Upload
nguyenkhuong
View
233
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan Morfologi
Genus Artemia mempunyai beberapa spesies, antara lain Artemia salina Leach, A.
parthenogenetica, A. franciscana Kellog, A. urmiana Gunther, A. tunisiana Bowen, A.
persimilis Prosdocimi dan Piccinelli, A. monica Verril, dan A. odesssensisr. Artemia
merupakan zooplankton yang diklasifikasikan ke dalam filum Arthropoda dan kelas
Crustacea. Secara lengkap klasifikasi Artemia menurut Bougis (1979) in Isnansetyo
dan Kurniastuty (1995) adalah sebagai berikut.
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Subkelas : Branchiopoda
Ordo : Anostraca
Famili : Artemidae
Genus : Artemia
Spesies : Artemia salina
Artemia diperjualbelikan dalam bentuk telur dorman (istirahat) yang disebut
dengan kista. Kista tersebut berbentuk bulatan–bulatan kecil berwarna kelabu
kecoklatan dengan diameter berkisar antara 200–350 mikron. Satu gram kista
Artemia kering rata–rata terdiri dari 200.000–300.000 butir kista. Kista yang
berkualitas baik akan menetas sekitar 18–24 jam apabila diinkubasikan dalam air
bersalinitas 5–70‰. Terdapat beberapa tahap (proses) penetasan Artemia, yaitu
tahap hidrasi, tahap pecah cangkang, dan tahap payung atau tahap pengeluaran. Pada
tahap hidrasi terjadi penyerapan air sehingga kista yang diawetkan dalam bentuk
kering tersebut akan menjadi bulat dan aktif melakukan metabolisme. Tahap
selanjutnya adalah tahap pecah cangkang, disusul dengan tahap payung yang terjadi
beberapa saat sebelum nauplius keluar dari cangkang. Tahap penetasan tersebut
dapat dilihat pada Gambar 2 (Sorgeloos 1980).
Artemia yang baru menetas disebut nauplius. Nauplius berwarna oranye,
berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron, dan
berat 0,002 mg. Ukuran–ukuran tersebut sangat bervariasi, tergantung pada galur
(strain). Nauplius mempunyai sepasang antenulla dan sepasang antenna. Antenulla
berukuran lebih kecil dan pendek dibandingkan dengan antenna. Selain itu, di antara
antenulla terdapat bintik mata yang disebut dengan ocellus. Sepasang mandibulla
4
rudimenter terdapat di belakang antenna. Labrum (semacam mulut) terdapat di
bagian ventral. Morfologi nauplius disajikan pada Gambar 3 (Sorgeloos 1980).
Gambar 2. Tahapan Penetasan Artemia (Sorgeloos 1980)
Gambar 3. Morfologi nauplius Artemia (1) bintik mata (2) antennula (3) antenna
(4) calon thoracopoda (5) saluran pencernaan (6) mandibula (Sorgeloos
1980)
Nauplius berangsur–angsur mengalami perkembangan dan perubahan
morfologis dengan 15 kali pergantian kulit hingga menjadi dewasa. Setiap tingkatan
pergantian kulit disebut dengan instar, sehingga dikenal instar I hingga instar XV.
Setelah cadangan makanan yang berupa kuning telur habis dan saluran pencernaan
berfungsi, nauplius mengambil makanan ke dalam mulutnya dengan menggunakan
setae pada antenna. Artemia mulai mengambil makanan setelah mencapai instar II
5
(Sorgeloos 1980). Sekitar 24 jam setelah menetas, nauplius instar I akan berubah
menjadi instar II (Mudjiman 1989).
Saat instar kedua, pada pangkal antenanya tumbuh gnatobasen setae, suatu
struktur yang menyerupai duri menghadap ke belakang (Isnansetyo dan Kurniastuty
1995). Perubahan morfologis yang sangat mencolok terjadi setelah masuk instar X.
Antenna mengalami perubahan sesuai dengan jenis kelaminnya. Thoracopoda
mengalami diferensiasi menjadi tiga bagian, yaitu telopodite dan endopodite yang
berfungsi sebagai alat gerak dan penyaring makanan, serta eksopodite yang berfungsi
sebagai alat pernafasan (Lavens and Sorgeloos 1996).
