53
4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH 4.1 Rasional Ide konsep pertanian berkelanjutan di dunia diilhami oleh Komisi Brundtland yang mempromosikan pembangunan berkelanjutan pada tahun 1987. Paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut ditindaklanjuti dengan diselenggarakannya Konferensi Dunia di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang mendeklarasikan program pertanian berkelanjutan. Keluarnya gagasan pertanian berkelanjutan merupakan respon terhadap penurunan kualitas sumberdaya alam dan timbulnya masalah ekonomi dan sosial, sebagai dampak dari revolusi hijau yang memperkenalkan pupuk agrokimia, obat pestisida dan bibit unggul (Edward, 1994; dalam Altieri, 2002). Proposal tentang konsep agroekologi merupakan upaya untuk memfasilitasi pemecahan masalah yang disebabkan oleh dampak revolusi hijau tersebut (Gliessman, 2002). Tujuan utama konsep agroekologi adalah untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan (Altieri, 1989, 2002). Munculnya konsep agroekologi di negara- negara maju pada hakekatnya merupakan keinginan para pakar pertanian untuk mengembalikan sistem pertanian yang sesuai dengan kaidah-kaidah ekosistem, dalam hal ini adalah agroekosistem. Pengalaman penerapan revolusi hijau yang mengabaikan kaidah-kaidah ekosistem dalam jangka pendek mungkin dapat meningkatkan produktivitas lahan. Namun demikian, dalam jangka panjang akan dapat mengakibatkan kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan. Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep agroekologi untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan. Agroekologi adalah ilmu tentang aplikasi konsep dan prinsip-prinsip ekologi untuk mendesain dan mengelola keberlanjutan agroekosistem. Aplikasi agroekologi dapat dikatakan sebagai metode untuk mendiagnosa sistem pertanian yang sehat, dengan mendelineasi prinsip-prinsip ekologi yang sesuai untuk mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan (Gliessman, 1998, dalam Gliessman, 2002). Agroekologi ini bersifat multidimensi karena merupakan perpaduan ilmu ekologi, ekonomi, dan sosial (Altieri, 2002; Dalgaard et al. 2003). Ketiga dimensi keilmuan tersebut adalah sebagai dasar penilaian keberlanjutan

4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

  • Upload
    vudieu

  • View
    232

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

77

4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH

4.1 Rasional

Ide konsep pertanian berkelanjutan di dunia diilhami oleh Komisi

Brundtland yang mempromosikan pembangunan berkelanjutan pada tahun 1987.

Paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut ditindaklanjuti dengan

diselenggarakannya Konferensi Dunia di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang

mendeklarasikan program pertanian berkelanjutan. Keluarnya gagasan pertanian

berkelanjutan merupakan respon terhadap penurunan kualitas sumberdaya alam

dan timbulnya masalah ekonomi dan sosial, sebagai dampak dari revolusi hijau

yang memperkenalkan pupuk agrokimia, obat pestisida dan bibit unggul

(Edward, 1994; dalam Altieri, 2002). Proposal tentang konsep agroekologi

merupakan upaya untuk memfasilitasi pemecahan masalah yang disebabkan oleh

dampak revolusi hijau tersebut (Gliessman, 2002).

Tujuan utama konsep agroekologi adalah untuk mewujudkan pertanian

berkelanjutan (Altieri, 1989, 2002). Munculnya konsep agroekologi di negara-

negara maju pada hakekatnya merupakan keinginan para pakar pertanian untuk

mengembalikan sistem pertanian yang sesuai dengan kaidah-kaidah ekosistem,

dalam hal ini adalah agroekosistem. Pengalaman penerapan revolusi hijau yang

mengabaikan kaidah-kaidah ekosistem dalam jangka pendek mungkin dapat

meningkatkan produktivitas lahan. Namun demikian, dalam jangka panjang akan

dapat mengakibatkan kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan.

Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep

agroekologi untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan.

Agroekologi adalah ilmu tentang aplikasi konsep dan prinsip-prinsip

ekologi untuk mendesain dan mengelola keberlanjutan agroekosistem. Aplikasi

agroekologi dapat dikatakan sebagai metode untuk mendiagnosa sistem pertanian

yang sehat, dengan mendelineasi prinsip-prinsip ekologi yang sesuai untuk

mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan (Gliessman, 1998, dalam

Gliessman, 2002). Agroekologi ini bersifat multidimensi karena merupakan

perpaduan ilmu ekologi, ekonomi, dan sosial (Altieri, 2002; Dalgaard et al. 2003).

Ketiga dimensi keilmuan tersebut adalah sebagai dasar penilaian keberlanjutan

Page 2: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

78

pertanian, yaitu mantap secara ekologis, berlanjut secara ekonomi, adil,

manusiawi, dan luwes (Gips, 1986; dalam Sabiham, 2008).

Karena aspek-aspek agroekologi dapat dipetakan pada skala yang berbeda-

beda (Dalgaard et al. 2003; Rao dan Rogers, 2006), maka prinsip-prinsip ekologi

dapat didelineasi sebagai zona agroekologi, dengan menggunakan teknologi SIG.

Sebagaimana yang telah diterapkan di negara-negara maju, zona agroekologi

ini cocok untuk digunakan sebagai basis kajian keberlanjutan lahan sawah di Jawa

sebagai sentra produksi padi yang nampaknya masih terpuruk karena masalah

lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya

4.2 Tinjauan Pustaka

4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan

Kata ”pertanian berkelanjutan” terdiri dari dua kata, yaitu kata ”pertanian”

dan ”berkelanjutan”. Menurut Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa (1999), kata ”pertanian” diartikan sebagai segala sesuatu

yang bertalian dengan tanam-menanam. Kata ”berkelanjutan” berarti berlangsung

terus-menerus atau berkesinambungan. Sehingga, dalam konteks kata, pertanian

berkelanjutan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan tanam-menanam yang

berlangsung terus-menerus atau berkesinambungan.

Dalam kata ”keberlanjutan pertanian, kata kunci ”keberlanjutan” dapat

diartikan sebagai ”menjaga agar suatu upaya terus berlangsung atau kemampuan

untuk bertahan dan menjaga agar tidak menurun”. Keberlanjutan pada dasarnya

berarti sebagai kemampuan lahan untuk tetap produktif sekaligus tetap dapat

mempertahankan eksistensi sumberdaya lahan untuk memenuhi kebutuhan pokok

hidup manusia.

Dalam konteks pertanian, definisi pertanian berkelanjutan ada bermacam-

macam. Dari kalangan para pakar ilmu tanah atau agronomi, pertanian

berkelanjutan lebih dikenal dengan istilah LEISA (Low External Input

Sustainable Agriculture), yaitu pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan

sumberdaya alam dan manusia yang tersedia di tempat (seperti tanah, air,

tumbuhan, tanaman, dan hewan lokal serta tenaga manusia, pengetahuan, dan

ketrampilan) dan yang secara ekonomi layak, mantap secara ekologis, disesuaikan

Page 3: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

79

menurut budaya dan adil secara sosial (Reijntjes et al. 1999). Nasution (1995)

mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai kegiatan pertanian yang berupaya

untuk memaksimalkan manfaat sosial dari pengelolaan sumberdaya biologi

dengan syarat memelihara produktivitas dan efisiensi produksi komoditas

pertanian, memelihara kualitas lingkungan hidup, dan produktivitas sumberdaya

sepanjang masa. Menurut Technical Advisory Committee of the CGIAR (TAC-

CGIAR, 1988, dalam Mangkuprawira, 2007), pertanian berkelanjutan adalah

pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu

kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan

kualitas dan melestarikan sumberdaya alam. Pertanian berkelanjutan diistilahkan

oleh Word Bank/Trie Societies (1998, dalam Notohadinegoro, 1999) sebagai

sustainable intensification, yaitu sistem pengelolaan pertanian terpadu yang

secara berangsur meningkatkan produktivitas lahan sambil mempertahankan

keutuhan dan keaneragaman ekologi dan hayati sumberdaya alam selama jangka

panjang, memberikan keuntungan ekonomi kepada para perorangan,

menyumbang kepada mutu kehidupan dan memperkuat pembangunan ekonomi

negara. Secara ringkas, sistem pertanian berkelanjutan pada hakekatnya adalah

back to nature, yakni sistem pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi,

selaras, dan seimbang dengan lingkungan atau pertanian yang patuh dan tunduk

pada kaidah-kaidah alamiah (Salikin, 2003). Pembangunan pertanian

berkelanjutan dapat diartikan sebagai upaya pengelolaan sumberdaya dan usaha

pertanian melalui penerapan teknologi pertanian dan kelembagaan secara

berkesinambungan bagi generasi kini dan masa depan (Deptan, 2006). Setidaknya,

pertanian berkelanjutan mengandung makna empat aspek, yaitu (1) kesadaran

ekologi (ecological sound), (2) bernilai ekonomi (economic viability), (3)

berkeadilan sosial (social justice), dan (4) berperikemanusiaan (humaness)

(Anonim, http://allianceforsustainability.net, 18 Juli 2008). Karena pembangunan

pertanian tidak dapat terlepas dari faktor sosial, ekonomi, dan budaya, sistem

pertanian berkelanjutan setidaknya mengandung makna sesuai secara teknis, layak

secara ekonomi, dan dapat diterima secara sosial dan budaya masyarakat setempat

(Puslitanak, 1999). Pertanian bisa dikatakan berkelanjutan jika mantap secara

ekologis (kualitas sumberdaya alam dan kemampuan agroekosistem dijaga dan

Page 4: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

80

ditingkatkan), bisa berlanjut secara ekonomi (petani mendapat penghasilan yang

cukup dan kelestarian sumberdaya alam dijaga), adil (sumberdaya dan kekuasaan

didistribusikan kepada petani secara demokratis), manusiawi (integritas budaya

dan spiritualitas masyarakat petani dijaga dan dipelihara), dan luwes (masyarakat

petani mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usaha tani yang

berkelanjutan) (Gibs, 1986; dalam Reijntjes et al., 1999). Sabiham (2008)

mengemukakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah sebagai pengelolaan

sumberdaya untuk menghasilkan kebutuhan pokok manusia (sandang, pangan,

dan papan), sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan

dan melestarikan sumberdaya alam.

4.2.2 Konsep Agroekologi

Istilah agroekologi secara paralel diusulkan oleh ahli zoologi Jerman dan

ahli fisiologi tanaman Amerika pada tahun 1930 dan 1939, sebagai sinonim untuk

aplikasi ekologi dalam bidang pertanian (Gliessman, 2002; Dalgaard et al.,

2003). Pemikiran ahli ekologi pada saat itu, walaupun fokusnya relatif masih

sempit, telah memberi wawasan ke depan tentang pengintegrasian ekosistem

(Dalgaard et al., 2003). Lahirnya disiplin ilmu agroekologi, menurut Altieri

(1989), dilatarbelakangi oleh adanya ancaman keberlanjutan pengembangan

pertanian selama dua dekade terakhir karena keterbatasan sumberdaya, terjadinya

degradasi lingkungan, pertumbuhan penduduk yang tinggi, tidak terkontrolnya

atau macetnya pertumbuhan ekonomi, marjinalisasi sosial, dan lain-lain. Faktor-

faktor yang mengakibatkan terancamnya pembangunan pertanian berkelanjutan

tersebut berasal dari ekternalitas negatif dari penerapan revolusi hijau yang telah

mengintrodusir penggunaan pupuk kimia (sintetis), pestisida, dan bahan-bahan

kimia lainnya untuk memacu produktivititas hasil panen biji-bijian (Dalgaard et

al., 2003; Salikin, 2003). Kekhawatiran terhadap ancaman pertanian

berkelanjutan tersebut mendorong pengusulan ilmu agroekologi yang diharapkan

dapat mengatasi permasalahan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan, serta

gizi buruk masyarakat (Dalgaard et al., 2003).

Dalam berbagai konsep, agroekologi diusulkan sebagai disiplin ilmu baru

yang mendefinisikan, mengklasifikan, dan mempelajari sistem pertanian dari

Page 5: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

81

perspektif ekologi, sosial, dan ekonomi (Altieri, 1987, dalam Altieri, 1989).

Selain manyajikan metodologi yang mendiagnosa kesehatan sistem pertanian,

agroekologi seharusnya mendeliniasi prinsip-prinsip ekologi yang diperlukan

untuk mengembangkan sistem produksi pertanian berkelanjutan (Altieri, 1989).

Agroekologi sebagai ilmu baru yang mengintegrasikan berbagai bidang keilmuan

(Altieri, 1989, GFAR, 2000, Dalgaard et al., 2003) diarahkan untuk dapat

menjelaskan aliran energi, informasi dan bahan dalam ekosistem pertanian agar

keluaran yang diperoleh dapat optimal, penggunaan masukan eksternal dapat

diminimalkan, serta pencemaran terhadap sumberdaya alam dapat dihindari

(GFAR, 2000). Agroekologi membahas dimensi agroekosistem secara lebih luas,

mulai dari aspek genetik, agronomi, edapologinya, dan lain-lain. Dalam hal ini,

agroekologi menitikberatkan hubungan antar komponen dalam agroekosistem dan

dinamika yang komplek dari proses ekologi. Karena cakupan bahasannya yang

bersifat terpadu dari multidisiplin, agroekologi dapat diartikan sebagai pengkajian

agroekosistem yang bersifat holistik, yang mencakup semua unsur-unsur

lingkungan dan manusia (Vandemeer, 1995 dalam Altieri, 2002). Dalgaard et al.

(2003) mengilustrasikan konsep agroekologi yang bersifat multidisiplin seperti

yang diperlihatkan pada Gambar 33. Agroekologi didefinisikan sebagai ilmu

yang mempelajari interaksi antara tanaman, hewan, manusia, dan lingkungan di

dalam sistem pertanian. Oleh karena itu, agroekologi merupakan bidang studi

yang mengintegrasikan bidang agronomi, ekologi, sosiologi, dan ekonomi

(Dalgaard et al., 2003). Menurut Gliesmann (1989, dalam Gliessman, 2000)

agroekologi merupakan aplikasi ilmu ekologi untuk mendesain dan mengelola

agroekosistem berkelanjutan. Karena pembangunan pertanian tidak dapat

terlepas dari faktor sosial, ekonomi, dan budaya (Puslitanak, 1999), sistem

pertanian berkelanjutan setidaknya mengandung makna sesuai secara teknis, layak

secara ekonomi, dan dapat diterima secara sosial dan budaya masyarakat setempat.

Agroekologi merupakan suatu pendekatan bertani untuk merespon

ketidakefisienan agronomi dan ketidak-adilan sosial dari pertanian konvensional.

Prinsip dan penerapan agroekologi menggabungkan metode-metode bertani yang

telah terbukti, ilmu ekologi baru, dan budaya lokal petani untuk meningkatkan

produktivitas, keberlanjutan, dan manfaat sosial bertani (Cohn et al., 2006).

