Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mikroba Endofit
Endofit merupakan mikroorganisme yang hidup bersimbiosis pada jaringan
tanaman tanpa menyebabkan penyakit pada tanaman tersebut. Istilah endofit
pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh De Bary sebagai suatu
mikroorganisme yang hidup pada tanaman dan tidak memberikan efek negatif
(Wang et al., 2008). Mikroba endofit merupakan mikroba yang tumbuh pada
bagian jaringan tumbuhan. Mikroba ini mampu membentuk koloni dalam jaringan
tumbuhan (xylem dan floem) tanpa memberikan efek negatif pada inangnya.
Mikroba endofit yang mampu menghasilkan metabolit sekunder terdapat disetiap
tanaman tingkat tinggi. Mikroba endofit ini tumbuh dijaringan vaskular dari
tanaman inangnya (Stone et al., 2000).
Jaringan vaskular (pembuluh) terletak diseluruh tubuh tanaman,
mengangkut zat-zat antara akar dan tunas (Campbell et al., 2002). Dari berbagai
jenis tanaman yang tersebar di bumi atau sekitar 300.000, tanaman ini masing-
masing mengandung mikroba endofit berjumlah satu atau lebih. Mikroba endofit
ini banyak ditemukan di batang, daun, buah dan akar (Strobel dan Daisy, 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Xiang Ling membuktikan bahwa dalam satu
tumbuhan dapat diisolasi jenis mikroba endofit yang masing-masing mempunyai
potensi untuk memproduksi satu atau beberapa senyawa bioaktif (Xiang et al.,
2007). Selain itu mikroba endofit tidak hanya bakteri tetapi juga jamur atau
mikroba lainnya. Mikroba endofit ini juga dapat berfungsi sebagai antibakteri,
antijamur dan dapat menghasilkan enzim yang bermanfaat untuk bidang industri
maupun pangan (Sinaga, 2009).
Mikroba endofit dan tanaman inangnya mempunyai hubungan yang saling
menguntungkan. Mikroba endofit akan melindungi tanaman inangnya dari
5
serangan patogen dengan menggunakan senyawa yang dikeluarkannya.
Senyawa ini adalah hasil dari metabolisme mikroba endofit yaitu senyawa
metabolit sekunder. Metabolit sekunder yang dikeluarkan oleh mikroba endofit
berupa senyawa bioaktif yang berfungsi untuk membunuh patogen. Selain itu
juga dapat menghasilkan enzim. Sedangkan tanaman inangnya akan
menyediakan nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba endofit
tersebut (Prihatiningtias dan Mae, 2011). Menurut Tan dan Zou (2001), mikroba
endofit memang mempunyai kemampuan untuk menghasilkan metabolit
sekunder yang karakternya sama atau mirip dengan tanaman inangnya. Hal ini
bisa disebabkan karena adanya pertukaran genetik yang terjadi diantara
tanaman inangnya dengan mikroba endofit secara evolusioner.
2.2 Morfologi dan Taksonomi Mangrove Pedada Putih (Sonneratia alba)
Klasifikasi mangrove pedada putih (Sonneratia alba) adalah sebagai
berikut (Safnowandi, 2015).
kingdom : Plantae
Sub Regnum : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divis : Mangnoliophyta
Kelas : Mangnoliophyta
Ordo : Myrtales
Family : Sonneratiaceae
Genus : Sonneratia
Spesies : Sonneratia alba
Mangrove pedada putih (Sonneratia alba) merupakan tanaman yang berasal dari
salah satu suku Sonneratiaceae. Tanaman ini memiliki ketinggian ± 15 meter.
Kulit kayu yang dimiliki Sonneratia alba berwarna putih tua hingga coklat dan
6
terdapat celah longitudinal yang halus. Akar dari tanaman ini dapat muncul dari
tanah yang digunakan sebagai akar nafas atau pneumatofor (akar khusus yang
digunakan sebagai pembantu proses pernafasan tambahan tumbuhan yang
hidup diair atau rawa) yang tingginya kira-kira 25 cm berbentuk lancip dan bagian
akar berwarna merah. Habitat dari Sonneratia alba ini lebih banyak pada daerah
pesisir pantai. Kemudian struktur daunnya tersusun bersebarangan pada cabang
yang sama. Bentuk daunnya yaitu bulat telur dan ujung daun berbentuk
emerginate (berlekuk). Panjang daun yaitu rata-rata 5-10 cm, bunganya
membentuk kelompok satu hingga tiga bunga perkelompok. Bunga ini dikelilingi
daun mahkota berwarna putih dan mudah sekali rontok. Kelopak bunga
berjumlah 6-8. Bentukan daun seperti lonceng dengan warna bagian luar hijau
dan didalam kemerahan. Sedangkan bentuk buah yaitu bola dengan ujungnya
bertangkai dan bagian dasar terbungkus kelopak bunga, dan sifat buah tidak
membuka ketika matang. Buah mempunyai ukuran 3,5-4,5 cm dengan warna
hijau, permukaan halus dengan kelopak bentuk cawan yang menutupi dasar
buah dan berisi 200 biji. Mangrove pedada putih (Sonneratia alba) dapat dilihat
pada Gambar 1.
Kandungan aktioksidan yang terdapat pada mangrove pedada putih
(Sonneratia alba) adalah senyawa fenol, tanin, busa saponin, dan tritepenoid.
Senyawa alkaloid dan senyawa flavonoid tidak ditemukan pada spesies ini.
