22
1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Secara umum dapat dikatakan bahwa ilmu hukum mempunyai tujuan yang tidak berbeda dengan ilmu-ilmu lain. Ilmu hukum mempunyai tujuan yang bersifat lebih spesifik dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain. Tujuan ilmu hukum adalah memecahkan masalah-masalah hukum, kasus-kasus hukum, atau sengketa-sengketa hukum “The Power of Solving Legal Problems”. Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan hukum di Indonesia menunjukan perkembangan yang cukup menarik didalam penanganan korupsi 1. Pertama, terbentuknya lembaga independen yang menangani korupsi secara khusus, yaitu : Komisi Pemberantasan Korusi (KPK), Kedua, penanganan kasus 1 Korupsi berasal dari kata latin “corruption” atau “corruptus” yang kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis “corruption”, dalam bahasa Belanda “korruptie” dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan korupsi, (Dr. Andi Hamzah, SH, 1995:143). Korupsi secara harafiah berarti jahat atau busuk (John M. Echols dan Hasan Shadily, 197: 149) sedangkan A.I.N Kramer ST menerjemahkannya sebagai busuk, rusak atau dapat disuapi (A.I.N Kramer ST, 1977:62) oleh karena itu tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak atau suap. Lihat Darwan Prinst, “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 1. Definisi korupsi menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang disebut sebagai tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang tercantum pada pasal 2 s/d pasal 16 Undang-Undang ini, yang meliputi : • Delik merugikan keuangan Negara ( Pasal 2 dan pasal 3); • Delik penyuapan ( Pasal 5, 6, dan 11); • Delik penggelapan dalam jabatan ( Pasal 8, 9, dan 10); • Delik pemerasan dalam jabatan ( Pasal 12); • Delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7); • Delik Gratifikasi (pasal 12 B,12 C dan pasal 13) Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

1 BAB 1 LATAR BELAKANG - lib.ui.ac.id

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Secara umum dapat dikatakan bahwa ilmu hukum mempunyai tujuan yang

tidak berbeda dengan ilmu-ilmu lain. Ilmu hukum mempunyai tujuan yang

bersifat lebih spesifik dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain. Tujuan ilmu

hukum adalah memecahkan masalah-masalah hukum, kasus-kasus hukum, atau

sengketa-sengketa hukum “The Power of Solving Legal Problems”.

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan hukum di Indonesia

menunjukan perkembangan yang cukup menarik didalam penanganan korupsi1.

Pertama, terbentuknya lembaga independen yang menangani korupsi secara

khusus, yaitu : Komisi Pemberantasan Korusi (KPK), Kedua, penanganan kasus

1 Korupsi berasal dari kata latin “corruption” atau “corruptus” yang kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis “corruption”, dalam bahasa Belanda “korruptie” dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan korupsi, (Dr. Andi Hamzah, SH, 1995:143). Korupsi secara harafiah berarti jahat atau busuk (John M. Echols dan Hasan Shadily, 197: 149) sedangkan A.I.N Kramer ST menerjemahkannya sebagai busuk, rusak atau dapat disuapi (A.I.N Kramer ST, 1977:62) oleh karena itu tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak atau suap. Lihat Darwan Prinst, “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 1. Definisi korupsi menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang disebut sebagai tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang tercantum pada pasal 2 s/d pasal 16 Undang-Undang ini, yang meliputi : • Delik merugikan keuangan Negara ( Pasal 2 dan pasal 3); • Delik penyuapan ( Pasal 5, 6, dan 11); • Delik penggelapan dalam jabatan ( Pasal 8, 9, dan 10); • Delik pemerasan dalam jabatan ( Pasal 12); • Delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7); • Delik Gratifikasi (pasal 12 B,12 C dan pasal 13)

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

2

Universitas Indonesia

korupsi dengan cara-cara yang tidak biasa (Extra Ordinary)2 dan Ketiga, semakin

banyak kasus-kasus korupsi yang dibawa ke pengadilan3.

Salah satu mandat reformasi adalah penegakkan hukum dan mewujudkan

Pemerintahan yang bersih bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Mandat ini termaktub pada Ketetapan (TAP) Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR) Nomor XI tahun 1998 dimana salah satu klausulnya adalah melakukan

pengusutan terhadap kasus-kasus hukum Soeharto dan kroni-kroninya, sebagai

agenda reformasi di bidang penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi.

Ketetapan MPR ini dinyatakan masih berlaku dan kemudian telah diperkuat

dengan Ketetapan MPR Nomor 1 tahun 2003 yang menyatakan bahwa TAP MPR

Nomor XI tahun 1998 masih berlaku selama belum ada Undang-Undang (UU)

yang mengatur tentang hal itu.

PBB berdasarkan Transparansi Internasional menempatkan Mantan

Presiden Soeharto kedalam urutan nomor satu dalam daftar mantan penguasa yang

melakukan korupsi terhadap aset negaranya.

No. Nama Periode

Berkuasa

Negara Asal Perkiraan Aset

Negara yang

dikorup

1. HM. Soeharto 1967-1998 Indonesia US$15-35 milyar

2 ....Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pula dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Indonesia (a) , Undang- Undang Nomor. 30 tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, LN No.137, TLN No.4250, Penjelasan Umum. 3 Berdasarkan buku laporan 4 tahunan KPK disebutkan bahwa kasus korupsi yang telah dibawa KPK ke pengadilan dalam kurun waktu tahun 2004 s/d 2007 sejumlah 82 kasus. Komisi Pemberantasan Korupsi, 4 Tahun KPK, Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan, Cet.I (Jakarta : Komisi Pemberantasan Korupsi , Desember 2007) hal. 127.

