. Hasil pemeriksaan dalama. Pada pengirisan, darah berwarna merah agak gelap, kental
b. Alat-alat dalam (paru-paru, limpa, ginjal) distended, warna merah agak gelap,
pada pengirisan darah berwarna merah gelap dan kental
c. Lambung berisi makanan yang dicerna dan permukaan dalam dinding lambung
hiperemis
4
Analisis Masalah
1. a. Mengapa timbul gejala mual, muntah, kepala pusing, perut terasa sakit, sesak napas,badan lemah, kejang setelah makan siang di pabrik gula?
b. Makanan/ zat apa yang dimakan oleh Tn Fatris?
c. Adakah hubungan antar gejala yang dialami Tn Fatris dengan kematiannya?
2. Apa yang menyebabkan timbulnya :
a. sianosis pada ujung-ujung jari tangan dan kaki, terlihat penonjolan pembuluh darah pada
leher
b. bintik perdarahan pada kedua bola mata
c. warna merah keunguan, agak lebih terang, sukar hilang padapenekanan
d. kaku pada mulut, leher, kedua lengan agak sukar dilawan, kedua tungkai agak mudah
dilawan
e. bagaimana perkiraan saat kematian berdasarkan hasil PL yang ditemukan dan disesuaikan
dengan anamnesis dari pihak manajemen?
3. Apa yang menyebabkan timbulnya :
a. Pada pengirisan, darah berwarna merah agak gelap, kental
b. Alat-alat dalam (paru-paru, limpa, ginjal) distended, warna merah agak gelap,
c. Lambung berisi makanan yang dicerna dan permukaan dalam dinding lambung hiperemis
d. Apakah penyebab pasti kematian berdasarkan hasil autopsi? Bagaimana cara
membuktikannya?
4. a. Apakah boleh dilakukan autopsi tanpa disertai permintaan dari penyidik?
b. Permintaan penyidik disebut apa?
c. Pembagian visum et repertum?
d. Tujuan Visum et repertum?
e. Mengapa harus pihak berwenang yang meminta visum et repertum?
5
Hipotesis
Tn Fatris, laki-laki 35 tahun, meninggal dunia akibat keracunan makanan setelah makan
siang di pabrik gula.
6
Sintesis Learning Issue
1. a. Mengapa timbul gejala mual, muntah, kepala pusing, perut terasa sakit, sesak
napas,badan lemah, kejang setelah makan siang di pabrik gula?
Gejala yang timbul ini adalah gejala yang biasa ditemukan pada kasus keracunan
makanan yang biasanya disebabkan oleh golongan sianida dan pestisida.
7
Enzim tidak aktif
Enzim cytochrom oksidase (cytochrom a-a3komplek) + sistem transport elektron
Transport elektron dari cytochrom a3 diblok
Oksigen sel menurun
Sel mengikat PO2 (racun) sel cukup oksigen ttp tdk dapat digunakan
Penurunan respirasi aerobik sel
Hipoksia
Sianida mengikat trivalen Fe
Mual muntah disebabkan karena terjadinya iritasi pada mukosa lambung yang
disebabkan oleh zat yang terdapat pada makanan yang dimakan oleh Tn. Fatris.
Kejang berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh,
kesadaran hilang dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga feses dan urin
dapat keluar spontan. Denyut nadi dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin jelas.
Bila kekurangan O2 ini terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke stadium apnoe.
b. Makanan/ zat apa yang dimakan oleh Tn Fatris?
Dilihat dari gejala yang dialami olehnya, kemungkinan Tn. Fatris mengalami
keracunan sianida.Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik karena garam
sianida dalam takaran kecil saja sudah cukup untuk menimbulkan kematian pada
seseorang dengan cepat.
Sianida dapat masuk ke tubuh melalui mulut, inhalasi maupun melalui kulit.
Sianida mempunyai afinitas yang kuat terhadap enzim pernafasan yaitu enzim
cytochrome oxydase, kemudian mengikat Fe (ferril heme), sehingga sel tidak dapat
menggunakan zat asam dari HbO akibatnya terbentuk CN bebas sehingga terjadi
gangguan pada transportasi dan pemakaian oksigen dalam sel mengakibatkan anoksia
(sitotoksik anoksia).
Untuk terjadi tanda dan gejala keracunan pada korban tentu sangat bergantung
pada posisi dan lamanya korban terpapar (akut dan kronik).
Gejala-gejala yang sering dijumpai pada keracunan akut antara lain perasaan
seperti terbakar pada kerongkongan dan lidah, sesak nafas, hipersalivasi, mual, muntah,
sakit kepala, vertigo, fotofobia, tinnitus, pusing dan kelelahan.
Selanjutnya dapat pula ditemukan sianosis pada muka, busa keluar dari mulut, nadi cepat
dan lemah, pernafasan yang tidak teratur, pupil dilatasi, refleks melambat, udara
pernafasan berbau “amandel” dan juga dari muntahan. Menjelang kematian, timbul
kejang – kejang dengan inkontinensia urin.
8
c. Adakah hubungan antar gejala yang dialami Tn Fatris dengan kematiannya?
Gejala yang dialami Tn. Fatris berhubungan dengan kematiannya, karena gejala
tersebut merupakan tanda telah terjadi toksikasi (keracunan) di dalam tubuhnya yang
menyebabkan asfiksia.
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan
dalam 4 stadium (Amir, 2008), yaitu:
1. Stadium Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan
merangsang pusat pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi)
bertambah dalam dan cepat disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan.
Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi dan tekanan
darah meningkat. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke stadium kejang.
2. Stadium Kejang
Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh, kesadaran
hilang dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga feses dan urin dapat
keluar spontan. Denyut nadi dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin jelas.
Bila kekurangan O2ini terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke stadium
apnoe.
3. Stadium Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi lemah,
hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan dangkal dan
semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat
kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada
stadium ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi.
9
4. Stadium akhir
Paralise total pusat pernafasan, jantung masih berdenyut beberapa saat
postapneu.Pernafasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernafasan
kecil pada leher
2. Apa yang menyebabkan timbulnya
a. Sianosis pada ujung-ujung jari tangan dan kaki, terlihat penonjolan pembuluh darah pada leher
Terdapatnya sianosis pada ujung-ujung jari tangan dan kaki mengindikasikan
adanya gangguan perfusi oksigen ke jaringan perifer akibat hipoksia.
b. Bola mata masih bening, bintik perdarahan pada kedua bola mata
Bola mata yang bening mengindikasikan waktu kematian yang masih dibawah 10-
12 jam, karena jika waktu post mortal diatas 10-12 jam, akan terdapat kekeruhan yang
menyeluruh pada kornea, yang tergambar dengan bola mata yang menjadi keruh.
