Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Secara umum dapat dikatakan bahwa ilmu hukum mempunyai tujuan yang
tidak berbeda dengan ilmu-ilmu lain. Ilmu hukum mempunyai tujuan yang
bersifat lebih spesifik dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain. Tujuan ilmu
hukum adalah memecahkan masalah-masalah hukum, kasus-kasus hukum, atau
sengketa-sengketa hukum “The Power of Solving Legal Problems”.
Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan hukum di Indonesia
menunjukan perkembangan yang cukup menarik didalam penanganan korupsi1.
Pertama, terbentuknya lembaga independen yang menangani korupsi secara
khusus, yaitu : Komisi Pemberantasan Korusi (KPK), Kedua, penanganan kasus
1 Korupsi berasal dari kata latin “corruption” atau “corruptus” yang kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis “corruption”, dalam bahasa Belanda “korruptie” dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan korupsi, (Dr. Andi Hamzah, SH, 1995:143). Korupsi secara harafiah berarti jahat atau busuk (John M. Echols dan Hasan Shadily, 197: 149) sedangkan A.I.N Kramer ST menerjemahkannya sebagai busuk, rusak atau dapat disuapi (A.I.N Kramer ST, 1977:62) oleh karena itu tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak atau suap. Lihat Darwan Prinst, “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 1. Definisi korupsi menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang disebut sebagai tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang tercantum pada pasal 2 s/d pasal 16 Undang-Undang ini, yang meliputi : • Delik merugikan keuangan Negara ( Pasal 2 dan pasal 3); • Delik penyuapan ( Pasal 5, 6, dan 11); • Delik penggelapan dalam jabatan ( Pasal 8, 9, dan 10); • Delik pemerasan dalam jabatan ( Pasal 12); • Delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7); • Delik Gratifikasi (pasal 12 B,12 C dan pasal 13)
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
2
Universitas Indonesia
korupsi dengan cara-cara yang tidak biasa (Extra Ordinary)2 dan Ketiga, semakin
banyak kasus-kasus korupsi yang dibawa ke pengadilan3.
Salah satu mandat reformasi adalah penegakkan hukum dan mewujudkan
Pemerintahan yang bersih bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Mandat ini termaktub pada Ketetapan (TAP) Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) Nomor XI tahun 1998 dimana salah satu klausulnya adalah melakukan
pengusutan terhadap kasus-kasus hukum Soeharto dan kroni-kroninya, sebagai
agenda reformasi di bidang penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi.
Ketetapan MPR ini dinyatakan masih berlaku dan kemudian telah diperkuat
dengan Ketetapan MPR Nomor 1 tahun 2003 yang menyatakan bahwa TAP MPR
Nomor XI tahun 1998 masih berlaku selama belum ada Undang-Undang (UU)
yang mengatur tentang hal itu.
PBB berdasarkan Transparansi Internasional menempatkan Mantan
Presiden Soeharto kedalam urutan nomor satu dalam daftar mantan penguasa yang
melakukan korupsi terhadap aset negaranya.
No. Nama Periode
Berkuasa
Negara Asal Perkiraan Aset
Negara yang
dikorup
1. HM. Soeharto 1967-1998 Indonesia US$15-35 milyar
2 ....Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pula dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Indonesia (a) , Undang- Undang Nomor. 30 tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, LN No.137, TLN No.4250, Penjelasan Umum. 3 Berdasarkan buku laporan 4 tahunan KPK disebutkan bahwa kasus korupsi yang telah dibawa KPK ke pengadilan dalam kurun waktu tahun 2004 s/d 2007 sejumlah 82 kasus. Komisi Pemberantasan Korupsi, 4 Tahun KPK, Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan, Cet.I (Jakarta : Komisi Pemberantasan Korupsi , Desember 2007) hal. 127.
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
3
Universitas Indonesia
No. Nama Periode
Berkuasa
Negara Asal Perkiraan Aset
Negara yang
dikorup
2. Ferdinand Marcos 1972-1986 Filipina US$ 5 – 10 miliar
3. Mobutu Sese seko 1965- 1997 Zaire US$ 5 miliar
4. Sani Abacha 1993- 1998 Nigeria US$ 2 – 5 miliar
5. Slobodan Milosevic 1989- 2000 Serbia/Yugoslavia US$ 1 miliar
6. Jean Claude
Duvalier
1971-1986 Haiti US$ 300-800 Juta
7. Alberto Fujimori 1990-2000 Peru US$ 600 Juta
8. Pavlo Lazarenko
(Perdana Menteri)
1996- 1997 Ukraina US$ 114-200 Juta
9. Arnoldo Aleman 1997- 2002 Nikaragua US$ 100 Juta
10 Joseph Estrada 1998- 2001 Filipina US$ 78-80 Juta
Sumber : http://www.antara.co.id/arc/2007/9/18/
Secara umum penanganan kasus korupsi Soeharto pernah digelar dalam
persidangan in absentia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Persidangan
memutuskan bahwa Soeharto dinyatakan sakit permanen, dan keputusan ini
diperkuat dengan rekomendasi medis bahwa yang bersangkutan terkena stroke
yang berimplikasi pada kerusakan total sistem kerja saraf. Sejak saat itulah kasus
korupsi yang melibatkan nama Soeharto ditutup demi hukum. Hal ini diperkuat
dengan dalil hukum pidana yang menyatakan bahwa seseorang yang secara
hukum dinyatakan tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatan pidananya
dengan alasan sakit atau tidak adanya aturan-aturan yang mengatur tentang hal itu,
maka perbuatannya itu dianggap tidak sah untuk diproses secara hukum.