Page 6: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

82

Dalgaard et al. (2003) menjelaskan bahwa faktor ekologi dan agronomi

yang mempengaruhi kelangsungan produksi pangan merupakan faktor fisik, dan

disebut sebagai faktor piranti keras (hard agroecology). Melalui agroekosistem

dimana terjadi interaksi antara tanaman, hewan dan lingkungan, piranti keras

agroekologi ini berinteraksi dengan faktor aktifitas manusia (sosiologi), yang

disebut sebagai faktor piranti lunak agroekologi (soft agroecology). Menurut

Checkland (1999, dalam Dalgaard et al. 2003), masuk-keluarnya modal dalam

sistem pertanian tidak hanya ditentukan oleh faktor fisik saja, tetapi juga oleh

faktor budaya (cultural knowledge), pengalaman manusia, potensi pengembangan

teknologi, dan lain-lain. Berbeda dengan investasi dalam piranti keras, investasi

piranti lunak bersifat fleksibel, dan bahkan perannya dapat menggantikan

sebagian investasi peran piranti keras agroekologi (Pearce, 1996, dalam Dalgaard

et al., 2003). Menurut Reijntjes et al. (1999), konsep utama dalam agroekologi

adalah adaptabilitas (relung), yaitu fungsi atau peran suatu organisme dalam

ekosistem serta sumberdaya kehidupannya yang menentukan kesempatannya

untuk bertahan hidup dan pengaruh positip atau negatipnya terhadap komponen

lain. Agroekosistem dengan tingkat keanekaragaman tinggi cenderung lebih

Tanaman Hewan

Lingkungan

Agroekosistem

Manusia

Masyarakat

Kepercayaan

Fisika Kimia

Ekologi

Sosiologi

Ekonomi

Agronomi

Filosofi Teologi

Bahan

Gambar 33. Agroekologi merupakan integrasi dari ekologi, agronomi, sosiologi, dan ekonomi (Dalgaard et al., 2003).

Page 7: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

83

stabil dari pada yang ditempati oleh hanya satu spesies (seperti dalam budidaya

monokultur). Suatu agroekosistem yang keanekaragamnya tinggi memberi

jaminan yang lebih tinggi bagi petani. Jika keanekaragaman fungsional bisa

dicapai dengan mengkombinasikan spesies tanaman dan hewan yang memiliki ciri

saling melengkapi dan berinteraksi secara positif, maka bukan kestabilan saja

yang bisa diperbaiki, namum juga produktivitas pertanian dengan input rendah.

Tujuan utama agroekologi adalah untuk menjawab permasalahan

keberlanjutan pertanian. Agroekologi diarahkan untuk meningkatkan ekonomi

dan keberlanjutan ekologi dari agroekosistem, dengan memperhatikan kondisi

lingkungan, sosial dan ekonomi yang ada di daerah. Di dalam strategi

agroekologi, pengelolaan komponen-komponen yang mempengaruhi

kelangsungan produksi pangan diarahkan ke konservasi dan peningkatan

sumberdaya pertanian lokal (plasmanutfah, tanah, fauna, keragaman tanaman, dan

lain-lain) dengan mengembangkan metodologi yang mendorong partisipasi petani,

penggunaan budaya lokal, dan adaptasi usaha tani yang dapat mempertemukan

kebutuhan lokal dan kondisi biofisik, ekonomi dan sosial (Altieri, 1989).

4.2.3 Hubungan Zona Agroekologi dan Daya Dukung Lahan Sawah

Dalam agroekologi, faktor ekologis (biofisik), ekonomi, dan sosial-budaya

memiliki skala yang berbeda-beda. Ketiga faktor tersebut dapat diintegrasikan

dengan teknologi SIG (Rao dan Rogers, 2006). Proses integrasi dengan teknologi

SIG ini mendelineasi faktor-faktor ekologi yang mempengaruhi sistem produksi

pertanian di suatu wilayah, yang disebut sebagai zona agroekologi (ZAE).

Menurut FAO (1996), ZAE adalah suatu wilayah yang memiliki kesamaan

karakteristik tanah, bentuklahan (landform), dan iklim, terutama faktor iklim dan

edafik untuk persyaratan pertumbuhan tanaman dan sistem pengelolaan yang

diterapkan. Penciri ZAE tersebut, seperti yang dijelaskan oleh Wiradisastra

(2003), utamanya ditekankan pada penciri tertentu, yaitu lingkungan pertumbuhan

tanaman yang dapat menghasilkan produk dan membawa keuntungan ekonomi.

Syafruddin et al. (2004) mengemukakan bahwa pengelompokkan dalam ZAE

bertujuan untuk menetapkan areal pertanian dan komoditas potensial, berskala

Page 8: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

84

ekonomi, dan tertata dengan baik agar diperoleh sistem usaha tani yang

berkelanjutan.

Dalam penelitian ini, ZAE lahan sawah merupakan pengelompokan lahan

sawah berdasarkan kesamaan tingkat kesesuaian padi sawah dan tingkat

intensitas pertanaman yang disesuaikan dengan ketersediaan air dan kondisi

sosial-budaya masyarakat petani setempat. Tingkat kesesuaian dan intensitas

pertanaman padi sawah merupakan penciri utama dari ZAE lahan sawah.

Tingkat kesesuaian tanaman padi sawah mencerminkan tingkat kemantapan

ekologis, sedangkan tingkat intensitas pertanaman menunjukkan budaya lokal

masyarakat petani dalam melakukan pengelolaan lahan untuk mendapatkan hasil

dengan perolehan keuntungan yang optimal.

Sebagai wilayah pengelolaan sumberdaya lahan berkelanjutan, ZAE lahan

sawah berperan penting sebagai basis kajian daya dukung lahan. Melalui ZAE

lahan sawah, permasalahan keberlanjutan pertanian padi sawah karena tekanan

pertambahan jumlah penduduk dapat dideteksi, yaitu dengan mengidentifikasi

status daya dukung lahan sawah. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 34,

Gambar 34. Hubungan zona agroekologi lahan sawah dengan daya dukung lahan sawah

Produksi Padi

Agroekologi

Tanaman Hewan

Lingkungan

Agroekosistem

ZAE Lahan Sawah

Penduduk

Status Daya Dukung Lahan Sawah

Kebutuhan Pangan Biofisik

Ekonomi

Sos-bud

Page 9: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

85

agroekosistem sebagai sistem produksi padi di zona agroekologi lahan sawah

berperan sebagai penghasil padi (beras). Produksi beras yang dihasilkan

agroekosistem ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan (beras) yang

diperlukan penduduk. Rasio antara suplai beras dari agroekosistem di zona

agroekologi lahan sawah terhadap kebutuhan pangan (beras) yang diperlukan

penduduk di suatu wilayah mencerminkan status (tingkat) daya dukung lahan

sawah. Informasi tentang status daya dukung lahan sawah ini berperan penting

untuk mengetahui tingkat tekanan penduduk terhadap sumberdaya lahan

(agroekosistem lahan sawah). Semakin tinggi tingkat tekanan penduduk semakin

besar tekanan yang diterima oleh agroekosistem lahan sawah. Tertekannya

agroekosistem ini mencerminkan terancamnya keberlanjutan lahan sawah karena

pertambahan jumlah penduduk.

4.3 Bahan dan Metode 4.3.1 Interpretasi Citra Satelit Inderaja

Data Inderaja satelit optik utama yang digunakan dalam penelitian ini

adalah citra ALOS PRISM dan AVNIR-2 komposit band 4,3,2, (Juni 2007), serta

Landsat ETM komposit band 7,4,2 yang difusi dengan band 8 (Mei 2005)

sebagai data pembanding. Semua data citra satelit tersebut telah terektifikasi

terhadap peta Rupabumi skala 1: 25.000. Data pendukung yang digunakan

meliputi peta Rupabumi skala 1: 25.000 dan peta penutup lahan skala 1: 250.000

tahun 2000 yang ada di BAKOSURTANAL. Spesifikasi data citra satelit

Inderaja optik untuk penelitian disajikan pada Tabel 10.

Interpretasi obyek diutamakan pada lahan sawah dan daerah permukiman

yang bertopografi datar, agar pengaruh topografi terhadap distorsi luasan lahan

sawah yang diukur dari data citra dapat diabaikan. Interpretasi obyek dilakukan

secara visual dengan dukungan data sekunder dan survei lapangan. Delineasi

obyek hasil interpretasi secara visual didijitasi secara langsung pada layar

komputer yang diiterasi pada berbagai skala. Interpretasi obyek tersebut

didasarkan pada bentuk, ukuran, pola, tekstur, lokasi, dan tone (Lillesand dan

Kiefer, 1979).

Page 10: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

86

Tabel 10. Data citra satelit Inderaja optik untuk penelitian

No.

Jenis Citra Path/Row

atau Path/center

Akuisisi

Resolusi Spasial

(m)

Band yang digunakan

1. ALOS PRISM 110/3730 13/4/2007

2,5 Panchromatik

2. ALOS AVNIR-2 103/3750 98/3770

13/4/2007 5 /6/2007

10 4,3,2

3. Landsat 7 118/66 119/65 122/64

10 /5/2005 17/5/2005 15/5/2005

30, 15

7,4,2, dan 8

4. SPOT-4 285/363 285/364

12/11/ 2003 20 1,2,3

Keterangan: Citra Alos AVNIR-2: band 1 (0,42-0,5 µm), band 2 (0,52-0,60 µm), band 3 (0,61-0,69 µm) band 4 (0,76-0,89 µm) Citra Landsat 7 : band 1 (0,45-0,52 µm), band 2 (0,52-0,60 µm), band 3 (0,63-0,69 µm) band 4 (0,76-0,90 µm), band 5 (1,55-1,75 µm), band 7 (2,08-2,35 µm) band 8 : 0.52-0.90 µm (Panchromatic) Citra SPOT-4 : band 1 : 0,50 – 0,59 µm, band 2: 0,61 – 0,68 µm, band 3 : 0,79 – 0,89 µm

Penggunaan metode interpretasi secara visual tersebut mempertimbangkan

kondisi sebagai berikut, yaitu 1) pola tanam padi sawah di Jawa bersifat tidak

seragam, 2) Basis data luasan lahan sawah yang dibangun berbasis format vektor,

3) Konversi data dari format raster menjadi vektor mengakibatkan sebagian besar

struktur topologi terfragmentasi yang editingnya time consuming atau sulit

ditangani oleh sistem perangkat lunak SIG yang ada saat ini.

Dalam melakukan delineasi obyek hasil interpretasi, tampilan citra pada

layar komputer awal mulanya diperbesar (zoom in) atau diperkecil (zoom out) di

berbagai skala, sehingga dapat diperoleh tampilan citra skala optimal. Apabila

sudah diperoleh tampilan citra skala optimal, dijitasi obyek mulai dilakukan pada

tampilan citra terpilih tersebut. Hasil dijitasi obyek disimpan sebagai file SHP

dengan menggunakan software ArcGIS versi 9.3, File SHP hasil dijitasi

didefinisikan sebagai fitur penutup lahan. Untuk menghitung luasan obyek, fitur

SHP penutup lahan hasil dijitasi selanjutnya diedit, dibangun topologinya, dan

ditransformasikan pada proyeksi UTM dengan georeferensi WGS’84. Untuk

mengevalusi peningkatan tingkat akurasi dari berbagai citra satelit Inderaja optik

yang digunakan, data luasan sawah dan permukiman hasil interpretasi citra

Landsat 7 ke ALOS PRISM dan AVNIR-2 dihitung perubahannya.

Page 11: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

87

4.3.2 Pembuatan Basisdata Geospasial

Data yang digunakan terdiri dari primer dan sekunder. Data primer

meliputi data C-organik tanah, N-total, P-tersedia, K-tersedia, kondisi ekonomi

dan sosial-budaya petani; sedangkan data sekunder terdiri dari berbagai data peta

skala 1: 250.000 dan 1: 25.000 (peta Rupabumi, sistem lahan, penutup lahan, peta

status hara P dan K, status hutan, potensi sumberdaya air dan irigasi, pola

pemanfaatan ruang) dan data statistik (jumlah penduduk dan produksi padi sawah).

Data primer dikumpulkan melalui survei lapangan, sedangkan data sekunder

diperoleh dari instansi-instansi terkait.

Dalam penelitian ini, proses pembuatan basisdata geospasial diperlihatkan

pada Gambar 35. Tahapan pembuatan basisdata meliputi (1) penentuan fitur

dataset, (2) pengklasifikasian fitur, (3) pendefinisan atribut dan tipe fitur, (4)

digitalisasi fitur, (5), validasi topologi, (6) standarisasi georeferensi, (7)

pengintegrasian atribut fitur, dan (8) finalisasi basisdata.

Tahap awal pembuatan basisdata geospasial adalah pengelompokan data

menjadi fitur kumpulan data (dataset) dasar dan tematik. Fitur data dasar

berfungsi sebagai referensi penyajian fitur tematik. Fitur dataset data dasar

tersebut kemudian diklasifikasikan berdasarkan temanya, yaitu layer perairan,

layer komunikasi (jaringan jalan), layer ketinggian (hipsografi), layer toponimi

(nama-nama geografi), dan layer batas wilayah administrasi. Fitur dataset

tematik dirinci menjadi layer sistem lahan, layer penutup lahan, layer status

kawasan, layer agroklimat, layer irigasi, layer sosial-budaya. Data yang telah

diklasifikasikan tersebut digunakan sebagai input untuk proses selanjutnya.

Dalam inputing data, data-data yang diperoleh dalam bentuk dijital langsung

di-loading dan dilakukan pendefinisian atribut, sedangkan data dalam bentuk

analog melalui proses dijitalisasi fitur terlebih dahulu. Tahapan berikutnya,

atribut dari setiap fitur geospasial tersebut didefinisikan strukturnya, seperti yang

diperlihatkan pada Tabel 11. Struktur atribut ini digunakan sebagai template data

entry nilai-nilai atribut yang diaktualisasikan dalam bentuk angka, simbol, atau

deretan karakter.

Dijitalisasi fitur dilakukan langsung melalui layar komputer dengan

menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi 9.3. Validasi topologi dimaksudkan

Page 12: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

88

untuk mengecek akurasi geometri setiap fitur. Komponen topologi yang dikoreksi

meliputi penghapusan overlaping antar fitur poligon atau garis penyambungan

garis poligon yang terputus (dangles atau gaps), penghapusan garis overshoot

atau kelebihan fitur titik. Fitur-fitur yang topologinya telah divalidasi, selanjutnya

dilakukan standarisasi georeferensi terhadap semua fitur yang sudah bebas dari

kesalahan (clean data). Standarisasi georeferensi menggunakan referensi

nasional, yaitu Datum Geodesi Nasional Tahun 1995 (DGN95). DGN95 ini

mengadopsi ellipsoid World Geodetic System tahun 1984 (WGS84). Tahap

berikutnya, semua data atribut dengan format DBF yang di key-in dengan program

MS Excel diintegrasikan dengan fitur geospasialnya yang memiliki format SHP.

Pengintegrasikan data atribut dan fitur geospasial menggunakan model relasional,

seperti yang dijelaskan oleh Fleming dan Halle (1989). Dalam model DBMS

(Database Management System) relasional ini, penggabungan atribut dan fitur

geospasial menggunakan kunci primer (primary key). Fitur geospasial yang telah

Penentuan Fitur Dataset

Pengklasifikasian Fitur

Pendefinisian Atribut

Dijitalisasi Fitur

Validasi Topologi

Standarisasi Georeferensi

Pengintegrasian Atribut Fitur

Finalisasi basisdata

Basisdata Geogeospasi

al

Loading Data

Dijital

Analog

Gambar 35. Tahapan proses pembuatan basisdata geospasial

Page 13: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

89

Tabel 11. Daftar fitur dan struktur atribut basisdata sumberdaya lahan

No. Fitur/Atribut Karakteristik atribut

Bentuk Fitur

Keterangan

1. Sistem Lahan Poligon

SIMBOL C (3) Kode sistem lahan (kunci primer)

NAM_LSYM C (25) Nama sistem lahan

LAN_TYPE C (25) Nama bentuklahan

SOIL_DOM C (15) Jenis batuan dominan

TC C (15) Suhu rata-rata tahunan

W1 C (15) Lama bulan kering

W2 RC1 RC2 RC3

C (15) C (15) C (15) C (15)

Jenis tanah dominan Curah hujan rata-rata tahunan Kelas drainase tanah Tekstur tanah

NR1 C (15) . KTK (me/100g tanah) (subsoil)

NR2 FREQ_BAN EROSI

C (15) C (15) C (15)

.

