Upload
danis-diba-sabatillah-yamin
View
229
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah mengikuti kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami
penatalaksanaan kasus-kasus odontogen.
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Setelah mengikuti sub pokok bahasan ke-1 mahasiswa akan memahami tentang :
patofisiologi keradangan dan perbaikan jaringan (inflammation and repair), infeksi,
infeksi odontogen, port de entre infeksi odontogen.
Skenario
1. Penderita anak berumur 15 tahun datang dengan keluhan adanya
pembengkakan pada daerah rahang kanan. Pembengkakan ini terjadi setelah anak
tersebut terjatuh dari sepeda satu hari yang lalu.
Pemeriksaan :
Anmnesa :
Pemeriksaan Fisik :
Ekstra Oral :
Terdapat asimetri wajah, adanya pembengkakan daerah rahang kanan, warna
agak biru kemerahan, batas tidak jelas, pada palpasi teraba lunak dan terasa
nyeri, tidak didapatkan luka pada wajah.
Intra Oral :
Tidak didapatkan luka pada jaringan lunak rongga mulut dan gigi-gigi dalam
keadaan baik.
Pemeriksaan penunjang :
1. Rontgen foto : tidak dilakukan
2. Laboratorium : tidak dilakukan
2. Penderita laki-laki 20 tahun datang dengan keluhan adanya rasa sakit pada gigi
geraham rahang bawah kiri belakang, rasa sakit cekot-cekot mulai timbul 5 hari
3
yang lalu dan gigi terasa menonjol, untuk mengunyah terasa sakit. Penderita
pergi ke puskesmas. Di puskesmas penderita diperiksa dan setelahnya mendapat
2 macam obat, yaitu 1 macam berjumlah 10 berupa kaplet diminum 4x sehari dan
1 macam lagi berjumlah 10, diminum 3x sehari berupa tablet pengurang rasa
nyeri. Tetapi walau telah taat minum obat dari puskesmas penderita merasa tidak
ada perubahan, penderita malah merasa sakit. Kemudian penderita memutuskan
untuk ke poli gigi Bedaah mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Airlangga. Penderita juga merasakan demam sejak 2 hari yang lalu.
Pemeriksaan :
Anamnesa :
Pemeriksaan Fisik
Kondisi umum : Penderita tampak pucat dan lesu
Ekstra Oral :
Tidak ada pembengkakan dan tidak ada perubahan warna
Intra Oral :
• Gigi 38 dengan karies profunda, perforasi atap pulpa, pada pemeriksaan
perkusi dan druk terasa nyeri.
Pemeriksaan Penunjang :
X-ray panoramic :
• 38 terlihat gambaran radiolusensi tidak berbatas jelas pada periapikal.
3. Penderita wanita 22 tahun datang dengan keluhan nyeri pada gigi bawah paling
belakang kanan sejak 2 hari yang lalu, sebelumnya tidak pernah sakit, juga ada
sedikit keluhan terasa ada pembengkakan pada gusi gigi paling belakang kanan
bawah, dan juga sulit membuka mulut. Penderita sebelumnya belum pernah sakit
gigi.
Pemeriksaan :
Anamnesa :
Pemeriksaan Fisik
Kondisi umum : Penderita tampak sehat
4
Ekstra Oral :
Tidak ada pembengkakan dan tidak ada perubahan warna
Intra Oral :
• Gigi 48 tertutup sebagian oleh mukosa perikorona, warna kemerahan dan
sedikit bengkak
• Pada palpasi terasa nyeri
Pemeriksaan Penunjang :
x-ray panoramic :
• 48 terlihat distoversi
5
Grand Mapping (Kerangka Konseptual)
6
akut :open buranti inflamasi
Periodontitis Apikalis Akut
Infeksi Periapikal
Menembus Foramen
Bengkak > 3 hari :terapi kompres hangat (panas dari infrared / botol berisi air
Salep hematomKompres dinginSalep Anti-
Nekrosis Hemato
odontektomi
Akut : irigasi dengan salin
perikoronitis
Tera
Terapi
Terapi
odontektomi
Endodontik
Tanda-tanda :
TumorRubor Calor DolorFunctiolaesa
Sel Darah dan Cairan
Plasma Kluar
Ekstravasasi Pembuluh
Trauma Mekani
RADANG
Trauma Gigi Antagonis +
Gigi 48 Tertutup
Perikorona
Karies Profunda Perforasi Atap Pulpa (gigi 38)
Gigi Periapi
INFEKSI ODONTOGENIK
Port de entre- Jaringan
periodontal- Jaringan
pulpa- Perikorona
Penjelasan Kerangka Konseptual
1. Infeksi dan Inflamasi
Infeksi melibatkan proliferasi mikroba sehingga memicu mekanisme pertahanan
tubuh, suatu bentuk proses inflamasi. Inflamasi adalah reaksi lokal dari jaringan
vaskular dan jaringan ikat tubuh pada saat terjadinya iritasi, sehingga dalam
perkembangannnya berupa suatu eksudat yang kaya akan protein dan sel. Reaksi ini
bertujuan sebagai pelindung dan membatasi atau menghilangkan iritasi selama proses
mekanisme perbaikan jaringan berlangsung. Berdasarkan waktu dan tingkat
keparahannya, inflamasi dibedakan sebagai akut, subakut, dan kronis.
