15
MODUL V GANGGUAN TINGKAH LAKU Gangguan tingkah laku merupakan gangguan utama lain dalam kelompok gangguan eksternalisasi. Definisi gangguan tingkah laku dalam DSM-IV-TR memfokuskan pada perilaku yang melanggar hak-hak dasar orang lain dan norma-norma sosial utama. Hampir semua perilaku semacam itu juga melanggar hukum. Tipe perilaku yang dianggap sebagai simtom gangguan tingkah laku mencakup agresi dan kekejian terhadap orang lain atau hewan, merusakan kepemilikan, berbohong dan mencari. Gangguan tingkah laku merujuk berbagai tindakan yang kasar dan seing dilakukan yang jauh melampaui kenakalan dan tipuan praktis yang umum dilakukan anak-anak dan remaja. Sering kali perilaku tersebut ditandai dengan kesewenang-wenangan, kekejian, dan kurangnya penyesalan, membuat gangguan tingkah laku merupakan salah satu kriteria historis dalam gangguan kepribadian antisocial pada orang dewasa. Kategori eksternalisasi dalam DSM yang masih berkaitan dengan gangguan ini, namun kurang dipahami dengan baik adalah gangguan sikap menentang. Terdapat beberapa perdebatan mengenai apakah GKO adalah gangguan yang berbeda dengan gangguan tingkah laku, gangguan yang mengawali terjadinya gangguan tingkah laku, atau bentuk gangguan tingkah laku yang lebih ringan yang terjadi sebelum gangguan tingkah laku penuh (Hixishaw & Lee, di media; Lahey, McBurnett & Loeber, 2000; Loeber dkk., 2000). GSM didiagnosis bila seorang anak tidak memenuhi kriteria gangguan tingkah laku yang paling utama, agresivitas fisik yang ekstrim- Psikologi Abnormal dan Psikopatologi Fillino Firmansyah, M.Psi. Pusat Pengembangan Bahan Ajar Universitas Mercu Buana ‘11 1

61033-5-926289716541.doc

Embed Size (px)

Citation preview

MODUL VGANGGUAN TINGKAH LAKUGangguan tingkah laku merupakan gangguan utama lain dalam kelompok gangguan eksternalisasi. Definisi gangguan tingkah laku dalam DSM-IV-TR memfokuskan pada perilaku yang melanggar hak-hak dasar orang lain dan norma-norma sosial utama. Hampir semua perilaku semacam itu juga melanggar hukum. Tipe perilaku yang dianggap sebagai simtom gangguan tingkah laku mencakup agresi dan kekejian terhadap orang lain atau hewan, merusakan kepemilikan, berbohong dan mencari. Gangguan tingkah laku merujuk berbagai tindakan yang kasar dan seing dilakukan yang jauh melampaui kenakalan dan tipuan praktis yang umum dilakukan anak-anak dan remaja. Sering kali perilaku tersebut ditandai dengan kesewenang-wenangan, kekejian, dan kurangnya penyesalan, membuat gangguan tingkah laku merupakan salah satu kriteria historis dalam gangguan kepribadian antisocial pada orang dewasa.

Kategori eksternalisasi dalam DSM yang masih berkaitan dengan gangguan ini, namun kurang dipahami dengan baik adalah gangguan sikap menentang. Terdapat beberapa perdebatan mengenai apakah GKO adalah gangguan yang berbeda dengan gangguan tingkah laku, gangguan yang mengawali terjadinya gangguan tingkah laku, atau bentuk gangguan tingkah laku yang lebih ringan yang terjadi sebelum gangguan tingkah laku penuh (Hixishaw & Lee, di media; Lahey, McBurnett & Loeber, 2000; Loeber dkk., 2000). GSM didiagnosis bila seorang anak tidak memenuhi kriteria gangguan tingkah laku yang paling utama, agresivitas fisik yang ekstrim-namun menunjukkan berbagai perilaku seperti kehilangan kendali emosinya, bertengkar dengan orang dewasa, berulang kali menolak mematuhi perintah orang dewasa, sengaja melakukan hal-hal untuk mengganggu orang lain, dan mudah marah, kasar, mudah tersinggung, atau mendendam. DSM juga menyebutkan bahwa anak-anakl semacam itu, sebagian besar laki-laki, jarang menilai konflik yang mereka alami dengan orang lain sebagai kesalahan mereka; mereka menjustifikasi perilaku oposisionalnya dengan mengklaim bahwa mereka diberi tuntutan yang tidak masuk akal. Dalam istilah sehari-hari anak-anak tersebut secara sederhana disebut sebagai anak nakal.

