14
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove biasa ditemukan di pantai- pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindungi. Karakteristik habitat hutan mangrove menurut Bengen (2000) umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari ataupun hanya tergenang pada saat pasang purnama. Untuk mempertahankan hidupnya, pohon mangrove beradaptasi dengan lingkungannya. Pertama adaptasi terhadap kadar oksigen rendah, pohon mangrove mempunyai sistem perakaran yang khas yang pertama bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora untuk mengambil oksigen dari udara, misalnya pada Avicennia spp. dan Sonneratia spp. Jenis yang kedua bertipe penyangga yang mempunyai lentisel, misalnya Rhizopora spp. Kedua, adaptasi terhadap kadar garam tinggi, daun-daun mangrove memiliki struktur stomata yang khusus untuk mengurangi penguapan, juga sel-sel khusus untuk menyimpan garam. Selain itu, daunnya yang tebal dan kuat banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. Ketiga, adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut. Mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar. Disamping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Selain itu mangrove memiliki beberapa fungsi. Pertama, fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Kedua, fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik, seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Ketiga, fungsi ekonomis

2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai sistem perakaran yang khas yang pertama bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora untuk mengambil oksigen dari udara,

Embed Size (px)

Citation preview

5

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang

didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada

daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove biasa ditemukan di pantai-

pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindungi.

Karakteristik habitat hutan mangrove menurut Bengen (2000) umumnya tumbuh

pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir.

Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari ataupun hanya

tergenang pada saat pasang purnama.

Untuk mempertahankan hidupnya, pohon mangrove beradaptasi dengan

lingkungannya. Pertama adaptasi terhadap kadar oksigen rendah, pohon mangrove

mempunyai sistem perakaran yang khas yang pertama bertipe cakar ayam yang

mempunyai pneumatofora untuk mengambil oksigen dari udara, misalnya pada

Avicennia spp. dan Sonneratia spp. Jenis yang kedua bertipe penyangga yang

mempunyai lentisel, misalnya Rhizopora spp. Kedua, adaptasi terhadap kadar

garam tinggi, daun-daun mangrove memiliki struktur stomata yang khusus untuk

mengurangi penguapan, juga sel-sel khusus untuk menyimpan garam. Selain itu,

daunnya yang tebal dan kuat banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan

garam. Ketiga, adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut.

Mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan

horizontal yang lebar. Disamping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga

berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.

Selain itu mangrove memiliki beberapa fungsi. Pertama, fungsi fisiknya yaitu

untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing

sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat

pencemar. Kedua, fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan,

udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber

keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik, seperti burung, ular, kera, kelelawar,

dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Ketiga, fungsi ekonomis

6

mangrove, yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok,

papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan.

Terdapat proses perpindahan energi dalam ekosistem mangrove. Dimulai dari

mangrove mengangkut nutrien dan detritus ke perairan pantai sehingga produksi

primer perairan di sekitar mangrove cukup tinggi dan penting bagi kesuburan

perairan. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove yang mati

dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting, kemudian didekomposisi oleh

berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan secara bersama-sama

membentuk rantai makanan. Detritus selanjutnya dimanfaatkan oleh hewan akuatik

yang mempunyai tingkatan lebih tinggi, seperti bivalvia, gastropoda, berbagai jenis

juvenil ikan dan udang, serta kepiting. Keberadaan mangrove sangat penting

peranannya dalam tambak sehingga pemanfaatan mangrove untuk budidaya

perikanan harus rasional. Ahmad dan Mangampa (2000) in Gunarto (2004)

menyarankan konversi lahan mangrove menjadi areal tambak sebesar 20%.

2.2. Bandeng

Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata

Kelas : Pisces

Sub Kelas : Teleostei

Ordo : Malacopterigii

Famili : Chanidae

Genus : Chanos

Spesies : Chanos chanos (Gambar 2)

Ikan bandeng termasuk jenis ikan pelagis yang mencari makan di permukaan

dan sering dijumpai di daerah pantai. Secara geografis ikan ini hidup di daerah

tropis maupun subtropis pada batas 30°-40° lintang selatan (Martosudarmo et al.

