Upload
ica-palensina
View
236
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jhgjghjg
Citation preview
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
1. Karakteristik Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu yang telah memenuhi kriteria
inklusi. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 33 orang dengan rincian
11orang pada setiap kelompok perlakuan.
Tabel 4.1 Persentase karakteristik sampel penelitian kelompok kontrol (konsumsi nasi putih )
Karakteristik n (Jumlah)
Persentase (%) dari total subjek
penelitian
Rata-rata nilai IMT
Rata-rata nilai METS
Jenis Kelamin 22,03 ≤ 4Laki-laki 3 9
Perempuan 8 24Umur
18 - <19 - -19 - <20 - -20 - <21 - -21 - <22
22-2365
1815
Tabel 4.2 Persentase karakteristik sampel penelitian kelompok perlakuan 1 (konsumsi kentang rebus)
Karakteristik n (Jumlah)
Persentase (%) dari total subjek
penelitian
Rata-rata nilai IMT
Rata-rata nilai METS
Jenis Kelamin 20,5 ≤ 4Laki-laki 1 3
Perempuan 10 30Umur
18 - <19 1 319 - <20 3 920 - <21 2 621 - <22
22-2332
96
48
Tabel 4.3 Persentase karakteristik sampel penelitian kelompok perlakuan 2 (konsumsi talas Bogor kukus)
Karakteristik n (Jumlah)
Persentase (%) dari
total subjek penelitian
Rata-rata nilai IMT
Rata-rata nilai
METS
Jenis Kelamin 21,41 ≤ 4Laki-laki 1 3
Perempuan 10 30Umur
18 - <19 3 919 - <20 2 620 - <21 1 321 - <22
22-2332
69
Berdasarkan tabel 4.1, 4.2 dan 4.3 diperoleh bahwa sampel berjenis
kelamin laki-laki paling banyak terdapat pada kelompok konrol yaitu
sebanyak 3 orang (9%) sedangkan pada kelompok lainnya masing-masing
hanya 1 orang (3%) saja. Usia pada kelompok perlakuan satu dan dua
berkisar antara 18- 23 tahun, sedangkan usia pada kelompok kontrol
berkisar antara 21-23 tahun. Rata-rata indeks massa tubuh (IMT) pada
kelompok kontrol adalah 22,03, pada kelompok perlakuan satu 20,5 dan
kelompok perlakuan 2 yaitu 21,41. Nilai METS (Metabolic Equivalents)
pada setiap kelompok ≤ 4 yang berarti bahwa subjek penelitian di setiap
kelompok memiliki aktivitas yang ringan.
2. Hasil pengukuran kadar glukosa darah puasa dan postprandial
Rata-rata dan selisih nilai kadar gukosa darah puasa dan kadar
glukosa darah postprandial dapat dilihat pada Tabel 4.4
49
Tabel 4.4 Rata-rata dan selisih nilai kadar gukosa darah puasa dan kadar glukosa darah postprandial (mg/dl)
Kelompok
Rata-rata kadar
glukosa darah puasa
(mg/dl)
Rata-rata kadar
glukosa darah
postprandial (mg/dl)
Selisih rata-rata
kadar glukosa darah
(mg/dl)
Kontrol (Nasi putih) 79,45 118,63 39,73
Perlakuan 1 (Kentang rebus) 77,90 110,72 32,82
Perlakuan 2 (Talas Bogor kukus) 79,81 108,63 28,82
Tabel 4.2 menunjukkan rata-rata dan selisih nilai kadar glukosa darah
puasa dan postprandial dari kelompok kontrol, perlakuan satu, dan
perlakuan dua. Data tersebut menunujukkan bahwa selisih kadar glukosa
darah pada kelompok kontrol adalah 39,73 mg/dL, selisih kadar glukosa
darah pada kelompok yang mengonsumsi kentang rebus adalah 32,82
mg/dL, dan kelompok yang mengonsumsi talas Bogor kukus adalah 28,82
mg/dL.
3. Hasil Analisis Data
Analisis data menggunakan uji one way Anova. Syarat menggunakan
uji ini adalah sebaran data harus normal dan varians data harus sama. Uji
Shapiro-Wilk bertujuan untuk mengetahui sebaran data normal atau tidak.
Hasil uji Shapiro-Wilk dapat dilihat pada Tabel 4.5
Tabel 4.5 Hasil Uji Shapiro-Wilk
No Selisih Kadar Glukosa Darah Signifikansi (p)
Keterangan
1 Kontrol (Nasi putih) 0,055 Normal
2 Perlakuan 1 (Kentang rebus) 0,824 Normal
3 Perlakuan 2 (Talas Bogor kukus ) 0,471 Normal
50
Uji varians dilakukan untuk mengetahui varians data sama atau tidak.