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
4
Universitas Indonesia
Penuntasan kasus Korupsi Soeharto seperti menemukan jalan buntu, ketika
Ia dinyatakan meninggal dunia pada 27 Januari 2008. Secara pidana kasus korupsi
yang melibatkan Soeharto tidak mungkin diproses lagi, sehingga secara pidana
tidak mungkin lagi dilakukan penghukuman terhadap Soeharto baik melalui
pidana penjara ataupun pidana berupa pengembalian terhadap kerugian keuangan
negara yang sudah dikorup oleh Soeharto, alasannya adalah perbuatan pidana itu
berkaitan dengan pertanggungjawaban individu pelakunya, serta adanya dalil
dalam hukum pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 774 dan Pasal 835 KUHP
yang menyatakan kewenangan menuntut pidana dan kewenangan menjalankan
pidana hapus jika terdakwa dan atau terpidana meninggal dunia.
Sesuai dengan tujuan ilmu hukum sebagaimana yang telah disebutkan di
atas, bahwa ilmu hukum bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah hukum,
kasus-kasus hukum, atau sengketa-sengketa hukum. Penegakan hukum dalam
kasus korupsi tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan ganjaran secara fisik
bagi para pelakunya namun juga dimaksudkan agar uang negara yang dikorupsi
kembali kepada negara untuk memulihkan kembali kemampuan negara dalam
melayani hak-hak rakyatnya, sehingga dalam proses hukum pidana diakomodir
pula sarana perdata, seperti ketentuan uang pengganti dan denda yang dibebankan
kepada terpidana, bila denda atau uang pengganti tidak dibayar maka hukuman
akan ditambah maksimal tidak melebihi ancaman hukuman. Dalam hal
tersangka/terdakwa meninggal dunia atau tidak terbukti bersalah atau karena
bebas dari segala tuntutan sementara nyata telah ada kerugian negara yang
diakibatkan perbutan tersangka/terdakwa maka ada mekanisme gugatan perdata,
gugatan diajukan terhadap ahli waris bila tersangka/terdakwa meninggal dunia
dan terhadap pelaku bila dia bebas, hal itu tidak lain dimaksudkan untuk
4 Pasal 77 : “Kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia”. Soenarto Soerodibroto, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Ed.4., Cet. 5.(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 68. 5 Pasal 83 : “Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia”. Soenarto Soerodibroto, ibid, hal. 71.
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
5
Universitas Indonesia
menyelamatkan uang negara (Pasal 32, 33 dan 34 Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi6). Baik sarana hukum
pidana maupun perdata dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi para
pelakunya, agar tindak pidana korupsi menjadi perbuatan yang beresiko lebih
besar daripada manfaat yang didapat, sehingga semakin banyak orang yang akan
berpikir ulang bila akan melakukannya.
Babak kedua mengenai penanganan kasus korupsi mantan presiden
Soeharto dimulai ketika Kejaksaan Agung Republik Indonesia mendaftarkan
kasus korupsi Soeharto melalui jalur perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dengan dalil Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar diduga melakukan
penyelewengan terhadap dana yayasan tersebut. Seperti yang diketahui Yayasan
Beasiswa Supersemar pada awalnya bertujuan menyalurkan beasiswa kepada
pelajar dan mahasiswa kurang mampu sejak tahun 1978. Yayasan Beasiswa
Supersemar menghimpun dana negara melalui bank-bank milik pemerintah
(BUMN) dan masyarakat. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976
tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-
Bank Milik Pemerintah7, yang kemudian diatur dengan Keputusan Menteri
6 Pasal 32 : Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Pasal 33 : Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. Pasal 34 : Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. Indonesia (b), Undang-Undang Nomor. 31 tahun 1999, LN No.140, TLN No.3874 jo Undang-Undang Nomor. 20 tahun 2001, LN. 134, TLN No.4150, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 7 Yang dimaksud dengan Bank-bank milik pemerintah sesuai dengan Bunyi Pasal 1 dan Pasal 2 PP Nomor 15 tahun 1976, adalah Bank Indonesia, Bank Negara Indonesia 1946,Bank Bumi Daya, Bank Tabungan Negara, Bank Rakyat Indonesia, Bank Eksport Import Indonesia, Bank Pembangunan Indonesia. Didalam PP Nomor 15 tahun 1976 mengatur agar bank-bak milik
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
6
Universitas Indonesia
Keuangan Nomor 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Agustus 1978 tentang
pengaturan lebih lanjut Penggunaan 5% (lima persen) Dari Laba Bersih Bank-
Bank Milik Pemerintah, serta Pasal 3 Anggaran Dasar Yayasan Beasiswa
Supersemar, seharusnya uang yang diterima disalurkan untuk beasiswa pelajar
dan mahasiswa, namun pada praktiknya tidak demikian dan telah terjadi
penyelewengan. Penyelewengan dana itu, menurut Kejaksaan, merupakan
perbuatan melawan hukum sesuai pasal 1365 KUH Perdata. Kejaksaan menuntut
pengembalian dana yang telah disalahgunakan senilai US$ 420 juta dolar AS dan
Rp. 185,92 miliar, ditambah ganti rugi imateriil Rp. 10 triliun.
