Upload
lephuc
View
232
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
15
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Merokok
2.1.1 Definisi Merokok
Merokok merupakan aktifitas membakar tembakau kemudian menghisap
asapnya menggunakan rokok maupun pipa (Sitepoe, 2000). Definisi yang hampir
sama dikemukakan oleh Sari, Ari, Ramdhani, dkk (2003) yang mengatakan bahwa
merokok merupakan aktifitas menghirup atau menghisap asap rokok
menggunakan pipa atau rokok. Sumarno (dalam Mulyadi, 2007) menjelaskan 2
cara merokok yang umum dilakukan, yaitu: (1) menghisap lalu menelan asap
rokok ke dalam paru-paru dan dihembuskan; (2) cara ini dilakukan dengan lebih
moderat yaitu hanya menghisap sampai mulut lalu dihembuskan melalui mulut
atau hidung.
Pendapat lainnya mengenai definisi merokok juga dikemukakan oleh
Armstrong (2007) yaitu menghisap asap tembakau yang dibakar ke dalam tubuh
lalu menghembuskannya keluar. Sedangkan Levy (2004) mengatakan bahwa
perilaku merokok adalah kegiatan membakar gulungan tembakau lalu
menghisapnya sehingga menimbulkan asap yang dapat terhirup oleh orang-orang
disekitarnya. Berdasarkan definisi merokok yang telah dikemukakan di atas,
disimpulkan bahwa merokok merupakan suatu aktifitas membakar gulungan
tembakau yang berbentuk rokok ataupun pipa lalu menghisap asapnya kemudian
menelan atau menghembuskannya keluar melalui mulut atau hidung sehingga
dapat juga terhisap oleh orang-orang disekitarnya.
Universitas Sumatera Utara
16
2.1.2 Kategori Perokok
Sitepoe (2000) mengkategorikan perokok berdasarkan jumlah konsumsi
rokok harian yaitu: (a) perokok ringan (1 – 10 batang/ hari), (b) perokok sedang
(11 – 20 batang/ hari), (c) perokok berat (> 20 batang/ hari). Perokok yang
mengkonsumsi rokok dalam jumlah yang lebih kecil memiliki kecenderungan
yang lebih besar untuk berhenti merokok (Kwon Myung & Gwan Seo, 2011).
Taylor (2009) menyebut istilah chippers untuk menjelaskan perokok yang
mengkonsumsi rokok kurang dari 5 batang/ hari dan biasanya chippers tidak
menjadi perokok berat sehingga sangat kecil kemungkinan mengalami
ketergantungan nikotin. Istilah lainnya pada perokok adalah social smoker yaitu
individu yang merokok hanya pada situasi sosial atau situasi tertentu misalnya
saat bertemu dengan teman lama di suatu acara atau pesta. Situasi sosial tersebut
bertindak sebagai isyarat atau pemicu untuk merokok (Hahn & Payne, 2003).
2.1.3 Tahapan Menjadi Perokok
Merokok tidak terjadi dalam sekali waktu karena ada proses yang dilalui,
antara lain: periode eksperimen awal (mencoba-coba), tekanan teman sebaya dan
akhirnya mengembangkan sikap mengenai seperti apa seorang perokok (Taylor,
2009). Ada 4 tahapan yang merupakan proses menjadi perokok (Ogden, 2000)
antara lain:
1. Tahap I dan II : Initiation dan Maintenance
Tahap initiation dan maintenance cukup sulit dibedakan. Initiation
merupakan tahap awal atau pertama kali individu merokok sedangkan
maintenance merupakan tahap dimana individu kembali merokok.
Universitas Sumatera Utara
17
Charlton (Ogden, 2000) mengatakan bahwa merokok biasanya dimulai
sebelum usia 19 tahun dan individu yang mulai merokok pada usia dewasa
jumlahnya sangat kecil. Faktor kognitif berperan besar ketika individu
mulai merokok, antara lain: menghubungkan perilaku merokok dengan
kesenangan, kebahagiaan, keberanian, kesetia-kawanan dan percaya diri.
Faktor lainnya adalah memiliki orang-tua perokok, tekanan teman sebaya
untuk merokok, menjadi pemimpin dalam kegiatan sosial dan tidak adanya
kebijakan sekolah terhadap perilaku merokok.
2. Tahap III: Cessation
Cessation merupakan suatu proses dimana perokok pada akhirnya berhenti
merokok. Tahap cessation terbagi 4, yaitu: precontemplation (belum ada
keinginan berhenti merokok), contemplation (ada pemikiran berhenti
merokok), action (ada usaha untuk berubah), maintenance (tidak merokok
selama beberapa waktu). Tahapan tersebut bersifat dinamis karena
seseorang yang berada di tahap contemplation dapat kembali ke tahap
precontemplation.
3. Tahap IV : Relapse
Individu yang berhasil berhenti merokok tidak menjadi jaminan bahwa ia
tidak akan kembali menjadi perokok. Marlatt dan Gordon (dalam Ogden,
2000) membedakan antara lapse dengan relapse. Lapse adalah kembali
merokok dalam jumlah kecil sedangkan relapse adalah kembali merokok
dalam jumlah besar. Ada beberapa situasi yang mempengaruhi pre-lapse
yaitu high risk situation, coping behavior dan positive-negative outcome
expectancies.
