Upload
nandae
View
418
Download
57
Embed Size (px)
DESCRIPTION
evaluasi gizi
Citation preview
LAPORAN HASIL PRAKTIKUM
EVALUASI GIZI DALAM PENGOLAHAN PANGAN
Disusun oleh:
Kelompok :
Tricia Juliani P H1913011
Aldila Ratna O H1914001
Imroatun Inaayah Ts H1914007
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
ACARA IV
EVALUASI KADAR PROTEIN TERLARUT
A. Tujuan Praktikum
Tujuan dilakukannya pratikum spektrofotometri adalah untuk :
1. Mengetahui kadar protein terlarut dalam bahan pangan
2. Menentukan kadar protein terlarut dengan metode Lowry/Spektrofotometer
B. Tinjauan Pustaka
Dalam kehidupan protein memegang peranan yang penting. Proses kimia
dalam tubuh dapat berlangsung dengan baik karena adanya enzim, suatu protein
yang berfungsi sebagai biokatalisator. Protein dapat bersumber dari makanan
yang berasl dari hewan maupun tumbuhan. Kadar protein dalam kacang hijau
sebesar 22,2%, dalam kedelai basah sebesar 30,2%, dan dalam telur sebesar
12,8%. Protein mempunyai molekul besar dengan bobot molekul bervariasi
antara 5000 sampai jutaan. Dengan cara hidrolisis oleh asam atau enzim, protein
akan menghasilkan asam-asam amino. Ada 20 jenis asam amino yang terdapat
dalam molekul protein. Asam amino ini terikat satu dengan yang lain oleh
ikatan peptida. Ada protein yang mudah larut air tetapi ada juga yang sukar larut
air. Protein mudah dipengaruhi oleh suhu tinggi, pH, dan pelarut organik. Pada
umumnya protein mengandung 16% nitrogen dan dengan fakta ini dapat
ditentukan jumlah protein dalam makanan atau dalam tubuh setelah dengan cara
kimia ditentukan jumlah nitrogennya. Dalam keadaan normal, pada orang
dewasa biasanya terdapat keseimbangan nitrogen artinya terdapat kesamaan
antara jumlah nitrogen yang dikonsumsi tubuh dengan yang diekskresikan. Cara
lain untuk menentukan kualitas protein dalam makanan adalah dengan
menentukan nilai kimia atau skor protein dalam makanan tertentu. Nilai ini
dibandingkan dengan nilai kimia protein standar atau protein teoretik yang
ditentukan memiliki susunan asam amino esensial ideal bagi tubuh manusia
(Poedjiadi, A., dkk., 2006).
Protein merupakan salah satu senyawa yang berupa makromolekul, yang
terdapat dalam setiap organisme, dengan karasteristik yang berbeda-beda.
Protein yang ditemukan kadang-kadang berkonjungasi dengan makromolekul
atau mikromolekul seperti lipid, polisakarida dan mungkin fosfat. Protein
terkonjugasi yang dikenal antara lain nukleoprotein, fosfoprotein,
metaloprotein, lipoprotein, flavoprotein dan glikoprotein. Protein yang
diperlukan organisme dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan utama, ialah
pertama; protein sederhana, yaitu protein yang apabila terhidrolisis hanya
menghasilkan asam amino; dan kedua protein terkonjugasi, yaitu protein yang
dalam hidrolisis tidak hanya menghasilkan asam amino, tetapi menghasilkan
juga komponen organik ataupun komponen anorganik, yang disebut "gugus
prosthetic". Di samping itu protein dapat dibedakan berdasarkan pada jenis
ikatan peptida antar molekul asam amino, yaitu protein primer, protein
sekunder, protein tertier dan protein kuaterner. Protein primer merupakan
polimer asam amino yang berbentuk rantai panjang, terdapat dalam sel hewan
antara lain sebagai collagen dan elastin. Protein sekunder adalah polimer asam
amino rantai polipeptida yang membentuk struktur helix seperti keratin yang
terdapat dalam rambut, tanduk dan wool. Protein tertier adalah polimer asam
amino dalam bentuk globuler, seperti yang terdapat dalam enzim, muthormon
dan protein pembawa oksigen (Sumarno, 2002).
