Upload
joko1986
View
249
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 1/30
55
JURNAL KEUANGAN PUBLIKVol. 5, No. 1, Oktober 2008
Hal 55 - 83
MENCERMATI DAMPAK DESENTRALISASI FISKALTERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
Ditulis oleh:Puji Wibowo, Ak. MIDEc1.
Abstract
The positive contribution of fiscal decentralization to economic growth hasbeen discussed extensively in the last decade. Although the impact of the fiscal responsibility shifting to lower level governments on economic stimulation is favorablefrom theoretical perspective, empirical evidence has not always been successful insubstantiating this prediction. This study examines the relationship between fiscal devolution and regional economic growth in Indonesia over the transition periods of fiscal decentralization reform, 1999-2004. By using panel data estimation from 29
provinces, this research confirms that further fiscal delegation to sub national governments, to some extent, does have potential contribution to economic progress.The investigation also suggests that a new era of fiscal decentralization, post 2001
period, is relatively more favorable in supporting economic performance than the old regime. This research also provides that in terms of fiscal autonomy, the more ownrevenue collected by local governments is associated with the lower economic growth,even though this relationship reverts to a positive linkage in the years after 2001. Themore decentralized tax systems are recommended to improve the contribution of fiscal decentralization to economic development. However, future research with a better model incorporates more variables and more comprehensive fiscal decentralization
indicators might be needed to obtain more precise effect of fiscal devolution oneconomic growth.
KeywordsFiscal decentralization, economic growth, fiscal decentralization indicator, autonomy
1 PNS Departemen Keuangan Bekerja pada Direktorat PNBP, Ditjen Anggaran
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 2/30
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
56
Pendahuluan
Perdebatan yang mengemuka di
kalangan para praktisi ekonomi berkai-tan dengan desentralisasi fiskal telahberlangsung cukup lama. Isu utama yangmenarik untuk senantiasa didiskusikanadalah mengenai keterkaitan antaradesentralisasi fiskal dengan salah satuindikator kesejahteraan masyarakat, yaknipertumbuhan ekonomi. Terdapat ambi-guitas mengenai hubungan antara duavariabel tersebut yakni apakah pertum-
buhan ekonomi merupakan dampak daridesentralisasi fiskal atau justru sebaliknya.
Bahl dan Linn (1992:391) berpen-dapat bahwa pendelegasian sebagianurusan keuangan publik dari pemerintahpusat kepada pemerintah daerah meru-pakan konsekuensi dari pencapaian taraf hidup masyarakat yang lebih baik.Pernyataan ini didukung oleh dua argu-men sebagai berikut. Pertama, medianvote theory yang memaparkan tentangrespon dunia usaha atas selera danpreferensi masyarakat daerah. Pelayananpublik disesuaikan dengan kehendakdan permintaan masyarakat setempat.Kedua, fiscal mobility theory yangmenggambarkan tingkat mobilitas pen-duduk antardaerah yang dipicu oleh
tingkat kesejahteraan masyarakat yanglebih tinggi. Perbaikan kualitas hiduporang akan mendorong mereka untukmemilih daerah yang menyediakan pela-yanan publik yang lebih baik (Bahl danLinn 1992). Dengan demikian, pemba-ngungan ekonomi suatu daerah akanberimbas pada penciptaan sektor publikdi daerah (Oates 1993).
Bertolak belakang dari pendapat di
atas bahwa sebelumnya, Oates (1972)menegaskan bahwa tingkat kemajuan
ekonomi merupakan outcome dari kese-suaian preferensi masyarakat denganPemerintah Daerah yang tercipta karena
makin pentingnya peran Pemda dalamotonomi daerah. Secara teori, pendele-gasian fiskal kepada pemerintah yangberada di level bawah diperkirakanmemberikan peningkatan ekonomimengingat pemerintah daerah memilikikedekatan dengan masyarakatnya danmempunyai keunggulan informasi di-bandingkan dengan pemerintah pusat,sehingga dapat memberikan pelayanan
publik yang benar-benar dibutuhkan didaerahnya. Respon yang diberikan olehpemerintah daerah terhadap tuntutanmasyarakat jauh lebih cepat karenamereka berhadapan langsung denganpenduduk daerah/kota yang bersang-kutan.
Argumentasi lain yang mendasariadalah munculnya ‘kompetisi’ ataupersaingan antardaerah akan meningkat-kan kesamaan pandangan antara apayang diharapkan oleh masyarakat dengansuatu program yang dijalankan olehpemerintahnya (Davoodi dan Zou1998:244). Sejalan dengan hal tersebut,Oates (1993) berpendapat bahwadesentralisasi fiskal berpotensi memberi-kan kontribusi dalam bentuk peningka-
tan efisiensi pemerintahan dan lajupertumbuhan ekonomi. Disamping itu,berdasarkan hasil analisis atas 58 negaraditemukan bahwa rendahnya tingkatdesentralisasi fiskal akan mereduksitingkat pendapatan per kapita masyara-kat (Oates 1993:237).
Tulisan berikut ini hendak meng-analisis kontribusi desentralisasi fiskal diIndonesia terhadap pertumbuhan eko-
nomi daerah dalam periode 1999 s.d.2004. Mengingat era baru desentralisasi
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 3/30
Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
57
fiskal pasca reformasi digulirkan sejaktahun 2001, maka riset ini akan pulamengevaluasi perbedaan antara kontri-
busi desentralisasi fiskal terhadap pere-konomian daerah antara sebelum dansesudah tahun 2001. Bagian selanjutnyadari tulisan ini memaparkan kerangkateoretis dan pengembangan hipotesisdalam menyusun perumusan masalah.Disamping itu, gambaran umum tentangdesentralisasi fiskal, metodologi pene-litian, dan analisis data akan disajikanguna menyusun simpulan riset. Padabagian akhir, penulis juga memberikananalisis berkaitan dengan implikasikebijakan yang terkait dengan hasilpenelitian ini serta keterbatasan risetyang membutuhkan pengembangan me-todologi penelitian di masa mendatang.
Kerangka Teoretis dan PengembanganHipotesis
Sebagaimana diuraikan sebelumnyabahwa secara teori, desentralisasi fiskalcukup bagus dalam kerangka pemba-ngunan suatu bangsa atau daerah. Ken-dati pun demikian, dampak pendelega-sian kewenangan pemerintah pusatkepada pemerintah daerah terhadaptingkat kesejahteraan penduduk tidakselalu didukung oleh bukti empiris yang
memadai. Dengan demikian, secaraumum dapat penulis katakan bahwapotensi kontribusi desentralisasi fiskalterhadap laju pembangunan akan ber-gantung kepada ruang dan waktu.Artinya, dampak positif desentralisasifiskal yang terjadi pada suatu negaraatau daerah dalam periode tertentubelum bisa dijadikan tolok ukur bahwatransfer keuangan publik antarpeme-
rintah akan memberikan imbas positif pula di daerah lain pada waktu yang sama.
Dalam sebuah penelitian atas 46negara maju dan negara berkembang,Davoodi dan Zou (1998) mengungkap-
kan bahwa tidak terdapat hubunganantara desentralisasi fiskal dan tingkatkemajuan ekonomi di negara-negaraindustri. Riset menggunakan estimasipanel data selama periode 1970 s.d.1989. Disamping menyimpulkan haltersebut di atas, kedua peneliti tersebut
juga menemukan bahwa makin tinggitingkat desentralisasi fiskal kepadadaerah maka performa ekonomi dinegara-negara berkembang akan makintereduksi. Penemuan ini didukung olehhasil riset yang dilakukan oleh Wollerdan Phillips (1998) yang menunjukkanbahwa desentralisasi fiskal tidak mem-punyai dampak yang cukup signifikanterhadap pertumbuhan ekonomi dinegara-negara berkembang. Simpulanriset ini diperoleh setelah mereka
melakukan penelitian atas 23 negaraberkembang selama jangka waktu 1974s.d. 1991.
Dua penelitian di atas mencakupdata lintas bangsa (cross-country data)dalam periode tertentu. Bagaimanakahpola ( pattern) hubungan antara desen-tralisasi fiskal dengan pembangunan disuatu negara apabila kita menganalisisberdasarkan pendekatan lintas waktu
(time series) dan lintas daerah/negarabagian/propinsi (cross section)? Duapenemuan berikut memberikan gamba-ran betapa desentralisasi fiskal justrumenjadi penghambat roda perekono-mian di daerah. Pertama, Zhang danZou (1998) yang mengobservasi per-tumbuhan ekonomi propinsi (regional economic growth) di China. Berdasarkanhasil analisisnya atas indikator ekonomi
dalam kurun waktu tahun 1980 s.d.1992, mereka berkesimpulan bahwa
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 4/30
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
58
desentralisasi fiskal yang dilaksanakan dinegeri tirai bambu tersebut telah meng-gerus pertumbuhan ekonomi daerah.
Kedua, Xie et al. (1999) telah melakukanpenelitian tentang dampak devolusifiskal terhadap tingkat kesejahteraanpenduduk di seluruh negara bagian diAmerika Serikat selama periode 1948s.d. 1990. Hasil riset mereka membuk-tikan bahwa desentralisasi fiskal kurangmenguntungkan bagi pembangunan.
Ketidakberhasilan riset di atas da-lam membuktikan kontribusi positif
desentralisasi fiskal terhadap kinerja eko-nomi mungkin disebabkan oleh kelemahanmetodologi penelitian yang digunakan.Akai dan Sakata (2002) mengkritisi hasilpenelitian yang dilakukan Zhang danZou (1998) dan Xie et al. (1999). Caku-pan waktu yang digunakan dalam pene-litian mereka telah memasukkan periodepertumbuhan ekonomi yang sangat luarbiasa (remarkable economic growth)yang pernah terjadi di China dan Ame-rika Serikat. Dalam periode booming perekonomian tersebut sangat dimung-kinkan adanya intervensi pemerintahpusat yang di luar batas kewajaran gunameredam eksternalitas dalam tahap-tahap awal pembangunan. Dengan de-mikian, bukan merupakan hal yangmengejutkan apabila hubungan antara
desentralisasi fiskal dan pertumbuhanekonomi adalah negatif di dua negaratersebut.