Universitas Sumatera Utara
18
Saat individu dihadapkan dengan high risk situation maka individu akan
melakukan strategi coping behavior berupa perilaku atau kognitif. Bentuk
perilaku misalnya menjauhi situasi atau melakukan perilaku pengganti
(makan permen karet) sedangkan bentuk kognitif adalah mengingat alasan
berhenti merokok. Positive outcome expectancies (misalnya merokok
mengurangi kecemasan) dan negative outcome expectancies (misalnya
merokok membuatnya sakit) dipengaruhi pengalaman individu. No lapse
berhasil dilakukan jika individu memiliki strategi coping dan negative
outcome expectancies serta peningkatan self efficacy yang mempengaruhi
individu tetap bertahan untuk tidak merokok. Namun, jika individu tidak
memiliki strategi coping dan memiliki positive outcome expectancies serta
self efficacy yang rendah maka individu akan mengalami lapse (kembali
merokok dalam jumlah kecil).
2.1.4 Tipe-Tipe Perilaku Merokok
Silvan Tomkins (dalam Sarafino, 2002) menyebutkan 4 tipe perilaku
merokok, yaitu:
1. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif (positif affect
smoking). Tujuannya untuk mendapatkan/ meningkatkan perasaan positif,
misalnya untuk mendapatkan rasa nyaman dan membentuk image yang
diinginkan.
2. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif (negatif affect
smoking). Tujuannya untuk mengurangi perasaan yang kurang
menyenangkan, misalnya keadaan cemas dan marah.
Universitas Sumatera Utara
19
3. Perilaku merokok yang adiktif (addictive smoking). Individu yang sudah
ketergantungan nikotin cenderung menambah dosis rokok yang akan
digunakan berikutnya karena efek rokok yang dikonsumsi sebelumnya
mulai berkurang sesaat setelah rokok habis dihisap sehingga individu
mempersiapkan hisapan rokok berikutnya. Umumnya, individu dengan
tipe perilaku merokok yang adiktif merasa gelisah bila tidak memiliki
persediaan rokok.
4. Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan (habitual smoking).
Dalam hal ini, tujuan merokok bukan untuk mengendalikan perasaannya
secara langsung melainkan karena sudah terbiasa.
2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok
Taylor (2009) mengatakan bahwa kumpulan teman sebaya dan anggota
keluarga yang merokok menimbulkan persepsi bahwa merokok tidak berbahaya
sehingga meningkatkan dorongan untuk merokok. Perokok berpendapat bahwa
berhenti merokok merupakan hal yang sulit, meskipun mereka sendiri masih
tergolong sebagai perokok yang baru (Floyd, Mimms & Yelding, 2003). Ada
beberapa alasan sehingga perokok tetap merokok, antara lain: pengaruh anggota
keluarga yang merokok, untuk mengontrol berat badan, membantu mengatasi
stres, self esteem yang rendah dan pengaruh lingkungan sosial (Floyd, Mimms &
Yelding, 2003). Selain itu, rendahnya self efficacy (keyakinan terhadap
kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik) khususnya yang berkaitan
dengan perilaku merokok yaitu keyakinan terhadap kemampuan untuk mengontrol
Universitas Sumatera Utara
20
keinginan merokok sangat berpengaruh terhadap berlanjutnya perilaku merokok
(Bandura, 1997).
2.1.6 Efek Positif dan Negatif Merokok
Efek positif merokok yaitu menimbulkan perasaan bahagia karena
kandungan nikotin pada tembakau menstimulasi adrenocorticotropic hormone
(ACTH) yang terdapat pada area spesifik di otak (Hahn & Payne, 2003). Rose
(Marks, Murray, et al, 2004) mengatakan bahwa nikotin yang dikonsumsi dalam
jumlah kecil memiliki efek psikofisiologis, antara lain: menenangkan, mengurangi
berat badan, mengurangi perasaan mudah tersinggung, meningkatkan kesiagaan
dan memperbaiki fungsi kognitif. Istilah nicotine paradox digunakan oleh Nesbih
(Marks, Murray, et al, 2004) untuk menjelaskan adanya pertentangan antara efek
fisiologis nikotin sebagai stimulan dan menenangkan yaitu kondisi menenangkan
diperoleh saat perokok kembali merokok setelah mengalami gejala withdrawal
akibat pengurangan atau penghentian nikotin. Meskipun demikian, efek positif
merokok sangat kecil dibandingkan dengan efek negatifnya terhadap kesehatan
(Ogden, 2000).