Menurut kelarutannya, protein globuler dapat dibagi dalam beberapa grup
yaitu albumin, globulin, glutelin, prolamin, histon dan protamin.
a. Albumin : larut dalam air dan terkoagulasi oleh panas. Contohnya albumin
telur, albumin serum, dan laktalbumin dalam susu.
b. Globulin : tidak larut dalam air, terkoagulasi oleh panas, larut dalam larutan
garam encer, dan mengendap dalam larutan garam konsentrasi tinggi.
Contohnya legumin dalam kacang kacangan.
c. Glutelin : tidak larut dalam pelarut netral tetapi larut dalam asam/basa encer.
Contohnya glutenin pada gandum.
d. Prolamin/gliadin : larut dalam alkohol 70-80% dan tak larut dalam air
maupun alcohol absolute. Contohnya gliadin dalam gandum.
e. Histon : larut dalam air dan tidak larut dalam ammonia encer . histon yang
terkoagulasi karena pemanasan dapat larut lagi dalam larutan asam encer.
Contohnya gloin dalam hemoglobin.
f. Protamin : protein yang paling sederhana dibandingkan protein lainnya,
tetapi lebih kompleks daripada pepton dan peptide. Contohnya salmin dalam
ikan salmon (Winarno, 2004).
Protein merupakan salah satu kelompok bahan mikronutrien. Protein
berperan lebih penting dalam pembentukan biomolekul daripada sebagai
sumber energi. Keistimewaan dari protein ini adalah strukturnya yang
mengandung N, disamping C, H, O, S, P, Fe, dan Cu. Dengan demikian maka
salah satu cara terpenting yang cukup spesifik untuk menentukan jumlah protein
secara kuantitatif adalah dengan penentuan kandungan N yang ada dalam bahan
makanan. Salah satu analisa protein yaitu menggunakan metode lowry dimana
protein dengan asam fosfotungstat–fosfomolibdat pada suasana alkalis akan
memberikan warna biru yang intensitasnya bergantung pada konsentrasi protein
yang ditera. Kosentrasi protein diukur berdasarkan optik density pada panjang
gelombang 600nm (OD terpilih). Untuk mengetahui banyaknya protein dalam
larutan, lebih dulu dibuat kurva standar yang menghubungkan konsentrasi
dengan OD (Sudarmadji, 2010).
Kekurangan air umumnya dikaitkan dengan situasi di mana kehilangan air
melebihi intensitas penyerapan memadai yang menyebabkan penurunan kadar
air tanaman, pengurangan turgor dan, akibatnya, penurunan ekspansi selular dan
perubahan berbagai proses biokimia penting yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan atau produktivitas. Isi Rubisco per satuan luas daun adalah positif
berkorelasi dengan kandungan protein terlarut. Selama kekeringan, kualitas
protein kloroplas menurun dan spektrum elektroforesis protein diubah dalam
tanaman pohon. Banyak peneliti telah melaporkan perubahan dalam fungsi dan
kecepatan aktivitas enzimatik, seperti sintesis asam amino dan penurunan kadar
protein, sebagai tanggapan metabolik pembatasan air. Nitrat reduktase (NRase)
adalah tingkat membatasi enzim dalam asimilasi nitrogen dan merupakan titik
kunci dari regulasi metabolisme pada tanaman. Kadar larut protein adalah
kandungan protein larut dari sampel daun adalah ukuran penilaian langsung dari
efisiensi fotosintesis tanaman. Kandungan protein terlarut diperkirakan dari
sampel daun mengikuti metode Lowry dan dinyatakan sebagai mg berat g-1
segar (Ananthi, 2012).
Kelarutan protein dianggap sebagai faktor yang paling penting dan indeks
sangat baik untuk fungsionalitas produk-produk kering. Selain ini merupakan
faktor penting karena relevansinya dengan sifat-sifat lainnya seperti viskositas,
gelatin, pembusaan dan emulsifikasi. Kelarutan protein mengacu pada jumlah
protein total otot yang masuk ke dalam larutan dalam kondisi tertentu dan
tergantung pada struktur protein, pH, konsentrasi garam, suhu, lama ekstraksi
dan banyak faktor intrinsik lainnya. Tanda-tanda denaturasi protein yang
tercermin dalam perubahan kelarutan. Metode pengolahan mempengaruhi
kelarutan protein terutama jika mereka terkena panas (Ghelicopur, 2011).