Hasil uji varians data dapat dilihat pada Tabel 4.4 :
Tabel 4.6 Hasil Uji Varians
Levene Statistic df 1 df 2 Sig.357 2 30 .702
Hasil uji Shapiro-Wilk diperoleh nilai p untuk ketiga kelompok > 0,05
yang berarti bahwa sebaran data normal. Pada uji varians diperoleh nilai p=
0,7 p> 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa varians data antara kelompok
yang dibandingkan adalah sama, karena sebaran data normal dan varians
data sama maka uji analisis data yang digunakan adalah uji one way Anova.
Tabel 4.7 Hasil analisis statistik nilai selisih kadar glukosa darah puasa dan postprandial menggunakan one way Anova
Keterangan
Selisih Kadar Glukosa Darah
Kontrol
(Nasi putih)
Perlakuan 1 (Kentang
rebus)
Perlakuan 2 (Talas Bogor
kukus)
Rerata ±Simpangan baku 39,73 ± 3,289 32,82 ± 2,562 28,82 ± 1,991
Signifikansi (p) 0,000
Hasil uji one way anova untuk selisih kadar glukosa diperoleh nilai p
= 0,000 ( p< 0,05) yang berarti bahwa paling tidak terdapat perbedaan
selisih kadar glukosa darah postprandial pada dua kelompok.
Uji one way anova kemudian dilanjutkan dengan uji Post Hoc LSD
untuk menentukan adanya perbedaan antar kelompok.
51
Tabel 4.8 Rerata selisih kadar glukosa darah dan hasil analisis stastik menggunakan Post Hoc Test-LSD
Kelompok Rerata Signifikansi (p)
Kontrol Perlakuan 1 6,909 0,000
Perlakuan 2 10,909 0,000
Perlakuan 1 Kontrol -6,909 0,000
Perlakuan 2 4,000 0,001
Perlakuan 2 Kontrol -10,909 0,000
Perlakuan 1 -4,00 0,001
Pada uji Post Hoc Test-LSD antar kelompok didapatkan bahwa ada
perbedaan yang bermakna nilai selisih kadar glukosa darah antara kelompok
kontrol dengan kelompok perlakuan satu yang mengonsumsi kentang rebus
dengan nilai p< 0,05 (p= 0,000) dan kelompok perlakuan dua yang
mengonsumsi talas Bogor kukus rebus dengan nilai p< 0,05 (p= 0,000).
Pada uji Post Hoc Test-LSD pada kelompok perlakuan satu dan perlakuan
dua terdapat perbedaan bermakna nilai selisih kadar glukosa darah dengan
nilai p< 0,05 (p= 0,001).
52
BAB V
PEMBAHASAN
Berdasarkan Tabel 4.1, 4.2 dan 4.3 diperoleh bahwa subjek penelitian
berjumlah 33 orang yang terdiri dari 28 orang perempuan dan 5 orang laki-laki.
Setiap kelompok perlakuan terdiri dari 11 orang. Jumlah subjek penelitian laki-
laki terbanyak pada kelompok kontrol yaitu 3 orang (9%) sedangkan kedua
kelompok perlakuan lainnya masing-masing hanya 1 orang (3%) saja. Subjek
penelitian laki-laki berjumlah jauh lebih sedikit dari subjek penelitian perempuan
karena mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu
memang mayoritas berjenis kelamin perempuan. Usia subjek penelitian juga tidak
jauh berbeda antar kelompok perlakuan, usia subjek penelitian berkisar antara 18-
23 tahun. Rata-rata Indeks Massa Tubuh (IMT) pada ketiga kelompok perlakuan
masih dalam rentang normal yaitu masih berkisar antara 18,5-25,0 Kg/m2
(Departemen Kesehatan RI ,2003). Nilai METS (Metabolic Equivalents) pada
setiap kelompok ≤ 4 yang berarti bahwa subjek penelitian di setiap kelompok
memiliki aktivitas yang ringan.
Tabel 4.4 menunjukkan rata-rata dan selisih nilai kadar glukosa darah puasa
dan kadar glukosa darah postprandial dari subjek penelitian. Dari hasil data
tersebut terlihat bahwa selisih rata-rata kadar glukosa darah antara kelompok
kontrol lebih besar daripada kelompok perlakuan satu dan perlakuan dua, dan
selisih rata-rata kadar glukosa darah antara kelompok perlakuan satu lebih besar
daripada kelompok perlakuan dua.