.

.

pH (surface soil) Frekwensi banjir Tingkat erosi tanah

PRODUK dll

C (10) Produktivitas padi (ton/ha)

2. Penutup Lahan Poligon

LCOVER C (5) Kode penutup lahan (kunci primer)

NAM_LCOVER C (25) Nama tipe penutup lahan

3. Batas Wilayah/ SOSEK

Poligon

Wil_PROV C (10) Wilayah provinsi (kunci prmer)

Wil_KAB C (15) Wilayah kabupaten

JUM_PDD I (15) Jumlah penduduk (jiwa)

KEP_PDD N,2 (10) Kepadatan penduduk (jiwa/km2)

TH_PDD C (8) Tahun jumlah penduduk

JUM_PTN I (15) Jumlah petani

JUM_GUR I (15) Jumlah petani gurem

4. Kawasan Hutan

KWH C (15) Nama status kawasan hutan

5. AGROKLIMAT

Oldeman C (5) Tipe agroklimat menurut Oldeman

6. Irigasi Poligon

Klas_irigasi C (10) Klasifikasi kondisi irigasi

Debit N,2 (5) Debit air irigasi (l/det/km2) Keterangan: I = integer, C=karakter,N=numerik

Page 14: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

90

dilengkapi dengan atribut kemudian difinalkan kembali, yaitu dengan melakukan

validasi unsur-unsur data baik dari aspek topologi maupun nilai-nilai atributnya,

sehingga diperoleh basisdata geospasial seperti yang diinginkan. Gambar 36

menyajikan ilustrasi penggabungan data spasial (fitur geospasial) dengan atribut

menggunakan model DBMS relasional.

4.3.3 Zonasi Agroekologi Lahan Sawah

Zonasi agroekologi lahan sawah menggunakan basismodel SIG (Gambar

37). Model SIG ini merupakan basisdata sintesis yang dibangun melalui proses

overlay (menu union dalam perangkat lunak ArcGIS versi 9.3) dari layer sistem

lahan, penutup lahan, kawasan hutan, kondisi irigasi, dan batas wilayah

administrasi. Setiap layer dalam basismodel SIG ini memiliki skala 1: 250.000

dan georeferensi standar nasional, yaitu DGN95, yang mengadopsi ellipsoid

WGS’84.

Gambar 36. Ilustrasi penggabungan data spasial dengan atribut menggunakan DBMS relasional.

Nama coverage Info

ARC AAT Tic BND PAT

SISTEM LAHAN

SIMBOL (kunci primer)

SIMBOL

KAWASAN HUTAN

KWH (kunci primer)

KWH

PENUTUP LAHAN

LCOVER (kunci primer)

LCOVER

DATA SPASIAL DATA ATRIBUT

Page 15: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

91

Kriteria penilaian zona agroekologi lahan sawah disajikan pada Tabel 12.

Delineasi ZAE lahan sawah diawali dengan penilaian kesesuaian lahan dengan

menggunakan basisdata sistem lahan sebagai satuan unit lahan (land unit) yang

digabungkan dengan data atribut tentang persyaratan tumbuh tanaman padi

sawah (menggunakan menu join pada perangkat lunak SIG ArcGIS).

Penggabungan data spasial sistem lahan dan atribut ini menggunakan prinsip

model DBMS relasional. Analisis kesesuaian lahan menggunakan metode yang

dijelaskan oleh FAO (1976) dan CSR/FAO Staf (1983). Kualitas lahan untuk

penilaian kesesuaian lahan tersebut terdiri dari rejim temperatur (t), ketersediaan

air (w), kondisi perakaran (r), retensi hara (f), ketersediaan hara (n), toksisitas

(x), dan kondisi terrain (s). Kesesuaian lahan untuk padi sawah

dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelas, yaitu S1 (sangat sesuai), S2 (cukup

sesuai), S3 (sesuai marginal), dan N (tidak sesuai). Kriteria kesesuaian lahan

untuk tanaman padi sawah dimaksud disajikan pada Tabel 13.

Gambar 37. Basismodel SIG konseptual untuk zonasi agroekologi lahan sawah

Batas Administrasi

SOSBUD

Irigasi

ZAE Lahan Sawah

Intensitas Pertanaman

Kawasan Hutan

Penutup Lahan union

join

union

Agroklimat

Sistem Lahan

Persyaratan Tumbuh Tanaman

Padi Sawah

join union

Kawasan Budidaya

Kesesuaian Lahan

Input Proses Output

Page 16: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

92

Tabel 12 . Kriteria penilaian zona agroekologi lahan sawah

Zona Agroekologi

Status Kawasan

Kesesuaian Lahan

Kondisi Irigasi

Intensitas Pertanaman

A (S1/ IP 300) Budidaya S1 Baik 3 (3 PS) B (S1/IP 200) Budidaya S1 Sedang 2 (2 PS + 1 PL) C (S1/IP 100) Budidaya S1 Buruk 1 (1 PS + 2 PL)

D (S2 /IP 300) Budidaya S2 Baik 3 (3 PS) E (S2 /IP200) Budidaya S2 Sedang 2 (2 PS + 1 PL) F S2 /IP 100) Budidaya S2 Buruk 1 (1 PS + 2 PL) G (S3/IP 300) Budidaya S3 Baik 3 (3 PS) H (S3/IP 200) Budidaya S3 Baik 3 (3 PS) I (S3/IP100) Budidaya S3 Buruk 1 (1 PS + 2 PL) J (N/IP100) Lindung N Tadah Hujan Tidak

didefinisikan

Lahan kelas S1 memiliki faktor pembatas yang tidak berarti atau minor dan

tidak akan mereduksi produktivitas lahan secara nyata. Lahan kelas S2 memiliki

faktor pembatas yang berpengaruh terhadap produktivitas, memerlukan tambahan

masukan, biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Lahan kelas S3 memiliki

faktor pembatas berat, berpengaruh nyata terhadap produktivitas, dan memerlukan

modal tinggi sehingga perlu intervensi pemerintah atau pihak swasta. Lahan kelas

N memiliki faktor pembatas yang sangat berat dan atau sulit diatasi (Balai

Penelitian Tanah, 2003) Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian lahan untuk

tanaman padi sawah yang dianalisis adalah kesesuaian lahan potensial, yaitu

kesesuaian lahan yang dilakukan pada kondisi setelah diberikan masukan

perbaikan.

Hasil penilaian kesesuaian lahan kemudian diverifikasi dengan basisdata

kawasan budidaya yang diidentifikasi dengan layer penutup lahan dan status

kawasan hutan. Basisdata kawasan budidaya ini memiliki atribut ketersediaan

lahan yang diklasifikasikan menjadi dua kelas, yaitu lahan tersedia dan lahan

tidak tersedia. Lahan tersedia adalah areal dengan penutup lahan sawah (SW)

dan berada di kawasan hutan Produksi (HP) dan Areal Penggunaan Lain (APL).

Keterangan: PS: padi sawah, PL: palawija, IP: Indeks Pertanaman, kondisi irigasi baik: debit air >10 l/det/km2 (sesuai untuk 3 PS ) Kondisi irigasi sedang: debit air 2,5 – 10 l/det/km2 (sesuai untuk 2 PS + 1 PL) , kondisi irigasi buruk: debit air < 2,5 l/det/km2 (1 PS + 2 PL) Penanaman padi diasumsikan menggunakan varietas umur gernjah (105-124 hari) seperti Ciherang, IR64, dll

Page 17: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

93

Tabel 13. Kriteria penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah (CSR/FAO Staff, 1983) Kualitas Lahan/ Karakteristik Lahan

Kelas Kesesuaian Lahan

S1 S2 S3 N

Rejim Temperatur (t) Suhu rata-rata tahunan (oC)

25-29 30-32, 24-22 33-35, 21-18 > 35, < 18

Ketersediaan Air (w) 1. Bulan kering (<100 mm) 2. Rata-rata curah hujan

tahunan

0-3 > 1500

3,1-9 1200-1500

9,1-9,5 800-1200

> 9,5 < 800

Kondisi perakaran (r) 1. Kelas drainase 2. Tekstur tanah (permukaan) 3. Kedalaman tanah (cm)

Agak buruk, agak baik Sandy clay, loam, silt loam, silt clay loam

> 50

Sangat buruk, buruk Sandy loam, loam, silty clay loam, silty clay 41-50

Baik Loamy sand, massive clay 20-40

Ekstrim berlebih, berlebih Berbatu, pasir < 20

Retensi hara (f) 1. KTK me/100g tnh (subsoil) 2. pH (permukaan)

> medium 5.5-7.0

Rendah 7.1-8.0, 5.4-4.5

Sangat rendah 8.2-8.5, 4.5-4.0

> 8.5, < 4.0

Ketersediaan hara (n) Total N (permukaan) P 2O5 tersedia (permukaan) K 2O5 tersedia (permukaan)

> medium Sangat tinggi, > medium

Rendah Tinggi rendah

Sangat rendah Medium-rendah Sangat rendah Medium rendah Sangat rendah

Sangat rendah

Toksisitas (x) Salinitas (mmhos/cm (sub soil

< 3

3.1-5

5.5-8

> 8

Terrain (s) Lereng (%) Batuan permukaan (%) Singkapan batuan (%)

0-3 0 0

3-5 < 0,01 < 2

5-8 0,01 2 – 10

> 8 > 0,1 > 10

Lahan tidak tersedia adalah areal dengan penutup lahan non-sawah dan berada di

kawasan non-budidaya, seperti kawasan hutan lindung (HL) dan hutan konservasi

(HK) seperti Cagar Alam Darat, Suaka Margasatwa Darat, Taman Nasional

Darat, Taman Hutan Raya, Taman Buru, dan Taman Wisata Alam.

Hasil penilaian kesesuaian lahan dan ketersediaan lahan tersebut kemudian

dipadukan dengan basisdata intensitas pertanaman yang merupakan hasil

perpaduan antara basisdata agroklimat Oldeman, kondisi irigasi, dan sosial-

budaya petani padi sawah di suatu wilayah. Basisdata agroklimat Oldeman dan

kondisi irigasi digunakan untuk menentukan ketersediaan air, sedangkan kondisi

Page 18: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

94

sosial-budaya digunakan untuk mengetahui kebiasaan para petani padi sawah

dalam melakukan pola tanam selama satu tahun. Penilaian ketersediaan air

berdasarkan data agroklimat Oldeman dan kondisi irigasi secara berurutan

disajikan pada Tabel 14 dan 15. Hasil penilaian data ketersediaan air dan

kebiasaan (budaya) para petani padi sawah digunakan sebagai dasar penetapan

basisdata intensitas pertanaman (IP). Dalam hal ini, intensitas pertanaman

dialokasikan untuk tanaman padi sawah varietas umur genjah (105-124 hari),

seperti Ciherang yang dominan dijumpai pada saat survei lapangan dilakukan.

Basisdata intensitas pertanaman ini kemudian dipadukan dengan basisdata

kesesuaian lahan dan kawasan budidaya, sehingga diperoleh zona agroekologi

lahan sawah (ZAELS) seperti yang diinginkan.

Berdasarkan proses penentuan zona agroekologi lahan sawah tersebut,

kriteria setiap zona seperti yang disajikan pada Tabel 14 di-query dari file

basisdata ZAELS, yaitu hasil overlay (U) sistem lahan (SL), penutup lahan (PL),

status kawasan hutan (KWH), agroklimat (IKLIM), kondisi irigasi (IRIGASI),

dan kondisi sosial-budaya (SOSBUD). Proses overlay tersebut dinotasikan

sebagai berikut:

LS = sistem lahan (fluvial, volkanik, denudasional, struktural, kars)

PL = penutup lahan (lahan sawah atau non sawah)

KWH = status kawasan hutan (HP, HL, APL, atau APL)

IKLIM = agroklimat Oldeman (periode bulan basah atau kering)

IRIGASI = kondisi irigasi (kondisi irigasi baik, sedang, atau buruk)

SOSBUD = kondisi sosial-budaya (kebiasaan pola tanama padi)

KES_LAHAN = kesesuaian lahan (S1, S2, S3, atau N)

KET_LAHAN = ketersediaan lahan (tersedia atau tidak tersedia)

IP = intensitas pertanaman (IP 300, 200, atau 100)

Query kriteria penetapan ZAELS menggunakan file atribut ZAE-LS. Field

atribut ZAELS yang digunakan untuk query adalah KES-LAHAN, LCOVER,

ZAELS = LS U (PL U KWH) U (IKLIM U IRIGASI U SOSBUD)

= KES_LAHAN U KET-LAHAN U IP

Page 19: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

95

KWH, OLDEMAN, IRIGASI, dan IP-SOSBUD. Query nilai masing-masing

atribut tersebut menggunakan pernyataan logika Boolean (AND, OR, NOT,

Tabel 14. Hubungan tipe agroklimat Oldeman dengan pola tanam Tipe Iklim Pola Tanam

A1, A2, B1 Sesuai untuk padi sawah varietas umur genjah terus menerus atau dua kali padi sawah varietas genjah dan satu kali palawija (3 PS atau 2 PS + 1 PL)

B2 Dua kali padi sawah varietas umur genjah dan satu kali palawija (2 PS + 1 PL)

C1, C2, C3, C4

Tanam padi sawah varietas genjah sekali dan palawija dua kali (1 PS + 2 PL)

D1 Padi sawah varietas umur genjah satu kali dan palawija (1 PS + 1 PL)

D2,D3,D4 Hanya mungkin satu kali padi sawah atau satu kali palawija (1 PS atau 1 PL)

E Terlalu kering, hanya mungkin satu kali palawija

Keterangan: PS = padi sawah, PL= palawija Varietas padi sawah berumur genjah: 105-124 hari (Ciherang, Mekongga, Cibogo, dll)

Tabel 15. Klasifikasi daerah irigasi (Deppu, 2003)

Kelas Dangkal Sedang Dalam Debit air (l/det/ ha)

Baik Baik Baik Baik > 10

Sedang Terbatas

setempat

Baik Baik/terbatas

setempat

2.5-10

Langka Langka Langka Langka < 2.5

Tabel 16. Operasi pernyataan logika Boolean

A B NOT A A AND B A OR B A XOR B

1 1 0 1 1 0

1 0 0 0 1 1

0 1 1 0 1 1

0 0 1 0 0 0 Keterangan: 1 = true, 0 = false

Page 20: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

96

atau XOR), seperti yang dijelaskan oleh Burrough (1986) dan Worboys dan

Duckhamm (2004). Operasi pernyataan logika Boolean ini dinyatakan dengan

dua alternatif, yaitu benar (true) atau salah (false) (Tabel 16). Pada perangkat

lunak ArcGIS (ArcMap versi 9.3), QUERY operasi pernyataan logika Boolean

tersedia di fasilitas modul SELECT By Attribute.