Berbagai gangguan yang sering kali komorbid dengan GSM adalah ADHD, gangguan belajar, dan gangguan komunikasi, namun GSM berbeda dengan ADHD dalam hal perilakuperilaku nakal dianggap tidak ditimbulkan oleh kurangnya konsentrasi atau impulsivitas yang besar. Salah satu cara untuk memahami perbedaannya adalah anak-anak dengan GSM melakukan kegaduhan mereka lebih dengan kesengajaan dibanding anak-anak dengan ADHD. Meskipun gangguan tingkah laku 3 hingga 4 kali lebih banyak terjadi pada anak laki-laki daripada pada anak perempuan, penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki hanya memiliki kemungkinan sedikit lebih besar mengalami GSM daripada anak perempuan dan beberapa studi bahkan tidak menemukan perbedaan prevalensi GSM pada anak laki-laki dan perempuan (Loeber ddk., 2000). Karena status GSM yang agak kurang jelas, kami lebih memfokuskan perhatian pada diagnosis yang lebih serius, yaitu gangguan tingkah laku.

mungkin lebih dari semua gangguan lain di masa kanak-kanak, gangguan tingkah laku ditentukan oleh dampak perilaku si anak pada orang lain dan lingkungan sekitarnya. Sekolah, orang tua, anak-anak seusia, dan sistem pengadilan kriminal biasanya menentukan perilaku eksternalisasi, yang menghasilkan tingkah laku yang tidak dapat diterima. Anak-anak praremaja dan para remaja sering kali diidentifikasi memiliki masalah tingkah laku oleh otoritas hukum yang dalam kasus tersebut mereka dapat dianggap sebagai penjahat remaja-yang merupakan sebuah istilah hukum, bukan istilah psikologis.

Banyak anak yang mengalami gangguan tingkah laku juga menunjukkan gangguan lain. Kami telah menyebutkan tingkat komirbiditas yang tinggi antara gangguan tingkah laku dan ADHD. Hal itu terjadi pada anak-anak laki-laki, namun jauh lebih sedikit yang diketahui mengenai komorbiditas gangguan tingkah laku dan ADHD pada anak-anak perempuan. Penyalahgunaan zat juga umum terjadi bersamaan dengan gangguan tingkah laku. Pittsburgh Youth Study, sebuah penelitian longitudinal mengenai gangguan tingkah laku pada anak laki-laki, menemukan hubungan erat antara penyalahgunaan zat dan tindakan kriminal (vanKammen, Loeber, & Stouthamer-Loeber, 1991). Sebagai contoh, di kalangan siswa kelas 7 yang menuturkan pernah mencoba mariyuana, lebih dari 30 persen pernah menyerang seseorang dengan senjata dan 43 persen mengakui pernah masuk dengan paksa ke rumah orang lain; kurang dari 5 persen anak-anak yang menuturkan tidak menggunakan narkoba yang pernah melakukan tindakan semacam itu. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa gangguan tingkah laku mendahului masalah penggunaan narkoba, temuan lain menunjukkan bahwa gangguan tingkah laku dan penggunaan narkoba terjadi secara bersamaan, di mana kedua kondisi tersebut saling memperparah satu sama lain (Loeber dkk., 2000). Berkaitan dengan gender, beberapa bukti menunjukkan bahwa komorbiditas gangguan tingkah laku dan penggunaan zat memprakirakan akibat yang lebih parah pada anak laki-laki daripada pada anak perempuan (Whitmore dkk., 1997).Kecemasan dan depresi secara umum dipandang sebagai masalah internalisasi umum di kalangan anak-anak dengan gangguan tingkah laku, dengan estimasi komorbiditas bervariasi mulai dari 15 hingga 45 persen (Loeber & Keenan, 1994; Loeber dkk., 2000). Terdapat beberapa bukti bahwa anak-anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah laku dan komorbid dengan hambatan behavioral memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melakukan kejahatan dibanding mereka yang mengalami gangguan tingkah laku yang komorbid dengan penarikan diri dari pergaulan sosial (Kerr dkk., 1997). Bukti-bukti yang muncul menunjukkan bahwa anak-anak perempuan yang mengalami gangguan tingkah laku berisiko lebih tinggi untuk mengalami berbagai gangguan komorbid, termasuk kecemasan, depresi, penyalahgunaan zat, dan ADHD, dibanding anak-anak laki yang mengalami gangguan tingkah laku, berarti, gangguan tingkah laku pada anak-anak perempuan dapat mengindikasikan psikopatologi yang lebih parah (Loeber & Keenan, 1994).