Banyak pihak yang menyangsikan dalil yang digunakan oleh Kejaksaan
didalam gugatan perdata tersebut di atas tidak dapat berbuat banyak didalam
kerangka pengembalian kerugian keuangan negara oleh Soeharto maupun oleh
Yayasan . Hal ini terbukti pada keputusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
yakni Majelis mengakui penyaluran dana itu melanggar aturan. Namun majelis
justru tak menemukan kesalahan Soeharto. Majelis beranggapan selaku pendiri
dan ketua yayasan, Soeharto mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada
pengurus yayasan. Lantaran itu, majelis pun membebankan kesalahan itu kepada
Yayasan Beasiswa Supersemar. Yayasan diwajibkan mengganti kerugian kepada
pemerintah. Nilai ganti rugi yang dibebankan adalah 25 persen dari tuntutan ganti
rugi yang diajukan negara, atau sekitar US$ 105 juta dan Rp 46 miliar. Ganti rugi
25 persen itu sesuai dengan asas kepatutan. Padahal dana yang berhasil dihimpun
oleh Yayasan Beasiswa Supersemar sampai dengan Maret 1998 mencapai Rp.1,2
trilyun. Ini baru dana yang berhasil dihimpun oleh Yayasan Beasiswa Supersemar,
belum yayasan-yayasan Soeharto lainnya. Diketahui bahwa Soeharto mengetuai 7
(tujuh) yayasan sosial yaitu Yayasan Dharmais, Dana Karya Abadi,
Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana
Gotong Royong, dan Trikora.
permerintah tersebut menyisihkan 5 % dari laba bersihnya dipergunakan untuk keperluan-keperluan I bidang sosial yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan dengan persetujuan Presiden.
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
7
Universitas Indonesia
Ciri umum sumber pendanaan yayasan-yayasan Soeharto adalah
adanya pungutan yang pada hakikatnya bersifat sukarela, namun kadangkala
terkesan menjadi sebuah “kewajiban”. Terhadap BUMN (Badan Usaha Milik
Negara) pungutan itu dilembagakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 15
Tahun 1976 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333/KMK.011/1978
yang intinya mewajibkan sumbangan 5 % (lima persen) keuntungan BUMN ke
Yayasan Dharmais dan Supersemar. Sementara itu untuk wajib pajak badan
/perorangan dengan laba di atas Rp. 100 juta/tahun, Soeharto mengeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995 (diperbarui dengan Keputusan
Presiden Nomor 92 tahun 1996) yang mewajibkan mereka menyumbangkan 2
% penghasilan setelah pajak untuk dialokasikan kepada masyarakat pra-
sejahtera, untuk menampung dan mengelola dana tersebut dibentuklah YDSM
(Yayasan Dana Sejahtera Mandiri) yang dikelola oleh Soeharto selaku Ketua.
Keputusan Presiden dan Peraturan Pemerintah lainnya yang membebani
masyarakat dengan berbagai sumbangan bertentangan dengan amanat dan
penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang menggariskan bahwa setiap
tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat sebagai pajak dan lain-lain,
harus ditetapkan dengan Undang-Undang, yaitu dengan persetujuan DPR. Di
samping itu, terdapat indikasi H.M. Soeharto, selaku Ketua Yayasan, tidak
mematuhi sepenuhnya Anggaran Dasar Yayasan dalam penggunaan dana-dana
Yayasan.
Melalui keran yayasan inilah Soeharto memobilisasi dana dari
masyarakat dengan berbagai legitimasi, bahkan sering menggunakan jargon
demi “kepentingan nasional” atau “kepentingan masyarakat” yang dikaburkan
dengan kepentingan pribadi. Anggaran Dasar Yayasan menetapkan bahwa
dana Yayasan yang tidak segera dibutuhkan disimpan/dijalankan menurut cara-
cara yang ditentukan oleh pengurus dan diperlukan persetujuan tertulis terlebih
dahulu dari Ketua Yayasan. Namun ditemukan bahwa selain digunakan untuk
hal-hal yang sesuai dengan tujuan Yayasan, terdapat pengeluaran lain yang
menyimpang dari Anggaran Dasar Yayasan. Dana Yayasan dipinjamkan tanpa
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
8
Universitas Indonesia
bunga kepada kelompok Nusamba, dipinjamkan dengan bunga 16% per tahun
kepada PT Kiani Kertas dan Kiani Sakti, penyertaan modal Yayasan kepada
PT. Sempati, Kelompok Nusamba, Bank Umum Nasional, dan Bank
Perkreditan Rakyat, serta disimpan dalam deposito.