Artemia dewasa (Gambar 4) biasanya berukuran panjang 8–10 mm yang
ditandai dengan adanya tangkai mata yang jelas terlihat pada kedua sisi bagian kepala,
antenna sebagai alat sensori, saluran pencernaan yang terlihat jelas, dan 11 pasang
thoracopoda. Pada Artemia jantan, antenna berubah menjadi alat penjepit (mascular
grasper) dan sepasang penis di bagian belakang tubuh. Pada Artemia betina, antenna
mengalami penyusutan dengan sepasang indung telur atau ovari terdapat di kedua sisi
saluran pencernaan di belakang thoracopoda. Telur yang sudah matang akan
disalurkan ke sepasang kantong telur atau uterus (Sorgeloos 1980).
Artemia dewasa dapat hidup selama beberapa bulan (sampai 6 bulan). Di bawah
kondisi optimal, Artemia dapat tumbuh dari nauplius sampai dewasa hanya dalam
waktu 8 hari (Lavens and Sorgeloos 1996) atau 14 hari (Mudjiman 1989). Sementara
itu, setiap 4–5 hari sekali mereka dapat memperbanyak diri secara cepat, dengan
menghasilkan anak (pada kondisi lingkungan yang baik) dengan rata-rata 300
nauplius atau bertelur (pada lingkungan yang buruk) sebanyak 50–300 butir.
Menurut Harefa (1997), perkembangan Artemia dari proses penetasan sampai
menjadi individu dewasa membutuhkan waktu sekitar 7–10 hari. Artemia dewasa bila
diletakkan di air tawar akan bertahan 2–3 jam. Untuk sebagian besar strain, toleransi
salinitas maksimum adalah 200‰. Artemia mencapai tingkat dewasa dalam 16-19
hari ketika dibudidayakan pada kolam air garam (Kulasekarapandian and
Ravichandran 2003 in Soundarapandian and Saravanakumar 2009). Menurut
Soundarapandian and Saravanakumar (2009), salinitas air laut (35-55‰) yang sesuai
untuk budidaya Artemia ditunjukkan dengan kelangsungan hidup yang lebih tinggi
(80%), ukuran yang lebih besar (1,2 cm) dan durasi yang lebih pendek (14 hari) untuk
mencapai tingkat dewasa. Menurut Vos (1979), morfologi dan penampilan umum
dewasa berubah pada salinitas yang berbeda. Semakin tinggi salinitas, semakin kecil
clasper pada Artemia jantan. Pada salinitas tinggi juga, tubuh menjadi lebih panjang
6
dan lebih kurus. Istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada
Lampiran 2.
Gambar 4. Morfologi Artemia dewasa (Sorgeloos 1980)
2.2. Artemia sebagai pakan alami
Artemia atau “brine shrimp” tergolong famili Artemiidae yang merupakan salah
satu jenis pakan alami yang sangat penting dalam pembenihan ikan laut, Crustacea,
ikan konsumsi air tawar, dan ikan hias. Hal ini dikarenakan Artemia memiliki nilai gizi
yang tinggi dan ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut hampir seluruh jenis larva
ikan.
Artemia memiliki posisi yang unik dalam sistem akuakultur dan sebagai pakan
hidup yang lebih dari 85% spesies yang dibudidayakan di seluruh dunia. Artemia
memiliki beberapa karakteristik, yang membuatnya menjadi ideal untuk kegiatan
budidaya. Artemia mudah untuk dipelihara, adaptasi yang lebar terhadap kondisi
lingkungan, non-selective filter feeder, mampu tumbuh pada padat tebar yang sangat
tinggi. Selain itu, Artemia juga memiliki nilai nutrisi yang tinggi, efesiensi konversi
yang tinggi, waktu untuk menghasilkan keturunan yang cepat, rataan fekunditas yang
tinggi, dan masa hidup yang sangat panjang. Artemia terdistribusi sebagian besar pada
danau hypersaline, kolam air asin, dan laguna. Artemia berkembang dengan sangat
baik pada air laut alami dan memiliki toleransi salinitas pada kisaran 3-300‰.
Sebagian besar peneliti mencoba untuk membudidayakan Artemia pada salinitas yang
lebih tinggi (>70‰) untuk memproduksi biomasa dan percobaan dilakukan hanya
7
pada kolam air garam (Gilchrist 1960; Arna 1987; Kulasekarapandian and
Ravichandran 2003 in Soundarapandian and Saravanakumar 2009).
