Upload
dinhcong
View
267
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
1
1. Ketidak-adilan dalam pengadaan dan pemanfaatan tanah: pengembangan industri-pariwisata dan peminggiran masyarakat kampung kota di Bandung. Tristam P. Moeliono 2. Abstract Paper ini menyoal ketidakadilan yang muncul dari kebijakan perencanaan dan pemanfaatan ruang kota. Ketidakadilan demikian berawal dari ikhtiar pemerintah dan swasta untuk memanfaatkan lahan perkotaan untuk membangun hotel bintang lima sebagai bagian dari pengembangan pariwisata Kota Bandung. Lahan yang sama, dari dokumen perencaan tata ruang yang ada (di tingkat propinsi) dikualifikasikan sebagai kawasan lindung (bagian dari Kawasan Bandung Utara dan yang memberikan perlindungan bagi kawasan di bawahnya). Di sekitar lahan yang sama tumbuh kembang masyarakat kampung kota, Sangian santen. Dalam sengketa yang kemudian muncul tentang bagaimana seharusnya lahan perkotaan yang terbatas dimanfaatkan mencuat persoalan bagaimana pemerintah harus menyikapi perbedaan paham tentang kemanfaatan pembangunan hotel di kawasan tersebut bagi masyarakat setempat maupun masyarakat umumnya. Terkait terkelindan dengan itu ialah persoalan seberapa jauh hak masyarakat kampung kota dan perseorangan lainnya sebagai tetangga dan juga kepentingan masyarakat kota sebagai keseluruhan (dirumuskan sebagai kepentingan publik) berpengaruh terhadap kebijakan pemanfaatan lahan. Ini juga menyangkut persoalan yang lebih besar seberapa jauhkah pemerintah kota Bandung berhasil mengembangkan kota yang inklusif, dalam arti membuka kesempatan penuh bagi warga kota untuk berperan serta dalam pengembangan kebijakan pemanfaatan lahan dan menarik manfaat dari kebijakan yang ada. Kajian akan difokuskan pada upaya-upaya apa yang terbuka bagi masyarakat kampung kota untuk mempertahankan lahan atau keberlanjutan pemukiman mereka berhadapan dengan kebijakan pengembangan kota sebagaimana terwujud dalam izin-izin pembangunan (berkenaan dengan proses pengadaan tanah serta kemudian pemanfaatannya). Ditenggarai bahwa proses hukum yang mengatur pengadaan dan pemanfaatan tanah (termasuk ke dalamnya proses perizinan) secara jelas mengandung bias pembangunan dan bias perkotaan. Kedua bias tersebut menjadi titik tolak dari mana ketidakadilan akibat peminggiran masyarakat kampung kota dari perumusan dan implementasi kebijakan pembangunan perkotaan dapat dimaknai. Namun demikian dalam kenyataan ketidak-adilan yang nyata muncul tidak ternyatakan dengan tegas oleh para pihak yang bersengketa, yaitu pada satu pihak masyarakat kampung kota, lembaga-swadaya masyarakat yang peduli lingkungan dan pada lain pihak investor (pemegang izin) dan pemerintah (dinas-dinas pemberi izin). Kesulitan merumuskan apa yang sebenarnya menjadi persoalan (grievances) dalam bahasa hukum menjadi satu kendala bagi masyarakat kampung kota untuk menuntut keadilan dan memilih forum yang terbaik untuk menyelesaikan sengketa tentang pemfaatan tanah. Kendala kedua terkait dengan terus berkembang dan berubahnya persoalan yang menyambangi mereka. Mulai dari sekadar urusan bertetangga dengan pemborong bangunan, perolehan izin secara tidak sah, pelanggaran tataruang, sampai dengan yang paling abstrak keterpinggiran mereka sebagai warga kota.
2
Satu temuan utama ialah bahwa kegiatan pembangunan (pengadaan pemanfaatan tanah demi pembangunan hotel) di sekitar pemukiman warga kampung kota, berpotensi menimbulkan sengketa. Pertanyaan yang selalu muncul dari mereka, terutama masyarakat kampung kota, dengan exit dan voice option yang sangat terbatas, sekalipun tidak pernah diungkap secara tegas, ialah siapa sebenarnya hendak diuntugkan dengan kebijakan pembangunan kota dan mengapa mereka terus diminta untuk berkorban? Ketidakadilan di sini dimaknai dalam kaitan dengan kecenderungan kebijakan pemanfaatan tanah yang cenderung hanya menguntungkan pengusaha-pemerintah dan sebaliknya tidak menghasilkan keuntungan bagi masyarakat kampung kota disekitarnya. Sebaliknya ditenggarai bahwa proyek-proyek pembangunan demikian justru merupakan faktor penyebab utama dari proses panjang pemiskinan masyarakat kampung kota.
3
3. Pengantar
Tulisan ini bermaksud mengangkat dan menganalisis ragam bentuk
ketidakadilan yang muncul (atau justru yang tidak muncul ke permukaan) yang terjadi
sebagai akibat dari kebijakan pemanfaatan ruang dan peluang apa yang dimiliki
masyarakat kampung kota untuk melawan ketidakadilan demikian. Satu kasus utama
yang menjadi fokus dari kajian ini ialah konflik dan sengketa antara masyarakat
kampung kota, Sangian Santen (Kelurahan Ciumbuleuit; Kecamatan Cidadap) di
pinggiran kota Bandung, pada satu pihak, dengan pemilik dan pengembang hotel,
Henry Palace, dan pemerintah kota Bandung (dan dinas-dinas pemberi izin), pada lain
pihak.
Satu persoalan penting yang hendak dikaji berkenaan dengan keberpihakan
pemerintah kota Bandung yang seharusnya berperan sebagai pihak yang mewakili
kepentingan bersama masyarakat kota dan membuka diri bagi peran serta aktif
seluruh lapisan masyarakat kota tanpa kecuali.1 Apalagi ketika desentralisasi
dicanangkan tahun 1999, harapan yang muncul akan terbentuk dan bekerjanya
pemerintahan local (tingkat kota/kabupaten) yang demokratis dan partisipatif.2
Pemerintah dengan demikian diharapkan mampu menyuarakan aspirasi masyarakat
lokal (local voice) dan merumuskannya ke dalam kebijakan dan peraturan yang
dilandasi kepentingan bersama, termasuk cara bagaimana lahan perkotaan dapat
dimanfaatkan dengan memajukan kepentingan umum. Di sini untuk sementara
kepentingan umum dikontraskan dengan kepentingan komersiil. Keberpihakan
pemerintah pada kepentingan umum adalah janji yang termuat tidak saja dalam
peraturan perundang-undangan tingkat nasional, tetapi juga di dalam peraturan 1 Peran serta demikian dapat dikaji dengan menggunakan tangga/tingkatan partisipasi (ladder of citizen participation). Lihat lebih lanjut B. Setiawan, 2005. Hak Masyarakat dalam Proses Penyusunan dan Implementasi Kebijakan Tata Ruang, Forum Perencanaan Pembangunan, Edisi Khusus, January 2005. 2 Lihat Pilliang. Indra J. et al., (eds.) 2003, Otonomi Daerah; Evaluasi dan Proyeksi, Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa. Tujuan umum dari gerakan desentralisasi, namun demikian harus ditelaah terpisah dari upaya hukum dan non-hukum apa yang diberdayakan untuk mencapai atau menghalangi tujuan tersebut.
4
daerah.3 Keberpihakan inilah yang akan diuji di sini karena persoalan utama, serupa
yang muncul dalam konflik atau sengketa yang muncul dari pengadaan tanah demi
kepentingan umum, berkenaan tidak saja dengan kepemilikan lahan (siapa yang akan
memiliki dan menguasai lahan), tapi lebih bagaimana lahan, khususnya di perkotaan
yang memang sangat terbatas, dimanfaatkan dan siapakah yang akan mendapat
keuntungan paling besar darinya. Ini kerap kali merupakan persoalan keadilan atau
ketidakadilan yang luput dari perhatian ketika perhatian terutama hanya diberikan
pada kelayakan kompensasi yang seharusnya diterima pemilik tanah atau seberapa
besarnya manfaat pembangunan bagi pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional.
Kasus di atas tentang sengketa pemanfaatan lahan dan ketidakadilan yang
muncul darinya akan ditelisik dari sudut pandang bahwa kebijakan resmi pemerintah
berkenaan dengan pemanfaatan lahan perkotaan serta-merta akan bersentuhan
langsung dengan bagaimana lahan perkotaan dimanfaatkan dan siapa yang berhak
menikmati hasil akhir dari kegiatan pembangunan fisik perkotaan. Persoalan
mendasar yang tersembunyi berkenaan dengan seberapa jauh pembangunan kota
dilakukan dengan berkeadilan dan berkelanjutan. Dalam pandangan Ergüden4,
persoalannya menyangkut tingkat inklusivitas suatu kota yang dapat diukur dengan
menggunakan dua paramater, yaitu dengan menguji:
“how and to what extent citizens have access to potential benefits of the city, such as employment opportuninities, housing, infrastructure and services such as education, health and cultural events”.
Kedua adalah:
“the level of participation in the decision making process and activities taking place in the city.”
3 Lihat Perda Kota Bandung no. 02/2001 tentang Kewenangan Daerah Kota Bandung sebagai Daerah Otonom. Tentang upaya mewujudkan pemerintahan yang partisipatif dan demokratif secara umum baca lebih lanjut Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan Yang Baik/Bapenas, 2005, Tata Kepemerintahan yang Baik, Jakarta: Bappenas. 4 Persoalan ini dengan gamblang diungkap oleh Ergüden. Selman (2004), Cities for All, Habitat Debate 4 (4) www.unhabitat.org diunduh 11/3/2004.
5
Kedua parameter di atas – yang akan secara umum diuji dalam paper ini –
juga berkait dengan persoalan apa yang dapat dilakukan masyarakat pinggiran kota,
baik sebagai individu maupun sebagai kelompok untuk melawan kebijakan
pemanfaatan tanah yang dirasakan merugikan atau menimbulkan ketidakadilan?
Persoalan ini, dari sudut pandang lain, berkaitan dengan exit and voice option5 yang
dimiliki masyarakat kampung kota.
Seperti diindikasikan di atas harus dicermati pula bahwa banyak konflik
pertanahan, seperti juga terjadi dalam kasus yang akan diangkat, bukan semata soal
sengketa kepemilikan, tumpang tindih atau tidak jelasnya batas-batas tanah, konflik
keluarga akibat pembagian harta-warisan, ataupun ketidak-jelasan status tanah karena
mal-administrasi pertanahan. Dalam rangka menempatkan konflik pertanahan dalam
konteks lebih luas, sangatlah berguna skema yang dikembangkan oleh Wehrmann
untuk memilah-milah konflik dan sengketa pertanahan.6 Skema dan pemilahan yang
ia lakukan memudahkan kita untuk memahami mengapa sejumlah konflik dan/atau
sengketa pertanahan (dalam arti luas) tidak dapat atau begitu sulit untuk diselesaikan.
Satu dan lain karena bukan hanya soal kepemilikan, namun terkait pada kebijakan,
struktur hukum dan pemerintahan. Seorang pengamat menyatakan berkaitan dengan
ini bahwa7:
“land disputes undermine efforts to establish civil peace and good governance and (karena itu) are incapable of being addressed in the existing policy and legal environment.”
5 Konsep (exit and voice) ini bagian dari model exit and voice-loyalty model of dissatisfaction yang dikembangkan Hirschmann tahun 1970. Menurut Hirschmann orang yang tidak puas akan exit (meninggalkan relasi yang tidak memuaskan atau berhenti menggunakan jasa yang ditawarkan instansi-organisasi) atau voice (mencoba untuk mengubah pola relasi dari dalam dengan menyuarakan ‘grievances’ pada pihak yang tepat atau kepada siapapun yang mau mendengar). Pilihan untuk exit atau voice dalam banyak hal tergantung pada loyalitas warga pada entitas (masyarakat atau pemerintah local). Baca Hirschman, Albert O. 1970 Exit, Voice and Loyalty: Responses to Decline in Firms, Organizations, and States, Cambridge: Harvard University Press. 6 Wehrmann. Babette, (2008) ‘Land Conflicts: A Practical guide to dealing with land disputes’, GTZ Land Management: Eschborn, 14-20. 7 Wallace. Jude. 2008. Indonesian land law and administration. In Tim Lindsey (ed.), Pp. 191-223. Indonesia: Law and Society, 2nd edition, The Federation Press.
6
Tentunya sudut pandang demikian yang mengesampingkan sepenuhnya sistem
hukum yang berlaku tidak dapat sepenuhnya diterima. Namun demikian, jelas bahwa
hubungan kekuasaan yang asimetris dan tertutup bagi partisipasi publik berpengaruh
terhadap posisi hukum dan pilihan-pilihan yang terbuka dan dapat diambil masyarakat
kampung kota yang mengalami ketidak-adilan.8
Beranjak dari itu, menurut hemat penulis itu – dan pandangan ini melandasi
kajian di bawah – akar masalah harus dicari dalam cara bagaimana Negara (atau
secara konkrit pemerintah kota) mengelola (dalam arti merencanakan, memanfaatkan
dan mengawasi) sumberdaya agraria untuk memajukan kepentingan bersama
masyarakat. Ini pula yang menjadi titik tolak pandangan Menteri Pekerjaan Umum,
Djoko Kirmanto tatkala menyatakan bahwa:9
“Perencanaan dan pembangunan perkotaan itu sekarang bertumpu pada kapasitas pemerintah daerah. Perencanaan ditekankan untuk pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan, yang diharapkan mampu merealisasikan agenda penting habitat Indonesia pada 2015, meraih 350 kota tanpa kekumuhan.”
Ini juga dikatakan dengan memperhatikan bahwa:10
“Tanpa tata pemerintahan yang baik, tanpa pelibatan aktif masyarakat miskin perkotaan dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan nasib mereka, dan tanpa penanggulangan korupsi, perencanaan kota di segenap tanah pelosok Tanah Air tidak akan banyak manfaatnya.”
Maka itu, kesemua di atas seharusnya merefleksikan pada satu sisi
tanggungjawab dan keberpihakan (normative) Negara cq Pemerintah Kota terhadap
kelompok rentan (yang dengan mudah kehilangan access terhadap sumberdaya akibat
proses social politik yang tidak sepenuhnya dapat mereka kendalikan) dan, pada lain
pihak, kebutuhan konkrit Negara (atau pemerintah) untuk mendayagunakan
8 Bdgkan juga dengan pendekatan tulisan John F. McCarthy, “Sold down the river: Renegotiating public power over nature in Central Kalimantan, dalam Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken (eds), 2007, Renegotiating Boundaries: local politics in post-Soeharto Indonesia. Leiden: KITLV Press. 9 2009, Hari Habitat Dunia, Kawasan Kumuh Kota 54.000 hektar, Kompas, October 6. 10 Eko Budihardjo, 2009, Menyelamatkan Kota, Kompas, October 6.
7
sumberdaya alam untuk kepentingan pembangunan dengan memberdayakan peran
swasta.11
3.1.Ketidakadilan dalam Pembangunan dan Pemanfaatan Tanah
Bagaimana itu semua secara konkrit terkait dengan kasus yang akan ditelaah
akan diuraikan di bawah ini. Untuk itu, dirasa perlu untuk memberikan suatu
gambaran umum tentang masyarakat kampung Sangiang Santen dan ketidakadilan
yang menimpa mereka baik yang muncul kasat mata maupun sebagaimana dirasakan
dan diungkapkan mereka sendiri. Ini akan menjadi titik tolak untuk merumuskan
masalah utama yang akan menjadi fokus kajian paper ini.
3.1.1. Persentuhan masyarakat kampung kota dengan kegiatan pembangunan
Ihwalnya ialah bahwa kegiatan investasi demi pembangunan pariwisata
(pembangunan hotel bintang lima) yang menyambangi kehidupan keseharian
penduduk kampung kota (Sangiang Santen) ditenggarai memunculkan sejumlah
gangguan konkrit terhadap ketenangan dan kenyamanan kehidupan warga. Di mulai
dari gangguan konkrit muncul kesadaran bahwa kebijakan tentang pemanfaatan tanah
yang dilandasi gagasan tentang Bandung sebagai kota jasa dan pariwisata akan
berdampak jauh terhadap lingkungan dan kehidupan sosial warga masyarakat.
Pembangunan hotel di lingkungan masyarakat tidak serta merta dianggap bermanfaat
bahwa ekonomi local. Sebaliknya, rencana pemanfaatan lahan dan realisasinya akan
mengubah bentang alam dan mengurangi kenyamanan atas lingkungan yang bersih
dan tenang. Beberapa warga mulai berpikir lebih jauh dan mempertanyakan apa
untungnya bertetangga dengan hotel. Bukanlah lingkungan sekitar bagi hotel hanya
11 Ini sejalan dengan pandangan Irwan Abdullah and Abdul Saleh dalam Edi. Ashari Cahyo. 2005, ‘Kisruh Air, Kemelut Republik’, Majalah Berita Mahkamah Konstitusi Edisi Khusus 2 (11). Mereka antara lain menyatakan bahwa sumberdaya alam secara konstitutif memang dikuasai Negara, namun Negara yang sama wajib menyediakan mekanisme yang tepat untuk menjamin masyarakat tidak kehilangan hak dan kesejahteraan pada saat formasi Negara berlangsung dalam segala bentuknya.
8
berguna sebagai tempat pembuangan limbah dan hanya segelintir orang yang akan
menikmati keuntungan ekonomi dari peluang ekonomi yang dibangkitkan hotel?
Kesemua itu kemudian bermuara menjadi kesadaran bahwa ada sesuatu yang
salah dengan keputusan pemerintah yang membolehkan dibangunnya hotel di
kawasan mereka. Disebutkan bahwa ada sejumlah hak dari warga yang dilanggar,
terutama hak untuk turut menentukan dan menjaga lingkungan hunian yang bersih
dan nyaman. Juga dipertanyakan keabsahan keputusan sepihak pemerintah atas
permohonan investor untuk menetapkan peruntukan tanah tanpa melibatkan dan
bertanya terlebih dahulu kepada tetangga dan masyarakat sekitar. Pada akhirnya
dapat dikatakan bahwa ketidakadilan muncul dan dirasakan karena warga masyarakat
kampung kota Sangian Santen, sebagai tetangga yang akan langsung terkena dampak
pembangunan hotel, tidak cukup dilibatkan dan diperhatikan suaranya.
Pada tingkat yang lebih abstrak sebenarnya yang dipersoalkan adalah aspek
keadilan dari kegiatan pembangunan yang terwujud dalam kegiatan pemanfaatan
ruang perkotaan. Dalam bahasa lebih sederhana, untuk siapa sebenarnya
pembangunan perkotaan dilaksanakan? Terkait dengan ini persoalan bagaimana
pemerintah mempertimbangkan untung rugi suatu keputusan, tidak saja dari sudut
pandang kemanfaatan ekonomi tapi terutama dari dampak sosial dan lingkungannya.
3.1.2. Profil Masyarakat Kampung Sangian Santen.
Kampung Sangian Santen, serupa dengan kampung kota lainnya yang banyak
ditemukan di kota-kota besar Indonesia, adalah masyarakat perkampungan yang
berada dipinggiran kota dan secara perlahan terserap ke dalam kehidupan perkotaan.
Kampung Sangiang Santen, yang secara administratif dikelompokan ke dalam Rukun
Warga 05 kelurahan Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap, terbagi ke dalam 5 rukun
tetangga (RT). Setiap RT diperkirakan mencakup 100-150 kepala keluarga.
9
Perkiraaan ini dibuat karena data resmi yang ditemukan di kelurahan ternyata tidak
akurat. Terdata hanya jumlah penduduk yang memiliki hak pilih untuk kepentingan
pemilihan umum. Namun dari apa yang ada juga dapat diperkirakan bahwa penduduk
kampung Sangian Santen mencapai 250-300 jiwa (termasuk ke dalamnya anak-anak
di bawah umur yang belum memiliki kartu tanda penduduk).
Tapi pembagian secara administratif ini agak mengecoh karena dalam
pembicaraan sehari-hari, mereka yang menempati rumah-rumah besar (gedongan) di
pinggir jalan besar atau satu-dua menjadi enclave kecil ditengah hunian masyarakat
kampung kota Sangiang Santen tidak seketika dianggap tercakup dan menjadi bagian
dari masyarakat tersebut. Secara faktual, kumpulan rumah-rumah kecil yang
tersembunyi di balik dan di sekeliling rumah-rumah gedong itulah yang disebut
dengan kampung Sangiang Santen.
Kampung ini menempati lembah-lembah terjal dan perbukitan. Hanya ada
sedikit kawasan landai dan itupun dipinggiran anak sungai Cikapundung. Lokasi
terbaik ini, RT 04, ditempati banyak mandor dan buruh bangunan. Ini tercermin juga
dari kemampuan mereka membangun rumah yang lebih kokoh dan permanen
dibanding dengan rumah-rumah lain di kawasan itu. Di pinggir salah satu akses jalan
masuk perkampungan ini dengan jalan besar terletak lokasi proyek pembangunan
hotel. RT 05 terletak paling dekat dengan bangunan hotel. Sedangkan RT lainnya (01
sd. 04) letaknya tersebar semakin jauh dari lokasi proyek.
Dari data resmi yang dikeluarkan kelurahan Ciumbuleuit12 tampak bahwa
penduduk di Kecamatan Cidadap (kurang lebih 2000 jiwa), sebagian besar (75-80%)
pernah mengenyam pendidikan dasar. Data ini menunjukkan bahwa mereka pernah
belajar bahasa Indonesia di sekolah. Namun lulus dari sekolah dasar tidak menjamin
12 Daftar Rekapitulasi Jumlah Penduduk Kota Bandung berdasarkan pendidikan dan mata pencaharian, Desember 2003. Namun anehnya tanggal tandatangan lurah adalah 6 Januari 2009.
10
bahwa mereka bisa mencari pekerjaan kantoran atau menjadi pegawai negeri. Ini
tampak dari kenyataan bahwa mayoritas dari populasi penduduk laki-laki (51%)
bekerja sebagai buruh bangunan. Hanya sedikit dari mereka yang masih bekerja di
bidang pertanian. Kenyataan ini juga disebabkan semakin berkurangnya lahan sawah
atau huma di sekitar kampung Sangiang Santen. Hanya tersisa sedikit petak sawah di
daerah aliran sungai Cikapundung dan huma (ladang kering) di sejumlah lereng-
lereng di belakang kampung tersebut. Di beberapa rumah, namun demikian, masih
dapat kita temukan warga yang memelihara domba. Kegiatan yang masih
menguntungkan karena setidak-tidaknya setiap tahun secara rutin akan ada
permintaan akan domba untuk dikorbankan pada saat iedul adha (hari raya korban).
Sebagian dari pemuda tanggung (yang belum menikah dan belum punya
tanggungan tapi sudah putus sekolah) di Sangiang Santen memilih menjadi tukang
ojek atau bekerja serabutan. Hanya sedikit dari mereka yang berhasil menjadi
wiraswasta. Satu yang berhasil membuka usaha menjahit di wilayah kampung lain
mengeluhkan keengganan para pemuda tanggung pengangguran untuk bekerja
sungguh-sungguh. Di beberapa di Sangian Santen juga dapat kita temukan warung-
warung kecil yang menjual barang kebutuhan sehari-hari. Menunggu dan mengelola
warung namun demikian adalah pekerjaan ibu-ibu rumah tangga.