a. Inflamasi akut.
Hal ini ditandai dengan perkembangan yang cepat dan berhubungan dengan
tanda-tanda serta gejala yang khas. Jika tidak mundur sepenuhnya, mungkin
menjadi subakut atau kronis.
b. Inflamasi subakut.
Hal ini dianggap sebagai tahap transisi antara inflamasi akut dan kronis.
c. Inflamasi kronis.
Inflamasi sudah terjadi cukup lama dengan gejala klinis yang sedikit dan
terutama ditandai dengan pertumbuhan jaringan ikat.
Inflamasi dapat disebabkan oleh mikroba, faktor fisik dan kimia, panas, dan
radiasi. Terlepas dari tipe iritan dan lokasinya, manifestasi dari inflamasi yang khas
ditandai dengan tanda-tanda dan gejala klinis berikut: rubor (kemerahan), kalor
(panas), tumor (pembengkakan atau edema), dolor (rasa sakit), dan functio laesa
(kehilangan fungsi).
Perkembangan alami inflamasi dibedakan menjadi berbagai fase. Awalnya terjadi
reaksi vaskular disertai eksudat (fase serous), kemudian faktor seluler dipicu (fase
eksudatif atau selular). Pada akhirnya proses radang selesai dan jaringan yang rusak
telah diperbaiki. Di sisi lain, inflamasi kronis ditandai oleh faktor reparasi dan
7
penyembuhan. Oleh karena itu, pada inflamasi akut eksudatif dan inflamasi kronis
produktif (eksudatif dan reparatif).
Memahami perbedaan antara jenis inflamasi adalah penting untuk terapi
pengobatan.
1. Tahap serous.
Berlangsung sekitar 36 jam, dan ditandai oleh edema inflamasi lokal, hiperemi
atau kemerahan disertai suhu tinggi, dan nyeri. Eksudat serosa diamati pada
tahap ini, mengandung protein dan jarang terdapat leukosit PMN.
2. Tahap selular.
Ini adalah perkembangan dari fase serous. Hal ini ditandai dengan akumulasi
masif dari leukosit PMN, terutama granulosit neutrofil, yang menyebabkan
terbentuknya pus (nanah). Pus yang terbentuk didalam suatu rongga baru disebut
abses. Jika berkembang dalam rongga yang sudah ada, misalnya sinus maksilaris
maka disebut empiema.
3. Tahap Reparatif.
Selama inflamasi, tahap reparatif segera dimulai setelah inokulasi. Dengan
mekanisme reparatif inflamasi, produk dari reaksi inflamasi akut akan
dihilangkan dan dilanjutkan dengan perbaikan dari jaringan yang rusak.
Perbaikan dicapai dengan pengembangan jaringan granulasi, yang dikonversi
menjadi jaringan ikat fibrosa sehingga jaringan yang rusak kembali normal
(Fragiskos, 2007).
2. Patofisiologi Infeksi Odontogen
Infeksi odontogen biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi
yang sudah mendekati ruang pulpa, kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis dan
akhirnya akan terjadi kematian pulpa gigi (nekrosis pulpa). Infeksi odontogen dapat
terjadi secara lokal atau meluas secara cepat. Adanya gigi yang nekrosis
menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa sampai apeks gigi. Foramen
apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang terinfeksi. Selanjutnya
8
proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau jaringan lain yang dekat
dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut (Lawler, 2002).