Protein, pati dan lipid setelah dirombak oleh enzim-enzim digunakan
sebagai bahan penyusun pertumbuhan di daerah-daerah tumbuh dan sebagai
bahan bakar respirasi. Protein terlarut mencapai minium pada lama perendaman
mendekati 100 menit, lama perkecambahan 36 jam dan pH perendaman tetap 6.
Untuk memenuhi kebutuhan energi ini digunakan protein setelah cadangan
karbohidrat menipis. Protein dirombak oleh enzim proteolitik menghasilkan
campuran asam-asam amino bebas dan bersama dengan amida-amida dari asam
glutamat dan aspartat, senyawa-senyawa ini terutama dalam bentuk amidanya
ditranslokasikan ke embrio. Disamping itu asam-asam amino triptofan yang
merupakan hasil perombakan protein dari sel-sel penyimpanan dalam titik-titik
tumbuh embrio diubah menjadi Indole Acetic Acid (IAA) yang menstimulir
pertumbuhan. Protein terbentuk kembali setelah kebutuhan energi untuk
pertumbuhan terpenuhi sebagai cadangan makanan yang digunakan untuk
membesarkan diri dan untuk proses respirasi selanjutnya pada saat diperlukan
untuk berkembang. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan protein terlarut
meningkat kembali setelah lama perkecambahan 36 jam (Suhendra, dkk., 2012).
Kedelai merupakan sumber protein yang lebih rendah daripada susu sapi,
dengan daya cerna yang lebih rendah dan bioavailabilitas serta konten metionin
yang rendah. Untuk protein kedelai formula bayi, hanya isolat protein yang
dapat digunakan, dan kadar protein minimum yang diperlukan dalam undang-
undang Uni Eropa saat ini lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi protein
formula (2,25 g/100 kkal dibanding 1,8 g/100 kkal). Protein kedelai formula
dapat digunakan untuk memberi makan bayi, tetapi tidak memiliki keuntungan
nutrisi selama formula protein pada susu sapi yang mengandung konsentrasi
tinggi seperti fitat, aluminium, dan fitoestrogen (Agostoni, 2006).
Kedelai mengandung protein tertinggi di antara kacang-kacangan lainnya,
yaitu sekitar 40%. Di pasaran terdapat 2 jenis kedelai, yaitu kedelai kuning dan
hitam. Kedelai kuning merupakan dapat dipakai sebagai bahan dasar makanan
turunan kedelai, baik dengan fermentasi maupun tidak. Kandungan protein yang
diukur dalam penelitian ini adalah protein terlarut dan protein total. Protein
terlarut merupakan oligopeptida dan mudah diserap oleh sistem pencernaan.
Protein total merupakan pengukuran kandungan nitrogen (N) dalam sampel.
Oleh karena itu, terdapat senyawa non-protein yang ikut terdeteksi dan
terkalkulasi dengan metode Kjeldahl. Namun interferensi ini relatif kecil dan
dapat diabaikan (Purwoko dan Handajani, 2007).
Spektrofotometer menutupi seluruh wilayah spectral yang terlihat dari 400
nm sampai 700 nm. Dengan demikian, hasil warna dari spektrofotometer
memiliki potensi untuk memberikan informasi warna yang tidak tersedia
dengan HVI. Selain itu, spektrofotometer secara internasional digunakan
dengan system warna tiga dimensi yang terkenal (Rodgers et al, 2012).
Spektrofotometer mengukur kekeruhan langsung. Kasus terbaik (yaitu, paling
sensitif) akan memiliki celah sempit dan detektor kecil sehingga hanya cahaya
tersebar ke arah depan akan dilihat oleh detektor. Alat ini akan memberikan
pembacaan serapan jelas lebih besar daripada instrument lain (Sutton, 2011).
Alat dan bahan merupakan dua komponen penting yang harus terpenuhi
dalam melakukan suatu penelitian. Alat instrumen biasanya dipergunakan untuk
menentukan suatu zat berkadar rendah, biasanya dalam satuan ppm (part per
million) atau ppb (part per billion). Salah satu metode sederhana untuk
menentukan zat organik dan anorganik secara kualitatif dan kuantitatif dalam
suatu senyawa yaitu dengan metode Spektrofotometri. Metode Spektrofotometri
diterapkan untuk penetapan senyawa-senyawa organik, umumnya dipergunakan
untuk penentuan senyawa dalam jumlah yang sangat kecil. Dalam suatu larutan
gugus molekul yang dapat mengabsorpsi cahaya dinamakan gugus kromofor,
contohnya antara lain: C = C, C = O, N = N, N = O, dan sebagainya. Molekul-
molekul yang hanya mengandung satu gugus kromofor dapat mengalami
perubahan pada panjang gelombang. Susunan peralatan Spektrofotometer
diperlihatkan pada Gambar 1 yang meliputi bagian-bagian sebagai berikut:
sumber radiasi/cahaya (A), monokromator (B), sel absorpsi (C), detektor (D)
dan pencatat (E). Sumber cahaya dipergunakan untuk pengukuran absorpsi.
