Upload
khotimah-anna-saputri
View
14
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
SINERGI PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN
SUMBERDAYA PERPUSTAKAAN DALAM PERCEPATAN LITERASI
INFORMASI1
Oleh: Subandi Sardjoko2
I. PENDAHULUAN
Era globalisasi yang diiringi oleh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat mensyaratkan setiap
bangsa untuk memiliki daya saing yang tangguh. Seorang pakar dari
Massachusetts Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat, Prof.
Lester Thurow menyatakan bahwa untuk memenangkan kompetisi
global dibutuhkan pengetahuan dalam wujud brainpower, imagination,
invention, and technology.
Penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut
nampaknya t i dak mudah karena i pt ek berkembang dengan sangat cepat
sehi ngga pencapai an yang di perol eh bangsa I ndonesi a dal am I pt ek
berbarengan dengan adanya penemuan dan perkembangan baru dal am
Iptek di negara yang lebih maju. Oleh sebab itu dibutuhkan lompatan
besar sehingga kita mampu sejajar dengan bangsa lain.
Upaya tersebut membutuhkan sumber daya manusia yang cerdas,
kreatif dan inovatif yang hanya dapat dicapai melalui semangat untuk
- terus menerus belajar ( long life education ) agar proses akumulasi ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat meningkat secara kontinyu. Di sinilah
1 Makalah disampaikan pada Seminar Ilmiah dalam rangka Kongres Ke-10 Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) di Hotel Discovery Kartika Plaza, Kuta-Bali, 14 November 2006.
2 Direktur Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga, BAPPENAS.
1 / 12
pembangunansumber daya manusi a, t ermasuk penyedi aan akses
pendidikan dan informasi (perpustakaan) mendapatkan ‘mandat’ yang
penting sebagai fasilitator perwujudan masyarakat pembelajar tersebut.
II. POTRET SUMBER DAYA MANUSIA INDONESIA
Pembangunan sumber daya manusia melalui penyediaan akses
terhadap pendidikan dan informasi perpustakaan memiliki arti strategis
dalampembangunan nasi onal , ut amanya di kai t kan dengan daya sai ng
bangsa kita yang semakin mengkhawatirkan. Indikatornya adalah
penurunan indeks pertumbuhan daya saing nasional (Growth
Competitiveness Index, World Economic Forum) - , dari peringkat ke 69 di
- tahun 2004 menjadi peringkat ke 74 di tahun 2005.
Data tersebut sangat mencemaskan, apabila dibandingkan dengan
negeri jiran Malaysia yang peringkatnya semakin menanjak, yaitu dari
nomor 31 pada tahun 2004 menjadi nomor 24 pada tahun 2005. Oleh
sebabi t u, I ndonesi a harus segera mengambi l l angkah st rat egi s unt uk
meningkatkandaya sai ngnya.
- Dalam konteks yang lebih spesifik, rata rata kemampuan
masyarakat Indonesia jauh tertinggal dibanding negara lainnya.
- Misalnya: (1) dalam kemampuan matematika siswa kelas 2 SLTP di
- Indonesia berada pada peringkat ke 34 dan untuk kemampuan IPA pada
urutan ke 36 dari 50 negara yang disurvey ( Trends in International
Mathematics and Science Study, TIMSS 2 0 0 3 ); (2 ) dalam kemampuan
menulis di Jurnal International hanya mencapai 0 ,0 1 2 % (Scientific
2 / 12
American 2 0 0 4 ); (3) Inovasi dalam bentuk paten belum mencapai
syarat minimum WTO sebesar 3 3 % (Zuhal, 2 0 0 5 ).
Indikasi l ai n l emahnya daya sai ng I ndonesi a, dapat pul a di ukur
berdasarkan kri t eri a Technology Achievement Index yang membagi
- negara negara di dunia menjadi empat kelompok. Pertama , kel ompok
Technology Inovator Countries yang beranggotakan 18 negara, di mana
- AS, Jepang dan negara negara Eropa Barat berada di dalam kelompok
ini. Kedua , kel ompok Technology Implementor Countries yang t ercakup
- kumpul an negara negara yang meski pun baru bi sa memproduksi barang
- atau inovasi, tapi sudah bisa menerapkan teknologi teknologi tinggi
-dalam berbagai segi kegiatannya. Malaysia yang pada tahun 1970 an
banyak mengirim mahasiswanya ke Institut Teknologi Bandung masuk
dalam kelompok ini. Sementara Indonesia , t ergol ong di kel ompok
ketiga , yakni Technology Adaptor Countries . -Kumpul an negara negara
- yang baru bi sa mengadopsi t eknol ogi sedi ki t sedi ki t t api bel umsampai
pada tahap i mpl ement asi l uas. I roni snya, I ndonesi a menduduki
peringkat ke 60 dari 63 negara yang masuk dalam kelompok ini. Itu
berarti bahwa tidak tertutup kemungkinan Indonesia akan tergeser ke
dal am kat egori kel ompok keempat , yakni kel ompok margi nal at au
Marginalized Countries .