2.1 Jalan invasi bakterial pulpa
Bakteri dapat masuk ke dalam pulpa melalui tiga cara:
1. Invasi langsung melalui dentin, seperti misalnya karies, fraktur mahkota atau
akar, terbukanya pulpa pada waktu preparasi kavitas, atrisi, abrasi, erosi, atau
retak pada mahkota.
2. Invasi melalui pembuluh darah atau limfatik terbuka, yang ada hubungannya
dengan penykit periodontal, suatu kanal aksesoris pada daerah furkasi, infeksi
gusi, atau scaling gigi-gigi.
3. Invasi melalui darah, misalnya selama penyakit infeksius atau bakterimia
transient.
Bakteri dapat menembus dentin pada waktu preparasi kavitas karena kontaminasi
lapisan smear, karena penetrasi bakteri pada tubuli dentin terbuka disebabkan oleh
proses karies, dan oleh masuknya bakteri karena tindakan operatif yang tidak bersih.
Bakteri dan toksin menembus tubuli dentin, dan waktu mencapai pulpa,
menyebabkan reaksi inflamasi (Lawler, 2002)
2.2 Reaksi pulpa terhadap invasi bakteri
Reaksi pulpa pada daerah yang terlibat oleh invasi bakteri merupakan suatu
respon inflamasi. Leukosit polimorfonuklear mencapai daerah tersebut, dan
selanjutnya penyebaran bakteri lebih dalam ke dalam pulpa dapat dicegah. Karena
beberapa mikroorganisme masuk ke dalam tubuli dentin, maka akan memperoleh
suatu tumpuan sehingga sukar dikeluarkan. Dalam hal ini, injuri pulpa dengan injuri
bagian lengan atau bagian tubuh yang lain berbeda. Pada bagian lengan atau tubuh
yang lain mikroorganisme dengan mudah dicapai oleh pertahanan jaringan. Reaksi
pada pulpa yang meradang juga berbeda dengan dari reaksi lengan yang meradang
atau organ lain dalam hal tidak adanya ruangan yang tersedia bagi pulpa yang
bengkak karena pulpanya seluruhnya tertutup oleh dinding dentin yang keras, kecuali
9
bagian foramen apikal. Bila proses inflamasi parah, maka akan meluas lebih dalam ke
dalam pulpa dan semua gejala suatu reaksi akut akan nyata. Eksudat inflamasi yang
cukup banyak bertumpuk dan menyebabkan rasa sakit karena adanya tekanan pada
ujung saraf. Daerah nekrosis berkembang, karena gangguan dalam suplai nutrisional,
banyak leukosit polimorfonuklear mati, dan terbentuk nanah, selanjutnya mengiritasi
sel saraf. Bila prosesnya tidak begitu parah, limfosit dan sel plasma akan
menggantikan leukosit polimorfonuklear dalam jumlah, dan reaksi inflamasi dapat
dibatasu pada permukaan pulpa. Keadaan inflamasi kronis macam itu dapat
dilokalisasi untuk waktu lama kecuali bila mikroorganisme masuk lebih dalam ke
dalam pulpa dan menyebabkan suatu reaksi akut yang secara klinis ditunjukkan oleh
suatu flare-up. Sebaliknya, proses kronis dapat berlanjut sampai hampir atau seluruh
pulpa terlibat, yang akhirnya membawa kepada kematian pulpa. Selama
perkembangan ini, organisme dapat mati, tetapi biasanya hidup terus dan
menyebabkan suatu reaksi pada jaringan periapikal oleh produk metabolismenya
(Grossman, 1995).
Selama reaksi inflamasi, tekanan jaringan meningkat. Terjadinya statis, dengan
menghasilkan suatu nekrosis pulpa. Pada beberapa kasus, jaringan pulpa yang
nekrotik tetapi steril tidak menyebabkan gejala dan tetap seperti itu untuk bertahun-
tahun. Meskipun demikian situasi ini adalah perkecualian, karena pada kebanyakan
kasus mikroorganisme tetap hidup dan, bila virulen, berkembangbiak cepat dan
mencapai jaringan periapikal, meneruskan perusakannya dan menghasilkan suatu
abses alveolar akut. Bila tidak begitu virulen, mikroorganisme akan tetap tinggal di
dalam saluran akar, dan dengan produk toksiknya secara berangsur-angsur dan diam-
diam menghasilkan suatu abses kronis tanpa menaikkan gejala subjektif yang lain
daripada gejala yang ada hubungannya dengan suatu fistula, bila berkembang. Bila
kekuatan pertahanan jaringan periapikal mencukupi, terbentuk suatu cincin jaringan
granulasi untuk membatasi bakteri dan menetralkan toksinnya (Walton, 1998).