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

3

Universitas Indonesia

No. Nama Periode

Berkuasa

Negara Asal Perkiraan Aset

Negara yang

dikorup

2. Ferdinand Marcos 1972-1986 Filipina US$ 5 – 10 miliar

3. Mobutu Sese seko 1965- 1997 Zaire US$ 5 miliar

4. Sani Abacha 1993- 1998 Nigeria US$ 2 – 5 miliar

5. Slobodan Milosevic 1989- 2000 Serbia/Yugoslavia US$ 1 miliar

6. Jean Claude

Duvalier

1971-1986 Haiti US$ 300-800 Juta

7. Alberto Fujimori 1990-2000 Peru US$ 600 Juta

8. Pavlo Lazarenko

(Perdana Menteri)

1996- 1997 Ukraina US$ 114-200 Juta

9. Arnoldo Aleman 1997- 2002 Nikaragua US$ 100 Juta

10 Joseph Estrada 1998- 2001 Filipina US$ 78-80 Juta

Sumber : http://www.antara.co.id/arc/2007/9/18/

Secara umum penanganan kasus korupsi Soeharto pernah digelar dalam

persidangan in absentia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Persidangan

memutuskan bahwa Soeharto dinyatakan sakit permanen, dan keputusan ini

diperkuat dengan rekomendasi medis bahwa yang bersangkutan terkena stroke

yang berimplikasi pada kerusakan total sistem kerja saraf. Sejak saat itulah kasus

korupsi yang melibatkan nama Soeharto ditutup demi hukum. Hal ini diperkuat

dengan dalil hukum pidana yang menyatakan bahwa seseorang yang secara

hukum dinyatakan tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatan pidananya

dengan alasan sakit atau tidak adanya aturan-aturan yang mengatur tentang hal itu,

maka perbuatannya itu dianggap tidak sah untuk diproses secara hukum.

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

4

Universitas Indonesia

Penuntasan kasus Korupsi Soeharto seperti menemukan jalan buntu, ketika

Ia dinyatakan meninggal dunia pada 27 Januari 2008. Secara pidana kasus korupsi

yang melibatkan Soeharto tidak mungkin diproses lagi, sehingga secara pidana

tidak mungkin lagi dilakukan penghukuman terhadap Soeharto baik melalui

pidana penjara ataupun pidana berupa pengembalian terhadap kerugian keuangan

negara yang sudah dikorup oleh Soeharto, alasannya adalah perbuatan pidana itu

berkaitan dengan pertanggungjawaban individu pelakunya, serta adanya dalil

dalam hukum pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 774 dan Pasal 835 KUHP

yang menyatakan kewenangan menuntut pidana dan kewenangan menjalankan

pidana hapus jika terdakwa dan atau terpidana meninggal dunia.

Sesuai dengan tujuan ilmu hukum sebagaimana yang telah disebutkan di

atas, bahwa ilmu hukum bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah hukum,

kasus-kasus hukum, atau sengketa-sengketa hukum. Penegakan hukum dalam

kasus korupsi tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan ganjaran secara fisik

bagi para pelakunya namun juga dimaksudkan agar uang negara yang dikorupsi

kembali kepada negara untuk memulihkan kembali kemampuan negara dalam

melayani hak-hak rakyatnya, sehingga dalam proses hukum pidana diakomodir

pula sarana perdata, seperti ketentuan uang pengganti dan denda yang dibebankan

kepada terpidana, bila denda atau uang pengganti tidak dibayar maka hukuman

akan ditambah maksimal tidak melebihi ancaman hukuman. Dalam hal

tersangka/terdakwa meninggal dunia atau tidak terbukti bersalah atau karena

bebas dari segala tuntutan sementara nyata telah ada kerugian negara yang

diakibatkan perbutan tersangka/terdakwa maka ada mekanisme gugatan perdata,

gugatan diajukan terhadap ahli waris bila tersangka/terdakwa meninggal dunia

dan terhadap pelaku bila dia bebas, hal itu tidak lain dimaksudkan untuk

4 Pasal 77 : “Kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia”. Soenarto Soerodibroto, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Ed.4., Cet. 5.(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 68. 5 Pasal 83 : “Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia”. Soenarto Soerodibroto, ibid, hal. 71.

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

5

Universitas Indonesia

menyelamatkan uang negara (Pasal 32, 33 dan 34 Undang-Undang Nomor 31

tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi6). Baik sarana hukum

pidana maupun perdata dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi para

pelakunya, agar tindak pidana korupsi menjadi perbuatan yang beresiko lebih

besar daripada manfaat yang didapat, sehingga semakin banyak orang yang akan

berpikir ulang bila akan melakukannya.