4.3.4 Penilaian Daya Dukung Lahan Sawah

Dalam penelitian ini, nilai daya dukung lahan sawah didefinisikan sebagai

rasio antara produksi beras dan kebutuhan beras yang dikonsumsi penduduk di

suatu wilayah. Penghitungan nilai daya dukung lahan sawah dirumuskan sebagai

berikut:

DDLS = SB/ DB

DDLS = daya dukung lahan sawah

SB (stok beras) = luas lahan sawah (ha) x 0,65 x produktivitas padi (ton/ha) per tahun DB(kebutuhan beras) = 0.9x jumlah penduduk (orang) x konsumsi beras (kg/kapita/tahun )

Apabila nilai DDLS lebih besar atau sama dengan 2.00 berarti daya

dukung lahan sawah termasuk kategori baik (sustainable). Apabila nilai daya

dukung lahan sawah terletak antara 1 dan 2 (1.00 <= DDLS < 2.00 ) berarti daya

dukung lahan sawah termasuk kategori bersyarat (conditional). Apabila nilai

DDLS lebih kecil dari 1.00 berarti daya dukung lahan sawah termasuk dalam

kategori terlampaui (over shoot).

Daya dukung lahan sawah diukur di setiap zona agroekologi yang ada di

provinsi Banten, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Jawa Barat (Jabar), Jawa

Tengah (Jateng), Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, dan Jawa Timur (Jawa

Timur). Penghitungan daya dukung lahan sawah diskenariokan pada 5 tingkat

konsumsi beras (kg/kapita/tahun): 100, 110, 120, 130, dan 140. Dari hasil

skenario tersebut dapat diketahui apakah pemanfaatan lahan sawah pada setiap

tingkat konsumsi beras di setiap wilayah provinsi telah melampaui daya

dukungnya. Selain itu, kelayakan tingkat konsumsi beras standar nasional saat ini

yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu 139.15 kg/kapita/tahun, juga dapat dikaji

apakah sudah sesuai atau terlalu besar.

Page 21: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

97

Penilaian daya dukung lahan sawah pada lima skenario tingkat konsumsi

beras tersebut menggunakan data jumlah penduduk di setiap provinsi dari tahun

2005, 2010, 2015, 2020, dan 2025 (Tabel 17). Data jumlah penduduk tahun 2005

diperoleh dari hasil sensus penduduk tahun 2005, sedangkan lainnya merupakan

data proyeksi jumlah penduduk dari BPS. Penghitungan daya dukung lahan

sawah menggunakan beberapa asumsi: (1) produksi padi (beras) di lahan sawah

bersifat konstan, (2) luas lahan sawah yang didelineasi dalam zona agroekologi

tidak mengalami perubahan, (3) tidak terjadi degradasi lahan dan lingkungan, (4)

jumlah penduduk Indonesia yang memakan nasi adalah 90%, dan (5) faktor

konversi dari massa gabah kering giling (GKG) menjadi beras adalah 65%.

Tabel 17. Jumlah penduduk pulau Jawa (2005-2025)

Tahun Banten DKI

Jakarta

Jawa Barat

Jawa Tengah

D.I. Yogyakarta

Jawa Timur

Total

2005 9,028,816 8,860,381 38,965,440 31,977,968 3,343,651 36,294,000 128,470,256

2010 10,661,100 8,981,200 42,555,300 32,451,600 3,439,000 36,269,500 130,918,700

2015 12,140,000 9,168,500 46,973,800 32,882,700 3,580,300 36,840,400 141,585,700

2020 13,717,600 9,262,600 49,512,100 33,138,900 3,694,700 37,183,000 146,508,900

2025 15,343,500 9,259,900 52,740,800 33,152,800 3,776,500 37,194,500 151,468,000

Sumber: http://www.datastatistik-indonesia.com

4.4 Hasil dan Pembahasan

4.4.1 Karakteristik Zona Agroekologi Lahan Sawah

Hasil penelitian yang disajikan pada Gambar 38 dan 39 menunjukkan

bahwa lahan sawah di pulau Jawa dengan luas total 3,569,829 ha (Poniman dan

Nurwadjedi, 2008) dapat dikelompokkan menjadi sepuluh tipe zona agroekologi

lahan sawah (ZAELS), yaitu A (S1/IP300), B (S1/IP200), C (S1/IP100), D

(S2/IP300), E (S2/IP200), F (S2/IP300), G (S3/IP300), H (S3/IP200), I (S3/IP100),

J (N/IP100). Sepuluh ZAELS tersebut terdiri dari 9 ZAELS yang merupakan

zona agroekologi lahan sawah pada lahan yang sesuai (S1,S2, dan S3) dengan luas

3,101,354 ha (86.9%) dan 1 ZAELS, yaitu zona J (N/IP100) yang merupakan

zona agroekologi lahan sawah pada lahan yang tidak sesuai, dengan luas 468.475

ha (13.1%). Faktor pembatas Zona J (N/IP100) adalah topografi (lereng > 65%)

Page 22: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

98

dan agroklimat (tipe E). Zona J (N/IP100) di lahan tidak sesuai ini dikeluarkan

dalam analisis berikutnya karena status kawasan hutannya termasuk dalam hutan

lindung. Adapun 9 ZAELS di lahan sesuai didominasi oleh zona B (S1/IP200)

dan H (S3/IP200), dengan luasan total 2,776,092 ha (78%). Luasan ZAELS

yang berada di provinsi Banten, DKI. Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI.

Yogyakarta, dan Jawa Timur disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18. Distribusi zona agroekologi lahan sawah di Jawa (ha) Zona

Agroekologi Banten

DKI.

Jakarta Jawa Barat

Jawa Tengah

D.I Yogyakarta

Jawa Timur

Total

A (S1/IP300) 0 0 24,447 9,452 339 1,303 35,541

B (S1/IP200) 78,519 1,315 491,044 586,785 38,358 768,239 1,964,259

C (S1/IP100) 0 0 9,290 15,654 1,965 9,735 36,644

D (S2/IP300) 0 0 9,514 0 0 0 9,514

E (S2/IP200) 62,630 1,973 36,464 22,027 0 14,632 137,725

F (S2/IP100) 0 0 51,860 17,508 6,547 7,629 83,544

G (S3/IP300) 0 0 3,918 708 0 4,638 9,264

H (S3/IP200) 50,510 0 263,221 297,303 153 200,646 811,833

I (S3/IP100) 467 0 3,006 3,765 740 5,052 13,030

Total 192,126 3,288 892,763 953,201 48,100 1,011,876 3,101,354

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

A(S1/IP300)

B(S1/IP200)

C(S1/IP100)

D(S2/IP300)

E(S2/IP200)

F(S2/IP100)

G(S3/IP300)

H(S3/IP200)

I (S3/IP100)

Zona Agroekologi

Luas

(00

0 ha

)

Gambar 38. Distribusi zona agroekologi lahan sawah di Jawa

Sumber: Hasil analisis

Page 23: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

99

Gambar 39. Peta zona agroekologi lahan sawah pulau Jawa

Page 24: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

100

Pada peta ZAELS, luasan lahan sawah yang diinterpretrasi citra satelit

Landsat ETM komposit band 542 memiliki tingkat akurasi yang sesuai dengan

ukuran piksel 30 m atau pada skala optimum 1: 100.000. Hasil uji tingkat akurasi

luasan lahan sawah citra satelit Alos PRISM dan AVNIR-2 komposit band 4,3,2,

serta SPOT-4 XS1,XS2,XS3 di kabupaten Subang, Sragen, dan Jember seperti

yang diperlhatkan pada Tabel 19 menunjukkan bahwa luasan lahan sawah (Sw)

mengalami pengurangan dari 3% hingga 33%. Pengurangan luasan lahan sawah

tersebut dikonstribusikan kepada luasan daerah permukiman (P), sehingga

luasan daerah permukiman mengalami peningkatan. Pengurangan luasan

lahan sawah ini kemungkinan disebabkan oleh lahan daerah permukiman yang

terkena generalisasi pada saat delineasi lahan sawah dari citra Landsat ETM

Tabel 19. Perubahan luas lahan sawah dan permukiman hasil interpretasi

citra Landsat ETM, SPOT-4, ALOS AVNIR-2, dan PRISM

Wilayah Kabupaten

Sumber Data Lahan Sawah (ha)

Permukiman (ha)

Sragen Landsat ETM 65,920.52 11,806.85

ALOS AVNIR-2 44,138.88 21,585.46

Beda luas (%) - 33 + 83

Cianjur Landsat ETM 39,685 -

SPOT-4 33.966 -

Beda luas (%) - 14 -

Jember Landsat ETM 73,801.82 26,211.48

ALOS AVNIR-2 71,703.34 44,397.40

Beda luas (%) - 3 + 69

Subang Landsat ETM 79,704.94 11,631.86

ALOS PRISM 75,705.60 13,289.06

Beda luas (%) - 5 + 14

(Nurwadjedi dan Poniman, 2009). Selain kontribusi dari luasan lahan sawah,

peningkatan luasan lahan daerah permukiman juga dimungkinkan adanya

fragmentasi (peningkatan detil) daerah permukiman pada saat didelineasi dengan

Sumber: Hasil analisis

Page 25: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

101

citra ALOS AVNIR-2 atau PRISM yang memiliki resolusi spasial jauh lebih

tinggi daripada citra Landsat ETM. Kesalahan terbesar seperti yang terjadi di

kabupaten Sragen diprediksi disebabkan oleh kondisi topografinya yang banyak

bergelombang atau berbukit. Contoh proses uji tingkat akurasi perubahan lahan

sawah hasil interpretasi citra Landsat ETM komposit band 7, 4, 2 dengan citra

Alos PRISM, AVNIR-2 , dan SPOT-4 dimaksud diperlihatkan pada Gambar 40

dan 41. Hasil penelitian ini bermakna bahwa tingkat akurasi peta penutup lahan

sawah dari hasil interpretasi Landsat ETM relatif terhadap citra Alos PRISM,

AVNIR-2 , dan SPOT-4 adalah sekitar > 75%.

Gambar 40. Contoh hasil delineasi lahan sawah dengan citra Inderaja satelit optik SPOT-4 band X1, X2,X3, Alos PRISM, dan AVNIR-2 band 4, 3, 2

a) ALOS AVNIR-2 daerah kabupaten Sragen, 1: 25.000

Fase vegetatif

SW

Ber

Bera

P

Fase vegetatif

SW

b) ALOS PRISM daerah kabupaten Subang

c) ALOS AVNIR-2 daerah kabupaten . Jember, 1: 25.000 d) SPOT-4 daerah kabupaten Cianjur 1: 25.000

SW

SW

SW

SW

SW

Page 26: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

102

Berdasarkan genetiknya, lahan sawah hasil interpretasi dari citra Landsat

ETM yang ditetapkan sebagai zona agroekologi dapat dikelompokkan menjadi

lima bentukan asal sistem lahan. Hasil penelitian pada Gambar 42

menunjukkan bahwa ZAELS sebagian besar terbentuk dari sistem lahan bentukan

asal fluvial dan volkanik, dengan luas total 2,748,768 ha (77%). ZAELS lainnya

terbentuk dari sistem lahan bentukan asal denudasional, struktural dan kars,

dengan luas total 352,586 ha (10%). ZAELS dari bentukan asal fluvial

merupakan dataran aluvial dari endapan aluvium yang banyak mengandung bahan

volkan karena posisinya pada umumnya berada di lereng bawah gunung api.

Sistem lahan dari bentukan asal fluvial umumnya merupakan dataran aluvial atau

dataran banjir hasil proses agradasi endapan aluvium-volkanik yang terangkut

oleh aliran sungai. Sistem lahan bentukan asal volkanik terbentuk dari proses

volkanik, yaitu muntahan bahan volkan yang terdiri dari bahan piroklastik

(bahan yang disemburkan dan diangkut oleh angin) dan lahar (bahan yang

Delineasi dari Landsat ETM Delineasi dari Avnir-2

Gambar 41. Peningkatan akurasi delineasi lahan sawah dari Landsat ETM dengan menggunakan citra Alos Avnir-2 (Daerah kabupaten Subang)

Page 27: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

103

diangkut melalui aliran). Sistem lahan bentukan asal fluvial dan volkanik

membentuk zona A (S1/IP300) 35,541 ha (1%) dan zona B (S1/IP200):

1,964,259 ha (55%). Zona B (S1/IP200) yang terbentuk dari sistem lahan

bentukan fluvial (Bf ) adalah 1,162,499 ha (33%), sedangkan yang terbentuk dari

sistem bentukan volkanik (Bv) adalah 801,760 ha (22%). Zona H (S3/IP200)

yang terbentuk dari sistem lahan bentukan asal volkanik (Hv) adalah 265,268 ha

(7%), dari denudasional (Hd) 45,022 ha (1%), dan dari struktural (Hs) 322,446

ha (9%) (Tabel 20). Sistem lahan bentukan fluvial yang membentuk zona B

(S1/IP200) meliputi BKN (Bakunan): dataran banjir antar bukit, KHY

(Kahayan): dataran fluvial atau kumpulan estuari, MKS (Makasar): dataran fluvial

atau kumpulan estuari di daerah kering, NGR (Nangger): dataran banjir minor di

daerah kering LBS (Lubuksikaping): kipas aluvial non-volkanik berlereng landai,

APA (Ampala): dataran fluvial luas dan berteras, dan SRI (Sumari): teras sungai

datar dan luas.

Sistem lahan bentukan asal volkanik terdiri dari ABG (Asembagus): dataran

volkanik beriklim kering, KNJ (Kuranji): kipas aluvial berlereng landai, SLK

(Solok): dataran aluvial volkanik, SSN (Susukan): dataran volkanik datar hingga

berombak, TBO (Tombalo): kipas aluvial volkanik berlereng landai di daerah

kering, dan TLU (Talamau): kelerengan lahar terdiseksi dan agak curam.