Beranjak dari data kependudukan yang ada dan dari pengamatan lapanan,
maka kampung Sangian Santen dapat digolongkan sebagai pemukiman dengan
tingkat kepadatan tinggi. Karena lahan disekitar dan disekeliling kampung tidak lagi
dapat mereka bangun, seringkali rumah-rumah dibangun dengan pola tumbuh
kembang. Alhasil seringkali satu rumah dengan rumah lain saling berhimpitan atau
hanya dibatasi oleh gang sempit yang berkelok-kelok. Dari kacamata orang luar,
jaringan jalan dan gang yang berliku-liku serta bangunan yang ada terkesan kacau-
11
balau dan tidak beraturan. Setiap lahan sempit yang tersedia, termasuk lereng bukit
yang sebenarnya rawan longsor dimanfaatkan untuk membangun rumah dan hanya
sedikit lahan disisakan untuk ruang terbuka (kebun), akses jalan bagi tetangga,
termasuk jalan-jalan utama kampung. Keterbatasan lahan juga mengakibatkan bahwa
banyak rumah-rumah di kampung Sangiang Santen dihuni sekaligus oleh 2 atau 3
keluarga yang saling berkerabat.
Seperti dapat dibayangkan di perkampungan padat, maka ruang publik
maupun ruang terbuka hijau jarang ditemukan. Sebagai gantinya gang di depan
rumah-rumah yang saling berhimpitan menjadi ruang terbuka publik, tempat anak-
anak kecil atau remaja bermain dan, tempat terutama ibu-ibu dan anak-anak muda
bercengkerama sore hari. Di luar jalur-jalur jalan, jalan kadang juga difungsikan
sekaligus sebagai dapur atau tempat memandikan anak dan tempat jemuran.
Pusat kegiatan sosial utama masyarakat Sangiang Santen bukanlah organisasi
masyarakat bentukan pemerintah, seperti rukun tetangga atau rukun warga melainkan
mesjid. Mesjid menjadi simpul penting dalam kehidupan sosial warga yang mayoritas
beragama Islam. Dapat dimengerti pula mengapa ketokohan warga masyarakat
tergantung pada keaktifan di kegiatan-kegiatan keagamaan dan non-keagamaan
mesjid. Tercatat bahwa ada 2 mesjid yang cukup besar – dikecualikan dari itu adalah
langgar-langgar kecil - yang menjadi pusat kegiatan kehidupan sosial di kampung
Sangiang Santen. Namun yang satu lebih dominan dari yang lain. Perseorangan yang
bergiat dan berkarir di mesjid itulah yang kemudian menjadi tokoh masyarakat dan
juga kemudian terbukti lebih berani menyuarakan tidak saja kepentingan dirinya
sendiri melainkan juga kepentingan warga ketika berhadapan dengan hukum dan
lembaga peradilan Negara.
12
Sama seperti di kebanyakan kampung kota, penguasaan tanah untuk rumah
tinggal di kampung Sangiang Santen, kebanyakan dilandaskan sekadar pada
pendudukan fisik (okupasi) secara damai untuk waktu lama dikombinasikan dengan
penerimaan dan pengakuan tetangga terdekat. Mereka mem-bahasa-kannya sebagai
tanah milik adat. Sebagai pihak yang memanfaatkan tanah mereka diwajibkan
membayar pajak bumi bangunan yang kerap disatukan dengan iuran desa, dahulu
iuran pembangunan/retribusi daerah (Ipeda/Ireda). Bukti pembayaran pajak itulah
yang kerap memunculkan persepsi bahwa penguasaan mereka sudah diakui oleh
Negara. Termasuk ke dalammya kategori pengakuan ialah layanan administrasi dalam
bentuk pemberian kartu tanda penduduk (KTP) dan pemberian akses pada listrik
(PLN). Apalagi penguasaan fisik dan pelunasan pajak dalam proses pendaftaran tanah
dianggap memberi hak prioritas bagi yang menduduki tanah untuk mengajukan
permohonan mendapatkan sertifikat kepemilikan sesuai UUPA.
Dengan berjalannya waktu, beberapa dari mereka berkat program-program
adjudikasi yang secara tidak teratur dicanangkan pemerintah berhasil mengukuhkan
hak mereka atas tanah sebagai tanah milik berdasarkan UUPA. Namun di sini patut
disadari bahwa formalitas kepemilikan atau penguasaan atas tanah tidaklah otomatis
dapat ditafsirkan sebagai meningkatnya kesadaran hukum masyarakat akan
pentingnya sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikan. Juga bukan jaminan bahwa
memiliki sertifikat tanah sekaligus berarti meningkatnya tenurial security atau
meningkatnya potensi warga untuk menarik manfaat ekonomi dari tanah.13
13 Soehendera, Djaka. 2002 “Sertipikat Tanah dan Orang Miskin: Kasus Kampung Rawa Jakarta”. Disertasi Doktoral, Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Indonesia, Jakarta. Namun pandangan berbeda dapat ditemukan dalam: Smeru. 2002, “An Impact Evaluation of Systematic Land Titling”, Research Report. diunduh dari www.smeru.or.id/report/lap/lap.htm, tanggal 5/9/05) Mereka menyatakan bahwa: “approximately 70% of respondents belive that they now have greater security of tenure because a land certificate recognizes their ownership rights”. Namun pada saat diakui pula bahwa “the LAP caused the PBB tax to rise by an average of 33.2%. The highest increase was in urban areas and the lowest in semi-urban areas”.
13
Lepas dari itu, ternyata pula bahwa layanan air bersih dari perusahaan daerah
air minum (PDAM) tidak atau belum menjangkau kehidupan mereka. Sampai dengan
akhir tahun 1980’an masyarakat kampung masih memanfaatkan mata air sebagai
“common property” dan membangun kolam penampungan sebagai sumber air bersih,
dan pancuran sebagai pusat mandi-cuci-kakus untuk dimanfaatkan bersama. Dengan
meningkatnya kebutuhan lahan dan perubahan kesadaran tentang pemanfaatan
sumberdaya air, sumber air bersih bersama tersebut ditutup dan setiap rumah tangga
mengusahakan sendiri penyediaan air untuk kebutuhan rumah tangga.
Sejak awal tahun 1990’an, setiap rumah tangga di kampung Sangian Santen
baik sendiri-sendiri menggali sumur atau mendatangkan air (bersih) dari tempat lain
(secara swadaya dengan memasang pipa penyaluran air). Ini juga mengindikasikan
perubahan pandangan terhadap sumber mata air, bukan lagi sebagai milik bersama
melainkan sebagai milik pribadi. Seiring dengan itu terjadi privatisasi dan
komersialisasi penyediaan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga warga
masyarakat Sangian Santen.
Beranjak dari gambaran umum di atas, maka dapat dikatakan bahwa kampung
kota Sangian Santen cenderung berkembang menjadi kampung kumuh (slum area)
dalam lingkup perkotaan dengan kombinasi penguasaan tanah secara formal dan
informal. Berkenaan dengan itu, Sangiang Santen memenuhi kriteria permukiman
kumuh, di antaranya ukuran bangunan yang sempit dan tidak memenuhi standar
kesehatan, berimpitan sehingga rawan kebakaran, kurangnya penyediaan air bersih
serta jaringan listrik tidak tertata dengan baik, dan sistem drainase yang buruk.14
14 Kriteria sebagaimana dirujuk Direktur Jenderal Cipta Karya Dept. Pekerjaan Umum, Budi Yuwono dalam
2009, Hari Habitat Dunia, Kawasan Kumuh Kota 54.000 hektar. Kompas, October 6. Bdgkan juga dengan
Departemen Pekerjaan Umum, Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat (1999), Penataan Kawasan Kumuh di
Kodya Bandung dan Kodya / Kabupaten di Kawasan Botabek, Bandung: Pt. Multicipta Rancana Selaras.
14
Dengan kata lain, masyarakat kampung kota Sangian Santen dapat kita golongkan
sebagai masyarakat yang mengalami:15
1. lack of durable housing; 2. lack of sufficient living area; 3. lack of access to improved water; 4. lack of access to improved sanitazion and 5. lack of secure tenure.
Untuk yang terakhir disebut (lack of secure tenure), kerentanan mereka terhadap
penyingkiran dan peminggiran dari tempat tinggal muncul dari kebijakan pengadaan
dan pemanfaatan lahan demi pembangunan kota. Dalam artian itu mereka adalah
kelompok rentan, sekalipun tidak serta merta dapat digolongkan miskin.16
Pengkategorian masyarakat kampung Sangian Santen sebagai kelompok rentan
(vulnerable atau disadvantaged) merujuk pada pandangan bahwa:
“(…) that access to justice is not only a matter of money, but also about scarcity of other forms of capital. Other terms that could be used here are ‘subaltern’, ‘vulnerable, or ‘deprived’, but we prefer ‘disadvantaged’ as it helps to indicate the relative nature of a position, pointing at the setbacks a person may suffer by his belonging to a certain category .” Namun keluhan-keluhan mereka tentang urban inequality di atas tidak serta merta
muncul dalam kasus yang ditelaah. Seperti akan digambarkan di bawah keluhan dan
ketidak-adilan mereka sangat dipengaruhi oleh banyak factor lain.
3.1.3. Tingkat pengetahuan dan kesadaran Hukum Masyarakat
Informalitas penguasan tanah dan pola pembangunan pemukiman
menunjukkan pula tingkat pengetahuan atau setidak-tidaknya pemahaman masyarakat
kampung-kota Sangiang Santen akan hukum Negara yang (seharusnya) berlaku serta
forum-forum resmi penyelesaian sengketa yang tersedia. Sebaliknya dapat dikatakan
dari pengamatan sehari-hari bahwa kehidupan keseharian warga lebih dicirikan oleh
15 UN Habitat, 2006. The State of the World’s Cities Report 2006/2007: The millennium development goals and urban sustainability; 30 years of shaping the Habitat Agenda. UN Human Settlement Programme. 16 Lihat (unpublished) paper Adriaan Bedner dan Jacqueline Vel, ‘Conceptual Paper No 1: Access to Justce and Rule of Law’, hlm 5 dan versi terjemahan bahasa Indonesianya
15
ketidak-hadiran (relatif) dari Negara dan hukum Negara. Mereka adalah kaum
pinggiran dan yang juga akan terus mengalami peminggiran akibat kebijakan
pembangunan kota. Ini dikatakan dengan mengesampingkan intervensi Negara dalam
bentuk pendataan penduduk atau upaya-upaya lain berkenaan dengan program
pendaftaran tanah (PRONA atau Larasita) yang diprakarsai Badan Pertanahan Negara
(BPN). Lepas dari itu, secara umum kehidupan keseharian mereka dicirikan oleh
ketidakpedulian pemerintah kota untuk secara konsisten menerapkan kebijakan dan
aturan khususnya berkenaan dengan legitimasi kepemilikan, penguasaan, dan
pemanfaatan ruang.
Jika persentuhan dengan hukum Negara sudah sedemikian kecil, juga dapat
terbayangkan bahwa pengetahuan warga tentang hukum Negara, aturan-aturan tata
ruang dan tata lingkungan, termasuk juga forum dan mekanisme penyelesaian
sengketa formal yang muncul dalam bidang-bidang hukum tersebut adalah juga
minim. Hanya satu-dua warga di kampung Sangiang Santen yang mengaku pernah
pergi ke pengadilan (agama) – di Bandung Selatan - dan itupun hanya untuk
mendapatkan surat cerai. Sementara itu, dari kacamata warga, institusi kelurahan dan
kecamatan hanya diperlukan untuk sejumlah urusan administrasi belaka, seperti
pembuatan kartu keluarga, kartu tanda penduduk, keterangan serba guna, surat
“miskin” atau ketika mereka merasa perlu atau demi kepentingan lain (mendaftarkan
anak sekolah, misalnya) dipaksa mencatatkan pernikahan, kelahiran anak atau
kematian. Kelurahan/kecamatan lagipula kerap dipandang bukan sebagai forum yang
mewakili suara masyarakat melainkan lebih sebagai representasi pemerintah kota
ditingkat lokal. Sebagaimana ternyata dalam kasus ini kedua institusi itu pula yang
didayagunakan oleh pemerintah kota untuk menyampaikan (men-sosial-lisasikan)
kebijakan dan program pembangunan, termasuk yang diprakarsai oleh swasta.
16
Kesemua itu memunculkan pertanyaan utama sejauh mana masyarakat
Sangiang Santen tatkala mereka terus terpinggirkan, oleh kombinasi dari kebijakan
pembangunan dan ketakacuhan pemerintah kota, akan dan dapat secara mandiri
memanfaatkan institusi seperti kelurahan atau kecamatan apalagi forum pengadilan
untuk menyuarakan kepentingan mereka dan melawan kebijakan pembangunan kota
yang cenderung meminggirkan mereka?
3.1.4. Rumusan masalah
Dari uraian di atas, mengemuka satu pertanyaan penting: hak apa yang
dimiliki warga kampung kota baik sebagai individu ataupun kelompok untuk
berperan-serta menentukan dan menjaga kenyamanan lingkungan tinggal mereka?
Aturan dan aktor-aktor apakah yang berpengaruh terhadap derajat peluang masyarakat
kampung kota (yang terpinggirkan akibat program pembangunan hotel) untuk dapat
menuntut dan memperoleh keadilan berkenaan dengan tanah dan lingkungan?
Kemana mereka dapat menyuarakan keluhan dan menuntut keadilan? Terkait dengan
ini adalah hak untuk mendapatkan informasi dan berpartisipasi dalam perencanaan
pembangunan dan penataan ruang di wilayah pemukimam mereka sendiri. Jelas
sosialisasi sebagai suatu upaya menyampaikan informasi masih jauh dari mewujudkan
peran serta masyararakat dalam kegiatan penataan ruang (yang mencakup
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan). Upaya-upaya hukum apa yang tersedia
bagi mereka untuk menolak suatu kegiatan pembangunan atau bila kegiatan demikian
sudah berjalan untuk turut mengawasi kegiatan pembangunan? Apa pilihan dan
strategi atau upaya-upaya hukum yang tersedia dan digunakan oleh penghuni
kampung kota untuk mempengaruhi kebijakan penataan ruang dan pemanfaatan
tanah? Voice and exit options apa yang dimiliki masyarakat kampung kota?
17
4. Berawal dari keluhan dan berujung di ketidakadilan
Di bawah ini akan diuraikan bagaimana warga masyarakat Sangiang Santen
merumuskan keluhan-keluhan mereka. Akan tampak bahwa ada beberapa faktor
penting yang mempengaruhi kapan dan bilamana warga masyarakat mulai berani
mengungkapkan keluhan dan merumuskannya sebagai ketidak-adilan. Di sini
keluhan muncul berkenaan dengan dua tahapan berbeda: satu ketika rencana baru
disosialiasikan, kedua ketika proyek pembangunan fisik hotel mulai dilaksanakan.
Dengan kata lain, dapat dibedakan antara keluhan yang muncul berkaitan dengan
proses pengadaan tanah dan sosialisasi rencana pemanfaatan tanah dan keluhan yang
muncul setelah proyek pembangunan mulai menunjukkan wujud konkrit dalam
bentuk pemagaran, pematangan lahan dan pengerjaan pembangunan fisik. Namun
dalam kasus ini tidak akan ditelaah dan bagaimana keluhan warga setelah hotel mulai
dioperasikan. Singkat kata apa yang dikeluhkan terkait erat dengan tingkat
pengetahuan dan pemahaman mereka tentang apa yang terjadi dalam setiap tahapan
perencanaan pembangunan: pengadaan tanah, sosialisasi, pengurusan izin,
pematangan lahan, pembangunan gedung sampai dengan pemanfaatan gedung.
Satu hal lain yang juga sangat berpengaruh ialah peran dari orang-orang di
luar masyarakat (Adnan Buyung Nasoetion) dan lembaga swadaya masyarakat yang
bergerak di layanan bantuan hukum atau lingkungan. Pihak-pihak luar inilah yang
membantu warga masyarakat merumuskan dan menyuarakan keluhan mereka ke
dalam bahasa Indonesia dan membuatnya lebih diperhatikan masyarakat luas dan
pemerintah kota.
4.1. Perumusan dan Pemaknaan Ketidakadilan oleh Warga Masyarakat
Ketika kehidupan masyarakat pinggiran bersinggungan dengan hukum
Negara, dalam bentuk sosialisasi rencana kegiatan dan kemudian kegiatan
18
pembangunan hotel yang (akan) merugikan kepentingan mereka secara langsung,
banyak dari warga hanya mampu mengeluh diam-diam, atau memilih untuk pasrah
dan menghindari konflik terbuka dengan pengusaha (pengelola dan/atau pemborong).
Beberapa warga bahkan begitu enggan atau takut untuk mengalami konflik dengan
pihak luar siapapun itu (pemerintah atau pengusaha) yang selalu dikesankan lebih
kuat dan mampu berbuat apa saja.
Dari mereka yang berhasil diwawancarai, salah satunya, Ruslan seorang warga
Sangiang Santen, bekerja sebagai tukang kebun, menyatakan: “teu wantun (tidak
berani) dan lebih baik ia menjauhkan diri dari konflik antara masyarakat dengan
pemerintah lokal dan pengelola proyek. Sejumlah warga lain yang bekerja sebagai
pembantu rumah tangga dan bersuamikan pekerja serabutan juga memilih untuk tidak
terlibat. Dari obrolan dengan mereka terkesan bahwa bagi mereka “orang-orang
kecil” konflik dengan pemerintah lebih baik dihindari dan berdiam diri dan
menyimpan keluhan adalah pilihan yang lebih aman. Kesan demikian sekalipun tidak
eksplisit diungkapkan akan mudah dijumpai jika kita berbicara dengan warga biasa
yang bukan tokoh masyarakat. Ketidakadilan apapun yang dirasakan akan cenderung
dipendam daripada diungkap dan menyebabkan ketidakharmonisan dan risiko harus
berurusan dengan pihak penguasa atau orang kuat.
Mudah pula dibayangkan bahwa masyarakat umum sejak dari semula
menduga bahwa pemerintah (kelurahan, kecamatan) tidak akan berpihak pada
mereka. Tidak terdengar bahwa dalam proses sosialisasi yang diprakarsai oleh
pengusaha atas dukungan kelurahan terjadi perdebatan panjang tentang kemanfaatan
proyek bagi masyarakat setempat. Dari informasi yang terkumpul, maka acara
19
sosialisasi – silaturahim – memang dimaksudkan hanya sebagai ajang pemberitahuan
belaka. Pada prinsipnya dari masyarakat tidak diminta pendapat atau masukan. 17
Pada tahapan ini, keluhan warga akan proses sosialisasi yang tidak layak atau
perasaan diperlakukan tidak adil oleh pemerintah (penguasa) dan pemilik hotel atau
pemborong hanya muncul dalam bentuk gossip. Kontrol sosial yang mungkin efektif
bila sasarannya adalah sesama warga, namun bukan pihak pemrakarsa dan kelurahan
dan kecamatan.18 Padahal mereka menyelenggarakan kegiatan sosialisasi
(pemberitahuan) sebagai satu pra-syarat untuk mendapatkan izin-izin pemanfaatan
lahan (izin peruntukan pemanfaatan lahan dan izin mendirikan bangunan). Itu berarti
bahwa sebenarnya mereka berkewajiban untuk menjelaskan tidak hanya rencana tapi
juga risiko dan dampak yang akan ditimbulkan secara gamblang. Ini akan dijelaskan
di bagian lain tulisan ini.
Baru dalam forum sosialisasi tandingan yang diprakarsai oleh Buyung pada
bulan Agustus 2006, warga – mereka yang diam-diam atau secara terbuka tidak setuju
dengan rencana pembangunan hotel besar di lingkungan mereka - mulai berani
mengungkapkan pandangan dan kekuatiran mereka. Sayangnya, pembicaraan
didominasi oleh tuan rumah yang mengakibatkan tidak terjadi forum dialog dua arah
yang wigati. Kemungkinan besar karena pertemuan tersebut sebenarnya merupakan
undangan resmi hasil dari pendekatan-pendekatan informal yang sudah dijalin
17 Sejumlah proyek serupa dilaksanakan juga di kawasan kecamatan Cidadap, kelurahan Ciumbuleuit dengan hasil berbeda-beda. Di beberapa tempat pembangunan demikian tidak menuai protes terbuka dari masyarakat. Satu contoh ialah pembangunan apartemen-hotel Ciumbuleuit. Terkecuali jika masyarakat yang bertetangga mendapat perhatian dan dukungan LSM. Satu contoh ialah gugatan ke PTUN yang diajukan oleh Walhi-Jabar dan LBH Bandung tahun 2004 terhadap (rencana) pembangunan Century Hills Hotel dan Apartemen setinggi 26 lantai (kapasitas 600 unit apartemen dan 360 kamar hotel) (2003-2005). Dari cerita yang disampaikan seorang pengacara-relawan di BBH-UNPAD-Bandung, masyarakat yang mengajukan persoalan ini kehadapan pengadilan, antara lain, beranjak dari keluhan bahwa pembangunan hotel (dan pengoperasiannya) mengakibatkan masyarakat kehilanggan akses terhadap air bersih. Menurut cerita pengacara yang mendampingi tergugat (warga masyarakat), Hakim di pengadilan mengesampingkan keluhan ini dengan mengatakan bahwa di musim kemarau, air memang sulit diperoleh. Ketidakpedulian pemerintah kota terhadap keberlanjutan sedian air bersih tercermin pula dalam gejala pembangunan gedung pencakar langit (termasuk apartemen) di Bandung. Lihat: Dadan, Sirojul & Hilman, 2008 Gedung-gedung Jangkung ‘Menyerbu’ Bandung’. Bisnis Indonesia, November 23. 18 Lihat Bergmann. Jörg 1993, Discreet Indiscretion: the social organization of gossip. New York: Aldene de Gruyter. pp. 140-141.
20
sebelumnya. Kehadiran warga masyarakat sekitar 25-30 orang, namun demikian,
sudah mengindikasikan bahwa sejumlah masyarakat merasa tidak nyaman dan kuatir.
Dari sejumlah orang yang angkat bicara juga terkesan bahwa mereka merasa ada
sesuatu yang tidak beres dengan rencana pembangunan hotel dan kegiatan sosialisasi
terdahulu. Tidak semua ternyata bersikap pasrah atau yakin dengan kemanfaatan
rencana pembangunan hotel yang disampaikan pada acara sosialisasi pertama kali di
kelurahan Ciumbuleuit.
Dalam rangkaian pertemuan lanjutan, maka disepakati bahwa Adnan Buyung
Nasoetion sebagai tetangga langsung maupun (sebagian) warga masyarakat akan
mengajukan gugatan terhadap proses pemberian IPPT (izin penggunaan-pemanfaatan
tanah) sebagai pendahulu IMB (izin mendirikan bangunan) yang dianggap telah
mengabaikan hak masyarakat sebagai tetangga. Langkah konkrit yang kemudian
diambil ialah mengajukan gugatan kehadapan Pengadilan Tata Usaha Negara di
Bandung, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Sebagai penggugat ialah
sejumlah warga (80 orang) yang membentuk forum bersama dan Buyung Nasoetion
dan gugatan diajukan terhadap IPPT yang diterbitkan 8 September 2006 pada tanggal
6 Februari 2007 kehadapan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).
Dari kacamata warga masyarakat yang menjadi penggugat inti gugatan ialah
tidak absahnya proses penerbitan IPPT. Menurut para penggugat, izin penggunaan
pemanfaatan tanah tersebut seharusnya belum boleh diterbitkan karena masih ada
tetangga yang belum ditanya dan masih banyak keberatan terhadap rencana proyek
pembangunan hotel. H. Sugandariya, tokoh masyarakat setempat, misalnya,
menyatakan bahwa 160-183 warga menolak berdirinya hotel. Pihak hotel dalam
pandangannya tidak berhasil melakukan sosialisasi yang sebenarnya dan karena itu
Pemkot Bandung harus mencabut izin peruntukan penggunaan tanah. Dalam hal ini
21
persoalannya ialah perbedaan persepsi tentang makna dan tujuan dari sosialisasi
antara warga masyarakat (yang punya keberatan dan keraguan) dengan pemerintah
kota (kelurahan/kecamatan, dinas tata kota dan dinas bangunan) serta
pengusaha/pemrakarsa kegiatan.