Selanjutnya, Akai dan Sakata (2002)mengomentari pula hasil riset Davoodidan Zou (1998) yang menggunakan datalintas bangsa. Kelemahan dari metodeini adalah sulitnya kita menganalisis efekdari desentralisasi fiskal di tiap-tiapnegara mengingat adanya perbedaan
budaya, institusi, dan pengalaman seja-rah. Apabila tidak dilakukan penyesuaian
(adjustment ) guna mengharmonisasiperbedaan antarbangsa tersebut, makatidaklah mudah bagi kita untuk mela-
kukan generalisasi atas dampak desen-tralisai fiskal terhadap taraf hidupmasyarakat.
Dilatarbelakangi oleh beberapakelemahan metode di atas, Akai danSakata (2002) mengembangkan kerangkapenelitian dengan mengesampingkanperiode booming ekonomi, memfokus-kan pada satu negara, dan menggunakandata terkini kinerja ekonomi. Dengan
kata lain, cakupan waktu yang digu-nakan lebih pendek daripada penelitian-penelitian sebelumnya. Studi yang mere-ka lakukan adalah meneliti hubunganantara desentralisasi fiskal denganpertumbuhan ekonomi di tiap-tiap negarabagian di Amerika Serikat pada tahun1992. Hasil riset ini menegaskan bahwaterdapat kontribusi positif desentralisasifiskal di Amerika Serikat terhadap per-baikan ekonomi negara bagian. Penelitianlain yang mendukung teori desentralisasifiskal adalah Desai et al. (2003) yangmengklaim bahwa otonomi fiskal diRusia memberikan stimulus dalam pe-mulihan produksi nasional di Rusia padaera 90-an.
Hasil riset yang menyatakan adanyapotensi desentralisasi fiskal sebagai
penggerak roda perekonomian, berda-sarkan uraian di atas, ditemukan dinegara-negara yang relatif mapan, yakniAmerika Serikat dan Rusia. Belumbanyaknya studi yang menyoroti pera-nan pendelegasian fiskal ke pemerintahdaerah di negara berkembang, menjadisalah satu alasan yang mendorongpenulis untuk melakukan penelitian yangsama dengan objek negara berkembang,
yakni Indonesia. Disamping itu, sangatmenarik untuk dikaji mengenai pattern
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 5/30
Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
59
hubungan antara kedua variabel,desentralisasi fiskal dan pertumbuhanekonomi, antara sebelum dan sesudah
tahun 2001. Dengan demikian perta-nyaan riset yang dikemukakan alamtulisan adalah : (1) apakah desentralisasifiskal telah mendorong pertumbuhanekonomi daerah di Indonesia sepanjangtahun 1999-2004?, dan (2) apakah rejimbaru desentralisasi fiskal yang digulirkansejak tahun 2001 memberikan dampakyang relatif lebih baik terhadap pem-bangunan daerah?. Hipotesis yangpenulis ajukan dalam riset ini adalahbahwa sesuai dengan teori dan mengacuhasil penelitian Akai dan Sakata (2002)dan Desai et al. (2003), maka desentra-lisasi fiskal berpotensi memberikandampak yang kondusif untuk pembangu-nan daerah, dimana era baru (pasca2001) desentralisasi fiskal memberikankontribusi yang lebih baik dibandingkan
dengan desain pendelegasian fiskal padaperiode sebelumnya.
Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Hubungan fiskal antarpemerintahdi Indonesia telah mengalami pasangsurut dalam menemukan pola ideal yangmerepresentasikan aspek keadilan, bukanhanya antara pemerintah pusat dan
daerah namun juga antarpemerintahpropinsi dan kabupaten/kota. Ma (1996:29)melaporkan bahwa Indonesia pernahmenerapkan praktik transfer fiskal yangtersentralisir terutama yang berkaitandengan sistem perpajakan. Sejak menga-dopsi pola desentralisasi berdasarkanUndang-Undang No. 5 Tahun 1974tentang Pemerintahan Daerah, perkem-bangan ke arah desain intergovern-
mental fiscal yang lebih terdesentralisirdinilai sangat lamban oleh sebagian
kalangan. Hal ini diperkuat oleh Silver etal. (2001:346) yang berpendapat bahwapemerintah Orde Baru mempunyai
kontrol yang cukup tinggi atas dana-dana yang akan dialokasikan kepadapemerintah daerah mengingat kala itupemerintah pusat sangat meragukankapasitas pemerintah daerah dalammengelola urusan ’domestiknya’. Disam-ping itu terdapat anggapan bahwapemerintah daerah kurang memilikikompetensi administrasi agar bisa lebihindependen dalam masalah keuangan.
Sebelum era baru desentralisasifiskal digulirkan pada tahun 2001, setiapdaerah tingkat I dan tingkat II memilikidua jenis penerimaan guna membiayaipengeluaran mereka yaitu PendapatanAsli Daerah (PAD) dan dana yangditransfer oleh Pemerintah Pusat(Alfirman 2003:7). Krisis politik danekonomi telah memicu pemerintah
daerah untuk mengambil peran dantanggung jawab yang lebih besar dalammengatur urusan daerahnya masing-masing (Forrester and May 1999). Fitraniet al. (2005:60) mengungkapkan bahwamenyusul lengsernya Presiden Soeharto,terdapat tekanan untuk mereformasisetiap kebijakan yang bernuansakorupsi, kolusi dan nepotisme. Salahsatu contoh kebijakan yang dimaksud
adalah beberapa daerah yang mem-punyai sumber daya alam berlimpahnamun memperoleh bagi hasil penda-patan yang tidak fair dari pemerintahpusat (Tadjoeddin et al. 2001). Untukitu, Presiden Habibie yang meneruskanestafet kepemimpinan bangsa, berinisi-atif melakukan reformasi kebijakanmenuju era desentralisasi dan demokra-tisasi (Fitrani et al. 2005:60).
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 6/30
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
60
Selanjutnya, pada tahun 1999pemerintahan Habibie meluncurkan duaproduk hukum fenomenal yaitu Undang-
Undang No. 22 Tahun 1999 tentangaPemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentangPerimbangan Keuangan antara Peme-rintah Pusat dan Daerah. Dua produklegislasi ini disusun untuk menciptakanotonomi antardaerah dan mendorongsistem pemerintahan yang lebihdemokratis (Fane 2003:159). Dalamparadigma desentralisasi fiskal yang
baru, propinsi dan kabupaten/kotamengambil alih semua peran pemerintahpusat kecuali lima hal yaitu pertahanandan keamanan, kebijakan luar negeri,peradilan, kebijakan ekonomi makrodan perencanaan nasional (Fane 2003:160). Kerangka desentralisasi fiskal yangbaru telah memungkinkan pula adanyapembentukan pemerintahan daerah yangbaru. Fitrani et al. (2005) melaporkanbahwa sebelum tahun 2001, terdapat336 kabupaten/kota di seluruh propinsi.Namun, jumlah ini meningkat tajammenjadi 434 daerah pada akhir tahun2004.
Boediono (2002) memaparkanbahwa mengacu pada Undang-UndangNo. 25 Tahun 1999, di bawah era barudesentralisasi fiskal, setiap daerah
mempunyai sumber penerimaan yangberagam. Pertama, sebagaimana dalamskema sebelumnya, pemerintah daerahmempunyai otoritas untuk memungutpenerimaan pajak dan retribusi. Berda-sarkan Undang-Undang No. 34 Tahun2000, Pemda diperkenankan menyusuninstrument pendapatan daerah setelahmemperoleh persetujuan dari pemerin-tah pusat. Kedua, Pemda Tk. I dan II
mendapatkan dana perimbangan yanglebih menguntungkan. Sebagai contoh
penerimaan Pajak Bumi dan Bangunanyang pendistribu-siannya lebih banyakdiperuntukkan pemerintah daerah yaitu
sebanyak 90 persen. Sebagaimana telahdiatur dalam UU No. 25 Tahun 1999yang diperbaharui dengan UU No. 33Tahun 2004, proporsi bagi hasilpendapatan baik pajak maupun sumberdaya alam mulai menunjukkan polayang fair dan lebih menguntungkan bagipemerintah daerah.
Reformasi hubungan fiskal antarpemerintah tersebut ditandai pula dengan
pengenalan Dana Alokasi Umum (DAU)dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAUmerupakan penyaluran dana pemerintahpusat yang bersifat lump sum dimanaformulanya berdasarkan beberapa varia-bel antara lain jumlah penduduk, luasdaerah, dan kemampuan fiskal daerahyang bersangkutan. Dana ini disalurkandalam rangka mengurangi ketimpanganantarpropinsi dan antarkabupaten/kota.Sementara DAK merupakan transfer danayang bersifat khusus untuk daerah-daerah tertentu dalam rangka komitmennasional dan hanya dibagikan kepadaPemda Tk. II.
Namun demikian, Podger (2001)berpendapat bahwa desentralisasi fiskalversi Orde Reformasi memunculkanbanyak daerah yang mempunyai tang-
gung jawab besar namun tidak diiringidengan kapasitas fiskal yang memadai.Senada dengan hal tersebut, Brodjone-goro (2001) menyatakan bahwa kendatidaerah memperoleh dana perimbanganyang lebih besar, namun hal inidibarengi dengan merosotnya jumlahPenerimaan Asli Daerah.
Grafik 1 berikut ini menunjukkanperkembangan dana perimbangan yang
disalurkan oleh pemerintah pusat sejaktahun 1999 s.d. 2004.
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 7/30
Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
61
Sumber : Departemen Keuangan dan Badan Pusat Statistik, 2007
Sebagaimana disajikan dalam Grafik1 di atas, dana yang ditransfer ke PemdaTk. I dan II meningkat tajam sejak tahun2001, yakni dari sekitar 6-7% GDP padatahun 1999 menjadi 20% GDP dalamlima tahun berikutnya. Hal ini menegas-kan bahwa skema transfer fiskal yangbaru memberikan porsi yang lebihmenguntungkan buat pemerintah daerah.Meningkatnya realisasi dana perimba-
ngan tersebut disebabkan pula olehsumber penerimaan yakni perpajakan danPNBP yang meningkat cukup signifikandalam periode 1999-2004.
Metode Riset
Di dalam riset ini, penulis mengem-bangkan beberapa indikator desentrali-sasi fiskal beserta metode penelitian
yang relevan guna menggambarkanhubungan antara desentralisasi fiskaldengan pertumbuhan ekonomi daerah.Penyusunan indikator desentralisasi fiskalbukan merupakan hal yang mudahmengingat pergeseran otoritas fiskal daripusat ke daerah dapat ditinjau dariberbagai macam perspektif seperti darisisi penerimaan, pengeluaran maupundari sisi otonomi/kemandirian daerah.Dengan demikian, cukup sulit untukmendapatkan indikator tunggal yang
merefleksikan desentralisasi fiskal secarakomprehensif.