Hahn & Payne (2003) mengatakan bahwa perokok aktif biasanya lebih
mudah sakit, menjalani proses pemulihan kesehatan yang lebih lama dan usia
hidup yang lebih singkat. Merokok tidak menyebabkan kematian tetapi
mendorong munculnya jenis penyakit yang dapat mengakibatkan kematian, antara
lain : penyakit kardiovaskuler, kanker, saluran pernapasan, gangguan kehamilan,
penurunan kesuburan, gangguan pencernaan, peningkatan tekanan darah,
peningkatan prevalensi gondok dan gangguan penglihatan (Sitepoe, 2000). Secara
Universitas Sumatera Utara
21
signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi obat-obatan
terlarang dan meningkatkan resiko disfungsi ereksi sebesar 50% (Taylor, 2009).
Merokok tidak hanya berbahaya bagi perokok tetapi juga bagi orang-orang
di sekitar perokok dan lingkungan (Floyd, Mimms & Yelding, 2003). Passive
smokers memiliki kecenderungan yang lebih besar mengalami gangguan jantung
karena menghirup tar dan nikotin 2 kali lebih banyak, karbonmonoksida 5 kali
lebih banyak dan amonia 50 kali lebih banyak (Donatelle & Davis, 1999). Polusi
lingkungan yang menyebabkan kematian terbesar adalah karena asap rokok dan
dikategorikan sebagai penyebab paling dominan dalam polusi ruangan tertutup
karena memberikan polutan berupa gas dan logam-logam berat (Donatelle &
Davis, 1999). Gangguan akut dari polusi ruangan akibat rokok adalah bau yang
kurang menyenangkan pada pakaian serta menyebabkan iritasi mata, hidung, dan
tenggorokan. Bagi penderita asma, polusi ruangan akan menstimulasi kambuhnya
penyakit asma (Sitepoe, 2000).
2.2 Self Efficacy
2.2.1 Definisi Self Efficacy
Keyakinan memiliki pengaruh yang lebih besar pada motivasi, afektif dan
perilaku dibandingkan dengan kondisi atau situasi yang sesungguhnya. Bandura
(1997) mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan individu terhadap
kemampuannya untuk melakukan sesuatu dengan baik. Individu yang tidak yakin
dengan kemampuannya untuk mencapai hasil yang baik maka ia tidak akan
mencurahkan usahanya untuk melakukan sesuatu hal secara maksimal. Myer
Universitas Sumatera Utara
22
(1996) mengatakan bahwa self efficacy adalah bagaimana seseorang merasa
mampu untuk melakukan suatu hal.
Self efficacy tidak hanya berfokus pada latihan mengontrol tindakan, tetapi
juga berfokus pada mengontrol pola pikir, motivasi dan kondisi afektif serta
fisiologis. Individu dapat gagal menampilkan hal terbaik yang dimilikinya
meskipun sebenarnya ia tahu apa yang harus dilakukan dan memiliki kemampuan
melakukannya. Hal ini dipengaruhi oleh perceived self efficacy yang tidak hanya
berfokus pada kemampuan yang dimiliki, namun pada keyakinan untuk
melakukannya dengan baik (Bandura, 1997).
Berdasarkan beberapa definisi self efficacy yang telah disebutkan, dapat
disimpulkan bahwa self efficacy adalah keyakinan individu terhadap
kemampuannya untuk melakukan suatu tindakan dengan baik (meliputi pola pikir,
motivasi dan afeksi serta fisiologis) sehingga individu berusaha menampilkan hal
terbaik yang dimilikinya guna mencapai suatu hasil atau tujuan dengan maksimal.
2.2.2 Sumber Pembentuk Self Efficacy
Bandura (1997) mengatakan ada 4 sumber pembentuk self efficacy antara
lain: mastery experiences, vicarious experiences, persuasi verbal serta kondisi
fisiologis dan afektif (emotional arousal).
1. Mastery Experiences
Mastery experiences merupakan pengalaman belajar yang diperoleh
melalui learning by doing atau experiental learning. Menurut Bandura
(1997), mastery experiences merupakan sumber terbesar dalam
pembentukan self efficacy karena aspek ini didasarkan pada pengalaman
Universitas Sumatera Utara
23
keberhasilan. Keberhasilan akan meningkatkan harapannya untuk
menguasai sesuatu hal, dan sebaliknya kegagalan yang berulang akan
menurunkan harapan untuk menguasai sesuatu hal. Besarnya self efficacy
yang terbentuk dalam diri individu bergantung pada beberapa hal, antara
lain: (1) banyaknya kesuksesan dan kegagalan yang dialami; (2) persepsi
terhadap tingkat kesulitan; (3) usaha yang dilakukan dalam mencapai
tujuan; (4) pengalaman yang diingat dan direkonstruksi oleh daya ingat;
dan (5) banyaknya bantuan eksternal dari lingkungan.
2. Vicarious Experiences
Self efficacy dapat ditingkatkan melalui pengalaman keberhasilan orang
lain. Saat melihat keberhasilan orang lain yang memiliki kemampuan yang
sama dengan individu, maka individu akan merasa yakin bahwa dirinya
juga dapat berhasil. Peran vicarious experience terhadap self efficacy,
sangat dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap dirinya yang memiliki
kesamaan dengan model. Semakin seseorang merasa dirinya mirip dengan
model, maka kesuksesan dan kegagalan model akan semakin
mempengaruhi self efficacy. Pengamatan terhadap perilaku dan cara
berfikir model tersebut, akan memberi pengetahuan dan pelajaran
mengenai strategi dalam menghadapi berbagai tuntutan lingkungan.