Terhadap Keputusan Presiden dan Peraturan Pemerintah lainnya yang
membebani masyarakat dengan berbagai sumbangan tersebut, Pemerintah telah
mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1998 yang
menghentikan dana-dana yang masuk ke Yayasan dengan mencabut
Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995 dan Keputusan Presiden
Nomor 92 Tahun 1996;
2. Menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 20 Tahun 1998 yang ditujukan
kepada para Menteri,Gubernur/KDH Tingkat I, Kepala LPND,
Bupati/Walikotamadya dan Direksi BUMN/ BUMD untuk mencabut
semua ketentuan Menteri/Kepala LPND/Gubernur/Bupati/Walikota dan
Direksi BUMN dan BUMD yang menjadi dasar perolehan dana bagi
semua Yayasan, termasuk Yayasan yang diketuai oleh HMS. Sebagai
tindak lanjut Intruksi Presiden Nomor 20 Tahun 1998 tersebut, Menteri
Keuangan telah mengeluarkan surat No. S.475/MK.01/1998 untuk
mencabut fasilitas pembebasan pajak atas bunga deposito dan tabungan
kepada 11 Yayasan, yaitu: Yayasan Supersemar, Badan Pengelola Dana
ONH, Yayasan DAKAB, Yayasan Amal Abadi Bea Siswa ORBIT,
Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (YDSM), Yayasan Amal Bhakti
Muslim Pancasila, Yayasan Dharma Tirta, Yayasan Amal Bhakti Ibu,
Lembaga GNOTA, Yayasan Dharmais dan Yayasan Kesejahteraan
Sosial Dharma Putra Kostrad;
Dalam kasus korupsi Soeharto dalam rangka pengembalian kerugian
keuangan negara yang sudah dikorup oleh Soeharto tidak lagi dapat ditangani
secara pidana mengingat kondisi Soeharto yang sudah meninggal dunia, sehingga
hanya tersisa mekanisme secara perdata, seperti yang telah diketahui ternyata
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
9
Universitas Indonesia
mekanisme perdata yang dipakai oleh Kejaksaan Agung melalui lembaga Gugatan
Perdata dengan menggunakan dalil melakukan perbuatan melawan hukum
dikarenakan Soeharto salah menggunakan dana milik yayasan, belum dapat
memberi hasil maksimal dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara8.
Penulis tertarik untuk mencoba membahas dalam suatu penelitian, apakah
masih ada instrumen hukum perdata lain yang dapat digunakan oleh negara dalam
rangka memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara dalam kasus
korupsi Soeharto.
Sehubungan dengan perbuatan Soeharto yang menerbitkan Keputusan
Presiden dan Peraturan lainnya yang membebani masyarakat, BUMN/BUMD
dan sebagainya dengan berbagai sumbangan, sebagai sumber pendanaan bagi
yayasan-yayasan, walaupun kemudian diketahui Keputusan Presiden dan
peraturan tersebut melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dan berpotensi
korupsi, yang pada akhirnya pada era reformasi berdampak pada pencabutan
dari Keputusan Presiden dan Peraturan tersebut. Peneliti berpendapat jika
dicermati secara mendalam pengembalian kerugian keuangan negara (dana
yang sudah disetor oleh pemerintah) ke Yayasan-yayasan Soeharto dapat
menggunakan Instrumen Hukum Perdata Pembayaran Tidak Terutang
(onverschulddigde betaling), yang pembahasannya akan dilakukan lebih lanjut
didalam penelitian ini.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka penulis akan
membahas permasalahan seputar “Penggunaan Instrumen Hukum Perdata
Pembayaran Tidak Terutang (Onverschulddigde Betaling) Dalam Rangka
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara (Tinjauan Kasus Tindak Pidana
Korupsi Mantan Presiden Soeharto)” .
8 Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (27/3), memutuskan Yayasan Beasiswa Supersemar terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum agar Yayasan Beasiswa Supersemar membayar ganti rugi sebesar 105,7 juta dolar AS dan Rp46,47 miliar kepada negara (Jawa Pos, Anak-anak Soeharto Lolos, 28 Maret 2008), nilai ini merupakan 25 % dari total nilai ganti kerugian yang dituntut oleh Kejaksaan yaitu dari USD 420 juta dan Rp 185 miliar (GATRA, Yayasan Beasiswa Supersemar Didenda, 27 Maret 2008).
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
10
Universitas Indonesia
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah di
atas, untuk membatasinya perlu diidentifikasi permasalahan yang hendak diteliti
oleh Peneliti sebagai berikut.
1. Bagaimana pengaturan penggunaan Instrumen hukum perdata dalam rangka
pengembalian kerugian keuangan negara dalam suatu kasus tindak pidana
korupsi di Indonesia ?
2. Bagaimana pengaturan dan penerapan Instrumen Hukum Perdata Pembayaran
Tidak Terutang (Onverschulddigde Betaling) di Indonesia ?
3. Apakah Instrumen Hukum Perdata Pembayaran Tidak Terutang
(Onverschulddigde Betaling) dapat digunakan dalam rangka pengembalian
kerugian keuangan negara khususnya terkait kasus korupsi Presiden Soeharto
?