Berbagai studi berbasis populasi mengindikasikan bahwa gangguan tingkah laku cukup umum terjadi. Sebuah kajian terhadap berbagai studi epidemiologis angka prevalensi yang berkisar antara 4 hingga 16 persen pada anak laki-laki dan 1.2 hingga 9 persen pada anak perempuan (Loeber dkk., 2000). Pencurian dan kejahatan dengan kekerasan seperti perkosaan paksa dan penyerangan berat merupakan kejahatan yang banyak dilakukan oleh para remaja laki-laki. Insiden dan prevalensi pelanggaran hukum berat meningkat tajam pada sekitar usia 17 tahun dan menurun tajam pada usia dewasa muda (Moffitt, 1993). Meskipun tidak semua tindakan kriminal tersebut ditandai dengan kekejaman dan kesewenang-wenangan yang sering kali merupakan bagian dari gangguan tingkah laku, data-data tersebut membantu menggambarkan masalah perilaku antisosial pada anak-anak dan remaja.

Prognosis bagi anak-anak yang didiagnosis mengalami gangguan tingkah laku bervariasi. Robins (1978) merangkum beberapa studi longitudinal yang meneliti perilaku antisosial di sejumlah geng dari tahun 1920-an hingga tahun 1970-an, dengan pemantauan selama 30 tahun. la menyimpulkan bahwa sebagian besar orang dewasa yang sangat antisosial juga sangat antisosial semasa masih anak-anak. Meskipun demikian, lebih dari separuh anak yang mengalami gangguan tingkah laku tidak lantas menjadi orang dewasa yang antisosial. Temitan tersebut juga dihasilkan dalam berbagai studi belum lama berslang (Loeber, 1991; Zoccolillo dkk., 1992). Dengan demikian, gangguan tingkah laku di masa kanak-kanak tidak dengan sendirinya berlanjut menjadi perilaku antisosial di masa dewasa, meskipun memang merupakan faktor yang mepredisposisi. Lebih jauh lagi, sebuah studi longitudinal baru-baru ini mengindikasikan bahwa meskipun sekitar separuh anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah laku tidak memenuhi kriteria lengkap bagi diagnosis tersebut pada pengukuran terkemudian (satu hingga empat tahun kemudian), hampir semuanya tetap menunjukkan beberapa masalah tingkah laku (Lahey dkk., 1995).

Moffitt (1993) mengemukakan teori bahwa perlu dibedakan dua perjalanan masalah tingkah laku. Beberapa individu tampaknya menunjukkan pola perilaku antisosial yang tetap sepanjang hidup, dengan masalah tingkahlaku yang bermula di usia 3 tahun danberlanjut menjadi kesalahan perilaku yang serius di masa dewasa. Sementara itu, yang lain terbatas di usia remaja. Orang-orang tersebut mengalami masa masa kanak-kanak yang normal, terlibat dalam perilaku antisocial dengan tingkat yang tinggi selama masa remaja, dan kembali ke gaya hidup tidak bermasalah di masa dewasa. Moffitt berpendapat bahwa bentuk sementara perilaku antisocial diakibatkan oleh kesenjangan kematangan antara kematangan fisik dimasa remaja dan kesempatan untuk memegang tanggung jawab orang dewasa danmendapatkan penghargaan yang biasanya diberikan bagi perilaku semacam itu.