Pembudidaya memperhatikan dua hal, yaitu menyediakan organisme dengan
ukuran yang tepat sebagai pakan pertama larva dan menyediakan jumlah yang cukup
dengan kelangsungan hidup yang tinggi dan pertumbuhan yang cepat mencapai
tingkat dewasa sehingga dapat digunakan untuk pakan organisme (Arulvasu and
Munuswamy 2009).
Naupli Artemia salina instar I yang baru menetas umumnya digunakan sebagai
pakan hidup untuk larva ikan. Selain dalam bentuk naupli, A. salina juga digunakan
dalam bentuk dewasa. Tingkatan naupliar (contohnya. instar II, III, atau metanauplii)
tidak sesuai lagi sebagai pakan larva ikan, karena memiliki panjang 50% lebih besar,
berenang lebih cepat dan mengalami penurunan nilai nutrisi (Watanabe et al. 1987;
Dye 1980; Sorgeloos et al. 2001 in John et al. 2005). Oleh karena itu, penyediaan
nauplius A. salina dilakukan melalui penetasan harian dari kista yang langsung
diberikan untuk larva ikan. Selain itu, untuk mengurangi waktu kerja laboran dan
proses yang tidak praktis, terdapat teknik lain berupa penyimpanan dingin dari nauplii
A. salina yang dilakukan pada strain A. salina yang berbeda (Baust and Lawrence
1980a,b; Leger et al. 1983 in Soundarapandian and Saravanakumar 2009).
Menurut Mudjiman (1989), kedudukan Artemia dalam dunia budidaya ikan
memiliki peranan penting, bukan hanya telurnya, melainkan juga Artemia dewasa.
Artemia dewasa merupakan pakan alami yang baik, terutama untuk pembesaran dan
pematangan gonad induk. Kandungan protein pada Artemia dewasa lebih besar
daripada anak Artemia (nauplius). Kandungan protein pada anak Artemia (nauplius)
adalah 42% dan Artemia dewasa 60% dari berat kering. Selain itu, kandungan lemak
Artemia dewasa lebih kecil dari nauplius Artemia.
Biomasa Artemia merupakan permintaan yang tinggi sebagai sumber dari pakan
yang berkualitas tinggi untuk budidaya ikan dan Crustacea (Persoone and Sorgeloos
1982 in Royan et al. 1990). Artemia dewasa dapat menjadi sumber berharga dengan
kualitas protein tinggi sebagai pakan hewan. Selain itu, pembesaran dan pematangan
beberapa spesies penaeid lebih efektif menggunakan Artemia dewasa. Rataan
pertumbuhan yang baik diamati pada Penaeus indicus, P. monoceros, dan P. monodon
ketika diberi pakan hidup Artemia dewasa (Royan et al. 1987 in Royan et al. 1990).
Menurut Mudjiman (1989), Kandungan nutrisi Artemia terdiri dari protein,
karbohidrat, lemak, air, dan abu. Protein merupakan kandungan terbesar, yaitu antara
40-60%. Kandungan protein yang tinggi inilah yang menyebabkan Artemia digunakan
8
sebagai pakan alami yang sulit digantikan dengan pakan yang lain. Menurut hasil
penelitian Fakultas Peternakan (1994), kandungan protein di dalam Artemia dapat
mencapai 58,58 %. Kandungan nutrisi lainnya adalah lemak 6,15%, karbohidrat
30,15%, abu 5,12%, dan kandungan energi 5,02 kkal/g.
Selain Artemia, terdapat jenis zooplankton yang dapat dimanfaatkan sebagai
pakan alami berbagai jenis ikan atau hewan air lainnya, misalnya Daphnia sp. Namun,
kandungan nutrisi Daphnia sp. lebih kecil jika dibandingkan dengan Artemia
(Mudjiman 1989). Secara umum larva-larva ikan-ikan laut berukuran sangat kecil
dengan ukuran mulut yang kecil pula, misalnya ikan kerapu (Kohno et al. 1997 in
Suwirya et al. 2001). Keadaan ini menyulitkan dalam manajemen pakan, dimana
secara fisik diperlukan pakan berukuran kecil, seperti rotifer tipe-SS. Rotifer dewasa
tipe-S dan tipe-L masih terlalu besar untuk stadia awal larva dari kebanyakan spesies
ikan kerapu (Lim 1993 in Suwirya et al. 2001). Asam lemak esensial bagi ikan-ikan
laut adalah kelompok n-3 HUFA (Izquierdo et al. 1989). Untuk menyesuaikan
kandungan asam lemak pakan hidup sehingga dapat memenuhi kebutuhan larva ikan
telah dikembangkan dengan metode pengkayaan, baik dengan menggunakan plankton,
pakan buatan, atau langsung dengan emulsi minyak yang mempunyai kandungan asam
lemak yang tinggi (Teshima et al. 1981 in Suwirya et al. 2001). Menurut Watanabe et
al. (1983b), komposisi asam lemak nauplii Artemia salina lebih besar daripada
komposisi asam lemak rotifer (Brachionus plicatilis) yang dikultur dengan pakan yang
berbeda.