1984).

7

Gambar 2. Ikan bandeng (Chanos chanos)

Salah satu sifat yang mencolok dari ikan ini adalah sifat euryhaline (tahan

terhadap kisaran perubahan salinitas air), yang memungkinkannya untuk dipelihara

di air payau. Ikan bandeng juga dapat dipelihara di air tawar karena sifat euryhaline

mampu hidup pada kisaran salinitas yang luas, meskipun untuk memijahkan induk

dan larva masih membutuhkan air asin. Bandeng akan memijah di tengah laut yang

salinitasnya tinggi. Nener (benih bandeng) bisa ditangkap di daerah pantai

menggunakan rumpon berupa daun kelapa, dan nener tersebut diambil dengan cara

diseser (Susanto 2005).

Ikan bandeng memiliki keunggulan komparatif dibanding spesies lainnya

antara lain bersifat herbivor dan respon terhadap pakan buatan. Dalam

pemeliharaannya, ikan bandeng dapat memanfaatkan pakan alami yang tersedia di

tambak dan juga dapat memakan pakan buatan sehingga dapat dibudidayakan secara

ekstensif dan intensif (Direktorat Jendral Perikanan 1996).

2.3. Belanak

Klasifikasi ikan belanak menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :

Domain : Eukaryota

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Class : Osteichthyes

Order : Perciformes

Family : Mugilidae

Genus : Mugil

Spesies : Mugil cephalus (Gambar 3)

8

Gambar 3. Ikan Belanak (Mugil cephalus)

Belanak adalah sejenis ikan laut tropis dan subtropis yang merupakan

penghuni dari pesisir pantai dan muara serta sungai-sungai. Ikan ini termasuk ikan

yang bersifat non predator (bukan pemangsa), jadi penyebarannya merata baik di

perairan subtropis ataupun tropis. Makanan dari ikan belanak adalah organisme-

organisme kecil yang terdapat di dasar, di dalam lumpur serta ganggang-ganggang

yang terapung.

2.4. Udang

Klasifikasi udang menurut Suwigyo et al. (1997) adalah sebagai berikut:

Phylum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Famili : Penaeidae

Sub Famili : Penaeinae

Genus : Penaeus

Spesies : Penaeus monodon (Udang windu) (Gambar 4)

9

Gambar 4. Udang windu (Penaeus monodon)

Udang termasuk omnivora dan lebih menyukai organisme yang sedang dalam

proses pembusukan. Udang memakan detritus, organisme demersal kecil, dan

bagian dari tumbuhan air yang melekat pada substrat (Munro 1975 in Puslitbang

Perikanan 1992). Makanan udang bervariasi menurut fase hidupnya. Pada fase zoea

makanan terdiri dari plankton nabati, seperti diatom dan dinoflagellata. Pada tingkat

mysis makanannya adalah plankton hewani, seperti protozoa dan rotifer. Pada

tingkat post larvae dan udang muda makanannya adalah diatom, bentos, anak tiram,

krustasea lain, cacing, dan detritus. Udang dewasa suka makan daging binatang

lunak atau moluska, cacing, udang, dan anak serangga.

2.5. Kondisi Lingkungan

2.5.1. Suhu

Suhu merupakan faktor penting dalam pengaturan proses kehidupan dan

penyebaran organisme. Kehadiran spesies tertentu dalam suatu wilayah memerlukan

kondisi suhu tertentu pula. Suhu tidak hanya berpengaruh pada kegiatan

metabolisme organisme saja, melainkan juga terhadap aktifitas senyawa-senyawa

kimia terlarut (Riley dan Skirrow 1975). Suhu bersama tekanan sangat berpengaruh

pada fungsi dinamika dan proses percampuran massa air. Untuk logam berat

sendiri, Hutagalung (2001) mengatakan bahwa suhu berkorelasi positif dengan

toksisitas logam berat, dimana peningkatan suhu akan menyebabkan toksisitas dari

suatu logam berat meningkat.