Terdapat beberapa bukti yang mendukung teori tersebut. Contohnya, anak-anak yang mengalami gangguan tingkah laku dalam bentuk tetap sepanjang hidup memang menunjukkan perilaku antisosial dengan onset dini dan tetap berlangsung hingga dan selama masa remaja dan anak-anak muda tersebut memiliki sejumlah masalah lain, seperti prestasi akademik rendah, kelemahan neuropsikologis, dan ADHD komorbid (Moffitt & Caspi, 2001). Bukti lain mendukung pendapat bahwa anak-anak dengan tipe tetap sepanjang hidup memiliki kelemahan neuropsikologis yang lebih parah dan psikopatologi dalam keluarga, dan berbagai temuan tersebut juga dihasilkan di berbagai budaya (Hinshaw & Lee, 2000).

Sampel yang digunakan oleh Moffitt dan para koleganya untuk membedakan tipe tetap sepanjang hidup dan terbatas di usia remaja telah dipantau hingga masa dewasa awal (usia 26). Mereka yang diklasifikasikan dalam tipe tetap sepanjang hidup terus mengalami berbagai masalah yang paling berat, termasuk psikopatologi, tingkat pendidikan rendah, pelecehan terhadap pasangan dan anak, dan perilaku kekerasan. Meskipun demikian, mereka yang diklasifikasikan dalam tipe terbatas di usia remaja yang diharapkan akan keluar dari perilaku agresif dan antisosial mereka tampaknya tidak demikian. Para laki-laki yang kini memasuki usia pertengahan dua puluhan tersebut terus mengalami masalah dengan penyalahgunaan dan ketergantungan zat, impulsivitas, tindakan kriminal, dan kesehatan mental secara keseluruhan (Moffitt dkk., di media). Pemantauan lanjutan terhadap sampel tersebut akan membantu kita mengetahui membaik atau tidaknya pola maladaptif tersebut ketika mereka memasuki usia akhir dua puluhan atau awal tiga puluhan.Mampu mengidentifikasi tipe remaja yang perilaku antisosialnya paling mungkin untuk terus berlanjut merupakan hal yang penting. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak laki-laki yang sangat agresif di usia dini, termasuk namun tidak hanya terbatas nereka yang mengalami gangguan tingkah laku, perilaku agresifnya tidak berlanjut hingga dan selepas masa remaja (a.l., Moffitt dkk., di media; Nagin & Trembly, 1999). Lahey dkk. (1995) menemukan bahwa anak laki-laki dengan gangguan tingkah laku perilaku antisosialnya jauh lebih mungkin untuk berlanjut jika mereka memiliki salah satu orang tua yang mengalami gangguan kepribadian antisocial atau jika mereka memiliki kecerdasan verbal rendah. Anak laki-laki yang memiliki IQ verbal lebih tinggi dan tidak memiliki orang tua yang antisosial tampaknya mengalami bentuk sementara gangguan tersebut. Dalam studi ini, faktor-faktor lain, termasuk status sosioekonomi dan etnisitas, tidak memprediksi anak laki-laki mana yang akan tetap menunjukkan gangguan tingkah laku sepanjang waktu. Meskipun demikian, penelitian lain menunjukkan bahwa interaksi berbagai faktor individual, seperti temperamen, psikopatologi yang dialami orang tua, dan interaksi orang tua-anak yang disfungsional, dan faktor-faktor sosiokultural, seperti kemiskinan dan dukungan sosial rendah, berkontribusi terhadap lebih besarnya kemungkinan timbulnya perilaku agresif di usia dini dengan sifat tetap (a.l., Campbell, 2002; DeKlyen & Speltz, 2001; Shaw, Bell, & Gilliom, 2000; Shaw dkk., 2001).