2.3. Ekologi, Fisiologi, dan Reproduksi
Artemia terdistribusi di seluruh dunia, terdapat pada setiap benua kecuali
Antartika. Artemia ditemukan di danau bergaram dan daerah bergaram komersial.
Artemia dapat mentolerir salinitas naik lima kali lebih tinggi daripada air laut (Browne
and MacDonald 1982). Udang kecil ini mendiami danau hypersaline dan kolam yang
memiliki variasi komposisi ionik, suhu, dan altitute (ketinggian) (Triantaphyllidis et al.
1998). Populasi Artemia ditemukan di sekitar 600 danau garam alami dan danau
buatan manusia yang tersebar di seluruh zona beriklim tropis, subtropis, dan iklim
sedang, sepanjang garis pantai (Van Stappen 2002 in El-Gamal 2010).
Kehidupan Artemia dipengaruhi oleh faktor–faktor eksternal, yaitu salinitas,
oksigen terlarut, suhu, dan pH. Suhu di perairan dipengaruhi oleh musim, lintang,
ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran, dan
9
kedalaman badan air. Perubahan suhu air berpengaruh terhadap sifat fisika, kimia,
dan biologi perairan. Selain itu, peningkatan suhu juga dapat menyebabkan
peningkatan laju metabolisme dan respirasi. Menurut Nontji (1993), suhu yang sangat
ekstrim serta perubahannya dapat berdampak buruk bagi kehidupan organisme
akuatik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Suhu air permukaan di perairan
Indonesia umumnya berkisar antara 28–31 °C. Menurut Mudjiman (1989), Artemia
secara umum tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25–30 °C .
Suhu merupakan parameter lingkungan yang mudah berubah sesuai dengan
perbedaan tempat dan waktu. Suhu secara langsung berpengaruh terhadap proses
metabolisme organisme air. Pada suhu tinggi, metabolisme terpacu; sedangkan pada
suhu rendah, metabolisme lambat. Suhu air yang tinggi dan terlalu rendah
mengakibatkan oksigen terlarut dalam air menjadi rendah (Supriya et al. 2002).
Menurut Nontji (2007), salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam gram)
yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan ‰. Unsur–
unsur kimia terlarut dalam air laut, sebagian besar terdiri atas unsur makro (~95%)
dan hanya sebagian kecil yang merupakan unsur mikro (~5%). Oleh karena itu,
kandungan unsur makro (Na+, Mg2+, K+, Ca2+, Cl–, SO42–) sangat menentukan salinitas
suatu perairan. Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai.
Salinitas merupakan parameter yang penting untuk mengontrol pertumbuhan
dan kelangsungan hidup dari Artemia. Artemia merupakan organisme euryhaline,
tetapi Artemia merasa nyaman ketika berada pada salinitas yang optimum. Pada
lingkungan yang alami, temperatur (suhu), makanan, dan salinitas merupakan faktor
penting yang mempengaruhi populasi Artemia (Wear and Huslett 1987 in
Soundarapandian and Saravanakumar 2009). Menurut Vanhaecke et al. (1987) in
Kaiser et al. (2006), salinitas merupakan faktor lingkungan paling penting yang
menentukan sebaran Artemia dengan populasi yang ditemukan di danau garam pada
tingkat salinitas sekitar 40‰, dimana ikan dan banyak predator invertebrata tidak
ada. Organisme hypersaline beradaptasi pada salinitas tinggi dengan beberapa
mekanisme fisiologi, termasuk osmoregulasi, sintesis, dan akumulasi berbagai larutan
yang cocok. Artemia merupakan makrozooplankton yang dominan yang terdapat pada
lingkungan hypersaline (Wurtsbaugh and Gliwicz 2001 in Eimanifar and Mohebbi
2007).