10

Perubahan suhu lingkungan yang disebabkan oleh polusi panas akan

memberikan suatu dampak terhadap keberhasilan ekosistem untuk terus hidup.

Ekosistem tropis adalah yang paling rentan terhadap pengaruh buruk yang

dihasilkan oleh penambahan panas (bahang) dan kenaikan suhu (Johanes et al. 1975

in Connel & Miller 1995). Suhu musiman di daerah tropis cenderung stabil, dengan

demikian ekosistem tropis beradaptasi pada toleransi suhu yang sempit.

Peningkatan suhu dapat menyebabkan kecepatan metabolisme dan respirasi

organisme air. Peningkatan suhu sebesar 10ºC menyebabkan konsumsi oksigen

meningkat sekitar 2-3 kali lipat. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan

fitoplankton di perairan adalah sebesar 20ºC-30

ºC

(Effendi 2003). Menurut

Poernomo (1988) in Wahab (2003) kisaran suhu yang diperbolehkan dalam

pemeliharaan udang windu adalah 26ºC-32

ºC sedangkan untuk pemeliharaan benih

bandeng di tambak temperatur air bervariasi antara 24ºC-38,5

ºC (Bardach et al.

1973 in Wahab 2003).

2.5.2. Derajat keasaman (pH)

Variasi nilai derajat keasaman (pH) pada perairan terbuka relatif stabil pada

kisaran 7,5-8,4. Nilai pH di estuari banyak dipengaruhi oleh masukan senyawa

peubah suasana asam-basa dari luar misalnya sungai. Umumnya senyawa dari luar

yang masuk ke daerah estuaria memiliki kisaran pH <6,7 atau >8,5 (National

Technical Advisory Committe-NTAC 1980). Dan kisaran pH di perairan estuari

tropis umumnya 6-9.

Nilai pH dipengaruhi oleh suhu, proses metabolisme, ion-ion dalam air dan

kandungan oksigen terlarut (Pescod 1973). Nilai pH juga mempengaruhi reaksi

kimia, sehingga sifat kimia senyawa tersebut berubah. Biasanya perubahan nilai pH

tertentu pada suatu senyawa dapat menjadi bersifat toksik atau racun bagi biota

perairan. Secara umum logam berat akan meningkat toksisitasnya pada pH rendah,

sedangkan pada pH tinggi logam berat akan mengalami pengendapan (Kadang

2005).

Derajat keasaman (pH) perairan sangat menentukan dalam usaha budidaya

ikan. Perairan dengan pH rendah akan berakibat fatal bagi kehidupan ikan, yaitu

akan memperlambat laju pertumbuhan. Sebagian besar biota akuatik sensitif

11

terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Perubahan keasaman

pada air buangan, baik ke arah alkali (pH naik) maupun ke arah asam (pH menurun),

akan sangat mengganggu kehidupan ikan dan hewan air di sekitarnya.

2.5.3. Salinitas

Salinitas permukaan dari hasil observasi ditentukan oleh meningkat dan

menurunnya evaporasi dan presipitasi, dan salinitas maksimum terjadi pada lintasan

angin dimana evaporasi tahunan lebih besar daripada presipitasi (Pickard 1970).

Secara alamiah fluktuasi salinitas di daerah pasang surut disebabkan oleh dua hal,

yaitu hujan yang lebat dan penguapan yang besar. Berbagai aktifitas manusia juga

mempengaruhi salinitas perairan laut, terutama di daerah pesisir dekat muara sungai,

misalnya bendungan sungai atau kanal.

Keadaan salinitas di daerah estuari tidak stabil, berubah dengan keadaan

pasang surut. Selain hal itu ada faktor lain yang mempengaruhi variasi salinitas,

seperti topografi estuari serta muatan dan jumlah air tawar. Sebagian besar petambak

membudidayakan udang dalam air payau (15-30 ppt). Menurut Khordi dan Gufran

(1997), ikan bandeng akan memiliki pertumbuhan optimum pada kisaran salinitas

10-35‰. Sedangkan udang windu (Penaeus monodon), udang peci (P. merguensis)

akan tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas 15-22‰.

