21
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keluarga Perokok Merokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus, termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotinana Tobacum, Nikotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian dihisap isinya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Bahan kimia yang terkandung dalam rokok adalah nikotin, tar, CO (karbon monoksida), amonia, hidrogen sianida (HCN), hidrogen sulfida, methanol, pyridine, kadmium, formaldehida dan fenol. Menurud Dariyo, (2007), ada dua jenis tipe perokok, yaitu perokok aktif (active smoker) dan perokok pasif (passive smoker): a. Perokok aktif (active smoker) Perokok aktif yaitu individu yang benar-benar memiliki kebiasaan merokok. Merokok sudah menjadi bagian hidupnya, sehingga mereka merasa tidak enak jika sehari tidak merokok. b. Perokok pasif (passive smoker) Individu yang tidak memiliki kebiasaan merokok, namun terpaksa harus menghisap asap rokok yang dihembuskan oleh orang lain yang merokok. Menurut Sitepoe dalam Alamsyah (2007) tipe perokok dapat diklasifikasikan menjadi 3 menurut jumlah rokok yang dihisap, antara lain: a. Perokok ringan menghisap 1-10 batang setiap hari Universitas Sumatera Utara

7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keluarga Perokok Merokok

  • Upload
    lediep

  • View
    224

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keluarga Perokok

Merokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus, termasuk cerutu atau

bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotinana Tobacum, Nikotiana

Rustica dan spesies lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar

dengan atau tanpa bahan tambahan. Merokok adalah membakar tembakau yang

kemudian dihisap isinya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa.

Bahan kimia yang terkandung dalam rokok adalah nikotin, tar, CO (karbon

monoksida), amonia, hidrogen sianida (HCN), hidrogen sulfida, methanol,

pyridine, kadmium, formaldehida dan fenol.

Menurud Dariyo, (2007), ada dua jenis tipe perokok, yaitu perokok aktif

(active smoker) dan perokok pasif (passive smoker):

a. Perokok aktif (active smoker)

Perokok aktif yaitu individu yang benar-benar memiliki kebiasaan

merokok. Merokok sudah menjadi bagian hidupnya, sehingga mereka

merasa tidak enak jika sehari tidak merokok.

b. Perokok pasif (passive smoker)

Individu yang tidak memiliki kebiasaan merokok, namun terpaksa harus

menghisap asap rokok yang dihembuskan oleh orang lain yang merokok.

Menurut Sitepoe dalam Alamsyah (2007) tipe perokok dapat

diklasifikasikan menjadi 3 menurut jumlah rokok yang dihisap, antara lain:

a. Perokok ringan menghisap 1-10 batang setiap hari

Universitas Sumatera Utara

8

b. Perokok sedang menghisap 11-20 batang setiap hari

c. Perokok ringan menghisap lebih dari 20 batang setiap hari

Keluarga perokok adalah sebuah keluarga dimana dalam keluarga tersebut

memiliki satu atau lebih anggota keluarga yang merokok baik laki-laki maupun

perempuan. Merokok saat ini sudah menjadi kebiasaan sebagian besar orang

dewasa, kebayakan dari meraka yaitu laki-laki. Sebagai kepala keluarga sering

sekali mereka tidak menyadari bahwa rokok yang mereka hisap tidak hanya

berdampak pada dirinya sendiri tetapi juga berdampak buruk bagi orang

disekitarnya khususnya bagi kelompok yang rentan seperti balita.

Nikotin dengan ribuan bahaya beracun yang berasal dari asap rokok akan

masuk kedalam saluran pernafasan bayi dan dapat menyebakan infeksi pada

saluran pernafasan. Selain itu, racun dari nikotin yang berasal dari asap rokok juga

dapat masuk ke dalam tubuh yang masuh menyusu dari ibu yang telah terpapar

oleh asap rokok tersebut. Sehingga racun tersebut terakumulasi di dalam tubuh

bayi dan tentu saja membahayakan kesehatan si kecil (Hidayat, 2005).