Etiologi dan Faktor Risiko Gangguan Tingkah Laku

Banyak teori yang telah dikemukakan mengenai etiologi gangguan tingkah laku, termasuk faktor biologis, faktor pembelajaran dan kognitif, dan berbagai variabel sosiologis. Terlebih lagi, banyak penelitian yang menggarisbawahi berbagai variabel yang meningkatkan risiko gangguan tingkah laku dan perilaku antisocial / agresif, termasuk psikopatologi pada orang tua, praktik-praktik dalam pengasuhan anak, dan pengaruh teman-teman seusia. Penjelasan yang paling komprehensif mengenai etiologi mempertimbangkan berbagai kontributor, termasuk biologis, psikologis dan sosial (Coie & Dodge, 1998).

Faktor-faktor Biologis. Bukti mengenai pengaruh genetik dalam gangguan tingkah laku bervariasi, meskipun faktor keturunan memang sangat mungkin berperan Contohnya, sebuah studi terhadap 3000 orang kembar mengindikasikan bahwa hanya ada sedikit pengaruh genetik dalam perilaku antisosial di masa kanak-kanak; pengaruh lingkungan keluarga lebih signifikan (Lyons dkk., 1995). Meskipun demikian, sebuah studi terhadap 2600 orang kembar di Australia menemukan pengaruh genetik yang besar dan hampir tidak ada pengaruh lingkungan keluarga dalam simtom-simtom gangguan tingkah laku di masa kanak-kanak (Slutske dkk., 1997). Para penulis studi yang disebutkan terakhir mengungkapkan bahwa perbedaan sampel dapat memengaruhi perbedaan temuan yang dihasilkan.

Hingga saat ini telah dilakukan tiga studi adopsi berskala besar, di Swedia, Denmark, dan Amerika Serikat, namun dua diantaranya memfokuskan pada faktor keturunan dalam perilaku kriminal dan bukan dalam gangguan tingkah laku atau gangguan kepribadian antisosial pada orang dewasa (Simonoff, 2001). Studi tersebut mengindikasikan bahwa perilaku kriminal dan agresif dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik dan lingkungan, dimana pengaruh faktor lingkungan sedikit lebih besar. Menariknya, terlepas dari perbedaan tingkat prevalensi pada laki-laki dan perempuan bukti-bukti yang mendukung kontribusi genetik dan lingkungan terhadap gangguan tingkah laku dan perilaku antisosial tidak berbeda pada laki-laki dan perempuan.

Membedakan tipe masalah tingkah laku dapat membantu mengklarifikasi temuan mengenai faktor keturunan dalam gangguan tingkah laku. Bukti-buki yang diperoleh dari studi terhadap orang kembar mengindikasikan bahwa perilaku agresif (a.l. kejam terhadap hewan, berkelahi, merusak kepemilikan) jelas diturunkan, sedangkan perilaku kenakalan lainnya (a.l., mencuri, lari dari rumah, membolos sekolah) kemungkinan tidak demikian (Edelbrock dkk., 1995). Bukti lain menunjukkan bahwa masa awal timbulnya masalah perilaku antisosial dan agresif berhubungan dengan faktor keturunan. Contohnya, perilaku agresif dan antisosial yang berawal di masa kanak-kanak, seperti dalam kasus terkait tipe tetap sepanjang hidup yang dikemukakan Moffitt, lebih bersifat keturunan daripada perilaku sama yang berawal di masa remaja (Taylor, Iacono, McGue, 2000). Seperti diungkapkan Hinshaw dan Lee (di media), hal yang mungkin diturunkan dalam gangguan tingkah laku adalah karakterisitik temperamental yang berinteraksi dengan berbagai masalah biologis lainnya (a.l., kelemahan neuropsikologis) serta dengan sekumpulan lengkap faktor lingkungan (a.l., pola asuh, performa di sekolah, pengaruh teman-teman sebaya) sehingga menyebabkan gangguan tingkah laku.