2.5.4. Oksigen terlarut

Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar

oksigen yang terlarut di perairan dapat berfluktuasi secara harian dan musiman,

tergantung pada percampuran (mixing), pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis,

respirasi dan limbah yang masuk ke badan air (Effendi 2003). Kebutuhan

organisme akuatik terhadap oksigen terlarut sangat tinggi, sehingga kandungan

oksigen terlarut yang cukup sangat berarti bagi kehidupan organisme akuatik.

Proses dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik oleh dekomposer

dapat mengurangi kadar oksigen terlarut sehingga mencapai nol atau anaerob.

Konsentrasi oksigen yang aman bagi kehidupan harus berada diatas titik kritis dan

tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun (Pescod 1973). Proses metabolisme

dalam tubuh juga membutuhkan oksigen dalam jumlah banyak dengan

12

meningkatnya suhu perairan. Terdapat suatu hubungan antara kadar oksigen dengan

suhu, dimana semakin tinggi suhu, maka kelarutan oksigen semakin berkurang.

Peningkatan suhu sebesar 1ºC akan meningkatkan konsumsi oksigen sebesar 10%.

Hampir semua organisme akuatik menyukai kondisi dengan kelarutan oksigen > 5

mg/liter (Effendi 2003).

2.6. Karakteristik Logam Berat

Logam berasal dari kerak bumi yang berupa bahan-bahan murni, organik, dan

anorganik. Air sering tercemar oleh berbagai komponen anorganik, diantaranya

berbagai jenis logam berat yang berbahaya, yang beberapa diantaranya banyak

digunakan dalam berbagai keperluan sehingga diproduksi secara kontinyu dalam

skala industri. Industri-industri tersebut harus mendapatkan pengawasan yang ketat

agar tidak mencemari dan membahayakan lingkungan sekitar.

Pencemaran logam berat sangat merugikan ikan secara fisik dan fisiologik,

seperti kerusakan vertebral, kerusakan lamella sekunder pada insang (Irianto 2005).

Logam juga dapat masuk kedalam tubuh dan dapat mengumpul di dalam tubuh suatu

organisme dan tetap tinggal di dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama sebagai

racun yang terakumulasi (Kristanto 2004).

Logam berat adalah unsur-unsur dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3,

terletak di sudut kanan bawah pada sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi

terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari periode 4 hingga 7.

Berdasarkan sifat kimia dan fisiknya, maka tingkat atau daya racun logam berat

terhadap hewan air pada LC-50 selama 48 jam, akibat pengaruh sinergik antar

logam, efek sublethal, bioakumulasi, dan bahayanya terhadap orang yang

mengkonsumsi ikan, maka dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut,

Merkuri (Hg), Kadmium (Cd), Emas (Au), Nikel (Ni), Timah Hitam (Pb), Arsen

(Ar), Selenium (Sn), dan Seng (Zn) (Darmono 1995). Namun Kristanto (2004)

menyebutkan bahwa logam berat yang berbahaya dan sering mencemari lingkungan,

yang utama adalah Merkuri (Hg), Timbal (Pb), Arsenik (Ar), Kadmium (Cd),

Kromium (Cr), dan Nikel (Ni). Sedangkan Irianto (2005) mengatakan bahwa ada

empat logam berat yang paling intensif dipelajari sifat toksisitasnya, yaitu Cu, Hg,

Cd, dan Zn.

13

Sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok,

yaitu bersifat toksik tinggi, sedang, dan rendah. Logam berat yang bersifat toksik

tinggi terdiri dari unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Untuk logam berat yang

termasuk kedalam golongan toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co.

Sedangkan logam berat yang termasuk ke dalam golongan toksik rendah yaitu unsur

Mn dan Fe. Sifat-sifat logam berat menurut Moore dan Ramamoorthy (1984) yaitu

diantaranya sulit didegradasi secara alami, dapat terakumulasi dalam organisme,

memiliki EC10 dan LC50-96 jam yang rendah, memiliki waktu paruh yang tinggi

dalam tubuh biota laut, dan faktor konsentrasi (rasio antara kadar polutan dalam

tubuh dan kadar polutan di lingkungan) yang besar dalam tubuh biota laut.