Senyawa aktif tanin dapat berperan mendenaturasi protein dan mencegah
pencemaran bakteri. Senyawa saponin merupakan karbohidrat turunan yang ada
ditanaman. Saponin berfungsi sebagai penyimpan karbohidrat, dan merupakan
produk limbah dari metabolisme tumbuh-tumbuhan. Selain itu, saponin juga
berfungsi sebagai pelindung dari serangga. Senyawa tanin merupakan senyawa
polifenol yang terbukti sebagai salah satu senyawa antioksidan yang bekerja
dengan cara menghambat radikal bebas melalui proses oksidasi rantai
7
transportasi elektron. Mekanismenya dengan cara menghambat ion superoksida
yang merupakan radikal bebas endogen (Naiborhu, 2002). Ciri-ciri Sonneratia
alba dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Ciri-ciri Sonneratia alba
Bagian Ciri-ciri
Nama lokal Prapat, pedada putih, bogem dan prepat Bentuk Pohon dengan tinggi mencapai 15-16 m Akar Berupa akar nafas dan berbentuk kerucut Daun Memiliki susunan tunggal, bersilangan sampai bulat telur.
Bagian ujung membundar sampai berlekuk, panjang 5-10 cm, dengan bagian atas dan bawah permukaan daun hampir sama
Tipe biji Biji normal Kulit kayu Halus,memiliki celah searah longitudinal/retak, warna kulit
krem sampai coklat Ciri khusus Tangkai daun pada bunga dewasa berwarna kuning, helai
kelopak menyebar atau sedikit melengkung ke arah buah Fenologi atau perkembangan tanaman
Berbunga sepanjang tahun (antara 3-4 bulan) Berbuah pada bulan Mei-Juni dan Oktober-November Pembuahan sampai masak yaitu sekitar 2-3 bulan
Bunga Rangkaian satu sampai beberapa bunga bersusun, diujung atau cabang/dahan pohon; mahkota berwarna putih, dengan diameter 5-8 cm; bunga sehari (ephemeral), terbuka menjelang malam hari dan berlangsung sepanjang malam, mengandung banyak madu pada pembuluh kelopak
Buah Memiliki diameter 3,5-4,5 cm; berwarna hijau; permukaan halus; kelopak bunga berbentuk cawan, menutupi dasar buah, helai kelopak menyebar atau melengkung dan berisi 150-200 biji dalam buah
Sumber: Susmalinda (2013)
Gambar 1. Mangrove Pedada Putih (Sonneratia alba) (A. Daun, B. akar dan C. pohon)
Sumber: (Susmalinda, 2013)
8
2.3 Enzim
2.3.1 Pengertian Enzim
Enzim merupakan biomolekul berupa protein berbentuk bulat (globular)
yang dihasilkan oleh sel hidup yang mempunyai sifat khusus dan terdiri atas satu
atau lebih rantai polipeptida. Enzim bekerja dalam mengkatalisis reaksi kimia
yang berlangsung didalam sel itu sendiri. Selain itu, enzim juga merupakan suatu
produk yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan dapat dimanfaatkan
dalam dunia industri maupun non pangan. Enzim ini juga sebagai alat praktis
yang penting (Darwis dan Sukara,1990). Enzim mempunyai sifat-sifat yang unik
sebagai biokatalis yaitu dapat aktif dalam jumlah sangat kecil dan aksi
katalitiknya spesifik (Murni et al., 2011). Enzim pada kondisi optimal aktivitasnya
akan mempunyai aktivitas katalitik yang tinggi, baik untuk kepentingan penelitian
ataupun pemanfaatan secara komersial. Ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi aktivitas enzim yaitu suhu inkubasi optimum, pH, serta pengaruh
aktivator dan inhibitor pada aktivitas enzim (Nelson dan Cox, 2010).
Enzim dapat bekerja terhadap zat atau substrat harus ada hubungan atau
kecocokan antara enzim dan substrat. Hubungan diantara keduanya hanya
terjadi pada bagian atau tempat tertentu saja. Bagian atau tempat tersebut
dinamakan sebagai bagian aktif (active site). Hubungan ini mungkin hanya terjadi
apabila bagian aktif mempunyai ruang yang tepat sehingga dapat menampung
substrat. Hubungan antara substrat dan enzim akan membentuk kompleks
enzim-substrat (Yuniarsih, 2012).
Menurut Lehninger (1982), enzim berfungsi sebagai katalis yang dapat
digunakan untuk meningkatkan atau mempercepat kecepatan reaksi kimia
dengan jalan menurunkan energi aktivasinya. Selain itu, juga dapat
meningkatkan suhu reaksi. Gerak molekul akan dipercepat dengan
menggunakan suhu tinggi. Namun, tidak semua penggunaan suhu itu baik dan
9
tepat, karena tidak semua senyawa dapat tahan terhadap suhu tinggi.
Penggunaan suhu tinggi tersebut, selain dapat merusak senyawa juga dapat
mengakibatkan biaya proses yang lebih besar.
Enzim dapat bekerja melalui dua cara yaitu teori kunci gembok (Lock and
Key Theory) dan teori kecocokan induksi (Induced Fit Theory). Dalam teori kunci
gembok, enzim bekerja apabila terdapat kesesuaian bentuk ruang antara sisi
aktif dari enzim dengan substrat, sehingga sisi aktif enzim menjadi kaku. Peran
substrat ini yaitu sebagai kunci masuk kedalam sisi aktif, yang berperan sebagai
gembok, sehingga sekali terjadi kompleks enzim-substrat. Produk hasil reaksi
akan terlepas dan enzim akan kembali kebentuk semula apabila ikatan kompleks
antara enzim-substrat terputus (Stenes, 1998). Mekanisme teori kunci gembok
dapat dilihat pada Gambar 2a.