Kekeruhan tersebut tidak dapat dihilangkan.
c. Bintik perdarahan meggambarkan
Terdapatnya bintik perdarahan pada kedua bola mata (tardieus’s spot) merupakan
gambaran adanya kerusakan endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari
selapis sel akan pecah dan menimbulkan bintik- bintik perdarahan. Kapiler yang lebih
mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi,
palpebra dan subserosa lain. Gambaran kerusakan ini khas pada kasus asfiksia.
d. Warna merah keunguan, agak lebih terang, sukar hilang pada penekanan
Hal ini terjadi akibat pengumpulan darah dalam pembuluh-pembuluh darah kecil,
kapiler, dan venule pada bagian tubuh terendah akibat tekanan gravitasi. Warna yang
ditemukan pada pemeriksaan : merah keunguan (livide), akan tetapi pada beberapa
keadaan tertentu dapat ditemukan perbedaan. Hal tersebut memberikan informasi bahwa
10
pada korban telah terjadi sesuatu yang dapat berkaitan dengan penyebab kematian
korban. Pada keracunan sianida, akan memberikan warna lebam yang merah terang, hal
ini disebabkan oleh kadar oksi-hemoglobin dalam darah vena tetap tinggi.
e. Sukar hilang pada penekanan, hal ini berarti mengindikasikan waktu kematian korban.
Terdapatnya lebam mayat warna merah keunguan, agak lebih terang, sukar hilang
pada penekanan. Lebam mayat dengan warna lebih terang tersebut dapat dikarenakan
kadar oxyhaemoglobin berlebihan (karena jaringan tidak dapat menggunakan oksigen)
pada pembuluh vena kapiler dan adanya cyanmethaemoglobin
Lebam mayat akan mulai tampak sekitar 30 menit setelah kematian somatis dan
intensitas maksimal terjadi pada 6-7 jam post mortal. Dengan demikian, jika waktu
kematian diatas 6-7 jam, pada penekanan tidak akan menghilang. Pada kasus ini,
ditemukan lebam mayat yang sukar menghilang pada penekanan. Sulitnya tanda lebam
mayat untuk menghilang disebabkan oleh tertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah yang
semakin banyak sehingga menjadi sulit untuk berpindah, kekakuan dari pembuluh darah
juga mempemgaruhi tidak menghilangnya dari lebam mayat. Sehingga, disimpulkan
bahwa waktu kematian mendekati waktu diatas, dibawah dari 6 jam post-mortal.
f. Kaku pada mulut, leher, kedua lengan agak sukar dilawan, kedua tungkai agak mudah dilawan
Kaku mayat merupakan kekakuan pada otot yang kadang-kadang disertai dengan
pemendekan serabut otot yang terjadi setelah oeriode pelemasan yang terjadi karena
perubahan kimiawi pada protein dalam serabut otot, baik otot lurik maupun otot polos.
Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortal dan mencapai puncaknya setelah
10-12 jam post mortal, keadaan ini akan menetap sekitar 24 jam, setelah 24 jam kaku
mayat akan menghilang. Urutan menghilangnya kaku mayat sesuai dengan pertama
kalinya terdapat kaku mayat. Urutan terjadinya adalah wajah, leher, lengan, dada, perut,
dan tungkai.
11
Pada kasus ini bagian tubuh yang sudah terdapat kaku mayat adalah mulut
(wajah) dan leher, sedangkan pada lengan agak sukar dilawan, namun kedua tungkai
masih mudah untuk dilawan. Jadi, perkiraan waktu kematian dapat dinilai sesuai dengan
bagian tubuh yang sudah kaku. Perkiraan waktunya melebihi 2 jam setelah Tn. Fatris
meninggal dunia.
g. Bagaimana perkiraan saat kematian berdasarkan hasil PL yang ditemukan dan disesuaikan dengan anamnesis dari pihak manajemen?
Berdasarkan hasil temuan pada perubahan pada jenazah, maka perkiraan waktu kematian telah lebih dari 2 jam, mengingat adanya kaku mayat.
3. Apa yang menyebabkan timbulnya :
a. Pada pengirisan, darah berwarna merah agak gelap, kental
Pada pengirisan, darah ditemukan berwarna merah, agak gelap, dan kental. Darah
berwarna merah agak gelap diakibatkan oleh proses kematian yang diakibatkan oleh
asfiksia, dan biasanya ditemukan dalam bentuk lebih cair, namun pada kasus ini darah
yang ditemukan kental.
b. Alat-alat dalam (paru-paru, limpa, ginjal) distended, warna merah agak gelap
Alat dalam distended, warna merah agak gelap, pada pengirisan darah berwarna
merah agak gelap pada pengirisan darah, berwarna merah gelap dan kental . Ini
merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie. Kongesti adalah
terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang
diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang
terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang
mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan
perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi
pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema)
12
c. Lambung berisi makanan yang dicerna dan permukaan dalam dinding lambung hiperemis
Kecepatan pengosongan lambung sangat bervariasi, sehingga tidak dapat
digunakan untuk memberikan petunjuk pasti waktu antara makan terakhir dan saat mati.
Namun, keadaan lambung dapat membantu tentang keputusan dalam pemeriksaan dalam.
Ditemukannya makanan tertentu dapat digunakan untuk informasi, namun dalam kasus
ini terdapat makan yang sudah dicerna. Tidak dijelaskan jenis makanan apa yang terdapat
didalam lambung, jadi susah untuk menyimpulkan apa makanan yang terakhir kali
dimakan oleh Tn. Fatris.
Menurut literatur lainnya, terdapat standar untuk waktu pengosongan lambung,
yakni sekitar 4-6 jam. Dengan demikian penafsiran waku kematian atas pemeriksaan isi
lambung dapat dilihat dari ada tidaknya makanan yang dicerna dalam lambung, Dalam
kasus ini, makanan masih terdapat, sehingga disimpulkan waktu kematiannya dibawah 4
jam.
Hiperemis pada lapisan dalam lambung, perubahan warna pada jaringan tubuh,
khususnya lapisan dalam lambung menandakan adanya sesuatu yang tertelan. Pada kasus
tertelannya racun sianida terspat perubahan dari lapisan mukosa dalam lambung. Karena
termasuk dari zat korosif, makan akan tampak perubahan dari bagian dalam lambung,
khususnya di daerah kurvatura mayor.
d. Apakah penyebab pasti kematian berdasarkan hasil autopsi? Bagaimana cara membuktikannya?
Penyebab pasti kematian Tn.Fatris berdasarkan hasil autopsi disebabkan oleh
asfiksia yang dikarenakan keracunan zat makanan. Untuk membuktikannya harus
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut berupa analisa toksikologi.
13
4. a. Apakah boleh dilakukan autopsi tanpa disertai permintaan dari penyidik?