Rendahnya kualitas SDM Indonesia juga tercermin dari pencapaian
pembangunan pendidikan nasional, yang dapat dilihat antara lain
melalui tingkat pendidikan yang berhasil diselesaikan oleh penduduk.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2003
menunjukkan, persentasi penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut
jenjang pendidikan yang ditamatkan secara berurutan adalah: [i]
3 / 12
tidak/belum pernah sekolah 8,50 persen, [ii] belum tamat SD/MI 21,87
persen, [iii] SD/MI 33,42 persen, [iv] SMP/MTs 16,65 persen, [v]
SMA/SMK/MA 16,17 persen, dan [vi] Perguruan Tinggi 3,39 persen.
Data tersebut dengan jelas menggambarkan betapa tingkat
pendidikan mayoritas penduduk Indonesia masih sangat rendah.
Sebagian besar penduduk Indonesia hanya berpendidikan setingkat
sekolah dasar, bahkan akumulasi dari mereka yang menamatkan
SD/MI, belum tamat SD/MI, dan tidak/belum pernah sekolah mencapai
63,79 persen, sebuah bilangan yang sangat besar.
Pencapaian pendidikan yang rendah ini mengindikasikan bahwa
kualitas SDM Indonesia masih harus ditingkatkan secara terus-
menerus. Sungguh, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan yang
tidak ringan untuk mampu memasuki persaingan global hanya dengan
modal SDM yang mayoritas berkualifikasi lulusan sekolah dasar saja.
Memang, masih ada sebagian penduduk yang telah menyelesaikan
sekolah menengah pertama dan atas yakni sebesar 32,82 persen,
namun angka ini relatif kecil. Penduduk Indonesia yang berhasil lulus
perguruan tinggi bahkan lebih sedikit lagi yakni 3,39 persen saja,
sebuah bilangan yang tidak telalu signifikan bila dibandingkan dengan
dua bilangan besar yang disebut terdahulu.
Selain itu, masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan yang
cukup lebar antarkelompok masyarakat seperti antara penduduk kaya
dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk
perempuan, antara penduduk di perkotaan dan perdesaan, dan
antardaerah. Data SUSENAS 2003 mengungkapkan bahwa faktor
ekonomi (75,7 persen) merupakan alasan utama anak putus sekolah
atau tidak melanjutkan pendidikan, baik karena tidak memiliki biaya
sekolah (67,0 persen) maupun karena harus bekerja untuk membantu
orang tuanya mencari nafkah (8,7 persen). Hal tersebut berdampak
pada tingginya kesenjangan partisipasi pendidikan antara penduduk
4 / 12
miskin dengan penduduk kaya. Pada tahun 2003, pada saat angka
partisipasi sekolah (APS) penduduk 13-15 tahun dari kelompok 20
persen terkaya sudah mencapai 93,98 persen, APS kelompok 20
persen termiskin baru mencapai 67,23 persen. Kesenjangan yang lebih
besar terjadi pada kelompok usia 16-18 tahun dengan APS kelompok
termiskin dan terkaya berturut-turut sebesar 28,52 persen dan 75,62
persen. Pada saat yang sama, partisipasi pendidikan penduduk
perdesaan lebih rendah dibanding penduduk perkotaan. Rata-rata APS
penduduk perdesaan usia 13-15 tahun pada tahun 2003 adalah sebesar
75,6 persen sementara APS penduduk perkotaan untuk kelompok usia
yang sama sudah mencapai 89,3 persen. Kesenjangan yang lebih nyata
terlihat untuk kelompok usia 16-18 tahun yaitu dengan APS penduduk
perkotaan sebesar 66,7 persen dan APS penduduk perdesaan sebesar
38,9 persen atau hanya separuh APS penduduk perkotaan.