Adapun faktor –faktor yang mempengaruhi keluarga perokok antara lain:

1. Perilaku merokok

Perilaku merokok dalam keluarga dapat mempengaruhi status gizi anak

balita yang tinggal serumah, karena konsumsi energi anak yang memiliki

anggota keluarga perokok lebih rendah daripada yang tidak memiliki

anggota keluarga yang perokok. Sebagai akibatnya, status gizi tersebut

lebih rendah. Perilaku kepala rumah tangga atau suami yang merupakan

perokok, akan berdampak pada kebutuhan pangan keluarga, dimana yang

Universitas Sumatera Utara

9

seharusnya cukup dipergunakan untuk kebutuhan makanan sehari-hari

tetapi akibat kebiasaan merokok, kebutuhan makan pada keluarga tersebut

menjadi berkurang karena membeli rokok.

2. Tingkat pendapatan

Menurut Irawan dalam Siregar (2015), Penggunaan rokok dapat

meningkatkan kemiskinan melalui kerentanan timbulnya resiko karena

sumber pendapatan keluarga miskin yang terbatas justru dibelanjakan

untuk rokok, yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pokok lainnya,

seperti makanan pokok, pendidikan anak, biaya kesehatan dan upaya

meningkatkan gizi anak-anak dan keluarga.

3. Jumlah anggota keluarga

Jumlah anggota keluarga sangat menentukan jumlah kebutuhan keluarga.

Semakin banyak anggota keluarga berarti semakin banyak pula jumlah

kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Begitu pula sebaliknya, semakin

sedikit anggota keluarga berarti semakin sedikit pula kebutuhan yang

harus dipenuhi keluarga. Sehingga dalam keluarga yang jumlah

anggotanya banyak, akan diikuti oleh banyaknya kebutuhan yang harus

dipenuhi. Semakin besar ukuran keluarga berarti semakin banyak anggota

keluarga yang pada akhirnya akan semakin berat beban keluarga untuk

memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

4. Tingkat Pendidikan

Menurut Todaro dalam Siregar(2015), alasan pokok mengenai pengaruh

dari pendidikan formal terhadap distribusi pendapatan adalah adanya

Universitas Sumatera Utara

10

korelasi positif antara pendidikan seseorang dengan penghasilan yang akan

diperolehnya. Maka hal tersebut akan mendorong terjadinya pendapatan

yang menimbulkan jurang kemiskinan.

2.1.1 Dampak Rokok Terhadap Kesehatan

Dampak rokok terhadap kesehatan sering disebut sebagai „Silent Killer‟

karena timbul secara perlahan dalam tempo yang relatif lama, tidak langsung dan

tidak nampak secara nyata. Selain itu rokok juga merupakan penyebab dari 50%

kebakaran yang terjadi, dan proses pengolahan rokok mengakibatkan penebangan

pohon-pohon di hutan agar kayunya dapat dipakai untuk memproses tembakau.

Seluruh dunia kebiasaan merokok memyebabkan kematian pada 2,5 juta

orang setahunnya, artinya satu kematian setiap 13 detik. Kebiasaan merokok telah

terbukti berhubungan dengan sedikitnya 25 jenis penyakit dari berbagai alat tubuh

manusia, seperti kanker paru, bronkitis kronis, emfisema dan berbagai penyakit

paru lainnya. Selain itu adalah kanker mulut , tenggorokan, pankreas dan kandung

kencing, penyakit pembuluh darah ulkus peptikum dan lain-lain.

Rokok pada dasarnya merupakan pabrik bahan kimia. Sekali satu batang

rokok dibakar maka ia akan mengeluarkan 4000 bahan kimia seperti nikotin, gas

karbon monoksida, nitrogen dan lain-lain. Bahan-bahan kimia itulah yang

kemudian menimbulkan berbagai penyakit. Setiap golongan penyakit

berhubungan dengan bahan tertentu. Kanker paru misalnya, dihubungkan dengan

kadar tar dalam rokok, penyakit jantung dihubungkan dengan gas karbon

monoksida dan nikotin ( Aditama, 2011).