Akai dan Sakata (20020:95) men- jelaskan bahwa guna menguji secarastatistik kontribusi dana transfer antarpemerintah terhadap kinerja ekonomi,ada baiknya bagi kita untuk memfor-mulasikan kriteria desentralisasi fiskalsecara kuantitatif. Pada umumnya,
pendelegasian fiskal tersebut seringdipandang sebagai penyerahan otoritasterkait dengan keputusan dalam pemba-ngunan daerah. Semakin banyak kewe-nangan yang diberikan kepada pemerin-tah daerah, maka derajat desentralisasifiskal semakin tinggi.
Beberapa literatur membahas ten-tang penggunaan ukuran desentralisasi
fiskal yang sering dikaitkan denganperspektif akuntansi seperti pendapatandan pengeluaran. Hal ini terlihat daribeberapa contoh berikut. Zhang danZou (1998) mengusulkan penggunaanindikator yang menyertakan pengeluaranpemerintah propinsi dalam nilai perkapita. Sementara itu Woller dan Phillips(1998) dalam menganalisis hubungandesentralisasi fiskal dan pertumbuhanekonomi nasional, menggunakan indi-kator atau ukuran yang berkaitan dengan
0
5
10
15
20
25
%GDP
1999 2000 2001 2002 2003 2004
Tahun
Grafik 1 Total Dana Perimbangan (% GDP)
Kab/kota
Propinsi
Total Dana Perimbangan
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 8/30
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
62
rasio pendapatan dan pengeluaranpemerintah daerah. Indikator ini diguna-kan baik dengan memperhitungkan dana
perimbangan maupun yang mengesam-pingkan dana transfer dari pemerintahpusat.
Namun demikian, Akai dan Sakata(2002:95-96) berpendapat bahwapendekatan di atas kurang dapat meng-hitung derajat/tingkatan desentralisasifiskal secara tepat, kecuali apabilamempertimbangkan dua hal berikut.Pertama, pengeluaran oleh pemerintah
propinsi dan kabupaten/kota dapatbersumber dari block transfer yangberasal dari pemerintah pusat. Dengandemikian, porsi pengeluaran olehpemerintah daerah yang besar tidak sertamerta mengindikasikan adanya keman-dirian (otonomi daerah). Hal ini karenadana perimbangan yang diterima tersebutmerupakan salah satu perwujudanotorisasi dari level pemerintah yanglebih tinggi. Isu kedua adalah, terkaitdengan pelaksanaan otonomi. Kendatiporsi pengeluaran atau penerimaanpemerintah daerah terhadap pos peneri-maan dan pengeluaran pemerintah pusattidak besar, namun suatu daerah dapatdikatakan memiliki kemampuan fiskalsecara otonom apabila terdapat sumberPAD yang cukup besar.
Merujuk pembahasan di atas,penulis mencoba menyusun indikatordesentralisasi fiskal yang merupakaninspirasi dari ukuran/indikator yangdikembangkan oleh Akai dan Sakata(2002). Pertama, indikator pendapatanyang terdiri dari pendapatan daerahkotor/ gross local revenue (RI-1) danpendapatan daerah netto/ net local revenue (RI-2). Rasio RI-1 merupakan
persentase total penerimaan pemerintahdaerah tingkat I dan II terhadap peneri-
maan pemerintah pusat. Rasio ini serupadengan indikator yang disusun olehWoller dan Phillips (1998). Sementara
itu, RI-2 didefinisikan sebagai persentasependapatan pemerintah daerah terhadappos penerimaan pemerintah pusat, namuntidak memperhitungkan penerimaandaerah yang bersumber dari dana perim-bangan yang bersifat grants. Dengandemikian, dalam RI-2, penulis tidakmemperhitungkan DAU dan DAK dalamtotal pendapatan daerah. Pengukurantersebut diadopsi dari Akai dan Sakata
(2002).Kedua, indikator pengeluaran
yang terdiri atas pengeluaran tingkatkabupaten/kota atau local expenditure(EI-1) dan pengeluaran tingkat propinsi/
provincial spending (EI-2). Rasio EI-1menghitung porsi pengeluaran/expenditureshare Pemda Tk. II, dimana rasio inidihitung dengan membagi total penge-luaran APBD seluruh kabupaten/ kotadalam satu propinsi dengan totalpengeluaran APBD seluruhnya, yakniAPBD kabupaten/kota dan APBDpropinsi yang bersangkutan. Analog haltersebut di atas, rasio EI-2 menghitungperbandingan antara total pengeluaranPemda Tk. I dengan total pengeluaranpemerintah pusat, dimana masing-masing dinyatakan dalam ukuran per
kapita. EI-1 merupakan pengembangandari rasio yang diusulkan oleh Akai danSakata (2002) sementara EI-2 merupakanindikator yang diadopsi dari Zhang danZou (1998). Apabila pertumbuhanekonomi daerah bervariasi denganadanya perbedaan level desentralisasifiskal, maka hal ini mengindikasikanbahwa pengeluaran pemerintah daerahmampu memacu pembangunan daerah
melalui penyediaan sarana dan prasa-rana umum.
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 9/30
Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
63
Ketiga, indikator otonomi yangterdiri atas berbagai ukuran kemandirianfiskal. Salah satu argumen yang
mendasari penggunaan indikator iniadalah suatu daerah bisa saja mem-peroleh dana perimbangan yang kecildari pemerintah pusat. Namun, pendele-gasian fiskal di daerah tersebut akandipandang cukup tinggi apabila peme-rintah daerahnya mampu mendanaipengeluaran dengan PAD yang dimilikinya.Sebagai proxy level desentralisasi fiskal,penulis menggunakan revenue share yaitu total PAD seluruh kabupaten/kotadi suatu propinsi terhadap total penda-patan, baik yang memperhitungkanDAU dan DAK (rasio AI-1) maupun yangtidak memperhitung-kan dana transfer(rasio AI-2). Dua rasio tersebutdikembangkan dari riset desentralisasifiskal di Amerika Serikat (Akai danSakata 2002).
Disamping dua indikator tersebut,di dalam penelitian ini diajukan puladua indikator baru yakni rasio PADterhadap total pengeluaran (AI-3) danrasio PAD terhadap dana perimbangan(AI-4). AI-3 menyajikan tingkat indepen-densi suatu daerah dalam membiayaipengeluaran APBD. Semakin besar rasioAI-3 semakin besar pula tingkat otonomi
di daerah tersebut. Di sisi lain, AI-4mengukur kapasitas daerah dalammengurangi ketergantungan terhadapdana perimbangan dari pemerintahpusat. Semakin besar PAD yang diterimapemerintah daerah, maka ketergantu-ngan terhadap pemerintah pusat seyo-gianya kian mengecil sehingga derajatdesentralisasi fiskal semakin baik.
Indikator otonomi fiskal menjadisangat urgen mengingat besarnya tanggung
jawab yang diemban oleh pemerintahdaerah. Apabila besarnya tanggung
jawab tersebut tidak dibarengi oleh
kapasitas/kompetensi pegawai, makakebijakan pengelolaan fiskal daerah
justru akan menjadi penghambat rodaperekonomian daerah, yakni dalambentuk pengenaan pajak daerah danretribusi yang kurang tepat (Ray 2001).Disamping itu, otonomi daerah sangatditekankan karena berdasarkan buktiempiris otonomi menjadi stimulusperekonomian daerah (Arhend 2000).
Ringkasan hasil perhitunganuntuk tiap-tiap indikator di atas disajikandalam Apendiks A.
Analisis Data, Variabel dan SpesifikasiEkonometrik
Data yang digunakan dalam risetini terutama bersumber dari BukuStatistik Tahunan Indonesia yang
diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik(BPS) dan website Departemen Keua-ngan. Dependent variable dalam studiini adalah pertumbuhan ekonomi daerahper kapita ( growth rate of per capitaRegional GDP ) atau pertumbuhanekonomi propinsi per kapita. Mengacupada sejumlah literatur, variabelpenjelas (explanatory variables) penuliskelompokkan ke dalam dua kategori.
Pertama, variabel yang secara empirikmenjadi determinan pertumbuhan eko-nomi. Dalam hal ini penulis sebutsebagai variabel pengendali (control variables). Kedua, variabel yangmenggambarkan indikator desentralisasifiskal sebagaimana diuraikan di atas.
Beberapa variabel yang telahdiakui secara luas sebagai penentupertumbuhan ekonomi antara lainadalah initial level of GDP , pertumbuhan
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 10/30
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
64
jumlah penduduk, rasio investasiterhadap GDP, rasio sumber dayamanusia, dan perdagangan internasional
(trade openness). Sebagaimana diung-kapkan oleh beberapa ekonom, initial level of GDP , share of investment toGDP, dan human capital ratio secararobust berhubungan signifikan terhadappertumbuhan ekonomi. Pendapat inidisampaikan oleh Sala-i-Martin (1997),Sach dan Warner (1997), Barro (1996),Knight et al. (1993), Mankiw et al.(1992) dan Levine dan Renelt (1992).
Level awal pertumbuhan ekonomi(initial per capita Regional GDP ) didalam tulisan ini diprediksi bertandanegatif mengingat semakin tinggitingkatan variabel ini dalam tahunsebelumnya maka akan dibarengidengan rendahnya pertumbuhan ekono-mi dalam tahun berjalan (Renelt 1992).Porsi investasi dalam Regional GDPdiharapkan akan positif karena secaraempiris telah ditemukan bahwa inves-tasi, khususnya di bidang infrastruktur,dapat mempengaruhi tingkat produksi dibeberapa daerah (Sturm 1998). Namundemikian, belum terdapat bukti yangbanyak tentang dampak investasiterhadap pertumbuhan ekonomi dalam
jangka panjang (Ashipala dan Haimbodi2003).