Berdasarkan peta tanah skala 1: 250,000 (LPT, 1968), tanah di zona A (S1/IP300)

Gambar 42. Distribusi zona agroekologi lahan sawah berdasarkan bentukan asal sistem lahan

0.00.20.40.60.81.01.21.4

A (S1/IP

300)

B (S1/IP

200)

C (S1/I

P100)

D (S2/I

P300)

E (S2/IP

200)

F(S2/I

P100)

G (S3/I

P300)

H (S3/I

P200)

I (S3/IP

100)

Zona Agroekologi

Luas

(jut

a ha

)

Fluvial

Volkanik

Denudasional

Struktural

Kars

Page 28: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

104

dan zona B (S1/IP200) sebagian besar bahan induknya berbahan volkan

intermedier. Pengukuran kandungan silika (SiO2) dari batuan volkan di

gunung-gunung api di Jawa yang dilakukan oleh Mohr (1944) berkisar antara

49.52 – 58.91%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rayes (2000) di daerah

Tabel 20. Hubungan antara zona agroekologi lahan sawah dan sistem lahan

ZAE Sistem Lahan (Jenis Tanah Dominan) Lahan Sawah Fluvial

(Epiaquepts) Volkanik

(Epiaquerts) Denudasional (Epiaquults)

Struktural (Dystrustepts)

Kars Calciustepts)

A (S1/IP300) BKN, KHY, MKS

ABG, SSN, TLU

- - -

B (S1/IP200) BKN, KHY, MKS,NGR,CTM,LBS

ABG,KNJ,SLK, SSN, TBO, TLU

- - -

C (S1/IP100) APA,BKN,CTM,KHY, MKS,NGR,SRI

ABG, SSN, KNJ

- - -

D (S2/IP300) - BTK,TLU CKU - -

E (S2/IP200) - GGK,GJO, JKT

BG1,CGN,CJB, CKU, OMB, SMI,WTE

CPR KPR

F (S2/IP100) - GJO, JKT AWY,CGN,CKU,CGN,EMK, OMB, PYN,WTE

CPR -

G (S3/IP300) - BTK,SMD - - -

H (S3/IP200) - BOM,BRI,BTG,BTK,CBN,CKD,CSG,CTU,GOG,GSM,KDT,LKU,LTG,MLG,MNU, PAN, SMD,TGM,TLU, TYR,UBD

BRN,KMP,LAR, LDH,SAR,SFO, SFO,SKL,SNA, TWH,

DKN,DML,STR,SBJ

NPA,SKN

I (S3/IP100) - BOM,BRI,BTG,BTK,CBN,CTU,GOG,GSM,LKULTG,MLG,PAN,SMD,TGM,TLU

LAR,LDH,SAR,SFO,SNA,TWH

DKN,DML,SBJ,STR

NPA,SKN

Keterangan: diskripsi sistem lahan secara lengkap disajikan pada Lampiran 1

Page 29: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

105

kabupaten Sleman- Yogyakarta (lereng gunung Merapi) yang termasuk dalam

zona B (S1/IP200) dari sistem lahan bentukan asal volkanik (sistem lahan SSN

dan KNJ) menunjukkan bahwa mineral yang dominan dari fraksi pasir pada

tanah sawah umumnya adalah plagioklas intermedier (35%), augit (12%),

amfibol (3%), magnetit (8%), hiperstin, dan kuarsa. Mineral utama dalam

fragmen batuan adalah plagioklas. Prasetyo (2007) telah membuktikan

kandungan mineral liat tanah sawah Vertisol di dataran banjir Karawang

(Chromic Endoaquerts, bahan induk endapan aluvium bersifat andesitik) dan

Vertisol di dataran volkanik Gedangan (Madiun) (Chromic Hapluderts, bahan

induk alluvium/koluvium bahan volkan andesitik) yang termasuk zona B

(S1/IP200). Pada tanah sawah Vertisol di dataran banjir Karawang yang termasuk

zona B (S1/IP200) dari sistem lahan bentukan asal fluvial (sistem lahan BKN),

mineral liatnya banyak mengandung smektit. Adapun zona B (S1/IP200) dari

sistem lahan bentukan asal volkanik (Sistem lahan ABG), kandungan mineral liat

smektitnya sangat tinggi. Kapasitas tukar kation tanah sawah baik di sistem lahan

bentukan fluvial maupun di volkanik tergolong sangat tinggi (> 40 me/100g).

Kandungan unsur hara fosfat (P2O5) total dan kalium (K20) total pada lapisan

olah tanah Vertisol tersebut secara berurutan tergolong sedang (21 – 40 mg/100g)

hingga sangat tinggi (> 60 mg/100g). Berdasarkan peta status hara P dan K total

(Puslitanak, 1998) dan hasil analisis laboratorium sampel-sampel tanah di zona

agroekologi lahan sawah terpilih, kandungan unsur hara P dan K total di zona

agroekologi lahan sawah bentukan asal fluvial dan volkanik sebagian besar

tergolong tinggi (Gambar 43).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa zona agroekologi lahan sawah dari

sistem lahan bentukan asal fluvial dan volkanik memiliki tanah yang subur.

Temuan dalam penelitian ini memperkuat pendapat para ahli (Adiningsih et al.,

2004) yang mengatakan bahwa tanah sawah di pulau Jawa tergolong tanah

yang subur karena bahan induknya berbahan volkan.

Zona agroekologi lahan sawah lainnya yang cukup penting dalam menjaga

keberlanjutan lahan sawah adalah zona H (S3/IP200) karena cakupannya cukup

luas, yaitu 814,136 ha (23%). Zona ini terbentuk dari sistem lahan bentukan asal

volkanik Hv (S3/IP200) 265,268 ha (7%) , denudasional Hd (S3/IP200) 226,422

Page 30: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

106

ha (6%), dan struktural Hs (S3/IP200) 322,446 ha (9%). Berbeda dengan

bentukan asal volkanik, zona agroekologi lahan sawah dari sistem lahan bentukan

asal denudasional memiliki tanah yang kurang subur karena bahan induknya

umumnya berasal dari batuan sedimen non-volkanik. Sistem lahan dari bentukan

asal denudasional tersebut merupakan bentuklahan dari hasil degradasi batuan

karena proses denudasi. Proses denudasi ini merupakan kumpulan proses yang

didominasi oleh proses pelapukan batuan yang disertai proses transport bahan

terlapuk melalui erosi dan gerakan tanah (mass wasting) (van Zuidam, 1983).

Sistem lahan bentukan asal denudasional yang membentuk zona H (S3/IP200)

meliputi BRN (Bogoran): dataran berbatuan napal bergelombang di daerah kering,

JBG (Jemblong): bukit membulat (hillock) pada batu-liat dan breksi, KMP

(Kumpai): dataran hillock dengan lembah luas pada napal dan batuliat, LAR

(Larangan): igir hillock linier pada batuan sedimen campuran, LDH (Lidah):

dataran hillok pada batukapur, napal, dan batupasir, SAR (Sungaiaur): dataran

hillock pada sedimen tuf, SFO (Sungaifauro): dataran bergelombang dengan

P-tersedia (ppm) – P2O5 Ketarangan: 0 – 1 : sangat rendah (< 10) 1 – 2 : rendah ( 10 – 15) 2 – 3 : sedang (16 – 25) 3 – 4 : tinggi (26 – 35)

P-total (mg/100g) – P2O5 Ketarangan: 0 – 1 : sangat rendah (< 10) 1 – 2 : rendah ( 10 –20) 2 – 3 : sedang (21 – 40) 3 – 4 : tinggi (41 – 60)

K-tersedia (mg/100g) – K2O Ketarangan: 0 – 1 : sangat rendah (< 5) 1 – 2 : rendah ( 5 - 10) 2 – 3 : sedang (11 - 15) 3 – 4 : tinggi (16 – 25)

K-total (mg/100g) – K2O Ketarangan: 0 – 1 : sangat rendah (< 10) 1 – 2 : rendah ( 10 – 20) 2 – 3 : sedang (21 - 40) 3 – 4 : tinggi (41 - 60)

Sumber: CSR/FAO Staff (1983)

0

0.51

1.52

2.5

33.5

4

Fluvial Volkanik Denudasional Struktural Kars

Bentukan Asal

Ting

kat K

andu

ngan

Har

a

P-tersediaP-totalK-tersediaK-total

Keterangan:

Gambar 43. Tingkat kandungan unsur hara P dan K tanah sawah berdasarkan bentukan asal sistem lahan (n = 624, α = 4%)

Page 31: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

107

hillock pada napal, SKL (Sikali): dataran hillok pada batuan sedimen campuran di

daerah kering, SNA (Sumengko): dataran sedimen campuran berombak di daerah

kering, TWH (Teweh): dataran hillok pada batuan sedimen campuran.

Berbeda dengan proses yang membentuk sistem lahan dari bentukan

denudasional, sistem lahan dari bentukan asal struktural yang termasuk zona H

(S3/IP200) merupakan dataran plato yang pembentukannya lebih dominan

disebabkan oleh proses endogen daripada proses eksogen (degradasi dan agradasi).

Dalam pembentukannya, tenaga dari proses endogen mengangkat kerak bumi

(earth’crust) sehingga terbentuk dataran luas, yang dikenal sebagai plato

(Thornbury, 1969). Menurut van Zuidam (1983), bentuklahan dari bentukan asal

struktural terkontrol oleh struktur geologi. Ciri khas dari sistem lahan dari

bentukan struktural ini merupakan dataran luas dengan pola drainase rektangular,

paralel atau dendritik. Sistem lahan dari bentukan asal struktural yang

membentuk zona H (S3/IP200) meliputi CPR (Cipancur): plato miring pada

batuliat bertufa, DKN (Dukun): plato miring terdiseksi sedang, DML

(Donomulyo): plato miring bergelombang berbatuan sedimen, STR (Salatri): plato

hillok miring pada sedimen tuf, dan SBJ (Sumbermanjing): plato miring terdiseksi

sedang pada batukapur di daerah kering. Mencermati jenis batuan baik dari

sistem lahan bentukan asal denudasional maupun dari bentukan asal struktural

yang tersusun dari batuan non-volkanik, kondisi kesuburan tanahnya diperkirakan

tidak jauh berbeda. Jenis tanah sawah yang dominan dari sistem lahan dari

bentukan asal denudasional dan struktural ini adalah Podsolik (Epiaquults) dan

Latosol (Epiaqualfs) dengan tekstur halus.

Berdasarkan peta status hara P dan K dari Puslitanak, sistem lahan

RePPProT (1989), dan hasil analisis laboratorium, tanah sawah pada kedalaman

0 – 20 cm yang termasuk zona H (S3/IP200) baik dari sistem lahan bentukan asal

denudasional maupun struktural memiliki kandungan P-tersedia, P-total, K-

tersedia, dan K-total tergolong rendah hingga sedang, serta KTK rendah (5 – 16

me/100g). Pada zona agroekologi lahan sawah dari sistem lahan bentukan asal

kars yang terbentuk karena proses pelarutan batukapur, jenis tanah dominannya,

berdasarkan peta tanah LPT (1968), adalah Mediteran (Epiaqualfs). Kandungan

unsur hara tanahnya seperti unsur hara P-total, K-total, dan K- tersedia pada

Page 32: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

108

kedalaman 0 – 20 cm tergolong sedang; sedangkan K-tersedia tergolong rendah,

pH 6.0 – 6.5, dan KTK sedang (17 – 24 me/100g). .

Berdasarkan kesesuaian lahannya seperti yang disajikan pada Tabel 21,

zona agroekologi lahan sawah yang memiliki kelas S1 (sangat sesuai) untuk

tanaman padi sawah adalah zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), dan C (S1/IP100).

Kecuali zona C (S1/IP100), kondisi irigasi di zona A (S1/IP300) dan B

(S2/IP200) tergolong baik-sedang (debit air 2.5 - > 10 liter/detik/ha). Pada zona C

(S1/IP100) , lahan sawahnya merupakan tadah hujan dengan agroklimat tipe D

(bulan basah 3- 4 bulan). Kelas kesesuaian lahan potensial di ketiga zona ini

dapat dikatakan hampir tidak memiliki faktor pembatas edafik (faktor dari aspek

sifat-sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi sawah) yang

permanen. Ketiga zona agroekologi lahan sawah ini memiliki topografi datar

hingga berombak dengan jenis tanah dominan: Alluvial (Epiaquepts) dan

Grumusol (Epiaquerts). Permasalahan dari faktor edafik yang perlu diperhatikan

adalah kandungan bahan organik tanah. Hasil analisis kandungan bahan organik

tanah dari sampel tanah sawah pada kedalaman 0 - 20 cm menunjukkan bahwa

kandungan C-organik dan N-total tanah di semua zona agroekologi lahan sawah

tergolong sangat rendah (< 1%) hingga rendah (1-2%) (Gambar 44). Dalam hal

ini, kandungan C-organik tanah penting diperhatikan karena kandungan N-total

tanah tergantung pada kandungan C-organik tanah sebagai sumber energi proses

nitrifikasi yang memproduksi unsur hara N (Alexander, 1976; Mengel dan

Kirkby, 1982; Prasetyo et al., 2004). Rendahnya kandungan C- organik tanah

adalah sebagai dampak dari penggunaan lahan sawah yang sudah sangat lama dan

diusahakan secara intensif dengan penerapan pupuk kimia. Rendahnya kandungan

C-organik tanah di semua zona agroekologi dari hasil penelitian ini sinergis

dengan terjadinya gejala pelandaian produktivitas lahan sawah di beberapa

wilayah sentra produksi beras di Jawa. Menurut Pramono (2004), menurunnya

kandungan bahan organik tanah menunjukkan menurunnya kualitas sumberdaya

tanah sawah. Upaya untuk mengembalikan kesuburan tanah karena kandungan C-

organik yang rendah diantaranya dapat ditempuh dengan pengggunaan bahan

organik tanah pada usahatani padi sawah. Penambahan bahan organik tanah pada

tanah sawah sangat penting karena fungsinya dapat meningkatkan kapasitas tukar

Page 33: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

109

Tabel 21. Karakteristik zona agroekologi lahan sawah di Jawa

ZAE

Topografi

Jenis Tanah Dominan

Kelas Kesesuaian

Lahan

Irigasi

Status Kawasan

A (S1/IP300)

Datar - berombak

Alluvial Grumusol

S1

Baik

Budidaya

B (S1/IP200)

Datar - berombak

Alluvial Grumusol

S1

Sedang-Baik

Budidaya

C

(S1/IP100)

Datar - berombak Alluvial

Grumusol

S1

Buruk/tadah hujan

Budidaya

D

(S2/IP300) Berombak

Bergelombang Lotosol Podsolik

S2s

Baik

Budidaya

E (S2/IP200)

Berombak Bergelombang

Latosol Podsolik

S2s

Sedang-baik

Budidaya

F (S2/IP100)

Berombak

Bergelombang

Latosol

Podsolik

S2ws

Buruk/tadah

hujan

Budidaya

G (S3/IP300)

Bergelombang

Berbukit

Latosol

S3s

Baik

Budidaya

H (S3/IP200)

Bergelombang Berbukit

Latosol Podsolik

S3s Tadah hujan Budidaya

I (S3/IP100)

Bergelombang

Berbukit

Podsolik

S3ws

Tadah hujan

Budidaya

s = kondisi terrain (medan), w = ketersediaan air; Irigasi baik dengan debit air: > 10 liter/detik/ha, irigasi sedang dengan debit air: 2,5 – 10 liter/detik/ha, irigasi buruk dengan debit air: < 2,5 liter/detik/ha.

kation tanah, meningkatkan daya sangga tanah dan meningkatkan ketersediaan

beberapa unsur hara serta meningkatkan efisiensi penyerapan P, dan fungsi

biologi sebagai sumber energi utama bagi aktivitas mikroorganisme tanah. Tanpa

bahan organik, kesuburan tanah akan menurun meskipun pupuk anorganik

diberikan dengan dosis tinggi (Karama et al., 1990). Untuk mengkonservasi dan

merehabilitasi tanah sawah yang mengalami gejala sakit, pemberian bahan

organik tanah dapat menggunakan dosis 1 – 2 ton/ha. Pemberian bahan organik

dengan dosis tersebut dapat meningkatkan produktivitas lahan sawah irigasi

teknis sekitar 647 kg/ha – 958 kg/ha GKG (Pramono, 2004). Khusus untuk zona

B (S1/IP200) dengan jenis tanah Grumusol, selain penanganan masalah bahan

organik tanah, pengelolaan airnya perlu diperhatikan untuk menghindarkan tanah

dari kondisi kering karena jenis tanah Grumusol ini memiliki sifat yang khas.

Page 34: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

110

Ketika basah, tanah menjadi sangat lekat dan plastis serta kedap air, tetapi ketika

kering, tanah menjadi sangat keras dan masif atau membentuk pola prisma yang

terpisahkan oleh rekahan (van Wambeke, 1992 dalam Prasetyo, 2007).