C. TUJUAN PENELITIAN
Dengan menelaah latar belakang dan identifikasi masalah di atas, dapat
dikemukakan beberapa tujuan dari pelaksanaan penelitian yang berjudul
Penggunaan Instrumen Hukum Perdata pembayaran tidak terutang
(Onverschulddigde Betaling) Dalam Rangka Pengembalian Kerugian
Keuangan Negara , yaitu sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui dan mengkaji dasar pengaturan mengenai penggunaan
Gugatan perdata dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara dalam
suatu kasus tindak pidana korupsi di Indonesia.
2. Untuk mengetahui dan mengkaji pengaturan mengenai Instrumen Hukum
Perdata Pembayaran Yang Tidak Terutang (Onverschulddigde Betaling) di
Indonesia.
3. Untuk mengetahui dan mengkaji Instrumen Hukum Perdata Pembayaran
Tidak Terutang (Onverschulddigde Betaling) dapat digunakan dalam rangka
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
11
Universitas Indonesia
pengembalian kerugian keuangan negara khususnya terkait kasus korupsi
Presiden Soeharto
D. KEGUNAAN PENELITIAN
Selain tujuan penelitian seperti tersebut di atas, dalam penelitian ini
peneliti juga mengharapkan dapat mencapai hasil guna sebagai berikut.
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi konsep, teori dan
pemikiran terhadap perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan
dengan hukum investasi di Indonesia.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
ataupun saran bagi para ahli hukum, aparat penegak hukum dan praktisi
tentang penggunaan alternatif lembaga hukum perdata, yakni instrumen
hukum perdata pembayaran tidak terutang (Onverschulddigde Betaling) dalam
rangka pengembalian kerugian keuangan negara sehubungan dengan kasus
korupsi Mantan Presiden Soeharto.
E. KERANGKA PEMIKIRAN
Penelitian hukum mensyaratkan adanya kerangka teoritis dan kerangka
konseptual sebagai suatu hal yang penting. Kerangka teoritis menguraikan segala
sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai suatu sistem aneka “theore’ma” atau
ajaran. Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsep atau pengertian
yang dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.9
9 � Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 7.
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
12
Universitas Indonesia
1. KERANGKA TEORITIS
John Rawls10 mengembangkan konsep keadilan dari perspektif
bahwa manusia adalah merdeka dan sederajat. Kemerdekaan terletak pada
kemampuan memiliki dua kekuasaan moral, yaitu kemampuan memiliki naluri
keadilan dan kemampuan memahami konsepsi tentang hal yang baik. Apabila
individu-individu memiliki dua kekuasaan moral tersebut pada tingkat yang
diperlukan untuk menjadi anggota masyarakat yang sepenuhnya kooperatif, maka
pribadi-pribadi dalam masyarakat adalah sederajat. John Rawls menyatakan
bahwa perhatian utama keadilan sosial adalah keadilan institusi atau apa yang
disebut sebagai struktur dasar masyarakat .Teori keadilan sosial Rawls didasarkan
pada ide-ide kontrak sosial John Locke. Rawls berpendapat bahwa keadilan
adalah ketidakberpihakan, dan melalui kontrak sosial, individu-individu
masyarakat secara bersama-sama menghasilkan barang-barang sosial kepada
negara, untuk kepentingan konsumsi bersama dan bukannya untuk kepentingan
konsumsi individual. Tersedianya barang-barang sosial akan mencukupi
kebutuhan akan barang-barang untuk individu-individu dalam masyarakat oleh
negara sehingga akan terciptanya keadilan sosial (kesejahteraan umum). Salah
satu unsur penting dari teori keadilan sosial adalah bahwa kesejahteraan umum
masyarakat tidak boleh dilanggar, maksudnya adalah bahwa kesejahteraan umum
tidak boleh dikorbankan untuk kepentingan pribadi. Tindakan yang mengancam
kesejahteraan umum merupakan ketidakadilan sosial.
Salah satu contoh dari tindakan yang mengancam kesejahteraan
umum adalah tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang populer
didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan (publik) untuk keuntungan
pribadi, pada dasarnya merupakan masalah ketidakadilan sosial, menurut Jong-
10 John Rawls, A Theory of Justice (Revised Edition)(Oxford University Press, 1999), sebagaimana dikutip oleh Dr. Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dalam Sistem Hukum Indonesia (PT. Alumni,Bandung, 2007) hal.59.
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
13
Universitas Indonesia
Sung You11, kita lebih sering melihat korupsi sebagai persoalan keadilan sosial
daripada persoalan pembangunan. Tindak pidana korupsi adalah perbuatan
mengambil aset milik negara yang dimotivasi oleh kepentingan pribadi, sehingga
negara kehilangan kemampuannya untuk melaksanakan dan tanggungjawabnya
dalam menyejahterakan masyarakat. Sebagai konsekuensinya, korupsi
mengakibatkan masyarakat kehilangan hak-hak dasar untuk hidup sejahtera.
Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa korupsi mengancam pertumbuhan
ekonomi, pembangunan sosial, konsolidasi demokrasi, dan moral bangsa. Bank
Dunia mengungkapkan bahwa korupsi menghambat efisiensi ekonomi,
mengalihkan sumber-sumber dari orang miskin kepada orang kaya, meningkatkan
biaya dalam menjalankan usaha, mendistorsi pengeluaran-pengeluaran publik, dan
membuat jera investor-investor asing; korupsi juga mengikis perwakilan program-
program pembangunan dan mengurangi masalah-masalah kemanusiaan.
