25
15 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokok Merokok merupakan aktifitas membakar tembakau kemudian menghisap asapnya menggunakan rokok maupun pipa (Sitepoe, 2000). Definisi yang hampir sama dikemukakan oleh Sari, Ari, Ramdhani, dkk (2003) yang mengatakan bahwa merokok merupakan aktifitas menghirup atau menghisap asap rokok menggunakan pipa atau rokok. Sumarno (dalam Mulyadi, 2007) menjelaskan 2 cara merokok yang umum dilakukan, yaitu: (1) menghisap lalu menelan asap rokok ke dalam paru-paru dan dihembuskan; (2) cara ini dilakukan dengan lebih moderat yaitu hanya menghisap sampai mulut lalu dihembuskan melalui mulut atau hidung. Pendapat lainnya mengenai definisi merokok juga dikemukakan oleh Armstrong (2007) yaitu menghisap asap tembakau yang dibakar ke dalam tubuh lalu menghembuskannya keluar. Sedangkan Levy (2004) mengatakan bahwa perilaku merokok adalah kegiatan membakar gulungan tembakau lalu menghisapnya sehingga menimbulkan asap yang dapat terhirup oleh orang-orang disekitarnya. Berdasarkan definisi merokok yang telah dikemukakan di atas, disimpulkan bahwa merokok merupakan suatu aktifitas membakar gulungan tembakau yang berbentuk rokok ataupun pipa lalu menghisap asapnya kemudian menelan atau menghembuskannya keluar melalui mulut atau hidung sehingga dapat juga terhisap oleh orang-orang disekitarnya. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

  • Upload
    lephuc

  • View
    232

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

15

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Merokok

2.1.1 Definisi Merokok

Merokok merupakan aktifitas membakar tembakau kemudian menghisap

asapnya menggunakan rokok maupun pipa (Sitepoe, 2000). Definisi yang hampir

sama dikemukakan oleh Sari, Ari, Ramdhani, dkk (2003) yang mengatakan bahwa

merokok merupakan aktifitas menghirup atau menghisap asap rokok

menggunakan pipa atau rokok. Sumarno (dalam Mulyadi, 2007) menjelaskan 2

cara merokok yang umum dilakukan, yaitu: (1) menghisap lalu menelan asap

rokok ke dalam paru-paru dan dihembuskan; (2) cara ini dilakukan dengan lebih

moderat yaitu hanya menghisap sampai mulut lalu dihembuskan melalui mulut

atau hidung.

Pendapat lainnya mengenai definisi merokok juga dikemukakan oleh

Armstrong (2007) yaitu menghisap asap tembakau yang dibakar ke dalam tubuh

lalu menghembuskannya keluar. Sedangkan Levy (2004) mengatakan bahwa

perilaku merokok adalah kegiatan membakar gulungan tembakau lalu

menghisapnya sehingga menimbulkan asap yang dapat terhirup oleh orang-orang

disekitarnya. Berdasarkan definisi merokok yang telah dikemukakan di atas,

disimpulkan bahwa merokok merupakan suatu aktifitas membakar gulungan

tembakau yang berbentuk rokok ataupun pipa lalu menghisap asapnya kemudian

menelan atau menghembuskannya keluar melalui mulut atau hidung sehingga

dapat juga terhisap oleh orang-orang disekitarnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

16

2.1.2 Kategori Perokok

Sitepoe (2000) mengkategorikan perokok berdasarkan jumlah konsumsi

rokok harian yaitu: (a) perokok ringan (1 – 10 batang/ hari), (b) perokok sedang

(11 – 20 batang/ hari), (c) perokok berat (> 20 batang/ hari). Perokok yang

mengkonsumsi rokok dalam jumlah yang lebih kecil memiliki kecenderungan

yang lebih besar untuk berhenti merokok (Kwon Myung & Gwan Seo, 2011).

Taylor (2009) menyebut istilah chippers untuk menjelaskan perokok yang

mengkonsumsi rokok kurang dari 5 batang/ hari dan biasanya chippers tidak

menjadi perokok berat sehingga sangat kecil kemungkinan mengalami

ketergantungan nikotin. Istilah lainnya pada perokok adalah social smoker yaitu

individu yang merokok hanya pada situasi sosial atau situasi tertentu misalnya

saat bertemu dengan teman lama di suatu acara atau pesta. Situasi sosial tersebut

bertindak sebagai isyarat atau pemicu untuk merokok (Hahn & Payne, 2003).

2.1.3 Tahapan Menjadi Perokok

Merokok tidak terjadi dalam sekali waktu karena ada proses yang dilalui,

antara lain: periode eksperimen awal (mencoba-coba), tekanan teman sebaya dan

akhirnya mengembangkan sikap mengenai seperti apa seorang perokok (Taylor,

2009). Ada 4 tahapan yang merupakan proses menjadi perokok (Ogden, 2000)

antara lain:

1. Tahap I dan II : Initiation dan Maintenance

Tahap initiation dan maintenance cukup sulit dibedakan. Initiation

merupakan tahap awal atau pertama kali individu merokok sedangkan

maintenance merupakan tahap dimana individu kembali merokok.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

17

Charlton (Ogden, 2000) mengatakan bahwa merokok biasanya dimulai

sebelum usia 19 tahun dan individu yang mulai merokok pada usia dewasa

jumlahnya sangat kecil. Faktor kognitif berperan besar ketika individu

mulai merokok, antara lain: menghubungkan perilaku merokok dengan

kesenangan, kebahagiaan, keberanian, kesetia-kawanan dan percaya diri.