Babak kedua mengenai penanganan kasus korupsi mantan presiden

Soeharto dimulai ketika Kejaksaan Agung Republik Indonesia mendaftarkan

kasus korupsi Soeharto melalui jalur perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

dengan dalil Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar diduga melakukan

penyelewengan terhadap dana yayasan tersebut. Seperti yang diketahui Yayasan

Beasiswa Supersemar pada awalnya bertujuan menyalurkan beasiswa kepada

pelajar dan mahasiswa kurang mampu sejak tahun 1978. Yayasan Beasiswa

Supersemar menghimpun dana negara melalui bank-bank milik pemerintah

(BUMN) dan masyarakat. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976

tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-

Bank Milik Pemerintah7, yang kemudian diatur dengan Keputusan Menteri

6 Pasal 32 : Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Pasal 33 : Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. Pasal 34 : Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. Indonesia (b), Undang-Undang Nomor. 31 tahun 1999, LN No.140, TLN No.3874 jo Undang-Undang Nomor. 20 tahun 2001, LN. 134, TLN No.4150, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 7 Yang dimaksud dengan Bank-bank milik pemerintah sesuai dengan Bunyi Pasal 1 dan Pasal 2 PP Nomor 15 tahun 1976, adalah Bank Indonesia, Bank Negara Indonesia 1946,Bank Bumi Daya, Bank Tabungan Negara, Bank Rakyat Indonesia, Bank Eksport Import Indonesia, Bank Pembangunan Indonesia. Didalam PP Nomor 15 tahun 1976 mengatur agar bank-bak milik

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

6

Universitas Indonesia

Keuangan Nomor 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Agustus 1978 tentang

pengaturan lebih lanjut Penggunaan 5% (lima persen) Dari Laba Bersih Bank-

Bank Milik Pemerintah, serta Pasal 3 Anggaran Dasar Yayasan Beasiswa

Supersemar, seharusnya uang yang diterima disalurkan untuk beasiswa pelajar

dan mahasiswa, namun pada praktiknya tidak demikian dan telah terjadi

penyelewengan. Penyelewengan dana itu, menurut Kejaksaan, merupakan

perbuatan melawan hukum sesuai pasal 1365 KUH Perdata. Kejaksaan menuntut

pengembalian dana yang telah disalahgunakan senilai US$ 420 juta dolar AS dan

Rp. 185,92 miliar, ditambah ganti rugi imateriil Rp. 10 triliun.

Banyak pihak yang menyangsikan dalil yang digunakan oleh Kejaksaan

didalam gugatan perdata tersebut di atas tidak dapat berbuat banyak didalam

kerangka pengembalian kerugian keuangan negara oleh Soeharto maupun oleh

Yayasan . Hal ini terbukti pada keputusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,

yakni Majelis mengakui penyaluran dana itu melanggar aturan. Namun majelis

justru tak menemukan kesalahan Soeharto. Majelis beranggapan selaku pendiri

dan ketua yayasan, Soeharto mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada

pengurus yayasan. Lantaran itu, majelis pun membebankan kesalahan itu kepada

Yayasan Beasiswa Supersemar. Yayasan diwajibkan mengganti kerugian kepada

pemerintah. Nilai ganti rugi yang dibebankan adalah 25 persen dari tuntutan ganti

rugi yang diajukan negara, atau sekitar US$ 105 juta dan Rp 46 miliar. Ganti rugi

25 persen itu sesuai dengan asas kepatutan. Padahal dana yang berhasil dihimpun

oleh Yayasan Beasiswa Supersemar sampai dengan Maret 1998 mencapai Rp.1,2

trilyun. Ini baru dana yang berhasil dihimpun oleh Yayasan Beasiswa Supersemar,

belum yayasan-yayasan Soeharto lainnya. Diketahui bahwa Soeharto mengetuai 7

(tujuh) yayasan sosial yaitu Yayasan Dharmais, Dana Karya Abadi,

Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana

Gotong Royong, dan Trikora.

permerintah tersebut menyisihkan 5 % dari laba bersihnya dipergunakan untuk keperluan-keperluan I bidang sosial yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan dengan persetujuan Presiden.

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

7

Universitas Indonesia

Ciri umum sumber pendanaan yayasan-yayasan Soeharto adalah

adanya pungutan yang pada hakikatnya bersifat sukarela, namun kadangkala

terkesan menjadi sebuah “kewajiban”. Terhadap BUMN (Badan Usaha Milik

Negara) pungutan itu dilembagakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 15

Tahun 1976 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333/KMK.011/1978

yang intinya mewajibkan sumbangan 5 % (lima persen) keuntungan BUMN ke

Yayasan Dharmais dan Supersemar. Sementara itu untuk wajib pajak badan

/perorangan dengan laba di atas Rp. 100 juta/tahun, Soeharto mengeluarkan

Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995 (diperbarui dengan Keputusan

Presiden Nomor 92 tahun 1996) yang mewajibkan mereka menyumbangkan 2

% penghasilan setelah pajak untuk dialokasikan kepada masyarakat pra-

sejahtera, untuk menampung dan mengelola dana tersebut dibentuklah YDSM

(Yayasan Dana Sejahtera Mandiri) yang dikelola oleh Soeharto selaku Ketua.

Keputusan Presiden dan Peraturan Pemerintah lainnya yang membebani

masyarakat dengan berbagai sumbangan bertentangan dengan amanat dan

penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang menggariskan bahwa setiap

tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat sebagai pajak dan lain-lain,

harus ditetapkan dengan Undang-Undang, yaitu dengan persetujuan DPR. Di

samping itu, terdapat indikasi H.M. Soeharto, selaku Ketua Yayasan, tidak

mematuhi sepenuhnya Anggaran Dasar Yayasan dalam penggunaan dana-dana

Yayasan.