Cara kerja teori kecocokan induksi berbeda dengan teori kunci-gembok.
Hal ini dapat dilihat bahwa teori kecocokan induksi menekankan pada enzim
yang melakukan penyesuaian bentuk untuk diberikan dengan substrat.
Tujuannya yaitu untuk meningkatkan kecocokan dengan substrat dan membuat
ikatan enzim substrat lebih reaktif. Pengikatan substrat menginduksi penyesuaian
pada enzim yang meningkatkan kecocokan dan dapat mendorong molekul
Enzim
Substrat enzim (Active site)
substrat Enzim
Substrat enzim (Active site)
substrat
Teori Kunci Gembok Sisi Aktif Cenderung kaku
Teori Kecocokan Induksi Sisi Aktif lebih fleksibel
Gambar 2. (a) Teori Kunci-Gembok; (b) Teori Kecocokan Induksi sumber: (Shahib, 2005)
(a) (b)
10
kompleks enzim-substrat (Chang, 2003). Mekanisme kerja enzim dengan teori
kecocokan induksi dapat dilihat pada Gambar 2b.
2.3.2 Jenis Enzim
Enzim juga dapat diklasifikasikan berdasarkan reaksi kimia yang
dikatalisnya. Klasifikasi enzim ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Enzim
Enzim Reaksi Katalis
Hidrolase Dapat mengkatalisis reaksi hidrolisis dari berbagai ikatan yang umumnya melibatkan perpindahan air (H2O). Contoh: esterase, nuklease, deaminase, amidase dan protease.
Isomerase Dapat mengkatalisis isomerase pada molekul yang mengakibatkan perubahan struktur molekul
Ligase Ligase dapat menggabungkan dua molekul menjadi ikatan kovalen
Oksidoreduktase Mengkatalisis reaksi oksidasi atau reduksi yang umunya dapat melibatkan transfer elektron. Contoh: oksidase dan dehidrogenase
Transferase Mentransfer gugus fungsional (metil atau gugus fosfat). Contoh: transglikosidase, transmetilase dan transasetilase.
Sumber: (Lehninger, 1982)
Menurut Masri (2014), L-asparaginase merupakan salah satu jenis enzim
hidrolase. Dimana dapat mengkatalisis reaksi hidrolisis L-aspargin menjadi asam
aspartat dan amonia dengan memutus ikatan amida. Enzim hidrolase merupakan
kelompok enzim yang penting dalam pengolahan pangan Karena enzim ini dapat
memecah substrat dengan bantuan molekul air.
Enzim-enzim hidrolase dapat diproduksi dalam jumlah yang besar dari
bakteri genus Bacillus (Doi dan Martina, 1992). Enzim hidrolase dapat
mengkatalisis ikatan ester, eter, peptida dan lain-lain. Enzim hidrolase
berdasarkan substratnya dibagi menjadi kelompok kecil yaitu karbohidrase,
esterase dan proteinase. Karbohidrase dapat menguraikan golongan karbohidrat.
Kelompok ini masih dipecah lagi bersadarkan karbohidrat yang diuraikan yaitu
amilase, maltase, sukrase, laktase, selulase, dan pektinasi. Enzim esterase yaitu
11
enzim-enzim yang memecah golongan ester, contohnya yaitu lipase dan
fosfatase. Sedangakan proteinase yaitu enzim-enzim yang menguraikan
golongan protein, contohnya yaitu peptidase, gelatinase dan renin (Indah, 2004).
2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Enzim
Faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim, yaitu konsentrasi enzim,
konsentrasi substrat, suhu, pH, dan keberadaan inhibitor. Apabila faktor-faktor
tersebut dioptimasi, maka enzim dapat menghasilkan kinerja optimum yang
ditunjukkan dengan tingginya nilai aktivitas enzim tersebut (Murni et al., 2011).
Enzim mempunyai sifat yang khas menurut Poedjiadi (1994), yaitu hanya
bekerja pada satu reaksi saja. Ukuran enzim lebih besar dari pada substratnya.
Dengan demikian, tidak seluruh bagian enzim tersebut dapat berhubungan
dengan substratnya. Bagian enzim yang dapat mengadakan hubungan dengan
substratnya disebut bagian aktif. Aktivitas enzim ini dipengaruhi beberapa faktor,
yaitu:
a. Konsentrasi Enzim
Konsentrasi enzim akan mempengaruhi kecepatan suatu reaksi enzim
tersebut. pada suatu kosentrasi enzim tertentu, kecepatan reaksi enzim
bertambah dengan bertambahnya kosentrasi enzim. Dengan kata lain,
konsentrasi enzim ini berbanding lurus dengan efektivitas kerja enzim. Semakin
tinggi konsentrasi maka kerja enzim (v) akan semakin baik dan cepat. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 3.
12
b. Konsentrasi Substrat
Dengan konsentrasi enzim yang tetap, maka pertambahan konsentrasi
substrat akan menaikkan kecepatan reaksi. Namun pada batas konsentrasi
tertentu, tidak akan terjadi kenaikan kecepatan reaksi walaupun konsentrasi
substratnya diperbesar. Hal ini dapat terjadi karena untuk membentuk kompleks
enzim-substrat diperlukan adanya kontak antara enzim dengan substrat. Apabila
substratnya cocok dengan enzim maka kinerja enzim juga akan optimal.