Universitas Sumatera Utara

11

Makin tinggi kadar bahan berbahaya dalam satu batang rokok, maka makin

besar kemungkinan seseorang menjadi sakit jika mengisap rokok tersebut. Karena

itulah dibanyak negara dibuat aturan agar pengusaha mencantumkan kadar tar,

nikotin dan bahan berbahaya lainnya pada setiap bungkus rokok yang dijual

dipasaran. Masalahnya rokok di Indoneisa mempunyai kadar tar dan nikotin yang

lebih tinggi dari pada rokok-rokok produksi luar negeri. Karena itu perlu

dilakukan upaya terus-menerus untuk menghasilkan rokok dengan kadar tar dan

nikotin yang lebih rendah di Indonesia (Aditama, 2011).

Setelah menghisap rokok bertahun-tahun perokok mungkin menderita sakit.

Makin lama memiliki kebiasaan merokok maka makin besar kemungkinan

mendapat penyakit. Tentusaja ada juga pengaruh buruk yang segera timbul dari

asap rokok. Penderita asma juga seringkali mengeluh sesak napas dan batuk-batuk

bila disebelahnya ada orang yang menghembuskan asap rokoknya. Tetapi secara

umum, penyakit penyakit seperti kanker, jantung dan lain-lainnya akan diderita

setelah menghisap rokok selama 10-20 tahun.

2.1.2 Hubungan Asap Rokok dengan Infeksi Saluran Pernafasan Akut

Secara umum terdapat tiga faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor

lingkungan, faktor individu anak serta faktor perilaku. Faktor lingkungan meliputi

pencemaran udar dalam rumah (asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan

bakar untuk memasak dengan konsentarasi yang tinggi), ventilasi rumah dan

kepadatan hunian. Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir,

status gizi, vitamin A dan status imunisasi. Faktor perilaku meliputi perilaku

Universitas Sumatera Utara

12

pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi atau peran aktif keluarga/

masyarakat dengan menangani ISPA.

Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan

balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang seirus serta

akan menambah resiko kesakitan dari han toksik pada anak-anak. Paparan yang

terus-menerus akan menimbulkan gangguan pernafasan terutama memperberat

timbulnya infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan paru-paru pada saat

dewasa. Semakin banyak rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar

memberikan resiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila merokok

dilakukan oleh ibu bayi (Depkes RI, 2002)

Akibat gangguan asap rokok pada bayi antara lain adalah muntah, diare,

kolik (gangguan pada saluran pencernaan bayi), denyut jantung meningkat,

gangguan pernafasan pada bayi, infeksi paru-paru dan telinga, gangguan

pertumbuhan. Paparan asap rokok berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada

balita dibandingkan yang tidak terpapar asap rokok (Hidayat, 2005).

Analisis WHO, menunjukkan bahwa efek buruk asap rokok lebih besar

bagi perokok pasif dibandingkan perokok aktif. Ketika perokok membakar

sebatang rokok dan menghisapnya, asap yang dihisap oleh perokok tersebut asap

utama (mainstream), dan asap yang keluar dari ujung rokok (bagian yang

terbakar) dinamakan sidestream smoke atau asap samping. Asap samping ini

terbukti mengandung lebih banyak hasil pembakaran tembakau dibandingkan asap

utama. Asap ini mengandung karbon monoksida 5 kali lebih besar, tar dan nikotin

3 kali lipat, amonia 46 kali lipat, nikel 3 kali lipat, nitrosamine sebagai penyebab

Universitas Sumatera Utara

13

kanker kadarnya mencapai 50 kali lebih besar pada asap sampingan pada kadar

asap utama (WHO,2008).

2.1.3 Hubungan Frekuensi Merokok dengan Status Gizi Balita

Individu yang merokok umumnya memiliki indeks massa tubuh (IMT) yang

lebih rendah dibandingkan dengan bukan perokok. Merokok meningkatkan

pengeluaran energi karena efek nikotin dalam rokok dapat meningkatkan tingkat

metabolisme, mengakibatkan menurunan pengeluaran energi. Rokok yang

dibakar, kandungan nikotin akan masuk kedalam sirkulasi darah dan dalam waktu

kurang lebih 15 detik akan masuk ke otak yang kemudian nikotin akan diterima

oleh reseptor asetilkoli-nikotinik untuk memacu sistem dopaminergik pada jalur

imbalan sehingga akan mempengaruhi penekanan nafsu makan yang

menyebabkan terjadinya malnutrisi atau gizi kurang (Tarwoto, 2010).