Tidak boleh, karena definisi Visum et Repertum adalah keterangan tertulis
yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan
medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh
manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan
peradilan.
b. Permintaan penyidik disebut apa?Visum et Repertum
c. Pembagian visum et repertum?
Ada 3 jenis visum et repertum, yaitu:
1 . VeR hidup
VeR hidup dibagi lagi menjadi 3, yaitu:
a.VeR definitif, yaitu VeR yang dibuat seketika, dimana korban tidak memerlukan
perawatan dan pemeriksaan lanjutan sehingga tidak menghalangi pekerjaan
korban. Kualifikasi luka yang ditulis pada bagian kesimpulan yaitu luka derajat
I atau luka golongan C.
b.VeR sementara, yaitu VeR yang dibuat untuk sementara waktu, karena korban
memerlukan perawatan dan pemeriksaan lanjutan sehingga menghalangi
pekerjaan korban. Kualifikasi luka tidak ditentukan dan tidak ditulis pada
kesimpulan.
Ada 5 manfaat dibuatnya VeR sementara, yaitu
· Menentukan apakah ada tindak pidana atau tidak
· Mengarahkan penyelidikan
· Berpengaruh terhadap putusan untuk melakukan penahanan sementara
terhadap terdakwa
· Menentukan tuntutan jaksa
14
c. VeR lanjutan, yaitu VeR yang dibuat dimana luka korban telah dinyatakan
sembuh atau pindah rumah sakit atau pindah dokter atau pulang paksa. Bila korban
meninggal, maka dokter membuat VeR jenazah. Dokter menulis kualifikasi luka
pada bagian kesimpulan VeR.
2. VeR jenazah , yaitu VeR yang dibuat terhadap korban yang meninggal. Tujuan
pembuatan VeR ini adalah untuk menentukan sebab, cara, dan mekanisme kematian.
3. Ekspertise , yaitu VeR khusus yang melaporkan keadaan benda atau bagian tubuh
korban, misalnya darah, mani, liur, jaringan tubuh, tulang, rambut, dan lain-lain. Ada
sebagian pihak yang menyatakan bahwa ekspertise bukan merupakan VeR.
d. Tujuan Visum et repertum?
Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis
dalam Pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian
suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana VeR
menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam
bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.
e. Mengapa harus pihak berwenang yang meminta visum et repertum?
Prosedur Permintaan, Penerimaan, dan Penyerahan Visum et Repertum
Pihak yang berhak meminta VeR
1. Penyidik, sesuai dengan pasal I ayat 1, yaitu pihak kepolisian yang diangkat negara
untuk menjalankan undang-undang.
2. Di wilayah sendiri, kecuali ada permintaan dari Pemda Tk II.
3. Tidak dibenarkan meminta visum pada perkara yang telah lewat.
4. Pada mayat harus diberi label, sesuai KUHP 133 ayat C.
15
Syarat pembuat:
· Harus seorang dokter (dokter gigi hanya terbatas pada gigi dan mulut)
· Di wilayah sendiri
· Memiliki SIP
· Kesehatan baik
Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter untuk
membuat VeR korban hidup, yaitu:
1. Harus tertulis, tidak boleh secara lisan.
2. Langsung menyerahkannya kepada dokter, tidak boleh dititip melalui korban atau
keluarganya. Juga tidak boleh melalui jasa pos.
3. Bukan kejadian yang sudah lewat sebab termasuk rahasia jabatan dokter.
4. Ada alasan mengapa korban dibawa kepada dokter.
5. Ada identitas korban.
6. Ada identitas pemintanya.
7. Mencantumkan tanggal permintaan.
8. Korban diantar oleh polisi atau jaksa.
Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter untuk
membuat VeR jenazah, yaitu:
1. Harus tertulis, tidak boleh secara lisan.
2. Harus sedini mungkin.
3. Tidak bisa permintaannya hanya untuk pemeriksaan luar.
4. Ada keterangan terjadinya kejahatan.
5. Memberikan label dan segel pada salah satu ibu jari kaki.
6. Ada identitas pemintanya.
7. Mencantumkan tanggal permintaan.
8. Korban diantar oleh polisi.
16
Saat menerima permintaan membuat VeR, dokter harus mencatat tanggal dan jam,
penerimaan surat permintaan, dan mencatat nama petugas yang mengantar korban. Batas
waktu bagi dokter untuk menyerahkan hasil VeR kepada penyidik selama 20 hari. Bila
belum selesai, batas waktunya menjadi 40 hari dan atas persetujuan penuntut umum.
17
TOKSIKOLOGI FORENSIK
DEFINISI
Toksikologi merupakan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan sumber, karakteristik
dan kandungan racun, gejala dan tanda yang disebabkan racun, dosis fatal, periode fatal,dan
penatalaksanaan kasus keracunan. Periode fatal merupakan selang waktu antara masuknya racun
dalam dosis fatal rata-rata sampai menyebabkan kematian pada rata-rata orang sehat.
Dalam berbagai kepustakaan, terdapat berbagai pengertian tentang keracunan
(poisoning) dan intoksikasi. Beberapa kepustakaan menyatakan pengertian keracunan dan
intoksikasi berbeda, dimana keracunan dinyatakan sebagai overdosis yang mempunyai efek
sentral sedangkan intoksikasi merupakan overdosis yang bersifat umum baik sentral maupun
perifer. Namun kepustakaan lain menyatakan keracunan dan intoksikasi memiliki pengertian
yang sama.
Berbagai definisi racun telah dipublikasikan berdasarkan sudut pandang yang berbeda
dari berbagai ahli. Semua definisi memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri dalam
interpretasi dan banyak definisi yang tumpang tindih satu dengan lainnya. Paracelcus (1493-
1541) yang lebih dikenal sebagai Theopraxis Bombastus von Honhenheim, orang yang pertama
mendefinisikan racun, menyatakan semua substansi di alam adalah racun hanya dosis yang
membedakan substansi tersebut racun atau bukan (sola dosis facit venenum). Ahli toksikologi
SEINEN (1989) menyatakan racun adalah substansi yang diberikan secara berlebihan sehingga
toksikologi dianggap sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang berlebihan (toxicology is the
knowledge of too much).
SANGSTER secara lebih rinci menyatakan tentang sumber substansi yang dianggap
racun. Keracunan dianggap sebagai cidera yang diakibatkan konsentrasi berlebihan dari
substansi eksogenous (dari luar tubuh manusia).
Toksikologi forensik Pemeriksaan racun dan keracunan yang berhubungan dengan perkara
pidana atau perdata.