Salinitas yang diperlukan agar Artemia dapat menghasilkan kista bervariasi
tergantung pada strainnya; pada umumnya membutuhkan salinitas di atas 100‰.
10
Penetasan kista Artemia membutuhkan salinitas kurang dari 85‰. Apabila salinitas
air yang digunakan untuk penetasan tersebut lebih dari 85‰, maka kista tidak akan
menetas. Hal ini disebabkan oleh tekanan osmosis di luar kista lebih besar, sehingga
kista tidak dapat menyerap air yang diperlukan untuk proses metabolisme (Mudjiman
1989). Pada usaha penetasan kista, umumnya digunakan air laut (salinitas 30–33‰).
Namun pada penelitian Vanhaeckeet et al. in Purwanti (2004) ditemukan laju
penetasan yang lebih tinggi dengan menggunakan salinitas lebih rendah dari air laut.
Menurut Sorgeloos (1980), hal tersebut terjadi karena pada salinitas yang lebih rendah
dari air laut terjadi penurunan kebutuhan energi untuk memecahkan cangkang.
Dengan demikian, proses penetasan kista lebih mudah. Salinitas yang dibutuhkan
untuk penetasan kista Artemia secara optimal adalah 20–30‰ (Direktorat Jendral
Perikanan dan Kelautan 2003). Pertumbuhan biomassa Artemia yang baik terjadi pada
kisaran salinitas 30–50‰ (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Salinitas dapat berfluktuasi karena pengaruh penguapan dan hujan. Salinitas
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan zooplankton. Kisaran
salinitas yang tidak sesuai berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup dan
tingkat pertumbuhannya (Supriya et al. 2002).
Oksigen terlarut (Dissolved oxygen/DO) merupakan jumlah gas oksigen yang
ditemukan terlarut di dalam air (mg/l). Jumlah oksigen yang terlarut ini tergantung
pada suhu, salinitas, tekanan atmosfer, dan turbulensi air. Semakin tinggi temperatur
dan salinitas perairan, semakin rendah tingkat kelarutan oksigen dalam air. Lapisan
atas permukaan laut dalam keadaan normal mengandung oksigen terlarut sebesar 4,5–
9,0 mg/l. Selain temperatur dan salinitas, oksigen terlarut juga dipengaruhi oleh
tekanan hidrostatik. Semakin dalam laut, semakin rendah kandungan oksigen yang
terlarut dalam perairan tersebut (Sanusi 2006).
Oksigen terlarut dalam perairan sangat dibutuhkan oleh semua organisme yang
ada di dalamnya untuk pernafasan dalam rangka melangsungkan metabolisme dalam
tubuh mereka. Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari difusi, hasil fotosintesa
fitoplankton dan adanya aliran air baru (Supriya et al. 2002).
Dalam penentuan persyaratan pemeliharaan zooplankton, kandungan oksigen
perairan bukan merupakan faktor utama. Kebutuhan akan oksigen terlarut tersebut
dapat dipenuhi dari sumber pengudaraan tersendiri, yaitu dengan menggunakan
blower (Supriya et al. 2002).
Toleransi yang ekstrim terhadap konsentrasi oksigen terlarut adalah sifat umum
untuk beberapa spesies Artemia yang sukses menghadapi kondisi buruk dibawah
11
kondisi ekstrim (Amat 1985 in Nunes et al. 2005). Artemia termasuk hewan
euroksibion, yaitu hewan yang mempunyai kisaran toleransi yang lebar terhadap
kandungan oksigen. Kandungan oksigen yang baik untuk pertumbuhan Artemia
adalah di atas 3,0 mg/l. Untuk kehidupan biota laut secara layak oksigen terlarut
harus lebih besar dari 5,0 mg/l (Kep.51/MENLH/2004) (Lampiran 1).
Salah satu parameter lingkungan penting yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan keberadaan organisme air termasuk zooplankton adalah pH.
Menurut Boyd (1982), dekomposisi bahan organik dan respirasi akan menurunkan
kandungan oksigen terlarut, yang berdampak pada meningkatnya kadar CO2 bebas,
sehingga mengakibatkan menurunnya pH air.