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa semakin tinggi konsumsi

rokok maka semakin semakin rendah nilai status gizi seseorang yang berarti

kejadian status gizi kurang pada anak/remaja semakin tinggi (Aginta, 2011).

Penelitian lain menunjukkan bahwa indeks massa tubuh (IMT) pada seorang yang

merokok lebih rendah daripada seorang yang bukan perokok, dan tentunya

berhubungan langsung dengan durasi tetapi intensitas tidak merokok dengan

durasi yang lebih lama dikaitkan dengan IMT yang lebih rendah. Analisa pada

tahun 2005-2006 Kesehatan Nasional dan Survei Pemeriksaan Gizi (NHANES)

dan National Health Interview Surveytahun 2005 mengkonfirmasi temuan dari

penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa perokok berat secara signifikan

Universitas Sumatera Utara

14

mempunyai berat badan kurang dibandingkan dengan bukan perokok (Bradley,

2010).

2.2 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah radang akut saluran

pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau

bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru. ISPA

yang mengenai saluran nafas bawah, misalnya bronkitis, bila menyerang

kelompok umur tententu, khususnya bayi, anak-anak dan orang tua, akan

memberikan gambaran klinik yang berat dan jelek dan sering kali berakhir dengan

kematian. ISPA yang disebabkan oleh virus, wanita lebih rentan bila

dibandingkan dengan pria, namun waktu menstruasi wanita lebih tahan (Alsagaff,

2005).

Infeksi saluran pernafasan atas adalah infeksi yang menyerang hidung

sampai bagian faring seperti : pilek, sinusitis, otitis media (infeksi telinga tengah),

faringitis (infeksi pada tenggorokan). Infeksi saluran pernafasan atas digolongkan

ke dalam penyakit bukan pneumonia.Agen dari penyakit ISPA adalah virus dan

bakteri yang mempunyai jenis lebih dari 300 macam, dimana penularannya dapat

melalui kontak langsung dengan penderita atau melalui udara kepada orang

rentan. Pada infeksi saluran pernafasan atas 90%-95% penyebab adalah virus.

Infeksi saluran pernafasan atas (Acute Upper Resporatory Infection) dan

infeksi saluran pernafasan akut bawah (Acute Lower Respiratory), dimana infeksi

saluran pernafasan akut bawah menyerang paru-paru dan ditandai dengan batuk

dan kesusahan bernafas (pneumonia), sedangkan infeksi saluran pernafasan akut

Universitas Sumatera Utara

15

atas adalah radang saluran tenggorokan atau pharingitas dan radang telinga

tengah atau otitis (Anonim, 2000).

Infeksi Saluran Pernafasan Bagian Atas seperti : 1) pilek (commoncold)

merupakan penyakit yang sangat umum pada anak-anak. Beberapa anak mungkin

terserang penyakit ini 5 atau 6 kali setiap tahun. Keluar cairan dari hidung, sakit

tenggorokan, sakit kepala dan kadang-kadang sakit demam, dan ini biasanya

sembuh dalam 2 – 3 hari. 2)influensa, disebabkan oleh virus. Biasanya disebabkan

melalui percikan ludah yang sudah terinfeksi. Tanda dan gejalanya demam,

malaise, nause (mual seperti mau muntah), sakit kepala, muntah, tenggorokan

sakit, sakit mata, nyeri otot dan mengeluarkan cairan dari hidung yang encer.

3)tonsilitis merupakan infeksi tonsil yang disebabkan oleh berbagai jenis bakteri

dan virus. Tanda dan gejalanya anak demam dan merasa tidak enak badan, sakit

tenggorokan atau tidak, kadang nyeri perut. 4)adenitis serikal merupakan

pembengkakan dan peradangan kelenjar leher, kelenjar menjadi bengkak dan

sakit, seringkali terjadi bersama tonsilitis.

Menurut Depkes RI (2010) tanda dan gejala infeksi saluran pernafasan akut

dapat berupa:

1. Batuk.

2. Sulit bernafas

3. Sakit teggorokan

4. Pilek

5. Panas atau demam

6. Sakit kepala

Universitas Sumatera Utara

16

Klasifikasi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) menurut Depkes RI 2009

1. ISPA ringan adalah seseorang yang menderita ISPA ringan apabila

ditemukan gejala batuk, pilek dan sesak.