Lahan sawah dengan kesesuaian lahan kelas S2s (cukup sesuai)

Lahan sawah dengan kesesuaian lahan kelas S2s diklasifikasikan dalam

zona D (S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100). Faktor pembatas di ketiga

zona dengan jenis tanah dominan Latosol (Epiaqualfs) dan Podsolik (Epiaquults)

yang bertekstur halus (lempung liat bedebu, liat berdebut) ini disebabkan oleh

kondisi terrain-nya (s), yaitu lereng 8 - 15% (landai) dengan topografi

bergelombang dan lokal relief 0 - 50 m. Selain faktor pembatas tersebut, khusus

untuk zona F (S2/IP100), faktor pembatasnya juga disebabkan oleh ketersediaan

air (S2ws). Faktor pembatas ketersediaan air ini ditunjukkan oleh kondisi

agroklimat tipe D1, yang dicirikan oleh lama bulan basah 3 – 4 bulan.

Terbatasnya bulan basah ini menjadi penyebab intensitas pertanaman padi sawah

hanya dapat dilakukan satu kali dalam setahun (IP100). Adapun kondisi

ketersediaan air di zona D (S2/IP300) dan E (S2/IP200) tergolong baik hingga

sedang karena agroklimatnya termasuk tipe B dan C yang memiliki bulan basah

6 – 9 bulan serta kondisi irigasinya tergolong baik (debit air > 10 liter/detik/ha)

hingga sedang (2,5 – 10 liter/detik/ha). Ketersediaan air yang cukup atau

berlebih di kedua zona terakhir ini membuat para petani dapat melakukan

penanaman padi sawah dua kali (IP200) atau tiga kali (IP300) dalam setahun.

00.20.40.60.8

11.21.41.61.8

Fluvial Volkanik Denudasional Struktural Kars

Bentukan Asal

Pers

en (%

)

C-organikN-total

Gambar 44. Distribusi kandungan C-organik dan N-total tanah sawah berdasarkan bentukan asal sistem lahan (n = 624, α = 4%)

Page 35: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

111

Zona G (S3/IP300), zona H (S3/IP200), dan zona I (S3/IP100) dengan jenis

tanah dominan Latosol (Epiaqualfs) dan Podsolik (Epiaquults) yang bertekstur

halus hingga agak halus (liat berdebu, lempung liat berdebu, liat berpasir) serta

topografi berbukit memiliki kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal) dengan

faktor pembatas kondisi terrain (S3s) serta ketersediaan air (S3ws). Faktor

pembatas kondisi terrain disebabkan oleh lereng (> 15%) dan banyaknya

singkapan batuan (5 – 10 %). Sebagai upaya untuk konservasi tanah dan air,

lahan sawah di ketiga zona ini sudah berterasering. Kecuali di zona I (S3/IP100),

ketersediaan air di zona G (S3/IP300) dan H (S3/IP200), berdasarkan hasil survei

lapangan, termasuk cukup hingga berlebih, terutama zona G (S3/IP300).

Berdasarkan peta irigasi dari Departemen Pekerjaan Umum (2003), debit air

irigasi di zona G (S3/IP300) dan H (S3/IP200) tergolong baik (> 10 liter/det/ha)

hingga sedang (2,5 – 10 liter/detik/ha). Ketersediaan air di zona I (S3/IP100)

tergolong langka (debit air irigasi < 2,5 det/ha), sehingga petani dalam melakukan

penanaman padi sawah banyak yang mengandalkan air hujan dengan periode

pendek (3 – 4 bulan). Masalah kesuburan tanah di zona agroekologi lahan sawah

dengan kesesuaian lahan kelas S3 ini hampir sama dengan zona agroekologi lahan

sawah lainnya dengan kesesuaian lahan kelas S1 dan S2, yang dihadapkan

kepada kandungan C-organik tanah yang rendah. Yang perlu menjadi perhatian

adalah masalah kesuburan tanah di zona agroekologi lahan sawah dari bentukan

asal denudasional. Pada zona G (S3/IP300), H (S3/IP200), dan I (S3/IP100), zona

agroekologi lahan sawah dari bentukan asal denudasional dengan jenis tanah

dominan Podsolik (Epiaquults) memiliki kandungan C-organik tanah sangat

rendah (< 1,0%). Kondisi ini, selain dari dampak penerapan revolusi hijau yang

telah berlangsung lama dan diusahakan secara intensif, rendahnya kandungan C-

organik tanah diprediksi juga disebabkan oleh tingkat pelapukan di sistem lahan

bentukan asal denudasional berlangsung lebih lama dan intensif daripada

bentukan asal lainnya. Pada tanah Podsolik, lebih intensifnya tingkat pelapukan

berdampak pada reaksi tanahnya (pH) lebih masam (4,5 – 5,0), KTK rendah (5 –

16 me/100g), P-tersedia rendah (< 10 ppm), K-tersedia rendah (5 – 10 mg/100g),

P-total rendah (10 – 20 mg/100g), K-total rendah (10 – 20 mg/100g). Rendahnya

kandungan unsur hara P-tersedia merupakan dampak dari pH tanah yang masam.

Page 36: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

112

Pada kondisi tanah yang masam, unsur hara P difiksasi oleh ion Fe2+ dan Al3+

menjadi ikatan Fe-P dan Al-P yang sukar larut (Tisdale dan Nelson, 1975).

Rendahnya kandungan unsur hara K-total karena bahan induk tanah dari bentukan

asal denudasional ini berasal dari batuan sedimen non-volkanik yang miskin

mineral primer yang mudah lapuk seperti ferromagnesium, plagioklas, dan lain-

lain sebagaimana yang ada dalam tanah dengan bahan induk berbahan volkan.

Walaupun kesuburan tanahnya kurang baik daripada zona agroekologi lahan

sawah dari sistem lahan bentukan asal fluvial dan volkanik, zona H (S3/IP200)

yang terbentuk dari sistem lahan bentukan asal denudasional (Hd (S3/IP200))

dinilai masih sangat penting sebagai penghasil padi, mengingat luasannya cukup

besar, yaitu 346,375 ha (11%). Masalah kesuburan tanah yang ada dapat

diperbaiki dengan melakukan pengelolaan tanah yang tepat, seperti pemupukan

berimbang yang mengkombinasikan pupuk organik dan anorganik sesuai dengan

kebutuhan tanaman dan status hara tanah.

Ditinjau dari luasannya yang sangat luas, zona B (S1/IP200) dan H

(S3/IP200) berpotensi memberikan peran penting dalam menjaga keberlanjutan

lahan sawah di Jawa. Zona B (S1/IP200) dengan luasan 1,964,259 ha (55%)

merupakan zona agroekologi lahan sawah yang produktif karena tanahnya yang

subur didukung dengan infrastruktur irigasi cukup baik ( debit air irigasi 2.5 – 10

liter/detik/ha hingga > 10 liter/det/ha). Walaupun kesesuaian lahannya tergolong

marginal, zona H (S3/IP200) masih cukup berperan dalam mendukung produksi

padi karena cakupannya cukup luas, yaitu 811,833 ha (23%). Pada kedua zona

ini, penanaman padi dengan IP200 mencerminkan budaya lokal masyarakat

petani di setiap wilayah. Penerapan IP200 ini bukan berarti ketersediaan air yang

disuplai dari curah hujan atau saluran irigasi tidak mencukupi untuk penerapan

IP300 (penanaman padi sawah tiga kali dalam setahun). Penanaman padi dengan

IP200 secara luas diterapkan di provinsi Jawa Timur (968,886 ha atau 35%),

kemudian menyusul provinsi Jawa Tengah (884.088 ha atau 31%), Jawa Barat

(756,484 ha atau 27%), Banten (179,540 ha atau 6%), dan D.I Yogyakarta (38.511

ha atau 1%) (Gambar 45). Urutan luasan penerapan IP200 di zona B (S1/IP200)

dan H (S3/IP200) ini mencerminkan tingkat kontribusi setiap wilayah dalam

Page 37: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

113

memproduksi padi sawah. Luas zona agroekologi lahan sawah di setiap

kabupaten/Kota di Jawa yang berperan sebagai lumbung padi (Tabel 22) memang

didukung dengan saluran irigasi teknis yang memadai (Tabel 23). Lebih

rendahnya cakupan penanaman padi sawah dengan IP200 di wilayah Banten dan

Jawa Barat apabila dibandingkan dengan petani di wilayah Jawa Timur dan Jawa

Tengah, bukan berarti ketersediaan air lahan sawah mereka tidak mencukupi

untuk penanaman padi dengan IP300. Masyarakat petani di provinsi Banten dan

Jawa Barat umumnya memiliki kebiasaan untuk menanam padi dengan IP200.

Mereka lebih suka menaman padi dengan IP200 dengan alasan ingin beristirahat

setelah terus-menerus bekerja selama kurang lebih enam bulan.

Sebaliknya, masyarakat petani di Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, dan Jawa

Timur yang menanam padi sawah dengan IP200 adalah untuk menyesuaikan

dengan kondisi agroklimatnya yang bertipe C dengan bulan basah selama 5 – 6

bulan. Saat ini, banyak diantara para petani di daerah tersebut seperti Madiun,

Jember, Nganjuk, Jombang, Bantul, Pemalang, dan Sragen memaksakan

penanaman padi sawah dengan IP300, yaitu dengan memompa air tanah.

Gambar 46 memperlihatkan contoh pemompaan air tanah untuk penanaman padi

sawah dengan IP300 walaupun ketersediaan airnya tidak cukup.

Apabila ditinjau dari aspek legalitasnya, zona agroekologi lahan sawah

secara teknis telah disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang

Gambar 45. Disribusi zona agroekologi lahan sawah yang dominan sebagai penghasil padi sawah di Jawa

0100,000200,000300,000400,000500,000600,000700,000800,000900,000

Banten Jabar Jateng DI.Yogyakarta

Jatim

Provinsi

Luas

(Ha)

Zona B (S1/IP200)Zona H (S3/IP200)

Page 38: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

114

Tabel 22. Daerah yang berperan sebagai lumbung padi di Jawa (ha)

Kabupaten/Kota

Zona Agroekologi Lahan Sawah Kabupaten/Kota

Zona Agroekologi Lahan Sawah B

(S/IP200) H

(S3/IP200) Total B

(S1/IP200) H

(S3/IP200) Total

Kota. Cilegon 468 301 769 Pemalang 25,821 7,631 33,452 KotaTangerang 1,288 1,288 Purbalingga 9,445 8,521 17,966 Lebak 7,795 14,467 22,262 Purworejo 23,359 1,675 25,034 Pandegelang 24,859 24,887 49,746 Rembang 13,649 42,209 55,858 Serang 23,675 10,855 34,530 Semarang 2,016 18,052 20,068 Tangerang 20,432 50,510 70,942 Sragen 23,732 8,603 32,335 Bandung 27,049 29,656 56,705 Sukoharjo 21,992 1,461 23,453 Bekasi 54,062 9,922 63,984 Tegal 34,289 2,730 37,019 Bogor 1,170 25,528 26,698 Temanggung 15,990 15,990 Cianjur 7,682 17,416 25,098 Wonosobo 5,045 5,045 Ciamis 24,090 43,300 67,390 Bantul 12,095 36 12,131 Cirebon 55,326 2,494 57,820 Kulonprogo 4,681 4,681 Garut 6,389 21,682 28,071 Sleman 21,474 117 21,591 Indramanyu 116,623 116,623 Bangkalan 1,578 1,578 Karawang 106,967 5,957 112,924 Banyuwangi 28,972 28,112 57,084 Kota Bandung 1,459 1,459 Blitar 48,116 3,058 51,174 Kota. Banjar 1,768 1,636 3,404 Bojonegoro 33,931 12,934 46,865 Kota Sukabumi 2,690 2,690 Bondowoso 14,619 20,436 35,055 Kota Tasikmalaya 4,299 5,889 10,188 Gresik 6,214 412 6,626 Kuningan 410 12,704 13,114 Jember 57,283 14,082 71,365 Majalengka 32,298 5,767 38,065 Jombang 45,831 3,164 48,995 Purwakarta 5,281 4,942 10,223 Kediri 65,294 5,286 70,580 Subang 44,463 6,604 51,067 Kota Batu 2,795 2,795 Sukabumi 742 26,547 27,289 Kota. Blitar 1,942 1,942 Sumedang 22 14,550 14,572 Kota Kediri 2,800 21 2,821 Tasikmalaya 246 27,721 27,967 Kota Madiun 1,198 1,198 Banjarnegara 1,458 1,549 3,007 Kota Malang 1,420 87 1,507 Banyumas 12,247 9,203 21,450 Kota Mojokerto 1,056 1,056 Batang 3,959 7,432 11,391 Kota Pasuruan 1,910 1,910 Blora 18,818 57,709 76,527 Kota Probolinggo 3,696 3,696 Boyolali 12,671 15,670 28,341 Kota Surabaya 1,631 1,631 Brebes 35,659 7,924 43,583 Kotif Jember 2,236 592 2,828 Cilacap 40,011 1,093 41,104 Lamongan 48,605 5,971 54,576 Demak 62,695 62,695 Lumajang 19,990 23,133 43,123 Grobogan 60,933 14,387 75,320 Madiun 27,608 4,530 32,138 Jepara 9,293 8,788 18,081 Magetan 18,528 4,754 23,282 Karanganyar 9,521 9,985 19,506 Malang 16,493 6,153 22,646 Kebumen 28,456 22 28,478 Mojokerto 32,857 1,055 33,912 Kendal 17,792 3,076 20,868 Nganjuk 35,091 2,190 37,281 Klaten 37,147 6 37,153 Ngawi 33,158 11,585 44,743 Kota Pekalongan 981 6 987 Pasuruan 30,208 20,560 50,768 Kota Purwokerto 596 713 1,309 Ponorogo 25,138 1,696 26,834 Kota Salatiga 1,283 1,283 Probolinggo 32,449 9,611 42,060 Kota Semarang 471 1,107 1,578 Sidoarjo 32,606 32,606 Kudus 12,058 9,347 21,405 Situbondo 35,169 285 35,454 Magelang 13,720 12,361 26,081 Trenggalek 7,016 7,016 Pati 39,953 21,528 61,481 Tuban 24,167 16,658 40,825 Pekalongan 39,953 21,528 61,481 Tulungagung 29,413 1,080 30,493

Page 39: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

115

Tabel 23. Luasan lahan sawah berdasarkan tipe irigasi (ha)

Provinsi Teknis ½ Teknis Sederhana Lainnya Total

Banten 51,908 18,217 46,030 78,349 194,504

DKI. Jakarta 510 782 582 370 2,244

Jawa Barat 376,718 119,407 250,525 171,075 917,725

Jawa Tengah 382,569 120,113 188,227 276,899 967,808

DI. Yogyakarta 18,493 22,630 6,742 9,323 57,188

Jawa Timur 641,001 110,435 109,866 234,775 1,096,077

Total 1,471,199 391,584 601,972 770,791 3,235,546 Sumber: BPS (2005).

Penataan Ruang (UUPR), Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP No. 26/2008), dan Undang-Undang

Nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

(UUPLPPB). Delineasi zona agroekologi lahan sawah bersifat sinergis dengan

upaya untuk mewujudkan kawasan budidaya sebagaimana yang diatur dalam

UUPR Pasal 1 butir 10: “Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan

dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi

sumberdaya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan”; UUPR Pasal

Gambar 46. Contoh pemompaan air tanah untuk mengejar target penanaman padi sawah dengan IP300 di desa Sidoharjo kecamatan Taraman, kabupaten Sragen

Page 40: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

116

5 butir 2: “Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan

lindung dan kawasan budidaya”; Penetapan zona agroekologi lahan sawah yang

didesain sebagai kawasan budidaya peruntukan pertanian disesuaikan dengan PP

No. 26/2008 Pasal 66 butir 1a: “Kawasan peruntukan pertanian ditetapkan

dengan kriteria memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan

pertanian. Sebagai kawasan budidaya peruntukan pertanian yang sesuai dengan

UUPR, zona agroekologi lahan sawah dari hasil penelitian ini dapat digunakan

sebagai dasar perencanaan perlindungan lahan pertanian berkelanjutan seperti

yang diatur dalam UUPLPPB Pasal 2.