Melalui keran yayasan inilah Soeharto memobilisasi dana dari

masyarakat dengan berbagai legitimasi, bahkan sering menggunakan jargon

demi “kepentingan nasional” atau “kepentingan masyarakat” yang dikaburkan

dengan kepentingan pribadi. Anggaran Dasar Yayasan menetapkan bahwa

dana Yayasan yang tidak segera dibutuhkan disimpan/dijalankan menurut cara-

cara yang ditentukan oleh pengurus dan diperlukan persetujuan tertulis terlebih

dahulu dari Ketua Yayasan. Namun ditemukan bahwa selain digunakan untuk

hal-hal yang sesuai dengan tujuan Yayasan, terdapat pengeluaran lain yang

menyimpang dari Anggaran Dasar Yayasan. Dana Yayasan dipinjamkan tanpa

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

8

Universitas Indonesia

bunga kepada kelompok Nusamba, dipinjamkan dengan bunga 16% per tahun

kepada PT Kiani Kertas dan Kiani Sakti, penyertaan modal Yayasan kepada

PT. Sempati, Kelompok Nusamba, Bank Umum Nasional, dan Bank

Perkreditan Rakyat, serta disimpan dalam deposito.

Terhadap Keputusan Presiden dan Peraturan Pemerintah lainnya yang

membebani masyarakat dengan berbagai sumbangan tersebut, Pemerintah telah

mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1998 yang

menghentikan dana-dana yang masuk ke Yayasan dengan mencabut

Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995 dan Keputusan Presiden

Nomor 92 Tahun 1996;

2. Menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 20 Tahun 1998 yang ditujukan

kepada para Menteri,Gubernur/KDH Tingkat I, Kepala LPND,

Bupati/Walikotamadya dan Direksi BUMN/ BUMD untuk mencabut

semua ketentuan Menteri/Kepala LPND/Gubernur/Bupati/Walikota dan

Direksi BUMN dan BUMD yang menjadi dasar perolehan dana bagi

semua Yayasan, termasuk Yayasan yang diketuai oleh HMS. Sebagai

tindak lanjut Intruksi Presiden Nomor 20 Tahun 1998 tersebut, Menteri

Keuangan telah mengeluarkan surat No. S.475/MK.01/1998 untuk

mencabut fasilitas pembebasan pajak atas bunga deposito dan tabungan

kepada 11 Yayasan, yaitu: Yayasan Supersemar, Badan Pengelola Dana

ONH, Yayasan DAKAB, Yayasan Amal Abadi Bea Siswa ORBIT,

Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (YDSM), Yayasan Amal Bhakti

Muslim Pancasila, Yayasan Dharma Tirta, Yayasan Amal Bhakti Ibu,

Lembaga GNOTA, Yayasan Dharmais dan Yayasan Kesejahteraan

Sosial Dharma Putra Kostrad;

Dalam kasus korupsi Soeharto dalam rangka pengembalian kerugian

keuangan negara yang sudah dikorup oleh Soeharto tidak lagi dapat ditangani

secara pidana mengingat kondisi Soeharto yang sudah meninggal dunia, sehingga

hanya tersisa mekanisme secara perdata, seperti yang telah diketahui ternyata

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

9

Universitas Indonesia

mekanisme perdata yang dipakai oleh Kejaksaan Agung melalui lembaga Gugatan

Perdata dengan menggunakan dalil melakukan perbuatan melawan hukum

dikarenakan Soeharto salah menggunakan dana milik yayasan, belum dapat

memberi hasil maksimal dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara8.

Penulis tertarik untuk mencoba membahas dalam suatu penelitian, apakah

masih ada instrumen hukum perdata lain yang dapat digunakan oleh negara dalam

rangka memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara dalam kasus

korupsi Soeharto.

Sehubungan dengan perbuatan Soeharto yang menerbitkan Keputusan

Presiden dan Peraturan lainnya yang membebani masyarakat, BUMN/BUMD

dan sebagainya dengan berbagai sumbangan, sebagai sumber pendanaan bagi

yayasan-yayasan, walaupun kemudian diketahui Keputusan Presiden dan

peraturan tersebut melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dan berpotensi

korupsi, yang pada akhirnya pada era reformasi berdampak pada pencabutan

dari Keputusan Presiden dan Peraturan tersebut. Peneliti berpendapat jika

dicermati secara mendalam pengembalian kerugian keuangan negara (dana

yang sudah disetor oleh pemerintah) ke Yayasan-yayasan Soeharto dapat

menggunakan Instrumen Hukum Perdata Pembayaran Tidak Terutang

(onverschulddigde betaling), yang pembahasannya akan dilakukan lebih lanjut

didalam penelitian ini.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka penulis akan

membahas permasalahan seputar “Penggunaan Instrumen Hukum Perdata

Pembayaran Tidak Terutang (Onverschulddigde Betaling) Dalam Rangka

Pengembalian Kerugian Keuangan Negara (Tinjauan Kasus Tindak Pidana

Korupsi Mantan Presiden Soeharto)” .

8 Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (27/3), memutuskan Yayasan Beasiswa Supersemar terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum agar Yayasan Beasiswa Supersemar membayar ganti rugi sebesar 105,7 juta dolar AS dan Rp46,47 miliar kepada negara (Jawa Pos, Anak-anak Soeharto Lolos, 28 Maret 2008), nilai ini merupakan 25 % dari total nilai ganti kerugian yang dituntut oleh Kejaksaan yaitu dari USD 420 juta dan Rp 185 miliar (GATRA, Yayasan Beasiswa Supersemar Didenda, 27 Maret 2008).