Sumber cahaya ini harus memancarkan sinar dengan kekuatan yang cukup
untuk penentuan dan pengukuran, juga harus memancarkan cahaya
berkesinambungan yang berarti harus mengandung semua panjang gelombang
dari daerah yang dipakai. Kekuatan sinar radiasi harus konstan selama waktu
yang diperlukan. Sumber Cahaya Tampak yang paling umum dipakai adalah
lampu Wolfram. Sedangkan sumber radiasi Ultra violet biasa dipergunakan
lampu Hidrogen atau Deuterium yang terdiri dari tabung kaca dengan jendela
dari kwartz yang mengandung Hidrogen dengan tekanan tinggi. Oleh karena
kaca menyerap radiasi Ultra-violet, maka sistim optik Spektrofotometer Ultra-
Violet dan sel harus dibuat dari bahan kwartz. Monokromator dipergunakan
untuk memisahkan radiasi ke dalam komponen komponen panjang gelombang
dan dapat memisahkan bagian spektrum yang diinginkan dari lainnya. Sel
absorpsi dipakai dari bahan silika, kuvet dan plastik banyak dipakai untuk
daerah Sinar Tampak. Kualitas data absorbans sangat tergantung pada cara
pemakaian dan pemeliharaan sel. Sidik jari, lemak atau pengendapan zat
pengotor pada dinding sel akan mengurangi transmisi. Jadi sel-sel itu harus
bersih sekali sebelum dipakai. Detektor dipergunakan untuk menghasil-kan
signal elektrik. Dimana signal elektrik ini sebanding dengan cahaya yang
diserap. Signal elektrik ini kemudian dialirkan ke alat pengukur. Rekorder
dipergunakan untuk mencatat data hasil pengukuran dari detektor, yang
dinyatakan dengan angka. Seperti terlihat pada bagan alat susunan
Spektrofometer Ultra-violet dan Sinar Tam-pak, suatu sumber cahaya
dipancarkan melalui monokromator (B).
Gambar 5.1. Bagan susunan alat Spektrofotometer (Triyati, 1985).
Keterangan : sumber radiasi/cahaya (A), monokromator (B), sel absorpsi (C),
detektor (D) dan pencatat (E).
Monokromator menguraikan sinar yang masuk dari sumber cahaya tersebut
menjadi pita-pita panjang gelombang yang diinginkan untuk pengukuran suatu
zat tertentu yang menunjukkan bahwa setiap gugus kromofor mempunyai
panjang gelombang maksimum yang berbeda. Dari monokromator tadi
cahaya/energi radiasi diteruskan dan diserap oleh suatu larutan yang akan
diperiksa di dalam kuvet. Kemudian jumlah cahaya yang diserap oleh larutan
akan meng-hasilkan signal elektrik pada detektor, yang mana signal elektrik ini
sebanding dengan cahaya yang diserap oleh larutan tersebut. Besarnya signal
elektrik yang dialirkan ke pencatat dapat dilihat sebagai angka (Triyati, 1985).