3. Persuasi Verbal
Self efficacy juga dapat ditingkatkan melalui pernyataan yang disampaikan
orang lain secara lisan. Keyakinan yang diperoleh melalui proses persuasi
verbal, sifatnya lemah dan biasanya untuk jangka waktu yang singkat.
Universitas Sumatera Utara
24
Meskipun demikian, pernyataan orang lain yang disampaikan secara terus
menerus akan membentuk keyakinan yang relatif menetap.
4. Physiological and Affective State
Individu biasanya memandang stres dan kecemasan sebagai tanda
ketidakmampuan diri. Level of arousal merupakan ambang ketergugahan
emosi seseorang dalam menghadapi suatu keadaan atau situasi tertentu.
Ambang ketergugahan emosi pada tingkat rendah mengakibatkan individu
mudah cemas ketika menyelesaikan suatu masalah yang disebabkan oleh
perasaan tidak mampu. Sebaliknya, individu yang memiliki ambang
ketergugahan emosi yang tinggi lebih mampu bersikap tenang menghadapi
suatu masalah serta berusaha untuk menyelesaikannya dengan baik. Selain
itu, informasi mengenai kondisi fisiologis mempengaruhi penilaian
individu terhadap kemampuannya.
2.2.3 Manfaat Self Efficacy
Self efficacy merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
perilaku. Selain itu, self efficacy juga memiliki manfaat yang cukup besar dalam
kehidupan individu, diantaranya sebagai berikut (Bandura, 1997):
a. Pembentukan Perilaku
Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan selalu menerapkan
apa yang dapat dilakukannya dalam menghadapi suatu tugas untuk
mencapai tujuan yang diinginkannya.
b. Motivasi Diri
Universitas Sumatera Utara
25
Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan memiliki kualitas
dan kuantitas yang baik dalam melakukan segala usahanya dan tidak
mudah menyerah dalam mencapai keinginannya.
c. Pola Pikir
Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi, memiliki pola pikir yang
positif. Saat menghadapi permasalahan ia mampu membuat perencanaan
untuk penyelesaian masalah dan menganggap kegagalan sebagai
keberhasilan yang tertunda serta tidak menyesali kegagalannya tersebut.
2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy
a. Cognitive Processes
Perilaku diatur oleh pemikiran yang berfungsi mewujudkan tujuan
dan penetapan tujuan tersebut dipengaruhi oleh penilaian terhadap
kemampuan diri. Semakin tinggi self efficacy, maka semakin tinggi tujuan
yang ditetapkan dan ada komitmen untuk mencapainya. Individu yang
memiliki self efficacy yang tinggi mampu memvisualisasi kesuksesan yang
memberikan petunjuk positif dan dukungan terhadap performa. Individu
yang meragukan keberhasilan, memvisualisasikan skenario kegagalan dan
sulit mencapai tujuan karena ada keraguan terhadap diri. Fungsi utama
pemikiran adalah untuk memampukan individu memprediksi kejadian dan
mengembangkan cara mengontrol hal-hal yang mempengaruhi kehidupan.
b. Motivational Processes
Self efficacy memiliki peran penting dalam motivasi dan motivasi
adalah hasil kognitif. Individu memotivasi dirinya dan membimbing
Universitas Sumatera Utara
26
tindakan antisipatori dengan melatih pemikiran. Individu yang memiliki
efficacy yang tinggi, menghubungkan kegagalan dengan kurangnya usaha,
sedangkan individu yang memiliki efficacy yang rendah menghubungkan
kegagalan dengan kemampuan yang rendah. Dalam teori expectancy-
value, motivasi diatur oleh harapan bahwa perilaku akan memberikan hasil
dan manfaat. Namun, individu bertindak sesuai dengan keyakinan
terhadap apa yang dapat dilakukan, serta pada keyakinan terhadap hasil
tindakannya. Self efficacy berkontribusi terhadap motivasi dalam beberapa
cara: menentukan tujuan yang ditetapkan individu pada dirinya, besarnya
usaha serta kebertahanan menghadapi kesulitan dan kegagalan. Individu
yang meragukan kemampuannya akan mengurangi usaha dan mudah
menyerah saat dihadapkan dengan rintangan atau kegagalan.
c. Affective Processes
Keyakinan individu terhadap kemampuan kopingnya
mempengaruhi seberapa besar tekanan dan depresi yang mereka alami
pada situasi atau kondisi yang sulit. Individu yang tidak yakin terhadap
kemampuannya dalam mengontrol ancaman, memandang lingkungan
sebagai sesuatu yang berbahaya. Mereka memperbesar tingkat
kemungkinan keparahan dan khawatir terhadap hal yang jarang terjadi,
sedangkan individu yang memiliki self efficacy yang tinggi memiliki
keberanian dalam melakukan kegiatan yang beresiko. Kecemasan tidak
hanya dipengaruhi oleh koping efficacy, namun juga keyakinan untuk
mengontrol pemikiran yang mengganggu.