Data di atas tentunya sangat bermanfaat terutama bagi para
pustakawan dalam melakukan need assessment untuk meningkatkan
sinergi perencanaan program pengembangan sumberdaya
perpustakaan dalam percepatan literasi informasi.
III. MINAT BACA DALAM PERCEPATAN LITERACY INFORMASI
Masyarakat berbasis iptek ( knowledge based society ) hanya dapat
di kembangkan apabi l a masyarakat t el ah berori ent asi sebagai
pembelajar ( learning society ). Kemudian masyarakat pembelajar
t ersebut hanya dapat t umbuh apabi l a masyarakat t ersebut gemar
membaca ( reading society ). Dalam rangkaian ini, peran perpustakaan
sangat vital untuk mendorong terbentuknya reading society, learning
society dan knowledge based society dal amrangka meni ngkat kan daya sai ng
bangsa.
5 / 12
Menurut hemat kami, langkah pertama yang harus dikerjakan untuk
mempercepat literacy informasi adalah melalui upaya terus menerus
dalammeni ngkat kan mi nat dan budaya baca masyarakat , dal am
rangkaian proses menuju masyarakat pembelajar. Setidaknya ada 3
faktor penting yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) sistem pendidikan
yang di harapkan mampu mendorong t umbuhnya perasaan ci nt a i l mu
dan buku, memupuk semangat ingin tahu (curiosity ), eksplorasi, dan
invensi, memfasilitasi ruang untuk kebebasan berpikir dan berpendapat,
sert a menst i mul i r berbagai di al og dan kompet i si di bi dang kei l muan;
(2) sistem kemasyarakatan yang mampu memberikan penghargaan yang
tinggi t erhadap prest asi di bi dang i l mu penget ahuan dan t eknol ogi ,
menjamin perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual,
mendorong budaya demokratis dan budaya maju (progresif) untuk
mendukung terciptanya masyarakat pembelajar ( learning society ); dan
(3) ketersediaan dan akses terhadap informasi/bacaan yang meliputi
kemampuan dalam menyediakan berbagai media pembelajaran seperti
buku dan media cetak lainnya serta media elektronik, seperti: internet
dan jurnal elektronik.
Berdasarkanpet a di at as, nampak pendi di kan bai k di dal am sekol ah
maupun di dal ammasyarakat memi l i ki peran yang sangat pent i ng dal am
menumbuhkembangkan mi nat baca. Mi nat baca yang t el ah di dorong
oleh suasana pembelajaran yang kondusif akan terkendala oleh
keterbatasan akses masyarakat terhadap informasi. Oleh sebab itu,
ketersediaan akses informasi menjadi suatu yang tidak kalah penting
dan disinilah domain tugas utama perpustakaan dan para pustakawan
yang menjadi ujung tombaknya. Dengan demikian, nampak hubungan
6 / 12
yang sangat erat ant ara pendi di kan dan perpust akaan dal am
menumbuhkembangkan budaya baca sehi ngga perl u t erus di dorong
untuk dapat bekerja secara sinergis.
Selanjutnya, seiring dengan perkembangan masyarakat yang
s emakin di nami s, upaya unt uk menumbuhkembangkan mi nat dan
budaya baca juga dihadapkan pada beberapa tantangan berikut ini:
1. Adanya keterkaitan pembangunan perpustakaan dengan
p embangunan l ai nnya, mi sal nya pembangunan pendi di kan at au
ant arpenyedi a l ayanan kepust akaan l ai nnya sehi ngga mel ahi rkan
saling ketergantungan (interdependency ). Untuk itu diperlukan
kerjasama yang sinergis antarlintas pelaku dan kerja sama
ant arperpust akaan dal amkerangka sharing of resources . Kerja sama
ant arl i nt as pel aku t ersebut akan mampu menggal ang pendanaan
yang lebih berkelanjutan.
2. Adanya pertumbuhan teknologi informasi yang sangat cepat
yang dapat dilihat dari terjadinya loncatan dari budaya lisan langsung
ke budaya tontonan sehingga budaya tulisan (baca) tidak cukup
mapan dalam masyarakat. Di sisi lain, kehadiran teknologi informasi
t ersebut memberi kan kesempat an yang l ebi h banyak dan l ebi h cepat
dalam mengakses informasi sehingga dimungkinkan dilakukannya
-inter networking.