C. Metodologi
1. Alat-alat yang digunakan :
a. Mikropipet
b. Pipet voumetrik 1 ml merk pyirex
c. Pipet voumetrik 10 ml merk pyirex
d. Gelas ukur 500 ml merk pyirex
e. Tabung reaksi 10 ml merk pyirex
f. Batang pengaduk
g. Corong
h. Kertas saring
i. Spektrofotometri UV-VIS merk
Simadzu
2. Bahan yang digunakan :
a. Kedelai mentah 10 gram
b. Tahu goreng 10 gram
c. Tempe goreng 10 gram
d. Kecambah kacang hijau 10 gram
e. Kacang hijau mentah 10 gram
f. Larutan protein BSA
g. Reagen Lowry B 8 ml
h. Reagen Lowry A 0.5 ml
i. Amonium sulfat kristal secukupnya
j. Buffer asam asetat pH 5 10 ml
k. Aquades 100ml
3. Cara kerja
a) Pembekuan Kurva Standar Larutan protein
Penyiapan larutan BSA 300 µg/mL
Pembuatan larutan protein dengan kadar yang bertingkat di dalam 10 tabung reaksi dengan konsentrasi 0, 30, 60,
90, 120, 150, 180, 210, 240, dan 300
Masing-masing larutan ditambahkan 8 mL Reagen Lowry B dan biarkan 10 menit
Pembuatan kurva standar dibuat
Masing-masing larutan ditambahkan 1 mL Reagen Lowry A, gojog dan biarkan 20 menit
Pembacaan OD pada panjang gelombang 600nm dengan spektrofotometri
b) Penyiapan Sampel
Penghalusan 10 gram Sampel (yakult)
Penambahan aquades sampe tanda tera 100 mL
Penambahan amonium sulfat kristal secukupnya hingga ada endapan
Penyaringan dengan kertas saring diambil padatannya
Penambahan 10 mL buffer asetat pH 5 pada padatan
Penyaringan dengan kertas saring
Pengambilan larutan hasil saringan (0,8 ml yakult)
Masing-masing larutan ditambahkan 8 mL Reagen Lowry B dan biarkan 10 menit
Pembacaan kadar protein
Masing-masing larutan ditambahkan 1 mL Reagen Lowry A, gojog dan biarkan 20 menit
Pembacaan OD pada panjang gelombang 600nm dengan spektrofotometri
D. Hasil dan Pembahasan
Alat-alat yang juga dapat mengukur intensitas cahaya dengan panjang
gelombang tertentu disebut dengan alat spektrofotometer (Giancoli, 2010).
Spektrofotometer mengukur jumlah relative cahaya dari panjang gelombang
berbeda yang diserap dan diteruskan oleh larutan pigmen. Di dalam
spektrofotometer, cahaya putih dipisahkan menjadi sejumlah warna (panjang
gelombang) oleh prisma. Kemudian, satu demi satu, warna cahaya yang berbeda
dilewatkan melalui sampel. Cahaya yang diteruskan menabrak tabung fotolistrik
yang mengubah energi cahaya menjadi listrik, dan arus listriknya diukur dengan
alat ukur. Setiap kali panjang gelombang cahaya berubah, alat ukur akan
mengindikasikan fraksi cahaya yang diteruskan melalui sampelnya, atau
sebaliknya, fraksi cahaya yang diserap (Champbel et al., 2000).
Optimasi panjang gelombang dilakukan untuk menentukan panjang
gelombang maksimum yang akan digunakan dalam pengukuran menggunakan
spektrofotometer UV-Vis dengan menggunakan salah satu standar. Langkah
selanjutnya adalah penentuan absorbansi larutan standar pada panjang
gelombang maksimum dilanjutkan dengan penentuan absorbansi sampel (Yuli,
2008). Spektrofotometri UV-Vis adalah analisis yang didasarkan pada
pengukuran serapan sinar monokromatis oleh suatu laju larutan berwarna pada
panjang gelombang spesifik dengan menggunakan monokromator prisma
(Setiono dkk., 2013). Liyana dan Sugiarso (2011) juga menambahkan bahwa
metode ini selain pekerjaan cepat, sederhana, praktis, murah juga cukup peka
dan teliti serta mudah dalam menginterpretasikan hasil yang diperoleh. Menurut
Darwindra (2010), keuntungan dari spektrofotometer untuk keperluan analisis
kuantitatif adalah : (1) dapat digunakan secara luas, (2) memiliki kepekaan yang
tinggi, (3) keseletifannya cukup baik, (4) tingkat ketelitiannya tinggi.
Tabel 4.1 Kurva Standar BSA (6.1mg/10ml)
ml Larutan y (A) Konsentrasi Protein (mg,ml) (x)
0 0 0,3880,2 0,176 0,1520,4 0,352 0,2700,6 0,528 0,3430,8 0,704 0,4481 0,880 0,560
Sumber : Laporan PraktikumPada praktikum menggunakan metode Lowry. Prinsip analisa kadar
protein terlarut dengan metode lowry adalah protein yang terkstrak pada air
direaksikan dengan larutan lowry menghasilkan kompleks Cu2+, dan di
reaksikan dengan larutan folin menghasilkan fosfotungstat-fosfomolibdat yang
membentuk warna biru, dan diukur absorbansinya. Terbentuknya warna biru,
intensitasnya bergantung pada konsentrasi yang ditera. Kosentrasi protein
diukur berdasarkan optik density pada panjang gelombang 600nm (OD terpilih)
(Sudarmadji, 2010).