2. ISPA sedang apabila timbul gejala-gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari

39% Cº dan bila bernafas mengeluarkan suara mengorok.

3. ISPA berat apabila kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu

makan menurun.

Berdasarkan penelitian di berbagai negara, termasuk Indonesia dan berbagai

Publikasi ilmiah dalam Rosalina (2006), dilaporkan faktor resiko yang

meningkatkan kejadian (Morbiditas) ISPA yaitu sebagai berikut:

a. Host (Pejamu)

Manusia yang keberadaanya dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, status

ASI, status gizi, berat badan lahir, status imunisasi, pemberian vitamin A

dan pemberian makanan tambahan.

b. Agent (Infectous agent)

Faktor penyebab penyakit tersebut meliputi bakteri, virus dan parasit

(Infection agent).

c. Environment (Lingkungan)

Faktor diluar penderita yang akan mempengaruhi keberadaan host yang

terdiri dari lingkungan biologis, fisik dan sosial. Sebagai faktor lingkungan

meliputi: Bakteri, virus dan parasit, polusi udara (asap rokok dan dapur),

kepadatan tempat tinggal dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

17

Defisiensi gizi sering dihubungkan dengan infeksi. Infeksi bisa berhubungan

dengan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu : mempengaruhi nafsu makan,

dapat juga menyebabkan kehilangan bahan makanan karena diare/muntah-muntah

atau mempengaruhi makanan dan banyak cara lain lagi.

Secara umum, defisiensi gizi sering merupakan awal dari gangguan sistem

kekebalan. Gizi kurang dan infeksi, kedua-duanya dapat bermula dari kemiskinan

dan lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi buruk. Selain itu, juga diketahui

bahwa infeksi menghambat reaksi imunologis yang normal dengan menghabiskan

sumber-sumber energi di tubuh.

Gizi kurang menghambat reaksi imunologis dan berhubungan dengan

tingginya prevalensi dan beratnya penyakit infeksi saluran pernafasan. ISPA

memperburuk taraf gizi dan sebaliknya, gangguan gizi memperburuk kemampuan

anak untuk mengatasi penyakit ISPA. Kuman – kuman yang kurang berbahaya

bagi anak – anak dengan gizi baik, bisa menyebabkan kematian pada anak dengan

gizi buruk. Gizi kurang tidak hanya meningkatkan angka kesakitan dan kematian,

tetapi juga akan menurunkan produktivitas, menghambat pertumbuhan sel-sel

otak yang mengakibatkan kebodohan dan keterbelakangan. Status gizi masyarakat

dapat digambarkan terutama pada status gizi buruk. Apabila kekebalan tubuh

balita menurun maka penyakit ISPA mudah menyerang. Penyakit ISPA dan status

gizi buruk sering kali bekerjasama dan bila bekerja bersama maka akan

memberikan prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan bila kedua faktor

tadi masing-masing bekerja sendiri.

Universitas Sumatera Utara

18

2.3 Status Gizi Balita

Istilah “gizi” dan “ilmu gizi” di indonesia baru mulai dikenal sekitar

tahun1952-1955 sebagai terjemahan kata bahasa inggris Nutrition. Kata gizi

berasal dari bahasa arab “ghidza” yang berarti makanan. Menurut dialek mesir,

ghidzadibaca ghizi. Selain itu sebagian orang menerjemahkan nutrition dan

mengejanya sebagai “nutrisi”. Terjemahan ini terdapat dalam kamus umum

bahasa indonesia Badudu-Zain tahun 1994.

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang di

konsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi,

penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk

mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ,

serta menghasilkan energi (Idrus,1990).

Zat gizi (nutriens) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk

melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan fungsinya, yaitu menghasilkan energi,

membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan.

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan

menggunakan zat-zat gizi. Dibedakan antar status gizi buruk, kurang, baik dan

lebih (Almatsier, 2005).