Faktor lainnya adalah memiliki orang-tua perokok, tekanan teman sebaya

untuk merokok, menjadi pemimpin dalam kegiatan sosial dan tidak adanya

kebijakan sekolah terhadap perilaku merokok.

2. Tahap III: Cessation

Cessation merupakan suatu proses dimana perokok pada akhirnya berhenti

merokok. Tahap cessation terbagi 4, yaitu: precontemplation (belum ada

keinginan berhenti merokok), contemplation (ada pemikiran berhenti

merokok), action (ada usaha untuk berubah), maintenance (tidak merokok

selama beberapa waktu). Tahapan tersebut bersifat dinamis karena

seseorang yang berada di tahap contemplation dapat kembali ke tahap

precontemplation.

3. Tahap IV : Relapse

Individu yang berhasil berhenti merokok tidak menjadi jaminan bahwa ia

tidak akan kembali menjadi perokok. Marlatt dan Gordon (dalam Ogden,

2000) membedakan antara lapse dengan relapse. Lapse adalah kembali

merokok dalam jumlah kecil sedangkan relapse adalah kembali merokok

dalam jumlah besar. Ada beberapa situasi yang mempengaruhi pre-lapse

yaitu high risk situation, coping behavior dan positive-negative outcome

expectancies.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

18

Saat individu dihadapkan dengan high risk situation maka individu akan

melakukan strategi coping behavior berupa perilaku atau kognitif. Bentuk

perilaku misalnya menjauhi situasi atau melakukan perilaku pengganti

(makan permen karet) sedangkan bentuk kognitif adalah mengingat alasan

berhenti merokok. Positive outcome expectancies (misalnya merokok

mengurangi kecemasan) dan negative outcome expectancies (misalnya

merokok membuatnya sakit) dipengaruhi pengalaman individu. No lapse

berhasil dilakukan jika individu memiliki strategi coping dan negative

outcome expectancies serta peningkatan self efficacy yang mempengaruhi

individu tetap bertahan untuk tidak merokok. Namun, jika individu tidak

memiliki strategi coping dan memiliki positive outcome expectancies serta

self efficacy yang rendah maka individu akan mengalami lapse (kembali

merokok dalam jumlah kecil).

2.1.4 Tipe-Tipe Perilaku Merokok

Silvan Tomkins (dalam Sarafino, 2002) menyebutkan 4 tipe perilaku

merokok, yaitu:

1. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif (positif affect

smoking). Tujuannya untuk mendapatkan/ meningkatkan perasaan positif,

misalnya untuk mendapatkan rasa nyaman dan membentuk image yang

diinginkan.

2. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif (negatif affect

smoking). Tujuannya untuk mengurangi perasaan yang kurang

menyenangkan, misalnya keadaan cemas dan marah.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

19

3. Perilaku merokok yang adiktif (addictive smoking). Individu yang sudah

ketergantungan nikotin cenderung menambah dosis rokok yang akan

digunakan berikutnya karena efek rokok yang dikonsumsi sebelumnya

mulai berkurang sesaat setelah rokok habis dihisap sehingga individu

mempersiapkan hisapan rokok berikutnya. Umumnya, individu dengan

tipe perilaku merokok yang adiktif merasa gelisah bila tidak memiliki

persediaan rokok.

4. Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan (habitual smoking).

Dalam hal ini, tujuan merokok bukan untuk mengendalikan perasaannya

secara langsung melainkan karena sudah terbiasa.

2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok

Taylor (2009) mengatakan bahwa kumpulan teman sebaya dan anggota

keluarga yang merokok menimbulkan persepsi bahwa merokok tidak berbahaya

sehingga meningkatkan dorongan untuk merokok. Perokok berpendapat bahwa

berhenti merokok merupakan hal yang sulit, meskipun mereka sendiri masih

tergolong sebagai perokok yang baru (Floyd, Mimms & Yelding, 2003). Ada

beberapa alasan sehingga perokok tetap merokok, antara lain: pengaruh anggota

keluarga yang merokok, untuk mengontrol berat badan, membantu mengatasi

stres, self esteem yang rendah dan pengaruh lingkungan sosial (Floyd, Mimms &

Yelding, 2003). Selain itu, rendahnya self efficacy (keyakinan terhadap

kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik) khususnya yang berkaitan

dengan perilaku merokok yaitu keyakinan terhadap kemampuan untuk mengontrol

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

20

keinginan merokok sangat berpengaruh terhadap berlanjutnya perilaku merokok

(Bandura, 1997).