Kelemahan neuropsikologis, seperti disebutkan di atas, tercakup dalam profil masa kanak-kanak dari anak-anak yang mengalami gangguan tingkah laku (Lynam & Henry, 2001; Moffitt, Lynam, & Sylvia, 1994). Kelemahan tersebut termasuk keterampilan verbal yang rendah, masalah dalam fungsi pelaksanaan (kemampuan mengantisipasi, merencanakan, menggunakan pengendalian diri, dan menyelesaikan masalah), dan masalah memori. Selain itu, anak-anak yang mengalami gangguan tingkah laku di i dini (tipe tetap sepanjang hidup) diketahui memiliki skor IQ lebih rendah satu deviasi standar dari anak-anak seusianya yang tidak mengalami gangguan tingkah laku, dan kelemahan IQ ini tampaknya tidak dapat diatribusikan pada status sosioekonomi yang rendah, ras, atau kegagalan di sekolah.

Faktor-faktor Psikologis. Salah satu bagian penting dalam perkembangan anak normal adalah berkembangnya kesadaran moral, berkembangnya naluri mengenai yang benar dan salah dan kemampuan, bahkan keinginan, untuk menaati berbagai aturan dan norma. Sebagian besar orang menghindari untuk melukai orang lain tidak hanya karena hal melanggar hukum namun karena akan membuat mereka bersalah jika melakukannya. Anak-anak dengan gangguan tingkah laku, seperti halnya individu psikopatik yang dibahas pada Bab 13, tampak sering kali kurang memiliki kesadaran moral tersebut, kurang memiliki rasa penyesalan atas kesalahan perilaku mereka, dan menganggap tindakan antisosial sebagai sesuatu yang menggairahkan dan menyenangkan, sebagai suatu hal sentral bagi konsep diri mereka (Ryall, 1974).

Teori pembelajaran yang melibatkan modeling dan pengondisian operant memberikan penjelasan yang bermanfaat mengenai perkembangan dan berlanjutnya berbagai masalah tingkah laku. Bandura dan Walters (1963) merupakan dua dari para peneliti pertama yang memahami pentingnya fakta bahwa anak-anak dapat mempelajari agresivitas orang tua yang berperilaku agresif. Memang, anak-anak yang dianiaya secara fisik oleh orang tua kemungkinan menjadi agresif ketika tumbuh besar (Coie & Dodge, 1994). Anak-anak juga dapat meniru tindakan agresif yang dilihatnya dari berbagai sumber lain, seperti televisi (Huesmann & Miller, 1994). Karena agresi merupakan cara mencapai tujuan yang efektif, meskipun tidak menyenangkan, kemungkinan hal tersebut dikuatkan. Oleh karena itu, setelah ditiru, tindakan agresif kemungkinan akan dipertahankan.

Peniruan sosial ini dapat berperan sebagian dalam menjelaskan peningkatan dramatis perilaku kenakalan pada remaja yang sebelumnya tidak menunjukkan masalah tingkah laku. Moffitt (1993) berpendapat bahwa para remaja tersebut meniru perilaku anak-anak seusia yang berperilaku antisosial secara tetap karena anak-anak tersebut tampak memiliki benda-benda berstatus tinggi dan kesempatan seksual.

Selain itu, berbagai karakteristik pola asuh seperti disiplin keras dan tidak konsisten dan kurangnya pengawasan secara konsisten dihubungkan dengan perilaku antisosial pada anak-anak. Mungkin anak-anak yang tidak mendapatkan konsekuensi negatif atas tanda-tanda awal perilaku salah di kemudian hari mengalami masalah tingkah laku yang lebih serius (Coie & Dodge, 1998).

Sebuah perspektif sosial kognitif mengenai perilaku agresif (dan perkembangannya, gangguan tingkah laku) mengemuka dalam karya Kenneth Dodge dan para rekannya. Dalam salah satu dari berbagai studinya yang terdahulu (Dodge & Frame, 1982), Dodge menemukan bahwa proses-proses kognitif pada anak-anak agresif mengalami bias tertentu; anak-anak tersebut menginterpretasi tindakan ambigu, seperti tertabrak dalam antrian, sebagai suatu tindakan berniat buruk. Persepsi semacam itu dapat mendorong anak-anak tersebut untuk membalas dengan agresif tindakan yang mungkin tidak dimaksudkan sebagai tindakan provokatif. Kemudian teman-teman sebaya mereka, karena ingat pada perilaku agresif tersebut, dapat cenderung lebih sering, bertindak agresif terhadap membuat mereka yang mereka sehingga menjadi semakin marah dan melanggengkan siklus penolakan dan agresi. Dodge menyusun teori pemrosesan informasi sosial mengenai perilaku anak-anak yang memfokuskan pada cara anak-anak memproses informasi mengenai dunia mereka dan bagaimana kognisi tersebut sangat memengaruhi perilaku mereka (Crick & Dodge, 1994).