18
Kata Racun, tidak disebutkan dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia
KUHAP ps 133 ayat 1 : hanya ada kata “keracunan”
KUHP ps 356 : ada kata “meracuni” penyaniayaan
Racun zat/bahan yang dalam jumlah tertentu bila terjadi kontak atau masuk kedalam tubuh
akan menyebabkan penyakit dan/atau kematian.
Sumber Racun :
Racun rumah tangga : desinfektan, detergen, insektisida
Racun pertanian : pestisida, herbisida
Racun kedokteran : hipnotika, sedatif, analgetika, obat
o penenang, antidepresan, antibiotika
Racun industri : asam dan basa kuat, logam berat
Racun bebas : opium, ganja, sianida, racun pada jamur
Cara Masuk :
Mulut/peroral
Saluran pernafasan/inhalasi
Suntikan/parenteral
Perrektal
pervaginal
Melalui kulit
19
Skema. Cara masuknya racun ke tubuh
MEKANISME KERJA RACUN
1. Titik tangkap kerja
- Gangguan sistem enzim
Arsen dan Hg : enzim sulfhidril
- Gangguan transport O2 Ekstraseluler
Ex : CO
- Inaktivasi asetilkolin esterase
Ex : insektisida organofosfat, karbamat
20
2. Spektrum kerja
- sistemik
- lokal
Racun yang bekerja lokal :
• zat-zat korosif : lisol, asam kuat, basa kuat
• iritan : arsen, HgCl2,
• anestetik : kokain, asam karbol
Racun yang bekerja sistemik
• narkotika, barbiturat dan alkohol terutama berpengaruh terhadap
susunan saraf pusat
• digitalis dan asam oksalat terutama berpengaruh terhadap
jantung
• karbonmonoksida dan sianida terutama berpengaruh terhadap
sistem enzim pernafasan dalam sel
• cantharides dan HgCl2 terutama berpengaruh terhadap
ginjal
Racun yang bekerja lokal & Sistemik :
- asam oksalat
- asam karbol
- arsen
- garam Pb
21
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERJA RACUN
Cara Pemberian
Keadaan Tubuh : umur, keadaan umum, kebiasaan, hipersensitifitas
Racunnya sendiri : Dosis, konsentrasi, bentuk dan kombinasi fisik, addisi dan sinergisme,
antagonisme
Cara pemberian, pada umumnya racun akan paling cepat bekerja pada tubuh jika masuk
secara inhalasi, kemudian secara injeksi (i.v, i.m, dan s.k), ingesti, absorbsi melalui mukosa dan
yang paling lambat jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang sehat.
Umur, pada umunya anak-anak dan orang tua lebih sensitif terhadap racun bila
dibandingkan dengan orang dewasa, tetapi pada beberapa jenis racun, seperti barbiturat dan
belladonna, justru anak-anak lebih tahan.
Kesehatan, pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau penyakit ginjal biasanya
akan lebih mudah keracunan bila dibandingkan dengan orang yang sehat. Pada mereka yang
menderita penyakit yang disertai dengan peningkatan suhu atau penyakit pada saluran
pencernaan, penyerapan racun biasanya jelek, sehingga jika pada penderita tersebut terjadi
kematian, kita tidak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa kematian penderita
diakibatkan oleh racun.
Kebiasaan, faktor ini berpengaruh dalam hal dosis racun yang dapat menimbulkan gejala-
gejala keracunan atau kematian, yaitu karena terjadinya toleransi.
Hipersensitif (alergi-idiosinkrasi), banyak preparat-preparat seperti vitamin B1, penisilin,
streptomisin dan preparat-preparat yang mengandung yodium menyebabkan kematian, karena si
korban sangat rentan terhadap oreparat-preparat tersebut.
Dosis, besar kecilnya dosis racun akan menentukan berat ringannya akibat yang
ditimbulkan, dalam hal ini tidak boleh dilupakan adanya toleransi/intoleransi individu. Pada
intoleransi, gejala keracunan akan tampak walaupun racun yang masuk ke dalam tubuh belum
mencapai level toksik.
22
Konsentrasi, untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh bersifat lokal, misalnya zat-zat
korosif, konsentrasi lebih penting bila dibandingkan dengan dosis total. Keadaan tersebut
berbeda dengan racun yang bekerja secara sistemik, dimana dalam hal ini dosislah yang berperan
dalam menentukan berat ringannya akibat yang ditimbulkan oleh racun tersebut.
Bentuk, racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat menimbulkan efek bila
dibandingkan dengan racun yang berbentuk padat.
Seseorang yang menelan racun dalam keadaan lambung kosong, tentu akan lebih cepat
keracunan bila dibandingkan dengan orang yang menelan racun dalam keadaan lambungnya
berisi makanan.
Addisi dan sinergisme. Barbiturate misalnya, jika diberikan bersama-sama dengan alkohol,
morfin atau CO, dapat menyebabkan kematian, walaupun dosis barbiturate yang diberikan jauh
dibawah dosis letal
Antagonisme, kadang-kadang dijumpai kasus dimana seseorang memakan lebih dari satu
macam racun, tetapi tidak mengakibatkan apa-apa, oleh karena racun-racun tersebut saling
menetralisir.
Dalam hal klinik sifat antagonistik ini dimanfaatkan untuk pengobatan, misalnya nalorfin dan
naloxone dipakai untuk mengatasi depresi pernafasan dan oedema paru-paru yang terjadi pada
keracunan akut obat-obat golongan narkotika.
23
TOKSISITAS RACUN
Dalam pemeriksaan keracunan harus diperhatikan kondisi-kondisi yang mempengaruhi
fatalitas racun pada korban, baik pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan.
Banyak substansi yang hanya bersifat toksik dalam jumlah yang besar tetapi ada yang bersifat
toksik meskipun jumlahnya kecil. Demikian juga adanya substansi tertentu secara tersendiri tidak
bersifat toksik atau toksisitasnya rendah tetapi dengan adanya substansi lain, menyebabkan
substansi tersebut menjadi toksik.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan korban hidup, antara lain :
1. Toksisitas intrinsik
Ikatan kimia (struktur kimia) suatu zat secara intrinsik membentuk sifat racun zat
tersebut,misalnya unsur sodium.
2. Dosis dan bioavailabilitas
Farmakokinetik untuk substansi yang bersifat sistemik sangat tergantung dosis zat yang
masuk ke dalam tubuh dan kecepatan metabolisme zat terutama di organ detoksifikasi (hati).
Metabolisme zat di dalam hati sebelum beredar ke dalam sirkulasi sistemik (first pass effect)
sangat menentukan toksisitas zat yang masuk ke dalam tubuh secara oral.
3. Konsentrasi
Fatalitas beberapa zat tergantung konsentrasi seperti halnya gas karbonmonoksida (CO),
asam kuat dan basa kuat.