Menentukan status gizi balita harus ada ukuran baku yang sering disebut

reference. Pengukuran baku antropomentri yang sekarang digunakan di indonesia

adalah WHO-NCHS. Menurud Harvard dalam Supariasa 2002, klasifikasi status

gizi dapat dibedakan menjadi empat yaitu:

Universitas Sumatera Utara

19

a. Gizi lebih (Over Weight)

Gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah

berlebihan sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan

(Almatsier, 2005).Kelebihan berat badan pada balita terjadi karena

ketidakmampuan antara energi yang masuk dengan keluar, terlalu banyak

makan, terlalu sedikit olahraga atau keduanya. Kelebihan berat badan anak

tidak boleh diturunkan, karena penyusutan berat akan sekaligus

menghilangkan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan (Arisman,

2007).

b. Gizi baik (wellnourished)

Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satuatau lebih

zat-zat esensial(Almatsier,2005).

c. Gizi buruk (servere PCM)

Gizi buruk adalah suatu kondisi dimana seseorang dinyatakan kekurangan

nutrisi, atau dengan ungkapanlain status nutrisinya berada dibawah standar

rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa protein, karbohidratdan kalori di

indonesia, kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah salah satu masalah

gizi utama yang banyak dijumpai pada balita.

Menurut Depkes RI (2005) Parameter BB/TB berdasarkan Z-Score

diklasifikasikan menjadi :

a.Gizi buruk (Sangat Kurus) : <-3 SD

b.Gizi kurang (Kurus) : -3 SD sampai <-2 SD

c. Gizi Baik (Normal) : -2 SD sampai + 2 SD

Universitas Sumatera Utara

20

d. Gizi lebih (Gemuk) : >+ 2 SD

Menurut Soekirman (2000), beberapa cara pengukuran status gizi dengan

menggunakan metode antropometri dapat dilakukan dengan beberapa macam

pengukuran yaitu pengukuran terhadap berat badan, tinggi badan, lingkar lengan

atas dan sebagainya. Dari beberapa pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan

dan lingkar lengan atas dengan sesuai usia adalah yang paling sering dilakukan

dalam survei gizi. Untuk keperluan perorangan dikeluarga, pengukuran berat

badan (BB)dan tinggi badan (TB) adalah yang paling dikenal. Untuk mengetahui

tingkat status gizi seorang tinggi, normal atau rendah harus dibandingkan dengan

standar internasional yang ditetapkan oleh WHO.

Indikator yang sering digunakan untuk mengetahui status gizi ada 3 macam, yaitu:

1. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Status gizi diketahui dengan melihat berat badan menurut umur, kemudian

dibandingkan dengan standar WHO. Kemungkinan yang terjadi adalah

lebih rendah, lebih tinggi, atau normal. BB/U normal digolongkan pada

status gizi baik, BB/U lebih rendah berarti status gizi kurang atau buruk

dan BB/U tinggi berarti status gizi tinggi. Status gizi kurang yang diukur

dengan indikator BB/U dikelompokkan menjadi berat badan rendah

(BBR). Menurut tingkat keparahannya, BBR dibedakan menjadi ringan

(mild), sedang (moderate) dan berat (severe). BBR tingkat berat atau

sangat berat sering disebut dengan status gizi buruk.

Universitas Sumatera Utara

21

2. Tinggi badan Menurut Umur (TB/U)

Indikator TB/U dipakai untuk mengukur status gizi balita umur 0-24 bulan

yang pengukurannya dilakukan dengan terlentang (tidak berdiri). Hasil

pengukuran dapat digolongkan menjadi tinggi badan normal, kurang dan

tinggi setelah dibandingkan dengan standar WHO. TB/U kurang disebut

pendek tidak sesuai dengan umur (PTSU). Hasil pengukuran TB/U

menggambarkan status gizi masalalu, seorang yang tergolong PTSU

kemungkinan keadaan gizi masalalu tidak baik. Indikator TB/U dapat

digunakan untuk menggambarkan riwayat keadaan gizi masalalu dan dapat

dijadikan indikator keadaan sosial ekonomi penduduk.

3. Berat Badan Menurut Tinggi badan (BB/TB)

Indikator BB/TB merupakan pengukuran antropometri yang dapat

menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik.