Universitas Sumatera Utara
27
Perceived self efficacy yang berkaitan dengan mengontrol proses
pemikiran adalah faktor terpenting untuk meregulasi pemikiran yang
berkaitan dengan stres dan depresi. Semakin kuat perceived self regulatory
efficacy yang dimiliki individu, maka semakin besar kesuksesan dalam
mengurangi habit yang mengganggu kesehatan dan mengadopsi serta
mengintegrasikan habit yang berkaitan dengan kesehatan menjadi gaya
hidup rutin.
d. Selection Processes
Individu adalah bagian dari lingkungannya, sehingga keyakinan
berpengaruh pada jenis kegiatan dan lingkungan. Individu menghindari
kegiatan dan situasi yang diyakini melebihi kemampuan koping mereka,
namun mereka siap melakukan kegiatan yang menantang dan memilih
situasi yang diyakini dapat ditangani. Dengan pilihan yang mereka buat,
individu mengembangkan kompetensi, minat dan jaringan yang berbeda
dalam menentukan program hidup. Pilihan karir dan pengembangan adalah
salah satu contoh kekuatan self efficacy untuk mempengaruhi jalan
kehidupan melalui pilihan yang berkaitan dengan proses. Semakin tinggi
perceived self efficacy maka semakin luas pilihan karir, semakin besar
minat dan semakin baik persiapan diri melalui pendidikan untuk
pengejaran karir yang dipilih dan semakin besar kesuksesan mereka.
2.2.5 Smoking Self Efficacy
Smoking self efficacy adalah keyakinan individu terhadap kemampuanya
untuk mengontrol atau menahan keinginan merokok (Fischer & Corcoran, 1987).
Universitas Sumatera Utara
28
Smoking self efficacy berpengaruh dan berperan penting terhadap keberhasilan
mengurangi ataupun berhenti merokok. Smoking self efficacy diukur
menggunakan kuisioner yaitu smoking self efficacy questionnaire (SSEQ) yang
terdiri dari 17 aitem yang menggambarkan situasi pemicu keinginan merokok
(high risk situation). Cara pengisian kuisioner smoking self efficacy dilakukan
dengan memberikan skor untuk setiap aitem yang bergerak kontinum dari skor 10
hingga 100, sehingga skor minimal adalah 10 x 17 aitem = 170 dan skor maksimal
adalah 100 x 17 aitem = 1.700 untuk masing-masing responden.
2.2.6 High Risk Situation
Merokok dipicu oleh high risk situation (HRS) yang merupakan situasi
atau kondisi yang bersumber dari lingkungan (eksternal) maupun diri sendiri
(internal). High risk situation tersebut biasanya memunculkan dorongan kuat
untuk merokok sehingga perlu dikenali dan diantisipasi (Woerpel, Wright &
Wetter, 2007). Pada penelitian ini, terdapat 17 high risk situation yang menjadi
pemicu keinginan merokok yang dikemukakan oleh Fischer & Corcoran (1987),
antara lain:
1) Mengikuti ujian yang penting dan merasa gagal mengerjakannya.
2) Merasa kecewa dan menyalahkan diri sendiri karena seorang teman tiba-
tiba membatalkan janji ketemu yang sudah direncanakan jauh-jauh hari.
3) Bertengkar dengan pacar atau teman sehingga menjadi uring-uringan dan
sangat marah.
4) Merasa rileks dan senang saat sedang berjalan-jalan di malam hari.
Universitas Sumatera Utara
29
5) Selesai makan malam di sebuah restoran, lalu melihat teman-teman
memesan kopi dan duduk-duduk sambil merokok.
6) Bersama teman yang perokok berat namun tidak ingin mereka tahu bahwa
anda sedang berusaha mengurangi rokok.
7) Pulang dari sekolah atau tempat kerja dalam keadaan penat dan capek.
Sepanjang hari tersebut anda merasa cemas, frustasi dan gagal.
8) Duduk sendirian di rumah dalam keadaan murung memikirkan masalah-
masalah dan kegagalan yang dialami.
9) Menonton acara televisi.
10) Sedang belajar.
11) Sedang membaca buku cerita.
12) Menonton secara langsung pertandingan olah-raga atau suatu pertunjukan.
13) Mengobrol di telepon.
14) Minum kopi atau minuman ringan lainnya.
15) Baru selesai makan.
16) Mengobrol atau bersosialisasi dengan teman.
17) Bermain kartu.
2.3 Focus Groups Discussion (FGD)
2.3.1 Definisi Focus Groups Discussion
Irwanto (2006) mengatakan bahwa focus group discussion (FGD) adalah
suatu proses pengumpulan data dan informasi yang sistematis mengenai suatu
permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. Menurut
Henning & Coloumbia (1990), FGD adalah wawancara dari sekelompok kecil
Universitas Sumatera Utara
30
orang yang dipimpin seorang narasumber atau moderator yang secara halus
mendorong peserta untuk berani berbicara terbuka dan spontan tentang hal yang
dianggap penting dan berhubungan dengan topik diskusi saat itu.