10
2.3 Patofisiologi infeksi jaringan pulpa dan berlanjut menjadi infeksi periapikal
Karena hubungan timbal balik antara pulpa dan jaringan periapikal, inflamasi
pulpa menyebabkan perubahan inflamatori pada ligamen periodontal bahkan sebelum
pulpa menjadi nekrotik seluruhnya. Bakteri dan toksinnya, agensia imunologik,
debris jaringan, dan hasil nekrosis jaringan dari pulpa mencapai daerah periapikal
melalui berbagai foramina saluran akar dan meningkatkan reaksi inflamatori dan
reaksi imunologik. Penyakit pulpa adalah hanya salah satu dari berbagai penyebab
kemungkinan penyakit pada jaringan periapikal (Grossman, 1995).
Infeksi periapikal dibagi menjadi dua jenis utama, yaitu:
1. Abses periapikal: pulpitis akut dapat menyebar sampai ke jaringan
periodontium apikal disertai dengan pembentukan abses di tulang yang
berdekatan. Daerah yang terkena dan gigi yang terlibat terasa lunak bila
disentuh ,mukosa yang menutupi seringkali membengkak (edema), serta nodus
limfa regional dapat lunak dan membesar. Biasanya pus berjalan keluar secara
spontan melalui tulang dan dibuang ke dalam rongga mulut. Tanpa perawatan,
bisa terjadi serangan berulang, sehingga menimbulkan kavitas abses kronis.
2. Granuloma apikal: Perluasan pulpitis kronis ke arah apeks menyebabkan
resorpsi tulang osteoklastik, beberapa diantaranya diperberat oleh mediator
peradangan (misal, prostaglandin), dan penggantian oleh jaringan granulasi yang
mengandung limfosit dan sel plasma. Juga ditemukan makrofag sebagai baik sel
raksasa berinti tunggal maupun berinti banyak. Kadang-kadang bahan tertentu
yang tanpa sengaja masuk ke dalam tulang periapikal selama perawatan saluran
akar gigi dapat menghasilkan atau mengeksaserbasikan granuloma apikal
(Walton, 1998).
3. Port de entre Infeksi Odontogen
Pada semua infeksi odontogenik, pada umumnya pemeriksaan dilakukan untuk
mengetahui apakah ada karies yang dalam, inflamasi periodontal, dan impaksi dan
11
gigi yang fraktur sebagai penyebab. Dari sini penulis mengambil kesimpulan bahwa
port de entre dari infeksi odontogen berasal dari 3 tempat:
1. Pulpo Periapikal
Infeksi pulpo periapikal melibatkan gigi yang terkena karies, lalu menginflamasi
pulpa. Pada foramen pulpa yang sempit pada akar gigi merupakan sebuah
reservoir bakteri menjadi jalan bakteri ke jaringan periodontal dan tulang. Infeksi
pulpa dapat menyebabkan infeksi gigi serius yang dapat menyebar diluar soket
gigi. Bila infeksi meluas melewati apeks gigi, infeksi ini disebut infeksi
periapikal dimana jalan patofisiologinya proses infeksi bervariasi bergantung
pada jumlah dan virulensi organisme, resistensi host, dan anatomi daerah yang
terlibat daerah infeksi. (Topazian,2002)
2. Periodontal
Ginggivitis dan periodontitis yang merupakan bagian terbesar penyakit yang
melibatkan periodonsium merupakan infeksi bakterial kronis. Bakteri patogen
periodontal dapat secara langsung menimbulkan kerusakan periodonsium dengan
cara:
a. Menghindar dari pertahanan penjamu sehingga dapat tetap menghuni daerah
sulkus gingival
b. Merusak epitel krevikular yang merupakan penghalang, dan
c. Memproduksi enzim yang dapat secara langsung maupun tidak langsung
menyebabkan kerusakan jaringan (Saidina, 1995)
3. Perikorona
Infeksi jaringan lunak sekitar mahkota gigi yang sedang erupsi. (Topazian,2002)
12
Kasus 1
Penderita anak berumur 15 tahun datang dengan keluhan adanya pembengkakan
pada daerah rahang kanan. Pembengkakan ini terjadi setelah anak tersebut terjatuh
dari sepeda satu hari yang lalu.