4. Frekuensi dan waktu paruh
Seringnya kontak, lama kontak (durasi) dan waktu paruh zat yang kontak juga
mempengaruhi toksisitas racun.
5. Cara masuk zat ke dalam tubuh
Cara masuk zat ke dalam tubuh sangat menentukan kecepatan kecepatan absorbsi dan
beredarnya zat secara sistemik. Pemekaian zat per oral relatif lebih lambat dibandingkan
secara injeksi dan inhalasi.
24
6. Ko-medikasi
Adanya zat lain (ko-medikasi) dapat meningkatkan toksisitas zat dengan toksisitas rendah
atau mengubah zat yang tidak toksik menjadi toksik. Alkohol merupakan ko-medikasi yang
paling sering digunakan, yang dapat meningkatkan efek depresan dari obat-obat yang
menekan sistem saraf pusat.
7. Kondisi pemakai
Kondisi korban harus diperiksa dengan teliti terhadap adanya penyakit-penyakit yang
melibatkan sistem metabolisme dan detoksifikasi, dimana penyakit tersebut dapat
meningkatkan toksisitas suatu zat. Demikian juga halnya faktor umur, jenis kelamin, status
gizi, reaksi alergi, dan idiosinkrasi.
KERACUNAN DALAM BIDANG MEDIS
Pelayanan forensik klinis kasus keracunan pada prinsifnya adalah mengumpulkan bukti-
bukti penggunaan racun dan menginterpretasikannya dalam bentuk sertifikasi yang dapat
dijadikan bukti da dapat diterima di pengadilan. Informasi yang melatarbelakangi keracunan
menjadi salah satu bukti yang perlu digali dan dikumpulkan. Pemeriksaan forensik dalam kasus
keracunan dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu atas dasar dari tujuan pemeriksaan itu sendiri.
Yang pertama bertujuan untuk mencari penyebab kematian, misalnya kematian karena keracunan
morfin, sianida, keracunan karbonmonoksida serta keracunan insektisida dan lain sebagainya.
Yang kedua, dan ini sebenarnya yang terbanyak kasusnya akan tetapi belum banyak disadari,
adalah untuk mengetahui mengapa suatu peristiwa, misalnya peristiwa pembunuhan, kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan pesawat udara dan perkosaan dapat terjadi. Dengan demikian tujuan yang
kedua bermaksud untuk membuat suatu rekaan rekonstruksi atas peristiwa yang terjadi, sampai
sejauh mana obat-obatan atau racun tersebut berperan sehingga kecelakaan pesawat udara
misalnya, dapat terjadi.
25
BENTUK KERACUNAN BERDASARKAN MOTIF
Salah satu tujuan pelayanan forensik klinik adalah memberikan informasi atau fakta-
fakta yang membuat terang kasus keracunan yang mencurigakan termasuk motif yang
melatarbelakangi kasus tersebut. Dalam kasus tindak pidana harus dibuktikan adanya perbuatan
yang salah (actua rheus) dan situasi batin yang melatarbelakangi tindakan tersebut (men rhea).
Motif keracunan harus ditentukan sebagai unsur men rhea, apakah timbul akibat kecerobohan
(recklessness), kealpaan (negligence) atau kesengajaan (intentional).
Secara umum, motif keracunan dapat dibedakan menjadi dua bentuk (tipe) berdasarkan
korban keracunan, yaitu:
1. Tipe S (spesific target)
Menunjukkan bahwa korban keracunan hanya orang tertentu dan biasanya antara pelaku dan
korban sudah saling kenal. Motivasi yang biasanya melatarbelakangi, antara lain: uang,
membunuh, pembunuhan lawan politik dan balas dendam. Keracunan tipe S berdasarkan
terjadinya dibagi ke dalam dua sub grup yaitu:
a. Sub grup S tipe S/S (spesific/slow) dimana keracunan terjadi secara perlahan dan
direncanakan oleh pelaku.
b. Sub grup Q tipe S/Q (spesific/quick) dimana keracunan terjadi secara mendadak dan
tanpa perencanaan sebelumnya.
Pemeriksaan terhadap korban keracunan tipe S/S perlu mendapat perhatian lebih sebab
kegagalan pembuktian tanda-tanda keracunan oleh dokter sangat sering membuat kasus
tersebut menjadi kasus tersebut menjadi kasus pembunuhan yang sempurna (the perfect
murder). Pembunuhan yang sempurna adalah kematian korban yang sesungguhnya akibat
tindaan pidana tetapi dokter menyatakan sebagai kematian wajar karena faktor penyakit.
Kasus pembunuhan yang sempurna terjadi bukan karena keahlian si pembunuh, tetapi akibat
kegagalan dokter mengenali tanda-tanda keracunan pada korban.
2. Tipe R (random target)
Terjadi pada korban yang acak. Motivasi bentuk keracunan ini biasanya ego, sadistik, dan
teror. Berdasarkan kejadiannya keracunan tipe R dibagi:
26
a. Sub grup S tipe R/S (random/slow), terorisme merupakan salah satu benuk keracunan
tipe ini bila racun yang dipakai sebagai alat untuk menjalankan teror.
b. Sub tipe Q tipe R/Q (random/quick).
PEMERIKSAAN PERISTIWA KERACUNAN
Meliputi :
Pemeriksaan TKP
Pemeriksaan korban
- pemeriksaan dalam
- pemeriksaan luar
Pemeriksaan Toksikologi
- pengambilan dan pengumpulan bahan
PEMERIKSAAN TKP
Pemeriksaan TKP Penting untuk proses penyidikan selanjutnya
Tujuan :
Menentukan korban hidup/ meninggal
Mengumpulkan barang bukti
Memperkirakan cara kematian
Menentukan saat kematian
27
PEMERIKSAAN FORENSIK KLINIK TERHADAP KORBAN KERACUNAN
Pemeriksaan korban keracunan pada prinsipnya sama secara medis maupun secara
forensik klinis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan. Perbedaan
yang ada adalah pada hasil akhir pemeriksaan, berupa sertifikasi yang memberi batuan
pembuktian hukum terhadap korban. Sertifkasi yang dimaksud adalah diterbitkannya visum et
repertum peracunan.
Dalam pemeriksaan forensik klinis, anamnesis dapat bersifat autoanamnesis bila korban
kooperatif atau alloanamnesis baik terhadap keluarga koban atau penyidik. Beberapa hal yang
perlu ditekankan dalam anamnesis :
- Jenis racun
- Cara masuk racun (route of administration) : melalui ditelan, terhisap bersama udara
pernafasan, melalui penyuntikan, penyerapan melalui kulit yang sehat atau kulit yang sakit,
melalui anus atau vagina.