Berkaitan dengan pertumbuhan jumlah penduduk, Levine dan Renelt(1992) mengutarakan bahwa population
growth menentukan tingkat kemakmuranekonomi. Disamping itu, Becker et al.(1990) berpendapat bahwa denganasumsi tingkat fertilitas sebagai endoge-nous variable, masyarakat dengan
jumlah penduduk yang cukup banyakakan cenderung untuk melakukan
investasi lebih di bidang SDM. Di sisilain, daerah yang jarang penduduknya
memiliki insentif ekonomi untukmeningkatkan jumlah anak guna mengisikekosongan pasar tenaga kerja. Namun
demikian, net impact terhadap penca-paian kinerja ekonomi tidaklah mudahuntuk ditentukan. Diungkapkan pulabahwa populasi dapat menurunkanproduktivitas karena adanya efek dimini-shing returns atas penggunaan tanahdan sumber daya alam (Becker et al.1999:149). Jumlah penduduk yang besardapat pula mendorong spesialisasi danmeningkatkan pengetahuan di bidang
investasi. Dengan demikian, hubunganantara pertumbuhan jumlah pendudukdan pendapatan per kapita tergantungdari pemanfaatan ilmu pengetahuanguna mengeliminasi efek diminishing returns atas penggunaan sumber dayaalam.
Sebagai proxy atas kualitassumber daya manusia (human capital ratio), penulis menggunakan rasiopenyelesaian pendidikan menengah(SMP dan SMU) terhadap pendudukberusia 15 tahun ke atas. Rasio ini cukuppopuler digunakan mengingat usia 15tahun merupakan usia dimulainyaangkatan kerja, sehingga cukup tepatmenggambarkan kualitas SDM dinegara-negara berkembang (Woller danPhillips 1998). Sebagaimana disepakati
oleh para praktisi dan akademisi,kualitas sumber daya manusia terkaitsecara positif terhadap pertumbuhanekonomi. Dengan demikian, variabeltersebut diharapkan pula akanmenghasilkan angka positif dalampenelitian ini.
Selanjutnya, Sala-i-Martin (1997)menemukan bahwa perdagangan bebas(trade openness) cukup substansial
dalam menjelaskan perbedaan performaekonomi. Terdapat beberapa cara dalam
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 11/30
Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
65
mengukur tingkat keterbukaan ekonomisuatu negara. Anderson dan Neary(1992) berpendapat bahwa ukuran ideal
untuk perdagangan bebas adalah indeksyang menggabungkan variabel hamba-tan tarif dan non-tarif. Di dalam penelitianyang mengkhususkan pada suatu negaratunggal, maka tarif bea masuk tidaklahtepat menggambarkan hambatan perda-gangan masing-masing daerah. Dengandemikian, indikator tersebut tidak digu-nakan dalam riset ini. Ukuran lain yangtidak kalah populer adalah jumlah/ volume ekspor dan impor yang dihasilkandalam nominal mata uang domestik.Ada juga yang menggunakan ukuran
volume ekspor per total GDP. Penulismenggunakan total ekspor di suatupropinsi dibagi dengan GDP yang diha-
silkan dalam propinsi yang bersangkutansebagai proxy tingkat keterbukaandaerah dalam bertransaksi internasional.Argumen yang mendasari penggunaanvariabel tersebut adalah bahwa eksporakan mendorong pengalokasian bahanbaku secara lebih efisien sebagaikonsekuensi atas kompetisi dalam pasardunia (Feder 1983). Tabel 1 berikutmengikhtisarkan control variables yangdigunakan dalam penelitian ini. Ringka-san statistik data untuk tiap-tiap variabeldapat dilihat pada Apendik B.
Tabel 1Control Variables
No. Variabel Uraian
1.Pertumbuhan Ekonomi Propinsi (%Regional GDP)
Persentase perubahan nilai GDP propinsidibandingkan dengan tahun sebelumnya.
2. Initial Level of RGDP Pertumbuhan regional GDP pada tahun sebelumnya
3. Pertumbuhan Jumlah Penduduk Persentase jumlah pertambahan penduduk pada tahunberjalan dibandingkan dengan tahun sebelumnya
4. Human Capital RatioRasio penduduk berusia 15 tahun ke atas yangmenyelesaikan pendidikan SMP dan SMU.
5. Pedagangan Bebas Porsi nilai ekspor dalam nilai GDP propinsi
6.Rasio Investasi terhadap RegionalGDP
Porsi nilai investasi domestik dalam nilai GDPpropinsi.
Sumber : data yang diolah penulis
Bagian kedua dalam model eko-nometrik adalah indikator desentralisasi
fiskal yang terdiri atas indikator penda-patan, pengeluaran dan otonomi fiskal.
Tabel 2 berikut ini menyajikan ringkasanindikator desentralisasi fiskal yang telah
diuraikan sebelumnya.
Tabel 2Indikator Desentralisasi Fiskal
No IndikatorTingkat
Kab/Kota Propinsi
1. Indikator pendapatan/ Revenue indicator RI-1, RI-2
2. Indikator pengeluaran/ Expenditure indicator EI-1 EI-2
3. Indikator otonomi/ Autonomy (independence) indicator AI-1, AI-2,AI-3, AI-4
Sumber : Akai dan Sakata (2002), Woller dan Phillips (1998), Zhang dan Zou (1998)serta definisi yang dikembangkan penulis.
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 12/30
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
66
Variabel ini kita masukkan satuper satu dalam model ekonometrik secara
bergantian, guna melengkapi control variables. Dengan demikian, terdapat 8indikator desentralisasi fiskal yang
dikembangkan dalam riset ini. Berdasarkanhasil penelitian Akai dan Sakata (2002)
dan Xie et al. (1999), model ekonometrikyang dikembangkan oleh penulis dalamriset ini adalah sebagai berikut.
(1)
Catatan:
i=1, ……, 25 untuk periode 1999-2000 and i = 1, ……,29 untuk periode 2001-2004.t= 1,2 untuk tahun 1999, 2000 and t=1,2,3,4 untuk tahun 2001-2004
Huruf i dan t mewakili propinsi danperiode waktu, control variables yangmerupakan karakteristik daerah terdiriatas beberapa variabel, mulai dari
it Poprate hingga variabel
Iit RGDPnvest _ . Selama periode 1999-
2000 jumlah propinsi (tidak termasukDKI) yang menjadi objek penelitiansebanyak 25 buah, sedangkan padaperiode 2001-2004 propinsi yangdiamati bertambah menjadi 29 buahkarena adanya pemekaran. Dengandemikian, terdapat 50 observasi padadua tahun pertama dan 116 observasipada empat tahun berikutnya, dengantotal keseluruhan 166 observasi.
Berdasarkan persamaan (1) di atas,
Y ∆ merupakan pertumbuhan ekonomipropinsi (per capita GDP regional) yangdinyatakan dalam persentase. Poprateadalah pertumbuhan jumlah pendudukdi tiap propinsi. RGDP (-1) mencer-minkan tingkat pertumbuhan ekonomitahun sebelumnya dan Eduratio meru-pakan kualitas sumber daya manusia
yang dinyatakan dengan rasio lulusanpendidikan menengah. Selanjutnya,
Openness dan Invest_RGDP masing-masing merupakan porsi nilai ekspordan porsi nilai investasi domestikterhadap total GDP propinsi. FDIndi-cator menyatakan ukuran desentralisasifiskal dalam berbagai perspektif, dimanadi dalam riset ini digunakan 8 indikator.
iPδ adalah province fixed effect yang
merupakan ciri khas tiap-tiap propinsiyang berbeda satu sama lain dan relatif
tetap sepanjang tahun. Terakhir, it ε
merupakan random error yang diasum-sikan bersifat homoskedastic, terdistribusisecara normal, dan independen antar-propinsi.
Parameter 0β merupakanintercept yang mengisyaratkan endowment pertumbuhan ekonomi di tiap-tiap pro-
pinsi sementara iβ merupakan parameter
yang diestimasi untuk seluruh control
variables. Di sisi lain,1
α merepresen-
tasikan estimasi parameter untukmengukur nilai indikator desentralisasifiskal. Hipotesis nol (H0) dalam
persamaan (1) adalah bahwa 1α sama
dengan nol, artinya tidak ada hubungan
it iit it
it it it it
Pr FDIndicato RGDP Invest
Openness Eduratio RGDPPoprateY
εδαβ
βββββ
+++
+++−++=∆
15
43210
_ln
lnln)1(ln
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 13/30
Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
67
antara indikator desentralisasi fiskaldengan pertumbuhan ekonomi daerah.Sebagai alternatif, penulis mengajukan
hipotesis lain (Ha) yaitu 1α > 0. Artinya,
desentralisasi fiskal mempunyai dampakpositif terhadap kinerja ekonomi. Ikhtisardeskripsi data untuk tiap-tiap variabeldisajikan dalam Apendiks B.
Asumsi utama yang digunakandalam penelitian ini adalah bahwaindikator desentralisasi fiskal bersifatexogenous (ditentukan oleh faktor lain di
luar model) , meskipun diakui bahwaasumsi ini barangkali tidak selalu tepatmenggambarkan isu desentralisasi fiskalyang sesungguhnya. Namun, tidaklahmudah memformulasikan ukuran-ukuran/kategorisasi desentralisasi fiskalyang mengakomodir potensi endo-
geneity dari variabel tersebut. Artinya,bisa saja indikator desentralisasi fiskaltidak bersifat exogenous, melainkan
ditentukan oleh faktor lain yang adadalam model persamaan (1). Instrumenpengukuran tersebut dapat dipengaruhibaik oleh pembangunan ekonomimaupun aspek lain seperti politik,institusi dan faktor sejarah yangmenentukan kebijakan perpajakan danpengeluaran publik antara pemerintahpusat dengan pemerintah daerah (Xie etal. 1998). Riset yang lebih mendalam
sangat diperlukan guna merumuskanbagaimana indikator desentralisasi fiskaltersebut disusun.
Untuk meneliti hubungan antarapendelegasian kewenangan fiskaldengan pertumbuhan ekonomi di tingkatpropinsi, penulis menggunakan empatregresi utama, yakni : (i) regresi atascontrol variables, (ii) regresi control variables dengan variabel dummy ( post
2001), (iii) regresi penuh yang mengga-bungkan control variables dengan
indikator desentralisasi fiskal, dan (iv)regresi penuh dengan memasukkaninteraction term antara indikator desen-
tralisasi fiskal dengan variabel dummy ( post 2001).