Berat badan berkolerasi linier dengan tinggi badan, artinya perkembangan

berat badan akan diikuti oleh pertumbuhan tinggi badan. Oleh karena itu,

berat badan yang normal akan proporsional dengan tinggi badan.

2.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita

Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi adalah:

1. Penyebab langsung

a. Asupan makanan

Asupan makanan dapat mempengaruhi pola makan serta nafsu makan

anak. Secara langsung asupan makan yang dikonsumsi anak dapat

mempengaruhi status gizi anak. Hal ini berarti zat-zat gizi yang

Universitas Sumatera Utara

22

terkandung didalam makanan mempunyai kandungan gizi yang berbeda

(Santoso,2008).

b. Infeksi

Infeksi merupakan masalah kesehatan yang penting pada anak-anak. Gizi

kurang dan infeksi dapat bermula dari kemiskinan dan lingkungan tidak

sehat dengan sanitasi buruk. Apabila anak-anak menderita infeksi saluran

pencernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu yang menyebabkan

terjadinya kekurangan gizi. Seseorang kekurangan gizi akan mudah

terserang penyakit dan menyebabkan pertumbuhan terganggu (Santoso,

2008).

c. Genetik

Faktor genetik merupakan modal dasar mencapai hasil dari pertumbuhan

yang ditentukan salah satunya dengan status gizi. Faktor genetik antara

lain termasuk sebagai faktor bawaan yang normal dan patologis, jenis

kelamin, obstetrik dan ras atau suku bangsa. Anak yang normal berbeda

dengan anak yang memiliki kelainan genetik cacat (Santoso, 2008).

2. Penyebab tidak Langsung

a. Ekonomi

Kondisi ekonomi keluarga seseorang sangat menentukan dalam

penyedian pangan dan kualitas gizi. Apabila tingkat perekonomian

seseorang baik maka status gizinya akan baik. Golongan ekonomi rendah

cenderung lebih banyak menderita gizi kurang dibandingkan golongan

menegah ke atas (Achmadi, 2009). Keadaan ekonomi keluarga juga

Universitas Sumatera Utara

23

mempengaruhi tumbuh kembang anak dan status gizinya melalui

kesiapan ekonomi keluarga dalam mengasuh anak. Kesiapan ekonomi

keluarga antara lain tergantung kecilnya pendapatan keluarga dan

pengeluaran keluarga (Santoso, 2008).

b. Pendapatan Orang Tua

Pendapatan adalah seluruh penerimaan baik berupa uang maupun barang

dari pihak lain maupun hasil sendiri. Pendapatan sebagai faktor ekonomi

mempunyai pengaruh terhadap konsumsi pangan. Jika pendapatan

meningkat, proporsi pengeluaran terhadap total pengeluaran menurun

tetapi pengeluaran absoluteuntuk makanan meningkat (Santoso, 2008).

c. Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola

konsumsi pangan yang selanjutnya akan mempengaruhi tingkat konsumsi

zat gizi dan akhirnya mempengaruhi status gizi pada anak/remaja. Gaya

hidup juga dapat berkaitan langsung dengan status gizi. Gaya hidup

meliputi kebiasaan merokok, kebiasaan konsumsi minuman keras,

kebiasaan mengkonsumsi narkoba, pola aktivitas dan pola pergaulan

d. Lingkungan

Kondisi lingkungan harus benar-benar diperhatikan agar tidak

mengganggu kesehatan. Sanitasi lingkungan yang kurang akan

memudahkan terjadinya penyakit yang dapat mempengaruhi keadaan

status gizi anak (Widaninggar, 2003). Sanitasi lingkungan sangat terkait

dengan ketersedian air bersih, ketersediaan jamban, jenis lantai rumah

Universitas Sumatera Utara

24

serta kebersihan peralatan makan yang digunakan pada setiap keluarga

(Soekirman, 2000).