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

10

Universitas Indonesia

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah di

atas, untuk membatasinya perlu diidentifikasi permasalahan yang hendak diteliti

oleh Peneliti sebagai berikut.

1. Bagaimana pengaturan penggunaan Instrumen hukum perdata dalam rangka

pengembalian kerugian keuangan negara dalam suatu kasus tindak pidana

korupsi di Indonesia ?

2. Bagaimana pengaturan dan penerapan Instrumen Hukum Perdata Pembayaran

Tidak Terutang (Onverschulddigde Betaling) di Indonesia ?

3. Apakah Instrumen Hukum Perdata Pembayaran Tidak Terutang

(Onverschulddigde Betaling) dapat digunakan dalam rangka pengembalian

kerugian keuangan negara khususnya terkait kasus korupsi Presiden Soeharto

?

C. TUJUAN PENELITIAN

Dengan menelaah latar belakang dan identifikasi masalah di atas, dapat

dikemukakan beberapa tujuan dari pelaksanaan penelitian yang berjudul

Penggunaan Instrumen Hukum Perdata pembayaran tidak terutang

(Onverschulddigde Betaling) Dalam Rangka Pengembalian Kerugian

Keuangan Negara , yaitu sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui dan mengkaji dasar pengaturan mengenai penggunaan

Gugatan perdata dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara dalam

suatu kasus tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan mengkaji pengaturan mengenai Instrumen Hukum

Perdata Pembayaran Yang Tidak Terutang (Onverschulddigde Betaling) di

Indonesia.

3. Untuk mengetahui dan mengkaji Instrumen Hukum Perdata Pembayaran

Tidak Terutang (Onverschulddigde Betaling) dapat digunakan dalam rangka

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

11

Universitas Indonesia

pengembalian kerugian keuangan negara khususnya terkait kasus korupsi

Presiden Soeharto

D. KEGUNAAN PENELITIAN

Selain tujuan penelitian seperti tersebut di atas, dalam penelitian ini

peneliti juga mengharapkan dapat mencapai hasil guna sebagai berikut.

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi konsep, teori dan

pemikiran terhadap perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan

dengan hukum investasi di Indonesia.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

ataupun saran bagi para ahli hukum, aparat penegak hukum dan praktisi

tentang penggunaan alternatif lembaga hukum perdata, yakni instrumen

hukum perdata pembayaran tidak terutang (Onverschulddigde Betaling) dalam

rangka pengembalian kerugian keuangan negara sehubungan dengan kasus

korupsi Mantan Presiden Soeharto.

E. KERANGKA PEMIKIRAN

Penelitian hukum mensyaratkan adanya kerangka teoritis dan kerangka

konseptual sebagai suatu hal yang penting. Kerangka teoritis menguraikan segala

sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai suatu sistem aneka “theore’ma” atau

ajaran. Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsep atau pengertian

yang dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.9

9 � Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 7.

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

12

Universitas Indonesia

1. KERANGKA TEORITIS

John Rawls10 mengembangkan konsep keadilan dari perspektif

bahwa manusia adalah merdeka dan sederajat. Kemerdekaan terletak pada

kemampuan memiliki dua kekuasaan moral, yaitu kemampuan memiliki naluri

keadilan dan kemampuan memahami konsepsi tentang hal yang baik. Apabila

individu-individu memiliki dua kekuasaan moral tersebut pada tingkat yang

diperlukan untuk menjadi anggota masyarakat yang sepenuhnya kooperatif, maka

pribadi-pribadi dalam masyarakat adalah sederajat. John Rawls menyatakan

bahwa perhatian utama keadilan sosial adalah keadilan institusi atau apa yang

disebut sebagai struktur dasar masyarakat .Teori keadilan sosial Rawls didasarkan

pada ide-ide kontrak sosial John Locke. Rawls berpendapat bahwa keadilan

adalah ketidakberpihakan, dan melalui kontrak sosial, individu-individu

masyarakat secara bersama-sama menghasilkan barang-barang sosial kepada

negara, untuk kepentingan konsumsi bersama dan bukannya untuk kepentingan

konsumsi individual. Tersedianya barang-barang sosial akan mencukupi

kebutuhan akan barang-barang untuk individu-individu dalam masyarakat oleh

negara sehingga akan terciptanya keadilan sosial (kesejahteraan umum). Salah

satu unsur penting dari teori keadilan sosial adalah bahwa kesejahteraan umum

masyarakat tidak boleh dilanggar, maksudnya adalah bahwa kesejahteraan umum

tidak boleh dikorbankan untuk kepentingan pribadi. Tindakan yang mengancam

kesejahteraan umum merupakan ketidakadilan sosial.

Salah satu contoh dari tindakan yang mengancam kesejahteraan

umum adalah tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang populer

didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan (publik) untuk keuntungan

pribadi, pada dasarnya merupakan masalah ketidakadilan sosial, menurut Jong-

10 John Rawls, A Theory of Justice (Revised Edition)(Oxford University Press, 1999), sebagaimana dikutip oleh Dr. Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dalam Sistem Hukum Indonesia (PT. Alumni,Bandung, 2007) hal.59.

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

13

Universitas Indonesia

Sung You11, kita lebih sering melihat korupsi sebagai persoalan keadilan sosial

daripada persoalan pembangunan. Tindak pidana korupsi adalah perbuatan

mengambil aset milik negara yang dimotivasi oleh kepentingan pribadi, sehingga

negara kehilangan kemampuannya untuk melaksanakan dan tanggungjawabnya

dalam menyejahterakan masyarakat. Sebagai konsekuensinya, korupsi

mengakibatkan masyarakat kehilangan hak-hak dasar untuk hidup sejahtera.

Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa korupsi mengancam pertumbuhan

ekonomi, pembangunan sosial, konsolidasi demokrasi, dan moral bangsa. Bank

Dunia mengungkapkan bahwa korupsi menghambat efisiensi ekonomi,

mengalihkan sumber-sumber dari orang miskin kepada orang kaya, meningkatkan

biaya dalam menjalankan usaha, mendistorsi pengeluaran-pengeluaran publik, dan

membuat jera investor-investor asing; korupsi juga mengikis perwakilan program-

program pembangunan dan mengurangi masalah-masalah kemanusiaan.

Dari perspektif teori keadilan sosial Rawls, ketidakmampuan

negara untuk memenuhi kebutuhan individu-individu didalam masyarakat, karena

ketidaktersediaan barang-barang sosial yang sudah diserahkan oleh masing-

masing individu, sebagai akibat penyalahgunaan barang-barang tersebut oleh

individu-individu tertentu untuk kepentingan pribadinya (Korupsi),

mengakibatkan negara tidak dapat menciptakan keadilan sosial (kesejahteraan

umum) sebagaimana tujuan pembentukan negara. Oleh karena itu, tugas dan

tanggungjawab negaralah untuk mewujudkan keadilan sosial. Teori keadilan

sosial memberikan landasan moral bagi justifikasi teori pengembalian aset oleh

negara seperti yang dikemukakan oleh Michael Levi12, yaitu :

11 You, Jong-Sung, A Normative Theory of Corruption as Injustice, makalah yang dipresentasikan dalam Comparative Politics Research Workshop (Harvard University, November 2003)sebagaimana dikutip oleh Dr. Purwaning M Yanuar, Ibid, hal.37. 12 Michael Levi, Tracing and Recovering The Proceeds of Crime (Cardiff University, Wales, UK, Tbilisi, Georgia June 2004) hal. 17.

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

14

Universitas Indonesia

1. Alasan pencegahan (prohylactic) yaitu untuk mencegah pelaku memiliki

kendali atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah untuk melakukan

tindak pidana lain di masa yang akan datang ;

2. Alasan kepatutan (propriety) yaitu karena pelaku tindak pidana tidak

punya hak yang pantas atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah

tersebut ;

3. Alasan prioritas/mendahului yaitu karena tindak pidana memberi prioritas

kepada negara untuk menuntut aset yang diperoleh secara tidak sah

daripada hak yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana ;

4. Alasan kepemilikan (proprietary) yaitu karena aset tersebut diperoleh

secara tidak sah, maka negara memiliki kepentingan selaku pemilik aset

tersebut.

Purwaning M. Yanuar13 menjelaskan Teori pengembalian aset

adalah teori hukum yang menjelaskan sistem hukum pengembalian aset

berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial yang memberikan kemampuan, tugas

dan tanggungjawab kepada institusi negara dan institusi hukum untuk

memberikan perlidungan dan peluang kepada individu-individu dalam masyarakat

dalam mencapai kesejahteraan. Teori ini dilandaskan pada prinsip dasar : berikan

kepada negara, apa yang menjadi hak negara. Di dalam hak negara terkandung

kewajiban negara yang merupakan hak individu masyarakat, sehingga prinsip

tersebut setara dan sebangun dengan prinsip berikan kepada rakyat, apa yang

menjadi hak rakyat.

Ditinjau dari teori pemidanaan, pengembalian aset hasil tindak

pidana korupsi merupakan pendekatan gabungan dari tiga teori, yaitu teori

keadilan retributif, keadilan restoratif dan utilitarianisme. Dalam hal

pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai bentuk pemidanaan dalam

persfektif hukum pidana, dapat dijelaskan justifikasinya dari teori pemidanaan

13 Dr. Purwaning M. Yanuar, Ibid, hal.107.

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

15

Universitas Indonesia

yang memandang tindak pidana sebagai gabungan dari teori keadilan restributif,

teori keadilan restoratif dan utilitarianisme.

Menurut Howard Zehr14, dalam keadilan retributif tindak pidana

adalah pelanggaran terhadap negara dan hukum, keadilan diterapkan dengan cara

mempersalahkan dan memberikan rasa sakit, keadilan merupakan perseteruan

antara pelaku tindak pidana dengan negara. Menurut Zehr keadilan retributif

merupakan paradigma lama yang pernah membentuk cara berpikir dan merespon

kejahatan. Ada banyak definisi teori keadilan restoratif, salah satunya dikemukan

oleh Walgrave, yang mengatakan bahwa teori keadilan restoratif adalah setiap

perbuatan yang berorientasi pada penegakan keadilan dengan memperbaiki

kerugian yang diakibatkan dari tindak pidana. Teori ini menyatakan bahwa korban

atau keluarganya dapat kembali kepada keadaan semula seperti sebelum

terjadinya tindak pidana15.