Untuk memperhitungkan cirispesifik tiap-tiap propinsi, perlu diguna-kan regresi panel yang menggabungkanantara analisis time series dengan crosssection dan menambahkan dummy efektetap masing-masing propinsi/ fixed effect
provinces (Gujarati 2003). Metode inidikenal juga sebagai fixed effect model atau Least Squares Dummy Variables(LSDV). Hsiao (2005:30) menjelaskanbahwa variabel dummy memungkinkansebuah model dengan variabel yanghilang dalam periode observasi. Variabeltersebut baik yang secara spesifik untukdaerah tertentu tapi tidak berubahsepanjang waktu, maupun karena
variabel yang hilang tersebut spesifikpada waktu tertentu untuk seluruhdaerah. Di dalam pemaparan estimasiefek tetap unbalanced panel , Wooldridge(2006) menjelaskan bahwa data yanghilang (attrition) terkait dengan eror yangbersifat idiosyncratic, faktor yang luputdari pengamatan sepanjang waktu, dapatmenghasilkan estimasi yang bersifat bias.Namun demikian, manfaat dari estimasi
fixed effect adalah bahwa attrition yangterkait dengan faktor yang luput dari
pengamatan, akan ditampung dalam iP ,
sehingga hasil estimasi masih dapatdiandalkan (unbiased ).
Pembahasan dan Simpulan Riset
Untuk meyakini ketepatan estimasi
fixed effect yang digunakan dalam risetini, penulis melakukan beberapapengujian statistik. Pertama, berdasarkan
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 14/30
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
68
test Breusch dan Pagan (1979) penulisberpendapat bahwa di dalam modelpenelitian ini, penggunaan Ordinary
Least Squares (OLS) tidak diperkenankankarena variance dari eror tidak bersifatkonstan. Dengan kata lain, observasiyang dimasukkan ke dalam modelpersamaan (1) mengindikasikan adanyaheteroskedastic. Dengan demikian,penulis mempunyai dua alternatif yaitufixed effect atau random effect sebagaipengganti OLS.
Kedua, penulis melakukan formal test guna memilih model estimasimanakah yang lebih tepat untukmenggantikan OLS. Asumsi dasarnyaadalah kita akan menggunakan modelrandom effects kecuali apabilaberdasarkan pengujian Hausman (1978)menolak asumsi tersebut. Wooldridge
(2002) menguraikan bahwa ketikapenolakan terhadap H0 terjadi, makaasumsi yang menyatakan bahwa efek
yang luput dari observasi (unobserved effects) tidak terkait dengan tiap-tiapvariabel independen adalah kurangtepat. Berdasarkan pengujian Hausmandalam program STATA versi 9.0, kitadapat menolak H0, sehingga di dalamstudi ini kita diperkenankan untukmenggunakan estimasi fixed effect .
• Regresi control variables
Berdasarkan hasil regresi atas beberapacontrol variables terhadap variabel
pertumbuhan ekonomi daerah ( Y ∆ ),maka kita peroleh hasil sebagaimanadisajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Hasil Regresi atas Variabel Pengendali (Control Variables)
Variabel Independen Estimasi Koefisien(standard error)
Pop_rate 0.001
(0.017)
ln (Initial_rgdp) -0.146
(0.027)***
ln (Eduratio) 0.080
(0.041)*ln (Openness) 0.011
(0.009)
ln (Invest_rgdp) 0.017
(0.015)
Constant 0.206
(0.061)***
F-test 6.444
Prob>F 0.000
N 166
Sumber : Hasil regresi dalam program STATA 9.0 Catatan : *** dan * menunjukkan tingkat signifikansi kesalahan masing-masing 1 dan10%
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 15/30
Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
69
Hasil regresi di atas menunjuk-kan bahwa beberapa variabel yang
secara empiris merupakan faktorpenentu pertumbuhan ekonomi, telahditegaskan kembali dalam riset ini.Semua estimasi koefisien menggambar-kan tanda yang benar. Sebagaimanadiprediksi, persentase peningkatan jumlahpenduduk dan investment rate, berhubu-ngan secara positif terhadap performaekonomi meskipun secara statistiknilainya tidak signifikan setidaknya padalevel 10%. Tanda positif untuk koefisienpertumbuhan penduduk mengindikasi-kan bahwa variabel ini dalam mendo-rong pertumbuhan ekonomi bersifatendogenous sebagaimana diungkapkanoleh Becker et al. (1990). Artinya,perubahan struktur penduduk mungkindipengaruhi oleh beberapa faktor sepertitingkat kesejahteraan penduduk itu
sendiri. Orang yang lebih kaya denganbeban ekonomi yang lebih kecil, merasalebih berbahagia apabila mempunyaianak yang banyak dibandingkan denganorang yang kurang beruntung secaraekonomi, dengan asumsi faktor laindianggap konstan (ceteris paribus).
Namun, hasil pengujian statistikyang tidak signifikan menunjukkanbahwa dampak pertumbuhan penduduk
terhadap pembangunan bisa dikatakannihil. Artinya, stimulasi sumber dayamanusia tidak dapat mengeliminasi efekdiminishing return atas penggunaansumber daya alam, sehingga net effect dari pertumbuhan jumlah pendudukmenjadi kurang signifikan. Hal ini bisaterjadi karena adanya migrasi (Akai danSakata 2002), dimana orang kayamempunyai mobilitas yang tinggi untuk
pindah ke suatu daerah yang lebihnyaman dan menguntungkan untuk
ditempati. Fenomena urbanisasi diIndonesia yang sangat kental dewasa ini
dirasa cukup menjadi bukti adanyakasus di atas. Dengan begitu, penulisberpendapat bahwa tingginya urbanisasidi kota-kota besar pada tiap-tiap propinsidapat menyebabkan dampak pertam-bahan jumlah penduduk terhadap rodaperekonomian menjadi kurang substansial.
Porsi investasi terhadap nilai GDPpropinsi berbanding lurus dengan tingkatkemajuan ekonomi namun secarastatistik, tidak signifikan. Hal inimengisyaratkan bahwa investasi domes-tik bruto di beberapa daerah memerlu-kan jangka waktu tertentu guna mem-peroleh return sebagaimana diper-kirakan oleh Ashipala dan Haimbodi(2003). Interpretasi yang lain adalahbelanja modal yang dikeluarkan olehpemerintah daerah bisa jadi bukan
merupakan investasi yang cukupproduktif sehingga tidak memberikaninsentif ekonomi (Devarajan et al. 1996).
Sejalan dengan hal di atas,export share juga memiliki keterkaitanpositif terhadap kinerja ekonomi daerahmeskipun tidak signifikan. Hal ini satudan lain hal karena di dalam risetpenulis tidak membedakan jenis ekspor
berdasarkan basis teknologi yangmendukungnya. Karena keterbatasandata, penulis tidak membuat harmonisasiatas perbedaan produktivitas antarsektoryang mungkin mempengaruhi dayasaing produk. Sangat dimungkinkanbahwa produk yang dihasilkan melaluiteknologi tinggi, memiliki daya saingyang lebih tinggi dibandingkan denganproduk ekspor yang berbasis limited
technology (Crespo-Cuaresma danWortz 2003).
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 16/30
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
70
Level awal GDP dan rasio tingkatpendidikan memberikan indikasi yanglebih meyakinkan. Dua variabel tersebut
secara statistik signifikan masing-masingpada level 1 dan 10 persen. Tingginyalevel GDP pada tahun sebelumnya akanberasosiasi dengan penurunan pertum-buhan ekonomi propinsi pada tahunberjalan sebesar 0.15 persen, denganasumsi variabel independen yang laintidak berubah. Sementara itu, educationratio memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan meskipun efek
yang diberikan tidak besar. Estimasikoefisien intercept positif dan signifikanpada level 1 persen mengisyaratkanbahwa secara rata-rata, propinsi-propinsidi Indonesia mempunyai endowment pertumbuhan ekonomi yang positif.
• Regresi Control Variables
dengan dummy2001
Penulis menyadari bahwa dampakpenerapan kebijakan desentralisasi fiskalyang baru dapat berimplikasi padaperubahan pola pertumbuhan ekonomidaerah pasca 2001. Untuk meng-antisipasi efek perubahan rejim tersebut,penulis memasukkan variabel dummy ,yakni dummy2001, dimana untukperiode sesudah atau sama dengan 2001akan bernilai satu, sedangkan sisanya,yakni periode sebelum 2001, variabeldummy akan bernilai nol. Dengandemikian, persamaan (1) di atas,berubah menjadi :
(2)
Hasil regresi persamaan (2) disajikan dalam Tabel 4 berikut.
it iit
it it it it
Pdummy RGDP Invest
Openness Eduratio RGDPPoprateY
εδγ β
βββββ
+++
+++−++=∆
2001_ln
lnln)1(ln
15
43210
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 17/30
Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
71
Tabel 4: Hasil Regression Control variables dengan dummy2001
Variable Independen Estimasi Koefisien
(standard error)Pop_rate 0.007
(0.016)
ln (Initial_rgdp) -0.154
(0.026)***
ln (Eduratio) 0.064
(0.038)*
ln (export_rgdp) 0.012
(0.009)
ln (Invest_rgdp) 0.005
(0.014)Dummy2001 0.031
(0.007)***
Constant 0.146
(0.059)**
F test 9.170
Prob>F 0.000
N 166
Sumber : Hasil regresi dalam program STATA 9.0 Catatan : *** , **, dan * masing-masing menunjukkan tingkat signifikansi 1, 5, dan 10
persen
Sebagaimana tersaji pada Tabel 4 diatas, secara umum tidak terdapatperubahan tanda (magnitude) dari tiap-tiap variabel pengendali, jika diban-dingkan dengan hasil regresi persamaan(1). Level GDP awal, rasio tingkatpendidikan dan intercept tetap menun-
jukkan angka yang signifikan, meskipun
mengalami sedikit penurunan dalamsignifikansi. Hal menarik dalam hasilregresi di atas adalah bahwa koefisiendummy2001 positif dan secara statistiksignifikan pada level 1 persen. Ini berartibahwa secara rata-rata, pertumbuhanekonomi propinsi sesudah tahun 2001relatif lebih baik dibandingkan denganperforma sebelum tahun 2001.
• Regresi Penuh (Full Regressions)Selanjutnya, kita ingin menguji tiap-tiapindikator desentralisasi fiskal dalamregresi baik melalui persamaan (1)maupun persamaan (2) tanpa ataudengan dummy2001. Untuk itu, penulismelakukan regresi sebanyak delapan kaliuntuk seluruh indikator desentralisasi
fiskal yang digunakan dalam riset ini.Pada tahap awal, kita hendak menga-nalisis hubungan desentralisasi fiskaldengan pertumbuhan ekonomi daerahtanpa memperhitungkan structural break pada tahun 2001. Ikhtisar regresi yangberkaitan dengan indikator desentralisasifiskal disajikan dalam Tabel 5 berikut.