Berdasarkan apa yang telah dibahas tersebut, zona agroekologi lahan

sawah yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat mencerminkan

pengklasifikasian lahan pertanian yang telah mempertimbangkan aspek potensi

biofisik, legalitas, dan budaya lokal. Ketiga aspek ini merupakan prinsip-prinsip

yang melandasi zona agroekologi lahan sawah sebagai basis kajian keberlanjutan

lahan sawah untuk mendukung penataan ruang dalam rangka menjaga ketahanan

pangan di pulau Jawa, terutama dari aspek ketersediaan pangan (beras).

4.4.2 Daya Dukung Lahan Sawah

Keterkaitan daya dukung lahan sawah dengan zona agroekologi adalah

untuk mengetahui kemampuan zona agroekologi lahan sawah di suatu wilayah

dalam mendukung kehidupan manusia, terutama dari aspek penyediaan pangan

(beras). Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 24 menunjukkan bahwa

kemampuan zona agroekologi lahan sawah dalam memproduksi padi/beras

dipengaruhi oleh kualitas lahan zona agroekologi lahan sawah yang dicerminkan

oleh kelas kesesuaian lahannya. Berdasarkan sampel data produksi padi sawah di

kecamatan-kecamatan terpilih (n = 139) yang dipublikasikan BPS (2003-2008),

produktivitas padi rataan di zona agroekologi lahan sawah dengan kelas

kesesuaian lahan S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), dan S3 (sesuai marginal)

secara berurutan adalah 6.02 ton/ha, 5.64 ton/ha, dan 5.23 ton/ha. Ketiga

produktivitas padi tersebut berbeda sangat nyata pada uji-t dengan tingkat

kesalahan (α) 5%. Potensi produksi padi setiap tahun di semua zona agroekologi

lahan sawah dengan luas 3,101,354 ha dan luas panen 6,123,810 ha adalah

Page 41: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

117

Tabel 24. Produksi padi sawah potensial di zona agroekologi lahan sawah di Jawa

Zona Agroekologi Lahan Sawah

Luas (ha)

Produktivitas (ton/ha)

IP

Luas Panen

(ha) Produksi Padi

(ton/th)1

A (S1/IP300)

35,541

6.02 a (n:73,sd:0.61)

3

106,624

641,874

B (S1/IP200)

1,964,259

6,02 a (n:73,sd:0.61)

2

3,928,519

23,649,682

C (S1/IP100)

36,644

6,02a (n:73,sd:0.61)

1

36,644

220,594

D (S2/IP300)

9,514

5,64b (n:43,sd:0)

3

28,541

160,969

E (S2/IP200) 137,725

5,64b (n:43,sd:0) 2 275,451 1,553,542

F (S2/IP100)

83,544

5,64b (n:43,sd:0)

1

83,544

471,187

G (S3/IP300)

9,264

5,23c (n:23,sd:0.46)

3

27,793

145,356

H (S3/IP200)

811,833

5,23c (n:23,sd:0.46)

2

1,623,667

8,491,777

I (S3/IP100)

13,030

5,23 c (n:23,sd:0.46)

1

13,030

68,145

Total 3,101,354 - - 6,123,810 35,403,127 Produksi padi GKG = Produktivitas x Luas panen, Luas panen = Luas x IP a, b, c = berbeda sangat nyata (tα = 0,05). Sampel produktivitas padi sawah dari data kecamatan BPS (2003-2008) sd:standar deviasi

35,403,127 ton/ha GK atau setara dengan 23,012,032 ton beras/ha. Potensi

produksi padi tersebut dicerminkan oleh varietas Ciherang yang mendominasi

tanaman padi sawah di Jawa. Pencapaian potensi produksi padi ini diasumsikan

dengan pengelolaan lahan sawah secara intensif melalui pemupukan berimbang

untuk mengatasi faktor pembatas kesuburan tanah (bahan organik tanah, N, P, dan

K), ketersediaan air sesuai kondisi agroklimat dan potensi air irigasi (debit air 2.5

– 10 liter/det/ha), dan pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu.

Page 42: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

118

Pengelolaan lahan sawah tersebut diasumsikan tanpa adanya gangguan bencana

alam yang berarti, terutama banjir dan kekeringan.

Potensi luas panen dan produksi padi di setiap provinsi yang berdasarkan

zona agroekologi lahan sawah disajikan pada Tabel 25 dan 26. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat

merupakan lumbung padi andalan, dengan potensi produksi padi per tahun

11,737,780 ton GKG (33 %), 10,817,616 ton GKG (31 %), dan 10,104,863 ton

GKG (29%). Kontribusi produksi padi dari ketiga provinsi ini mencapai 93% dari

produksi padi per tahun di Jawa (35,403,127 ton GKG). Tingginya potensi

produksi padi tersebut bersesuaian dengan potensi luas panen yang sebagian besar

berada di zona B (S1/IP200).

Tabel 25. Potensi luas panen di Jawa per tahun berdasarkan zona agroekologi lahan sawah (ha)

Zona Agrokologi

Lahan Sawah

Banten

DKI. Jakarta

Jawa Barat

Jawa Tengah

D.I Yogyakarta

Jawa Timur

Total

A (S1/IP300) 0 0 73,340 28,356 1,017 3,910

106,624

B (S1/IP200) 157,038 2,630 982,087 1,173,569 76,715 1,536,479

3,928,519

C (S1/IP100) 0 0 9,290 15,654 1,965 9,735

36,644

D (S2/IP300) 0 0 28,541 0 0 0

28,541

E (S2/IP200) 125,259 3,946 72,928 44,054 0 29,263

275,451

F (S2/IP100) 0 0 51,860 17,508 6,547 7,629

83,544

G (S3/IP300) 0 0 11,754 2,123 0 13,915

27,793

H (S3/IP200) 101,021 0 526,441 594,606 306 401,293

1,623,667

I (S3/IP100) 467 0 3,006 3,765 740 5,052

13,030

Total

383,785

6,576

1,759,249

1,879,635

87,289

2,007,277

6,123,810

Sumber: hasil analisis

Apabila dibandingkan dengan data produksi padi sawah aktual dari BPS

tahun 2005, 2006, 2007, dan 2008, produksi padi sawah potensial berdasarkan

zona agroekologi lahan sawah di Jawa masih lebih besar (Gambar 47). Hal ini

Page 43: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

119

dimungkinkan disebabkan oleh berbagai hal, seperti kejadian banjir, kekeringan,

serangan hama dan penyakit tanaman, dan atau pemupukan tidak sesuai dengan

kebutuhan tanaman dan status hara tanah. Kondisi yang tidak menguntungkan ini,

namun demikian, belum menimpa semua wilayah lumbung beras. Satu-satunya

wilayah lumbung beras yang produksi padi sawah aktualnya berhasil

Tabel 26. Potensi produksi padi sawah di Jawa berdasarkan zona agroekologi lahan sawah (ton GKG/tahun)

Zona

Agroekologi Lahan Sawah

Banten

DKI. Jakarta

Jawa Barat

Jawa Tengah

D.I Yogyakarta

Jawa Timur

Total

A (S1/IP300) 0 0 441,510 170,704 6,123 23,537 641,874

B (S1/IP200) 945,370 15,833 5,912,166 7,064,886 461,826 9,249,601 23,649,682

C (S1/IP100) 0 0 55,926 94,235 11,827 58,607 220,594

D (S2/IP300) 0 0 160,969 0 0 0 160,969

E (S2/IP200) 706,461 22,255 411,316 248,465 0 165,045 1,553,542

F (S2/IP100) 0 0 292,491 98,744 36,922 43,030 471,187

G (S3/IP300) 0 0 61,476 11,103 0 72,778 145,356

H (S3/IP200) 528,339 0 2,753,288 3,109,790 1,600 2,098,760 8,491,777

I (S3/IP100) 2,443 0 15,722 19,691 3,868 26,422 68,145

Total

2,182,613 (6 %)

38,088 (0 %)

10,104,863 (29 %)

10,817,616 (31 %)

522,167 ( 1%)

11,737,780 (33 %)

35,403,127 (100 %)

Gambar 47. Perbandingan produksi padi sawah potensial dan aktual di Jawa

0

5

10

1520

25

30

35

40

2005 2006 2007 2008

Tahun

Pro

duks

i (ju

ta to

n/th

)

Produksi potensialProduksi aktual

Produksi 2005 2006 2007 2008 Potensial (ton GKG) 35.403.127 35.403.127 35.403.127 35.403.127 Aktual (ton GKG) 29.764.392 28.880.220 30.466.339 32.346.997 Perbedaan (ton GKG) -5.638.735 -6.522.907 -4.936.788 -3.056.130

(%) -16 -18 -14 -9

Page 44: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

120

menembus produksi potensial adalah provinsi D.I Yogyakarta. Selama periode

2005-2008, produksi padi sawah aktual di provinsi ini berkisar antara 559,890

ton/th GKG hingga 798,232 ton/th GKG. Produksi padi di provinsi D.I

Yogyakarta adalah 522.127 ton/th GKG. Selain itu, pencapaian produksi padi

sawah seperti di D.I Yogyakarta juga diraih oleh provinsi Jawa Barat (Jabar),

yaitu dengan produksi 10,111.,069 ton/th GKG. Produksi padi sawah potensial

di provinsi Jawa Barat (Jabar) adalah 10,104,863 ton/ha GKG. Berdasarkan survei

lapangan di provinsi D.I Yogyakarta, para petani padi sawah di wilayah ini

0

2

4

6

8

10

12

14

2005 2006 2007 2008

Tahun

Prod

uksi

(Jut

a to

n/th

)

Jatim Produksi Potensial

Jateng Produksi Potensial

Jabar Produksi Potensial

Banten Produksi Potensial

DI Yogyakarta Produksi Potensial

DKI Jakarta Produksi Potensial

Jatim Produksi Aktual

Jateng Produksi Aktual

Jabar Produksi Aktual

Banten Produksi Aktual

DI Yogyakarta Produksi Aktual

DKI Jakarta Produksi Aktual

umumnya mengelola tanah sawahnya sangat intensif. Bahkan, lahan sawah di

zona agroekologi yang hanya mampu ditanami dua kali dalam setahun (IP200)

dipaksakan dengan penanaman padi tiga kali dalam setahun (IP300) pada musim

kemarau, yaitu dengan memompa air tanah (Gambar 49). Di provinsi lainnya,

yaitu Jawa Tengah (Jateng), Jawa Timur (Jatim), dan Banten; produksi padi

sawah aktualnya belum melebihi produksi potensialnya.

Dengan menggunakan 5 skenario konsumsi beras, yaitu 100, 110, 120 , 130,

dan 140 kg/kapita/tahun, daya dukung lahan sawah di Jawa dari tahun 2005

hingga 2025 cenderung menurun sesuai dengan peningkatan konsumsi beras dan

pertambahan jumlah penduduk (Gambar 50). Daya dukung lahan sawah untuk 5

skenario tersebut semuanya berada pada kondisi bersyarat. Pada tahun 2020, daya

dukung lahan sawah dengan potensi produksi beras sekitar 23,012,032 ton

Gambar 48. Perbandingan produksi padi sawah potensial dan aktual di setiap provinsi di Jawa

Page 45: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

121

GKG/tahun dan jumlah penduduk mencapai 146.5 juta jiwa akan berada pada

kondisi terlampaui apabila diterapkan konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun.

Kondisi daya dukung lahan sawah tersebut akan terwujud apabila daya dukung

lahan hanya dipengaruhi oleh faktor jumlah penduduk, sedangkan faktor lainnya

seperti iklim, konversi lahan sawah, kesuburan tanah, ekonomi, dan sosial-

budaya dalam kondisi cateris paribus. Dalam penelitian ini, proyeksi jumlah

penduduk dari tahun 2010 hingga 2025 yang diperoleh dari BPS

(http://www.datastatistik-indonesia.com) menggunakan laju pertambahan

penduduk sebesar 1%. Walaupun hanya faktor penduduk yang mempengaruhi

daya dukung lahan sawah, hasil penelitian ini masih memberikan makna cukup

Gambar 49. Pengelolaan lahan sawah sangat intensif dengan memompa air tanah untuk mencapai IP300 (lokasi: desa Parangtritis kecamatan Kretek, kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta, 15 Agustus 2009)

Terlampaui

Bersyarat

Berkelanjutan

Gambar 50. Daya dukung lahan sawah di Jawa berdasarkan lima skenario konsumsi beras

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

2005 2010 2015 2020 2025

Tahun

Day

a D

ukun

g

Konsumsi Beras:100 kg/kap /th

Konsumsi beras:110 kg/kap/th

Konsumsi Beras:120 kg/kap/th

Konsumsi Beras: 130 kg/kap/th

Konsumsi Beras:140 kg/kap/th

Page 46: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

122

penting untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah karena pemicu utama (driving

force) dalam kepunahan sumberdaya lahan adalah faktor penduduk. Pengaruh

faktor-faktor lainnya (biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya) terhadap

keberlanjutan pertanian, seperti yang dijelaskan oleh Rao dan Rogers (2006), pada

hakekatnya bersumber dari faktor penduduk. Soemarwoto (2008) menjelaskan

bahwa dengan bertambahnya jumlah penduduk, sumberdaya lain di samping lahan

juga diperlukan dalam jumlah yang meningkat, sehingga kita dihadapkan pada

masalah penyusutan dan habisnya sumberdaya. Selain itu, pertambahan jumlah

penduduk juga mengakibatkan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, kondisi

daya dukung lahan sawah dengan tingkat konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun

yang terlampaui pada tahun 2020 patut menjadi perhatian bagi pengambil

kebijakan yang berkaitan dengan ketahanan pangan. Apabila ditinjau berdasarkan

pada konsumsi energi yang sesuai dengan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional,

konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun yang mendekati konsumsi beras nasional

139.15 kg/kapita/tahun adalah terlalu besar. Jika dibandingkan dengan negara

lainnya di Asia, konsumsi beras di Jepang hanya 60 kg/kapita/tahun dan

Malaysia 80 kg/kapita/tahun. Konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun adalah

setara dengan 1,400 kilo kalori (kkal)/kapita/hari atau 64% dari konsumsi energi

yang ditetapkan oleh PPH Nasional, yaitu 2,200 kkal/kapita/hari. Sesuai dengan

standar PPH Nasional, konsumsi karbohidrat dari padi-padian adalah 50% atau

setara dengan 1,100 kkal/kapita/hari (Hardinsyah et al., 2001). Konsumsi energi

1,100 kkal/kapita/hari setara dengan konsumsi beras 278 gram beras/kapita/hari

atau 110 kg beras/kapita/tahun. Namun demikian, berdasarkan penelitian ini,

daya dukung lahan sawah di Jawa dengan konsumsi 110 kg/kapita/tahun

masih akan tetap berada pada kondisi bersyarat hingga pada tahun 2025. Kondisi

daya dukung lahan sawah seperti ini membuat upaya bagi Indonesia untuk

mencapai dan mempertahankan ketahanan pangan menjadi berat, mengingat

sekitar 54% produksi beras nasional dipasok dari Jawa (BPS, 2008). Apabila

kebijakan penerapan konsumsi beras 139.15 kg/kapita/tahun tetap dipertahankan,

kebutuhan beras di Jawa tidak dapat dipenuhi sendiri. Bahkan, dalam jangka

panjang diperkirakan kebutuhan beras di Jawa harus dipasok dari daerah atau

negara lain (harus impor). Untuk mencapai keberlanjutan lahan sawah agar

Page 47: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

123

ketahanan pangan terjaga, beberapa langkah kebijakan yang perlu diperhatikan,

diantaranya adalah pengendalian jumlah penduduk, konversi lahan, serta

diversifikasi pangan.