Hasil Pemeriksaan:
1. Pemeriksaan Subjektif - Anamnesa
• Identitas : Laki-laki
• Usia : 15 tahun
• Keluhan : Pembengkakan pada daerah rahang kanan.
2. Pemeriksaan Objektif
a. Pemeriksaan fisik
• Kondisi umum: Pembengkakan pada daerah rahang kanan
• Ekstra oral :
a. Inspeksi: terdapat asimetri wajah, warna agak biru kemerahan, batas
tidak jelas, terasa nyeri, tidak didapatkan luka pada wajah.
b. Palpasi: adanya pembengkakan daerah rahang kanan dan teraba lunak
dan sangat nyeri.
• Intra oral : gigi-gigi dalam keadaan baik dan tidak didapatkan
luka pada jaringan lunak rongga mulut.
Konsep Mapping :
13
Analisis K asus :
14
Trauma Mekanik
Treatment
Radang akut (Hematom)
Melebar dan mengumpul di
permukaan
Plasma dan eritrosit keluar
Pembuluh darah pecah (ekstravasasi)
Nyeri (dolor)
Menekan saraf
Bengkak warna biru kemerahan (tumor, rubor)
kompres dengan air dingin dan air hangat, salep anti hematom, dan minum obat anti inflamasi
Penderita anak 15 tahun
Anamnesa: Pembengkakan pada daerah rahang kanan yang terjadi setelah terjatuh dari sepeda
Ekstra Oral :
- Asimetri wajah
- Pembengkakan daerah rahang kanan
- Warna agak biru kemerahan dengan batas tidak jelas
- Palpasi terasa lunak
- Nyeri
- Tidak didapatkan luka pada wajahIntra Oral:
Tidak didapatkan luka pada jaringan lunak rongga mulut dan gigi-gigi dalam keadaan
Pemeriksaan penunjang:
- Rontgen foto: tidak dilakukan
- Laboratorium
14
Terjatuh dari sepeda merupakan suatu trauma fisik, yang artinya terkena trauma
steril bukan karena terkena infeksi mikroorganisme. Trauma fisik tersebut mengenai
pembuluh darah sehingga pembuluh darah tersebut pecah (ekstravasasi). Pecahnya
pembuluh darah mengakibatkan cairan plasma pada pembuluh darah tersebut keluar
hingga melebar dan mengumpul pada permukaan sehingga mengakibatkan
pembengkakan pada daerah tersebut. Pada daerah pembengkakan tersebut juga
mengenai saraf dan menekan saraf hingga menimbulkan nyeri pada daerah tersebut.
Dari peristiwa tersebut didapatkan tanda- tanda keradangan yaitu, nyeri,
berwarna biru kemerahan, dan bengkak. Warna biru kemerahan merupakan suatu
tanda spesifik dari hematoma. Jadi bisa kami simpulkan dari diagnosis yang telah
kami lakukan bahwa penderita mengalami hematoma. Perawatan yang bisa dilakukan
adalah mengkompres dengan air dingin agar pembuluh darah yang mengalami
vasodilatasi tersebut mengalami vasokonstriksi, apabila pasien kembali dalam 3 hari
masih dalam keadaan bengkak perawatan yang dilakukan adalah dikompres dengan
air hangat. Selain kompres juga diberikan obat anti inflamasi dan salep anti hematom.
15
Kasus 2
Penderita laki-laki 20 tahun datang dengan keluhan adanya rasa sakit pada gigi
geraham rahang bawah kiri belakang, rasa sakit cekot-cekot mulai timbul 5 hari yang
lalu dan gigi terasa menonjol, untuk mengunyah terasa sakit. Penderita pergi ke
puskesmas. Di puskesmas penderita diperiksa dan setelahnya mendapat 2 macam
obat, yaitu 1 macam berjumlah 10 berupa kaplet diminum 4x sehari dan 1 macam lagi
berjumlah 10, diminum 3x sehari berupa tablet pengurang rasa nyeri. Tetapi walau
telah taat minum obat dari puskesmas penderita merasa tidak ada perubahan,
penderita malah merasa sakit. Kemudian penderita memutuskan untuk ke poli gigi
Bedaah mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga.
Penderita juga merasakan demam sejak 2 hari yang lalu.