53
Tabel 4.6 menunjukkan hasil analisis stastik nilai selisih kadar glukosa
darah puasa dan postprandial yang dianalisis dengan menggunakan uji one way
Anova. Dari hasil data tersebut diperoleh nilai p = 0,000 ( p< 0,05) yang berarti
paling tidak terdapat perbedaan selisih kadar glukosa darah postprandial pada dua
kelompok.
Tabel 4.7 menunjukkan hasil uji Post Hoc Test-LSD antara 3 kelompok
perlakuan. Pada tabel tersebut terlihat nilai p pada setiap kelompok yang
dibandingkan <0,05. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna
nilai selisih kadar glukosa darah antara kelompok kontrol dengan kelompok
perlakuan 1 dan kelompok perlakuan 2. Selain itu juga terdapat juga perbedaan
yang bermakna nilai selisih kadar glukosa darah antara kelompok perlakuan 1
dengan kelompok perlakuan 2
Perbedaan selisih kadar glukosa darah pada 3 kelompok perlakuan diduga
karena perbedaan kandungan pati resisten yang terdapat di dalam 3 jenis pangan
yang diuji. Kandungan pati resisten Di dalam 100 gram nasi putih adalah 0,97%
(Li et al., 2010), di dalam 100 gram kentang rebus adalah 1,3% (Murphy et al.,
2008), dan di dalam 100 gram talas kukus 3.76% (Chen et al., 2010). Dugaan ini
diperkuat dengan penelitian Li et al. (2010) yang membandingkan peningkatan
kadar insulin dan peningkatan glukosa darah postprandial setelah konsumsi nasi
putih yang mengandung pati resisten (8 g dalam 40 g karbohidrat), nasi putih wild
type, dan glukosa. Nasi putih yang mengandung pati resisten memiliki
peningkatan glukosa darah postprandial dan peningkatan kadar insulin lebih
rendah dibandingkan dengan nasi putih wild type dan glukosa. Hasil penelitian
54
tersebut sejalan dengan hasil penelitian dari Hasjim et al. (2010) bahwa
peningkatan glukosa darah postprandial dan peningkatan kadar insulin pada
subjek penelitian yang mengonsumsi roti yang mengandung pati resisten lebih
rendah dibandingkan dengan subjek yang mengonsumsi roti putih tanpa pati
resisten.
Penelitian dari Ou et al. (2001) dan Tudesco et al. (1991) menunjukkan
bahwa kandungan pati resisten pada berbagai jenis makanan mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah melalui tiga mekanisme yaitu penghambatan
aktivitas enzim α-amilase yang fungsinya mengubah pati menjadi glukosa,
meningkatkan visikositas di usus halus sehingga menghambat penyerapan glukosa
dan peningkatan produksi asam lemak rantai pendek yaitu asam lemak propianat
yang dihasilkan oleh bakteri anaerob di usus besar.
Kadar Amilosa, amilopektin dan proses pengolahan juga diduga dapat
mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Kandungan
amilosa yang lebih tinggi menyebabkan pencernaan menjadi lebih lambat karena
amilosa merupakan polimer glukosa yang memiliki struktur tidak bercabang.
Struktur yang tidak bercabang ini membuat amilosa terikat lebih kuat sehingga
sulit tergelatinisasi dan akibatnya sulit dicerna (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Selain itu, amilosa mudah bergabung dan mengkristal sehingga mudah mengalami
retrogradasi yang bersifat sulit untuk dicerna (Behall dan Hallfrisch, 2002). Proses
pengolahan dapat mengubah sifat fisikokimia suatu bahan pangan seperti kadar
lemak dan protein, daya cerna, serta ukuran pati maupun zat gizi lainnya sehingga
55
secara tidak langsung dapat mengubah indeks glikemik suatu makanan
(Rimbawan dan Siagian, 2004).