Dari perspektif teori keadilan sosial Rawls, ketidakmampuan
negara untuk memenuhi kebutuhan individu-individu didalam masyarakat, karena
ketidaktersediaan barang-barang sosial yang sudah diserahkan oleh masing-
masing individu, sebagai akibat penyalahgunaan barang-barang tersebut oleh
individu-individu tertentu untuk kepentingan pribadinya (Korupsi),
mengakibatkan negara tidak dapat menciptakan keadilan sosial (kesejahteraan
umum) sebagaimana tujuan pembentukan negara. Oleh karena itu, tugas dan
tanggungjawab negaralah untuk mewujudkan keadilan sosial. Teori keadilan
sosial memberikan landasan moral bagi justifikasi teori pengembalian aset oleh
negara seperti yang dikemukakan oleh Michael Levi12, yaitu :
11 You, Jong-Sung, A Normative Theory of Corruption as Injustice, makalah yang dipresentasikan dalam Comparative Politics Research Workshop (Harvard University, November 2003)sebagaimana dikutip oleh Dr. Purwaning M Yanuar, Ibid, hal.37. 12 Michael Levi, Tracing and Recovering The Proceeds of Crime (Cardiff University, Wales, UK, Tbilisi, Georgia June 2004) hal. 17.
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
14
Universitas Indonesia
1. Alasan pencegahan (prohylactic) yaitu untuk mencegah pelaku memiliki
kendali atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah untuk melakukan
tindak pidana lain di masa yang akan datang ;
2. Alasan kepatutan (propriety) yaitu karena pelaku tindak pidana tidak
punya hak yang pantas atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah
tersebut ;
3. Alasan prioritas/mendahului yaitu karena tindak pidana memberi prioritas
kepada negara untuk menuntut aset yang diperoleh secara tidak sah
daripada hak yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana ;
4. Alasan kepemilikan (proprietary) yaitu karena aset tersebut diperoleh
secara tidak sah, maka negara memiliki kepentingan selaku pemilik aset
tersebut.
Purwaning M. Yanuar13 menjelaskan Teori pengembalian aset
adalah teori hukum yang menjelaskan sistem hukum pengembalian aset
berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial yang memberikan kemampuan, tugas
dan tanggungjawab kepada institusi negara dan institusi hukum untuk
memberikan perlidungan dan peluang kepada individu-individu dalam masyarakat
dalam mencapai kesejahteraan. Teori ini dilandaskan pada prinsip dasar : berikan
kepada negara, apa yang menjadi hak negara. Di dalam hak negara terkandung
kewajiban negara yang merupakan hak individu masyarakat, sehingga prinsip
tersebut setara dan sebangun dengan prinsip berikan kepada rakyat, apa yang
menjadi hak rakyat.
Ditinjau dari teori pemidanaan, pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi merupakan pendekatan gabungan dari tiga teori, yaitu teori
keadilan retributif, keadilan restoratif dan utilitarianisme. Dalam hal
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai bentuk pemidanaan dalam
persfektif hukum pidana, dapat dijelaskan justifikasinya dari teori pemidanaan
13 Dr. Purwaning M. Yanuar, Ibid, hal.107.
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
15
Universitas Indonesia
yang memandang tindak pidana sebagai gabungan dari teori keadilan restributif,
teori keadilan restoratif dan utilitarianisme.
Menurut Howard Zehr14, dalam keadilan retributif tindak pidana
adalah pelanggaran terhadap negara dan hukum, keadilan diterapkan dengan cara
mempersalahkan dan memberikan rasa sakit, keadilan merupakan perseteruan
antara pelaku tindak pidana dengan negara. Menurut Zehr keadilan retributif
merupakan paradigma lama yang pernah membentuk cara berpikir dan merespon
kejahatan. Ada banyak definisi teori keadilan restoratif, salah satunya dikemukan
oleh Walgrave, yang mengatakan bahwa teori keadilan restoratif adalah setiap
perbuatan yang berorientasi pada penegakan keadilan dengan memperbaiki
kerugian yang diakibatkan dari tindak pidana. Teori ini menyatakan bahwa korban
atau keluarganya dapat kembali kepada keadaan semula seperti sebelum
terjadinya tindak pidana15.
Menurut Kent Roach, keadilan restoratif sebagai bagian dari teori
keadilan harus direkonsiliasi dengan teori keadilan restributif. Keadilan restoratif
merupakan pelengkap yang berguna bagi teori keadilan restributif16. Purwaning
mengatakan dengan menggabungkan Utilitarianisme, pandangan Roach tersebut
sesuai dengan tujuan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, karena tindak
pidana korupsi itu mengandung unsur-unsur, baik menurut teori keadilan restoratif
maupun teori keadilan restibutif, dan pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi merupakan perbaikan terhadap kerugian yang diakibatkan oleh tindak
pidana korupsi (mengandung prinsip restoratif). Pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh pelaku yang mengakibatkan kerugian
14 Howard Zehr, Restorative Justice, Restorative Justice Symposium, 1990, Hal. 2. 15 L. Walgrave, Met Het Oog op Herstel : Bakens voor een Constructief Jeugsantierecht, (Leuven, Univesitaire Pers Leuven, 2000, hal. 34. 16 Kent Roach, Changing Punishment at the Turn of the Century : Restorative Justice on the Rise (Canadian Journal of Criminology, Number 7, 2000, hal.249-280.