Kondisi daya dukung lahan sawah di Jawa yang cukup mengkhawatirkan

tersebut secara detil dijelaskan di setiap provinsi (Gambar 51). Dari 5 skenario

konsumsi beras yang dirancang, kondisi daya dukung lahan sawah terburuk

terjadi di provinsi DKI Jakarta, yang kemudian diikuti secara berurutan oleh

provinsi Banten, DI. Yogyakarta, Jawa Barat, serta Jawa Timur, dan Jawa

Tengah. Kondisi ini bersesuaian dengan urutan kepadatan penduduk seperti yang

diperlihatkan pada Gambar 52. Hasil penelitian ini mencerminkan perbedaan

tekanan penduduk terhadap sumberdaya lahan sawah sebagai produsen beras.

Semakin tinggi kepadatan penduduk semakin tinggi tekanannya terhadap

sumberdaya lahan sawah. Dengan demikian, semakin tinggi tekanan penduduk,

semakin rendah daya dukung lahan sawah.

Hasil yang disajikan pada Gambar 51 juga menunjukkan bahwa titik kritis

daya dukung lahan sawah berbeda di setiap provinsi, tergantung pada konsumsi

beras. Untuk semua konsumsi beras yang diskenariokan, daya dukung lahan

sawah di provinsi DKI. Jakarta dengan produksi padi 38,088 ton GKG/tahun (0%)

dari produksi padi sawah di Jawa dari tahun 2005 hingga 20025 telah terlampaui.

Kondisi ini bisa dimaklumi mengingat kepadatan penduduk provinsi ini sangat

tinggi dan merupakan daerah metropolitan, sebagai pusat kegiatan pelayanan jasa

dan manufaktur. Di daerah produsen beras, seperti di provinsi Banten dan Jawa

Barat, dengan konsumsi beras 100 kg/kapita/tahun, status daya dukungnya sudah

termasuk bersyarat dari tahun 2005 hingga 2025, sedangkan di provinsi DI.

Yogyakarta akan menjadi terlampaui pada tahun 2020. Dengan konsumsi beras

110 kg/kapita/tahun, status daya dukung lahan sawah di provinsi-provinsi yang

berperan sebagai lumbung padi andalan seperti Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah,

dan Jawa Timur termasuk bersyarat dan berlanjut dari tahun 2005 hingga 2025.

Dengan konsumsi beras 120 kg/kapita/tahun, status daya dukung lahan sawah di

provinsi Banten menjadi terlampaui pada tahun 2025, sedangkan di provinsi D.I

Yogyakarta telah terjadi pada tahun 2015. Yang penting dicatat dari hasil

penelitian ini adalah daya dukung lahan sawah di provinsi Jawa Tengah dan

Page 48: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

124

Jawa Timur. Antara tahun 2005-2025, daya dukung lahan sawah di kedua provinsi

ini tetap berada di status berlanjut untuk konsumsi beras 100 dan 110

kg/kapita/tahun, sedangkan di provinsi Banten dan Yogyakarta masih dalam status

bersyarat. Dengan konsumsi beras 130 kg/kapita/tahun, daya dukung lahan

sawah di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur mulai menjadi bersyarat. Hasil

penelitian ini bermakna bahwa konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun atau setara

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

2005 2010 2015 2020 2025

Tahun

Day

a D

ukun

g

Jawa TengahJawa TimurJawa BaratBantenD.I YogyakartaDKI. Jakarta

0.0

0.5

1.01.5

2.0

2.5

3.0

2005 2010 2015 2020 2025

Tahun

Day

a D

ukun

g

Jawa TengahJawa TimurJawa BaratBantenD.I YogyakartaDKI. Jakarta

Berkelanjutan Berkelanjutan

Bersyarat Bersyarat Bersyarat

Terlampaui Terlampaui

0.00.51.01.5

2.02.53.0

2005 2010 2015 2020 2025

Tahun

Day

a D

ukun

g

Jawa TengahJawa TimurJawa BaratBantenD.I YogyakartaDKI. Jakarta

Berkelanjutan

Bersyarat

Terlampaui

0.00.51.01.52.02.53.0

2005 2010 2015 2020 2025

Tahun

Daya D

uku

ng

Jaw a Tengah

Jaw a Timur

Jaw a Barat

Banten

D.I Yogyakarta

DKI. Jakarta

Berkelanjutan

Bersyarat

Terlampaui

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

2005 2010 2015 2020 2025

Tahun

Day

a D

uku

ng

Jaw a Tengah

Jaw a Timur

Jaw a Barat

Banten

D.I Yogyakarta

DKI. Jakarta

Berkelanjutan

Bersyarat

Terlampaui

a) Konsumsi beras 100 kg/kapita/tahun b) Konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun

c) Konsumsi beras 120 kg/kapita/tahun

d) Konsumsi beras 130 kg/kapita/tahun e) Konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun

Gambar 51. Daya dukung lahan sawah di setiap provinsi berdasarkan lima skenario konsumsi beras (a,b,c,d,e)

Page 49: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

125

dengan 1,130 kkal/orang/hari atau 51.4% dari kebutuhan energi 2,200

kkal/orang/hari (dengan asumsi 1 gram beras mengandung 3.70 kkal) merupakan

pilihan yang tepat untuk digunakan sebagai standar konsumsi beras nasional

dengan pertimbangan sebagai berikut, yaitu 1) paling mendekati standar

kebutuhan energi 1,100 kkal atau 50% dari energi 2,200 kkal untuk memenuhi

kebutuhan energi seorang manusia dalam sehari sebagaimana yang telah

ditetapkan dalam PPH Nasional, 2) tidak terlalu memberatkan provinsi-provinsi

lumbung padi andalan dalam penyediaan beras, dan 3) merupakan angka

moderat untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah. Dengan penerapan konsumsi

beras 110 kg/kapita/tahun, daerah lumbung padi andalan, terutama Jawa Tengah

dan Jawa Timur, memiliki peluang untuk mengekspor beras, sedangkan provinsi

lainnya seperti Banten dan D.I Yogyakarta masih dapat berswasembada beras

untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Penerapan konsumsi beras 140

kg/kapita/tahun (389 gram/kapita/hari) yang mendekati konsumsi beras standar

nasional, yaitu 139.15 kg/kapita/tahun, dinilai terlalu tinggi karena konsumsi

beras 389 gam/kapita/hari mengandung energi 1,439 kkal (65% energi

kebutuhan/orang/hari) yang melebihi standar kebutuhan energi dari padi-padian,

yaitu 1,100 kkal/kapita/hari atau 50% dari kebutuhan energi setiap orang dalam

sehari, yaitu 2,200 kkal seperti yang ditetapkan dalam PPH nasional. Berdasarkan

pada hasil penelitian ini, penerapan konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun dapat

mengakibatkan kondisi daya dukung lahan sawah di wilayah-wilayah yang

berperan sebagai lumbung padi andalan seperti provinsi Jawa Tengah dan Jawa

0

2,000

4,000

6,0008,000

10,000

12,000

14,000

16,000

2005 2010 2015 2020 2025

Tahun

Kepa

data

n (j

iwa/

km2 )

DKI JakartaJawa BaratDI. YogyakartaJawa TengahJawa Timur

Gambar 52. Perkembangan kepadatan penduduk di Jawa (2005-2025).

Page 50: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

126

Timur menjadi status bersyarat. Kondisi ini tentunya sangat mengkhawatirkan

karena penerapan konsumsi beras 139.15 kg/kapita/hari membawa konsekwensi

kepada pemerintah daerah untuk mengejar target produksi padi yang melebihi

daya dukungnya.

Penerapan konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun tentunya harus disertai

dengan kebijakan diversifikasi pangan agar kebutuhan energi setiap orang per hari

yang masih terbiasa dengan konsumsi beras 139.15 kg/kapita/tahun masih dapat

terpenuhi. Kebijakan diversifikasi pangan dimaksud sebenarnya sudah diarahkan

dalam GBHN 1999-2004 (bab IV), yang dinyatakan bahwa pembangunan pangan

diarahkan untuk mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada

keanekaragaman sumberdaya pangan, kelembagaan, dan budaya lokal dalam

rangka menjamin tersedianya pangan dan gizi dalam jumlah dan mutu yang

dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan

peningkatan pendapatan petani dan nelayan serta peningkatan produksi

(Hardinsyah et al., 2001). Arahan kebijakan pangan tersebut dimaksudkan untuk

mendukung terwujudnya ketahanan pangan. Dalam Propenas tahun 2000-2004

(Republik Indonesia, 2000) telah diamanatkan tentang tujuan program ketahanan

pangan, yaitu (1) meningkatkan keanekaragaman produksi, ketersediaan, dan

konsumsi pangan bersumber pada ternak, ikan, tanaman pangan, hortikultura, dan

kebun serta produk-produk olahannya, (2) mengembangkan kelembagaan pangan

yang menjamin peningkatan produksi pangan dan distribusi, serta konsumsi

pangan yang lebih beragam, (3) mengembangkan usaha/bisnis pangan yang

kompetitif dan menghindarkan monopoli usaha/bisnis pangan, dan (4) menjamin

ketersediaan gizi dan pangan bagi masyarakat.

Untuk mewujudkan program diversifikasi pangan, Hardinsyah et al.

(2001) telah memformulasikan susunan konsumsi pangan dari tahun 1999 hingga

2020 seperti pada Tabel 27. Penerapan konsumsi pangan dengan konsumsi beras

110 kg/kapita/tahun atau setara dengan 51,4% kebutuhan energi 2.200

kakl/organg/hari konsumsi energi yang disertai pangan umbi-umbian, pangan

hewani, minyak dan lemak, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula, sayur dan

buah, dan lain-lain telah memenuhi target konsumsi energi 2.200 kkal yang

ditetapkan dalam PPH nasional untuk tahun 2020.

Page 51: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

127

Tabel 27 Pola konsumsi energi (%) tahun 2002-2020 (Hardinsyah et al., 2001)

No.

Kelompok Pangan Tahun

2002 2003 2004 2005 2020

1 Padi-padian 55,4 55,1 54,8 54,5 50

2 Umbi-umbian 3,5 3,7 3,8 4,0 6,0

3 Pangan hewani 5,2 5,6 5,9 6,3 12,0

4 Minyak dan lemak 8,1 8,2 8,3 8,4 10

5 Buah/biji berlemak 2,0 2,1 2,1 2,2 3,0

6 Kacang-kacangan 2,8 2,9 3,0 3,2 5,0

7 Gula 4,3 4,4 4,4 4,4 5,0

8 Sayur dan buah 3,6 3,7 3,9 4,0 6,0

9 Lain-lain 1,4 1,5 1,6 1,7 3,0

Total 86,4 87,2 87,9 88,7 100

4.5 Kesimpulan dan Saran

4.5.1 Kesimpulan

1. Lahan sawah di pulau Jawa dengan luas total 3,569,829 ha didominasi oleh

zona agroekologi yang sesuai untuk tanaman padi sawah dan berada dalam

kawasan budidaya, dengan luas total 3,101,354 ha (87%). Sebagian besar

dari zona agroekologi lahan sawah tersebut merupakan tanah sawah yang

berbahan induk bahan volkan, dengan jenis tanah dominan Alluvial

(Epiaquepts) dan Grumusol (Epiaquerts). Dengan potensi luas panen

6,123,810 ha, zona agroekologi lahan sawah ini memiliki potensi produksi

35,403,127 ton GKG/tahun atau setara dengan 23,012.032 ton beras/tahun.

Meskipun didukung oleh budaya usahatani dengan penerapan IP200 yang

bersifat ramah lingkungan, produktivitas lahan sawah di semua zona

agroekologi masih menghadapi kendala karena rendahnya kandungan C-

organik, N-total, P-tersedia, dan K-tersedia.

2. Kondisi daya dukung lahan sawah di setiap provinsi di Jawa berbeda-beda,

tergantung pada kualitas zona agroekologi lahan sawah, jumlah penduduk,

Page 52: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

128

dan tingkat konsumsi beras. Penerapan konsumsi beras standar nasional

sebesar 139.15 kg/kapita dinilai terlalu tinggi dan berpotensi mengancam

keberlanjutan lahan sawah karena daya dukung lahan sawah di wilayah-

wilayah produsen beras andalan seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan

Jawa Barat berada dalam kondisi bersyarat. Keberlanjutan lahan sawah di

wilayah-wilayah tersebut akan terjaga hingga tahun 2025 apabila diterapkan

konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun atau setara dengan 1,130

kkal/kapita/hari. Penerapan konsumsi beras pada level ini dinilai paling

ideal karena selain keberlanjutan lahan sawah dapat terjaga, konsumsi

energi setiap orang dari pangan padi-padian sesuai dengan yang ditetapkan

pada Pola Pangan Harapan nasional, yaitu 50% dari energi 2,200 kkal

untuk memenuhi kebutuhan energi setiap manusia per hari.

4.5.2 Saran

1. Luasan zona agroekologi lahan sawah sekitar 3.1 juta ha dari hasil

penelitian ini disarankan untuk dapat dimanfaatkan sebagai data indikasi

luasan baku lahan sawah. Keunggulan zona agroekologi lahan sawah ini

dapat mencerminkan distribusi potensi lahan sawah, status kawasan, dan

sosial-budaya petani dalam melakukan penanaman padi sawah.

2. Agar penggunaan zona agroekologi lahan sawah sesuai dengan daya

dukungnya, konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun atau setara dengan energi

1,100 kkal/kapita/hari dapat dipertimbangkan oleh pengambil kebijakan

sebagai pengganti konsumsi beras 139.15 kg/kapita/tahun yang dinilai

terlalu tinggi. Penerapan konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun dinilai layak

untuk menggantikan konsusmsi beras 139.15 kg/kapita/tahun karena

kebutuhan energi sebesar 1,100 kkal atau 50% dari energi 2,200 kkal yang

dibutuhkan setiap orang per hari sebagaimana yang ditetapkan dalam Pola

Pangan Harapan (PPH) Nasional untuk tahun 2020 dapat terpenuhi. Dengan

konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun, produksi beras di Jawa sangat

memungkinkan akan surplus, mengingat produksi beras aktual di Jawa

dengan konsumsi beras 139.15 kg/kapital sudah pernah mencapai 90% dari

produksi beras potensialnya. Untuk mewujudkan keberlanjutan lahan sawah

Page 53: 4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN … · Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep ... 4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan Kata ”pertanian berkelanjutan”

129

di setiap wilayah, penerapan konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun ini

memerlukan komitmen pemerintah untuk melaksanakan kebijakan

diversifikasi pangan dan pengendalian jumlah penduduk, konversi lahan,

serta konservasi tanah dan air secara konsisten.

3. Untuk meningkatkan produktivitas lahan sawah, pemupukan anorganik

perlu diikuti dengan pupuk organik karena kandungan C-organik tanah

sawah di Jawa tergolong rendah. Penambahan pupuk C-organik ini dapat

memperbaiki degradasi kesuburan tanah sawah yang telah mengalami

pelandaian produktivitas.