Prawitasari (2011) mengatakan bahwa FGD biasanya terdiri dari 7 – 10
orang yang diseleksi karena memiliki karakteristik yang sama sehubungan dengan
topik yang dibicarakan di dalam kelompok. Yang terpenting pada FGD adalah
homogenitas anggota karena anggota yang homogen akan memudahkan
kepemimpinan terapis, terutama terapis yang baru. Homogenitas disini berarti
bahwa kelompok terdiri atas sekelompok orang yang mempunyai karakteristik
tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa FGD adalah proses
pengumpulan data atau informasi secara sistematis pada sekelompok kecil
individu yang memiliki karakteristik tertentu berkaitan dengan topik pembicaraan
dan dipandu oleh seorang moderator yang bertugas mendorong peserta untuk
terbuka mengemukakan pendapatnya selama proses diskusi berlangsung.
2.3.2 Tujuan Focus Groups Discussion
Tujuan FGD adalah untuk memperoleh masukan maupun informasi
mengenai suatu permasalahan yang bersifat spesifik (Irwanto, 2006). Menurut
Prawitasari (2011), FGD dapat digunakan untuk mengungkapkan motivasi yang
mendasari perilaku dan untuk melihat kepercayaan yang mendasari perilaku.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa FGD bertujuan untuk mendapatkan
informasi mengenai suatu hal yang bersifat spesifik serta mengungkapkan
motivasi dan keyakinan yang mendasari perilaku.
Universitas Sumatera Utara
31
2.3.3 Manfaat Focus Groups Discussion
Gloria & Catherine (2007) mengemukakan beberapa manfaat penggunaan
FGD, antara lain: (1) Proses FGD menyediakan metode yang terstruktur dan
teroganisasi untuk mengumpulkan informasi dari beberapa partisipan. Selain itu,
FGD merupakan cara yang cepat dan efektif untuk mendorong munculnya
pemikiran baru dan secara bersamaan membangun ketertarikan dan komitmen
terhadap perubahan. (2) Data yang terkumpul melalui FGD memberikan informasi
yang lebih banyak dibandingkan survey. (3) FGD menyediakan data kualitatif
yang rinci, sehingga topik yang didiskusian dapat dipahami lebih mendalam. (4)
Proses FGD memungkinkan partisipan untuk berkontribusi memberikan pendapat
tanpa persiapan atau usaha yang besar.
Morgan (dalam Monique Hennink, 2007) mengatakan bahwa proses pada
FGD mendorong munculnya insight yang diperoleh karena adanya interaksi dalam
kelompok. Selain itu juga dikatakan bahwa pada proses FGD, partisipan dapat
merespon komentar partisipan lainnya dalam kelompok sehingga dapat
memunculkan refleksi, perubahan pendapat dan pembenaran berkaitan dengan
topik yang dibahas. Manfaat lainnya adalah FGD dapat digunakan untuk
mempelajari dinamika yang terjadi pada kelompok, antara lain: bagaimana suatu
ide dihasilkan, mengidentifikasi munculnya kesepakatan kelompok atau konflik
serta pengaruh dari partisipan yang dominan atau pasif (Monique Hennink, 2007).
2.3.4 Proses Focus Groups Discussion
Proses pelaksanaan FGD menurut Prawitasari (2011) meliputi persiapan,
pelaksanaan, dan penyajian data. Berikut ini adalah penjelasannya.
Universitas Sumatera Utara
32
A. Persiapan
Persiapan yang pokok meliputi tersedianya moderator yang terampil.
Menurut Hardon, Brudon-Jakobowicz, dan Reeler (dalam Prawitasari, 2011)
moderator tidak perlu memiliki kualifikasi akademik tinggi, tetapi harus
mengetahui tujuan diskusi dan memiliki keterampilan komunikasi. Keterampilan
tersebut meliputi: mendorong seluruh partisipan untuk berdiskusi; memberikan
stimulasi diskusi antara partisipan, terutama bila informasi baru diberikan, atau
perspektif yang berbeda dikemukakan; membimbing kelompok dari topik satu ke
topik lainnya. Selain pemandu yang terampil, tempat untuk diskusi juga harus
ditentukan dan yang terpenting adalah tempat tersebut harus netral.
Persiapan lainnya meliputi pemilihan kelompok. Kelompok sebaiknya
homogen, misalnya dari segi usia, status sosial ekonomi untuk menghindari
adanya kesenjangan hirarki yang memungkinkan terjadinya pengaruh dari orang
yang berstatus lebih tinggi. Selain itu, yang harus dipersiapkan lagi adalah topik
yang akan dibahas dalam kelompok serta tujuannya sehingga perlu dibuat
pedoman. Pedoman ini meliputi seluruh prosedur pelaksanaan FGD, mulai dari
pengantar, termasuk permintaan ijin untuk rekaman, perkenalan, pembahasan tiap-
tiap topik berikut pertanyaan probing (menanyakan lebih dalam lagi tentang apa
yang baru saja diungkapkan), dan penutup. Untuk tiap tahapan FGD perlu
diperkirakan waktu yang akan digunakan. Biasanya pengantar dan perkenalan
dilakukan tidak lebih dari 15 menit. Diskusi berjalan sekitar 1 jam. Sepuluh menit
untuk merangkum apa yang telah terjadi selama diskusi dan tambahan informasi
yang akan diberikan oleh anggota kelompok. Lima menit terakhir dapat digunakan
Universitas Sumatera Utara
33
untuk penutup yang meliputi pernyataan terima-kasih atas partisipasi peserta
diskusi dan pentingnya informasi yang telah mereka berikan.