2.1.6 Efek Positif dan Negatif Merokok

Efek positif merokok yaitu menimbulkan perasaan bahagia karena

kandungan nikotin pada tembakau menstimulasi adrenocorticotropic hormone

(ACTH) yang terdapat pada area spesifik di otak (Hahn & Payne, 2003). Rose

(Marks, Murray, et al, 2004) mengatakan bahwa nikotin yang dikonsumsi dalam

jumlah kecil memiliki efek psikofisiologis, antara lain: menenangkan, mengurangi

berat badan, mengurangi perasaan mudah tersinggung, meningkatkan kesiagaan

dan memperbaiki fungsi kognitif. Istilah nicotine paradox digunakan oleh Nesbih

(Marks, Murray, et al, 2004) untuk menjelaskan adanya pertentangan antara efek

fisiologis nikotin sebagai stimulan dan menenangkan yaitu kondisi menenangkan

diperoleh saat perokok kembali merokok setelah mengalami gejala withdrawal

akibat pengurangan atau penghentian nikotin. Meskipun demikian, efek positif

merokok sangat kecil dibandingkan dengan efek negatifnya terhadap kesehatan

(Ogden, 2000).

Hahn & Payne (2003) mengatakan bahwa perokok aktif biasanya lebih

mudah sakit, menjalani proses pemulihan kesehatan yang lebih lama dan usia

hidup yang lebih singkat. Merokok tidak menyebabkan kematian tetapi

mendorong munculnya jenis penyakit yang dapat mengakibatkan kematian, antara

lain : penyakit kardiovaskuler, kanker, saluran pernapasan, gangguan kehamilan,

penurunan kesuburan, gangguan pencernaan, peningkatan tekanan darah,

peningkatan prevalensi gondok dan gangguan penglihatan (Sitepoe, 2000). Secara

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

21

signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi obat-obatan

terlarang dan meningkatkan resiko disfungsi ereksi sebesar 50% (Taylor, 2009).

Merokok tidak hanya berbahaya bagi perokok tetapi juga bagi orang-orang

di sekitar perokok dan lingkungan (Floyd, Mimms & Yelding, 2003). Passive

smokers memiliki kecenderungan yang lebih besar mengalami gangguan jantung

karena menghirup tar dan nikotin 2 kali lebih banyak, karbonmonoksida 5 kali

lebih banyak dan amonia 50 kali lebih banyak (Donatelle & Davis, 1999). Polusi

lingkungan yang menyebabkan kematian terbesar adalah karena asap rokok dan

dikategorikan sebagai penyebab paling dominan dalam polusi ruangan tertutup

karena memberikan polutan berupa gas dan logam-logam berat (Donatelle &

Davis, 1999). Gangguan akut dari polusi ruangan akibat rokok adalah bau yang

kurang menyenangkan pada pakaian serta menyebabkan iritasi mata, hidung, dan

tenggorokan. Bagi penderita asma, polusi ruangan akan menstimulasi kambuhnya

penyakit asma (Sitepoe, 2000).

2.2 Self Efficacy

2.2.1 Definisi Self Efficacy

Keyakinan memiliki pengaruh yang lebih besar pada motivasi, afektif dan

perilaku dibandingkan dengan kondisi atau situasi yang sesungguhnya. Bandura

(1997) mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan individu terhadap

kemampuannya untuk melakukan sesuatu dengan baik. Individu yang tidak yakin

dengan kemampuannya untuk mencapai hasil yang baik maka ia tidak akan

mencurahkan usahanya untuk melakukan sesuatu hal secara maksimal. Myer

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

22

(1996) mengatakan bahwa self efficacy adalah bagaimana seseorang merasa

mampu untuk melakukan suatu hal.

Self efficacy tidak hanya berfokus pada latihan mengontrol tindakan, tetapi

juga berfokus pada mengontrol pola pikir, motivasi dan kondisi afektif serta

fisiologis. Individu dapat gagal menampilkan hal terbaik yang dimilikinya

meskipun sebenarnya ia tahu apa yang harus dilakukan dan memiliki kemampuan

melakukannya. Hal ini dipengaruhi oleh perceived self efficacy yang tidak hanya

berfokus pada kemampuan yang dimiliki, namun pada keyakinan untuk

melakukannya dengan baik (Bandura, 1997).

Berdasarkan beberapa definisi self efficacy yang telah disebutkan, dapat

disimpulkan bahwa self efficacy adalah keyakinan individu terhadap

kemampuannya untuk melakukan suatu tindakan dengan baik (meliputi pola pikir,

motivasi dan afeksi serta fisiologis) sehingga individu berusaha menampilkan hal

terbaik yang dimilikinya guna mencapai suatu hasil atau tujuan dengan maksimal.

2.2.2 Sumber Pembentuk Self Efficacy

Bandura (1997) mengatakan ada 4 sumber pembentuk self efficacy antara

lain: mastery experiences, vicarious experiences, persuasi verbal serta kondisi

fisiologis dan afektif (emotional arousal).

1. Mastery Experiences

Mastery experiences merupakan pengalaman belajar yang diperoleh

melalui learning by doing atau experiental learning. Menurut Bandura

(1997), mastery experiences merupakan sumber terbesar dalam

pembentukan self efficacy karena aspek ini didasarkan pada pengalaman

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

23

keberhasilan. Keberhasilan akan meningkatkan harapannya untuk

menguasai sesuatu hal, dan sebaliknya kegagalan yang berulang akan

menurunkan harapan untuk menguasai sesuatu hal. Besarnya self efficacy

yang terbentuk dalam diri individu bergantung pada beberapa hal, antara

lain: (1) banyaknya kesuksesan dan kegagalan yang dialami; (2) persepsi

terhadap tingkat kesulitan; (3) usaha yang dilakukan dalam mencapai

tujuan; (4) pengalaman yang diingat dan direkonstruksi oleh daya ingat;

dan (5) banyaknya bantuan eksternal dari lingkungan.