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
16
Universitas Indonesia
keuangan negara dan hilangnya peluang bagi individu dan masyarakat untuk
hidup layak dalam mencapai kesejahteraan.
Teori keadilan retributif adalah teori yang menyatakan bahwa
korban atau keluarganya mempunyai hak untuk memperlakukan terpidana sama
seperti terpidana memperlakukan korban. Tindak pidana menuntut balasan yang
bersifat pemidanaan. Pernyataan Klasik ini dikatakan oleh Hegel (1770-1831)
yang mempresentasikan tindak pidana dan pidana dalam batasan saling
menegaskan atau membatalkan. Pemidanaan adalah baik karena menghapuskan
atau meniadakan kejahatan, baik secara hukum secara moral. Karena itu, secara
moral pidana harus dijatuhkan. Negara memiliki hak dan kewajiban untuk
menjatuhkan pidana17.
Mengenai Utilitarianisme, George P Flecther18 mengatakan
bahwa pandangan yang paling sering dikemukakan tentang alasan-alasan moral
dalam tradisi Anglo-American adalah dengan menggunakan analisis
biaya/keuntungan sebagai penyeimbang persaingan antara keuntungan dan
kerugian dalam mengadopsi rencana aksi tertentu, Semua keputusan hukum, baik
keputusan individu maupun putusan pengadilan, harus dilakukan sesuai dengan
konsekuensinya. Menurut tokoh utilitarianisme, Jeremy Bentham, pemidanaan
harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan kerasnya pidana tidak boleh
melebihi jumlah yang diperlukan untuk mencegah dilakukannya penyerangan
tertentu. Pemidanaan hanya dibenarkan apabila ia memberikan harapan agar tidak
terjadi kejahatan yang lebih besar.
Penjelasan mengenai Pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi dari sudut teori pemidanaan sebagaimana yang telah dijabarkan di atas
mungkin dapat tetap dilakukan, jika pelaku tindak pidana korupsi memiliki
kondisi dapat diproses, dituntut dan dihukum melalui jalur pidana. Bagaimana jika
17 John Rawls, A Theori of Justice, op. cit., hal.276-277. 18 George P. Fletcher, Basic Concept of Legal Thought (Oxford University Press, 1996) hal. 147.
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
17
Universitas Indonesia
terjadi kondisi seperti yang terjadi pada kasus korupsi Soeharto. Mungkin
justifikasi pengembalian aset yang dikemukakan oleh michael levi dan
Purwaning, dapat memberikan pembenaran mengenai penggunaan hukum perdata
sebagai jalan terakhir dalam rangka mengembalikan kerugian keuangan negara
sebagai akibat tindak pidana korupsi ketika hukum pidana tidak dapat digunakan
lagi.
2. KERANGKA KONSEPSIONAL (DEFINISI OPERASIONAL)
Untuk memudahkan dan membatasi permasalahan serta menghindari
perbedaan pengertian mengenai istilah-istilah yang dipergunakan dalam penelitian
ini, dibawah ini diberikan definisi operasional dari istilah-istilah tersebut sebagai
berikut.
Pengembalian aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh
negara, untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil tindak
pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan
mekanisme, baik secara pidana dan perdata.
Yayasan Soeharto, yang termasuk kedalam yayasan soeharto, dapat
didigolongkan ke dalam enam kategori 19:
1) Yayasan-yayasan yang diketuai Soeharto sendiri.
2) Yayasan-yayasan yang diketuai Ibu Tien Soeharto dimasa hidupnya.
3) Yayasan-yayasan yang diketuai Soeharto secara tidak langsung lewat
pejabat dan Bob Hasan.
4) Yayasan-yayasan yang diketuai para anak dan menantu Soeharto.
5) Yayasan-yayasan yang diketuai atau dikelola para besan Soeharto beserta
anak serta sanak saudara mereka.
19 Harian Bernas, 27 Mei 1998, hal.1 dan 7 sebagai dikutip Indra Ismawan, Harta dan Yayasan Soeharto, Kontroversi Tentang Kekayaan dan Dugaan Korupsi Soeharto, cet.1 (Yogyakarta : Media Pressindo, 2007) hal.59.
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
18
Universitas Indonesia
6) Yayasan-Yayasan yang diketuai atau dikelola sanak-saudara Soeharto dan
(almarhumah) ibu Tien Soeharto dari kampung halaman mereka di
Surakarta dan Yogyakarta.
BUMN20 adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan.
PT. BUMN (Persero)21 adalah istilah untuk Perusahaan Perseroan
(Persero) yaitu BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi
dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen)
sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya
mengejar keuntungan22.
Pengertian korupsi sesuai materi dalam penulisan ini dibagi atas dua
pengertian yaitu :.