Namun pada tahap ini tidak seluruh masyarakat kampung Sangiang Santen
mendukung upaya Buyung. Ada sebagian terutama yang berharap dipekerjakan
sebagai buruh bangunan bersikap mendukung. Sebahagian masyarakat lainnya,
menurut data yang ada bekerja di sektor informal, bersikap pasrah, tidak mau terlibat
dan enggan berkonfrontasi dengan pihak hotel dan pemerintah. Satu orang penduduk
di RT 05 (dengan lokasi rumah lebih jauh dari hotel yang akan/sedang dibangun)
menyatakan19:
“da abdina moal diuntungkeun, moal dirugikeun, abdi mah ngingiring teh hoyong terang hungkul we”. (saya tidak akan diuntungkan atau dirugikan, saya datang ke pertemuan di rumah bang Buyung hanya untuk mengetahui apa yang menjadi persoalan).
Terlepas dari itu upaya hukum mengajukan gugatan terhadap IPPT ternyata
kandas karena PTUN Bandung tahun 2006-7 menyatakan bahwa IPPT sudah
memenuhi semua syarat formal dan tetap absah sebagai keputusan tata usaha Negara.
Gugatan ditolak dengan alasan belum ada kerugian yang ditimbulkan terhadap warga.
Alhasil semua perizinan yang tertunda diproses dan pihak pengelola hotel dengan
segera mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) dan izin-izin lainnya (antara
lain, izin pematangan lahan) dan memulai kegiatan pembangunan fisik hotel.
Dalam tahapan ini dimulailah kegiatan pematangan lahan, pemasangan paku
bumi, dan pembuangan tanah dan berangkal ke luar daerah proyek. Pada tahapan
inilah baru masyarakat kampung mulai merasakan secara konkrit dampak kegiatan 19 Berdasarkan hasil wawancara dengan Amir (bukan nama sebenarnya), Sangian Santen-Bandung 20 Februari 2009.
22
pembangunan terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Ini juga ternyata dari keluhan-
keluhan yang mereka sampaikan tentang gangguan kegiatan proyek terhadap
kenyamanan hidup mereka dan bagaimana kegiatan yang sama “mulai disadari”
memunculkan sejumlah dampak lingkungan.
Dalam satu kunjungan ke lokasi penelitian, Ketua RT 05 (yang tinggal kira-kira 50-100 meter dari lokasi proyek) bercerita tentang kesulitannya untuk tidur karena kebisingan proyek yang dikerjakan 24 jam sehari. Ia juga menunjukkan dinding rumahnya yang retak dan menyatakan bahwa di beberapa rumah lainnya yang berdekatan dengan lokasi proyek keretakan sama dapat dilihat. Keluhan serupa disampaikan seorang warga, Yeti. Ia bercerita bahwa20: “pembangunan hotel yang dilakukan 24 jam tanpa henti menyebabkan ketidaknyamanan warga sekitar” dan rumahnya yang terletak bersebelahan dengan lokasi proyek: “bukan itu saja, rumah-rumah warga mulai retak dengan adanya pembangunan hotel”. Satu dua penghuni lainnya yang langsung bertetangga dengan hotel yang akan dibangun mengkuatirkan jumlah limbah cair yang dihasilkan hotel dan kemana limbah tersebut akan dibuang. Seorang anggota masyarakat yang ditokohkan di kampung Sangiang Santen (H. Soegandariya) menyuarakan kekuatiran ini: “Kawasan RT 04 (yang ada dibelakang bangunan hotel) akan menjadi tempat pengelontoran. Habis buangnya kemana lagi?” Seorang lain mengkuatirkan dampak sosial dari pembangunan hotel. “Kalau jadi hotel nanti ada akan ada kemaksiatan dan kemungkaran” dan “lalulintas akan ramai dan bahaya bagi anak-anak”. Bahkan juga Ketua RT 03 yang sebenarnya mengaku: “abdi mah kurang paham” dan mencoba bersikap netral: “wajar aya nu pro jeung kontra. Nu kontra berusaha menyampaikan aspirasi dimotoran ku pa Buyung. Bukan masalah meunang atau kalah tapi aspirasi”, menyuarakan kekuatirannya akan keberlanjutan pasokan air bersih dan pembuangan limbah cair hotel. Sebagai ketua RT ia juga menyayangkan terjadinya “gontok-gontokan warga”. Kehadiran proyek pembangunan hotel dirasakan lebih sebagai gangguan terhadap ketenangan dan kedamaian kehidupan warga. Sekalipun begitu ia juga mengeluh tentang getaran dan kebisingan. Ia ketika ditanya pendapatnya tentang kegiatan pembangunan menyatakan “nu karaos getaran sareng gandeng”
Apa reaksi pemerintah kota dan pemrakarsa proyek terhadap keluhan-keluhan
tersebut? Sayangnya itu semua direduksi menjadi sekadar persoalan warga belum
cukup mengerti dan kompensasi. Ini tergambar dari tanggapan dan jawaban
pemerintah dan pengusaha terhadap tudingan-tudingan di atas. Ini menjadi penting
20 Tya Eka Yuliati, 2009 Warga Tolak Pembangunan Hotel 15 Lantai. Diunduh dari http://bandung.detik.com; January 18.
23
dalam kaitan dengan penarikan kesimpulan bahwa ihwalnya bukan semata-mata soal
terpenuhinya prosedur perizinan, namun lebih dari itu, yakni terkaitnya rasa keadilan
masyarakat. Satu dan lain, ketidak-adilan yang tidak lagi dianggap relevan oleh
pemerintah maupun pemrakarsa proyek. Berkenaan dengan tuduhan bahwa pengusaha
telah merekayasa persetujuan warga mereka berkilah bahwa tandatangan warga
sebagai bukti hadir dalam acara silaturahim atau sosialisasi telah dipisahkan dari
lembar tandatangan warga sebagai pernyataan sudah diberitahu dan menyetujui
rencana pembangunan hotel.
Dari gambaran di atas tampaknya persoalannya bukan semata-mata tidak
terjalinnya komunikasi yang baik antara pemerintah/pengusaha dengan masyarakat.
Kegiatan sosialisasi keduakalinya atau berulangkali tidak akan menyelesaikan
masalah. Bahkan juga tawaran ganti rugi tidak akan disambut bilamana warga yang
menderita kerugian tidak pernah dengan sungguh-sungguh diberi kesempatan
menyuarakan kepentingannya dan didengarkan. Kiranya ini tidak disadari oleh
pemerintah kota Bandung maupun pengusaha (investor), ketika mereka bersikukuh
dengan sudah ditempuhnya prosedur penerbitan izin dan rekomendasi amdal atau
andalalin secara layak.
4.2. Latarbelakang keberpihakan pemerintah kota dan penyebab ketidakadilan
Mengapa keberpihakan yang memunculkan ketidak-adilan ini dapat terjadi
dan warga kampung kota kepentingan-kepentingannya tidak terperhatikan dalam
keputusan pemerintah kota?
Di bawah ini akan diberikan gambaran umum mengapa pemerintah kota
cenderung berpihak pada investor dan apa akibatnya terhadap kebijakan penataan
ruang kota.
24
4.2.1. Pengembangan Kepariwisataan dan Pembangunan Hotel di Bandung
Sejak lama Kota Bandung menjadi tujuan wisata belanja dan wisata akhir
pekan dari masyarakat Jakarta. Arus wisatawan terutama meningkat semenjak
pembukaan tol purbaleunyi dan cipularang akhir tahun 1990’an yang secara
signifikan mengurangi jarak tempuh Bandung-Jakarta hanya menjadi 2-3 jam saja.
Menyikapi kecenderungan peningkatan arus wisata ke kota Bandung, Pemerintah
Daerah Kota (pemkot) Bandung tahun-tahun terakhir ini mencanangkan program
peningkatan pelayanan pariwisata. Salah satunya dengan mendorong pembangunan
hotel untuk menampung arus wisatawan yang berakhir pekan dan berbelanja di
sentra-sentra belanja di sepanjang jalan-jalan kota Bandung.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung mengakui jumlah
hotel bintang dan melati di kota Bandung sudah terbilang banyak 251 hotel dengan
jumlah kamar 10.430. Namun sarana ini belum seimbang dengan jumlah wisatawan
ke Bandung yang rata-rata mencapai 21.000/hari dan jumlah tersebut diperkirakan
selalu melonjak tiap akhir pekan menjadi rata-rata 61.000 per hari. Ia juga
memperkirakan bahwa21:
“dengan kapasitas rata-rata setiap hotel sekitar 50 orang, seluruh hotel di Bandung baru mampu menampung 12.500 tamu. Kondisi ini yang memunculkan banyak keluhan dari calon wisatawan yang mengaku kehabisan kamar hotel saat berkunjung ke kota Bandung”.
Beranjak dari pengamatan demikian, maka tidaklah mengherankan bilamana
Pemkot Bandung mengembangkan kebijakan untuk menambah jumlah kamar hotel
dan/atau hotel untuk menampung arus wisatawan ke Bandung.22 Rencana
pengembangan kepariwisataan demikian, seperti akan digambarkan di bawah,
21 Pernyataan Askary Wirantaatmadja, kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, dalam 2008. Bandung Masih Butuh Hotel: Waspadai Keseimbangan Lingkungan. Kompas, July 31. 22 Amaliya/Lia Marlia 2008. Bandung Butuh 15.000 Kamar (www.pikiran-rakyat.com). Namun bandingkan juga dengan Andi Haryanto 2008 2 Tahun Lagi, Diprediksi Persaingan Hotel di Bandung Tak Sehat (http://bandung.detik.com; December 18.
25
memiliki konsekuensi terhadap kebijakan pemanfaatan lahan perkotaan yang tercakup
dalam rencana penataan ruang kota.
4.2.2. Kerjasama untuk membangun antara pemerintah kota dan swasta
Pencukupan kebutuhan kamar hotel tidak mungkin dipenuhi langsung oleh
pemerintah kota, juga tidak oleh Dinas Pariwisata. Pilihan konkrit yang terbuka ialah
mendukung investasi di bidang perhotelan. Sebagai bagian dari upaya mendukung
kegiatan investasi di bidang ini dan juga di bidang perdagangan dan industri pada
umumnnya, pemerintah kota Bandung, serupa dengan sejumlah pemerintah
kota/kabupaten lain, mengembangkan sistem pelayanan investasi yang terpadu, baik
dalam bentuk sistem pelayanan satu pintu atau satu atap.23
Tujuan pokok kebijakan pengembangan unit pelayanan terpadu ialah
memudahkan pengusaha atau investor dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan
ekonomi yang mendukung pembangunan kota/kabupaten. Dalam praktik itu dapat
diterjemahkan sebagai langkah konkrit memudahkan investor mengurus dan
memperoleh perizinan yang dipersyaratkan dalam menjalankan kegiatan usaha,
termasuk ke dalamnya izin-izin yang diperlukan dalam rangka pengadaan dan
pemanfaatan tanah. Di samping itu juga dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut
juga dikembangkan dalam kerangka kehendak untuk menyelenggarakan pelayanan
public sesuai dengan prinsip-prinsip “good governance”24 dan meningkatkan
kepastian hukum, terutama bagi para investor.
23 Dasar hukum kebijakan pelayanan terpadu satu pintu ialah Undang-undang no. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Sedangkan sistem pelayanan satu pintu dikembangkan melalui Keputusan Menteri PAN no. 63/Kep.M.Pan/7/2003. Juga berlaku sebagai dasar hukum Peraturan Pemerintah no. 47/2007 tentang organisasi perangkat daerah. Di dalam PP ini (Pasal 47) ditegaskan opsi bagi pemerintah propinsi atau kabupaten kota untuk membentuk unit pelayanan terpadu. 24 Untuk catatan lebih kritis apa itu unit pelayanan terpadu dan bagaimana memaknainya: apakah sebagai kebijakan satu pintu atau satu atap baca: Jaweng. Robert Endi. 2008. Pelayanan Satu Pintu atau Satu Atap? Sinar Harapan, Desember 18. Dinyatakan bahwa berdasarkan Instruksi Presiden no. 3/2006 tentang Paket kebijakan perbaikan iklim investasi yang ditindaklanjuti dengan Permendagri no. 24/2006 (pedoman penyelenggaraan PPTSP semua daerah diwajibkan membentuk pusat pelayanan terpadu satu pintu (PPTSP), dan dalam perkembangannya sudah berdiri di sekitar 185 kabupaten/kota. Periksa juga: 2006. Izin Satu Pintu di 29 Daerah:
26
Maka juga dapat dimengerti mengapa camat dan lurah keduanya sebagai
perpanjangan tangan pemerintah kota (kabupaten) dikerahkan untuk mendukung
kebijakan memudahkan investasi. Kecamatan dan kelurahan, tampaknya, kemudian
terposisikan sebagai sekadar unit pelaksana kebijakan pemerintah kota. Bukan
sebagai wujud representasi masyarakat local.25
Beranjak dari semua itu jelas mengapa investor yang berniat membangun
pusat-pusat perbelanjaan (daya tarik utama kepariwisataan di Bandung) dan hotel di
Bandung mendapat dukungan penuh pemerintah kota Bandung. Bagaimana
kebijakan tersebut yang berujung pada pemberian izin-izin pemanfaatan dan
penggunaan tanah berbenturan dengan kepentingan pelestarian lingkungan dan
terutama memunculkan sejumlah gangguan bagi masyarakat kampung kota yang
bertetangga akan dibahas di bawah.
5. Peran Perantara untuk merumuskan kesadaran dan pengetahuan hukum
Peran dari tokoh-tokoh masyarakat sangat penting. Terutama “orang luar”
yang kebetulan memiliki tanah dan rumah di lingkungan Sangian Santen sangat
berperan. Satu orang seperti Adnan Buyung Nasoetion, sebagai pihak yang
berkepentingan – ia memiliki rumah dan tanah yang langsung bersebelahan dengan
tanah lokasi proyek pembangunan hotel tingkat 15 – besar dampaknya dalam
membentuk “kesadaran hukum” masyarakat dan langkah-langkah hukum serta non-
hukum yang mereka ambil. Ia melakukannya, antara lain, dengan mengorganisasikan
suatu kegiatan pertemuan atau sosialisasi tandingan pada bulan agustus 2005. Atas
Beberapa Kabupaten Terbuka Tentukan Tarif Resmi. Kompas, November 6; 2009. Pelayanan Satu Atap Diubah Menjadi Satu Pintu. Kominfo-Newsroom, July 16. 25 Bdgkan dengan Peraturan Pemerintah no. 72/2005 tentang desa. Menurut PP ini desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengurus kepentingan masyarakat setempat. Kelurahah sebagai bandingan, berdasarkan UU no. 32/2004 jo PP no. 73/2005 tentang kelurahan, adalah perangkat daerah kabupaten/kota dalam wilayah kerja kecamatan. Lurah ditunjuk oleh Bupati/Walikota dan dipilih dari calon-calon yang diajukan oleh camat (Pasal 127 ayat (4) & (5) UU no. 32/2004.
27
prakarsanya juga ia merumuskan persoalan ini sebagai pelanggaran asas kepatutan
dalam pemberian izin penggunaan pemanfaatan tanah.
Berkat upayanya juga, sejumlah lembaga swadaya masyarakat, Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan
Tatar Sunda (DPKLTS),26 mengetahui adanya persoalan ini dan kemudian
mengangkatnya sebagai persoalan pelanggaran hukum khususnya tentang aturan
penataan ruang kota Bandung. Itu berarti bahwa keterlibatan lembaga-lembaga
tersebut dalam kasus ini dipicu terutama karena mereka adalah bagian dari jejaring
sosial (social capital) yang dimiliki Buyung Nasoetion yang memang dikenal sebagai
pengacara vocal dan oposan pemerintah Orde Baru dahulu.
Lembaga-lembaga tersebut jugalah yang kemudian mendukung masyarakat
untuk melakukan aksi perlawanan dalam bentuk demonstrasi termasuk ke pengadilan
maupun kehadapan kantor DPRD Propinsi Jawa Barat, termasuk aksi pemasangan
portal-besi untuk menghentikan kegiatan pembangunan hotel. Pemihakan LBH dan
DPKLTS kepada rakyat pencari keadilan juga dapat dirumuskan sebagai upaya
menjadi lembaga perwakilan masyarakat yang bertugas memantau dampak kegiatan
pembangunan terhadap rakyat kecil. Lebih dari itu, DPKLTS memberi perhatian pada
masalah ini dengan motivasi memperjuangkan kepentingan pelestarian lingkungan
perkotaan.
Peran penting dari intermediaries, dalam hal ini LBH-Bandung juga tampak
dari cara bagaimana lembaga tersebut merumuskan apa yang seharusnya terjadi
menurut hukum dan menunjukkan pada warga apa yang sebenarnya dilanggar. Gatot
Rianto, kuasa hukum warga, mengatakan bahwa:27
26 Lembaga Swadaya Masyarakat yang didirikan atas prakarsa Solihin GP, tokoh masyarakat sunda, pernah menjabat sebagai sesdalopbang di zaman Orde Baru, gubernur Jawa Barat dan panglima kodam V Siliwangi. 27 Marsiela. Adi. 2009. Warga Ciumbuleuit Tolak Pembangunan Hotel. Suara Pembaharuan, January 19.
28
“pemilik proyek sama sekali tidak melibatkan warga di sekitar lokasi pembangunan. Malah pemilik proyek memanipulasi tandatangan warga untuk kepentingan pemenuhan syarat perizinan (…) tadinya hanya absensi dalam sebuah pertemuan karena warga diundang, tapi kemudian diubah jadi persetujuan pembangunan”.
Atas dorongan dan bantuan LBH Bandung jugalah maka warga tampaknya
memutuskan untuk melaporkan Henry Husada, pemilik proyek pembangunan hotel ke
polisi. Henry, menurut Gatot Rianto, dinilai:
“mengganggu ketertiban umum dan memalsukan keterangan (…) juga pencemaran nama baik 100 warga yang namanya dicatut pemilik proyek.28
Upaya hukum yang tidak terbayangkan akan diambil oleh warga masyarakat dengan
tingkat pengetahuan hukum (Negara) terbatas secara mandiri.
Individu yang dtokohkan dan dianggap penting oleh masyarakat juga turut
merumuskan dan menyuarakan kepentingan anngota masyarakat baik yang pro
maupun kontra dengan rencana pembangunan hotel. Dari pihak yang kontra tercatat
Bpk Sugandariya (pekerjaan pegawai negeri) dan aktivis di salah satu mesjid
kampung Sangian Santen. Ia yang tergabung dalam Forum Komunikasi Peduli
Lingkungan (214 warga), menyatakan bahwa warga sekitar lokasi proyek yang
dimiliki PT. Intan Tiara Nusantara tidak pernah dilibatkan dalam hal perencanaan,
pelaksanaan, sampai perizinan tentang analisis dampak lingkungannya.29
Sedangkan dari pihak yang pro terdata seorang tokoh masyarakat (Bpk Bari)
dan sejumlah 800 keluarga lainnya. Ia, begitu dikatakan warga, karena kedekatannya
dengan Bpk Henry (pemilik hotel) termasuk salah seorang yang akan sangvat
diuntungkan oleh pembangunan hotel. Disebutkan bahwa melalui perantaraannya
28 2009. Warga Adukan Pemilik Hotel Four ke Polisi. Diunduh dari http://www.tempointeraktif.com, January 19. Laporan tersebut diajukan atas nama 225 anggota komunikasi warga ciumbuleuit peduli lingkungan. Laporan ini merupakan laporan kedua kali. Pengaduan pertama kehadapan polisi ditolak karena proses persidangan PTUN untuk perkara ini sedang berlangsung. 29 Marsiela, loc.cit.
29
juga para pemuda di kampung dijanjikan akan mendapat pekerjaan jika hotel tuntas
terbangun. Bahkan ia juga menjadi juru bicara pihak pengelola hotel berhadapan
dengan masyarakat kampung Sangian Santen. Namun ketika oleh mass media ia
diberitakan berpihak pada pembangunan hotel, dan itu artinya pengusaha, Bpk Bari
memutuskan untuk menyatakan diri berada di luar sengketa. Bahkan ia menyatakan
karena pemberitaan tersebut merasa perlu menyempatkan diri menghadap H.
Sugandariya (tokoh lainnya) untuk menjelaskan posisinya terdahulu dan sekarang.
Keduanya, begitu ia menggambarkannya, menyayangkan terpecahnya warga
masyarakat ke dalam dua kubu yang berseberangan. 30
6. Kesadaran dan pengetahuan hukum warga Sangian Santen
Dari pengamatan sehari-hari terkesan bahwa persentuhan mayoritas warga
kampung Sangiang Santen dengan hukum Negara, pemerintah bahkan juga
pengadilan sangat terbatas. Persentuhan mereka dengan pemerintah lagipula hanya
sebatas masalah-masalah administrasi. Inipun diselesaikan melalui perantaraan Ketua
RT/RW yang kerap menjadi penghubung antara pihak kelurahan/kecamatan dengan
masyarakat. Sebagaimana telah digambarkan sebelumnya dalam kenyataan hubungan
masyarakat kampung kota dengan pemerintahan terdekat (lurah atau camat) biasanya
bersifat insidental, hanya berkaitan dengan urusan pembuatan kartu keluarga, kartu
tanda penduduk, keterangan serba guna atau kartu miskin, dan mungkin ketika
masyarakat memanfaatkan proses adjudikasi pertanahan.
Di samping itu, layanan publik yang masuk ke dalam wilayah/kawasan
kampung terbatas pada penyediaan listrik oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Kesigapan pelayanan di bidang ketenagalistrikan ini berbanding terbalik dengan
penyediaan dan pemeliharaan fasilitas umum dan sosial lainnya, termasuk tata
30 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Bari. Kampung Sangiang Santen, 23 Januari 2009.
30
lingkungan dan hunian yang sehat dan aman secara teknis. Negara tidak
menyediakan dan masyarakat atas inisiatif sendiri harus mengatur itu semua. Banyak
dari jalan di kampung Sangian Santen, dan ini juga umum terlihat di banyak kampung
kota lainnya di Bandung – adalah jalanan dari semen, dibuat dan dibiayai masyarakat
sendiri. Informalitas pengelolaan dan pemeliharaan jalanan publik juga tercermin
dari mayoritas bangunan warga masyarakat kampung kota yang jelas dibangun tanpa
mengikuti aturan-aturan tentang pemanfaatan lahan atau ketentuan teknis bangunan
yang aman dan sehat.
Tidak tampak adanya kepatuhan terhadap syarat-syarat teknis berkenaan
dengan batasan penggunaan lahan (koefisien dasar bangunan ataupun koefisien lahan
bangunan) maupun teknis bangunan berkenaan dengan keselamatan dan kesehatan
bangunan. Ketentuan-ketentuan demikian, antara lain, tercakup dalam Perda Kota
Bandung tentang IPPT31 dan IMB.32 Maka itu tampaknya warga masyarakat bebas
memanfaatkan secara optimal lahan terbatas yang ada untuk kepentingan
pembangunan rumah dan jalan, tanpa perduli akan aturan-aturan yang ada.