2. Vicarious Experiences

Self efficacy dapat ditingkatkan melalui pengalaman keberhasilan orang

lain. Saat melihat keberhasilan orang lain yang memiliki kemampuan yang

sama dengan individu, maka individu akan merasa yakin bahwa dirinya

juga dapat berhasil. Peran vicarious experience terhadap self efficacy,

sangat dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap dirinya yang memiliki

kesamaan dengan model. Semakin seseorang merasa dirinya mirip dengan

model, maka kesuksesan dan kegagalan model akan semakin

mempengaruhi self efficacy. Pengamatan terhadap perilaku dan cara

berfikir model tersebut, akan memberi pengetahuan dan pelajaran

mengenai strategi dalam menghadapi berbagai tuntutan lingkungan.

3. Persuasi Verbal

Self efficacy juga dapat ditingkatkan melalui pernyataan yang disampaikan

orang lain secara lisan. Keyakinan yang diperoleh melalui proses persuasi

verbal, sifatnya lemah dan biasanya untuk jangka waktu yang singkat.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

24

Meskipun demikian, pernyataan orang lain yang disampaikan secara terus

menerus akan membentuk keyakinan yang relatif menetap.

4. Physiological and Affective State

Individu biasanya memandang stres dan kecemasan sebagai tanda

ketidakmampuan diri. Level of arousal merupakan ambang ketergugahan

emosi seseorang dalam menghadapi suatu keadaan atau situasi tertentu.

Ambang ketergugahan emosi pada tingkat rendah mengakibatkan individu

mudah cemas ketika menyelesaikan suatu masalah yang disebabkan oleh

perasaan tidak mampu. Sebaliknya, individu yang memiliki ambang

ketergugahan emosi yang tinggi lebih mampu bersikap tenang menghadapi

suatu masalah serta berusaha untuk menyelesaikannya dengan baik. Selain

itu, informasi mengenai kondisi fisiologis mempengaruhi penilaian

individu terhadap kemampuannya.

2.2.3 Manfaat Self Efficacy

Self efficacy merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi

perilaku. Selain itu, self efficacy juga memiliki manfaat yang cukup besar dalam

kehidupan individu, diantaranya sebagai berikut (Bandura, 1997):

a. Pembentukan Perilaku

Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan selalu menerapkan

apa yang dapat dilakukannya dalam menghadapi suatu tugas untuk

mencapai tujuan yang diinginkannya.

b. Motivasi Diri

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

25

Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan memiliki kualitas

dan kuantitas yang baik dalam melakukan segala usahanya dan tidak

mudah menyerah dalam mencapai keinginannya.

c. Pola Pikir

Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi, memiliki pola pikir yang

positif. Saat menghadapi permasalahan ia mampu membuat perencanaan

untuk penyelesaian masalah dan menganggap kegagalan sebagai

keberhasilan yang tertunda serta tidak menyesali kegagalannya tersebut.

2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy

a. Cognitive Processes

Perilaku diatur oleh pemikiran yang berfungsi mewujudkan tujuan

dan penetapan tujuan tersebut dipengaruhi oleh penilaian terhadap

kemampuan diri. Semakin tinggi self efficacy, maka semakin tinggi tujuan

yang ditetapkan dan ada komitmen untuk mencapainya. Individu yang

memiliki self efficacy yang tinggi mampu memvisualisasi kesuksesan yang

memberikan petunjuk positif dan dukungan terhadap performa. Individu

yang meragukan keberhasilan, memvisualisasikan skenario kegagalan dan

sulit mencapai tujuan karena ada keraguan terhadap diri. Fungsi utama

pemikiran adalah untuk memampukan individu memprediksi kejadian dan

mengembangkan cara mengontrol hal-hal yang mempengaruhi kehidupan.

b. Motivational Processes

Self efficacy memiliki peran penting dalam motivasi dan motivasi

adalah hasil kognitif. Individu memotivasi dirinya dan membimbing

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

26

tindakan antisipatori dengan melatih pemikiran. Individu yang memiliki

efficacy yang tinggi, menghubungkan kegagalan dengan kurangnya usaha,

sedangkan individu yang memiliki efficacy yang rendah menghubungkan

kegagalan dengan kemampuan yang rendah. Dalam teori expectancy-

value, motivasi diatur oleh harapan bahwa perilaku akan memberikan hasil

dan manfaat. Namun, individu bertindak sesuai dengan keyakinan

terhadap apa yang dapat dilakukan, serta pada keyakinan terhadap hasil

tindakannya. Self efficacy berkontribusi terhadap motivasi dalam beberapa

cara: menentukan tujuan yang ditetapkan individu pada dirinya, besarnya

usaha serta kebertahanan menghadapi kesulitan dan kegagalan. Individu

yang meragukan kemampuannya akan mengurangi usaha dan mudah

menyerah saat dihadapkan dengan rintangan atau kegagalan.