- Data tentang kebiasaan dan kepribadian korban
- Keadaan sikiatri korban
- Keadaan kesehatan fisik korban
- Faktor yang menigkatkan efek letal zat yang digunakan seperti penyakit, riwayat alergi atau
idiosinkrasi atau penggunaan zat-zat lain (ko-medikasi)
Dalam pemeriksaan fisik, harus dicatat semua bukti-bukti medis meliputi tanda-tanda
mencurigakan pada tubuh korban seperti bau tertentu yang keluar dari mulut atau saluran napas,
warna muntahan dan cairan atau sekret yang keluar dari mulut atau saluran napas, adanya tanda
suntikan, dan tanda fenomena drainage. Gejala-gejala dan perlukaan tertentu harus dicatat seperti
kejang, pin point pupil atau tanda gagal napas. Demikian juga terhadap luka-luka lecet sekitar
mulut, luka suntikan atau kekerasan lainnya. Bau-bau tertentu harus dikenali dalam pemeriksaan
seperti bau amandel pada keracunan sianida, bau pestisida atau bau minyak tanah yang dipakai
sebagai pelarut.
28
Pengambilan dan analisis sampel dilakukan dengan mengambil sisa muntahan, sekret
mulut dan hidung, darah serta urin. Bila racun per oral, analisis isi lambung harus dilakukan
secara visual, bau dan secara kimia. Skrening racun diambil dari sampel urin dan darah.
Hasil akhir pemeriksaan forensik klinik adalah diterbitkannya Visum et Repertum
Peracunan yang merupakan salah satu alat bukti sah di pengadilan. Prosedur penerbitan Visum et
Repertum Peracunan sesuai dengan prosedur medikolegal penerbitan visum dimana harus dibuat
berdasarkan Surat Permintaan Visum resmi penyidik (Pasal 133 KUHAP). Dalam Visum et
Repertum peracunan ditentukan kualifikasi luka akibat peracunan, dimana penentuannya
berdasarkan penilaian efek racun terhadap metabolisme dan gangguan fungsi organ yang
diakibatkan oleh racun.
PEMERIKSAAN FORENSIK KASUS KERACUNAN TERHADAP KOBAN YANG
SUDAH MENINGGAL
Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan keracunan pada
korban yang sudah meninggal antara lain:
1. Pemeriksaan post mortem
a. Pemeriksaan luar
Pada pemeriksaan luar untuk kasus keracunan, kemungkinan didapatkan:
- Racun jenis tertentu mengeluarkan bau aroma yang khas, misalnya asam
hidrosianida, asam karbonat, kloroform, alkohol, dll. Untuk menjaga keutuhan
jenazah tidak boleh menggunakan cairan desinfektan yang mempunyai bau (aroma).
- Pada permukaan tubuh jenazah mungkin ditemukan bercak-bercak yang berasal dari
muntahan, feses dan kadang-kadang jenis racun itu sendiri.
- Perubahan warna kulit, misalnya menjadi kuning pada keracunan fosfor dan
keracunan akut akibat unsur tembaga sulfat.
- Keadaan pupil mata dan jari tangan yang lemas atau mengepal.
- Pemeriksaan lubang pada tubuh jenazah untuk melihat adanya tanda-tanda bekas zat
korosif atau benda asing.
29
- Livor mortis yang khas, merah terang, cherry red atau merah coklat (bila racunnya
menyebabkan perubahan warna darah sehingga warna lebam jenazah mengalami
perubahan.
b. Pemeriksaan dalam
Pada umumnya tanda-tanda keracunan tampak pada traktus gastrointestinal, terutama jika
keracunan akibat zat korosif atau iritan. Perubahan yang terjadi adalah:
- Hiperemia
Warna kemerahan pada membran mukosa paling jelas terlihat pada bagian cardiac
lambung dan pada bagian curvatura major. Warnanya adalah merah gelap dan
hiperemia ini bentuknya bisa merata atau bercak, misalnya pada keracunan arsen
hiperemia adalah merah merata.
Perubahan warna juga bisa muncul karena berbagai unsur lainnya seperti sari buah.
Asam nitrat menyebabkan warna kuning pada usus. Hiperemia harus dibedakan
dengan kongesti vena secara menyeluruh yang terjadi pda kematian akibat asfiksia.
Gambaran yang membedakan dengan hiperemia yang disebabkan oleh penyakit
adalah pada hiperemia karena penyakit sifatnya merata dan terdapat pada seluruh
permukaan serta tidak berupa bercak, selain itu gambaran membran mukosa lebih
banyak terkena pada kasus keracunan.
- Perlunakan
Keadaan ini terjadi pada keracunan korosif, lebih sering terlihat pada kardiak
lambung, kurvatura mayor, mulut, tenggorokan dan esofagus. Jika disebabkan karena
penyakit, gambaran ini hanya tampak pada lambung. Juga harus dibedakan dengan
perlunakan post mortem yang terdapat pada bagian yang lebih rendah dan mengenai
seluruh lapisan dinding lambung. Pada bagian yang mengalami perlunakan tidak ada
tanda-tanda inflamasi.
30
- Ulserasi
Paling sering ditemukan ditemukan pada curvatura major lambung dan harus
dibedakan dengan tukak peptik yang paling sering terdapat di curvatura minor
lambung dan ditandai dengan adanya hiperemia di sekitar tukak tersebut.
- Perforasi
Sangat jarang terjadi, kecuali pada kasus keracunan asam sulfat. Perforasi juga bisa
terjadi akibat tukak kronis, tetapi bentuk perforasi pada kasus ini biasannya lonjong
atau bulat, pinggirnya melekuk ke arah luar dan lambung menunjukkan tanda-tanda
perlekatan dengan jaringan sekitar.
2. Pemeriksaan kimia/toksikologi pada organ tubuh bagian dalam
Ditemukannya jenis racun pada darah, feses, urin atau dalam organ tubuh merupakan bukti
yang memastikan bahwa telah terjadi keracunan. Racun bisa ditemukan dalam lambung, usus
halus, dan kadang-kadang pada hati, limpa dan ginjal. Organ tubuh dan bahan yang diperiksa
antara lain :
- Urin dan feses
- Darah
- Lambung dan isinya
- Bagian dari usus halus (duodenum dan jejunum)
- Hati
- Setengah bagian dari masing-masing ginjal
- Otak dan medulla spinalis, terutama pada keracunan striknin
- Uterus dan organ-organ yang berkaitan dengan uterus, jika ada kecurigaan abortus
kriminalis
- Paru-paru terutama pada keracunan kloroform
- Tulang, rambut, gigi dan kuku
- Organ tubuh lainnya yang dicurigai mengandung racun.