Kentang mengandung 83,49% amilopektin dan 16,5% amilosa (Samadi,
2007) sedangkan talas Bogor mengandung 79% amilopektin dan 21% amilosa
(Kusnandar, 2007). Perbedaan kadar amilosa di dalam dua jenis pangan uji ini
diduga dapat mempengaruhi indeks glikemik pangan tersebut. Dugaan ini
diperkuat dengan hasil penelitian Indrasari et al. (2008) yang menunjukkan beras
berkadar amilosa rendah cenderung mempunyai indeks glikemik yang tinggi
ataupun sebaliknya. Beras varietas Setail memiliki kadar amilosa terendah 7,74%
dengan indeks glikemik tertinggi yaitu 74 sedangkan beras varietas Cisokan
memiliki kadar amilosa tertinggi 26,68% dengan indeks glikemik terendah yaitu
34. Hasil serupa juga terjadi pada penelitian Richana et al. (2012) penelitian ini
membandingkan indeks glikemik berbagai varietas jagung lokal dengan kadar
amilosa yang berbeda-beda. Jagung varietas Telogo Mulyo memiliki kadar
amilosa 28,31% dengan indeks glikemik 33 sedangkan jagung varietas Tretep
memiliki kadar amilosa 25,38% dengan indeks glikemik 37.
Proses pengolahan pada kentang dan talas Bogor di penelitian ini juga
diduga mempengaruhi indeks glikemik makanan tersebut. Proses perebusan
dengan media air dapat mempercepat proses gelatinisasi jika dibandingkan dengan
proses pengukusan. Proses perebusan dapat memperbesar ukuran granula pati
khususnya amilopektin, yaitu polimer gula sederhana yang memiliki ukuran
molekul yang lebih besar dan lebih terbuka.. Bila sebagian besar granula pati telah
mengembang maka pati tersebut dinyatakan tergelatinisasi secara penuh. Granula
56
yang mengembang sangat mudah dicerna karena enzim pencernaan pati di dalam
usus halus mendapatkan permukaan yang lebih luas untuk kontak dengan enzim
(Rimbawan dan Siagian, 2004; Jenkins et al., 2002). Dugaan tersebut diperkuat
dengan penelitian dari Rakhmmawati et al. (2010) yang membandingkan indeks
glikemik pada sukun yang diolah dengan cara direbus, dikukus, dan digoreng.
Indeks glikemik pada sukun yang direbus adalah 89 lebih tinggi jika
dibandingankan dengan sukun yang dikukus yang indeks glikemiknya 85.
Kelemahan pada penelitian ini adalah subjek penelitian yang kurang patuh
saat diminta untuk berpuasa. Mereka seringkali lupa dan pada akhirnya harus
mengulang berpuasa kembali keesokan harinya. Penggunaan dua glucometer
(Accu-chek Active® Alat monitor gula darah) juga menyebabkan pengukuran
kadar glukosa darah yang dilakukan secara duplo memiliki hasil yang berbeda
sehingga hasil pengukuran dilakukan rawan bias. Proses pengolahan antara
kentang rebus dan talas Bogor kukus yang dilakukan tidak seragam baik pada
suhu pemasakan dan jumlah air yang digunakan. Padahal kedua hal itu sangat
mempengaruhi proses gelatinisasi pati pada kedua jenis makanan tersebut.
Semakin tinggi suhu pemasakan dan semakin banyak air yang digunakan maka
semakin cepat pula gelatinisasi terjadi. Gelatinisasi adalah suatu keadaan dimana
pati dapat dicerna secara sempurna oleh enzim-enzim pencernaan. (Rimbawan
dan Siagian, 2004).
57
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Peningkatan kadar glukosa darah postprandial pada kelompok yang
mengonsumi kentang rebus (Solanum tuberosum L) dan kelompok yang
mengonsumsi talas Bogor kukus (Colocasia esculenta L. Schoot) lebih
rendah daripada kelompok kontrol yang mengonsumsi nasi putih.
2. Peningkatan kadar glukosa darah postprandial antara kelompok yang
mengonsumsi talas Bogor kukus (Colocasia esculenta L. Schoot) lebih
rendah daripada kelompok kentang rebus (Solanum tuberosum L)
3. Berdasarkan hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa kentang rebus dan
talas Bogor kukus dapat menjadi sumber pangan alternatif pengganti nasi
putih untuk penderita diabetes melitus namun talas Bogor kukus merupakan
sumber pangan alternatif terpilih.
B. Saran
1. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai pati resisten terhadap efeknya pada
penurunan kadar glukosa darah postprandial dengan cara mengekstrak pati
resistennya.
2. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai cara pengolahan terhadap kadar pati
resisten dan kemampuannya dalam menurunkan kadar glukosa darah
postprandial.
3. Perlu dilakukan perbandingan dengan kelompok yang sudah mengalami
diabetes melitus untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih baik.
58
4. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan subjek penelitian
dengan tingkat kepatuhan yang tinggi.
59