c. Affective Processes

Keyakinan individu terhadap kemampuan kopingnya

mempengaruhi seberapa besar tekanan dan depresi yang mereka alami

pada situasi atau kondisi yang sulit. Individu yang tidak yakin terhadap

kemampuannya dalam mengontrol ancaman, memandang lingkungan

sebagai sesuatu yang berbahaya. Mereka memperbesar tingkat

kemungkinan keparahan dan khawatir terhadap hal yang jarang terjadi,

sedangkan individu yang memiliki self efficacy yang tinggi memiliki

keberanian dalam melakukan kegiatan yang beresiko. Kecemasan tidak

hanya dipengaruhi oleh koping efficacy, namun juga keyakinan untuk

mengontrol pemikiran yang mengganggu.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

27

Perceived self efficacy yang berkaitan dengan mengontrol proses

pemikiran adalah faktor terpenting untuk meregulasi pemikiran yang

berkaitan dengan stres dan depresi. Semakin kuat perceived self regulatory

efficacy yang dimiliki individu, maka semakin besar kesuksesan dalam

mengurangi habit yang mengganggu kesehatan dan mengadopsi serta

mengintegrasikan habit yang berkaitan dengan kesehatan menjadi gaya

hidup rutin.

d. Selection Processes

Individu adalah bagian dari lingkungannya, sehingga keyakinan

berpengaruh pada jenis kegiatan dan lingkungan. Individu menghindari

kegiatan dan situasi yang diyakini melebihi kemampuan koping mereka,

namun mereka siap melakukan kegiatan yang menantang dan memilih

situasi yang diyakini dapat ditangani. Dengan pilihan yang mereka buat,

individu mengembangkan kompetensi, minat dan jaringan yang berbeda

dalam menentukan program hidup. Pilihan karir dan pengembangan adalah

salah satu contoh kekuatan self efficacy untuk mempengaruhi jalan

kehidupan melalui pilihan yang berkaitan dengan proses. Semakin tinggi

perceived self efficacy maka semakin luas pilihan karir, semakin besar

minat dan semakin baik persiapan diri melalui pendidikan untuk

pengejaran karir yang dipilih dan semakin besar kesuksesan mereka.

2.2.5 Smoking Self Efficacy

Smoking self efficacy adalah keyakinan individu terhadap kemampuanya

untuk mengontrol atau menahan keinginan merokok (Fischer & Corcoran, 1987).

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

28

Smoking self efficacy berpengaruh dan berperan penting terhadap keberhasilan

mengurangi ataupun berhenti merokok. Smoking self efficacy diukur

menggunakan kuisioner yaitu smoking self efficacy questionnaire (SSEQ) yang

terdiri dari 17 aitem yang menggambarkan situasi pemicu keinginan merokok

(high risk situation). Cara pengisian kuisioner smoking self efficacy dilakukan

dengan memberikan skor untuk setiap aitem yang bergerak kontinum dari skor 10

hingga 100, sehingga skor minimal adalah 10 x 17 aitem = 170 dan skor maksimal

adalah 100 x 17 aitem = 1.700 untuk masing-masing responden.

2.2.6 High Risk Situation

Merokok dipicu oleh high risk situation (HRS) yang merupakan situasi

atau kondisi yang bersumber dari lingkungan (eksternal) maupun diri sendiri

(internal). High risk situation tersebut biasanya memunculkan dorongan kuat

untuk merokok sehingga perlu dikenali dan diantisipasi (Woerpel, Wright &

Wetter, 2007). Pada penelitian ini, terdapat 17 high risk situation yang menjadi

pemicu keinginan merokok yang dikemukakan oleh Fischer & Corcoran (1987),

antara lain:

1) Mengikuti ujian yang penting dan merasa gagal mengerjakannya.

2) Merasa kecewa dan menyalahkan diri sendiri karena seorang teman tiba-

tiba membatalkan janji ketemu yang sudah direncanakan jauh-jauh hari.

3) Bertengkar dengan pacar atau teman sehingga menjadi uring-uringan dan

sangat marah.

4) Merasa rileks dan senang saat sedang berjalan-jalan di malam hari.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

29

5) Selesai makan malam di sebuah restoran, lalu melihat teman-teman

memesan kopi dan duduk-duduk sambil merokok.

6) Bersama teman yang perokok berat namun tidak ingin mereka tahu bahwa

anda sedang berusaha mengurangi rokok.

7) Pulang dari sekolah atau tempat kerja dalam keadaan penat dan capek.

Sepanjang hari tersebut anda merasa cemas, frustasi dan gagal.

8) Duduk sendirian di rumah dalam keadaan murung memikirkan masalah-

masalah dan kegagalan yang dialami.

9) Menonton acara televisi.

10) Sedang belajar.

11) Sedang membaca buku cerita.

12) Menonton secara langsung pertandingan olah-raga atau suatu pertunjukan.

13) Mengobrol di telepon.

14) Minum kopi atau minuman ringan lainnya.

15) Baru selesai makan.

16) Mengobrol atau bersosialisasi dengan teman.