3. Pengumpulan bukti-bukti dari sekitar tempat kejadian
31
KUNCI PEMBUKTIAN KASUS KERACUNAN
Dalam pembuktian kasus keracunan sebagai tindak pidana, banyak hal yang harus
dibuktikan dan dalam pembuktiannya banyak melibatkan dokter forensik klinis. Hal yang
dibuktikan antara lain :
1. Bukti hukum (legally proving): bukti hukum yang dapat diterima di pengadilan
(adminissible) sangat tergantung dari keaslian bukti tersebut sehingga penatalaksanaan
terhadap bukti-bukti pada korban sangat diperlukan. Terlebih lagi pada kasus tindak pidana
yang memerlukan standar pembuktian dengan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi yaitu
sampai tidak ada keraguan yang beralasan.
2. Pembuktian motif keracunan
3. Kondisi yang memungkinkan dapat diperolehnya racun seperti adanya resep, toko obat atau
toko yang menyediakan substansi yang digunakan.
4. Bukti-bukti pada korban seperti kebiasaan korban, gangguan kepribadian, kondisi kesehatan,
dan penyakit serta kesempatan dilibatkannya racun.
5. Bukti kesengajaan (intentional)
6. Bila korban meninggal harus ditentukan sebab kematian korban adalah racun dengan
menyingkirkan sebab kematian yang lainnya.
7. Bukti peracunan adalah homicide.
Dari 7 bukti pembuktian kasus keracunan tersebut, tampak bantuan dokter sangat
diperlukan dalam beberapa langkah terutama :
Pengumpulan, pencatatan dan interpretasi bukti keracunan medis dalam upaya memberikan
pembuktian hukum
Menemukan bukti-bukti pada korban seperti kebiasaan, kondisi fisik dan keadaan psikiatri
korban
Penentuan sebab kematian bila korban dengan mengeklusi penyebab kematian lainnya
32
MEKANISME KERJA RACUN DALAM TUBUH MANUSIA
1. Racun yang bekerja lokal atau setempat, zat-zat korosif : lisol, asam kuat, basa kuat, yang
bersifat iritan : arsen, HgCl2, yang bersifat anestetik : kokain, asam karbol
2. Racun yang bekerja secara sistemik
- narkotika, barbiturat dan alkohol; terutama berpengaruh terhadap susunan saraf pusat
- digitalis dan asam oksalat; terutama berpengaruh terhadap jantung
- karbonmonoksida dan sianida, terutama berpengaruh terhadap sistem enzim pernafasan
dalam sel
- insektisida golongan “chlorinated hydrocarbon” dan golongan fosfor organik
- cantharides dan HgCl2, terutama berpengaruh terhadap ginjal.
3. Racun yang bekerja secara lokal dan sistemik
- asam oksalat
- asam karbol
- arsen
- garam Pb
33
KERACUNAN SIANIDA
Sianida adalah racun yang digunakan baik untuk bunuh diri, kecelakaan atau
pembunuhan. Meskipun diagnosis autopsi tentang keracunan sianida sangat jarang diragukan,
analisis toksikologi mungkin sulit untuk interpretasi akibat destruksi maupun produk sianida
dalam tubuh yang sudah mati dan bahkan pada sampel darah yang disimpan untuk menunggu
diperiksa. Keracunan sianida akut merupakan kasus yang paling sering dilaporkan sendiri, dalam
beberapa kasus biasanya garam natrium maupun kalium ikut masuk ke saluran cerna. Hal ini bisa
tiba-tiba maupun dalam kecelakaan kerja (industri) yang dalam beberapa kasus garam-garam
tersebut ikut dilibatkan, atau mungkin gas-gas yang dibebaskan dari beberapa proses komersil.
Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik, cara masuk ke dalam tubuh dapat
secara :
- inhalasi, misalnya gas HCN (gas penerangan, sisa pembakaran seluloid, fumigasi kapal)
- oral, yaitu garam CN yang dipakai pada peyepuhan emas, pengelasan besi dan baja, serta
fotografi dan amigdalin yang didapat dari singkong, ubi dan biji apel
Setelah diabsorbsi, CN masuk ke dalam sirkulasi sebagai CN bebas dan tidak dapat
berikatan dengan Hb kecuali dalam bentuk methemoglobin akan terbentuk sianmethemoglobin.
CN akan mengaktifkan enzim oksidatif beberapa jaringan secara radikal, terutama sitokrom
oksidase juga merangsang pernapasan bekerja pada ujung sensorik sinus (kemoreseptor)
sehingga pernapasan cepat. Dengan demikian proses oksidasi-reduksi dalam sel tidak
berlangsung dan oksihemoglobin tidak dapat berdisosiasi melepaskan O2 ke sel jaringan
sehingga timbul anoksia jaringan. Hal ini merupakan keadaan paradoksal karena korban
meninggal akibat hipoksia tetapi darahnya kaya akan O2.
Takaran toksik per oral untuk HCN adalah 60-90 mg, sedangkan KCN atau NaCN
adalah 200 mg. Gas CN 200-400 ppm akan menyebabkan kematian dalam 30 menit sedangkan
gas CN 20000 ppm akan menyebabkan meninggal seketika.
34
Penemuan Autopsi pada Keracunan Sianida
Tanda dan gejala keracunan akut CN yang ditelan dapat dengan cepat menyebabkan
kegagalan pernafasan dan kematian dapat timbul dalam beberapa menit. Dalam interval yang
pendek antara menelan racun sampai kematian, korban mengeluh merasa terbakar pada
kerongkongan dan lidah, hipersalivasi, mual, muntah, sakit kepala, vertigo, photophobia, tinitus,
pusing, kelelahan dan sesak napas. Dapat pula ditemukan sianosis pada muka, keluar busa dari
mulut, nadi cepat dan lemah, napas cepat dan kadang-kadang tidak teratur, refleks melambat,
udara pernapasan berbau amandel. Menjelang kematian sianosis nyata dan timbul kedutan otot-
otot berlanjut dengan kejang dengan inkontinensia urin dan alvi. Racun yang diinhalasi
menimbulkan palpitasi, kesukaran bernapas, mual muntah sakit kepala, salivasi, lakrimasi, iritasi
mulut dan kerongkongan, pusing, kelemahan ekstremitas, kolaps, kejang, koma, dan meninggal.
Pemeriksaan luar jenazah dapat tercium bau amandel yang merupakan tanda
patognomonik untuk keracunan CN. Selain itu didapatkan sianosis pada wajah dan bibir, busa
keluar dari mulut, dan lebam jenazah berwarna merah terang. Pemeriksaan selanjutnya biasanya
tidak memberikan gambaran yang khas.
Dari luar, ada banyak variasi dalam penampilanya. Yang klasik, lebam mayat dikatakan
menjadi berwarna merah bata, sesuai dengan kelebihan oksi hemoglobin (karena jaringan
dicegah dari penggunaan oksigen) dan ditemukannya cyanmethemoglobin. Banyak deskripsi
lebam mayat yang mengarah pada kulit yang berwarna merah muda gelap atau bahkan merah
terang, terutama bergantung pada daerahnya, yang mana dapat dibingungkan dengan karboksi
hemoglobin.