Secara ringkas, Eko Budiarto (2003) mengemukakan tahapan persiapan
dalam FGD yaitu menentukan tujuan dan penyusunan pedoman diskusi sesuai
dengan pokok bahasan; menentukan kriteria peserta diskusi; menetukan jumlah
peserta dalam suatu kelompok; mencari peserta diskusi yang sesuai dengan
kriteria yang telah ditentukan; mempersiapkan fasilitas lainnya (lokasi diskusi,
alat perekam dan dokumentasi); mempersiapkan daftar pertanyaan yang akan
digunakan; mengadakan perjanjian dengan peserta mengenai tempat dan waktu
pelaksanaan diskusi.
B. Pelaksanaan
Dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan beberapa hal. Salah satunya
adalah bahwa pemandu sudah harus berada di tempat sebelum kelompok dimulai.
Setelah kelompok terkumpul, diskusi dapat dimulai dengan pengantar dan
perkenalan. Di dalam pengantar, pemandu memperkenalkan diri serta
mengemukakan tujuan diskusi. Konfidensialitas perlu ditekankan disini; siapa saja
yang akan mempunyai akses terhadap rekaman perlu dikemukakan. Diskusi dapat
dimulai setelah semua memperkenalkan diri.
C. Penyajian Data
Hasil FGD dapat disajikan sesuai dengan tujuan FGD. Pertama kali yang
perlu dilakukan adalah membuat transkip verbatim (kata per kata yang diucapkan
oleh responden) jalannya diskusi. Ini merupakan prosedur yang membutuhkan
ketelatenan. Penyajian data dapat berupa ringkasan hasil diskusi dan diperkuat
dengan kutipan-kutipan verbatim yang dikemukakan oleh responden. Penyajian
Universitas Sumatera Utara
34
hasil FGD juga perlu disesuaikan dengan tujuan penelitian dan biasanya hasil
disajikan berupa narasi.
2.3.5 Kelebihan dan Keterbatasan Focus Groups Discussion
FGD memiliki kelebihan dan keterbatasan dalam penggunaannya. Berikut
ini adalah penjelasan mengenai kelebihan FGD yang dikemukakan oleh
Prawitasari (2011).
a) Kelompok terarah memberikan data yang berasal dari sekelompok orang
dengan lebih cepat dan murah. Kelompok ini juga dapat dikumpulkan
relatif lebih mudah dan cepat dibandingkan survey yang sistematis dan
besar.
b) Dalam kelompok terarah, peneliti dan responden dapat berinteraksi secara
langsung. Ini memberikan kesempatan untuk menanyai kembali,
memperoleh penjelasan, dan tindak lanjut pertanyaan terdahulu. Kelompok
juga memberi kesempatan peneliti untuk mengamati komunikasi non-
verbal seperti ekspresi wajah, postur, gestur, maupun nada suara
responden dalam menyampaikan pendapatnya.
c) Format terbuka dalam kelompok terarah memberikan kesempatan untuk
memperoleh data yang banyak dan kaya dalam kalimat-kalimat responden
sendiri. Peneliti dapat memperoleh arti yang dalam, membuat hubungan
antara satu pernyataan dengan pernyataan lainnya.
d) Kelompok terarah memberikan kesempatan bagi responden untuk
mengemukakan pendapatnya setelah mendengar pendapat orang lain
Universitas Sumatera Utara
35
dalam kelompok. Hal ini tidak mungkin terjadi dalam wawancara
individual.
e) Hasil kelompok terarah mudah dimengerti. Peneliti dan pengambil
keputusan dapat dengan cepat mengerti respon verbal responden. Hal ini
tidak mungkin diperoleh dari instrumen lain yang mungkin membutuhkan
analisis statistik yang rumit.
f) Kedalaman respons yang diperoleh melalui metode ini yang tidak dapat
diperoleh melalui metode kuantitatif.
Diskusi kelompok terarah juga memiliki keterbatasan. Keterbatasannya
adalah dibutuhkannya pemandu yang terampil dalam interaksi sosial. Ia perlu
mempunyai karakteristik tertentu seperti pemimpin yang baik dalam terapi
kelompok (Prawitasari, 1991). Syarat tersebut antara lain adalah penerimaan tanpa
penilaian, empati, kepekaan terhadap komunikasi non-verbal, tegas tetapi halus
dalam memotong anggota yang sangat dominan, mendorong anggota yang pasif
untuk memberikan pendapatnya, mengarahkan diskusi pada topik yang telah
ditentukan sebelumnya.