Pengaruh konsentrasi substrat (S) dapat dilihat pada Gambar 4.
Menurut Indah (2004), kecepatan reaksi akan meningkat pada batas
maksimum V, apabila konsentrasi substrat (S) bertambah, sedangkan keadaan
Gambar 4. Pengaruh konsentrasi substrat terhadap kecepatan reaksi enzim
Sumber: (Indah, 2004)
Gambar 3. Pengaruh konsentrasi enzim terhadap kecepatan reaksi Sumber: (Indah, 2004)
13
lainnya sama. Pada titik maksimum ini enzim telah mengalami jenuh dengan
substratnya, seperti pada Gambar 4. Pada titik A maupun B, semua enzim belum
bereaksi dengan substrat, sehingga penambahan substrat akan menyebabkan
jumlah enzim bertambah dan kecepatan reaksi v akan bertambah. Kemudian
pada titik C, semua enzim telat bereaksi dengan substratnya. Hal ini
menyebabkan tidak perlunya dilakukan penambahan substrat. Apabila dilakukan
penambahan substrat maka tidak akan menambah kecepatan reaksi, karena
tidak ada lagi enzim bebas.
c. Suhu dan pH
Suhu dan pH akan mempengaruhi aktivitas enzim. Pemanfaatan enzim
terbatas pada Suhu dan pH tertentu. Enzim akan mengalami denaturasi pada
suhu dan pH tertentu karena enzim merupakan suatu protein. Apabila terjadi
denaturasi, maka bagian aktif enzim akan terganggu dan dengan demikian
konsentrasi efektif enzim akan menjadi berkurang dan kecepatan reaksinya pun
akan menurun. Selain itu, struktur ion enzim juga tergantung pada pH
lingkungannya. Enzim dapat berbentuk ion positif, negatif, atau ion bermuatan
ganda. Perubahan pH lingkungan akan berpengaruh terhadap efektivitas bagian
aktif enzim dalam membentuk kompleks enzim substrat. Pada suatu pH tertentu
atau daerah pH yang dapat menyebabkan kecepatan reaksi paling tinggi, maka
pH tersebut dinamakan pH optimum. Selain itu, ada enzim yang dapat optimal
pada kondisi asam dan ada juga pada kondisi basa. Namun kebanyakan enzim
bekerja secara optimal pada pH netral (Gambar 5).
14
Pada pH rentah ataupun tinggi, enzim akan mengalami kerusakan yaitu
terdenaturasi. Selain itu, pada pH rentah atau tinggi, enzim maupun substrat
dapat mengalami perubahan muatan listrik dengan akibat terjadi perubahan
aktivitas enzim. Sebagai contoh yaitu pada pH tinggi, substrat (SH+) dapat
bereaksi dengan enzim bermuatan negatif (Enz-), maka pada pH yang ekstrim
rendah atau tinggi konsentrasi efektif SH+ dan enz akan berkurang. Hal ini
menyebabkan kecepatan reaksinya juga berkurang. Seperti terlihat pada Gambar
6.
Gambar 5. Pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksi enzim Sumber: (Indah, 2004)
Gambar 6. Pengaruh pH terhadap kecepatan reaksi enzim Sumber: (Indah, 2004)
15
d. Pengaruh Inhibitor
Inhibitor merupakan ion atau molekul yang akan menghambat reaksi.
Molekul inhibitor dapat berupa modifikasi gugus fungsi pada molekul enzim,
maupun molekul yang mirip dengan substrat. Inhibitor dapat mengurangi peluang
bagi terbentuknya kompleks enzim substrat dan hal ini menyebabkan
berkurangnya kecepatan reaksi.
e. Aktifator (koenzim dan kofaktor)
Menurut Martoharsono dan Soeharsono (2006), aktivator ini dibutuhkan
dalam reaksi katalis dari beberapa enzim. Aktivator merupakan suatu senyawa
atau ion yang dapat meningkatkan reaksi enzimatis. Dalam aktivator ini terdapat
kofaktor dan koenzim. Kofaktor adalah komponen kimia yang dapat membentuk
enzim atau disebut sebagai ion-ion anorganik (seperti Zn, Fe, Ca, Mn, Cu, dan
Mg). Sedangkan koenzim adalah molekul organik kompleks.
2.4 L-asparaginase, Sumbernya dan Aplikasi
2.4.1 Reaksi
Enzim L-asparaginase (L-asaparagin amidohidrolase, E.C.3.5.1.1)
merupakan enzim yang dapat mengkatalisis proses hidrolisa L-asparagin
menjadi L-aspartat dan ammonia (Hegazy dan Moharam, 2010). Asam aspartat
selanjutnya akan memasuki siklus asam sitrat yang akan memainkan peranan
penting dalam metabolisme asam amino (Hendriksen et al., 2009). Substrat
maupun produk hasil reaksi tersebut memiliki peranan yang penting dalam
metabolisme semua organisme, dari bakteri sampai mamalia. Dalam tanaman,
jumlah L-asparagin yang berlebih akan disimpan dan pada transpor nitrogen
digunakan untuk biosintesis protein. L-asparaginase dalam teknologi pangan
dapat digunakan untuk mengurangi akrilamida yang terkandung dalam makanan
olahan. Akrilamida bersifat sebagai karsinogen (Ciesarova et al., 2006;
16
Hogervorst et al., 2008; Bongers et al., 2012). Mekanisme dari Reaksi Katalisis L-
asparaginase dapat dilihat pada Gambar 7.