2.4 Kerangka Teori

Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan

balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang seirus serta

akan menambah resiko kesakitan dari han toksik pada anak-anak. Paparan yang

terus-menerus akan menimbulkan gangguan pernafasan terutama memperberat

timbulnya infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan paru-paru pada saat

dewasa. Semakin banyak rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar

memberikan resiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila merokok

dilakukkan oleh ibu bayi (Depkes RI, 2002)

Akibat ganguan asap rokok pada bayi antara lain adalah muntah, diare,

kolik (gangguan pada saluran pencernaan bayi), denyut jantung meningkat,

gagguan pernafasan pada bayi, infeksi paru-paru dan telinga, gangguan

pertumbuhan Paparan asap rokok berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita

dibandingkan yang tidak terpapar asap rokok (Hidayat, 2005).

Menurut penelitian Aginta (2011),sejumlah penelitian telah menunjukkan

bahwa semakin tinggi konsumsi rokok maka semakin rendah nilai status gizi

seseorang yang berarti kejadian status gizi kurang pada anak/remaja semakin

tinggi. Penelitian lain menunjukkan bahwa indeks massa tubuh (IMT) pada

seorang yang merokok lebih rendah daripada seorang yang bukan perokok, dan

tentunya berhubungan langsung dengan durasi tetapi intensitas tidak merokok

dengan durasi yang lebih lama dikaitkan dengan IMT yang lebih rendah.

Universitas Sumatera Utara

25

Berdasarkan penelitian di berbagai negara, termasuk Indonesia dan berbagai

Publikasi ilmiah dalam Rosalina(2006), dilaporkan faktor resiko yang

meningkatkan kejadian (Morbiditas) ISPA yaitu sebagai berikut: Host (Pejamu):

manusia yang keberadaanya dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, status ASI,

status gizi, berat badan lahir, status imunisasi, pemberian vitamin A dan

pemberian makanan tambahan. Agent (Infectous agent): faktor penyebab penyakit

tersebut meliputi bakteri, virus dan parasit (Infection agent). Environment

(lingkungan): faktor diluar penderita yang akan mempengaruhi keberadaan host

yang terdiri dari lingkungan biologis, fisik dan sosial. Sebagai faktor lingkungan

meliputi: Bakteri, virus dan parasit, polusi udara (asap rokok dan dapur),

kepadatan tempat tinggal dan lain-lain.

Berdasarkan model yang telah dikaji UNICEF, bahwa faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan anak yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak

langsung, yakni penyebab langsung yang mempengaruhi status gizi individu yaitu

faktor makanan dan penyakit infeksi dan keduanya saling mempengaruhi.

Penyakit infeksi seperti diare dan ISPA (Infeksi Salurat Pernafasan Akut)

mengakibatkan asupan zat gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik. Faktor

penyebab tidak langsung adalah sanitasi dan penyediaan air bersih, kebiasaan cuci

tangan dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok didalam ruangan.

Selanjutnya ketersediaan pangan, pelayanan kesehatan dan pola asuh dipengaruhi

oleh tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan keluarga (DepKes RI, 2011).

Universitas Sumatera Utara

26

Berdasarkan beberapa teori dari hasil-hasil terdahulu. Adapun kerangka

teori dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber:Depkes RI, (2002), Depkes RI, (2011),

Hidayat, (2005), Rosalina, (2006), Aginta,(2011)

Status Merokok Keluarga

Paparan Asap

Rokok

Jumlah Batang

Rokok

ISPA

Status Gizi

Status Gizi

Penyebab Langsung:

a. Asupan makan

b. Infeksi

c. Genetik

Penyebab Tidak Langsung:

a. Ekonomi

b. Pendapatan

keluarga

c. Gaya hidup

d. Lingkungan

Penyebab Langsung:

a. Status gizi

b. Status ASI

c. BBL

Penyebab Tidak Langsung :

a. Asap rokok

b. Asap dapur

c. Kepadatan Hunian

d. Status Imunisasi

e. Vitamin A

f. Pemberian Makanan

Tambahan

Universitas Sumatera Utara

27

2.5 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian menggambarkan bahwa status keluarga

perokok dapat mempengaruhi penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada

balita dan juga mempengaruhi status gizi balita. Apabila kecukupan gizi kurang

maka status gizi menurun sehingga mempengaruhi daya tahan tubuh dan juga

dapat memperparah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada anak balita.

Status Merokok

Keluarga

Status Gizi

ISPA

Universitas Sumatera Utara