Keterbatasan lainnya adalah FGD tidak dapat diulang persis sama, namun,
bila 2 kelompok memperlihatkan hasil yang relatif ajeg meskipun diskusi
dilakukan dengan tenggang waktu sekitar 3 bulan, maka hasil temuan FGD dapat
disebut ajeg. Hasil FGD perlu diartikan dengan hati-hati, akan lebih baik bila hasil
FGD dicek kembali melalui kuesioner dan dikenakan pada sampel yang lebih
luas. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Eko Budiarto (2003) mengenai
keterbatasan FGD adalah kurangnya fasilitator yang ahli, hasil yang tidak dapat
dikuantifikasi dan bersifat subjektif berdasarkan persepsi fasilitator.
Universitas Sumatera Utara
36
2.4 Efektifitas Focus Group Discussion Terhadap Smoking Self Efficacy
Bandura (1997) mengatakan bahwa self efficacy merupakan komponen
yang sangat penting dalam perubahan perilaku. Penelitian yang dilakukan oleh
DiClemente (Ogden, 2000) mengenai hubungan antara tahapan merokok dengan
keberhasilan berhenti merokok, mempertimbangkan aspek self efficacy dengan
cara mengukur smoking abstinence self efficacy untuk melihat tingkat keyakinan
individu terhadap keberhasilannya tidak merokok dalam 20 situasi yang sulit.
Individu yang memiliki keyakinan yang tinggi terhadap kemampuannya untuk
berhenti merokok memiliki tingkat kesuksesan yang lebih besar untuk berhenti
merokok. Selain itu juga dikatakan bahwa self efficacy merupakan konstruk
psikologis yang penting dan memiliki keterkaitan serta keterlibatan langsung
dengan berhenti merokok (Spek, Pouwer & Pop, 2012).
Hasil penelitian mengenai peran self efficacy terhadap perilaku merokok
yang dilakukan terhadap 250 perokok yang merupakan mahasiswa perguruan
tinggi di Nigeria diperoleh bahwa self efficacy secara signifikan mempengaruhi
perilaku merokok (Momoh, Imhonde, 2008). Kesimpulan yang diperoleh dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Wismanto & Sarwo (2010) mengenai
konsistensi niat dan perilaku berhenti merokok pada karyawan sekretariat daerah
kabupaten/ kotamadya di Jawa Tengah, ditemukan bahwa keyakinan individu
terhadap kemampuannya untuk berhenti merokok merupakan sumber yang
memiliki pengaruh terbesar terhadap niat berhenti merokok. Hal tersebut senada
dengan pernyataan Engels & Willemsen (dalam Wismanto & Sarwo, 2010) yang
mengatakan bahwa penilaian tidak mampu untuk berhenti merokok berakibat pada
perilaku merokok yang terus berlangsung.
Universitas Sumatera Utara
37
Peneliti memanfaatkan FGD sebagai intervensi pada penelitian ini untuk
memfasilitasi perubahan pada pemikiran dan persepsi terhadap kemampuan untuk
mengontrol keinginan merokok yang merupakan bagian dari self efficacy. Lennon
et, al (2005) mengatakan bahwa FGD merupakan cara atau metode yang sangat
efektif untuk mendapatkan ide baru dan sekaligus membangun ketertarikan serta
komitmen terhadap perubahan. Selain itu, FGD bermanfaat untuk membentuk
kesadaran dan memfasilitasi perubahan perilaku pada konteks pendidikan
kesehatan (Puchta & Potter, 2004). Melalui kegiatan FGD, respoden dapat saling
bertukar pendapat mengenai pengalaman keberhasilan dalam mengaplikasikan
tindakan mengontrol keinginan merokok sehingga memperoleh pembelajaran baik
secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, kegiatan FGD dimanfaatkan
untuk membentuk persepsi subjektif responden terhadap kemampuan yang
dimilikinya dalam mengontrol keinginan merokok pada high risk situation yang
merupakan stimulus pemicu keinginan merokok.
FGD merupakan kegiatan yang dilakukan secara berkelompok. Prawitasari
(2011) mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan secara berkelompok dapat
memfasilitasi pembentukan harapan agar responden tetap terlibat dalam
kelompok, responden merasa tidak sendirian dengan permasalahannya, adanya
pembelajaran (berbagi informasi), responden merasa berperan saat memberikan
masukan kepada kelompok, belajar sosialisasi, terjadi peniruan tingkah laku
(modeling) dan terbentuknya kesadaran diri atas feedback yang diberikan oleh
anggota kelompok. Hal tersebut tentunya bermanfaat dalam peningkatan smoking
self efficacy sebagai tujuan dalam penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
38
KERANGKA BERFIKIR
Universitas Sumatera Utara
39
2.5 HIPOTESA
Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah focus group discussion
efektif untuk meningkatkan smoking self efficacy pada kelompok pria dewasa
awal kategori perokok sedang.
Universitas Sumatera Utara