2.4.2 Sumber Mikroba
Enzim L-asparaginase merupakan enzim yang terlibat dalam proses
hidrolisis enzim L-asparagiase menjadi L-aspartat dan amonia. Enzim ini dapat
ditemukan disebagian besar mikroba seperti Proteus vulgaris, Erwinia
carotovora, Acinatobacter, Serratia marcescens, Mycobacterium bovis,
Streptomyces griseus, Achromobacteraceae dan Pisum sativum (Mishra, 2006;
Pieters et al., 2011). Kemudian E. coli, Erwinia cartova, Enterobacter aerogenes,
Corynebacterium glutamicum, Candida utilities, dan Bacillus sp (El-Bessoumy et
al., 2004). Menurut Masri (2014), L-asparaginase ditemukan pada bakteri
pseudomonas putida pada makro alga Sargassum sp.
Dalam dunia klinis, L-asparaginase diproduksi secara komersial dengan
menggunakan dua bakteri yaitu Erwinia chrysanthemi dan Escherichia coli
(Verma, 2007). Sumber potensial dari mikroba lainnya yang menghasilkan L-
asparaginase yaitu dari Thermococcus kodakaraensis TK 1656 yang dilaporkan
Gambar 7. Mekanisme dari Reaksi Katalisis L-Asparaginase Sumber: Hill (1967); El-Bessoumy et al., (2004); Shrivastava et al., (2016)
17
oleh Chohan dan Rashid (2013), yang memiliki aktivitas sebesar 2350 UI/mg
pada suhu optimum 85 °C dan pH 9,5. Selain itu Enterobacter aerogenes,
Enterobacter cloacae juga mampu menghasilkan L-asparaginase (Nawaz et al.,
1998). Bakteri penghasil L-asparaginase juga dapat ditemukan di ekosistem
maupun endofit mangrove yaitu pada jenis Rhizophora, Avicenia, Sonneratia,
Nypa dan lain-lain (Shome, 2001).
Mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim L-asparaginase yaitu
Pseudomonas fluorescens dengan aktivitas L-asparaginase sebesar 168.4 U
mL−1, pada pH 8, suhu 37 °C (Kishore et al., 2015; Prema et al., 2013), Bacillus
licheniformis RAM-8 dengan aktivitas L-asparaginase sebesar 697,1 U mL−1
pada pH 6-10, suhu 40 °C (Mahajan et al., 2014), Nocardiopsis alba NIOT-
VKMA08 dengan aktivitas L-asparaginase sebesar 151,1 U mL−1 pada pH 8,
suhu 37 °C (Meena et al., 2015), Streptomyces parvulus dengan aktivitas L-
asparaginase sebesar 146 U mL−1 pada pH 7,5, suhu 50 °C (Usha et al., 2011),
Photobacterium sp. dengan aktivitas L-asparaginase sebesar 20 U mL−1 pada pH
7, suhu 25 °C (Yaacob et al., 2014), Pyrococcus furiosus dengan aktivitas L-
asparaginase sebesar 550 U mL−1 pada pH 9, suhu 85 °C (Bansal et al., 2010),
Bacillus licheniformis MTCC 429 dengan aktivitas L-asparaginase sebesar 597,8
U mL−1 pada pH 8, suhu 37 °C (Sudhir et al., 2016). Sedangkan fungi yang dapat
menghasilkan L-asparaginase adalah Rhizomucor miehei dengan aktivitas L-
asparaginase sebesar 1985 U mL−1 pada pH 7, suhu 45 °C (Huang et al., 2014),
Talaromyces pinophilus dengan aktivitas L-asparaginase sebesar 145 U mL−1
pada pH 8, suhu 20 °C (Krishnapura dan Belur, 2016), dan Penicillium sp.
dengan aktivitas L-asparaginase sebesar 13,97 U mL−1 pada pH 7, suhu 37 °C
(Patro dan Gupta, 2012). Kemudian kelompok fungi yang dapat menghasilkan L-
asparaginase adalah Aspergillus, Penicillium dan Fusarium (Sarquis et al., 2004).
18
2.4.3 Apikasi Enzim L-Asparaginase
Potensi utama dari enzim asparaginase dalam dunia farmasi yaitu
digunakan sebagai agen kemoterapi kanker. Menurut Kidd (1953), yang pertama
kali menemukan aktivitas antikanker pada serum darah marmut (guinea pig).
Menurut Neuman dan McCoy (1956), mendemonstrasikan perbedaan
metabolisme serta pertumbuhan sel normal dan sel kanker sebagai respon tidak
adanya L-asparagin secara in vitro. Selanjutnya dari kedua penemuan tersebut
Broome (1963), menyimpulkan bahwa penemuan tersebut terjadi karena kadar L-
asparagin yang esensial untuk pertumbuhan sel kanker berkurang karena
aktivitas hidrolitik L-asparaginase.
Secara luas pemanfaatan L-asparaginase sebagai kandidat antikanker
memiliki beberapa masalah, diantaranya adalah penggunaan marmut (guinea
pig) sebagai satu-satunya sumber L-asparaginase pada tahun 1960-an bersifat
tebatas (Nagarethinam et al., 2012). Menurut Mashburn dan Wriston (1964),
enzim L-asparaginase ditemukan dari bakteri E.coli dalam jumlah yang besar.