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 18/30
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
72
Tabel 5: Ikhtisar Hasil Regresi atas Indikator Desentralisasi Fiskal
Indikator Desentralisasi FiskalEstimasi Koefisien
(standard error)
1. Gross local revenue (RI-1) 0.192(0.073)***
2. Net local revenue (RI-2) 0.326
(0.089)***
3. Own revenue to gross local revenue (AI-1) -0.215
(0.204)
4. Own revenue to net local revenue (AI-2) -0.101
(0.024)***
5. Own revenue to local expenditure (AI-3) -0.109
(0.174)
6. Own revenue to balanced budget (AI-4) -0.068(0.114)
7. Local expenditure (EI-1) 0.142
(0.074)*
8. Provincial expenditure per capita 0.18
to national expenditure per capita (EI-2) (0.055)***
Sumber : Hasil regresi dalam program STATA 9.0 Catatan : *** , **, dan * masing-masing menunjukkan tingkat signifikansi 1, 5, dan 10 persen
Sebagaimana diungkapkan dalam Tabel
5 di atas, beberapa indikator menunjuk-kan hasil yang signifikan secara statistik.Artinya, hipotesis yang menyatakanbahwa desentralisasi fiskal tidak berpe-ngaruh terhadap pertumbuhan ekonomidaerah, dapat dipatahkan. Hampirsemua indikator yang signifikan tersebutberada pada level kesalahan sebesar 1persen. Indikator pendapatan yangdiwakili oleh RI-1 dan RI-2 bertanda
positif. Artinya, semakin besarpendapatan yang diterima oleh daerahdengan atau tanpa memperhitungkandana perimbangan dari pusat, akanberdampak positif terhadap pembangu-nan di daerah tersebut. Hal ini tentu sajatidak selaras dengan hasil studiterdahulu oleh Woeller dan Phillips(1998), namun menegaskan kebenaranprediksi teori tentang desentralisasi
fiskal. RI-2 yang bertanda positif dansignifikan, mendukung hasil riset yang
dilakukan oleh Akai dan Sakata (2002)
sekaligus membenarkan teori Oates(1993) tentang kontribusi potensial yangdimiliki oleh desentralisasi fiskal.
Terkait dengan indikator pengelu-aran, dapat disimpulkan bahwa baikpengeluaran Pemda Kab/Kota maupunPemda Propinsi ternyata memberikanpengaruh positif terhadap pembangunandi propinsinya masing-masing. Hasil initentu saja memperkuat penemuan Akai
dan Sakata (2002) meskipun bertolakbelakang dengan hasil riset Zhang danZou (1998) yang menyatakan bahwa
provincial spending justru berakibatburuk terhadap pertumbuhan ekonomidi Cina.
Hasil regresi yang signifikannamun tidak mendukung indikatorpenerimaan dan pengeluaran adalah AI-2, yakni salah satu indikator otonomi
fiskal. Sebagaimana diuraikan sebelum-nya bahwa AI-2 adalah rasio PAD
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 19/30
Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
73
terhadap total penerimaan daerah yangtidak memperhitungkan DAU dan DAKdari pemerintah pusat. Tanda negatif
pada koefisien AI-2 mengisyaratkanbahwa otonomi fiskal di daerah justrumenjadi barrier bagi laju pembangunan.Hal ini satu dan lain hal dapatdisebabkan oleh Perda yang disusunterkait dengan pajak dan retribusi daerahdisinyalir memberikan sentimen negatif terhadap para pelaku ekonomi. Kasustersebut dapat terjadi apabila aparaturdaerah kurang menguasai ilmu keua-ngan publik, kurang berpengalamandalam mengelola APBD, ataupunmemiliki persiapan yang kurang matangdalam menghadapi era otonomi (Silveret al. 2001).
Davoodi dan Zou (1998:254)mengemukakan bahwa terdapat bebe-rapa faktor yang menyebabkan desentra-lisasi fiskal dalam beberapa hal menjadi
kurang menguntungkan bagi pembangunan.Faktor tersebut antara lain komposisipengeluaran pemerintah, penetapanpendapatan yang kurang tepat olehpemerintah daerah, keuntungan efisiensidesentralisasi fiskal yang kurang materiildi negara-negara berkembang dan keti-dakcakapan aparatur daerah.
Fenomena efek negatif otonomifiskal di Indonesia yang terungkap dalam
riset ini dapat dijelaskan dengan duaargumen berikut. Pertama, kompetensidan kapasitas pemimpin daerah yangkurang dapat mengakomodir preferensidan kebutuhan masyarakat, sehinggapenetapan sumber-sumber penerimaandaerah menjadi blunder bagi pemba-ngunan. Ini dapat terjadi sebelum tahun2004, dimana masyarakat tidak memilihsecara langsung kepala daerah dan
wakil-wakilnya di DPRD masing-masing.Dengan demikian, mereka tidak dapat
mengontrol secara langsung segalakeputusan yang diambil oleh pemerintahdaerah. Lewis (2003) mengungkapkan
bahwa retribusi daerah yang dipungutoleh beberapa Pemda terkait denganpelayanan publik, ternyata merupakanpajak tersembunyi. Artinya, retribusiyang dikenakan sebenarnya tidak secaralangsung terkait dengan manfaat yangdiperoleh para pembayar retribusi,sehingga pungutan semacam itu dapatdikategorikan sebagai pajak daerah.Kedua, intervensi pemerintah pusatdalam menentukan pajak dan retribusidaerah bisa jadi menjadi faktor yangmemperlambat pertumbuhan ekonomidaerah. Hal ini dapat terjadi karenapemerintah pusat tidak memilikikeunggulan komparatif dalam menyusuninstrumen penghasilan daerah diban-dingkan dengan Pemda.
Berkaitan dengan keterlibatan
pemerintah pusat, terdapat dua penje-lasan sebagai berikut. Pertama, sistemmonitoring kurang efektif. Meskipunreformasi hubungan fiskal antarpemerintah memperkenankan pemerintahdaerah untuk menentukan sumber-sumber PAD (pajak dan retribusi),namun pemerintah pusat memilikiotoritas untuk mereview peraturanbahkan membatalkannya apabila
peraturan yang mengatur pajak danretribusi daerah tersebut dinilaibertentangan dengan kebijakan nasional(Fane 2003). Namun, Lewis (2003)melaporkan bahwa sepanjang periodeApril 2000 hingga Juni 2002, dari sekitarseribu Perda, kurang dari separuhnyatelah direview oleh pemerintah pusat.Dengan demikian, cukup beralasanbahwa penetapan instrumen pendapatan
daerah yang kurang tepat (tidakterpantau dalam review oleh pemerintah
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 20/30
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
74
pusat), dapat menjadi penghambatpembangunan. Kedua, bertolak belakangdari uraian pertama, bawah berdasarkan
teori (Oates 1972), pemerintah pusatsebenarnya tidak memiliki pengetahuanyang memadai terhadap keunikan tiap-tiap daerah. Dengan demikian,pemberlakuan kebijakan sumber-sumberpendapatan daerah yang seragam tanpamengharmonisasi perbedaan antaryurisdiksi dapat pula berakibat burukbagi pembangunan.
Sementara itu, indikator lain
dalam otonomi fiskal yakni AI-1, AI-3dan AI-4, secara statistik kurang
signifikan dalam menjelaskan perbedaanperforma ekonomi antarpropinsi.
• Regresi Penuh dengan Variabeldummy2001
Guna mengetahui pengaruh perubahanrejim desentralisasi fiskal, maka penulismembuat regresi dengan memasukkanvariabel dummy2001 untuk membeda-kan perbedaan pattern hubungan antaradua variabel sebelum dan sesudah erabaru desentralisasi fiskal. Model ekono-metrik untuk menjelaskan hal di atasadalah:
(3)
Ikhtisar hasil regresi persamaan (3) dapatkita lihat pada Tabel 6. Secara umum,tidak terdapat perubahan yang mendasardalam estimasi control variables.Indikator pendapatan, RI-1 dan RI-2ketika disandingkan dengan variabeldummy2001, menghasilkan nilai estima-si yang positif dan signifikan. Artinya,pola bagi hasil yang memberikan porsilebih besar kepada daerah ternyatadapat memberikan stimulus bagi pemba-ngunan daerah pasca 2001. Dengandemikian, berdasarkan pendapat Xie et
al. (1998), membaiknya kinerja ekonomitersebut disebabkan adanya insentif bagidaerah untuk berpartisipasi dalamkegiatan ekonomi karena pemerintahdaerah memperoleh transfer yang lebihbesar dari periode sebelumnya. Hubung-an yang positif juga ditunjukkan olehindikator pengeluaran daerah, dimanaEI-1 dan EI-2 setelah berinteraksi dengan
variabel dummy2001, menghasilkanestimasi koefisien yang positif dansignifikan pada level 1%. Hasil regresiini sekaligus memperkuat teori desentra-lisasi bahwa semakin terdesentralisirpengeluaran publik, maka hal tersebutakan memberikan dampak positif bagipembangunan di tiap-tiap daerah.