17) Bermain kartu.

2.3 Focus Groups Discussion (FGD)

2.3.1 Definisi Focus Groups Discussion

Irwanto (2006) mengatakan bahwa focus group discussion (FGD) adalah

suatu proses pengumpulan data dan informasi yang sistematis mengenai suatu

permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. Menurut

Henning & Coloumbia (1990), FGD adalah wawancara dari sekelompok kecil

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

30

orang yang dipimpin seorang narasumber atau moderator yang secara halus

mendorong peserta untuk berani berbicara terbuka dan spontan tentang hal yang

dianggap penting dan berhubungan dengan topik diskusi saat itu.

Prawitasari (2011) mengatakan bahwa FGD biasanya terdiri dari 7 – 10

orang yang diseleksi karena memiliki karakteristik yang sama sehubungan dengan

topik yang dibicarakan di dalam kelompok. Yang terpenting pada FGD adalah

homogenitas anggota karena anggota yang homogen akan memudahkan

kepemimpinan terapis, terutama terapis yang baru. Homogenitas disini berarti

bahwa kelompok terdiri atas sekelompok orang yang mempunyai karakteristik

tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa FGD adalah proses

pengumpulan data atau informasi secara sistematis pada sekelompok kecil

individu yang memiliki karakteristik tertentu berkaitan dengan topik pembicaraan

dan dipandu oleh seorang moderator yang bertugas mendorong peserta untuk

terbuka mengemukakan pendapatnya selama proses diskusi berlangsung.

2.3.2 Tujuan Focus Groups Discussion

Tujuan FGD adalah untuk memperoleh masukan maupun informasi

mengenai suatu permasalahan yang bersifat spesifik (Irwanto, 2006). Menurut

Prawitasari (2011), FGD dapat digunakan untuk mengungkapkan motivasi yang

mendasari perilaku dan untuk melihat kepercayaan yang mendasari perilaku.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa FGD bertujuan untuk mendapatkan

informasi mengenai suatu hal yang bersifat spesifik serta mengungkapkan

motivasi dan keyakinan yang mendasari perilaku.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

31

2.3.3 Manfaat Focus Groups Discussion

Gloria & Catherine (2007) mengemukakan beberapa manfaat penggunaan

FGD, antara lain: (1) Proses FGD menyediakan metode yang terstruktur dan

teroganisasi untuk mengumpulkan informasi dari beberapa partisipan. Selain itu,

FGD merupakan cara yang cepat dan efektif untuk mendorong munculnya

pemikiran baru dan secara bersamaan membangun ketertarikan dan komitmen

terhadap perubahan. (2) Data yang terkumpul melalui FGD memberikan informasi

yang lebih banyak dibandingkan survey. (3) FGD menyediakan data kualitatif

yang rinci, sehingga topik yang didiskusian dapat dipahami lebih mendalam. (4)

Proses FGD memungkinkan partisipan untuk berkontribusi memberikan pendapat

tanpa persiapan atau usaha yang besar.

Morgan (dalam Monique Hennink, 2007) mengatakan bahwa proses pada

FGD mendorong munculnya insight yang diperoleh karena adanya interaksi dalam

kelompok. Selain itu juga dikatakan bahwa pada proses FGD, partisipan dapat

merespon komentar partisipan lainnya dalam kelompok sehingga dapat

memunculkan refleksi, perubahan pendapat dan pembenaran berkaitan dengan

topik yang dibahas. Manfaat lainnya adalah FGD dapat digunakan untuk

mempelajari dinamika yang terjadi pada kelompok, antara lain: bagaimana suatu

ide dihasilkan, mengidentifikasi munculnya kesepakatan kelompok atau konflik

serta pengaruh dari partisipan yang dominan atau pasif (Monique Hennink, 2007).

2.3.4 Proses Focus Groups Discussion

Proses pelaksanaan FGD menurut Prawitasari (2011) meliputi persiapan,

pelaksanaan, dan penyajian data. Berikut ini adalah penjelasannya.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

32

A. Persiapan

Persiapan yang pokok meliputi tersedianya moderator yang terampil.

Menurut Hardon, Brudon-Jakobowicz, dan Reeler (dalam Prawitasari, 2011)

moderator tidak perlu memiliki kualifikasi akademik tinggi, tetapi harus

mengetahui tujuan diskusi dan memiliki keterampilan komunikasi. Keterampilan

tersebut meliputi: mendorong seluruh partisipan untuk berdiskusi; memberikan

stimulasi diskusi antara partisipan, terutama bila informasi baru diberikan, atau

perspektif yang berbeda dikemukakan; membimbing kelompok dari topik satu ke

topik lainnya. Selain pemandu yang terampil, tempat untuk diskusi juga harus

ditentukan dan yang terpenting adalah tempat tersebut harus netral.