Menurut Kent Roach, keadilan restoratif sebagai bagian dari teori

keadilan harus direkonsiliasi dengan teori keadilan restributif. Keadilan restoratif

merupakan pelengkap yang berguna bagi teori keadilan restributif16. Purwaning

mengatakan dengan menggabungkan Utilitarianisme, pandangan Roach tersebut

sesuai dengan tujuan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, karena tindak

pidana korupsi itu mengandung unsur-unsur, baik menurut teori keadilan restoratif

maupun teori keadilan restibutif, dan pengembalian aset hasil tindak pidana

korupsi merupakan perbaikan terhadap kerugian yang diakibatkan oleh tindak

pidana korupsi (mengandung prinsip restoratif). Pengembalian aset hasil tindak

pidana korupsi yang dilakukan oleh pelaku yang mengakibatkan kerugian

14 Howard Zehr, Restorative Justice, Restorative Justice Symposium, 1990, Hal. 2. 15 L. Walgrave, Met Het Oog op Herstel : Bakens voor een Constructief Jeugsantierecht, (Leuven, Univesitaire Pers Leuven, 2000, hal. 34. 16 Kent Roach, Changing Punishment at the Turn of the Century : Restorative Justice on the Rise (Canadian Journal of Criminology, Number 7, 2000, hal.249-280.

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

16

Universitas Indonesia

keuangan negara dan hilangnya peluang bagi individu dan masyarakat untuk

hidup layak dalam mencapai kesejahteraan.

Teori keadilan retributif adalah teori yang menyatakan bahwa

korban atau keluarganya mempunyai hak untuk memperlakukan terpidana sama

seperti terpidana memperlakukan korban. Tindak pidana menuntut balasan yang

bersifat pemidanaan. Pernyataan Klasik ini dikatakan oleh Hegel (1770-1831)

yang mempresentasikan tindak pidana dan pidana dalam batasan saling

menegaskan atau membatalkan. Pemidanaan adalah baik karena menghapuskan

atau meniadakan kejahatan, baik secara hukum secara moral. Karena itu, secara

moral pidana harus dijatuhkan. Negara memiliki hak dan kewajiban untuk

menjatuhkan pidana17.

Mengenai Utilitarianisme, George P Flecther18 mengatakan

bahwa pandangan yang paling sering dikemukakan tentang alasan-alasan moral

dalam tradisi Anglo-American adalah dengan menggunakan analisis

biaya/keuntungan sebagai penyeimbang persaingan antara keuntungan dan

kerugian dalam mengadopsi rencana aksi tertentu, Semua keputusan hukum, baik

keputusan individu maupun putusan pengadilan, harus dilakukan sesuai dengan

konsekuensinya. Menurut tokoh utilitarianisme, Jeremy Bentham, pemidanaan

harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan kerasnya pidana tidak boleh

melebihi jumlah yang diperlukan untuk mencegah dilakukannya penyerangan

tertentu. Pemidanaan hanya dibenarkan apabila ia memberikan harapan agar tidak

terjadi kejahatan yang lebih besar.

Penjelasan mengenai Pengembalian aset hasil tindak pidana

korupsi dari sudut teori pemidanaan sebagaimana yang telah dijabarkan di atas

mungkin dapat tetap dilakukan, jika pelaku tindak pidana korupsi memiliki

kondisi dapat diproses, dituntut dan dihukum melalui jalur pidana. Bagaimana jika

17 John Rawls, A Theori of Justice, op. cit., hal.276-277. 18 George P. Fletcher, Basic Concept of Legal Thought (Oxford University Press, 1996) hal. 147.

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

17

Universitas Indonesia

terjadi kondisi seperti yang terjadi pada kasus korupsi Soeharto. Mungkin

justifikasi pengembalian aset yang dikemukakan oleh michael levi dan

Purwaning, dapat memberikan pembenaran mengenai penggunaan hukum perdata

sebagai jalan terakhir dalam rangka mengembalikan kerugian keuangan negara

sebagai akibat tindak pidana korupsi ketika hukum pidana tidak dapat digunakan

lagi.

2. KERANGKA KONSEPSIONAL (DEFINISI OPERASIONAL)

Untuk memudahkan dan membatasi permasalahan serta menghindari

perbedaan pengertian mengenai istilah-istilah yang dipergunakan dalam penelitian

ini, dibawah ini diberikan definisi operasional dari istilah-istilah tersebut sebagai

berikut.

Pengembalian aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh

negara, untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil tindak

pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan

mekanisme, baik secara pidana dan perdata.

Yayasan Soeharto, yang termasuk kedalam yayasan soeharto, dapat

didigolongkan ke dalam enam kategori 19:

1) Yayasan-yayasan yang diketuai Soeharto sendiri.

2) Yayasan-yayasan yang diketuai Ibu Tien Soeharto dimasa hidupnya.

3) Yayasan-yayasan yang diketuai Soeharto secara tidak langsung lewat

pejabat dan Bob Hasan.

4) Yayasan-yayasan yang diketuai para anak dan menantu Soeharto.

5) Yayasan-yayasan yang diketuai atau dikelola para besan Soeharto beserta

anak serta sanak saudara mereka.

19 Harian Bernas, 27 Mei 1998, hal.1 dan 7 sebagai dikutip Indra Ismawan, Harta dan Yayasan Soeharto, Kontroversi Tentang Kekayaan dan Dugaan Korupsi Soeharto, cet.1 (Yogyakarta : Media Pressindo, 2007) hal.59.

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

18

Universitas Indonesia

6) Yayasan-Yayasan yang diketuai atau dikelola sanak-saudara Soeharto dan

(almarhumah) ibu Tien Soeharto dari kampung halaman mereka di

Surakarta dan Yogyakarta.

BUMN20 adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya

dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari

kekayaan negara yang dipisahkan.