2.6.1. Timbal (Pb)

Logam Pb secara alami tersebar luas pada batu-batuan dan lapisan kerak bumi

(Clark 1986). Logam ini termasuk ke dalam kelompok logam-logam golongan IV-A

dengan nomor atom 82 dan bobot 207,2. Penyebaran Pb di bumi sangat sedikit yaitu

0,0002% dari seluruh lapisan bumi. Logam Pb terdapat di perairan, baik secara

alamiah ataupun sebagai dampak dari aktifitas manusia. Logam ini masuk ke

perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Disamping itu,

proses korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan gelombang dan angin, juga

merupakan salah satu jalur sumber Pb yang akan masuk ke dalam perairan (Palar

2004).

Timbal dan persenyawaannya digunakan dalam industri baterai sebagai bahan

yang aktif dalam pengaliran arus elektron. Kemampuan timbal dalam membentuk

alloy dengan logam lain telah dimanfaatkan untuk meningkatkan sifat metalurgi ini

dalam penerapan yang sangat luas, contohnya digunakan untuk kabel listrik,

konstruksi pabrik-pabrik kimia, kontainer dan memiliki kemampuan tinggi untuk

tidak mengalami korosi (Palar 2004). Selain itu, Pb dapat digunakan sebagai zat

tambahan bahan bakar dan pigmen timbal dalam cat yang merupakan penyebab

utama peningkatan kadar Pb di lingkungan (Darmono 1995). Hampir 10% dari total

produksi tambang logam timbal digunakan untuk pembuatan tetraethyl lead atau

TEL yang dibutuhkan sebagai bahan penolong dalam proses produksi bahan bakar

bensin karena dapat mendongkrak (boosting) nilai oktan bahan bakar sekaligus

14

berfungsi sebagai antiknocking untuk mencegah terjadinya ledakan saat

berlangsungnya pembakaran dalam mesin.

Ikan yang hidup dalam air yang mengandung logam berat Pb, pada hatinya

akan ditemukan akumulasi logam berat. Besarnya kandungan logam berat dalam air

juga mempengaruhi besarnya akumulasi logam berat dalam hati ikan. Semakin

tinggi kandungan logam berat dalam air, akumulasi logam berat dalam hati ikan

akan semakin tinggi pula.

Konsentrasi Pb yang mencapai 188 mg/L, dapat membunuh ikan. Sedangkan

krustase setelah 245 jam akan mengalami kematian, apabila pada badan air

konsentrasi Pb adalah 2,75-49 mg/L (Palar 2004). Direktorat Jenderal Pengawasan

Obat dan Makanan (POM) No. 03725/B/SK/VII/89 membatasi kandungan logam

berat Pb maksimum pada sumberdaya ikan dan olahannya adalah adalah 2,0 ppm.

2.6.2. Kadmium (Cd)

Kadmium (Cd) adalah salah satu logam berat dengan penyebaran yang sangat

luas di alam, logam ini bernomor atom 48, berat atom 112,40 dengan titik cair

321oC dan titik didih 765

oC. Di alam Cd bersenyawa dengan belerang (S) sebagai

greennocckite (CdS) yang ditemui bersamaan dengan senyawa spalerite (ZnS).

Kadmium merupakan logam lunak (ductile) berwarna putih perak dan mudah

teroksidasi oleh udara bebas dan gas amonia (NH3) (Palar 2004). Di perairan, Cd

akan mengendap karena senyawa sulfitnya sukar larut (Bryan 1976). Menurut Clark

(1986) sumber kadmium yang masuk ke perairan berasal dari:

1. Uap, debu, dan limbah dari pertambangan timah dan seng.

2. Air bilasan dari electroplating.

3. Besi, tembaga, dan industri logam non ferrous yang menghasilkan abu dan uap

serta air limbah dan endapan yang mengandung kadmium.