Kemungkinan besar ketidakpedulian ini dipicu lebih oleh ketidaktahuan akan
aturan-aturan bangunan dan pemanfaatan tanah yang sangat teknis dan lagipula tidak
“realistis” dari sudut pandang keterbatasan lahan, kemampuan financial (untuk
mengurus perizinan dan menaati aturan) dan kebutuhan nyata masyarakat kampung
kota. Ini terindikasikan dari kenyataan bahwa lereng paling curam-pun (dengan
kemiringan 60-70º) dimanfaatkan untuk membangun rumah. Dilihat dari bawah,
tumpukan bangunan di lereng-lereng curam tersebut terkesan seperti rumah susun.
31 Perda Kota Bandung no. 04/1996 tentang izin perencanaan penggunaan lahan). Direvisi oleh Perda no. 25/1998 tentang izin peruntukan penggunaan tanah) dan terakhir oleh Perda no. 4/2002. 32 Perda Kota Bangunan tentang bangunan (bouwverordening van Bandoeng), lembaran Propinsi tanggal 29 February 1932 no. 2. Aturan bangunan yang diberlakukan di Bandung dapat dikatakan masih merujuk pada aturan-aturan yang diberlakukan oleh gemeente Bandung sekalipun kemudian setelah kemerdekaan dan Bandung menjadi kotamadya tingkat II di zaman orde baru dan daerah otonom pasca 1999 telah diamandemen berkali-kali.
31
Lagipula, jika dilihat dari udara, akan teramati bahwa pola pemanfaatan ruang
di kampung Sangian Santen tidak menyisakan sedikitpun ruang terbuka hijau. Ruang
publik yang ada hanyalah jalanan dan gang-gang sempit yang menghubungkan
rumah-rumah di kawasan kampung tersebut. Maka itu, jikapun ada aturan atau norma
yang mengatur hubungan antar tetangga, hal itu tidak berkaitan dengan aturan jarak
antar bangunan ataupun akses tetangga menuju jalan umum.
Tingkat kesadaran dan pengetahuan hukum warga tentang aturan-aturan tata
ruang atau tata lingkungan, bahkan tentang peran seharusnya dari pemerintah kota
juga tampak dari “informalitas” dalam penyediaan jasa dan kebutuhan publik lainnya.
Ini seperti sebelumnya telah disinggung di atas kasat mata kentara dalam bidang jasa
layanan air bersih. Sebelum menjadi kampung kota, masyarakat Sangiang Santen
memiliki dan memelihara mata air yang dipergunakan sebagai tempat mandi bersama
dan sumber air bersih. Pada zaman itu, tahun 70-80, mata air, pancuran dan tempat
mandi bersama dapat dikategorikan sebagai common property yang dikelola dan
dipelihara bersama.
Namun dengan meningkatnya kebutuhan lahan untuk rumah dan mungkin
juga pengaruh konsep kamar mandi tertutup di rumah, penyediaan air bersih
dilakukan atas prakarsa masing-masing penghuni. Tidak ada lagi ‘sumber air yang
dikelola dan dipelihara bersama. Mulailah masing-masing warga membuat dan
memiliki sumur timba untuk kepentingan sendiri. Tentu tidak semua seberuntung itu
dapat menggali sumur dan memiliki pasokan air sendiri.
Solusinya adalah membuat dan memelihara jaringan penyediaan air bersih dari
sumber lain di luar wilayah kampung. Berbeda dengan jaringan resmi penyaluran air
bersih yang dikelola perusahaan daerah (PDAM), jaringan swadaya masyarakat
menunjukkan bagaimana mereka mengapresiasi kebersamaan. Tidak ada satu pipa
32
dan bak penampung utama, namun masing-masing warga harus membeli dan
memasang sendiri pipa dari sumber air ke rumah masing-masing. Tidak tersedia dan
dibutuhkan adanya organisasi khusus yang mengatur soal penyediaan air bersih
tersebut.
Dari itu semua apa yang hendak dikatakan ialah bahwa masyarakat kampung
kota Sangiang Santen mengembangkan norma dan aturan yang berbeda dari aturan
Negara perihal bagaimana hidup bertetangga yang baik, mengelola dan
memanfaatkan tanah untuk kepentingan sendiri dan tetangga. Aturan-aturan resmi
Negara dan norma serta prinsip-prinsip hukum yang melandasinya tidaklah relevan di
wilayah kampung kota Sangian Santen. Dari sudut pandang Negara dan Hukum
Negara dapat dikatakan bahwa masyarakat kampung Sangiang Santen tidak atau
belum mengembangkan kesadaran akan hak mereka atas lingkungan dan hunian yang
bersih dan sehat. Kesadaran demikian baru terbentuk ketika sejumlah warga
masyarakat bersentuhan dengan orang-orang kota yang melek hukum Negara.
Ilustrasi dari pembentukan kesadaran hukum dari luar yang kebetulan “keliru” dapat kita temukan dalam kasus lain. Pemerintah Kota Bandung dalam rangka memenuhi ketentuan tentang kewajiban menghijaukan kawasan Bandung Utara, sebagaimana muncul dalam Perda Kota Bandung no. 02/2004 diperbaharui dengan Perda no. 3/2006 (RTRW Kota Bandung) menetapkan adanya jalur hijau di kawasan tersebut. Jalur hijau yang ditetapkan kebetulan melintasi tanah milik penduduk. Kewenangan menetapkan fungsi dan peruntukan kawasan memang diperbolehkan oleh Undang-undang tentang tata ruang (UU no. 24/1992 jo UU no. 26/2007) dan tidak mengurangi klaim kepemilikan warga atas tanah. Konsekuensi dari itu ialah bahwa kebebasan warga untuk membangun di atas tanahnya, sekalipun penguasaannya dikukuhkan sertifikat tanah dari BPN boleh dibatasi. Pembatasan serupa sebenarnya juga akan muncul dalam bentuk penetapan koefisien dasar bangunan (KDB) jika pemilik tanah mengajukan permohonan untuk mendapatkan IPPT dan IMB di kawasan yang sama. Dengan ditetapkannya KDB, kebebasan pemilik tanah untuk membangun di atas tanah miliknya akan dibatasi. Dasar pembatasan tersebut dari sudut pandang hukum ialah bahwa semua hak atas tanah punya fungsi sosial (Pasal 6 UUPA). Namun kemungkinan bahwa pemanfaatan tanah “milik” boleh dibatasi demi kepentingan publik (masyarakat kota dalam artian abstrak dan umum) ternyata tidak masuk akal bagi masyarakat kampung kota. Ini tidak saja terindikasikan dari pola tata
33
letak rumah dan pemanfaatan lahan, namun juga dari protes yang diajukan warga terhadap “larangan” membangun di atas tanah miliknya. Warga kampung Nyalindung-Punclut ternyata memiliki pemahaman lain tentang “kebebasan” yang terkandung dalam hak milik atas tanah. Salah satu warga, Syamsudin, warga kampung nyalindung RT 03/09 menyatakan:33 “Kami semua punya sertifikat. Karena kawasan hijau, kami tidak bisa membangun lahan kami sendiri. Kalau pemerintah kota Bandung mau menghijaukan silakan, tapi tanah kami harus dibeli dulu”
Tingkat kesadaran hukum yang rendah termasuk kepercayaan yang melekat
bahwa warga masyarakat adalah “rakyat kecil” yang harus selalu mengalah juga
berpengaruh terhadap bagaimana tawaran terbuka untuk menuntut ganti rugi yang
disampaikan pengacara investor di mass media dimaknai oleh warga masyarakat yang
merasa dirugikan. Lagipula dari pengamatan sehari-hari tidaklah mudah untuk begitu
saja masuk dan membuat janji bertemu dengan orang-orang penting di lokasi proyek
pembangunan. Setiap tamu diharuskan melapor di pos penjaga yang dijaga satpam,
organisasi massa berseragam ataupun polisi/tentara.34 Keduanya nyata tidak
dipersiapkan sebagai pos penerima dan pengelola pengaduan. Tertulis dengan jelas di
pintu pos satpam: “Tamu harap lapor ke pos satpam” dan di tempat-tempat lain
tertulis: “Yang Tidak Berkepentingan Dilarang Masuk”.
Lagipula belum tentu pula penjaga atau satpam akan berbaik hati
menyampaikan keluhan masyarakat kepada mandor atau pemborong atau siapapun
yang kebetulan berada di tempat. Satu kendala lain ialah bahwa di lokasi proyek,
warga masyarakat yang hendak mengadu akan berhadapan dengan pemborong atau
mandor dan mereka itu selalu dapat berkilah tidak tahu menahu urusan ganti rugi,
33 2009. Warga Kampung Nyalindung-Punclut Tagih Ganti Rugi Pemkot.Harian Seputar Indonesia. Mei 14. 34 Dalam kasus lain yang ditangani LBH-FH Unpar, tahun 2005, warga masyarakat yang terganggu dan memprotes satu proyek pembangunan hotel di pusat kota bandung, mendapat kunjungan dari sejumlah orang (“oknum” tentara) yang mengaku bertugas atau dipekerjakan untuk mengamankan proyek. “Oknum” tentara ini mencoba mengintimidasi ‘warga’ (tetangga) yang berkeberatan terhadap gangguan yang ditimbulkan hotel selama pengerjaan proyek maupun sesudahnya.
34
bahwa mereka-pun hanya pelaksana dan tidak berwenang menerima dan
membicarakan keluhan. Tidak ada informasi tentang apakah warga masyarakat betul
pernah mencoba upaya ini. Kemungkinan besar undangan hanya berhenti sebagai
pernyataan di surat kabar belaka. Ini dikatakan karena undangan atau tawaran tersebut
disampaikan kepada wartawan namun tidak secara langsung kepada warga.
7. Bagaimana Warga Merumuskan Keluhan dan Memaknainya
Dari gambaran di atas tentang tingkat kesadaran dan pengetahuan hukum
masyarakat, menarik mencermati dalam kasus ini bagaimana masyarakat Sangiang
Santen – terutama mereka yang sebagai kelompok menentang rencana pembangunan
hotel – merumuskan (dengan bantuan penyadaran dari LBH-Bandung atau DPKLTS)
rencana tersebut sebagai pelanggaran aturan tata ruang dan tidak dipatuhinya prosedur
yang seharusnya berkenaan dengan persyaratan meminta izin tetangga sebelum
memohonkan izin peruntukan pemanfaatan tanah dan izin membangun. Atas dasar
itu pula, warga masyarakat sebagai kelompok mencari “keadilan” ke pengadilan,
melakukan demo ke hadapan wakil rakyat (DPRD Propinsi), dan membawa perkara
ini sebagai kehadapan polisi sebagai suatu tindak pidana: penipuan dan pemalsuan
keterangan warga untuk mendapatkan izin tetangga.
Orang-orang dari Kota itulah yang juga “mem-buka-kan-mata” warga
masyarakat yang menolak atas sejumlah peluang dan jalan untuk menuntut keadilan
dengan menempuh jalur hukum atau non-hukum. Di sini pada tataran teori kita
berhadapan dengan keterkaitan legal empowerment dengan access to justice.35
Terlepas dari itu, bagaimanapun juga masyarakat tidak lagi mengandalkan pemimpin
resmi terdekat (lurah/camat) untuk menyelesaikan konflik atau sengketa yang muncul
melainkan langsung membawa masalah mereka ke dewan perwakilan, baik tingkat
35 Adriaan Bedner & Jacqueline Vel, op.cit. p.4.
35
kota maupun propinsi. Jalur hukum, administrasi dan pidana, juga ditempuh karena
mendapat dukungan dari “lembaga swadaya masyarakat”. Seberapa jauh kepentingan
lembaga-lembaga demikian sejalan dengan kepentingan masyarakat adalah persoalan
lain. Tapi yang jelas pemilihan forum sangat ditentukan oleh pengalaman lembaga-
lembaga ini ketika mereka dengan alasan membela kepentingan rakyat berhadapan
dengan pemerintah local dan pengusaha.
Lagipula, keluhan dari warga, sebagaimana digambarkan sebelumnya, lebih
berkenaan dengan hal-hal yang konkrit seperti kebisingan, getaran dan limbah tanah
dan debu hasil penggalian pondasi. Beberapa dari mereka menyoal kerugian di masa
depan: lingkungan yang menjadi tidak aman dan nyaman, kurangnya pasokan air, atau
dijadikan tempat tinggal mereka sebagai pembuangan dan penggelontoran air limbah.
Namun semua keluhan-keluhan tersebut tidak beranjak menjadi tuntutan
hukum yang jelas. Terasa dari perbincangan dengan sejumlah warga bahwa ada
keengganan untuk berkonflik secara terbuka dengan penguasa ataupun pengusaha
(yang dipandang dekat dengan penguasa). Bagaimakah kita dapat memahami sikap
pasrah atau “keengganan berkonflik”? Pada tingkat individu, perubahan alih fungsi
pemanfaatan lahan tidak serta merta mendatangkan gangguan atau gangguan yang ada
tidak/belum dianggap penting. Satu dan lain karena masih abstrak dan berupa
kemungkinan (risiko) di masa depan yang bisa terjadi atau tidak. Kebanyakan
penduduk di Sangiang Santen, dan juga di banyak tempat lain bersikap pasrah
terhadap pembangunan yang mendatangi mereka. Penyebabnya mungkin budaya
someah. Ini dikatakan Usep Romli (sastrawan dan budayawan sunda). Ia menunjuk
pada kecenderungan masyarakat sunda (atau rakyat kecil) untuk:
“mempertahankan nilai-nilai kasomeahan (someah hade ka semah” (ramah tamah terhadap tamu, baik tamu dalam artian orang luar dari etnis lain, atau dalam arti simbolik, budaya lain).
36
Ia selanjutnya menyimpulkan bahwa masyarakat sunda karena itu sering
mengalah dalam berbagai hal sehingga tanpa sadar menjadi jati kasilih ku junti.
(terpinggirkan):
Sawah ladang bahkan lembur matuh banjar karang pamidangan (kampung halaman) berpindah kepemilikan kepada orang lain”.36
Kesimpulan serupa ditarik oleh seorang antropolog yang meneliti interaksi
masyarakat sunda (Cipaheut) dengan pengelola padang golf dago di Bandung
pinggiran37.
Keluhan-keluhan mereka (grievances), namun demikian baru di beri nama
(naming) sebagai pelanggaran hukum dan disadari siapa yang harus
bertanggungjawab untuk itu (blaming) setelah pihak luar, termasuk Buyung
Nasoetion, merumuskannya ke dalam bahasa resmi hukum dan mempertanyakan
kebijakan dan keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha dihadapan pengadilan.
Istilah yang kerap digunakan dalam pergaulan sehari-hari di antara warga masyarakat
yang menolak rencana pembangunan hotel ialah “dizolimi” (mendapat perlakuan tidak
adil/ditindas). Secara konkrit warga masyarakat merasa telah diperlakukan tidak adil
oleh pemerintah kota dan pengusaha.
Perasaan diperlakukan tidak adil ini kemudian menguat karena pemborong
rupanya tidak merasa berkepentingan melibatkan masyarakat lokal sebagai buruh.
Padahal itu adalah janji yang dipercaya masyarakat telah terucap pada acara
sosialisasi atau silaturahim untuk memperkenalkan rencana secara resmi pada
masyarakat RW O5 di kelurahan dahulu. Pemborong yang ditunjuk pengusaha lebih
memilih mendatangkan buruh dari Jawa. Ini juga menjadi pemicu berbaliknya haluan
warga masyarakat yang dahulu mendukung menjadi kontra. Kelompok yang dahulu
36 Romli. Usep. 2009. Watak Buruk dalam Babasan. Kompas, Maret 5: d. 37 Riawanti. Selly. 2002. “Kehidupan Orang Pinggiran Kota di Cipaheut Kaler, Bandung Utara. Disertasi Doctoral, Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Indonesia, Jakarta.
37
mendukung (terutama dari satu rukun tetangga yang mayoritas warganya adalah
buruh bangunan: baik tingkatan mandor, tukang tembok/kayu maupun laden) merasa
hak mereka sebagai warga local untuk mendapatkan keuntungan dipekerjakan sebagai
buruh telah dilanggar. Janji yang disampaikan pada waktu kegiatan sosialisasi
ternyata diingkari.
Namun itu kesulitan merumuskan keluhan tidak dialami oleh Dr. Adnan
Buyung Nasoetion. Ia yang mengajukan gugatan pembatalan IPPT tidak mengalami
kesulitan demikian untuk langsung merumuskan keluhannya sebagai satu bentuk
penyimpangan hukum, terutama pengabaian asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Ia juga kemudian berhasil meyakinkan sebagian masyarakat (80 orang) untuk
bersama-sama dengannya, sekalipun sebagai pihak berbeda, mengajukan gugatan
terhadap IPPT yang diterbitkan 8 September 2006 pada tanggal 6 Februari 2007.
Sebagaimana dikutip oleh Kompas, menurut ketua Tim penasehat hukum Adnan
Buyung Nasution dan bertindak sebagai perwakilan warga lainnya, gugatan
difokuskan kepada tidak adanya studi analisis mengenai dampak lingkungan dalam
rencana pembangunan hotel tersebut.38 Dengan kata lain, penerbitan IPPT tersebut
melanggar UU no. 23/1997 tentang lingkungan hidup, PP no. 29/1997 tentang analisis
mengenai dampak lingkungan hidup. Selain itu, IPPT tersebut menyimpang dari izin
prinsip yang dikeluarkan walikota Bandung sendiri. Ketua tim pembela Adnan
Buyung Nasution menjelaskan bahwa:39
“dalam menerbitkan izin untuk melakukan usaha atau kegiatan haruslah memperhatikan rencana tata ruang, pendapat masyarakat, serta pertimbangan dan rekomendasi dari yang berwenang dengan usahanya tersebut”
38 Herlambang. Cornelius Helmy. 2007. Warga Tolak Pembangunan Hotel 10 Tingkat. Kompas Cybermedia, January 16. 39 2007. Adnan Buyung Gugat Wali Kota Bandung, (www.gatra.com/2007-01-25/versi_cetak.php.). Ditambahkan bahwa izin prinsip diberikan kepada Iman Luciana selaku Direktur Utama PT. Serena Seriti, sedangkan IPPT diberikan kepada Hendry Husada sebagai perorangan berdasarkan status kepemilikan tanah.
38
Pada waktu itu reaksi resmi pemerintah kota Bandung ialah menyatakan akan
menunda pengurusan izin-izin lainnya. Kepala Dinas Bangunan Kota Bandung,
menyatakan bahwa:40”
PT. Intan Tiara Nusantara baru memiliki izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT). Adapun izin mendirikan bangunan (IMB), izin gangguan (HO) dan surat izin kepariwisataan (SIUK) belum keluar (…) Hotelnya juga belum dibangun, baru tahap rencana akan dibangun sepuluh lantai. Nah, izinnya baru diurus, tapi ada penolakan dari warga.”
Artinya pemerintah kota tidak akan mengeluarkan izin-izin tersebut di atas
sebelum ada putusan final dari PTUN. Di samping itu ia merencanakan melakukan
sosialisasi ulang mengenai pembangunan hotel tersebut. Sebab terbukti masih ada
warga yang keberatan dan bahkan menolak. Sayangnya penolakan hanya dianggap
sebagai indikasi warga belum berhasil dibuat mengerti dan perlu diyakinkan kembali.
Namun lepas dari niatan baik itu ternyata PTUN Bandung menolak gugatan
Buyung cs. Juga pada tingkat terakhir Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya (9
juli 2008 no. 124K/TUN/2008) menolak permohonan kasasi dari Buyung cs. Majelis
memandang proses IPPT itu belum final. Putusan demikian sebenarnya tidak
mengejutkan karena sejalan dengan putusan-putusan PTUN lainnya dalam kasus
serupa yang diajukan terhadap penerbitan izin yang untuk realisasinya digantungkan
pada perolehan serangkaian izin lain.
Keseluruhan proses di PTUN ternyata juga berhasil menarik perhatian mass
media dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (DPKLTS dan LBH-Bandung).
Kedua lembaga swadaya masyarakat ini merumuskan peristiwa ini sebagai wujud
keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha dan pengabaian hak-hak masyarakat
kampung Sangiang Santen. Di samping itu juga pemerintah kota Bandung dikecam
40 2007. Tunggu Keputusan PTUN Jabar: Bongkar Hotel di Kawasan Punclut. Kompas, January 27.
39
karena dalam kebijakan-kebijakan pemanfaatan ruangnya abai terhadap kepentingan
pelestarian dan daya dukung lingkungan.
Ketika dirumuskan sebagai pelanggaran prosesur pemberian izin, maka
pencari keadilan mau tidak mau harus membawa keluhan mereka kehadapan
Pengadilan Tata Usaha Negara. Forum inilah yang dalam hukum formal yang ada
paling tepat untuk menguji keabsahan perizinan yang telah diberikan dan yang
dianggap merugikan kepentingan umum masyarakat. Namun ini tidak menutup
kemungkinan bagi masyarakat untuk menuntut ganti rugi dihadapan pengadilan
perdata atau memberdayakan mekanisme peradilan pidana.
Untuk yang terakhir ini, maka pihak LBH-Bandung berhasil meyakinkan
sejumlah warga (atas nama 225 anggota forum komunikasi warga ciumbuleuit peduli
lingkungan) untuk melaporkan tindakan pemalsuan tandatangan atau rekayasa
persetujuan tetangga kehadapan polisi. Pelaporan yang kemudian diterima setelah
sebelumnya ditolak oleh polwiltabes Bandung. Kuasa hukum para pelapor, Gatot
Rianto dari LBH Bandung menyatakan bahwa Henry diadukan ke polisi atas dasar
sangkaan41:
“menggangu ketertiban umum (pembangunan yang dimulai sejak juni 2008 tidak henti selama 24 jam), memalsukan keterangan dan pencemaran nama baik 100 warga yang namanya dicatut pemilik hotel (tandatangan kehadiran yang dipelintirkan menjadi persetujuan warga terhadap pembangunan hotel hotel)”
Ditambahkan oleh Gator bahwa: “warga akan bersikukuh untuk menolak
pembangunan hotel, meski dengan cara sendiri”. Selain itu, pihak LBH juga akan
meninjau ulang aturan pidana kegiatan pembangunan yang melanggar tata ruang.
Dalam kesempatan sama, salah seorang warga, Arie Ahmad, menuturkan bahwa,
41 2009. Warga Adukan Pemilik Hotel Four ke Polisi. Tempo Interaktif, January 19.
40
pihak pengembang hotel: “sudah mengkhianati warga RW 05 Kelurahan
Ciumbuleuit”.