Hasil Pemeriksaan:
1. Pemeriksaan Subjektif - Anamnesa
• Identitas : Laki-laki
• Usia : 20 tahun
• Keluhan : adanya rasa sakit pada gigi geraham rahang bawah kiri
belakang, rasa
sakit cekot-cekot mulai timbul 5 hari yang lalu dan gigi terasa
menonjol, untuk mengunyah terasa sakit. Demam sejak 2 hari
yang lalu. Pasien mengkonsumsi 2 macam obat dan salah
satunya obat pengurang rasa nyeri. Akan tetapi pasien merasa
tidak ada perubahan, tetap merasa sakit.
2. Pemeriksaan Objektif
a. Pemeriksaan fisik
• Kondisi umum: Penderita tampak pucat dan lesu
• Ekstra oral : Tidak ada pembengkakan dan perubahan warna
16
• Intra oral : Gigi 38 dengan karies profunda, perforasi atap pulpa, pada
pemeriksaan perkusi dan druk terasa nyeri
b. Pemeriksaan penunjang
• x-ray panoramic: gigi 38 terlihat gambaran radiolusensi tidak berbatas jelas
pada `periapikal
17
Konsep Mapping :
18
Analisis kasus :
Pasien mengalami infeksi odontogen. Infeksi odontogen adalah infeksi yang
disebabkan karena kerusakan jaringan keras gigi atau jaringan penyangga gigi. Pada
pemeriksaan intra oral pasien didapatkan karies profunda perforasi atap pulpa pada
gigi 38. Dengan terbukanya atap pulpa, bakteri serta produknya lebih mudah berdifusi
menuju foramen periapikal. Bisa berlanjut menjadi perforasi akar. Infeksi ini disebut
infeksi jaringan periapikal dengan diagnosis periodontitis apikalis akut.
Gejala Klinis : Periodontitis apikalis akut memberikan gejala klinis yaitu gigi yang
terlibat bisa dalam keadaan vital atau non vital, rasa sakit dan gigi yang sensitif,
pemeriksaan perkusi dan druk terasa sakit, sakit pada saat mengunyah.
Gambaran radiologis: Pada gambaran radiografi pada periodontitis apikalis akut
terlihat pelebaran periodontal space, terdapat daerah rarefaksi yang kecil, lamina dura
masih utuh. Suatu reaksi inflamatori terjadi pada ligamen periodontal apikal.
Histopatologi: Pembuluh darah membesar, dijumpai leukosit PMN, dan suatu
akumulasi eksudat terus menggelembungkan ligamen periodontal dan agak
memanjangkan gigi. Bila iritasi berat dan berlanjut osteoklas dapat menjadi aktif dan
dapat merusak tulang periapikal.
Rencana perawatan : Pada keadaan seperti ini perlu dilakukan tindakan meredakan
kondisi akutnya yakni dengan cara membuka atap pulpa (open bur) disertai
pemberian antibiotik dan analgesik. Jika terdapat overhanging dilakukan tindakan
occlusal grinding. Setelah infeksi akut mereda dapat dilakukan perawatan endodontik
intrakanal atau pencabutan.
Diagnosa banding pada kasus ini adalah abses periapikal akut.
Gejala klinis: Abses periapikal akut adalah gigi yang terlibat non-vital, pada
pemeriksaan perkusi dan druk terasa sakit, terasa sangat sakit terutama pada saat
menggigit dan gigi yang terlibat terasa lebih tinggi dari gigi-gigi yang lain.
Gambaran rontgenologis: Dari abses periapikal akut berupa daerah periapikal
biasanya akan tampak normal, atau menunjukan adanya sedikit pelebaran membran
periodontal.
19
Kasus 3
Penderita wanita 22 tahun datang dengan keluhan nyeri pada gigi bawah paling
belakang kanan sejak 2 hari yang lalu, sebelumnya tidak pernah sakit, juga ada sedikit
keluhan terasa ada pembengkakan pada gusi gigi paling belakang kanan bawah, dan
juga sulit membuka mulut. Penderita sebelumnya belum pernah sakit gigi.
Hasil Pemeriksaan:
1. Pemeriksaan Subjektif - Anamnesa
• Identitas : Wanita
• Usia : 22 tahun
• Keluhan : adanya keluhan nyeri pada gigi bawah paling belakang kanan
sejak 2 hari yang lalu, sebelumnya tidak pernah sakit, juga ada sedikit keluhan
terasa ada pembengkakan pada gusi gigi paling belakang kanan bawah, dan
juga sulit membuka mulut. Penderita sebelumnya belum pernah sakit gigi.