Persiapan lainnya meliputi pemilihan kelompok. Kelompok sebaiknya

homogen, misalnya dari segi usia, status sosial ekonomi untuk menghindari

adanya kesenjangan hirarki yang memungkinkan terjadinya pengaruh dari orang

yang berstatus lebih tinggi. Selain itu, yang harus dipersiapkan lagi adalah topik

yang akan dibahas dalam kelompok serta tujuannya sehingga perlu dibuat

pedoman. Pedoman ini meliputi seluruh prosedur pelaksanaan FGD, mulai dari

pengantar, termasuk permintaan ijin untuk rekaman, perkenalan, pembahasan tiap-

tiap topik berikut pertanyaan probing (menanyakan lebih dalam lagi tentang apa

yang baru saja diungkapkan), dan penutup. Untuk tiap tahapan FGD perlu

diperkirakan waktu yang akan digunakan. Biasanya pengantar dan perkenalan

dilakukan tidak lebih dari 15 menit. Diskusi berjalan sekitar 1 jam. Sepuluh menit

untuk merangkum apa yang telah terjadi selama diskusi dan tambahan informasi

yang akan diberikan oleh anggota kelompok. Lima menit terakhir dapat digunakan

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

33

untuk penutup yang meliputi pernyataan terima-kasih atas partisipasi peserta

diskusi dan pentingnya informasi yang telah mereka berikan.

Secara ringkas, Eko Budiarto (2003) mengemukakan tahapan persiapan

dalam FGD yaitu menentukan tujuan dan penyusunan pedoman diskusi sesuai

dengan pokok bahasan; menentukan kriteria peserta diskusi; menetukan jumlah

peserta dalam suatu kelompok; mencari peserta diskusi yang sesuai dengan

kriteria yang telah ditentukan; mempersiapkan fasilitas lainnya (lokasi diskusi,

alat perekam dan dokumentasi); mempersiapkan daftar pertanyaan yang akan

digunakan; mengadakan perjanjian dengan peserta mengenai tempat dan waktu

pelaksanaan diskusi.

B. Pelaksanaan

Dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan beberapa hal. Salah satunya

adalah bahwa pemandu sudah harus berada di tempat sebelum kelompok dimulai.

Setelah kelompok terkumpul, diskusi dapat dimulai dengan pengantar dan

perkenalan. Di dalam pengantar, pemandu memperkenalkan diri serta

mengemukakan tujuan diskusi. Konfidensialitas perlu ditekankan disini; siapa saja

yang akan mempunyai akses terhadap rekaman perlu dikemukakan. Diskusi dapat

dimulai setelah semua memperkenalkan diri.

C. Penyajian Data

Hasil FGD dapat disajikan sesuai dengan tujuan FGD. Pertama kali yang

perlu dilakukan adalah membuat transkip verbatim (kata per kata yang diucapkan

oleh responden) jalannya diskusi. Ini merupakan prosedur yang membutuhkan

ketelatenan. Penyajian data dapat berupa ringkasan hasil diskusi dan diperkuat

dengan kutipan-kutipan verbatim yang dikemukakan oleh responden. Penyajian

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

34

hasil FGD juga perlu disesuaikan dengan tujuan penelitian dan biasanya hasil

disajikan berupa narasi.

2.3.5 Kelebihan dan Keterbatasan Focus Groups Discussion

FGD memiliki kelebihan dan keterbatasan dalam penggunaannya. Berikut

ini adalah penjelasan mengenai kelebihan FGD yang dikemukakan oleh

Prawitasari (2011).

a) Kelompok terarah memberikan data yang berasal dari sekelompok orang

dengan lebih cepat dan murah. Kelompok ini juga dapat dikumpulkan

relatif lebih mudah dan cepat dibandingkan survey yang sistematis dan

besar.

b) Dalam kelompok terarah, peneliti dan responden dapat berinteraksi secara

langsung. Ini memberikan kesempatan untuk menanyai kembali,

memperoleh penjelasan, dan tindak lanjut pertanyaan terdahulu. Kelompok

juga memberi kesempatan peneliti untuk mengamati komunikasi non-

verbal seperti ekspresi wajah, postur, gestur, maupun nada suara

responden dalam menyampaikan pendapatnya.

c) Format terbuka dalam kelompok terarah memberikan kesempatan untuk

memperoleh data yang banyak dan kaya dalam kalimat-kalimat responden

sendiri. Peneliti dapat memperoleh arti yang dalam, membuat hubungan

antara satu pernyataan dengan pernyataan lainnya.

d) Kelompok terarah memberikan kesempatan bagi responden untuk

mengemukakan pendapatnya setelah mendengar pendapat orang lain

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

35

dalam kelompok. Hal ini tidak mungkin terjadi dalam wawancara

individual.

e) Hasil kelompok terarah mudah dimengerti. Peneliti dan pengambil

keputusan dapat dengan cepat mengerti respon verbal responden. Hal ini

tidak mungkin diperoleh dari instrumen lain yang mungkin membutuhkan

analisis statistik yang rumit.

f) Kedalaman respons yang diperoleh melalui metode ini yang tidak dapat

diperoleh melalui metode kuantitatif.

Diskusi kelompok terarah juga memiliki keterbatasan. Keterbatasannya

adalah dibutuhkannya pemandu yang terampil dalam interaksi sosial. Ia perlu

mempunyai karakteristik tertentu seperti pemimpin yang baik dalam terapi

kelompok (Prawitasari, 1991). Syarat tersebut antara lain adalah penerimaan tanpa

penilaian, empati, kepekaan terhadap komunikasi non-verbal, tegas tetapi halus

dalam memotong anggota yang sangat dominan, mendorong anggota yang pasif

untuk memberikan pendapatnya, mengarahkan diskusi pada topik yang telah

ditentukan sebelumnya.