3 . Di samping peran tersebut, perpustakaan juga dituntut
untuk menjadi ‘jembatan’ antara satu generasi dengan generasi
lainnya sehingga terjadi sosialisasi nilai luhur yang dapat membantu
pembentukan watak bangsa.
7 / 12
IV. SINERGI PERENCANAAN DALAM PENGEMBANGAN
SUMBERDAYA PERPUSTAKAAN
Dilihat dari perspektif kepemerintahan pada saat ini, utamanya
pasca krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan juga kecenderungan
gl obal t ent ang - re inventing government terjadi trend yang perl u segera
diantisipasi, yaitu: (1) semakin terbatasnya dana pemerintah dalam
berbagai bidang pembangunan termasuk di bidang perpustakaan; (2 )
adanya perubahan peran pemeri nt ah dal am pembangunan dari
implementator menjadi fasilitator dan katalisator sehingga dibutuhkan
partisipasi masyarakat dan dunia usaha; (3 ) dilaksanakannya otonomi
daerah sehingga pengelolaan perpustakaan menjadi tanggung jawab
pemerintahdaerah.
Untuk mengantisipasi kecenderungan tersebut dibutuhkan suatu
strategi kemitraan (partnership ) antara pemerintah: baik pusat maupun
daerah, dengan masyarakat dan dunia usaha. Diharapkan melalui
kemitraan tersebut akan mampu: (1) memperluas partisipasi
masyarakat dan dunia usaha dalam pengembangan perpustakaan; (2 )
melakukan pembagian peran dan tanggung jawab antara pemerintah
pusat, pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha; dan (3 )
menjamin keberlanjutan pengembangan perpustakaan.
Setelah peran tanggung jawab dibagi, maka peran perpustakaan
sebagai ‘produsen’ dapat semakin fokus dengan memperkuat
karakteristik dasar sebagai berikut: (1) berperan aktif dan proaktif; (2)
memiliki kualitas layanan yang baik sehingga berdaya saing; (3 )
memi l i ki daya t ari k dan daya dorong sehi ngga mampu memperl uas
minat baca di kalangan masyarakat; dan (4 ) mampu mengoptimalkan
8 / 12
teknologi informasi untuk memperluas akses layanan masyarakat
terhadap informasi.
Dengan cakupan masalah yang demikian luas, agaknya sulit apabila
hanya mengandal kan pengembangan mi nat baca dan perpust akaan bagi
220 juta penduduk Indonesia pada Perpustakaan Nasional dan
jajarannya di daerah. Dibutuhkan dukungan kuat dari semua
stakeholders pembangunan perpustakaan, yaitu Depdiknas, Depag,
Depbudpar, Depkominfo, Dunia Usaha, dan Yayasan, baik nasional
maupun internasional. Dalam rangka memperkuat kerja sama tersebut
maka Perpustakaan Nasional dituntut untuk menginisiasi
terselenggaranya jaringan antarperpustakaan, baik dengan
perpustakaanumum, perpust akaan khusus, perpust akaan perguruan t i nggi dan dengan perpust akaan
sekolah.
Selanjutnya, terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, upaya
untuk mencerdaskan masyarakat menjadi sangat penting karena terkait
dengan pemberdayaan masyarakat di daerah (empowering). Dengan
demikian Pemerintah Daerah dituntut untuk senantiasa memanfaatkan
setiap peluang yang ada, dalam upaya peningkatan kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM). Tanpa SDM yang berkualitas akan menyulitkan
Pemerintah Daerah untuk memajukan Daerahnya. SDM yang
berkualitas hanya akan diperoleh melalui belajar dan membaca,
sehingga dapat mengakses informasi mengenai kemajuan ilmu
pengetahuandan t eknol ogi .
Pelaksanaan otonomi daerah memiliki dampak yang beragam
dalam pembangunan perpustakaan di daerah. Di beberapa daerah,
pel aksanaan ot onomi daerah dan ot onomi bagi pengel ol a perpust akaan
9 / 12
t el ah mampu meni ngkat kan kual i t as l ayanan perpust akaan bagi
anggotanya. Perpustakaan semakin dibutuhkan terutama pada daerah
dengan tingkat kesejahteraan yang minim. Daya beli masyarakatnya
yang t erbat as membut uhkan dukungan peni ngkat an akses t erhadap
buku. Demikian pula, masih adanya keluhan terhadap mahalnya biaya
pendidikan, kehadiran perpustakaan yang lengkap tentu saja sangat
membantu bagi siswa. Meskipun demikian ada juga perpustakaan yang
semakin terpinggirkan paska otonomi daerah. Untuk mengantisipasi
keragaman perpustakaan di daerah, peran Perpustakaan Nasional
dalammel akukan pembi naan perl u semaki n di perkuat .