Masyarakat yang tergabung dalam Forum Komunikasi Peduli Lingkungan (FKPL) pada suatu hari di bulan Januari 2009 melakukan aksi demonstrasi.42 Dalam aksi tersebut sejumlah warga melakukan aksi jalan kaki beriring-ringan dengan membawa dua spanduk hijau dan putih. Tulisan di salah satu spanduk menyatakan: “Kami tidak butuh hotel dan segala bualanmu, yang kami butuhkan hanya kehidupan yang genah, merenah, dan tumaninah”. Spanduk lainnya bertuliskan: “Warga Ciumbuleuit mendukung Kang Dada jadi walikota, tapi warga tidak setuju jika Kang Dada memberikan izin untuk hotel Four R”. Di samping itu, masyarakat yang tergabung dalam Forum Masyarakat Ciumbuleuit Peduli Lingkungan yang menolak rencana pembangunan juga melakukan demonstrasi ke kantor DPRD Kota Bandung awal Januari 2009. Seperti dinyatakan oleh Koordinator aksi Andabinidi, penolakan warga dilakukan karena khawatir pembangunan hotel akan mengganggu suasana dan ketertiban warga sekitar. Dalam bahasa sederhana: menjadi pemicu sengketa antar warga dan menimbulkan ketidaknyamanan antar tetangga. Selain itu juga mereka hendak mengadukan pengembang hotel ke polisi (mapowiltabes Bandung) karena pengembang dituding telah memanipulasi data dan tandatangan warga sekitar yang diperuntukan sebagai tanda persetujuan.43 Juga dikatakan bahwa “pembangunan hotel tersebut banyak manipulasi dan kebohongan public”.
Apa dan bagaimana tanggapan pengusaha terhadap tudingan-tudingan di atas?
Hendri, juru bicara dan penasihat hukum pemilik/pengelola hotel menanggapi
tuduhan-tuduhan di atas menjelaskan bahwa:44
“pembangunan hotel sudah sesuai dengan prosedur resmi. Mereka sudah melakukan sosialisasi kepada warga sebanyak tiga kali sejak 8 Agustus 2006. Bahkan, Adnan Buyung Nasution-pun diundang namun tidak hadir dan diwakilkan (…) Kami tidak memanipulasi kehadiran warga seperti dituduhkan, kami justru melakukan sosialisasi terhadap warga mulai dari seluruh RT yang ada di sekitar pembangunan hotel. Warga yang hadir umumnya tidak keberatan pembangunan hotel itu”.
Di samping itu ia juga menegaskan:
“Bila warga mengalami kerugian akibat pembangunan ini, silahkan lapor kepada kami”.
42 Yulianti. Tya Eka. loc.cit. 43 Pratama. Arief. 2009. Tolak Pembangunan Hotel, Warga Bandung Demo. Kompas, Januari 19. 44 2009. Henry Minta Pemkot Membuka Portal. Diunduh dari http://newspaper.pikiran-rakyat.com. January 23.
41
Ia selanjutnya menjelaskan bahwa:45
“pembangunan hotel tidak merusak lingkungan seperti yang dituduhkan warga. (…) Tidak ada longsor ataupun limbah malah dapat membuka lowongan kerja bagi warga sekitar dan mendorong pemasukan daerah”.
Dengan cara sosialisasi di atas yang lagipula dipandang sekadar formalitas
belaka jelas bahwa suara warga masyarakat yang tidak setuju dianggap tidak penting
dan dapat diabaikan. Dalam pandangan demikian, dapat kita mengerti mengapa
warga yang berkeberatan dianggap belum paham dan konflik kepentingan cukup
diselesaikan dengan melakukan sosialisasi.
Lagipula dari sudut pandang pengusaha, rekomendasi amdal (dari Bapedalda
Kota Bandung) dan rekomendasi analisis dampak lingkungan (andalalin) dari dinas
perhubungan sudah merupakan bukti final bahwa “dampak apapun di masa depan
sudah diperhitungkan” dan proyek pembangunan hotel layak diteruskan.
Warga masyarakat juga mencoba menarik perhatian DPRD Kota Bandung dan
menuntut dialog dengan ketua DPRD. Demonstrasi ini dipicu juga oleh keputusan
ketua DPRD untuk membatalkan kunjungan lapangan ke lokasi46.
Seberapa jauh tuntutan demikian realistis? Untuk itu maka, kesemuanya harus
ditempatkan dalam kerangka hukum (substantive dan procedural) yang ada. Hanya
dengan melakukan itu dapat ditelaah seberapa jauh kemungkinan tuntutan warga akan
didengar dan diperhatikan oleh pemerintah kota. Di bawah ini akan diberikan analisis
tentang kerangka hukum demikian.
8. Analisis hukum Penataan Ruang Kota dan Kebijakan Pemanfaatan Tanah
45 Rolit. 2009. Pemilik Hotel Four R Terima Ancaman, diunduh dari http://www.lifestyle.roll.co.id/fashionista/25-latest/21477. January 22. 46 2009. Warga Tagih Janji Ketua DPRD. Kompas, January 28.
42
Salah satu kawasan yang banyak dilirik pengusaha/investor untuk membangun
hotel untuk mendukung kebijakan pengembangan kota Bandung sebagai kota wisata
adalah kawasan Bandung Utara.47 Satu dan lain kawasan ini karena terletak
diperbukitan dianggap cocok untuk hotel dan lagipula tidak terlalu jauh dari pusat
keramaian kota. Satu hambatan kecil ialah adanya peraturan pemerintah tentang
rencana tata ruang wilayah (tingkat propinsi) yang menyatakan kawasan tersebut
sebagai kawasan lindung dan kegiatan pembangunan sebenarnya dilarang atau bahkan
harus diawasai dengan sangat ketat. Alasannya ialah untuk mencegah berkurangnya
kemampuan kawasan tersebut berfungsi sebagai kawasan resapan air dan pengendali
iklim mikro kota Bandung.48
Namun ini sebenarnya bukan persoalan besar, karena pemerintah Propinsi
tidak memiliki kewenangan langsung untuk memproses permohonan perizinan
investasi termasuk ke dalamnya izin pemanfaatan ruang. Kewenangan demikian ada
di tingkat pemerintah kota cq dinas-dinas terkait. Empat daerah otonom yang berbagi
kewenangan di Kawasan Bandung Utara, yaitu kota Bandung, Kabupaten Bandung,
Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi lagipula memiliki kebijakan berbeda
perihal perencanaan kawasan tersebut. Ketika perda tiga daerah otonom itu
diperbandingkan nyata bahwa masing-masing daerah otonom menyatakan kawasan
Bandung Utara bukan sebagai kawasan lindung melainkan sebagai kawasan
budidaya.49 Satu daerah otonom lainnya, kabupaten Bandung Barat baru terbentuk
tahun 2008 dan belum tampak beroperasi.
47 Kawasan Bandung Utara adalah wilayah ekologis seluas 30.000 hektar yang batas-batasnya dan peruntukannya ditetapkan di dalam SK Gub. Jawa Barat no. 181.1/SK.1624-Bapp/1982 tentang peruntukan lahan di wilayah inti Bandung Raya Bagian Utara. Di dalam SK tersebut dinyatakan bahwa KBU mempunyai fungsi konservasi air tanah untuk kepentingan seluruh masyarakat yang tinggal di cekungan Bandung. 48 Perda Propinsi Jawa Barat tentang RTRW Propinsi no. 2/2003; Perda Propinsi Jawa Barat tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara no. 1/2008 (dan Peraturan Gubernur tentang petunjuk teknis pengendalian pemanfaatan ruang kawasan Bandung Utara no. 21/2009) dan Perda RTRW Kota Bandung no. 2/2004 diamandemen oleh Perda no. 3/2006. 49 Perda RTRW Kota Bandung (no. 2/2004 diubah dan ditambah oleh Perda no./2006) menetapkan KBU sebagai kawasan lindung terbatas (hanya 20% boleh dibangun). Perda Kabupaten Bandung no. 12/2001, diubah dengan
43
Di samping itu kasat mata dari penelitian lapangan juga tampak bahwa
Kawasan Bandung Utara terbuka sepenuhnya untuk kegiatan “pembangunan”, baik
dalam bentuk pembangunan rumah oleh perseorangan atau masyarakat desa maupun
untuk kepentingan kegiatan investasi kepariwisataan, termasuk pengembangan
perumahan.50 Khususnya untuk Kawasan Bandung Utara yang berada di bawah
kewenangan pemerintah kota, maka satu preseden yang memuluskan pemanfaatan
lahan di kawasan Bandung Utara untuk pembangunan hotel adalah kemenangan
pemerintah kota dan investor menghadapi tentangan dan gugatan di hadapan
Pengadilan Tata Usaha Negara atas rencana pengembangan kawasan itu sebagai
kawasan wisata terpadu Bukit Dago Raya (perumahan, padang golf, hotel dan
sekolah).51
Lagipula seperti dinyatakan Taufan dari DPKLTS, data yang ada
menunjukkan bahwa tanah di KBU hampir sepenuhnya dikuasai dan/atau dimiliki
oleh pengembang. Mereka itu juga sudah memiliki izin pembangunan (rangkaian
berkaitan dengan pengadaan tanah: izin prinsip-izin lokasi, maupun pemanfaatannya:
IPPT-IMB).52 Singkat kata, prakara pemanfaatan ruang di KBU sepenuhnya ada
ditangan pihak pengembang yang sudah menguasai lahan dengan seizin pemerintah
kota/kabupaten.
Bahkan berkaitan dengan penegakan aturan tata ruang, dikatakan oleh Kepala
Seksi Pengusutan Pembongkaran Dinas Bangunan Pemerintah Kota Bandung, Endo
Perda no. 3/2008) menetapkan KBU sebagai kawasan tertentu. Perda RTRW Kota Cimahi (no. 23/2003) menetapkan KBU sebagai kawasan budidaya. 50 2004. Di Era Otonomi Daerah Kawasan Bandung Utara Tercabik-cabik. Kompas June 19.; 2005. Konsep KBU yang Tumpang Tindih Akan Diseragamkan. Kompas, April 30. 51 2005. DPKLTS Gugat Walikota, Terkait Pemberian Izin Pembangunan Jalan di Punclut. Pikiran Rakyat, February 17. PTUN Bandung memutus perkara ini bulan Juli 2005. Pemerintah Kota Bandung dinyatakan tidak melanggar hukum tatkala menerbitkan IPPT untuk PT. DAM. 52 Yudiawan. Dewi. 2006, Sekarang Menjadi Milik Pengembang. Pikiran Rakyat, Desember 18. Data yang ada menunjukkan bahwa di KBU 87 pengembang menguasai lahan seluas 3774.82 hektar. Ini belum termasuk lahan-lahan kecil (di bawah 5000 meter persegi) yang dikuasai oleh pengembang hotel atau apartemen atau perumahan-perumahan mewah dalam enclave. Kusiman. Erwin. 2007. Quo Vadis Pengendalian KBU”, Pikiran Rakyat, January 25.
44
Sukanda bahwa pembongkaran bangunan di KBU yang melanggar aturan tidak
mudah, karena KBU terdapat di Kota Cimahi, Kota Bandung, Kabupaten Bandung
dan juga sebagian kecil di Kabupaten Sumedang. Ia menambahkan bahwa:
“Kalau bangunan yang menyalahi aturan dibongkar, tentu Pemkot Bandung akan bertanya-tanya mengapa permukiman di kawasan Lembang, Kabupaten Bandung tidak ikut ditertibkan? Penertiban ini kewenangan kepala daerah yang bersangkutan”.
Kutipan di atas setidak-tidaknya menunjukkan keengganan pemerintah kota
Bandung untuk mendayagunakan perizinan pembangunan dan upaya paksa
pembongkaran untuk mengendalikan pemanfaatan lahan di KBU. Sekalipun terkesan
agak janggal terkesan pula bahwa masing-masing pemerintah kabupaten/kota yang
berbagi kewenangan mengelola Kawasan Bandung Utara justru bersepakat untuk
membiarkan terus berlanjutnya pembangunan Kawasan Bandung Utara yang
melanggar aturan tata ruang. Padahal dari hasil penelitian Departemen Teknik
Planologi ITB, ditunjukkan bahwa dari 2.422 hektare lahan yang sudah memiliki izin
di Bandung Utara, hanya 15 persen atau 357 hektare yang mengikuti kaidah penataan
ruang ditetapkan.53 Ini juga mengindikasikan bahwa ada toleransi tinggi terhadap
pelanggaran tata ruang atau sekurang-kurangnya pelanggaran tata ruang tidak
dianggap penting.
Maka ketika tahun 2005, salah satu investor (Henry Husada, seorang
pengusaha besar dan terkenal di kota Bandung) menyatakan ingin membangun hotel
di jalan Rancabentang, Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap, kawasan yang termasuk
dalam kawasan Bandung Utara, ia mendapat dukungan penuh pemerintah kota
Bandung. Lagipula berbeda dengan kegiatan pengadaan tanah untuk proyek
perumahan dalam skala besar, pengadaan tanah untuk kegiatan hotel, karena hanya
53 2004. MoU Bandung Utara tak Berguna. Pikiran Rakyat, June 2.
45
dalam skala relatif kecil kerap luput dari perhatian masyarakat luas maupun pengamat
lingkungan. Ini dapat terjadi karena proses jual beli tidak mensyaratkan persetujuan
dari tetangga terdekat dan juga tidak dikontrol oleh pemerintah daerah.54
Hubungan hukum yang ada hanya mengikat penjual dan pembeli dan di sini
kiranya berlaku asas kebebasan berkontrak dengan sejumlah pembatasan.55 Dalam hal
ini Negara hanya mensyaratkan dibuatkannya akta jual beli dalam bentuk akta notariil
dan pelunasan pajak penjual (pajak penghasilan) dan pajak pembeli (Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan).56 Bahkan juga bila tanah belum bersertifikat dapat
berpindah kepemilikan dengan cara membuat akta pengikatan jual beli yang
mensyaratkan bahwa: 1. pembeli akan kemudian atas biayanya sendiri mengurus
pensertifikatan tanah, dan 2. jika proses ini gagal karena sebab apapun, maka jual beli
dinyatakan tidak terjadi dan pembeli harus mengembalikan uang yang sudah
diterimanya.
Singkat kata rumah dan bangunan tempat hotel akan dibangun berpindah
tangan tanpa hambatan dan luput dari perhatian masyarakat sekitar. Apa yang
selanjutnya pengusaha perlu urus hanyalah sejumlah izin dari pemerintah daerah yang
memberinya wewenang untuk membangun sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku, mulai dari peraturan tata ruang, penggunaan tanah sampai dengan
bangunan serta pemanfaatan bangunan. Satu syarat yang harus dipenuhi pengusaha
atau investor hanyalah mendapatkan izin tetangga sebagai syarat untuk mendapatkan 54 Berbeda jika pengusaha belum memperoleh/menguasai tanah. Sebelum melakukan transaksi dalam rangka pengadaan tanah ia harus memohon persetujuan pemanfaatan ruang/penggunaan lahan untuk pembangunan dari Bappeda Kota Bandung. Untuk mendapatkan persetujuan tersebut pemohon harus melampirkan: pernyataan dari masyarakat pemilik tanah bahwa mereka bersedia menjual tanah kepada pemohon dan pernyataan kesanggupan membebaskan/membayar gantirugi tanah kepada pemilik tanah. Namun itu tidak serta merta berarti bahwa tidak ada pemaksaan secara halus atau kasar terhadap para pemilik tanah untuk melepas tanah mereka pada pengembang. Lihat: 2007. Laporan Khusus. Pikiran Rakyat. January 25. tentang pengelolaan kawasan Bandung Utara. 55 Ketentuan Pasal 1320 jo. 1338(1) BW: perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 56 Ketentuan hukum yang mengatur proses dan persyaratan jual beli tanah dapat kita temui dalam UUPA (no. 5/1960); UU no. 21/1997 jo. UU no. 20/2000; PP no. 24/1997 (pendaftaran tanah); PerMenAg/Kep. BPN no. 3/1997 (ketentuan pelaksanaan PP no. 24/1997); PP no. 46/2002 (tentang tariff atas jenis penerimaan Negara bukan Pajak yang berlaku pada BPN) dan Surat Edaran Kepala BPN no. 600-1900 (31 juli 2003).
46
IPPT-IMB dan juga izin gangguan. Dalam praktik permohonan izin diterjemahkan
lebih sebagai upaya pemberitahuan/pengumuman belaka. Keberatan lagipula harus
diajukan kepada dinas terkait bukan pada pengusaha atau pemerintah setempat
(kelurahan/kecamatan) yang memprakarsai kegiatan sosialisasi.
Dengan berbekal sejumlah perizinan tersebut dan bukti bahwa pemberitahuan
tentang rencana proyek atau kegiatan telah diberitahukan kepada tetangga terdekat,
pengusaha (pemilik lahan) mulai mengadakan perjanjian pemborongan. Berdasarkan
perjanjian itulah, pemborong (pihak ketiga) melakukan kegiatan pembangunan fisik,
berupa pemagaran lahan, pematangan lahan dan pemasangan pondasi. Pada tahapan
itulah, baru masyarakat kampung kota Sangian Santen berhadapan secara konkrit
dengan dampak dari kegiatan pembangunan hotel di kawasan hunian mereka. Namun
suara mereka seperti telah diindikasikan seringkali tidak terdengar atau bahkan tidak
disampaikan secara jelas kepada pemerintah apalagi pengusaha.
Berbeda dengan itu rencana pemanfaatan lahan dan pembangunan hotel di
kawasan Bandung Utara oleh LBH Bandung dan Buyung Nasoetion dipahami sebagai
pelanggaran aturan rencana tata ruang. Dinyatakan bahwa pemerintah kota Bandung
telah keliru menerbitkan IPPT dan IMB dengan merujuk pada peraturan daerah kota
tentang rencana tata ruang kota. Kedua izin tersebut seharusnya tidak boleh
diterbitkan karena melanggar ketentuan tentang penetapan peruntukan kawasan di
dalam aturan-aturan penataan ruang di luar Perda RTRW Kota Bandung. Menurut
LBH dan Buyung Nasoetion, kawasan Bandung Utara telah ditetapkan sebagai
kawasan lindung oleh Surat Keputusan Gubernur dan dua Perda Propinsi Jawa Barat,
yakni Perda no. 2/2003 tentang RTRW Propinsi dan Perda . Di sini dapat diangkat
dua persoalan hukum. Pertama kekuatan mengikat dari surat keputusan Gubernur
47
terhadap Pemda Kota Bandung, dan kedua, acuan hukum dari perizinan pemanfaatan
ruang.
Untuk yang pertama dapat dikatakan bahwa setelah diterbitkannya UU
Otonomi Daerah tahun 1999, kedudukan propinsi dan gubernur tidaklah sekuat
dahulu. Gubernur dan pemerintah propinsi dalam hierarki kepemerintahan tidak lagi
berkedudukan lebih tinggi di atas kabupaten/kota yang otonom. Kemandirian ini
ditunjukkan dengan diabaikannya semua “larangan atau himbauan untuk tidak
membangun di kawasan lindung Bandung Utara” dan menetapkan sendiri melalui
Perda RTRW Kota Bandung tahun 2004 bahwa Punclut dan kawasan Ciumbuleuit
(termasuk di dalamnya lahan yang hendak dibangun sebagai Hotel Four R atau Henry
Palace) adalah kawasan lindung terbatas.57 Artinya di kawasan tersebut boleh
dibangun dengan sejumlah pembatasan. Dada Rosada, walikota Bandung
berkeyakinan bahwa:58
“Pembangunan di kawasan Punclut akan terus dilanjutkan karena pembangunan tersebut diinginkan warga Punclut” Argumen yang sama kiranya akan dianggap berlaku bagi masyarakat kampung
kota Sangiang Santen, yakni bahwa mereka membutuhkan pembangunan yang akan
datang bersama dengan pembangunan hotel berbintang di wilayah mereka. Lagipula
kebijakan pemanfaatan lahan kota Bandung (termasuk di kawasan Bandung Utara
yang dianggap belum padat terbangun) dicermati sebagai hal yang wajar, yakni
implikasi dari posisi geografis kota Bandung yang sangat dekat dengan Jakarta
sebagai pusat kegiatan ekonomi nasional, penetapannya sebagai kota utama di Jawa
Barat dan sebagaimana muncul di rencana tata ruang sebagai “Kota Jasa”. Itu semua
akan memaksa masyarakat, terutama masyarakat kampung kota yang menempati
lahan tidak tertata untuk rela menerima “penggusuran” demi dan untuk 57 2004. Ada Manipulasi Peta RTRW Kota Bandung. Kompas, June 22. 58 Ibidem
48
“pembangunan”. Bahkan dikatakan bahwa kampung kota bukan lagi konsep hunian
kota yang ideal. Sebaliknya pemerintah kota seyogianya mengembangkan konsep
hunian vertical sebagai ganti landed house.59
Argumen di atas dilandaskan pada pandangan yang berlaku umum dikalangan
pemerintahan bahwa pembangunan fisik di manapun juga selalu demi kepentingan
publik. Maka itu sulit bagi pejabat pemerintah untuk memahami bahwa masyarakat
pemilik tanah “menolak” pembangunan yang mendatangi mereka, bahkan menolak
untuk melihat dinamika dan realistas tuntutan pembangunan kota.
Terlepas dari itu, ini berkenaan dengan persoalan hukum kedua, kemungkinan
untuk membangun sekalipun dengan sejumlah pembatasan itulah yang kemudian
melatarbelakangi kebijakan pemerintah kota dan dinas-dinas terkait untuk terus
memproses dan menerbitkan izin-izin pengadaan tanah dan pemanfaatan ruang yang
diajukan swasta demi kepentingan pembangunan, termasuk salah satunya yang
diterima pihak pengelola hotel Four R di jalan Rancabentang, Ciumbuleuit yang
termasuk ke dalam Kawasan Bandung Utara.
Pandangan hukum demikian jelas ditentang oleh pemerintah Provinsi Jawa
Barat yang kemudian mencoba menegaskan kembali posisi hukumnya dengan
menerbitkan Peraturan Daerah tentang RTRW tingkat Propinsi no. 2/2003 dan Perda
no 1/2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara.
Dinyatakan pula bahwa – kontras dengan apa yang diyakini dan dilakukan pemerintah
kota dan kabupaten yang berbagi kewenangan di Kawasan Bandung Utara – bahwa
kedudukan RTRW Jawa Barat adalah sebagai pedoman bagi pelaksanaan perencanaan
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di Kabupaten/Kota harus se-
59 Tigor Sinaga. 2004. Belajar dari Johon Baru: Mencari Konsep Hunian Perkotaan yang Ideal. Pikiran Rakyat, July 23.
49
Jawa Barat. Ini berarti bahwa dokumen RTRW Kabupaten/Kota harus disesuaikan
dengan RTRW Propinsi.60
Beranjak dari pandangan ini tidak mengherankan bila dalam kasus sengketa
pemanfaatan lahan yang berbeda di wilayah Bandung Utara, para advokat yang peduli
pada kasus-kasus lingkungan di tahun 2008 mendaftarkan gugatan legal standing di
pengadilan negeri Bandung. Gugatan itu ditujukan kepada pemerintah dan DPRD
Kota Bandung dan PT. DAM (penguasa lahan yang hendak memanfaatkan lahan) atas
kerusakan lingkungan yang terjadi di Bandung Utara. IE Yogaswara, Ketua Komite
Advokasi Lingkungan Hidup dan Hak-hak Sipil (koalisi) menyatakan bahwa niat
mereka adalah:61
“Kami ingin memberi proses pembelajaran pada pejabat pemerintahan, hati-hati memberikan izin” dan sekaligus meminta agar: “semua kegiatan usaha fisik di kawasan itu dihentikan.”
Selanjutnya ia menyatakan bahwa dasar gugatan mereka cukup jelas, yaitu
bahwa Perda Kota Bandung Nomor 3/2006 (RTRW) yang mengatur tata ruang
wilayah kota, bertentangan dengan perudang-undangan di atasnya. Di dalam
Peraturan daerah itu peruntukan wilayah Punclut di kawasan Bandung Utara diubah
dari warna hijau (kawasan lindung) menjadi kuning (perumahan dengan kepadatan
rendah). Argumen yang sama berlaku juga dalam kasus yang ditelaah di sini.