2. Pemeriksaan Objektif
a. Pemeriksaan fisik
• Kondisi umum: Penderita tampak sehat
• Ekstra oral : Tidak ada pembengkakan dan perubahan warna
• Intra oral : Gigi 48 tertutup sebagian oleh mukosa perikorona, warna
kemerahan dan sedikit bengkak, pada palpasi terasa nyeri.
b. Pemeriksaan penunjang
• x-ray panoramic: gigi 48 terlihat posisi distorversi
20
21
Konsep Mapping :
22
Wanita 22 tahun nyeri
gigi 48 2 hari lalu dengan
kodisi umun sehat
Extra Oral Intra Oral
Tumor (-)Rubor (-)
Impaksi gigi 48 Radiografik : gigi 48 distoversi
Gigi tertutup perikorona
Akumulasi makanan
Trauma gigi antagonis
RadangRubor (+)Tumor (+)Fungsiolesa (+)Dolor (+)
Trismus
Perikoronitis Akut
Analisis kasus :
Berdasarkan skenario yang telah didapatkan, terdapat dua port de entry infeksi
odontogen pada scenario kasus ketiga, antara lain :
1. Regio 48
Pada regio 48 ini terjadi perikorona akut yaitu infeksi karena erupsi yang
terlambat dan abnormal. Perikoronitis merupakan perdangan pada jaringan lunak
disekeliling gigi yang akan erupsi, paling sering terjadi pada molar 3 bawah.
Perikoronitis merupakan suatu kondisi yang umum terjadi pada molar impaksi dan
cenderung muncul berulang, bila molar belum erupsi sempurna. Akibatnya, dapat
terjadi destruksi tulang di antara gigi molar dan molar depannya.
Faktor penyebab utama dari perikoronitis adalah karena gigi molar 3 tidak
dapat erupsi dengan baik dikarenakan tidak cukup ruang untuk pertumbuhannya,
sehingga sulit untuk erupsi dinamakan impaksi
.Ada sejumlah faktor yang menyebabkan gigi mengalami impaksi. Karena
jaringan sekitarnya yang terlalu padat, adanya retensi gigi susu yang berlebihan,
tanggalnya gigi susu terlalu awal. Bisa juga karena tidak adanya tempat untuk erupsi.
Rahang yang kecil dikarenakan pertumbuhan tulang rahang yang kurang sempurna.
Pertumbuhan rahang dan gigi mempunyai tendensi bergerak maju ke arah
depan. Apabila pergerakan ini terhambat oleh sesuatu yang merintangi, bisa terjadi
impaksi gigi. Misalnya, karena infeksi, trauma, malposisi gigi, atau gigi susu tanggal
sebelum waktunya.
Sementara, menurut teori Mendel, pertumbuhan rahang dan gigi dipengaruhi
oleh faktor keturunan. Jika salah satu orang tua (ibu) mempunyai rahang kecil, dan
bapak bergigi besar-besar, ada kemungkinan salah seorang anaknya berahang kecil
dan bergigi besar-besar. Akibatnya, bisa terjadi kekurangan tempat erupsi gigi molar
3, dan terjadilah impaksi.
Sempitnya ruang erupsi gigi molar 3, karena pertumbuhan rahangnya kurang
sempurna. Hal ini bisa karena perubahan pola makan. Manusia sekarang cenderung
menyantap makanan lunak, sehingga kurang merangsang pertumbuhan tulang rahang.
23
Makanan lunak yang mudah ditelan menjadikan rahang tak aktif mengunyah.
Sedangkan makanan banyak serat perlu kekuatan rahang untuk mengunyah lebih
lama. Proses pengunyahan lebih lama justru menjadikan rahang berkembang lebih
baik. Seperti diketahui, sendi-sendi di ujung rahang merupakan titik tumbuh atau
berkembangnya rahang. Kalau proses mengunyah kurang, sendi-sendi itu pun kurang
aktif, sehingga rahang tidak berkembang semestinya. Rahang yang seharusnya cukup
untuk menampung 32 gigi menjadi sempit. Akibatnya, gigi bungsu yang selalu
tumbuh terakhir itu tidak kebagian tempat untuk erupsi normal. Ada yang erupsi
dengan posisi miring, atau bahkan tidak erupsi.