Metode Lowry merupakan protein dengan asam fosfotungstat-
fosfomolibdat pada suasana alkalis akan memberikan warna biru yang
intensitasnya bergantung pada konsentrasi protein yang ditera. Larutan yang
digunakan sebagai standar adalah Bovine Serum Albumin (BSA) karena dapat
larut dalam pelarut air dan merupakan standar pembanding konsentrasi protein
untuk uji protein. Larutan BSA yang digunakan sebanyak 6.1mg/10ml. Larutan
standar dibuat dengan dengan memasukkan BSA dalam 6 tabung reaksi yang
masing-masing berisi 0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1 ml dan ditambahkan aquades
sampai volume 1 ml. Kemudian ditambahkan 8 ml Lowry B yang terdiri dari
campuran 100 ml larutan 2% Na2CO3 dalam NaOH 1N dengan 1 ml
CuSO4.5H2O 1% dan 1 ml Na-K-tartrat 2% dan dibiarkan 10 menit. Adapun
masing-masing penyusun larutan Lowry B mempunyai peran dan fungsi
masing-masing. CuSO4 berfungsi untuk mereduksi fosfomolibdat-fosfotungstat.
Na-K-tartrat berfungsi mencegah terjadinya pengendapan kuprooksida dalam
reagen Lowry B, sehingga nantinya saat ditera oleh spektorfotometer tidak ada
endapan kuprooksida mengumpul di bawah kuvet, dan harapannya semua
molekul/partikel dapat tersebar merata saat diamati. NaCO3 berfungsi sebagai
garam yang mengkoordinasi reaksi dalam suasana basa bersama NaOH. NaOH
berfungsi memberi suasana alkalis yang bila bergabung dengan asam
fosfotungstat-fosfomolibdat akan memberikan warna larutan menjadi biru.
Setelah penambahan Lowry B dan dibiarkan 10 menit, lalu ditambahkan 1 ml
Lowry A yang terdiri dari larutan folin ciocalteau dan aquades (1:1) dan
dibiarkan 20 menit. Kemudian dimasukkan dalam spektrofotometer, ditera
dengan panjang gelombang 600 nm hingga dapat terbaca absorbansinya.
Menurut Sudarmadji (2010) cara Lowry 10-20 kali lebih sensitif daripada cara
UV atau cara Biuret.
Kurva standar BSA dapat dilihat pada Tabel 4.1. Kurva standar ini
diukur pada panjang gelombang 600 nm. Dapat dilihat bahwa untuk absorbansi
dari 0 ml larutan BSA adalah 0,058 dan untuk absorbansi dari 1 ml larutan BSA
adalah 0,880. Berdasarkan nilai absorbansi dari kurva standart dengan range
konsentrasi 0-1 ml dimana interval konsentrasi ialah sebesar 0,2 didapat range
nilai absorbandi ialah 0-0,880.
Gambar 4.1. Kurva Standar BSA
Nilai absorbansi yang menggunakan spektrometer sangat dipengaruhi oleh
besarnya nilai konsentrasi larutan yang sering pula dipengaruhi faktor
pengenceran, partikel lain yang terikut dalam kuvet, kebersihan kuvet dan
bentuk kuvet yang digunakan. Semakin encer larutan maka semakin rendah
nilai absorbansinya. Sesuai pernyataan Lambert Beer jika wadah/kuvet yang
digunakan berbentuk tabung sedemikian rupa sehingga yang dilewati sinar
panjangnya 1 cm, maka absorbansi tidak akan terlalu tinggi. Sinar melalui
tabung sepanjang 100 cm yang berisi larutan yang sama, maka sinar akan lebih
banyak diserap karena sinar berinteraksi dengan lebih banyak molekul. Dengan
adanya kurva standar dari larutan protein standar BSA didapat persamaan Y=
0,579x + 0,046 yang berguna untuk menentukan konsentrasi sampel kedelai
yang akan diketahui nilai absorbansinya.