Ringkas kata, izin pemanfaatan ruang yang diberikan dilandaskan pada Perda tata
ruang kota yang bertentangan dengan peraturan yang seharusnya menjadi rujukan
(Perda RTRW Propinsi Jawa Barat).
Persoalannya ialah bahwa selama Perda RTRW Kota Bandung yang sudah
disetujui DPRD tidak dinyatakan batal demi hukum karena pertentangannya dengan
60 Sekretariat Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD) Propinsi Jawa Barat, 2003. Evaluasi Berkala Perencanaan Tata Ruang, Pemanfaatan Ruang, dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Propinsi Jawa Barat dan Kabupaten/Kota se-Jawa Barat tahun 2003. Bandung: Bappeda Propinsi Jawa Barat. 61 Fikri. Akhmad. 2008. Bandung Utara Rusak, Pengacara Lingkungan Ajukan Gugatan. Tempointeraktif, August 7.
50
Peraturan lebih tinggi, maka itulah yang tetap dianggap berlaku sebagai rujukan
ketika dinas-dinas pemberi izin pemanfaatan ruang memproses permohonan izin
tersebut yang diajukan pemrakarsa. Dalam proses pemberian izin pemanfaatan lahan,
dinas-dinas terkait (dinas tata kota dan dinas bangunan) terikat dan berpatokan pada
peraturan daerah kota/kabupaten tentang rencana tata ruang yang berlaku. Lagipula
Peraturan Daerah Kota yang secara resmi merupakan wujud kesepakatan antara
pemerintah kota Bandung dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Karena itu pula di sini penting untuk mencermati bagaimana dalam praktik
izin dimohonkan, diproses dan diterbitkan. Ketika satu izin (investasi) telah diberikan
(persetujuan prinsip oleh BKPMD dan Dinas terkait/Pariwisata), maka apakah dinas
atau badan pemerintah lainnya yang berwenang menerima dan memproses
permohonan rekomendasi (advis planning, amdal, persetujuan pemanfaatan ruang)
atau izin (IPPT, IMB) memiliki peluang dan berani untuk menolak? Apalagi
pemerintah daerah kota sangat berkepentingan untuk tidak saja memberikan
pelayanan public terbaik, namun juga mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi
di daerah.
Pada prinsipnya pemanfaatan tanah di kawasan kota diatur secara ketat. Warga
ataupun korporasi (public-privat) yang menguasai lahan atas dasar alas hak formal
ataupun tidak formal tidak dapat dengan sebebas-bebasnya memanfaatkan tanah demi
kepentingannya sendiri. Ketentuan pasal 6 UUPA jelas menyatakan bahwa tanah
memiliki fungsi sosial.62 Betul bahwa fungsi sosial tanah kerap dimaknai hanya
dalam kaitan dengan proses pengadaan tanah, baik karena pelepasan hak secara
sukarela ataupun karena pencabutan hak atas tanah, keduanya dilakukan untuk
62 UU No. 5 tahun 1960 (UUPA ) : Pasal 6: Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
51
kepentingan umum.63 Dalam ragam regulasi yang mengatur kegiatan pengadaan tanah
untuk kepentingan umum, pemaknaan fungsi sosial tanah ditujukan untuk
menegaskan kewajiban pemilik tanah untuk rela melepas tanahnya yang akan
dimanfaatkan pemerintah untuk “pembangunan” infrastruktur (jaringan jalan, waduk,
gedung pemerintah) yang akan dimanfaatkan oleh “umum”.
Namun, fungsi sosial tanah juga dapat kita maknai dalam kaitannya dengan penataan ruang dan/atau pemanfaatan tanah. Instumen-instrumen penataan ruang (dari rencana tata ruang nasional sampai dengan rencana rinci ditingkat kota serta zonasi) ditujukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan ruang serta menjaga daya dukung lingkungan. Keduanya dapat kita maknai sebagai juga “fungsi sosial tanah” yang sedianya membatasi kebebasan seseorang untuk memanfaatkan tanah yang berada di bawah penguasaannya. Ikhwalnya di sini adalah mencari keseimbangan antara kepentingan pribadi dan umum. Di dalam Penjelasan Umum (II angka 4) terhadap ketentuan Pasal 6 UUPA ditegaskan bahwa:
“ (.....) tetapi dalam ketentuan tersebut tidaklah berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). UUPA memperhatikan pula kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyatnya ( pasal 2 ayat (3)).”
Beranjak dari situ dapat dikatakan bahwa seyogianya semua peraturan
penataan ruang yang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan, dilakukan
demi kepentingan umum. Dengan kata lain, perencanaan, pemanfaatan dan
pengawasan (pemanfaatan tanah) ditujukan terutama untuk mewujudkan fungsi sosial
tanah.
63 Lihat UU no.20/1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda yang ada di atasnya. Menurut UU No 20/1961, pencabutan hak atas tanah dilakukan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat. Demikian pula kepentingan pembangunan. Karena itu, Presiden dalam keadaan yang memaksa-setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman, dan menteri yang bersangkutan-dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang di atasnya. Kewenangan serupa ditegaskan kembali di dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Ditegaskan bahwa demi kepentingan umum, hak atas tanah milik seseorang atau institusi dapat dicabut oleh Negara. Baca lebih lanjut: 2005. Presiden Bisa Mencabut Hak atas Tanah. Kompas, Mei 7. Untuk kritikan terhadap penyamaan fungsi sosial dengan kepentingan umum dalam pengadaan tanah, baca Adi. Rianto. Pencabutan Hak atas Tanah. Kompas. June 10. Lihat juga surat terbuka Perhimpunan Bantuan hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) dengan judul “Tanggapan terhadap Perpres no. 36/2005” tanpa tanggal, ditandatangani oleh Johnson Panjaitan (ketua PBHI).
52
Persoalan muncul ketika lahan yang sudah dikuasai pihak pengusaha hendak
dimanfaatkan sesuai niat awal pembelian lahan tersebut: menjadi bangunan hotel
lantai 10 (Four R atau Henry Palace Hotel). Untuk itu sebenarnya menurut aturan
hukum dan praktik kebiasaan yang berkembang darinya, pihak yang membuat
rencana pembangunan hotel, seandainyapun ketentuan tata ruang kota tidak
menghalangi ikhtiar pemanfaatan tanah tersebut, harus meminta persetujuan tetangga
terlebih dahulu, termasuk dari masyarakat sekitar.64 Kewajiban ini termuat pula
dalam ketentuan tentang tata cara peroleh izin mendirikan bangunan yang merupakan
lanjutan dari izin peruntukan penggunaan tanah. Ini harus dibedakan dari ketentuan
serupa dalam Undang-undang (izin gangguan) dan turunannya. Persetujuan tetangga
dalam hal ini dimaksudkan sebagai satu syarat yang harus dipenuhi jika suatu
bangunan menimbulkan “gangguan kebisingan atau bau atau keramaian” yang akan
mengganggu ketenangan dan kenyamanan lingkungan.
Berdasarkan peraturan daerah kota Bandung no. 14/199865 yang diturunkan
dari UU Bangunan, setiap orang sebelum membangun wajib mengajukan dan
memperoleh izin peruntukan penggunaan lahan dari dinas tata kota dan izin
mendirikan bangunan dari dinas bangunan pemerintah kota. Khususnya berkenaan
dengan izin mendirikan bangunan dengan tegas disyaratkan bahwa pemohon sebelum
mengajukan permohonan IMB harus mendapat persetujuan dari tetangga.66
Persetujuan tetangga sebagai alat control dalam pemanfaatan tanah juga dapat
ditemukan disyaratkan dalam pendirian dan pemanfaatan bangunan yang tidak sesuai
64 Prinsip yang termuat di dalam UU no. 28/2002 tentang Bangunan Gedung. Tujuan pengaturan bangunan gedung adalah untuk mewujudkan gedung (termasuk hunian) yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya (Pasal 3). 65 Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung no. 14/1998 tentang Bangunan di Wilayah Kotamadya Bandung. Perda ini mencabut Bouwen en Woningverordening (perda bangunan yang diberlakukan oleh pemerintah kota Bandung pada zaman colonial). 66 Dasar Hukum persyaratan IMB adalah UU no. 28/2002 tentang Bangunan Gedung; Perda Kota Bandung no. 5/2001 tentang SOTK Dinas Bandung; Perda Kota Bandung no. 14/1998 tentang Bangunan di Wilayah Kota Bandung. Informasi tentang prosedur dan persyaratan permohonan izin-izin demikian, IPPT, IMB, Izin Gangguan dll dapat diperoleh dari www.bandung.go.id/yantap/kanan_gangguan.htm atau www.bandung.go.id/dinasbangunan.simb.htm.
53
peruntukannya dalam tata ruang. Itu berarti bahwa warga masyarakat kampung
Sangiang Santen memiliki posisi hukum yang kuat untuk dari semula menolak
rencana pemanfaatan tanah yang tidak mereka sukai atau berpotensi merugikan
mereka. Namun di sini pertanyaannya ialah seberapa jauh warga masyarakat yang
sama memahami hak mereka sebagai warga berkenaan dengan rencana-rencana yang
melatarbelakangi pemberian izin pemanfaatan tanah kepada pengusaha?
Rencana adalah perbuatan hukum sepihak (eenzijdige rechtshandeling) di bidang hukum administrasi Negara yang dilakukan oleh organ administrasi Negara yang berwenang serta berwajib untuk itu. (….) setiap rencana menyinggung atau mencakup berbagai macam kepentingan daripada berbagai pihak dalam masyarakat, dan kepentingan-kepentingan tersebut selalu kait mengkait satu dengan yang lain. Jadi penting sekali bagi setiap pihak yang berkepentingan untuk selalu diberitahu oleh pihak penguasa dan mengetahui sampai di mana mereka terkena oleh rencana yang sedang dibuat atau akan dibuat, dan sampai di mana hak-hak mereka atas obyek-obyek pemilikan mereka telah atau akan mengalami perubahan. Asas hukumnya adalah bahwa sebelum pemerintah/administrasi Negara menetapkan suatu rencana secara definitif (misalnya rencana tata kota) semua pihak atau warga masyarakat yang akan terkena rencana tersebut wajib diajak berunding, paling sedikitnya didengar pendapat mereka. Inilah konsekuensi daripada asas legitimitas, asas yudikitas, asas legalitas, dan asas moralitas. Bagi seorang pemilik tanah tidak hanya penting untuk mengetahui bahwa dia boleh membangun villa atau rumah bungalow di atas tanahnya, akan tetapi apakah juga apakah para tetangganya kelak akan diperkenankan mendirikan gedung kantor atau pabrik yang akan mengganggu ketentraman. Asas ini sebenarnya telah dimuat di dalam Undang-Undang Gangguan (LN 26-226, 1926) di mana ditetapkan bahwa sebelum penguasa memberi izin kepada seorang pemohon untuk mendirikan suatu perusahaan kepada para tetangga wajib diberi kesempatan untuk dalam waktu satu bulan mengajukan komentar atau keberatan mereka. Dan izin yang akan diberikan oleh pemerintah/administrasi Negara tersebut wajib sesuai dengan rencana tata kota.67
Dapat dibayangkan bahwa persetujuan-persetujuan demikian tidaklah
sepenuhnya terletak di bidang hukum keperdataan dan juga bukan komiditi yang
dapat diperjualbelikan. Kewenangan demikian diberikan dengan pemikiran bahwa
tetangga sebagai individu dan bukan sebagai komunitas yang terlebih dahulu ada di
suatu lingkungan tertentu-lah yang berhak turut menentukan (menyetujui atau
67 Atmosudirdjo. Prajudi. 1981. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia. pp. 96-97
54
menolak secara sukarela dan tanpa adanya paksaan) adanya bangunan baru yang akan
mengubah lingkungan tempat tinggal mereka. Tetangga demikian dianggap paling
tahu dan mampu mempertimbangkan untung rugi dari proyek pembangunan baru,
bahkan juga alih fungsi penggunaan suatu bangunan, di lingkungan mereka. Kendali
demikian diakui dan diatur di dalam hukum sekalipun sekadar sebagai salah satu
syarat yang diwajibkan kepada pemohon izin.
Sayangnya di Bandung pada umumnya dan juga dalam kasus ini pada
khususnya terjadi pergeseran makna atas syarat persetujuan tetangga. Tetangga
terdekat (termasuk ke dalamnya adalah warga kampung kota yang bermukim di
sekitar lahan yang akan dibangun) tidak lagi dimintai persetujuan tapi cukup
diberitahu melalui suatu kegiatan pemberitahuan atau sosialisasi yang diprakarsai
pemerintah setempat (kecamatan atau kelurahan bekerjasama dengan pemrakarsa).
Seperti juga banyak terjadi dengan pengembang lainnya, dalam kasus yang ditelaah
tampaknya pihak pengelola hotel melalui aparat kecamatan memanggil (mengundang)
masyarakat kampung Sangiang Santen (yang letaknya bersebelahan dengan lokasi
hotel) dan melakukan kegiatan sosialisasi.68
Inti dari kegiatan sosialisasi ialah bahwa masyarakat yang hadir diberitahu
bahwa akan dibangun hotel dan bahwa kegiatan pembangunan tersebut akan
bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Pihak yang tidak hadir dianggap melepas hak
mereka untuk diberitahu. Dalam kesempatan itu juga masyarakat mendapat penegasan
bahwa tenaga local akan diperkerjakan dalam proyek sebagai buruh bangunan.
Sekalipun seperti diindikasikan di atas, tafsiran ini masih diperdebatkan, warga
masyarakat menuduh bahwa tandatangan mereka di lembar kehadiran kemudian
68 Camat Cidadap mengaku hanya menfasilitasi sosialisasi dengan warga atas permintaan pemilik hotel Four R, Henri Husada. Pertemuan itu dilakukan warga dan pemilik hotel Four R pada 2007 ketika bulan puasa. Hardi. Erick P. & Alwan Ridha. 2009. Buntut Penolakan Pembangunan Hotel 15 Lantai: Pengusaha Dilaporkan ke Polisi. Koran Tempo, January 20.
55
dianggap sebagai bukti persetujuan tetangga. Di dalam praktik bahkan juga dapat
terjadi pemberitahuan dilakukan setelah pengusaha mendapatkan izin mendirikan
bangunan. Tidak adanya protes dari tetangga kemudian ditafsirkan sebagai
“persetujuan diam-diam”. Dalam kasus yang ditelaah, bahkan tandatangan tetangga
sama sekali tidak dibutuhkan. Pemohon cukup menyampaikan catatan bahwa tetangga
seperti Buyung Nasoetion telah secara layak diundang, namun kemudian memutuskan
tidak hadir. Kenyataan ini ditafsirkan sebagai melepaskan hak untuk bicara bahkan
juga untuk mengajukan keberatan. Di dalam praktik terkesan bahwa izin atau
persetujuan tetangga dianggap hanya sekadar formalitas yang bahkan dapat
disusulkan kemudian. Keberatan lagipula harus disampaikan warga kepada dinas
pemberi izin. Kecil kemungkinan bahwa warga biasa apalagi warga masyarakat
kampung Sangiang Santen mengetahui adanya upaya administrasi seperti ini.
Dengan cara-cara seperti itu, kewajiban pemohon izin dianggap sudah
dipenuhi dengan layak oleh pemerintah atau dinas terkait. Pegawai di dinas terkait
cukup memeriksa kelengkapan berkas, memaraf dan meneruskannya kepada atasan
yang lebih tinggi yang akan menandatangani dan menerbitkan izin. Secara yuridis
formal, semua persyaratan untuk mendapatkan izin telah dipenuhi dan pemerintah
telah menerbitkan izin dengan memenuhi asas kecermatan. Ini sekadar gambaran
bagaimana dari sudut pandang birokrasi dan pengusaha, rangkaian perizinan
pemanfaatan tanah (IPPT, IMB dan izin gangguan) diperoleh. Izin-izin demikian dari
kacamata pengusaha juga merupakan bukti formal dukungan pemerintah atas rencana
pemanfaatan tanah.
Khususnya dalam pembangunan Henry Palace Hotel, tampaknya pengelola
dan pemerintah ternyata tidak sabar menunggu diberikannya persetujuan oleh
tetangga sebagai individu. Mengikuti preseden yang berkenaan dengan cara perolehan
56
persetujuan tetangga dalam kegiatan pengadaan tanah, gagasan persetujuan tetangga
dipahami sedemikian rupa sehingga menjadi sekadar hak dari suatu kelompok
masyarakat untuk diberitahu secara masal. Itupun bukan sebagai kewajiban yang
dijalankan dengan kesadaran bahwa masyarakat sebagai individu (tetangga) berhak
berpartisipasi menentukan masa depan lingkungannya sendiri.69
Lepas dari itu tingkat pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat umum
berbanding terbalik dengan pejabat pemerintah kota dan pengusaha. Mereka
sebaliknya lebih fasih menyitir undang-undang ataupun aturan-aturan hukum dan
melegitimasi semua keputusan dan kebijakan dalam bahasa pembangunan. Ini terjadi
karena sebelum terjadi proses sosialisasi, pihak pengusaha (atau bagian hukum
perusahaan) – suatu hal yang umum terjadi dan pasti dilakukan - sudah melakukan
pendekatan dan berbicara dengan pejabat-pejabat pemerintah terkait. Proses yang
terjadi berkaitan dengan pengurusan izin dan rekomendasi yang harus dikantongi
pengusaha sebelum mulai membangun.
Dengan demikian, tidak mengherankan bilamana kegiatan sosialisasi bukan
lagi ajang mencari masukan. Melainkan ajang mengumumkan rencana
“pembangunan” pada masyarakat, yakni bahwa pembangunan hotel yang didanai
swasta adalah demi kemajuan rakyat bersama dan akan menguntungkan masyarakat
kota Bandung. Dengan kata lain, dihadapan pemerintah (dan pengusaha) warga
masyarakat akan berhadapan dengan tuntutan untuk turut berpartisipasi dalam
pembangunan. Artinya ketidakhadiran seseorang atau penolakan satu dua bahkan
sekelompok warga selalu dapat dikesampingkan, atau, alternatif lain, dapat diurus
belakangan melalui sosialisasi susulan. Pertanyaan yang muncul di sini ialah apakah
69 Kesan demikian terasa kuat ketika penulis mewawancarai pejabat di lingkungan dinas tata kota dan bangunan di kota bandung dan cimahi. Dikatakan bahwa keberatan (tidak diberikannya persetujuan) hanyalah masalah administrasi dan jangan sampai menghalangi kebutuhan pengembang atau orang lain untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan.
57
darinya kita dapat simpulkan bahwa inilah cara pemerintah kota memandang dan
memahami hak dan kewajiban serta peran serta masyarakat dalam penataan ruang.70
9. Ketersediaan dan Keterjangkauan Forum bagi Masyarakat Pencari Keadilan
Forum apa yang sebenarnya tersedia bagi masyarakat kampung kota atau
bahkan bagi warga biasa berhadapan dengan “rencana pembangunan” yang
mendatangkan gangguan ketidaknyamanan dan kebisingan dalam jangka pendek
ataupun ketidaknyawaman dalam jangka panjang, seperti berkurangnya access
terhadap sumberdaya air atau menurunnya kualitas lingkungan hidup? Bagaimana
pula bila pihak yang dilawan adalah pengusaha yang berbekal izin? Tatkala terjadi
perbedaan pandangan yang mengerucut menjadi konflik dan sengketa tentang
pemanfaatan ruang, maka kerap kali yang dipersoalkan adalah “keberpihakan
pemerintah” pemberi izin” pada masyarakat banyak, terutama warga yang paling
dirugikan oleh perubahan pemanfaatan ruang. Legitimitas dari izin yang menjadi
landasan hukum pengusaha/investor untuk “membangun” dan “mengganggu
ketentraman masyarakat” dipertanyakan. Kerap juga keseluruhan kebijakan
pemerintah turut dipertanyakan. Namun bagaimana pemerintah merumuskan
kebijakan tidak dapat diuji langsung dihadapan pengadilan. Hanya tindakan
pemerintah, penerbitan “beschikking” saja yang dapat dibawa dan diuji dihadapan
pengadilan.
Satu-satunya forum yang ada untuk menguji validitas dari perizinan ialah
pengadilan tata usaha Negara yang dibentuk berdasarkan UU no. 5/1986 sebagaimana
70 Hak dan kewajiban serta peran serta masyarakat dalam penataan ruang diatur di dalam UU no. 24/1992 yang pada tahun 2007 digantikan oleh UU no. 26/2007 dan turunannya (peraturan pemerintah no. 69/1996 tentang pelaksanaan hak dan kewajiban, serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam penataan ruang; permendagri no. 8/1998 tentang penyelenggaraan penataan ruang di daerah dan permendagri no. 9/1998 tentang peran serta masyarakat dalam perencanaan ruang di daerah). Di dalam ketentuan Pasal 65 UU no. 26/2007 dirumuskan dalam kalimat netral bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat yang dilakukan dalam partisipasi dalam penyusunan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Ayat (2) menegaskan bahwa tata cara dan bentuk peran masyarakat akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
58
diubah dengan UU no. 9/2004 tentang peradilan tata usana negara. UU PTUN
memberikan 2 macam cara penyelesaian sengketa TUN, yakni upaya administrasi
yang penyelesaiannya masih dalam lingkungan administrasi pemerintahan sendiri
serta melalui gugatan ke pengadilan tata usaha Negara (PTUN). Itu berarti bahwa
warga kampung Sangian Santen sebagai warga perseorangan berhak mengajukan
keluhan mereka ke hadapan dinas pemberi izin atau langsung mengajukan gugatan
kehadapan PTUN. Tuntutan yang biasa diajukan penggugat ialah agar putusan TUN
yang dipersengketakan dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.Keduanya mensyaratkan pemahaman
masyarakat tentang prosedur birokrasi di dalam struktur dan sistem pemerintahan
serta pengetahuan hukum acara Tata Usaha Negara yang memadai.
Masyarakat juga baik sebagai kelompok maupun sendiri-sendiri berhak
mengajukan gugatan ganti rugi kehadapan pengadilan negeri dengan dasar perbuatan
melawan hukum yang menimbulkan kerugian (gugatan ex ketentuan Pasal 1365 s/d
1367 KUHPerdata). Namun di sinipun masyarakat akan memerlukan bantuan hukum
untuk merumuskan gugatan dan mengajukannya kehadapan pengadilan. Juga terbuka
peluang, sepanjang ada indikasi telah terjadi tindak pidana untuk melaporkan dugaan
telah terjadinya tindak pidana tersebut ke kantor polisi untuk disidik dan bila
memungkinkan diserahkan kepada kejaksaan dan kemudian kepada pengadilan
pidana untuk diperiksa dan diputus.
Namun tidak terbayangkan bahwa masyarakat pinggiran kelas bawah
kampung kota Sangiang Santen akan dari dirinya sendiri berinisiatif mengupayakan
gugatan kehadapan PTUN atau merumuskan ketidakadilan yang mereka rasakan
dalam bentuk gugatan gantirugi dan/atau sebagai tindak pidana yang layak dilaporkan
kehadapan polisi. Kendala utama ialah ‘rendahnya’ pengetahuan (dan kesadaran)
59
mereka akan jangkauan hukum Negara dan cara bagaimana kebijakan penataan ruang
dan perizinan saling terkait. Sesuatu yang bahkan tidak bisa dipandang terberi bagi
masyarakat kota sekalipun. DPKLTS yang sebelumnya pernah bersengketa dengan
pemerintah kota berkenaan dengan penerbitan izin lokasi untuk PT. DAM di wilayah
Punclut, ternyata gagal. Kekalahan mereka ternyata kemudian terbukti karena mereka
abai terhadap ketentuan bahwa gugatan tidak dapat diajukan terhadap keputusan Tata
Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan lanjutan, seperti izin lokasi yang
diterbitkan untuk kepentingan PT. DAM dalam rangka pengadaan tanah di kawasan
Punclut. Juga kiranya menjadi preseden bahwa gugatan Tata Usaha Negara akan
ditolak bilamana belum ada kerugian nyata yang diderita penggugat.