Terdapat dua jenis L-asparaginase yang dihasilkan dari E.coli yaitu EC-1 dan
EC-2. EC-1 ditemukan pada sitoplasma sel, sedangkan EC-2 ditemukan pada
periplasmik. Singh et al., (2013) menyatakan bahwa diantara kedua jenis enzim
L-asparaginase tersebut, yang memiliki aktivitas antikanker adalah L-
asparaginase periplasmik. Penemuan tersebut mendorong penggunaan L-
asparaginase sebagai agen kemoterapi kanker.
Fungsi lain yang dimiliki oleh enzim L-asparaginase yaitu untuk mencegah
pembentukan akrilamida. Akrilamida inilah yang berpotensi kanker terhadap
manusia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa akrilamida terbentuk akibat
pengolahan pada suhu tinggi terhadap asam amino asparagin, terutama apabila
dikombinasikan dengan pereduksi dan produk antara reaksi maillard. Tahapan
intermediet reaksi maillard, asam amino mengalami dekarboksilasi dan
19
deaminasi untuk membentuk senyawa aldehid yang selanjutnya akan
membentuk senyawa akrilamida. Senyawa akrilamida terbentuk apabila setelah
diproses pada permukaan pangan yang membutuhkan Aw (water activity,
molekul air yang tidak terikat pada suatu molekul) yang relatif rendah serta
diproses pada temperatur ± 120 °C (Weisshaar dan Gutsche, 2005).
Akrilamida (C3H5NO) akan terbentuk dari asparagin dan gula pereduksi
selama berlangsungnya reaksi maillard (Mottram et al., 2002; Stadler et al.,
2002). Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8. bahwa asparagin dan gula
pereduksi memegang peran dalam reaksi konjugasi yang mengakibatkan
pembentukan N-glycosylasparagine sebagai akibat dari perlakuan suhu tinggi
dan akan membentuk dekarboksilasi. Dekarboksilasi dapat terurai secara
langsung menjadi akrilamida atau mungkin menghidrolisisnya untuk membentuk
3-aminopropionamide (Hedegaard et al., 2008). 3-Aminopropionamide juga
diyakini sebagai langkah awal pembentukan akrilamida (Granvogl dan
Schieberle, 2006)
Gambar 8. Mekanisme Pembentukan Akrilamida Sumber: (Parker et al., 2012)
20
2.5 Isolasi, Identifikasi, Konfirmasi Gram dan Morfologi
2.5.1 Isolasi Mikroorganisme
Bakteri dapat diisolasi dari berbagai sumber seperti tanah, air, sayuran,
buah-buahan dan berbagai jenis makanan. Isolasi bakteri adalah suatu proses
pemisahan koloni campuran hingga diperoleh koloni tunggal. Bakteri yang
tumbuh secara alami sebagian besar merupakan koloni campuran sehingga
perlu dilakukan isolasi untuk mendapatkan biakan murni. Isolasi bakteri menurut
Hadioetomo (1990), dapat dilakukan dengan menggunakan tiga cara yaitu :
a. Metode Goresan (Streak Plate Method)
Isolasi bakteri dengan metode gores dapat dilakukan dengan cara
menggoreskan suspensi bahan yang mengandung bakteri pada permukaan
media yang terdapat dalam cawan petri steril. Setelah dilakukan proses inkubasi,
bekas goresan akan menjadi koloni-koloni terpisah yang mungkin berasal dari
satu sel bakteri atau biakan murni.
Metode goresan praktis untuk digunakan, hemat biaya dan waktu. Akan
tetapi membutuhkan keterampilan. Kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan
dalam metode ini adalah inokulum yang digunakan dalam jumlah banyak
sehingga menyebabkan kesulitan dalam pemisahan sel. Lalu, permukaan
medium tidak digunakan dalam proses penggoresan, akibatnya pengenceran
tidak terjadi secara optimal.
b. Metode Agar Tuang (Pour Plate Method)
Pour plate method dilakukan dengan menginokulasikan suspensi bahan
yang mengandung bakteri kedalam cawan petri steril dan dilanjutkan dengan
menuangkan media agar yang sedang mencair. Koloni-koloni tersebar pada
permukaan agar setelah dilakukan inkubasi yang mungkin berasal dari satu sel
bakteri sehingga dapat diisolasi lebih lanjut. Metode ini mempunyai kelemahan
yaitu membutuhkan waktu yang lama dan bahan dalam jumlah yang banyak
21
akan tetapi tidak membutuhkan keterampilan tinggi. Biakan campuran diencerkan
dengan menggunakan medium agar yang telah dicairkan dan didinginkan.
Pengenceran dilakukan dalam beberapa tahap hingga diperoleh koloni tunggal.
c. Metode Sebaran (Spread Plate Method)
Spread Plate Method adalah metode isolasi dengan cara menyebarkan
sampel cair yang mengandung mikoorganisme pada permukaan media agar
dalam petridish steril. Setelah inkubasi, para permukaan media akan tumbuh
koloni-koloni terpisah sehingga didapatka biakan murni.
2.5.2 Identifikasi Molekuler 16S rRNA
Kunci dalam mengerti keragaman mikroba adalah suatu sistem klasifikasi
yang dapat diandalkan. Bakteri ini secara tradisional diklasifikasikan berdasarkan
sifat-sifat fenotipik. Namun, terkadang hasilnya tidak selalu dapat diandalkan
secara filogenik (Aris, 2011). Pendekatan analisis molekuler yang bisanya
digunakan adalah menggunakan pembanding sekuen RNA khususnya ribosom
termasuk dengan menggunakan komponen gen 16S (Ajmal et al., 2007).