Impaksi gigi molar kadang – kadang tampak pada waktu dilakukan
pemeriksaan roentgen rutin seputar daerah tidak bergigi pada rahang bawah. Tekanan
pada gusi yang menutupi menyebabkan kematian sel dan dapat menimbulkan
penyebaran infeksi.
Gejala Klinis : Gambaran klinik ditandai dengan merah, membengkak, lesi yang
bernanah yang sangat halus sekali, dengan rasa sakit menyebar ke telinga,
tenggorokan, dan dasar mulut. Pasien biasanya merasa tidak nyaman karena sakit,
rasa busuk, dan ketidakmampuan menutup rahang atau trismus dikarenakan trauma
dari gigi antagonis. Pembengkakan pada pipi juga ditemukan yang umumnya terdapat
pada region sudut rahang dan lymphadenitis. Pasien mungkin juga memiliki
komplikasi sitemik seperti demam, leukositosis, dan malaise.
Gambaran radiologis: Pada gambaran radiografi perikoronitis pada umumnya untuk
melihat posis gigi tetangga, hubungan dengan gigi tetangga, dan juga ruang antara
gigi dengan ramus mandibula. Tampak terlihat posisi M3 yang tidak cukup sehingga
mendesak gigi tetangganya dan juga mendesak untuk memenbus ramus mandibula.
Rencana perawatan : Untuk kasus pericoronitis perawatan pertama yang bisa
diberikan adalah menghilangkan tanda-tanda keradangan. Setelah tanda-tanda
keradangan menghilang dilakukan control infeksi dengan cara irigasi dan kumur-
kumur larutan antiseptik. Apabila gigi sulit tumbuh tapi masih bisa tumbuh dan ada
tempat untuk tumbuh maka dilakukan operculektomi. Seandainya gigi tidak
24
memungkinkan untuk tumbuh dan tidak ada tempat untuk tumbuh maka bisa
dilakukan odontektomi.
Diagnosa banding pada kasus ini adalah periodontal abses.
Gejala klinis: Gingiva bengkak, mukosa sekitarnya kebiru-biruan, dan terasa sangat
sakit. Penderita merasa sakit bila giginya beradu. Terkadang disertai demam.
Gambaran rontgenologis: Kekaburan dan putusnya kontuinitas dari lamina dura,
pada bagian mesial atau distal dari crest septum interdental dianggap sebagai tanda
awal abses periodontal kemudian diikuti oleh area radiolusensi yang berbentuk baji
terbentuk pada bagian mesial atau distal dari crest tulang. Proses destruksi berjalan
sepanjang crest septum interdental dan tingginya berkurang. Tinggi interdental
septum makin berkurang oleh karena perluasan dari inflamasi dan resorbsi tulang.
Kesimpulan
Suatu proses keradangan bukan suatu proses infeksi. Sedangkan, proses
infeksi odontogen pasti disertai dengan proses keradangan akibat jejas
terutama dari bakteri beserta produk toksiknya.
Suatu keradangan dapat terjadi akibat trauma mekanis dan bersifat sterille
karena tidak ada invasi bakteri.
Infeksi odontogen merupakan infeksi yang terjadi pada jaringan gigi. Port de
entre berasal dari pulpa, perikorona, serta periodontal.
Infeksi odontogen terjadi akibat akumulasi makanan dan bakteri yang
menyebabkan terbentuknya karies pada gigi sebagai port den entre infeksi
odontogen.
25
Referensi
• Fragiskos, FD. 2007. Oral Surgery. Verlag Berlin Heidelberg: Springer. p 205
• Topazian et al, 2002. Oral and Maxillofacial Infection,4th ed, WB Saunders
Company, Philadelphia
• Daliemunthe Hamzah, Saidina. 1995. Pengantar Perawatan Klinis
Periodonsia. USU pres., Medan
• Lawler, W. Dan Ahmed, A. Hume, W.J. 2002. Buku Pintar Paatologi untuk
Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC. Hal 13-4.
• Grossman, L.I.Oliet, S.Del Rio, C.E. 1995. Ilmu Endodontik dalam Praktek.
Edisi ke-11. Jakarta: EGC. Hal 70-1, 86-92.
• Walton, R.E. dan Torabinejad, M. 1998. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsi.
Edisi ke-2. Jakarta: EGC. Hal 41-8, 53-62.
26