Lagipula sebagian besar dari masyarakat kampung Sangian Santen bukan
penutur asli bahasa Indonesia. Dalam keseharian mereka berbahasa sunda. Tidak
terbayangkan bahwa mereka harus berargumentasi dengan “orang luar” (pemerintah
dan pengusaha) dalam bahasa Indonesia baik dalam forum sosialisasi atau di luar itu.
Bahwa mereka kemudian “berani” membawa masalah mereka kehadapan polisi juga
dapat terbayangkan hanya mungkin berkat bantuan dan dorongan dari lembaga-
lembaga swadaya yang “turun kelapangan” dan melakukan “advokasi”. Tidak boleh
dikesampingkan di sini, peran dan pengaruh tokoh-tokoh, satu dua individu, yang
mampu berkomunikasi dengan dunia luar. Social capital mereka dan kegigihan
mereka mengangkat isyu ini turut memicu campur tangan dan bantuan lembaga-
lembaga swadaya masyarakat seperti DPKLTS dan LBH-Bandung.
Beranjak dari situ tidak pula mengherankan bahwa yang berani dan sanggup
mengupayakan perlawanan hukum dari sejak awal kegiatan sosialisasi dilakukan
hanyalah Buyung Nasution. Ia juga membujuk warga untuk mendukungnya. Sebagian
warga ternyata benar menaruh harapan besar terhadap keberpihakan orang besar ini
60
kepada nasib rakyat kecil. Harapan yang muncul dalam wujud melakukan
demonstrasi di gedung pengadilan Tata Usaha Negara menuntut pengadilan segera
memutus agar kegiatan proyek pembangunan hotel dihentikan. Namun gugatannya
kehadapan PTUN ditolak di tingkat pertama dan ditingkat kasasi. Warga yang
mengalami kekalahan jelas kecewa dan menuduh hakim PTUN telah berpihak. Salah
satu warga yang turut hadir dalam sidang pembacaan putusan mengamati bahwa:71
“hakim ada yang diganti .. tuh kan itu artinya pengadilan sudah terbeli oleh pengusaha”.
Berbeda dengan masyarakat umum, dua LSM yang paling berperan dalam
kasus ini, DPKLTS dan Lembaga Bantuan Hukum Bandung justru berinisiatif
mendayagunakan semua upaya hukum yang terbuka. Mereka juga mendorong
masyarakat untuk berdemo baik di lingkungan sekitar maupun dengan mendatangi
kantor DPRD Kota Bandung dan menuntut dialog. Tekanan politik ini mensyaratkan
kemampuan dan kemauan mengorganisasikan diri dan juga butuh stamina panjang
karena dampaknya tidak akan langsung dapat dirasakan kontan-konkrit.
Sekalipun demikian, bagi masyarakat jelas kasus ini merupakan proses
pembelajaran hukum dan politik akan hak-hak mereka sebagai warga kota. Dapat
dikatakan bahwa dengan peningkatan kesadaran ini warga masyarakat juga
mendapatkan pengetahuan tambahan tentang apa saja upaya hukum yang dapat
dilakukan untuk membela hak-hak mereka. Persoalannya ialah apakah warga
masyarakat mempunyai daya tahan yang sama panjangnya serta kemampuan finansial
yang memadai untuk mendayagunakan upaya-upaya hukum tata usaha Negara,
perdata atau pidana yang tersedia?
10. Respons terhadap Upaya Hukum Masyarakat Sangian Santen
71 Sebagaimana dikatakan Ali (bukan nama sebenarnya) dalam wawancara dengan penulis di Sangiang Santen, 2 February 2009.
61
Di samping itu dari pengamatan juga terkesan bahwa tidak semua warga
masyarakat dapat mengikuti dan memahami apa yang sebenarnya diperdebatkan di
dalam acara sidang pengadilan. Sesuai prosedur hukum yang berlaku di pengadilan
tata usaha negara yang dipersoalkan hanyalah keabsahan IPPT. Maka di dalam
persidangan sebenarnya tidak dipersoalkan oleh hakim apakah “kebijakan umum”
yang melandasi penerbitan izin tersebut sudah berkeadilan atau tidak. PTUN
Bandung menyatakan bahwa IPPT sudah memenuhi semua syarat formal dan tetap
absah sebagai keputusan tata usaha Negara. Gugatan ditolak dengan alasan belum ada
kerugian yang ditimbulkan terhadap warga.72 Mahkamah Agung dalam putusan
kasasinya (9 juli 2008 no. 124K/TUN/2008) menolak permohonan kasasi dari Buyung
cs. Majelis memandang proses IPPT itu belum final. Putusan demikian sebenarnya
tidak mengejutkan karena sejalan dengan putusan PTUN lainnya dalam kasus serupa
tahun 2005.73
Singkat kata, dengan mudah kemudian diputuskan bahwa keseluruhan proses
pemberian izin sudah memenuhi prosedur yang benar dan karena itu secara yuridis
formal tidak cacat. Keputusan demikian, hanya dibaca oleh warga masyarakat
sebagai pengadilan PTUN tidak berpihak kepada mereka dan bahwa pemerintah kota
tidak peduli pada nasib mereka di masa depan. Apa yang mereka perhatikan hanyalah
soal siapa yang dikalahkan dan siapa yang dimenangkan atau diuntungkan. Ketika
mereka dikalahkan serta merta muncul pandangan bahwa pengadilan telah berpihak
dan bertindak tidak adil. Sikap dan pandangan ini jelas jauh berbeda dengan
kesadaran pengacara (LBH) yang melihat upaya hukum hanya sebagai bagian kecil
dari strategi dan agenda perlawanan atau pengawasan terhadap kinerja pemerintah.
72 2009. FKPL Akan Menuntut Pidana dan Perdata. http://newspaper.pikiran-rakyat.com, January 23. 73 Dalam kasus ini satu LSM, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda yang dimotori Let Jen (purn.) Solihin GP mengajukan gugatan terhadap IPPT yang diberikan kepada suatu perusahaan pengembang di kawasan yang sama. Lihat: 2005. DPKLTS Gugat Walikota, loc.cit.
62
Setelah kekalahan di PTUN juga dihembuskan cerita bahwa Buyung
memutuskan menjual rumahnya. Sejulah warga yang mendengar dan mempercayai
kebenaran gossip itu, merasa dikhianati dan putus asa. Bagi mereka ini adalah
afirmasi bahwa sampai kapan-pun suara rakyat kecil tidak diperhatikan dan mereka
tidak akan pernah menang melawan pemerintah dan pengusaha. Bagi sebagian
lainnya gossip tersebut adalah juga pembenaran tambahan untuk tidak ikut campur
dan lebih baik diam saja.
Perlawanan warga masyarakat kembali muncul setelah Buyung dengan
bantuan dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat local (DPKLTS. LBH Bandung)
kembali muncul. Masyarakat juga kembali bersatu karena pihak pemborong ingkar
janji. Maka sebagian masyarakat (di RT 04) yang dahulu mendukung, karena
dijanjikan akan diberi pekerjaan sebagai buruh bangunan, sekarang mendukung warga
yang menolak pembangunan. Maka terbentuklah Koalisi Warga Anti Pembangunan
Hotel Rancabentang. Dengan dukungan Buyung Nasoetion dan sejumlah LSM (antara
lain DPKLTS; LBH Bandung) mereka kemudian melakukan aksi sabotase. Apa yang
dilakukan pada awal tahun 2009 adalah pemasangan portal di dua jalan masuk ke
lokasi proyek. Alhasil proyek terhenti untuk sementara. Setelah memasang portal di
dua tempat di jalan yang menjadi jalur utama kendaraan berat proyek, maka sejumlah
ibu-ibu dengan dibantu anak-anak mereka, dengan demonstratif, menata kembali
sempadan jalan yang rusak karena kendaraan berat dan menanaminya dengan
tanaman hias. Bila dirusak, maka itu menjadi alasan untuk, “marah” dan menuntut
ganti rugi, demikian dinyatakan seorang warga.
Seperti yang diindikasikan di atas, pengusaha terhadap pemasangan portal
bereaksi dengan menuntut pemerintah kota untuk membongkar portal dan
membiarkan-membolehkannya meneruskan pembangunan. Mereka berdalih bahwa
63
semua izin telah diperoleh dengan sah. Seperti dikatakan kuasa hukum Henry Husada
selaku pemilik Henry Palace Hotel74:
“Sebelum membangun hotel, Henry Husada sudah menyosialisasikan kepada warga setempat. Tidak cuma itu, proses penelitian dan pengkajian terhadap amdal juga telah dilakukan. Begitu pula dengan dampaknya, sudah dianalisis secara cermat dan seksama. Pembangunan hotel ini juga sudah mengantongi IMB. (….) mengenai portal tersebut, kami sudah mengirim surat ke pemkot dan meminta agar portal dicabut. Mudah-mudahan pemkot bisa menanggapinya dengan cepat”.
Di samping itu, pihak pengacara juga menyatakan bahwa pemasangan portal
termasuk aksi anarkis dan mengganggu pelaksanaan proyek hotel. Ini dikatakan
dengan merujuk pada fakta bahwa pihak pemrakarsa pembangunan hotel75:
“prosedur formal juga ditempuh mulai dari IPPT dari Dinas Tata Kota, Dihub (analisis dampak lalulintas), dan Lingkungan Hidup (amdal) serta izin mendirikan bangunan (IMB). Izin-izin tersebut juga telah diuji di PTUN Bandung, yaitu dengan adanya gugatan dari Adnan Buyung Nasution. Putusannya, PTUN Bandung menolak gugatan. Begitu juga putusan permohonan kasasi dari MA tanggal 9 juli 2008 no. 124K./TUN/2008 yang menolak Adnan Buyung Nasution sehingga perkara itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap”.
Kondisi terakhir yang teramati ialah bahwa satu portal ternyata sudah
dibongkar. Satu portal lagi yang berada langsung dihadapan rumah Adnan Buyung
Nasoetion tidak dibongkar. Pembangunan hotel, sampai dengan pengamatan
lapangan diakhiri, masih terhenti.
Seperti diindikasikan sebelumnya warga masyarakat juga melaporkan pemilik
hotel kehadapan polisi. Upaya hukum pidana juga hendak diupayakan. Sayangnnya
sampai saat ini tidak ada berita tentang perkembangan perkara itu ditangan polisi76.
Pengaduan serupa sebenarnya pernah diajukan oleh Buyung Nasoetion. Pada saat itu
74 2009. Hotel Henry Palace Sudah Sesuai Prosedur. Galamedia, January 23. 75 2009. Henry Minta Pemkot Membuka Portal. Pikiran Rakyat, August 7; Ridha. Alwan. 2009. Pemilik Hotel Four Minta Portal Dibongkar. Koran Tempo, January 28. 76 Satreskrim Polwiltabes Bandung, namun demikian, menyediakan peluang bagi masyarakat untuk memantau perkembangan perkara yang diadukannya. Satuan ini mengelola website http://satreskrim.polwiltabesbandung.com/sp2hp-online.html. Tetapi diragukan bahwa masyarakat Sangiang Santen akan mendayagunakan peluang ini untuk memantau perkembangan perkaranya.
64
polisi menolak menindaklanjuti pengaduan karena pada saat yang sama Buyung
sedang mengajukan perkara kehadapan PTUN.77 Namun, juga di sini kecil
kemungkinan bahwa polisi akan bersedia “menekan” pengusaha yang dilaporkan
melakukan tindak pidana dan pemerintah kota Bandung untuk lebih memperhatikan
suara dan kepentingan warga masyarakat Sangian Santen.
11. Bias Perkotaan dan Pembangunan dalam Kebijakan Pemanfaatan Ruang
Apa yang juga harus diperhatikan ialah bagaimana pemkot sendiri
memandang posisinya berhadapan dengan pengusaha/investor dan masyarakat kota
pada umumnya atau warga kampung kota pada khususnya. Keberpihakan pemkot
Bandung jelas terindikasikan dari keterbukaan mereka pada inisiatif swasta untuk
menanamkan modal di bidang pembangunan hotel dan pengembangan kepariwisataan
dan ketidaksanggupan mereka menahan laju urbanisasi. Kesemua ini kembali
tercermin ke dalam kebijakan pemanfaatan ruang yang dikembangkan lebih demi
kepentingan mewujudkan Bandung sebagai kota pariwisata dan sebagai bagian
penting dari Bandung Metropolitan Area.78 Dari pengamatan ini dapat dimengerti
mengapa sosialisasi sekadar menjadi ajang “pengumuman”, bukan mekanisme untuk
mencari masukan secara sungguh-sungguh dari masyarakat local.
Dari kacamata pemerintah dan swasta, satu dampak ikutan lain yang jelas
berpengaruh terhadap kebijakan pemanfaatan ruang ialah “the blurring distinction
between the rural and urban”.79 Seperti yang terjadi dalam kasus yang ditelaah kota
berkembang mencakup dan menelan kawasan perdesaan, terutama di pinggiran (peri-
77 2009. Warga Laporkan ke Polwiltabes Bandung. Galamedia, January 20. 78 Bandung Metropolitan Area adalah kawasan metropolitan yang mengelilingi kota bandung. Jaraknya kurang dari 20 km dari ujung Jabotabek dan bersambung dengan batas Jabodetabek-Cirangkarta yang tercakup ke dalam lingkup metropolitan Jakarta. Jumlah populasinya kedua di bawah metropolitan Jakarta. 79 Lihat Jones. Gavin W. & Pravin Visaria. 1997. Urbanization in Large Developing Countries: China, Indonesia, Brazil, and India: International Studies in Demography. Clarendon Press: Oxford. Disebutkan bahwa aglomerasi utama terjadi di pulau jawa, di kawasan Jabodetabek dan di Jawa Timur (Surabaya-sidoarjo-mojokerto-malang). Pp 10-11. Namun kota Bandung juga mengalami hal yang sama dan mengembangkan konsep Bandung Metropolitan Region.
65
urban areas). Namtun tidak sekaligus berarti bahwa kawasan perdesaan sepenuhnya
terserap ke dalam perkotaan. Bisa jadi seperti juga terjadi dalam kasus-kasus sejenis,
desa berubah wujud menjadi desa-kota dan tercipta slum area. Alhasil
“pembangunan perkotaan” yang dicanangkan pemerintah kota Bandung justru baik
disadari atau tidak mengakibatkan pemiskinan masyarakat perkotaan.80 Dapatkah
gejala pemiskinan demikian dihindari? Pertanyaan yang relevan karena perencana
kota dan pengambil kebijakan di pemerintah kota akan berhadapan dengan kenyataan
bahwa:81
“(…)faster metropolitan growth meant seriously widened regional income disparities, or lowered quality of life in ways not captured in income measures, or sheer problems of governance and political instability, or suspect environmental sustainability of mega-cities in the longer run. But to opt for slower metropolitan growth implies interventions to slow that growth; the record of such intervention to date does not inspire confidence that planner can always achieve their goals in matters of mega-city growth”.
Terlepas dari itu, tidak pula mengherankan bahwa dari sudut pandang
kepentingan kepastian hukum dan keadilan, pemerintah kota tampaknya tidak punya
pilihan lain terkecuali menciptakan iklim kondusif bagi inisiatif swasta untuk
memanfaatkan ruang perkotaan yang terbatas. Dalam kasus yang dibahas di sini
berarti bahwa pengadilan-pun akan terdorong untuk menyatakan bahwa semua izin
dan rekomendasi yang diberikan dinas-dinas pemerintah kota sudah sesuai dengan
aturan yang lebih tinggi dan asas-asas pemerintahan yang baik. Ini semua kiranya
wujud lain dari urban bias yang ditelaah Lipton akhir tahun 1970’an.82 Risikonya
namun demikian ialah bahwa kepastian hukum, terutama bagi investor, lebih
80 Gejala yang dinamakan urbanization of poverty oleh Davis. Mike, 2004, Planet of Slums: Urban Involution and the Informal Ploretariat, New Left Review 26: pp. 5-34 81 Gavin W & Pravin Pissaria. op.cit. 82 Lipton, N, 1997, Why poor people stay poor: uban bias in developing countries, Templeton: London & Lipton, M, 1982, Why poor people stay poor in Harris, J. (ed), Rural Development Theories of Peasant Economy and Agrarian Change. Hutchinson & Co (publishers) Ltd: London.
66
dikedepankan dengan mengesampingkan rasa keadilan dari warga masyarakat
kampung kota yang sudah terusik.
12. Kesimpulan dan Rekomendasi
Dalam kasus di atas belum ada solusi hukum ajeg yang dapat memenuhi rasa
keadilan masyarakat sekaligus menjamin kepastian hukum yang dituntut
pengusaha/investor, mitra pembangunan pemerintah kota. Jika forum yang dipilih
adalah pengadilan tata usaha Negara, kecenderungannnya keluhan masyarakat belum
dianggap nyata dan dari kacamata hukum belum menimbulkan kerugian yang dapat
dihitung dan dimintakan gantiruginya. Proses pelaporan pidana-pun tidak akan serta
merta membuahkan hasil.
Di luar itu, apakah keberhasilan menghentikan sementara kegiatan
pembangunan hotel memunculkan kepuasan, atau memenuhi rasa keadilan
masyarakat? Penulis hanya dapat berspekulasi bahwa untuk sebagian orang mungkin
kepuasan muncul dari ‘keberhasilan’ mengalahkan sistem, dengan tindakan sederhana
memasang portal, dan membuat rugi pengembang. Namun demo dan tuntutan agar
DPRD memperhatikan nasib mereka mengindikasikan bahwa buat sebagian besar
warga masyarakat penghentian (sementara waktu) tidaklah cukup. Portal sewaktu-
waktu dapat dicabut dan kegiatan pembangunan dilanjutkan. Apa yang mereka tuntut
dan belum dapatkan adalah solusi final yang memuaskan.
Kemungkinan bahwa pembangunan akan kembali berlanjut sangat nyata.
Sudah pasti bahwa bilamana pembangunan hotel terwujud dan mulai beroperasi,
maka akan terjadi perubahan lingkungan yang luar biasa besar dampaknya terhadap
kehidupan masyarakat kampung kota. Ini terjadi di banyak tempat di Bandung dan
dapat diamati dengan mata telanjang. Apa yang akan segera muncul ialah tembok
pemisah antara lingkungan masyarakat kampung dengan hotel. Masyarakat juga akan
67
hidup di bawah ‘bayang-bayang bangunan tinggi” dan menjadi “pemandangan gratis
bagi penghuni hotel”. Demi keamanan dan ketertiban, penduduk kampung tidak lagi
boleh sembarang lalu lalang di sekitar hotel apalagi masuk ke dalam lobby hotel.
Dari pengalaman tinggal bersebelahan dengan hotel bintang lima lainnya di
kawasan sama, masyarakat kampung hanya dilibatkan sebagai bagian corporate
social responsibility ketika perayaan tujuhbelas Agustusan.83 Maka karyawan hotel
untuk sehari akan berbaur dengan masyarakat kampung sekitar. Dari sudut pandang
masyarakat kampung-pun, hotel menjadi sekadar sumber pendanaan tetap untuk
sejumlah kegiatan. RT/RW setahun sekali atau dua kali untuk acara-acara khusus
(tujuhbelasan atau lebaran/iedul fitri) akan menuntut sumbangan (wajib) dari
pengelola hotel. Ini serupa praktik rent seeking yang merupakan tiruan dalam bentuk
kecil dari apa yang dalam bentuk dan skala berbeda marak dipraktikan di Indonesia.84
Sejumlah warga yang lebih punya bakat wirausaha mungkin akan menangguk untung,
misalnya dengan membuka warung atau menjajakan tunggangan kuda untuk para
tamu hotel. Apakah praktik-praktik demikian dapat kita pahami sebagai strategi
masyarakat bawah untuk mendapatkan keadilan?
Satu perubahan lain yang tidak teramati namun akan dirasakan oleh
masyarakat kampung kota Sangiang Santen dan juga tetangga hotel ialah sulitnya
mendapatkan air bersih. Permukaan air tanah akan menyusut dan bagi mereka yang
mampu, maka harus dibuat sumur bor yang lebih dalam dengan pompa yang lebih
kuat. Diam-diam terjadi the race to the bottom dalam mendapatkan access terhadap
sumber mata air bersih (air bawah tanah). Satu dan lain karena PDAM di kota
83 Ini agak berbeda dengan CSR yang dibicarakan di forum resmi lain. Untuk itu lihat Kemp. Melody. 2001. Corporate Social Responsibility in Indonesia: Quixotic Dream or Confident Expectation? Programme paper number 6, December 2001, UN Research Institute for Social Development. 84 Untuk ulasan singkat baca Jones. Evan. 2005, How rent seeking flourishes in Indonesia. Jakarta Post, November 10. Untuk ulasan yang lebih serius tentang rent seeking di Indones baca: McIntyre. Andrew, 2000. Funny Money: Fiscal Policy, Rent-seeking and Economic Performance in Indonesia. In Mushtaq H. Khan and Jomo KS eds. Pp.. 248-273 Rents, Rent-Seeking and Economic Development: Theory and Evidence in Asia. Cambridge: Cambridge University Press.
68
Bandung dalam kenyataan tidak mampu memenuhi kebutuhan warga biasa (juga yang
tinggal di pinggir jalan besar) akan air bersih apalagi memenuhi pasokan rutin hotel
akan air bersih. Ini kerugian “masa depan” yang sayangnya tidak pernah masuk ke
dalam agenda rapat badan-badan yang memberikan izin dan rekomendasi berkenaan
dengan pemanfaatan ruang.
Satu faktor lain yang juga diam-diam akan berubah di masa depan, ialah
meningkatnya nilai jual obyek pajak bumi bangunan yang harus dibayar tiap tahun.
Ini juga terjadi karena pemerintah daerah menetapkan target penerimaan Negara dari
pajak bumi bangunan dan target penerimaan Negara dari pajak setiap tahun ditetapkan
semakin tinggi. Diam-diam artinya mekanisme pasar yang akan menentukan berapa
taksiran nilai tanah di suatu kawasan. Selanjutnya mekanisme inilah yang kemudian
menjadi insentif atau disinsentif bagi warga untuk bertahan atau melepas tanah. Maka
itu di Bandung kerap terlihat menciutnya kawasan kampung kota ketika terkepung
perumahan, bangunan perkantoran atau mall, termasuk hotel.
Kenyataan tidak adanya urusan ganti rugi berbeda dengan banyak kasus
pengadaan tanah lainnya (misalnya pembangunan jalan layang pasopati yang
menggusur sekian kepala keluarga dari kampung padat di kawasan Taman Sari) atau
demi kepentingan komersial (pembangunan hotel di Dago, mall (Bandung SuperMall;
Sultan Plaza, Bandung Electronic Center atau real estate: Dago Resor Pakar, Kota
Baru Parahyangan) sengketa tentang pemanfaatan lahan diselesaikan dengan
pemberian gantirugi atau ganti-untung. Pemilik-pengarap lahan melepas hak mereka
atas tanah mendapatkan uang dan persoalan dari kacamata hukum dianggap selesai.