Sverdrup et al. (1960), mengatakan bahwa konsentrasi ion hidrogen dari air laut
umumnya bersifat basa. Ion H+ dan OH– merupakan bagian dari kesetimbangan,
beberapa pengertian dari sistem karbon dioksida memerlukan pengetahuan dari
konsentrasi mereka. Air hasil sulingan murni dibagi menjadi ke dalam ion hidrogen
dan hidroksil:
H2O H+ + OH–
Jika konsentrasi ion H+ melebihi ion OH–, maka larutan adalah asam, dan jika
lebih sedikit adalah basa. Konsentrasi ion hidrogen dinyatakan secara normal sebagai
kesetimbangan per liter dan dinyatakan sebagai :
pH = log +
1
[H ]
Jadi, larutan netral memiliki pH sekitar 7, larutan asam memiliki pH kurang dari
7, dan larutan basa memiliki pH lebih dari 7.
Kondisi pH air juga mempengaruhi kehidupan Artemia. Artemia membutuhkan
pH air yang sedikit bersifat basa untuk kehidupannya. Nilai pH air sangat berpengaruh
terhadap efisiensi penetasan kista. Efesiensi penetasan kista akan menurun pada pH
yang kurang dari 8 (Mudjiman 1989). Artemia dapat tumbuh dengan baik pada pH air
yang berkisar antara 7,5–8,5 (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Untuk kehidupan
biota laut secara layak nilai pH harus dalam kisaran 7,0–8,5 (Kep.51/MENLH/2004)
(Lampiran 1).
Amonia (NH3) yang terkandung dalam suatu perairan merupakan salah satu
hasil dari proses penguraian bahan organik. Amonia ini berada dalam dua bentuk,
yaitu amonia tak berion (NH3) dan amonia berion (NH4). Amonia tak berion bersifat
racun, sedangkan amonia berion bersifat tidak beracun. Tingkat peracunan amonia
12
tak berion berbeda untuk setiap species, tetapi pada kadar 0,6 ppm dapat
membahayakan organisme tersebut (Boyd 1982).
Efesiensi penetasan kista Artemia dipengaruhi oleh suhu, salinitas, pH, oksigen
terlarut dan intensitas cahaya. Pengaruh intensitas cahaya terhadap 4 strain geografi
dari kista Artemia menunjukkan bahwa kista Great Salt Lake memiliki perbedaan yang
minimum dalam derajat penetasan dengan perlakuan intensitas cahaya berbeda
(Sorgeloos 1973 in Vanhaecke et al. 1981).
Amonia biasanya timbul akibat kotoran dan hasil aktivitas mikroorganisme
dalam proses dekomposisi bahan organik yang kaya akan nitrogen. Bahan organik
yang terkandung di dalam air berasal dari organisme yang mati, hasil ekskresi
(kotoran organisme), dan sisa pakan. Tingginya kadar amonia biasanya diikuti
naiknya kadar nitrit. Tingginya kadar nitrit terjadi akibat lambatnya perubahan dari
nitrit ke nitrat oleh bakteri Nitrobacter (Supriya et al. 2002).
Artemia memiliki ketahanan terhadap kandungan amonia yang tinggi. Menurut
Sorgeloos (1980), konsentrasi amonia sebesar 2 mg/l dapat menghambat penelanan
makanan. Untuk kehidupan biota laut secara layak, nilai amonia total (NH3–N) harus
kurang dari 0,3 mg/l (Kep.51/MENLH/2004) (Lampiran 1).
Artemia bersifat pemakan segala atau omnivora. Makanan Artemia berupa
plankton, detritus, dan partikel–partikel halus yang dapat masuk ke dalam mulut.
Dalam mengambil makanan, Artemia bersifat penyaring tidak selektif (non selectif filter
feeder). Oleh karena itu, kandungan gizi Artemia sangat dipengaruhi oleh kualitas
pakan yang tersedia pada perairan tersebut. Ukuran terbesar dari partikel pakan yang
dapat ditelan Artemia adalah 50 mikron. Artemia mengambil pakan dari media
hidupnya terus–menerus sambil berenang. Pengambilan makanan dilakukan
menggunakan antenna kedua pada nauplius, dan menggunakan telopodite yang
merupakan bagian dari thoracopoda pada Artemia dewasa (Isnansetyo dan
Kurniastuty 1995).