Hubungan kekerabatan filogenetik diantara bakteri dapat ditentukan oleh kode
genetik pada daerah gen yang disebut dengan unit 5S rRNA (5S rRNA memiliki
struktur urutan basa terlalu pendek, sehingga tidak ideal dari segi analisis
statistika), 16S rRNA (16S rRNA dapat digunakan sebagai penanda molekuler
yang dikenal dengan sebutan ribotyping atau riboprinting), dan 23S rRNA (23S
rRNA memiliki struktur sekunder dan tersier yang cukup panjang sehingga
menyulitkan analisis). Sehingga dari ketiganya, 16S yang paling banyak
digunakan sebagai penanda molekuler. Identifikasi tersebut didasarkan pada
tingkat kesamaan dalam sekuens DNA ribosomal 16S sebagai sidik jari genetik
bakteri atau disebut sebagai sekuen sidik jari (Madigan et al., 2000). Gen 16S
rRNA paling akurat untuk menentukan taksonomi suatu bakteri dibandingkan
22
dengan 5S dan 23S. Panjang urutan basa gen 16S rRNA adalah 1500-1550
pasangan basa (Tannock, 1999).
Molekul 16S rRNA mempunyai sifat yaitu dapat berubah sesuai jarak
evolusinya, sehingga dapat digunakan sebagai kronometer evolusi yang baik.
Molekul 16S rRNA memiliki beberapa daerah yang urutan basanya konservatif
dan variatif (Pangastuti, 2006). Salah satu pendukungnya yaitu telah tersedianya
database dari 16S rRNA yang dapat dipakai sebagai pembanding sekuen 16S
rRNA bakteri lain untuk melihat hubungan kekerabatan genetik. Teknik ini
berkembang setelah diciptakannya mesin DNA sequencer. Secara teknis metode
ini melibatkan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk amplifikasi sekuen
rRNA dari strain bakteri. Hasil amplifikasi kemudian disekuensing untuk
mendapatkan informasi sekuen basa nitrogen. Sekuen basa nitrogen kemudian
dibandingkan dengan sekuen bakteri lain (Vaughan et al., 2006). Selain itu,
keungulan lain yang dimiliki oleh metode analisis 16S rRNA yaitu gen ini relatif
konstan dan tidak berubah dalam jangka waktu yang sangat lama atau dengan
kata lain laju mutasinya sangat kecil (Janda dan Abbot, 2007).
Analisis sekuen gen 16S rRNA yang digunakan sebagai teknik identifikasi
bakteri sudah dimulai sejak tahun 1980-an yang dikembangkan oleh Woose,
sehingga database nukleotida gen 16S pada bakteri cukup tersedia untuk
menjadi acuan identifikasi isolat bakteri dan studi filogenetik (Clarridge, 2004).
Gen ribosomal RNA mempunyai wilayah yang sangat lestari, terdapat pada
semua bakteri dan terdapat variasi kecil pada basa sekuen dari satu spesies ke
spesies lainnya. Variasi yang terdapat pada gen 16S rRNA tidak hanya
membedakan antar spesies, tetapi juga mengindikasikan derajat perbedaan
(Dale dan Park, 2004).
Sekuensing DNA ribosom 16S dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
sekuensing secara langsung dan sekuensing dengan bantuan PCR (Polymerase
23
Chain Reaction). Teknik PCR ini merupakan metode yang paling baru dan terpilih
karena membutuhkan sedikit bahan, lebih cepat dan praktis dilakukan dari pada
sekuensing secara langsung. Tujuan digunakanya teknik PCR yaitu untuk
mengamplikasikan DNA ribosomal 16S menggunakan primer komplemen yang
diproduksi secara sintetik. Kemudian hasil tersebut dideteksi oleh detektor dan
dianalisis langsung oleh komputer (Madigan et al., 2000).
2.5.3 Analisis Filogenik
Analisis filogenik merupakan penentuan bagaimana suatu keluarga
mungkin diturunkan selama proses evolusi. Hubungan evolusi berdasarkan
sekuen digambarkan dengan menempatkan sekuen sebagai outer branches
pada suatu pohon filogenetik. Analisis filogenetik bertujuan untuk menemukan
semua hubungan percabangan dari suatu pohon berdasarkan panjang cabang
(Mount, 2001).
Analisis filogenik dapat dilakukan dengan menggunakan Phylogeny.fr.
Analisis ini dirancang untuk menyediakan penyelarasan dan filogeni secara
komprehensif dan fleksibel. Phylogeny.fr adalah server web pertama yang
dirancang untuk membuat pohon filogenik suatu spesies mikroorganisme secara
otomatis dan lengkap. Cara penggunaanya sederhana dan mudah untuk
dilakukan. Dengan menekan “One Click” dan ditunggu sekitar 2-6 menit maka
hasilnya akan muncul pada layar komputer. Sebelum dilakukan analisis
filogenetik, pengguna juga dapat mengumpulkan database urutan DNA dengan
menjalankan BLAST secara umum. Kemudian database tersebut dimasukkan
Phylogeny.fr yang tersedia dilaman: http://www.phylogeny.fr/ (Dereeper et al.,
2008).