Begitu kepemilikan dan penguasaan tanah berpindah, maka sekaligus juga
kewenangan perencanaan dan pemanfaatan sepenuhnya berpindah pada pemrakarsa.
Pemilik tanah yang dapat menunjukan sertifikat barang tentu akan mendapatkan
69
gantirugi lebih daripada yang sekadar menunjukan letter c atau kikitir sebagai klaim
tanah berdasarkan hak milik adat. Bahkan juga kerap penggarap, bahkan mereka yang
jelas menguasai lahan secara melawan hukum – mendirikan lapak di sempadan jalan
atau di lapangan kosong yang berstatus tanah Negara atau milik orang lain –
mendapatkan uang berupa uang pengganti atau kerohiman.
Khususnya untuk kegiatan pengadaan tanah demi kepentingan umum, maka
kompensasi yang ditawarkan bisa jadi bukan hanya gantirugi atau ganti-untung
namun juga relokasi atau transmigrasi. Dalam kasus pembangunan jalan layang
pasopati, maka mereka yang tergusur mendapat kesempatan untuk membeli rumah
BTN di kawasan Gede Bage (sawah beririgasi di pinggiran tenggara Kota Bandung
yang dialihfungsikan menjadi kawasan pemukiman dan pusat kota Bandung). Bahkan
dalam satu peristiwa pembanguan satu kawasan pemukiman besar (Kompleks
Muara/Tegalega), pemilik tanah (dan sejumlah ahli warisnya) berhasil mendapatkan
kompesasi rumah tinggal di kawasan perumahan yang sama atau ditempat lain yang
dibangun atas biaya pengembang. Namun ini bisa terjadi karena pemilik lahan
memiliki orang kuat (kenalan eks bupati bekasi dan juga punya pengalaman sebagai
pengembang/kontraktor) yang dapat menekan pengembang Kompleks Muara
(Tegalega Bandung).
Di dalam kedua kasus di atas pemilik tanah yang tergusur tidak merasa
dirugikan. Sebaliknya mereka mungkin dalam jangka pendek merasa diuntungkan.
Namun relokasi tidak menyelesaikan semua masalah. Banyak warga tidak ingin
direlokasi karena tempat tinggal mereka sangat menguntungkan dari kesampaian
daerah dan keterjangkuan fasilitas pendidikan-kesehatan dan kesempatan kerja.
Ketika mereka terpinggirkan atau demi mendapatkan keuntungan lokasi berpindah ke
pemukiman padat di perkotaan, maka banyak hal yang dikorbankan. Persoalannya
70
ialah apakah kerugian mereka turut diperhitungkan dalam kebijakan pemanfaatan
tanah perkotaan.
Dari itu semua, dan dengan membandingkan kasus yang diangkat (tidak ada
ganti rugi dalam hal pembangunan hotel di Rancabentang-kampung Sangian Santen)
dengan kasus-kasus lain (adanya ganti rugi yang diberikan tanpa melalui pengadilan),
maka satu persoalan utama yang sulit dicarikan solusinya ialah bagaimana mengubah
kebijakan pemanfaatan ruang agar tidak serta merta mendiksriminasi masyarakat
kelas bawah (kampung kota)?
Secara umum dapat dikatakan bahwa penataan ruang kota yang mencakup
kegiatan perencanaan, pemanfaatan lahan dan pengawasan seharusnya menjadi
landasan bagi pemerintah kota untuk menciptakan kota inklusif yang nyaman bagi
seluruh warga kota85. Tak pelak lagi ketiga rangkaian kegiatan tersebut langsung
bersentuhan dengan hak warga kota untuk turut berperan serta dan turut menikmati
hasil akhir kegiatan penataan ruang kota. Ini artinya bahwa penataan ruang jangan
hanya berhenti pada soal bagaimana menjamin tenurial security warga kota86. Satu
dan lain karena kegiatan perencanaan secara langsung menetapkan bagaimana lahan
kota yang terbatas di kelola di masa depan dan, selanjutnya, siapa yang sebaiknya
menguasai dan mengelola lahan tersebut. Sebaliknya ketiadaan perencanaan kawasan
85 Dirjen Penataan Ruang dalam Pidato Sambutannya, “Peran Penataan Ruang dalam Mewujudkan Kota Berkelanjutan di Indonesia” Semarang 2 Mei 2006. 86 Securtiy of tenure dapat didefinisikan secara ringkas sebagai: “the certainty that a person’s right to land will be recognized by others and protected in cases of specific challenges”. Lihat FAO. 2002. Land Tenure and Rural Development. FAO Land Tenure Studies, Rome. Cf. Augustinus. Clarissa. & Marjolein Benschop, Security of Tenure: Best Practices. Diunduh dari www.unhabitat.org/downloads/docs/; tanggal 1 Agustus 2009. Disebutkan bahwa secure tenure dapat didefinisikan sebagai “the right of all individuals and groups to effective protection by the state against forced evictions”. Namun dapat ditambahkan pula bahwa “claims to a plot of land are not only a legal affair but are also a matter of perception of the occupier of the land”. Colombijn. Freek. Solid as a rock or ephemeral as a handful of dust: the security of land tenure in Indonesian towns, 1930-1960. Paper presented at the conference “Decolonising societies: the reorientation of Asian and African livelihoods under changing regimes, NIOD, Amsterdam, 11-13 December 2003.
71
kota dapat memunculkan bencana lingkungan dan ketegangan-ketegangan social yang
merupakan ancaman serius terhadap keberlanjutan pembangunan kota.87
Dari sudut pandang lain, rencana tata ruang menjadi arahan bagi kegiatan
pengadaan dan pemanfaatan tanah oleh warga biasa, pengusaha maupun pemerintah
kota. Artinya di sini bahwa struktur pemanfaatan lahan (yang diatur di dalam
dokumen-dokumen perencanaan tata ruang) akan berpengaruh dan menentukan
strukur pemilikan dan penguasaan lahan. Maka itu, keseluruhan rangkaian kegiatan
penataan ruang, terutama ketika terwujud dalam rangkaian izin pengadaan dan
pemanfaatan lahan, akan langsung bersentuhan dengan hak-hak dasar warga
berkenaan dengan access warga kota terhadap rumah tinggal dan/atau lingkungan
yang bersih dan sehat.
Faktor terpenting yang menentukan posisi tawar penduduk kampung kota
(Sangiang Santen) tatkala mereka berhadapan dengan proyek pembangunan hotel
yang didukung pemerintah adalah rendahnya (dan tidak tersedianya akses pada)
pengetahuan tentang hukum-hukum apa yang menjadi rujukan pemerintah-investor.
Lagipula proses perizinan kerap hanya melibatkan pihak pemohon dan pemberi izin.
Masyarakat pemilik tanah atau mereka yang turut memanfaatkan lahan (tetangga atau
dalam hal ini masyarakat kampung Sangian Santen baik sebagai kelompok maupun
individu) tidak pernah dapat mengetahui apa yang menjadi landasan kebijakan
pemerintah dan apa dasar hukum yang digunakan ketika izin diberikan (atau ditolak).
Juga kerap terjadi (seperti dalam kasus yang diangkat) pengesampingan hak
masyarakat sebagai tetangga, yaitu untuk ditanya persetujuan bebasnya baik dalam
rangka permohonan IPPT/IMB atau pihak yang akan terganggu dalam proses
permohonan izin gangguan/Hinder Ordonnantie.
87 Sebagaimana dijelaskan Gupta. Shreekant & Indu Rajadurgan, Urban Growth and Governance in South Asia. Unpublished. South Asian Perspective, Institute of South Asian Studies, Singapore. Sekalipun mereka menulis tentang India pengamatan mereka untuk bagian terbesar juga relevan bagi Indonesia.
72
Merumuskan sengketa yang ada sebagai gugatan perbuatan melawan hukum
(proses perizinan yang cacat) sebagaimana dilakukan oleh Buyung dkk dan juga
pernah menjadi strategi DPKLTD dalam kasus lain, pada akhirnya bukan strategi
terbaik. Karena ketika dibawa kehadapan pengadilan tata usaha Negara, akar masalah
sama (penyebab munculnya ketidak adilan social sekarang ini atau potensi ketidak
adilan di masa depan) sekali tidak akan dibahas karena berada di luar jangkauan
kompentensi pengadilan. Gugatan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
overheidsdaad) juga secara teknis-hukum bukan optie terbaik. Satu inovasi yang
muncul dalam kasus adalah pemasangan portal untuk mencegah dilanjutkannya
kegiatan pembangunan. Namun seberapa efektifnya ini sebagai strategi jangka
panjang belum dapat dinilai.
Satu rekomendasi yang dapat diberikan sebagai saripati analisis terhadap
kasus di atas ialah mengubah pola sosialisasi. Peran serta masyarakat dalam penataan
ruang, dalam mengendalikan masa depan mereka sendiri di lingkungan mereka, tidak
boleh terus direduksi menjadi sekadar pemberitahuan atau kegiatan sosialisasi. Untuk
ini perlu dijalin proses komunikasi dan dibangun kepercayaan antara masyarakat
dengan pemerintah kota. Mungkin itu artinya bahwa akan ada perlambatan dalam
pertumbuhan ekonomi, dan bahwa izin dan rekomendasi tidak dapat diterbitkan
secepat yang dituntut investor pemohon izin. Namun pemberian izin demi kepastian
hukum, sebagaimana ditunjukkan dalam kasus di atas, ternyata terbukti menghasilkan
biaya sosial yang besar.
Bahan Pustaka: 1. Buku Atmosudirdjo. Prajudi. 1981 Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia.
73
Bergmann. Jörg 1993 Discreet Indiscretion: the social organization of gossip. New York: Aldene de Gruyter. pp. 140-141. Gavin W. & Pravin Visaria 1997 Urbanization in Large Developing Countries: China, Indonesia, Brazil, and India: International Studies
in Demography. Clarendon Press Oxford. Hirschman, Albert O. 1970 Exit, Voice and Loyalty: Responses to Decline in Firms, Organizations, and States, Cambridge: Harvard
University Press. Lipton, N. 1997 Why poor people stay poor: urban bias in developing countries. London: Templeton. Lipton, M. 1982 Why poor people stay poor in developing countries in Harris, J. (ed) Rural Development Theories of
Peasant Economy and Agrarian Change. London: Hirtchman & Co. (publishers) ltd. McIntyre. Andrew 2000 Funny Money: Fiscal Policy, Rent-seeking and Economic Performance in Indonesia. In Mushtaq H.
Khan and Jomo KS eds. Pp.. 248-273 Rents, Rent-Seeking and Economic Development: Theory and Evidence in Asia. Cambridge: Cambridge University Press.
Pilliang. Indra J. et al., (eds.) 2003 Otonomi Daerah; Evaluasi dan Proyeksi, Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa. Wehrmann. Babette. 2008 “Land Conflicts: A Practical guide to dealing with land disputes”, GTZ Land Management: Eschborn,
14-20. Wallace. Jude 2008 ‘Indonesian land law and administration’ in Tim Lindsey (ed.), Indonesia: Law and Society, 2nd edition,
The Federation Press, 191-223. Soehendera, Djaka 2002 “Sertipikat Tanah dan Orang Miskin: Kasus Kampung Rawa Jakarta”. Disertasi Doktoral, Departemen
Antropologi, FISIP, Universitas Indonesia, Jakarta
2. Artikel/Laporan Augustinus. Clarissa. Marjolein Benschop, 2009 Security of Tenure: Best Practices. www.unhabitat.org/downloads/docs/; diunduh tanggal 1 Agustus
2009. B. Setiawan 2005 Hak Masyarakat dalam Proses Penyusunan dan Implementasi Kebijakan Tata Ruang, Forum
Perencanaan Pembangunan, Edisi Khusus, Januari. Bedner. Adriaan & Jacqueline Vel, Forthcoming ‘Conceptual Paper No 1: Access to Justce and Rule of Law’. Colombijn. Freek. 2003 Solid as a rock or ephemeral as a handful of dust: the security of land tenure in Indonesian towns, 1930-
1960. Paper presented at the conference “Decolonising societies: the reorientation of Asian and African livelihoods under changing regimes, NIOD, Amsterdam, 11-13 December.
Davis. Mike. 2004. Planet of Slums: Urban Involution and the Informal Ploretariat, New Left Review 26: pp. 5-34 Ergüden. Selman. 2004 Cities for All, Habitat Debate 4 (4) www.unhabitat.org diunduh 11/3/2004. FAO 2002 Land Tenure and Rural Development. FAO Land Tenure Studies, Rome. Gupta. Shreekant. & Indu Rajadurgan,
74
Unpublished Urban Growth and Governance in South Asia. South Asian Perspective, Institute of South Asian Studies, Singapore.
Kemp. Melody. 2001 Corporate Social Responsibility in Indonesia: Quixotic Dream or Confident Expectation? Programme
paper number 6, December 2001, UN Research Institute for Social Development. Riawanti. Selly. 2002 “Kehidupan Orang Pinggiran Kota di Cipaheut Kaler, Bandung Utara. Disertasi Doctoral, Departemen
Antropologi, FISIP, Universitas Indonesia, Jakarta. Smeru 2002 “An Impact Evaluation of Systematic Land Titling”, Research Report. diunduh dari
www.smeru.or.id/report/lap/lap.htm Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan Yang Baik/Bapenas. 2005 Tata Kepemerintahan yang Baik, Jakarta: Bappenas Sekretariat Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD) Propinsi Jawa Barat 2003 Evaluasi Berkala Perencanaan Tata Ruang, Pemanfaatan Ruang, dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
di Propinsi Jawa Barat dan Kabupaten/Kota se-Jawa Barat tahun 2003. Bandung: Bappeda Propinsi Jawa Barat
UN Habitat 2006 The State of the World’s Cities Report 2006/2007: The millennium development goals and urban
sustainability; 30 years of shaping the Habitat Agenda. UN Human Settlement Programme.
3. Koran/Majalah Budihardjo. Eko. 2009 Menyelamatkan Kota, Kompas, 6 Oktober. Dadan, Sirojul & Hilman 2008 Gedung-gedung Jangkung ‘Menyerbu’ Bandung’. Bisnis Indonesia, November 23
Departemen Pekerjaan Umum, Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat. 1999. Penataan Kawasan Kumuh di Kodya Bandung dan Kodya / Kabupaten di Kawasan Botabek, Bandung: Pt. Multicipta Rancana Selaras.
Dirjen Penataan Ruang 2006 Pidato Sambutan: “Peran Penataan Ruang dalam Mewujudkan Kota Berkelanjutan di Indonesia”
Semarang. 2 Mei Fikri. Akhmad. 2008 Bandung Utara Rusak, Pengacara Lingkungan Ajukan Gugatan. Tempointeraktif, 7 Agustus Galamedia 2009 Hotel Henry Palace Sudah Sesuai Prosedur. 23 Januari Galamedia 2009 Warga Laporkan ke Polwiltabes Bandung. 20 Januari Gatra (www.gatra.com/2007-01-25/versi_cetak.php 2006 Adnan Buyung Gugat Wali Kota Bandung. 25 Januari Harian Seputar Indonesia 2009 Warga Kampung Nyalindung-Punclut Tagih Ganti Rugi Pemkot. 14 Mei Hardi. Erick P. & Alwan Ridha. 2009. Buntut Penolakan Pembangunan Hotel 15 Lantai: Pengusaha Dilaporkan ke Polisi. Koran Tempo, January 20. Haryanto. Andi. 2008 2 Tahun Lagi, Diprediksi Persaingan Hotel di Bandung Tak Sehat (http://bandung.detik.com; December
18 Herlambang. Cornelius Helmy. 2007 Warga Tolak Pembangunan Hotel 10 Tingkat. Kompas Cybermedia, January 16.
75
Jaweng. Robert Endi 2008 Pelayanan Satu Pintu atau Satu Atap? Sinar Harapan, Desember 18 Jones. Evan. 2005 How rent seeking flourishes in Indonesia. Jakarta Post, November 10 Kominfo-Newsroom 2009 Pelayanan Satu Atap Diubah Menjadi Satu Pintu. 16 Juli Kompas 2004 Adi. Rianto. Pencabutan Hak atas Tanah. 10 Juni Kompas 2004 Ada Manipulasi Peta RTRW Kota Bandung. 22 Juni Kompas 2004 Di Era Otonomi Daerah Kawasan Bandung Utara Tercabik-cabik. 19 Juni Kompas 2005 Konsep KBU yang Tumpang Tindih Akan Diseragamkan. 30 April. Kompas 2005 Presiden Bisa Mencabut Hak atas Tanah. 7 Mei. Kompas 2007 Tunggu Keputusan PTUN Jabar: Bongkar Hotel di Kawasan Punclut. 27 Januari. Kompas 2007 Izin Satu Pintu di 29 Daerah: Beberapa Kabupaten Terbuka Tentukan Tarif Resmi. 6 November. Kompas 2008 Bandung Masih Butuh Hotel: Waspadai Keseimbangan Lingkungan. 31 Juli Kompas 2009 Warga Tagih Janji Ketua DPRD. 28 Januari Kompas 2009 Hari Habitat Dunia, Kawasan Kumuh Kota 54.000 hektar, 6 Oktober Kusiman. Erwin. 2007. Quo Vadis Pengendalian KBU”, Pikiran Rakyat, January 25. Majalah Berita Konstitusi 2005 Abdullah. Irwan & Abdul Saleh. ‘Kisruh Air, Kemelut Republik’, Edisi Khusus (2(11). Marsiela. Adi. 2009. Warga Ciumbuleuit Tolak Pembangunan Hotel. Suara Pembaharuan, January 19. McCarthy. John. F. 2007 “Sold down the river: Renegotiating public power over nature in Central Kalimantan, dalam Henk
Schulte Nordholt and Gerry van Klinken (eds), Renegotiating Boundaries: local politics in post-Soeharto Indonesia. Leiden: KITLV Press.
Panjaitan. Johnson, Tanpa tahun Surat terbuka Perhimpunan Bantuan hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI).
‘Tanggapan terhadap Perpres no. 36/2005”. Pratama. Arief 2009 Tolak Pembangunan Hotel, Warga Bandung Demo. Kompas, 19 Januari. Pikiran Rakyat 2004 MoU Bandung Utara tak Berguna. 2 Juni Pikiran Rakyat 2005 DPKLTS Gugat Walikota, Terkait Pemberian Izin Pembangunan Jalan di Punclut. 17 Februari Pikiran Rakyat 2007 Laporan Khusus. 25 Januari
76
Pikiran Rakyat (www.pikiran-rakyat.com) 2008 Amaliya/Lia Marlia. Bandung Butuh 15.000 Kamar. Pikiran Rakyat (http://newspaper.pikiran-rakyat.com) 2009 FKPL Akan Menuntut Pidana dan Perdata. 15 Januari Pikiran Rakyat (http://newspaper.pikiran-rakyat.com) 2009 FKPL Akan Menuntut Pidana dan Perdata. 23 Januari. Pikiran Rakyat (http://newspaper.pikiran-rakyat.com) 2009 Henry Minta Pemkot Membuka Portal. 23 Januari. Pikiran Rakyat 2009 Henry Minta Pemkot Membuka Portal. 7 Agustus Ridha. Alwan. 2009. Pemilik Hotel Four Minta Portal Dibongkar. Koran Tempo, January 28. Rolit. 2009. Pemilik Hotel Four R Terima Ancaman.http://www.lifestyle.roll.co.id/fashionista/25-latest/21477. January 22. Romli. Usep. 2009. Watak Buruk dalam Babasan. Kompas, Maret 5: d. Tempo (http://www.tempointeraktif.com) 2009 Warga Adukan Pemilik Hotel Four ke Polisi. 19 Januari Tigor Sinaga 2004 Belajar dari Johon Baru: Mencari Konsep Hunian Perkotaan yang Ideal. Pikiran Rakyat, 23 Juli Yudiawan. Dewi. 2006 Sekarang Menjadi Milik Pengembang. Pikiran Rakyat, 18 Desember. Yuliati. Tya Eka. 2009 Warga Tolak Pembangunan Hotel 15 Lantai. http://bandung.detik.com; 18 Januari
4. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) no. 5/1960 Undang-Undang (UU) no.20/1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda yang ada di atasnya. Undang-Undang (UU) no. 21/1997 Undang-Undang (UU) no. 24/1992 tentang Penataan Ruang sebagaimana diubah dengan UU no. 26/2007 Undang-Undang (UU) no. 20/2000 Undang-Undang (UU) no. 28/2002 tentang Bangunan Gedung Undang-Undang (UU) no. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang (UU) no. 25/2007 tentang Penanaman Modal Peraturan Pemerintah (PP) no. 69/1996 tentang pelaksanaan hak dan kewajiban, serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam penataan ruang Peraturan Pemerintah (PP) no. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Pemerintanh (PP) no. 46/2002 (tentang tariff atas jenis penerimaan Negara bukan Pajak yang berlaku pada BPN); Peraturan Pemerintah (PP) no. 72/2005 tentang desa. Peraturan Pemerintah (PP) no. 73/2005 tentang Kelurahan Peraturan Pemerintah (PP) no. 47/2007 tentang organisasi perangkat daerah
77
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum Instruksi Presiden no. 3/2006 tentang Paket kebijakan perbaikan iklim investasi Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN (PerMenAg/Kep. BPN) no. 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP no. 24/1997. Surat Edaran Kepala BPN no. 600-1900 (31 juli 2003). Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) no. 8/1998 tentang penyelenggaraan penataan ruang di daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) no. 9/1998 tentang peran serta masyarakat dalam perencanaan ruang di daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri (permendagri) no. 24/2006 tentang pedoman penyelenggaraan PPTSP Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) no. 63/Kep.M.Pan/7/2003. Peaturan Daerah (PerDa) Propinsi Jawa Barat tentang RTRW Propinsi no. 2/2003. Perda Propinsi Jawa Barat tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara no. 1/2008 Peraturan Gubernur (PerGub) tentang petunjuk teknis pengendalian pemanfaatan ruang kawasan Bandung Utara no. 21/2009. Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Barat no. 181.1/SK.1624-Bapp/1982 tentang peruntukan lahan di wilayah inti Bandung Raya Bagian Utara. Perda Kota Bangunan tentang bangunan (bouwverordening van Bandoeng), lembaran Propinsi tanggal 29 February 1932 no. 2. Peraturan Daerah (PerDa) Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung no. 04/1996 tentang izin perencanaan penggunaan lahan Peraturan Daerah (PerDa) Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung no. 14/1998 tentang Bangunan di Wilayah Kotamadya Bandung Peraturan Daerah (PerDa) Kota Bandung no. 25/1998 sebagaimana ditambah dan diubah dengan PerDa. 4/2002 tentang izin peruntukan penggunaan tanah) Peraturan Daerah (PerDa) Kota Bandung no. 02/2001 tentang Kewenangan Daerah Kota Bandung sebagai Daerah Otonom Peraturan Daerah (PerDa) Kota Bandung no. 5/2001 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Dinas Bandung. Peraturan Daerah (PerDa) Kabupaten Bandung no. 12/2001 tentang RTRW Kabupaten Bandung sebagaimana diubah dengan Perda no. 3/2008 Peraturan Daerah (PerDa) Kota Cimahi no. 23/2003 tentang RTRW Kota Cimahi. Peraturan Daerah (PerDa)Kota Bandung no. 2/2004 tentang RTRW Kota Bandung sebagaimana diamandemen oleh Perda no. 3/2006.