Pengaruh dari Teman-teman Seusia. Penelitian mengenai bagaimana pengaruh teman-teman seusia terhadap perilaku agresif dan antisosial anak-anak memfokuskan pada dua bidang besar: (1) penerimaan atau penolakan dari teman-teman seusia; dan (2) afiliasi dengan teman-teman seusia yang berperilaku menyimpang. Penolakan oleh teman-teman seusia menunjukkan hubungan kausal dengan perilaku agresif, bahkan dengan mengendalikan tingkat perilaku agresif yang terdahulu (Coie dan Dodge, 1998). Pergaulan dengan teman-teman seusia yang berperilaku nakal juga meningkatkan kemungkinan perilaku nakal (Capaldi & Patterson, 1994). Satu pertanyaan yang masih harus dijawab adalah apakah anak-anak berperilaku nakal tersebut memilih untuk bergaul dengan teman-teman seusia yang juga berperilaku sama sehingga terus mempertahankan perilaku antisosial mereka, ataukah pergaulan dengan anak-anak yang berperilaku nakal dapat memengaruhi berawalnya perilaku antisocial.

Faktor-faktor Sosiologis. Setiap pembahasan mengenai gangguan tingkah laku dan kenakalan harus mengakui karya para sosiolog. Kelas sosial dan kehidupan kota besar berhubungan dengan insiden kenakalan. Tingkat pengangguran tinggi, fasilitas pendidikan yang rendah, kehidupan keluarga yang terganggu, dan subkultur yang menganggap perilaku kriminal sebagai suatu hal yang dapat diterima teruangkap sebagai faktor-faktor yang berkontribusi (Lahey dkk., 1999; Loeber & Farrington, 1998). Kombinasi perilaku antisosial anak-anak yang timbul di usia dini dan rendahnya status sosioekonomi keluarga memprediksi terjadinya penangkapan di usia muda karena tindak kriminal (Patterson, Crosby, & Vuchinich, 1992).

Sebuah studi terhadap para remaja Afrika Amerika dan kulit putih yang diambil dari Pittsburgh Youth Study mengindikasikan bahwa tindak kriminal yang lebih berat yang umum ditemukan di kalangan etnis Afrika Amerika tampaknya berhubungan dengan tempat tinggal mereka yang berlokasi di pemukiman miskin, bukan dengan ras mereka. Peeples dan Loeber (1994) menentukan wilayah pemukiman sebagai kelas bawah atau bukan kelas bawah berdasarkan faktor-faktor sepert kemiskinan / kemakmuran keluarga, keluarga yang semua anggotanya menganggur, pengangguran pada kaum laki-laki, dan kelahiran di luar perkawinan. Dalam sampel total dengan mengabaikan perbedaan kelas sosial para remaja Afrika Amerika jauh lebih mungkin daripada para remaja kulit putih untuk melakukan tindak kriminal berat (a.l. mencuri mobil, masuk dengan paksa ke rumah orang lain, penyerangan berat). Namun, para remaja Afrika Amerika yang tidak bermukim di wilayah pemukiman kelas bawah tidak berbeda dengan para remaja kulit putih dalam hal perilaku kenakalan serius. Faktor-faktor sosial berperan. Korelasi terkuat dengan kenakalan selain wilayah mukim adalah hiperaktivitas dan kurangnya pengawasan orang tua; setelah faktor-faktor tersebut dikendalikan, para penghuni pemukiman kelas bawah sangat erat berhubungan dengan perilaku kenakalan, namun tidak demikian dengan etnisitas.

Psikologi Abnormal dan PsikopatologiFillino Firmansyah, M.Psi.Pusat Pengembangan Bahan AjarUniversitas Mercu Buana

111