4. Seng yang digunakan untuk melapisi logam mengandung kira-kira 0, 2% Cd

sebagai bahan ikutan (impurity); semua Cd ini akan masuk ke perairan melalui

proses korosi dalam kurun waktu 4-12 tahun.

5. Pupuk phosfat dan endapan sampah.

Penggunaan Cd yang paling utama adalah sebagai stabilizer (penyeimbang)

dan pewarna pada plastik dan electroplating (penyepuh/pelapisan logam). Selain itu

15

digunakan pula pada penyolderan dan pencampuran logam serta industri baterai.

Akumulasinya dalam air tanah antara lain diakibatkan oleh kegiatan electroplating

(pelapisan emas dan perak), pengerjaan bahan-bahan dengan menggunakan

pigmen/zat warna lainnya, tekstil dan industri kimia (Darmono 1995).

Logam kadmium atau Cd akan mengalami proses biotransformasi dan

bioakumulasi dalam organisme hidup (tumbuhan, hewan dan manusia). Dalam biota

perairan, jumlah logam yang terakumulasi akan terus mengalami peningkatan

(biomagnifikasi) dan dalam rantai makanan biota yang tertinggi akan mengalami

akumulasi Cd yang lebih banyak. Keracunan kadmium bisa menimbulkan rasa

sakit, panas pada bagian dada, penyakit paru-paru akut, dan menimbulkan kematian.

Salah satu contoh kasus keracunan akibat pencemaran Cd adalah timbulnya penyakit

itai-itai di Jepang (Palar 1994).

2.3.1. Tembaga (Cu)

Tembaga (Cu) memiliki berat atom 63,5 densitas 8,90 dan titik cair 10840C.

Dalam keadaan normal logam Cu merupakan logam esensial bagi hewan air.

Tembaga merupakan salah satu logam yang bermanfaat dalam pembentukan

haemosianin sistem darah dan enzimatik hewan air. Penyerapan Cu dilakukan

melalui insang dan saluran pencernaan (Darmono 1995).

Tembaga banyak digunakan pada pabrik yang memproduksi alat-alat listrik,

gelas dan zat warna yang biasanya bercampur dengan logam lain, seperti Ag, Cd,

Sn, dan Zn. Garam tembaga banyak digunakan dalam bidang pertanian, misalnya

larutan bordeaux yang mengandung 1-3% CuSO4. Larutan ini digunakan untuk

membasmi siput sebagai inang dari parasit cacing, juga untuk mengobati penyakit

kuku pada domba (Darmono 1995).

Gejala yang timbul pada keracunan Cu akut adalah mual, muntah-muntah,

sakit perut, hemolisis, nefrosis, kejang, dan akhirnya kematian. Pada keracunan

kronis, Cu tertimbun dalam hati dan menyebabkan hemolisis. Hemolisis terjadi

karena tertimbunnya H2O2 dalam sel darah merah sehingga terjadi oksidasi dari

lapisan sel yang mengakibatkan sel jadi pecah. Defisiensi Cu dapat menyebabkan

anemia dan pertumbuhan terhambat (Darmono 1995).

16

2.7. Cara Penyerapan Logam Berat oleh Organisme

Badan air merupakan tempat buangan limbah industri yang diperkirakan

mengandung logam berat yang dapat mengganggu kehidupan di dalamnya. Logam

berat secara langsung atau tidak langsung akan masuk ke dalam tubuh manusia

melalui rantai makanan. Cara penyerapan logam berat oleh ikan umumnya

mengambil logam berat melalui insang, kemudian ditransfer melalui darah ke ginjal.

Bentuk logam berat anorganik disimpan dalam jaringan, kemudian ditransfer ke

ginjal dan dieksresikan. Sedangkan logam organik tidak dieksresikan, tetapi

terakumulasi dalam jaringan otot. Selain itu, masuknya logam berat dalam tubuh

ikan juga dapat melalui rantai makanan.

Menurut Darmono (1995), ada tiga teori mengenai mekanisme penyerapan

logam berat dalam jaringan organisme, yaitu :

1. Penyerapan logam melalui mekanisme pengangkutan yang berhubungan dengan

mekanisme osmoregulasi, yaitu pengaturan tekanan osmosis oleh organisme

terhadap air di sekitarnya.