PT. BUMN (Persero)21 adalah istilah untuk Perusahaan Perseroan

(Persero) yaitu BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi

dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen)

sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya

mengejar keuntungan22.

Pengertian korupsi sesuai materi dalam penulisan ini dibagi atas dua

pengertian yaitu :.

1. Pertama, berdasarkan definisi yang mengacu kepada pengertian korupsi

menurut Transparency International yaitu perilaku pejabat publik, baik

politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal

memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan

menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

2. Kedua, berdasarkan perbuatan yang dikategorikan korupsi, mengacu

kepada Undang-Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (UU PTPK), bahwa yang disebut sebagai tindak pidana

korupsi adalah perbuatan yang tercantum pada pasal 2 s/d pasal 16

20 Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70,Tambahan Lembaran Negara Nomor 4297, pasal 1 angka 1.

21 Ibid, Pasal 1 angka 2. 22 Chaidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987, hal 31- 33.

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

19

Universitas Indonesia

Undang-Undang ini, yang meliputi : delik merugikan keuangan Negara

(Pasal 2 dan pasal 3); delik penyuapan ( Pasal 5, 6, dan 11); delik

penggelapan dalam jabatan ( Pasal 8, 9, dan 10); delik pemerasan dalam

jabatan ( Pasal 12); delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7);

dan delik gratifikasi (pasal 12 B,12 C dan pasal 13).

Pengertian kerugian negara menurut Pasal 1 angka 22 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah kekurangan uang,

surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat

perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai23.

Pengertian keuangan negara yang dibahas meliputi 2 (dua) definisi/ruang

lingkup yaitu :

1. Menurut penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ,

Keuangan Negara adalah :

“seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (1) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah, (2) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.”

2. Menurut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

No 17 tahun 2003 tentang Keuangan negara :

1) Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan

mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

2) Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum

pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

3) Penerimaan Negara;

23 Indonesia, Undang-Undang No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Lembaran Negara RI tahun 2004 No 5 , Tambahan Lembaran Negara RI No 4355 Pasal 1 angka 22.

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

20

Universitas Indonesia

4) Pengeluaran Negara;

5) Penerimaan Daerah;

6) Pengeluaran Daerah;

7) Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh

pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-

hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang

dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;

8) Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

9) Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas

yang diberikan pemerintah.”

F. METODE PENELITIAN

1. Objek Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian

bertujuan untuk untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis

dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi

terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.24

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini merupakan

metode penelitian hukum normatif.25 Adapun tipe penelitian yang dilakukan, dari

sudut bentuknya, merupakan penelitian preskriptif yang ditujukan untuk

mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi

masalah-masalah tertentu.26

24 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, op. cit., hal. 1. 25 Ibid., hal. 13-14. 26 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2006), hal. 10.

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

21

Universitas Indonesia

Sebagai suatu penelitian hukum normatif, penelitian ini mengacu pada

analisis norma hukum, dalam arti law as it is written in the books (hukum dalam

peraturan perUndang-Undangan).27 Dengan demikian objek yang dianalisis adalah

norma hukum, yaitu mengkaji peraturan perUndang-Undangan mengenai

pemberantasan tindak pidana korupsi dan peraturan perUndang-Undangan

mengenai instrumen hukum perdata pembayaran tidak terutang (

Onverschulddigde Betaling).

2. Jenis Data Yang Dikumpulkan

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang menggunakan data

sekunder28 yang terdiri bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang

dibidang penanaman modal beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Bahan

hukum sekunder yang digunakan adalah bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari ahli

hukum di bidang pemberantasan korupsi. Penelitian ini juga menggunakan bahan

hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya kamus, ensiklopedia,

indeks kumulatif dan sebagainya.29

Di samping sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum,

peneliti juga menggunakan bahan-bahan non hukum yang mempunyai relevansi

dengan topik penelitian, misalnya berupa buku, hasil penelitian, dan jurnal-jurnal

mengenai penegakan hukum dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi.

27 Ronald Dworkin, Legal Research (Daedalus: Spring, 1973), hal. 250. 28 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, op. cit., hal. 13-14. 29 �Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 52.

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010

22

Universitas Indonesia

Penggunaan bahan-bahan non hukum ini dimaksudkan untuk memperkaya dan

memperluas wawasan peneliti.30

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah melalui

studi dokumen atau bahan pustaka.31 Studi dokumen atau bahan pustaka

dilakukan di beberapa tempat antara lain Perpustakaan Pascasarjana Universitas

Indonesia, Perpustakaan Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Perpustakaan KPK, Pusat

Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, maupun mengakses

data melalui internet.

3. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian melalui studi dokumen atau bahan

pustaka tersebut selanjutnya dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Hal ini

dilakukan untuk menarik asas-asas hukum. Analisis yang dilakukan dengan

pendekatan kualitatif merupakan pelaksanaan analisis data secara mendalam,

komprehensif dan holistik untuk memperoleh kesimpulan terhadap masalah yang

diteliti.

G. SISTEMATIKA

Penulisan terhadap penelitian ini dibagi dalam 5 (lima) Bab, dan setiap bab

terbagi dalam beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan adalah sebagai

berikut :

� BAB I merupakan Bab Pendahuluan yang memuat : Latar Belakang

Permasalahan, Pokok Permasalahan, Tujuan Penelitian, Kegunaan

Penelitian, Kerangka Teori, Kerangka Konsepsional, Metode Penelitian,

Sistematika Laporan Penelitian.

30 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 143, 163, dan

164. 31 Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 66.

Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010