Tabel 4.2 Hasil Absorbansi Sampel
No Sampel Absorbansi % Protein Terlarut
Kelas C12
Yakult (0,8)Yakult (1)
0,1370,273
0,19370,397
3 Tempe goreng (0,2) 0,156 0,944 Tempe goreng (0,4) 0,302 1,15 Kedelai (0,1) 0,990 16,2866 Kedelai (0,2)
Kelas B1,775 14,745
1 Susu ultra (0,1) 0,227 3,972 Susu ultra (0,2) 0,496 3,8753 Tahu goreng (0,5) 0,168 0,418456
Tahu goreng (1)Kacang Hijau (0,1)Kacang Hijau (0,2)
0,2880,1340,235
0,4161,51,62
Sumber : Laporan SementaraPada Tabel 4.2 terlihat nilai hasil pengukuran absorbansi dan nilai hasil
perhitungan persen kadar protein terlarut dari berbagai sampel yaitu susu
fermentasi (yakult), produk olahan kacang (tempe dan tahu), serta kacang hijau
dan kacang kedelai . Pada tabel diketahui nilai absorbansi yang paling besar
ialah sampel kacang kedelai yaitu sebesar 0,990 untuk konsentrasi 0,1 ml dan
1,775 untuk konsentrasi 0,2 ml. Sedangkan nilai absorbansi terendah ialah
terdapat pada sampel kacang hijau dengan konsentrasi 0,1 yaitu sebesar 0,134.
Berdasarkan hasil tersebut nilai absorbansi tertinggi dengan sampel kacang
kedelai (0,1 dan 0,4 ml) dan nilai absorbansi terendah dari kacang hijau 0,1 ml
menunjukkan nilai yang tidak masuk dalam range nilai absorbansi yang sesuai
dengan kurva standar BSA (mengalami penyimpangan). Nilai dari absorbansi
kacang kedelai (0,1 dan 0,4 ml) melebihi nilai absorbansi kurva standart,
sedangngkan nilai absorbansi kacang hijau 0,1 ml memiliki nilai absorbansi
yang lebih rendah dari absorbansi kurva standart. Dimana nilai absorbansi
berdasarkan kurva standart BSA untuk konsentrasi sebesar 0,1 ml ialah sekitar
0,176 sedangkan 0,4 ml ialah sebesar 0,352.
Menurut Darwindra (2010), dalam spektrofotometer molekuler kuantitaif,
pengukuran absorbansi atau konsentrasi transmitans dibuat berdasarkan satu
seri larutan pada panjang gelombang yang telah ditetapkan. Panjang gelombang
yang paling sesuai ditentukan dengan membuat spketrum absrobsi dimana
panjang gelombang yang sesuai adalah menghasilkan absorbansi maksimum.
Dengan menggunakan panjang gelombang dari absorbansi yang maksimum,
maka terjadi penyimpangan (deviasi) kecil. Jika panjang gelombang dipilih dari
daerah spektrum di mana ada suatu perubahan yang besar absorbansi dalam
range panjang gelombang yang sempit, maka terjadi penyimpangan (deviasi)
kecil. Apabila terjadi penyimpangan nilai absorbansi dengan larutan standar,
maka dapat menyebabkan kesalahan yang besar. Oleh karena itu, larutan yang
memiliki absorbansi lebih tinggi dari larutan standar harus diencerkan sampai
memenuhi konsentrasi larutan yang ada. Hukum ini dikenal sebagai Hukum
Lambert dan menghubungkan ketebalan dari sel sampel (kuvet) pada
perbandingan kekuatan radiasi berkas cahaya yang masuk dan berkas cahaya
yang keluar. Berdasarkan teori tersebut, kemungkinan terjadinya penyimpangan
nilai absorbansi pada sampel di atas disebabkan karena pengenceran. Selain itu
berdasarkan uraian tersebut di atas, pada dasarnya, hasil absorbansi pada
sampel tidak boleh melebihi absorbansi pada larutan standar karena hal ini akan
menyebabkan penyimpangan hasil yang didapat.
Dalam peraktikum analisis evaluasi kadar protein terlarut, dibuat kurva
standart yang bertujuan agar pembacaan hasil absorbansi berada pada range
yang sesuai. Oleh sebab itu, larutan yang memiliki absorbansi lebih tinggi dari
larutan standar harus diencerkan sampai memenuhi konsentrasi larutan yang
ada. Untuk nilai absorbansi sampel yang dapat dibaca oleh spektofotometer dan
yang berada pada range absorbansi berdasarkan kurva standar adalah kacang
hijau 0,2 ml, tempe goreng 0,2 dan 0,4 ml, tahu goreng 0,5 ml dan 1 ml, yakult
1 ml, dan susu ultra o,1 dan o,2 ml.