Mungkin bau sianida ada pada tubuh dan dapat dikenal, tapi perlu diketahui bahwa
banyak orang tidak bisa mendeteksi bau ini, kemampuan menciumnya berhubungan dengan
genetik (bukan berdasarkan pengalaman). Ini penting diketahui oleh ahli patologi dan pegawai
kamar mayat, bahwa keracunan sianida dapat membawa resiko. Para petugas terkait menjadi
sakit dan untuk sementara mengalami gangguan fungsi setelah mengautopsi mayat bunuh diri
yang telah menelan sejumlah besar kalium sianida. Diasumsikan mungkin akibat menghirup
hidrogen sianida dari isi perut mayat ketika melakukan pemeriksaan organ dalam.
35
Pada autopsi dapat tercium bau amandel waktu membuka rongga dada, perut dan otak.
Darah, otot dan penempang organ berwarna merah terang. Juga ditemukan tanda-tanda asfiksia.
Pemastian diagnosis keracunan CN dilakukan dengan pemeriksaan toksikologis terhadap isi
lambung dan darah.
Perut dapat berisi darah maupun rembesan darah akibat erosi maupun pendarahan di
dinding perut. Jika sianida berada dalam larutan encer, mungkin ada sedikit kerusakan pada
perut, terpisah dari warna merah muda pada mukosa dan mungkin beberapa pendarahan berupa
petechiae. Mungkin juga sianida tersebut menjadi kristal / bubuk putih yang tidak dapat larut,
dengan bau seperti almond.
Seperti kematian yang biasanya berlangsung cepat, sedikit bagian dari sianida dapat
sudah melewati masuk ke dalam sel cerna. Esofagus dapat mengalami kerusakan, terutama pada
bagian mukosa esofagus yang ketiga yang lebih bawah, yang bisa mengalami perubahan post
mortem dari regurgitasi isi perut melalui relaksasi sphincter jantung setelah mati. Organ lain
tidak menunjukkan perubahan yang spesifik dan diagnosis dibuat berdasarkan ceritanya, bau dan
warna kemerahan pada jaringan dalam tubuh maupun kulit.
Analisis Toksikologi
Darah, isi perut, urin dan muntahan harus diserahkan ke laboratorium, membutuhkan
perhatian khusus bahwa sampel terhindar dari resiko dalam pengemasannya, transportasinya atau
tidak dikemasnya sampel tersebut. Pemerikasaan laboratorium harus dilakukan dan diperhatikan
jika ada kemungkinan terjadinya keracunan sianida.
Jika kematian mungkin disebabkan oleh inhalasi gas hidrogen sianida, paru-parunya
harus dikirim utuh, dibungkus dalam kantong yang terbuat dari nilon (bukan polivinil klorida).
Penting untuk membawa sampel ke laboratorium sesegera mungkin (dalam beberapa
hari) untuk menghindari struktur sianida yang tidak seperti aslinya lagi dalam sampel darah yang
telah disimpan. Hal ini biasanya dapat terjadi akibat suhu ruangannya, sehingga jika ada
penundaan, adanya kulkas pendingin menjadi penting. Jika dibandingkan, beberapa sampel
positif sesungguhnya dapat menurun kualitasnya pada penyimpanan. Lebih dari 70% isi sianida
36
dapat hilang setelah beberapa minggu, akibat reaksi dengan komponen jaringan dan konversi
menjadi thiosianad. Dikatakan bahwa tidak ada struktur sianida yang tidak seperti aslinya lagi,
sianida yang ditemukan dalam jumlah cukup adalah bukti bahwa sianida masuk dalam tubuh
yang mana hal itu sendiri tidak normal dan dikonfermasi sebagai barang bukti dari terjadinya
keracunan.
37
HISTOTOXIC ASFIKSIA(KERACUNAN SIANIDA)
KeteranganBatasan Seseorang meninggal asfiksia karena keracunan sianida.Sumber Berasal dari umbi-umbian, ada juga sudah dalam bentuk jadi.Sifatnya Bisa dalam bentuk padat; dalam bentuk gugusan garam
(kalium sianida, natrium sianida), mudah larut dalam air sehingga terdapat dalam bentuk cairan. Contohnya : apabila kita membuang racun sianida dalam umbi-umbian dengan cara membilas-bilas umbi-umbian sehingga sianidanya larut. Bisa juga dalam bentuk gas bila dengan asam pekat.
Dikenal sebagai (dalam masyarakat)
Sianida ini dikenal masyarakat Indonesia dengan nama "Potas", yang sebetulnya kata ini kurang tepat karena yang dimaksud adalah potassium sianida dan yang beracun adalah sianidanya. Yang terkenal karena digunakan untuk menangkap ikan dengan meracuni dengan bongkahan potassium sianida.
Mekanisme kerja Sianida merusak enzim pernafasan di dalam sel yaitu sitokrom oksidase. Dengan terganggunya enzim ini, maka timbullah proses hipoksia/anoksia secara sistemik. Artinya setiap sel tubuh korban (otak, ginjal, paru-paru, dll kecuali sel darah merah yang tidak berinti) akan mengalami hipoksia. Dengan demikian seseorang bisa mengalami hipoksia/asfiksia tidak harus mengalami kerusakan pada proses di paru-paru, tetapi bisa juga kerusakan proses pernafasan di dalam inti sel. Ini terbukti seseorang keracunan sianida dalam bentuk padat (potassium sianida) melalui makanan atau saluran pencernaan juga akan menimbulkan hipoksia/asfiksia. Dengan kata lain janganlah kita berpikir seseorang yang meninggal karena asfiksia selalu berhubungan dengan paru-paru.
Tanda-tanda khas Warna darah merah terang seperti warna merah batu bata, begitu juga warna lebam mayatnya. Untuk membedakannya dengan lebam mayat keracunan CO, jelas keracunan CO berhubungan dengan asap, sedangkan sianida tidak.
Tes Tes yang dilakukan pada sianida yaitu “Prussian Blue Test” (lihat bab Toksikologi).
Tanda asfiksia Tanda-tanda asfiksia sesuai dengan tanda-tanda asfiksia umum.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Idries, Abdul Mun’im, 1997, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Binarupa Aksara,
Jakarta,
2. Budiyanto, A., dkk, 1997, Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik,FK UI
3. Anonim. Tanatologi Dan Identifikasi Kematian Mendadak (Khususnya Pada Kasus
Penggantungan). Available at http://fkuii.org/tiki-download_wiki_attachment.php?attId=14
4. Amir A, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, ed 2, Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, 2007
39