Berdasarkan perspektif otonomi,era baru desentralisasi fiskal nampaknyamemberikan perbaikan taraf ekonomiyang relatif baik bagi beberapa propinsidi Indonesia. Hal ini dapat kita lihat
berdasarkan hasil regresi pada Tabel 6yang menyajikan bahwa semua indikatorotonomi fiskal positif dan signifikansetelah berinteraksi dengan variabeldummy2001. Hasil regresi ini menegas-kan bahwa otonomi fiskal pasca 2001berpengaruh positif terhadap pemba-ngunan.
it iit it it
it it it it
Pr FDIndicatodummyr FDIndicato RGDP Invest
Openness Eduratio RGDPPoprateY
εδααβ
βββββ
++++
+++−++=∆
*2001_ln
lnln)1(ln
215
43210
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 21/30
Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
75
Tabel 6 Ikhtisar Hasil Regresi atas Indikator Desentralisasi Fiskal
yang Berinteraksi dengan Variabel dummy2001
Indikator Desentralisasi FiskalEstimasi Koefisien (standard
error )
A. Revenue indicator
1.1. Gross local revenue (RI-1) -0.057
(0.101)
1.2. RI-1*dummy 2001 0.044
(0.013)***
2.1. Net local revenue (RI-2) 0.162
(0.107)
2.2. RI-2*dummy 2001 0.145
(0.055)***
B. Autonomy indicator
3.1. Own revenue to gross local revenue (AI-1) -0.031
(0.214)
3.2. AI-1*dummy 2001 0.248
(0.102)**
4.1. Own revenue to net local revenue (AI-2) -0.091
(0.024)***
4.2. AI-2*dummy 2001 0.029
(0.015)*
5.1. Own revenue to local expenditure (AI-3) 0.041
(0.178)
5.2. AI-3*dummy 2001 0.247
(0.090)***
6.1. Own revenue to balanced budget (AI-4) 0.046
(0.121)
6.2. AI-4*dummy post 2001 0.184
(0.074)**
C. Expenditure indicator
7.1. Local expenditure (EI-1) -0.107
(0.094)
7.2. EI-1*dummy post 2001 0.047
(0.012)***
8.1. Provincial expenditure per capita -0.126
to national expenditure per capita (EI-2) (0.127)
8.2. EI-2*dummy 2001 0.254
(0.095)***
Sumber : Hasil regresi dalam program STATA 9.0 Catatan : *** , **, dan * masing-masing menunjukkan tingkat signifikansi 1, 5, dan 10persen
Walaupun demikian, perlu kitacermati bahwa efek total dari salah satu
indikator otonomi, AI-2 tetap negatif sebagaimana estimasi sebelumnya yang
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 22/30
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
76
tidak menyertakan variabel dummy2001.Nilai estimasi koefisien AI-2 secaraindividu adalah -0.091, berubah menjadi
0.029 setelah digabungkan/berinteraksidengan variabel dummy2001. Dengandemikian, total nilai koefisien AI-2dalam model persamaan (3) menjadi -0.062. Koneksi yang unik antara otonomifiskal dan pertumbuhan ekonomi daerahini dapat terjadi karena para pembuatkebijakan pungutan daerah baik Pemdamaupun DPRD memerlukan waktuuntuk memperoleh knowledge spillover
dalam mengelola keuangan publik. Jangka waktu 3 tahun, yakni 2001-2004yang memperlihatkan kecenderunganpositif dari penerapan otonomi fiskalmerupakan sinyalemen yang bagus.Dibutuhkan periode waktu yang lebihpanjang untuk mengamati pola hubu-ngan antara kedua variabel tersebut dimasa mendatang. Patut kita tungguapakah setelah era tahun 2004, terutamadengan adanya pemilihan kepala daerah(gubernur dan walikota/ bupati) secaralangsung, hubungan antara otonomifiskal dengan pertumbuhan ekonomidaerah tetap positif atau menjadiberbalik arah.
Berdasarkan pemaparan di atas,maka dapat penulis sampaikan simpulan
riset sebagai berikut :a. Riset ini bertujuan untuk mengana-lisis hubungan antara desentralisasifiskal dan pertumbuhan ekonomidaerah di Indonesia. Dengan meng-gunakan estimasi panel fixed effect ,riset menegaskan bahwa desentra-lisasi fiskal di Indonesia secaraumum memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan daerah
selama periode 1999-2004. Simpu-lan ini sekaligus memperkuat teori
desentralisasi fiskal dan hasil penelitiansebelumnya (Akai dan Sakata 2002).
b. Hasil penelitian juga memperlihat-
kan bahwa era baru desentralisasifiskal yang diluncurkan sejak tahun2001 ternyata memberikan dampakyang relatif lebih baik terhadappembangunan daerah dibandingkandengan rejim desentralisasi fiskalsebelumnya.
c. Diperlukan analisis yang lebihcermat untuk mengamati hubunganantara otonomi fiskal (yang
diperlihatkan dengan indikator PADsebagai proxy ) dengan performapembangunan daerah. Hal inikarena riset memperlihatkan bahwasebelum tahun 2001, hubungan antarakedua variabel tersebut adalahnegatif, sehingga bertolak belakangdengan hasil penelitian terdahulu(Desai et al. 2003). Kendati demi-kian, otonomi fiskal cenderungmembaik pada era sesudah tahun2001 yang ditandai denganmembaiknya pertumbuhan ekonomidaerah seiring dengan penerapanotonomi fiskal.
d. Sekurang-kurangnya terdapat duaalasan yang dapat menjelaskanfenomena otonomi fiskal yang ku-rang favourable sebelum periode
reformasi fiskal, yakni (i) kurangnyakompetensi para aparatur danpolitisi daerah dalam menetapkaninstrumen pendapatan daerah, dan(ii) monitoring pemerintah pusat ataspenerapan Perda tentang pajak danretribusi daerah yang kurang efektif.
Implikasi dan Keterbatasan
Terdapat beberapa implikasikebijakan yang tersirat dari hasil penelitian
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 23/30
Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
77
ini. Beberapa diantaranya barangkalisudah diakomodir oleh para pengambilkebijakan di bidang keuangan publik.
Pertama, pemerintah pusat seyogianyadapat meningkatkan kapasitas dankapabilitas para pegawai yang bertugasdalam monitoring atau mereviewperaturan yang berkaitan denganpendapatan daerah. Peningkatan kualitassumber daya manusia ini dibutuhkandalam memperbaiki kualitas monitoringyang sudah berjalan.
Kedua, diperlukan diskusi lebihmendalam yang melibatkan segenapinstansi pemerintah guna mereviewkriteria pajak dan retribusi dari sudutpandang kepentingan nasional. Hal inidiperlukan mengingat perubahan polahubungan antara otonomi fiskal padadua periode (sebelum dan sesudah tahun2001) sangat mungkin disebabkan olehperubahan peraturan atau kebijakan
yang mengatur tentang otonomi daerah.Ketiga, guna mendukung sistempajak yang lebih terdesentralisir, sangatesensial bagi pemerintah daerah untukmeningkatkan kompetensi pegawaidaerah dalam mengatur dan mengelolakeuangan publik dalam rangkamendukung pembangunan daerah.Langkah ini cukup krusial karenakebijakan pungutan daerah yang kurang
tepat dapat berakibat pada penciptaaniklim ekonomi yang kurang bagus didaerahnya masing-masing.
Terlepas dari hal-hal tersebut diatas, penulis sangat menyadari bahwariset ini mempunyai banyak keterbatasan.Asumsi yang menyatakan bahwa desen-tralisasi fiskal adalah strictly exogenous (sangat ditentukan oleh faktor di luarmodel), barangkali kurang tepat meng-
gambarkan sifat alami atau karakteristikdari desentralisasi itu sendiri. Indikator
desentralisasi fiskal yang dibangundalam riset ini merupakan ukuran-ukuran akuntansi yakni pendapatan dan
pengeluaran. Kedua hal tersebutmerupakan hasil dari keputusan ekono-mi yang mempertimbangkan variabellain seperti populasi tiap-tiap daerah,indeks ketidaksetaraan pendapatan,proses sejarah dan kinerja ekonomi itusendiri. Dengan demikian, model yangmengakomodir hubungan timbal balikantara variabel-variabel dimaksuddibutuhkan untuk keakuratan analisisatas dampak desentralisasi fiskalterhadap kemajuan ekonomi.
Disamping itu, riset ini tidakmemperlihatkan pula bagaimana tang-gung jawab fiskal yang semakin besaroleh Pemda dapat menstimulus pemba-ngunan. Sebagai gantinya, riset ini hanyamenunjukkan bahwa terdapat buktiempiris yang menyatakan adanya hubu-
ngan positif antara pendelegasian fiskalyang semakin besar dengan tingkatkesejahteraan penduduk di daerah.Indikator desentralisasi fiskal yang lebihtepat perlu dikembangkan terutamauntuk menganalisis dampak otonomifiskal. Proses institusional dan keputusanpolitik yang mempengaruhi penentuanpendapatan dan alokasi pengeluaranpublik perlu diakomodir dalam model.
Dengan demikian, riset lanjutan yangmengusulkan model yang lebih kompre-hensif dengan indikator desentralisasifiskal yang lebih luas serta cakupanwaktu yang lebih panjang, diperlukanuntuk mengetahui dampak desentralisasifiskal terhadap pemba-ngunan.
Daftar ReferensiAkai, N. dan Sakata, M., 2002. Fiscal
Decentralization Contributes toEconomic Growth: Evidence from
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 24/30
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
78
State-Level Cross-Section Data for the United States, Journal of Urban Economics, LII:93-108.
Alfirman, L., 2003. Estimating StochasticFrontier Tax Potential : can Indo-nesian local governments increasetax revenues under decentrali-zation?, Working Paper No. 03-19, Department of Economic,University of Colorado at Bolder,Colorado.
Anderson, J.E. dan Neary, J.P., 1992.Trade Reform with Quotas, PartialRent Retention and Tariffs,Econometrica, LX: 57-76.
Arhend, R. 2000. Speed of Reforms,Initial Conditions, Political Orien-tation, or What? Explaining Rus-sian Regions' Economic Perfor-mance, Paper disajikan pada theCERP/WDI, Annual InternationalConference, Moscow.
Ashipala, J. dan Haimbodi, N., 2003.The Impact of Public Investmenton Economic Growth in Namibia,NEPRU Working Paper No. 88.
Bahl, R.W. dan Linn, J. F., 1992. Urban
Public Finance in DevelopingCountries, Oxford UniversityPress, Oxford.
Barro, R. J., 1996. Determinant of Economic Growth: a crosscountry empirical study, NBERWorking Paper No. 5698.
_________., 1974. Are government
bonds net wealth?, Journal of
Political Economy, LXXXII(6):1095-1117.
Becker, G. S., Glaeser, E.L., Murphy, K.M., dan Tamura, R., 1990.Human Capital, Fertility, andEconomic Growth, Journal of Political Economy, XM (5):12-37.
Becker, G. S., Glaeser, E. L., danMurphy, K. M., 1999. Populationand Economic Growth, TheAmerican Economic Review,
LXXXIX (2): 145-49.
Boediono, 2002. Kebijakan PengelolaanNegara dalam Rangka PelaksanaanAzaz Decentralisasi Fiscal, bahanpidato disajikan pada rapatkoordinasi di Jakarta, 11 Februari2002.
Breusch, T. S. dan Pagan, R., 1979. ASimple Test for Heteroskedasticityand Random Coefficient Variation,Econometrica, XLVII (5):1287-94.
Brodjonegoro, B., 2001. IndonesianIntergovernmental Transfer inDecentralization Era: the case of general allocation fund, Paperdisajikan dalam International
Symposium on IntergovernmentalTransfers in Asian Countries, 9-10Februari 2001.