Untuk persen nilai protein terlarut dari masing-masing sampel terlihat
bahwa nilai kadar persen protein terlarut tertinggi ialah pada sampel kedelai.
16,286% (kedelai 0,1 ml) dan 14,745% (kedelai 0,2 ml). Sedangkan nilai
persen protein terlarut terendah ialah pada sampel yakult dengan konsentrasi
0,1 ml. untuk sampel kedelai nilai absorbansi berbanding lurus dengan nilai
persen protein terlarut. Nilai absorbansi kedelai merupakan nilai absorbansi
terbesar dibandingkan dengan nilai absorbansi sampel lain sehingga persen
protein terlarutnya juga lebih besar dibandingkan dengan sampel lainnya.
E. KesimpulanBerdasarkan hasil praktikum yang diatas, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :1. Absorbansi tertinggi yang masih berada pada range kurva standar adalah
sampel kacang kedelai mentah dengan nilai 0,798
2. Absorbansi terendah yang masih berada pada range kurva standar adalah
sampel kacang hijau mentah dengan nilai 0,495
3. Perbedaan hasil absorbansi pada sampel disebabkan oleh faktor pengencer
4. Larutan yang memiliki absorbansi lebih tinggi dari larutan standar harus
diencerkan sampai memenuhi konsentrasi larutan yang ada
5. Semakin rendah faktor pengencer, semakin pekat larutan sehingga pembacaan
pada absorbansi melebihi kurva standar
6. Semakin tinggi faktor pengencer, semakin encer suatu larutan sehingga
pembacaan pada absorbansi berada pada range kurva standar
DAFTAR PUSTAKA
Adeeyinwo. C. E. 2013. Basic Calibration of UV/ Visible Spectrophotometer. International Journal of Science and Technology Vol. 2 No. 3.
Agostoni, Carlo. 2006. Soy Protein Infant Formulae and Follow on Formulae: A Commentary by the ESPGHAN Committee on Nutrition. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition 42: 352-361.
Ananthi, K and Vijayaraghavan,H. 2012. Rapid Determination of Soluble Protein Content, Nitrate Reductase Activity and Yields Studies In Cotton Genotypes Under Water Stress. International Journal of Food, Agriculture and Veterinary Sciences ISSN : 2277 – 209X.
Gelichpour, M and Shabanpour, B. 2011. The Investigation Of Proximate Composition and Protein Solubility in Processed Mullet Fillet. International Food Research Journal 18(4): 1343 – 1347.
Poedjiadi, A. dan Supriyanti, T. 2006. Dasar-dasar Biokimia. UI Press. Jakarta.
Purwoko, Tjahjadi., dan Handajani, Noor Soesanti. 2007. Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. oligosporus. Jurnal Biodiversitas Vol.8 No.2 : Hal 223-227.
Rodgers, James., Karim Elkholy., Xaoliang Cui., Christopher Delhom., dan Chanel Fortier. 2012. Fiber Sample Presentation System for Spechtrophotometer Cotton Fiber Color Measurements. Journal of Cotton Science 16: 117-124.
Sudarmadji, Slamet., Haryono, Bambang., Suhardi. 2010. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Suhendra, Lutfi. 2012. Studi Perubahan Protein Terlarut Selama Perkecambahan Biji Wijen ( Sesamun indicum L.) Menggunakan Pendekatan Respon Surface Methodology. Jurnal Penelitian Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.
Sumarno., Noegrohati, Sri., Narsito., Falah, Iip Izul. 2002. Estimasi Kadar Protein dalam Bahan Pangan melalui Analisis Nitrogen Total dan Analisis Asam Amino. Majalah Farmasi Indonesia 13(1), 34-43.
Sutton, Scott. 2011. Measurement of Microbial Cells by Optical Density. Journal of Vaudation Technology Vol 17 No 1. Winter.
Triyati, Triyati. 1985. Spektrofotometer Ultra-Violet dan Sinar Tampak serta Aplikasinya dalam Oseanografi. Jurnal Oseana, vol. 10 No. 1.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka. Jakarta.