Selanjutnya terkait dengan perencanaan, Perpustakaan Nasional
dan Perpustakaan Daerah serta para Pustakawan dituntut untuk mulai
memperkuat ketajaman perencanaan melalui penyediaan data dan
informasi yang terkait dengan pembangunan perpustakaan, termasuk di
dal amnya st at i st i k perbukuan sehi ngga keragaman buku yang t erbi t t i ap
tahunt erpet akan.
Ketersediaan data dan informasi dalam penyusunan sebuah rencana
pembangunan menjadi faktor yang sangat penting. Seperti dimaklumi
bersama, data dan informasi menjadi landasan utama dalam setiap
proses penyusunan kebijakan. Akurasi dari sebuah rumusan kebijakan
sangat ditentukan oleh sejauhmana kedalaman dan ketepatan
(comprehensiveness ) dalam melakukan identifikasi kondisi dan
permasalahanyang ada.
Dengan demikian peran sebuah data dan informasi yang tepat dan
dapat menggambarkan kondi si existing sebuah fenomena akan
10 / 12
mempertajam rumusan sasaran dan target yang akan dicapai dalam
sebuah rencana pembangunan. Data dan informasi yang tepat juga
dapat menggambarkan sebuah kapasi t as dan kemampuan yang di mi l i ki
sehingga model perencanaan dan arah kebijakan yang dibuat sangat
mempertimbangkan kondisi t ersebut , t i dak i deal i s dan t anpa bat as,
sehingga rumusan kebijakan tersebut merupakan sebuah rumusan dari
rangkai an kegi at an yang managable dan memi l i ki kemungki nan t i ngkat
capaianyang t i nggi .
Selain itu, pada tahap awal penyusunan rumusan kebijakan,
keberadaan data dan informasi dalam bentuk statistik juga penting
sebagai landasan bagi penilaian tingkat capaian (achievement ) dan
kinerja (performance ) dari sebuah rencana yang dibuat. Mekanisme
monitoring dan evaluasi sangat membutuhkan data dan informasi yang
tepat untuk melihat sejauhmana capaian dari pelaksanaan rencana yang
dibuat sebelumnya dan menjadi landasan bagi rumusan perencanan
selanjutnya.
Pada area inilah, para Pustakawan, baik Pustakawan Pemikir
maupun Pustakawan Peneliti ditantang untuk dapat mengkontribusikan
keahl i annya unt uk t urut merencanakan program pengembangan
sumberdaya perpustakaan dalam mempercepat literacy informasi.
V. KESIMPULAN
Pembangunan perpustakaan dalam menumbuhkembangkan budaya
baca akan senantiasa berdampingan dengan peran pembangunan pendidikan. Oleh sebab itu, sinergi antara pendidikan dan
perpustakaan menjadi suatu keniscayaan. Di sisi pengelolaan, upaya
11 / 12
penumbuhkembangan budaya baca perl u mel i bat kan sel uruh
stakeholder, yaitu: pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga
pendidikan dan masyarakat. Pelibatan tersebut dilaksanakan dalam
format kerja sama kemitraan melalui perluasan networking dan sharing
of resources sehingga mampu memperkuat efektifitas dan efisiensi
dalampencapai an sasarannya.
Di samping itu, perlu ditingkatkan kualitas layanan perpustakaan
dengan mengoptimalkan teknologi informasi dan peningkatakan
kualitas SDM pustakawan, baik yang bersifat teknis maupun substantif.
Akhir kata, melalui kesempatan yang berbahagia ini kami mengajak
Ibu dan Bapak Pustakawan untuk terus menerus mengkaji, memberikan
sumbangan pemi ki ran dan mul ai membangun dat abase sebagai dasar
perencanaan pembangunan perpust akaan nasi onal , sehi ngga t i ngkat
- capaian dan kinerja dari kegiatan kegiatan yang telah dilaksanakan
selama ini secara kualitatif dan kuantitatif dapat dijadikan landasan
dalampembangunan perpust akaan nasi onal ke depan.
14 2006Denpasar, N opember
12 / 12