24
2.6 Konfirmasi Gram dan Morfologi
Bakteri merupakan suatu organisme yang mempunyai ukuran kecil dan
terkadang berkelompok. Dalam mempermudah pengamatan dibawah mikroskop
diperlukan pewarnaan mikroorganisme menggunakan zat pewarna. Pewarnaan
yang paling sering dilakukan adalah pewarnaan Gram. Pewarnaan Gram
merupakan pewarnaan diferensial yang menggunakan lebih dari satu wat warna
dan mempunyai reaksi yang berbeda tiap bakterinya. Hasil dari pewarnaan Gram
akan membedakan dua kelompok besar bakteri, yaitu Gram positif dan Gram
negatif (Pratiwi, 2008).
Pewarnaan gram ditemukan pertama kali oleh Christian Gram yang
merupakan seorang yang ahli dalam bidang bakteriologi dan berkebangsaan
Denmark. Ciri-ciri bahwa bakteri tersebut tergolong Gram positif yaitu berwarna
biru atau ungu. Warna biru atau ungu disebabkan oleh kompleks warna merah
kristal violet-iodin. Sedangkan untuk bakteri Gram negatif, ciri-cirinya yaitu
setelah dilakukan pewarnaan Gram akan menghasilkan warna merah atau merah
muda. Hal ini disebabkan tidak mampu mempertahankan kompleks warna
tersebut saat diberi larutan etanol 95 % dan pewarna safranin akan masuk
kedalam bakteri sehingga berwarna merah. Perbedaan warna yang dihasilkan
pada pewarnaan bakteri Gram positif dan negatif tersebut disebabkan oleh
perbedaan struktur dan komposisi dinding sel kedua bakteri tersebut. Gram
positif memiliki dinding sel yang mengandung peptidoglikan yang tebal sehingga
mengakibatkan dapat mempertahankan warna kompleks tersebut. Sedangkan
bakteri Gram negatif tidak memiliki peptidoglikan pada dinding selnya, namun
memiliki kandungan lipid dalam jumlah yang banyak sehingga ketika diberikan
larutan etanol 95 % akan larut dan warna ungu yang terbentuk dari kristal violet
menjadi luntur dan safranin yang diberikan dapat mewarnai bakteri tersebut
(Barbour et al., 1987).
25
Warna ungu dan merah muda terkadang sulit ditemukan dalam proses
pewarnaan Gram. Hal ini dikarenakan kedua warna tersebut saat dilakukan
pengamatan terkadang terlihat sama sehingga terkadang bakteri yang Gram
positif seakan-akan berwarna merah muda. Gram positif mulai sulit mengikat
kompleks warna dikarenakan dinding sel berusia terlalu tua. Kesulitan ini dapat
diatasi dengan dilakukan uji lanjut menggunakan KOH 3 %. Lisis akan terjadi
pada bakteri Gram negatif sehingga menyebabkan DNA keluar. Hal ini ditandai
dengan adanya lendir. Sedangkan untuk bakteri Gram positif tidak mengalami
proses lisis dikarenakan memiliki dinding sel yang kuat (Cappucino dan
Sherman, 1992).
Menurut Lay (1994), pewarnaan gram dilakukan secara sederhana dan
mudah. Pewarnaan ini bertujuan untuk mengetahui bentuk, ukuran dan penataan
mikoorganisme. Bentuk yang dikenal yaitu bentuk bulat (coccus), batang (basil),
dan spiral. Pada bakteri bentuk bulat (coccus) dapat terlilat pewarnaan seperti
rantai (Streptococcus), buah anggur (Staphyococcus), pasangan (Diplococcus),
dan bentuk kubus yang terdiri dari 4 atau 8. Perbedaan bakteri Gram positif dan
Gran negatif dapat dilihat pada Tabel 3.
Menurut Susilowati dan Shanti (2001), mikoorganisme dapat berupa
bakteri, fungi, protozoa dan lain sebagainya. Mikoorganisme ini dilakukan proses
identifikasi baik secara fisika atau kimia untuk mengetahui jenisnya. Pencirian
mikoorganisme dapat diketahui dengan melihat morfologi, nutrisi, kultur,
metabolik, susunan antigen, susunan kimiawi, dan sifat patogenik. Sedangkan
pencirian pada cendawan dilihat dari meselium, spora aseksual, spora seksual
dan habitat alamiahnya.
26
Tabel 3. Perbedaan Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif
Gram Positif Gram Negatif
Dinding sel peptidoglikan berlapis-lapis dan biasanya tebal, berbentuk anyaman rapat yang mengurung kompleks besar kristal ungu-iodium
Selubung sel memiliki lapisan peptidoglikan tipis terdiri dari 1-3 lapis yang terhubung dengan suatu membran luar; peptidoglikan ini tidak teranyam rapat, sehingga mudah kehilangan kompleks ungu kristal-iudium pada proses pelunturan dengan alkohol
Tidak memiliki membran luar sehingga tidak memiliki barrier atau penghalang hidropobik untuk membatasi jalan masuk untuk antibiotika besar
Membran luarnya mempunyai lipopolisakarida. Lipopolisakarida ini yang paling sering dikeluarkan pada saat kematian sel dan memiliki komponen toksik.
Contoh:
• Bacillus
• Staphylococcus
• Streptococcus
• Peptostreptoccus
• Clostridium
• Enterococcus dan lain sebaginya
Contoh:
• Neisseria
• Moraxella
• Bricella
• Francisella
• Bordetella dan lain sebaginya
Sumber: (Johnson, 2011)