1. Pertama, berdasarkan definisi yang mengacu kepada pengertian korupsi
menurut Transparency International yaitu perilaku pejabat publik, baik
politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
2. Kedua, berdasarkan perbuatan yang dikategorikan korupsi, mengacu
kepada Undang-Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU PTPK), bahwa yang disebut sebagai tindak pidana
korupsi adalah perbuatan yang tercantum pada pasal 2 s/d pasal 16
20 Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70,Tambahan Lembaran Negara Nomor 4297, pasal 1 angka 1.
21 Ibid, Pasal 1 angka 2. 22 Chaidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987, hal 31- 33.
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
19
Universitas Indonesia
Undang-Undang ini, yang meliputi : delik merugikan keuangan Negara
(Pasal 2 dan pasal 3); delik penyuapan ( Pasal 5, 6, dan 11); delik
penggelapan dalam jabatan ( Pasal 8, 9, dan 10); delik pemerasan dalam
jabatan ( Pasal 12); delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7);
dan delik gratifikasi (pasal 12 B,12 C dan pasal 13).
Pengertian kerugian negara menurut Pasal 1 angka 22 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah kekurangan uang,
surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai23.
Pengertian keuangan negara yang dibahas meliputi 2 (dua) definisi/ruang
lingkup yaitu :
1. Menurut penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ,
Keuangan Negara adalah :
“seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (1) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah, (2) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.”
2. Menurut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
No 17 tahun 2003 tentang Keuangan negara :
1) Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan
mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
2) Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
3) Penerimaan Negara;
23 Indonesia, Undang-Undang No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Lembaran Negara RI tahun 2004 No 5 , Tambahan Lembaran Negara RI No 4355 Pasal 1 angka 22.
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
20
Universitas Indonesia
4) Pengeluaran Negara;
5) Penerimaan Daerah;
6) Pengeluaran Daerah;
7) Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-
hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
8) Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
9) Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas
yang diberikan pemerintah.”
F. METODE PENELITIAN
1. Objek Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian
bertujuan untuk untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis
dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi
terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.24
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini merupakan
metode penelitian hukum normatif.25 Adapun tipe penelitian yang dilakukan, dari
sudut bentuknya, merupakan penelitian preskriptif yang ditujukan untuk
mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi
masalah-masalah tertentu.26
24 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, op. cit., hal. 1. 25 Ibid., hal. 13-14. 26 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2006), hal. 10.
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
21
Universitas Indonesia
Sebagai suatu penelitian hukum normatif, penelitian ini mengacu pada
analisis norma hukum, dalam arti law as it is written in the books (hukum dalam
peraturan perUndang-Undangan).27 Dengan demikian objek yang dianalisis adalah
norma hukum, yaitu mengkaji peraturan perUndang-Undangan mengenai
pemberantasan tindak pidana korupsi dan peraturan perUndang-Undangan
mengenai instrumen hukum perdata pembayaran tidak terutang (
Onverschulddigde Betaling).
2. Jenis Data Yang Dikumpulkan
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang menggunakan data
sekunder28 yang terdiri bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang
dibidang penanaman modal beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Bahan
hukum sekunder yang digunakan adalah bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari ahli
hukum di bidang pemberantasan korupsi. Penelitian ini juga menggunakan bahan
hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya kamus, ensiklopedia,
indeks kumulatif dan sebagainya.29
Di samping sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum,
peneliti juga menggunakan bahan-bahan non hukum yang mempunyai relevansi
dengan topik penelitian, misalnya berupa buku, hasil penelitian, dan jurnal-jurnal
mengenai penegakan hukum dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi.
27 Ronald Dworkin, Legal Research (Daedalus: Spring, 1973), hal. 250. 28 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, op. cit., hal. 13-14. 29 �Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 52.
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010
22
Universitas Indonesia
Penggunaan bahan-bahan non hukum ini dimaksudkan untuk memperkaya dan
memperluas wawasan peneliti.30
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah melalui
studi dokumen atau bahan pustaka.31 Studi dokumen atau bahan pustaka
dilakukan di beberapa tempat antara lain Perpustakaan Pascasarjana Universitas
Indonesia, Perpustakaan Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Perpustakaan KPK, Pusat
Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, maupun mengakses
data melalui internet.
3. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian melalui studi dokumen atau bahan
pustaka tersebut selanjutnya dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Hal ini
dilakukan untuk menarik asas-asas hukum. Analisis yang dilakukan dengan
pendekatan kualitatif merupakan pelaksanaan analisis data secara mendalam,
komprehensif dan holistik untuk memperoleh kesimpulan terhadap masalah yang
diteliti.
G. SISTEMATIKA
Penulisan terhadap penelitian ini dibagi dalam 5 (lima) Bab, dan setiap bab
terbagi dalam beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan adalah sebagai
berikut :
� BAB I merupakan Bab Pendahuluan yang memuat : Latar Belakang
Permasalahan, Pokok Permasalahan, Tujuan Penelitian, Kegunaan
Penelitian, Kerangka Teori, Kerangka Konsepsional, Metode Penelitian,
Sistematika Laporan Penelitian.
30 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 143, 163, dan
164. 31 Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 66.
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, 2010