Dalam melakukan proses tumbuh, Artemia secara periodik melakukan ganti kulit
(molting) yang frekuensinya tergantung dari stadium siklus hidup dan kondisi
lingkungan tempat hidupnya. Pada proses ganti kulit ini, aktivitas osmoregulasi
memegang peranan penting yang berhubungan dengan besarnya energi yang
digunakan (Riani 1990 in Purwanti 2004).
Menurut Locwood (1989) in Purwanti (2004), walaupun ganti kulit hanya
merupakan bagian yang pendek dari seluruh siklus hidup, tetapi periode ini cukup
berbahaya dan tingkat kematian sering tinggi pada saat ini. Sumber dari bahaya
13
tersebut ada tiga macam, yaitu meliputi faktor mekanik, fisiologi, dan biologi. Masalah
fisiologi yang timbul adalah akibat beragamnya rasio ionik dan konsentrasi total ion
dalam cairan tubuh pada saat ganti kulit dan hasil pengenceran akibat penarikan kadar
air yang masuk ke dalam sel dan dari perubahan permeabilitas pada permukaan
tubuh.
Menurut cara reproduksinya, Artemia dipilah menjadi dua, yaitu Artemia yang
bersifat biseksual dan Artemia yang bersifat parthenogenetik. Artemia biseksual
berkembangbiak secara seksual dengan perkembangbiakan yang didahului oleh
perkawinan antara jantan dan betina. Artemia parthenogenetik berkembangbiak
secara parthenogenesis, yaitu betina menghasilkan telur atau nauplius tanpa adanya
pembuahan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Siklus hidup Artemia cukup unik, baik jenis biseksual maupun partenogenetik
(Gambar 5). Perkembangbiakannya dapat secara ovovivipar maupun ovipar
tergantung kondisi lingkungan, terutama salinitas. Pada salinitas tinggi akan
dihasilkan kista yang keluar dari induk betina, sehingga disebut perkembangbiakan
secara ovipar. Pada salinitas rendah tidak akan dihasilkan kista, tetapi telur langsung
menetas menjadi nauplius, sehingga disebut perkembangbiakan secara ovovivipar
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Dalam kehidupan Artemia, baik pada perkembangan biseksual maupun
parthenogenesis kedua–duanya dapat terjadi secara ovovivipar maupun ovipar. Pada
cara ovovivipar (menghasilkan nauplius), sel telur yang telah dibuahi di dalam uterus
berkembang menjadi embrio melalui stadia blastula dan gastrula. Dalam keadaan
lingkungan yang baik, gastrula akan berkembang lebih lanjut menjadi nauplius, yang
akhirnya dikeluarkan dari tubuh induknya. Apabila keadaan lingkungan tersebut
buruk, perkembangannya terhenti sampai pada tingkat gastrula. Selanjutnya stadia
gastrula dibungkus dengan cangkang telur yang kuat dan mengandung hematin yang
dihasilkan oleh kelenjar cangkang telur, yang dikeluarkan dari tubuh induknya dalam
bentuk kista. Kista akan menjadi nauplius melalui proses penetasan lebih dahulu yang
disebut dengan cara ovivar (Mudjiman 1989).
Menurut Mudjiman (1989), ovoviviparitas biasanya terjadi apabila keadaan
lingkungan cukup baik dengan salinitas air berkisar antara 100–150‰ ke bawah,
sehingga burayak yang masih lembut itu dapat hidup tanpa gangguan. Oviparitas
biasanya terjadi apabila keadaan lingkungan sangat buruk, terutama kadar oksigennya
sangat rendah dan salinitas lebih dari 150‰. Dengan demikian, kista yang
bercangkang tebal dan kuat itu mampu menghadapi keadaan yang buruk sambil
14
beristirahat. Apabila keadaan lingkungan sudah membaik, kista menetas menjadi
nauplius, dan memulai kehidupan baru.
Pada jenis biseksual, perkembangbiakan diawali dengan perkawinan.
Perkawinan diawali dengan adanya pasangan jantan dan betina yang berenang
bersama (riding pair). Artemia betina di depan, sedangkan Artemia jantan “memeluk”
dengan menggunakan penjepit di belakangnya. Riding pair berlangsung cukup lama,
walaupun perkawinan/kopulasinya hanya membutuhkan waktu singkat. Artemia
jantan memasukkan penis ke dalam lubang uterus betina dengan cara
membengkokkan tubuhnya ke depan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Gambar 5. Siklus Hidup Artemia (Mudjiman 1989)