Keterbatasan lainnya adalah FGD tidak dapat diulang persis sama, namun,

bila 2 kelompok memperlihatkan hasil yang relatif ajeg meskipun diskusi

dilakukan dengan tenggang waktu sekitar 3 bulan, maka hasil temuan FGD dapat

disebut ajeg. Hasil FGD perlu diartikan dengan hati-hati, akan lebih baik bila hasil

FGD dicek kembali melalui kuesioner dan dikenakan pada sampel yang lebih

luas. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Eko Budiarto (2003) mengenai

keterbatasan FGD adalah kurangnya fasilitator yang ahli, hasil yang tidak dapat

dikuantifikasi dan bersifat subjektif berdasarkan persepsi fasilitator.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

36

2.4 Efektifitas Focus Group Discussion Terhadap Smoking Self Efficacy

Bandura (1997) mengatakan bahwa self efficacy merupakan komponen

yang sangat penting dalam perubahan perilaku. Penelitian yang dilakukan oleh

DiClemente (Ogden, 2000) mengenai hubungan antara tahapan merokok dengan

keberhasilan berhenti merokok, mempertimbangkan aspek self efficacy dengan

cara mengukur smoking abstinence self efficacy untuk melihat tingkat keyakinan

individu terhadap keberhasilannya tidak merokok dalam 20 situasi yang sulit.

Individu yang memiliki keyakinan yang tinggi terhadap kemampuannya untuk

berhenti merokok memiliki tingkat kesuksesan yang lebih besar untuk berhenti

merokok. Selain itu juga dikatakan bahwa self efficacy merupakan konstruk

psikologis yang penting dan memiliki keterkaitan serta keterlibatan langsung

dengan berhenti merokok (Spek, Pouwer & Pop, 2012).

Hasil penelitian mengenai peran self efficacy terhadap perilaku merokok

yang dilakukan terhadap 250 perokok yang merupakan mahasiswa perguruan

tinggi di Nigeria diperoleh bahwa self efficacy secara signifikan mempengaruhi

perilaku merokok (Momoh, Imhonde, 2008). Kesimpulan yang diperoleh dari

hasil penelitian yang dilakukan oleh Wismanto & Sarwo (2010) mengenai

konsistensi niat dan perilaku berhenti merokok pada karyawan sekretariat daerah

kabupaten/ kotamadya di Jawa Tengah, ditemukan bahwa keyakinan individu

terhadap kemampuannya untuk berhenti merokok merupakan sumber yang

memiliki pengaruh terbesar terhadap niat berhenti merokok. Hal tersebut senada

dengan pernyataan Engels & Willemsen (dalam Wismanto & Sarwo, 2010) yang

mengatakan bahwa penilaian tidak mampu untuk berhenti merokok berakibat pada

perilaku merokok yang terus berlangsung.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

37

Peneliti memanfaatkan FGD sebagai intervensi pada penelitian ini untuk

memfasilitasi perubahan pada pemikiran dan persepsi terhadap kemampuan untuk

mengontrol keinginan merokok yang merupakan bagian dari self efficacy. Lennon

et, al (2005) mengatakan bahwa FGD merupakan cara atau metode yang sangat

efektif untuk mendapatkan ide baru dan sekaligus membangun ketertarikan serta

komitmen terhadap perubahan. Selain itu, FGD bermanfaat untuk membentuk

kesadaran dan memfasilitasi perubahan perilaku pada konteks pendidikan

kesehatan (Puchta & Potter, 2004). Melalui kegiatan FGD, respoden dapat saling

bertukar pendapat mengenai pengalaman keberhasilan dalam mengaplikasikan

tindakan mengontrol keinginan merokok sehingga memperoleh pembelajaran baik

secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, kegiatan FGD dimanfaatkan

untuk membentuk persepsi subjektif responden terhadap kemampuan yang

dimilikinya dalam mengontrol keinginan merokok pada high risk situation yang

merupakan stimulus pemicu keinginan merokok.

FGD merupakan kegiatan yang dilakukan secara berkelompok. Prawitasari

(2011) mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan secara berkelompok dapat

memfasilitasi pembentukan harapan agar responden tetap terlibat dalam

kelompok, responden merasa tidak sendirian dengan permasalahannya, adanya

pembelajaran (berbagi informasi), responden merasa berperan saat memberikan

masukan kepada kelompok, belajar sosialisasi, terjadi peniruan tingkah laku

(modeling) dan terbentuknya kesadaran diri atas feedback yang diberikan oleh

anggota kelompok. Hal tersebut tentunya bermanfaat dalam peningkatan smoking

self efficacy sebagai tujuan dalam penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

38

KERANGKA BERFIKIR

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Merokokrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40730/3/Chapter II.pdf · signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi

39

2.5 HIPOTESA

Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah focus group discussion

efektif untuk meningkatkan smoking self efficacy pada kelompok pria dewasa

awal kategori perokok sedang.

Universitas Sumatera Utara