Carmichael, J., 1982. On Barro’sTheorem of Debt Neutrality: theirrelevance of net wealth, Ameri-can Economic Review, LXXII(1):202-13.
Davoodi, H. dan Zou, H., 1998. ‘FiscalDecentralization and Economic
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 25/30
Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
79
Growth: a cross-country study’, Journal of Urban Economics,LXIII:244-57.
Desai, R. M., Freinkman, L.M., danGoldberg, I., 2003. FiscalFederalism and Regional GrowthEvidence from Russion Federationin the 1990s’, World Bank PolicyResearch Working Paper 3138,World Bank, Washington DC.
Devarajan, S., Swaroop, V. dan Zou, H.,1996. The Composition of PublicExpenditure and Economic Growth,
Journal of Monetary Economics,XXXVII (2): 313-44.
Fane, G., 2003. Change and Continuityin Indonesia’s New FiscalDecentralisation Arrangements,Bulletin of Indonesian Economic
Studies, XXXIX(1):159-76.
Feder, G., 1983. On Exports andEconomic Growth, Journal of Development Economics, XII:59-73.
Fitrani, F., Hofman, B., dan Kaiser, K.,2005. Unity in Diversity? TheCreation of New Local Govern-ments in a Decentralising Indo-
nesia, Bulletin of IndonesianEconomic Studies, LXI(1): 57-79.
Forrester, G., dan R.J. May, 1999, TheFall of Suharto, Buku Terpilih,Singapore.
Gudjarati, D., 2003. Basic Econometrics,4th edn, McGraw Hill, New York.
Hausman, J. A.,1978. Specification Testsin Econometrics, Econometrica,XLVI : 1251-71.
Hsiao, C., 2003. Analysis of Panel Data,2nd edn, Cambridge UniversityPress, New York.
Badan Pusat Statistik, 2002. IndonesianStatistic Year Book, 1998-2001,Indonesian Statistic Office, Jakarta.
__________, 2004. Indonesian StatisticYear Book, 2000-2003, IndonesianStatistic Office, Jakarta.
__________, 2006. Indonesian StatisticYear Book, 2002-2005,Indonesian Statistic Office,
Jakarta.
Knight, M., Norman, L., dan Villaneuva,D., 1993. Testing the Neoclassical
Theory of Economic Growth: apanel data approach, IMF Staff Papers, No. 50-3.
Kuznetsova, O., 2001. EconomicheskayaPolitika Regional'nykh OrganovVlasti, Paper presented at the 3rdInternational Conference onPublic Sector Reforms, St.Petersburg.
Levine, R. dan Renelt, D., 1992. ‘ASensitivity Analysis of Cross-Country Growth Regressions’,American Economic Review,LXXXII (4):942-63.
Lewis, B. D., 2003. Tax and ChargeCreation by Local GovernmentsUnder Fiscal Decentralisation:estimates and explanations,
Bulletin of Indonesian EconomicStudies, XXXIX(2): 177-92.
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 26/30
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
80
Ma, J., 1996. Intergovernmental FiscalTransfer: a comparison of nine
countries (United States, Canada,United Kingdom, Australia,Germany, Japan, Korea, India andIndonesia), Discussion paper forthe World Bank, Washington DC.
Mankiw, N.G., Romer, D. dan Weil,D.N., 1992. A Contribution to theEmpirics of Economic Growth,Quarterly Journal of Economics,
MVII (2):407-37.
Oates, W. E., 1993. Fiscal Decentra-lization and Economic Develop-ment, National Tax Journal, LXVI(2):237-43.
__________, 1972. Fiscal Federalism,Harcourt Brace Jovanovich, NewYork.
Prunera, M.C.R. , 2000. A Role forDeficit in Economic Growth,Paper presented at the 40thCongress of the Regional ScienceAssociation, 29 August – 1September 2000 in Barcelona,Spain.
Ray, D., 2001. Inventory of TradedistortingLocal Regulations, USAID-PEGProject, Ministry of Industry andTrade, Jakarta.
Sala-i-Martin, X., 1997. I Just Ran TwoMillion Regressions, AmericanEconomic Review, LXXXVII(2):178-83.
Silver, C., Aziz, I.J., dan Schoeder, L.,2001. Intergovernmental Transfer
and Decentralisation in Indonesia,Bulletin of Indonesian EconomicStudies, XXXVII (3):345-62.
Sturm, J. E., 1998. Public CapitalExpenditure in OECD Countries:the causes and impact of thedecline in public capital spending,Edward Edgard Publishing Limited,Cheltenham.
Tadjoeddin, Zulfan M., Suharyo, W.I.,dan Mishra, S., 2001. Regional
Disparity and Vertical Conflict inIndonesia, UNDP/UNSFIR (UnitedNational Special Facility forIndonesian Recovery), Mimeo,
Jakarta.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keua-ngan, 2007. Sistem InformasiKeuangan Daerah, http:// www.sikd.djapk.go.id (02/02/2007).
Woller, G. M. dan Phillips, K., 1998.Fiscal Decentralization and LDCEconomic Growth: an empiricalinvestigation, The Journal of Development Studies, XXXIV(4):139-48.
Wooldridge, J. M., 2006. IntroductoryEconometrics : a modern approach,3rd edn, Thomson South-Western.
________, 2002. Econometric Analysis of Cross Section and Panel Data,MIT Press, Cambridge.
Xie, D., Zou, H., dan Davoodi, H.,1998. Fiscal Decentralization and
Economic Growth in the United
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 27/30
Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
81
States, Journal of UrbanEconomics XLV:228-39.
Zhang, T. dan Zou, H., 1998. FiscalDecentralization, Public Spending,and Economic Growth in China,
Journal of Public Economics ,LXVII:221-40.
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 28/30
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
82
LampiranApendiks A
Tabel Rata-rata Indikator Desentralisasi Fiskal Periode 1999-2004
Indikator Desentralisasi Fiskal
No Propinsi RI-1 RI-2 AI-1 AI-2 AI-3 AI-4 EI-1 EI-2
1 NAD 0,756 0,139 0,033 0,285 0,121 0,039 0,767 0,139
2 North Sumatera 0,785 0,128 0,070 0,502 0,222 0,083 0,807 0,048
3 West Sumatera 0,808 0,151 0,064 0,407 0,186 0,077 0,819 0,059
4 Riau 0,700 0,149 0,081 0,500 0,231 0,099 0,716 0,144
5 Jambi 0,761 0,117 0,061 0,474 0,206 0,070 0,787 0,079
6 South Sumatera 0,756 0,105 0,052 0,449 0,192 0,060 0,773 0,053
7 Bengkulu 0,733 0,104 0,035 0,363 0,150 0,039 0,744 0,080
8 Lampung 0,789 0,080 0,034 0,423 0,170 0,037 0,810 0,040
9 West Java 0,764 0,175 0,115 0,577 0,279 0,146 0,778 0,037
10 Central Java 0,809 0,150 0,095 0,573 0,264 0,115 0,821 0,03511 Dista Yogyakarta 0,725 0,187 0,107 0,495 0,245 0,138 0,749 0,063
12 East Java 0,787 0,150 0,101 0,585 0,273 0,124 0,815 0,046
13 West Kalimantan 0,782 0,103 0,046 0,434 0,182 0,052 0,792 0,055
14 Central Kalimantan 0,763 0,121 0,063 0,511 0,222 0,073 0,778 0,100
15 South Kalimantan 0,754 0,128 0,065 0,451 0,201 0,076 0,761 0,093
16 East Kalimantan 0,701 0,143 0,048 0,315 0,143 0,058 0,715 0,287
17 North Sulawesi 0,720 0,101 0,066 0,602 0,255 0,074 0,725 0,153
18 Central Sulawesi 0,793 0,087 0,039 0,445 0,181 0,043 0,796 0,075
19 South Sulawesi 0,830 0,119 0,068 0,534 0,232 0,079 0,845 0,049
20 Southeast Sulawesi 0,769 0,107 0,046 0,436 0,183 0,053 0,778 0,073
21 Bali 0,764 0,323 0,244 0,615 0,385 0,418 0,785 0,096
22 NTB 0,787 0,109 0,058 0,527 0,223 0,066 0,799 0,056
23 NTT 0,838 0,108 0,040 0,404 0,169 0,046 0,860 0,043
24 Maluku 0,711 0,099 0,046 0,440 0,185 0,052 0,736 0,10725 Papua 0,677 0,082 0,021 0,325 0,127 0,023 0,688 0,300
26 Gorontalo 0,762 0,131 0,051 0,426 0,187 0,059 0,759 0,188
27 North Maluku 0,718 0,085 0,027 0,306 0,129 0,030 0,690 0,139
28 Banten 0,725 0,206 0,139 0,560 0,292 0,186 0,739 0,081
29 Bangka Belitung 0,717 0,199 0,110 0,525 0,263 0,142 0,741 0,098
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 29/30
Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
83
Apendiks B Table B1 : Ringkasan Statistik Variabel
No Variabel Definisi Minimum Mean MaximumStddeviation
1 ∆ Y Growth rate of per capita regional GDP -0.232 0.016 0.210 0.047
2 RGDP(-1) Regional GDP per capita previous year (in Rp Millions) 0.721 2.073 9.289 1.615
3 Poprate Population growth rate 0.110 1.754 4.350 0.874
4 Eduratio Secondary education graduates to population above 15 years 0.248 0.418 0.713 0.091
5 Openness Share of exports in regional GDP 0.003 0.414 1.313 0.240
6 Invest_rgdp Share of gross domestic investment in regional GDP 0.019 0.215 0.485 0.084
7 RI-1 Local gross revenue to combined total local and province revenue 0.582 0.759 0.880 0.060
8 RI-2 Local net revenue to combined total local and province revenue 0.032 0.133 0.397 0.061
9 AI-1 Local own revenue to total local revenue 0.009 0.069 0.329 0.046
10 AI-2 Local own revenue to total net local revenue 0.042 0.467 0.810 0.161
11 AI-3 Local own revenue to total local expenditure 0.008 0.075 0.375 0.053
12 AI-4 Local own revenue to total local balanced budget 0.011 0.087 0.636 0.079
13 EI-1 Local expenditure to combined total local and province expenditure 0.590 0.773 0.903 0.061
14 EI-2 Province expenditure per capita to national expenditure per capita 0.020 0.096 0.556 0.092
Sumber : Perhitungan sendiri
-oOo-
5/10/2018 3-puji wibowo - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/3-puji-wibowo 30/30
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
84