2. Pengikatan ion-ion logam menyentuh bagian tertentu dari permukaan jaringan

dan masuk ke dalam sitoplasma.

3. Logam dalam bentuk kristal kecil atau larutan yang segera ditangkap oleh sel

epitel dan secara endositosis logam tersebut dibawa masuk dan dilepas ke

sitoplasma.

Melalui proses biologis (biotransformasi), logam berat yang terakumulasi

dalam tubuh organisme hidup akan terjadi perpindahan, kemudian terjadi

peningkatan kadar logam berat pada tingkat pemangsa yang lebih tinggi yang

disebut magnifikasi biologis (biomagnifikasi). Secara tidak langsung proses

perikanan atau pertanian dapat tercemar oleh logam berat. Akumulasi biologis dapat

terjadi melalui absorbsi langsung terhadap logam berat yang terdapat dalam badan

air, sehingga organisme yang hidup pada perairan tercemar berat oleh logam berat,

jaringan tubuhnya akan mengandung kadar logam berat yang tinggi pula.

Logam berat yang masuk ke dalam tubuh ikan dan udang, sebagian akan

dieksresikan dan sebagian lagi akan mengalami proses bioakumulasi pada jaringan

organ-organ tertentu. Besarnya kadar logam berat dalam air juga mempengaruhi

besarnya akumulasi logam berat dalam hati ikan. Semakin tinggi kadar logam berat

17

dalam air, semakin tinggi pula akumulasi logam berat di dalam hati ikan. Waktu

pemaparan logam berat tidak selalu menambah akumulasi logam berat di dalam hati

ikan. Logam berat yang masuk ke dalam hati ikan dan udang menyebabkan

gangguan fisiologis, sehingga ikan berusaha mengeluarkannya sebagai bagian dari

proses detoksifikasi. Salah satu mekanisme detoksifikasi adalah mengubah zat

menjadi bentuk senyawa yang mudah dikeluarkan dari dalam tubuh.

2.8. Pengaruh Logam Berat Terhadap Biota Perairan

Keberadaan logam berat dalam perairan akan berpengaruh negatif terhadap

kehidupan biota. Logam berat yang terikat dalam tubuh organisme akan

mempengaruhi aktivitas dari organisme tersebut. Bagi ikan, udang, dan moluska zat

pencemar akan mempengaruhi saraf, sifat genetis atau fisiologis serta perilaku

seperti food habit migration. Pengaruh logam berat terhadap biota umumnya terjadi

dalam periode telur, larva atau juwana, sehingga menghambat pertumbuhan.

Menurut Jones (1964), ikan yang mengakumulasi logam Pb, Zn, dan Cu pada

insangnya akan terbentuk lapisan mukus (lendir), sehingga ikan mengalami keadaan

kekurangan oksigen yang disebut Coagulation film anoxia. Pembentukan lapisan

mukus tersebut disebabkan terjadinya reaksi penolakan dalam insang ikan terhadap

logam berat yang diabsorpsi. Organ hati yang mengakumulasi logam Pb akan

mengalami kerusakan jaringan hati ikan, yaitu degenerasi lemak, hiperemi

(pembengkakan), dan nekrosa. Makin tinggi kadar logam berat makin tinggi

kerusakannya.

2.9. Batas Aman Konsumsi atau Acceptable Daily Intake

Asupan harian dapat diterima atau ADI adalah ukuran jumlah suatu zat

tertentu (awalnya diterapkan untuk aditif makanan, kemudian juga untuk residu obat

hewan atau pestisida) dalam air minum atau makanan yang dapat dicerna pada

satuan hari tanpa resiko kesehatan yang berbahaya. Menurut WHO, batas aman

konsumsi dapat dirumuskan sebagai berikut:

18

Keterangan:

Baku mutu Pb = 25 g/ kg berat tubuh/minggu

Baku mutu Cd = 7 g/ kg berat tubuh/minggu

Baku mutu Cu = 87,5 g/ kg berat tubuh/minggu